#tetangga menyebalkan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pulang
Aku memutuskan pulang ke rumah, di pelosok yang akses apapun susah. Hidup layaknya orang desa yang bergantung kepada hasil tani.
Dulu saat aku pertama kali pulang dari rantau, tahun 2018, aku masih 23 tahun, baru lulus, emosi nggak stabil dan masih butuh validasi sosial bahwa aku sarjana yang bisa mengubah hidup keluarga.
Sekarang saat aku melakukannya ketiga kali, aku sudah belajar banyak soal pilihan hidup, soal jalan manapun yang kita tempuh adalah baik, selama prosesnya kita tidak mengkhianati hal-hal fundamental dalam hidup. Aku juga sudah tidak memiliki lingkungan yang ingin aku beri kesan, aku tahu apa yang kuinginkan.
Bila harus jujur apa rasanya lebih baik di rumah, tergantung kau mau dengar dari sisi mana. Jika dari akses senang-senang, aneka makanan yang menyenangkan dan tempat estetik, tentu tidak. Aku yang menerapkan lebih banyak mengonsumsi protein dan intermediate fasting setengah tahun belakangan, sekarang kembali ke porsi tiga kali sehari dan kadang hanya pakai sayur daun ubi rebus pakai sambal terasi.
Tapi jika kau bicara tentang kenyamanan lain, aku lupa kapan aku tidur senyenyak sekarang meski udara malam di desaku dinginnya tak bersahabat. Aku terbangun tidak lagi dengan perasaan kosong. Jam 10 malam aku sudah terlelap, pukul 5 aku sudah bangun dengan perasaan yang baik. Aku memasak, aku membereskan rumah, menyiapkan kebutuhan adikku sekolah, kebutuhan ayahku ke sawah, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya. Dan aku merasa lebih baik.
Setiap hari aku menemukan satu hal baru untuk aku kerjakan. Selama ini keluargaku di rumah hanya bertiga, ayah, abang dan adek lelakiku. Jadi kalian bisa bayangkan seberapa banyak sudut rumah yang berdebu, perabotan yang sudah lama tidak dibersihkan.
Meski ini bukan pertama kali aku di rumah dan mengurus ketiga lelaki ini, rasanya ini masa di mana aku melakukannya dengan perasaan yang lebih ringan dan menyenangkan. Mungkin, mungkin saja aku sudah sesiap itu jadi ibu rumah tangga yang baik, hehehe.
Tetangga masih saja ada mengeluarkan kata yang tidak menyenangkan, tapi sekarang aku tahu cara membuat mereka paham tanpa harus bersusah payah bersikap menyebalkan untuk membungkam mereka. Toh pada akhirnya mereka juga mampu membuka diri, bahwa hidup ini tak selalu seperti orang lain dan hidup secara ideal sebagaimana perempuan berpendidikan dari desa dengan usia 29 tahun.
Di rumah aku tetap ke sawah, tetap ke kebun, tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan tetap menulis. Dibandingkan dengan saat bekerja kepada orang lain, aku merasa masa ini aku mampu menggunakan waktuku sebaik mungkin. Perbedaannya, jika dulu aku bekerja demi memenuhi perut sekarang aku melakukannya dengan sukarela.
Mungkin terlalu dini mengatakan ini sebagai rasa betah dan nyaman, mengingat aku baru dua minggu di rumah. Entah nanti bagaimana, tapi di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia ini, aku sudah menemukan jalan yang kuinginkan sebagai diri sendiri.
Pedalaman Negeri, 02 Juni 2024
83 notes
·
View notes
Text
Mengusahakan PhD #24
Kata istri:
Tidak menjadi yang terbaik diantara orang-orang juga tidak apa-apa. Apakah aku pernah menuntut agar menjadi yang terbaik? Cukup menjadi yang terbaik versi diri kita, itu sudah cukup.
Gak perlu juga membuktikan kepada mereka kalo kita bisa mencapai prestasi yang sundul langit? Bukankah target dari sekolah S3 adalah kelulusan?
Mereka yang mencaci itu juga ga akan pernah datang untuk membantu kita mngerjakan tugas-tugas. Mereka hanya modal komen doang.
Jadi biarkanlah mereka. Kita dengan diri kita. Bodo amat orang mau bilang apa.
—-
Nasehat istri, setelah saya demam karena pikiran terlalu bekerja over dan karena beban omongan tetangga di kantor. Sungguh menyebalkan ketika hidup kita diatur orang lain.
4 notes
·
View notes
Text
/lebaran
"Kapan pulang?" Ibu mulai rutin bertanya perihal kepulanganku. Lebaran tinggal menghitung hari, dan aku sudah mengasah mentalku sejak jauh-jauh hari, demi menjawab pertanyaan basi tahunan "kapan kawin" dari orangorang, kerabat, dan sanak saudara. Aku akan duduk murung di sepanjang perjalanan delapan jam menuju kampung halamanku. Dengan isi kepala yang ramai, yang saling berbicara tentang betapa membosankan bertemu wajah-wajah menyebalkan yang tak ingin kulihat, atau duduk di kursi ruang tamu sembari ngemil kue semprit, sambil pura-pura mendengarkan dengan seksama, petuah orangorang tua tentang pasangan hidup dan kehidupan; tentu saja. Itu adalah situasi yang paling kubenci; namun aku harus bersusah payah lebih keras lagi untuk pura-pura tersenyum dan bersikap seolah aku belajar hal baru dengan petuah-petuah garing dan membosankan itu.
Bus yang kutumpangi akan tiba dini hari, saat semua orang masih dipeluk kantuk, atau baru selesai menyantap sahur. Aku selalu ingat paras tua ibuku, yang akan semangat membuka pintu dan berkata, "Alhamdulillah nak, kau datang dengan selamat," lalu beliau duduk di tepi ranjang, memperhatikanku membuka koper dan tas packingku, dengan raut maklum; aku tak pernah membawa oleh apa-apa selain pakaian dan alat-alat mandiku. betapa menyedihkan, aku bahkan tak memberinya peluk cium kerinduan.
Aku akan menyaksikan tetangga-tetangga yang pulang membawa nilai-nilai ulangan dan hasil rapor tahunan. Kubayangkan, dengan penuh semangat dan percaya diri mereka membuka koper dan mengeluarkan setumpuk daftar; Gaji yang naik berlipat, pekerjaan baru yang menjanjikan, calon istri/suami idaman, cita-cita dan harapan-harapan tentang masa depan, dengan wajah bahagia. Mungkin hasil rapor tahunan itu akan lebih bagus dipamerkan sambil menyantap ketupat lontong di meja makan, sambil berjanji penuh-penuh, "Pak, Bu, tahun depan aku berjanji akan membawa nilai-nilai ulangan yang lebih baik lagi. Aku pasti pulang membawa piala,"
Ibuku selalu tahu, dalam koperku aku tak pernah membawa hasil ulangan apa-apa. Kecuali daftar biaya hidup bulanan, gaji yang selalu stagnan dan tak ada harapan kenaikan, daftar cicilan rutin setiap bulan; tak ada daftar cita-cita dan impian.
Pulang nanti, aku bertekad memeluk ibuku erat-erat, sambil kubisikkan, "maaf bu, anakmu ini tak pernah naik kelas"
9 notes
·
View notes
Text
[A Man Called Ove] - Fredrick Backman
"Segalanya tidak beres ketika kau tidak ada di rumah"
Novel ini mengajak kita berkenalan dan menyelami kehidupan seorang pria bernama Ove. Di awal kita akan menyimpulkan betapa Ove ini seorang yang menyebalkan. Dia pemarah, penyendiri, pembenci semua orang. Tapi semakin kita membaca dan diajak mengenalnya, ternyata dia tidak semenyebalkan itu. Dia kebetulan adalah seorang keras kepala yang berpegang teguh pada prinsip hidupnya. Dia taat aturan dan berpedoman pada kebenaran. Dia mencintai istrinya, teramat sangat. Dan dia baru saja kehilangan.
"Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka sendiri, dan mereka seringkali menjadi lebih baik setelahnya, melebihi apa yang bisa mereka capai seandainya tidak pernah melakukan kesalahan."
Ove baru saja kehilangan istrinya. Dan sesuatu di dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya. Luka semacam itulah yang melukai Ove, dan tidak ada waktu untuk menyembuhkan luka semacam itu.
Di suatu twit yang kebetulan lewat di twitter, ada yang pernah bilang the most stressful life event di hidup manusia adalah ... meninggalnya pasangan hidup. Kematian pasangan hidup adalah peristiwa yang paling mengguncang keseimbangan mental manusia. Disebutkan bahkan lebih mengguncang daripada perceraian, masuk penjara, bahkan PHK. Dan novel ini menceritakan "guncangan mental" itu lewat tokoh Ove dengan baik sekali.
Kita merasa gentar terhadap kematian, tapi sebagian besar dari kita merasa paling takut jika kematian itu membawa pergi orang lain. Sebab yang selalu menjadi ketakutan terbesar adalah jika kematian itu melewatkan kita. Dan meninggalkan kita di sana sendirian.
Kesedihan Ove ketika ditinggal istrinya bahkan membuatnya berkeinginan untuk menyusul istrinya dengan membunuh dirinya sendiri. Bukannya apa-apa, dia hanya lelah. Mengulang rutinitas yang biasanya ada istrinya di dalamnya, tapi kemudian dilakukannya sendirian. Setiap sudut dirumahnya mengingatkannya pada istrinya. Setiap momen di hidupnya selalu membuatnya berpikir, bagaimana reaksi istrinya nanti. Dia hanya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa istrinya disisinya.
Pada akhirnya, mungkin Ove menemukan alasan hidup lainnya dari tetangga-tetangganya. Dan bagaimana gambar dari tetangganya yang bertuliskan "Untuk Kakek" dipasang di tempat teratas di kulkasnya sesungguhnya menunjukkan betapa Ove juga ingin dicintai. Dia bahkan memilih iPad terbaik sebagai hadiah untuk tetangganya itu. Tetangganya menyayangi Ove dan sesungguhnya Ove juga menyayangi tetangga-tetangganya. Hanya cara Ove menunjukkan cintanya memang cenderung kaku. Ove yang galak-cuek tapi sesungguhnya dia peduli.
Novel ini baguss, yah agak2 boring sih di awal, tapi tetep bagus. Dan novel ini memperkenalkan kita pada perasaan kehilangan. Dan mendeskripsikan perasaan kehilangan itu dengan jelas dan detail sehingga kita juga ikut diajak membayangkan seandainya kita ada di kondisi yang sama. Memberikan kita cermin untuk berkaca sambil bertanya, apa yang akan kita lakukan seandainya kita dihadapkan pada kematian orang yang paling kita kasihi.
Kita selalu mengira masih ada cukup banyak waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Masih ada waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka. Lalu terjadi sesuatu, dan kita berdiri di sana sambil menggelayuti kata-kata semacam "seandainya saja".
Novelnya lumayan kocak dan ngasih banyak insight juga tentang kematian dan kehilangan. Tapi lumayan ngantri di ipusnas jadi selamat mengantri dan selamat membaca~~
2 notes
·
View notes
Text
KOMITMEN HARUS SIAP
Satu minggu lalu saat aku pulang kerumah banyak cerita yang sengaja ataupun tidak masuk kedalam telinga.Ada yang hadir dari ibu, teman, tetangga bahkan hanya clotehan bocil dirumah.
Beberapa dinamika hidup cukup menarik. Ada yang kemudian harus melepaskan komitmen pernikahanya karena tergoda dengan yang lainnya.Ada pula yang harus ditinggal nikah mantan kekasihnya karena kesiapan masih belum ada.Ada pula yang masih berjuang dengan kondisi ekonominya dalam membangun rumah tangga.Ada pula yang entah karena muka nampak jomblo mengenaskan selalu di tanya "sudah punya pacar atau belum" atau bahkan yang sedikit menggangu ketika dijodoh-jodohkan (hahahahahhha tentu part ini adalah bicara diriku sendiri). Bukan perihal jomblo atau tidak, tentu keputusan memilih sendiri adalah sebuah keinginan,karena bicara hubungan maka bicara kenyaman,tapi jika hanya menerima yang datang aku rasa saat ini aku tidak jomblo. (Hahhahaha) Lalu kemudian apakah aku tidak sedang jatuh cinta ? Atau sebatas kagum dengan sosok manusia ? Aku rasa untuk aku jawab "tidak" itu tidak tepat juga, kecondongan nyaman dengan seseorang itu selalu ada.
Dari banyak cerita yang Tuhan pertontonkan aku selalu percaya bahwa sebagai hamba yang sedang berusaha berproses menjadi lebih baik,Tuhan pertontonkan sebuah takdir hidup agar setiap kita mengambil pelajaran. Supaya bukan berfokus kepada aibnya tapi berfokus kepada apa penyebabnya, dan selalu menyadari bahwa kita manusia yang bisa saja dihadapkan pada kondisi yang sama. Maka belajar dari dinamika hidup yang terjadi pada diri sendiri dan orang lain adalah salah satu kiat menjadi lebih baik.
Analisis sederhana yang aku lakukan untuk mengambil pelajaran dalam cerita orang lain. Maka "Komitmen Harus Siap" menjadi pelajaran yang aku ambil.Mulai dari yang memutuskan berkomitmen dalam keabu-abuan maka dia harus siap kehilangan saat ada yang bisa memberikan kepastian. Atau siap segera memberikan kepastian.Dalam komitmen hidup berdua dengan seseorang artinya harus siap untuk membicarakan banyak hal yang akan terjadi. Mulai dari faktor perbedaan pendapat, kesulitan ekonomi, perasaan menyebalkan dari masing-masing kita atau bahkan ego yang membawa keinginan berpisah.
Aku belajar bahwa komitmen itu kunci utamanya adalah komunikasi dan penerimaan. Bagaimana kemudian dalam komitmen ngobrol adalah kebiasaan. Maka dalam komitmen masing-masing kita adalah sebagai pendengar dan berhak didengarka.
Maka berkaca dari semua mungkin kriteria nyaman dalam sebuah hubungan nanti adalah "komunikasi". Komunikasi yang baik membawa kepada kesepakatan-kesepakatan dalam perbedaan. Komunikasi yang baik membawa kepada kejujuran dan komunikasi yang baik membawa kepada penerimaan.Maka kesiapan dalam berkomitmen adalah kesiapan saling mengkomunikasikan banyak hal.
3 notes
·
View notes
Text
Kalibut di Ibukota
Pada suatu waktu, dikabarkan bahwa dunia akan kiamat esok hari.
Permasalahannya adalah, sejak kemarin, hari esok tidak pernah hadir. Setiap hari semua orang terbangun di malam hari dan tidur di pagi hari. Semua waktu berjalan mundur dan tidak ada yang berkomentar apa-apa karena mereka semua menganggap hal tersebut normal, entah sejak kapan. Mungkin sejak besok.
Hal yang paling menyebalkan dari ini semua adalah, aku tidak merasa seperti itu. Bagi diriku yang sadar bahwa waktu berjalan mundur dan esok tidak akan pernah datang, adaptasi merupakan hal yang sulit. Aku hanya sendirian ketika menyadari bahwa dunia berputar ke arah sebaliknya. Matahari kini selalu terbit dari barat dan tenggelam di ufuk timur. Yang dulu kita kenal sebagai matahari terbenam, berubah menjadi terbit. Selama 72 jam pertama yang terasa seperti selamanya, aku perlahan mulai beradaptasi dengan kegilaan ini.
Kehidupan sehari-hari tidak pernah sesulit ini sebelumnya. Aku tetap terbangun di pagi hari dan mendapati bahwa matahari yang seharusnya terbit kini tenggelam dan aku harus bertahan dalam gulita selama beberapa jam sampai akhirnya ibukota kembali hidup pada pukul sembilan malam, kemarin. Kini semua orang menyantap makan malamnya sebagai pembuka dari keseharian mereka. Mereka bekerja di malam hari dan pulang keesokan harinya di pagi hari. Peran sarapan kini menjadi santapan penutup di pagi hari, sebelum akhirnya mereka terlelap dan memulai hari mereka lagi. Di hari kemarin.
Hal ini membingungkan untuk diriku dan sungguh merepotkan, karena saat aku terjaga di malam hari tidak banyak yang bisa kulakukan, sementara di siang harinya rasa kantuk selalu menyerang tanpa ampun. Semua candaan dan gelak tawa sudah pernah kudengar sebelumnya. Semua pekerjaan dan kegiatan yang kulakukan setiap harinya adalah yang pernah kulewati. Mendapati bahwa semua pekerjaan biasanya akan aku selesaikan besok membuatku pusing bukan kepalang. Kini yang kulakukan setiap harinya adalah mempreteli pekerjaanku yang sudah selesai, mengulang kembali meeting bersama para kolega yang selalu diakhiri dengan pertanyaan apa yang kita lakukan di esok hari.
Dengan susah payah aku juga harus beradaptasi dengan kehidupan sosialku. Orang-orang yang dahulu kuanggap paling terkasih kini perlahan menjadi orang-orang asing yang belum pernah hadir dalam hidupku dan bahkan tidak mengetahui eksistensiku. Aku menghela napas sembari melihat kalender yang tertempel di dinding meja kerjaku. Kemarin aku akan bertemu untuk pertama kalinya dengan kekasihku. Selanjutnya ia tidak akan lagi mengenal wajahku. Ia tidak akan merasa kehilangan. Tidak akan merindukan. Tidak akan pernah sadar bahwa selama setahun ke depan akan ada banyak hal yang kami lakukan bersama. Satu lagi orang yang kusayang akan pergi. Satu lagi alasan aku merasa semakin sendirian di tengah kalibut yang seperti tidak ada habisnya di ibukota.
Kini semua orang beranjak muda. Kucingku yang telah aku kubur pasti sedang merekonstruksi komponen tubuhnya perlahan-lahan. Cacing-cacing dan belatung memuntahkan isi perut mereka untuk membantu membentuk kucing oranye yang pernah aku tangisi kepergiannya. Aku merasa senang sekaligus takut. Pertama kali aku mengetahui bahwa makhluk hidup yang telah mati akan bangkit kembali selama waktu berjalan mundur adalah saat aku mendengar kabar bahwa tetangga sebelah rumahku yang 2 bulan ke depan meninggal ternyata sudah beraktivitas lagi seperti biasa. Di rumahnya, bersama keluarganya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali sambil kembali tenggelam dalam pikiranku. Di dalam bus Transjakarta yang berjalan mundur, mengantarku pulang di pagi hari setelah selesai mempreteli pekerjaan pada sore dan siang hari tadi.
“Kira-kira, hal apalagi yang akan aku rindukan dari masa depan, ya?” aku bergumam sendiri sambil perlahan mengingat-ingat kejadian apa saja yang kemarin telah terjadi.
2 notes
·
View notes
Text
Mah, lima tahun lalu waktu aku masih serius-seriusnya kuliah, aku sering mengirim pesan suara, lagu anak perantauan.
Ramadan, kini telah datang.
Tapi aku masih di negeri orang.
Hanya sabar, dan bisa bersabar.
Walau rindu, menyiksa batinku...
Mamah pun selalu merespon dengan kata-kata manis, tentunya berdiksi. Mamah bilang untuk sabar. Dan ketika aku pulang, mamah selalu memasakkan makanan kesukaanku; ayam semur dan sayur asam.
Empat tahun lalu, aku terlambat pulang juga, hanya beberapa hari sebelum lebaran aku pulang. 2019, tetap menjadi tahun favorit. Karena di sana, kita sudah mulai menyadari, jarak yang jauh memang bisa mengguncang sebuah keakraban.
Tiga tahun yang lalu, suasana beda. Akhirnya aku bisa di rumah, makan masakan mamah. Bedanya, tahun itu pandemi. Ekonomi kena dampaknya, pendidikan kena dampaknya, dan emosi manusia juga agaknya lumayan mengena.
Harusnya aku juga sudah selesai, itu harap kalian. Ternyata terlalu idealis mempertahankan sebuah penelitian membuat aku terlampau lama.
Mah, di tahun ini kita banyak berdebat. Apa ini transisi karena selama ini di Medan aku jarang berbagi cerita, ya?
Dua tahun lalu, mendekati 2 minggu sebelum lebaran aku sudah memutuskan pulang. Lebaran, masih juga jadi momen menyebalkan, ternyata pertanyaan kapan wisuda belum juga kujawab sudah wisuda di tahun itu. Mah, pasti malu ya? Terlihat dari air muka mama yang menahan malu, ketika keluarga yayak sibuk bertanya.
Setahun lalu, aku lupa. Entah apa momen yang membuat kita jadi jarang ngobrol. Mungkin sifatku yang masih kekanakan. Dan pertanyaan kapan wisuda juga belum terjawabkan. Mah, aku menyesalinya. Sudah sejauh ini aku merepotkan. Mamah banyak bertanya kapan menikah juga di tahun ini, banyak bertanya mau jadi apa aku setelah ini, banyak bertanya kapan-kapan dan kapan.
Tahun ini, ramadan penuh di rumah. Mendampingi mamah. Tapi, kenapa kita membentang jarak ya mah? Obrolan soal aturan pendidikan yang bikin mamah kesal, gosip kampung yang sudah pasti aku duluan yang dapat gosipnya dari tetangga sebelah, menu buka dan sahur yang patut kita coba, bedah sikap lelaki macam yayak, dan banyak hal.
Mah, apapun itu, maaf.
Tahun ini kapan wisuda udah berubah jawabannya, tapi menikah, dan pekerjaan, juga belum sesuai yang diharapkan.
Mah, sudah sejauh ini ya gadismu merepotkan?
2 notes
·
View notes
Text
Dan yang paling aku syukuri sampai sekarang adalah saat keluar rumah dan tinggal bareng suami, Allah kasih aku tetangga yang baik dan pengertian. Ini rezeki banget ya Allah, apalagi buat aku yang menyebalkan ini 🫠
0 notes
Text
bom waktu
malam minggu yang menyebalkan. seolah semua manusia di muka bumi berlomba untuk menjadi yang paling menjengkelkan di mataku.
sebenarnya ini adalah hari sabtu yang cerah. aku mengawali hari dengan meminum segelas air putih seperti biasa, mencuci pakaian sambil mendengarkan lagu-lagu aespa, dan menyantap nasi liwet yang diberikan oleh tetangga kos ku sebagai menu sarapan.
semua berjalan lancar hingga tiba saat di mana matahari mulai kembali ke peraduannya. waktu di mana orang-orang mulai memadati jalanan untuk menuju ke destinasi malam minggu mereka, tapi tidak denganku.
sekitar dua puluh menit yang lalu, Ibu dan Ayah tiba-tiba saja datang mengunjungi kosku. Ayah bercerita bahwa dirinya mendapat tugas dinas di kota ini selama satu minggu, sebelum besok harus kembali ke kota kediaman Ibu dan Ayah. hal itulah yang menyebabkan Ibu dan Ayah menyempatkan diri untuk mampir ke tempatku.
aku yang notabene tidak menyukai kejutan dalam bentuk apapun, sedikit kewalahan menghadapi kedatangan Ibu dan Ayah yang tanpa aba-aba. sebenarnya kosku tidak sedang dalam keadaan yang kacau, tapi tidak juga sedang dalam keadaan yang baik.
aku mempersilakan mereka untuk duduk di sofa studio dan menyajikan dua gelas teh hangat dan beberapa camilan yang untung saja sempat ditinggalkan oleh Thea di lemari penyimpanan pantry.
aku duduk di kursi kerjaku menghadap ke arah mereka. Ibu memandangiku dengan tatapan penuh cinta (jika dapat aku artikan begitu), sedangkan Ayah mengedarkan pandangannya ke setiap inchi studio milikku.
"sekarang udah beda banget ya, Ta, setelah empat tahun Ayah ngga ke sini." suara Ayah memecah keheningan.
"iya, Yah." ujarku.
"ini semua kamu beli pakai uangmu?" tanya Ayah.
"bisa jadi. aku beli semua barang di studio ini ngga sekaligus, Yah. ada beberapa barang yang aku cicil, kadang juga pakai uang kiriman dari kalian." jawabku jujur.
tiba-tiba saja Ayah menunjuk monitor yang berada di belakangku, "itu, kamu kerja pakai itu?"
aku hanya mengangguk.
"kamu masih belum kantoran?" sungguh, pertanyaan Ayah semakin terasa mendesakku.
"kadang kalau ada meeting yang harus banget offline dan ketemu langsung sama clientnya, aku baru ke kantor." jelasku.
"selain itu? kamu habiskan waktu di ruangan ini?"
aku hanya menjawab dengan anggukan lemah.
"Ta, kamu ngga lupa kan kalau kamu Sarjana Ilmu Politik? kamu ngga lupa kan kalau kamu dulunya anak FISIP?" tanya Ayah sambil mendelik ke arahku.
aku menghela napas kasar, here we go again, pikirku.
"ngga, Yah. aku tau dan aku inget." jawabku.
seakan aku sudah hapal kalimat apa yang akan dikeluarkan oleh Ayah selanjutnya, aku berpura-pura untuk mengecek handphone.
"kamu anak sosial, jangan jadi anti sosial lah." ujar Ayah, persis seperti dugaanku.
aku hanya diam. berusaha untuk tidak menggubris perkataan Ayah. Ibu yang sedari tadi hanya diam menyimak, akhirnya buka suara.
"sudah, Yah. apa yang dilakukan Astaka sekarang adalah apa yang jadi pilihannya. toh, yang penting kan dia bertanggungjawab sama apa yang dia kerjakan." jelas Ibu.
Ayah tidak memberikan tanggapan selain dengusan kasar yang keluar darinya. aku paham betul bahwa Ayah tidak setuju dengan perkataan Ibu barusan, tapi Ayah memilih diam karena Ayah dan aku sama-sama tau apa yang akan terjadi jika kita meneruskan pembahasan mengenai hal ini.
pandangan mata Ibu beralih menatapku, "yaudah, Ta. besok kita harus balik, jadi sekarang harus mulai packing dan istirahat. Ibu sama Ayah pulang dulu ya."
"iya, Bu." jawabku seraya berdiri.
aku mengantar Ibu dan Ayah sampai basement tempat di mana mobil mereka diparkirkan.
"kamu baik-baik di sini ya, Ta." ujar Ibu. "salatnya dijaga, makan dan tidur yang teratur, sama jangan lupa minum vitamin." lanjutnya.
"iya, Bu." jawabku sambil tersenyum ke arahnya.
aku bergerak menyalami tangan Ibu kemudian memeluknya singkat. selanjutnya aku berjalan ke arah Ayah dengan sedikit canggung.
"hati-hati, Yah." ujarku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"ya. jaga diri baik-baik." jawab Ayah singkat sambil menerima uluran tanganku.
Ayah segera masuk ke dalam mobil, disusul dengan Ibu. tidak ada pelukan yang terjadi antara aku dan Ayah. tanpa lama, mobil mereka melaju keluar dari area basement.
aku menghela napas, membayangkan betapa kurangnya bonding yang tercipta antara aku dan Ayah. apalagi sejak Ayah dan Ibu pindah ke luar kota dan aku memutuskan untuk menetap hidup sendiri di kota ini.
Ayah selalu menganggapku sebagai anak pemalu. aku tidak menyangkal hal ini, aku memang lebih pemalu daripada teman-temanku yang lain. namun entah sejak kapan, Ayah secara sepihak mengecapku sebagai anak yang anti sosial.
pada awalnya aku tidak terlalu ambil pusing dengan stigma Ayah itu. namun lama-kelamaan, khususnya sejak aku lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik yang tersemat di belakang namaku, Ayah seolah selalu mengkambilng hitamkan sikapku yang tidak disukai olehnya dengan menggunakan kalimat "kamu kan anak sosial! lebih bersosialisasi lah!"
sebenarnya aku sedikit bisa memahami mengapa Ayah berkata demikian. dengan gelar Sarjana Ilmu Politik yang aku miliki, bukannya aku bekerja kantoran di perusahaan atau pemerintahan, aku malah memilih untuk bekerja di label rekaman yang sebenarnya merupakan cita-citaku sejak aku masih Sekolah Menengah Pertama. mungkin hal ini yang menyebabkan hubungan Ayah dan aku selalu berada dalam kondisi yang kurang baik.
seringkali aku mengabaikannya dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan hal biasa saja. namun seperti batu yang bisa pecah dan terbelah karena terus menerus terkena tetesan air, kesabaranku pun juga begitu. seolah aku memelihara bom waktu dalam diriku, yang bisa meledak kapan saja.
0 notes
Text
Doa
Aku pernah dan masih meminta kepada Allah sejak lama dengan cara mengulang-ulang salah satu nama-Nya, Ya Latif... Ya Latif...
Dengan harapan, aku bisa menjadi orang yang berkata dan bertutur kata lembut. Aku rasa lebih dari 1 dekade aku meminta hal ini. Tetap saja omonganku rasa-rasanya kasar, ceplas-ceplos bahkan seringkali nyelekit yang aku sadari beberapa waktu kemudian.
Terutama, ke orangtua.
Sulit untuk mengatakan bahwa orangtuaku berbeda denganku secara tutur bahasa. Meski mereka terus menasihatiku berulang kali perkara tutur kata ini, masalhanya itu yang sehari-hari aku dengar dari mereka. Terutama dari Ayah.
Aku jauh lebih banyak terpengaruhi oleh ayah dibanding ibu. Karena apa? karena sejak kecil memang Ayah lah yang mengantar jemput ku. Dalam ingatanku Ayah jauh lebih sering di rumah kecuali saat sedang pergi seminggu-dua minggu ke negeri seberang.
Malam ini rasanya aku kesal sekali karena Ayah melarangku menyapu. Katanya, sudah sejak jaman dahulu kala orang-orang dilarang menyapu malam hari, jangan seenaknya ajaran jaman kini mengubah-ubah hal itu.
Bukan kali pertama, tapi ini muncul karena Ayah tau ia salah sebelumnya. Khas sekali ritme ini. Aku bertanya kepada Ayah dimana salah satu kucing kami. Kata Ayah ia sudah tidak terlihat sejak pagi. Mungkin dikurung oleh tetangga sebelah. Sungguh ini hal yang paling menyebalkan (meski tetangga kami sedikit menyebalkan) ketika Ayah sering kali mengkambinghitamkan tetangga. Jika aku yang terlihat melakukan pembelaan dnegan mencari kambing hitam, dijamin aku diceramahi bak maling ayam rasanya.
Meski sudah malam, Aku mengambil jilbab dan keluar mencari kucingku. Karena kemarin salah satu anak kucingku mati seperti terkena virus. Tidak sempat dibawa ke vet. Jadi aku khawatir yang ini juga tertular. Alhamdulillah ketemu, dan benar seperti dugaanku, dia sudah menujukkan gejala sakit. Aku langsung tanggap memberinya makan dan minum agar tidak sempat dehidrasi. Lalu ternyata obatnya habis. Karena Ayah sudah tau ia salah (dan kemungkina besar aku nekat pergi keluar membeli obat), ia pun pergi membeli obat tersebut.
Setelah itu aku membersihkan kucingku dan memberinya obat. Disitulah Ayah seperti mencari-cari kesalahan, melarangku menyapu untuk mebersihkan bekas kucingku. Katanya pakai tangan saja, jangan dengan satu.
Aku membatin dan berkali-kali meneguhkan hatiku bahwa inilah memang sifat orang yang sudah semakin menua.
Tiba-tiba terbersit dihatiku, bagaimana jika setelah menikah aku meninggalkan rumah dan Ibu dengan Ayah yang bersikap sesuai pikiran dan moodnya saja?
Ternyata... yang Allah lembutkan bukan tutur kataku. Melainkan Hati-ku.
Aku mudah sekali terenyuh akan nasib orang lain. Rasa-rasanya empati ini malah menyusahkanku. Sering kali aku lebih memikirkan kondisi orang lain, hewan , tumbuhan, dibanding diriku sendiri. Karena menurutku hidupku sedang dalam posisi zona aman. Bukan zona nyaman ya. Aman.
Sudah begitu saja cerita ku hari ini. Lagi-lagi menulis jauh melegakan hati. Semoga kedepannya Allah menjadikan tutur kata dan sikap ku juga lembut. Amin.
0 notes
Text
SISI LAIN ASAN
…
Isan melirik jam analog pada ponselnya terus menerus. Kini sudah pukul 15 lebih 55 menit dan kerja kelompoknya masih belum selesai juga. Dia cukup gelisah, karena katanya, Asan sudah tiba di parkiran perpustakaan kampus.
“Udah ini, apa lagi yang harus ditambahin?” Tanya Isan sembari melihat rincian apa yang harus dikerjakan. “Udah, segini aja. Kayaknya udah cukup sih menurut gua. Menurut yang lain gimana?” Tanya rekannya sembari melirik ke teman-teman yang lain.
“Udah aja. Kalau kebanyakan, nanti malah melenceng.” Jawab rekannya yang lain.
“Setuju. Jangan lupa daftar pustakanya diurutin yang bener. Biar gak usah nyusun-nyusun lagi.” Titah salah seorang yang diangguki oleh seluruh kepala yang ada di sana.
“Yaudah, ayo balik,”
Akhirnya, batin Isan lega berbicara. “Yes, balik.” Seru si lanang sembari menutup buku catatannya dan memasukannya ke dalam tas.
“Dari tadi liatin jam mulu, San. Lagi dikejar waktu, ya?” Tanya kawan perempuannya yang membuat Isan tampilkan cengirannya, “enggak, kok. Aku pulang duluan, ya, guys. Udah ditungguin temen. Kalian hati-hati pulangnya!”
Isan angkat kaki dari dalam perpustakaan dan berjalan dengan terburu-buru menuju parkiran kampus. Tidak enak, takut Asan menunggu lama.
Begitu tiba di sana, Isan celingak-celinguk mencari keberadaan Asan. Baru saja ponsel dikeluarkan untuk menghubungi kawan kostnya itu, keburu urung dilakukan sebab Isan sudah bertemu dengan Asan.
Asan ada di sana. Berjongkok di bawah pohon rindang dengan tangan yang mengelus bulu kucing dan mulut yang sibuk berbicara pada hewan mamalia itu. Entah apa yang dibicarakan, Isan tidak terlalu bisa mendengarnya. Di dekatnya pula, ada sebotol makanan kucing yang sudah tinggal setengah.
Langkah Isan mendadak terhenti. Baru kali ini Isan menyaksi kegiatan Asan yang seperti ini. Di matanya, Asan selalu bernilai negatif. Entah karena kelakuan grasak-grusuknya, atau karena tingkah iseng dan menyebalkan yang kerap membuat Isan naik pitam.
Tetapi hari ini, Isan seperti melihat sisi lain dari seorang Asan. Matanya begitu teduh tatkala berinteraksi dengan seekor kucing. Bahkan kucing tersebut acuh pada apa yang Asan ucapkan. Hewan itu terlalu sibuk mengunyah makanannya.
Hingga tanpa sadar, sudut bibir Isan terangkat begitu saja.
Namun sejemang kemudian, Isan menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Ih, Isan. Sadar! Itu Asan! Tetangga kamu yang super nyebelin itu. Ngapain kamu senyum-senyum liatin dia sama kucing?” Monolog Isan sembari mencubit punggung tangannya.
Dan ternyata, dari jauh Asan sudah lebih dulu menangkap presensi Isan yang tengah berbicara seorang diri. “Eh, Isan? Udah kelar kerkomnya?”
Nyaris saja jantungnya turun ke perut lantaran terkejut oleh suara baritone Asan. “Udah, hehe,��� Isan berjalan ke arah Asan dan kucing liar itu, “Kamu lagi ngapain di sini?”
“Lagi ngasih makan Suparjo.”
“Suparjo?” Repetisi Isan.
“Iya, kucingnya namanya Suparjo.”
“Kok kamu tau dia namanya Suparjo? Kan gak ada kalung namanya.”
“Tau. Soalnya gue yang namain sendiri. Hehe.”
“Aneh banget, kenapa Suparjo? Kayak nama bapak-bapak.”
Asan meraih botol tempat makanan kucingnya dan beranjak dari posisi jongkoknya, “tadinya mau gue namanin Isan. Tapi udah ada tuh yang punya nama itu.”
Kan. Baru juga Isan terpana akan sosok baru Asan, eh sudah kembali tengil lagi dia.
“Ngeselin banget!” Isan meninju lengan Asan, sedang yang menjadi samsak hanya tergelak saja.
“Ayo, berangkat.”
“Oh, ngomong-ngomong, kita mau ke mana?” Tanya Isan begitu tiba di samping motor Asan.
“Beli helm.”
“Beli helm? Kan kamu udah punya ini?” Dia menunjuk pelindung kepala yang tersemat di kaca spion Asan.
“Bukan buat gue,” Jawab Asan dan Isan menautkan alisnya. Agaknya Asan membaca kebingungan yang ada pada wajah Isan, “tapi buat Isan.”
Isan melongo, “Eh, kok buat aku? Ngapain?”
“Ke depannya, kalo ke kampus, bareng aja sama gue. Atau kalo mau ke mana-mana juga jangan ragu buat minta anterin gue. Itung-itung hemat energi dan pengeluaran.”
“Ih, tapi nanti ngerepotin kamu. Gak usah.”
Cukup gemas Asan mendengar penolakan yang dilontar oleh Isan. Isan begitu tidak enakan padanya. Padahal Isan sudah banyak menolong Asan.
Asan menatap netra Isan. Baru kali ini Isan ditatap oleh Asan dengan pandangan yang cukup serius. Alhasil, Isan jadi gugup sendiri.
“Isan, ini gue kok yang mau. Gak usah merasa gak enak, asli deh. Gue bahkan udah bayak ngerepotin Isan, sampe kemaren sempet ngerjain Isan. Ini sebuah bentuk maaf sekaligus terima kasih dari gue. Kalau masih gak enak juga, Isan patungan bensin aja, gimana? Jadi, gue juga bakal dapet untung dari Isan.” Asan menampilkan senyum andalannya sebelum naik ke atas motor. Menyalakan kuda besinya dan menurunkan pijakan kaki untuk Isan. “Yuk? Keburu sore, nanti macet.”
Dan mau tidak mau, Isan hanya bisa menuruti apa yang Asan lakukan. Isan memang merasa tidak enak. Akan tetapi, kalau boleh jujur, Isan tidak bisa pungkiri bahwa dirinya senang bila ada yang menaruh perhatian padanya. Persis seperti apa yang Asan lakukan sekarang.
Bersambung
1 note
·
View note
Text
i.i kisah
"Sudah jadi perempuan dewasa, tapi kerjanya di rumah saja. Ganti laki-laki setiap hari, tetap saja nggak jadi istri. Utang ayahmu, lho, nduk, numpuk segunung gak ada yang bayar. Anaknya sibuk di rumah, gak ada usaha jadi berguna."
Terdiam, Nadin hanya menyirami tanaman di pekarangan rumah sambil berpura-pura tidak mendengarkan ocehan neneknya. Walaupun telah tinggal hanya berdua untuk waktu yang lama, tetap saja sang puan tidak terbiasa dengan cibiran orang tua yang membesarkannya itu. Beliau tidak akan mengerti, sibuk dalam pikirannya sendiri yang sudah terlanjur banyak menyalahkan cucunya itu.
Akan tetapi, rasa sakit hati Nadin tidak bisa ditolak lagi. Kalau setiap hari ia mendengarkan ini, Nadin takut jadi gila sebelum benar-benar mewujudkan keinginan neneknya itu. Sang gadis berharap bisa kembali memutar waktu, sebelum ibunya meninggal dunia dan ayahnya pergi dari rumah, karena setidaknya hidup tidak akan sesulit ini.
Untuk makan sehari-hari, Nadin sudah berusaha pijat keliling dan berjualan waluh kukus. Sisanya ia tinggal di rumah karena neneknya masih memerlukannya, uang mereka masih sulit untuk sebuah kursi roda. Sayangnya, usaha gadis itu untuk membantu sang nenek dianggap sebuah tindakan malas karena di rumah terus. Bahkan, pekerjaannya yang menerima pijat panggilan dianggap bermain lelaki. Belum lagi, sang nenek tidak bisa menjaga lisan sehingga para tetangga beranggapan hal yang sama.
Saat ini, Nadin sudah cukup pusing.
"Anak Pak Tomo iku, lho, sudah punya anak dua. Dia teman sekolahmu bukan, nduk?" tanya si nenek dengan suara nyaring dari dalam rumah. "Kowe menikah saja belum, makan susah. Kalau tiap hari ganti laki-laki, siapa yang mau nafkahi? Miskin terus dari lahir."
"Aku nggak ganti laki-laki setiap hari, Mbah." Sang gadis akhirnya menyerah, masuk kembali ke dalam rumah walau ia sadar mencoba melawan tidak ada gunanya.
"Ah, mosok, sih. Bukannya gak ada yang mau karena kerjaannya main terus?" tanya orang yang dipanggil Mbah sambil mendelik. "Nggak nyangka toh, kamu besarnya jadi wedhok nakal. Ajaran bapakmu, pasti."
Ucapan si nenek cukup mengiris hati gadis itu.
Sungguh, ia lelah dengan tuduhan yang dilemparkan neneknya sendiri. Setelah menghadapi cibiran yang sama hari demi hari, bahkan Nadin tidak yakin apakah ia ingin menikah, khawatir keluarga iparnya harus menghadapi orang tua menyebalkan ini juga. Belum lagi kalau nenek ini menyuruh mereka untuk turut melunasi utang ayah Nadin yang entah kemana. Yang ada, Nadin malah semakin jadi beban keluarga.
Nadin sangat ingin beristirahat. Ia ingin pulang. Tapi saat ini, belum ada tempat berlabuh. Ia masih berjalan sendirian di bawah cahaya temaram.
"Mau sampai kapan, toh, nduk... Mau sampai kapan..." Tanpa henti, si nenek kembali meracau. "Sampai dapat suami yang mau sama wedhok nakal? Sampai kapan hidup begini, nduk..."
Air mata Nadin menetes dalam diamnya.
... sampai Mbah meninggal saja, ucap gadis itu dalam hati, meninggalkan sang nenek yang masih duduk di atas kursi.
1 note
·
View note
Text
Kelurga bahagia, indonesia damai
Roma 12:9-21
Semua orang tentu ingin bahagia. Karena itu buku buku motivasi dicari dalam urgensi mencari bahagia. Ke tempat tertentu orang berupaya mencari bahagia. Konsul. Lalu, bagaimana dengan menjadi keluarga yang bahagia? Bagaimana mendapatnya?
Keluarga yang bahagia mungkin tdk sedang baik baik saja. Keluarga yang bahagia mungkin sdg bermasalah, sedang ada gesekan karena maunya masing masing beda. Sedang memperjuangkan hal tertentu seperti kelahiran anak, ingin ada anak, melepaskan kepergian anak, susah karena anak salah pilih jalan dsb. Tapi ttap pasti anggota keluarga ingin bahagia.
Semua anggota keluarga punya peran menjadikan keluarga bahagia. Jadi jika bicara bahagia semua mesti hepi. Tidak hanya bisa memperjuangkan salah satu pihak saja yang bahagia. Mungkin ada kompromi dan mengalah. Tp di lain kali, yang mengalah harus diberi juga sisi bantuan. Memberi dan menerima. Itulah syarat bahagia.
Belajar dari ujaran Paulus pada jemaat Roma. Sikap hidup anggota keluargalah yang menentukan kasih itu terwujud. Dimulailah dengan kasih tulus. Tidak pura pura apa adanya. Kalau hanya punya tempe jangan paksakan steak. Toh, steak juga bs dibuat dr tempe. Prioritaskan apa yang penting dalam hidup keluarga. Ketika anak dpt hasil banyak orangtua maksa dia harus ranking satu, tp standar rangking satu kelasnya adl jago matematika misalnya padahal dia jagonya sastra. Perlu ketulusan melihat satu sama lain. Ayah melihat anaknya dengan cinta. Ibu juga bangga pada ayah. Orangtua dikasihi dan disayangi meski banyak banyak menuntut kesabaran. Tanpa ketulusan tak mungkin ada kebaikan dlm keluarga.
Secara khusus Paulus bicara soal keberanian menjauhi yang jahat. Ini juga tips bahagia. Kita hidup dalam era di mana rumput tetangga nampak lebih hijau dan jika tak dewasa dalam iman bs jatuh dlm dosa. Korupsi kan dimulai dr salah prioritas hidup. Mungkin ibadah jadi pemoles saja jadi lupa untuk hidup dengan jujur itu harta. Maka korupsi dan godaannya membuat kita terjerumus. Lihatlah para koruptor nampak senang melambaikan tangan, apakah mrk sungguh bahagia dan menikmati pelesirnya? Siapa yang tahu?
Prinsip berikutnya dalam keluarga yang bahagia adl sukacita, kesabaran dan doa. Sukacita dirasakan karena kita sangat bersyukur krn Tuhan. Kesabaran untuk tetap sama sama menjalani susah dan senang dalam keluarga dan selalu berdoa. Kapan terakhir anda mendoakan pasangan anda? Kapan anda mendoakan anak anak dan orangtua anda? Setiap saat? Syukurlah!
Isi berikut dari keluarga bahagia adl ketulusan melayani pekerjaan Tuhan. Kemampuan untuk rendah hati, dan tidak membalas dendam. Ini bisa dilakukan hanya ketika hati ini bahagia?
Bahagia itu enggak jauh kok. Ad di dalam diri. Kalau kita merenungkan bahasa keren sekarang mindfullness. Fokus sama apa yang kita rasakan dan alami sesungguhnya kita menemukan bagaimana diri kita bs bahagia. Perjalanan hidup kita yang panjang dan tidak mudah. Luka hidup dan para sahabat. Masa lalu di mana kita dibentuk Tuhan dan keadaan kita kini membuat kita sadar betapa Allah itu baik. Mungkin sebagai suami dan ayah kita emang gak sempurna tp mana ada orang yang sempurna dalam idup ini. Apalagi sebagai istri dan ibu. Tp kita bermegah karena Tuhan terus menyertai kita. Hingga kita bs berdiri teguh sampai saat ini. Bersyukurlah!
Jangan dikalahkan oleh kejahatan! Jangan menyerah dengan apa yang terjadi di keluarga. Mintalah hikmat dari Allah untuk perubahan dalam keluarga tp terutama minta Tuhan berikan hati yang penuh belas kasihan. Belas kasihan untuk melihat orang orang paling menyebalkan dalam keluarga sehingga kita bisa melihat mereka seperti Kristus melihat mereka.
Semoga kita bisa terus berjuang demi keluarga yang bahagia. Belajar terus dari Firman Tuhan. Belajar terus semakin mengasihi. Belajar terus bersyukur karena ada bahagia melalui para sahabat yang menopang. Semoga sambil berdoa bagi kebahagiaan keluarga, damai sejahtera Allah hadir di bumi!
Selamat HUT GKP
0 notes
Text
بـــــــــسم الله الرحمن الرحيــــــــــم
🔖Untuk Para Ibu Demi Masa Depan Putrinya 💐
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
1. Hormatilah suamimu ketika dia di rumah atau di luar rumah dan bersegeralah memenuhi kebutuhannya, khususnya di depan putri-putrinya.
2. Jangan bertikai dengan suami di depan anak-anak, never! Perselisihan yg terjadi tidak boleh melewati pintu kamar tidur.
3. Sengajalah meminta izin suami di depan putri-putrinya, bila ingin masuk atau keluar atau apa saja.
4. Jangan pernah menampakkan pembangkangan atas perkataan suami di depan putri-putri.
5. Bagi istri-istri penguasa terhadap suaminya, yg ikut campur dalam segala urusan suaminya bahkan mengintrogasi suami (kenapa jendelanya dibuka? bagaimana kamu keluar sendirian kemarin?! Kenapa beli roti ini? dll), seakan dialah komandan di rumah, menyuruh, memerintah dan melarang di rumah. Yakinlah bahwa putri-putrinya kelak akan menjadi fotocopy dirinya, secara otomatis dia akan menguasai suaminya seperti yg dia lihat di ibundanya, dan bila ternyata dia mendapatkan suami yg memiliki kepribadian yg berbeda dengan ayahnya, maka tiada solusi kecuali cerai.
6. Seorang istri tidak boleh memberikan izin bagi lelaki untuk memasuki rumahnya dikala suaminya tidak di rumah, walaupun dia itu adalah teman dekat keluarga ataupun tetangga.
7. Seorang ibu yang mulia akan bersolek dan berdandan untuk suaminya, dengan sengaja dia menunjukkan hal itu di depan putri-putrinya seraya menjelaskan bahwa itu adalah hak suami dan dia juga tidak bersolek ketika keluar rumah atau di depan orang yg bukan suami, untuk memberi contoh nyata pada putri-putrinya.
8. Istri yang sholelah tidaklah pelit dan tidak pula boros untuk urusan rumah, dia berada di tengah.
9. Sangat indah sekali, bila anak-anak meminta sesuatu pada ibunya dan sang ibu berkata kepada mereka: “Kita akan menanyakannya pada ayah, dan kita tidak akan melakukan sesuatu kecuali bila direstui olehnya”. Dengan sering kalinya melakukan hal ini, maka akan tertancap di dalam diri putri-putri penyerahan tongkat kepemimpinan pada lelaki, dan tidak boleh seorang wanita menelanjangi suaminya dari pakaian kepemimpinan dengan dalih gender dan kebebasan.
10. Istri yang sholehah akan menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang ceria dan tidak langsung mengadukan tingkah anak-anak yang menyebalkan atau tetangga atau apa saja. Namun ia akan mencari waktu yang tepat.
11. Tidaklah elok seorang istri mengadukan kehamilannya, urusan menyusui atau pekerjaan rumah di depan putri-putrinya karena hal itu akan terekam di memorinya.
12. Tatkala ada tetangga atau temen wanita memintanya untuk turut berkunjung ke rumah fulanah, hendaklah sang ibu berkata pada mereka dan diperdengarkan pada putri-putrinya, "Aku akan memberitahu suamiku, bila dia setuju maka aku akan ikut", dan tatkala suaminya datang maka ia memberitahu suaminya tanpa nada paksaan,”Apakah ia diperbolehkan untuk berkunjung ke rumah fulanah” dan bila suaminya diam saja, maka ia tidak memaksa dan lansung memberi tahu temannya bahwa ia tidak bisa ikut di depan putri-putrinya.
13. Bila sang ayah memerintahkan kepada anggota keluarga suatu perintah, maka hendaklah sang ibu bersegera melaksanakannya dan menyuruh anak-anak bersegera dan mengajarkan pada mereka pentingnya mematuhi perintah suami, tatkala anak-anak merasakan hal itu, maka ia akan tumbuh besar menghormati nahkoda yang kelak mengemudikan bahteranya agar tidak pecah dan tenggelam di samudra.
14. Tatkala seorang istri meminta kepada suaminya berbagai macam permintaan yang melelahkan suaminya karena ketidak mampuannya, maka kelak putrinya akan menirunya tatkala mereka menjadi istri.
15. Seorang istri yang duduk ngobrol bersama tetangga atau temannya menceritakan rahasia-rahasia rumah tangganya, maka kelak putrinya akan dengan mudah menyingkap rahasia suaminya di depan orang lain, tatkala ia menjadi istri.
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
📖 Kitab Kaifa Takun Ahsan murobbi fil ‘alam, hlm 44-45. Diterjemahkan oleh Ust. Syafiq Basalamah, M.A
0 notes
Text
BAPER
Pernah gak lu disebut anak baperan?
Sometimes i feel being that person.
Adakalanya gue lg cape atau mungkin PMS, gue ngerasa beberapa hal yang gue laluin atau perkataan orang lain yg disampein sangat menyebalkan.
Apalagi kalo orang yang ngomomng itu masuk red list gue, dahlah. Dia ngomong biasa aja gue bisa kesel apalagi dia bertingkah aneh2.
Hari ini misalnya.
Lagi-lagi gue harus pusing masalah tai kucing. Ya memang ada salahnya gue masih membiarkan si Cika itu berkeliaran. Abis, dengan kondisi dia lg bunting gtu, dia gamau di rumah. Dia sangat waspada sehingga bersikap galak ke semua kucing2 yang coba mendekat. Alhasil gue lepas ajalah dengan harapan dia poop cukup d rumah gue aja (belakang mobil).
Dilalah pagi pagi ini, si ibu tetangga sebelah rumah yg pernah komplain masalah tokai update lg d grup perumahan. Memang dia tidak langsung to the point bilang masalah tai kucing cuma gue tau itu yg dia maksud. Sebagai tetangga anak bawang gue berusalah mengalem si ibu dengan minta maaf by WA. Gue jga jelasin kalo kucing2 lain udah diamankan di dalem rumah. Dia emang gak bilang ee kucing tadi pagi itu bekas si Cika, tapi dia cerita pernah liat Cika ee di belakang mobil. Gue sebenernya gak yakin jga 3 tokai yg dia claim itu punya Cika. Apa iya si Cika dalem semalem boker 3x?????????????
Kejadian ini bikin gue cukup kepikiran sampe sore hari.
Sore harinya pun gue ketambahan Baper. Hari ini gue on duty di MM. Lalu, gue hub si Hadi (include red list), he said gue bareng Purchasing dan Marketing. Gue hubungin lah itu si Debora (red list), u know? she said kayanya penuh mba. WTF ZZZZZZZZ. Udah kesekian kali nih orang tiap gue mau nebeng selalu bilang penuh.
Makin kesal lah gue.
Maghriban tadi gue tarik nafas panjang2, gue buang sampai habis.
HUFT~~~
0 notes
Text
Dewasa?
Dasar orang dewasa, mentang mentang lebih tua dariku hingga berlagak tau segalanya.
Dasar orang dewasa, merasa tertua dan paling layak dihormati opininya.
Dasar orang dewasa, selalu angkuh terhadap yang muda.
Dasar orang dewasa, otaknya saja yang tua tetapi tidak dengan isinya.
Mengapa mereka selalu meremehan yang muda? Mengapa mereka selalu beranggapan bahwa yang kami sampaikan adalah ketidakbenaran? Dasar kolot usia.
Ini kutuliskan tepat ketika aku dibangunkan saat mati lampu, dan ketika itu AC dikamarku pun tentu ikut padam sehingga menyisakan udara jakarta yang panas. Terlihat bahwa didepan sana lampu-lampu masih setia menerangi jalanan dan rumah-rumah. Aku menyuarakan apa yang ku tahu tentang perbedaan aliran listrik rumah ini dan rumah tetangga didepan kami. Yang aku tahu bahwa rumah tetangga belakanglah yang memiliki aliran listrik yang sama dengan kami, bagaimana bisa aku tahu? karena tidak jarang aku merasakan hal semacam ini selama aku tinggal disini. Sayangnya, mereka para orang dewasa yang sedang berlibur dan menginap disini tidak percaya. Mereka seperti menganggap apa yang aku utarakan sebagai bualan semata, lalu mencemooh dan berkata "Gak mungkin lah" "Masa bisa kaya gitu" "Aneh" mereka terus beradu mulut hingga melihat bukti yang kukatan. See? Orang dewasa memang menyebalkan, mungkin tidak semua tetapi kebanyakan dari mereka memang seperti itu.
Bukannya menyudahi percakapan dan beranjak tidur kembali, mereka malah semakin menjadi dan melantur pada banyak pembahasan pembahasan tak masuk akal, katanya semua ini bisa saja disebabkan oleh pejabat yang korupsi listrik dan tidak mau membayarnya sehingga berakhir dengan mematikan listrik pusat. Lalu ditutup dengan melontarkan sumpah serapah di tengah hari ini.
Baru saja ingin ku akhiri, tetapi orang dewasa itu meminta untuk abadi dalam tulisanku!!? Mereka benar-benar egois dan ceroboh! Semoga aku tidak menjadi orang dewasa yang seperti itu nantinya.
0 notes