sittiarayyasolana
Separuh Dongeng Separuh Nyata
31 posts
Perempuan Biasa
Don't wanna be here? Send us removal request.
sittiarayyasolana · 3 years ago
Text
youtube
Pengantar tidur
4 notes · View notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Surat Kepada Angin Sebelum Hari Ini
Tumblr media
Kutulis ini sambil membayangkan hal paling sederhana. Tanpa bangku taman, tanpa gemericik hujan, tanpa matahari berwarna merah saga, tanpa ingatan tentang kebersamaan yang selalu repih di lumbung kenang. Juga bukan di sebuah musim ranum alamanda, tak ada gelap merenggut nyala mega, tak ada angin riuh bersekongkol dengan gigil, tak ada rindu yang keparat, tak ada puisi picisan dengan diksi yang dilebih lebihkan penyair.
Kita hanya sedang berkendara menuju entah, melintasi barisan pohon-pohon randu. Dari jok belakang, aku lebih memilih memandangi punggungmu ketimbang melontar pertanyaan semacam, apa kabarmu? Bagaimana perjalananmu? Sudah berapa lama kita tak bertemu? Atau pertanyaan yang lama kuperam dalam duka, apa rasanya meninggalkanku begitu lama? Masihkah ada bagian dari dirimu berdegup meletup saat melihatku? Pernahkah kau ingin tahu keadaanku? Apa yang membawamu kembali? Namun bising kendaraan bertemu lubang jalan tak kebagian jatah aspal menenggelamkan semua tanya, menelan gema suara kita.
Kau pasti menyangka aku telah lebih pandai memendam amarah kini. Aku memang telah menanggalkan banyak hal, menarik diri dari semesta, tak lagi mengirim surat, tak lagi mengunjungi pasar tradisional, berhenti gamang akan harga cabai dan bawang atau wortel dan mentimun berusia kapan, merica yang melonjak setara setengah kilogram emas seperti ia bisa dipoles menjadi batu permata di cincin emak-emak arisan. Aku tak lagi ingin teringat semua keresahan juga kebobrokan dunia yang selalu ingin kau ubah.
Tak lagi tertarik pada segerombolan bocah dengan kulit tembaga menerbangkan layangan seolah bertaruh takdir pada angin dan sehelai benang, tak lagi menyukai langit biru tempat burung-burung belajar terbang menuju sarang, tak lagi menghitung senja lalu menulis sajak paling lebam saban malam. Aku tak lagi mau peduli pada semua cerita dimana ada kau di dalamnya meski bersamaan dengan itu semua kebahagiaan lamat-lamat hilang lalu akhirnya yang kulakukan bukanlah benar-benar berhenti mencintaimu, aku hanya berupaya berhenti menunjukkannya.
Dalam sesak perjalanan, di sebuah perhentian lampu merah. Aku bercerita perihal lapak pedagang mie instan kesukaan kita. Lahan berjualannya telah berganti rumah bernyanyi dengan resto mewah, berpetak-petak sawah di seberang jalan juga ditanami gedung dan gudang. Begitulah, beberapa hal sepele memang kadang dibiarkan begitu saja sebagian lagi dibiarkan menghilang tanpa ada yang bisa disalahkan seperti pada peristiwa bencana alam ulah manusia, azab dikambinghitamkan, Tuhan disalah salahkan.
Perlahan, kuda besi yang kita tunggangi kembali melaju. Kutatapi lagi kemeja abu abu yang membungkus bahu dan lenganmu, membawa aromamu sedekat ini, aku selalu ingin pulang pada kerinduan yang lebih getas dari musim paling kering. Sementara kau lain dari biasa, kali ini tak banyak kata, seperti membawaku dalam sebuah perjalanan paling panjang.
Selepas kau tiada, diambang petang begitulah aku menemukan bagian diriku yang lain. Menghadap jendela, berangan-angan tentang pertemuan paling biasa, jumpa tanpa peluk meski sebentar juga tak apa. Aku hanya ingin menatap bening matamu, menangkap binarnya lalu menyimpannya sebagai harapan yang merembaka, mendengar renyah tawamu lalu menyulamnya sebagai mimpi-mimpi yang tak pernah berubah usang. Tak ubahnya angka di kalender pada laju hari-hari, aku telah merelakanmu jauh, berjalan, berlari mendahului, membiarkanmu menemukan lalu membuka banyak pintu tapi melepas doa yang selalu utuh.
Lalu ketika pagi terbit dari gelapnya kenyataan, setelah melafadz munajat yang mendekatkan jarak bibir dan kepalaku hanya sehasta dengan langit, hal pertama yang ingin kulakukan adalah mengeja nama Tuhan lalu membangunkanmu, menunjukkan surat paling penting bahwa pemergian adalah rupa luka yang tak dipulihkan waktu.
April, sebelum dan seterusnya. Bersama pengaminan doa yang paling dikabulkan Tuhan. Aku menunggumu sembari meminta segala kebaikan bagimu dari ujung ke ujung napasku.
1 note · View note
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Obituari Asing
Tumblr media
Sesuatu menarikku (lagi) ke tempat ini. Belasan purnama lalu, aku menertawakan seorang perempuan berpakaian sepi yang datang, duduk sendiri hanya untuk menyaksikan waktu memekik tombak detik siang terik. Kali ini akulah yang berkunjung seorang diri, dalam senarai ingatan aku pernah mengantar kepergianmu melewati sebuah dermaga dengan jembatan kayu memanjang seperti hendak menyentuh garis laut dan cakrawala. Di tubir pantai, tubuhmu pelahan menghilang dari jarak pandang, kau melangkah kecil tapi tak sekali pun menoleh untuk sekadar melambai atau melempar senyum laiknya bingkisan paling akhir yang semestinya diterima orang-orang ditinggalkan. Nuansanya mirip tempat ini, kesiur angin, aroma ganggang, mega-mega yang berarak, ombak tunggang langgang, bedanya tak ada sampah berbaur dengan buih juga binar di langit tak senyala cahaya yang kau tuju kala itu.
"Kau belum mati?" Entah dari mana kau datang, tetiba menarik ujung kemejaku.
"Seperti yang kau lihat. Aku sedang menyusun obituari dan menulis epitaf untuk pemakamanku sendiri" Kau beralih, duduk tepat bersisian denganku.
"Sudah lama menunggu?" Aku hanya menggeleng.
"Orang terluka memang cenderung sulit bicara" Kau mencibir.
"Lihatlah ke sana! Apa kau bisa memisah garis langit dan segara?" Mata kita berdua menerawang jauh.
"Tapi pantai selalu punya tepi" Ujarmu.
"Persis! Tapi mengapa ada yang tak mengerti arti sebuah batas?" Tanyaku.
"Ada yang bisa mengerti juga memahami tapi tak mau melakukannya. Lagi pula kau tak bisa mencegah seseorang merasa bahagia hanya untuk menghilangkan kesedihan dalam hidupmu. Bukankah itu yang selalu kau katakan?" Aku hanya bisa menghela napas berat.
"Kau boleh menjadi penghebat bagi kesedihan siapa pun, tentu kau boleh" Suaraku meninggi, entah dari mana sesak yang menyeruak di dadaku.
"Dan kau tak boleh memaksa orang lain mencintai dengan cara sebagaimana keinginanmu. Tentu tak boleh" Lalu hening, kita bergeming.
Ini waktu dimana lama tak terjadi obrolan, tak ada cerita apalagi bicara. Selain rambut dan tubuhmu, cara berpikir dan perkataanmu tumbuh terlalu dewasa, bahkan usia tua sekali pun belum tentu mampu mencapai itu. Sesungguhnya aku ingin bertanya banyak hal, perihal keadaanmu. Apa kau baik-baik saja? Tidakkah kau kedinginan saban malam? Kesepiankah kau? Bisakah kau membaca semua surat-suratku? Akh, sekarang kau malah menjadi jauh lebih cerewet dariku.
Dulu sekali, saat kau masih sering terpelanting. Kau senang bermain-main di dalam rumahku, mengacak-acak dapur, menggapai semua yang sempat, masuk ke kamar, membuka laci-laci lemari lalu menyembunyikan sebuah gunting di balik pinggang. Keesokan paginya, saat aku terbangun, tak jarang aku mendapati rambutku berubah merah, beberapa helai mengalir di pipi, melintasi bibir. Aku masih bisa ingat rasanya, sedikit asin dan anyir. Kau memang berandal yang berisik dan sangat gaduh.
"Apa ini setimpal?" Tanyaku.
"Adil untuk siapa?" Kau balik bertanya. Aku menggeleng lemah.
"Seperti yang ia lakukan, kau juga kerap ingkar" Sergahmu cepat, alisku mengernyit.
"Biar kuingatkan. Seperti yang ia lakukan, kau juga mengingkari banyak hal. Pada hari-hari yang tak biasa, saat malam akan segera berakhir atau tatkala fajar baru saja terbit. Kau mengendap-endap keluar kamar lalu berlari sekuat tenaga, dalam setiap langkah kau merapal janji pada dirimu sendiri bahwa kau akan melepaskan apa pun perihal dia sepenuhnya, sepersekian menit setelah itu kau mengingkarinya. Tak jarang, saat lebuh masih lengang kau berjalan bermil-mil jauhnya, melintasi bukit dan lembah sembari berikrar bahwa esok bukan lagi lengannya yang kau tunggu di perbatasan. Beberapa jam setelahnya, begitu berada ribuan kaki di atas permukaan lautan, namanya yang pertama kali kau teriakkan" Kau berdiri, berbicara lantang berkacak pinggang laiknya seorang aktivis menggenggam toa.
"Kau ingin mendengar lebih banyak?" Sekali lagi aku hanya menggeleng.
"Tidak dikatakan mencintai ketika salah satu merasa sebagai pihak yang paling berkorban" Kataku.
"Tidak dikatakan mencintai sampai kau menderita" Kau meralat, aku tak mengiyakan tapi juga tak lagi membantah.
"Kau masih membencinya?" Giliranmu yang diam.
"Kau tahu, rasanya mengiris daging sendiri dan membuangnya jauh-jauh?" Perlahan kau kembali duduk, masih tak bersuara.
"Kita masih manusia, pandai berpura-pura. Kita memiliki ambisi, diliputi ego dibarengi keinginan-keinginan, keinginan yang tak semua dapat kita miliki. Kadang, ada keadaan dimana kita harus memilih lalu memutuskan menjalaninya meski tak akan pernah mulus sebab tak semua orang mampu kita bahagiakan. Paling tidak, kita mencoba untuk tak menjadi penyebab kesedihan atau mungkin berupaya mengurangi lebih banyak luka. Sedang kesalahan, sesal, kenangan atau apalah nama peristiwa yang terlanjur terjadi, bisakah kita menganggap itu sebagai sebuah kewajaran? Yang memang sudah berjalan sebagaimana mestinya sebab takdir tak ada yang bisa memperdaya" Kau bangkit, berjalan mengambil beberapa jarak.
"Meminta maaflah" Ujarmu.
"Pada apa? Aku juga berduka untuk banyak kepergian. Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan bahkan untuk sekadar menunjukkan itu" Aku berdiri, lalu kembali duduk, menenangkan diri.
"Kau berlaku buruk pada dirimu sendiri, setiap hari" Sejak kita berbincang, kau baru menoleh pada wajahku sekali ini.
"Aku bahkan tak lagi memercayainya" Aku menunduk, menatap diriku sendiri.
"Kepercayaan bukan tentang berapa banyak yang kita katakan, kita janjikan bahkan kita lakukan. Kepercayaan adalah kesesuaian semua itu. Kepada apa-apa yang kita kasihi, tak ada yang mampu berkhianat, tak akan mampu meremukkan. Bukankah begitu?" Selangkah lagi kau menjauh.
"Apa ini waktunya untuk pergi?" Pertanyaan kadang tak sesuai dengan harapan.
"Kita sudah membicarakan begitu banyak hal yang itu-itu saja. Aku tak begitu suka berada lama di sini" Kau berbalik, mendekat lalu menggenggam tanganku. Hawa dingin seketika menjalari sum-sum, aku bisa melihat kuku jarimu kian panjang dan kotor.
Wajah dan tubuhmu kemudian pelan-pelan terkikis, menyatu bersama debu yang mengental di udara. Aku masih duduk di sebuah bangku bambu menghadap laut, tak jauh dariku seorang anak perempuan merengek meminta dibelikan es kelapa muda sementara ibunya melamun antar dua ember yang belum terisi ikan. Sepasang kekasih bergandengan tangan berjalan menjauh, sesekali mengangkat gawai, mungkin pada dunia tengah dipertontonkan kebahagiaan yang tak pernah berumur begitu panjang.
Aku pulang, membawa setangkup sunyi. Sunyi yang menampar rahang, menjerat leher bahkan merenggut nyawa.
Bumi, tunas Februari 2021. Diterjemahkan dari sebuah mimpi.
1 note · View note
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Kim Ji-Young Born 1982 : Kisah Sedih Yang Harus Diceritakan
Tumblr media
Kau pernah didera perasaan yang aneh? Seperti tertidur sekaligus jaga? Merasa sedang ditarik untuk menyaksikan peristiwa hidup orang lain, dibawa berlari, memutar di sebuah jalan yang sesungguhnya tak mengantarmu ke mana-mana selain berpulang pada dirimu sendiri? Kim Ji-Young Born 1982 menempatkanku pada sebuah perenungan yang unik.
Kim Ji Young adalah seorang ibu rumah tangga biasa berumur kisaran tiga puluh tahun beranak satu yang melakukan segala aktifitasnya di rumah. Yah! Tak ada hal lain selain pekerjaan dapur, melipat tumpukan pakaian yang selesai dicuci, mendengar desing vacum cleaner, memandikan dan merapikan mainan Ah Young anak semata wayangya dan sebagainya, dan sebagainya. Sekilas orang (baca : penonton) akan menyangka bahwa film ini hanyalah drama keluarga yang tokoh utamanya 'terperangkap' dalam rutinitas sehari-hari. Tapi alur flashback Kim Ji Young Born 1982 ini tak sesederhana itu.
Selama durasi 120 menit, Kim Ji Young Born 1982 menurutku adalah cerita dari sudut pandang seorang Jung Dae Hyun (suami Kim Ji Young yang diperankan oleh Gong Yoo). Kehidupan rumah tangga yang mereka anggap berjalan normal berubah ketika Dae Hyun mendapati istrinya kerap menunjukkan gejala-gelaja tak biasa. Dalam beberapa kondisi, Ji Young, bergelagat melewati batas garis normal. Di luar kendalinya, Ji Young kadang-kadang berubah menjadi orang lain, ia bertingkah di luar jati dirinya, menjadi mirip seperti orang-orang pada masa lalunya, ia berbicara seolah ia adalah ibunya, kakak perempuannya, juga sahabat lamanya yang meninggal setelah melahirkan. Dae Hyun adalah tokoh yang terlibat dan menyaksikan konflik batin dan luar itu terjadi, ia bahkan menyadari sebab-sebab yang membikin ibu dari putrinya mengalami himpitan yang menumpuk di pundaknya. Dae Hyun menemui psiakiatri, meski waktunya tak begitu banyak di rumah karena tuntutan pekerjaan, ia tak pernah 'meninggalkan' Ji Young tapi juga tak mampu mengubah budaya patriarki yang tertanam sejak lama dalam keluarganya, ia menyaksikan bahwa konsep pemahaman konservatif yang diterapkan secara tak tepat oleh lingkungan terdekat mau tak mau melahirkan diskriminasi terhadap istrinya, Kim Ji Young.
Tumblr media Tumblr media
Saya kerap disambangi perasaan sentimentil sendiri untuk beberapa situasi dalam hidup. Apalagi jika dihadapkan pada keadaan yang menyentuh dualisme ruang : kesadaran dan penyadaran. Ensiklopedia bebas menjabarkan secara sederhana bahwa kesadaran adalah keadaan di mana kita mengingat diri sendiri (kepada keadaan sebenarnya) sedang penyadaran adalah proses yang dilalui untuk menjadi sadar. Tak ubahnya pengobatan yang harus dijalani seorang pasien geger otak untuk kembali siuman. Saya benar-benar menjadi sadar bahwa kesedihan yang dialami Kim Ji Young, atau kita atau siapa pun di luar sana adalah hasil dari sebuah proses yang kelam lagi rumit, tak pernah terjadi secara serta merta.
Beberapa scene yang dikemas penuh keakraban dalam film ini menyeret jauh ke dalam ruang-ruang tersebut. Scene di mana Ji Young harus bekerja menyiapkan makanan sepanjang malam, meski dibantu bahkan dihadiahi celemek dari ibu mertua malah mempertegas posisi Ji Young dalam hidup berkeluarga. Saat suami dan sanak saudara berkumpul, bercanda di ruang tengah, tangannya masih sibuk dengan pisau pengupas buah di dapur. Di adegan alur mundur di masa kecil, oleh neneknya, Ji Young dan kakak perempuannya tak pernah boleh menyentuh mainan atau barang milik adik laki-lakinya. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama Ji Young remaja nyaris mengalami pelecehan seksual namun ketika mengadukan kejadian itu pada ayahnya, alih-alih diberi sokongan mental, Ji Young malah dipojokkan dengan alasan cara berpakaian dan sikap ramahnya yang berlebihan membuat orang lain mudah berniat jahat padanya, padahal tak sekali pun Ji Young muda berperangai tak baik. Ji Young dan Dae Hyun di masa-masa awal pernikahan sepakat memiliki anak meski mereka tak siap karena terus-terusan menerima cibiran dari pihak-pihak terdekat. Hal ini tak dijelaskan gamblang tapi cukup tergambar dalam scene romantis sesaat setelah keduanya menikah.
Tumblr media Tumblr media
Kim Ji Young Born 1982 bukan semata film dengan nuansa kehidupan rumah tangga yang kental, bukan tentang bagaimana cerita perempuan dengan titel sarjana marketing yang pernah berkarier di perusahaan cukup besar bisa mengalami gangguan mental juga bukan kisah sepasang suami isteri yang mengharu biru. Kim Ji Young Born 1982 adalah kisah mereka yang selalu bekerja keras tapi tak pernah diapresiasi upayanya, mereka yang telah menanggalkan banyak impian dalam hidupnya tapi selalu dipandang sebelah mata juga mereka yang menderita tapi bersikeras menganggap dirinya baik-baik saja, Kim Ji Young boleh jadi adalah kisah semua orang.
Secara keseluruhan performa akting semua karakter terbilang prima meski gangguan mental yang diderita Kim Ji Young tak digambarkan lebih detail hingga ending, tapi narasi dan alur masih bisa membuat larut di dalamnya. Film yang melibatkan chemistry Gong Yoo dan Jung Yu Mi untuk ke sekian kali setelah Silenced di 2011 (mungkin juga Train To Busan di 2016 kalau tak salah) berjalan amat mulus, saya menyukai keseimbangan yang dibangun keduanya sejak awal, serupa semangkuk sup ayam buatan rumah dengan tambahan sambal rawit di dalamnya, hangat tapi juga perih. Belakangan saya mengetahui bahwa film ini diangkat dari sebuah novel populer di Korea Selatan berjudul sama karya Cho Nam-Joo yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama.
\\\
" Menyebalkan sekali. Bagaimana bisa dibersihkan? Apa masih mau diminum? Sungguh, ibu yang ceroboh. Sekali ceroboh ya ceroboh!"
Seorang lelaki bersama kedua temannya setengah berbisik, menyalahkan dan menyudutkan Ji Young ketika Ah Young (putrinya) merengek, menarik baju hangat yang ia kenakan hingga tak sengaja kopi di tangannya tumpah di depan meja kasir. Ia bergegas, mengangkat tubuh mungil gadis kecilnya ke dalam kereta dorong lalu membersihkan es kopi yang meleleh di lantai. Para pekerja kantoran itu masih menggunjing ketika Ji Young tetiba bangkit, melangkah dan berdiri persis di hadapan ketiganya.
"Permisi, apa kalian mengenalku? Kenapa aku ini disebut ibu ceroboh? Aku tanya, kenapa aku ceroboh? Kau hanya datang ke mari untuk membeli kopi, kita baru bertemu sepuluh menit, kau sudah langsung bisa menilaiku? Apa saja yang kualami? Orang seperti apa yang kutemui? Kau tahu apa yang kupikirkan? Mengapa susah payah menyakiti orang lain?"
Mereka memutuskan meninggalkan kedai kopi tanpa sepatah kata pun. Ji Young membawa Ah Young pulang dan tak lagi menangis.
Scene ini harus kujelaskan detail sebab bagian ini adalah satu-satunya part di mana Ji Young tak perlu lagi menjadi orang lain untuk mengutarakan kepedihannya, meski hanya berupa rentetan pertanyaan.
Jadi, mengapa kita gemar membuang-buang waktu untuk menyakiti orang lain?
0 notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Kemerdekaan Itu Menakutkan Tapi Kamu Tidak Mesti Menolak
Tumblr media
"Kemerdekaan ini yang kami rindukan. Kemerdekaan serentak, kemerdekaan bersama, bukan sendiri-sendiri seperti yang kamu berikan tadi!"
Perkutut tua itu berkoar keras-keras lalu berak di atas kepala juragan yang memenjarakannya selama bertahun-tahun. Sepotong tempe di tangan meluncur ke dalam wajan panas, bunyi minyak mendesis panjang seirama suara dua ratus tujuh puluh juta burung perkutut yang bebas dari sangkar, terbang lepas ke hampa udara.
Sandiwara sastra hasil kerjasama Kemendikbud dan Titimangsa Foundations episode ketiga berjudul Kemerdekaan, alihwahana dari cerpen milik Putu Wijaya itu kudengarkan dari podcast Budaya Kita saat sedang berjibaku dengan seikat kangkung segar dan ulekan sambel terasi beserta tetek bengek yang menyertainya😂. Mendengarkan pembacaan sebuah cerita dalam bentuk audio sebenarnya pernah sangat booming di masa kanak, dua puluh tahun lalu bahkan lebih jauh dari itu, hanya saja media dan kehadiran teknologi audio visual menggerusnya habis. Hingga akhirnya, masa pandemik memindahalihkan segala bentuk hiburan ke wadah social media yang penerapannya teramat canggih dan mudah diakses. Sebagai upaya jalan literasi sekaligus inovasi seni, sandiwara sastra hadir mengangkat sepuluh judul karya sastra dari penulis yang tak hanya ternama tapi kompeten dari Indonesia.
Dibuka dengar suara Iqbaal Ramadhan menirukan bunyi perkutut diikuti padu padan koor dua ratus tujuh puluh juta burung perkutut lainnya. Adinia Wirasti menarasikan hidup seorang juragan yang begitu berkuasa, ia hanya tinggal menikmati masa tuanya dengan bermain, mengobrol dengan hewan-hewan peliharaan yang telah ia kurung dalam sangkar selama bertahun lamanya. Hingga pada suatu hari, entah apa yang merasuki pikirannya sang juragan memutuskan melepaskan burung perkutut kesayangannya ke langit luas, memberi hadiah atas kesetiaan hewan peliharaannya itu : sebuah kemerdekaan!
Di sinilah permasalahan bermula, konflik yang tak terjadi antar tokoh manusia mana pun selain sang juragan dan seekor perkutut yang setia. Alih-alih bahagia bisa bebas terbang di angkasa, perkutut itu malah menolak, ia urung ke luar ketika pintu sangkarnya dibuka lebar oleh juragan.
"Loh, kamu kok malahan mundur? Takut? Kenapa takut? Itu kemerdekaan! kemerdekaan yang diimpikan oleh setiap orang, setiap makhluk di muka bumi. Sekarang aku serahkan ke padamu. Ayo, sini, sini! Itulah kemerdekaan, kemerdekaan yang diteriakkan oleh pemimpin di podium, diteriakkan oleh para mahasiswa dan demonstran sepanjang jalan, dipuja-puja bagai berhala oleh para penyanyi metal, disanjung oleh para penyair dan sekarang ada di depan hidungmu menantang kamu terbang. Ayo, tarik. Kamu kok malah gemetar seperti mau dieksekusi?"
Vocal berat Arswendy Bening Swara mengalun bersama ketukan musik pengiring, tak ubahnya seorang aktor sedang bermonolog di atas panggung.
"Tuan, tuan, tuaann. Maaf, maaafff! Saya bukannya tidak mensyukuri karunia Tuhan yang mulia itu, bukan tuan! Tapi, saya takuutt. Sebab kalau saya ke luar sekarang, dalam waktu tidak lebih dari tiga hari saya akan mati tuan. Bertahun-tahun saya hidup di dalam sangkar ini, setiap hari makan dan minum selalu tuan sediakan. Kalau saya dilepas sekarang saya tidak tahu cara mencari makan dan minum, saya akan mati tuan. Tolong jangan beri saya kemerdekaan! Di luar banyak kucing garong tuan, mereka akan menerkam saya apabila tahu saya bebas tanpa perlindungan, dalam waktu dua hari saya akan berada dalam perut kucing. Jangaaaannn!!! Kurkutukukukk kurkutukukukk, kurrkutukukukkk"
Jawaban perkutut itu membikin bulu kudukku meremang, kumatikan kompor, menghentikan segala aktifitas dapur lalu duduk tepekur. Ini bukan hanya tentang kebebasan burung-burung perkutut, ini tentang sesuatu yang lebih besar. Siapa sang juragan tamak nan kejam? Dua ratus tujuh puluh juta ekor perkutut yang dikekang selama sekian waktu lamanya? Cakrawala yang membentang luas? Kemerdekaan?
Putu Wijaya menggambarkan keadaan sebuah negara dalam kehidupan kecil juragan dan perkutut-perkututnya. Menariknya, banyak penulis yang membincang atau mengangkat kemerdekaan sebagai tema utama tapi ini sungguh berbeda. Taufik Ismail menulis puisi pahlawan (2017), Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Buruh (1980-1988) atau Revolusi Nasional karya Roestam Effendi (1947) kemerdekaan diperjuangkan oleh individu mau pun kelompok, oleh Indonesia. Namun pada cerpen yang dialihwahanakan dalam sandiwara sastra ini, kemerdekaan secara simplisit bukanlah hadiah yang bisa kita terima secara serta merta.
Sebuah perenungan unik muncul, kemerdekaan tak didapatkan dari sebuah pemberian, ia adalah sesuatu yang harus diraih dengan perjuangan.
1 note · View note
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Turah : Hidup adalah perjalanan kesunyian masing-masing.
Tumblr media
Menamatkan Turah (lagi) aku serasa menemukan serat rami kusut masai tergeletak dalam kepalaku. Aku tahu persis di mana keberadaan ujungnya tapi tak menemukan cara melerai untuk membentangnya. Agak-agaknya, hal serupa atau lebih rumit telah dialami Jadag selama kurun waktu cukup lama. Problema kehidupan yang dihadapi tak ubahnya temali, kian lama kian tersayat menyisakan benang-benang tipis saling terkait dan berantakan. Jadag bin Sayan, lelaki tua yang bekerja sebagai buruh kecil selama belasan tahun berubah menjadi orator yang 'anarkis', ia tak ubahnya aktor, berada di tengah-tengah lawan main tapi memilih bemonolog seorang diri.
'Turah' dimulai dengan berita duka, pengumuman tentang meninggalnya seorang anak laki-laki berumur 9 tahun menggema ke seluruh kampung Tirang. Sebuah pemukiman tertinggal yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir pantai utara pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Sebuah scene obrolan kecil jelang tidur sepasang suami istri (baca : Turah dan Kanti) yang dikemas mesra sekaligus memilukan menggiring, menceburkan ke dalam suasana 'keterisolasian' kampung Tirang. Dipan dan bantal-bantal lapuk, asap sisa tungku kayu, dinding rapuh dan tanah sebagai alas rumah, kelap-kelip lampu kota Tegal adalah kemewahan yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan.
Bagi banyak pihak, ketidak-adilan adalah roda besi yang terus memutar tanpa garis batas, tak tahu siapa sesungguhnya pengendali. Orang-orang yang memilih diam akan menelan pil pahit kekecewaan, digelontorkan ke dalam tenggorokannya secara terus menerus. Lalu yang berani buka suara, mencoba melawan, akhirnya akan menempuh perjalanan sunyi menuju kematiannya sendiri.
Hal itu digambarkan Wicaksono Wisnu Legowo dengan amat lantang. Selaku sutradara sekaligus penulis naskah, premis satir yang lembut tersampaikan apik melalui kehidupan Turah dan Jadag. Menariknya, mereka sama-sama kaum tertindas namun memandang kehidupan dengan cara berbeda meski berasal dari latar belakang yang sama. Kampung Tirang adalah sungai, Turah umpama reranting yang terbawa arus sedang Jadag adalah batu sekepalan tangan yang jika dilemparkan akan menimbulkan riak.
Konflik Turah bukan sekadar perihal kehidupan masyarakat kampung Tirang tapi realitas yang paling tepat untuk mewakili Indonesia entah bagian mana. Kehadiran juragan Darso dan 'tangan kanannya' si Pakel membikin film yang mulanya dikemas mirip dokumenter ini menjadi kaya, Turah menguat dengan dialog-dialog berbahasa Tegal yang 'berisi' dan tepat sasaran, scene demi scene yang melibatkan Kanti (istri Turah) atau Rum (istri Jadag) dan perempuan kecil (Sulis yang tinggal berdua dengan neneknya yang sudah renta dan sakit-sakitan) juga dibangun dengan dialog yang membikin 'mata' terbuka lebar, menyentil ruang kesadaran karena memang dirangkai untuk menyampaikan pesan (baca : keresahan, sindiran, kenyataan) saya bahkan tak mampu menemukan obrolan-obrolan tak berarti yang tak berdasar.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Secara keseluruhan, Turah adalah film yang kelam tanpa hingar-bingar. Alurnya terbilang statis dengan bangunan cerita yang sangat amat natural, dijalin dari banyak isu tapi terkesan tak dipaksakan, tak ada peristiwa meledak laiknya jumpscare di film horor atau adegan yang sengaja dibuat untuk menguras air mata dan emosi tapi itulah kelebihannya, kewajaran! Tokoh-tokohnya memahami betul takaran emosi dan cara menyampaikan sehingga hampir terlihat seperti sedang tidak berakting, tak berlebihan dan mengalir. Menceritakan beberapa alur dalam scene tak akan sebaik jika menontonnya langsung. Film ini digarap benar-benar berdasarkan realitas dan dukungan alam semesta. Tak salah jika Turah adalah pilihan dari 130 judul yang mewakili Indonesia dalam Best Foreign Language 2018 untuk Oscar.
Turah adalah bentuk kepasrahan manusia, yang tak mampu mengambil keputusan, yang berjalan tanpa cita-cita. Turah adalah gambaran keserakahan manusia, yang diberi sedikit saja ruang tapi merasa berhak menghimpit kehidupan manusia lainnya, Turah adalah 'heroisme' Jadag, yang berani menunjukkan ketimpangan dan berteriak :
Tumblr media
"Saudara-saudara, ke luar! Saya mau bicara. Uang yang kita semua terima dari Darso bukan cuma-cuma, bukan pula sedekah atau infaqnya Darso. bukan! Uang itu hak kalian, karena kalian sudah bekerja. Pakel, si sarjana itu mensiasati kita semua. Kita bekerja bertahun-tahun tapi tak pernah naik kelas. Asu!!!"
///
Note :
~ Ada bagian kecil yang sangat teaterikal dalam film ini, saat scene dan beberapa tokoh membicarakan sosok Ila, istri juragan Darso. Tokoh ini tak pernah dimunculkan di layar tapi tokoh yang lain disokong dialog-dialognya membikin Ila sangat hidup.
~ Beberapa scene yang menunjukkan adegan kurang sempurna, meski tipis tapi cukup mencolok (sila tonton dan temukan sendiri)
~ Saya bisa menebak endingnya (nasib Jadag) tapi tak menyangka akan mengejutkan eksekusinya. Film ini sangat recommended untuk tontonan film Indonesia. Bisa kok diakses di youtube. Hitung-hitung dukung karya dalam negeri. Sekian dan terimakasih hehehe😉😄
0 notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
0 notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Sandiwara Sepasang Payudara
Tumblr media
"Untuk mendukung peran perempuannya itu, 'BK' menggunakan dua buah roti yang dimasukkan ke dalam bajunya. Alhasil, jadilah payudara buatan yang membuat tubuh langsingnya semakin mirip perempuan"
Sebuah folder berisi barisan tulisan ini kutemukan dini hari setelah nyaris sepanjang malam mengutak-atik isi laptop. Aku lupa kapan dan mengapa aku menulis kalimat bertanda petik yang mirip sebuah dialog sedang dilontarkan oleh seorang pencerita ke pada pendengarnya. Kemudian kuingat, inisial BK yang tercetak tebal tak lain adalah sang Founding Father, Bung Karno.
"Aku bersyukur kepada yang maha kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni"
Ujar Soekarno dalam otobiografi Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat yang dituliskan Cindy Adams. Tak seperti janji sebagian kalangan, ucapan Bung Karno ini bukan isapan jempol belaka, tak hanya manis di bibir saja.
"Dalam masa pengasingan di Ende (Nusa Tenggara Timur, 1934-1938) dan di Bengkulu pada titimangsa (1939-1942), Bung Karno giat melakoni dunia kesenian setelah sebelumnya Soekarno remaja telah terlebih dahulu terlibat dalam beberapa pertunjukan ludruk semasa sekolah di Surabaya. Selama di Ende, Bung Karno dibantu Inggit Ganarsih membentuk kelompok tonil Kelimutu (tonil : teater) beranggotakan 47 pemain dan pekerja belakang layar. Sepajang empat tahun, tak kurang 13 naskah dari buah pikirannya dipentaskan di gedung Imakulata. Demikian juga di Bengkulu, Bung Karno membentuk kolompok tonil Monte Carlo" (Rhien Soemihadiwidjojo : Bung Karno Sang Singa Podium)
"Di kalangan teater, Soekarno menulis naskah nyaris tanpa percakapan. Pada masa itu masyarakat umumnya buta huruf, bahasa yang digunakan pun bahasa melayu Ende. Oleh karena itu naskahnya hanya terdiri dari kerangka cerita, kemudian Soekarno harus mengulang-ulang melatih secara lisan dialog yang akan disampaikan para pemainnya" (Faiza Mardzoeki, penulis naskah : Drama Bung Karno, live youtube, selasa 30/6/2020)
Mengumpulkan dan membaca ulang semua referensi 'negara teater' ala Bung Karno, aku tersadar bahwa keinginan kuat saja tak pernah cukup untuk menghasilkan hal yang 'besar'. Kita mesti belajar, mempertimbangkan dengan matang, menyiapkan pretelannya secara tepat dan tak perlu tergesa-gesa. Bung Karno memahami benar, apa yang ia butuhkan, hal krusial apa yang mesti terlebih dahulu disiapkan. Untuk menjalankan ide dan ambisinya ia mengambil langkah tepat bukan cepat. Laiknya pertunjukan teater yang lahir dari buah pikirannya, ia merawatnya, mengasuhnya, mementingkan kualitasnya bahkan boleh jadi 'menitipkan' sandi-sandi tersembunyi, tak ubahnya kode mesin enigma yang harus disampaikan ke pada penonton (baca : masyarakat Indonesia)
"Bung Karno tak hanya memiliki minat skala besar. Semasa sekolah di Hoogore Burgerschool (HBS) di Surabaya, Soekarno muda sering terpilih memerankan wanita dalam pementasan ludruk karena parasnya tampan bahkan terkesan ayu. Demi totalitas, beliau tak hanya menyumpal dadanya dengan dua potong roti, Soekarno tak lupa memulas pemerah bibir, bedak, lengkap dengan gaun yang dikenakan. Ia menjelma gadis jelita" (Walentina Waluyati De Jonge : Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen)
Sebangak 17 naskah teater yang pernah ditulis Bung Karno selama pengasingan di Ende, boleh jadi terinspirasi dari pengalaman bermain ludruknya semasa remaja. Dalam naskah-naskahnya juga acap menampilkan peran perempuan sebagai tokoh central. Di ending naskah Chungking-Djakarta, muncul tokoh perempuan Tionghoa, kemudian dalam naskah Rainbow ada tokoh bernama Putri Kencana Bulan. Meski pun lagi-lagi semua tokoh perempuan tetap saja diperankan oleh laki-laki. (Pada saat itu, Inggit dan perempuan yang lain mendapatkan tugas di belakang layar untuk melancarkan produksi. Mereka menjahit kostum dan mengurusi tata rias pemain)
Lalu, bagaimana nasib dua potong roti yang turut andil dalam sejarah karier Bung Karno di dunia teater? Meski sudah gepeng karena dijadikan ganjalan dan berbaur aroma tubuhnya setelah disumpal sekian waktu di dalam kostum pementasan, sepasang payudara yang ikut bersandiwara itu dilahapnya habis. Tentu saja! Hehehe😂😆🤣
Noted :
> Foto yang menyertai tulisan ini adalah lukisan karya Ivan, seorang anak autis. Foto yang sama dalam novel berjudul Pasung Jiwa karya Okky Mandasari.
> Tulisan ini tidak berisi secara detail judul naskah atau ulasan isi naskah apatah lagi pementasan yang pernah dilahirkan Bung Karno. Saya berencana membaginya menjadi dua bagian agar fokus tak melebar ke mana-mana. Namun kembali lagi, manusia berencana mood menentukan. Eh hehehe
0 notes
sittiarayyasolana · 4 years ago
Text
Tentang "DIA"
Tumblr media
Seseorang dengan wajah semrawut duduk sendiri di rel kereta yang sebentar lagi akan melesat, persis di batang logam kaku pada bantalan sebelah kiri. Dia Swaroop, perempuan yang merasa tak lagi punya alasan untuk melanjutkan hidup setelah kematian kekasihnya. Dia yang datang untuk menyerahkan nyawanya pada ajal tak pernah menyangka bahwa hari itu justru kehidupannya akan kembali dimulai.
Itu adalah gambaran sebelum alur film berbahasa Kannada ini mundur, ke ruang dan waktu di mana cerita ini bermula. Kisah klasik, cinta pada pandangan pertama. Cinta seorang introvert, yang tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya bahkan hingga tiga tahun kemudian.
Cara K.S Ashoka mengemas "Dia" memang apik. Ashoka mempertemukan benang merah di beberapa bagian. Awal, titik tengah juga ending dalam bangunan suasana yang nyaris sama : kelukaan, dan itu boleh jadi tak disadari penonton.
Kisah cinta ini berjalan natural, masih terasa sangat dekat dengan realitas kehidupan. Namun entah mengapa "Dia" tak bisa memberi kejutan mendekati ekspektasi yang diceritakan orang. Saya bahkan harus bertanya pada beberapa kawan "Mengapa hingga durasi satu jam empat puluh delapan detik saya belum juga menangis? Apa yang salah dengan mood 'menonton Indiaku'?" Akh, ya! Sejak awal Ashoka menempelkan visual efek yang bagiku tak perlu lagi dilakukan pada film dengan ide cerita sekuat Dia. Juga adegan kunci yang seharusnya membikin menjerit atau tersedu tanpa disadari malah menunjukkan kelemahan terbesarnya. Kendaraan bermotor yang mengalami tabrak lari oleh roda empat hingga terpental, mana bisa korban dan barang bawaannya tersusun holistik laiknya telah diatur sedemikian rupa? Adegan serupa tapi tak sama bahkan terulang pada scene jelang akhir. Saya jadi benar-benar sadar, tak semua adegan klimaks yang penuh emosi dan air mata mesti diiringi musik melankolia. (Kalian harus melihat menit-menit akhir last episode Sementara Selamanya).
Terlepas dari sudut pandang penonton awam macam saya, Kushi (baca : Dia), Dheekshith Shetty (baca : Rohit) hingga kemunculan Pruthvi Ambar (baca : Adi) memberi warna beragam yang tak mencolok. Tak perlu nyanyian atau tarian, juga dandanan berlebihan, kemampuan akting mereka mengalir sesuai porsi dan sangat alami. Salah satu bagian terbaik dari film ini adalah scene di mana Adi dan Dia membawa kita (baca : penonton) ikut serta dalam perjalanan mereka meninggalkan Bengaluru menuju Kalwar. Vishal Vittal dan Sourabh Waghmare berhasil menyuguhkan cinematografi memanjakan mata dengan panorama laut dan aroma pegunungan secara bersamaan, tak ubahnya berada di Ooty dan Coonor (lokasi-lokasi indah film India) dalam sekali waktu. Memberi efek rilek, segar dan nyaman untuk menyelesaikan durasi dua jam lebih.
Jika menisik lebih jauh lagi. Sesungguhnya, ada kisah cinta terselubung dalam "Dia". Cinta yang jauh lebih agung, hubungan yang jauh lebih unik. Pavithra Lokesh hadir bukan hanya sebagai pemantik peristiwa atau pelengkap alur cerita, ia menyumbang peran besar. Saksikan saja lalu temukan cara mencintai yang tak biasa.
"Orang-orang di bumi ini memiliki satu atau masalah lainnya. Laiknya kumis dan jenggot, seberapa keras kau mencoba menahan, itu akan tetap tumbuh. Tapi ketika masa itu tiba, bagaimana kita bereaksi terhadap hal itu. Apakah kita menentukan untuk bersedih atau memilih bahagia. Itu tergantung sikap kita menghadapinya"
Adi ke pada Dia.
"Tak pernah semudah mengucapkan dialog, Adi!"
Penonton ke pada Adi.
😆😉😋
2 notes · View notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Photo
Waktu tak bisa menunggu lagi
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Rest in Peace, Irrfan Khan (1967-2020)
8K notes · View notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Waktu tak bisa menunggu lagi.
0 notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Maaf Ranbir, apa mau dikata. Anda kalah keren hehehe
Cannot wait😘😍
DAY 4373(i)
ChitrPnag, Mumbai             Feb 27,  2020            Thu 11:09 am
.. and on the sets they give me time .. to change my costume after having done 4 shots already .. I do .. report back on set .. they are not ready they say .. send me back .. good I think .. shall use this time to complete incomplete work ..
.. how technology has changed over the 50 years of my working in this film world .. 
the Director was right next to the camera, as you performed and related to you immediately .. now they sit miles away in a separate room or cabin , watching through monitors what the actor is doing , giving instructions on a mike .. !
Tumblr media
.. that 3 monitors for the Director of the 3 cameras running at the same time .. different lenses and projections .. but yes he sits away from the action .. that feel of his presence has gone .. we now have the advantage of being able to see immediately the shot we have given .. 
.. my time .. no such thing ..  and damned if you asked to show the frame in the camera .. reprimanded if you did .. more .. feed the entire crew for looking into the lens as a punishment  .. 
… never got to see any shot until it was processed in the Film Lab, and sent to the Editing Room for its edit .. 
.. enter the edit room .. ?
.. forget it .. not allowed even a mile away from it .. 
.. we only saw the final film on the day of its release in a theatre of its release .. nothing more ..
..
the 4th monitor that is seen in the picture is one of the monitors of the DOP .. the Director of Photography .. this particular one is the monitor for the camera mounted on a crane of Jib - one that moves distances , 20′-30′ feet at times .. operated by a whole group of operators with head sets on .. they are spoken to by the DOP of the crane camera .. he tells them when to move the Jib or Crane .. 
.. there are other monitors too .. the hand held camera has a monitor so he knows and sees where he is moving .. his movement is also seen by the master monitor room where the Director sits so he can see what is going on .. 
.. then there are smaller monitors with the assistants who monitor continuity of dress hair, hand feet actions .. etc..
.. there is the dialogue monitor AD, who sees whether the dialogue is being correctly said .. has a small iPad and comes politely to tell you ‘you are a useless actor, you messed up the lines’ .. or words to that effect .. he doesn’t actually say this .. but his facial expression is in consonance with what you just read as his speak ..
NO .. this is not a change of costume .. I mean it is , but not for the film .. 
I need to attend an Akhand Paath, in the Gurdwaara , for the passing away of a friend’s relation .. so I remove all the prosthetics of film Brahmastra .. change suitably for the Sikh Gurdwaara .. head covered, bended knees, ‘mattha teka’ in front of the the Divine Granth Saheb .. listened to the Paath till its end , sung melodiously by the select granthis .. and then after a few hours .. back to the work ..
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
… into the make up and prosthetics again .. and on set ..
Tumblr media Tumblr media
.. earnestly intently taking instructions from the Director , the Captain the Boss .. ad on with it ..
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
…. monitor mania ..
Tumblr media Tumblr media
… work out every move several times with the artist with the DOp with the camera operator .. 
.. no one is a looker on , even if they seem so .. they all have work assigned to them .. al interconnected with ‘walkies’ .. er thats walki talki .. speaking yelling instructions to each other and often to the artists as well ..
IT IS A FASCINATING WORLD .. HOURS AND HOURS OF LABOR , DAYS AND YEARS OF PREP AND PRESENTATION .. IN ALL KINDS OF CONDITIONS ..
released .. in 2 hrs verdict out .. ehheeennnehhgaaaraaa jjjnerahsqouu @#$%^&* .. what ever ..
SO .. 
done this .. done the paper work of office , semi in the driving in semi now .. done the social media and posting .. changed the Dongle because the other one was giving trouble .. its an exercise .. opening the packing , needing a cutter to open the box, searching through the diligently packed packaging of the parts .. reading up the instructions .. starting to open the back to get the Password .. back does not open fluently with finger nails - you need to grow them for that .. so what get a screwdriver .. screwdriver screwdriver screwdriver .. ok found one in a multiple Swiss Knife contraption .. now they do a more complicated efficient one on Amazon .. open the lid of the back .. take a phone camera and tale a picture of the Password written on the back of the inside of the outside .. its so small and visibly complicated to remember - they always are .. save the number of the Notes file App of the phone , before it gets lost in the cranium .. title it .. delete the previous Dongle details .. just in case you start printing the wrong password when it asks as you travel beyond the WiFi of the home .. 
.. ok then .. intricate session with removing the Sim form the old Dongle and inserting it in the new one .. its a PROCEDURE .. because .. the Sim in the old Dongle is under another flap, slid inside a metal designed strip with that ‘broken edge’ one end, so you know how to match the insertion .. but insertion later , first get the SIM out .. it does not just slip out , with the nails or the tips of the fingers as you rub against its semi protruded end .. it needs a .. a .. a .. pincer .. 
… ok pincer pincer pincer .. Amazon contraption does not have one .. I mean it does have one but its for pulling teeth out .. no not this … pincer pincer .. ahh ..
.. plucker .. eye brow plucker .. yes that is the one .. so where .. where to procure one .. ahhh .. make up lady .. YES .. she has it .. it comes .. the flap is thrust open the flap under which the Sim hides is lifted .. AND .. OH ..
.. the Sim is out on its own in the fresh semi polluted air of the Van .. drops into the palm .. the surprise it has caused , give a shake to the palm and .. YES .. its dropped to the floor ..
.. HAS ANYONE EVER REALISED HOW DIFFICULT IT IS TO FIND A DONGLE SIM CARD ON THE FLOOR OF A VAN WHOSE FLOOR DESIGNING, RESEMBLES THE MULTITUDINOUS TECH DESIGNING OF ‘A CHIP’ .. !!
.. any way several sweeping acts later with palm hand and phone camera lit torch .. it has been recovered .. and with another intricate procedure, pushed where it should be ..
.. the battery is place back .. making sure the 3 golden points match the 3 golden points of the body of the Dongle .. slid in .. closed .. and the lid .. the damn lid that took contraption to open .. plays up again .. each corner must click into position .. but it does not close .. 
.. a hundred different attempts .. .. then ..
.. finally .. brain wave ..
.. the old Dongle lid and push it here ..
.. I tell you I am such a genius ..
..IT WORKS ..
the configuration is in place the .. the triangle bars on the mac show up .. and this BLOG is now complete  ..
ONLY .. once I press the send button shall I know whether Mr D .. is working or not ..
Love
Tumblr media
Amitabh Bachchan
195 notes · View notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Tonganni
Tumblr media
Kilat menyambar-nyambar, cahaya menyerupai batang manik-manik bergerak sangat cepat, berkelebat seperti hendak menjilati bulan pucat di langit. Hari itu, fajar dijemput gelegar guruh, mentari lenyap atau mungkin sedang bersembunyi seperti pesakitan berlindung di bawah ketiak tuban. Dentuman petus tunggal seketika membangunkan nyeri di perut ibu, ia masih tertidur ketika tubuhnya mengerang, serasa menjadi lapuk digasak hawar tak dikenal. Petir sabung menyabung, ibu merasa ribuan arau di bawah pusatnya membentuk pusaran besar, memasuki lorong pengap dan lembab, memilin, mendesak kemaluannya.
Pagi itu aku dilahirkan tanpa bantuan dukun beranak, bidan desa apalagi dokter. Menurut orang kampung, aku brojol tidak pada waktunya. Cemeti malaikat yang mengagetkan ibu memaksaku lahir di usia belum genap tiga puluh dua minggu. Terlahir sebagai putri pertama, seharusnya aku adalah sumber kebahagiaan bapak dan ibu sekaligus ruah dari segala impian nenek tentang cucu pertama, setelah ibu yang pada masa itu digolongkan sebagai perawan tua, dipandang akan memutus garis keturunan dari bapak. Saat nenek memberi nama Tonganni untukku, nama yang meurutnya mempunyai arti 'kebenaran' bapak dan ibu menurut saja, meski nama itu terdengar ganjil disematkan pada bayi perempuan, keduanya memang tak ingin mendebatkan ihwal yang sangat mudah untuk disepakati. Nama adalah doa-doa yang dilangitkan sebagai kawan sepanjang hayat, sebagai harapan baik bagi kehidupan. Tapi bagi nenek, Tonganni semacam penanda. Sebuah kebenaran bahwa halilintar yang menyambut kelahiranku adalah geledek yang sama, yang menyambar kakek hingga meregang nyawa, terpanggang di atas sampan.
Usiaku dua tahun ketika ibu kembali mengandung, melahirkan seorang adik lelaki, aku senang memiliki teman bermain. Jika rumah seharusnya menjadi hunian paling nyaman, pelindung dari terik dan hujan, tempat menyemai dan mengingat kenangan hingga renta, itu tak berlaku bagi keluargaku. Setelah kelahiranku, laiknya tanah lempung yang mengandung humus dan mulsa, rahim ibu seperti mempunyai porositas dan daya mengisap air yang sangat baik hingga segala jenis tanaman mudah tumbuh. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, aku telah menjelma sulung dari lima bersaudara. Bapak melaut seharian, pergi pagi pulang petang sementara ibu nyambi jadi buruh penjaga tambak milik tetangga kami. Rumah tak ubahnya kapal diterjang badai, pukat dan perkakas nelayan tergantung di mana-mana, piring kotor tak sempat tercuci, bau pesing menempel berhari-hari di bantal karena si bungsu yang tak memakai popok serta tatapan sinis nenek adalah rutinitas yang lazim.
"Andai ibumu tak usah punya anak, hidup melarat tapi kerjanya bunting. Bapakmu yang semata wayang itu mesti melaut saban hari untuk makan kita semua! Tuhan, jangan lecutkan cemeti malaikatmu pada sampan anakku"
Rutukan nenek tak pernah sungguh-sungguh kupedulikan meski acap kali mencabik hatiku menjadi potongan-potongan kecil. Aku tak punya waktu menyalahkan diri sendiri, tak mungkin juga menyerapahi laut karena tak memberikan tangkapan melimpah ruah pada bapak setiap hari, apalagi mengamini nasib sialku karena terlahir di hari yang sama saat kakek tersambar petir. Hanya sesekali membatin, jika kemiskinan adalah dosa semoga Tuhan mengampuni kami. Aku tumbuh menjadi remaja yang biasa saja, tak banyak bicara dan cenderung murung, tak pernah berpaling dari tugas rumah dan mengemong adik-adik. Saat teman sebayaku sibuk mengurusi persiapan ujian akhir menuju sekolah menengah, aku harus berpuas diri dengan kemampuan baca tulis semrawutan yang kuperoleh sebelum berhenti di kelas empat sekolah dasar.
"Menari, bernyanyi dan bertepuk tangan bisa dilakukan di rumah, lagipula mengasinkan ikan tak butuh ijazah"
Begitu tanggapan bapak saat kuminta mengikutkan adik-adik di taman bermain kampung sebelah. Sedang ibu mematung, menatap nanar pada sisik-sisik bandeng yang menempel di betisnya, nenek pun hanya mendengus, sudah sejak lama ia tak memiliki harapan untuk cucu-cucunya. Ucapan bapak mengendap dalam kepalaku, bagai gerombolan lalat hijau yang setiap saat berdengung garang di telinga. Kemelaratan bahkan mampu menggilas habis cita-cita orang tua terhadap anak-anaknya. Sejak saat itu kutahu, aku dan adik-adik bernasib sama telak.
Lima belas tahun usiaku, keadaan keluarga tak kunjung membaik. Tidak untuk kondisi keuangan, tidak untuk masa depan, tidak untuk cara pandang nenek juga tidak untuk sikap dingin ibu dan bapak padaku dan adik-adik. Dinding dari anyaman bambu jarotan seolah menjadi sekat, pembatas antar beban bapak dan keputusasaan ibu dan dendam nenek atas takdir jandanya di usia tua, jarak temali kekeluargaan semakin mendepa. Aku tak mengerti jalan pikiran ibu, waktu malam dipagut sepi saat suara jangkrik dan dengkur bersahutan, ia mengendap-endap, membelai anak-anaknya bergantian lalu membekap mulutnya sendiri menyembunyikan isak, namun keesokan harinya ibu berubah laiknya perempuan yang lama hidup di kutub utara.
"Selain harga diri, tak ada lagi yang kita punya, ibu bahkan tak bisa menjaga maruah agar dapur tetap mengepul. Kau adalah kehormatan ibu, jaga dirimu!"
Aku tak sepenuhnya mengerti maksud perkataan ibu tapi itu adalah pertama kali dalam senarai ingatan kami terasa begitu dekat. Saat kuutarakan niatku membantu pekerjaannya di tambak, kekhawatiran nampak jelas berjelanak di wajahnya meski ia juga tak menolak. Aku membantu ibu mengumpulkan barungang, orang juga biasa menyebutnya bia kumbi, siput dengan bentuk cangkang menyerupai kerucut yang biasa hidup di tambak air payau, siput yang telah dibersihkan akan dijual ibu ke pasar atau sekadar untuk lauk sebab laut dan alam tak selamanya menjadi sahabat nelayan dan masyarakat pesisir.
Tak jarang pekerjaan itu kulakukan sendiri, saat ibu harus menunggui bapak pulang melaut. Ba'da zuhur hingga jelang sore aku mengupas barungang satu persatu, melepaskan daging dengan cara memecahkan cangkangnya menggunakan punggung parang. Kadang kucoba menertawai nasib, jika remaja lain bermain dengan tehnologi, berdandan atau mengikuti kursus keterampilan tertentu, aku harus bergumul dengan lendir kehijauan dari tubuh lunak barungang yang amis. Suatu senja, aku sedang membersihkan sisa-sisa lemak dan remah-remah kulit siput yang menempel di tubuh dengan air tambak sebelum nanti membilasnya dengan air bersih. Seorang lelaki paruh baya menghampiri, tubuhnya tegap tapi ia berjalan agak pincang.
"Yang bersih cah ayu!"
Tak kuhiraukan tapi kucoba merendahkan kepala tanda hormat, kutahu ia adalah pemilik tambak yang dijaga ibu, tempat yang sama di mana kami mengumpulkan bia kumbi. Pujian itu terlalu berlebihan, kulit legam dan mata bulatku ini mana bisa disebut ayu. Aku terkesiap, saat ia masuk ke dalam tambak, riak air tertimpa berat tubuhnya memerciki rokku hingga basah, dalam sekejap ia sudah berdiri tepat di sebelahku, membasuh dan menggosok kakinya meski tak tampak secuil pun kotoran di sana. Tak butuh waktu lama, tungkaiku sudah dalam genggamannya, reflek kukibaskan tendangan, meski kecil tenagaku cukup membikinnya tersungkur. Kuraih parang dan ember berisi siput siap olah, aku berlari sekuat tenaga. Dari jarak sekian langkah, kulihat senyumnya menyeringai. Aku tak tahu maksudnya tapi darahku berdesir hebat.
Tergopoh-gopoh kuceritakan perihal kejadian itu pada bapak dan ibu, nenek juga mendengarkan. Seperti biasa, ibu mematung hanya matanya yang memerah menyembulkan kaca-kaca. Sementara bapak tetiba berdiri mengepalkan tinjunya ke tiang rumah yang reot lalu mengarahkan tamparan keras ke wajahnya, siapa yang salah? Mengapa bapak memukul dirinya sendiri?
"Yang disentuh hanya kaki dan betis. Lagi pula mana mungkin juragan empang itu berniat melakukan hal senonoh ke padamu? Lelaki mana yang bernafsu... "
"Cukup,maakkk!!!"
Satu hentakan kepalan tangan bapak membungkam nenek, untuk kali pertama bapak membelaku. Aku haru tapi juga bingung, nenek ada benarnya. Remaja buluk bau amis, anak orang paling papah di kampung tak mungkin ada yang menyukai. Atau birahi lelaki tak memandang fisik? Apa lelaki bisa berhasrat pada semua perempuan bahkan yang tak ia cintai? Apa pendidikan agama dan moral di sekolah, di rumah, tak cukup membendung gairah duniawi? Bapak atau pun ibu tak pernah membicarakan hal macam itu padaku. Aku hilang akal, yang kutahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
///
Aku sedang mengasah parang saat matahari serasa berada tepat di atas kepala, karena hanya menggunakan punggungnya untuk memukul bia kumbi, mata parang milik bapak satu-satunya menjadi tumpul. Baru saja hendak kukumpulkan puing-puing pecahan cangkang ketika tubuhku didekap kasar dari belakang, bau khas ikan asin menguar dari tangan yang membekap mulutku saat kucoba teriak, sekali gerak aku sudah terlentang beralaskan kepala siput yang berserakan. Mataku bersemuka dengan wajah yang tempo hari kutemui, mulutnya mendekati leherku, lamat-lamat kudengar ia menggumamkan nama ibu.
Mataku serasa panas tapi aku tak bisa menangis, entah dari mana keberanian dalam diriku berasal. Kukerahkan segala daya demi menyelamatkan harga diri, menjaga kebanggaan ibu. Posisi kami berbalik sebelum ia menjamah pangkal pahaku, desahan lelaki itu berubah geraman, diikuti suara makian nenek yang terdengar jauh tapi begitu jelas berganti suara tangis adik-adik dan sesenggukan ibu yang tertahan di malam buta, amarah dan kepedihan berkumpul di dada menjalar melalui kepala menuju lengan. Kugenggam parang yang mata pisaunya mengilap bagai tembaga lalu sepersekian detik, amis lendir bia kumbi dan anyir darah menyatu.
Seperti aku, waktu seakan bergeming, seluruh tubuhku kebas, parang di tanganku terjatuh tanpa kendali. Tetiba cakrawala bergemuruh, susul menyusul suara erangan. Guntur membura, di langit spektrum warna membentuk pendar listrik. Sayup kudengar derap langkah.
"Tolooonnggg!!! Tonganni menebas lengan puang Dasim!"
///
Note :
Pic by Pinterest
0 notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Lelaki Patah Hati dan Seorang Perempuan Kesurupan
Tumblr media
"Mengapa Arjun menyimpan batu es di celana dalamnya?"
Raut perempuan kurus di sebelahku akhirnya berubah, tangannya berhenti memelintir ujung sarung yang membungkus tubuhnya, matanya awas tertuju pada layar laptop. Setelah mengaku 'ketempelan', itu adalah pertanyaan paling masuk akal selama kurang lebih 48 jam makhluk astral yang konon mengikutinya, ke luar masuk tubuhnya, menembus energi manusia dengan leluasa. Antar lega dan ngeri, jika pertanyaan itu berasal dari seseorang yang pura-pura kesurupan, betapa goyah dan sepi jiwanya, betapa tingkat depresinya sudah begitu tinggi sehingga scene beberapa menit sebelumnya tak membikin maklum mengapa Arjun harus menurunkan suhu di dalam celananya. Atau jika pertanyaan serupa dilontarkan 'sosok' dalam badan kawan perempuanku, itu adalah hal wajar. Lelembut mana yang paham, mengapa Arjun berjalan dengan selangkangan basah. 😂🤣😝
Arjun Reddy, mahasiswa cerdas tahun terakhir St. Mary's Medical College di Mangalore. Digambarkan bermasalah dengan tempramen pada teknik munculnya sejak awal, tak sukar ditebak bahwa Arjun akan bertemu perempuan yang mengubah hidupnya kelak. Shalini Pandey (Preethi), bukan pemilik wajah glamour nan mahal, kekhasan wajah manisnya bagai bulir jeruk Florida, murni dan segar terlihat pas berpasangan dengan Vijay Deverakonda (Arjun), lelaki amat gagah bila brewokan dan berambut gondrong, bahkan memandangi punggungnya saja saya betah berlama-lama. Pesona yang mampu mengusir hal tak kasat mata dan membikin kawan perempuanku bersikap kembali normal. 😆🤭
Tumblr media Tumblr media
Bergendre drama romance, Arjun Reddy bukan film untuk semua orang. Muatan dialog dan adegan yang seharusnya hanya boleh ditonton orang dewasa, tak ada konflik bertele-tele juga tanpa tarian berpola rumit. Durasi sepanjang 3 jam 186 menit film berbahasa Telugu itu memindah-alihkan fokus kita (baca : penonton) sepenuhnya pada alur maju-mundur hidup Arjun. Apa yang akan terjadi pada pemuda patah hati yang tak pandai mengontrol amarah? Seorang dokter ahli bedah yang kehidupannya lekat dengan alkohol serta dengan mudah memisahkan cinta dan seks, bagaimana kemudian hidup dijalaninya?
///
"Apa kau pernah terluka?"
Pertanyaan logis kedua setelah perempuan itu mengaku kesurupan.
"Maksudmu, melebihi sakit hati Arjun?"
Kutekan tombol pause, tak ingin melewatan momen kacau jiwa Arjun.
"Ada yang lebih parah dari itu?"
Matanya membelalak, kukibas-kibaskan tangan tepat di hadapan wajahnya. Memastikan aku tengah mengobrol dengan manusia😂
"Bukankah ada yang sampai kehilangan akal? Atau mati pelan-pelan karena merindu dan kesepian?
Kujawab sekenanya, beberapa saat ia terdiam.
"Itu masih lebih baik dari bunuh diri kan?"
Segera kutekan play, bangsa demit kadung juga menyukai hal-hal berbau sedih. 😂😋
///
Obrolan itu berlangsung tepat ketika scene Arjun kehilangan kendali fungsi kandung kemih setelah menenggak minuman keras dan mengalami overdosis obat pertamanya. Dalam senarai ingatan lima tahun kebelakang, aku mengenal dua aktor yang karakternya benar-benar berada pada jalur penghancuran diri dalam film, Bradley Cooper saat melakukan adegan kencing di celana di atas panggung awards dalam A Star Is Born dan Vijay Deverakonda untuk Arjun Reddy. Tak ada kompromi, bagiku Arjun adalah lelaki paling patah melebihi Shahrukh di Devdas, melampaui Ranbir Kapoor di Rockstar.
Tumblr media Tumblr media
Upaya Sandeep Vanga bekerja rodi selaku penulis naskah dengan menyisipkan inspirasi kehidupannya sebagai mahasiswa fisioterapi merangkap sutradara tak sia-sia. Arjun Reddy, film romansa berdurasi amat panjang yang tak pernah membosankan, meski ruang dan waktu yang menceritakan masa-masa perkenalan awal Arjun dan Preethi bagiku tak masuk akal, melenceng dari konsep natural dan kenyataan, senioritas dalam dunia kampus memang benar adanya tapi tak cukup untuk membikin semua elemen tunduk pada aktor utama. Namun secara keseluruhan, pertentangan-pertentangan, pelanggaran norma-norma, Arjun Reddy adalah pandangan realistis tentang cinta dan kehidupan yang dikemas alami. Bukankah lebih mudah memetik pelajaran dari hal-hal yang terasa dekat dengan kita?
///
"Akh! Harusnya bisa lebih baik dari itu, Vijaaayyyy!!!"
Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Jadi menurutmu, Arjun harus sesenggukan, bersedu-sedan mengharu biru? Arjun tak begitu!"
Suaranya meninggi.
"Menangis adalah kewajaran. Setelah banyak yang terjadi, menangis bukan hal yang hina asal sesuai porsinya"
Kubiarkan detik-detik menuju ending itu berlalu.
"Lalu apa yang mestinya Arjun
lakukan?"
Intonasinya berubah, terdengar bergetar.
"Menunjukkan kesedihannya. Mengakui bahwa ia juga terluka dalam dan lama, jujur pada dunia dan dirinya sendiri"
Kami diam, soundtrack saat credit title memecah hening.
///
Aku dan seorang perempuan yang tak lagi kesurupan itu akhirnya sepakat untuk menonton Kabir Singh. Remake dari Arjun Reddy yang digubah oleh Vanga sendiri ke dalam versi bahasa Hindi. Diperankan Shahid Kapoor, kupercaya Kabir menyelesaikan ending lebih klimaks, titik yang menurutku tak dilakukan Arjun sedang memainkan karakter dari film yang sukses secara finansial dan kritik, semoga saja Kiara Advani tak menurunkan kualitas kemurnian akting Preethi.
///
"Kira-kira lebih vulgar mana, lip lock Vijay Deverakonda dan Shalini Pandey atau Shahid Kapoor dan Kiara Advani?"
Pertanyaan tak waras yang kembali hadir beberapa jam setelah film berakhir dan lampu kamar telah mati.
"Kau kesurupan lagi?"
😆😂🤣
0 notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Atas Nama Orang Sakit
Tumblr media
"Melayani hidup yang baik, tidak cukup hanya memahami sekokoh apa etika berdiri di depan kita. Akan tetapi tidak kalah pentingnya, bagaimana memusatkan pengertian batasan yang merdeka. Sebab hanya dengan penguncian itulah, manusia akan dapat mencapai jati dirinya"
Kemudian dalam perjalanan, Anos melewati banyak hal. Segala yang hidup di dalamnya, yang sekadar singgah, yang menetap beberapa saat sebelum akhirnya (juga) pergi, yang bertahan mungkin saja telah sedaya upaya menembus batas meski pada akhirnya tak ada yang benar-benar menemukan jati diri atau tepatnya tak ada yang sungguh-sungguh mampu mengosongkan diri sendiri.
Di suatu sore yang disengaja, setelah berhari sebelumnya membersamai dalam pengenalan satu sama lain juga naskah, kami harus melalui tahap pembagian peran. Saya menunggu dipanggil, berhadap-hadapan wajah dengan sutradara, bersiap dengan pikturisasi dari penafsiran di kepala masing-masing. Syuman Saeha, lelaki 'antik' yang kami sapa bang Chand, sutradara sekaligus penulis naskah lakon Anos yang juga dikenal sebagai seniman yang khas akan memintaku, meminta kami semua memerankan tokoh-tokoh dalam skenario atau boleh jadi meminta kami menjadi apa saja yang tak bisa diduga-duga. Saya serasa tetiba mengalami kecanggungan Chelsea Islan versi 75 kg😆🤣ketika ditawari Agus Noor berlakon di panggung teater kali pertama juga merasakan gairah menggebu Christina Hakim ketika mendapat peran film silat klasik yang lama diimpikan. Kemudian pada akhirnya, seleksi Anos terjadi dengan caranya sendiri, disaksikan bukan hanya oleh aktor dan sutradara di sebuah ruang tapi berlaku atas kehendak alam, mengikuti cara kerja takdir.
Cicci, perempuan modern hobby plesiran dan belanja, tak senang bila tak pamer, cantik (dalam kepalaku) tapi tak pandai merawat cemburu. Memerankan isteri kepala desa yang kemunculannya ditandai dengan amarah sungguh bukan pekerjaan mudah bagi perempuan 'jadi-jadian' yang tak tahu cara membawa tas selain ransel, dialog padat, cara berbicara sedikit cepat tapi tetap berdinamika, tangan dan tubuh, mimik, respon yang mesti padu. Cicci benar-benar membikinku harus bertepuk tangan untuk kerja keras ibu-ibu antagonis di sinetron yang kadung kuremehkan itu.
Pernah kulakukan riset kecil-kecilan, memasang muka badak lalu bercengkerama dengan tetangga sembari sedikit menyisipkan gaya Cicci (untung ada beberapa foto liburan yang bisa dipamerkan😂🤣). Mengunjungi ibu desa, mengikuti kegiatannya seharian lalu berakhir begitu saja ketika kutanyakan bagaimana perasaannya ketika mendengar pak desa berselingkuh. Tak jarang, saya mesti bolak-balik di depan cermin, belajar berjalan, melatih dialog dan cara tertawa, mengulang-ulang blocking tapi belum juga berhasil mewujudkan Cicci yang diingini bang Chand dan aktor lain. Saya mengakui gagal mengosongkan diri sendiri untuk Cicci, tapi tak pernah menyesali telah menjadi bagian dirinya, menjadi bagian Anos. Cicci menyadarkan bahwa sesekali kesombongan, amarah dan cemburu memang harus diungkapkan. Eh Hehehe😆😂🤣
Tumblr media
Anos adalah cerita yang sangat dekat dengan kehidupan, secara konstruksi penokohan, alur, dialog mau pun amanat. Hanya saja diisi lintas ruang dan waktu yang membikin konflik terasa tak menanjak dan membosankan jika tak dicermati dengan baik. Saat melakukan pentas reading sebelum melangkah menuju tahapan pengenalan panggung, semua penonton memberi aplause meski tetap saja tanda tanya besar terlihat jelas di wajah masing-masing.
"Ini sangat bagus. Tapi lain kali, garaplah yang lebih mudah dipahami semua kalangan"
Disampaikan langsung oleh figur berpengaruh di Sulbar yang juga turut menyaksikan saat itu. Hal ini pertanda bahwa Anos bukan hanya debut teater 'serius' bagi semua pelakon tapi juga penonton, bagi masyarakat khususnya Polewali Mandar, bagaimana pun saya bangga mengatakan ini!
Tak bisa dipungkiri, Anos memberi banyak rasa kecewa. Bagiku, bagi semua aktor, bagi sutradara, bagi penonton serta semua orang yang berkontribusi dan berespektasi besar terhadap dunia perteateran. Menyatukan banyak isi kepala memang sulit lagi rumit, management yang tak berjalan sebagaimana mestinya, lelah yang mendera, tingkat stress meninggi jelang hari H yang terakumulasi dari hal remeh temeh hingga paling krusial. Alhasil, semua aktor bergantian diserang sakit beberapa hari sebelum pentas dihelat. Bagaimana pun, kami mengerahkan kemampuan terbaik yang kami miliki untuk Anos juga dengan tangan terbuka menerima kritik, saran bahkan nyinyiran menyerempet umpatan yang dikemas manis di hadapan banyak orang.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi tengah sangat rindu pada gaya khas bang Chand ketika mengatakan hal semacam :
"Proyeksi saja kau tak paham"
"Apa kau tak tahu cara bernapas?"
"Siap-siap saja sampai berjam-jam?"
"Itu tubuh apa tiang listrik? Kaku amat!"
Atas nama orang sakit, saya bersaksi tak pernah lupa saat harus berganti gedung ke gedung lain dan berakhir digusur dari lapangan basket saat latihan sedang berlangsung.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi tidak merasa bersalah saat ketahuan tertidur di pundak Rannu diakhir latihan sedang Bau Tappa kesal menahan sakit gigi.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi selalu menirukan tarian ala 'Kaho Na Pyar Hai' bersama La'ba sesaat sebelum giliran adegan kami.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi tak henti terkagum-kagum pada kemampuan akting Salaona dan berharap menjadi lawan mainnya.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi berupaya melakukan pendekatan secara pribadi pada Tappalilu meski tak pernah berhasil.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi pernah beberapa kali beralasan mengada-ada agar tak perlu hadir latihan.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi melihat sosok Bang Ki (almarhum Azikin Noer) dihari pementasan hingga saya menangis sesenggukan sepersekian menit sebelum masuk ke panggung. (lahul fatihah)
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Atas nama orang sakit, saya bersaksi mencintai proses Anos dan tak peduli orang menyukai Anos atau tidak. Bersaksi bahwa Anos akan selalu merayakan dirinya sendiri.
Atas nama orang sakit, saya bersaksi tulisan ini berisi curahan hati yang mungkin tak penting tapi sungguh jujur. Hehehe
😆😂🤣😝
1 note · View note
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Pasal 15 : Perihal Kemanusiaan.
Tumblr media Tumblr media
"Kau bisa tersinggung jika kukatakan yang sebenarnya
Orang kaya tinggal di istana
Berhiaskan lampu mewah tergantung di atapnya
Kami tinggal di gubuk
Hanya sebuah gubuk yang sederhana
Kena badai sedikit langsung rubuh
Orang kaya menikmati makanan lezat
Mereka bisa membeli air mineral
Kami cuma makan chutney dan roti
Kami meminum air yang kurang bersih
Anak orang kaya bisa sekolah dan kuliah
Mereka bahkan diikutkan bimbel
Sementara anak kami bekerja keras setiap hari
Orang kaya bilang 'Mereka tak butuh pendidikan'
Kau bisa tersinggung jika kukatakan yang sebenarnya"
Seperti membaca sebuah puisi kan? Sajak yang mewakili banyak orang, mendengungkan suara-suara yang lama tersembunyi atau sengaja dibekap. Itulah mengapa lagu di menit 01.56 detik itu harus dituliskan, sekaligus memberi alasan mengapa kau tak perlu tertawa saat kukatakan aku menyukai lagu India. Jangan pikir, lagu itu dinyanyikan penuh sedu sedan, penduduk desa Laalgaon mendendangkannya dengan riang dan lantang, dengan tabuhan gendang di bawah gemericik hujan. Mungkin sebuah penerimaan bahwa kemiskinan bukan untuk diratapi dan kekayaan tak selamanya bisa dirayakan.
Sebuah Jeep berwarna putih melaju dalam kecepatan sedang, melewati pohon-pohon besar, berganti tanah lapang dan eksotikme hewan peliharaan yang menyesaki jalan. Ayan Ranjana, lelaki kharismatik yang baru saja lulus dari kepolisian, ditempatkan sebagai kepala kepolisian Distrik di sebuah wilayah pedesaan di India. Perjalanannya menuju tempat tugas mulai terasa rancu ketika Chandrabhan terpaksa memberhentikan mobil di depan sebuah gerai kecil untuk membeli air minum atas perintah Ayan.
"Daerah yang lucu, supirku bilang bayangan mereka bahkan tidak boleh menutupi kita. Desa kasta rendah dan terbuang"
Dikirim kepada seorang perempuan, jauh di Delhi. Sepintas tak ada yang menarik dari adegan komunikasi sepasang kekasih itu. Tapi dialog demi dialog yang tersirat dalam pesan singkat menjadi semacam benang merah yang mengurai permasalahan dan solusi yang akan ditempuh Ayan sepanjang durasi. Hubungan yang sungguh cerdas dan tak biasa. Tak ada emoticon cinta-cintaan, tanpa rayu-rayu apalagi pikturisasi berlebihan mesra, tanpa itu semua!
Tumblr media
Pagi pertama menjabat kepala kepolisian Distrik Laalgaon, Ayan disuguhi pemandangan dua jasad perempuan belia, tergantung di pohon dengan posisi leher terikat. Peristiwa sama persis yang pernah dimuat TribunJogja.com 2014 silam. Di desa Katra Shahadatganj, Distrik Badaun sebelah Uttar Pradesh India, kejadian mengerikan itu pernah benar-benar terjadi. Anak perempuan yang merupakan saudara sepupu, berusia 14 dan 16 tahun dinyatakan menghilang pada malam hari saat ke luar untuk buang air karena tak memiliki toilet di rumah.
Jenazah keduanya ditemukan sehari setelahnya, laporan pasca kematian post-mortem mengafirmasi bahwa mereka mengalami kekerasan seksual beberapa kali sebelum akhirnya meninggal karena digantung. Ayah salah seorang korban mengatakan kepada BBC news bahwa ia ditertawakan petugas polisi ketika mengetahui mereka berasal dari kasta bawah, permintaan mengusut dan pencarian anak gadis mereka yang hilang pun ditolak.
Alur dan konflik nyaris serupa digambarkan Anubhav Sinha, mengangkat realitas politik ke dalam layar. Perlindungan terhadap system mengakibatkan beberapa kasus penting tidak terpublikasi, aparat terlibat langsung mengubah fakta dan mengecoh masyarakat awam, menutupi kebusukan demi kehormatan dan seterusnya dan seterusnya.
Jika biasanya menonton genre thriller criminal membikin kepala berdenyut 'acha-acha'😂 Ayushmann Khurrana ditopang dialog-dialog padat dan berwawasan, pembawaan karakter keseluruhan pemain yang natural dengan porsi terukur, Kumud Mishra, Mohammad Zeeshan Ayyub, Ronjini Chakraborty serta kesedihan dalam mata Sayani Gupta (baca : Gaura) berhasil mencegahku tertidur sebelum interval.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Ide cerita berkembang. Film yang juga dibintangi Isha Talwar sebagai Aditi, perempuan yang kerap berkomunikasi via telepon dengan Ayan itu mengisahkan, ada seorang gadis lagi bernama Pooja yang tak lain adik dari Gaura, masih dinyatakan menghilang setelah kedua teman sebayanya ditemukan tewas. Proses pencarian Pooja kemudian menjadi rentetan peristiwa hingga ending, disisipi scene-scene penggambaran perbedaan kasta yang telah dibangun sejak awal. Article 15 mungkin memang digarap khusus untuk berbicara tentang diskriminasi ras, mengubah mindset bahwa membedakan dan kekejaman kasta yang dianggap lumrah dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu adalah hal yang tidak berkeprimanusiaan. Saya teringat sebuah kelakar.
"Seharusnya kau belajar dan mewarisi akhlak baik moyangmu, bukan malah bangga atas darahnya yang mengalir di tubuhmu"
Wajar saja ketika tak menemukan adegan kejar-kejaran gesit antar pihak kepolisian dan penjahat atau tak ada tendangan maut pelipis berdarah Ayan Ranjana dalam mode lambat. Menelusuri bentangan 'rawa babi' yang berlumpur demi mencapai hutan dalam upaya menemukan Pooja adalah adegan fisik paling heroik yang dilakoni Ayushmann Khurrana sepanjang 130 menit.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Tentang cinematografi, penyelesaian konflik, lelah karena fokus yang tinggi saat menonton, desain setting yang beberapa terasa tak jujur, tempo yang terasa lambat atau hal-hal kecil semacam celana para pemain yang tetiba tersulap bersih beberapa saat setelah berjalan dalam lumpur. Terlepas dari semua itu, Article 15 dengan gagah berani menyebut larangan diskriminasi terhadap ras, ketidaadilan perihal kasta, jenis kelamin dan manusia. Saya tak akan berkoar-koar laiknya pakar membedah keunggulan dan kekurangan, atau netizen maha sempurna yang selalu benar akan pandangannya, bukan juga fans fanatik Ayushmann Khurrana (tak bisa dipungkiri aktor teater itu cukup beruntung memilih film belakangan ini. Tetap nyinyir, eeaaakk hehe) Tapi dialog berikut boleh jadi punya andil, sekadar mengigatkan bahwa pelaku diskriminasi dan tindak ketidakadilan mungkin saja bukan hanya ada dalam skenario!
"...kita suruh mereka mengerjakan hal-hal yang kita sendiri tak ingin melakukannya. Kita tahu, melihat itu setiap hari, tapi kita mengabaikannya... "
3 notes · View notes
sittiarayyasolana · 5 years ago
Text
Laut dan Rindu, 31 Tahun Kemudian.
Tumblr media
Ia duduk menghadap samudera ketika matahari serasa berada tepat di atas kepala. Matanya menerawang jauh mencari batas pemisah antar langit dan segara. Sesungguhnya ia sudah terlalu bosan mengunjungi tempat ini, jalan yang menyimpan banyak hal dari masa lalu, saung tempatnya berteduh masih dipenuhi tulisan-tulisan jorok. Tapi ia tak punya tempat lain untuk dituju juga tak memiliki seorang pun untuk ditunggu.
Debit air bertambah naik seiring terik yang makin garang, kesiur angin sesekali mengirim bau ganggang. Ombak yang pecah di tubir pantai tak ubahnya sebuah tembang dinyanyikan berulang-ulang. Entah bagaimana mulanya, ia jadi tak begitu menyukai laut. Kedalaman yang menyadarkannya bahwa tak semua palung mampu diselami, tak semua tepi dapat diraih.
Dalam memori masa kecil, ia pernah terombang-ambing di laut lepas. Mesin kapal yang ia tumpangi bersama sanak keluarga mengalami kerusakan. Sebagai perempuan kanak, ia tak tahu kepanikan seperti apa yang terjadi di ruang kemudi, ia hanya ingat semua orang tepekur merapal bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami. Dari geladak, ia saksikan lokan-lokan dan ikan-ikan kecil melompat ke permukaan, melesat jauh ke udara seperti berlomba meraih jeruk segar berwarna kuning kemerahan yang tumbuh sendirian di langit. Ia baru saja berangan-angan, jika makhluk hidup memiliki keahlian melampaui dirinya sendiri, binatang laut bisa menggapai angkasa atau juga sebaliknya, apa jadinya laut tanpa ikan? Tetiba ia dikejutkan suara takbir dikumandangkan serempak ditandai nyala mesin kapal yang berfungsi kembali juga kawanan lumba-lumba jumpalitan, seperti memamerkan atraksi di bawah buritan.
Pelahan, ia mulai sadar. Ia tak pernah benar-benar membenci laut atau juga tak pernah sungguh-sungguh menyukainya. Ia hanya ingin berlari ke suatu tempat di mana pun berada. Bergerak menjauh dari keberaniannya mengunjungimu, melangkah lebih cepat dari harapan bahwa kau selalu menantinya dengan tabah, mencari suara melebihi gemuruh ombak yang berkejaran dari dada menuju retinanya. Ia hanya ingin berdiri di suatu tempat, di mana ia akan selalu ingat bahwa perempuan biasa tak memiliki kemampuan menjelma julang-julang cadas, air laut berwarna hijau tosca, padang lamun terumbu karang, senja digamit jala nelayan atau segala bentuk keindahan yang akan memikat hatimu.
"Di tepi pantai ini. Untuk rindu tak tertengarai sauh dan lama setelahnya, tiga puluh satu tahun bahkan seratus juta tahun cahaya. Aku tak pernah menunggu siapa pun, tidak juga kau!"
Ia mengetik, melampirkan sebuah foto di kolom percakapan whatsapp lalu menghapusnya, mengetik lagi lalu menghapusnya lagi. Pesannya tujuh puluh dua jam empat puluh tiga menit delapan belas detik lalu, belum juga kau balas.
Ia melangkah ke dermaga. Menghitung mundur detak-detak namamu yang masih bernyawa di sebuah tempat paling rahasia. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.
5 notes · View notes