#wong samar
Explore tagged Tumblr posts
Text

Wawasan,
Minggu, 8 November 1998
Demi anak, aku melayani lelaki lain.
Pernah membaca novel “Ombak Sedyakalaning” yang ditulis Tamsir AS. Kisahku mirip cerita novel Jawa itu. Sebut saja diriku Rukimah. Demi keamanan, tempat tinggal kurasa tak perlu kuberitahukan.
Suamiku, Ruslan (juga nama samaran), bekerja di sebuah pabrik. Dalam bekerja Mas Ruslan sangat tekun dan gigih. Sehingga begitu menikah sudah bisa beli rumah. Rumah yang dibeli Mas Ruslan di perumahan yang masih sepi, belum banyak penghuninya. Tetanggaku jauh-jauh.
Pada saat suamiku dinas malam ada yang memanfaatkan kesempatan. Tidak sombong, aku paling cantik di antara tetanggaku. Tapi ini malah membawa malapetaka.
Malam-malam pintu rumahku diketuk orang. Aku mengira suamiku. Biasanya kalau belum lama pergi sudah pulang lagi, pasti ada yang ketinggalan. Maka cepat-cepat aku membukakan pintu. Ternyata yang berdiri di pintu malah orang lain. Ada empat lelaki. Mereka langsung membungkam mulutku. Lainnya membopong tubuhku. Aku tak kuasa melawan. Mereka menyeret aku ke kamar. Kemudian satu persatu memperkosa aku.
Untung suamiku di pabrik sudah mendapat firasat. Perasaannya selalu gelisah. Ia ingat aku. Ia khawatir terjadi sesuatu atas diriku. Mengingat aku cuma sendirian di rumah.
Sesampai di depan pintu rumah, suamiku mendengar suara mencurigakan. Samar-samar ia mendengar aku meronta-ronta. Diam-diam ia masuk rumah lewat pintu belakang. Tahu-tahu Mas Ruslan sudah muncul dengan membawa klewang. Besi tipis dan tajam itu membabat punggung Tohir. Tohir yang tengah memperkosa aku seketika jatuh terkulai dan tak berkutik lagi.
Aku menjerit. Teman-teman Tohir lari tunggang-langgang. Sedangkan Tohir sendiri meninggal seketika. Satu per satu tetangga berdatangan. Malam yang sepi berubah gempar. Salah seorang lapor pada pihak berwajib. Mas Ruslan akhirnya masuk penjara.
Sungguh tak pernah kubayangkan, akan begini nasibku. Mas Ruslan satu-satunya gantungan hidupku masuk penjara. Sehingga tiap bulan aku tidak lagi menerima uang dari suami. Aku menjalani hidup bersama anakku seorang dengan membuka warung makan di rumah.
Pendekatan yang baik
Krisis moneter datang. Tetanggaku banyak yang kena PHK. Karena sulit mendapatkan pekerjaan, mereka satu per satu ikut membuka warung di rumah. Sehingga pelangganku banyak yang lari. Mereka memilih warung lain yang lebih dekat. Warungku sepi. Kini untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari semakin sulit. Modalku lama-lama habis untuk makan sendiri.
Dalam kondisi sedemikian sulit, Ririn, anakku, malah sakit. Untung Pak Darmo yang sering makan di warungku mau menolong. Dia mengantar Ririn ke rumah sakit. Entah apa dia sangat baik padaku. Nyaris tiap hari mengantar aku membesuk anakku.
Mulanya aku merasa sangat beruntung. Sebab sudah tidak perlu lagi mengeluarkan ongkos transpot. Tinggal naik ke mobilnya Pak Darmo. Bahkan Pak Darmo sering membelikan makanan untuk anakku. Seminggu Ririn di rumah sakit. Semua biaya sudah ditanggung Pak Darmo.
Akhirnya aku dibuat semakin tak mengerti. Sebab tiap bulan Pak Darmo memberi aku uang belanja. Mau ditolak wong aku juga butuh. “Sudah tho, terima saja. Dari pada kamu nanti kesulitan sendiri,” kata Pak Darmo.
Akhirnya kuterima juga uang itu tiap bulan. Setelah genap lima bulan Pak Darmo membelanjai aku tiap bulan, pelanggan yang dulu sering makan di warungku itu mulai mendesak supaya aku melayani sebagai mana terhadap suami. Aku terkejut. Bodoh memang aku ini. Kenapa hal ini tidak pernah menduga sejak dulu. Kini aku sudah terlanjur banyak hutang budi.
Aku tak kuasa menolaknya. Akhirnya aku menyerah dalam pelukan lelaki yang sebaya dengan ayahku itu. Aku terpaksa melayani kebutuhan seks Pak Darmo, kapan saja dia minta. Kalau tidak, lalu siapa yang akan membayar angsuran rumah dan sekolah anakku tiap bulan. Aku sudah sangat kesulitan. Cuma Pak Darmo yang bisa kuharap.
Sejak itu aku menjadi wanita simpanannya. Nyaris tiap malam Pak Darmo ada di rumahku. Pulangnya larut malam. Bahkan kadang menginap juga. Pagi baru pulang. Untung tetanggaku saling acuh. Sehingga hubungan gelap ini bisa berjalan tanpa gangguan. Kalau tidak, tentu sudah ditangkap Hansip kampung.
Bila Ririn sudah tidur kami sering bermesraan, tiba-tiba pintu rumah jebol. Aku dan Pak Darmo terkejut. Ririn yang sudah tidur nyenyak sampai terbangun. Di luar dugaan yang mendobrak Mas Ruslan. Kami kepergok. Kami tak menyangka Mas Ruslan pulang secepat itu. Padahal hukumannya belum ada tujuh tahun. Kira-kira baru lima tahun. Apakah ada pengurangan hukuman? Bisa jadi. Mungkin Mas Ruslan selama dalam tahanan bertingkah laku baik dan bisa menjadi contoh napi yang lain. Aku bingung dan tak bisa ngomong apa-apa.
Mas Ruslan hampir saja memupul Pak Darmo. Untung lelaki tua itu sigap. Dan dengan secepatnya memberi penjelasan. Sehingga suamiku bisa mengendalikan emosinya.
“Percuma kita berkelahi. Aku dan istrimu sudah sama-sama saling membutuhkan. Aku tertarik pada istrimu. Dan istrimu sangat membutuhkan bantuan dan perlindunganku selama kau meringkuk di penjara. Istrimu butuh duit untuk membayar angsuran rumah tiap bulan. Istrimu juga butuh duit untuk membiayai sekolah anakmu. Anakmu dulu pernah dirawat di rumah sakit selama seminggu. Aku yang telah menanggung semuanya,” kata Pak Darmo.
“Kapan anakku sakit?” tanya Mas Ruslan.
“Dua bulan yang lalu. Terkena demam berdarah”.
“Kenapa istriku tidak memberi tahu?”
“Sengaja kau tak kuberi tahu, mas,” sahutku menyela. “Karena aku khawatir membuatmu tidak tenang di penjara”.
Pak Darmo lalu ganti menyela, “Kalau boleh istrimu akan kubawa. Kau bisa menikah lagi dengan wanita lain yang lebih cantik. Akan kusediakan lima juta rupiah untuk biaya pernikahanmu,” katanya terus terang.
“Sudah tua sungguh-sungguh tak tahu malu,” jawab Mas Ruslan.
“Memang,” kata Pak Darmo mengakui. Lalu menoleh kepadaku. “Rukimah, aku ingin tahu, kau lebih berat mana antara aku dan suamimu?” tanyanya.
Saat itu aku ingat ucapan Pak Darmo. Pak Darmo pernah mengatakan, “Kalau kau mau jadi istriku, kau akan kubelikan rumah yang lebih bagus. Rumah ini biar untuk Ruslan”. Aku terus berpikir, kalau aku bertahan ikut Mas Ruslan, hidupku akan kembali sengsara karena selama ini sudah terlanjur terbiasa dimanja dengan uang oleh Pak Darmo. Dengan gemetaran aku menghampiri suamiku. Lalu memeluknya sambil menangis. “Maafkan aku. Aku melakukan demi anakmu. Aku tahu apa yang terjadi seandainya Pak Darmo dulu tidak menolong,” kataku. Kemudian perlahan aku melepaskan pelukanku. Sambil menangis kugendong anakku. Aku mengejar Pak Darmo yang saat itu sudah menghidupkan mobilnya. Malam itu, kami bertiga pergi meninggalkan Mas Ruslan yang baru pulang dari penjara.
Sekarang aku hidup bahagia dengan Pak Darmo. Aku tak tahu lagi bagaimana nasib Mas Ruslan sekarang. Pak Darmo sudah mengirimkan uang lima juta rupiah untuk Mas Ruslan. Semoga ia segera menemukan pendamping yang lebih setia. Dan semoga bahagia.
(Sebagaimana diceritakan kepada Muhammad Anwari SN).
0 notes
Text
Yen dibawa kembali ke tahun 80an dengan menyampaikan pesan salah langkah dan hilangnya kepercayaan
Yen mencapai titik terendah dalam 38 tahun karena pasar kehilangan kepercayaan terhadap komitmen Bank of Japan (BOJ) untuk melakukan pengetatan dan tidak terlalu terkesan dengan jaminan samar dari pejabat pemerintah mengenai intervensi. “Kurangnya niat untuk memperketat kebijakan dengan cara apa pun telah mendorong pasar menurunkan nilai yen,” kata Jason Wong, ahli strategi pasar senior di BNZ…

View On WordPress
0 notes
Text

May Pundak, whose father helped negotiate the Oslo Accords, is a human rights lawyer in Israel who hopes to help restart the peace process between Israelis and Palestinians. (Photo: Sergey Ponomarev for The New York Times)

Ron Pundak, Ms. Pundak’s father and one of the architects of the 1993 Oslo Accords, speaking in 2014, the year he died.
(Photo: Gideon Markowicz / Agence France- Presse — Getty images)

Rana Salman, a Palestinian activist, has argued that Palestinians and Israelis must accept that they live side by side.
(Photo: Samar Hazboun for The New York Times Times)
Five Miles and a World Apart, Younger Activists Dream of a New Peace Process in the Middle East
A younger generation of Israeli and Palestinian peacemakers want to be part of the dialogue about the “day after” the war, when Israelis and Palestinians must grapple again with how to live side by side.
By Mark Landler
Reporting from Jerusalem and Bethlehem, West Bank
The New York Times - November 16, 2023
•
•

President Biden at a news conference in California on Wednesday.
(Photo: Doug Mills/The New York Times)

Palestinians cooking over a fire in Khan Younis, Gaza, on Wednesday. President Biden said on Wednesday that the endpoint of the Israel-Hamas conflict had to be a Palestinian state.
(Photo: Yousef Masoud for The New York Times)
Israel-Hamas War
Biden Says Palestinian State Must Be Part of Peace Solution
U.S. President Joe Biden said on Wednesday that the endpoint of the Israel-Hamas conflict has to be a Palestinian state that is “real,” existing alongside an Israeli one.
He added that he and his aides have been negotiating with Arab nations on next steps, but did not give any details.
By Edward Wong
The New York Times - November 16, 2023
•
•
COMMUNITY WARNING - GRAPHIC CONTENT: The following ABC News article ‘As Israeli air strikes rain down on Gaza, paramedics like Yasser put themselves in danger to save lives’ contains graphic pictures and descriptions of war that some viewers may find distressing.

Yasser Abed is a paramedic in Gaza. (ABC News)
The faces that haunt Yasser

As he leaves the hospital to return to the bomb site, Yasser sheds a few tears. (ABC News)
'I stay for the children'

Yasser and his team know that their work puts them in great danger, but they continue to race to the scene of air strikes to save others. (ABC News)

A grandfather cradles his granddaughter after an air strike on the Deir el-Balah neighbourhood. (ABC News)

A man carries his injured friend out of the site of an air strike in Gaza. (ABC News)
As Israeli air strikes rain down on Gaza, paramedics like Yasser put themselves in danger to save lives
The United Nations says about 2,700 Gazans are reported missing in the war so far – likely to be buried or crushed underneath bombed buildings.
By Middle East correspondent Allyson Horn in Jerusalem and ABC staff in Gaza
ABC News - November 18, 2023
#Middle East#Israeli-Palestinian conflict#Israel-Hamas war#Peace activist May Pundak#Peace activist Ron Pundak#Peace activist Rana Salman#Peace process in the Middle East#US President Biden calls for two-State solution to Israeli-Palestinian conflict#Gazan paramedic Yasser Abed
0 notes
Text
youtube
0 notes
Text
Diduga Disembunyikan "Wong Samar", Bocah Usia 11 Tahun Hilang Usai Mancing
Diduga Disembunyikan “Wong Samar”, Bocah Usia 11 Tahun Hilang Usai Mancing
Mangupura, baliwakenews.com Seorang bocah bernama I Made Deandra Harumbawa Andyana(11) hilang usai mancing di kolam ikan belakang rumahnya. Setelah lebih dari 24 jam dilakukan pencarian, bocah asal Banjar Busana Kaja, Desa Baha, Mengwi, Badung, itu belum juga ditemukan. Menurut Kapolsek Mengwi Kompol Nyoman Darsana mengatakan, siswa kelas VI SD itu dilaporkan hilang pada Senin 19 Juli 2021…

View On WordPress
0 notes
Text
Golden Yellow (Part 2 : Hujan)
“So, do you have any questions so far miss Naira?”
“Would you mind letting me know, what’s the next steps will be with my candidacy?” Entah energi dan rasa percaya diri dari mana yang menggerakkan Naira hari itu. Ia merasa dunia sedang menjadi miliknya. Ini pasti berkat doa bapak. Dan tak bisa dipungkiri, sepanjang interview dan presentasi singkat itu, senyum dan binar matanya sungguh memukau.
“We’ll probably want to get you back soon to meet with Mr. Wong, we’ll contact you later for the schedule”. Buncah bahagia itu tak bisa ia pungkiri. Berterima kasih se-elegan mungkin dan menjabat tangan interviewer satu per satu. Sebuah hal yang ia visualisasikan sedari dulu, sejak ia pertama kali membidik perusahaan ini menjadi tempat bertumbuhnya suatu saat nanti. Dan hari ini semesta memenuhi janjinya. Ia keluar ruangan interview dengan hati yang penuh rasa bahagia, namun ia putuskan menahan kebahagiaan itu sementara, hingga mendapatkan tempat yang tepat untuk menelpon dan membagikannya kepada bapak dan ibu di desa.
Jika aku harus jujur, senyum dan binar mata itu pula yang berhasil membuatku tersenyum dan merasa bahagia ketika menuliskan cerita tentangnya.
…
12 Panggilan tak terjawab.
Tulisan pertama yang mengalihkan perhatiannya ketika melihat gawainya di depan kaca toilet besar lantai dua puluh tujuh. Apakah ibu penasaran bagaimana hasil interviewku? Tapi kenapa harus menghubungiku sebanyak itu?
“Tuut.. tuuut..” Dengan tangannya yang sedikit gemetar dan jantungnya mulai tak karuan, ia mencoba menelpon balik ibu. Jujur saja perasaan tak enak itu seketika menggantikan buncah bahagianya. Naira berusaha menenangkan dirinya sebaik yang ia mampu. Menarik nafas dan membuangnya perlahan. Bukankah itu hal mudah yang sudah selalu ia praktekkan?
“Tuuuut..” Sudah kali keempat Naira coba menghubungi ibu. Tapi tak ada jawaban.
Untuk pertama kalinya ia tak pernah sekhawatir itu. Bahkan ia tak siap dengan kemungkinan terburuk yang ia harus hadapi. Bayangan yang ada ia tepis mentah-mentah. "Semua bakal baik-baik saja. Oke. Bapak baik-baik aja. Ibu baik-baik saja. Aku harus baik-baik saja." Ia diam sejenak. “Aku harus cepat pulang”. Ia memutuskan mengambil jadwal kereta tercepat yang bisa ia raih. Membiarkan tiket yang telah ia persiapkan sebelumnya hangus.
…
Lik Narto. Nama itu gantian muncul di handphone Naira. “Halo. Lik, bapak ibuk dimana? Dari tadi Nana coba telpon gak bisa.” Sepersekian detik Naira langsung mengangkat panggilan itu, suaranya parau. Tak bisa dipungkiri kini wajahnya sudah basah.
“Sing sabar ya nduk. Bapak nunggu kamu di rumah.” Sayup terdengar suara ramai di seberang sana. Bukan suara tawa. Hanya ada tangis dan ucapan samar bela sungkawa, turut berduka cita. Naira tak bisa berkata apapun lagi. Tubuhnya lemas di atas kereta Jayakarta.
“Nggak mungkin. Aku pasti salah dengar. Tapi kenapa Lik To menyuruhku sabar? Bukankan bapak memang selalu menanti kepulanganku? Tidak. Pasti Lik To salah. Semua baik-baik saja kan?” Seakan tak percaya atas apa yang barusan didengarnya, malam itu Naira bergelut dengan pikirannya sendiri. Air matanya sudah tak terbendung. Berkali-kali ia memegang kepala dan mengusap wajahnya. Mukanya memerah. Ia tak bisa berfikir jernih. Rasanya ingin tidur dan semua akan kembali membaik saat bangun. Naira ingin lari. Tapi bahkan menggerakkan kaki saja beratnya setengah mati.
...
Akhirnya pagi itu Naira membuka kembali matanya. Yang terakhir ia ingat hanya halaman depan rumahnya. “Bapak!” Seketika ia beranjak bangun tanpa aba-aba. Tenaganya habis. Ia kembali kehilangan kesadarannya.
…
Naira memandangi makam bapaknya yang tertutup bunga segar. Penuh. Hingga tanahnya tak lagi terlihat. “Seharusnya Nana nggak perlu berangkat ke Jakarta. Harusnya Nana paham maksud kata-kata Bapak. Nana egois. Nana e..goiiss.”
Ibu mengelus punggung anak sulungnya dengan lembut. Ia tak bisa berkata-kata. Kesedihan itu begitu membungkam, terlalu mencekam untuk bisa dicerna. Lisa hanya bisa memeluk erat tangan ibunya menyaksikan kakaknya begitu kacau. Ia ingin memeluk Naira, tapi juga tak kuasa membuyarkan Naira yang sedang bermesraan dengan kesedihannya. Ia tau ada jarak yang belum bisa ia tembus disana. Sebagaimana diamnya Lisa yang sangat sulit diterka, kecuali oleh ibunya.
…
Pria itu memohon pamit kepada Ibu setelah berdoa dan menaburkan bunga mawarnya untuk Bapak. Sesekali ia melirik Naira, bersimpati padanya. Tapi Naira, yang terlalu larut dalam tangisnya, sama sekali tak menyadari kehadirannya. Nak Andi, seorang yang sangat dekat dengan bapak belakangan ini, ia mencium tangan ibu dan mengusap kepala Lisa sebelum pergi. Ia begitu menghormati bapak, seseorang yang telah membantunya mewujudkan mimpinya di Karangbangun ini.
5 notes
·
View notes
Text
EDELWEIS
- LEMBAR 1 -
“Kukira kamu menunggu moment ini!?”
“Hey, kemarilah!”, Suara itu memecah lamunanku.
“Ya tentu!”
Perlahan telunjukku mengarah ke sisi lain di puncak kala itu, seperti ingin menunjukkan sesuatu.
“wah Edelweis! Cantik banget, bagaimana kalau kubawa pulang saja!?” dia mendatangiku dengan antusias.
“Hey hey! Nikmati saja langit di sebelah barat itu, bunga itu sudah cantik seperti itu, jangan kau rusak.” tegurku dengan senyum dan sedikit kerutan di dahi.
“Okey, lagipula aku tak ingin jadi kriminal.” jawabnya lesu.
“Ayo kita cari tempat kosong, aku gak mau kehilangan moment ini” kugenggam lengannya lembut sambil menggiringnya menjauh dari bunga itu.
Entah sedari tadi ada yang mengganggu fikiranku, Edelweis itu, tentang dia, dan kenapa kami di sini. Seperti aku pernah berada di situasi yang sama. Entahlah, masih terlalu samar di kepalaku.
____
Jumat sore itu kami mempersiapkan segala sesuatunya, yaa… setidaknya cukup untuk persediaan 2 hari selama di puncak. Kami sudah merencanakan momen ini sejak lama, aku yang memaksanya ikut bersamaku. Aku tak mau melamun bisu di atas sana, melalui 2 putaran matahari bersama orang asing yang entah darimana saja datangnya. Hampir habis senja, bus tujuan Salatiga harusnya masih beroperasi, jadi kami menunggu di tepi jalan ringroad saja. Sudah siap, mirip pelancong beserta tas besar masing-masing yang cukup membuat pegal bahu. Kami menunggu sambil ngobrol ringan menunggu bus yang (mungkin) lewat.
“kamu yakin kita bisa menemukan bus di sini? Hampir 2 jam dan kita masih di sini saja.” tanya dia agak khawatir.
“Semoga ya…” aku mencoba meyakinkan. “seharusnya ini jalur terakhir yang dilewati bus itu.”
Langit mulai gelap, oranye berubah merah menyala. Cukuplah pemandangan itu untuk menghibur kami yang hampir kering menunggu bus lewat. Hari itu memang lagi cerah, beberapa hari hujan tak kunjung turun, pertanda baik diawal perjalanan menurutku.
“yoh dek munggah oo, neng buri ono sing kosong!” (“ayo dik naik, di belakang ada yang kosong”)
Kusudahi memandangi awan dengan membatin penuh rasa syukur. Tanpa basa basi kami masuk ke dalam bus dan mencari tempat kosong yang cukup untuk berdua, beserta tas besar kami.
“Arep nengndi dek?” (“tujuannya kemana dek?”) seorang kernet bis mendatangi kami dengan membawa segepok tiket di tangannya.
“Solotigo pak, saget boten?” (“ Salatiga pak, bisa tidak?)
“Nggih jih iso. Satus, dinggo wong loro toh?” (“Iya masih bisa. Seratus, untuk 2 orang, kan? ”) sambil merobek tiket dan menyodorkannya ke saya.
Tiket sudah di tangan, dan kami menemukan tempat yang pas untuk mengisi tenaga sebelum memulai perjalanan di pemberhentian selanjutnya.
1 note
·
View note
Text
Rivera : Chapter 3
“Bego!”
Rivera memekik tepat disampingku, menutupi sepasang matanya dengan lengan. Tersedu-sedan, namun samar terdengar karena dentuman musik cafe yang lebih keras menggaung.
Itulah umpatan terakhir yang ia katakan, sedang aku sudah sejak tadi mengalihkan pandangan, melihat ribuan kendaraan yang lalu-lalang namun rasanya kosong. Aku melayang ke beda alam, terdiam di beranda rumah sanubari miliknya yang sejak awal telah dibuatnya aku masuk untuk mengikuti kisahnya, membuat emosiku teraduk-aduk dan akhirnya menyerah pasrah.
“Kenapa sih lelaki tuh bego banget?” mata sembabnya melihatku.
Aku yakin, ucapan itu tak ditujukan untukku, aku pun tahu pada siapa serapah itu menuju, tetapi aku merasai juga sakit seperti sembilu ketika perempuan manapun berani menyudutkan genderku. Hanya saja aku sudah tak mampu membalasnya dengan balik mengumpat, hanya kedua pundakku yang kuangkat tanda aku tak ambil pusing untuk tanya yang membabi-buta itu.
“…padahal dikit lagi, coba Nan.. dikit lagi,” isaknya makin menjadi.
Aku kepulkan lagi sebatang kretekku, membuatnya menjadi bulatan yang menebal lalu sepersekian detik kemudian hilang diterpa angin. Setelah kuhisap, rokok itupun mengeluarkan bunyi terbakar yang aneh, seaneh gelisahnya hatiku menekuri perawan yang masih memunggungi lengannya sejak tadi. Hanya ada aku dan Rivera yang ada di luar cafe, sementara orang-orang yang duduk di dalam memandang kami dengan sejuta tanya. Perduli setan, bukan urusanmu kawan. Hari ini biarkan hidupku berepisode drama.
Rivera masih terisak, ketika aku sudah hampir bosan,
“Udah lah Ver, lagian lunya juga sih yang salah,” pungkasku, sambil mematikan api rokok yang telah sekarat.
“Gue cuman mau liat keseriusan dia, Nan!”
“Tapi ngga gitu juga Ver caranya. Lu sempet mikir panjang ngga, sih?”, Aku hampir menggertak. Merasa jenuh.
“Gue ngga mau kesannya gue itu cewe gampangan, Nan. Gue mesti liat sejauh mana dia mau memperjuangkan gue,”
Ah, rese! umpatku dalam hati. Sedari tadi, alasan yang kudengar dari Rivera hanya nonsense. Yang terlihat cuma egoisnya saja, tanpa mau mengakui bahwa dia juga yang menyebabkan masalah seperti ini ada. Dia yang memantik api dalam sekam, lalu dia juga yang teriris dalam tangis. Yang egois itu siapa sih, Ver?
Aku memantik calon puntung ketiga, bersama asap yang kuhirup, kubuang semua rasa kesalku ke udara. Mematut diri, melihat ke sudut jalan, membiarkan Rivera menghabiskan tangisnya sampai tandas, yang semoga membawanya pada muara kesadaran tentang betapa naifnya dia memandang masalahnya. Sedang aku? Kalau sudah terlalu keruh, aku sendiri kadang buntu hingga sisanya hanya amarah yang akan mewakili.
Rivera, kenapa sih kamu berani menyakiti? Yang kutakutkan sejak saat itu benar terjadi.
*
Lelaki itu bernama Tarra. Dia bukan artis, tetapi sifatnya memang budiman. Dia anak baik yang lebih cocok mungkin tidak pacaran. Tetapi, aku sering mendengar ia kadung sudah mengejar Rivera sejak semester dua. Pernah diceritakan Rivera kepadaku, bahwa Tarra ini adalah anak seni tari plus pemusik aestetik yang sejak dulu sudah memikat hati Rivera. Aku sih tidak ambil pusing, wong tidak tahu karena tidak sekampus dengan mereka. Hanya menertawai cerita yang selintingan kudengar dari sana-sini. Gila, anak baik-baik begitu kok ngebet sama anak slengean macam Rivera.
Dia katanya memang punya segalanya, terutama wajah rupawan manis memikat. Tidak terlalu aneh kalau banyak perempuan yang kepincut. Utamanya, kalau setiap pasang mata melihatnya bernyanyi, rasanya beraksi seperti bumi miliknya sendiri. Bahkan, Rivera tak segan mengongkronginya kalau sedang berkumpul di markas anak musik di kampusnya sampai larut malam, dan lagi-lagi hanya dia perempuan yang berani seperti itu.
Meski begitu, Rivera sebenarnya juga punya pertahanan tinggi seperti pagar istana, dengan segala pesonanya. Aku, Adrinandi, yang sudah sejak awal masuk kuliah sudah mengenalnya merasa paham betul karakter anak perempuan satu ini. Tidak ada yang paling kutakuti selain satu sifat lemahnya ; suka meremehkan.
Bagiku sebagai orang luar, cerita soal Tarra acapkali terdengar dari Rivera, yang selalu kami simpulkan dengan tawa. Rivera menyebut Tarra sebagai si anak soleh yang sok-sokan mau menggaet hati sang biduan, dirinya seorang. Kontan saja, sinismeku menguap-nguap di sudut kampus ini. Terakhir, si Belek, seorang gitaris yang sempat magang di markas musik mereka akhirnya angkat kaki karena tak kuat dibully, apa lagi masalahnya kalau bukan karena berani mendekati Rivera. Parahnya, Rivera sendiri yang mengata-ngatainya di depan semua anak-anak, begitulah yang kudengar. Sinting memang. Bagiku, Rivera sebagai perempuan memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri, tidak untuk digoda, apalagi dimiliki. Ia bahkan sudah dianggap seperti lelaki.
“Gue bakal ngetes Tarra ah, Nan, Kir,” ucap Rivera suatu hari, dua bulan sebelum ini.
Aku dan Irham a.k.a Bokir, teman sekelasku yang diajak bicara, meleng sebentar ketika kami sedang menyetem gitar. Kebetulan kami bertiga sedang bersantai di pelataran parkiran kampusku, suatu sore dimana giliran Rivera yang menyambangiku. Sedang enak-enak menggenjreng gitar, ucapan Rivera menohokku seperti sedang tersedak biji salak.
“Maksud lu, Ver?” Bokir menyela,
“Anjis ini mah ngga akan bener lu, Ver,” Aku menghela nafas panjang.
Rivera tertawa sesaat, “Tarra ternyata ganteng, euy. Mau gue tes ah sejauh apa dia ke gue,”
Bokir mendengus. “Yang namanya Belek ngga cukup jadi tumbal lu, Vera?” ujarnya.
Aku hanya terdiam menyetem gitar yang malah makin kendor, sedangkan pikiranku menangkap gelagat yang aneh dari Rivera. Perempuan ini mau apalagi?
“Lah kok elu tau si Belek? Rinan cerita ya?” Ia melotot padaku, dan giliranku menyikut pundak si Bokir.
“Hahaha, diem aja lu pada. Semoga Tarra ngga secupu si Belek,” ujar Rivera pongah.
“Gile lu, Ver. Tobat lu,” aku terpelatuk.
“Iya, anjir. Maneh nanti kena batunya siah,” tukas Bokir, yang aku tahu kalau dia sudah berbahasa Sunda, tandanya dia serius.
Rivera hanya tertawa. Sinisme lagi-lagi menguap di udara.
.
Hampir sebulan setelahnya aku tak mendengar lagi perkembangan dari cerita ini. Memang sih, aku dan dia tidak sekampus tetapi aku kenal beberapa anak tongkrongan markas musik setelah sekali waktu pernah berkunjung kesana diajak Rivera. Cuma aku sifatnya memang tak mau usik dan usil atas kesibukan orang, biarlah. Lagipula, aku tak khawatir akan apa yang dilakukan Rivera dengan eksperimen hubungannya itu. Paling-paling dia nanti akan cerita sendiri hasilnya akan seperti apa.
Hari itu Sabtu, kuingat itu sekitar jam empat sore. Aku sedang berada di salah satu factory outlet di Cihampelas untuk membeli bandana, ketika kulihat dari kejauhan ada sosok Arif si pentolan anak markas musik. Sedang santai, aku menepuk pundaknya yang tampak terkaget dengan kehadiranku. Untung dia ingat namaku, sehingga kami tidak terlalu kikuk. Kebetulan, katanya dia juga baru mampir dari markas musik sebelum kesini. Aku bertanya soal Rivera, dan Arif hanya mengangguk tak pasti.
“Yang urang liat sih, tadi dia pergi,”
“Ama?” ucapku datar. Sangat tidak aneh kalau Rivera tepergok pergi dengan lelaki.
“Tarra,”
“Weh? Malmingan mereka?”
“Teuing, mereun. Kayanya sih gitu,” oceh Arif, sambil meraih belanjaan kausnya menuju kasir. “Udah semingguan ini dia balik ama Tarra, urang ga pernah liat sih. Si Vera yang cerita,”
“Wah iya? hahaha,” aku tertawa, namun sumbang. Aku ingat betul apa yang Rivera ingin lakukan ke Tarra. Tentang rencananya, eksperimenya, sinismenya. Memuakkan.
“Yoi. Beruntung banget tuh si Tarra,” pungkas Arif, sambil tos denganku dan akhirnya berlalu. “Bisaan euy, dapetin si Rivera. Teuing make jimat naon, haha. Urang cus nyak!”
Arif meninggalkanku dengan raungan motornya, sementara aku hanya berusaha bernafas lebih panjang dari sebelumnya.
Sayangnya tidak. Rivera tak benar-benar menyambut Tarra dengan hatinya. Kasihan, bukannya pintu hati, yang ia temui malah kerangkeng sinisme yang perlahan memenjarakan asanya. Si Belek saja tidak kuat, apalagi anak baik-baik seperti Tarra. Ah, tak ada yang perlu kusemogakan selain hanya prasangka baik yang perlahan kuserap pelan-pelan ; Amit-amit jabang bayi, kalau aku nanti punya pacar yang modelnya seperti Rivera begini.
Kustarter Piaggio-ku meninggalkan jalan Cihampelas yang makin macet ini menuju ke pusat kota.
.
Dua minggu berlalu.
Aku hampir melupakan cerita drama percintaan Rivera, ketika ia baru saja mengirimkan pesan Whatsapp sepulang kuliah. Penting, katanya, malam ini ditunggu di cafe di daerah jalan Linggawastu. Tumben, hari Jumat sore begini, feelingku merasa ada yang tak biasa. Aku sebenarnya malas, tapi memang tidak ada kerjaan juga. Anak kelasku entah berkeliaran kemana, kantin kampus sepi, parkiran mahasiswa hampa, pun Persib tidak ada jadwal main. Alhasil, tidak ada alasanku untuk menolak. Berjanji paling telat jam 8 malam sudah di lokasi.
Café bernuansa kuning krem dengan pajangan mobil klasiknya ini sedang tidak begitu ramai ketika kuparkirkan Piaggio-ku. Tidak terlihat Mini Cooper milik Rivera. Si kampret ini pasti telat. Dia yang manggil eh dia yang telat, memang dasar. Tapi tanggung lah, maka aku langsung menuju lantai tiga, spot penjuru kanan yang kabarnya punya sinyal wifi paling kencang, -dan tentu saja, tempat paling sreg untuk meninjau pandang sepanjang Jalan Cihampelas dan jembatan Pasupati.
Dan ternyata Rivera sudah disana, termenung di punggung tangannya, menghadap utara. Dia tidak menyadari kehadiranku, malah aku yang menyadari kalau di mejanya sudah ada sebungkus rokok mentol tanpa pemantik. Aku berjingkrak mengejutkannya, tapi ia hanya menoleh tanpa respon berarti.
“Ngerokok mulu, lu? Kempot tar tuh pipi,” Ucapku, seraya menelunjuki barang bukti.
“Beloman juga dibuka,” ucapnya berdesah, tampak enggan “Gue udah beli mentol disini, eh lupa ga bawa zippo. Minta ama mas-masnya, eh pada ngga ngerokok. Ya udah gue nunggu lo deh,”
“Cih. Ngga akan gue kasih,” keluhku. Mataku membulat, memeriksa apa gerangan yang menjadi kabut hitam di harinya. Terlihat jelas di matanya, sayu menyimpan gumpalan keresahan, tapi harus lebih dijelaskan lagi lewat ucapan.
“Kenapa sih lu, Ver? Stres apaan? IPK lu masih tiga koma, kan?”
“Bodo amat IPK gue, yang jelas masih bagusan dari lu, Nan” tuturnya pelan. Bangke lu Ver, masih sempet sombong juga waktu kaya gini.
“Ini soal Tarra,” dengusnya, perlahan, menegakkan kepala, mencuri perhatianku, “Gue dicampakkan, Nan,”
Ah, demi Dewa, puja kerang ajaib, puja dewa Neptunus bertongkat garpu! Semestinya aku tertawa, meledak saat itu juga. Tapi entah kenapa, dinamit humorku tak bekerja, dicuri oleh dalamnya tatapan Rivera, yang seketika membuat sintesis baru dalam otakku yang masih bekerja rodi mencerna -apakah ini tragedi yang harus membuatku tertawa? Aneh, apakah Vera keseleo lidah? Apa yang tersirat dari kalimatnya?
“Maksud lo, Ver? Dicampakkan? Ngga salah denger gue?” ujarku, sembari teringat pada si Belek. Jadi yang mencampakkan itu siapa, Tarra atau Rivera?
“Gue juga ngga tau, tapi feeling gue kaya gitu Nan,” lirihnya, dengan dagu berpunggung tangan.
“Emang udah jadian?”
“Belom, eh, hampir,”
“Lah?”, aku membenarkan letak dudukku, “Jadian belum, dramanya udah kelar, gimana sih?”

“Tauk ah! Dia bego emang! Gue udah suka sama dia, tapi dianya malah cemen, ngga mau memperjuangin gue lagi,”
Segalanya makin aneh, apalagi ketika bulir air mata pelan-pelan menitik dari pelupuk mata Rivera. Sekian tahun aku mengenalinya, baru sekarang aku merasa kalau Ia benar-benar seperti perempuan, yang pasti mengalirkan air mata karena perasaannya yang lembut. Lambat laun, ia mulai merintih sambil menundukkan kepala, membuatku menjadi resah, sementara orang-orang di bagian dalam cafe beberapa kali mencuri pandang ke arah kami.
‘Gue cuman ngasi dia tantangan,” Isak Rivera, masih menutupi matanya, “Gue cuma mau liat sejauh mana keseriusan dia. Awalnya gue ngga yakin pada awalnya, tapi…”
“Tapi….”
“Tapi…”
Kata menggantung itu hanya diulangnya sambil tersedu-sedan. Sedang aku hanya diam menyimak, meski lirih ucapannya beradu dengan bisingnya klakson kendaraan yang lalu lalang. Kupusatkan perhatianku meski sorot matanya tak dapat kulihat.
“…Gue akhirnya suka beneran ama dia, Nan,”
Aku menghela nafas panjang. Berondongan tanya yang sejak tadi merunyam masih coba kutahan. Masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan.
“Trus…kenapa lu akhirnya sedih, Ver?” Aku beringsut lebih dekat.
“Gue cuma kecewa aja, padahal gue udah mulai suka ama dia. Gue cuma nguji dia kok, seberapa tangguh dia kalau gue diem, kalau gue ngga mood, kalau gue lagi bingung mau ngapain, kalau gue cuma ngandelin kata ‘terserah’, kalau gue kadang ngga acuh ama dia….”
Giliranku sekarang menutup mata, mengusapnya berkali-kali. Kini jelas, semuanya menjadi terang. Ada kemasygulan yang tak tertahankan, kalau bukan karena nuraniku yang masih terpegang, aku sudah sejak tadi ingin memuntahkan lahar kekesalan. Vera, Vera, kenapa kau begitu tampak arogan?
Aku hanya mendengus berkali-kali, lalu mencoba menghidupkan puntung pertamaku. Sempat bergetar tanganku, hanya karena menahan kesal.
“Lu kena karma, Ver,” tegasku, “Lu mainin hati cowo yang udah mati-matian ngejar lu,”
Ia mendongak. “Dianya aja cemen, gue kan cewe, yang harusnya diperjuangin!”
“Tapi ngga gitu juga caranya, Vera! Lu mesti tau batasan juga!” Aku muntab.
Tangis Rivera tertahan, kurasakan Ia mengumpulkan juga benih amarah yang seketika itu langsung memuncak.
“Oh, gitu? Jadi menurut lo, segampang itu dapetin cewe, iya? Cuma bilang “sayang” trus cewe jadi mudah luluh tanpa ngelihat perjuangan si cowo itu dulu, iya? Jadi, tanpa usaha, cinta lu bisa diterima dengan gampang, iya?”
Aku mau tak-mau harus menyela. “Perjuangan sih perjuangan, tapi bukan berarti lelaki bisa dipermainkan kaya gitu, Ver!”
“Alah, munafik lo, Nan! Dimana-mana juga kaum gue yang suka dipermainkan oleh laki-laki kaya lo! Udah sering dimana-mana gue liat, cewe yang baik-baik malah sering ditinggalin karena dia terlalu baik, Rinan! ………”
“…….Gue kasi tau, kadang cowo itu ngedeketin cewe ngga pake banyak usaha karena tau kalau cewenya itu baik! padahal lu tau sendiri, segala sesuatu yang ngga didapetin pake usaha keras itu jarang dihargai, Nan! Akhirnya cewe-cewe itu ditinggalin karena menurut mereka ngedapetin si cewe itu ngga ada tantangannya, ngerti ngga sih lu?….”
“……Gue sebagai cewe, ngga mau digampangin gitu aja, Nan! Ngga mau gue ama cowo yang cuma modal rayuan terus langsung minta jadian, najis gue! Udah banyak kasus temen-temen gue yang terlalu ngemudahin cowo buat ngedapetin hatinya, yang akhirnya malah disia-siain. Ngga adil, Rinan! Ngga adil! Ngerti ngga sih maksud gue?”
Rivera meraung, sedang sudah kusut masai mukanya mengusap bekas aliran air mata. Sedang aku terdiam, termenung, membiarkan amarahnya menurun dengan sendirinya. Sempat tadi ingin kubalas api dengan api, tapi aku sadar kalau itu takkan berguna, perang egoisme antara lelaki dan perempuan, apa gunanya? Sekam pembelaan itu sudah kubuang jauh-jauh, kugantikan dengan asap kretek yang kuhisap pelan-pelan. Membuang keresahan, membiarkan dentuman musik cafe yang mengambil alih keadaan.
.
Malam semakin larut.
Musik sudah mati sejak tadi. Asbakku sudah penuh dengan beberapa puntung yang lintingannya masih tersisa seperempat, tandaku tak benar-benar menikmatinya. Tak ada lagi dengungan manusia-manusia yang keheranan melihat drama percintaan dibalik kaca pembatas cafe, mereka sudah enyah dengan sejuta tanya di kepala masing-masing, tentang apa yang terjadi pada seorang perempuan yang menangis-meledak meledak-lalu membekap kedua matanya dengan punggung tangan, sedangkan si lelaki hanya diam mematut diri, menghabiskan batang demi batang yang terkepul lalu hilang. Suara riuh kendaraan sudah tak kentara lagi, arus kendaraan di jalan Linggawastu sudah perlahan sepi.
Rivera menyudahi dramanya dengan diam. Rokoknya masih utuh, tapi ia tak meminta pantikan zippo-ku. Hampir satu jam sudah ia merenung, dengan arah pandang kami yang bertelekan meja, memandang pepohonan rindang di penjuru cafe. Hentakan emosi sudah lama pergi, yang tersisa hanya sunyi.
“Ver,”
“Hmmm….”
“Lu harus minta maaf ke Tarra,”
Tak ada reaksi. ia tak mengangguk, pun tak juga menggeleng. Giliranku kini yang harus berbicara panjang, mencoba menarik benang simpulan yang terlanjur masai.
“Gue yakin, ini salah paham aja sih. Gue pribadi ngerasa tertohok ama kata-kata lu tadi, emang bener cowo emang harus lebih menghargai apa yang udah dia dapetin, kasih sayang dari cewe yang udah nerima dia apa adanya, terlepas itu usahanya keras atau ngga… gue setuju ama lu, Ver..”
“…..cuma, baru Tarra yang sampai buat lu nangis kaya gini. Baru dia, Vera. Tandanya, apa yang dia lakuin itu membekas di hati lu. Perhatian dia, perjuangan dia, pengertian dia ke lu, itu yang ngebuat diri lu itu sebenarnya udah membuat diri lu tergenapi. Gue yakin, sampai ngebuat lu jadi galau kaya gini, apa yang dia lakukan itu udah sebaik-baik cara, kan? ….”
“…Dengerin gue. Mungkin cara lu untuk menguji keseriusan lelaki itu harus lu liat juga ngga Cuma pake logika, tapi juga pake perasaan lu. Kalau hati lu kebuka, keseriusan seseorang itu pasti bisa lu ukur juga, kan? Gue ingetin lu untuk jadi perempuan seutuhnya sekarang, gunain hati lu yang peka dan lembut itu buat nyari jawaban atas segalanya…”
Aku berucap spontan, tanpa sebelumnya sengaja mengatur kata-kata. Sial, rokokku sudah habis, jadi aku terpaksa melanjutkan lagi dengan mulut yang masam. Aku merasa tak pernah sebijaksana ini sebelum ini, dan rasanya aneh.
“Astari…”
“Hmmmm….” ucap Rivera, lirih.
“Ngerti kan maksud gue?”
“Iya, Rinan..” tukasnya, “Masih belum terlambat buat gue. Semoga dia ngga ngerasain sakit hati yang terlalu dalam,”
“Ver, Gue kasi tau ke lu, kalau lelaki pun bisa terluka, meski dia terkadang ngga ngerti cara ngungkapinnya,” ucapku perlahan-lahan, mendekat. “Lelaki, meskipun dia berhak dan bisa, tetapi ngga akan pernah memilih untuk menangis kaya lu, kaum perempuan. Sesakit apapun hatinya, dia memilih untuk mengekspresikannya….”
‘…..Jadi, jalan termudah untuk itu semua adalah pergi dari lu. Lu ngerti kan sekarang kenapa Belek udah ngga mau nemuin lu lagi abis kejadian tempo hari? Jangan sampe Tarra juga jadi korban ketidak-sengajaan lu, Ver.. padahal bisa jadi perlakuan mereka itu beda banget. Cuma Tarra yang bisa bikin lu nangis, dan lu mengakui bahwa lu kecewa karena dia ngga mampu menuhin ekspektasi lu…”
Rivera mengangguk. Perlahan, aku menangkap sinar yang berbeda dari sorot matanya. Semoga dia mengerti. Hanya dia yang bisa mengambil konklusi dari semua ini.
Aku berdiri, melemaskan ketegangan. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata, memang sudah tidak ada orang. Tak sadar aku kalau bangku-bangku di dalam sudah diangkat ke atas meja, pun terlihat lantai yang basah karena sudah dipel -tanda harus segera angkat kaki dari sini.
….
“Nih, keringin dulu air matanya,” aku mengeluarkan bandana baruku yang tempo hari dibeli. Rivera mengambilnya dengan gopoh sambil menutupi sedikit wajahnya, mungkin karena malu.
“Pulang yuk,” tawarku, “Mau naik vespa butut gue apa naik angkot?”
“Tau aja lu kalo gue ngga bawa mobil,” ucapnya, tersenyum.
“Gue ngga ngerti lagi lu tadi kesini naik apa, Ver. Jalur angkot jauh dari sini. Lu terbang ya?” Ucapku terkekeh, dia pun tertawa berderai. Efek setelah menangis memang akan membuat tertawa, katakanlah itu sebagai proses sublimasi hati.
Tak lama kemudian, vespaku meluncur membelah sunyinya Bandung, dari jalan Otten yang gelap rimbun menuju jalan Pasteur yang dingin, sepi, dan hanya berteman kelap-kelip lampu kota. Rivera hanya diam, dan aku sadar kalau aku harus memberinya kesempatan untuk meresapi makna semua peristiwa yang baru terjadi beberapa jam kebelakang.

Tiba-tiba, ia menoyor helmku dari belakang,
“Tumben lu, Nan. Bisa bijaksana gitu, hahaha,”
“Yaelah, gue gituloh, yang paling kenal lu! Kalau ngga bijaksana, ngapain lu ngajak curhat gue kan?” Aku tertawa.
“Sengak banget lu,” toyornya lagi, sambil balas tertawa.
Tinggal satu lampu merah lagi untuk sampai ke kost Rivera di daerah Maranatha, ketika itu sesumbar ia bicara padaku,
“Kalau akhirnya Tarra ngga mau nerima gue lagi, gimana Nan? Misalnya dia kecewa berat ama gue gitu, gimana yah?”
Aku terdiam. Tak membalas. Kesusahan mencari balasan yang sepadan.
“Kalau Tarra ngga mau, lu mau kan jadi pacar gue, Nan?” ucapnya tiba-tiba, membuat tawaku tersembur.
“Kampret! hahahaha. Gue bukan cowo gampangan kali, Ver. Gue harus nguji seberapa keseriusan lu ke gue, hahaha,” ucapku, sambil melet-melet ke spion yang mengarah ke wajahnya.
Ia hanya tertawa. Lalu diam, hilang bersama deru motorku. Semakin lama, pelukannya semakin kurasakan begitu lekat. Sesempurna inilah kalau Rivera mau menjadi sosok perempuan yang sejati, membuat siapapun lelaki pasti mudah jatuh cinta.
Gue yakin lu bisa berubah Ver, terutama merubah sudut pandang lu tentang laki-laki, ngga semuanya lelaki kaya yang lu pikirin, ucapku dalam hati.
Hingga, tak ada lagi ucap yang bersahutan dari mulut. Entah, kalau dari hati. Celakanya, aku tak bersiap untuk cerita lain lagi yang akan datang nanti.
.
Bersambung...
Bandung, 20 April 2020
Cerita sebelumnya disini
33 notes
·
View notes
Text
Bude Surti Sinden Hot

Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek.

Bude Surti Sinden Hot Namaku Jono. Ayahku, Muji umur 46 tahun mempunyai usaha mebel yang sudah cukup terkenal di Surabaya. Ibuku, Sri umur 42 tahun juga mempunyai sebuah toko di Pusat Grosir terkenal di Surabaya. Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Saat ini aku akan memasuki masa kuliah. Karena aku baru lulus SMU, dan setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, aku diterima di salah satu universitas negeri di Jogja. Karena aku harus tinggal di Jogja, Ibuku menyuruhku untuk tinggal di rumah Bude Surti, Kakak Ibu, umurnya cuma selisih setahun dengan Ibu. Ibu tidak memperbolehkan aku untuk kos supaya aku ada yang mengawasi. Beberapa minggu pertama terasa berat bagiku. Karena mungkin aku tidak terbiasa hidup jauh dari orang tuaku. Di rumah Bude Surti cuma ada anak semata wayangnya, Ipung yang masih duduk di bangku SMP. Sedangkan suaminya pergi ke luar pulau. Karena bekerja sebagai kontraktor jalan, dan mendapat proyek di Banjarmasin. Dan terakhir pulang saat Lebaran tahun lalu. Bude ku dulunya adalah seorang sinden. Dulu, kata beliau tiap hari hampir pasti ada tanggapan. Tapi sekarang dia mengurangi intensitasnya supaya bisa fokus mengawasi sekolah Ipung, anak semata wayangnya. Hingga pada suatu hari ada suatu kejadian yang membuatku mulai merasa kerasan tinggal di Jogja. Saat itu aku baru pulang kuliah. Jam menunjukkan jam 4 sore. Di rumah ternyata tidak ada orang. Mungkin bibiku ada tanggapan pikirku. Karena kecapekan aku tidur-tiduran di ruang tengah. Tak berselang lama Budeku datang. Dia memakai kebaya khas sinden. Aku lihat sekilas sih badannya masih montok. Gak gembrot kayak ibu-ibu lainnya. Bahkan menurutku, ibuku kalah montok dengan Bude Surti. Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek. “Loh kamu dah pulang to le,” kata Budeku. “Iya bude. Abis kuliah siang. Bude habis tanggapan yah?” jawabku. “Iyah dari desa sebelah. Loh kamu sakit ta le. Ya wes mandi biar seger. Tapi bude dulu ya yang mandi. Keringetan dari tadi,” kata Bude. Bude ngeloyor masuk ke kamarnya. Tak berselang lama Bude keluar dari kamar. Yang bikin aku kaget adalah dia waktu itu memakai handuk yang hanya menutupi sebagian dada sampai hanya sebagian pahanya. Jelas terlihat sebagian tetek Bude yang gede. Yang seakan hendak meloncat keluar. Tapi kulihat juga tali BHnya. BHnya sepertinya tidak dia lepas. Selain memperhatikan tetek yang gede itu, aku sepintas mencuri lihat ke bokong nya yang juga sangat montok pikirku. Hmmmm... pelahan adikku mulai berontak dan bikin celana sempit. Bude mondar-mandir seakan ada yang dia cari. Dan dia berhenti di pojokan dekat aku tiduran tadi. Ternyata dia mau mengambil BH dan celana dalam yang kering habis dicuci di keranjang cucian. Karena tempat cucian keringnya berupa keranjang dan ditaruh di lantai, dia mengambil dengan cari membungkuk membelakangiku. Entah tidak sadar atau gimana, saat dia menungging, bokongnya yang super semok itu jelas terpampang. Dan aku melihatnya dengan jelas. Tentu juga celana dalamnya yang seolah tidak muat membungkus bokong itu. Uhhhhhhh... bikin kontolku mulai bangun nih. Terus kuperhatikan saat dia nungging, terlihat di tengah-tengahnya seperti daging yang menyembul. Agak tembem. Dan terlihat samar-samar warna hitam di balik sempak Bude. Sssssssshhhh... ini pasti memek Budeku yang ditumbuhi jembut. Aku jadi penasaran pengen melihat betapa tembemnya memek Bude dan lebatnya jembut Bude. Makin lama kontolku makin keras saja ni. Tak seberapa lama Bude selesai memilih celana dalam dan BH untuk ganti. Waaaaaahhh... rejeki yang kecepetan pikirku. Dan Dia akhirnya masuk ke kamar mandi. Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek. Baru masuk kamar mandi, ada suara “serrrrrrrrr... serrrrrr...” keras sekali. Wah ini pasti Bude lagi kencing. Aku semakin penasaran nih sama memek Bude. Nyemprotnya sampek segitu keras. Aku berfantasi yang lebih liar, mungkin karena aku sering nonton film bokep di laptop. Beberapa menit kemudian, Bude keluar dari kamar mandi dengan sudah memakai daster. Dan dia menyuruhku untuk mandi. Aku pun bergegas mandi. Setelah masuk ke kamar mandi, aku mendapat rejeki lagi. Di kaitan baju dalam kamar mandi terpampang dua benda yang bikin kontolku berdiri secara perlahan. Kulihat BH dan celana dalam Bude. BHnya gede. Celana dalam berenda itu kulihat ada bekas kuning di bagian depannya. Wah ini bekas kencing Bude pikirku. Akhirnya aku tidak kuat, karena dari tadi kontolku sudah mengeras saat aku melihat dan memegang megang Celana dalam dan BH Bude. Akhirnya aku selesaikan dengan mengocok sendiri. Ku kocok-kocok makin lama makin cepat. Dan... crrrooooott... crooootttt... menyemburlah sprema ku. Uhhhhh legaaa... tapi aku masih penasaran dengan isi sebenarnya dari BH dan celana dalam Bude. Hari makin hari makin malam. Setelah makan malam, aku, Bude dan Ipung lagi lesehan di depan TV. Malam ini Bude memakai daster dengan belahan paha yang agak tinggi. Duduknya bersimpuh. Khas seperti sinden. Dia disibukkan dengan menjahit baju. Sedangkan aku dan ipung tiduran di depannya menghadap TV. Iseng-iseng aku mencuri pandang ke arah Bude. Sepintas aku lihat dia duduk pahanya agak membuka. Wah walaupun agak gelap dan samar aku bisa lihat mulusnya paha Budeku. Ini yang membuat aku berpikiran jorok dan membuat tegang kontolku. Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek. Hari makin malam, Ipung yang ngantuk pindah ke kamarnya. Sambil menonton TV Bude dengan aku ngobrol-ngobrol. Bude : “Gimana kuliahnya kamu Jon?” Aku : “Baik Bude. Seru temen-temenku.” Bude : “Dah punya cewek belum kamu le?” Aku : “Belum Bude masih pilih-pilih... hehehe...” Bude : “loh yang kemarin... sapa tu namanya? Wulan? Itu bukan pacarmu to?” Aku : “Oh itu. Belom Bude. Aku masih kurang Sreg. Dianya itu yang ngebet ma aku.” Bude : “Oooo.. tapi kapan hari Bude intip kamu lagi ciuman tu pas dia dateng ke sini.” Mendengar itu aku kaget dan malu. Wah ternyata diam-diam Bude mengawasiku kalau lagi indehoy. Aku hanya senyum-senyum. Bude : “Gpp le, namanya juga anak muda. Bude dulu juga gitu. Selain ciuman kalau lagi berduaan sepi kamu ngapain lagi hayooo?” Bude menggodaku sambil senyum-senyum. Aku pun dibuat salah tingkah olehnya. “Ngapain? Gak ngapa-ngapain kok Bude,” jawabku sedikit gugup. Bude : “Hmmm ngakunya gak ngapa-ngapaiiiin. Padahal bude pernah ngintip kamu loh. Kalian saling remas barang masing-masing. Hhihihi...” Aku kaget lagi. Ternyata bude tahu kalau aku sering grepe-grepe. Bude : “Gak usah malu gitu le. Kalaupun kamu keterusan, yang penting kamu bisa mnegerti betul tentang sex.” Aku terperangah. Jarang-jarang Bude ngomong seperti ini. Aku : “Eee.eee.. Maksudnya Bude?” Bude : “Yaaa.. seandainya kamu gak kuat dan terpaksa itu otong kamu kepingin muntah. Yaa seenggaknya kamu pake kondom gitu le.” Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek. Bude ngomong begitu sambil menunjuk ke arah celanaku. Dia tidak tahu kalau isinya sudah tegang hasil mengintip paha yang kelihatan karena duduknya agak membuka. Aku : “Eee.. I.. I.. iya Bude.” Bude : “Gimana rasanya teteknya si Wulan itu le? Enak?” Aku : “Eee.. lumayan kenyal Bude,” jawabku dengan agak meringis. Dan akupun semakin berani karena arah pembicaraan sudah memanas. Aku : “Kalau Bude gimana. Pakde kan jarang pulang. Kalau pengen begituan gimana donk Bude?” Aku sedikit takut akan pertanyaanku. Tapi ternyata dia merespon pertanyaanku tanpa marah. Bude : “Hmmm.. mau tau aja kamu Jon.” Bude : “Iya kalau kamu Jon, gak kuat nahan paling-paling dikocok sendiri. Anak muda kan gitu biasanya.” Bude : “Oh iya le.. ntar kalau jahitnya selesai, kamu pijit Bude ya. Pegel semua abis ada tanggapan 2 tempat tadi.” Aku : “Iya bude.” Wah rejeki apalagi nih pikirku. Bisa mijitin badan Bude yang montok. Tak berselang lama, Bude selesai menjahit. Dan dia mengambil minyak urut di kamarnya. Bude : “Mijitnya di sini saja yah le. Sambil lihat TV.” Bude dengan entengnya membuka dasternya dengan hanya menyisakan BH dan celana dalam berenda warna putih. Aku shock, terdiam. Tetek bude serasa mau loncat dari BHnya. Bude Surti Sinden Hot - Liputan Becek. Bude : “Lo le.. kok diem saja. Kayak yang gak pernah lihat ginian. Bukannya wes biasa ama Wulan. Hehehe...” Bude pun langsung tengkurap di tikar dan menyerahkan minyak urut ke aku. Aku : “Beda bude.” Bude : “Beda apanya to le. Palingan tetek Wulan lebih kenceng dari punya Bude.” Sambil melumuri minyak dan mulai mengurut punggung Bude aku melanjutkan ngobrol. Aku : “Hmm... punya Bude lebih montok. Lebih seger kayaknya. Hehehe. Lagian mana tau aku kalau punya Wulan lebih kenceng. La wong aku gak pernah megang punya Bude. Hehehe...” Bude : “Husss ngawur.” Karena Bude masih memakai BH, aku kesulitan untuk mengurut punggungnya. Aku : “Bude behanya dicopot ajah ya, aku gak leluasa ngurut punggungnya. Ada tali behanya.” Bude : “ya wes le, buka aja.” Aku buka tali pengait BHnya. Dan Bude agak mengangkat badannya dan melemparkan BH yang gede itu ke samping. Sekilas aku dapat melihat gedenya tetek Bude dari samping. Aku kembali fokus mengurut punggung Bude. Sekali-sekali aku elus punggungnya. “Hmm..mmmm...” Bude sepertinya keenakan dengan pijatanku. Sesekali aku memijat bagian samping punggungnya. Dan tak sengaja aku menyenggol teteknya. Bude keenakan sepertinya. Tangannya yang sedari tadi nempel di tubuhnya sekarang direnggangkan. Hmm.. kulihat di ketiaknya terdapat bulu yang lumayan lebat. Mirip seperti artis Eva Arnas zaman dulu. Wah ini membuat aku semakin horny saja. Bude : “kok kamu ngurutnya di punggung aja to le. Turun dong biar rata pegelnya ilang.” Aku : “Turun kemana bude?” pura-pura aku tanya. Bude : “Ya ke bokong trus ke paha bude.” Aku : “Oh.. I.. iya bude.’ Aku pun ganti mengurut bokong Bude. Sesekali bokong semok ini aku remas-remas. “Sssstttt... hmmm... enak le pijatanmu” Bude keenakan sepertinya. Matanya mulai merem merasakan nikmat. Habis aku pijat sama meremas-remas aku mulai turun ke pahanya. Aku mencoba untuk hanya mengelus-elus pahanya. Dari bawah jalan ke atas sampai bokongnya. Aku coba tanganku aku selipkan di selangkangannya. Hmmm.. terasa itu memek bude di balik CD nya. Terasa tembem kayak kue apem. Praktis pijatanku ini membuat Bude keenakan. Erangan halusnya makin sering terdengar. “Shhhh.. hhhhh.. hmmmmm...” Saking enaknya, dia sampai sedikit membuka kakinya. Wah memek tembemnya makin keliatan nih. Samar-samar kulihat jembutnya di balik celana dalamnya. Bahkan beberapa jembut keluar dari celana dalamnya. Pemandangan jelas membuat aku semakin horny. Kontolku sepertinya mau berontak keluar. Aku semakin meningkatkan intensitas mengurutku di daerah ini. Bude : “Hmm.. enak le. Makanya si Wulan seneng banget kalau kamu remas-remas le.” Aku : “Hehehe... bude tak lihat-lihat badanya masih sekel. Masih bagus Bude. Montok lagi. Padahal Bude gak pernah olahraga.” Bude : “Bude minum jamu dong. Jamu sehat wanita.” Aku : “Wah enak dong jadi Pakde. Bude minum jamu mulu siii...” Bude : “Ntar kalau kamu udah kawin kamu bisa merasakan enaknya.” Pikirku mulai ngalor-ngidul. “Ah sekarang ajah aku ngentot sama Bude. Merasakan enaknya kayak pakde,” batinku Mungkin karena sudah birahi, terlihat celana dalam Bude agak basah. “Ini mijetnya udah Bude? Mana lagi ni yang mau dipijit?” Aku terpaksa ngomong begitu karena tanganku pun sudah berasa capek. “Loh yang depan belom le.” Whaaaat... wah ini mah rejeki nomplok. Kapan lagi aku bisa menikmati tetek Bude. Tanpa babibu Bude langsung membalikkan badan. Woooooo... tetek Bude yang selama ini cuma bisa aku bayangkan sekarang ada di depan mata. Mimpi apaan nih aku semalem. “Loh ayo le jangan diem ajah. Tetek Bude pegel ini. Ayo cepet dipijet.” Aku pun menurut sama Bude. Kuurut itu tetek Bude. Terlihat tetek Bude pentilnya sudah mulai hitem. Tapi gede. Awalnya sih tidak ada reaksi saat aku memijat sambil meremas tetek Bude. Tapi lama kelamaan Bude menikmatinya. “Wenaaaak joooon...” Mata Bude sambil tertutup menikmati pijatanku ini. Kusenggol pentilnya yang hitem. Sesekali aku pilin itu pentilnya. Shhh... begitu erangnya. Dan entah ada dorongan dari mana, aku mencoba mendekat. Aku coba menjilat itu pentil. “Slllrrrrppp...” sesekali aku kecup, aku sedot-sedot. Tanganku satunya meremas tetek satunya lagi. “Ssssh... aahhhhhhhhh...” erang Bude. Slrrrrrpp.. cupppp.. ceppppp.. slrrpppp.. “Hmmm tetek Bude kenyal banget. Punya Wulan kalah ni Bude.” “Terussss Jooon... enaaaak... duh badan Bude geli semua ini,” Bude meracau. Bibirku sekarang mencoba menggapai Bibir Bude. Kucium. Lidahku masuk ke bibirnya. Aku sedot-sedot. Sampai air liurnya masuk ke mulutku. Ciumanku mulai berjalan dari bibir Bude turun melewati leher dan ke tetek lagi. Ku kenyot-kenyot itu tetek. Tanganku satunya berjalan ke arah selangkangan Bude. Sempaknya yang basah aku gosok-gosok. Pinggul Bude karena keenakan bergoyang-goyang menikmati. Aku masukkan tanganku ke dalam celana dalam. Terasa itu lebatnya memek Bude. Aku cari-cari akhirnya ketemu itu lubang memeknya. “Shhh achhhh... ashhh achhhhh...” Mendengar erangan Bude, aku coba masukkan jariku ke memek Bude. Aku coba gosok kelentitnya. Dan aku coba kocok itu memek. “Sshhhh.. enak leee. Terus leeee.. ya itu di situ le.. wenak leeee...” Goyangan pantat Bude ke atas ke bawah. Aku coba buka itu celana dalam Bude. Bude membantunya dengan membukanya sendiri. Kenyotanku pada teteknya aku hentikan. Aku sekarang dapat melihat betapa rimbunnya memek Bude. Bude mengangkang. Wajahku mencoba mendekat. Kuciumi itu jembut-jembutnya. Kusibak jembutnya. Setelah memek tembemnya kelihatan, aku jilat bagian luarnya. Lidahku memainkan jilatan di klitorisnya. Kumasukkan lidahku ke lubang memek Bude. “Ahhhhh.. ahhh.. argghhhh.. wenak.. wenak.. arhhhhh.. awww.. enak leeee...” untuk menghentikan erangan Bude aku copot semua baju dan celanaku. Aku coba mengambil gaya 69. Wajahku di memeknya Bude, dan wajah Bude pas di kontolku. Tanpa ku komando, Bude dengan rakusnya mengenyot kontolku. Dia jilat dan disedot dengat enaknya. “Kontolmu enak Jooon, cepp ceppp.. slrrrrppppp...” Aku juga melanjutkan menjilat memek Bude. Tak Lama setelah lidahku merongrong memek Bude, sepertinya dia mendapatkan orgasme pertamanya. “Shhhhh.. Jooooooon Bude mau keluarrrr.. ahhh ahhhhh...” Dengan diikuti gerakan bokongnya ke atas dan kepalaku dia jepit sekuat-kuatnya. “Ahhhh.. ahhhhh.. argghhhhh...” Setelah itu Bude melanjutkan mengulum kontolku. Karena aku berasa akan keluar, aku cabut kontolku dari mulut Bude. Badanku berbalik. Sekarang posisiku di atas Bude. Kontolku sekarang ada di depan memek Bude. Aku gosok-gosokan kontolku ini di luar memek Bude. “Ahhhhhh.. Jooon.. masukin kontolmu Joooon.. tempik Bude dah pengin dientot jooonnn.. masukiiin...” Agen Poker Online - Agen Domino99 Online - Agen Capsa Susun Online - Agen Ceme Online - Agen Bandar Ceme Online - Agen Bandar Capsa Online - Agen Super10 Online - Agen Omaha Online - Agen Bola SBOBET - Agen Bola IBCBET - Agen Casino 338a - Agen Joker - Agen Slot Games Setelah bude terasa tersiksa begini aku coba pelan-pelan masukkin ini rudal ke memek Bude. Awalnya agak susah, pelan-pelan aku dorong dan sekarang.. blesssss... “Arghhhhhh.. genjot Jooon...” Aku genjot pelan-pelan memek Bude. “Awwwww.. arghhhhh.. shhhhhhh.. wenak kontolmu Joooon.. manteeep leee...” Aku mainkan irama kontolku. Cepat.. terus melambat.. cepat lagi.. melambat lagi. “Ayo.. Jon.. genjot lebih cepet tempik Budemu ini.. ahhhh.. ahhhhh...” Aku genjot semakin cepat. “Bude.. aku mau keluar Bude... ahhhhh.. shhhh...” “Sama Jooonnnn.. Bude juga dah gak kuat.. mau keluar lagi le. Keluarin di dalem ajah le...” Judi Poker - Judi Domino99 - Judi Capsa Susun - Judi Ceme - Judi Bandar Ceme - Judi Bandar Capsa - Judi Super10 - Judi Omaha - Judi Bola SBOBET - Judi Bola IBCBET - Judi Casino 338a - Judi Joker - Judi Slot Games Tak seberapa lama terasa memek Bude melumuri kontolku dengan cairan orgasmenya, memeknya berkedut, sepertinya kontolku dihisapnya. ”Awhhhhhhh.. awhhhhhhhh.. enaaaak Joooonnnn...” Dan aku pun sudah tidak kuat lagi menahan dan.... Crott.. croottt.. croott.. “Wenak Budee.. ahhhh.. Ahhhhhh.. arhhh...” onoPoker - Agen Ceme Online | Capsa Susun | Live Poker | Judi Domino99 | Bandar Ceme | Ceme | Turnamen Poker | Poker Texas Indonesia Akhirnya kami pun lemas. Aku terbaring di atas tubuh Bude. Bude : “Kamu nakal lee. Tapi enak tadi kontolmu.. dah lama aku gak ngentot ama pakde mu le.” Aku : “Iya bude.. Tempik Bude juga enak.. punyaku terasa disedot. Minum jamunya yang sering yah Bude.” Bude : “Hussss kamu.. tapi ini rahasia yo leee. Jangan sampek orang lain tau." Aku : “Beres Bude.. asal aku nanti dikasih tempik Bude yang enak ini.” Budeku tersenyum dan akhirnya kami biasa melakukannya bila kami pengen.

Read the full article
15 notes
·
View notes
Photo

THE BREAKING BALD EXPERIENCE
Di penghujung masa sekolah menengah atas, saya pernah suatu kali diharuskan untuk menghadiri sebuah acara semacam pemberian beasiswa (atau semacamnya, agaknya ingatan kala itu tidak termaksimalkan, karena memang terlalu malas untuk menggunakan kemampuan otak alias goblok selama tiga tahun), salah satu pembicara dalam acara tersebut memberikan semacam wejangan tentang bagaimana kita merawat waktu, satu kalimat yang paling nampol dikepala saya sampai saat ini adalah
“jika ada yang menanyakan apa yang ingin saya beli, sesuatu yang sangat saya hasratkan untuk menukarnya dengan materi yang saya miliki, adalah waktu, kita semua tahu, waktu tidak bisa diulang, bahkan dibeli, tapi, jika ada, entah makhluk hidup apapun yang menjual waktu, akan dengan senang hati saya menukarkan seluruh harta saya dengan waktu yang bersedia untuk dijual”.
Waktu adalah sebuah natural force yang tidak dapat dihentikan, diulang, dan tidak memiliki bentuk fisik, meskipun saya adalah individu dengan jumlah materi yang minim, saya akan sangat merasa bahagia untuk sesaat jika diajak untuk sekedar window shopping macam-macam waktu yang dipajang dalam etalase, serius.
Mari kita jujur kepada diri sendiri, kegiatan paling guilty pleasure yang dirasa paling umum dalam proses selangkah menjadi cinebro adalah maraton rewatching TV series, bangsat, satu atau dua musim menurut banyak orang “tidak apa, wong gak akeh ae lho, paling sedino mari”, oh?, oke, mungkin durasi 40 menitan tidak terasa, akan tetapi wahai para pengangung netflex, BHO, dan pahedotcom, jika satu musim berjumlah 15 episode, maka akan ketemu sekian durasi, silahkan hitung sendiri, guilty pleasure ini lebih berat di seksi guilty jika dibahas masalah waktu yang termakan.
Sangat susah untuk meluangkan waktu untuk sekedar rewatch, sampai saat saya menulis artikel ini, (dua) judul yang paling banyak saya rewatch adalah Shin Gekijouban Evangelion 1.11 dan 2.22, saya ingat betul sudah 4x nonton ulang, selain itu paling banter hanya 2x, Se7en dan Mindhunter (TV Series), bukti bahwa saya adalah orang sok sibuk yang terlalu malas untuk rewatch dan bukan seorang yang favorit akan cult rewatch, namun, seminggu sebelum saya kepikiran untuk memutuskan untuk menulis artikel ini, saya membulatkan tekad untuk rewatch satu TV series yang lumayan panjang, karena memiliki setidaknya 5 musim, dengan rata-rata setiap musimnya memiliki lebih dari 10 episode dan durasi yang kebanyakan tidak lebih dari 45 menit, brace yaself, it’s Breaking Bad.

Mampus sudah harapan saya untuk keluar sekedar melihat matahari ketika saya memutuskan untuk rewatch Breaking Bad, sebelumnya saya pertama kali maraton Breaking Bad, harus mengorbankan sekitar 2-3 minggu, untungnya Breaking Bad adalah satu dari beberapa serial televisi yang benar-benar over the top, meskipun untuk rewatch, fakta guilty pleasure masih tetap jadi teror yang nyata setiap kali selesai nonton per episodenya.
The Breaking Bald Experience adalah satu minggu perjalanan spiritual saya rewatch Breaking Bad, disini saya menemukan hal-hal yang tidak saya temukan saat pertama kali nonton, sejenak saya meluangkan pikiran saya dari kenyataan gulity pleasure, Breaking Bad adalah salah satu dari dua judul TV series favorit saya, par dengan Mindhunter.

PINK – LOVE - WHITE – HATE
Walter dan Jesse adalah hubungan paling bapak anak dengan twist emotion yang entah, saya sukar untuk menjelaskan, hubungan macam ini pernah sekali saya temukan di Manchester by The Sea, berdua saling melindungi, saling menjaga. Jujur, kita harus melupakan fakta bahwa secara biologis, Walter telah memiliki anak laki-laki, namun, The Great Heisenberg lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Cap’n Cook, kedua saling menyayangi lebih dari hubungan Tuco dengan Hector, akan tetapi juga memiliki desire to kill satu sama lain daripada siapapun di seri ini.

LEGENDARY WISE MERCHANT
Walter adalah personifikasi dari ego, dengan campuran dari pride dan stubborn, sepanjang seri, penonton akan dibuat muak akan dirinya, mari mengumpat bersama dan meludah untuk karakter terfavorit saya di serial ini, lalu menghela nafas sejenak, standing applause untuk scene ketika Gustavo Fring berhasil telak menjinakkan Heisenberg untuk kembali pada meth bussiness.
“And a man, a man provides. And he does it even when he's not appreciated, or respected, or even loved. He simply bears up and he does it. Because he's a man”.
Walter, seorang yang family man, lantas runtuh segala bangunan ego-nya setelah satu smooth talking show yang dihantarkan oleh Gustavo, yang bahkan seorang natural born talent seperti Saul Goodman tidak pernah dapat membuat Walter benar-benar kalah telak, what do you expect from a man who sells a bunch of fried chicken?, this.
OLDMAN OF THE HILL
Mike adalah personifikasi dari bahaya, mungkin bahaya sendiri ditemukan setelah kemunculan Mike Ehrmantraut, senioritas seolah sejalan dengan metode kerjanya sehari-hari, saya selalu membayangkan jika Mike mungkin adalah versi tua dari Wick, karakter yang tidak sepantasnya untuk dihapus dari jalan cerita untuk sekedar plot device.
INDIE GUY, WITH BRAIN
Gale Boeticcher bisa jadi adalah karakter yang tidak memiliki kontribusi besar, namun untuk karakternya yang unik untuk ukuran karakter-karakter dalam serial ini, bahkan karakternya sendiri yang eksentrik, Gale adalah sebuah angin segar, seseorang jenius yang innocent, terima kasih kepada jalannya sebuah cerita karena Skyler yang adalah ibu rumah tangga harus kalah poin innocent-nya dihadapan Gale. Kamar apartement Gale akan membuat iri siapapun yang bersikeras untuk menjadi seorang indie tulen, saya rasa tumpukan buku dan bunyi-bunyian berbahasa asing dalam kamar Gale terlalu siap untuk sekedar menggoblok-goblokkan setiap postingan para influencer sampah favoritmu.
BALDIES GANG RISE UP
Bukan tanpa alasan artikel ini berjudul The Breaking Bald Experience, hampir semua karakter pria disini tidak memiliki rambut, silahkan hitung dan sebutkan sendiri, karena saya tidak akan absen satu persatu, bahkan tidak hanya para karakter utama, karakter yang akan sangat mudah dilupakan beberapa menit setelah kemunculannya pun gersang kulit kepalanya (ingatkah anda dengan dokter yang berjasa akan penundaan kematian Walter atas kanker?, tentu tidak, saya pun demikian). Hank dari awal memang terlahir botak untuk seorang karakter om-om SKSD yang akan lebih baik dijauhi pada saat acara temu keluarga ini memang tidak bisa dibayangkan jika malah memiliki rambut di kepalanya, Paling mencolok justru Jesse, pahlawan patriotik untuk semua jenis film yang bernama character development seolah membawa efek samping bak kanker yang diderita Walter menular kepada Jesse, jokes aside, penampilan botak memberikan kedalaman untuk masing-masing karakter, yang jahat akan semakin terlihat bengis, yang dewasa terlihat semakin tegas, bahkan di beberapa sisi, baldiness memberikan kesan seorang pria terlihat macho, pada kasus Walter, kebotakannya memberikan sisi seorang family man-nya menjadi lebih dapat terlihat jelas, lupakan kenyataan bahwa dirinya adalah villain paling bengis di serial ini, seorang bapak dua anak sukses memahat kenangan pada memori penonton bahwa dia adalah salah satu karakter pemimpin keluarga terbaik yang pernah dibuat.

“Skyler, take a look, it’s my brand new bed”
Saya sangat ingin membahas hidden message dalam Breaking Bad, salah satunya adalah ketika Jesse dan ketiga rekan dungunya mencoba memulai drug empire setelah rezim Tuco berhasil ditumbangkan, 4 sekawan bertemu di sebuah museum, merancang rencana sampil dihiasi background para tokoh terkenal dalam komunisme, setelah selesai, para dunguwan ini sontak menyerukan sebuah jargon sambil menyatukan tangan hingga secara samar membentuk swastika, namun otak saya terlalu dangkal, tidak banyak yang dapat saya temukan, selain itu saya lebih tertarik untuk menulis tentang impresi saya pada serial ini, sebuah rewatch suatu masterpiece yang saya selalu mengharapkan untuk mendapatkan versi layar lebar, satu experience yang sebenarnya sangat layak untuk ditukarkan dengan waktu.


*gambar diambil dari potongan scene dengan shot-shot yang secara pribadi saya favoritkan
5 notes
·
View notes
Text
EDELWEIS
- LEMBAR 1 -
“Kukira kamu menunggu moment ini!?” “Hey, kemarilah!”, Suara itu memecah lamunanku. “Ya tentu!”
Perlahan telunjukku mengarah ke sisi lain di puncak kala itu, seperti ingin menunjukkan sesuatu.
“wah Edelweis! Cantik banget, bagaimana kalau kubawa pulang saja!?” dia mendatangiku dengan antusias. “Hey hey! Nikmati saja langit di sebelah barat itu, bunga itu sudah cantik seperti itu, jangan kau rusak.” tegurku dengan senyum dan sedikit kerutan di dahi. “Okey, lagipula aku tak ingin jadi kriminal.” jawabnya lesu. “Ayo kita cari tempat kosong, aku gak mau kehilangan moment ini” kugenggam lengannya lembut sambil menggiringnya menjauh dari bunga itu.
Entah sedari tadi ada yang mengganggu fikiranku, Edelweis itu, tentang dia, dan kenapa kami di sini. Seperti aku pernah berada di situasi yang sama. Entahlah, masih terlalu samar di kepalaku.
____
Jumat sore itu kami mempersiapkan segala sesuatunya, yaa… setidaknya cukup untuk persediaan 2 hari selama di puncak. Kami sudah merencanakan momen ini sejak lama, aku yang memaksanya ikut bersamaku. Aku tak mau melamun bisu di atas sana, melalui 2 putaran matahari bersama orang asing yang entah darimana saja datangnya. Hampir habis senja, bus tujuan Salatiga harusnya masih beroperasi, jadi kami menunggu di tepi jalan ringroad saja. Sudah siap, mirip pelancong beserta tas besar masing-masing yang cukup membuat pegal bahu. Kami menunggu sambil ngobrol ringan menunggu bus yang (mungkin) lewat.
“kamu yakin kita bisa menemukan bus di sini? Hampir 2 jam dan kita masih di sini saja.” tanya dia agak khawatir. “Semoga ya…” aku mencoba meyakinkan. “seharusnya ini jalur terakhir yang dilewati bus itu.”
Langit mulai gelap, oranye berubah merah menyala. Cukuplah pemandangan itu untuk menghibur kami yang hampir kering menunggu bus lewat. Hari itu memang lagi cerah, beberapa hari hujan tak kunjung turun, pertanda baik diawal perjalanan menurutku.
“yoh dek munggah oo, neng buri ono sing kosong!” (“ayo dik naik, di belakang ada yang kosong”)
Kusudahi memandangi awan dengan membatin penuh rasa syukur. Tanpa basa basi kami masuk ke dalam bus dan mencari tempat kosong yang cukup untuk berdua, beserta tas besar kami.
“Arep nengndi dek?” (“tujuannya kemana dek?”) seorang kernet bis mendatangi kami dengan membawa segepok tiket di tangannya.
“Solotigo pak, saget boten?” (“ Salatiga pak, bisa tidak?) “Nggih jih iso. Satus, dinggo wong loro toh?” (“Iya masih bisa. Seratus, untuk 2 orang, kan? ”) sambil merobek tiket dan menyodorkannya ke saya.
Tiket sudah di tangan, dan kami menemukan tempat yang pas untuk mengisi tenaga sebelum memulai perjalanan di pemberhentian selanjutnya.
1 note
·
View note
Text
Desclaimer Dangdut
....Kalo Firda, sukanya aliran campursari ya?... (TYA)
Fir, kamu kok bisa sih suka lagu - lagu dangdut? Apal lagi. Kan jarang cewek muda kayak kita suka yang gitu.... Dan ga malu hehe (NOF)
Mantap lah mbakque, haha sukses anda menulari campursari hahah (SDS)
Beberapa cuplikan image saya yang coba ditangkap oleh teman-teman baru saya di Jogja. Memang sedari awal saya sudah tidak malu-malu lagi perihal perdangdutan, perkoploan atau campursari. Hehe. Kepalang suka. Saya sudah sampai pada titik dimana Eh dangdut ternyata seru juga ya! hehe
Sebenarnya ada cerita yang ingin saya bagikan tentang asal muasal kenapa saya bisa suka mendengarkan lagu - lagu aliran Didi Kempot. Dahulu kala hingga masanya bekerja di Ibu kota, saya lumayan membenci yang namanya dangdut. Bagi saya itu sangatlah memalukan dan kampungan. Paling pol saya mau nyanyi paling Sayang-nya Via Vallen. Itupun jika berdendang akan saya suarakan dengan samar agar orang lain tidak dengar. hehe
Kalopun karaoke, saya pasti memilih untuk menyanyikannya di hadapan segelintir orang. Intinya saya tidak pede untuk menyanyikannya karena menurut saya itu memalukan. Hingga suatu ketika..... Saya memutuskan resign dari Ibukota dan pulang ke rumah sejenak sebelum memulai studi ke Kota Jogja.
Pada suatu malam, dari kamar sayup-sayup saya mendengar suara lagu dangdut khas Banyuwangi yang cukup mahsyur di dunia perbis an lintas provinsi di Jawa. Hmm siapa malam-malam gini dengerin? Setelah ditelisik, ternyata Ibu saya.
Buk mpun dalu, kok seng disetel malah ndangdut?
Yo bene to ben gak sepi, gawe greneng - greneng.
Haduuuu, mending kuota youtub e didamel nonton seng berfaedah.
Dan percakapan di atas hampir terjadi sepanjang hari. Hingga ibu saya sedikit jengkel dan berceletuk :
Sok mben lek ga krungu ngene iki bengi-bengi. sampean pasti bakal kangen dan kebayang - bayang.
Memang Ibu beserta kesaktiannya tidak bisa dikalahkan. Suatu ketika di atas bis malam perjalanan dari Jogja ke Banyuwangi, saya mendengar Pak Kondektur menyetel lagu yang sekarang menjadi salah satu lagu di playlist Spotify, Youtube bahkan saya download di hape saya. Suket Teki nya Didi Kempot yang dibawakan ulang oleh Nila Kharisma. HAHAHA. Karena diulang - ulang disetel diatas Bis, saya justru berpindah fokus dari nada yang asyik menjadi lirik yang menimbulkan pemikiran. Lagu ini menjelaskan perihal keteguhan manusia akan perjuangannya dalam mempertahankan hubungan namun akhirnya runtuh juga.
Aku tak sing ngalah, trimo mundur timbang loro ati~~
Wong salah ora gelem ngaku salah, suwe suwe sopo wong e seng betah?
Kira - kira seperti itu lagunya. Dan setelah pulang ke rumah, lagu itu menjadi lagu wajib yang selalu saya setel menjelang tidur, menemani di kala nyapu rumah, nyuci baju, nyiram bunga, nyuci motor bahkan saat mandi. Tapi tentunya secara diam - diam biar ga ketahuan ibu. Wkwkwk. Hingga suatu ketika saya ketahuan, saya pikir ibu sudah tidur ternyata belum dan diam - diam ke kamar saya sambil bilang.
Byuuh seng mbiyen ngenyek, saiki saben dino dirungokne.
Pengen ndelep neng kasur wae saking isin e HAHA.
Hingga sampai detik ini saya masih mengeksplor aliran musik ini. Banyak nama - nama baru yang menjadi idola saya seperti Mas Paksi Raras Alit dan Mba Nufi Wardhana yang mungkin ga se hardcore Nella Kharisma atau Abah Lala. Cenderung campursari dan kental nuansa keroncong. Sekali lagi kalo ditanya kenapa suka dangdut? Entahlah, tapi satu hal yang saya rasakan, jika mendengar lagu - lagu seperti itu, pikiran saya langsung terbawa ke suasana kampung halaman dengan sawah dan udara sejuknya, dengan suara burung yang menclok di pohon kelapa samping rumah, dengan suara masak ibu, dengan suara gas motor bapak yang lagi dipanasin, dengan semua hal yang membuat hati saya langsung adem. Nyes aja gitu.
Tidak ada yang salah kok dengan dangdut - koplo - campursari. Mungkin sedikit terlihat aneh saja di mata teman - teman seumuran kita. Pelajarannya adalah jangan terlalu benci pun cinta terhadap sesuatu.
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (02:216)
Yang sedang sedang saja ~ ~ Yang sedang sedang saja ~ ~
Jika dangdut bisa jadi salah satu sumber kebahagiaan saya, lantas saya bisa apa?
2 notes
·
View notes
Photo

Sejujurnya , saya teh terbilang awam sm hal kek gni .. meskipun udah banyak pengalaman dr sana sini ,, tp qo ya dirasa tetep aj masih penasaran . Jadi ..setahun pernikahan saya nih udah mulai rewel ke aa .." teu menang menang ieu a , iraha boga anak tea " kirakira begitulah kalok d sundaisme in 😸 Krn emgg , d awal pernnikahan kita berdua masiy yg santai aj .. 70:30 lah ..70 yg blm mau nya hhoo Tp yg namanya Allah maha baik , Allag maha segalanya .. 4bulan cb promil dgn apapun yg bs djadiin program .. Allah kasih hadiah garis dua d testpack keempat kalinya .. haha Tapi samar begitu , yg satunya jd gimana atuh ya meski dibilang udh itu positif , udh bnran ad ..tp masiy aj penasaran .. sampek skarang . Terakhir haid itu di tanggal 28 januari slama 5hari .. after it , promil yg biasa nya rutin minum folavit itu d stop dlu .. cm emg intens untuk produksinya wkwkwk blur aja yak D bulan itu juga , nyobain kurma muda dr mamah nya wati yg abis plg umroh Ya ntah krn emg itu kurma atau emg ud qodarullah Allah kasiy Antara hopeless sm firasat emang .. wong gimana dak hopeless .rasanya tuh sepanjang mndekati hari haid ..ud berasaa bener yg nama nya pinggang sakit perut kram persis kek mau haid . Ya otomatis saban hari bawaannya becek dkit ngecek becek dkit ngecek .hhheeeu Knapa main firasat , .aplikasi hawa yg ad d hp ngasihtau kalo haid bulan februari itu d tanggal 25 . Lewat sehari , dua hari ..test ..negatif Lewat 4 hari test lagi masoh negatif , sampe besoknya masih penasaran krn dak perna tlat 5hr . Tp garis masih jg satu . Yauda stop berharap dong ya ..toh kram masih jg sama .. Akhirnya mutusin buat ikut ke banten nengokin mitoha , aa ngajakkin naik mtor .nolak sih ini ati tp pas d tes ngatif .oooh yauda lah emg bukan hamil mereund Tp alhmdlh Allah kasih jalan lain , ka dedi tetiba ngajakkin kebantennya naik mobil . Dkasih jalannya lewat situ mereund yak , krn dak tau nya emg pas saat itu ini perut ud ad isinya Test after brp hari lg emg ?? Eimm 2 hari dr terkahir test itu daktau knp rasanya pgn bgt testpack .. garis satuu ,, trus mncul lagi satu .samar Wallahi dak ad perasaan apa apa .cm bengong .. Ini apa ya , kelamaan d celupin atau apa . Php apa gimana , hoax bukan hahah Akhirnya shoot itu gambar send ke my sista .ciyaaah Mba nung bilang , " itu positif" Dsuru cb tes lg sminggu kmudian Masih bengong jugak , send picture nya ke aa .. aa juga kek nya dak ad ekspresi hahaha 3hr setelah garis samar itu ,ud mulai dtg lah ngidam nd sgalamacamnya .meski alhmdlh dak parah langsung ke bidan ..penasaran . Di bidan jg blm bs usg krn blm ad jdwal nya Cm dtanya dn dperiksa area perut bawah And she said .." ya ini ud mulai peregangan rahim, ad isiny" Huaaa alhmdlh meski masih stengah" yakinnya tp saya yakin emg ad yg tumbuh d dlm perut saya itu Skrg usia nya baru 6 minggu Terharunya ketika banyak yg tau , banyak yg ikut senengggg .ahh serius deh jd mellow Doanya apa ya , skrg cm pgn mkirin gmn dlsiy gemay ni sehat kuat diajak berjuang stiap hari nyari rejeki .. ciracas -gajahmada senin - sabtu Anakbayyi nya ibun , smoga pengertian ya syg ❤ #10dimaret18 #limabelaskosonglima
6 notes
·
View notes
Text
Halu
"cuk! udah bukan telat lagi kamu ini, tapi telat banget Sam!" sambutku pada Ijal. temenku satu itu sukses menjadi ajudan orang bernomor di negeri ini, sepulang dari ibu kota dia langsung menuju kesini, tempat yang semula memang sudah sepakat kita untuk bertamu.
"mau istirahat dulu atau mau langsung cus Sam?" sahut Ipin kemudian. wajahnya datar menikmati bakaran tembakau di tangan kirinya,
"Sabarlah lah Sam, santai saja dulu masih juga jam segini kasian kan Ijal baru wae nyampe, biar sebats dulu, iya kan Sam?" Dika menimpali. dia menyulut sebatang rokok pula.
"enggak-enggak ayo langsung lanjut saja, kita rehat diatas saja" Ijal menjawab sambil menyahut kunci kendaraan. dia berjalan agak buru buru.
***
Kita berempat adalah kawan sejak SMA, dulu kita akrab sekali dengan penuh konyol dan kenakalan khas anak remaja tentunya. selulusnya sekolah kita mulai berpisah, Ijal lulus Akpol lalu ditempatkan di Jakarta, Dika kini hampir menyelesaikan tesisnya di kota budaya, Ipin setahun yang lalu boyong dari pondok pesantren di Jombang lalu menikah dengan seorang ning dan kini ia disibukkan dengan aktifitas pondok pesantren sang mertua, aku lumayan akrab dengan keluarga mertua Ipin karena memang di yayasan punya mereka aku mengabdi pada madrasah tsanawiyah juga melatih beberapa kegiatan ekstrakurikuler pada sore harinya.
Hari ini adalah titik jenuh dari rindu yang berkepanjangan, entah berapa purnama sudah kita hanya bertukar kabar virtual. ya memang menjadi dewasa dipenuhi kesibukan, mempersiapkan apa yang orang-orang sebut masa depan. kita pacu mobil jeep tua punya mertua Ipin menuju ke tempat yang semula memang kita inginkan. Lereng Muria.
Tujuan kita adalah di puncak Argo Piloso via Rejenu, namun mobil kita titipkan di desa terakhir di sekitaran wisata air terjun Monthel. sebelum memulai pendakian kita inventarisir perbekalan kita, semua bekal yang tadinya empat tas kita satukan kemudian kita bagi lagi menjadi dua, satu tas carrier berisi logistik dan obat-obatan, satu lagi berisi dump dan peralatan lainnya, namun ada yang janggal pada carrier logistik yang dibawa Ijal, sekelebat Aku melihat ia menyembunyikan sesuatu
"eh, apa itu Sam? kamu bawa apa?" tanyaku terkaget.
"nggakpapa, cuma buat anget-angetan aja, ngga bakal buat mabuk juga wong ya cuma sebotol, udah tenang aja kita!" wajahnya senyum, namun aku membalasnya dengan kecut. Ipin memeriksa
"apaan nih! tinggal aja deh, ngga usah bawa-bawa ginian! ini di gunung lho!"
"udah-udah nggakpapa, sebelumnya aku juga pernah kok kaya gitu, asal jangan bicara yang aneh-aneh ya kamu Sam!" Dika nampak menengahi.
***
Firasatku mulai tidak karuan selepas kita meninggalkan pos satu, seiring nafas mulai terengah aku tak bisa berhenti untuk terus mengamati sekitar. meski malam hari diawal pendakian langit semula cerai namun berubah menjadi pekat tak ada setitik pun gemintang, angin pun berhembus tak lagi pelan, meski bukan yang kenceng banget namun lumayan untuk buat kita menggigil.
"Pin!" teriakku. kupastikan semuanya baik baik saja. Ipin mengisyaratkan bahwa semua masih aman. Dia di barisan paling belakang, sementara aku sebagai leader. Dika membaur dengan banyak bercerita pengalamannya naik gunung-gunung besar, diantara kita memang dia yang paling banyak tahu tentang gunung, aku dan Ipin hanya menimpali dengan iya iya saja, sesekali bertanya yang kita tak banyak tahu.
Selang beberapa jam kita sampai di pos dua, itu artinya setengah perjalanan sudah kita lewati, "Istirahat saja dulu Sam" teriak Ipin kepadaku.
Disana kita mulai membuka perbekalan, beberapa potong roti dan botol air mineral keluarlah dari carrier, angin berhembus lebih kencang saat Ijal mengeluarkan bekal khususnya, sebotol minuman yang katanya sebagai penghangat.
"ada yang doyan ngga nih?" ia menawarkan
Sepakat kita menolak, jujur ini juga kali pertama kita melihat Ijal minum mungkin atsmosfer Jakarta telah merubah perilakunya. Angin semakin kencang dan rintik hujan mulai turun aku mempunyai kepekaan khusus bahwa alam menjamu kita dengan tidak baik.
"ayo Sam lanjut! keburu hujan" ajak Dika, semua bergegas.
Dika kemudian memimpin, di belakangnya ada Ijal, Ipin, kemudian terakhir aku sebagai sweeper. Dika sedikit ambisius - berjalan agak cepat, selain memang sudah terlatih mungkin juga karena cuaca yang mulai tidak bersahabat, Ijal dengan sedikit terengah membisu mengekornya, sementara agak tertinggal beberapa meter aku dan Ipin berjalan santai.
"kamu merasa ada yang aneh nggak sih Sam?" tanyaku pada Ipin, dia adalah yang paling bersih jiwanya dibandingkan kita semua.
"udah, aku tau kok kebiasaan lamamu itu, sampaikan saja pada mereka kita cuma bertamu, cari senang habis itu pulang. kamu cerita nanti saja ya kalau sudah turun" Benar dugaan ku, dialah yang paling banyak tahu tentang aku.
"Ah..." Ijal berteriak sambil memegang kakinya. Aku dan Ipin mempercepat langkah menyusulnya, samar tertempel di papan kawak melekat pada pohon, Pos 3 (Tiga) - Ini Alam, Bersikaplah Dengan Sopan - Jangan Meninggalkan Apapun Kecuali Kenangan.
Aku menyalakan hio disekitar, sebenarnya aku tau kaki Ijan bukan karena keram, namun ada sejulur tangan yang mencekram erat di mata kaki kirinya, dalam hati aku sapa semua mahluk tak kasat mata yang mengkerumuni kami, sorot mereka mengancam kita bak tamu yang tak diundang, aku terus saja merapal - memohon maaf dan ijin untuk tidak mengganggu datang sampai nanti pulang. Dika mengurut pelan dengan balsem, dan menenangkan dengan memberi minuman. tak begitu lama dia merasa lebih baik. Ipin mengkodekan isyarat padaku.
"Niatkan saja malam ini kita sedang melepas kangen Sam, jika memang alam menghendaki kita sampai puncak itu adalah bonus. Sam, jika memang sakit kita kembali turun saja, aku khawatir terjadi apa apa!" petuah Ipin.
"Apa-apaan sih kamu Sam, udah di pos tiga ini lho bentaran juga dah sampai puncak udah slow aja, kalau capek istirahat nanti lanjut. nanggung lah dah sampai sini mosok balik turun?" tukas Dika.
"Tapi Sam!" Aku mengurungkan ucapan, sebenarnya sang penghuni gunung telah mengisyaratkan kepada ku untuk tidak membawa teman-temanku ini ke puncak. kedatangan kita dianggap tidak sopan, mungkin karena Ijal membawa apa yang seharusnya tidak boleh dibawa ketika naik gunung.
Kita tepat sampai puncak pukul 01.00 dini hari, dump cepat berdiri dan kompor siap mendidih kan air untuk bikin mie dan kopi. Hujan bukannya berhenti justru malah semakin deras, angin pun begitu hembusannya sangat tidak ramah, malam itu lewat dengan mencekam. Semua saling mengunci mulut, tak sepatah katapun keluar, hanya saling tatap penuh ketakutan. Ipin merapal doa, aku menyalakan lagi hio di sudut tenda, Dika nampak bodoh meski sudah pulahan kali ia naik gunung, ia memaksa pejam matanya.sementara Ijal membuang dengan serampangan botol minumannya, dari matanya nampak kegeisahan mungkin ia sadar ia salah namun hendak memohon maaf tapi pada siapa? Alam.
Waktu berlalu begitu saja tanpa kesan yang membekas, sampai harusnya sunrise muncul pun hari masih gelap, semalaman semuanya terjaga. Tanpa kata - tidak bercerita. Aku keluar berusaha menikmati sekitar, benar saja mentari belum bersinar dan gerimis masih saja membumi. Ku keluarkan ponsel dari saku, dengan sisa baterai yang ada aku berusaha ceria mengambil gambarnya sekenanya.
"Oi Sam! sedemikian pengecut kah kalian? sampai dengan airpun kalian takut? ayo keluar, ini kan yang kalian cari? kita sudah di puncak, Puncak Argo Piloso! tempat yang sama dua belas tahun lalu! Ayo keluar!" teriakku dari sudut puncak, tiga empat meteran berjarak dari tenda.
Puas bersua foto kita kemasi semua barang bersiap turun, seperti biasanya semua sampah pun kita bawa kembali turun. Perjalanan turun memang tak selama dan sesusah ketika naik, nafas lebih teratur dan penerangan lebih memadai, mungkin. kendati siang hari namun suasana mistis masih saja menyelimuti, basah bekas hujan justru menyisakan bau amis yang entah pertanda apa. jalan kita bukan seperti ketika mendaki, dua atau tiga kali lebih cepat terang saja sekitar dua - tiga jam kita sudah sampai di pos dua. di tandai dengan plakat bertuliskan "Ini Gunung - Bawa Turun Kembali Sampah Mu!"
Aku teringat, ada yang tertinggal,
" Sam, coba cek sampah mu!" aku sedikit berteriak pada Ijal. ia menyerahkan bungkusan plastik sampah.
"Modyar kue!" dugaan ku benar botol bekas minuman Ijal tertinggal, semalam ia membuangnya sembarangan.
"Apa sih kamu Sam, Alay! wes biasa wae tho, ada yang lebih aneh ini! semalam kan ngga ada jalur bercabang ini tho? ini yang kiri atau yang kanan Sam?" Dika memeriksa jalur kiri Ijal membisu mengikuti. Tanpa komando aku memeriksa jalur kanan.
Berjalan belasan meter, aku yakin dengan jalur kanan, Ipin sedari tadi tak beranjak dari tempat istirahat di pos dua.
"Sam, Jalur ini yang benar. mereka belum balik?" tanyaku. Kita pun akhirnya sepakat menunggu Ijal dan Dika kembali, sebatang-dua batang rokok habis merekapun belum juga muncul. batinku, apa mereka sudah turun ya?
"Sam, sepertinya jalur ini juga sampai bawah deh!" ujar Ipin ketika sempat memeriksa, memang ada bekas jalur namun sudah di tutupi rimang dan ilalang. tak ingin kesulitan kami kembali dan turun via jalur kanan, sekitar empat puluh limaan menit kita sampai pada pos satu. tidak seperti pas dari atas sampai pos dua, tanpa Ijal dan Dika perjalanan terasa mudah dan cepat. Di pemberhentian itu berdua kita masih menunggu Dika dan Ijal, sambil menghabiskan logistik yang tersisa.
Hampir dua jam menunggu, tidak juga mereka muncul. lanjutlah perjalanan ke basecamp, betapa terkejutnya aku ketika tau mereka belum juga sampai di basecamp. Firasat buruk mulai melintas, namun bersaha tenang. Ipain mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah sholat dhuhur, aku harap cemas sendirian.
Hari menjelang petang, namun kabar tak kunjung datang, dengan sangat takut kami melapor ke petugas jaga bahwa dua kawan kami hilang. belum selesai kita melapor daru kejauhan nampak seorang berlarian, itulah teman kami. Dika.
"Gawat nih! Celaka!" dia asal rebut air putih milik petugas jaga. mukanya pucat dan penuh luka.
"Ijal jatuh ke jurang!" terbata-bata ia asal bicara.
Ipin berlari kembali keatas gunung bercucuran air mata, aku pun sama tak mampu ke sembunyikan duka. Aku tak mampu mengejar, ponselku bergetar dilayar tertulis "mama Ijal" tanda telepon masuk.
"Hallo, Assalamualaikum Le! Apa kalian berencana naik gunung hari ini? apa Ijal sama kalian? Mama pesen ya le, mending tidak usaha ya, musim hujan begini bolehlah kalian bertemu tapi mbok jangan di gunung, mama khawatir ada apa-apa sama kalian"
Aku semakin kaku. tak mampu aku menjawab pertanyaan mama Ijal di seberang sana, karena kenyataannya Ijal sendiri tidak diketahui keberadaannya, hidup atau mati ia sedang dicari. Dyar modyar aku, bagaimana nanti aku menyampaikan pada keluarga seandainya Ijal benar tiada?
***
"Ah!" aku berteriak, sontak aku terbangun. ku kucek bola mataku, kutatap ponsel yang masih tercolok pada charger disebelahku. Sebuah pesan singkat terbaca lewat notifikasi
"Assalamualaikum Le! Apa kalian berencana naik gunung hari ini? apa Ijal sama kalian? Mama pesen ya le, mending tidak usaha ya, musim hujan begini bolehlah kalian bertemu tapi mbok jangan di gunung, mama khawatir ada apa-apa sama kalian" dari kontak pengirim jelas tertulis "Mama Ijal".
tanpa pikir panjang, ku forward pesan itu pada group WhatsApp kita berempat, dibawahnya kububuhkan,
"Agenda muncak aku batalkan, kita ketemu di tempat biasa saja!"
**end**
m.h.f.d
Sukolilo, 22 Januari 2021





1 note
·
View note
Photo

▪Sidik jari▪Seperti tahun lalu, kemarin saya memperpanjang SIM A tanpa 'bantuan' Polisi atau calo, di Polresta Denpasar. Sempat sih, ada beberapa orang yang menawarkan 'bantuan', mungkin karena pengawasan calo mulai longgar. Tapi 'masalah besar' justru muncul saat harus mengambil sidik jari, karena berkali-kali ngga berhasil, sampai Ibu Polisi yang menangani terlihat sangat emosi. Berulang kali dia bilang saya harus santai tapi dengan nada tinggi. Di satu sisi dia berusaha menekan jari-jari saya sambil mengomel karena saya dianggap ngga mengikuti instruksinya. Sebenarnya saya juga sudah jengkel, karena dibentak-bentak di depan orang. Belum lagi caranya menyentuh tangan juga kasar. Saya malas berdebat apalagi menjelaskan, berkali-kali saya membatin, sabar, Net; karena saya tahu, sebetulnya bukan cara menekan yang salah, tapi kulit jari saya memang 'halus'; sebelum ini sidik jari saya memang sering tidak mudah terbaca, meskipun akhirnya bisa. Saya sempat berpikir, apakah intensitas penggunaan sabun tangan dan hand sanitizer dalam setahun ini juga mempengaruhi sidik jari tersebut? Proses sempat dihentikan dan dia mengambil sidik jari dan foto orang lain dulu sambil mengomel dan membandingkan dengan pemohon SIM yang lain. Diulang lagi. Masih tetap beberapa jari ngga sukses. Ditambah lagi komentar, jari mbak kecil sekali 😔😔😔 Saya ngga tahu hanya saya aja atau ada orang lain yang sidik jarinya sering ngga terbaca oleh mesin pemindai. Saya hanya bersyukur akhirnya saya memperoleh SIM A dengan prosedur yang dipermudah dan bertemu dengan beberapa Polisi lain yang santun dan helpful. Hanya menyayangkan, orang berkarakter demikian berada di ruang pelayanan masyarakat. Atau memang sengaja begitu untuk menunjukkan wibawa? Bagi saya tidak perlu. Mungkin perlu ada pelajaran anatomi juga untuk para polisi supaya lebih sabar menghadapi manusia dengan segala keunikan fisiknya🤘😂 (Bilang, saya itu 'wong samar', Bu, masih bagus difoto kelihatan, kata teman 😛🤣😆) #random #sabar #life #randomthings #polisi #indonesia #denpasar 21.01.2021 (at Polresta Denpasar) https://www.instagram.com/p/CKRjHThgktp/?igshid=1kkh8ungjcmy4
0 notes
Photo

Namanya Iqbal. Anak paling unik di kelas saya. Tipe anak kinestetik. Tidak bisa dibiarkan tanpa kerjaan, atau dia akan berkeliling kelas, menjahili teman-temannya, memukul-mukul meja dan dinding triplek dengan penggaris, atau melakukan aktivitas ajaib yang tidak dilakukan oleh siswa lainnya. Ini tahun kedua saya menjadi wali kelasnya. Melihatnya, saya seperti dejavu, seperti melihat saya ketika seusianya dahulu.
Dia satu-satunya anak yang mengumpulkan lembar jawaban ujian yang sudah ditanda tangani orang tua dalam bentuk tidak karuan karena tercuci di mesin cuci, sambil bilang “Maaf ya bu, ini sobek-sobek. Kemarin saya remas-remas terus saya masukke celana, soale nilainya jelek jadi saya marah. Eh, ternyata dicuci ibu. ” Ibunya yang kemudian menemukannya di saku celana sekolahnya ketika hendak menjemurnya.
Satu-satunya siswa yang ketika saya bilang, “Kamu belum boleh pulang sebelum mengambil pensil temanmu yang dibuang di atas genteng, lho yaa. Buktikan bahwa kamu anak yang bertanggungjawab.” Dan dia langsung lari, naik ke genteng lewat lantai 2, melompati pagar dinding, berjalan cepat di atas genteng, mengambil pensil, melompati pagar dinding, dan dalam sekejap sudah berdiri di samping saya lagi. Tersenyum cengengesan. Kali ini menggenggam pensil sambil bilang begini sama temannya yang dijahili tersebut. “Ayo bilang apa? Sudah tak ambilke lho. Bilang, terima kasih Mas Iqbal ganteng..gitu yoo! Nek nggak bilang, nggak tak kembalikan.” Saya pun terhenyak mendengar dia berkata seperti itu.
.
Anak yang ketika ibunya marah karena sudah pukul 21.00 dan ia masih ingin bermain di luar, ibunya berkata, “Ya sudah kamu tidur di luar di pohon salak belakang rumah saja!” Mendengar seperti itu, dia berlari ke kebun salak, bersembunyi. Hingga 30 menit kemudian belum kembali ke rumah, ibunya kebingungan mencarinya ke mana-mana. Ternyata dia sudah tidur di bangku di dekat pohon salak.
Anak yang ketika bertanya, “Bu, saya tesnya sudah selesai. Sudah dikoreksi 3x. Boleh tidur?” dan saya pun mengangguk membolehkan. Dia langsung mengambil tas untuk dijadikan bantal, lalu tidur di lantai dengan posisi kaki diluruskan ke atas di dinding kelas.
Anak yang ketika berangkat sekolah terlihat seperti belum cuci muka dan sering tidak berangkat sekolah karena sering rewel (kata ibunya).
Meskipun demikian, dialah satu-satunya anak yang berpikir out of the box tetapi benar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kemampuan berhitungnya sangat baik. Termasuk anak yang gesit, cepat dalam bekerja (kecuali piket kelas), dan selesai paling awal. Dia terhitung anak yang cerdas, berkata jujur, berani bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Dia juga lah yang menyebabkan kelas menjadi hidup.
Dia tidak takut melaporkan kepada saya jika terdapat perilaku temannya yang salah, meskipun itu teman geng laki-lakinya. Dia juga mau mengganti uang 15.000 dalam sehari dengan menggunakan tabungan sisa uang sakunya karena mematahkan alas ujian dan bolpoin boxi milik temannya. Dia lah anak yang menemukan dengan tidak sengaja, uang milik salah satu guru yang diambil oleh temannya. Kemudian menyerahkan dengan utuh, langsung kepada wali kelas.
Ketika saya tanya tentang target prestasi belajarnya di kelas 5 ini, dia bilang, “Saya nggak pengen apa-apa. Tetap di 10 besar aja kok bu. Yang penting kan bukan nilai-nilai kita to Bu, besok kalau besar. Wong saya cita-citanya pemain sepak bola. Yang penting saya latihan terus.”
Jawaban yang jenius. Dan saya yakin sekali, di masa depan, dia akan hidup dengan pemahaman yang baik insyaAllah.
Tadi pagi di kelas, dia demam. Badannya panas. Kepalanya diletakkan di meja, dan tidur. Sama sekali tidak saya lihat gelagatnya seperti biasa. Saya minta ke UKS, tetapi tidak mau. Diolesi minyak, tidak mau. Dibujuk teman-temannya segala cara, dipeluk-peluk bahkan mau digendong oleh teman-temannya, tetap tidak mau. Akhirnya kubiarkan dia begitu.
Jelang istirahat, akhirnya dia menyerah, dipapah oleh teman-temannya menuju UKS. Lima belas menit kemudian saya penasaran, karena keempat temannya yang mengantarkan ke UKS belum juga kembali ke kelas.
Saya membuka pintu UKS pelan-pelan, mengintip dan berusaha tidak menimbulkan suara apapun. Samar-samar tercium bau minyak kayu putih dan balsem, dan terdengar suara cekikikan, keluhan mengaduh pelan, lalu celikikan lagi. Oke, waktunya saya masuk lebih dalam.
.
Dan glek! Ya Allaah nak, kalian membuatku terharu.
Salah satu anak sedang menuangkan kayu putih ke punggung Iqbal. Satu anak memegang balsem yang terbuka tutupnya. Sedangkan dua anak lainnya memegang uang logam seribuan, sedang mengeroki punggung temannya itu. Dia sama sekali tidak berontak, pasrah dan percaya sama temannya.
Saya melihat punggungnya sudah tergambar rapi berwarna merah tua, hasil kerokan dari teman-temannya. MasyaAllah.. Saya takjub! Mereka benar-benar paham dan berbakat bagaimana cara kerokan :D
Melihat saya berdiri disitu, salah satu anak bertanya “Kenapa Bu, kok senyam-senyum?”
“Ya Allah, kalian itu yaa.. benar-benar…”
“Ini Iqbal yang nyuruh minta dikeroki, Bu. Sampai merah-merah semua. Kasihan e Bu..”
Saya tersenyum. Mengacak-acak ramputnya sebentar lalu membenarkan selimutnya. Dia sudah diminyaki, sudah minum obat, sudah dikeroki, dan masih ditunggui banyak teman ketika tidur di UKS.
Tadi ibunya sudah datang menjemput, tetapi dia menolak. Benar-benar tidak mau karena keukuh ingin ikut ekstra Rebana seusai sholat Jumat, walaupun dengan kondisinya yang seperti itu.
Hari ini saya belajar banyak hal dari mereka. Tentang kasih sayang. Tentang ketulusan. Tentang kepedulian. Tentang kesetiakawanan. Tentang menjadi diri sendiri. Tentang tanggungjawab. Tentang apapun.
Hari ini saya juga benar-benar menyadari betapa saya harus lebih sering lagi belajar dari anak-anak.
Terima kasih, Nak. Hari ini luar biasa sekali, menyaksikan kalian telah banyaak sekali bertumbuh dalam 2 tahun ini :)
Semoga Allah selalu melindungi kalian semua dalam kebaikan dan keridhoan ya..
Muntilan, 5 Januari 2018
5 notes
·
View notes