Tumgik
tikadewisri · 7 years
Text
Salam Perpisahan
Seusai pentas seni, kami diminta untuk datang ke sekolah. Bukan untuk menerima pelajaran, tetapi untuh beres-beres. Ada buku tulis, buku gambar, majalah, crayon, pensil warna, dan beberapa karya yang sudah kami kerjakan di sekolah sudah tertata rapi di dalam tas berwarna biru muda. Loker yang biasa kugunakan untuk menyimpan perlengkapan sekolahku ini sudah bersih. Kupandangi seisi kelas, beberapa barang sudah dirapikan termasuk foto-foto kelas kami. Hal ini menandakan bahwa aku dan teman lainnya benar-benar sudah harus meninggalkan taman kanak-kanak.
Personil kelas khusus Rainbow sudah lengkap. Kami semua duduk di bangku kami untuk terakhir kalinya menjadi siswa TK. Bu Guru berdiri di depan kelas dan menyampaikan petuahnya.
“Anak-anak, sekarang kalian sudah lulus dari TK. Kalian akan menjadi siswa SD. Belajar yang giat ya...”
Aku tak terlalu memperhatikan pidato beliau. Aku hanya menangkap bahwa beliau ingin mengucapkan salam perpisahan. Walau berat, beliau berusaha menyampaikannya. Beberapa kali beliau tertangkap sedang meneteskan air mata, tetapi dielaknya.
“Waaaah.... bu guru nangis ya,” goda salah seorang temanku.
“Ndak...ndak.. bu guru gak nangis kok.” Bu Guru menghapus air matanya yang menetes di pipi lalu melanjutkan nasihatnya.
----------------------------------------------o-----------------------------------------
Setelah bu guru memberikan nasihtanya secara bergantian kepada kami, tiba giliran kak Fitri, kakak pendampingku, yang menyampaikan nasihatnya. Kali ini bukan nasihat yang kudengar, tetapi sebuah ungkapan hati.
“Temen-temen sekalian, kakak mohon maaf sebesar besarnya kalau kakak punya salah,” ucap kak Fitri dengan nada yang lemah lembut. Seketika aku merasa ini bukan hal baik.
“Temen-temen, saya sekalian mohon maaf kepada kalian semua kalau selama ini kakak suka bikin kalian sebel dan marah,” ujarnya di depan kelas.
“...dididik, hemnanak (baca: kak Fitri, mau kemana)?” Rey bertanya kepada kak Fitri.
“Mohon maaf, kalau kakak tidak bisa menemani Rey di SD nanti. Untuk beberapa hal yang menyebabkan kak berhenti menjadi kakak pedamping untuk Rey. Nanti akan ada kakak baru yang lebih baik dari aku.” Kak Fitri berbicara panjang lebar di depan kelas.
Aku hanya diam menanggapi semua itu. Aku tak terlalu paham apa maksud yang disampaikan kak Fitri, tetapi aku bisa merasakan bahwa ini bukan berita yang baik. Aku tetap terdiam bahkan saat kak Fitri mencoba menanyaiku banyak hal.
Perasaanku tiba-tiba menjadi sangat kacau, aku merasa sedih dengan perpisahan kami ini. Bagiku, kak Fitri adalah kakak pendamping yang baik. Dia mampu bertahan mendamingiku dengan segala kekuranganku selama 1 tahun ini. Walau aku tak mengekspresikan kesedihanku ini dengan menangis, tetapi aku menunjukkan rasa sedih ini dengan terus meminta perhatian kak Fitri. Mulai berlarian hingga berbicara seperlunya.  Bersama kak Fitri, aku menjadi diriku sendiri dan mengekspresikan emosiku dengan bebas, dibandingkan saat bersama kakak pendamping sebelum-sebelumnya.
Semua ini memang tidak mudah dilalui. Hari itu adalah akhir dari cerita masa kanak-kanakku dan menjadia awal untuk menjadi siswa SD. Dengn berakhirnya masa TK, maka berakhir pula ceritaku tentang Bu Guru, kak Fitri dan kawan-kawan. Akhir kisah ini begitu membuat haru biru. Tak terasa bahwa kak Fiti meneteskan mata. Kuhampirinya dan kuhapus air mata itu. Kak fitri lalu memelukkan.
Semoga dengan berakhirnya masa TK, bukan menjadi akhir dari pertemua kami.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Pentas Seni (2)
Semua persiapan sudah dilakukan sebaik mungkin. Mulai menata, menghias, dan memeriksa lampu maupun sound system. Beberapa bapak-bapak mengangkut kursi ke sana kemari. Ada pula yang meletakkan beberapa bunga di panggung. Tak tertinggal pula ada bapak pianis kami yang sangat tampan sudah mulai memperiapkan perlengkapannya untuk mengiringi kami semua bernyanyi. Kakak yang cantik da salah seorang guru menjadi pembawa acara. Mereka berdiri di samping panggung dan berbicara satu sama lain sambil memegang microphone. Yah, hari ini adalah hari yang sudah kutunggu sejak beberapa minggu ini, Pentas Seni Perpisahan Sekolah Taman Kanak-kanak.
Tepat pukul 07.00 aku datang bersama mama dan kak Fitri. Di sebuah ruangan yang sangat besar lengkap dengan panggung yang megah sudah siap menjadi saksi lahirnya lulusan baru dari TK tempatku bersekolah.Aku melangkah setahap demi setahap sambil menghitung tiap degup jantungku yang semakin lama semakin kencang. Tak terbayangkan olehku bahwa untuk pertama kalinya aku akan berada di atas panggung dan disaksikan oleh banyak orang, terutama oleh mamaku sendiri. Aku ingin melakukannya sebaik mungkin.
Beberapa panitia sudah berjajar dari pintu masuk hingga tempat duduk. Mereka mengarahkan tempat duduk kami. Untuk sementara waktu aku dan mama berpisah. Mama menuju area wali murid, sedangkan kau dan kak Fitri, pendampingku, menuju belakang panggung.
“Rey, anak mama yang hebat, semangat ya nak! Mama akan melihat Rey dari sini.” Mama menyampaikan wejangannya sebelum pergi menuju kursinya. “Jangan lupa senyum ya!”
“....mamamak, wawawak, ikuk (baca: mama, bawa, ikut).” Entah apa yang kukatakan, semua kata itu keluar begitu saja. Aku hanya ingin supaya mama ikut denganku.
“Rey, ayo kita ke belakang panggung bersama teman-teman lainnya,” kak Fitri menggandeng tanganku dan mengajakku pergi.
“Yauda, sana sama kak Fitri,” mama mencium keningku lalu melambaikan tangannya padaku. “Dadaa nak!”
“...mamamak dadaaaa (baca: mama, dada),” aku beranjak pergi sambil melambaikan tangan kepada mama. Kulihat senyum mama yang membuatku lebih samangat lagi.
------------------------------------0--------------------------------------------
Mari kita sambut, wisudawan dan wisudawati...
Iringan musik yang begitu meriah membuka pentas seni. Seketika ruangan menjadi gelap lalu nampak sorotan lampu berwarna-warni bergerak menyorot barisan siswa TK kelas B. Kami semua sudah bersiap dan berbaris rapi sejak di belakang panggung. Begitu kakak pembawa acara mempersilahkan kami masuk, langkah kaki ini menjadi begitu berat karena rasa gugup yang begitu mendominasi hatiku saat ini. Bagaimana tidak gugup, sorotan lampu menyambut setiap kedatangan kami dan iringan musik yang seolah kami adalah bintang tamu yang sedang ditunggu-tunggu dalam sebuah pertunjukan. Seketika semua pandangan tertuju pada kami. Kulihat beberapa orang berdiri dan memegang handphone mereka untuk memotret. Penyambutan ini membuat kami merasa menjadi sangat istimewa.
Kami semua berjalan menuju bangku yang sudah disiapkan di belakang bangku guru-guru. Sambil berjalan kupasang mata jeliku ini untuk menemukan dimana mama duduk. Kulihat ada lambaian tangan yang kadang muncul dan tenggelam karena terhalang oleh pundak orang yang duduk di depannya. Saat lambaian itu terlihat, perlahan kulihat wajah mama yang begitu sumringah. Melihat mama, hatiku menjadi tenang.
Kami menikmati tiap pertunjukkan yang ditampilkan oleh adik-adik kelas A. Ada yang bermain operet, menari, bahkan membaca puisi. Ada pula yang menampilkan fashion show dari ekstrakulikuler fashion. Tak kalah ekstrakulikuler drum band dan tari juga menampilkan aksi mereka. Semuanya begitu indah dan sangat bagus. Hingga acara puncak dan saat yang membuatku menjadi gugup kembali.
Acara berikutnya, penampilan paduan suara dari kelas B.
Protokol dari pembawa acara mengawali pertunjukan kami. Semua yang telah kita usahakan dan latihan yang melelahkan selama ini akan terbayar saat ini. Satu per satu siswa kelas B memasuki panggung dan berbaris membentuk dua baris. Aku berdiri di barisan belakang. Walaupun begitu, aku masih bisa melihat wajah mama yang sangat bersemangat melihatku. Bu guru mulai mengambil posisi sebagai dirijen. Pianis kami sudah bersiap di depan pianonya. Perlahan ruangan menjadi gelap dan hanya ada sorotan lampu yang mengarah kepada kami.
Begitu bapak pianis mulai mengalunkan melodinya, kami mulai mengeluarkan barisan nada lagu. Semua teman-temanku begitu bersemangat dan bernyanyi dengan baik. Mulai lagu Hymne Sekolah, Lagu Guru, Quesera-sera. Ketiga lagu itu terdengar begitu syahdu. Alunan musik yang lembut mampu membuat setiap yang mendengarkannya menjadi terharu. Kami berhasil membuat beberapa guru dan orang tua meneteskan air mata. Begitu sampai lagu Apuse dan lagu daerah lainnya, iringan musik berubah menjadi ceria. Lampu ruangan mulai dinyalakan dan kami dapat melihat seluruh isi ruangan. Seketika para penonton bertepuk tangan dan bersorai. Kami melenggang, menari sambil bernyanyi.
Aku, yang masih sulit untuk berbicara, tak mampu bernyanyi sebaik teman-teman lainnya. Aku hanya bererumuh, tetapi tak sekeras suara nyanyia teman lainnya. Walau terasa sulit, aku berusaha mengikuti setiap gerakan saat menari. Semua itu menyita banyak tenaga dan konsentrasiku. Untung saja ada kak Fitri yang senantiasa mendampingi dan membantuku mengatasi segala kesulitan yang tengah kualami.
Lagu terakhir adalah Sayonara, kami bernyanyi sambil berjalan meninggalkan panggung. Tak kusangka penonton bertepuk tangan dengan sangat meriah. Rasa gugup yang menghinggapiku selmaa ini seakan sirna dengan respon penonton yang sangat gembira dengan pertunjukan kami. Acara ini ditutup dengan pelepasan, dimana kami kelas B memakai toga. Nama kami dipanggil satu per satu menaiki panggung untuk mendapatkan ijasah.
Semua berjalan dengan lancar dan berakhir dengan sangat indah. Aku mencari mama dan ketika aku menemukannya, pelukan hangat dari mama telah menyambut diirku.
“Waaaah, Rey hebat banget tadi,” pujian mama mampu menyunggingkn senyuman yang sangat lebar dan membuat wajahku merah merona. “Mama bangga sama anak mama ini.”
“....asdek, ae... (baca: anak SD, Rey),” ujarku kepada mama.
“Iyaaa donk... Saiapa anak SD?” tanya mama padaku.
“....ae.... (baca: Rey).”
“Iyaaaa, Rey anak SD sekarang.”
Selama tiga tahun di TK, banyak hal yang sudah kualami. Walau aku harus mengulang di kelas B, tetapi tidak membuatku menyerah. Kututup cerita masa TK-ku ini kenangan yang begitu indah dan sebuah pentas seni yang akan berkesan sepanjang masa.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Pentas Seni (1)
Saat-saat yang menggembirakan bagiku adalah ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi dan tidak ada pelajaran membaca ataupun menulis.
“Anak-anak kelas B, hari ini akan berlatih untuk pentas seni.” Begitulah pengumuman yang disampaikan kepala sekolah taman kanak-kanak tempatku belajar saat berbaris bersama di lapangan pagi ini.
Sorak sorai anak-anak kelas B terdengar sangat keras. Setelah kepala sekolah memeberikan pengumuman, kami yang akan berlatih bernyanyi segera berhamburan menuju ruang musik. Di sana sudah menunggu seorang pianis yang akan mengiringi kami semua bernyanyi. Betapa senangnya hatiku ketika selesai berbaris di lapangan tidak langsung kembali ke kelas.
“Rey, jangan lari! Nanti jatuh lho!” teriak kak Fitri yang mengejarku berlarian di koridor sekolah. Saking senangnya hatiku, aku sampai lupa kalau kak Fitri kutinggal jauh di belakang. Seketika aku berhenti dan menoleh, ternyata kak Fitri sedang berlari ke arahku. Seolah kak Fitri ingin mengajak bermain kejar-kejaran, aku melanjutkan berlari dan jauh di depan kak Fitri. Tanpa sadar aku berteriak karena terlalu senang.
Berlari di sepanjang koridor memang sangat menyenangkan. Langkahku harus terhenti tatkala aku sampai di depan ruang musik dan melihat di sana sudah banyak teman-teman lainnya. Mereka sudah berbaris dan mengambil posisi siap untuk bernyanyi. Kutengok kanan dan kiri, ternyata kak Fitri semakin dekat denganku, maka aku langsung masuk ke ruag musik supaya tidak tertangkap olehnya.
Kak Fitri menghela nafas panjang, “Kena kamu Rey!” Tiba-tiba kak Fitri mendekapku dari belakang. Entah lewat dari mana, tetapi aksi kejar-kejaran ini sudah usai. Kak Fitri menggiringku turut berbaris dengan teman lainnya. Aku tak terbiasa berbaris dengan jarak yang begitu dekat dengan teman-teman dari kelas lain. Seketika kuraih tangan kak Fitri, seolah berkata “Kak Fitri jangan pergi! Temani aku di sini!”
“...dididik (baca: kak Fitri),” kusebut namanya berulang-ulang kali tiap kak Fitri ingin melepaskan genggaman tanganku. Semakin kak Fitri menjaga jarak, semakin aku menggenggam tangannya erat.
“Rey, ayo nyanyi bareng teman-teman!” kak Fitri mencoba mendorongku agar mau bersuara. “Nanti kalau Rey mau nyanyi, kak Fitri ajak main. Mau?”
Kuanggukkan kepala tanda setuju. Perlahan aku mengikuti nyanyian yang sedang dilantunkan. Irama indah yang dibawakan oleh sang pianis itu membuat paduan suara kami menjadi sangat bagus. Dengan tangan yang masih kugenggam, kak Fitri mengayunkan tanganku mengikuti gerakan yang dicontohkan bu guru yang memimpin di depan. Sesekali ku lirik, ternyata kak Fitri juga ikut bernyanyi. Aku semakin bersemangat dan menaikkan volume suaraku. Walau apa yang kuucapkan tak sejelas teman-teman lainnya, setidaknya aku berusaha bernyanyi.
“Rey, hebat!” seru kak Fitri sambil menunjukkan jempol kirinya ke arahku. Kata-katanya seperti sebuah sihir, aku menjadi semakin bersemangat karenanya.
“...dididik...ae...hebak (baca: Kak Fitri, Rey, Hebat),” ujarku sambil tesenyum selebar-lebarnya hingga terlihat gigi-gigiku. Kak Fitri membalas dengan senyuman dan hanya menganggukkan kepalanya.
Begitu banyak lagu yang kami nyanyikan, seperti lagu Guruku, Quesera-sera, Hymne Sekolahku, Apuse, dan Sayonara. Lagu favoritku adalah Quesera-sera. Hal ini karena pada akhir lagu, bapak pianis memberikan sedikit gubahan sehingga terdengar sangat syahdu.
Quesera-sera...What happen will be will be.....
Lirik itulah yang selalu kunyanyikan dengan sangat keras.
Setelah latihan bernyanyi, kami melanjutkan dengan persiapan lain. Ada sebagian siswa yang berlatih operet dan lainnya menari. Aku masuk di kelompok menari. Walau aku seorang laki-laki, aku tetap ikut menari berasama anak laki-laki lainnya. Tak tertinggal, kak Fitri selalu berdiri di belakangku layaknya bayangan bagik. Dia menggandeng tanganku dan bersiap jika tiba-tiba latihan menari dimulai, maka kak Fitri akan menuntunku menggerakkan tangan.
One two three
Dengan aba-aba itu, pertanda bahwa kami akan segera memulai kegiatan. Aku berkonsentrasi penuh selama berlatih. Mulai dari mengamati gerakan bu guru, hingga mencoba menggerakkan tangan dan kakiku walau terkadang gerakan yang kuhasilkan tidak semirip bu guru, tetapi aku terus mencobanya. Beberapa kali kak Fitri menuntun tangan dan kakiku saat aku kesusahan mengikuti gerakan bu guru.  Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa menari.
Aku tak sabar lagi ingin menampilkan hasil berlatihku ini kepada mama saat acara pentas seni nanti.
 [bersambung]
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Menunggu Jemputan
“Teeeeeeeeeeeeng”
Bel sekolah telah berbunyi, pertanda bahwa kelas sudha berakhir. Semua siswa taman kanak-kanak berhamburan ke luar. Ada yang langsung pulang dijemput mama atau papa mereka, ada yang bermain dahlu di taman bermain sekolah. Ada pula yang hanya duduk termenung menunggu jemputan. Salah satunya aku.
“Rey, kamu kok belum pulang?” tanya seorang ibu muda kepadaku.
“...mamak (baca: mama),” aku berusaha menjelaskan kalau kau menunggu jemputan mama.
“Apa Rey?” tanyanya kembali. Sepertinya beliau tidak mengerti apa yang kusampaikan padanya. “Yaudah duduk manis di sini ya sampai dijemput.” Kemudian ibu muda itu menghampiri anaknya dan pulang dengan mengendarai sepeda motor bebek berwarna pink.
Hari ini mama yang menjemputku, karena bapak utkang ojek sedang sakit, begitu pula kak Fitri, kakak pendampingku, tidak datang ke sekolah karena harus melakukan tes kesehatan. Itulah sebabnya aku beljar sendiri tanpa didampingi oleh seorang pendamping pun.
Aku duduk di sebuah ubin merah di depan ruang guru. Di sana banyak pula yang bernasib sama seperti. Mereka berjajar menunggu sambil memakan kue yang mereka bawa. Perlahan satu per satu dari mereka beranjak dan pulang dijemput mama atau papa mereka. Hingga akhirnya tinggal aku sendiri di sana. Mama benar-benar sangat terlambat hari ini.
Aku merasa sedih karena semua temanku sudah dijemput sedangkan aku tidak. Tanpa terasa satu per satu tetesan air mata jatuh ke pipiku. Segera kuusap air mata itu dengan sapuan jari. Aku merasa malu jika sampai ada orang yang mengetahuinya.
Tes...tes..tes...
Ada air menetes kembali membasahi pipiku. “Sepertinya air mataku sudah kuusap semuanya. Lalu air apakah ini?” gumamku dalam hati sembari tangan ini mengusap air yang ada di pipi kananku itu.
Tiba-tiba suara gemuruh dari atap semakin kencang terdengar dan tanah menjadi basah.
“Hujaaaaaaan.” Pat Satpam berteriak sekencangnya dan menghalau para siswa, yang tersisa untuk menunggu jemputan, agar segera menepi mencari tempat berteduh. Pak Satpam mendorongku ke koridor sekolah. Aku segera menuju halaman depan kelas yang berada di ujung koridor. Setelh sampai di sana, tidak salah lagi hujan turun begitu deras. Kutatap saja derasnya tetesan hujan yang membasahi bumi. Hingga kuteringat masa kecilku dimana mama sering mengajakku bermain di luar saat hujan turun. Aku dapat membayangkan bahwa aku sangat senang saat berada di masa itu.
Tanpa berpikir panjang, kulangkahkan kaki untuk keluar dari halaman beratap dengan berdiri di tengah hujan. Kurasakan tiap tetesannya yang dapat mengusir rasa bosan selama menunggu. Tak lama setelah itu mamaku datang dengan memakai jas hujan lenkap.
“...mamamaaaaaaak,” aku memanggil mama sekua tenaga hingga mama dapat menyadari di mana aku berada.
“Wah...anakku sayang, kenapa kamu hujan-hujan an?” tanya mama sambii menggandeng tanganku menuju pinggir.
Tertawaku bukan karena aku menertawakan mama, tetapi aku senang karena akhirnya mama datang dan aku memiliki kesempatan untuk bermain di tengah hujan terlebih dahulu.
“Nak, lain waktu jangan main hujan-hujanan yaaa,” ujar mama menasihatiku. Mama melucuti semua pakaianku dan memintaku berganti pakaian.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Jika Berpisah Tak Terelakan Lagi
“One, two, three, four, five...” Suara teriakan anak-anak bergermuh di sepanajang sekolah taman kanak-kanak. Suasana sekolah menjadi lebih serius daripada biasanya. Biasanya pada bulan-bulan seperti saat ini semua siswa sedang sibuk mempersiapkan diri untuk kenaikan kelas bagi kelas TK A dan menuju SD bagi TK B. Hampir tiap hari bu guru mengulang dan memberikan kami semua pengayaan. Tiap hari adalah belajar. Bahkan waktu bermain menjadi sedikit berkurang.
“Rey, ayo belajar dulu,” bujuk kak Fitri. Semua situasi itu hanya berlaku begi teman-temanku lainnya, kecuali aku. Bagiku, setiap hari adalah sama, yaitu bermain. Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi belajar. Walau di luar sana teman-teman berlomba-lomba mendapatkan bintang pernghargaan atas usaha belajar mereka, tetapi bagiku tiada yang berbeda. Aku tetap berlarian walau di tengah padatnya jadwal belajar di seklah.
“Rey, ayo kembali. Duduk lagi,” kak Fitri terus saja membujukku untuk duduk.
Aku lihat sahabat-sahabatku tidak ada yang mengikutiku berlari. Mereka duduk manis menghadap meja dan buku mereka. Kutatap saja mereka dari kejauhan. Terbayang olehku serunya bermain bersama mereka. Kuteringat masa menyenangkan di mana mereka mengejar-ngejar diriku dan berteriak bersama. Lalu kami dimarahi dan tertawa bersama-sama.
Kutatap satu per satu wajah sahabat-sahabtku itu. Wajah-wajah itu pasti akan sangat kurindukan. Mereka ada yang akan naik kelas B dan lainnya pergi ke SD. Sedangkan aku, mama sudah menyiapkan jalanku selanjutnya. Sebuah pendaftaran untuk masuk ke SD menjadi tujuan besar bagiku. Aku ingin bisa lebih maju dan mendapatkan pendidikan yag lebih baik lagi.
“Rey, katanya mau SD?” kak Fitri berusaha mengalihakan perhatianku, sehingga aku hanya meliha ke arahnya. “Siapa sih anak SD?”
“....aaae (baca: Rey),” jawabku sambil meletakkan telapak tangan tepat di depan dada. Dengan bangga kusebut diriku sebagai siswa SD.
“Makanya, anak SD yang hebat ayo belajar, biar makin hebat!”
Seketika aku tertegun dengan kata-kata kak Fitri. Sejenak aku berpikir bahwa aku akan menjadi anak yang jauh lebih hebat dengan belajar di SD, tetapi di sisi lain aku akan kehilangan teman-temanku yang selama ini sangat kusayangi. Hanyalah mereka, teman kelas khusus Rainbow, yang dapat menerima kekuranganku tanpa bergeming sedikitpun. Hanya mereka yang mengejakku untuk bermain. Hanya mereka pula yang mau berbagi makanan, minuman, dan menggandeng tanganku serta menggandeng tanganku untuk berlari bersama.
Apakah mungkin aku akan bertemu dengan teman-teman sebaik mereka saat aku di SD? Tiba-tiba saja aku tak ingin ke SD, bukan karena aku takut tak bisa mengikuti, tetapi aku takut kheilangan sosok teman-teman yang selama ini baik kepadaku.
“Rey, ayo,” Milo, salah satu temanku menggandeng tanganku dan mengajakku untuk duduk. Tanpa ragu dia menerima dan mengajakku untuk berjalan bersama. Bagaimana mungkin aku bisa berada jauh dari mereka. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasa sedih itu akan menyerang saat kudapati bukan mereka yang duduk di bangku sekolahku nantinya. Apakah tanganku akan sehangat tangan yang menggandengku kali ini. Walau kami belum sepenuhnya berada di tempat yang berbeda, bisa kubayangkan betapa rindunya aku akan kehadiran mereka. Hari-hariku akan menjadi sepi tanpanya. Smeua karena aku menyadari kami akan berpisah.
Jika perpisahan itu pasti ada, setidaknya aku ingin menghentikan waktu sejenak untuk memperlambat perpisahan itu. Dalam diam itu aku ingin mencurahkan semua ketakutan dan kekhawatiranku, sehingga hanya bahagia yang menyelimuti diriku. Akan kubangun sebuah memori indah bersama teman-teman terbaikku ini.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Nggak Ada Mereka, Nggak Asyik
*edisi kali ini, menceritakan kembali tentang Rey dan kehidupannya.
Aku duduk terpaku di bangku kelas yang sangat sepi. Tak seperti biasanya, taman kanak-kanak ini begitu sepi tanpa kehadiran sahabat-sahabatku. Mereka benar-benar kompak saat ini, membiarkanku belajar di sekolah seorang diri. Setiap sudut kelas terasa hampa tana kehadiran mereka.
Setelah berdoa di pagi hari, kak Fitri sudah bersiap di sampingku dengan membawa buku, majalah, dan kotak pensil punyaku. Sebagai seorang  pendamping, kak Fitri benar-benar orang yang setia mendampingiku. Tak sedetkpun dia melepaskan perhatiannya padaku, bahkan dia selalu duduk di sampingku. Dia selalu berusaha agar aku tidak kesulitan selama di skeolah.
Kak Fitri segera menduduki bangku kecil di samping bangkuku dan meletakkan buku di mejaku. Benar saja, aku harus belajar sekarang juga.
“Rey, ayo mulai belajar,” ajak kak Fitri lembut. “Rey mau ngerjakan mana dulu ?”
Kak Fitri menyodorkan buku tulis, buku gambar, dan majalah bergambar. Aku diminta menunjuk salah satunya untuk kukerjakan. Aku tak ingin mengerjakan apapun sekarang.
“...dididik (baca: kak Fitri),” kupanggil nama kak Fitri sambil kugeleng-gelengkan kepala.
“Rey, nggak boleh gitu,” kak Fitri memegang bahuku dan menatap mataku. “Rey belajar dulu ya.”
Aku membuang muka setiap kak Fitri berusaha mengajakku belajar. Kutatap bangku kosong yang ada di hadapanku yang biasa diduduki Milo dan Gerry, sahabat-sahabatku yang sedan ijin tidak masuk sekolah.
“”Eh, Rey kakak nyanyiin lagu pelangi ya,” kak Fitri terus berusaha membujukku. “Tapi Rey harus belajar dulu.”
Dengan berbagai cara dia mengajakku agar mau belajar. Aku tetap pada keinginanku. Aku tak tahan untuk terus duduk. Aku beranjak dari bangku dan berlarian di kelas. Untuk sesaat, kak Fitri membiarkanku berlarian, lalu dia datang menghampiriku untuk berbicara padaku.
“Apa sih Rey yang kamu lakukan itu?” guman kak Fitri saat melihatku melakukan beberapa gerakan. Nampaknya dia tak mengerti apa yang ingin kusampaikan. Harusnya dia bisa mengerti apa arti setiap gerakanku ini karena dia tahu kalau aku susah sekali untuk menyampaikan secara verbal. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya mengerti tetapi dia hanya diam saja. Aku menjadi kesal dan berlari menjauhinya adalah pilihan yang terbaik.
Nampaknya kak Fitri merasa kesal dengan apa yang kulakukan. Aku tahu aku tak menurut padanya dan tak mau belajar sama sekali. Aku membuatnya harus berlarian ke sana kemari mengikutiku. Aku benar-benar menyesal padanya. Rasa kesal karena dia tak kunjung mengerti juga membuatku kesal. Hal ini berarti kami impas.
Sebenarnya aku hanya inign menyampaikan bahwa aku merasa kesepian tanpa hadirnya sahabt-sahabtku di kelas. Aku hanya ingin berlarian untuk menghibur diriku dari semua rasa sepi yang sedang kursakan ini.
Hari itu berlalu begitu saja dengan rasa kesal yang ada pada diri kami masing-masing. Tiga hari kami lalui dengan pola yang sama. Aku tak mau belajar, berlarian di kelas, kemudian kak Fitri membujukku tetapi tak berhasil lalu dia kesal begitu pula denganku.
“...dididik, ilok, hairik (baca; kak Fitri, Milo, Gerry),” kata-kata ini selalu kuucapkan pada kak Fitri selama tiga hari ini.
“Ehmmm, Milo dan Gerry?”
Kuanggukan kepala mengiyakan pertanyaan kak Fitri.
“Milo lagi sakit, jadi gak masuk. Kalau Gerry lagi ijin ke luar kota.” Jawaban inilah yang selalu kuterima.
Hingga suatu pagi, aku datang sedikit terlambat. Kak Fitri sudh menyambutku di depan gerbang sekolah. Kami bersama-sama masuk kelas. Nampaknya kelas tak lagi sepi. Terdengar suara Milo dan Gerry yang sedang bernyanyi. Aku yakin aku tak salah mendengar suara mereka.
“Ilok...Hairik... (baca: Milo, Gerry)!” aku berteriak sekencangnya menyususri koridor menuju kelas.
Tak terbayangkan betapa bahagianya aku, kulihat wajah sahabat yang kurindukan sudah duduk di bangku mereka dengan senyum lebar. Aku kembali berantusias dalam belajar dan segera menyelesaikan semua tugasku, sehingga aku bisa bermain bersama mereka.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Secercah Cahaya
....Pernahkah kau merasa hidupmu hampa dan tanpa arah tujuan?....
Tumblr media
Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan menghadapi hari-hari kelabu. Bukan karena penderitaan. Semua kebutuhanku tercukupi. Aku tak kekurangan apapun kecuali satu hal, aku tak memiliki arah dan tujuan dalam hidupmu. Semua seakan terhenti saat usiaku 18 tahun. Setelah lulus SMA, aku tak tahu harus ke mana. Beruntung ada sebuah rumah makan memperkerjakanku sebagai pelayan. Kujalani kehidupanku sehari-hari sebagai di sana, sambil aku merenungkan hidupku selanjutnya.
Hari ini tak terlalu banyak pengunjung yang datang. Di satu sisi aku senang karena aku memiliki waktu yang cukup untuk istirahat, tetapi di sisi lain pendapatan menjadi berkurang. Saat seorang pengunjung datang, hal itu sangat melegakan.
“Selamat datang, mau pesan apa?” aku menyambut seorang pengunjung laki-laki yang datang seorang diri.
“Mbak, aku pesan kopi,” ujarnya sambil berlalu dan menempati meja yang berada di dekat jendela.
“Iya, kopi satu. Ditunggu ya mas.”
Seorang laki-laki muda yang tinggi dan berdiri tegap. Memakai kemeja putih dan celana coklat lengkap dengan sneaker putih. Dia duduk sambil melipat kaki kanan di atas kaki kirinya, memandang lepas ke arah luar. Kusajikan sebuah kopi di hadapannya, tetapi dia tak menyadari kehadiranku. Aku berlalu meninggalkannya.
“Mbak!” dia memanggilku.
“Iya?”
“Duduklah di sini,” jawabnya sambil menunjuk kursi kosong yang ada di hadapannya. “Aku tak terbiasa meminum kopi sendiri, bisa menemani saya sebentar?”
Seketika aku bingung. Dia orang asing, bagaimana aku bisa segera menerima permintaannya. Tetapi dia adalah pengunjungku. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, aku duduk di hadapannya.
“Mbak, beberapa waktu lalu saya pernah membeli spaghetti di sini.”
“Ah, ya spaghetti di sini adalah menu favorit kami,” aku menyela ceritanya dengan semangat.
“Apakah kau yang membuatnya?”
“...ehmm..iya,” kuturunkan intonasi suaraku.
“Aku sering ke tempat ini sejak SMA, tapi aku tak pernah memakan spaghetti seenak itu.”
“Ah maaf, saya masih baru di sini. Sepertinya pujian itu terlalu berlebihan untukku,” aku menundukkan wajah dan tak berani menatap wajahnya.
“Angkatlah wajahmu itu dan lihat ke sini.” Perlahan kuangkat wajahku walau rasa malu begitu menyelimuti diriku. Aku tak pernah merasa percaya diri apalagi menerima pujian semacam itu.
“Ku rasa kau berbakat,” ujarnya santai sambil menyeduh kopinya. “Kayaknya kau cocok jadi seorang chef.”
Mendengar kata-katanya seolah waktu terhenti dan aku tersihir. Aku merasa baru saja mendapat secercah cahaya yang menyelinap. Menghapus perlahan awan kelabu yang terus membendung pikiranku. Walau itu komentar sederhana baginya, bagiku itu adalah hal yang berharga. Sekali lagi aku berkesempatan untuk memiliki harapan dalam hidup ini.
Seketika tersirat dalam pikiranku “Yah, aku akan menjadi seorang chef.”
Walau aku tak mengenal laki-laki itu, aku merasa sangat berterima kasih padanya karena melalui dirinya aku memiliki gairah baru dalam hidup dan harapan.
Laki-laki itu meneguk kopinya sampai habis, lalu beranjak dan meninggalkan dua lembar uang di meja. Dia pergi tanpa kata dan dia melambaikan tangannya padaku. Yang kulihat saat itu seorang melaikat yang sedang berjalan memecah sinar matahari dan memberikan sedikit sinar itu untukku.
Kalimat terakhir darinya itu adalah perpisahan bagi kami, tetapi bagiku hal itu adalah awal dari hidupku yang baru.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Reminiscent (Part 2)
.....tetaplah fokus pada tujuan semula, mencoba mencari jalan untuk menemukan solusi dari permasalahanku saat ini. Mungkin ini salah satunya......
Kamis, pkl.13.00
               Ponselku terus berdering, banyak sekali pesan sekali pesan singkat yang masuk. Lebih dari tiga pesan masuk dari L-A-L-A. Orang ini selalu memastikan aku datang tepat waktu, karena kalau aku telat dia tidak diperbolehkan mengikuti praktikum, dan hal yang paling buruk dia tidak akan mendapatkan nilai praktikum apapun. Lama-lama orang ini menjadi menyebalkan. Siang itu aku lagi enak-enaknya makan siang bareng teman-temanku lainnya. Dia terus membuatku frustasi untuk berlama-lama mengobrol santai dengan teman-temanku dan segera beranjak menemuinya. Setelah dengan perjuang untuk tepat waktu untuk sampai di gedung perkuliahannya, kegiatan praktikum itupun tidak segera dimulai dan si Lala itu tidak juga muncul. Aku duduk di sebuah tempat duduk depan lift lantai empat sesuai dengan tempat perjanjian kita. Sebelumnya aku belum pernah bertemu ataupun kenal dengan Lala ini. Sehingga untuk bertemu, kami saling mengirim pesan singkat tentang ciri-ciri pakaian yang aku kenakan dan posisi dudukku saat itu. Sambil menunggunya, aku membaca buku non-fiksi yang mengangkat tentang fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Memang aku sangat tertarik dengan bahasan sosial, mungkin selama ini aku salah jurusan dengan memasuki jurusan teknik, tapi apa mau dikata apa aku harus kembali dan mengulang, padahal aku sudah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk belajar di jurursan teknik ini. Karena asyiknya membaca, aku tak menyadari kehadiran seorang perempuan yang ada di depanku, kemudian dia memperkenalkan diri. “Namaku Lala” sambil menjulurkan tangannya. Dari segi penampilan dia sangat sederhana atau lebih tepatnya tidak se-stylish yang kubayangkan sebagai anak jurusan sosial. Dia juga tidak terlalu cantik dibandingkan dengan beberapa mahasiswi lain yang ber-seliweran di sekitarku untuk beberapa menit tadi. Hanya saja saat aku melihatnya, seakan waktu berhenti untuk beberapa detik dan aku menatapnya tanpa berkedip. Awalnya aku kecewa bahwa dia tidak secantik yang kukira, tapi cukup terobati dengan sikapnya yang polos dan sangat ramah kepada orang. Aku jadi teringat kata-kata Rara:
“Kak, jangan tertipu sama kecantikan wanita. Semua itu topeng. Mungkin saja yang kakak kira itu buruk, tetapi dialah wanita yang cantik sesungguhnya. Dia cantik dengan kesederhanaannya dan kebaikan hatinya”.
Entah dari mana anak sekecil itu bisa mendapatkan kalimat yang sangat bijaksana.
               Kemudian Lala mengajakku berbincang-bincang dan sesekali meninggalkanku untuk berbicara dengan temannya yang lain. Saat dia bertanya tentang SMA-ku yang dulu, dia mengenalkanku kepada salah seorang temannya yang juga satu SMA denganku, tapi juniorku. Lebih tepatnya secara angkatan kuliah, baik Lala ataupun temannya ini adalah juniorku satu tingkat di bawahku. “Perkenalkan ini, Renata. Renata ini mas Risky, satu SMA denganmu.” kemudia kami berbincang-bincang. Sungguh menakjubkan. Renata layaknya bidadari yang turun dari surga. Parasnya begitu cantik, kulitnya putih, apalagi kalau tersenyum dia terlihat begitu menawan. Lala pun pergi meninggalkan kami berdua untuk berbincang-bincang.
               Itulah pertemuanku dengan dua orang bersahabat yang akan menjadi sebuah cerita tersendiri dalam hidupku.
---------------------O--------------------
“Riskiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii. Banguuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnnnnnnn”
Seperti itulah teriakan mama tiap pagi yang sudah menjadi biasa. Aku memang paling susah buat bangun pagi. Entah mengapa pada malam hari mata ini susah sekali untuk terpejam dan saat pagi hari susah sekali untuk terbuka. Sayangnya, saat pagi hari, bukan mama yang berhasil membangunkanku, tetapi Rara. Ada-ada saja caranya dia memabngunkanku, mulai menggoda dengan aroma makanan kesukaanku, memainkan games di sebelahku, ataupun mencorat-coret wajahku dengan lipstick kak Galdys yang sontak membuat kak Galdys marah besar karena lipstick-nya menjadi rusak dan memukuliku hingga aku terbangun. Untuk urusan ini, Rara memang jenius. Rara paling suka mengajakku jogging di pagi hari. Aku sangat terkesan padanya, seorang gadis kecil yang sangat optimis dalam hidupnya. Sejak kecil dia menderita lemah jantung dan dia sering sekali dirawat di rumah sakit karena sakitnya ini. Dia anak yang pintar dan baik hati, tapi tak begitu sehat. Dia tidak bisa bermain kemanapun sesuka hatinya. Mama selalu melarangnya beraktivitas yang berat, salah satunya mendaki. Dia suka sekali memandangi foto-foto pendakianku saat aku tak di rumah dan segera berlari meninggalkan kamarku saat dia mendengarkan motorku tiba di rumah. Dia selalu ingin pergi denganku tapi aku malas mengajaknya, karena akan menyusahkan saja. Jawaban seperti itu mempan mebuatnya menangis kecil.
               Pagi itu mama dan papa tak ada di rumah. Rara memberikanku selembar kertas yang berisi pesan dari mama papa, yang intinya mereka pergi ke luar kota selama seminggu dan menitipkan adik-adik kepadaku. Lalu apa guna kak Galdys sebagai kakak tertua?! Oiya, aku lupa kak Galdys sedang mengiikuti touring kerja bersama teman-teman kerjanya. Alhasil aku tinggal berlima dengan Angga, Rara, Bi Surti (pembantu di rumah kami) dan Pak Warto (supir di rumah kami). Oke, selama seminggu aku tidak bisa main kemanapun. Rara yang baik hati, pagi itu sudah menyiapkan roti sebagai sarapan. Sedangkan Angga sudah pergi ke kampus untuk meneliti serangga barunya. Heran banget deh, kenapa Rara baik banget ya pagi ini. Eh ternyata dia libur sekolah dan memintaku mengijinkannya ikut denganku. Tiada pilihan lain selain mengiyakan kemauannya.
               Nampaknya Rara sangat bergembira bisa pergi ke kampusku. Maklumlah dia masih kecil dan belum pernah tahu apa itu kampus. Mungkin kalau dia tahu kampus itu apa mungkin dia akan mengurungkan niatnya untuk menjadi mahasiswa, apalagi seperti aku mahasiswa tingkat akhir yang terus dihantui dosen. Tapi apa aku harus membawa Rara ke kampus juga ya. Aku kan jadi malu membawa anak kecil ke kampus. Tapi kalau dilihat-lihat Rara tidak terlalu nampak seperti anak kecil, dia tinggi dan jauh lebih dewasa dari anak seumurannya. Yang membuatku geli, Rara berdandan layaknya anak kuliahan. Baiklah aku akan membawa serta dirinya ke kampus bersamaku.
               Masih ingat dengan Lala kan. Hari ini dia menghubungiku karena ingin menyampaikan hasil tes psikologiku. Tepat sekali, aku bisa menitipkan pada Rara pada Lala. Tapi apa Lala mau ya. Hehehehe. Setibanya di kampus, teman-temanku langsung menyorakiku. Mereka kira Rara ini pacar baruku, setelah sekian menjomblo dan dicampakkan Angel, mantanku semasa SMA. Tiada yang percaya dengan Rara sebagai adikku dan mengataiku dengan istilah “pedofil”. Tentunya aku tahu teman-temanku hanya bercanda. Di sisi lain, Rara justru menanggapi sorakan temanku itu dengan bercanda dan seolah-olah memposisikan diri seperti pacarku. Seketika pula satu ruangan menjadi tertawa dibuatnya. Hal hebat lagi yang kukagumi dari adikku ini, mudah sekali bergaul dengan orang lain.
               Tepat pukul 14.00 waktunya aku bertemu dengan Lala. Awalnya aku ingin menitipkan Rara pada teman-temanku, tapi mengingat teman-temanku cukup buas terhadap wanita, bisa-bisa adikku ini pulang menangis digangguin. Yah, Rara kuajak menemui Lala di depan perpustakaan. Sebenarnya aku tak ingin didengarkan oleh Rara apa yang sedang kuperbincangkan dengan Lala, tapi bagaimana caranya. Sudahlah dipikir sambil jalan aja. Lala cukup lama menungguku di sana. Aku jadi tak enak hati kepada Lala, karena harus muter-muter dulu menuruti kemauan Rara mencari es krim favoritnya. Kukenalkan Rara kepada Lala. Tak kusangka Lala dapat cepat membaur dengan Rara dan mengerti kondisiku. Dengan bantuan Lala, aku dapat berkonsultasi dengannya tanpa ada gangguan dari Rara. Caranya unik. Yaitu membiarkan Rara bermain games di laptop dengan kenalan Lala yang tidak sengaja bertemu di perpustakaan. Aku pun merasa lega untuk beberapa waktu berkonsentrasi mendengarkan penjelasan Lala. Selama Lala menjelaskan hasil tesnya, aku sangat kagum dengan bahasa penyampaiannya yang sangat tertata dan mengena. Dia berusaha profesional dan menjelaskan seobjektif mungkin. Dengan bahasa-bahasa yang baik nampak bahwa dia orang yang pintar. Aku pun sharing dengannya tentang kehidupan perkuliahanku yang benar-benar membosankan. Jawaban yang diberikannya sangatlah mengena, tidak menghakimi, tetapi sangat menginspirasi. Seketika aku sangat mengaguminya dalam menganalisa masalah dan kecerdasannya dalam menilai suatu hal. Ditambah lagi dia memiliki empati yang baik, saat aku menyampaikan keluh kesahku. Aku semakin ingin terus berbagi dengannya, bertukar pikiran tentang dunia sosial. Nampaknya dia memiliki wawasan yang luas tentang dunia sosial dan sangat terbuka untuk sebuah diskusi. Perbincangan kami pun berlanjut pada dunia maya. Kami sering berbincang-bincang melalui media sosial. Tidak hanya aku, sejak pertemuan itu Rara merasa tertarik dengan kepandaian Lala. Rara pun sering menghubungi Lala tanpa sepengetahuanku.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Reminiscent (Part 1)
*untuk edisi kali ini, saya berusaha keluar dari cerita yang biasa hadirkan mengenai kehidupan anak TK. Hanya untuk beberapa hari saja. Terimakasih.
...kala hidup dihadapkan dalam sebuah pilihan....Cinta ataukah Kenangan?...
Kenalin namaku Risky. Aku lahir 22 tahun lalu tepatnya tanggal 20 April. Aku lahir sebagai anak kedua dari 4 bersaudara. Mama orang Jawa asli, yang selalu menceramahi tentang tata krama, kesopanan dan unggah ungguh dalam adat Jawa. Sedangkan Papa keturunan Sulawesi yang berjiwa pemberani dan penentang dunia. Tiap harinya kedua orang ini selalu mempeributkan hal-hal kecil dalam pengasuhan anaknya. Yah, kami hanya sebagai penonton duduk menengadahkan tangan bertopang dagu, secara kompak menggeleng-gelengkan kepala. Kakaku seorang wanita yang gila akan fashion, Kak Galdys. Aku sampai heran sendiri, tiap hari dia nongkrong di depan televisi menonton tayangan fashion yang up to date dan sering kali mencoba memadupadankan berbagai pakaiannya dengan style-nya sendiri, yang kebanyakan gagal alias gak banget. Belum lagi adik laki-lakiku, Angga, yang gila banget sama eksperimen. Sering kali dia berjalan-jalan ke ladang dekat rumah dan menangkap kupu-kupu ataupun serangga lainnya, yang kemudian diteliti bagaimana struktur tubuhnya hingga mencobakan berbagai eksperimen untuk serangga itu. Rancangannya sih emang keren banget tapi hanya sedikit yang berhasil, kebanyakan gagal. Kamarnya yang kecil menjadi saksi berbagai eksperimennya dengan disaksikan berbagai poster ilmuwan ternama semacam Thomas Alfa Edison yang sangat dikaguminya. Sudah kayak laboratorium kecil aja tuh kamarnya. Yang paling bungsu, Rara seorang gadis cantik, manis, dan pengertian. Dia selalu terobsesi menjadi seorang gadis dewasa dan selalu bertentangan dengan kak Galdys yang dianggapnya terlalu kekanak-kanakan. Rara ini pinter banget masak. Dia jarang main ke tempat jauh dan banyak menghabiskan waktu di rumah untuk belajar, menonton berita, ataupun memasak. Dari beberapa saudaraku ini, aku paling dekat dengan Rara. Selain dia baik hati dan pengertian sekali kepadaku, karena sering membuatkanku kue, dia juga asyik untuk diajak main game atau palay station. Ah, untuk adik laki-lakiku memang tidak dapat diandalkan untuk bermain games, apalagi kalau untuk bermain sepakbola dia selalu kalah. Ibu kami, setiap dua tahun sekali melahirkan seorang bayi, maka kami berjarak usia 2 tahun. Kecuali yang paling bungsu, saat usiaku 12 tahun dia terlahir di dunia ini. Kami sangat menyayangi si bungsu yang menggemaskan itu. Sedangkan  tiga bersaudara yang tua ini selalu saja ribut akan hal-hal sepele, misalkan pembagian makanan. Di saat yang seperti itu, justru Rara yang paling dewasa dalam menyikapi pertikaian itu. Itulah keluarga kecilku.
Saat ini, aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di kota Malang sebagai mahasiswa teknik tingkat akhir. Spesifikasinya teknik elektro. Sebenarnya tak ada minat sedikitpun pada bidang ini, tapi entah mengapa aku menjalaninya selama empat tahun ini. Hingga detik ini aku harus dikejar dengan tugas akhir. Seolah-olah materi yang telah kudapatkan selama ini lenyap entah kemana. “...Risky, segera menyusun tugas akhir kamu. Sadarlah kau sudah cukup tua di kampus ini. tak inginkah kau segera menanggalkan status mahasiswamu?...” Begitulah kata-kata dosen pembimbing akademikku yang selalu terngiang-ngiang dalam telingaku. Baik di kampus, di warung makan, bahkan di toilet, sepertinya beliau selalu hadir dengan kalimat-kalimat itu. 
“Oh tidaaaaaaaaaakkkkkkkk......” Aku hampir gila dibuatnya. Nampaknya passion ku hanya pada satu hal, yaitu bermain games. Dalam sehari aku bisa betah berjam-jam menatap layar komputer dan menggerakkan jemariku pada stick games. Permainan yang paling asyik untuk ditaklukkan adalah permainan strategi dan pemecahan masalah. Bahkan sampai tidur aku akan terus memikirkan apa jawaban dari teka-teki dalam permainan itu. Saat aku berhasil memecahkannya, sebuah selebrasipun layak kudapatkan. Salah satu selebrasi yang paling sering kulakukan adalah menjelajahi alam dan mendaki gunung. Sebuah kebanggaan yang luar biasa bagi diriku adalah saat aku berhasil mencapai puncak tertinggi di pulau Jawa, yaitu puncak Mahameru di Gunung Semeru. Perjalanan itu kulakukan setahun yang lalu bersama teman-teman sesama jurusan. Saat itu kami sedang suntuk mengerjakan tugas akhir praktikum dan salah satu temanku berinisiatif untuk mengajak mendaki gunung Semeru. Alhasil, sebuah refreshing yang baik untuk menstimulasi dalam pengerjaan tugas akhir. Yah, tahun itu aku lulus dalam mata kuliahku dan bisa melanjutkan ke semester padat selanjutnya. Berbagai foto kenangan saat mendaki kukumpulkan dalam satu album. Mulai dari gunung Bromo, Ijen, Lawu, dan lain sebagainya yang ada di Jawa Timur. Ada impianku yang belum tercapai yaitu bisa mendaki ke puncak tertinggi di Indonesia, Jaya Wijaya. Sejak akhir semester tahun lalu, hidupku tak terlalu baik. Aku kehilagan minat yang besar dalam kuliah. Selain karena mendapat dosen yang super duper killer, beberapa teman sekelompokku yang dulu tidak mengambil mata kuliah yang sama. Aku benar-benar kesulitan dalam tahun belakangan ini.
Suatu hari ponselku berdering, nampak Fahad, salah satu sahabatku di kampus mengirimkan sebuah pesan singkat.
“...Risky, loe kosong gak kamis depan?”.
“...Kayaknya kosong. kenapa emang?”, jawabku.
“Loe bisa kagak ikut tes psikologi. Ada anak jurusan psikologi cari orang buat dites. Gue ditawarin sih, tapi gak bisa pas jam itu.” Jelas Fahad.
“Kapan bro?” tanyaku.
“Kamis depan jam 1 siang bro.” ungkap Fahad.
“Oke, bro. Aku bisa.”
Emang sih, semester ini gak sepadat semester sebelumnya. Mungkin tawaran ini salah satu cara yang bagus untuk mengatasi permasalahanku saat ini. Sekalipun itu hanya tes yang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang praktikum, tapi tak apalah bisa buat batu loncatan. Sesaat Fahad meninggalkan percakapan denganku, ada pesan masuk dari mahasiswi psikologi yang memintaku untuk menjadi partisipan tes. Saat kubaca pesan singkatnya, orang ini benar-benar formal dan menggunakan bahasa yang baku. Layaknya sebuah surat pemberitahuan resmi dari perusahaan-perusahaan yang menawarkan produknya, begitulah bahasa yang digunakannya.
Esok harinya, salah seorang kenalanku, Siska, yang juga mahasiswi psikologi datang ke laboratorium elektro tempat biasa kami nongkrong. Dia menawarkan padaku untuk menjadi partisipan temannya yang akan melakukan praktikum tes psikologi. Nah, aku kan sudah menyetujui penawaran seseorang sebelumnya. Setelah dikonfirmasi ulang oleh Siska, ternyata temannya ini adalah orang yang sama dengan orang yang telah melobiku sebelumnya, namanya Lala. Ternyata repot juga ya menjadi mahasiswa psikologi, istilahnya mencari pasien. Hehehe. Lala ini pada awalnya sangat formal, tetapi lama kelamaan dia mulai mencoba menjadi akrab dan memanggilku mas Risky. Lucu juga nih anak. Penasaran juga orang ini kayak gimana. Eh, ada yang bilang kalau anak-anak cewek di jurusan sosial itu cantik-cantik. Lumayan lah buat cuci mata kalau ikut tes ini. Ehm tetaplah fokus pada tujuan semula, mencoba mencari jalan untuk menemukan solusi dari permasalahanku saat ini. Mungkin ini salah satunya.
[bersambung]
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
21 Burung Kecil Untuk Mama
Hari-hari kulalui seperti biasanya. Bagi seorang anak TK seperti diriku ini banyak hal yang tidak boleh dilakukan, semisal pergi ke rumah teman atau bermain di taman hiburan sendiri. Aku membutuhkan orang dewasa untuk mendampingi. Terlebih lagi aku terlahir dengan kondisi yang tidak biasa. Ingin sekali aku berjalan-jalan ke pertokoan, tetapi mama selalu sibuk sehingga tak bisa menemaniku.
Hari itu mama harus dinas di luar kota selama seminggu, sedangkan papa sedang di tugaskan di luar pulau. Alhasil aku hanya bersama mbak yang membantu di rumah. Rasanya membosankan, karena mbak tidak terlalu asyik diajak bermain. Sebelum mama berangkat ke luar kota, tiba-tiba kejutan datang.
“Taaaaa raaaaaaaa,” suara yang sepertinya tidak asing bagiku.
Aku segera beranjak dari kamar tidur dan menuju pintu kamar. Ternyata ada seseorang yang sepagi ini menjadi solusi atas kegundahanku.
“....dididik (baca: kak Fitri).” Aku menyambut kak Fitri yang berdiri di belik pintu dengan sangat bahagia. Kupeluk tubuhnya yang hangat dan tak lupa kusunggingkan senyuman terindah untuknya.
“Rey, selama mama ke luar kota, kak Fitri akan menginap di sini menemanimu.”
Mama berlutut di hadapanku sambil memberikan banyak wejangan apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Kemudian mama berpamitan denganku. Kuantar mama sampai pintu gerbang. Di sana sudah ada bapak sopir dan mobil yang siap menjemput mama.
“.....siiiiiik (baca: asyik),” seruku sambil berlarian di ruang tengah.
Aku tak menyangka bahwa kak Fitri akan menginap di rumahku selama satu minggu. Tiba-tiba muncul banyak keinginan dan rencana yang akan kulakukan bersama kak Fitri.
Setiap harinya, kak Fitri tidur bersamaku, tak luoa sebelumnya dia membacakan buku cerita untukku. Kemudian bersekolah bersamanya. Bermain dan menonton film favoritku bersamanya. Ini sangat mengasyikkan.
Di hari kedua kak Fitri menginap, tak sengaja ada album foto terjatuh. Kak Fitri berusaha memungutnya. Tetapi ada sebuah foto ukuran 4R terjatuh. Tampak di sana ada Rey beserta mama dan papanya berada di sebuah pantai. Rey nampak masih sangat kecil, mungkin usia 2 tahun. Kemudian ada tulisan di baliknya.
Bali, 21 Mei 2013 --- Papa – Rey – Mama ---- Happy Birthday Mama
“Oh, mamanya Rey berulang tahun tanggal 21 Mei ya,” kak Fitri berguman dengan lirih. “Coba kulihat kalender.... 21 Mei bentar lagi donk, ehmmm 2 minggu lagi.”
Kak Fitri segera memberitahuku. Ingin rasanya aku memberikan hadiah untuk mama. Tapi aku tak tahu apa itu. Seolah ada peri yang datang, kak Fitri menawarkan ide yang cemerlang untuk hadiah mama. Kak Fitri membisikannya padaku lirih. Aku tersenyum dan setuju dengan idenya itu.
Keesokan harinya saat di sekolah, kak Fitri membawakanku kertas lipat yang banyak dan warna-warni. Saat jam istirahat, kak Fitri mengajariku membuat burung kecil dari kertas lipat. Memang tidak mudah, tapi aku akan berusaha membuatnya walau hasilnya tidak rapi. Kak Fitri membantuku membuat burung kecil yang banyak. Di hari selanjutnya kami membuat lagi, bahkan saat di rumah. Ternyata kami berhasil membuat sebanyak 30 burung kecil. Tepat saat mama pulang dari perjalanan dinasnya. Semua karya origami atau seni melipat itu kami letakkan di sekolah agar tidak ketahuan mama.
Aku sudah tidak sabar menantikan tanggal 21 mei yang kurang 4 hari lagi. Aku menengok tempat persembunyian origami yang sudah kami buat. Di luar dugaan, ada musibah terjadi.
“....dididik, uluk, ilak (baca: kak Fitri, burung, hilang),” aku berteriak sekencangnya agar kak Fitri mendengarkan suaraku yang saat itu berada di kelas.
“Ada apa Rey?” kak Fitri datang dengan sempoyongan.
Aku langsung menunjuk ke kotak tempat menyimpan origami itu.
“Ya ampun, kemana semua origaminya ya Rey,” wajah kaget dn kebingungan nampak dari kak Fitri. Dia berusaha mencari di setiap sudut sekolah, mungkin saja masih ada yang tersisa.
Miris sekali, banyak origami yang ditemukan sudah tidak selamat. Ada yang robek, kucel, kotor seperti diinjak, bahkan dicorat-coret. Hanya ada 5 origami yang utuh.
Seketika aku menjadi sedih dan duduk terdiam saja di bangkuku. Lalu kak Fitri datang menghiburku.
“Rey, nggak usah kuatir, kan ada kak Fitri,” ujarnya dengan tenang. “Kakak akan membuatkannya lagi. Jadi saat ulang tahun mama, semuanya sudah siap.”
Aku menjadi tenang mendengar ucapan kak Fitri. Di sisi lain kak Fitri berusaha keras melengkapi kekurangan origami burung kecil.
Hingga tepat di hari ulang tahun mama, kak Fitri menghubungi mama untuk menjemputku.
“Mama, maaf kalau hari ini saya tidak bisa mengantar Rey pulang. Apa mama bisa menjemput Rey di TK?”
“Oh, iya mbak. Nanti saya akan jemput Rey. Tapi mungkin agak telat sedikit.”
Mama berhasil dibujuk untuk datang ke sekolah. Kemudian kami menyiapkan yang lainnya. Kak Fitri membeli kue tart kecil dan membawakan origami burung kecil yang berjumlah 21.
“Rey, burung kecilnya sekarang ada 21, persis seperti tanggal ulang tahun mama,” ujar kak Fitri. Walau sempat ada musibah hilangnya origami yang kami buat sebelumnya, aku bersyukur rencana kami masih tetap bisa diusahakan.
Waktu terus berlalu, hingga saatnya bel tanda pulang berbunyi. Aku sudah tak sabar menanti kedatangan mama. Tepat seperti kata mama, beliau terlambat menjemput, tetapi tak masalah yang penting mama datang.
Kulihat ada sepeda motor mirip seperti mama berada di tempata parkir. Segera aku panggil kak Fitri.
“Mamamak (baca: mama).”
Kak Fitri sudah bersiap di depan pintu kelas. Kami sengaja menutup pintu kelas agar mama merasa terkejut. Tentunya kami sudah meminta ijin bu guru, justru bu guru sangat mendukung dan membantu rencana kejutan kami.
Sesuai rencana, mama membuka pintu dan aku sudah siap menyambut mama dengan 21 burung kecil yang ditali menjadi satu membentuk lingkarang yang besar. DI sampingku ada kak Fitri yang membawakan kue tart sambil bernyanyi.
“Selamat ulang tahun....”
Rasa haru tak bisa terelakkan dari ekspresi yang ditunjukkan mama. Hal ini menandakan renacana kejutanku berhasil. Mama menangis haru lalu memeluk dan menciumku.
“Terimakasih, Rey sayang.” 
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Cerita Tentang Dia (Yang Tersembunyi di Balik Bayangan)
*Cerita kali ini merupakan edisi khusus dan tidak terkait sama sekali dengan cerita-cerita sebelumnya (day 1-19)
PROLOG
Sepasang kaki kecil terdengar menapakkan kakinya perlahan-lahan, melewati setiap lorong ruangan. Diiringi tawa kecilnya dan bersemangat berlari menuju sebuah bilik yang ada di ujung lorong. Sepanjang jalan, telah ramai dengan orang yang memasang dekorasi, membawa makanan dan banyak orang datang silih berganti. Si kecil ini terus berlari hingga ia menemukan ruangan yang dimaksud. Dilihatnya banyak sekali pakaian yang digantung pada penggantung. Gaun-gaun yang sangat indah, bak putri raja pada dongeng. Dilihatnya seorang wanita muda sedang memiih-milih gaun sambil sesekali melekatkan gaun itu pada tubuhnya.
Pada sebuah cermin besar terpantulkan sinar kecantikan parasnya yang elok, begitu bersahaja dan menenangkan hati saat melihatnya. Begitu wanita muda ini melekatkan gaun pada tubuhnya, semakin lengkap kecantikan yang dianugerahkan Tuhan padanya. Begitu asyiknya memuji keindahan Tuhan yang terpantul menuju mata indahnya itu, sang anak kecil segera meraih tangan wanita muda itu dan dengan semangat ia berkata, “Dia sudah datang kak! Dia sudah datang! Ayo cepat kak.” Senyum anak kecil itu mengisyaratkan ada kebahagian yang datang menjemput wanita muda itu sesaat lagi.
Dengan begitu heran dan kebingungan atas apa yang terjadi, wanita muda itu berlari mengikuti sang anak kecil dan entah darimana datangnya, ada dua wanita paruh baya menggandeng tangan wanita muda itu di sebelah kiri dan kanan dan berjalan menyusuri jaan lorong yang panjang. Wanita muda terus berjalan melihat sekelilingnya, melihat dalam pada kedua wanita paruh baya itu dan melihat pada dirinya, tanpa disadarinya dia menjelma menjadi seorang wanita anggun dengan pakaian kebaya lengkap dengan riasannya. Hanya kebingungan dan tanda tanya besar yang menyelimuti dirinya.
Tibalah wanita muda ini di sebuah ruangan besar yang berhiaskan berbagai macam bunga. Tiap dinding dibalut kain emas dan merah yang menjuntai dari atap sampai lantai. Tiap kain itu bertemu satu sama lain dan mementuk rangkaian bunga besar dan di tengahnya terdapat lampu kristal yang begitu megah. Tepat dibawah lampu itu, kedua wanita paruh baya itu memintanya duduk di atas permadani yang sangat besar dan idah bernuansa merah dan emas. Tepat di depannya terdapat sebuah tirai putih berbordir bunga yang tak terlalu tebal, sehingga dapat meliat bayangan apa saja yang ada di balik tirai tersebut. Nampak banyak orang yang sedang duduk dan seperti akan melakukan suatu hal yang penting pada hari itu. Ada bebrapa orang yang sesekali berjalan berbolak-balik dan melaporkan sesuatu pada orang ang sedang duduk di sana. Wanita muda itu membisu dengan banyak pertanyaan yang ada di benaknya dan hanya melihat sekitarnya.
Sesaat kemudian, ibu dan ayah wanita muda itu datang. Sang ibu duduk di samping sang wanita muda dan ayahnya berjalan menuju balik tirai. Rasa penasaran dalam hati wanita muda itu berubah menjadi kekhawatiran saat meliat keda orang tuanya itu. Seakan mengerti rasa yang berkecamuk dalam hati wanita muda itu, sang ibu meraih tangan kanannya dan menggenggamnya. Dengan senyu tipis, seolah sang ibu berkata kepada wanita muda itu, ‘tak peru khawatir, semua akan baik-baik saja’.
Nampak siluet di balik tirai beberapa laki-laki berjas hitam duduk di permadani dan saling menghadap meja kecil, termasuk ayah wanita muda itu. Seketika suasana ruangan itu menjadi hening dan seakan semua orang menghentikan seluruh aktivitas mereka dan semua perhatian tertuju pada apa yang dilakukan oleh mereka di balik tirai. Sesat kemudian terdengar suara sang ayah,
“Saya nikakan dan kawinkan saudara dengan anaksaya yan bernama Sabrina Putri Wibawa binti Ahmad Soebardi dengan mas kawin alat sholat dan emas antam seberat 10 gram dibayar tunai.”
Setelah itu terdengar suara laki-laki yang nampaknya masih muda dengan tegas dan lantang,
“Saya terima nikah dan kawinnya Dian Larasati dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Hanya dengan sekali nafas. Lalu seorang laki-laki paruh baya lain bertanya kepada hadirin yang datang ada di balik tirai itu,
“Bagaimana saksi, SAH?”
Sontak wanita muda itu berdiri dan berteriak dengan lantang, “T-I-D-A-K   S-A-H !”
Seketika suasana menjadi hening, semua orang berdiri dan memusatkan perhatian pada wanita muda itu.
Sesaat, pandangan wanita muda itu menjadi senyap dan kelabu, kemudian datang sebuah sinar yang menyadarkan dirinya bahwa wanita muda adalah diriku
sendiri, Sabrina seorang gadis muda berusia 18 tahun, dan orang yang duduk di sebelahnya adalah ibunya serta orang yang berjabat tangan di balik tirai itu adlaah ayahnya. Seakan ada petir menyambar setelah sinar itu datang, hatinya lalu memberontak dan tak dapat menerima semua ini.
“YA TIDAK SAH. Aku tidak bisa menerima semua ini. Ini tidak sah karena aku sendiri tidak tahu kalau aku akan dinikahkan dengan laki-laki itu,” ucap Sabrina dengan lantang dan sambil menahan isak tangis.
Dia menatap mata ibunya dan hampir tumpah air mata yang tertahan ini, “Kedua orang tuaku telah menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Bahkan apa yang terjadi hari ini aku sama sekali tidak diberi tahu. Ini benar-benar tidak adil dan apa yang kalian akadkan ini, semua tidak sah!!!!!”
Seketika dia berlari meninggalkan tempat dimana dia berpijak saat itu. Tak kuasa dia menahan semua air mata ini. Seolah semua tanda tanyanya terjawab dengan kekecewaan. Dia berlari menjauh keluar ruangan tanpa melihat apapun yang ada di sekitarnya, karena yang dia tahu, dia tak bisa berada di sana. Satu per satu air matanya menetes setiap jalan yang dilewatinya.
Entah bagaimana dan darimana, ada seorang laki-laki tinggi, gagah, berbahu lebar dan berdiri tegap tepat di hadapan Sabrina seolah menutup jalan dan memintanya untuk menghentikan langkah. Laki-laki itu adalah laki-laki yang sama dengan orang yang berjabat tangan dengan ayah Sabrina dan mengucapkan ijab kabul di balik tirai sesaat yang lalu. Tanpa kata dia hanya diam dan berdiri di depannya. Sabrina yang dikuasai emosi, saat melihatnya seakan ingin meluapkan semua kemarahan dan rasa berontak ini padanya.
“Ini gak adil. Aku tak tahu apa-apa dan tiba-tiba semua itu terjadi. Apa mereka menjodohkanku dneganmu hanya karena hartamu, sehingga mereka tak ingin aku tahu, karenajika itu benar aku pasti menolaknya.”
Laki-laki itu begitu tenang dan hanya melemparkan senyuman.
Seakan semua pemberontakan ini tak berarti apa-apa. Sabrina mulai menurunkan nada bicaranya dan menangis sejadi-jadinya di hadapan laki-laki itu.
“Bukannya aku tak mau, tapi aku belum siap. Kau tahu kan, aku masih berusia 18 tahun dan aku belum siap untuk hamil dan memiliki anak sesudah ini. Apalagi menjadi seorang ibu, tak pernah terbayangkan olehku untuk saat ini,” keluh Sabrina.
Laki-laki itu menghampiri dan memeluk Sabrina dengan lembut. Bahunya yang lebar itu seolah mampu menampung semua kesedihan Sabrina. Dalam dekapannya Sabrina menumpahkan segala apa yang dirasakan dalam tangis.
Dia berbisik, “Tenanglah, aku akan selalu menunggumu hingga kamu siap.”
Apa yang dia ucapkan begitu menentramkan hati dan perlahan menghapus kesedihan yang dirasakan oleh Sabrina.
Sosok laki-laki itu begitu misterius, bahkan Sabrina sama sekali tak mengingat wajahnya. Hanya bahunya yang lebar, dekapan dan pelukannya, serta ucapannya yang menenangkan itulah yang selalu diingat oleh Sabrina.
----- 0 -----
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Jika Aku Berusia 18 Tahun [Part 2]
Lanjutan dari [part 1]
“Kak Fabian!” seru seorang temanku dengan lantang sehingga memecah awang-awangku yang sesaat membuatku lupa bahwa aku sedang berada di lapangan sekolah, taman kanak-kanak tempatku belajar. Tanganku masih menarik kemeja putih kakak laki-laki berkacamata yang ada di hadapanku.
“Oh, namanya kak Fabian,” gumanku di dalam hati.
Orang yang berbicara lembut dan memiliki sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang yang bernah kutemui. Orang yang membuatku tersadar bahwa masih ada orang yang mau menerima kekuranganku dan sama sekali tidak mengejekku. Yaitu kak Fabian.
Melihatnya merangkul siswa-siswa taman kanak-kanak, bernyanyi dan bermain bersama kami semua, membuat anganku melambung  tinggi. Aku ingin menjadi kakak sebaik kak Fabian. Seakan tubuh ini ditarik dalam dimenasi yang berbeda, kuterbangkan pikiran dalam dunia fantasi, dimana aku menjadi seorang kakak berseragam abu-abu berusia 18 tahun seperti kak Fabian.
**********************************************************************************
Dalam angan, kulihat diriku sudah tumbuh menjadi seorang pelajar SMA berpakaian abu-abu. Aku berdiri tegap di tengah kelas. Kudapati diri ini bersama sejumlah kawan-kawan untuk membicakan sesuatu yang sangat serius.
“Teman-teman, hari Rabu minggu depan kita akan mengadakan bakti sosial untuk komunitas teman-teman disabilitas.” Aku memimpin rapat sebuah komunitas peduli lingkungan. Aku bergabung di perkumpulan ini karena kak Fabian, kakak yang sangat kukagumi dan menginspirasi hidupku, juga merupakan anggota komunitas peduli lingkungan.
Dalam perkumpulan tersebut, semua teman-temanku sangat baik. Tidak ada lagi cibiran atau ejekan atas kekuranganku. Seiring berjalannya waktu, aku memiliki kemampuan berbicara yang jauh lebih lancar. Tak ada lagi teman-teman yang sengaja menjauhiku saat aku berusaha bergabung bermain sepak bola. Tiap orang tua siswa banyak yang emmbicarakanku, bukan membicarakan yang jelek, tetapi mereka meminta putra mereka bergaul denganku, karena aku anak yang pintar. Yah, aku dapat diterima dengan baik di lingkungan sosial.
Setiap pulang sekolah aku mengunjungi rumah singgah bagi anak-anak disabilitas. Mereka sama seperti diriku. Aku yakin mereka bisa hidup jauh lebih baik dari saat ini dan memiliki harapan kembali akan hidup yang tidak adil untuk mereka. Au melewati semua masa di mana semua ketidakadilan itu berpihak padaku. Kuterima semua hinaan karena keterbatasan yang aku sensiri tak pernah memintanya.
Di rumah singgah ini aku merasa nyaman dan seakan aku memiliki kawan seperjuangan, yang dikatakan banyak orang tidak beruntung. Aku bermain dan bercengkrama dengan anak-anak rumah singgah.
“Hai, adek-adek. Apa kabar?” sapaku.
Seketika hening. Mereka hanya memandangiku. Aku berusaha mengerti bahwa tak mudah bagi mereka untuk berbicara dan menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Aku yakin bahwa mereka pasti bisa memahami apa yang akan kukatakan.
“Adek-adek, saya tahu bahwa kita semua sedikit berbeda dengan kebanyakan anak-anak di luar sana. Tapi yakinlah bahwa kita sama dengan mereka. Sama-sama makan nasi, sama-sama menghirup udara secara bebas, dan sama-sama berhak berkawan dengan siapapun. Bagiku, kalian semua adalah orang-orang yang luar biasa.”
Kalimat-kalimat mengalir begitu saja dari mulutku, walau terkadang aku masih terbata-bata dalam menyampaikannya. Mirip seperti apa yang dikatakan oleh Kak Fabian.
Dengan usiaku sekarang, 18 tahun, banyak hal yang bisa kulakukan. Aku mengadakan penyuluhan di berbagai sekolah, yang kesemuanya adalah berkampanye mengenai kaum disabilitas adalah sama seperti orang pada umumnya dan kami memiliki hak yang sama dalam hidup ini.
Sama seperti Kak Fabian, aku berusaha menjelaskan kepada anak-anak yang mengejek temannya yang terlihat berbeda. Aku tak ingin anak disabilitas menjadi terasingkan atau anak yang pada umumnya merasa sok dan lebih diantara lainnya.
Kesemua itu adalah jiwa kak Fabian yang selalu ingin kuterapkan dalam hidupku.
*******************************************************************************
Jika aku berusia 18 tahun seperti kak Fabian, aku juga ingin melakukan banyak hal yang dapat membantu kaum disabilitas dapat diterima di lingkungannya, seperti apa yang kak Fabian lakukan.
[selesai]
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Jika Aku Berusia 18 Tahun (Part 1)
Saat kubuka mataku di pagi hari, tak dapat kubayangkan bagaimana kulalui hari ini. Di sekolah banyak teman-temanku yang tiba-tiba menjauh saat aku berusaha ikut dalam permainan sepak bola, walaupun aku seorang anak laki-laki yang sangat wajar untuk bermain bola. Atau segerombolan anak perempuan yang terus menertawakanku saat aku lewat di sampingnya dan berceloteh.
Terlahir dengan kondisi fisik yang sedikit berbeda, bagaimana aku berlari dan menggerakkan tangan tak semudah anak-anak pada umumnya. Saat menulis pun aku masih membutuhkan bantuan kakak pendamping untuk menuntunku. Selain itu kemampuan berbicaraku masih sangat kurang. Walau aku bercerita panjang lebar, tidak akan ada yang mengerti. Mereka hanya mendengar, “aaaaa....iiiiii...eeeee”. Sebaliknya, banyak orang yang malas berbicara adaku karena menurut mereka aku tak dapat memahami apa yang mereka bicarakan. Belum lagi saat jutaan imajinasi selalu bertebaran di pikiranku, susah rasanya untuk berkonsentrasi.
Terkadang aku sulit mengendalikan emosi. Aku marah tanpa alasan dan berlarian kesana kemari sambil berteriak. Hal itulah yang menyebabkan banyak orang tua yang melarang anaknya berteman denganku. Ingin rasanya aku lari dari semua itu. Setiap aku datang ke TK, aku kehilangan semangat yang sudah kukumpulkan di rumah. Setelah itu aku akan segera meminta pulang
Seperti biasa, aku datang terlambat. Kemudian seorang kakak pendamping menemaniku berlari menuju kelas. Semua siswa berkumpul di lapangan. Aku segera menyusul di barisan belakang. Tak seperti biasanya, hari ini ada beberapa kakak berpakaian putih abu-abu sedang berjajar di depan lapangan. Mereka sangat tinggi, cantik dan tampan, beberapa dari mereka berkacamata, ada juga yang berkerudung. Mungkin aku tak pandai berhitung, tapi kira-kira jumlahnya ada 6 kakak laki-laki dan 4 kakak perempuan.
“Selamat pagi adik-adik.” sapa salah seorang kakak laki-laki yang tinggi, kurus, dan murah senyum.”
“Pagiiiiii,” sahut siswa-siswa taman kanak-kanak dengan antusias.
“Tahu nggak, ngapain kakak-kakak ada di sini sekarang?” kakak tadi melanjutkan sapaannya.
“Tiiiiidaaaaaak,” siswa-siswa menjawab dengan lantang.
“Ehmmmm, hari ini kami ada di sini akan memberikan penyuluhan tentang cara cuci tangan. Sudah pada bisa belum ?” kakak tersebut menjelaskan dengan penuh semangat.
Beragam celotehan teman-temanku dalam menjawab pertanyaan kakak tersebut. Ada yang berkata pernah, ada pula yang belum bisa, dan ada pula yang diam saja.
“Oke, oke, kakak mengerti,” kakak tersebut berusaha menenangkan teman-teman yang mulai ribut. “Oya, buat temen-temen yang pintar mempraktekan cara cuci tangan yang benar, nanti akan kakak ajak menonton film.”
Seketika aku senang mendengar kata ‘film’. Aku berlarian ke depan lapangan dengan girang lalu menarik baju kakak berkacamata yang sedang memegang microphone. Aku ingin mengatakan betapa senangnya aku apabila diajak menonton film.
“Kak, jangan ajak Rey nonton film,” teriak salah satu temanku sambil menunjuk ke arahku yang sedang berusaha berbicara dengan kakak tersebut.
Kakak tadi menghentikan pembicaraannya lalu meletakkan microphone di belakang punggungnya. Dia berusaha berbicara kepada temanku itu dengan suara yang sangat lirih.
“Kenapa temanmu ini tidak boleh diajak menonton film?” tanya kakak tersebut sambil merangkul bahuku.
“Rey itu aneh, kak. Lihat saja, ngomong aja gak bisa,” temanku menjelaskan lalu tertawa terbahak-bahak sambil mengajak teman lainnya tertawa juga.
Sang kakak meletakkan jari telunjuk kanannya tepat di depan mulutnya, “Husssssssh.” Seketika teman-temanku berhenti tertawa.
“Siapa namamu?” tanya sang kakak kepada temanku.
“Nouval kak,” jawab temanku dengan begitu semangat.
“Dek Nouval, mohon maaf. Tapi kakak tidak setuju dengan apa yang dek Nouval katakan,” kak Nouval mencoba memberikan penjelasan, terlihat dia sangat hati-hati dalam berucap.
“Menurut kakak, mungkin untuk beberapa hal dia terlihat berbeda dengan Nouval, tapi yakinlah bahwa dia sama saja dengan Nouval. Sama makan nasi, berjalan menggunakan kedua kaki, dan pastinya sama-sama berhak berkawan dengan siapapun termasuk dengan Nouval. Bagi kakak, Rey ini sangat luar biasa dan istimewa.”
Penjelasan dari kakak tersebut membuatku menjadi terpanah. Serasa semua rasa kesalku pada sekolah ini menjadi sirna. Dia mengubah anggapanku bahwa tak semua orang sama. Tak semua orang menganggapku sebelah mata dan begitu mudah mencibir di depan mataku. Sejak saat itu, aku ingin menjadi seperti kakak itu, yang berusia sekitar 18 tahun.
Jika aku berusia 18 tahun seperti dirinya mungkin aku akan..................
[bersambung]
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Biarkan Saja Terjadi
Pagi ini aku berangkat ke sekolah dengan terburu-buru. Aku takut bahwa akan terlambat. Biasanya gerbang taman kanak-kanak tempatku sekolah ditutup tepat pada pukul 07.15. Sebelum berangkat, mama berpesan padaku kalau nanti ada kakak pendamping baru yang akan mendampingiku belajar di sekolah. Masih jelas diingatanku bahwa dalam setahun ini, kakak yang mendampingiku sudah berganti sebanyak tiga kali. Kesemuanya adalah perempuan. Terakhir kalinya kakak pendampingku hanya menemaniku selama 2 minggu. Entah karena alasan apa kakak itu berhenti menemaniku, padahal aku sangat menyukainya. Dia berbeda dari kakak pendamping yang sebelum-sebelumnya. Setelah itu, aku tak memiliki pendamping seorang pun selama di sekolah, hingga hari ini kakak pendamping baru itu datang.
Pintu gerbang sekolah sudah ditutup, itu berarti aku benar-benar terlambat. Bapak ojek menurunkanku tepat di depan gerbang. Kemudian seorang perempuan muda perawakan tinggi, kulit sawo matang, berkaca mata datang menghampiriku.
“Rey ya?” tanya kakak perempuan itu. “Saya Selly, pendamping baru untuk Rey.”
“Oya, ini Rey mbak. Titip ya,” kata tukang ojek lalu meninggalkan Rey pada kakak perempuan itu.
Aku hanya memandangi kakak itu. Benar-benar orang yang baru kukenal. Rasanya semua terasa aneh bersama orang yang asing. Kakak itu meraih tanganku dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Hai Rey, aku Selly,” dia memperkenalkan diri sambil tersenyum padaku. Sesaat aku hanyut dalam wajah manisnya itu. Sampai aku lupa bahwa aku datang terlambat. Saat tersadar, aku melepaskan tanganku dari kak Selly dan berlari menuju kelas. Kak Selly berlari kecil menyusulku. Sepertinya teman-teman sekelas sudah berkumpul di lapangan, sehingga kelas terlihat sangat sepi. Kuletakkan tas di dalam loker kemudian aku bergegas lari menuju lapangan dan meninggalkan kak Selly di belakang.
Hari pertama bersama kakak pendamping baru. Aku selalu tak bisa menerima kehadiran orang baru dengan begitu mudah. Aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk beradaptasi dengannya.
Kuharap, di hari pertama ini, kak Selly memberiku permen atau menyanyikan lagu untukku. Namun semua itu tidak terjadi. Saat berbaris di lapangan, Kak Selly tiba-tiba berdiri di sampingku dan melarangku menghisap jari. Hal ini membuatku kesal, bagaimanapun menghisap jari adalah hal yang sangat kusukai. Tidak cukup sampai di situ, saat akan kembali ke kelas kak Selly menggandeng tanganku padahal aku ingin berlari mengejar Milo, teman sekelasku, yang terlebih dahulu masuk ke kelas. Aku hanya diam dan memasang wajah kesal saat itu. Seolah kak Selly tidak menghiraukannya dan terus menggandengku.
Saat pelajaran di kelas, kak Selly sama sekali tak beranjak dari bangku dan duduk di sampingku. Biasanya, kakak pendamping yang sebelumnya selalu mengambilkan crayon dan buku untukku, tapi kak Selly tidak melakukan dan justru memerintahku mengambilnya. Bu guru berada di pihak kak Selly. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain menurutinya.
Bu guru memberiku tugas untuk mewarnai. Aku masih malas untuk mengerjakannya. Kulihat ke arah rak mainan. Ingin rasanya aku berlari ke sana dan bermain. Sekali lagi kak Selly membuatku kesal, dia memblok bangkuku dengan kakinya sehingga aku tidak bisa beranjak. Dia terus berkata ini dan itu, aku tak menghiraukannya.
Melihatku yang tak ingin memegang sebuah crayon, kak Selly menjadi geram dan meraih tanganku lalu menuntun tanganku memegang crayon dan mewarnai gambar yang ada di buku. Kuturuti saja apa maunya, tapi aku sama sekali tak memberikan tenaga untuk tanganku. Biarkan saja dia membujukku, kupalingkan wajahku walau dia terus melakukan apa yang dia mau.
Setelah tugas mewarnai, ada tugas menulis. Dia memintaku menulis dan mengambilkan sebuah pensil berwarna biru tua. Dengan berbagai cara dia merayuku. Tak sedikitpun aku menghiraukannya. Sekali lagi dia menuntun tanganku untuk menulis. Semakin lama, kakak ini begitu membuatku kesal. Aku tak ingin diperintah ini dan itu, dilarang ini dan itu. Seketika kulempar saja pensil itu ke lantai dan kudorong buku tulis hingga terjatuh. Kak Selly menjadi marah atas sikapku ini. Dia memintaku mengambil buku dan pensil yang jatuh itu. Tapi aku tak ingin menurutinya. Semakin aku melawannya, semakin dia kesal padaku.
Aku semakin kesal padanya dan satu pukulan keras dari tanganku melayang dengan keras tepat di wajahnya. Seketika perasaanku menjadi lega dan rasa kesal itu sedikit mereda. Kulihta wajah kak Selly memerah dan tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Kemudian dia mengambil buku dan pensil yang terjatuh tadi.
Aku hanya meliriknya saja. Dia tak berbicara apapun setelah kejadian itu. Tak lagi memintaku menulis atau mengerjakan appun. Keinginan bermain yang tadinya bergejolak dalam hatiku pun mereda. Aku tak ingin bermain lagi. Aku dan kak Selly sama-sama terdiam. Cukup lama dia bungkam, lalu kulihat wajahnya sekali lagi. Dia menunduk kemudian menatap ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Dia meraih tanganku lembut dan berkata, “Rey, jangan marah-marah ya. Maaf kalau kakak membuatmu kesal.”
Seketika aku merasa tak enak padanya. Kutahu dia adalah kakak yang baik hati. Tapi aku juga tidak bisa mengelak bahwa aku kesal terhadapnya. Maka tiap kekesalanku keluar begitu saja dan tanpa sadar itu membuatnya bersedih.
Saat semua yang hal tak baik terjadi, maka smeua itu tak bisa dihindarkan. Tak seorang anak pun bisa menyembunyikan perasaannya, bahkan saat dia tak nyaman akan sesuatu. Terkadang orang dewasa menginginkan sesuatu yang terbaik untuk anak-anak dengan cara mereka, tetapi di saat yang sama anak-anak menerimanya berbeda. Baik itu anak normal atau tidak, semua sama memiliki perasaan yang tak pernah bisa dibohongi. Orang dewasa terkadang melupakan hal ini.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Sebotol Susu Sapi
Kudengar suara bel satu kali yang menandakan jam istirahat. Aku langsung keluar kelas untuk mencuci tangan begitu pula dengan teman-teman lainnya. Setelah itu, aku kembali ke kelas dan siap menyantap bekal yang sudah kubawa. Tak lupa bu guru memimpin doa sebelum memulai memakan bekal.
Kubuka isi tas, hanya ada sebotol susu sapi rasa strawberry yang menjadi bekalku hari ini. Tak masalah bagiku, karena aku menyukainya. Di seberang bangkuku, duduklah Milo yang terus memandangiku. Terlihat di mejanya terdapat kotak makan berisi roti rasa keju. Nampaknya Milo tak menyetuh sedikitpun bekalnya. Dia terus memandangiku, tapi aku terus asyik meneguk susu sapi yang kugenggam di tanganku itu.
Milo mulai berjalan mendekatiku. Dia berulang kali mengetuk-ngetukan jari telunjuk kananya di bahuku. Aku tak menghiraukannya, tetapi dia tidak berhenti mengetukkan jarinya. Aku menengok ke arah Milo. Dia berdiri tepat di sampingku, dengan wajah memelas dia menyodorkan kedua tangannya di hadapanku.
“Rey, minta!” seru Milo sambil menunjuk ke arah botol susu yang sedang kugenggam.
Sontak aku memalingkan wajah dan menggelengkan kepala tanda bahwa aku tak mengijinkannya. Aku menggenggam botol susu itu semakin erat dan kubawa berpindah ke tempat duduk yang lain.
Sepertinya Milo menyerah, dia tidak mengejarku. Kuletakkan botol susu itu di atas meja dan aku mulai mengambil mainan. Di luar dugaanku, Milo menghampiri mejaku dan mengambil botol susu terebut. Saat aku menyadari botol susuku hilang, kukejar Milo yang berlari menjauhi mejaku.
“No!” teriakku kepada Milo sambil merebut kembali botol susuku.
Aku sangat kesal dibuatnya. Kupalingkan wajahku dari Milo. Aku bermain sendiri tanpa mengajak Milo. Di sisi lain, Milo menangis sejadi-jadinya. Entah mengapa harus Milo yang menangis, seharusnya aku yang menangis karena dia merebut botol susuku. Milo kembali ke mejanya lalu menundukkan kepala di atas meja. Siapapun tidak ada yang bisa menghentikan tangisannya.
Aku masih kesal dengan perbuatan Milo, tapi di sisi lain aku tidak tega melihatnya menangis. Ada gejolak dalam diriku antara harus melangkahkan kaki dan berdamai dengan Milo atau kukuh dengan kekesalanku padanya. Aku hanya mampu memandangi Milo dari jauh. Kebingungan itu terus kurasakan hingga suara tangisan Milo tak terdengar lagi.
Kuputuskan bahwa aku harus berdamai dengan Milo. Aku mendekatinya dengan cara yang sama seperti dia mendekatiku tadi. Kuketukkan jariku di bahunya. Milo tak lekas menoleh. Aku pun tak habis akal, kuletakkan botol susuku di mejanya.
“....lo, usuk apik...(baca: Milo, susu sapi),” aku merayu Milo sambil mendowel bahunya.
Caraku ini cukup ampuh. Milo mengangkat kepalanya dan memandangi botol susu itu dengan ragu. Sesekali dia menoleh ke arahku seakan berkata ‘apa susu ini untukku?’. Kulambaikan tanganku ke arah Milo lalu aku kembali ke tempat dudukku, yang berarti ‘susu ini untukmu’. Susu tadi kutinggalkan di atas meja Milo.
Milo mulai tersenyum dan memegangi botol susu tersebut. Kemudian dia berjalan ke arahku lalu berkata, “Makasih Rey.”
Dia membagi susu tersebut denganku, sehingga kami meminum susu secara bergantian. Milo kembali tersenyum dan tidak ada lagi perselisihan di antara kami.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Belajar di Kelas Lain
Pagi ini aku melenggangkan kaki dengan semangat menuju kelas. Setelah masuk kelas aku dibuat bingung karena ada yang berubah dengan kelas yang biasa menjadi tempatku belajar. Biasanya meja-meja kecil disusun secara melingkar kemudian diselipkan bangku kecil. Namun hari ini semua meja dan bangku kecil itu menghilang dan digantikan oleh kursi-kursi untuk orang dewasa yang disusun berjajar dari depan hingga belakang kelas. Yang tadinya kaki ini melangkah pasti memasuki ruang kelas, kuurungkan saja dan mundur keluar kelas.
Aku duduk termenung di lantai depan kelas sambil membawa tas dan masih memakai jaket dan helm. Tak lama kemudian kak Fitri datang dengan jalan yang sedikit sempoyongan, nampak seperti tergesa-gesa.
“Rey, maaf kakak datang terlambat,” ucap kak Fitri sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. “Kok kamu duduk di sini sih Rey, ayo masuk.”
Aku hanya memandangi dengan tatapan kosong ke kak Fitri sambil menopang dagu dengan tangan kiriku lalu kugerakkan rahang bawahku ke atas dan bawah, sehingga tanpa sadar air liurku menetes.
“Eh Rey hayo tangannya ga boleh gitu,” ujar kak Fitri sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku. “Kebiasaan deh Rey ini, kalau uda kayak gitu pasti kamu gak konek.”
Melihat acungan jari kak Fitri seolah membuyarkan segala keasyikan yang kurasakan saat itu. Lalu aku berusaha memberitahukan mengapa aku ada di luar kelas.
“...dididik...guguk kusik...ilak (baca: kak Fitri, duduk kursi, hilang),” ucapku sambil menunjuk ke arah dalam kelas.
“Kursi? Hilang?” kak Fitri menyahut dengan kebingungan lalu dia melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Kemudian dia melihat sekeliling sambil berbicara sendiri denga lirih, “Ehmm, kelasnya kok berubah ya. Bu guru kemana ya?”
Seketika bu guru datang sambil membawa setumpuk buku dan kertas. Bu guru masuk ke dalam kelas untuk meletakkan barang bawaannya itu, kemudian keluar lagi untuk berbicara kepada kak Fitri.
“Maaf, saya lupa menyampaikan. Hari ini kelas Rainbow sementara belajar bersama dengan kelas reguler ya, karena hari ini ada tamu dari luar kota yang study banding dan memakai kelas ini untuk presentasi,” bu guru menjelaskan dengan sesekali tersenyum kecil seperti ada sedikit rasa tidak enak kepada aku dan kak Fitri.
Setelah penjelasan bu guru selesai, aku dan kak Fitri bergegas menuju kelas reguler yang kebetulan kelasnya berada di ujung lorong. Saat kami jalan menyusuri lorong, tiba-tiba ada suara kecil mengagetkan kami. Dooooooor. Suara kecil Milo dan Gerry mengagetkan kami. Mereka baru saja datang dan langsung menyusul kami.
Setibanya kami di kelas reguler, kami langsung masuk kelas kemudian bersalaman dengan bu guru, yang dipanggil bu Desi. Kami segera meuju tempat duduk yang tersisa di ujung kelas. Awalnya tidak ada yang aneh dengan keberadaan kami di kelas tersebut ataupun siswa-siswa lainnya. Kami melangkah dengan pasti. Tiba-tiba ada suara anak laki-laki, sebut saja Dimas yang langsung saja menyeletuk kepada bu guru.
“Loh bu, hari ini apakah kita pindah kelas?” tanya Dimas ke bu guru dengan lantang sehingga seluruh kelas dapat mendengarkannya.
“Huuush, Dimas ayo duduk lagi. Hari ini kita tidak pindah kemanapun, kita belajar di kelas ini bersama temen-temen kelas Rainbow,” bu guru menanggapi respon Dimas dengan hati-hati.
“Duh ngapain sih beginian ke kelas ini...,” sahut Dimas sambil memandang ke arah aku, Milo, dan Gerry.
“Hush...gak boleh bicara gitu,” sontak bu Desi menyela ucapan Dimas dengan nada keras sebari melototkan mata. Seketika Dimas diam dan duduk dengan memalingkan wajahnya dari aku, Milo, dan Gerry.
Aku tak mengerti apa yang maksud dari perkataan Dimas itu, tetapi melihat respon bu Desi yang terlihat marah, kurasa Dimas berkata yang tidak baik. Walaupun begitu tak berarti membuatku membenci Dimas.
Setelah kejadian itu, bu Desi memulai pelajaran hari itu dengan berdoa, bernyanyi dan saling menyapa satu sama lain. Sejenak tak ada yang aneh dari suasana di kelas ini, semua berjalan lancar bahkan saat kegiatan belajar mengajar. Tetapi hal berbeda saat kami waktu istirahat datang dan kami diperbolehkan untuk bermain.
Aku melihat ada Bella, anak perempuan yang kusebut cantik dan merupakan idolaku di sekolah ini, di dalam kelas ini. Ketika jam istirahat, aku berjalan mendekati Bella yang saat itu bergerombol dengan teman-teman perempuannya. Aku memandang ke arah gerombolan itu dan penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Mereka asyik bercerita dan sahut menyahut. Seketika muncul keinginan besar dalam diriku untuk turut bercerita dengan mereka.
Aku berceloteh tentang tokoh kartun kucing dan tikus yang kutonton di televisi, dengan sesekali aku memeragakan gaya si tikus yang jahil.
“...kukik ayi-ayi... (baca: kucing lari-lari),” sepenggal celotehku yang kusampaikan pada mereka.
Seketika para gadis itu menoleh ke arahku sambil bisik-bisik dan tersenyum kecil. Kulihat Bella juga ikut berbisik sesuatu, semkain lama bisikan itu berubah menjadi tawa yang sangat keras. Merekapun tertawa terbahak-bahak. Kupikir mereka menyukai ceritaku dan merasa bahwa cerita ini lucu. Maka kulanjutkan saja ceritanya.
“....ngngngngng dok aeaaeae eeee,” aku beceloteh secara bebas dan hanya suara itu yang mampu keluar dari mulutku.
“Kamu ngomong apa sih Rey?” sahut Bella dengan tegas, kemudian dia tertawa bersama teman-temannya.
Aku berusaha mendekatkan jarakku dengan gerombolan perempuan itu supaya aku bisa bercerita lebih banyak dan membuat mereka mengerti. Tetapi mereka justru lari berhamburan sambil tertawa lepas.
Kukira karena ceritaku yang lucu, tetapi setelah melihat bagaimana mereka meresponku aku merasa hal ini bukan hal yang baik. Aku tak mengerti mengapa mereka berlari saat aku mendekat dan tertawa saat aku bicara. Aku hanya berdiri terdiam di titik dimana aku berdiri saat itu. Aku menatap kosong ke arah pintu di mana anak-anak itu berhamburan keluar. Pikiranku tak membiarkanku berpikir lebih dalam lagi. Aku membiarkan semua yang kualami ini terjadi begitu saja, aku tak membenci mereka.
Walau banyak sekali pertanyaan yang muncul mengapa mereka bersikap seperti itu kepadaku, tetapi tidak kepada anak lainnya. Aku tak terlalu mengambil pusing semua itu. Hal ini tak memutuskan semangatku untuk terus bermain dan melakukan apa yang kusukai, kerena aku anak hebat, begitulah kata mama.
0 notes
tikadewisri · 7 years
Text
Sahabatku, Gerry
Selamat pagi, ibu guru, kami sudah sedia.
Menerima petunjukmu, belajar dengan gembira......
Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan anak-anak kelas khusus Rainbow, yang dipandu oleh bu guru. Suara anak-anak tak terlalu lantang terdengar. Hanya bu guru yang bernyanyi dengan sangat semangat. Walaupun bu guru sudah bersuara dengan lantang dan bertepuk tangan menyemangati, anak-anak tetap saja bersuara lirih. Termasuk Gerry.
Dia menutup mulutnya rapat-rapat kemudian bermalas-malasan dengan meletakkan kedua tangannya di atas meja sebagai sandaran kepala. Sekalipun bu guru berusaha menarik badan Geryy supaya duduk dengan tegak, Gerry tak lantas bangkit. Aku yang duduk di sampingnya menjadi ingin menggodanya, supaya ada sedikit senyuman di wajahnya. Di luar dugaanku, Gerry menjadi sedikit kesal dan mengadukanku ke bu guru.
“Bu guru, Rey nakal,” aduan Gerry kepada bu guru. Rey hanya terdiam dan melongo melihat respon Gerry itu.
Bu guru yang selalu mengamati tingkah laku anak-anak menyadari bahwa Rey tak benar-benar ingin mengganggu Gerry.
“La wong Rey cuma megang tangan kamu kok,” sanggah bu guru dengan sedikit nada menggoda kepada Gerry.
Gerry tak lantas menerima, justru dia semakin memajukan bibirnya yang terkatup rapat.
Bu guru tak kehabisan akal untuk mencairkan suasana. Diajaklah murid-murid kelas khusus Rainbow untuk bernyanyi sambil menari mengelilingi kelas. Nampak Gerry mau bergerak dan sedikit mengeluarkan suara walau masih terdengar lirih.  Aku berdiri di belakang Gerry dan kadang mendahului Gerry supaya dia mengejarku. Gerry memang mudah terpancing dan tidak mau kalah. Dia mulai mendahului dan kami saling kejar-mengejar. Merasa kelas mulai gaduh, bu guru menghentikan aksi kami itu.
Kami semua duduk di bangku masing-masing dan aku duduk di samping Gerry. Nampak Gerry mulai tersenyum dan tak lagi meletakkan kepalanya di meja. Kami minum air putih untuk menyegarkan tubuh yang sedikit lelah karena berlarian.
Bu guru meminta kami mengambil crayon di dalam tas yang ada di loker. Setelah kami kembali, ada buku gambar dengan gambar nampan buah yang berisi buah-buah yang masih belum diwarnai. Gerry nampak antusias melihatnya. Gerry mulai berceloteh dan memulai mewarnai. Gerry ini sangat suka mewarnai. Setelah kejadian ini, Gerry terlihat bersemangat. Aku menjadi lega dan memulai mewarnai buku gambarku.
Aku tak dapat menyelesaikan tugasku dengan cepat. Susah sekali bagiku untuk berkonsentrasi pada satu hal. Tiba-tiba Gerry menawarkan jasa untuk membantuku menyelesaikan pewarnaan. Aku sangat senang. Dengan bantuan Gerry aku lebih terpacu untuk mengerjakan bersama, hal ini membantuku mengurangi kesulitan konsentrasi yang sedang kuhadapi. Tugasku dapat diselesaikan dengan cepat  begitu pula milik Gerry. 
1 note · View note