ywangnagari
11 posts
Berisi tulisan lama yang dahulunya hanya saya simpan di catatan pribadi, kini saya coba bagikan di sini (masih bertujuan) untuk arsip pribadi, bedanya sekarang kamu bisa turut membacanya. Salam hangat🖤
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Perihal At-Tahrim
Beberapa pekan terakhir ada sebuah inkonsistensi perasaan yang konsisten: sedih, senang, super senang, hampa, yang sepertinya lamat-lamat tinggal dalam diri saya. Di malam yang hanya ada saya dan eksistensi yang selalu saya yakini Ia mendengar, saya selalu bawa perihal ini—cerita yang sama—berkali-kali, sampai bingung mau ceritanya kaya gimana dan dari sudut yang mana lagi ya?
Pagi ini, saya membolak-balik halaman juz 27 hingga 29, iseng aja bacain artinya, dari cerita bagaimana orang-orang munafik sampai hari kiamat, kayanya serem-serem bener, lalu saya berhenti di surat At-Tahrim. Dalam mushaf ustmani saya, di bagian judulnya tertulis sebuah arti bagaimana Tuntunan Berkehidupan Rumah Tang.. kemudian pada bagian akhir surat ini, dijelaskan mengenai contoh pasangan (wanita) yang baik dan buruk seperti apa.
Belakangan, saya sedang menulis terkait topik yang sama, mungkin itu yang membuat judul dalam At-Tahrim itu catchy dan buat saya berhenti lalu membacanya dengan seksama😳 *alasan*
Pada intinya, beberapa pekan terakhir saya memang sedang membaca banyak referensi mengenai topik tersebut untuk kebutuhan kepenulisan. Lalu suatu ketika saya berhenti di sebuah halaman buku kemudian saya tulis menggunakan pensil persis di bagian bawah keterangan yang membuat saya berhenti, berbunyi: i wish (whoever you are), you'll still choose me rather than to be with all the fairy creatures who are made for you. *hahaha yes i'm madly envious.
Di bagian itu diberi keterangan memang kaum-kaum saya (perempuan) tidak akan mendapat keistimewaan itu. Bagi saya nggak masalah juga. Kemudian setelah saya baca bagian akhir surat At-Tahrim, saya haru sekaligus tiba-tiba teringat perihal bagian buku itu, singkatnya merasa punya statement penguat dan jalan keluar: Ya sudah, if my spouse decides to be with that perfect creature, at least i can meet, gather, and be accompanied with all the good woman from the whole era—especially the ones whom i adore the most: Holy Mother Maryam and Asiya. We all knew they're both even didn't have a spouse to be with, yet God gave them the highest honour and respect.
6 notes
·
View notes
Text
Istimewa yang Disengaja
Beberapa waktu terakhir ini, salah satu kegiatan favorit saya—yang saya izinkan melanggar jam malam—adalah ketika saya mematikan lampu kamar, menghidupkan lampu belajar yang juga lampu tidur dan saya setting cahayanya dengan sorot kekuningan yang tidak terlalu terang. Saya arahkan ke tempat tidur yang berada di samping meja belajar.
Kemudian saya duduk setengah berbaring dibantu dengan tumpukkan bantal yang tinggi, tidak lupa mendinginkan ruangan dan menyelimuti kaki-kaki saya. Sebuah instrumen atau lantunan apapun yang sedang saya sukai sudah saya pastikan terputar dengan volume yang samar-samar. Lalu bagian terfavoritnya: meraih buku yang belakangan selalu ada di tempat tidur saya.
Rasanya ingin sekali membacanya hingga tuntas. Namun saya membuat jatah membaca buku ini hanya ketika malam sebelum tidur. Selain karena saya punya tanggungan buku-buku lain yang lebih serius di waktu siang dan sore—yang kalau baca harus sedia penanda dan sticky notes, perasaan menunggu-nunggu malam tiba, seperti tak sabar diberikan dongeng sebelum tidur, terlalu menyenangkan jika terlewat atau dihilangkan.
Saya hanya membaca satu sampai dua bab saja seharusnya. Sambil harap-harap cemas serta tiap tiga menit sekali menengok jam dinding, berharap waktu berjalan lebih lambat agar saya masih bisa menambah barang satu atau dua bab lagi.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, buku ini bukan buku yang akan didengar judulnya ketika kamu meminta rekomendasi bacaan ke orang-orang. Bahkan saya terbilang terlambat membaca dan sebelumnya—secara jujur—juga tidak seberapa tertarik untuk membacanya. Sampai suatu ketika ada hal yang menghidupi dan membuat buku ini mempunyai arti tersendiri.
Ditulis persis di malam saat saya selesai membacanya.
Jumat, 4 Februari 2022
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Sebuah Perspektif: Seni Menanti
Rasanya tak akan habis kekaguman saya pada sebuah aturan yang dengan sangat detailnya menerangkan bagaimana seni berkehidupan kita. Alam semesta yang luas ini pun memiliki pakem-pakem yang sudah ditentukan defaultnya, bagaimana matahari terbit dan tenggelam, pun siang berganti menjadi malam. Hal tersebut sudah sangat presisi sekali yang bilamana sedikit saja bergeser, akan terjadi konsekuensi yang tidak semestinya. Begitupun kita sebagai manusia, sebuah default itu melekat pada diri kita, adalah mengapa sebuah eksistensi aturan itu hadir sampai mengatur hubungan antar manusia.
Adanya sebuah naluriah itu indah sekali diciptakan dan melekat pada setiap dari kita, juga mengenai hal-hal yang seharusnya kita lakukan untuk menjaga agar naluriah itu tetap pada porsi-porsinya, atau kita akan merasakan ketidaknyamanan bilamana hal itu ternodai. Bentuk-bentuk naluriah itu bisa berupa: kecintaan kita pada keindahan, kenyamanan ketika tubuh kita sehat, juga perasaan bahagia ketika kita jatuh hati.
Saya meyakini perihal jatuh hati dalam konteks ini solusinya tidak ada yang lebih baik dari sebuah kepastian dan komitmen: pernikahan. Mengenai bagaimana seharusnya ketika kita jatuh hati sudah pernah saya tulis di sini. Pada tulisan ini saya ingin lebih membahas mengenai hal yang disebut sebuah komitmen seumur hidup itu sendiri.
Setiap orang memiliki tujuan dan definisi tersendiri mengenai pernikahan. Namun bagi saya tidak ada tujuan yang lebih utama dari melihatnya sebagai bagian dari ibadah yang dilakukan seumur hidup, adapun tujuan lainnya akan mengikuti setelahnya.
Tools
Ketika kita berpuasa, tentu kita memperhatikan niat, larangan, waktu dan hal-hal fundamental lainnya. Bukan mengenai seberapa mewah makanan yang akan kita makan di sahur ataupun ketika kita berbuka. Makanan itu hanya salah satu tools yang digunakan untuk mencapai esensi ibadah kita. Selagi makanan itu halal dimakan maka tak menjadi masalah, bukan?
Begitupun sebuah perikatan, kita tidak bisa melakukan ibadah itu — dan menjalankan sebuah peran — seorang diri, oleh karena itu kita butuh sebuah media utama, yakni seseorang yang lain untuk mencapai tujuan kita beribadah. Oleh karenanya, selagi media itu memenuhi segala yang fundamental dan menjadikan tujuan kita tercapai, maka seharusnya kita tidak akan lagi bergantung dan terpaku pada satu individu tertentu. Tentu, kita juga berhak menetapkan spesifikasi tools itu sejauh dan seideal yang kita inginkan dengan catatan tidak melupakan hal yang fundamental.
Namun demikianlah manusia, makhluk kompleks yang penuh rasa, seringkali kita tidak dapat memilih kapan dan kepada siapa kita menjatuhkan hati. Jatuh hati itu tidak salah dan saya yakin akan dialami setiap orang yang memiliki rasa, yang menjadikan tiap-tiap individu berbeda adalah keputusan yang diambil setelahnya.
Perspekti Seorang Muslimah
Apabila bicara mengenai perikatan — defaultnya — bagi seorang muslimah, menolak dengan tanpa alasan yang syar’i apabila ada seseorang yang shalih datang dengan ‘tujuan baik’ itu tidak diperkenankan. Pasalnya kita perlu tahu terlebih dahulu bagaimana indikator orang dikatakan shalih dan alasan apa saja yang termasuk maupun tidak termasuk dalam ketentuan syar’i. Namun, saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini, karena bukan itu poin yang ingin saya utarakan.
Menurut saya, tidak menjadi masalah apabila seseorang tersebut datang di saat kita sudah siap dan hati kita memang sedang kosong, karena perasaan lebih mudah dipupuk ketimbang kesamaan mindset dan keimanan. Yang menjadi sebuah issue adalah bagaimana jika ada seseorang yang shalih, datang dengan niat baik disaat kita sedang jatuh hati dan menunggu seseorang yang lain? Sebagaimanapun saya menyetujui perasaan dapat tumbuh seiring berjalannya waktu, namun tetap saja, menerima seseorang di saat seperti itu rasanya tidak adil bagi siapapun. How could we try to romantically in love with someone from zero if we have (say it) 50 for another one? Somehow it seems so scary.
Kemudian saya ingin tahu bagaimana perspektif beberapa orang yang saya kenal dekat dan saya yakini memiliki kesamaan mindset — serta ilmunya lebih dari saya — mengenai hal tersebut.
Bagaimana jika hal itu terjadi?Jawaban mereka sama, dengan berbagai argumen yang kompleks, pada intinya adalah bilamana pada saat itu mereka belum siap, tentu mereka akan menolaknya. Namun jika sebaliknya, mereka akan memilih memberi kesempatan lebih jauh pada seseorang yang dengan berani mengutarakan niat baiknya dibandingkan memilih orang yang mereka sukai. Tentunya melalui sebuah proses baik yang seringkali dikenal dengan istilah: ta’aruf (perkenalan).
“Cause there’s no one braver than that, isn’t it?”
“Kan itu namanya diberi kesempatan dulu kenal dengan cara yang baik, tentu dengan proses dan pertimbangan, bukan berarti langsung diterima”
“Kita juga nggak bisa menjamin orang yang kita sukai shalih atau tidak, kan? itu pun juga belum tentu suka balik sama kita” *lah iya juga🤣
“Sebaik apapun terlihatnya, aku akan menganggap bahwa aku tidak cukup tahu akan seseorang, sebelum dia datang dan mengutarakan niat baiknya”
kata mereka.
(Alasan terakhir adalah favorit saya hahaha)
Tentu, mereka adalah orang-orang yang saya nilai sangat menjaga dan tidak pernah neko-neko kalau dihadapkan masalah seperti ini. Mereka lebih memilih belajar dan mempersiapkan dengan sungguh-sungguh ketimbang resah berlarut-larut memikirkan hal yang sudah dijamin — apalagi berada dalam kebersamaan-kebersamaan yang tidak perlu yang hanya akan memberatkan memori.
Di sini, saya melihat sebuah keindahan yang nyata mengenai implementasi konkret dari apa-apa yang mereka katakan: bagaimana sebuah keimanan itu dijadikan sebenar-benarnya pondasi utama dibanding mengedepankan ego — perasaan — mereka sendiri.
Tentang Sebuah Skeptisisme
Dalam candaan kami, teman saya melontarkan sebuah pertanyaan: masih ada nggak ya yang juga punya semangat belajar mempersiapkan alih-alih memilih untuk ada di kebersamaan-kebersamaan yang nggak perlu?
Ketimbang berakhir saling memvalidasi kekhawatiran masing-masing, kami memilih meyakinkan satu sama lain: pasti ada! belum ketemu bukan berarti nggak ada, kan? Yang penting yakin dulu katanya, bukankah dunia ini akan seperti bagaimana kita berprasangka?
Maka muarakanlah apa-apa yang kita lakukan itu untuk ibadah dan mencari ridha-Nya saja. Jika kita bisa dimudahkan menjalankan yang wajib maupun yang sunnah dan dapat menikmati kesungguhan ketika kita berdoa, sejatinya itu sudah merupakan sebuah rezeki, adapun kita mendapat kebaikan karena itu semua, adalah bonus.
Termasuk di dalamnya ketika kita berusaha menjaga nilai-nilai yang diperintahkan semampu yang kita bisa, menghindar dari apa-apa yang tidak seharusnya dan mempelajari hal-hal yang kita rasa itu perlu untuk sebuah, ya karena Allah yang perintah, adapun diberi seseorang yang demikian juga, itu merupakan bonus.
Terakhir, semoga kita senantiasa dimudahkan pada setiap langkah dan proses yang kita lakukan sampai menjadi versi terbaik dari diri kita, dengan begitu kita akan menjadi seseorang yang beruntung untuk dimiliki.
3 notes
·
View notes
Text
couldn't agree more, i wrote something similar:
Jika cinta
Jikapun cinta adalah pagar taman, maka ia akan menjaga bunga-bunganya
Jika cinta adalah kursi teras, maka ia menyediakan kenyamanan untuk pemiliknya.
Jika cinta adalah sapu lantai, maka ia merawat agar lantainya tidak kotor.
Jika cinta adalah pohon di pelataran rumah, maka ia akan meneduhkan siapapun yang dibawahnya.
Maka cinta itu sendiri adalah menjaga, menyamankan, merawat dan meneduhkan.
Bukan cinta jika ia tidak menjaga, meresahkan, merusak dan menzalimi.
Sekalipun ia benda paling berharga di muka bumi.
Sekalipun ia barang paling langka di semesta ini.
Sekalipun ia pangeran paling tampan dari seluruh negeri.
229 notes
·
View notes
Text
Sebuah Objektivitas Di Mana Puisi-Puisi Saya Bermuara
Pada suatu siang yang terang, saya memutuskan untuk menghampiri ruang yang biasa saya jadikan tempat rapi-rapi perasaan saya, ada beberapa jendela besar nan tebal di sana, menghadap ke berbagai arah yang berbeda, sebagian sudah saya tutup rapat dengan tirai. Namun, ada satu yang masih saya biarkan terbuka, jendela itu langsung menghadap ke sebuah satu kesatuan objektivitas yang menghidupkan sebuah tempat di mana puisi-puisi saya bermuara.
Saya terkadang mendeskripsikan bagaimana laut di sekitarnya yang biru bersinar, sesekali saya mengambil kuas lalu melukiskan bagaimana di sore hari tempat itu indah sekali terkena pantulan sinar matahari yang tidak terlalu terang, atau saya hanya sekadar duduk, menerka-nerka lalu lalang apa yang sedang terjadi di sana.
Sepanjang saya mengamati dari balik jendela-jendela saya, entah karena posisi jendela satu ini yang memiliki sudut paling tepat di antara yang lain, sehingga saya merasa–dan kali pertamanya saya melihat sebuah komposisi yang nyaris sempurna, atau kah memang tempat itu demikian adanya?
Sebenarnya ada sebuah pintu yang bisa saya gunakan untuk menuju kesana, mengamati lebih dekat sehingga saya dapat menarasikan apa-apa yang lebih tepat dalam puisi saya. Sungguh tak ada yang lebih saya inginkan selain dapat sesekali bermain di taman-tamannya, menghabiskan barang seperempat hari di sana. Membawa kuas-kuas saya dan membiarkan setiap sudut tempat itu memenuhi kanvas saya.
Namun, saya menyadari bahwa saya tidak boleh terlalu terburu-buru berjalan keluar. Butuh energi cukup besar untuk sampai pada tempat itu, alih-alih seindah yang saya lihat, bisa saja selama ini, keindahan tersebut hanya ada dalam imajinasi kepala saya.
To be continued
1 note
·
View note
Text
Bagaimana Seharusnya Ketika Kita Jatuh Hati?
Saya pernah mendengar nasihat yang sedemikian bijak:
Sebuah perjalanan mencari teman hidup hakikatnya seperti halnya kita diberi kesempatan untuk mencari kayu di sebuah hutan, namun kita hanya diperbolehkan mengambil satu dalam sekali jalan, tidak boleh kembali. Oleh karenanya, sebelum menapakkan kaki, kita perlu mengerti sebenar-benarnya kayu yang kita butuhkan: tujuannya, warnanya, jenisnya dan sebagainya. Kejelasan kriteria sangat penting, sehingga kita tidak buang-buang waktu, tidak kebingungan, juga tidak akan menyesal jika nantinya bertemu yang sekiranya “lebih menarik”. Sedang ketidakjelasan hanya akan mengantarkan kita pada ketidakpuasan, kekecewaan dan pengandaian-pengandaian yang tiada habisnya.
Perjalanan panjang merangkai kepingan demi kepingan tersebut benar-benar membentuk sebuah proyeksi sosok ideal di kepala saya, pembahasan mengenai hal itu saya tulis di sini.
Agar tulisan dapat lebih dimengerti, rasanya saya perlu menerangkan bahwa dalam kepala saya: ketertarikan, jatuh hati, rasa sayang adalah naluriah manusia, sedang segala keputusan kita untuk merespons perasaan tersebut adalah pilihan.
Saya meyakini perihal jatuh hati dalam konteks ini solusinya tidak ada yang lebih baik dari sebuah kepastian dan komitmen, juga hanya ada perihal ‘ya’ atau ‘tidak sama sekali’, tidak ada sebuah ruang abu-abu diantaranya, kecuali kita siap akan keresahan, ketidakpastian, ketidaktenangan hati yang bertubi-tubi dan tiada berujung. Jika kita belum siap akan komitmen dan penolakan, maka akan lebih baik jika kita menyerahkannya kembali (perasaan titipan tersebut) kepada Yang Menitipkan, singkatnya: berdoa. Kemudian menghilangkan segala trigger yang dapat memicu adanya perasaan tersebut serta menumpuk bagian dari memori kita dengan hal-hal yang lain, karena kita mustahil melupakannya begitu saja.
Sedikit banyak hal itu mempengaruhi bagaimana cara pandang saya mengenai bagaimana mengekspresikan sebuah perasaan. Alih-alih merasa ingin menciptakan banyak kebersamaan dan memberi makan perasaan tersebut, akan lebih baik justru ketika dalam kepala kita tidak ada memori kebersamaan sama sekali, bukan? Dengan begitu tidak akan ada ingatan kebersamaan yang nantinya hanya akan memberatkan kepala dan pertanggungjawaban kelak, apalagi kalau ternyata sosoknya bukan yang tertulis untuk kita.
Sederhananya: definisi jatuh hati menurut saya pribadi adalah menjaga. Serta, entah di kepala saya seperti ada kalimat yang menunjam dalam:
Semakin mendekati sosok ‘kayu’ saya, idealnya semakin saya tidak ingin menyentuhnya (berinteraksi yang tidak penting) terlebih dahulu.
Kita tidak perlu khawatir mengenai apa-apa yang sudah digariskan. Mungkin setiap dari kita pun sebenarnya sudah menyadari bahwa jika sesuatu memang digariskan untuk kita, seberapapun jauhnya kita terpaut, pada saat yang tepat sesuatu itu akan berpotongan dengan kita di titik dan waktu yang tepat. Di sisi lain, agar saya tetap waras dan objektif, saya selalu berprinsip:
Bahwa bukan mengenai fisik-tempat ditampungnya ruh, melainkan tentang ruh itu sendiri. Bukan pula mengenai kecenderungan seperti yang seringkali dikatakan orang-orang “saya menyukai, karena itu dirinya” (saya juga bukan tim menyukai seseorang tanpa alasan) alasan yang saya kutip bisa saja terjadi namun ada di tahap lebih lanjut, bukan ketika masih dalam langkah ‘menimbang-nimbang’ kecuali kita rela mengorbankan nilai-nilai yang tak seharusnya untuk lebih mengenalnya.
Juga hanya akan terjadi ketika kita sudah mengenal personanya sangat lama, bahkan informasi dari orang terdekatnya sekalipun tidak sepenuhnya valid sampai kita merasakan sendiri hidup bersamanya, bukan? Pada intinya kita tidak boleh merasa paling tahu atas seseorang, termasuk di dalamnya orang yang di mata kita terlihat sangat sempurna sekalipun.
Yang dapat kita amati dalam tahap ini hanyalah sebatas sinyal permukaan yang ada pada ruhnya: segala apa-apa yang menghidupi jiwanya; value; pemikirannya, prinsip, intelektual dan sebagainya yang tergambar dari apa-apa yang dilakukannya.
Andai kita sepakat bahwa landasan utama yang dijadikan penentu adalah ruhnya, maka bilamana itu ada pada fisik yang lain, seharusnya bukan menjadi masalah.
Sebagaimanapun orang terlihat sangat baik di mata kita, bukan berarti dia yang terbaik untuk kita. Maka tidak ada cara yang terbaik selain menyerahkan kembali urusan penilaian tersebut kepada Yang Maha Menilai. Hal itu akan menjadikan kita tidak arogan pada tinta yang sudah kering. Tentu, hati dan pikiran kita akan jauh lebih merdeka, sebab kita tak terpaku pada individu tertentu.
0 notes
Text
Sebuah Perjalanan Memproyeksikan Parameter “Sosok Ideal”
Dalam lingkaran kecil pasca halaqah, Musyrifah (guru) saya pernah mengatakan hal yang sangat saya ingat: bahwa level ketertarikan kita kepada seseorang sejalan dan akan meningkat berbanding lurus dengan kualitias diri kita–terhadap hal yang spesifik.
Dahulu, saat kita menginjakkan kaki ke bangku sekolah menengah, barangkali ia yang mendapat peringkat pertama, atau yang sering ikut lomba itu keren, mungkin juga ia yang cantik secara fisik, menarik perhatian kita. Hal tersebut lumrah saja karena dunia kita memang sedang ada dalam tahap itu.
Semakin lama saya berjalan, saya mendapatkan banyak sekali perspektif, puncaknya ketika saya menemukan “titik balik” (saya akan ceritakan di tulisan lain, kapan-kapan). Banyak sekali sudut pandang yang mengubah bagaimana saya melihat dan memaknai suatu hal pasca itu, tentu saja: termasuk di dalamnya bagaimana saya memandang individu. Standar yang dahulunya–katakanlah hanya “pintar” ataupun “menarik secara penampilan” berubah dan barangkali bertambah. Bukan berarti yang dulu hilang begitu saja, lebih tepatnya: tingkat kematangan yang berubah membuat spektrum pemaknaan saya terhadap dua hal tersebut kini kian meluas dibandingkan dahulu.
Sama halnya ketika kita menemukan seseorang yang mungkin memiliki kesamaan ketertarikan di suatu disiplin ilmu tertentu, mimpi atau hal yang sangat personal dari diri kita. Uniknya lagi, memang ketertarikan kita juga sebenarnya tidak akan jauh-jauh dari diri kita, alias kita akan cenderung pada seseorang yang memiliki kemiripan dengan kita, mungkin itulah mengapa “kita akan dipasangkan dengan yang sekufu (satu level)” adalah hal yang sangat masuk akal. Salah satu ustadz pernah menyampaikan demikian:
“Seorang Qari itu akan dengan mudah menebak seberapa jauh kemampuan seseorang dalam membacakan Al-Quran hanya dari pertama kali mendengar ta'awudz orang tersebut.”
Bagaimana tidak demikian, sedang lebih dari separuh bahkan sepanjang hidupnya digunakan untuk mempelajari bagaimana pelafalan Al-Quran dengan benar, dia tahu betul setiap sudutnya.
Pada intinya, saya meyakini bahwa kita akan dengan mudah mengetahui dan “klik” dengan seseorang apabila dirinya sefrekuensi dengan kita, karena hal-hal yang benar kita tekuni, ataupun value tertentu yang sangat melekat pada diri kita secara mendalam akan membantu kita melihat dan menyeleksinya.
Sebagai refleksi pribadi–bukan untuk tolok ukur baik atau buruk. Dahulu, pada awal saya mulai tergerak mendalami apa yang saya yakini, saya sangat terkagum pada setiap orang (baik laki-laki maupun perempuan) yang masif membagikan pemikirannya sebagai bentuk dakwahnya yang kemudian menjadikan hal tersebut sangat mendominasi visualisasi atas dirinya, baik di sosial media maupun di kehidupan sehari-harinya, bahkan pada mereka yang menjadikan hal tersebut sebagai profesi utamanya.
Setelah saya berjalan lebih jauh, mata saya dibuat terkagum-kagum mengetahui bagaimana suatu disiplin ilmu dapat membawa dampak besar bagi peradaban umat manusia melalui mereka yang ahli di suatu bidang spesifik tertentu. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain?
Pada saat itulah kekaguman saya seperti 'berpindah' pada orang yang juga memiliki ketertarikan pada hal spesifik yang kepada hal tersebut, matanya berbinar-binar membicarakannya. Juga seperti halnya seorang arsitek yang sangat fokus, sepenuh hati, dan menikmati momen ketika menyusun tiap bagian maketnya, sungguh karismatik! dan sosok seperti itu ada dalam profesi apapun–ekonom, epidemiolog, dokter, pebisnis dan yang lainnya. Tidak berhenti sampai di situ!
Lebih spesifiknya: kepada mereka yang sangat passionate di suatu bidang tertentu kemudian mereka menjadikan agama sebagai oksigen dalam setiap langkah hidup dan pekerjaannya, menjadikan mereka (menurut saya) manusia yang benar-benar utuh, karena pada dasarnya hal spiritual adalah sebuah “ruh” atau kewajiban untuk dimengerti, dipelajari, dan diamalkan pada apapun bidang yang kita sukai.
Secara berangsur, ketertarikan-ketertarikan itu akan membentuk sebuah “sosok ideal” dalam pikiran kita. Yang pada dirinya, kriteria kita bermuara dan akan kita cari-cari bentuk nyata objektivitasnya di dunia kita. Secara tidak sadar kita juga menjadikan sosok tersebut “parameter” untuk menyeleksi setiap persona yang kita temui. Serta, sebenarnya sebuah perjalanan memproyeksikan parameter hakikatnya adalah perjalanan bagaimana kita belajar mengenali diri kita sendiri.
40 notes
·
View notes
Text
No person who's be the luckiest over the world except the one who got a wholeheartedly words. I do believe that human has too many complex feelings which sometimes no other way can help to release except when they decide to write.
0 notes
Text
Di Sudut Asrama
Bukan apa-apa, hanya pembicaraan di sudut asrama yang selalu membekas di hati ketika seharian berutinitas.
"Aku takut nggak komitmen
Aku takut nggak bisa bagi waktu
Aku takut nggak bisa memenuhi target
Aku takut dan aku takut.."
Begitulah kiranya yang dirasakan hampir semua orang ketika dihadapkan kepada sebuah amanah besar untuk membersamai kalamNya.
Namun lihatlah, kita telah bersama-sama mengambil pilihan, berani melangkah keluar dari kenyamanan, kebebasan yang boleh jadi tidak kita dapatkan karena sebuah konsekuensi.
Aku bukan yang paling pandai menguatkan, justru aku butuh untuk selalu dikuatkan.
Aku bukan teman yang terbaik, justru aku butuh ditemani untuk selalu berada dalam kebaikan.
Jika pada pencapaian prestasi/kinerja kita berlomba-lomba mengenal value diri, karakter diri, potensi diri, mencari kebaikan yang paling baik dari diri kita untuk dikembangkan, untuk menunjukkan ada nilai berbeda dari diri kita dibanding dengan orang lain,
Lalu value apa yang membedakan kita dengan orang lain di Mata Allah?
Bintaro, Desember 2019
2 notes
·
View notes
Text
Kita Perlu Main Lebih Jauh
Karena terlalu asik dengan diri sendiri di zona nyaman mungkin saja membuat kita luput bahwa ada sesuatu di luar sana yang perlu kita lihat jatuh bangunnya agar kita lebih menghargai proses.
Boleh jadi ada seseorang yang perlu kita dengarkan ceritanya agar kita lebih perasa, lebih memahami dan sedikit menghakimi.
Barangkali ada seseorang yang perlu kita rangkul agar kita turut rasa akan bahagianya melihat orang tersenyum aman, atau mereka yang ingin berbagi keluh kesahnya agar kita lebih bersyukur akan apa yang telah menjadi milik kita.
Boleh jadi eposide hidupnya tak semenyenangkan kita, boleh jadi darinya kita belajar arti kuat, dan dengan kita berbagi bahu ada satu hal yang harus dia tahu bahwa masih ada orang yang peduli.
Jangan sampai kita diam di tempat dan tidak menyadari bahwa dunia ini memiliki spektrum yang sangat luas.
Dewasa ini, mungkin banyak sekali dari kita yang sudah mulai menyadari dan menemui perbedaan, mulai dari hal yang wajar berbeda sampai yang mungkin saja menurut kita hal itu tidak seharusnya berbeda.
Dan ada banyak sekali ragam ekspresi manusia ketika menyikapi perbedaan itu, sebagian berimpati tak jarang pula ada yang menghakimi.
Lalu.. kita, ada disikap yang seperti apa?
Boleh jadi ragam ekspresi itu muncul berdasarkan seberapa jauh kita memahami sesuatu, sederhananya semakin kita memahami banyak hal maka semakin kita tidak memiliki ruang untuk tidak saling menghargai, bukan?
Dan untuk memahami banyak hal kita perlu melangkah lebih banyak dari biasanya, lebih mau mencari tahu dari biasanya, lebih mau terbuka akan keberbedaan itu.
Bertemu orang-orang yang berbeda agar kita tau sudut pandang mereka, mendengarkan mereka secara langsung, memposisikan diri sebagai mereka agar kira tahu bagaimana seharusnya berekspresi dan menanggapi.
Boleh jadi dengan cara seperti itulah hati kita menjadi lebih lembut dalam menghadapi perbedaan. Kita perlu main lebih jauh agar kita tahu dunia ini bukan hanya ada kita, tentang kita dan sudut pandang kita saja.
Bintaro, 2019
1 note
·
View note