#sulap
Explore tagged Tumblr posts
Text
My Right To Breath
Fighting for basic human rights is quite an understatement for the Beiruti in me. From the right to health, education, water, electricity – not to mention basic women and people with challenges’ rights for equality – the list is endless and has literally become a survival roadmap for any local. Yet one basic and global human right transcends it all: the right to breathe. Splash and Burn and…
View On WordPress
#Asia Ballet Theatre#Bibichun#Charlotte Pyatt#Cloackwork#Ernest Zacharevic#Fahmi Reza#Greenpeace Malaysia#Kai Yi Wong#Melissa Tan#Pangrok Sulap#Splash and Burn#Studio Birthplace#Trexus#Trina Teoh
0 notes
Text
EVET BASAK DIZER ICIN EMPATI YAPINCA FENALASIYORUM OLM COK KOTU
u can be the boss daddy u can be the bosssss
35 notes
·
View notes
Text
Luka dan kecewa itu terlalu familiar untuk aku sulap menjadi monster paling seram. Namun, kemungkinan bahwa seluruh waktu, perhatian, dan usaha bisa seketika tak berharga bagi seseorang, kerap berhasil memecutku untuk lari dari basa-basi romansa.
Aku terbatas dan tak di sini selamanya.
66 notes
·
View notes
Text
POEM(FILIPINO🔥🫧✨)
gusto kita ngunit umiiwas ako
tulad sa mga inumin sa cafeteria ng school ko
amoy na bumubungad kaagad pagbukas ko ng pinto
tunog ng hinahalong gatas at ang pilantik ng mga yelo
gusto kita pero ayoko
naiintindihan mo ba o malabo?
bagkus ang sarili ko ring puso ay nagugulumihanan, nagugulo
kung itutuloy ko ba ang paghakbang ng mga paa ko papunta sa'yo
o titigil muna?–teka lang, nahihiya ako!
at ngayo'y narito sa linya, nakapila sa dakong dulo
palingat lingat ang tingin, hindi maibaling sa'yo
pasulyap sulap, sisilip, pipikit at muling titingin sa malayo
puso'y parang tambol, kumakatok, nagwawala, naghuhumentado
hawak na ang pitaka, ngunit bakit nagbabakasali?
kulang kaya ang barya?
—kulang ang mga salita, sumasapaw ang kaba
pwede bang ipakita na lamang sa mga kilos at pagsulyap ng aking mga mata?
—hindi ko kaya!
may mga salitang nabubuo sa likod ng bibig kong tikom
ngunit hindi ko maisambit, ni mailuwa, ni mabulong
gusto kita, napakalapit mo na ngunit bakit napakalayo?
masyadong malaki ang espasyong tatawirin papunta sa'yo
parang kailangan pang sumakay ng eroplano't kung babagsak
—pwede bang diretso at siguradong sa'yo?
gusto kita, wala ng halong biro, wala ng pagdududa
kaya nga heto ako, nakaupo sa jeepney, pauwi at di mapakali sa pwesto
marami kasing nakatingin, baka mabasa pa ang tulang sinusulat ko
ngayon napapaisip na't kung iiwasan pa ba kita tulad ng kapeng inoorder ko,
"kuya isa ngang spanish latte, 70 pesos lang."
"Sure na hindi 100?"
—hindi po, pero sa kaniya hindi sapat ang isang daang porsyento
at ang tulang ito para sabihing...
𝗴𝘂𝘀𝘁𝗼 𝗸𝗶𝘁𝗮 ngunit umiiwas ako tulad sa mga inumin sa cafeteria ng school ko.
***
Iced Coffee.
MEANINING✨🫧:This Means When Your Comparing Your Love To Ice Coffee In The Phillipines,Well In Phillipines In Starbucks Iced Coffee Is Very Expensive,And Comparing To The Love…The Admirer Thinks That He Is Not Worth Of It’s Love.✨🫧👑💕❤️
NOTE:ALL RIGHTS BELONG TOO THE ORIGINAL OWNER.NO COPYRIGHT INTENDED,OWNER✨🫧
TRANSLATION💕:
I like you but I'm avoiding you like the drinks in my school's cafeteria smell that emerges as soon as I open the door sound of churning milk and the clinking of ice i want you but i don't want you do you understand or is it unclear? but my own heart is confused, confused if I continue to step my feet towards you or stop first?–wait, I'm ashamed! and now here in the line, lined up at the end look away, can't turn to you glance, glance, close your eyes and look away again heart is like a drum, knocking, disappearing, humming the purse is in hand, but why join? Is there a lack of coins? —words are lacking, nervousness is overwhelming can it just be shown in the gestures and glances of my eyes? —I can't! there are words forming behind my closed mouth but I could not speak, nor spit, nor whisper I love you, you're so close but why so far? the space to cross to you is too big it's like you have to get on a plane if you're going to crash —can I be straight and sure with you? I love you, no joke, no doubt that's why here I am, sitting in a jeepney, going home and restless in my seat there are many people watching, maybe the poem I'm writing will be read now I'm wondering if I'll avoid you like the coffee I order, "Brother, it's a Spanish latte, only 70 pesos." "Are you sure it's not 100?" —no, but for him one hundred percent is not enough and this poem to say… I like you but I avoid like drinks in the cafeteria of my school.
Iced Coffee.
2 notes
·
View notes
Photo
"Kadang kita mendapatkan sesuatu ketika kita bisa mengikhlaskan sesuatu lainnya." Kalimat positif yang seringkali aku dengar dan aku pun mengaamiininya. Tapi momen untuk kalimat tadi tidak selalu ada di setiap saat, sampai-sampai aku lupa. 2022 mengambil peran sebagai pengingat. Banyak hal terjadi. Salah satunya hal magic terkait kalimat pembuka tulisan ini. Aku memutuskan untuk melepaskan sesuatu yang aku pertahankan, aku perjuangkan, aku usahakan selama kurang lebih 3 tahun ke belakang. Menimbang baik-buruk, untung-rugi, plus-minus berulang-ulang kali, berhari-hari. Memikirkan jika aku lanjutkan akan bagaimana, jika aku sudahi akan seperti apa. Memilih mana yang terbaik memang tak pernah mudah. Apalagi mengingat waktu, tenaga, mental, pikiran, keseriusan, dan banyak hal yang sudah aku curahkan di sana. Memperjuangkan itu penting, tetapi menyadari kapan harus berhenti juga tak kalah penting, boss. Dan sepertinya 2022 adalah waktunya. Akhirnya aku ketuk palu di kata-kata 'sudah cukup.' Di bulan yang sama setelah menarik keputusan tersebut, hal yang tidak disangka-sangka hadir di kehidupanku. Jawaban dari doa yang sudah lama aku bisikkan. Angan-angan yang aku percayai akan datang di waktu paling tepat. Dipikir-pikir kejadian ini seperti sulap. Aku mengikhlaskan sesuatu prok prok prok dapatlah sesuatu lain yang benar-benar aku harapkan dari sejak lama. Temen-temen pernah gitu juga ga sih? Akhirnya ikutan @30haribercerita juga setelah beberapa hari feed diramaikan sama tulisan-tulisan keren dari para pencerita. Seperti doa tahun-tahun sebelumnya; semoga sebulan ini konsisten 🤭 #aksarannyta #30haribercerita #30hbc23 #30hbc2304 https://www.instagram.com/p/Cm_6-y3P2wR/?igshid=NGJjMDIxMWI=
60 notes
·
View notes
Text
Briton's 101
ISTILAH UMUM
The season: musim di mana para bangsawan kembali dari kampung halamannnya menuju London untuk bersosialisasi dengan sesamanya. (*Kalau di OA kita, satu season = masa dari verifan sampai CD)
The ton: circle masyarakat kelas atas—sebagian besar keluarga bangsawan—yang tinggal di kompleks paling mahal, Mayfair, dan merupakan selebriti pada masanya. Kita semua adalah bagian dari the ton.
Patron and Patronesses (Trons): pemilik, sponsor, sekaligus pengelola klub Briton's.
Nobbyovolent (Nobby): anggota resmi Briton's.
Assemblies (event/mission): Kegiatan yang diselenggarakan secara reguler oleh Patrons dan Patroness, baik kegiatan resmi klub Briton's maupun acara sosial tidak resmi yang tidak berhubungan dengan kegiatan klub.
Gatherings : Acara sosial yang diadakan sesekali oleh Nobbyovolents untuk bersenang-senang. Acara dapat berupa pesta, kegiatan club, permainan dan olahraga, ataupun kegiatan lain.
Briton's Bulletin Board: Papan pengumuman sekaligus tempat arsip paling up-to-date untuk mengetahui semua yang sedang dan pernah terjadi di Briton's. BBB dapat diakses di sini, jika kalian membutuhkan.
GATHERINGS // HOSTS
Setiap minggunya ada total dua gatherings di weekdays, kecuali jika ada kegiatan khusus dari klub Briton's. Host ditentukan melalui war di hari Senin.
Kegiatan dapat berupa apapun, seperti pesta, kegiatan klub (bermusik, menyulam, tinju, memanah, dll), maupun festival (balap kuda, konser musik atau sulap, pameran seni atau sains, dll). Yang pasti berhubungan dengan kebiasaan para bangsawan dan masih nyambung dengan konsep dan setting BritonSociety.
Jobdesk: ngehost games, mixlr, movie night atau apa aja deh.
MISS CHATTERLEY
Penulis anonim lembar skandal yang paling terkenal dan terpercaya di kalangan the ton. Lembar skandalnya juga dijual kepada rakyat biasa yang tertarik dengan gosip kelas atas meskipun cukup mahal.
Pseudonim Miss Chatterley dapat diperankan oleh maksimal 2 orang tiap minggunya.
Jobdesk: memperhatikan apa yang terjadi di antara Nobbyovolents lalu menulisnya menjadi atrikel singkat, maksimal 2 paragraf. (*Admin lamtur gitu lah.)
Artikel hanya boleh bercerita tentang hal-hal aneh, lucu, inside jokes, atau berita dating. Jika tidak ada hal khusus untuk diberitakan, dapat menulis fun fact random informatif yang masih sesuai dengan setting BritonSociety. (*Meskipun lembar skandal yang asli sangat tajam, kami melarang Miss Chatterley dalam menulis hal-hal yang dapat menyakiti hati nobbies lain.)
THE INCOMPARABLES
Individu yang memiliki kualitas tak tertandingi dan menjadi pusat perhatian the ton. (*Istilah ini sebenarnya hanya untuk para debutante dan pria lajang yang 'banyak diminati (untuk dinikahi)', namun kami—BritonSociety—mengadaptasinya menjadi istilah netral yang berlaku bagi semua Nobbies, termasuk yang sudah memiliki pasangan.)
The Incomparable Diamond dan Incomparable Gallant diumumkan masing-masing 1 orang di awal minggunya. (*Hanya dapat menjadi The Incomparables sekali dalam satu season)
Pada minggu ganjil, The Incomparables dipilih berdasarkan akumulasi diamonds (💎) tertinggi di fortnight sheet.
Pada minggu genap, The Incomparables dipilih berdasarkan pada hasil voting. Jika hasil voting seri, maka Patrons dan Patronesses akan melakukan voting untuk hasilnya.
THE TALK OF THE TON (TOT)
Sekelompok bangsawan—circle—yang tengah menjadi perbincangan hangat masyarakat the ton.
Pada minggu ganjil, TOT dipilih berdasarkan kelompok pemenang event.
Pada minggu genap, TOT dipilih berdasarkan akumulasi diamonds (💎) tertinggi di fortnight sheet.
FORTNIGHT SHEET & DIAMONDS (Amalan Dua-Mingguan)
Link di sini.
Fortnight sheet atau lembar fortnight adalah catatan keaktifan Nobbyovolents dalam mengikuti kegiatan, yang diupdate oleh para Patrons melalui spread sheet. Fortnight sheet di-reset setiap dua minggu.
Diamonds (💎) adalah permata berharga yang diberikan kepada Nobbyovolents atas partisipasinya dalam kegiatan Briton's.
Ada tambahan dan pengurangan diamonds, sudah tertulis di lembar fortnight.
Semua amalan dua-mingguan akan dipakai demi kepentingan Patrons sendiri dalam mengevaluasi member serta menentukan TOT dan The Incomparables. Jadi, tidak perlu terlalu memikirkan jumlah diamonds karena itu semua hanyalah titipan YME. Cukup ikuti perintah dan jauhi larangan yang ada saja, ok?
Komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi, komunkasi, komunikasi.
2 notes
·
View notes
Text
Buku Is it Bad or Good Habits karya Sabrina Ara (Recommended Book to Change Yourself Be Better)
Insight #2 Terimakasih telah membaca sampai akhir
Bab 3 dari buku ini membahas bagaimana cara keluar dari Zona Nyaman
Comfort zone membuat kita tidak ingin keluar dari kebiasaan lama (nyaman, aman, bebas dari stress)
Kebiasaan yang terulang memang membuat kestabilan tapi terjebak adalam zona nyaman kadang malah membuat tidak berkembang.
Hal yang membuat kita sulit keluar dari zona nyaman
1. Hidup tanpa tujuan (jangan apa adanya). Cari tujuan yg jelas atau pemantik dan mempermudah proses)
Cara menentukan tujuan
- Kenali ketertarikan
- Daftar keinginan
- Tujuan spesifik dari keinginan
- Mantapkan tujuan
2. Tidak siap dengan perubahan (ragu)
3. Khawatir dgn resiko (masalah hasil)
4. Merasa mentok
5. Mudah puas (kurang ambisi untuk mencoba hal baru)
Melatih mental fokus
1. Identifikasi diatraksi
2. Hindari distraksi yg merusak konsentrasi (misal kita bukan tipe org yg membca sambil mendengarkan musik, ya hindari. Kalo hp yg jadi sumber diatraksi ya paksa buat nyimpen hp)
3. Ulangi dan ingat tujuan awal
4. Berlatih bertahap dan konsisten
Perubahan adalah masa transisi yg belum pasti dengan ekspektasi hasil. Orang yang mau menerima perubahan dan mau berubah akan lebih mudah beradaptasi
Bab 4 mengajak kita untuk melakukan perubahan, Changes your Bad Habit
Intinya jangan fokus pada hasil, nikmati proses
Poin penting perubahan untuk kebiasaan baru
• Komitmen (keterikatan terhadap apa yg dilakukan)
• Aksi dalam bertindak step by step
Cara membangun kebiasaan baru (james clear, atomic habits) yaitu make it obvious, attractive, easy, and satisfying
• manajemen waktu
(setting goals and priorities, mechanism, planning and scheduling, preceive control of time, preference for organization)
★role model management waktu: haruki murakami
Bab 5 menjelaskan tentang Energi orang-orang di sekitar
Intinya kita tidak bisa mengontrol apa yg ada di sekitar kita tapi kita bisa mengontrol kita akan masuk ke circle mana (suport system se frekuensi, dimana kita dihargai). Kita tidak bisa mengatur omongan orang tapi kita bisa mengatur diri kita untuk tidak terpengaruh oleh omongan mereka. Sulap komentar negatif menjadi motivasi.
Bab 6 membanu kita untuk Mempertahankan Kebiasaan Baik
Kelola stress untuk merawat kebiasaan baik. Kenali apa yg dapat memicu stress (tension, konflik, frustasi [kecewa berkelanjutan], krisis [dadakan])
Hindari pemicu stress, jika sudah terlanjur stress maka cari solusi dan jangan ditunda untuk mengeksekusi solusi, istirahat, lakukan aktivitas positif dan terapi mandiri/ datang ke psikiater
Jangan berlindung dari dalih "aku bersyukur atas keadaanku sekarang, kenapa harus susah² berubah" hanya karena tidak mau mengambil resiko dari perubahan
Bab 7 kita diajak untuk melihat Orang-orang sukses dari kebiasaannya
Eka Tjipta: pebisnis yg gigih (Jangan takut hasil tidak sesuai ekspektasi, dengan kegagalan yg dialami akan muncul mental baja)
Mario Teguh: Sang motivator pikiran positif (Tanamkan pikiran bahwa suatu hari nanti impian akan tercapai, mandiri dan jangan haus belas kasihan org lain)
Sidney Poitier: Mengubah Kritikan menjadi Motivasi (kebiasaan bertahan dalam kondisi buruk, berlatih terus menerus, jangan terpengaruh omongan orang)
William Tanuwijaya: Pantang Mundur Meski Diremehkan (Jangan hanya bermimpi, aksi, buktikanlah dan jangan lemah)
@iniakunisna
#berbagirasa#inspirasi#reminder#belajarmenulis#tulisan#quotes#bemyself#menulis#quotesoftheday#antologirasa#riview buku#buku#resume#book review#habits
3 notes
·
View notes
Text
Kun: You wanna see me do a magic trick? 😁
Ten: No. 😒
Kun: *Holds out deck* Pick a card, any card! 🃏
Ten: *Takes Kun’s credit card* 💳
Kun: Wait! 😱
10 notes
·
View notes
Video
youtube
PENDOPO DESA BAHASA TAMAN WISATA KELINCI BOROBUDUR
PENDOPO DESA BAHASA BOROBUDUR
===========================
https://youtu.be/6sttDGDZ2AM
——————————————————
https://youtu.be/ZTXiZe7LN0w
——————————————————
Masuk lebih jauh, di dalam tempat wisata edukasi ini anak-anak bisa memberi makan hewan di Taman Kelinci, menonton pertunjukan sulap street and fun magic, pentas angklung, hingga bermain panahan.
Pengunjung juga bisa menjajal terapi ikan, juga trampolin untuk anak-anak.
Belajar Sambil Bermain
Tidak hanya wisata, Desa Bahasa juga menawarkan paket kursus pendidikan bahasa Inggris mulai dari 6 hari, 10 hari, hingga 1 bulan.
utbond, city tour, tour de village itu semua sudah include tidak ada biaya lagi.
Menginap Di Homestay Syariah
Kalau belum puas berwisata di Desa Bahasa, pengunjung bisa menginap di sini. Di homestay ini tidak disediakan minuman beralkohol, dan pasangan yang boleh menginap hanya yang sudah menikah. Kamar yang tersedia meliputi family room, standard room dan kapsul.
"Ada promo harga kamar dalam masa pandemi ini," ujar Hani.
Family room bisa dihuni 4 sampai 6 orang, harganya Rp800.000, promo saat pandemi ini jadi Rp400.000 sampai Rp600.000. Kemudian, standard room hari biasa Rp500.000, sedangkan saat pandemi ini Rp265.000.
SUPPORT BY :
@Abie Alief
https://youtuberkacau.blogspot.com/
Jangan lupa like, comment, share & Subscribe … …!!!!
__________________________________________________________
DESA,BAHASA, BOROBUDUR, EDUKASI, BERMAIN, TAMAN, WISATA, HOLIDAY,
------------------------------------------------------------------------------------
#DESA #BAHASA #ENGLISH #WISATA #HOLIDAY #TAMAN #KELINCI #borobudur #NgajiDiri #OlahRoso #OlahRogo #adventure #share #comment #like
7 notes
·
View notes
Text
Bukankah apa yang dilihat oleh mata, terkadang bukan seperti apa yang terlihat, tapi lebih kepada apa yang ingin kita percayai. Itu sebabnya banyak tipuan mata. Bahkan, sulap pun kadang membuat kita kagum padahal hanya sebuah trik semata.
Ah hidup ini.
7 notes
·
View notes
Text
Learning from Friends: “The Collective School”
The below conversation was published in e-flux Education on March 30, 2023. Thank you, Tyler Considine, for the invitation.
Asia Art Archive (AAA) in Hong Kong recently hosted “The Collective School,” an exhibition and a program series exploring artist-driven and collective models of learning. Developed in collaboration with Gudskul, a Jakarta-based collective that runs a grassroots school for other collectives, the project provokes debates about the necessity and adaptability of collectives today. Amid the growing expectation for art institutions to address social change and learn from collaborative and self-organized initiatives, art collectives have become more relevant than ever. Here, Susanna Chung and Özge Ersoy, two members of the AAA team, discuss the exhibition’s unfolding and what they have learned in the process.
Özge Ersoy: Imagine: You walk out of the elevator onto the eleventh floor of an office building in one of Hong Kong’s old neighborhoods. Through the windows, you first encounter the city’s landscape. Focusing closer, you see a library, with tens of thousands of books nestled among artworks and archival documents about contemporary art collectives. You walk into a spacious reading room and see a large column with hand-drawn graphics highlighting some key values about the current exhibition. You read: knowledge sharing, learning from friends, and collective sustainability.
These concepts have been central to Asia Art Archive’s group discussions with the Jakarta-based Gudskul, our main collaborator for “The Collective School,” and eight other collectives: ba-bau AIR, Hanoi; BiSCA, Bishkek; Load na Dito and Salikhain Kolektib, Quezon City; Omnispace, Bandung; Pangrok Sulap, Sabah; Scutoid Coop, Kaohsiung; and Yayasan Tonjo Foundation, Yogyakarta. 1 Together, we asked: How can we shift the focus of art history from individual artists to communities? How do artists learn from each other outside of formal education and through collectives?
I’ve been excited about our collaboration with Gudskul, especially because they run a grassroots school for other collectives. For us, Gudskul’s model articulates a bold proposition about existing art-educational models: Art schools are often geared toward individual mastery, skill refinement, and career-oriented networking. In contrast, students at Gudskul are already members of existing collectives. They join other collectives to study historical precedents, discuss collective working models, and develop exhibitions and projects together. Eventually participants work as a collective of collectives.
Gudskul, Temu Wall, 2022. Wall graphic with Gudskul, Veranda Talk, video. Installation view, “The Collective School,” CCG Library, Asia Art Archive, October 3, 2022–April 1, 2023. Photo: South Ho.
Susanna Chung: After we invited Gudskul to collaborate on “The Collective School,” they asked us to contribute to their study program. We joined Batch 4, the program’s fourth year, to develop it together with Gudskul and the cohort. While Batch 1 to Batch 3 were held at Gudskul’s campus, where collectives lived and studied together, Batch 4 was held completely online due to the pandemic. Collectives emerge in response to their unique contexts, and while many of them share ideas on the sustainability of collectives and the creation of education platforms, they respond to their contexts with different artistic practices. Becoming more adaptive and responsive to current events, Gudskul engendered new possibilities by connecting beyond Indonesia. As part of this unprecedented Batch, we were able to share and learn about different contexts in which collectivity persists.
Through four seminars, we introduced AAA’s extensive research on art pedagogies in relation to the development of contemporary art across Asia. After sharing case studies from China, India, the Philippines, and Thailand, we invited each collective to focus on one historical collective that most resonated. 2 Those who shared similar interests formed a group, which our researchers joined to exchange ideas, answer questions, and provide materials to inspire the collectives’ artworks. Our team crafted the exhibition narrative and display ideas only after all the works were finalized. All decisions were made in group discussions.
ÖE: The circular model of working diverges from our usual ways of organizing projects, which are often linear and entail a clear division of work. It’s refreshing. I would like to highlight an artwork here: In the middle of the library, we have a one-meter-high fire sculpture made by Quezon City–based collective Load na Dito. It is placed on top of a table covered with the reproduction of a black-and-white photograph depicting a burning action by Xiamen Dada, an art collective known for their radical performances critiquing art institutions in China in the late 1980s. This sculpture is further juxtaposed with a video documentary showing the creation of a four-meter-high effigy for a street demonstration by a group of collectives from Quezon City. Here, Load na Dito proposes the act of burning as a symbol of change and regeneration, a metaphor of collective actions that challenge institutions. By showing their connections with other collectives—both past and present—Load na Dito pays tribute to the legacy of activism of collectives and carries the torch forward.
Load na Dito, Mad in Malacañang, 2022. Video, sculpture, and acrylic on cardboard. Installation view, “The Collective School,” CCG Library, Asia Art Archive, October 3, 2022–April 1, 2023. Photo: South Ho.
SC: Another compelling contribution is one between Pangrok Sulap and Salikhain Kolektib. They both responded to Womanifesto, a feminist art collective and biennial program in Thailand that was most active from the mid-1990s to the mid-2000s.
Pangrok Sulap uses woodcut print as their medium to empower rural communities. Depicting key moments in Womanifesto’s history, their work illustrates the solidarity among women artists and local craftspeople, prompting reflections about the role of artists as custodians of traditional cultural knowledge.
Salikhain Kolektib arranges archival materials about Womanifesto and their own collective chronologically. In the spirit of collaboration, Salikhain Kolektib joined Pangrok Sulap in creating a mirror display box. The mirroring effect melds the two collectives’ works in a fascinating way: the reverse of Pangrok Sulap’s print, featuring a protest for gender equality, can only be seen through Salikhain Kolektib’s artwork. Conversely, the partial reflections of materials through angled mirror slabs disrupt the chronological timeline of the latter’s installation. Rejecting the linearity and singularity of time and place, both collectives’ works invite us to think about sustainability, adaptability, and survival—common foundational concerns of contemporary art collectives.
Salikhain Kolektib, Manifesting (In)constancy, 2022. Mixed-media installation; Pangrok Sulap, The Flower of the Nation, 2022. Woodblock print book. Installation view, “The Collective School,” CCG Library, Asia Art Archive, October 3, 2022–April 1, 2023. Photo: South Ho.
ÖE: It’s crucial that Gudskul, Batch 4, and our team discussed not only the potentials of working together but also the challenges and even limitations.
ba-bau AIR created an interactive jenga installation that materializes these conditions. Each hardwood block features terms from three texts related to Black Artists of Asia, a collective that initiated VIVA ExCon in the early 1990s. VIVA ExCon is the longest-running artist-led biennial in the Philippines, and this is another example of a contemporary collective revisiting art-historical documents and art actions in the region from the 1980s and 1990s.
As you begin building with the blocks, free associative readings about resilience and survival emerge. However, a jenga tower will eventually collapse, pointing to the tensions between construction and deconstruction. Yet when we think about the work not as a competition but as a cooperative game, the results become less finite. Your collective work might sometimes feel unstable, but the intention is to keep building together. Even if or when it collapses, other chances of regeneration will emerge.
ba-bau AIR, Building a VIVA ExCon, 2022. Wood blocks. Installation view, “The Collective School,” CCG Library, Asia Art Archive, October 3, 2022–April 1, 2023. Photo: South Ho.
SC: The fluidity of art collectives, as showcased by “The Collective School,” inspires the work we do. An archive is a mobile being, constantly rethinking its positioning and priorities through connecting with artists and collectives.
Their ideas shape our research, programs, and the sites we inhabit. “The Collective School,” for instance, has made us reflect on our long-term interest in pedagogy as a site where modern and contemporary art histories of the region have been written. Beyond the role of art school, this project has also encouraged us to generate new questions about artist-led models of education and alternative pedagogies. Apart from learning in schools, artists also learn from their peers. Collectives can serve as a continuous learning platform for those who have completed art school, as well as those who have not attended art school.
ÖE: One important takeaway from this exploration of how art collectives learn and educate is their insistence on play. It has inspired new programs, such as “Assemblage at AAA,” a durational performance by Hong Kong–based collective Floating Projects. For two days in a row, members brought in found materials as well as items from our library and office and from their own space, and began creating.
I immediately think back to a conversation with Floating Projects, where member Wong Chun-hoi said, “We should be in the same space and play together, instead of talking about what we do and how we do it.”
In the performance, the space of the archive was activated by sharing and collective action. One artist assembled a chess-like game, another few built a sculpture with shredded paper of the collective’s confidential documents, while some others made music and did automatic writing. Anyone in the library was invited to join.
SC: This collective model of learning also helped me rethink our educator programs. Since 2013, we have been organizing the annual Teaching Labs, a professional development series for teachers, each year focusing on a theme that is relevant to contemporary art and education, with this year’s being art collectives.
Working with Gudskul taught me that “art collectives” is not simply a “theme” for study but a model of learning. It inspired me to experiment with a new program, “Knowledge Kitchen,” where ten artists and ten educators gather for six hours each month to engage with creative exercises, games, chats, dinners, and sharing sessions by guest artists. We would like to use this process to practice and experiment with new models of learning. Our goal is to explore how teachers and artists can co-learn, co-create, and co-work together.
Arts programming, like formal education, often transmits knowledge one way; artists or teachers unilaterally impart their knowledge and experience to an audience. This program seeks to cultivate a more open and equal environment for knowledge exchange. We want to link artists’ unique abilities to interpret the world with educators’ intimate understanding of classroom settings. It’s exciting to see what comes out of this. Who knows? Maybe self-organized collaborative projects, lifelong friendships, and more. Our hope is that through this exploration, teachers and artists will reconsider their relationships with students and audiences in various educational and artistic settings, and engage with new imaginations for the future.
“Teaching Lab: Art between the Individual and the Collective,” Asia Art Archive, February 18, 2023. Courtesy of Asia Art Archive.
ÖE: Yes, we hope to move away from hierarchical ways of knowledge sharing. Apart from “Assemblage at AAA” and “Knowledge Kitchen,” we also hosted a live-streamed cooperative board game called “Speculative Collective.” Rather than inviting Gudskul and the eight collectives to present a talk, we asked them to show us what they cared about through playing. By responding to a series of challenge cards and drafting solutions, they revealed how they approach resource-sharing and collective decision-making. We wanted our audience to engage with—not to be told about—the exhibition.
SC: It’s important to us that this exhibition is the inaugural one of our newly renovated library. We have built a reading room in the center of the library, creating a space for co-working and co-learning, which also serves as a social space for discussion and learning from one another. Working with art collectives across Asia has not only helped us reorient the direction of our programming but has also allowed us to see the necessity and urgency of collectivity here in Hong Kong. We’ve deepened ties with our local partners Floating Projects and Rooftop Institute, whose practices revolve around alternative learning models. This is our first time studying the topic of collectives so closely, and the new library reflects who we are in the spatial sense. Since the beginning, we did not want the library to be a static collection, but rather a place to open up discussion. The study of collectives has made us realize that we share many values with Gudskul, such as learning from friends, engaging in artistic conversations, sharing knowledge, exploring the ecosystem, caring about sustainability, being speculative, and making friends, which are all essential for archive building.
A series of programs at the library resulted from organic discussions with these collectives. In particular, Hong Kong Conversations brought together different generations of artists and cultural workers to discuss historical and contemporary conditions that make collective work necessary in the city. The first talk gathered members from eight Hong Kong collectives founded in the 1990s—Southern Artists Salon, Green Wave Art, The Originals, Epical Chamber, NUX, Community Museum Project, Your Ears Covered, and Kultkuli—followed by three younger collectives—Black Window, Floating Projects, and Popo-Post Art Group. For me, it was a historical moment to see different generations of collectives in the same room, listening to and learning from each other.
“Hong Kong Conversations 2022: The Collective School,” Asia Art Archive, November 26, 2022. Photo: South Ho.
ÖE: “The Collective School” is an example of how we see archives as social spaces to bring people together, to exchange knowledge, and to connect regional and local contexts. Some consider archives depositories that do not have to interpret or display their holdings. For us, artistic collaborations, including the ones developed from “The Collective School,” are crucial to challenge this view.
Our collaboration with Gudskul and eight other collectives taught me to insist on using exhibitions and programs as research as well as pedagogical tools. The project rearticulates our understanding of art history, one that prioritizes relationships and communities over individuals and singular artworks.
As part of “Assemblage at AAA,” here is an excerpt from the automatic writing of Linda Lai from Floating Projects: “A fresh new library surrounded by chaos and calm before a tempest. Free conversations absolutely free and automatic and without a frame from a handful of frames and many breakable frames.” 3 This is how I would like to imagine our library—a site for artistic intervention and knowledge via the engendering of fragments, play, and free associations, whether they are verbal, sculptural, or textual.
Notes
1. We are also grateful to our local Hong Kong partners Floating Projects and Rooftop Institute.
2. The case studies include the Stars Art Group, Xiamen Dada, and the New Measurement Group in China; Autonomous Women’s Movement in India; Black Artists of Asia in the Philippines; and Womanifesto in Thailand.
3 See →.
2 notes
·
View notes
Text
Dear Indonesiaku di Masa Depan
Aku menulis ini kurang lebih lima tahun lalu. Di Agustus 2018. Aku ingat, ini kutulis beberapa malam sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia tahun itu. Entah kenapa aku mencoba membawakannya dengan beberapa sudut pandang. Pihak yang kuajak bercakap juga seolah kubuat beberapa.
Tahun itu tahun yang sangat penuh padahal bulannya saja belum genap 12. Baru Agustus. Di sela beberapa kegiatan kampus yang mana cukup menjadi momok di awal semester ganjil, sebut saja kaderisasi - bahasa lebih halusnya ospek. Bukan sebagai terkader, melainkan yang memelonco. Baru saja aku pulang dari liburan semester 4-ku. Sepekan pertama sibuk KRS-an, paralel dengan kegiatan malam yang cukup menyita pikiranku yang dulu amat mudah lelah - sampai sekarang juga kayanya masih. Pulang malam. Jenuh. Sambil tiduran menatap layar HP yang kuingat juga baru kubeli pakai uang beasiswa. Berharap jadi obat tidur, tapi makin lama makin asik dan tahu-tahu sudah berparagraf-paragraf. Tak lama kolase ini mengendap di Google Keep. Aku juga perlu mencerna beberapa kehebohan belakangan itu. Aku tak ingin salah tangkap berita heboh kala itu. Kubaca beberapa sumber. Eh, ternyata justru semakin dikulik semakin banyak fakta yang membuat nalar luguku waktu itu semakin mind-blown. Ada banyak yang positif, tapi yang konyol juga lebih banyak. Tak serta merta aku membuatnya selayaknya bentuk desperation. Tetap ada harapan besar untuk tanah yang seluruh bagian dari ragaku ini terbangun darinya.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Bagaimana kabar dirimu? Kuharap kau lebih baik dari dirimu saat ini. Jauh-jauh di sini aku mengirim narasi hanya untuk memberi reportase tentangmu di masa ini. Aku juga punya cerita tentang baik dan buruknya dirimu. Tentang apapun yang sudah diupayakan manusia-manusiamu. Tentang segala hasil kerja mereka. Bahkan tentang perilaku lucu mereka bermain-main dengan dirimu. Di akhir, kemudian aku hanya ingin mengungkapkan curahan harapan kepada sesamaku di negeriku saat ini. Tentang dambaan setiap insan di negeri ini menurut akal sehat dan kerja logika seharusnya.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Dirimu di saat ini sangatlah kaya. Semuanya tak mungkin tak bisa kami dapati di sini, karena alammu menyediakannya. Segala hal bisa dengan mudah kami peroleh, karena alammu memberi kami semuanya. Dan kabar gembira baru saja kami dapat. Bahwasanya salah satu ladang mineral terbesar di dunia yang ada di paling timur negeri ini bisa secara mayoritas kami kuasai. Setelah sebelumnya secara sangat menyedihkan kami dibodohi selama puluhan tahun dengan diberi bagian tak lebih dari sepersepuluh pendapatan. Kabar gembira, bahwasanya dirimu saat ini sudah berani menggertak dunia.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Manusia-manusiamu saat ini sudah sadar akan persaingan dengan dunia luar. Banyak di antaranya berhasil memuncaki tangga persaingan dalam berbagai bidang. Hal ini tentu baik untukmu. Ditambah di setiap perlombaan manusia-manusiamu sering bersatu padu, mewujudkan dukungan semaksimal mungkin hanya untuk dirimu. Namun, di saat satu sisi orang sangat keras dalam membela dirimu, di sisi lain ketika dalam kekalahan tak sedikit dan tak jarang hujatan langsung menghujan kepada mereka yang sudah lelah berjuang.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Aku ingin pula bercerita tentang lucunya dirimu saat ini. Beberapa waktu lalu, aku mendapatkan hiburan lucu yang dibawakan oleh beberapa orang yang mencoba melawak. Kisahnya tentang jeruji besi. Aku terbahak-bahak menyaksikan tingkah mereka. Mereka yang sedang dalam masa hukuman malah mencoba rileks menikmati masa liburan mereka di bui. Sel penjara mereka sulap menjadi ruangan penuh fasilitas mewah. Kau pasti merasa bingung, bagaimana bisa? Ini dia hal yang paling lucunya. Mereka mengorbankan sejumlah kecil dana pribadi untuk bisa memperoleh fasilitas tersebut. Mereka membayar ketua Lapas untuk mendapatkan semua itu.
Pejabat merupakan pihak yang rawan untuk diperdaya perilaku korupsi. Statistik mencatat dalam empat tahun terakhir sebanyak 362 kasus korupsi menggeret jajaran elit pemerintahan maupun legislatif dengan tren naik setiap tahunnya. Tindakannya bermacam-macam dengan tindak dominan adalah perilaku penyuapan. Dan angka ini bukan angka kritisnya. Masih banyak di bawah permukaan yang belum terkuak. Ditilik dari jumlah antara yang patuh dan yang tidak patuh untuk melaporkan kekayaannya, perbandingan si tidak patuh adalah 1:2 jumlah patuh.
Negeriku ini memang lucu. Entah bagaimana bisa predikat negara hukum bisa terus disandangnya. Padahal sudah jelas kenyataan yang ada menunjukkan hukum yang sebegitu konyolnya banyak dilanggar oleh oknum yang berada di lingkar paham hukum. Sebut saja Ketua MK, Ketua DPR RI dan Menteri, banyak yang menjadi bagian dari kegiatan haram ini.
Entah bagaimana lagi seharusnya kami bereaksi, antara sedih, kecewa, marah, atau malah merasa terhibur karena masih tidak percaya bahwa ini semua tak ubahnya drama yang kami sering saksikan di layar lebar.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Beberapa waktu lalu, kami dihadapkan pada suatu bencana dahsyat. Gempa bumi yang mengejutkan dunia. Begitu hebat dampaknya. Kurasa itu teguran bagi kami karena tak bisa dengan baik menjaga bumimu.
Banjir dan longsor pun sering kami dapati. Dan tak bisa dipungkiri memang itu hasil dari apa yang telah manusiamu perbuat. Alammu yang semakin miris teriris dengan kenyataan bahwa kaulah salah satu yang paling kotor sedunia.
Lautmu penuh sampah. Akibat konsumtifnya manusia-manusiamu, 187,2 juta ton sampah terbuang tiap tahunnya. Dan sebagian besar yang seharusnya bisa dipergunakan kembali, terbuang tak berharga.
Udaramu penuh polutan. Kau di peringkat ke-8 dari 200an negara di dunia sebagai yang paling mematikan berkontribusi polusi untuk udara bumimu. Tak asing bisa disaksikan di langit-langit pusat peradabanmu penuh asap hitam yang gelap bergumul tak beda dengan mendung.
Tanahmu semakin gersang tanpa hijau pepohonan. Tamaknya manusiamu menghanguskan bumimu. Deforestasi untuk kepentingan bersama katanya. Seakan tak sadar bahwa mereka telah membakar paru-paru nafas dunia. Mereka juga menyebabkan bahaya bagi diri mereka sendiri.
Bumimu kini sudah renta. Segala upaya sepatutnya untuk memeliharanya, bukan melukainya. Ya, kuakui kami lalai dan durhaka.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Tercatat pendapatan per kapita pendudukmu adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Seharusnya ini jadi kabar gembira karena hal ini menjadi indikator manusiamu hidup sejahtera. Namun, mengagetkan saat fakta mengatakan bahwa hampir seperlima dari total manusia-manusiamu adalah miskin. Jumlah yang sangat besar tentunya dari seperempat miliar penghuni Sabang-Merauke. Dan ini mengungkap kenyataan bahwa kau adalah salah satu negara dengan penduduk kaya sekaligus miskin di dunia dengan selisih yang sangat kentara. Satu hal yang sangat keras menghabisi stereotipe bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk yang peduli satu sama lain.
Dear, Indonesiaku di masa depan,
Cukup banyak sudah kuceritakan, apa-apa yang belakangan memenuhi kepalaku. Aku hanya mau mengeluarkan semua isi kepala ini. Kegelisahanku. Kekecewaanku. Kekhawatiranku. Aku sudah lemas menghimpun kemuakan di dalam dada yang sering sesak menghimpit jantungku. Ku harap kau tak masalah apabila ku angkat masa lalumu.
Sekarang aku ingin mengungkapkan curahan rasaku tentangmu kepada kawan-kawanku. Impian dan pengharapan.
Dan izinkan aku untuk mengganti lawan bicaraku menjadi teruntuk kawanku semua.
***
Kawanku,
Negeri ini bukan lagi muda. Hanyakah kita dengan begitu konyolnya berdiam diri membiarkannya menua dalam ketertinggalan? Begitu sesak dada ini ketika negara lain memandang rendah negara besar ini. Eyang kita tidak menyandangkan predikat ‘Indonesia adalah Bangsa yang Besar’hanya untuk sekedar menjadi klausa yang begitu jumawa diucap kosong si omong besar maha benar, manusia Indonesia, yang tidak mau bersaing dan malahan hanya gemar berkomentar.
Negara ini bukan lagi muda. Sadarkah kita, sudah bersiap mewariskan apa untuk cucu cicit kita? Hanyakah tragedi menyedihkan betapa gilanya negeri ini dibodohi orang-orangnya? Hanyakah elegi ngeri yang siap disambut tawaan sinis oleh bergenerasi-generasi setelah kita?
Namun negeri ini belum juga tua. Dan akankah hanya berusia tak lama lagi? Banyak orang di luar sana memberi gelar ‘Indonesia calon hancur’. Begitu banyak fakta yang menohok naluri seorang pribumi seharusnya. Namun, seakan praktis terbagi dua jalan orang indonesia menanggapinya. Tak semestinya kita acuh, karena kita tahu, hancurnya negeri ini adalah karena kita dan untuk kita. Dosa sekaligus balasan yang tak seorang pun menginginkannya. Dan bukan seharusnya kita menyela semua kata-kata itu, mendeklarasikan pembelaan soal negeri yang besar ini akan terus abadi. Menyalahkan semua fakta yang sudah jelas ada. Menebas kenyataan dengan opini dan argumen alibi. Bukan diriku hendak setuju dengan itu semua, tapi ku sangat khawatir dan hanya berwaspada.
Kawanku,
Memang bangsa ini tidak sempurna. Banyak celah yang pantas untuk dicela. Satu masalah besar ada pada kita. Ya. Saya, kamu, dia, mereka — kita semua. Laku kita memang mungkin tidak sesuai. Sekali lagi, bangsa ini memang tidak sempurna karena begitu juga manusia-manusianya yang jauh dari sempurna.
Mari melangkah bersama kawan, dengan tatapan optimis penuh pengharapan. Tidaklah perlu mengingat buruk masa lalu, meratapi ataupun memaki diri sendiri. Memang tidak mulus jalan setapak di belakang. Namun, sayang kiranya waktu untuk bangkit sekedar kita gunakan untuk sibuk mengungkit. Yang lalu, biarlah masa lalu. Tetaplah menjadi sebatas bahan pembelajar, bukan pemberat untuk mimpi-mimpi besar.
Begitu banyak hal buruk yang kita lakukan selama ini. Tingkah lucu begitu konyol kita lakukan. Tingkah nista yang tak bisa untuk mudah dimaafkan. Namun, tak serta merta seharusnya, kita buta dari semua kelebihan yang kita punya.
Tujuh puluh tiga tahun,
menjadi saksi manusia-manusia Indonesia yang telah membanggakan negeri dengan handal bersaing dan meneriakkan, “Inilah kami, bangsa yang tak bisa kalian remehkan”;
Tujuh puluh tiga tahun,
menjadi saksi betapa masifnya pembangunan di negeri ini. Menara menjulang mencakar langit menyimbol cakar garuda. Pembangunan dalam berbagai lini semakin pesat melesat bersama sayap sang garuda. Semua sibuk saling membahu demi satu tuju : tegak dengan gagahnya garudaku.
Tujuh puluh tiga tahun,
Sang waktu ikut berbangga — memang kaya negeri ini –Dari Sabang hingga Merauke, bak zamrud ditebar di kilau samudera biru, dengan segala keberhargaan yang dibawa, dengan arif manusianya menjaga, Apapun yang dimau kita, dari bumi bisa kita memperolehnya.
Tujuh puluh tiga tahun,
Sang waktu pun heran menyaksikan — Oh inilah dia, negeri dongeng di dunia nyata. Dengan indahnya penyair menyiratkan — tongkat, kayu dan batu pun bisa berubah tanaman.
Soekarno-Hatta berdiri melantangkan kepada dunia deklarasi menuju bangsa merdeka bukan mudah. Tujuh puluh tiga tahun lalu rumput dan pohon berayun, bangku dan pena ikut merembug, serta kertas dan tinta turut bangga, ikut menyaksikan dengan singkatnya waktu sebuah momen besar dalam sejarah, bahwa inilah Indonesia. Adalah bangsa yang patut dipertimbangkan. Tak butuh waktu lama, dengan sigapnya melihat kesempatan yang ada, sekelompok pemuda dan orang tua menjadi wakil bangsa yang menunjukkan solid dan mantapnya persatuan kala itu. Beda pendapat tak menjadi halangan untuk mencapai tahap akhir proklamasi kemerdekaan.
Sebagai epilog, dari hati yang paling dalam, dengan air mata menggenang, dengan merah putih tergenggam, dengan berakhirnya alunan Tanah Airku,
tanahku yang kucintai, engkau kuhargai. ~
Terimakasih Indonesiaku.
Sumber data :
acch.kpk.go.id
bps.go.id
health.detik.com
Publication of Environment Statistics of Indonesia
📝 Bandung, Agustus 2018
3 notes
·
View notes
Text
/ Mencintaimu Dengan Utuh /
Minggu pagi, tepatnya pukul lima lewat setengah. Aku bergegas mengemas diriku dari tidur semalam untuk bergegas ke mobil favoritku yang segera ingin lepas landas menuju ke bandara untuk menemui kekasihku, hanum . Aku tau, tak mudah untuk mengumpulkan nyawa saat baru saja terbangun dari tempat tidur. Tapi untuk kesekian kalinya, aku selalu menunggu weekend untuk bertemu dengannya. Ya.. benar saja, kami memang senang menghabiskan waktu hanya berdua. Kalau kata ibuku ‘ yang lain mah ngontrakk’ hahaha, tapi benar juga.
Hanum, dia kekasihku.
Hampir sewindu sudah kami saling mengenal, entah di tahun yang ke berapa kami saling jatuh suka tapi yang jelas. Aku menyukai segala wujud tentangnya.
Hanum..
Aku mencintaimu dari warna bola matamu yang coklat, lalu kau sulap jadi abu-abu sedikit pekat.
Aku mencintaimu sejak kita masih kurus kering, hingga sedikit memadat.
Aku mencintaimu saat botol minum yang kau bawa, selalu berubah wujud warnanya.
Aku mencintaimu sampai jam tanganku memudar untuk berkarat
Aku mencintaimu dari buku coklat favoritku yang kutulis tebal, dan tidak lain isinya pasti tentangmu.
Selesai mandi, bergaya didepan kaca, lalu memakai parfum favorit yang hanum suka. ( lima tahun sudah aku tidak mengganti wangi parfum ini ) untuk menggantinya saja aku tak berniat, karena hanum menyukainya. Dan, akupun sama. Aku bukan tipikal yang mudah berganti-ganti. Makanya saat aku menjalankan suatu hubungan bisa lama begini. Kuambil ponsel genggamku, mengabarimu karena aku akan menuju bandara .
Baiklah, kekasihku.. aku menjemputmuuu ( sahutku, dalam voicenote WhatsApp) di tambah lagi dengan foto gemasku takut-takut kau lupa rupaku. Hahaha
Aneh, padahal baru tiga hari aku ditinggal hanum ke Bali karena audit dari kantornya. Tapi aku sangat rindu padanya.
Pas sudah pukul enam, lewat empat puluh lima menit. Aku sampai di pintu bandara Soekarno Hatta. Hanum lending pukul tujuh lima belas. Sisa waktuku menunggu hanum tiba, aku ingin breakfast dulu sebentar, sekalian membelikan hanum makanan untuk dimakan di mobil saja nanti bersamaku.
Aku duduk di sudut biasa. Tempatku menunggunya dengan secangkir teh hangat, sepiring makanan yang berisikan telur, sosis, roti, sayuran, keju dan tak lupa saus tomat. Aku lupa mengabarinya, sebentar.. aku memberitahunya dulu.
Aku segera mengambil ponsel di tas kecilku yang hanya berisikan ponsel, debit dan parfum. Mengabarinya hanya lewat ketikan di WhatsApp saja. ‘ sayang.. aku sudah ada di resto biasa ya, aku lagi sarapan sebentar.. lima menit lagi, aku ke sana ya cintakuuu. Love youuu. ’
Aku memang tak terlalu nyaman dengan keramaian, untung saja resto langganan kami kali ini tidak begitu ramai. Aku lanjut memakan makananku, sembari melahapnya aku mendengarkan lagu di EarPods dengan playlist yang tak pernah bosan kudengar, karya Sal Priadi . ‘ kita usahakan, rumah itu .. dari depan akan tampak sederhana.. tapi kebunnya luas, tanamannya mewah megah’
Lirik-lirik lagunya, menenangkan. Kakiku pun mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan iramanya, tak lama.. ada pesan masuk dengan nama kontak, Kekasihku Hanum.
‘ sayang, kamu di resto aja ya.. aku yang kesana, ini dekat pintu boarding aku sudah jalan menujumu. Love youu
Aku tersenyum, membaca kalimat terakhir itu. ‘ okee sayang, hati-hati luvvv. Aku tunggu di depan pintu resto yaa, sebentaaarr’
Segera aku minum, untuk menyambutnya di pintu depan. padahal makananku belum habis tapi rinduku tak bisa ditepis. Aku sudah berdiri membelakangi pintu masuk resto yang kami maksud, berjalaran kesana kemari dan tak lama ada yang menepuk pundak kananku. Aku lupa, sedari tadi aku masih menggunakan EarPods . Aku terkejut, sontak aku membalikkan tubuhku untuk melihat siapa yang menepuk pundakku itu.
‘Sayang, tuhkannnn. Udah sering aku bilang jangan dengar laguuu kalo lagi nungguin orang, dari tadi aku manggilin kamu tauuu’
Nafasku berhembus, sedikit lega karena yang menepuk tadi ternyata hanum. Aku tak tau apa yang sedang ia guamkan, tapi bibirnya manis sekali. Wajahnya yang sedikit cemberut sambil menggenggam ransel di pundaknya’ jujur gemas seklaiiiii.
‘Yaampun sayang, maaf yaa tadi aku dengar laguuu. Yuk yuk kita masuk dan makan dulu, nii pagi pagi biasanya lapar kan makanya wajahnya di tekuk gituuu’ aku merangkulnya, membawakan tas yang tak seberapa berat itu. Entah, aku suka dengannya yang memang simpel. Kami jalan ke meja tempat dimana aku meninggalkan sarapanku tadi.
‘ kamu mau aku ambilin teh lagi gak? Rayuku,membujuknya ..
Ia hanya menggelengkan kepalanya, sedikit senyum tapi masih diam. Mungkin ingin fokus makan dulu. Aku memperhatikan caranya kesal, lucu. Kutau ia tak bisa kesal padaku, rautnya sungguh menggemaskan. Kulesatkan topi di kepalaku untuk menggodanya yang sedang makan. Tatapannya sinis,tapi senyumnya tak bisa bohong padaku
‘ kalo mau ngambek tu yang bener gitu lho.. mana ada orang ngambek tapi senyum, cantik gitu lagi. Jangan gitu ah, masa baru sampai akunya di cuekin nih ? Sahutku..
‘ siapa yang ngambek, orang aku lagi makan . Wleee’
Aku membersihkan saus di bibirnya, tisue ini kalah halus dengan bibir yang ingin kau sapu dengan tisue yang kupegang. ‘Maaf sayang, sebentar ku bersihkan saus di bibirmu’ senyuman kami membalas, wajahnya sedikit mendongak ‘ terima kasih ganteng’ ucapnya padaku.
‘ Abis ini kita istirahat dulu ya sayang, kasihan kamu capek pasti baru sampai’ nanti siang kita jalan-jalan. Okee ?’ Sahutku sambil mengangkat alis dan kedua jemariku
‘ iya sayang, tapi bantuin aku antar laundry dulu yaa biar pas pulang abis jalan sudah selesai laundry nya’ kami mengangguk dan saling sepakat.
Setelah selesai makan, kami pergi ke mobil untuk menuju ke apartemen. Dimobil, Hanum membelikan oleh-oleh untukku. Untuk ibu, adik, seluruh anggota di rumahku. Tak hanya cantik, pintar,baik, dia juga penyayang. Sama sepertiku.
‘ sayang, aku bawakan khusus pie susu kesukaanmu mau dimakan sekarang atau nanti? Aku suapin ya, sambil jalan’ ucap hanum..
‘ boleh sayang, tapi satu aja ya.. aku masih kenyang’ ucapku.
Matanya menatapku, senyumnya meledek. ‘ kita liat saja, benar satu atau satu kotak..’ ujar hanum.
Kasih sayangnya, perhatiannya, tutur katanya, kelembutan hatinya, yang ada pada dirinya. Aku terlanjur jatuh suka padanya, Hanum Ayun Salsabila. Wanita yang telah aku nikahi sejak empat tahun lamanya, sampai detik ini di mataku ialah wanita yang sangat aku cintai setelah ibu. empat tahun menikah, rasanya baru kemarin aku menjabat kedua tangan ayahnya untuk melanjutkan hubungan kami ke akad pernikahan. Ini cerita, dan perjalanan hidup kami.
#5cc #5cc16 #bentangpustaka #cerpencareerclass #writingcareerclass
3 notes
·
View notes
Text
Rasa-rasanya lebih mudah memecahkan soal matematika daripada membongkar intensiku tentang perasaan sukacita acap kali tak sengaja bersandingan dengan dia di meja makan.
Konsepsiku tentang menyantap makanan selama ini hanya sekedar perkara tiga puluh menit mengunyah ditemani lamunan atau rekaman video kucing yang nangkring di halaman depan youtube, tetapi semenjak kamu semuanya menjadi tentang kehausanku akan trivia.
“Napolitan itu, kuncinya ada di saus tomat.” Dia dengan mulutnya yang penuh dan sibuk mengunyah serta merta menjelaskan, dan tetap dilanjutnya pun aku jadi kurang paham dengan cara pengucapannya.
Harus kukatakan seluruh presensinya itu menjadi seperti pertunjukan sulap magis, karena satu jam sebelumnya kami nangkring di ruang tengah menonton Netflix dan satu jam berikutnya hidangan yang dimakan pada series tadi hadir di depan pandanganku.
Dalam rangka menimpali lalu aku meneruskan, “Aneh. Spageti yang kukenal, konsep dasarnya kebanyakan tentang susu dan keju. Mentok-mentok, saus bolognese. Kalau saus—apalagi tomat, rasanya jadi janggal.”
“Makanan itu bukan tentang stereotipe, tapi tentang berkreasi.” Ada dua potong irisan jamur yang berpindah dari piringnya menuju ke piringku. Kelihatannya dia itu serius sekali mentransmigrasikan sang bahan atas dasar pengetahuannya tentang kesukaanku terhadap jamur tanpa harus bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu.
Lalu aku, jadinya hanya manut-manut saja. Keahlianku berputar disekitar berpresensi dan menemani, keahliannya adalah berteman dengan dapur. Peranan itu entah bagaimana konsepsinya bersifat paten.
Saat aku kemudian asyik menggulung-gulung sang pasta diantara garpuku dia kemudian melanjutkan, “Kuning telur juga selalu hilang dari carbonara.”
“Karena dilupakan?”
“Karena stereotipe.”
“Tadi, katamu, bukannya memasak adalah berkreasi?”
“Betul.” Dan sekali lagi, caranya memahamiku terjadi dalam hal-hal kecil seperti garpunya yang menyingkirkan sepotong udang menjauh agar tak sengaja ikut masuk ke dalam suapanku. “Namun berkreasi, bukan berarti melupakan jati diri.”
Kupikir, trivia tentang spageti carbonara otentik yang hanya berdasar pada kuning telur dan keju tanpa krim ataupun susu tidak akan pernah kutemukan kebenarannya kalau aku tidak duduk bersandingan dengannya di meja makan. Seperti napoleon yang paling-paling hanya akan kubeli secara online tanpa pernah mendapatkan ilmu gratis perihal si saus tomat, dan obrolan-obrolan lain yang sebenarnya tak pernah terlintas di kepala sebelumnya.
Jadi kusimpulkan intensiku mungkin adalah tentang belajar. Atau mungkin celotehnya datang dengan sama menyenangkannya seperti kucing-kucing yang biasa kusaksikan.
Apapun itu, aku ingin hal-hal seperti kuning telur agar bisa lebih banyak dilupakan orang.
…karena semakin terlupakan, semakin beragam pula yang bisa dia ceritakan kepadaku.
4 notes
·
View notes
Text
Jualan Bubble Gum? Ide Usaha Minuman yang Bagus, Siapa yang Nggak Suka Bubble Gum? Kamu tau nggak sih, rasa bubble gum yang khas ini punya kekuatan buat bikin banyak orang nostalgia ke masa kecil setiap penikmatnya lho! Rasa manis yang ikonik dan aroma yang menggugah benar-benar bikin nagih. Tapi, sekarang bubble gum nggak cuma populer dalam bentuk permen karet aja, lho! Banyak pengusaha kreatif yang berhasil sulap rasa bubble gum jadi minuman unik yang digemari banyak orang. Nggak heran deh kalau jualan minuman rasa bubble gum bisa jadi ide usaha minuman yang menarik! Buat kamu yang pengen coba, bisa langsung cari bubuk minuman bubble gum dari JBD, nih. Bubuk minuman bubble gum dari JBD ini warnanya bikin mata segar banget dan langsung menarik perhatian dengan tampilan yang eye-catching dan aroma manisnya pasti bikin semua orang inget masa kecil. Sensasi nostalgia ini bakal bikin siapa pun happy dan rileks! Di tengah tren minuman dengan rasa-rasa unik, bubble gum drink ini bisa jadi pilihan yang beda dan fun, guys! Oya, kamu nggak perlu khawatir rasa bubble gum ini bakal gitu-gitu aja. Bubuk minuman bubble gum JBD bisa dikreasikan jadi berbagai menu menarik. Kamu bisa bikin bubble gum milkshake yang creamy dengan campuran susu kental manis dan bubuk bubble gum, atau bubble gum float yang segar dengan soda dan satu scoop es krim vanilla di atasnya. Selain rasanya enak, tampilannya juga Instagrammable banget! Pokoknya cocok banget deh jalanin ide usaha minuman ini! Dengan variasi menu yang beragam, konsumen bakal punya banyak pilihan buat nikmatin rasa bubble gum ini. Modalnya juga nggak terlalu besar, dan pasar minuman unik ini luas banget. Jadi, buat kamu yang lagi nyari ide usaha minuman yang anti-mainstream, bubble gum drink bisa jadi pilihan yang tepat! Yuk, siapin semuanya dengan produk bubuk minuman dari bubuk minuman Jakarta biar usahamu makin mantap untuk disantap!
0 notes
Text
Dedy Corbuzier
Deddy Corbuzier adalah seorang presenter, aktor, komedian, dan pengusaha Indonesia yang sangat terkenal. Lahir dengan nama asli Hendra Saputra pada 28 Desember 1976 di Jakarta, Deddy Corbuzier awalnya dikenal sebagai seorang pesulap (illusionist) sebelum akhirnya meraih popularitas besar sebagai pembawa acara talkshow dan influencer di dunia digital.
1. Karier di Dunia Hiburan
Awal Karier (Pesulap): Deddy Corbuzier pertama kali dikenal publik sebagai pesulap. Ia mulai menekuni dunia sulap sejak usia muda, dan pada tahun 1990-an, Deddy menjadi salah satu pesulap yang cukup populer di Indonesia. Ia dikenal karena trik sulap yang menakjubkan dan penampilannya yang penuh percaya diri.
Karier sebagai Presenter: Deddy Corbuzier semakin dikenal luas ketika ia beralih ke dunia pembawa acara (host). Ia mulai membawakan berbagai acara televisi, namun yang membuatnya benar-benar populer adalah "Hitam Putih", sebuah talkshow yang ia pandu di Trans7. Dalam acara tersebut, Deddy dikenal karena gaya pembawaan yang tegas, cerdas, dan kada
0 notes