#sejuta kisah rumah tangga
Explore tagged Tumblr posts
Text
AKTIVISME DIGITAL DI MEDIA SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER KRITIS ANAK MUDA
Masyarakat pasca-industrial sangat erat dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) yang cukup radikal. Hal ini berimplikasi langsung terhadap dinamika kehidupan masyarakat baik dari aspek sosial, politik, maupun budaya. Media sosial sebagai salah satu hasil dari perkembangannya, di masa pandemi ini bagai menjadi kebutuhan yang krusial bagi keseharian setiap individu di dalam masyarakat. Media sosial yang awalnya terbatas sebagai wadah komunikasi dan hiburan pun sudah melebarkan fungsinya menjadi sebuah wadah kritik bernuansa politis atau kontrol sosial bagi suatu kebijakan publik. Fenomena sosial tersebut dikenal sebagai aktivisme digital. Menurut Mary Joyce, aktivisme digital adalah meluasnya penggunaan teknologi digital dalam kampanye untuk perubahan sosial dan politik. Selaras dengan apa yang juga ditulis oleh Manuel Castell (2010), percepatan arus teknologi informasi terutama pada media sosial telah memberikan sarana yang luas bagi masyarakat untuk mengekspresikan sikap mereka, baik itu dalam bentuk gerakan sosial baru maupun sebagai pengontrol terhadap perilaku pejabat atau politisi. Media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook menjadi platform yang cukup tinggi dilihat dari tingkat penggunaannya pun turut menjadi wadah bagi aktivisme digital itu sendiri.
Mengintip Jatuh Bangun Merry Riana, Motivator Wanita dengan Mimpi Sejuta Dolar
Foto: Foto: linkedin.com/in/merry-riana/
Merry Riana menjadi salah satu motivator wanita yang namanya mulai mencuat sejak sepuluh tahun lalu. Pengusaha dan investor muda ini kerap membagikan kisah sukses dirinya yang membuat takjub banyak orang.
Bagaimanapun, sukses di usia muda memang selalu menarik perhatian siapa saja.
Terlebih lagi bagi anak-anak muda yang masih kerap bergairah, berambisi, dan terus mencari motivasi.
Konon, dalam usia yang tergolong muda atau belum berumur 26 tahun, Merry Riana meraih satu juta dolar pertamanya.
Tentu ini mengagumkan bagi seorang wanita yang benar-benar memulai semuanya dari nol.
Faktanya, dia bukan seseorang yang lahir dari keluarga konglomerat. Itu artinya, pundi-pundi uang yang dia hasilkan memang diperoleh dari hasil kerja kerasnya yang tidak main-main.
Hasilnya, dia mulai dikenal dan membagikan cerita keberhasilannya tersebut melalui berbagai seminar, buku, dan acara televisi.
Bukunya yang berjudul Mimpi Sejuta Dolar menjadi sebuah buku inspiratif dan motivatif.
Tidak hanya tertuang dalam buku, kisah hidupnya yang menarik tersebut juga diangkat menjadi film berjudul Merry Riana.
Hebatnya, film ini kembali sukses dan menjadi salah satu film box office Indonesia pada tahun 2015.
Kini, dia terus mengembangkan bakatnya menjadi salah satu pengusaha, investor, financial planner, motivator, dan content creator / influencer.
Bagaimana kisah sukses, perjalanan hidup, perkembangan bisnis, dan target ke depan dari seorang Merry Riana?
Profil Merry Riana
Foto: Profil Merry Riana (https://www.instagram.com/p/Ca1FrRCNSgC/?utm_source=ig_web_copy_link)
Foto: Instagram / Merry Riana
Nama Lengkap : Merry Riana
Lahir : Jakarta, 29 Mei 1980
Orang Tua : Ir. Suanto Sosrosaputro (ayah), Lynda Sanian (ibu)
Saudara. : Aris, Erick
Suami : Alva Christopher Tjenderasa
Anak : Alvernia Mary Liu
Buku : Mimpi Sejuta Dolar
Merry Riana yang menjadi salah satu entrepreneur dan motivator wanita tersukses di Asia, lahir pada tanggal 29 Mei 1980 di Jakarta.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wanita ini besar dalam keluarga yang sederhana.
Orang tua anak sulung dari tiga bersaudara ini adalah seorang pengusaha dan ibu rumah tangga. Perjalanan suksesnya dimulai di Singapura saat krisis dan kerusuhan di Jakarta tahun 1998.
Dikutip dari last.fm, Merry Riana kuliah di jurusan Teknik Elektro dan Elektronika (EEE), Nanyang Technological University (NTU) pada tahun 1998.
Bukan tanpa tujuan, menurutnya jurusan tersebut menjadi jurusan yang paling masuk akal baginya saat itu, yaitu menjadi insinyurMerry mulai mencoba bisnisnya mencoba dari awal dengan serius mempelajari seluk beluk pasar dari industri yang dia lirik.
Ketika merasa sudah siap, dia memutuskan untuk menekuni industri perencanaan keuangan dan hal itu dia mulai saat lulus kuliah.
Merry lalu mulai sukses sebagai Konsultan Keuangan yang menjual produk keuangan seperti asuransi dan perbankan, kartu kredit, deposito, dan tabungan.
Pada salah satu perusahaan asuransi, Merry Riana mendapat penghargaan Top New Advisor Award yang didambakan banyak orang yang menekuni profesi tersebut.
Pada tahun 2004, prestasi gemilang Merry terlihat saat dia dipromosikan sebagai manajer. Pada saat yang sama, dia memulai bisnisnya sendiri dengan mendirikan Merry Riana Organization (MRO).
Pada tahun 2005, Merry menerima penghargaan sebagai penghargaan Top Agency of the Year dan Top Rookie Award Agency.
Hingga saat ini, Merry telah memotivasi dan melatih ribuan profesional dan eksekutif di bidang penjualan, pemasaran, dan motivasi.
Saat ini di bawah Merry Riana Group, terdapat beberapa bisnis yang dia kerjakan.
Di bidang Pendidikan, ada Merry Riana Learning Centre, dengan 9 cabangnya di seluruh Indonesia, adalah penyedia Pengembangan Pribadi terkemuka, yang fokus pada Anak & Remaja.
Selain itu, ia juga mendirikan Merry Riana Life Academy dan Merry Riana Digital Learning.
Di F&B, Merry Riana juga memulai Kopi M yang kini telah memiliki lebih dari 50 cabang di berbagai kota di Indonesia.
Selain itu, Merry Riana juga memberikan inspirasi dan motivasi setiap hari kepada jutaan pelanggan dan pengikutnya di YouTube, Instagram, Facebook, dan Twitter.
Potret dan Fakta Merry Riana
Foto: Fakta Merry Riana (https://www.instagram.com/p/CaQxWHLF50u/?utm_source=ig_web_copy_link)
Foto: Instagram / Merry Riana
Kisah sukses Merry yang berliku adalah fakta bahwa keberhasilan tidak bisa didapatkan dengan instan.
Jatuh bangun adalah kata-kata yang pantas untuk mewakili bagaimana Merry memotivasi dirinya sendiri.
1. Pernah Bercita-cita Kuliah di Universitas Trisakti
Cita-citanya adalah kuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti. Keinginan itu pupus karena kejadian krisis 1998.
Tak jadi ke Trisakti, Merry Riana dikirim ayahnya untuk bersekolah di Singapura.
Saat itu, Singapura merupakan pilihan yang paling masuk akal karena relatif dekat, lingkungan aman, dan sistem pendidikan yang baik.
2. Bersekolah dengan Uang Beasiswa Pinjaman
Namun, karena dia ingin membantu ayahnya dalam menjalankan bisnis, Merry belajar ke luar negeri tanpa persiapan yang memadai untuk belajar di luar negeri.
Merry sempat gagal dalam ujian bahasa Inggris di Nanyang Technological University (NTU).
Bukan hanya tanpa persiapan mental, dia juga tanpa persiapan dana simpanan yang memadai.
Akhirnya Merry meminjam dana beasiswa dari Bank of Singapore Government sebesar US$40,000 dan harus dilunasi setelah ia lulus kuliah dan bekerja.
Namun, dalam enam bulan pertama karirnya sebagai financial planner, Merry berhasil melunasi hutangnya tersebut.
3. Hidup Hemat
Untuk berhemat uang saat kuliah di Singapura, Merry cuma mangantungi US$10 selama seminggu.
Merry menyiasatinya dengan hanya makan mie instan di pagi hari, makan siang dengan 2 potong roti tanpa mentega, ikut seminar, dan arisan di malam hari agar dapat makan gratis.
Bahkan untuk minumpun dia ambil dari kran air/kran air di kampus. Hal itu berangsur-angsur hampir setiap hari di tahun pertamanya kuliah.
4. Kerja Sana — Sini Cari Uang Tambahan
Hidup yang sangat memprihatinkan menganjurkan mahasiswa perantau seperti Merry, untuk mencari penghasilan sampingan.
Dia bekerja dari mulai membagikan pamflet di jalan, penjaga toko bunga, dan pramusaji di hotel Banquet.
5. Membangun Mimpi
Ketika menyadari hidupnya tidak berubah bahkan setelah memasuki tahun kedua kuliah, Merry Riana mulai membangun mimpi.
Dia membuat resolusi ketika ulang tahun ke 20 dengan berpikir harus memiliki kebebasan finansial sebelum usia 30 tahun.
6. Memulai Karier Sebagai Financial Planner dengan Tantangan
Merry berpikir profesi sebagai financial planner adalah salah satu hal yang akan memungkinkan dirinya mewujudkan mimpi dalam waktu yang relatif singkat.
Saat Merry memulai kariernya sebagai penasihat keuangan, ia harus bergulat dengan sejumlah tantangan dan rintangan.
Orang tua, dosen, dan teman-temannya tidak setuju dengan keputusan Merry.
Merry saat itu tidak memiliki kemampuan berbahasa Mandarin ketika lebih dari separuh penduduk Singapura adalah etnis Tionghoa.
Sebagai pendatang asing di sana, pengalaman dan relasinya sangat terbatas.
7. Wanita 1 Juta Dollar Singapura
Saat awal dia bekerja sebagai financial planner, Merry sudah berpenghasilan SGD 220.000.
Setahun berikutnya, yaitu pada tahun 2004. Setelah itu dia mendirikan perusahaan Merry Riana Organization (MRO) dan dua tahun berikutnya di usia 26 tahun, penghasilan totalnya mencapai 1 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 7 miliar.
8. Menikah dengan Teman Kuliah dan Bisnisnya
Merry Riana menikah dengan Alva Christopher Tjenderasa, yang merupakan teman kuliah serta temannya merintis bisnis.
Dari pernikahannya dengan sang suami, ia sudah memiliki dua orang anak yang diberi nama Alvernia Mary Liu dan Alvian Mark Liu.
Itulah beberapa fakta tentang Merry Riana yang berhasil bangkit dari kesusahannya dengan berbekal niat, ikhtiar, serta aksi. Wah, sangat menarik untuk dijadikan contoh ya, Moms!
0 notes
Text
Rumah Tangga yang cuma Bertahan 2.280 Jam (1)
Rumah Tangga yang cuma Bertahan 2.280 Jam (1)
Wow… Sorot Mata Tajam Itu… Bodi Tegap Itu… Awal pernikahan sering menjadi momen paling membahagiakan bagi pasangan suami-istri. Besar harapan mereka untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera. Namun, rupanya harapan Febby (nama samaran) berbeda dari orang kebanyakan. Kepahitan cobaan di awal pernikahan justru yang dia dirasakan. Febby harus berpisah tak lama setelah berumah tangga. Hanya empat…
View On WordPress
0 notes
Text
SPECIAL SKILL: MEMBUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA
Ketika usia saya masih satu digit, ada satu lokasi di dekat rumah saya, tepatnya di bawah pohon kapuk yang tinggi besar, di balik tembok yang membatasi pemukiman dan persawahan, lebih tepatnya empang, di titik itulah masing-masing keluarga membuang sampah rumah tangga mereka. Sampah dibungkus ke dalam sebuah plastik, lalu dilempar ke balik tembok. Masih lekat diingatan saya, mulai dari lemparan jarak dekat, sampai yang melempar dari jarak yang cukup jauh, yang berhasil, membentur tembok sehingga sampah yang di dalamnya tercecer, sampai yang sama sekali gagal dan dibiarkan, semua pernah saya saksikan. Kisah sebuah tempat sampah bersama. Legal? Tentu saja tidak.
Tahun demi tahun, beberapa kali pergantian presiden saya lewati, termasuk di antaranya lulus dari kampus dengan IPK yang pas-pasan, dalam kurun waktu tersebut saya mengamati secara tidak sengaja dan juga disengaja, kegiatan buang sampah tidak pada tempatnya masih menjadi hobi kebanyakan orang di sekitar saya, termasuk saya sendiri, waktu itu.
HARUSNYA MUDAH
Lalu apa yang membuat saya yang sekarang meninggalkan hobi sejuta umat tersebut? Jawabannya ya, “kenapa tidak?”. Setiap orang pada dasarnya sudah dibekali dasar pengetahuan bahwa sampah punya tempatnya sendiri, bukan berserakan di kamar tidur, bukan berhamburan di ruang makan, bukan bertebaran di ruang keluarga, apalagi jadi ornamen di ruang tamu, dsb. Itu sebabnya di tiap rumah pasti ada tempat sampah, minimal satu, setidaknya untuk buang bungkus indomie.
Oke, mari kita keluar rumah dengan berjalan kaki. Dalam potret hidup di perkomplekan/perumahan, mulai dari kelas bawah sampai kelas elit, sangat mudah menemukan tempat sampah di depan setiap rumah, perhatikan, sampah permen dan sampah minuman botol kalian masih terlalu kecil dibanding kapasitas tempat sampah tersebut, jangan malu-malu. Kalau memang kondisi jalan yang kita lewati berbeda 180 derajat, jangan malu, yang bisa masuk saku, masukkan, yang bisa dipegang, peganglah, sampai pada tempatnya.
Menyimpan sementara sampah seperti itulah yang kerap saya lakukan ketika berhadapan pada keadaan atau berada di suatu tempat yang benar-benar tidak ada tempat sampah. Bukan sebuah cara yang spesial, dan sudah pasti saya bukan yang pertama, tapi kenapa hal mudah seperti itu masih sulit dilakukan oleh kebanyakan orang? Mulai dari anak kecil yang membuang sampah plastik sisaan es kenyot sampai sebuah tangan misterius yang muncul dari kaca mobil Polisi dan melepaskan sampah minuman kaleng dari genggamannya, di lingkungan rumah dan di jalan raya. Hal-hal seperti itu harusnya mudah.
DIBUTUHKAN SEGERA: KESADARAN
Dalam hal apapun, kesadaran memang dibutuhkan untuk tahu mana positif dan negatif, dalam hal ini adalah persampahan. Pemerintah atau orang yang bertanggung jawab dalam mengelola suatu tempat, harus selalu ingat untuk menyediakan tempat sampah semaksimal mungkin, sebagai stimulan untuk orang-orang yang kesulitan membangun kesadaran bersih itu indah, dan membuat orang-orang yang sudah lebih dulu memiliki kesadaran tersebut merasa didukung. Sama seperti banyak skill di dunia ini, semuanya butuh latihan, tidak ada bayi yang langsung terampil buang sampah pada tempatnya. Peran orang tua atau orang terdekat sangat penting untuk mewujudkan kesadaran ini, juga tentu dari diri kita sendiri. Mulai sekarang cobalah untuk berlatih untuk mendapatkan Special Skill yang masih langka: Membuang Sampah Pada Tempatnya. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk bisa buang sampah pada tempatnya.
1 note
·
View note
Text
Yerim-ssi
Sebuah ending yang menarik bagi penonton drama “The World of Married Couple”. Sejujurnya, yang ditunggu adalah ending keluarga Sun Woo x Tae Oh x Da Kyung, namun plot twist dari penulis naskah, justru kita diajarkan sebuah kisah cinta menarik dari pemeran pembantu.
Aku berdebat beberapa kali tentang drama ini di Twitter. Ketika teman-temanku mendukung Sun Woo menikah dengan Dr.Kim, aku malah berprinsip bahwa Sun Woo cukup membahagiakan anaknya. Entah kenapa, aku berpihak pada Joon Young (anaknya) dan benar-benar mampu merasakan emosi yang disampaikan. Aku bisa merasakan membenci ibu, membenci ayah, membenci semua orang, membenci hidup. Hahaha, mungkin perasaanku sebagai anak jauh lebih kuat daripada menjadi ibu (yaiyalah, kan belom tau). Ending yang diberikan sungguh-sungguh menarik. Aku menangis ketika Joon Young akhirnya pulang ke rumah setelah menghilang selama satu tahun. Sun Woo akhirnya sadar bahwa teman hidupnya, suaminya, cintanya, kebenciannya, tidak sebanding dengan anak yang ia lahirkan. Pun ia bertahan dengan hidupnya pada akhirnya, sendiri. Berusaha menemukan kebahagiaan tanpa harus lagi menengok masa lalu.
Tae Oh? Kehilangan segalanya. Perasaan tidak tau malu yang ia hadirkan di eps.16 sukses membuat penonton gila. Segala alasan yang tidak masuk akal yang berani ia tawarkan benar-benar diluar nalar. Ending terbaik bagi Tae Oh, rasa sepi. Kehilangan dua istri, dua anak, harta benda, harga diri. Hukuman terbaik bagi seorang peselingkuh.
Lalu Da Kyung. Banyak yang bilang bahwa Da Kyung adalah pelakor yang harus hancur hingga akhir. Yes, she is pelakor, semua orang membencinya. Namun, aku akhirnya mengerti kunci keberhasilan Han So Hee memerankan sisi Da Kyung. Dalam sebuah wawancara, ia melihat sisi Da Kyung bukan sebagai pelakor, melainkan cinta. Bagaimana ia mencintai seseorang, merelakan segalanya demi cintanya, meninggalkan keluarga dan masa mudanya, bahkan mengandung di usia yang sangat muda karena cinta. Da Kyung tidak paham (atau belum paham) rasanya membangun rumah tangga, ia hanya tau mencintai. Dengan cara inilah, peran Da Kyung mampu membuat sejuta umat mencaci-maki.
Terlepas dari ia seorang pelakor, segala yang dilakukan Da Kyung adalah atas nama cinta. Betapa mengerikannya cinta mampu mengubah dan melakukan banyak hal. Melalui alasan cinta buta inilah, aku juga akhirnya paham bahwa ending yang diberikan oleh penulis kepada Da Kyung sudah sangat sempurna. Ia bercerai di usia pernikahan yang masih sangat belia. Ia menjadi single-mom. Ia kehilangan cinta dan kepercayaan pada laki-laki. Ia hancur, jika saja penonton lebih membuka mata dan tidak menganggap hancur=gila.
Nah, ending wanita satu ini yang paling menarik menurutku. Yerim-ssi. Aku terpelongo dan mengulang beberapa kali sampai akhirnya berteriak “OH MY GOD” pada endingnya. Yerim, menikah karena perjodohan. Suaminya tidak mau punya anak darinya karena ia merasa tidak mencintai Yerim, anak harus lahir dari cinta. Suaminya selingkuh berkali-kali. Kali terakhir, Yerim memutuskan untuk bercerai karena merasa dikecewakan padahal saat itu suaminya sudah tobat dan baru sadar bahwa cinta bukan sekedar hasrat. Suaminya sadar bahwa cinta juga berupa kebiasaan dan rasa nyaman. Melihat wajahnya di pagi hari, makan sarapan masakannya, disambut ketika pulang bekerja, semuanya adalah bentuk cinta. Suaminya baru sadar ketika kehilangan Yerim.
Oh wait, ternyata ini belum ending untuk mereka. Yerim goyah ketika suaminya berusaha kembali. Suami yang akhirnya tau bahwa istrinya adalah segalanya untuknya, berupaya untuk melakukan segalanya. Yerim luluh. Tdak bisa dibohongi, Yerim pun masih sangat cinta. Mereka akhirnya bersatu lagi, sebagai suami istri. Tentunya lebih romantis karena kini sudah ada cinta didalamnya. Yerim memaafkan segalanya.
Oh wait again. Suatu hari, Yerim gelisah karena dering handphone suaminya. Ia curiga, sangat curiga. Ia takut suaminya selingkuh lagi. Ia takut suaminya berbohong lagi. Ia membuka handphone suaminya ketika sang suami tidur. Ketika suaminya terbangun, mencari istrinya, dan mendapati Yerim bersama handphonenya, ia hanya diam. Suaminya tidak selingkuh, ia tulus bertobat. Namun, apa kata Yerim? “Aku tidak bisa berhenti mencurigaimu”. Ia mengucapkan kalimat ini sambil menangis.
Endingnya? Yerim benar-benar bercerai dengan suaminya. Tidak ada maaf bagi seseorang yang sudah berselingkuh. Tidak ada kesempatan kedua. Walau Yerim benar-benar mencintai suaminya, namun ia melepaskannnya. Ia mencintai suaminya, namun untuk apa cinta tanpa percaya? Untuk apa cinta jika terus menerus curiga yang tentunya menyakiti diri sendiri? Untuk apa mempertahankan hubungan yang menyakitkan? Yerim melepaskan cintanya dan bahagia dengan hidupnya.
Yerim-ssi adalah sosok wanita yang kuat dan keren. Karenaaa, susah loh untuk melepaskan sebuah hubungan ketika kita sudah sangat ketergantungan. Aku bahkan susah sekali untuk move on dan berhenti membalas chat walau aku tau dia tidak punya perasaan untukku, walau aku tau bahwa diriku terus menerus curiga ia balikan dengan mantannya. Aku ketergantungan pada pesan-pesan watsapnya, pada kehadirannya di hidupku. Meski sakit, aku terus menerus melakukannya. Yerim-ssi membuktikan, bahwa perempuan harus bahagia. Perempuan berhak bahagia. Untuk bahagia, tidak melulu soal cinta. Berhenti, merelakan. Yerim-ssi melakukan segalanya. (Buktinya, suaminya sudah move on lagi ke perempuan lain setelah bercerai, dasar kang selingkuh, huh).
Ending dari semua wanita ini adalah, “bucin juga ada batasnya. selain itu, tidak butuh laki-laki untuk bisa bahagia”. Kusuka sekali endingnya.
“Be like Yerim” adalah PR besar.
Sudahi, jika rasa sakit lebih besar dari cinta.
0 notes
Text
*K I S A H N Y A T A :* yang mungkin bisa diambil ibroh/hikmahnya. Terutama bagi kaum Adam yg ingin berpoligami. Sebagai pengantar waktu istrahat kita... *SAYAP - SAYAP PATAH* 🌷 Kala jari-jemariku menulis kalimat-kalimat ini karena mata ku yg tak sanggup lagi menampung perih nya airmata kesedihan ini... Kawan... Semua yang di syari'at kan Allah adalah benar yg harus kita lakukan... Dan Syari'at itu tidak pernah salah dan keliru. Yang menjadikan nya hancur adalah pribadi manusia itu sendiri..... Sebut saja namaku *Abdullah*. Aku diberi Allah pendamping yg supel, pintar, rajin dan sangat sholehah, sebut saja namanya *Aisyah*, hidupku sangat bahagia apalagi Aisyah telah memberiku dua orang putra dan satu orang putri... Rumah tanggaku sangat bahagia. Suatu hari hatiku di uji oleh Allah Aku jatuh cinta pada seseorang gadis yang sangat cantik dan lebih muda, sebut saja namanya *Fatimah* yang lebih membuatku semakin kuat ingin menikah lagi dengan Fatimah karena ia sangat sholehah dan bersedia menjadi istri kedua ku. Akhirnya aku putuskan untuk menikah dengan Fatimah, aku sudah memberi tahu istriku namun Aisyah tidak menjawab apa-apa... Yang kulihat hanya airmata yang tiba-tiba jatuh saat ku sampaikan itu, aku tak perduli... Toh nanti juga dia akan menerima... Terjadilah pernikahan antara aku dan Fatimah... Awal-awal nya memang agak susah tapi lama kelamaan akhirnya baik-baik saja. Hanya saja Aisyah sedikit lebih pendiam dari setelah aku menikah lagi. Waktu terus bergulir tidak terasa aku sudah membina rumah tangga dengan Fatimah sudah satu tahun dan di karuniai seorang putri yg sekarang berusia 6 bulan. Semantara Aisyah tidak banyak yang berubah darinya... Hari-hari terus bergulir dan aku mulai bosan dan jenuh ,, Sehingga terjadilah badai dalam keluargaku, aku ingin menceraikan salah satu istriku, akhirnya terjadi pertengkaran dalam keluargaku dan jatuh lah talak ku pada Aisyah, ku lihat ada air mata di wajahnya namun dia terus diam dalam kebisuan air mata... Ku biarkan *Ghozy, Ghassan & Balqis* anak-anak ku ikut dengan Aisyah karena aku tahu mereka pasti akan memilih ibunya... Tahun berganti tahun... Hidup ku dengan Fatimah pun mulai goyang, sebenar nya aku sangat bahagia dengan nya namun sifat manja dan tidak memahami perasaan ku membuat ku tidak nyaman, dan tak jarang rumah tangga kami mulai di terpa pertengkaran demi pertengkaran. Suatu ketika kami pernah bertengkar hebat dan membuat aku enggan pulang ke rumah, aku pun mampir di sebuah masjid, ku larutkan diri dalam sholat... Dalam masjid itu pun aku rindu dengan Aisyah dan anak-anak ku... Tapi di mana mereka? 7 tahun yg silam saat aku mentalak Aisyah,, Ghozy putra pertamaku berusia 5 tahun, dan Ghassan berusia 4 tahun sementara Balqis berusia 1 tahun, hingga kini aku tak pernah mananyakan khabar mereka apalagi mengirimkan mereka biaya hidup... Sungguh semakin membuatku menderita memikirkannya. Saat itu hujan turun dengan lebatnya... Aku pelan-pelan dan diam-diam mulai mencari Aisyah dan anak-anak ku, namun hasilnya tak berhasil, aku mulai menanyakan kiri-kanan pada keluarga nya atau pada teman-teman Aisyah tapi tetap nihil... Mereka hilang bagai di telan bumi... Dimana mereka ya Allah... Doa ku dalam hati. Aku semakin ketakutan manakala tak mendapat info apa-apa tentang mereka... Pikiran ku semakin tak menentu... Di sisi lain Fatimah hidup denganku dengan sejuta tuntutan. Hari-hari pun terus berlalu... Bahkan hampir 6 bulan aku mencari mereka... Hingga pada suatu hari sehabis mengikuti kajian... Tiba-tiba seorang ustadz mendekatiku "Abdullah... Apakah kau sudah bertemu Aisyah dan anak-anak mu......?" ku geleng kan kepala dengan air mata... Kerinduan... Ustadz itu berkata, *"Insya Allah mereka baik-baik saja"* perkataan sang ustadz membuatku menatap wajahnya lekat-lekat... Wajah sang ustadz seolah tersirat ia mengetahui keberadaan Aisyah dan anak-anak ku... Ternyata benarlah dugaan ku sang ustadz memberi tahu setelah ku desak dimana Aisyah dan anak-anak ku... Aisyah menghilang dalam hidupku dan menetap di sebuah kota yg sangat jauh dari tempat yg pernah menjadi kota tempat kami saat membina rumah tangga dulu... Jauh dan sangat jauh... Jarak tempuhnya 4 hari perjalanan.... Di sebuah pondok pesantren di pelosok desa tepat di lereng gunung... Saat itu aku berangkat bersama sang ustadz sebagai petunjuk dan mediator yg mempertemukan aku dengan dia Aisyah... Perjalanan yg panjang membuat aku dan sang Ustadz ingin beristirahat sejenak... Mampirlah kami di salah satu masjid di tempat itu... Dada ku bergemuruh, perasaan ku tak menentu, aku jadi ketakutan membayangkan manakala anak-anak ku tidak mau melihatku apalagi menerima ku... Namun terus ku yakinkan hatiku... Tiba-tiba lamunanku hilang oleh merdunya suara adzan, airmata ku menetes menghayati kalimat sang mu'adzin... Saat itu waktu maghrib... Aku dan Ustadz memutuskan bermalam di masjid tersebut. Allahu Akbar... Suara imam menggema, aku tenggelam dalam sholat oleh tartil nya bacaan imam... Menunjukkan sangat fasih dalam melafalkan Al Quran... Setelah selesai sholat sang imam memberikan tausyiah singkat tentang hargailah orang yg selalu bersama Kita... Lisan sang imam benar-benar mengiris hatiku... Keesokan hari di kala subuh menjelang aku berdoa ya ALLAH pertemukan aku dengan Aisyah dan anak-anak ku... Adzan subuh pun berkumandang... Sebelum sholat sang ustadz berkata insya Allah pagi ini kau akan bertemu dengan putra pertama mu... Semakin bergemuruh hatiku ditambah lagi suara sang imam membuat para jama'ah memecahkan tangisan... Sungguh desa dan tempat yg dipilih Aisyah benar-benar sangat damai dari kebisingan dunia. Benar lah pagi itu aku bertemu dengan putra sulungku Ghozy yg tiada lain adalah imam yang dari tadi malam membuat jema'ah menangis karena tartilnya membaca Quran... Hatiku bergemuruh... Dalam usia yang sangat muda ia telah memiliki ilmu setara gurunya... Hatiku kembali bergemuruh mana kala melihat nya tumbuh menjadi penghafal Quran... Menetes air mata ku kepeluk dia erat sekali kutanyakan khabar ibu dan adik-adik nya..... Dengan gaya bahasa yang sangat sopan Ghozy menceritakan perjalanan ibunya menanggung ketiga anaknya tanpa ada sosok ayah... Ghozy telah di dewasakan oleh ilmunya walau ia baru berumur 14 tahun... Kisah perjalanan istrinya di dengar dengan airmata tak terbendung... Hati Abdullah semakin merinding kala Ghozy mengatakan bahwa adiknya Ghassan yg usia beda setahun dg Ghozy telah berangkat ke madinah karena prestasinya... Disisi lain Balqis yg berusia sembilan tahun telah selesai mengikuti program kelas tahfidz... Ghozy dengan tegas mengatakan kami semua bisa seperti yg abi dengar karena sosok ibu yang telah abi tinggalkan... Umi membesarkan dan mendidik kami untuk lebih mencintai Allah... Umi memberi kami makan dari hasil kerjanya sebagai orang yang mencuci piring di dapur pondok ini... Abi... Umi tak pernah mengajari kami untuk membencimu tapi ketahuilah kau adalah ayah kami, tapi *Kau Tak Layak Jadi Suami Dari Ibuku...!!!* Kalimat itu terdengar bagai petir... Dunia terasa gelap... Wajah ku menunduk... Aku tak tahu harus berbuat apa. Untuk mu yang sedang membaca tulisan ku ini... Jangan kau berbuat seperti diriku... *Seseorang yg ada di samping mu sekarang adalah orang terbaik yg di pilih Allah untukmu maka jangan sia sia kan...* Aku tak bisa melanjutkan tulisanku ini karena airmata ku menghalangi pandangan ku.... Untukmu istri ku Aisyah... Walau aku tak layak untukmu... *Kini kau bukti kan bahwa sikap mu adalah cerminan dari Nama mu...* *Hal terindah dalam hidupku kau telah menjadikan anak-anak ku sebagai Jundi-jundi sejati....* Untukmu istri ku Aisyah... Dikala Allah kelak mempertanyakan diriku tentang anak anak ku... Apa yg menjadi hujjah ku...? *Untukmu istriku Aisyah... Aku telah membuang berlianku... Sungguh anak anak kita tumbuh menjadi anak anak muttaqiin...* Satu hal yang ku mohon pada Allah... Aku di beri kesempatan untuk berkumpul dan menembus dosa dan kesalahan pada kalian. Ditulis oleh ikhwan alay yg taubatan nasuha.. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ *IBROH/HIKMAH YG BISA DIAMBIL DARI KISAH INI, BAHWA BERSYUKURLAH SELALU KEPADA ALLAH DENGAN ORANG² TERDEKAT SAAT INI,* LENGKAPI KEKURANGANNYA, TUTUPI CACATNYA, PUJILAH ALLAH SELALU ATAS KEBAIKANNYA ✏📚🌹🍃 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
1 note
·
View note
Text
Sebuah Perjalanan
Sejujurnya aku tidak pernah mengenal kata hijrah sebelumnya, dan aku benar-benar tidak menggunakan kata itu dalam kamus metamorfosisku. Kata hijrah baru kukenal ketika hijrah sendiri menggema di seluruh negeri, seperti halnya kata hijab yang tak pernah aku gunakan ketika aku memutuskan menutup aurat dengan sempurna, begitulah kata hijrah, tak pernah aku kenal. Namun, jika aku harus mengenang masa laluku, maka katakanlah itu hijrah karena semua manusia yang hidup di dunia kapitalis ini pernah jahiliyah.
Bicara soal hijrah, atau aku sering merenungi dan mengenang perubahanku, hal itu tidaklah instan, tidak berubah seperti ayunan tongkat sihir yang kemudian mengubah keadaan, aku mulai berubah sejak aku duduk di kelas 2 SMA, yang jelas fasenya lambat, tidak cepat, bahkan ritmenya naik turun, dan layaknya putaran bumi yang cepat namun terasa lambat karena kita tak menyadarinya.
Aku anak biasa saja, ordinary person of twenty billion people in the world. Seseorang yang ditentukan lahir dengan misi menuju surga, hanya saja sejak awal lahirnya ia tak tahu bagaimana masuk ke surga, padahal petunjuknya sudah begitu jelas. Aku termasuk siswa yang memiliki kemampuan bahasa dan hafalan yang baik, menyukai pelajaran bahasa, sejarah, dan fiqih, tidak pernah menjadi nomor satu. Sejak MTs nilai sejarah dan fiqih-ku dikatakan sangat baik, bahkan aku hafal sejarah Rasulullah saw, Kekhalifahan yang saat itu dinamakan Dinasti, perkembangan sejarah dunia, yang paling aku ingat, aku gagal mendapat nilai seratus hanya karena salah menulis, Raja Hamurabi dari Babilonia aku tulis Raja Hamurbabi. Kejamnya, hanya masalah huruf ‘b’ saja bukan? Tapi ya karena itu nama raja, guruku bilang tak boleh sembarangan. Soal pelajaran Fiqih pun sama, nilaiku nyaris sempurna, pelajaran yang tak sedikit pun membuatku tertarik pada Islam karena ucapan guruku yang menyeramkan, ternyata memiliki sesuatu tersembunyi yang di kemudian hari itulah yang membuat aku jatuh cinta pada Islam. Aku ingat kalimat terakhir ketika aku selesai belajar bab tentang hudud dan jinayat, guru itu berkata, “Ini hukum yang sudah tidak berlaku saat ini, bisa dikatakan tidak manusiawi ketika ada yang mencuri dipotong tangannya, sekarang kita menggunakan aturan yang berlaku di negara kita”. Selesai, aku takut hukum agamaku sendiri, bahkan aku tak menjadikannya sebagai sesuatu yang harus aku renungkan, “Mengapa kejahatan terus meningkat padahal katanya aturannya lebih modern dari aturan hudud dan jinayat itu? Mengapa Rasul saw berperang?” Sejuta pertanyaan itu mengendap menjadi abu dalam otakku, usang, dan tersimpan meski tak hilang, termasuk pertanyaan sarkas yang selalu aku pertanyakan, “Mengapa di kelas diharamkan pacaran, tapi kenyataannya hampir semua berpacaran? Katanya muslim kok ikut rayain Valentine sih?”. Aku sendiri tenggelam dengan kebekuan berpikir, aku jahiliyah, tidak salat setiap waktu, dan jelas tidak menutup aurat. Aku antiislam, aku tidak suka Islam yang dicontohkan oleh sebagian kecil umat Islam. Keadaan ini terus berlangsung hingga aku masuk sekolah SMA, aku masih sama, manusia yang tidak memahami misinya di dunia.
Aku remaja pada umumnya, menyukai lagu barat, dan menjadi penggemar mereka. Meski begitu, di kelas hanya aku yang satu-satunya begitu, jadi tetap saja aku merasa sendiri. Pernah booming drama Mandarin Meteor Garden, bahkan aku melirik mereka saja tidak, aku tidak tergila-gila pada mereka, aku tetap penggemar Mandy Moore, Backstreet Boys, dan Westlife. Serial drama favorit aku tetap Rosewell, dan film favorit aku tetap A Walk to Remember, padahal Meteor Garden teramat terkenal saat itu. Well, I don’t really like some thing popular, aku lebih suka yang biasa saja. Jika disamakan dengan masa ini mungkin ketika banyak orang menyukai BTS, aku tetap EXO :D.
Ada masa aku bosan menjalani hidup sekadar, sekolah, pulang, nonton TV, sekolah, menyaksikan teman bersaing masalah penampilan, wajah cantik, pacar, lalu mengeluh soal pelajaran, pulang, menonton TV, begitu siklus hidupku, tidak sehat sama sekali, membosankan. Aku bukan mereka yang suka bicara tentang lelaki, bahkan menurutku hal itu menjijikkan, sampai semua teman kelas menganggapku tidak normal. Aku tidak suka bicara penampilan, atau kecantikan, bagiku hal itu bukan hal yang perlu dibanggakan atau harus dibanding-bandingkan, apalagi soal pacaran, aku paling muak mendengarnya. Kala itu ketidaksukaanku pada hal-hal yang banyak dibincangkan mereka belum menemukan dasar yang benar, hanya saja ini naluriah, aku tidak suka pembicaraan toxic seperti itu.
Ada dua kejadian yang menjadi dua tangga pertama aku berubah, pertama, teguran nilai, dan yang kedua, patah hati. Suatu hari ketika ulangan umum, temanku selalu saja mengatakan, “Nyontek itu termasuk usaha!” dan entah apa yang merasukiku sampai aku memberanikan diri membuat contekan, padahal sepanjang sekolah aku anti dengan perbuatan keji semacam itu. Datanglah saatnya aku berniat mengeluarkan kertas contekan, ini usaha menyontek pertama sekaligus yang terakhir, namun kejadian nahas menimpa adik kelas yang duduk sebangku denganku, ia tertangkap basah menyontek, kertas ulangannya disobek dan ia diusir dari ruangan. Seketika ritme kontraksi dan relaksasi jantungku tak teratur, aku gemetar, dan mengurungkan niat untuk membuka contekan yang aku buat tadi malam. I did my best to answer the questions, tidak menyontek. Tapi di akhir cerita, itu pertama kalinya raporku tak berisi ranking, sebuah teguran keras bagiku, sangat keras. Saat itulah aku berikrar untuk lebih baik lagi, aku tidak akan mengikuti ucapan bodoh teman-teman aku lagi. Kedua, aku pernah patah hati karena suatu hal, patah hati sendiri, dan hanya menderita sendiri, tak ada yang tahu masalah ini, meski sahabat terdekat aku kala itu. Dengan dua kejadian itu memberi pelajaran bagi aku, “I have to be some one better than I am now” aku mulai salat penuh lima waktu, belajar banyak hal yang aku tinggalkan sebelumnya, bahkan mengurangi kebiasaan menonton televisi, kala itu bukan internet, tapi MTV, aku lebih tenang, lebih fokus pada diri aku, dan mulai mengabaikan ujaran orang lain.
Masuk ke kelas 3 SMA, aku masuk jurusan IPS, bertemu dengan pelajaran Tata Negara, dan Sejarah, dua hal yang membuat aku tertarik selain Geografi, hanya saja Geografi tidak ada di kelas 3 kala itu. Aku belajar pengertian demokrasi, siklus negara mulai dari teokrasi sampai oligarki, aku belajar bahwa Napoleon adalah seorang panglima hebat dari Perancis, bahwa dalam sistem politik Kapitalisme, tidak ada sahabat sejati, yang ada kepentingan sejati. Di sini pun aku mulai berubah, meski perubahan itu masih abstrak, belum menutup aurat dengan sempurna, ibadah pun terbatas dengan salat, puasa saja. Itu saja, tidak lebih. Di kelas 3 ini aku berjanji pada diri aku sendiri, bahwa aku harus menoreh tinta emas di masa remajaku, masa ini tak boleh terlewatkan. Dimulailah dengan sebuah buku pinjaman dari seorang teman mungil, usianya lebih muda dua hari dariku, seorang teman berperangai baik, ia merekomendasikan buku berjudul, “100 Tokoh Berpengaruh di Dunia” aku tidak berpikir apa pun terntang buku itu, tak berharap banyak, dan tak menaruh harapan sama sekali, sehingga kemudian aku dikejutkan dengan orang pertama yang ada di buku itu, padahal buku itu bukanlah berasal dari pengarang muslim, Michael Hart, I had no idea that there would be my beloved Rasulullah’s name at the first page. Muhammad. Satu hal yang menghancurkan memori bahwa panglima besar itu adalah Napoleon, kalimat di dalam buku itu sungguh jelas, “Muhammad menyatukan bangsa berkulit merah dan hitam, satu hal yang tak pernah dilakukan oleh pemimpin mana pun di dunia ini.” Antara lupa dan ingat, aku menyimpan pesan bahwa Napoleon pun tidak bisa dibandingkan dengannya, beliau yang menyebut kita umat Islam dalam napas terakhirnya, saat itu, tak kuingat sama sekali, bahkan cintanya yang begitu besar pernah kuabaikan, cintanya melampaui zaman, itu yang Allah firmankan dalam kalamNya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagiku, penyantun dan penyayang bagi orang beriman.” (TQS: Attaubah:128). Semakin besar rasa ingin tahuku sejak saat itu, semakin ingin aku tahu Islam itu seperti apa, hanya saja kabut hitam yang mengandung banyak karbon monoksida menutupi rasa ingin tahuku, aku tetap simpan, hingga nanti aku menemukan jawabannya. Apa kabut hitam itu? Ucapan racun di lingkungan sekitar kita, yang banyak mementingkan dunia dan mengabaikan berita akhirat, “Kamu mah gak pantes pake kerudung.” ketika aku mengutarakan bahwa aku akan berkerudung. Ada pula kisah lucu soal jilbab dan kerudung. Setiap istirahat teman-teman selalu terbagi sesuai hobinya, hobi gosip, geng cantik, geng burik, dan sejumlah geng-geng lainnya, aku lebih memilih berdua dengan sahabatku, tapi ketika kami duduk berdua, ada dua teman lain yang ikut berkumpul memandangai dua ekor kambing yang sedang makan, induk dan anaknya.
“Kamu tahu perbedaan kerudung dan jilbab?” Tanya temanku yang berkulit putih dan cantik, ia sainganku dalam pelajaran bahasa Inggris, anak unggulan di kelas 2.
“Kalau kata mamaku, jilbab ini kayak yang kita pake, kalo kerudung kayak yang mama pake.” Jawab temanku yang berbadan tinggi besar, ia siswa paling kaya di kelas, katanya. Tapi aku tak peduli.
“Oh, gitu...” Jawabku. “Aku baru tahu, dikira beda.”
“Bedanya gimana?” tanya temanku yang pintar itu kepada si murid paling kaya.”
“Iya kan kalo kerudung cuma nutupin kepala doang kayak None Jakarta, gitulah...”
“Oh, jadi kita udah berjilbab ya...” kata kami bersamaan.
Padahal itu pengertian jilbab yang salah, salah besar. Intinya perintah memakai kerudung atau khimar adalah An-nur ayat 31, sedangkan perintah mengenakan jilbab adalah Al-ahzab ayat 59, kerudung adalah penutup kepala sampai dada, sedangkan jilbab adalah penutup pakaian rumah kita, yang panjangnya sampai menutupi kaki, tak berpotongan, tak menerawang, dan longgar.
Mengenang bagaimana aku di kelas 3, aku berkesimpulan I achieved my goal, hanya untuk Islam yang sebenarnya, belum aku dapatkan. Tapi aku lebih baik lagi, aku tidak anti dengan hal-hal berbau Islam lagi, aku mengenal Islam, dan menyesali dosa-dosaku yang telah lalu, terlebih aku mengenal manusia paling mulia bernama Muhammad saw. Tinta emasnya apa? Level kesungguhan aku bertambah, aku menang lomba cerdas cermat dan lomba bahasa antar sekolah, keduanya di peringkat ketiga. I said before, aku tidak pernah mendapat nomor satu.
Masuk ke bangku kuliah, ada hal baru, hanya saja tak semua aku senangi, terlebih bukan impian aku kuliah di tempat itu. Di sinilah aku bertemu Islam sesungguhnya, Islam yang aku simpan di dalam otak yang berlabel abu, hampir usang tapi perlahan memutih dan berbinar. Ada tiga orang yang berjasa dalam proses perubahan kempompong ini, selama setahun ia tak ingin berubah jadi kupu-kupu karena tak ingin ada di dunia luar yang penuh kebodohan. Tiga orang ini katakanlah unsur bumi, ia adalah tanah, udara, dan air, tepatnya ia sungai yang mengalir deras dan tenang, menyuburkan setiap tempat yang dilewatinya, ia lebih tepat air di dalam sungai, tenang menghanyutkan, deras menyemangati. Udara, ia seorang yang membimbingku, meski aku tak banyak paham ucapannya, dan terkadang mengandung karbon monoksida dan sulfur dioksida, ia adalah Udara yang membantu metamorfosisku. Dan Tanah yang membantuku berpijak dengan benar, kadang memberi episentrum yang menggetarkan isi kepalaku. Begitulah mereka.
Obrolan yang paling aku ingat dengan Udara adalah tentang jilbab, bahwa jilbab itu wajib kita kenakan, dalam hatiku merinding tak mau, aku harus memakai pakaian nenek tua seperti itu di usia yang masih muda seperti ini, tidak, hal itu tidak akan pernah terjadi. Aku mengangguk saja tapi dalam hati, aku masih tidak setuju dengan perintah berjilbab itu, sampai aku terus saja memandang setiap wanita berjilbab, dan membayangkan diri aku mengenakan pakaian seperti itu.
Tanah, tempat aku berpijak, suatu hari pernah membuat episentrum yang tak terlupakan, “Kamu mending buka aja deh kerudungnya, daripada pake kerudung tapi rambut ke mana-mana.” Teramat tertampar dengan ucapan semacam itu, ya, meski salah, tetap manusia itu senangnya tidak disalahkan, sejak saat itu saat mulai berpikir banyak tentang pakaian yang aku pakai, sudah menutup aurat dengan benarkah, atau malah sebaliknya. Tanahlah yang banyak membantuku berpijak, memberiku banyak ilmu Islam, memahamkanku tentang keberadaan Tuhan pencipta alam semesta, tentang perihnya menjadi penduduk Palestina, bahkan buruknya perlakuan penguasa terhadap rakyatnya di Indonesia, Jilbab dan buku pertamaku Tanah juga yangmemberikannya.
Berbeda dengan Tanah dan Udara, Sungai cenderung diam tanpa banyak komentar, ia tak pernah mengomentari pakaianku, bisa dikatakan ia hanya diam seribu bahasa, ketika seorang teman perempuan berkomentar, “Ukhti, rambutnya masukin dong, kelihatan.” Sambil membenarkan letak kerudungku, ia satu-satunya yang tak peduli masalah itu. Ia diam seribu bahasa. Hanya saja, dia selalu bicara, dan pembicaraannya selalu terdengar, tapi selalu saja dibalas dengan nada sinis oleh banyak orang.
“Lu Islam apaan sih? Muhammadiyah, NU, Persis?”
“Emang Islam ada berapa? Rasulnya cuma satu.” Jawabnya santai sambil tersenyum dan berlalu.
Dari semua obrolan dengan Sungai, meski terhitung jarang mengobrol juga dengannya, satu momen yang tak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku, ketika bicara tentang jilbab. Mengapa tak terlupakan? Karena melalui lisannya lah aku mantap berjilbab, setelah sebelumnya terus dirundung keraguan luar biasa.
Suatu sore di halaman kampus, di pinggir-pinggir jalan yang banyak tempat duduknya.
“Kamu tahu bedanya jilbab sama kerudung?” Tanya Sungai.
Aku spontan menjawab, “Oh, jilbab yang dipake di badan, kalo kerudung yang dipake di kepala, ‘kan?”
“Ya, dia tahu. Masa kamu gak tahu?” Timpalnya kepada kerumunan teman-teman yang sedang berargumen dengannya. Duh, siapapun yang beragumen dengannya, World War III aja lah. Tutup kuping aja lah, bisa perang betulan.
“Kalo di Padang ini jilbab!” Balas teman aku. Ia bersikeras mengatakan bahwa yang ia pakai jilbab bukan kerudung.
“Pengertiannya harus sesuai dengan Al-Quran dong.”
“Terserah, pokoknya di Padang ini namanya jilbab!”
Aku yang hanya memerhatikan kerumunan manusia itu berdebat, mulai bertanya, dan berusaha memahami apa yang sebelumnya terjadi, sepertinya Perang Dunia Ketiga sudah dimulai sejak tadi, hanya saja aku tak ada di tempat itu. Temanku yang lain mulai bernyanyi lagu qasidah era 90-an, jilbab-jilbab putih lambang kesucian, ada yang nyanyi perdamaian-perdamaian. What a chaos, tapi seperti biasa Sungai tetap tenang, ia berusaha tak mengubah air sungai menjadi air bah.
“Coba jelasin bedanya apa kerudung sama jilbab?” Tanyaku. Ini karena seratus persen penasaran, memang sewajib apa sih sampai seorang wanita itu wajib menutup auratnya dengan jilbab.
“Dalam Al-Quran perintah pakai kerudung itu ada di surat An-nur ayat 31, di situ dijelaskan tentang batasan aurat bagi wanita, sekaligus memerintahkan wanita untuk memakai khimar, khimar dalam bahasa Indonesia itu kerudung bukan jilbab.”
“Kalo jilbab apa dalilnya?”
“Jilbab itu bahasa Arab artinya jubah, dalilnya Al-ahzab ayat 59, begini ya, jilbab itu panjang tanpa potongan, dia mengulur sampai hampir menyentuh tanah.”
“Guruku bilang, boleh kok pake celana, asal bajunya nutupin pantat.”
“Tapi jilbab menurut Al-Quran ya begitu.”
“Kalo hampir menyentuh tanah, terus kena kotoran gimana?”
“Debu yang terlewati membersihkan kotoran yang menempel di pakaian kita.”
“Kalo misalnya tahi ayam gimana? Nanti gak bisa salat.”
“Memangnya kamu mau sengaja nginjek tahi ayam? Intinya, jilbab itu wajib bagi wanita, sampai Rasulullah pernah memerintahkan semua wanita menghadiri salat Id, terus kalau ada saudara yang gak punya jilbab wajib dipinjemin sama yang punya.”
“Oh gitu, tapi kan kalo pake baju begitu suka dianggap aneh, Islamnya beda.”
“Islam itu asing, dan akan kembali asing, berbahagialah orang-orang yang terasing.”
Segala keraguan aku ditutup dengan kata-kata hadis yang ia kutip, selesai, aku tak punya masalah lagi dengan jilbab. Diskusi sesederhana itu membuat aku mantap berjilbab, bahkan merindukan segera ingin berjilbab, meski realisasinya barulah tiga bulan setelahnya.
Setelah berjilbab, kendala lainnya adalah komentar keluarga dan lingkungan, beruntunglah saat itu belum ada netijen yang maha benar. Jika masalah jilbab, kendala itu hanya sekedar masalah sepele saat ini tapi terasa besar saat itu. Sebagian anggota keluarga berkomentar, “Kamu ngapain sih pake baju dua segala, gerah lihatnya! Duh, keburu mati ini mah ke warung aja mesti pake kaos kaki! Gak usah pake baju Islam banget deh, keluarga kita gak Islami soalnya! Kamu kayak ondel-ondel! Wah, teroris pulang!”
Bagaimana komentar warga? “Kamu disumpah ya pake baju begini?” Menatap penuh kecemasan, memandang dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Aku pernah merasa ingin menyerah, menyudahi perubahan ini, namun ketika aku melepas jilbab, aku seperti telanjang, diri ini terasa hampa, rasanya ada beban berat ketika aku melepas jilbab itu, sejak itu aku tak pernah melepas jilbab, biarlah setiap perubahan itu akan selalu menemukan ujiannya, jika kita mampu melewatinya dengan ketaatan, maka kita akan menemukan diri kita bersyukur dalam ketaatan, jika kita melewatinya dengan durhaka kepada perintah Allah, maka kita akan menemukan diri kita bangga dengan kedurhakaan kita.
Banyak hal yang aku lewati setelahnya, banyak kesembuhan hati setelah bertemu dengan Allah, dengan mengkaji kalam-kalamnya. Sehingga satu hal yang aku yakini ketika terus berjalan dan tidak berhenti, aku harus selalu memakai cara pandang Allah dalam setiap perbuatan dan dalam memaknai kehidupan. Keberuntungan yang hakiki yaitu ketika aku menemukan serpihan rindu kepada Tuhan semesta alam yang tercecer di setiap perjalanan, hingga akhirnya aku mampu mengumpulkannya dan memahami artinya.
Hakikatnya hijrah adalah sebuah perjalanan yang akan berhenti di suatu titik, Rasulullah pernah bersabda diriwayatkan oleh Bukhari, “Jadilah engkau di dunia seakan-akan seorang pengembara.” kita adalah pengembara, selayaknya pengembara seharusnya mengumpulkan bekal yang banyak untuk kembali ke kampung halaman. Selayaknya pengembara, tak perlu risau dengan gemerlap dunia, ataupun ketika gelapnya menutupi pandangamu, santai saja, semua ini bagian dari perjalanan yang akan terhenti, suatu hari nanti atau mungkin hari ini.
0 notes
Text
Membahas keresahan wanita
Januari-maret baca 3 buku tentang perempuan dan kegalauannya. Tentang perempuan yang ingin bermanfaat untuk umat juga yang teguh dengan cita-citanya sebagai ibu rumah tangga. Tentang gundah gulana ditambah perasaan dan didukung hormonal yang membuat drama semakin membuncak dalam memahami dunia.
Pertama buku tentang kisah pekerja seni, sudah malang melintang karyanya. Dan telah mantab mewujudkan cita-cita sebagai ibu rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dengan tangannya sendiri. Tidak ada impian untuk menjadi wanita karir dibenaknya. Oleh pengalaman pengasuhan orangtuanya membuat ia belajar harus menjadi ibu dirumah dan menghabiskan waktu bersama.
Perempuan kedua ini sangat senang berkarya. Senang mendedikasikan dirinya untuk pekerjaan yang dicita-citakannya. Meninggalkan ilmu perkuliahannya untuk passion yang dia senangi. Ia senang sibuk dan hidup berdua dengan suaminya.
Perempuan ketiga mengisahkan bahwa ia tidak memilih antara ibu, pekerja dan istri. Semua dilakukannya saja.
Saya akhirnya mengetahui beberapa orang punya pandangan gak apa-apa gak punya anak. Atau belum pingin punya anak. Dan sangat berharap untuk punya anak secepatnya.
Mereka jujur atas kebimbangannya atas apa-apa yang mereka lakukan. Mengoreksi apa benar jalannya keliru ?, yang ku anggap selama ini belum tepat ? dan bagaimana seharusnya aku. Akhirnya mereka berusaha kembali kepada kewajibannya seharusnya. Wanita yang menjadi istri sholehah, madrasatul ula dan manusia yang bermanfaat.
Benar saja, memahami hakekat wanita adalah bekalnya. Yaitu sebagai istri yang berbakti kepada suaminya. Yang melayani, mendukung dan pelipur lara suaminya. Ridho suami adalah kuncinya. Dulu kita mempertaruhkan segala kegiatan oleh ridho orangtua. Pernah merasakan betapa hal buruk menimpa ketika tidak mengantongi ridho ortu. Itu membuat menyesal. Aku harus tahu karena ridho itu nanti akan berpindah ke tangan suamiku, maka aku harus patuh padaNya dijalan Allah.
Kedua jelas menjadi madrasatul ula. Ibu yang paham betul akan amanah yang dititipkan oleh Allah kepadanya dan suaminya. Menjaga makhluk kecilnya Allah tetap berjalan dijalur fitrahNya. Mewariskan hikmah sebagai bekal khalifah ini berdiri dengan bijaksana dan penuh hidayah dari Allah. Merawatnya dengan penuh kesabaran, mendidiknya dengan kebenaran dan mengasuhnya dengan kasih sayang.
Ketiga adalah menjadi khalifah fil ard sesuai porsi kemampuan kita dan kesenangan kita. Ini menjadi tantangan yang kadang melenakan tugas pertama dan kedua. Tetapi mudah jika kita sudah paham prioritasnya. Memberikan inspirasi kepada umat, memberikan layanan untuk umat. Mengaplikasikan keimanan kepada saudara-saudara seiman kita. Dakwah, boleh saja kita senang menerima nikmat iman dari Allah, tapi apa kita harus memendamnya sendiri. Ahh nanti juga Allah kasih sendiri. Tidak seperti itu meski hidayah hak prerogatifnya Allah. Setelah istri dan ibu apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat terlebih sudah lebih mengetahui daripada yang lain. Menyampaikan bulir-bulir hikmahnya, menyampaikan pesan cinta Allah kepada saudara kita. Amal jariyah. Sebagai bentuk kapitalisme pahala, nabung bekal untuk akhirat. Selebihnya ketulusan akan menuai buahnya biidznillah.
Ketiga hal yang disering menjadi topik kegundahan wanita dilakukan penuh perhitungan. Ada resiko satu sama lain. Ada yang harus direlakan, ada yang harus diperjuangkan dan ada yang bisa dilaksanakan sedemikian rupa. Menuntut waktu, ilmu dan kecerdasan emosional. Tidak hanya itu dan bahkan akan terbentuk sejuta skill serta kekuatan baru ketika telah do the best untuk tetap menghamba kepada Allah bagaimanapun bentuknya.
Kabar baiknya wanita dibebaskan masuk surga dari pintu mana saja yang ia mau bagi wanita yang menjalankan kewajibannya itu.
Amal jariyah dari sedekah, mendidik anak sholeh/ah sehingga mendoakan kita dan umat untuk selamat dan ilmu yang bermanfaat yang kita peroleh dari belajar dan pengamalan yang kita lakukan untuk umat. Allahumma aamiin.
Sekiranya ini menjadi reminder bagiku dan mungkin pembaca. Aku harus sadar betul kewajiban dan porsiku didunia. Merencanakan dunia untuk akhirat bukan sebaliknya. Aku harus tahu prioritasnya. Harus siap menjalankan konsekuensinya. Semua dengan lillah dengan cara yang diridhoi Allah. Aku harus siap melayani suami, menjadi madrasatul ula dan bermanfaat untuk sekitar.
Semoga Allah kuatkan diri kita dan kita juga harus berusaha serta berdoa untuk dikuatkan. 💕
1 note
·
View note
Text
Cinta di Dalam 2575Km
Seharusnya, aku mulai mengisahkan ini sejak seenggaknya 1 bulan lalu. Sejak hubungan bernama pernikahan ini dimulai. Tapi nyatanya kisah ini dituliskan setelah aku menjalani pernikahan hampir 2 bulan.
Dulu, dulu pernah terlintas buat bikin tulisan tentang cerita cerita bagimana aku dan dia memulai kehidupan rumah tangga. Cerita yang anehnya, yang lucunya, yang nyebelinnya, yang nyenenginnya, yang ngagetinnya, yang ngeselinnya, yang bahagianya, dan yang secintacintanya. Niatnya mau dirutinin nulis, biar semua setori ini kekumpul, dan kebayangnya suatu hari nanti saat umur udah puluhan taun dan menjadi senja, kemudian baca lagi cerita cerita ini, akan terkenang semuanya. seru aja ngebayanginnya kayanya. Eh tapiii ya gitu, tulisan ini aja baru dibikin sekarang. heheheheheh
Karna masa masa penganten baru awal bulannya udah agak lewat, sekarang aku jadi agak bingung, mau nyeritain apa yak. Yang momen awal awal udah ngga terlalu inget juga sih.
Emm… tapi yang pasti, mengenai bagaimana rasanya sejuta tanya dan bahagia di awal pernikahan masih kerasa kok. Sejuta. Iya, sejuta. Saking nggak karuannya rasanya jadi kaya semrawut nggak jelas.
kadang masih aja ada rasa kaya pengen bertanya tanya keheranan, kok bisa yah aku sekarang udah jadi istri orang? seriusan nih aku udah punya suami? yaampun, aku udah nikah? bahkan, omaygadd, I already having sex??
kalo bahagianya ya karna akhirnya aku bisa sayang sayangan dan cinta cintaan dan peluk pelukan ama lelaki yang sah. hahahahaha nggak naif lah yah! Ya abis gimana, fyi aja lah, kalo dulu tuh sempet ada niatan pengen nikah muda karna ngiri ama temen temen yang dengan mudahnya kemana mana bareng berdua, ngeshare foto berduaan, dan yah seriyusli, penasaran kan aku jadinya, emang ngelakuin itu gimana sih rasanya? hehehehe dulu banget tapi. jaman masih nggak jelas. ya tapi kan aku nggakmau juga kalo cuma pacaran gitu doang, aku maunya ama lelaki yang udah jelas pasti punyaku dan nggak akan ninggalin. hehehehe
Tapi nggak kok, bahagianya nggak cuma itu aja. Sejak hari kedua pernikahan , aku udah mulai ngerti dan bener bener ngerasain sendiri bahwa pernikaha bukan cuma tentang affection stuff yang begitu doang. Ada amat sangat banyak hal yang menjadi semacam amanah tersendiri saat udah berstatus istri.
Ah.. kalo ngomongin amanah,,, kewajiban,,, agak berat deh ya kayanya.. ngomongin yang ringan ringan aja deh.
emm.. apa ya… (dengan jujur kukatakan, di paragraf ini aku mulai bingung mau nulis apa)
EEmmmmm… Ngomongin apa yang aku rasa detik ini aja kali ya….
baik
jadi gini
saat ini saya adalah seorang istri yang berjuang, maaf, maksud saya, yang sangat berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Apa pasal? Sebab, saya adalah seorang istri yang dipisahkan oleh jarak yang menyusahkan itu sejauh 2575Km . Yak! Suami saya berada di 2575Km dari titik dimana saya duduk sembari mendudukmeja-kan leptop saya (tak usahlah kau risaukan bagaimana pose saya saat ini).
Bukan suatu jarak yang selesai hanya ditempuh Transjakarta dengan ongkos 3500 rupiah.
(Apalagi) bukan suatu jarak yang berakhir hanya dengan waktu yang sama saat menghabiskan seporsi mi ayam.
Duaribulimaratustujuhpuluhlimakilometer adalah suatu kenyataan yang sangat nyata senyata nyatanya.
Mudah? Tentu tidak!
Merana? Sudah barang tentu!
Mengapa saya katakan bahwa saya adalah seorang istri yang tengah amat berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri?
Sebab, saat ini saya masih amat sangat kesulitan untuk bisa mendamaikan diri sendiri atas Duaribulimaratustujuhpuluhlimakilometer yang memisahkan kami. Gemas sekali, saat dengan absurdnya seketika terisak hanya dengan mencium aroma pelembut pakaian? Pelembut pakaian yang waktu itu kami gunakan untuk setumpuk baju kotor usai dicuci bersama. terlebih hal lainnya. Ketika saya menoleh ke kiri di akhir gerakan shalat, sejurus kemudian saya tersungkur kembali menangis karna teringat bahwa saya tak lagi mampu mencium khidmat tangannya sembari berucap, “maafin eneng ya sayang”. Dan banyak hal lainnya.
Saya rindu. Rindu yang kelu.
Wahai segenap penduduk langit, tolong bantu meng-aamiin-kan doa doa saya. terutama doa untuk meng-nol-kan angka Duaribulimaratustujuhpuluhlimakilometer itu. Tak ada yang lebih saya inginkan daripada doa ini.
Saya merasa anggapan beberapa orang bahwa pernikahan yang berjarak seperti ini amat menyesakkan, sebab tak lagi bisa tidur berdua, berhubungan seks dalam waktu yang lama, dan semacamnya, betapa saya ingin katakan semua itu bukan satu satunya kepahitan dalam pernikahan jarak jauh.
Bagi saya, ketika saya tak mampu membantunya bersiap untuk bekerja, saat saya tak mampu saling bercerita, saat saya tak mampu menyiapkan makanan untuknya, saat saya melewatkan wajahnya yang penuh tawa, atau kehilangan momen saat mendengar suara atau menatap wajah konyolnya menyapa saya di pagi hari. saya amat sedih. Grieving. Tak ada yang lebih saya inginkan saat ini, selain kembali bersama dan menjalani rumah tangga sebagaimana seharusnya.
Tapi tunggu… Tenang.. Bukan berarti kesedihan semata yang saya rasakan selama menjalani ini. Saya tetap mensyukuri bahwa betapa Maha Baiknya Allah atas kesempatan merasakan indahnya penantian, nikmatnya mendoakan ia yang berada jauh dari saya, dan nikmat atas rasa betapa ia memang sangat berharga bagi saya terlebih ia tak berada di sisi. Yah… Meski tak dapat saya sembunyikan, pertengkaran dan perselisihan tetap ada di sela-selanya. Tapi itu dapat seketika lindap saat saya kembali benar-benar meresapi bahwa saya bukanlah siapapun tanpanya, pun sebaliknya. Allah, terimakasih banyak atas semua nikmat ini. :”)
Pada akhirnya, sekelu apapun rindu yang tengah saya rasakan kini, saya tetap tersenyum menantikan hari dimana ia kembali hadir dalam tatapan.
Aku
mencintaimu
tanpa ragu, suamiku.
Jakarta. Januari 17, 2018.
0 notes
Text
Cinta Tak Mesti Bersama
Oleh: Ust. Budi Ashari Yuk belajar lagi tentang cinta. Bukan cinta hina. Tapi cinta mulia. Cinta yang diajarkan orang-orang mulia. Kali ini kita akan belajar dari dua orang yang saling mencintai. Cinta yang bersemayam di hati. Sekian lama, ya sangat lama. Tapi cinta bertahan dan tak kunjung pergi. Taqdir memisahkan mereka. Tapi taqdir pula yang mempertemukan mereka kembali. Cinta mereka sangat tulus dan suci. Begitu tulusnya hingga tak ada yang mampu memalingkannya. Begitu sucinya hingga tak ada syahwat yang mendesaknya. Mungkin kita akan berderai air mata. Bagaimana ada wanita semulia itu dan sesuci itu. Dan setahan itu. Dan bagaimana laki-laki mulia itu tegar mengajari cinta agar terus mewiridkan nama Rabbnya. Ini asli sebuah kisah cinta. Cinta yang tak lekang oleh zaman. Perpisahan waktu, tempat, dan jarak bukanlah alasan. Justru waktu yang memisahkan, bak menghitung hari menunggu panen tanaman cinta yang semakin hari semakin ranum. Namanya Fakhitah. Putri Abu Thalib, paman Nabi. Saudari Ali dan Ja’far. Atau lebih dikenal dengan Ummu Hani’. Fakhitah ini pernah dilamar oleh seorang laki-laki mulia yang sangat mencintai Fakhitah. Tetapi Abu Thalib lebih memilih laki-laki lain yang bernama Hubairoh. Laki-laki mulia yang ditolak lamarannya itu pun datang menemui Abu Thalib dan mengungkapkan perih isi hatinya, “Wahai paman, engkau nikahkan ia dengan Hubairoh dan kau tolak aku?” Uuhhh... terasa perihnya... cinta yang tertolak angin taqdir hingga tak sanggup untuk berlabuh. Abu Thalib memberikan alasan, “Kami ini dua keluarga besar yang sudah lama berbesan. Beginilah keluarga mulia membalas keluarga mulia.” Mau apa dikata... bukti bahwa taqdir di atas segalanya. Bahkan di atas kekuatan cinta yang katanya mampu menaklukkan menjulangnya gunung dan ganasnya samudera. Kali ini, cinta harus mengakui kelemahannya. Di hadapan taqdir. Rumah tangga Fakhitah pun berjalan dengan sangat baik. Sampai dianugerahi 4 anak; Ja’dah, Amr, Yusuf dan Hani’. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqot Al Kubro menuturkan detail kisah cinta ini. Waktu terus berjalan. Dua insan yang saling mencintai itu masing-masing menjalani taqdirnya. Berpisah hingga nyaris tak ada lagi dalam tutur lisan. Tak ada lagi sua dan jumpa. 500 KM memisahkan mereka. Jarak di zaman itu. Tapi cinta memang luar biasa. Kita perlu belajar pada cinta atas kesabarannya. Ya, ia bersemayam dalam hati, menunggu dan menunggu. Hingga ketika semua telah melupakannya pun, ia tetap menunggu. Dan taqdir datang mengganti taqdir. Cinta kembali menemukan pintunya. Pintu yang halal. Puluhan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi cinta tetap bertahan di situ. Tak beranjak. Cinta yang selama ini diam sejuta bahasa. Kini ia harus bicara. Ia memaksa lisan untuk menyadari bahwa cinta masih ada bertahan di sana, belum beranjak dari hati. Walau telah puluhan tahun lamanya. Usia tak lagi muda. Laki-laki mulia itu sudah tua. Rambut sudah beruban. Bentuk tubuh dan raut wajah tak bisa menyebunyikan 60 tahun usianya. Ummu Hani’ pun telah berusia. Cinta berjumpa lagi di usia senja. Ummu Hani’ masuk Islam tahun 8 H. Tapi suaminya malah kabur dan tidak mau masuk Islam. Sehingga mereka harus cerai karena telah berbeda aqidah antara muslimah dan kafir. Ummu Hani’ dipertemukan kembali dengan laki-laki mulia itu.Cinta menemukan muaranya. Dalam naungan hidayah. Walau usia tak lagi muda. Walau cinta telah terpisah puluhan tahun lamanya. Kini bersemi kembali. “Siapa?” kata laki-laki mulia itu ketika Ummu Hani’ datang saat waktu Dhuha. “Aku Ummu Hani’.” “Selamat datang, Ummu Hani’.” “Aku mau bertanya tentang kebenaran kalimat saudaraku yang akan membunuh dua orang yang telah minta perlindungan kepadaku,” Ummu Hani’ bertanya setengah meminta. “Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’,” cinta mulai menyapa. Dalam pertemuan berikutnya... Laki-laki mulia itu dengan jantan menyatakan cintanya: Aku melamarmu...!!! Dahsyat!!! Kedahsyatan pertemuan dua cinta ini lebih dahsyat lagi karena disaksikan oleh tanah suci MEKAH. Bergetar hati, berguncang jiwa Benarkah... Kini biarkan cinta yang menjawab lamaran itu. Cinta melalui lisan Ummu Hani’ bicara, “Demi Allah aku dulu mencintaimu saat aku masih jahiliyyah. Maka apalagi saat kini aku telah masuk Islam,” cinta mulai menuturkan gelora yang tertahan. Tak berhenti sampai di situ, cinta ingin membuktikan ketulusannya, “Engkau lebih aku cintai dari pendengaranku dan penglihatanku.” Ungkapan cinta mengoyak rasa... Di hadapan laki-laki mulia itu ada segelas susu. Maka ia meminum sebagiannya. Dan memberikan sebagiannya kepada wanita yang dicintainya dan mencintainya itu. Ummu Hani’ segera meminumnya. Setelah meminumnya, barulah ia mengungkapkan, “Sesungguhnya aku sedang puasa.” Laki-laki mulia itu bertanya, “Puasa wajib?” Ummu Hani’ menjawab, “Bukan.” Laki-laki mulia itu pun berkata, “Kalau begitu tidak masalah. Tapi apa yang membuatmu melakukan ini?” Ummu Hani’ menjawab, “Karena aku ingin meminum bekasmu.” Ya Robb, cintaaaa..... Setelah cinta bertemu cinta. Pertemuan dalam naungan hidayah dan perjumpaan yang halal. Apakah dua cinta akan melebur menjadi bahagia? Akankah mereka merangkainya hingga menjadi untaian bunga mengalungi sisa usia mereka? Apakah ini masa cinta memanen hasil kesabarannya? Ajaibnya... TIDAK Mengapa...? Bukankah.... Bukankah.... Ya, justru karena cintalah yang menghalangi. Karena tulusnya. Karena sucinya. Maka ia tak mau mengotori. Tak tega jiwanya menodai. Cinta dalam diri Ummu Hani’ menjelaskan dengan berat kata, “Aku telah mempunyai banyak anak. Dan aku tidak mau mereka mengganggumu.” Cinta terus mengeja alasan, “Karena hak suami sangatlah agung. Aku takut, jika aku sedang memberikan hak suami, aku mengabaikan sebagian hak diriku dan anak-anakku. Dan jika aku sedang memberikan hak anak-anakku, aku mengabaikan hak suamiku.” Laki-laki mulia itu hanya terdiam. Sunyi lisan hingga jiwanya. Sungguh kita telah belajar banyak dari cinta suci Ummu Hani’ dan laki-laki mulia. Sebagaimana cinta tak perlu diundang untuk datang, maka ia tak bisa diusir untuk pergi. Cinta sering masuk tanpa izin. Dan ia juga sering tak mau pergi walau telah diminta dan dipaksa pergi. Karena ia memilih tinggal di hati. Sementara hati kita bukan milik kita. Maka, cinta kembali menunjukkan keberadaannya dengan getarnya saat berjumpa dengan cintanya. Tak perlu risau. Seperti Ummu Hani’ dan laki-laki mulia itu. Getar cinta itu hadir saat pintu halal telah terbuka kembali. Dan laki-laki mulia itu menyatakan cintanya dengan berkata: Aku melamarmu. Selanjutnya serahkan, bagaimana cinta memutuskan. Tahukah anda, siapa laki-laki mulia yang bersemi cinta dalam dirinya itu. Siapakah laki-laki mulia yang tertahan cintanya karena ditolak lamarannya itu. Siapakah laki-laki mulia yang masih memberi ruang untuk cinta bersemayam puluhan tahun lamanya itu. Siapakah laki-laki mulia yang akhirnya mendialogkan cintanya itu. Tahukah anda siapa beliau. Beliau adalah Rasul kita, Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam . Ummu Hani’ pun berkata, “Rasulullah melamarku, aku meminta maaf kepada beliau dan beliau pun memahami. Kemudian turunlah firman Allah: ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﺣْﻠَﻠْﻨَﺎ ﻟَﻚَ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟَﻚَ ﺍﻟﻠَّﺎﺗِﻲ ﺁﺗَﻴْﺖَ ﺃُﺟُﻮﺭَﻫُﻦَّ ............. ﺍﻟﻠَّﺎﺗِﻲ ���َﺎﺟَﺮْﻥَ ﻣَﻌَﻚَ “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya .............................yang turut hijrah bersama kamu.” (Qs. Al Ahzab: 50) Aku tidak halal baginya karena aku bukan termasuk wanita yang hijrah bersamanya. Aku termasuk orang-orang yang dibebaskan (di Fathu Makkah).” Cinta begitu tahu diri. Walau ia terus meminta dan menuntut. Tapi cinta suci tahu diri. Tak menuntut melebihi batas dirinya. Sadar siapa dirinya. Seperti cinta Ummu Hani’. Setelah Ummu Hani’ menolak lamaran Rasulullah walau sebenarnya tak kuasa, Rasulullah terdiam. Tentu terlalu banyak ungkapan jiwa beliau, tapi tak terungkapkan. Dialog cinta ini diakhiri dengan pujian tulus Rasulullah kepada wanita istimewa yang dicintainya itu. Pujian yang menambah kilau Ummu Hani’, “Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang mengendarai unta (maksudnya, wanita Arab) adalah wanita Quraisy; paling lembut kepada anaknya di usia kecil dan paling menjaga yang dimiliki oleh suaminya.” Dan kisah cinta ini berakhir sampai di sini. Walau mungkin cinta tetap menetap di relung jiwa. Hingga ajal memisakan keduanya. Rasulullah menghadap Rabb nya pada taun 11 H dan Ummu Hani’ mengakhiri perjalanan cintanya di dunia menuju cinta abadinya di akhirat pada sekitar tahun 50 H. Kisah cinta yang tulus tapi harus mengalami perpisahan cinta. Kemudian dipertemukan lagi dalam cinta. Tapi harus berpisah lagi untuk mengakhiri babak cinta mereka. Tetapi tetap saling menyapa dengan tutur lembut, karena begitulah cinta. Tetap saling menghargai, karena begitulah cinta. Tetap saling menghadiahi, karena begitulah cinta. Dan saling mendoakan kebaikan walau tetap tak bisa bersatu, karena begitulah cinta yang suci dan tulus itu.
1 note
·
View note
Text
Stop Comparing Yourself With Others!
Bahagia itu bukan apa yang dikatakan orang lain, bahagia itu cuma diri sendiri yang bisa merasakannya, banyak teori tentang kebahagian, tapi tidak semuanya benar ataupun tidak, hanya saja sering kali seseorang terjebak dengan pandangan orang lain tentang apa arti kebahagian itu sendiri.
Ada yang bilang "seandainya saya begini, begitu, saya pasti bahagia", "apabila saya mempunyai sesuatu itu saya bahagia", untuk sebagian orang mungkin berpengaruh, tapi untuk sebagian lainnya belum tentu, malah bisa jadi, "make it worst, and happiness didn't come after all".
Baca juga tulisan ini : Keindahan yang Mengiringi
Dikisahkan dari sebuah kejadian nyata mengenai sepasang suami istri yang pernikahannya masih seumur jagung. Sang suami adalah seorang yang cukup taat dalam beragama, pun demikian dengan sang istri. Sebelum pernikahan tersebut berlangsung, sang istri pernah berceritera kepada sang suami bahwa ayah ibunya menikah tanpa ada landasan cinta sama sekali.
Saat itu sang suami berpikir bahwa mungkin yang dia maksud adalah dalam pernikahan tidak mengapa tidak ada cinta yang terpenting adalah kesetiaan dan saling mengerti. Akhirnya setelah dijalani ternyata pernikahan yang direncanakan tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Sang istri berpikir bahwa ternyata memang pernikahan itu bukan sesuatu yang main-main.
Baca juga tulisan ini : The Question of Life
Sang istri akhirnya menuntut lebih kepada sang suami bahwa dia menginginkan cinta sang suami kepadanya. Padahal tanpa ia sadari bahwa sang suami sudah melakukan sesuatu yang menurutnya adalah bukti cintanya kepada sang istri. Sang istri tak paham bagaimana perjuangan sang suami bekerja, berangkat dari pagi pulang sampai petang, menghadapai cuaca kota yang tak menentu, bergumul dengan peluh dan hingar bingar padatnya ibu kota.
Tempat kerja sang suami letaknya cukup jauh dari kediamannya, sehingga setiap hari dia harus berangkat dari rumahnya ke stasiun menuju stasiun lainnya, jarak tempuhnya kurang lebih 53 Km. Ketika sang suami pulang kerja, sang istri tak pernah sedikit pun memperhatikan pengorbanannya selama ini. Setiap pulang kerja tak pernah sang suami ditawari minum atau hanya sekadar menanyakan kondisi dia di perjalanan, atau suasana kerja dsb. Sang istri hanya sibuk dengan gadget-nya atau menonton film kesukaannya yakni film drama korea.
Baca juga tulisan ini : Balada Kota Sejuta Angkot (Tentang Perseteruan Antara Transportasi Offline dan Online)
Akhirnya hampir setiap malam sang suami selalu merawat dirinya sendiri, bahwa dia mempunyai kondisi kesehatan yang kurang baik sehingga setiap malam dia sendiri yang membuat semacam minuman herbal yang terbuat dari perasan air jeruk nipis dan sesendok madu dicampur dengan air hangat. Pun demikian ketika subuh hendak berangkat kerja, sang istri hanya sesekali saja menyiapkan sarapan untuknya, kalaupun dibuatkan sarapan itu pun hanya ala kadarnya saja. Tapi sang suami tidak banyak menuntut apapun. Ketika sang istri sakit, sang suami yang selalu menemaninya, ketika hendak ke dokter, memberikan waktu, tenaga dan segala yang ia punya untuk kesembuhan istrinya. Ketika cucian piring gelas menumpuk di dapur, sang suami jualah yang membereskannya, bahkan sang suami tidak membebani istrinya untuk mencuci pakaiannya karena paham bahwa sang istri pasti kecapean dengan pekerjaannya.
Namun keadaan malah sebaliknya ketika sang suami sakit, sang istri tidak sedikit pun memperhatikannya atau sekadar menanyakan keadaannya. Dia sibuk dengan pekerjaan dan urusannya sendiri. Setiap malam pulang kerja, sang suami selalu bertanya tentang keluarganya, dan juga keadaannya di tempat kerja, sedangkan istrinya tak pernah sekalipun menanyakan tentang keadaannya. Kalau pun ditanya jawabannya selalu ketus, dia selalu menuntut banyak hal, terkadang masalah jatah bulanannya pun dirasa kurang menurutnya.
Baca juga tulisan ini : Not Genuinely a Relationship
Kisah diatas mungkin sebagian pasangan rumah tangga pernah ada yang mengalaminya, banyak yang terjebak dengan kebahagian berdasarkan pandangan orang lain, apalagi terpengaruh oleh film drama tertentu. Saya tidak mengatakan menonton itu buruk, tidak sama sekali hanya saja membanding-bandingkan kebahagiaan diri sendiri dengan orang lain itu yang tidak tepat. “Please stop comparing yourself with others”, Islam mengajarkan umatnya untuk selalu Qana’ah yakni merasa cukup dengan apa yang ada. Kalau selalu merasa kurang, berarti tidak paham tentang makna firman Allah SWT dalam surat Al-Rahman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”, kalau dibandingkan besar mana antara seluruh dosa manusia dengan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada makhluknya, maka tentu saja lebih besar nikmat Allah SWT.
Wallahu'alam
Foto : Flickr
#literasi#Stop Comparing Yourself With Others#bahagia#bahagia itu sederhana#bahagia itu qanaah#qanaah#selalu merasa cukup#kenapa tidak bahagia
0 notes
Text
Pernikahan
Emang kamu gak pernah berantem? Tanya seorang teman. Ya, nggak lah. Kalau berbeda pendapat sih wajar ya. Kita sering diskusi, sering debat. Tapi yang penting sih, harus ada yang mau ngalah. Emang ada pernikahan yang sempurna? Saya nggak tahu ya. Sempurna itu definisinya seperti apa. Secara teori, oke, kita menginginkan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah, seperti doa orang-orang. Tapi hidup kan bukan seperti cerita dongeng ya, yang selalu berakhir dengan pernikahan dari sang putri dan pangeran. They lived happily ever after. Mereka hidup bahagia selama-lamanya. Emang kita tidak tahu hidup pangeran dan putri seperti apa? Apa mereka berantem setiap harinya? Atau ketawa-ketawa melulu, dansa-dansa melulu setiap harinya, sampai bosen. Emang kita tahu semua itu? Itu kan cuma cerita dongeng. Kisah pangeran dan putri yang beneran saja ada yang berakhir dengan ketidakbahagiaan dan perceraian. Padahal yang pangeran ganteng dan putrinya cantik, dianugrahi anak-anak yang sehat, ganteng, dan lucu-lucu, tapi pernikahannya harus berakhir dengan tragis. Lalu apa? Kan kita sering mendengarkan petuah dan ceramah tentang pernikahan. Kenapa sih harus menikah? Hal yang selalu jadi dilema buat orang yang merasa sudah umurnya tapi kok belum mendapatkan jodohnya. Tapi saya akan simpan pertanyaan sejuta dollar itu untuk tidak saya tanyakan pada saat lebaran dan hanya menyebabkan "siksa hati" buat kaum itu. Sudah, nggak usah dibahas di sini. Mungkin yang paling penting untuk dibahas di sini adalah setelah nikah mau apa? Ini yang kadang tidak disadari oleh pasangan suami isteri. Harapan-harapan yang dulu coba untuk dibangun, ternyata berubah dan jadi berbeda. Mungkin harapan itu disimpan sendiri-sendiri, tidak pernah didialogkan. Masing-masing pasangan, punya background yang berbeda-beda mengenai pernikahan. Ada yang mungkin dijodohkan, ada yang pacaran, ada yang melalui perkenalan singkat, dan sebagainya. Masing-masing punya story yang berbeda. Dan pantas saja kalau dua pribadi yang berbeda itu bagaimana caranya untuk kemudian bersatu dan membentuk satu keluarga, satu tubuh. Tidak mudah, tapi bukan suatu yang tidak mungkin. Cinta? Mungkin itu kata yang mendasari sebuah pernikahan. Walau pada masa-masa berikutnya, cinta saja tidak cukup. Orang harus cukup realistis dan bergulat dengan fenomena kehidupan berkeluarga yang nggak mudah, apalagi saat anak-anak kemudian lahir, berkembang, dan membutuhkan perhatian. Cinta yang dulu difokuskan hanya kepada pasangan, kemudian terbagi. Harus memperhatikan anak-anak juga, harus memperhatikan keluarga besar juga. Kadang kesibukan di tempat kerja, karir yang semakin meningkat membuat perhatian yang dulu utama, menjadi nomor sekian. Kesetiaan dan persahabatan, saling menyayangi, komitmen dan komunikasi itu yang dibutuhkan. Bukan rumah besar atau mobil mewah tapi hampa dari dialog dan tawa renyah anak-anak dan penghuni keluarga. Oke, kalau ada rumah dan mobil bagus juga gak papa sih, anggap saja sebagai bonus. Lepaskan ego dong. Ini yang sulit. Dua ego yang berbeda belajar untuk saling memahami dan mengerti untuk menjadi "tubuh yang satu". Tubuh keluarga. Bukan untuk meniadakan perbedaan, tapi justru hal-hal yang berbeda itu jadi penguat. Realistis saja. Orang bisa punya impian tentang pernikahan yang sempurna, tpi bisa jadi pasangan kita bukan orang yang sempurna. Tapi it's oke. Itu adalah anugrah dari Tuhan, amanah dari Tuhan yang perlu kita jaga. Yang terpenting lagi adalah memelihara dan menjaga rasa cinta dan saling percaya. Ini yang mungkin terlihat mudah untuk diucapkan dan dibayangkan. Pada kenyataannya sebuah pernikahan yang utuh adalah suatu kemewahan tersendiri. Banyak cerita pernikahan yang harus berakhir tidak dengan indah karena memudarnya rasa cinta, timbulnya ketidakpercayaan, perselingkuhan, dan pengkhianatan dimulai dari hal-hal yang mungkin kecil dan sederhana. Buat yang sudah menikah, bersyukurlah. Buat yang belum, bersabar saja. Ada hal-hal yang perlu kita pahami dari suatu pernikahan. Bahwa itu adalah suatu episode kehidupan yang bisa tidak sama bagi setiap orang. Bahwa pernikahan bukan hanya melulu soal cinta-cintaan atau nafsu sesaat. Bahwa pernikahan itu soal tanggung jawab, perjanjian kita di hadapan Allah SWT, untuk memelihara dan menjaga keutuhan rumah tangga serta menumbuhkembangkan kasih sayang di dalamnya. -Wikan Danar Sunindyo-
0 notes
Text
Ingin Nikah Lagi dengan Perempuan yang Tidak Mikir Itu
Ingin Nikah Lagi dengan Perempuan yang Tidak Mikir Itu
Bakir (samaran) sudah tua. Bulan lalu memasuki lansia. Usia 60 tahun lebih satu bulan. Dia sedang menunggu putusan hasil sidang cerainya di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya. “Saya ingin kawin lagi,” katanya. Dia mengatakan bahwa ini bukan main-main. Ini sangat serius, bahkan amat serius. Wajahnya yang innocent tampak lucu. “Kenapa sih njenengan masih ingin menikah lagi pada…
View On WordPress
0 notes
Text
Dav. #1
Liz.
Perkenalkan, namaku Fanny Lizthia. Orang-orang memanggilku Liz. Dan inilah kisahku. Kisah seorang perempuan yang telah gagal.
Umurku baru 19 tahun kala itu. Usia yang masih sangat muda untuk mengerti tentang peliknya kehidupan. Aku baru saja menamatkan pendidikan di jenjang sekolah menengah atas. Satu minggu setelah kelulusanku, Papa meninggal karena kecelakaan. Meninggalkanku dalam kebingungan dan rasa sedih yang hebat. Sejak kecil aku hidup dengan Papa. Mama meninggalkan kami saat usiaku masih sangat kecil. Dua atau tiga tahun mungkin. Aku tidak pernah bertanya kepada Papa alasannya kenapa. Bagiku Mama tak penting, Mama juga tak perduli padaku sejak awal, mengapa aku harus mempertanyakan tentang dia? Asal ada Papa saja, aku sudah merasa bahagia dan senang. Papa merupakan orang yang sangat baik, punya banyak teman dan sangat mudah bergaul dengan orang lain. Ia juga suka olahraga dan punya pola hidup yang sehat. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku akan kehilangan Papa seperti ini.
Mungkin karena aku anak tunggal yang dibesarkan hanya dengan didikan seorang ayah, aku tumbuh menjadi anak yang lumayan manja. Aku menggantungkan semua hal ke Papa. Sehingga ketika hal ini terjadi, aku hancur. Bukan hanya secara moral, namun juga materil. Sembari memulihkan perasaan, aku juga harus mulai belajar untuk mencari uang bagi kebutuhanku sendiri.
Aku bekerja di sebuah restoran sebagai waitress di siang hari dan bekerja sebagai resepsionis/penerima pasien di klinik Dav pada malam hari. Aku berusaha menyibukkan diri dengan sebanyak mungkin pekerjaan agar tidak lagi mengingat kembali semua hal yang telah terjadi.
Terkadang ketika tidak ada pasien Dav sering mengajakku sharing dan sekedar berbincang-bincang ringan. Dav orang yang sangat menyenangkan. Walaupun kadang, aku tahu, dia juga sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya dibalik perilaku dan canda-tawanya itu. Aku awalnya tidak pernah berpikir akan bisa jatuh cinta dengan Dav. Dia baik, bahkan seharusnya terlalu baik untukku. Berawal dari rasa kagum –yang salah- aku mulai mencintai lelaki milik orang lain.
Waktu itu, aku tidak tahu untuk orang se-sukses Dav, kesedihan seperti apa yang ia hadapi. Dimataku dia telah memiliki segalanya.
Dav.
Namaku Stenly Davwey. Panggilanku Dav. Aku bekerja sebagai dokter spesialis gigi di sebuah rumah sakit yang lumayan terkenal di kota ini. Dan pada malam hari aku masih membuka praktek di klinik sendiri. Kehidupanku tidak jauh berbeda seperti orang-orang lain yang hidup di kota metropolitan. Bekerja dari matahari terbit hingga matahari tenggelam dan tiba di rumah pada larut malam. Setidaknya itulah yang terjadi padaku beberapa tahun terakhir ini. Melelahkan memang, tapi aku lebih baik merasa lelah bekerja daripada berhadapan dengan masalah lain di rumah. Rumah tanggaku, maksudnya.
Aku sudah menikah tiga tahun. Sekarang sedang memasuki tahun ke-empat. Masa awal pernikahan seharusnya menjadi masa yang indah kata orang-orang. Ditahun-tahun ini seharusnya kami akan makan malam romantis bersama, belanja bersama, dan melewati waktu dengan penuh kebahagiaan, namun itu tidak terjadi. Alasannya? Sederhana saja. Kami tidak lagi saling mencintai.
Istriku bernama Sel.
Ia merupakan gadis yang mampu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama. Aku bertemu dengannya saat menghadiri sebuah event dari produk elektronik ternama buatan Taiwan. DIa menjadi host dalam acara itu. Sel membawakan acara dengan sangat cantik dan elegan. Ia fasih berbahasa Mandarin dan Indonesia.
Aku suka wanita yang mandiri dan pintar. Karena bagiku wanita yang pintar dan berwawasan luas sudah pasti akan mampu mendampingiku membangun rumah tangga dengan baik. Itulah mengapa aku langsung bisa jatuh hati dengan Sel di kala itu.
Event pun selesai. Kami berkenalan dan aku memintanya untuk makan siang keesokan harinya. Sel menyetujui dengan tersenyum.
Sel.
Hai, namaku Anastasia Gisell. Panggil saja Sel.
Aku merupakan seorang perempuan dengan sejuta mimpi dan keinginan yang sangat ambisius menjalani hidup. Hidup cuman sekali, right? Bagiku setiap waktu yang ada merupakan kesempatan. Kesempatan untuk melakukan banyak hal baru, berkenalan dengan orang-orang baru, dan menemukan pengalaman baru dalam kehidupan. Aku suka dengan segala jenis attention yang diberikan pada publik sejak aku remaja. Aku sudah mulai berkarir di dunia hiburan sejak umur 16 tahun. Berkarir di dunia entertain sangat menyenangkan bagiku.
Aku sangat tidak suka diabaikan. Itulah alasan mengapa aku belajar bahasa asing dengan giat. Karena aku suka berinteraksi dengan banyak orang dari seluruh dunia. Aku bukan tipikal wanita yang gila hormat, aku hanya suka ketika orang-orang melihat kearahku dengan penuh kekaguman.
Dan hari itu, aku bertemu dengan Dav.
Awalnya kupikir Dav tidak terlalu berbeda dengan lelaki lain yang pernah mengajakku berkencan. Dia tampan dan penuh perhatian. Hanya saja Dav lebih serius dalam memandang suatu hubungan. Baginya memulai hubungan dengan seorang wanita merupakan anak tangga menuju ke jenjang pernikahan. Dan, yah, aku suka lelaki yang serius. Bagiku, lelaki serius yang penuh perhatian itu sangat seksi dengan caranya sendiri.
Kami berkencan beberapa kali, dan memutuskan untuk menikah di tahun kedua hubungan kami.
Pernikahan yang ku harap bisa membawaku dalam kebahagiaan baru dalam hidup.
Tapi, ternyata aku salah.
0 notes
Text
Suami Dinas Luar Jawa, Terpikat Perempuan Kalimantan
Suami Dinas Luar Jawa, Terpikat Perempuan Kalimantan
Pilu. Ya, semenjak perceraiannya dari Abdi (nama samaran), Reyna (nama samaran juga) merasakan kepiluan yang begitu dalam. Lelaki yang diharapankan mampu menjadi sosok suami dambaan itu ternyata tidak sesuai kenyataan. Kini, meski dikaruniai putra berusia tiga tahun, Reyna telah bertekad bulat untuk mengakhiri biduk rumah tangganya. Kenangan Reyna kembali ke masa lalu saat ia dikejar-kejar Abdi…
View On WordPress
0 notes
Text
Derita Pria Paruh Baya Menghadapi Anak-Menantu Milenial (2)
Derita Pria Paruh Baya Menghadapi Anak-Menantu Milenial (2)
Ke Dukun Membawa Kembang 7 Rupa dan Air 7 Sumur Hani memang selalu menggoda orang tua. Dia pernah pulang setelah dua minggu menghilang. Bersama Rendra. Berduaan. Saat ditanya ke mana saja, Hani hanya menjawab pergi. Pokoknya pergi. Agar jauh dari rumah. Agar tidak dimarahi mulu. Danar mengelus dada. Yang mengagetkan, Hani yang sebelumnya tidak pernah mabuk, kini membuka pintu pagar saja…
View On WordPress
0 notes
Text
Derita Pria Paruh Baya Menghadapi Anak-Menantu Milenial (1)
Derita Pria Paruh Baya Menghadapi Anak-Menantu Milenial (1)
Dikenal Suka Mabuk-mabukan dan Bikin Resek Kampung Danar (bukan nama sebenarnya) menatap kosong. Ia tak pernah menyangka bakal menjalani episode gelap dalam perjalanan hidup. Cucunya dijadikan taruhan si menantu, sebut saja Rendra. Kata Danar, sejak awal ia tidak menyetujui anaknya, sebut saja Hani, menikah vs Rendra. Ketidaksetujuan tersebut sebenarnya sudah terjadi pada awal kedekatan Hani dan…
View On WordPress
0 notes