Text
The Silent - الصَّمْتُ
مَنْ صَمَتَ نَجَا “Barangsiapa diam, ia akan selamat. “ (HR. Tirmidzi, shahih)
Terkadang, menjaga lisan merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Seringkali lisan itu tergelincir, namun pemiliknya tak menyadarinya. Mungkin sedari kecil kita sudah terbiasa untuk belajar berbicara dan merajut kata, namun pernahkah kita mencoba melatih diri kita untuk diam? Sebagaimana pesan sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, “Belajarlah diam”. Begitu pun dengan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Belajarlah diam sebagaimana kalian belajar berbicara”
Diam, dalam bahasa arab الصَّمْتُ, bermakna menahan diri untuk tidak berbicara meski dia mampu untuk melakukannya.
Dan makna diam dari kata الصَّمْتُ merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada sekedar diam yang berasal dari kata السُّكُوْتُ
Karena orang yang melakukan (السُّكُوْتُ) bisa jadi memiliki kemampuan untuk berbicara atau tidak.
Sedangkan orang yang melakukan (الصَّمْتُ) adalah orang yang memiliki kemampuan untuk berbicara… Namun dia menahan lisannya untuk tidak berucap,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. [HR Ahmad]
Dari hadist ini kita belajar bahwa, setelah hati, maka perkara terbesar yang perlu dijaga keistiqamahannya adalah lisan kita, karena ia merupakan penerjemah dan pengungkap isi hati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).
Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh belajar untuk diam, dan menjaga lisan kita dari hal yang tidak diridhoi Rabb kita.
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولً
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban." (QS. Al-Isra’: 36)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18)
Semoga Allah memudahkan kita untuk menjaga lisan kita..
Ya Rabb, ampunilah dosa-dosa kami, bimbinglah kami untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat
Sumber: https://muslim.or.id/57826-buah-manis-menjaga-lisan.html https://almanhaj.or.id/4197-istiqomah.html https://yufid.tv/46617-belajarlah-diam-syaikh-sholih-al-ushoimi-nasehatulama.html https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html
0 notes
Text
0 notes
Text
Penambal Kesalahan
Disebutkan dalam hadits,
عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنَ الْمَجْلِسِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ». فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلاً مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى. قَالَ « كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِى الْمَجْلِسِ ».
Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di akhir majelis jika beliau hendak berdiri meninggalkan majelis, “Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).”
Ada seseorang yang berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan selama hidupmu.” Beliau bersabda, “Doa itu sebagai penambal kesalahan yang dilakukan dalam majelis.” (HR. Abu Daud, no. 4857; Ahmad, 4: 425. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Maksudnya, doa itu adalah penambal kesalahan berupa kata-kata laghwu atau perkataan yang sia-sia.
Doa itu diucapkan ketika akan berpisah atau akan selesai dari suatu majelis. Majelis ini tidak mesti dengan duduk-duduk. Pokoknya setiap pembicaraan atau obrolan biasa apalagi diyakini ada perkataan sia-sia yang terucap, maka doa kafaratul majelis sangat dianjurkan untuk dibaca.
Jika suatu majelis atau tempat obrolan yang membicarakan hal akhirat maupun hal dunia, lantas di dalamnya tidak terdapat dzikir pada Allah, sungguh sangat merugi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
“Setiap kaum yang bangkit dari majelis yang tidak ada dzikir pada Allah, maka selesainya majelis itu seperti bangkai keledai dan hanya menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 4855; Ahmad, 2: 389. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Tentu kita tidak mau menjadi orang yang merugi dalam setiap waktu kita. Karenanya, jadikanlah akhir majelis dengan istighfar dan bacaan doa kafaratul majelis.
Astaghfirullah wa atubu ilaih
Sumber: https://rumaysho.com/13241-keutamaan-doa-kafaratul-majelis.html
0 notes
Text
Betapa cepatnya waktu berlalu
Betapa cepatlah dunia berlalu. Seperti seorang musafir yang sedang berjalan lalu singgah di sebuah pohon, lalu ia kembali melanjutkan perjalanannya.
Sungguh, perjalanan kita masih teramat panjang
Allah berfirman, ﻭَﺇِﻥَّ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺑِّﻚَ ﻛَﺄَﻟْﻒِ ﺳَﻨَﺔٍ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﻌُﺪُّﻭﻥَ “Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47).
Bila 1 hari di akhirat 1000 tahun, dan bila umur manusia rata-rata 65 tahun, maka kehidupan dunia kurang lebih hanya seperti 1,5 jam saja di akhirat.
Tidak bisakah kamu bersabar untuk yang sebentar ini? Tak bisakah?
ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺘَﺎﻉُ ﺍﻟْﻐُﺮُﻭﺭِ
ﻗُﻞْ ﻣَﺘَﺎﻉُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓُ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟِﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ
Disadur dari: https://muslimafiyah.com/kehidupan-dunia-yang-sangat-sebentar.html
0 notes
Text
kenapa muslim tidak bermusik
Repost from https://alfawaaid.blogspot.com/
Dear friends.. وجاء رجل إلى ابن عباس رضي الله عنهما، فقال: (يا ابن عباس، أرأيت الغناء، أحلال هو أم حرام؟)، فقال ابن عباس: (أرأيت الحق والباطل إذا جاءا يوم القيامة، فأين يكون الغناء؟)، فقال الرجل: (يكون مع الباطل)، فقال ابن عباس: (فماذا بعد الحق إلا الضلال؟!، اذهب فقد أفتيت نفسك). Dalam Ighatsatul Lahfan Ibnul Qayyim meriwayatkan suatu atsar yang dinisbatkan kepada ibnu 'abbas bahwa ada seorang laki-laki yang mendatangi beliau dan bertanya "Wahai Ibnu 'Abbas, bagaimana pendapatmu tentang nyanyian, apakah halal atau haram? Apakah dibolehkan?" Lelaki tersebut menanyakan soal nyanyian yang masyhur di kalangan arab badui saat itu dimana kala itu tidak terdapat alat musik, foto-foto, video klip, pakaian yang mengumbar aurat, lirik yang menggoda, atau penari-penari yang tidak senonoh seperti model nyanyian di zaman sekarang. Tanpa berpanjang lebar, tanpa mengeluarkan dalil Qur'an maupun hadits Ibnu 'Abbas pun menjawab laki-laki tersebut dengan sebait pertanyaan "Jika kebenaran dan kebatilan datang di hari kiamat kelak, menurutmu nyanyian tersebut akan berada di rombongan atau sisi yang mana?"
Pertanyaan yang sama pula ditujukan kepada kita.. Akankah musik dikumpulkan bersama dengan al haq seperti dzikir kepada Allah, dengan shalat, puasa, membaca Qur'an, dan semisalnya? Atau ia akan berada dalam rombongan kebatilan seperti membuka aurat, meninggalkan shalat, perkataan dusta, rokok dan bentuk bentuk maksiat lainnya?
Retoris bukan? Dan seperti yang sudah diduga, laki-laki tadi pun menjawab pertanyaan ibnu 'abbas tadi, "Dia akan bersama dengan kebatilan". Dan Ibnu 'Abbas berkata "jadi apa lagi yang ada di luar kebenaran kalau bukan kesesatan? Pergilah! Sungguh engkau telah menjawab sendiri pertanyaanmu". Sebelum kita mengeluarkan dalil dalil yang mengharamkan musik dan turunannya, pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi seperti mengisyaratkan kepada kita suatu kaidah dalam mengindera hukum atas suatu perkara. Yakni salah satu indikator yang menunjukkan bahwa sesuatu itu diharamkan oleh Allah yang senantiasa menginginkan kebaikan bagi hambaNya, adalah memperhatikan apa yang mengelilingi 'sesuatu' tersebut. Singkatnya, "sesuatu yang haram biasanya dikelilingi oleh hal hal yang haram juga". Kaidah ini segenre dengan kaidah pertemanan yang sudah masyhur yaitu "seseorang itu berada di atas agama temannya", atau "jiwa-jiwa itu berkumpul layaknya sebuah pasukan" (pasukan tidak berkumpul melainkan pasti dengan kesamaan ntah visi maupun yang semisalnya) dan dengan yang semisal.
Maka kita perhatikan konser konser musik misalnya. Apa yang bisa kita temukan di dalamnya? Perkumpulan macam apa yang mendatangi acara tersebut? Pelanggaran, kelalaian, keharaman, semua ada. Ikhtilat, meninggalkan sholat, menyentuh lawan jenis non mahram, tak jarang khamr, wanita membuka aurat, rokok, you name it... Akankah kita temukan dalam sebuah konser musik jazz misal, pengunjungnya merupakan komunitas imam dan qari' masjid, ulama, dsb? Justru kita pasti bakal heran kalau menemukan orang bercadar misalnya mengikuti tur konser maroon 5, atau boyband korea dsb.. Bahkan pecinta fanatik musik sekalipun, datang ke masjid untuk sholat jumat, pasti bakal illfeel kalau menyaksikan khatib goyang goyang di atas mimbar sambil berdendang. Itu semua karena fitrah kita sebagai hamba, atau secara naluri, kita tau, kita berekspektasi, bahwa musik dan atribut-atributnya itu tidak layak jika disandingkan dengan kebenaran dan kemuliaan semisal dzikir, ibadah, dsb.
Perhatikan konser konser tadi.. Betapa musik dan apa yang ada di dalamnya dapat melalaikan kita, membuat kita lupa bahwa kita tidak diciptakan Allah untuk berlezat lezat dan menggunakan waktu kita yang terbatas untuknya, bahkan tak jarang musik menghilangkan rasa malu orang yang mendengarkannya. Kita lihat orang di jalan menggunakan headphone mendengarkan sesuatu sambil menggoyang-goyangkan badan dan kepalanya, ditambah "sok sok menyanyi" atau bersenandung dengan nada falsnya, di tempat tempat umum yang itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak ikut mendengarkan musik tersebut. Atau pernahkah kita temukan seorang dancer atau penari perempuan yang ketika musik mulai mengalun kemudian dia jadi enggan menari, "ih malu, bajuku terbuka, banyak laki laki juga yang nonton.. Maluuu, aku mau pulang aja". No, never.. Demikianlah keadaan musik dan atribut - atribut yang mengelilinginya.. Maka jika musik tadi tidak layak disandingkan dengan kebaikan, pahala Allah, kebenaran dan kemuliaan, apatah lagi jika menggantikan?!
Dear friends, Your ears are not litter can, so stop listening to garbage
2 notes
·
View notes
Text
Wahai jiwaku,
يَا نَفْسي مَا لي أَرَاكِ تَكْرَهِينَ الْجَنَّهْ “Wahai jiwaku, kenapa aku lihat engkau benci dengan surga?”
- Abdullah bin Rawaahah radhiyallahu anhu
1 note
·
View note
Text
Antara Hamba dan Rabb-Nya.
apa kira-kira yang dapat dilakukan oleh seseorang yang ubun-ubun dan jiwanya berada di tangan Allah. Hatinya berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia yang berkuasa membolak-balikkan hati sekehendak-Nya. Hidup dan matinya pun di tangan-Nya. Gerak dan diamnya, juga ucapan dan perbuatannya, semata-mata karena izin dan kehendak-Nya. Ia tak mampu bergerak, kecuali dengan izin-nya, tidak mampu berbuat apa-apa kecuali dengan kehendak-Nya.
Maka jelas sekali bahwa hamba tidak dapat terlepas dari Allah walau sekejap mata pun.
dan ingat kita pasti akan kembali kepada-Nya, dan akan berdiri di hadapan-Nya di akhirat kelak.
Ibnul Qayyim rahimahullah [Fawaidul Fawaid]
0 notes