Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
"Capek. Capek. Capek, capek, capek ..."
Yang menemaninya hanya hembusan halus angin dan kesunyian tanah kosong di belakang rumah. Di dalam pikiran sederhananya, muncul hal-hal besar yang ia tidak bisa keluarkan satu per satu.
Keinginan, keputusasaan, kesedihan, dan kesendirian. Semua bergejolak memaksanya untuk beristirahat.
Tetapi tidak ada tempat untuknya. Hanya ketika sekitar sudah sunyi dan langit sudah gelap, ia bisa menangis. Hanya ketika keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah terlelap, ia bisa mengeluh.
Di saat yang sama, fisiknya memaksa untuk tidur. Namun jika ia tidur, lantas kapan lagi tangisan ini bisa keluar dengan bebas?
Terduduk lemas, gadis itu hanya menarik tungkainya yang dilipat, memeluk lututnya erat. Sebuah nafas berat terhembuskan dari kedua bibir yang tak pernah sanggup membicarakan isi pikirannya kepada siapapun.
"Capek ...."
0 notes
Text
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
(Sapardi Djoko Damono, 1984)
i.i kisah | i.ii data | i.iii cerita | ii.i nada | iii.i relasi
0 notes
Text
i.i kisah
"Sudah jadi perempuan dewasa, tapi kerjanya di rumah saja. Ganti laki-laki setiap hari, tetap saja nggak jadi istri. Utang ayahmu, lho, nduk, numpuk segunung gak ada yang bayar. Anaknya sibuk di rumah, gak ada usaha jadi berguna."
Terdiam, Nadin hanya menyirami tanaman di pekarangan rumah sambil berpura-pura tidak mendengarkan ocehan neneknya. Walaupun telah tinggal hanya berdua untuk waktu yang lama, tetap saja sang puan tidak terbiasa dengan cibiran orang tua yang membesarkannya itu. Beliau tidak akan mengerti, sibuk dalam pikirannya sendiri yang sudah terlanjur banyak menyalahkan cucunya itu.
Akan tetapi, rasa sakit hati Nadin tidak bisa ditolak lagi. Kalau setiap hari ia mendengarkan ini, Nadin takut jadi gila sebelum benar-benar mewujudkan keinginan neneknya itu. Sang gadis berharap bisa kembali memutar waktu, sebelum ibunya meninggal dunia dan ayahnya pergi dari rumah, karena setidaknya hidup tidak akan sesulit ini.
Untuk makan sehari-hari, Nadin sudah berusaha pijat keliling dan berjualan waluh kukus. Sisanya ia tinggal di rumah karena neneknya masih memerlukannya, uang mereka masih sulit untuk sebuah kursi roda. Sayangnya, usaha gadis itu untuk membantu sang nenek dianggap sebuah tindakan malas karena di rumah terus. Bahkan, pekerjaannya yang menerima pijat panggilan dianggap bermain lelaki. Belum lagi, sang nenek tidak bisa menjaga lisan sehingga para tetangga beranggapan hal yang sama.
Saat ini, Nadin sudah cukup pusing.
"Anak Pak Tomo iku, lho, sudah punya anak dua. Dia teman sekolahmu bukan, nduk?" tanya si nenek dengan suara nyaring dari dalam rumah. "Kowe menikah saja belum, makan susah. Kalau tiap hari ganti laki-laki, siapa yang mau nafkahi? Miskin terus dari lahir."
"Aku nggak ganti laki-laki setiap hari, Mbah." Sang gadis akhirnya menyerah, masuk kembali ke dalam rumah walau ia sadar mencoba melawan tidak ada gunanya.
"Ah, mosok, sih. Bukannya gak ada yang mau karena kerjaannya main terus?" tanya orang yang dipanggil Mbah sambil mendelik. "Nggak nyangka toh, kamu besarnya jadi wedhok nakal. Ajaran bapakmu, pasti."
Ucapan si nenek cukup mengiris hati gadis itu.
Sungguh, ia lelah dengan tuduhan yang dilemparkan neneknya sendiri. Setelah menghadapi cibiran yang sama hari demi hari, bahkan Nadin tidak yakin apakah ia ingin menikah, khawatir keluarga iparnya harus menghadapi orang tua menyebalkan ini juga. Belum lagi kalau nenek ini menyuruh mereka untuk turut melunasi utang ayah Nadin yang entah kemana. Yang ada, Nadin malah semakin jadi beban keluarga.
Nadin sangat ingin beristirahat. Ia ingin pulang. Tapi saat ini, belum ada tempat berlabuh. Ia masih berjalan sendirian di bawah cahaya temaram.
"Mau sampai kapan, toh, nduk... Mau sampai kapan..." Tanpa henti, si nenek kembali meracau. "Sampai dapat suami yang mau sama wedhok nakal? Sampai kapan hidup begini, nduk..."
Air mata Nadin menetes dalam diamnya.
... sampai Mbah meninggal saja, ucap gadis itu dalam hati, meninggalkan sang nenek yang masih duduk di atas kursi.
1 note
·
View note