#titimangsa
Explore tagged Tumblr posts
kangdur · 2 years ago
Text
Buku dan Kesepianku
Cukup sering aku merasa sepi. Biasalah, kan w suka mengaku sebagai introvert hwhwhw.
Dalam banyak lika-liku kesepian itu, aku juga sering merasa heboh sendiri dalam sepi. Maksudku, aku heboh sendiri saat sendiri. Malah kadang-kadang aku bicara sendiri dan asik sendiri kayak orang indihom, yg bisa lihat hal-hal tak kasat mata. Padahal aku sangat jereh, penakut dgn hal-hal sprti itu.
Oke, skip, kembali ke topik.
Jadi, kemarin, aku beli buku. Ada bazar di gedung Kampung Budaya.
Kukira bakal ada 5-10rb an ky bazaar biasanya yg kutahu. Ternyata ttp mahal-mahal. Misal, harganya 70rb, setelah didiskon jadi? Yap, 69rb!!!! -___-
Meski begitu, aku menekadkan diri untuk setidaknya dpt satu buku. Rasanya sudah lama aku tidak beli buku. Ada perasaan kangen yg aneh yg menjalar di seluruh tubuhku.
Dan, jeng jeng, ... aku dapat bukunya Bernard Batubara "Surat Untuk Ruth". Yeay yeay.
Padahal aku sudah pernah baca bukunya, dulu, saat KKN, pinjem temen satu kelompok.
Tapi ini bukan tentang bukunya, bukan tentang isinya gimana. Ini cuma tentang kerinduan anehku saat membeli/dapat buku baru.
Sesampai di kos, langsung saja kulakukan ritual suci tiap dapat buku baru: Nulis titimangsa, lalu tandanganku, dan namaku. Wkwkwk. Ini sebenernya sanadnya (atau sejarahnya) cukup unik, yaitu aku dan temen sekosku dulu berlomba-lomba siapa yg lebih banyak bukunya. Dan tandatangan itu ada sebab beberapa buku kami judulnya sama, meski beda waktu pembelian.
Sekarang ritual itu punya tambahan makna bagiku, yaitu setiap lihat titimangsa (tgl saat buku itu dibeli/didapat), seketika aku bisa bernostalgia bagaimana peristiwanya, nuansa di sekelilingnya, dll dll. Misal, aku lihat buku yg tulisan titimangsanya tahun 2016. Oh, itu dulu aku beli di gramed, dimana saat itu aku merasa kaya karena uang beasiswa cair, dan masuk ke gramed menjadi semacam prestis tersendiri bagiku (yg biasanya cuma berburu di bazaar satu ke bazaar buku lainnya).
Kurang lebih begitu. Dan buku "Surat Untuk Ruth" ini, mungkin di masa depan nanti, aku akan mengingat bahwa buku ini kubeli ditengah kejenuhanku disengeni, ke stres anku yg tidak kunjung mendapat pencerahan, juga keadaan mental breakdance ku yg sudah kurencanakan kuperbaiki setelah resign kerja dan sampai saat ini msh dibujuk untuk diperpanjang lg seminggu demi seminggu.
Buku ini akan kuingat sebagai kesenangan kecil yg sdh berjasa untuk sedikit meringankan semua beban itu.
Hehehe
5 notes · View notes
ruang-belajar · 1 year ago
Text
Tumblr media
🌺Nama : Hafizt Pranadirja
🌺Instagram : hafizt.pranadirja
🌺Judul : Rahasia
🌺Isi :
Senyuman tak berarti kebahagiaan
Kebahagiaan terselimuti kehancuran
Tidak semua tau, apa yang kurasakan
Bahkan dengan orang terdekat pun tersembunyikan
Rahasiaku tak perlu kau tau
Sedihku bukan pedulimu
Meskipun kau peduli
Itu hanya sekedar ku berimajinasi
Titimangsa : Goresan tangan yang kelu, 1 Agustus 2023
0 notes
hemispheres93 · 1 year ago
Text
Fuck of 2016
Menikmati pergantian tahun di rumah sakit sebagai pesakitan adalah pengalaman yang sudah tentu tidak ingin dialami oleh siapapun. Tapi aku sudah kepalang tanggung mengalaminya. Tahun lalu, boro-boro buat nulis bagaimana resolusi atau pun kaleidoskop sebagai bahan evaluasi dan target kemajuan. Untuk sekedar bernafas pun sulit rasanya. Cara terbaik untuk merayakan hari jadi adalah dengan memikirkan kematian, sebab kedatangan hari jadi bukanlah titimangsa perpanjangan yuswa melainkan justru menjadi peristiwa yang meneguhkan makin ausnya kita punya usia.
1 note · View note
jualanbukusastra-blog · 2 years ago
Photo
Tumblr media
Dalam Merah Alizarin, terdapat sekitar 45 puisi Irma Agryanti tanpa titimangsa. Seperti covernya, puisi-puisi di dalamnya tampak demikian tenang dan terasa benar aroma kekosongan. Irma seperti seorang juru potret, mengabadikan momen paling tenang dan sunyi dari satu tempat dan peristiwa. Nyaris tidak ada kegaduhan, tanpa ada gerakan berarti, aktivitas penting dari apa yang ditangkap oleh puisinya. Segalanya tenang dan hening, seolah tanpa suara, bahkan suara televisi sekalipun nyaris menyala tanpa suara di kepala pembacanya. Merah Alizarin meruya menyimpan satu momen dari yang dekat dari sang penyair dan menghadirkan suasana yang tarasa demikian puitik. Terasa benar kekosongan, diam dan hening dalam puisi ini, seperti percakapan tunggal yang tak butuih jawaban siapa-siapa, seperti kosong yang tertangkap dari keriuhan. Ia menyeret pembaca pada rasa ngilu, asing, sendiri, dan tidak baik-baik saja. Irma Agriyanti, Merah Alizarin, Kumpulan Puisi, Yogyakarta, Diva Press, Jan 2023, 56 hlm, 45.000 #IrmaAgriyanti #MerahAlizarin #Puisi #DivaPress (di Jual Buku Sastra-JBS) https://www.instagram.com/p/CoDmjnRy-Ow/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
wamenderlust · 2 years ago
Text
Sepinya, Sepi seorang The Sin Nio, Pejuang Wanita asal Wonosobo di Akhir Hayatnya
Tumblr media
“Saya sudah memilih ikut sejarah kemerdekaan, meski sebetulnya saya tahu; sejarah itu tidak ingin membawa saya. Karena itu, saya tidak takut dilupakan. Yang penting saya sudah merampungkan kewajiban saya pada apa yang saya yakini.”
Begitu kata Sin Nio yang dimainkan oleh aktris Laura Basuki dalam Monolog "Sepinya Sepi". Monolog tersebut merupakan episode ketiga dari seri monolog  “Di Tepi Sejarah” yang dibuat oleh Titimangsa Foundation
dan KawanKawan Media Bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kali ini meangkat kisah seorang pejuang wanita peranakan tionghoa asal Wonosobo, The Sin Nio atau mungkin selama ini dikenal oleh rekan satu kompinya di Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 sebagai Mochamad Moeksin. Seperti tokoh monolog lainnya, The Sin Nio juga salah satu tokoh yang ada dalam pusaran sejarah namun tidak dikenal dan disadari kehadirannya dalam kisah – kisah heroik nan romantis kemerdekaan Republik Indonesia.
The Sin Nio, lahir di Kertek Wonosobo. Anak pertama The Ing Liang dan Ong Swan Nio, keluarga Tionghoa pembuat kue mangkok di Gudang Malang Wonosobo. Pada saat perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 alih – alih menjalani kehidupan wanita pada umumnya dimasa itu, ternyata panggilan meangkat senjata dan berjuang di garda terdepan lebih cocok dengan jati dirinya. Walaupun dengan memilih jalan tersebut, The Sin Nio harus rela kehilangan identitas nama, agama, ras dan gender agar dapat diterima sebagai bagian dari pejuang revolusi.
Sekilas kita akan melihat kemiripan kisah dengan karakter kartun animasi Disney Fa Mulan, sama – sama menyamar menjadi seseorang laki – laki agar bisa ikut berperang membela negara. Tapi sayang kisah pengakuan kepahlawanan seorang The Sin Nio dan Fa Mulan jauh berbeda. Butuh waktu delapan tahun semenjak kedatangannya ke Jakarta tahun 1973, dirinya baru mendapatkan pengakuan sebagai Veteran berdasarkan Surat Keputusan yang ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo pada 15 Agustus 1981.
Namun secarik kertas pengakuan tersebut ternyata tidak otomatis membuatnya mendapatkan hak sebagai Veteran Republik Indonesia sesuai Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1967 kala itu. Butuh waktu hingga akhirnya tunjangan bulanan sebesar Rp26.000 dapat dinikmati untuk bertahan seadanya di sebuah gubuk dipinggiran rel kereta api Juanda Jakarta Pusat setelah berpindah – pindah dari kantor Legiun Veteran sampai masjid. Janji diberikan tempat tinggal di Perumnas oleh Menteri Perumahan Rakyat kala itu pun tak terlaksana sampai The Sin Nio menutup usia di tahun 1985.
Cerita hidup The Sin Nio yang mampu menjalarkan semangat nasionalisme namun sesak tatkala berhadapan dengan kenyaataan birokrasi negeri ini. Dalam menggarap naskah, Ahda Imran selaku penulis berpedoman pada tiga sumber berita di antaranya Majalah NOVA tahun 1984, Suara Merdeka tahun 1980-an, Koran Sarinah di 1984 dan kontak dengan cucu dari The Sin Nio yang dibantu Museum Peranakan Tionghoa. "Saya menulis dua naskah, penulisan mencoba bukan hanya menghadirkan dan mengenalkan kedua sosok yang berada di tepian sejarah saja tapi juga melakukan penafsiran," tuturnya saat jumpa pers virtual.
Monolog Sepinya Sepi yang tayang perdana pada tanggal 22 Agustus 2021 ini mampu membawa kita merasakan kedalam kehidupan The Sin Nio yang tinggal di bantaran rel kereta, menua dan sendiri. Transformasi penampilan dan penghayatan Laura Basuki  sungguh meyakinkan kita bahwa The Sin Nio hidup kembali dan berbicara kepada kita bahwa mencintai tanah air adalah hak dan kewajiban setiap rakyat. Disisipkannya penggunaan Bahasa Mandarin mengingatkan kembali ternyata kemerdekaan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia terlepas apapun ras, suku, gender dan agamanya. Lakon demi lakon mengalun senada dengan musik gubahan Achi Hardjakusumah yang menambah kita terhanyut dalam suasana sehingga tiga puluh menit berlalu mungkin tanpa disadari. Tidak salah nama besar seperti Happy Salma, Yulia Evina Bhara, Helianasinaga, Ahda Imran, dan Yosep Anggi Noen berada dibelakang penggarapan pementasan kali ini. Pementasan monolog Sepinya Sepi masih bisa ditonton di laman https://indonesiana.tv .
The Sin Nio, seorang wanita pemberani asal Wonosobo, janda dengan 6 orang anak, pejuang revolusi yang hanyut dalam pusara sejarah kemerdekaan, dan seorang Veteran yang belum tuntas terpenuhi haknya menutup kisahnya di usia 70 tahun di TPU layur Rawamangun yang mana makamnya sudah tak bisa lagi ditemukan karena tertimpa makam lainnya. Sebagian besar orang mungkin berpikir ini adalah akhir yang tragis dimana makamnya bahkan tidak mendapatkan tempat dan nama, namun mungkin ini adalah isyarat bahwa bumi pertiwi memeluk dan menempatkannya bersama rakyat yang dibelanya tanpa kesepian lagi. The Sin Nio, anda benar – benar tidak merepotkan bangsa anda!
3 notes · View notes
mampirminum · 4 years ago
Text
Kisah Gemini yang Hadir dan Berakhir di Bulan Juni
BULAN JUNI sudah menyambut di depan pintu. Gara-gara Sapardi Djoko Damono, hujan (dan asmara) selalu jadi topik paling syahdu. 
Kamu mungkin tahu: tak ada yang lebih tabah dibanding hujan bulan Juni. Hingga 2021 kini, dilahirkannya kumpulan gemini yang pernah jadi pengiasa negeri ini. Empat dari tujuh Presiden Indonesia lahir di Juni. 
Tapi akan kuceritakan satu saja dahulu. Inilah dia: Putera Sang Fajar.
“Tak bisa kutolak matahari/ memaksaku menciptakan bunga-bunga//”
Lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, sejak kecil ia sudah dikenal karena sifatnya yang bengal. Betul, di antara kawan-kawannya dia-lah yang banyak akal.
Sementara anak-anak yang lain mesti setuju dengan segala ia punya tindak-tanduk. Bukan lantaran takut, tapi kawan-kawannya mudah termanipulasi oleh aura kharismatik yang ia bawa.
Bocah ini disebut-sebut punya mata bagaikan kombinasi Elang dan Burung Hantu. Luar biasa dan penuh daya pikat.
“Matamu serupa mata kucing candramawa,” kata eyangnya yang punya pendapat lain soal mata si cucu.
Ketika balita, kakeknya mendaftarkannya ke sekolah di sebuah desa di Tulungagung. Inilah sekolah pertama yang memberi pelajaran baca tulis padanya. 
Sekolah ini boleh bangga. Sebab satu tokoh pejuang kaum Marhaen pernah duduk di bawah atapnya.
Kemudian, saat ia bersekolah di Hogere Burger School di Surabaya, bocah kharismatik ini indekos di rumah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin besar Sarekat Islam (SI). 
Di rumah sewaan itu pula, ia mulai meminati buku-buku politik dan sosial. Di situ, ia berkenalan dengan Agus Salim, Alimin, Darsono, Moeso dan lain-lain.
Surabaya sudah seperti New York, pikirnya. Satu kota pelabuhan yang ramai nan berisik. 
Mungkin karena kondisi seperti itu, ia lebih suka menyepi ke Mojokerto yang lebih damai. Konon, di Mojokerto ia sempat akrab dengan pembantu rumah tangga bernama Sarinah.
Meluapkan keresahan sekaligus rasa penasaran, ia sesekali mulai menulis artikel di surat kabar Oetoesan Hindia, satu terbitan berkala milik SI. 
Beberapa tulisannya nongol sebagai tajuk utama. Namun, tak ada yang mengenalnya. Sebab, ia menggunakan nama pena “Bima”.
Kemudian...
Tahun 1920-an atas naif dan kenekatannya, ia melamar cewek londo totok bernama Mintje. 
Mbonek (bondo nekad), ia pergi bertemu Papa Mintje. Terheran-heran, Papa Mintje komat-kamit, “Kamu? Inlander kotor seperti kamu? Mintje ndak boleh kawin sama yu!”.
Akhirnya ia menyadari, saat itu ia hanya bisa berkawin dengan perempuan lokal. Lantas, si Bima ini menikahi anak Tjokro dan membawanya ke Kota Kembang.
Saya bayangkan, pasangan kekasih ini berjalan-jalan sepanjang Jalan Braga  tiap sore, di atas bayangannya sendiri. Bergandengan tangan, saling tunjuk perhatian.
Mungkin di situ, pada momen itu, si Bima komat-kamit baca sebuah sajak perlawanan akan suatu kedurjanaan ini: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Namun, nasib berkata lain. Istrinya pergi meninggalkan Bima saat dia sedang sayang-sayangnya. 
Perbedaan pendapat dengan mertuanya, Tjokro, berakibat fatal. Bima yang memilih menjauh, bergegas, berkemas, berlayar.
Perpisahan itu membuatnya kerap terjaga. Hidup terasa di ruang hampa. Tak ada rasa, hanya banyak tanya. 
Tiada waktu untuk tak bertanya, “Oh, apakah si dara manis itu akan bahagia?” Nyatanya, anak Tjokro itu kawin lagi dan beranak tujuh kepala bayi!
Bima jadi paham betul makna lagu Sal Priadi:
Aku ingin jadi jantungmu Dan berhenti semauku Agar kau tahu Rasanya hampir mati ditikam Patah hati
Sakit hati bikin ia lebih dekat dengan Tuhan. Bukan lain perempuan.
Dalam sujudnya, Bima tak mengetahui awal dan akhir doa; ia tak pernah tahu kenapa. Yang ia tahu, hidup merupakan kumpulan dari doa-doa pendek.
Dalam proses mencari petunjuk dari-Nya, ia baru sadar jika di dunia ini hanya ada dua jenis pencarian cinta yang saling bertolak belakang. 
Yang pertama, perjalanan memiliki cinta dari pasangan hidup; dan Kedua, perjalanan memiliki hidup yang penuh cinta. Pilihan pertama ialah membagikan cinta kepada pasangan hidupnya, sedangkan yang terakhir yaitu menyalurkan rasa cinta kepada lebih banyak manusia.
Sebagai pemuda yang menggebu-gebu atas nasionalisme, si Bima memilih jalan kedua. Cintanya pada banyak orang menggerakkan laku dan pikirnya untuk berjuang meraih pembebasan. Barangkali hidup adalah doa yang…
Hingga ia bertemu dengan perempuan ini. Yang lebih tua 12 tahun dan tak pernah sekalipun menuntut sesuatu yang berarti.
Jiwa nasionalismenya yang meronta-ronta bikin Ia makin galak terhadap penjajah. Artikelnya yang berjudul “Nasakom” lamat-lamat membuat Belanda “moentah darah”. 
Bima ditangkap dan diadili oleh para londo. Pengadilan digelar di muka umum. Ia dituduh menyebarkan ujaran kebencian hingga mengganggu ketertiban umum dan sebagai provokator. Dalam pengadilan itu, atas nama bangsa dan keadilan, ia malah balik menggugat!
Panas kuping Gubernur Jenderal Hindia Belanda mendengarnya. Bersama istri keduanya saat itu, Bima dibuang ke Ende, Flores dengan menumpang kapal “van Riebeeck” yang kepayahan.
Pada 14 Februari 1938, datanglah surat yang mengharuskan Bima berpindah ke Bengkulu. Di tanah pembuangan yang baru ini, ia bergabung pada perserikatan Muhammadiyah. 
Ternyata, tak hanya diri Bima yang nomaden, hatinya pun ikut berpindah. Di Sumatra, ia jatuh hati pada seorang gadis belia puteri seorang tokoh Muhammadiyah.
“Lupakah kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?” sindir istrinya yang sudah sewot. Bima hanya tersenyum kecil coba memberi tahu dan rayu bak Aldebaran kepada Andin.
Tercatat dalam sejarah, perjalanan hidup yang penuh petualang “bawah perut” telah mencap Bima jadi playboy kelas kakap. Ia adalah The Great Lover.
“Rasio saya nasionalis, hati saya romantis, perut saya sosialis, lalu dari bawah perut ideologi saya itu playboy dan womanizer,” ucapnya terkekeh suatu kali saat perempuan bule mewawancarainya.
Kenpeitai datang bawa banyak impian. Terbuai, Bima berkolaborasi dengan penjajah baru. Oleh karenanya, ia kerap dianggap antek Kenpeitai. 
Namun, Bima tak peduli. Kenpeitai, suka-tak suka, membuka kesempatan bumiputera menengok kemerdekaan dari sebuah jendela.
Ia dan kawan-kawannya mulai mempersiapkan dasar negara. Akhirnya terkumpul lima sila. Di mana sila pertama yang tercipta di menit-menit akhir berbunyi begini:
“Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain…,” jelasnya panjang-lebar.
17 Agustus 1945, ia dan seorang kutubuku memproklamirkan satu teks. “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Ia mengklaim bahwa kemerdekaan bangsanya ini bukanlah sebuah pemberian.
Perompak Belanda datang lagi ke negeri merdeka ini usai Kenpeitai akui jadi pecundang. Aksi-aksi bela negara tak terelakkan lagi. 
Para pendekar angkat senjata membela tanah air — juga merampok, membunuh, dan memerkosa perempuan londo. Darah bertumpahan pada periode yang disebut ‘Masa Bersiap’ ini.
Perjanjian demi perjanjian dengan Belanda terjadi. Entah menghasilkan tolak dan/atau sepakati. Bersama kawan-kawan seperjuangan, ia meminta keadilan di muka hukum deklarasi. Ia dicap lembek oleh Ibrahim Tan Malaka, si revolusioner klandestin.
Tak hanya sekali tegur. Datuk Minangkabau ini kerap mengkritik Bima karena Bima tak berusaha menghentikan romusha yang menyerabut sekian ratus nyawa.
Memasuki paruh kedua abad keduapuluh, Bima terlihat semakin tua. Pula, ia semakin nyaman di singgasana kekuasaan.
“Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan…”
Ketika zaman revolusi, Bima dikenal sebagai pribadi yang simpatik, idealis, terbuka dan demokratis. Kini, ia berubah menjelang masa tua. Menjadi orang yang tidak toleran, keranjingan kekuasaan, otoriter dan beberapa orang menyebutnya cabul.
Lantas, ia semakin berkuasa saat dikukuhkan sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Hingga ia tak sadar kalau dirinya sedang dimangsa oleh revolusi yang Bima ciptakan sendiri.
Pada suatu kali tanggal 23 Oktober 1965, kata-kata Bima mencerminkan kengerian, “Bencana 30 September… bisa dianggap sebagai suatu hal yang lumrah, biasa dalam suatu revolusi. Yang terpenting adalah revolusi, bukan saya, juga bukan beratus-ratus Pemuda Rakyat yang telah dibunuh!”
Arogansi dan kepanikan terlihat sangat jelas. Ia akan mendamprat siapa saja yang menentangnya. Kontra-revolusi!
11 Maret 1967, pria bulan Juni lain menggantikan Bima dengan surat super sebelas Maret. Secarik surat yang hingga kini misterius ada di mana.
Konon katanya, Bima menitipkan surat super itu pada pemilik penerbitan buku yang menerbitkan buku Di Bawah Bendera Revolusi!
“Maut dilahirkan waktu fajar/ia hidup dari mata air/ …maut mencintai fajar/ dan mata air, dengan tulus//”
Beberapa purnama kemudian, tepatnya pada Juni tahun 1970, seorang dokter merasakan panas dari tangan Bima. Tubuhnya pun melemas. 
Kemudian, tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Bima hembuskan napas terakhir. Ia sendiri dalam sepi.
Seperti sudah digariskan titimangsa kehidupan, Bima hadir dan berakhir di bulan Juni. Di bulan yang basah ini.***
_______________________________________
P.S: Pernah terbit di blog medium.com saya di sini.
8 notes · View notes
irfanilmy · 4 years ago
Text
Tabah
Saya mulai bisa mengerti mengapa ada penyair yang menyelesaikan penulisan satu judul puisi bisa hingga bertahun-tahun. Ada yang 1, 2, 3, 4, bahkan 8 dan mungkin lebih dari itu. Kita bisa melacaknya dari titimangsa yang dibubuhkan di akhir puisi. Meski, jangan sekali-kali membayangkan selama masa tersebut sang penyair hanya terus menerus mengisinya dengan menulis satu judul puisi yang dimaksud. 
Saat penyair punya standar tinggi untuk puisinya, ia berusaha untuk menyajikan puisi terbaik versi dia. Dan tidak terlalu terburu untuk segera menuntaskan karena memang merasa ada yang kurang. Belum pas lah. Atau serasa ada yang kurang dan lain-lain. 
Keren buat penyair yang istiqamah menaklukan gemuruh dalam dirinya sendiri untuk menyelesaikan penulisan puisi. Kesabaran dan ketabahannya selalu memukau. 
Cikondang, 16 April 2021, 20.16 WIB
2 notes · View notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Kemerdekaan Itu Menakutkan Tapi Kamu Tidak Mesti Menolak
Tumblr media
"Kemerdekaan ini yang kami rindukan. Kemerdekaan serentak, kemerdekaan bersama, bukan sendiri-sendiri seperti yang kamu berikan tadi!"
Perkutut tua itu berkoar keras-keras lalu berak di atas kepala juragan yang memenjarakannya selama bertahun-tahun. Sepotong tempe di tangan meluncur ke dalam wajan panas, bunyi minyak mendesis panjang seirama suara dua ratus tujuh puluh juta burung perkutut yang bebas dari sangkar, terbang lepas ke hampa udara.
Sandiwara sastra hasil kerjasama Kemendikbud dan Titimangsa Foundations episode ketiga berjudul Kemerdekaan, alihwahana dari cerpen milik Putu Wijaya itu kudengarkan dari podcast Budaya Kita saat sedang berjibaku dengan seikat kangkung segar dan ulekan sambel terasi beserta tetek bengek yang menyertainya😂. Mendengarkan pembacaan sebuah cerita dalam bentuk audio sebenarnya pernah sangat booming di masa kanak, dua puluh tahun lalu bahkan lebih jauh dari itu, hanya saja media dan kehadiran teknologi audio visual menggerusnya habis. Hingga akhirnya, masa pandemik memindahalihkan segala bentuk hiburan ke wadah social media yang penerapannya teramat canggih dan mudah diakses. Sebagai upaya jalan literasi sekaligus inovasi seni, sandiwara sastra hadir mengangkat sepuluh judul karya sastra dari penulis yang tak hanya ternama tapi kompeten dari Indonesia.
Dibuka dengar suara Iqbaal Ramadhan menirukan bunyi perkutut diikuti padu padan koor dua ratus tujuh puluh juta burung perkutut lainnya. Adinia Wirasti menarasikan hidup seorang juragan yang begitu berkuasa, ia hanya tinggal menikmati masa tuanya dengan bermain, mengobrol dengan hewan-hewan peliharaan yang telah ia kurung dalam sangkar selama bertahun lamanya. Hingga pada suatu hari, entah apa yang merasuki pikirannya sang juragan memutuskan melepaskan burung perkutut kesayangannya ke langit luas, memberi hadiah atas kesetiaan hewan peliharaannya itu : sebuah kemerdekaan!
Di sinilah permasalahan bermula, konflik yang tak terjadi antar tokoh manusia mana pun selain sang juragan dan seekor perkutut yang setia. Alih-alih bahagia bisa bebas terbang di angkasa, perkutut itu malah menolak, ia urung ke luar ketika pintu sangkarnya dibuka lebar oleh juragan.
"Loh, kamu kok malahan mundur? Takut? Kenapa takut? Itu kemerdekaan! kemerdekaan yang diimpikan oleh setiap orang, setiap makhluk di muka bumi. Sekarang aku serahkan ke padamu. Ayo, sini, sini! Itulah kemerdekaan, kemerdekaan yang diteriakkan oleh pemimpin di podium, diteriakkan oleh para mahasiswa dan demonstran sepanjang jalan, dipuja-puja bagai berhala oleh para penyanyi metal, disanjung oleh para penyair dan sekarang ada di depan hidungmu menantang kamu terbang. Ayo, tarik. Kamu kok malah gemetar seperti mau dieksekusi?"
Vocal berat Arswendy Bening Swara mengalun bersama ketukan musik pengiring, tak ubahnya seorang aktor sedang bermonolog di atas panggung.
"Tuan, tuan, tuaann. Maaf, maaafff! Saya bukannya tidak mensyukuri karunia Tuhan yang mulia itu, bukan tuan! Tapi, saya takuutt. Sebab kalau saya ke luar sekarang, dalam waktu tidak lebih dari tiga hari saya akan mati tuan. Bertahun-tahun saya hidup di dalam sangkar ini, setiap hari makan dan minum selalu tuan sediakan. Kalau saya dilepas sekarang saya tidak tahu cara mencari makan dan minum, saya akan mati tuan. Tolong jangan beri saya kemerdekaan! Di luar banyak kucing garong tuan, mereka akan menerkam saya apabila tahu saya bebas tanpa perlindungan, dalam waktu dua hari saya akan berada dalam perut kucing. Jangaaaannn!!! Kurkutukukukk kurkutukukukk, kurrkutukukukkk"
Jawaban perkutut itu membikin bulu kudukku meremang, kumatikan kompor, menghentikan segala aktifitas dapur lalu duduk tepekur. Ini bukan hanya tentang kebebasan burung-burung perkutut, ini tentang sesuatu yang lebih besar. Siapa sang juragan tamak nan kejam? Dua ratus tujuh puluh juta ekor perkutut yang dikekang selama sekian waktu lamanya? Cakrawala yang membentang luas? Kemerdekaan?
Putu Wijaya menggambarkan keadaan sebuah negara dalam kehidupan kecil juragan dan perkutut-perkututnya. Menariknya, banyak penulis yang membincang atau mengangkat kemerdekaan sebagai tema utama tapi ini sungguh berbeda. Taufik Ismail menulis puisi pahlawan (2017), Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Buruh (1980-1988) atau Revolusi Nasional karya Roestam Effendi (1947) kemerdekaan diperjuangkan oleh individu mau pun kelompok, oleh Indonesia. Namun pada cerpen yang dialihwahanakan dalam sandiwara sastra ini, kemerdekaan secara simplisit bukanlah hadiah yang bisa kita terima secara serta merta.
Sebuah perenungan unik muncul, kemerdekaan tak didapatkan dari sebuah pemberian, ia adalah sesuatu yang harus diraih dengan perjuangan.
1 note · View note
rarawoo0rlds · 4 years ago
Text
Tumblr media
kemarin waktu ga sengaja scroll twitter dan menemukan pamflet menarik ini.
pertama kali lihat udah ngira pamflet konser terus mulai baca deskripsi dan kaget sendiri.
apasihh wkwk
jadi ini tuh sandiwara sastra gitu kolaborasi produksinya kemendikbud, yayasan titimangsa sama kawankawan media trus diproduserin mba happy salma sama mba yulia evina bhara.
mantap.gatau aku dah bayangin mantap aja sih soalnya produsernya mba happy salma.
sastra gt kan, beliau ni kan ciamik yaa.
awalnya baca perempuan indigo dan langsung fokus sama jefri nichol, oka sama chelsea islan sampe baru sadar kalau cerita yang mau di alih wahanakan itu perempuan indigo di lalitanya ayu utami.
aku baca itu shock bangett.
karena lalita pas pasan baru ku tamatin sebelum akhir 2019 lalu.
salah satu novel yang ku temukan di perpustakaan kota waktu bolos jam terakhir bimbel berdua sama imut.
awalnya cuman liat sampul dan tulisan lalita yang punya vibes bahagia gitu dengan tumbuhan dan bebungaan wkwkwk
ngebaca judulnya "lalita" bayanganku udah novel novel remaja biasa doang.
dan terus turun menemukan nama "ayu utami" sebagai penulisnya.
Tumblr media
ayu utami namanya beberapa kali dengar atau baca cuman selentingan doang, karena dulu salah satu karyanya pernah jadi soal bacaan gitu di ujian entah ujian apa gitu pas smp kalau ga salah.
beberapa kali pak ai juga pernah nyebutin nama penulis sastra hebat dan namanya beliau ini ikut kesebut.
maka masuklah si "lalita" ini dalam daftar pinjam perpustakaanku.
terus dijalan waktu makan masih sempet browsing cari tau biografi singkat ayu utami dan baru tau kalau lalita ini adalah salah satu novel series "bilangan fu" gitu jadi ada novel sebelum ini dan lalita adalah yang ketiga alias masih ada dua novel sebelumnya yang harusnya kubaca dulu.
boro boro mau baca tau bentukannya aja engga.
dan akhirnya mengendap aja lama di meja belajar ku karena ga kubaca baca.
tapi pas pasan semua novel pinjeman ku pada abisan semua aku jadi mulai ngambil ini dan bismillah gas ajaa wkwk
waktu pertama kali baca awalnya aku udah ngira kalau kayaknya ini satu series tapi
kalau dibaca terpisah gapapa deh soalnya GA NGERTIII JUGA ANJIR WKWKWKWK
aku bloon banget hikd
ternyata isinya ga seunyu cover bukunya:'))
karena anaknya yang ga nyastra banget dan kapasitas otaknya yang bikin ngelus dada.
bacaan lalita yang entah menyinggung nyinggung masalah kesustraan, filsafat, ideolog, spiritualitas atau arkeologi lebih lebih tentang borobudur ngebuat aku kayak lagi mainan keong alis hah hah muluu wkwk.
tapi toh akhirnya novel itu berhasil kutamatkan walaupun dengan setengah bagian memori dalam otakku yang nyaris njebluk.
saking ga kuat menampung banyak kosa kata kosa kata asing atau nama nama yang nyelempit dan sama sekali ga pernah kubaca atau ku dengar.
sama juga menyisakan banyak kebingungan dan pertanyaan macam "sebenernya fokus ceritanya ini dimana sih?"wkwk
entah emang aku doang yang ga nyampe si ini fix karena isi dari novelnya menurutku complicated parah.
dan keknya emang kurang cocok buat di nikmatin sama orang awam.
begitu aja kemudian lalita pulang kembali ke perpustakaan kota dan gak meninggalkan kesan apapun untuk bocil yang pas itu lagi di tatar tryout parah parahnya menjelang kelulusan.
eh meninggalkan si, kesan njelimet buat keren kerenan doang karena udah berhasil namatin.
iya tamat doang ngerti juga engga wkwkk.
Tumblr media
dan lalu kemaren malam menemukan pamflet sandiwara sastra itu sebagai jawaban atas doa doaku tentang cara lain untuk menikmati lalita dengan versi yang lain. yang mungkin lebih bisa kuterima.
dan subhanallah aktor yang ngisi juga ciamik sekali omegoott.
siapalah aku yang bukan siapa siapa ini mau ngereview abal abal tipis tipis sesuai apa yang aku rasain waktu dengerin podcast ini.
dengan narator mas jefri yang punya suara adem macem ubin mesjid, sopan sekali bertandang ketelinga. dengan intonasi dan penegasan pada beberapa kata untuk lebih mendeskripsikan suatu keadaan, detail dan alhamdulillah tidak belibet ya soalnya narasinya agak semlehoy wkwk mungkin karena preparenya juga lama jadi mateng sempurna. oh sunggu mas jefri kamu menang memegang kendali cerita disana.
terus sandi yuda yang di peranin sama oka antara.sebenarnya pas baca bukunya tuh aku kayak ngebayangin rio dewanto gitu si soalnya kan doski ni pemanjat tebing, nah keknya cocok gitu sama perawakannya rio dewanto tapi so far oka antara ga kalah bagus
momen momen pas dia ngerasa gugup, grogi dan bodoh alias mati kutu di depan lalita nih sukses bikin senyum senyum sendiri.
atau waktu monolognya dia yang kayak lagi ribut sama isi kepalanya sendiri itu ciamik bangett.
really love it
DAN YANG TERAKHIR ADALAH MBA CHELSEA ISLAN YANG TENTU SAJA MENJADI LALITA VISTARA YANG SUMPAH AKU CINTA BANGET JUJYUR MO MENINGGAL WKWKWKWKWK
tapi seriusan sekeren itu dari waktu dialog pertama "siapa ini" tuh sumpah ngena bangett.
pembawaannya yang lues, cerdas, misterius,perfeksionis dan agak bitchy gitu ngena banget dibawain sama chelsea.
lalita vistara yang digambarkan sebagai perempuan indigo karena semua yang membalut badannya indentik dengan warna biru hampir menyentuh ungu, yang cantiknya etheral,gak wajar, vulgar tapi juga cerdas banget beneran ngena banget di chelsea entah gimana caranya.
apalagi waktu dialognya yang
"jangan sekali sekali panggil aku lita yaa, panggil aku lalita eheheh"
tawa kecilnya dia di ujung kalimat tuh kek bisa ngebawa pikiran buat ngebayangin gimana sosok lalita yang keliatan manja dan mengintimidasi di satu waktu yang sama.
atau waktu dia ngerayu yudha buat di bungkus kerumah wkwk "aku akan mengajari kamu, aku punya kamar gelap di rumahku"
trus juga penjelasan tentang aksis mundi kecil yang dia sampein dengan detail dan hati hati kayak seolah olah takut kata katanya bakal meluncur kemana mana kalau ga dia tahan tahan, masih tetap dengan nada mengayomi yang sometimes terdengar sangat menggoda di satu waktu yang lain.
dan semakin ciamik dengan penutup dialog "yudha yang baik, selamat malam" behhhh itu demagenya ga ngotak si parahhhh
so far ini menyenangkan banget buat di denger.
selain karena ceritanya ini memang bagus juga karena aktor yang main totalitas banget, detail ilustrasi musik yang di pegang sama mas yenu ariendra dan penata suaranya mas pramudya adiwardhana makin ngebuat yang denger larut dalam suasana.
mengisi malam ku yang unfaedah dan suram menjadi lebih menyenangkan dan berwarna
huhuhu udah ah udah panjang capek
1 note · View note
sempronkz · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Amenangi zaman edan, ewuhaya ing pambudi melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wakasanipun, ndilalah kersa allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada. (Pupuh 7 Serat Kalatidha) #sempronkz #sardajateng #seratkalatidha #pepiling #titimangsa #selamatpagi #jatenggayeng #jatengtwit #jatenghits #semarang #indonesia #avignamjagadsamagram (di Makam Ronggowarsito Klaten Jawa Tengah) https://www.instagram.com/p/CPwmWgYgpL-/?utm_medium=tumblr
0 notes
haninseptina · 6 years ago
Photo
Tumblr media
Selain kemacetan, perselisihan dan demo, tak bisa dipungkiri bahwa Ibukota menawarkan ruang kreatifitas yang luas. Ya semacam pentas-pentas teater ini. Kalau rajin ke TIM buat kepo jadwal tayang teater yang main di Hall nya, bakal bisa dapat banyak dari yang gratisan hingga yang berbayar.
Beberapa teater yang pernah kukunjungi : Sabdo Pandito Rakjat, Hakim Sarmin, Pesta Para Pencuri, Laskar Bayaran, Brigade Orgil, Orang-Orang Berduit. Ini untuk Teater Gandrik yang digawangi oleh Butet Kertarajasa. Temanya kebanyakan kritikan untuk pemerintah, juga menggambarkan keadaan yang sedang berlangsung misalnya kemarin pas pemilukada DKI yang super rame itu juga sempat diangkat dalam salah satu teaternya. Lalu isu korupsi, perebutan kekuasaan, tipu-menipu dan segala hal yang relevan dengan keadaan masyarakat sekarang.
Selain itu juga ada teater koma seperti lakon Sie Jin Kwie Melawan Siluman Barat dan Gemintang. Teaternya lebih ramai pementasannya karena pemainnya lebih banyak dibandingkan teater gandrik. Dan relatif lebih mikir dibandingkan teater gandrik yang relatif ringan. Kalau Koma harus fokus dari awal sampai akhir. Isu yang diangkat juga macam-macam dari pernikahan beda budaya, korupsi, budaya Indonesia yang semakin tergerus, pengkhianatan, perebutan kekuasaan dan lain-lain.
Lalu ada pula teater yang digawangi oleh Titimangsa Foundation yang biasanya pemainnya adalah artis yang sudah kita kenal. Biasanya sedikit pemainnya paling hanya 4-7 orang. Cerita yang diangkat biasanya dari buku/tokoh seperti bunga penutup abad yang diambil dari buku tetralogi Burunya Pram, lalu ada juga perempuan-perempuan Chairil yang mengangkat kisah Chairil Anwar pada sudut pandang kehidupan romannya.
Kalau bosan dengan tayangan televisi bisa banget diganti sama nonton teater, semacam menyadarkan kembali bahwa masih ada yang berjuang untuk berkarya dengan sebenarnya.
0 notes
wamenderlust · 2 years ago
Text
Menulis, Latihan menjadi Bagian Pertunjukan
Menonton & Menulis, Tulislah Apa yang Kau Tonton
Penonton adalah elemen dari seni pertunjukan, bagaimana cara merespon dan perspektif pihak ketiga suatu pertunjukan biasanya dinantikan oleh para penggiat seni guna perbaikan pementasan selanjutnya. Namun sayangnya suatu pertunjukan hanya diulas dari sisi informasi media massa dan berakhir dengan hingar bingar perayaan.
Hal serupa di utarakan oleh pengampu kelas Reportase Seni Pertunjukan, Ahda Imran. Kang Ahda, begitulah panggilan akrabnya, seseorang yang tidak asing dalam penulisan dan seni. Terakhir novel biografinya berjudul “Jais Darga Namaku” terpilih mengikuti Berlinale Festival 2022 di Berlin. Beliau mengungkapkan hal yang menjadi perhatian dan keresahan kurang tumbuhnya catatan perspektif penonton yang kalaupun ada masih terlalu baku dan tidak terlihat gaya penulis yang orisinal. Teori diperlukan tapi kita jangan terlalu tunduk atas aturan tersebut, ada ruang improvisasi yang bisa kita garap lebih lanjut dan hal ini lah yang melatarbelakangi diadakan kelas penulisan ini kata kang Ahda pada kesempatan pembukaan kelas batch pertama yang dilakukan secara daring malam tadi.
Kelas ini dilaksanakan mulai dari tanggal 9 - 24 Juli 2022 setiap sabtu dan minggu yang diiikuti oleh 8 peserta dari berbagai latar belakang profesi dengan satu kesamaan kegemaran yaitu sebagai penikmat seni. Kelas pertama yang berlangsung satu setengah jam dari jam 19.30 ini memberikan materi pengenalan terkait reportase, teori penulisan dasar, dan seni pertunjukan secara umum dibawakan secara interaktif oleh narasumber dan dipandu oleh Haikal sebagai perwakilan dari Titimangsa.
Diharapkan diakhir kelas para peserta mampu menjadi “jurnalis” yang dinantikan oleh para penggiat seni untuk memberikan umpan balik dari perspektif kursi penonton. Sebuah seni harusnya bukan hanya abadi diingatan penikmatnya tapi juga abadi secara tulisan, begitulah saran Pramoedya A. Toer agar tidak hilang dalam masyarakat dan pusaran sejarah.
0 notes
akarcerita · 6 years ago
Quote
Ternyata yang ditunggu-tunggu bukan pertemuan, bukan sesampainya di tujuan pulang. Melainkan titimangsa sembilan jam duduk manis di kereta pada kursi pinggir jendela.
Catatan di kereta
9 notes · View notes
payungbiruu · 6 years ago
Photo
Tumblr media
Hei kamu. Hai Sahabatku sejak 2010. Selamat Ulang Tahuuuuuun.
 Satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu sejak dulu adalah terima kasih telah menjadi sahabat receh, sahabat random, sahabat di saat sedih maupun senang. Kamu tahu segala aibku, dan kita terbiasa menertawakannya bersama. Aku senang berbagi aib denganmu. Hahahahaha.
 Hei kamu. Kamu yang selalu menampakkan keceriaan dan kebahagiaan. Bagiku kamu seperti agen rahasia pembawa tawa. Mungkin Tuhan menciptakan kamu ketika bumi dan seisinya sedang berbahagia.
 Aku tahu, kamupun tahu. Kehidupanmu tak selamanya penuh tawa, banyak kerikil, bebatuan, jalan terjal dan jalan persimpangan yang kadang berhasil membuat pudar senyuman ceriamu itu (mungkin terjadi belakangan ini). Namun semua ini belum ada apa-apanya, perjalanan masih panjang. Tak apa sesekali mengeluh tentang betapa tidak adilnya atau betapa kerasnya kehidupan. Tak apa sesekali menangis sesenggukan, tak apa sesekali butuh kesendirian. Kita memang tidak bisa selamanya menjadi kuat atau baik baik saja. Ada titimangsa ketika kita merasa dalam keadaan ‘tidak baik-baik saja’. Seakan mengakui bahwa terkadang kalah oleh keadaaan dan kenyataan. Seakan tak ada pilihan lain selain menjalani. Tak apa. Sungguh tak apa. Karena kita sedang berproses. Berproses  menjadi kuat dan menjadi pribadi yang legowo.
 Ah tapi aku tahu, kamu tidak selemah itu. Tidak. Mari bersiap untuk pertemuan, perpisahan, kehilangan, kekalahan dan keberhasilan. Aku akan menemani, tenang kamu tidak sendiri. Kejutan-kejutan dalam hidup akan tetap memberikan sesuatu untuk ditertawakan, bukan ? Hei jangan cemberut, tersenyumlah. Apa perlu aku menyusulmu dan menggelitikimu agar lengkungan itu kembali menghiasi wajahmu ? Atau perlu aku buatkan se”cangkir” humor untukmu ? Apapun itu.
 Oleh karenanya, kumohon berbahagialah tertawalah hingga kesedihan yang menaungimu merasa lelah. Doa terbaikku dan kebahagiaan tak berujung selalu untukmu.
 Tertanda
 FF
5 notes · View notes
jualanbukusastra-blog · 2 years ago
Photo
Tumblr media
Dari beberapa kisah-kisah drama dalam buku ini, satu di antaranya adalah lakon "Perempuan-Perempuan Chairil" yang membawa kita pada kisah cinta Chairil Anwar dan perempuan-perempuan dalam hidupnya. Sisi romantis dan kisah getir percintaan penyair yang kerap disebut sebagai "binatang jalang" itu, ternyata juga mereflek-sikan pergulatan kepenyairanya. Kisah drama ini menjadi sangat menarik ketika hadir dalam situasi perayaan 100 Tahun Chairil Anwar. "Perempuan-Perempuan Chairil" pernah dipentaskan oleh Titimangsa Foundation, produser Happy Salma, dengan para pe-main antara lain Reza Rahadian, Marsha Timothy, Chelsea Islan, Tara Basro, dan Sita Nursanti. Kita juga merasakan drama pergulatan batin badut yang merasa nasibnya begitu sial, drama para pensiunan yang diombang-ambing kematian, sampai tokoh-tokoh yang kita kenal dalam karya sastra Indonesia, seperti Srintil, Nayla atau Annelies, yang ditulis ulang menjadi drama yang menarik. Buku ini pun, pada akhirnya memperlihatkan sisi lain kreativitas Agus Noor: bagaimana ia selalu membuka diri untuk melakukan kolaborasi, hingga terbuka ber-macam kemungkinan cara bercerita, dan kerap memperlihatkan hal-hal yang tak terduga. @agusnoor_, Perempuan-perempuan Chairil dan Kisah-Kisah Drama Lainnya, Yogyakarta, Diva Press, Nov 2022, 368 hlm, 90.000 #AgusNoor #PerempuanperempuanChairil #DivaPress #NaskahTeater (di Jual Buku Sastra-JBS) https://www.instagram.com/p/ClvAhDLBWqa/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
mendyways · 2 years ago
Text
Menulis, Latihan menjadi Bagian Pertunjukan
Menonton & Menulis, Tulislah Apa yang Kau Tonton
Penonton adalah elemen dari seni pertunjukan, bagaimana caranya merespon dan perspektif pihak ketiga suatu pertunjukan biasanya dinantikan oleh para penggiat seni guna perbaikan pementasan selanjutnya. Namun sayangnya suatu pertunjukan hanya diulas hanya dari sisi informasi media massa dan berakhir dengan hingar bingar perayaan.
Hal serupa di utarakan oleh pengampu kelas Reportase Seni Pertunjukan, Ahda Imran. Kang Ahda, begitulah panggilan akrabnya, seseorang yang tidak asing dalam penulisan dan seni. Terakhir novel biografinya berjudul “Jais Darga Namaku” terpilih mengikuti Berlinale Festival 2022 di Berlin. Beliau mengungkapkan hal yang menjadi perhatian dan keresahan kurang tumbuhnya catatan perspektif penonton yang kalaupun ada masih terlalu baku dan tidak terlihat gaya penulis yang beragam. Teori diperlukan, tapi jangan kita terlalu tunduk atas aturan tersebut, ada namanya ruang improvisasi yang bisa kita garap lebih lanjut dan hal ini lah yang melatarbelakangi diadakan kelas penulisan ini kata kang Ahda pada kesempatan pembukaan kelas batch pertama yang dilakukan secara daring malam tadi.
Kelas ini dilaksanakan mulai dari tanggal 9 - 24 Juli 2022 setiap sabtu dan minggu. Diikuti oleh 8 peserta dari berbagai latar belakang profesi dengan satu kesamaan kegemaran yaitu sebagai penikmat seni. Kelas pertama yang berlangsung selama satu jam setengah ini memberikan materi pengenalan terkait reportase, teori penulisan dasar, dan seni pertunjukan secara umum dibawakan secara interaktif oleh narasumber dan dipandu oleh Haikal sebagai perwakilan dari Titimangsa.
Diharapkan diakhir kelas para peserta mampu menjadi “jurnalis” yang dinantikan oleh para penggiat seni untuk memberikan umpan balik dari perspektif kursi penonton. Sebuah seni harusnya bukan hanya abadi diingatan penikmatnya tapi juga abadi secara tulisan, begitulah saran Pramoedya A. Toer agar tidak hlang dalam masyarakat dan pusaran sejarah.
0 notes