#ransel besar
Explore tagged Tumblr posts
syafiqlajulan · 2 years ago
Text
088ᑫ–838I–7850 (WA) Tas Kanvas Murah Depok Tas Wanita Bahan Kanvas
Tumblr media
Gambar tas kanvas selempang wanita harga tas kanvas bali perawatan tas kanvastas kanvas jogja custom. Pengrajin tas kanvas di depok model tas kanvas unikcetak sablon tas kanvas. Tas ransel kecil kanvas grosir tas kanvas polosmodel tas ransel kanvas wanita. Harga tas kanvas sablon grosir tas kanvas murah pabrik tas kanvas tas kanvas indonesia jual tas kanvas di bogor tas ransel bahan kanvas untuk wanita tas goodie bag kanvas polos tas gendong kanvas pewarna tas kanvas grosir tas kanvas tasikmalaya.
0 notes
ceritaapaaja · 5 months ago
Text
Tumblr media
Aku akan bercerita sesuatu. Jadi pagi ini aku pulang ke rumah. Aku pulang naik kereta. Keretaku berangkat tepat di jam 5 pagi. Aku memesan ojol untuk mengantarku ke stasiun. Semalam saat aku memberitahu Ibuku terkait kepulanganku jadinya aku pulang besok pagi. Terus Ibuk menjawab "hati-hati". Benar kata Ibuk, aku harus hati-hati. Jadi, aku kehilangan susu kotak cimori dan nextar yang hendak kuberikan ke temanku. Saat di perjalanan keduanya jatuh bergiliran tanpa diketahui oleh bapak ojolnya. Aku yang masih menahan kantuk karena hanya tidur setengah jam itu hanya bisa diam. Pun aku merasa nggak enak jika aku memberitahu bapaknya. "Lha, kok bisa jatuh?" Iya, jadi ceritanya selain membawa tas ransel aku membawa tas totebag dan satu kardus. Nah, cimori dan nextar itu kumasukan di dalam totebag bebarengan dengan kertas skalaku. Nah, totebag itu di taruh di depan di bawah kardus. Mana pas jatuh itu posisi di jalan raya. Aku yang ngeh suara seperti ada yang jatuh itu langsung menengok kebelakang ternyata nextarnya jatuh. Sedangkan, bapaknya tetap jalan :') eh tak lama kemudian cimorinya jatuh tepat setelah itu ada truk besar sepertinya abis itu kelindes ban truknya, huhuuu. Yasudah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga nggak berani ngasih tahu bapak ojolnya. Ntah bapaknya mengetahui atau tidak. Setelah kejadian itu aku meminta bapaknya untuk berhenti dan memberikan tas totebag itu biar ku pegang saja di belakang. Mungkin belum rezekinya buat temenku. Iya, nanti beli yang lain.
Dalam perjalanan di kereta Smg-Pkl, 14 Juni 2024
7 notes · View notes
gr8brandz · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Huwai Tas Ransel Mountaineering 60L
https://tokopedia.link/G7i3tky7QDb - https://shope.ee/A9pqzFCvRc             
====================================================Spesifikasi: Merek: Huwai Material: Nylon Dimensi: Sekitar 61 x 37 x 21 cm Kapasitas: 60 L Gender: Unisex
Informasi Tas ini memiliki kualitas yang melebihi ekspektasi dari harganya itu sendiri, Anda akan mendapatkan tas ransel terjangkau yang dibekali fitur tahan air dan material yang kuat. Fisiknya yang begitu kekar dan kuat, sangat erat dengan desainnya yang bergaya militer.
Fitur Waterproof Anda tak perlu direpotkan dengan raincover bag, saat hujan tiba. Tas menggunakan bahan nylon yang yang dilengkapi fitur tahan air atau waterproof, sehingga melindungi bagian dalam dalam tas Anda, terutama saat Anda menyimpan barang-barang gadget seperti laptop, kamera, dan smartphone.
High Material Dengan menggunakan bahan nylon dan juga untuk bagian lining-nya menggunakan polyester, tas punggung sangat cocok bagi Anda tengah mencari tas yang kuat, awet, dan tahan lama. Bahkan, tas laptop ini tak mudah diseset oleh pisau dan benda tajam lainnya.
Many Slot Selain memiliki kompartemen utama yang cukup besar, tas ransel ini dilengkapi dengan banyak slot yang bisa Anda gunakan untuk menyimpan barang-barang kecil seperti peralatan tulis, botol air minum, maupun gadget smartphone dan tablet.
Comportable and Ergonomics Jangan dilihat dari fisiknya yang begitu kekar dan kuat, Tas ransel ini juga sisi kelembutan dan kenyamanan saat Anda pakai sebagai tas backpack. Sirkulasi udara yang mengalir di sela-sela bodi tas, juga akan mengurangi hawa panas dan gerah di punggung Anda saat mengenakan tas ini.
Paket Termasuk 1 x Huwai Tas Ransel Mountaineering 60L ==================================================== https://shope.ee/A9lt8Dkz3M https://tokopedia.link/vfg3UqLVZzb
18 notes · View notes
lamyaasfaraini · 6 months ago
Text
Walking - bday present hunting
Batpil nafas kerasa berat jadi belom berani lari takut percuma nanti malah ngga enjoy. Udah skip 4 harian ngga lari tapi kemarin nyempetin ST mayanlah 22 menit plus bisa plank 45 detik 2 set, emejing deh kemajuanku haha. Wlpn ttp belom bisa side plank dan push up. Peerku ituu.. Nah hari ini rencananya aku mau exercise jalan aja sambil sekalian hunting kado buat fahri yg udah lewat dan nira besok perayaannya di sekolah. Baiklaaaah yuu dmn lg kalo bulan di gramed haha. Berharap ada cuci gudang buku2 lagi ternyata skrg cuci gudangnya stationary wuihhh kebetulan kaan ada aja lg cuci gudang disaat tgl tua begindang bunnn huft.
Gramed buka sekitar jam 10 kan, berarti start dari rumah jam 9an aja palingan kesana 2k lebih atau 3k sih yaa. Sengaja aku ambil rute agak muter ke kebon kawung st. Bandung trus ke viaduct belok kiri ke balkot kaan. Mayan udah panas tuh janlup pake sunscreen dan topi, ransel pun dibawa untuk naro kadonya haha. Letsgoooo jadi pedestrian dulu targetnya 5000 steps sih nyampe ke gramed.
Lewatin kantor2 bestie kuu.. DSDA dan Dinas kelautan. Report dulu ke grup kalo aku dadah2in kantor mreka. Mandiri braga ngga liwat maap itu sebelah sana dikit haha. Aslilah susah bgt ktemu mreka dari bukber kaga jadi2 masyaaaAllaaahhhhh.. Sehat2 ah gais, soon semoga jodoh ktemu yaa!
Tumblr media Tumblr media
Ngga lupa report ke ayang dong.. Selfie jg tp gakobe ah, buat ayang aja gakobenya gosah di posting wkwk.
Tumblr media
Ternyata sampe gramed di puter2in ganyampe 4k, cuma 3k lebih cuy dkt bgt yah. Tadi almost 5000 steps, ngga nyampe soalnya haha. Recording double dari band dan dari strava. Gps pergi agak error, pas pulang gps bagus. Setelah hunting dan dapet barang2 bagus nanti murceu (ah shoo hweppii!), minta bungkusin kado disana, siap masukin ransel alhamdulillah cukup soalnya kadonya ngga kecil tp ngga besar jg haha plus gabawa totebag akutuu huft.
Waktu menunjukkan jam 10.30 kayanya cukup buat jalan lagi ke sekolah nemo. Tinggal luruuusss terus yakan.. Ke bawah lalu arah gor pajajaran, tiba2 pgn kopi saku bukannya lanjut malah kudu belok dulu ke pasirkaliki deket semar haha niat bener. Jalan lagi lanjoottt.. Haa sampe juga, sama kaya pergi dapet 3k lebih karena ke indomaret point dulu cuy kalo ngga mah ngga nyampe 3k sih dkt bgtt.
Rute pergi. Rute plg. Belokan itu ke point
Tumblr media Tumblr media
Pas nyampe report dulu ayang
Kopi saku! Finished! 10k steps, yeay!
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kaki pas pergi mah ngga pegel, pas plg udah mulai kerasa.. Nafas sepertinya msh tersengal sedikit. Gatau nih kalo lari, dicoba aja apa ya~
2 notes · View notes
yaninurhidayati · 2 years ago
Text
Tumblr media
Jika dirasa-rasa, kehidupan ini lucu juga. Kita yang membuat ekspektasi, ketika tidak tercapai kita marah-marah. Lalu, menyalahkan diri sendiri. Padahal hasil bukanlah kendali kita. Barangkali ekspektasi kita yang terlalu tinggi, belum tersupport oleh kapasitas diri kita yang masih terlalu rendah. Aku jadi teringat dengan sebuah ayat Al Qur’an yang mengatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, 'kami telah beriman' TANPA diuji?!...” Apakah setelah menetapkan ekspetasi, tidak akan ada ujian untuk mengetahui kesungguhan diri untuk mencapainya? Sesuatu yang barangkali selalu ingin dihindari manusia, UJIAN.
Ada hal yang yang pernah terpikir olehku, membayangkannya akan menjadi hal yang menyenangkan jika aku benar-benar berada pada situasi itu. Namun, nyatanya di hari ke-100 aku menjalaninya, mungkin masih hitungan jari aku benar-benar menjalani peran ini dengan bahagia.
Suara riuh anak-anak terdengar hingga dalam rumah. Teriakan goal sesekali terdengar, membuatku ingin sekali segera menontonnya seperti hari-hari sebelumnya. Tinggal sedikit lagi apa yang aku masak siap disajikan di atas meja makan. Menu nutrisi penting untuk tubuh jompo kami, jangan sop. Kuah telah mendidih sempurna, rasa sudah pas, dan wortel sudah cukup empuk untuk digigit. Kumatikan kompor, kuambil eros, kugayung jangan sop beserta isinya dari panci ke mangkok. Kubawa menu terakhir ke atas meja. Voila! Makan malam sudah siap, waktunya bersantai sejenak menonton pertandingan anak-anak di depan rumah.
Tanah luas itu tepat berada di depan rumah kontrakan. Satu-satunya tanah yang paling luas yang ada di perumahan ini. Tanah yang seringkali dijadikan tempat tanding bola, badminton outdoor, sampai acara nikahan tetangga. Fasum serbaguna tempat menjalin silaturahmi antar tetangga, juga tempat berita terbaru dengan cepat menyebar.
“Tante Rayya!!!” suara pertama yang kudengar saat membuka pintu pagar rumah. Mbak Anggun melambaikan tangan si bungsu ke arahku. Kubalas dengan lambaian tangan paling tinggi dan senyum seriang mungkin. Kuberjalan menuju mereka dan membiarkan pintu pagar terbuka sedikit. Kugerak-gerakkan jari jemariku, membuat pertunjukkan sederhana yang membuat si bungsu tertawa riang. Dia mengangkat tangannya seakan-akan memberitahu bahwa aku pengen digendong tante Rayya. Kusambut tangan itu, lalu kugendong putri kecil yang baru berusia enam-belas bulan itu.
“Kok telat, dhek?” tanya mbak Anggun ketika mengalihkan si bungsu kepadaku.
“Iya, mbak. Menu makan malam kali ini sedikit ribet,” jawabku sekenanya.
“Merayakan sesuatu?”
“Enggak. Permintaan paksu.”
“Oh…,” jawab mbak Anggun mengakhiri topik permenuan.
“Itu siapa mbak?” tanyaku sambil menunjuk seorang gadis yang baru muncul dari belokan jalan menuju ke arah lapangan, melewati kami dengan senyuman, lalu masuk ke rumah yang berjarak tiga rumah dari rumahku.
“Itu Gina. Putri sulung Bu Joko. Dia dulu merantau ke Medan. Udah hampir satu bulan ini dia ditugaskan di Surabaya. Jadi, bisa pulang sebulan sekali. Nggak kayak dulu, setahun sekali aja sudah untung.”
Gina. Pertama kalinya ada seseorang yang membuatku teringat akan masa laluku sejak kepindahanku ke perumahan ini. Gadis berkerudung krem, ber-PDL mirip dengan yang pernah kupakai dulu, bersepatu safety dengan besi di bagian atasnya, dan tentu dengan ransel yang barangkali berisikan laptop, takut tiba-tiba si bos besar bertanya mendadak tidak peduli staffnya sedang cuti atau tidak.
***
Tahun lalu...
Menjejakkan sepatu safety di tengah tanah yang lebih sering berlumpur di kala hujan adalah salah satu scene kehidupan yang telah kubayangkan sejak mengenal apa itu praktek kerja lapangan saat kuliah. Bau semen yang begitu khas. Pepohonan yang hampir tidak ada sama sekali. Lonjoran besi di mana-mana. Tentu, tak ketinggalan, tangga scaffolding yang ngeri-ngeri sedap saat menaikinya. Tangga yang kubenci sekaligus kusuka dalam satu waktu. Karena dengannya-lah aku bisa mendapati pemandangan kota dari lantai tertinggi dan menjadi perempuan pertama yang menikmatinya sebelum menjadi viral saat gedung ini telah sempurna.
Bulai Mei yang digadang-gadang akan memasuki musim kemarau, ternyata telah mengalami cuaca yang labil dan upnormal. Sudah seminggu lebih hujan turun terus menerus tanpa henti, menyebabkan pergeseran jadwal pengecoran sangat di luar prediksi. Pawang hujan? Sayangnya itu tidak bekerja. Allah rupanya tidak menulis takdir bahwa pawang hujan itu akan berhasil dalam misinya kali ini. Seminggu lebih kami hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan. Untungnya, lantai basement, mezzanine, lantai 1, lantai 2 dan lantai 3 telah tuntas proses cor. Pekerjaan arsitek dan Mechanical Electrical (ME) bisa masuk, sambil berharap hujan segera berhenti dan proses pengecoran lantai 5 segera dilakukan.
Hari ini, hari pengecoran pertama setelah off tujuh hari. Dengan semangat yang mulai membara lagi, aku mengikuti proses pengecoran yang memakan waktu satu hari penuh untuk memenuhi separuh bekisting plat lantai 5 yang telah diisi oleh besi-besi yang teranyam.
Roger... roger... Readymix terakhir datang! Readymix terakhir datang! Siap-siap test slump! Akhirnya, sebentar lagi pengecoran hari ini selesai.
"Rayya... Rayya... Rayya...," suara handy talky memanggilku.
"Ya, pak!" jawabku.
"Mbak, kamu order berapa kubik? Ini kenapa sisa banyak sekali?"
Deg! Aku yang mendengar pertanyaan itu langsung menutup mata dengan tangan kiriku. Teringat sebuah kertas berisi rincian BOQ yang digunakan acuan untuk order readymix ke supplier setiap harinya. BOQ yang kubaca adalah BOQ lama untuk pengecoran tertulis untuk pengecoran plat dan balok sekaligus 72 meter kubik. Sedangkan untuk pengecoran hari ini di jadwal baru hanya 65 meter kubik. Artinya tujuh meter kubik tersisa.
"Order tujuh puluh dua meter kubik, pak," jawabku dengan sedikit cemas. Aku telah melakukan sebuah kesalahan dan aku baru tersadar di detik-detik terakhir pengecoran malam ini akan tuntas.
"Gimana sih kamu, mbiaaaak! Kamu baca BOQ lama? Kesepakatan kita kan di rapat kemarin hanya 65 meter kubik!!!"
"Iya, pak! Maaf!" jawabku lemah. Sudah terbayang bagaimana marahnya Pak Roto yang berusaha semaksimal mungkin mempercepat pekerjaan di lapangan, namun, aku mengacaukannya.
"Pak Roto! Pak Roto! Ijin masuk, pak!" Aku mendengar suara yang tak asing masuk menyela percakapan kami.
"Iya, Ryan! Kamu ada area yang bisa dicor malam ini?!"
"Ada, pak. Tujuh meter kubik siap diterima di area tower A sisi utara."
"Oke, Ryan. Yok, semuanya siapkan jalan menuju tower A sisi utara! Segera! Beton makin mengeras. Duit ini! Duit. Yok, segera habiskan! CEPET! CEPET! CEPET!" Seketika nafasku lega. Tujuh meter kubik beton terselamatkan malam ini.  
Suara handy talky masih terdengar riuh. Bintang-bintang yang meramaikan langit malam seakan menyapaku dan bertanya apakah kau baik-baik saja? Lampu-lampu yang memberikan terang cahaya untuk para pencari nafkah di atas anyaman besi di lantai 5 itu seakan memberitahu ini pengecoran terakhir hari ini, sebentar lagi kita akan istirahat. Tenanglah. Sisa tujuh kubik itu telah ada solusinya. Are you okay, Rayya?
"Belum pulang, mbak?" suara di belakangku membuat kuterkejut. Portofon terlepas begitu saja. Buk. Jatuh tepat di luar railing balkon Site Office, untung tidak sampai terpantul ke luar lebih jauh. Aku menunduk dan melihat sebuah tangan sedang mengambil portofon melalui sela-sela railing yang tidak terlalu rapat, lalu memberikannya padaku seraya berkata, "Sampeyan terlihat lelah."
"Hehe. Makasih, pak! Maaf ya, merepotkan. Kalau nggak ada bapak, aku bisa pingsan mempertanggungjawabkan kelebihan orderan malam ini."
"Tenang mbak. Tadi tukangku mau kerja lembur menyiapkan balok dan plat untuk jadwal pengecoran besok. Dan udah diceklist. Kalau bisa dicor malam ini, kenapa nggak! Toh, kita semua yang untung kan," Ryan menoleh ke arahku, 
“He’em.”
"Sampeyan nggak pulang, karena khawatir ta, mbak?
“Nggak. Lagi pengen aja mengamati proses cor hari ini. Udah lama nggak lihat proses cor malam ditemani semarak lampu di atas sana.”
“Hahaha. Apa istimewanya, mbak?”
“Suka aja. Malam nggak selamanya ditemani bintang-bintang. Juga nggak selamanya mendapatkan cahaya rembulan. Lampu-lampu itu selalu menemani proses cor hingga tetes beton terakhir. Seakan pagi atau malam tak ada beda cahayanya. Sama-sama terang.”
“Puitis sekali. Biasanya manusia-manusia yang puitis punya tingkat kekhawatiran yang tinggi.”
“Bisa jadi iya. Bisa jadi enggak. Karena khawatir itu akan selalu ada membersamai manusia. Itu salah satu bentuk ujian manusia.”
“Sampeyan tak perlu terlalu mengkhawatirkan kejadian malam ini! Perjalanan masih panjang. Masih ada sepuluh lantai lagi.”
“Haha! Iya masih sepuluh lantai lagi ya. Masih panjang perjalanan drama proyek ini!”
“Namanya juga hidup, mbak. Kalau nggak ada drama, kata anak muda, nggak asyik,” ucap Ryan menirukan ekspresi anak muda, “Hidup itu ada yang bisa kita kendalikan, ada yang tidak. Dan kita tidak perlu mencemaskan hal yang tidak bisa kita kendalikan.”
"Sepakat! Dan kenyataan bahwa kita punya tingkat kekhawatiran yang tinggi membuat hidup lebih berwarna. Seperti malam ini. Kukira akan mulus, ternyata jantungku berdegub lebih kencang di saat-saat terakhir, ketika mengetahui aku kelebihan order. Antara merasa bersalah membuat kekacauan atau merasa beruntung akhirnya target kita hari ini terlampaui tanpa terencana. Hahaha. Allah itu Maha Baik ya!”
“Hahaha. Jantungku juga berdegub kencang sekarang, mbak."
"Mulai… Udah, ah! Makasih untuk ruang tujuh kubiknya. Jangan kapok kerja satu tim denganku. Ingat istri dan anak di rumah.” Aku menepuk bahunya dan membalikkan badan, melangkah meninggalkannya, dan masuk ke dalam kantor. Aku berjalan menuju meja kerjaku yang terlihat sangat berantakan dari jarak sepuluh meter. Barangkali jika ada orang-baru melihatnya, ia tak akan percaya bahwa pemilik meja itu adalah seorang wanita berkerudung yang dulu sering mendapatkan imej seorang ukhti. Sayangnya imej itu perlahan luntur semenjak aku memutuskan bergabung dengan kontraktor ini tiga tahun lalu. Rok yang biasa kupakai, kini telah menggantung di lemari selama sekian tahun. Aku belum pernah memakainya lagi. Tugas negara yang mengharuskan berteman dengan lumpur, tangga scaffolding, dan tumpukan material, membuatku harus memilih untuk menggantinya dengan celana. Setiap hari. Bahkan di jadwal cutiku, sekalipun.
Kertas berisikan gambar kerja, surat perintah cor, notulen rapat, dan memo-memo lainnya berantakan menutupi hampir seluruh meja hingga menyisakan satu luasan kecil yang telah tertutupi oleh sebuah tas kertas berwarna coklat. Aku berhenti tepat di depan mejaku sendiri. Mulai berpikir, apakah aku memesan makanan dari ojol, kurasa tidak. Tanganku reflek meraih tas itu dan membukanya. Sebuah buku bercover dua manusia yang berada di depan dua lukisan. Lukisan bunda maria dan langit-langit Masjid Hagia Sophia. Buku yang telah lama menjadi incaranku itu telah sampai di mejaku begitu saja. Aku melihat ada sebuah note di dalam tas itu.
"Buku untuk menemani perjalanan bertemu keluarga di kampung halaman. Semoga cutimu menyenangkan ya, mbak!"
Aku pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia penyelamat tujuh kubik betonku.
----
Esok harinya…
Bunyi sirine kereta terdengar. Gerbong besi yang konon tingkat keamanannya ditemukan oleh Eyang Habibie saat di Jerman ini bergerak perlahan membawaku menuju kampung halaman yang kurindu. Seperti biasa, tempat favoritku di samping jendela. Rumah-rumah penduduk yang hanya selemparan batu dari rel, terlihat sangat padat. Pemandangan anak-anak berlarian kejar-kejaran membuat senyuman akhirnya mampir di pagi ini. Pakaian yang tergantung pada kawat di pinggir rel pun tak mau kalah tampil dengan anak-anak kicik itu. Kereta semakin mempercepat lajunya ketika telah lepas dari kampung pinggir rel itu. Pemandangan berganti dengan berjajarnya kendaraan yang sedang antre hendak melewati pembatas kereta api. Kereta api sungguh menjadi rajanya kendaraan di darat ini.
Pramusaji mulai berlalu lalang menawarkan sarapan pagi atau sekadar camilan dengan kadar msg yang bikin nagih. Tapi ku hanya melihatnya, tak memanggilnya. Masih enggan untuk menyarap di jam sepagi ini. Ku melihat jam tangan di pergelangan kiriku, masih dua jam lagi kereta ini sampai pada kampung halamanku.
Aku membuka goodie bag yang sedari tadi sudah memanggil-manggil untuk kubuka. Kuraih sebuah buku yang masih dalam bungkusnya. Novel perjalanan 99 Cahaya di Langit Eropa. Aku sudah pernah membaca ulasannya di mana-mana. Itu yang membuatku tertarik untuk membacanya. Tak kusangka, Ryan memberikannya tepat di saat jadwal cutiku tiba dan di tengah huru hara cuaca yang tak menentu penyebab keterlambatan progress di lapangan dan tragedi tujuh kubik beton. Sungguh laki-laki yang jika ia masih single, kuingin sekali berdampingan dengannya seumur hidup.
Hanum Rais Salsabila. Wanita yang pernah kekeuh untuk menjalani LDR dengan suaminya, akhirnya memilih untuk membersamai suaminya, Rangga, yang sedang melanjutkan studi di benua Eropa. LDR? Akankah esok aku juga akan LDR dengan suamiku? Seperti kebanyakan pekerja proyek lainnya? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan tanpa tahu kapan akan terjawab, karena hilal imam pun belum nampak. Berkarir terus di dunia perproyekan? Hm…sepertinya cukup empat tahun saja, tidak lebih. Karena aku memilki impian menjadi seorang dosen, dosen yang memiliki pengalaman di lapangan. Menjadi dosen pun artinya menetap di satu domisili. Lalu bagaimana jika mendapatkan suami yang tetap memilih bekerja di proyek? Akankah aku tetap menuju impianku, ataukah berubah haluan mengikuti ke manapun suamiku nanti pergi. Ah…persoalan ini rumit tanpa solusi sebelum bertatap muka dengan my future husband. 
Roda kereta sekali lagi menderit. Berhenti di stasiun S, stasiun ke-5, selama 10 menit. Seperti di stasiun sebelumnya, di stasiun ini juga ramai dengan penumpang naik. Meskipun terhitung stasiun kecil, stasiun ini telah menjadi pusat mobilitas tertinggi di kotanya.
Sepuluh menit termasuk waktu yang pendek. Penumpang yang hendak naik, telah mempersiapkan diri di belakang garis kuning. Ketika kereta benar-benar berhenti, mereka sat set wat wet memasuki gerbong kereta agar tidak tertinggal. Aku yang telah satu jam berada di dalam gerbong kereta mengamati aktivitas di luar yang sudah mulai lengang.
“Hey!” seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sampingku. Seketika aku menoleh ke arahnya dan cukup terkejut dengan kehadirannya. “Ga nyangka ya, bisa ketemu di sini.”
“Hey!” jawabku dengan muka bingung. Laki-laki yang sudah empat tahun tak pernah jumpa, hari ini Allah kirimkan tanpa duga di sampingku. Terbesit di pikiranku, anak ini kenapa tahu aku duduk di sini? Dia secret admirer? Stalker ku yang tak pernah kutahu?
“Sebuah kebetulan yang Allah takdirkan ya,” ucapnya sambil menunjukkan tiket kereta yang tertulis nomor kursi beserta gerbongnya. Tiket yang wujudnya berbeda dengan yang kupegang. Tiket yang menunjukkan dia memesannya beberapa jam sebelum kereta ini datang. On the spot. Takdir ilahi.
“Ikutan reuni hari ini?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Emang ada reuni?” jawabku yang baru sadar dari lamunan dan membetulkan posisi duduk.
“Ada. Kamu ga ikutan ikatan alumni kampus?”
“Nggak.”
“Pantes. Hari ini ada reuni kampus. Kabarnya sih akbar gitu. Mau bareng ke sana?”
“Kamu beli tiket dadakan hanya untuk reuni kampus? Sungguh anak kampus beneran. Nggak berubah, ya?” tanyaku menoleh dengan menghadapkan tubuh sedikit serong ke arahnya.
“Hahaha. Enggak. Dadakan beli tiket karena dipanggil bos besar. Harus segera sampai sebelum adzan dhuhur berkumandang.”
“Kamu kerja di Malang, sekarang?”
“Nggak. Aku kerja di kota ini. Bos besar di kota Malang.”
“Oh…”
“Mau ikutan reuni nggak? Ayo, datang bareng. Udah lama kita nggak dateng acara bareng.”
“Nggak. Aku mau jumpa bapak ibu.”
“Udah, ikut aja. Ntar aku anterin sampe rumah.” Deg! Anak ini! Tetap dengan sifatnya. Tidak berubah. Sekali jumpa denganku, aku harus turut serta dengannya. Dia pun akan rela membayarnya dengan mengantarkanku sampai depan pintu rumah dalam keadaan perut kenyang dan bertemu bapak ibu sekadar menceritakan kegiatanku bersamanya di hari itu. Takut akan dicap sebagai teman putrinya yang nggak baik.
Iya. Teman. Kami hanya teman. Teman yang seringkali memunculkan gosip bahwa kami memiliki hubungan lebih. Gosip itu pun sempat membuatku mempertanyakan kejelasan hubungan kami.
“Yo,” tanyaku saat kami memutuskan belajar bersama di teras perpustakaan.
“Hm,” jawabnya pendek sambil menulis tugas kuliah.
“Kita jadian aja, yuk!” ajakku to the point yang membuat Rio menghentikan gerakan pulpennya. 
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. “Nggak, ah!” jawabnya tanpa menatapku.
“Kenapa?” desakku dengan menatapkan mataku ke arah matanya walau aku harus menempelkan pipiku di atas meja dan kakiku sedikit berjinjit. Demi melihat ekspresi wajahnya yang masih menunduk mengerjakan tugas kuliah.
Akhirnya dia meletakkan pulpennya dan menatapku dalam-dalam, “Aku suka kamu. Kamu itu istri-able, bukan pacar-able. Aku lebih seneng ngejaga kamu dengan hubungan seperti ini. Tidak perlu terbebani dengan perasaan kita masing-masing. Karena perasaan yang kita miliki itu sudah fitrah. Kalau pun suatu saat nanti akhirnya kita terpisah jarak dan waktu, kamu nggak perlu mencemaskan aku, aku pun tidak akan mencemaskanmu. Aku punya impian, kamu pun punya impian. Kita raih impian kita masing dulu. Jika sudah waktunya, nanti pasti akan bersama. Percaya!” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman menyakinkanku.
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa diam. Terpaku. Berpikir keras. Dia suka aku? Sejak kapan? Jadi, selama ini dia menghabiskan banyak waktu denganku, karena dia ingin menjagaku? Kok bisa sih? Momen yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Dan hari ini ingatan akan momen itu tetiba muncul kembali setelah sekian tahun. Sikapnya. Cara bicaranya denganku. Sama. Tidak berubah.
“Kamu suka baca buku?” sekali lagi dia membuyarkan lamunanku.
“Oh, ini? Nemenin aja. Biar ga bosen di kereta. Ga ada yang diajak ngobrol.”
“Oh… buku bagus itu. Sembilan puluh sembilan cahaya di langit Eropa. Seorang Napoleon Bonaparte yang diduga tertarik dengan islam, sengaja membangun Eropa dengan titik awal di Arc de Triomphe menuju Ka’bah. Jika dugaan itu benar, sungguh Islam benar-benar telah memberikan cahaya di seluruh muka bumi ini. Panglima selevel Napoleon tunduk dengan cahayaNya,” penjelasannya membuktikan bahwa ia masih sama dengan Rio yang dulu. Lelaki cerdas. Suka membaca sekaligus menganalisa. Aku selalu kagum dengan cara dia berpikir.
“Dan negeri Eropa telah sedemikian pesat berkembang dengan mengamalkan nilai-nilainya, sayang mereka belum mengimani agama ini,” tambahku.
“Sepakat!” ucapnya menoleh ke arahku seraya menyodorkan gawainya, “Simpan kontakmu di hape ini ya.”
Pertemuan tak terduga yang menjadi awal hubungan kami terajut kembali. Setahun lagi, satu impianku sempurna aku jalani. Bekal pengalaman di lapangan menambah portofolio dan rasa percaya diriku untuk memulai karir di dunia pendidikan formal. Rio pun begitu, satu impiannya akan sempurna ia jalani, satu tahap lagi menjadi Site Engineer Manager termuda di perusahaan yang sudah ia incar setahun sebelum kelulusan.
***
Calon imam mulai nampak hilal. Namun, jawaban atas pertanyaan, akankah aku menjalani hubungan jarak jauh setelah menikah, bagaikan memasuki taman labirin. Bingung, pusing, serasa masih jauh menemukan muaranya.
Menikah tidak sebercanda itu. Menikah artinya siap untuk membangun sebuah peradaban baru penerus generasi penjaga bumi. Memang, semua-muanya sekarang serba berteknologi, bahkan yang jauh menjadi dekat. Tapi, apakah sebuah pernikahan jarak jauh hanya satu-satunya pilihan, padahal kita masih bisa memilih pilihan lain yang lebih Allah ridhoi? Takut rezeki akan seret karena harus resign dari kerja dan memilih untuk mengusahakan selalu bersama? Bukankah menikah sendiri adalah sebuah rezeki? Rezeki yang harus dijaga. Bukankah Allah menakdirkan seorang manusia yang menjadi pasangan kita untuk menjadi penenang jiwa, pembuka pintu rezeki untuk kita? Tentu, secanggih apapun teknologi, bonding yang paling powerfull adalah ketika bertatap muka langsung, bukan dengan video call. Secanggih apapun teknologi, keberkahan rumah tangga akan lebih banyak turun ketika sepasang suami istri lebih sering bercengkrama di bawah satu atap rumah, bukan dalam satu forum chatting teknologi. Secanggih apapun teknologi, manusia akan lebih merasa tidak sendirian, ketika pasangannya berada dalam jangkauan penglihatannya, walau tidak sedang beraktivitas yang sama. Ah… ketika keduanya menjadi pekerja proyek yang harus berpindah-pindah domisili memang memiliki konsekuensi ini. Menikah dengan LDM atau salah satu bersedia untuk ikut ke manapun pasangannya ditugaskan. Dan itu yang menjadi dilemaku ketika Rio datang kepada orangtuaku memintaku menjadi istrinya, sebulan setelah pertemuan kami di kereta kemarin. Berdiskusi dengan orangtuaku pun serasa ah…sudahlah!
“Kamu bakal resign?” tanya mama terkejut ketika aku menyampaikan rencana resignku.
“Iya, Ma.”
“Kenapa? Kenapa kamu harus resign?” Mama terlihat mulai menunjukkan emosi ketidaksetujuannya terhadap rencanaku.
“Aku nggak mau LDR-an Ma setelah nikah,” terangku.
“Kamu yang nggak mau atau Rio yang nggak ngijinin kamu berkarir?” Mama memulai pertanyaan-pertanyaan menyelidik.
“Rio ngijinin aku berkarir. Akunya nggak mau LDR-an abis nikah, Ma,” aku masih santai menjawab segala pertanyaan Mama.
“Rayya. Menjadi istri itu nggak harus selalu di rumah aja! Kamu bisa berkarya di luar rumah,”
“Ma… ini pilihan Rayya. Rio juga nggak maksa Rayya buat ikut dia ke mana pun penempatannya. Kenapa mama emosi, sih?”
“Karena wanita tanpa kemandirian finansial hanya akan membuat dia tidak berdaya, Rayya!!”
“Tapi kemandirian finansial juga akan membuat wanita tersebut abai terhadap suaminya, Ma!!”
“Rayya!” Plak! Tamparan mendarat di pipiku.
Pertama dalam seumur hidup, mama menamparku. Aku tercengang, wajahku memerah panas, air mataku menggenang. Aku tinggalkan mama di ruang makan, dan BRAK! Aku tutup pintu kamar sekeras yang kubisa. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi gagal. Sekeras apapun aku menahannya, ia tetap jatuh.
Tamparan? Hanya berdiskusi tentang hal itu, mama sampai menamparku? Salahnya di mana? Ketika nggak setuju, haruskah dengan menampar? Toh, apa yang aku utarakan adalah sebuah fakta. Kesibukan mama di luar rumah membuat mama abai terhadap ayah.
Tubuhku terasa tegang dari ujung rambut hingga ujung kepala. Jantungku berdegub kencang, nafasku cepat, membuat aku berjalan mondar mandir entah sudah berapa putaran. Aku paksakan duduk di tepi ranjang, kupaksa bernafas lebih sadar, tapi air mata tetap mengalir dan pikiran secepat kilat me-recall memori-memori masa lalu. Tanganku masih mengepal, emosi tak tertahankan membuatku memukul-mukul bantal dan teriak sekencang mungkin. Aku tidak peduli apa kata tetangga.
Tok! Tok! Tok!
“Rayya… Ayah boleh masuk?”
Aku tidak menyahut panggilan ayah. Tak lama, Ayah sudah duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Kami menghadap ke arah luar jendela, ke titik yang sama.
“Nak, maafkan mamamu ya! Dia sama sekali nggak bermaksud menampar kamu. Itu refleks dari emosinya yang memuncak.” Aku masih sesenggukan, kepalan tanganku mulai merenggang.
“Kamu lihat pohon itu, Nak? Mungkin usianya seusiamu lebih mudah beberapa tahun. Kamu inget nggak, kalau kita yang menanamnya bersama-sama saat kamu umur tiga tahun? Kamu merengek terus untuk ikut ayah merapikan halaman itu. Rengekanmu sungguh membuat gempar tetangga jika ayah tidak menuruti. Akhirnya, ayah mengizinkan kamu ikut menanam beberapa pohon. Salah satunya pohon ini. Dulu, dia hanya setinggi ini ketika di tanam,” ayah memanjangkan lengan kirinya, “sekarang, tingginya sudah melebihi atap rumah kita. Banyak hal yang ia lewati. Panas matahari yang membakar. Hujan badai yang membuatnya basah kuyup. Petir menggelegar yang selalu tertarik dengannya. Lihatlah, ia semakin berdiri kokoh. Dari ranting yang setebal lengan ini, menjadi pohon yang kita peluk pun tak sanggup mempertemukan jari jemari tangan kiri dan kanan kita. Dari daun yang tidak bisa melindungi kita dari terik matahari, menjadi rimbunan daun yang jika kita duduk di bawahnya kita bisa berteduh sepanjang hari. Nggak ada hidup yang santai kayak di pantai terus menerus, Nak. Mungkin ini salah satu badai kecil yang harus kamu hadapi.”
“Trus aku harus gimana, Yah?” tangisku mulai mereda dan kepalan tanganku mulai membuka.
“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Terima semua emosi yang menghampirimu. Salurkan semuanya. Nggak ada yang salah dengan emosi itu,” ucap ayah sembari mengelus kepalaku, “Kami, orangtuamu, hanya manusia biasa, Nak. Seringkali kami khilaf terhadap kamu. Marah. Ngomel. Atau sampai memukul kamu. Kami pun sama denganmu, berusaha memahami kamu, tapi terkadang tidak paham jalan pikiran kamu. Ada banyak hal yang berbeda antara kami dan kamu. Suatu saat, ketika kamu sudah menjadi kami, kamu akan mengerti,” ayah merangkulku.
“Tapi sakit, Yah! Mama nggak harus ngomong gitu kan di depan Ayah tadi,” kuletakkan kepalaku di pundak ayah. Sandaran paling nyaman dan paling menenangkan.
“Pssst!”
“Kenapa ayah selalu diam? Kenapa ayah nggak ngomong?” aku menegakkan kepala dan memutar tubuhku sedikit menghadap ke arah ayah.
“Pernah, Nak! Ayah pernah,” ayah tetap menghadap ke arah keluar jendela dengan wajahnya yang tetap meneduhkan. “Tapi, setelah itu, Ayah sadar. Mama kamu hanya seorang manusia biasa, yang asal penciptaannya dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang akan selalu bengkok. Tulang rusuk yang jika dipaksa untuk lurus, ia akan patah. Ketika patah, ia tak lagi bisa berfungsi menjaga hati si empunya tubuh. Dan Ayah tidak ingin mamamu patah. Ayah memilih untuk mengalah agar kapal ini tetap berlayar. Jika tidak ada salah satu dari kami yang mengalah, sudah sejak lama kapal ini karam, Nak.”
Dari wajah ayah, aku melihat bahwa pohon yang telah menjadi kokoh dan rimbun itu adalah ayah. Ayah yang menjadi ayah rumah tangga untukku, anak semata wayangnya. Ayah yang menjadi kepala sekolah untuk guruku, mama. Guratan pada wajahnya mengisyaratkan bahwa telah banyak kejadian besar dalam rumah tangganya yang telah ia taklukkan dengan usaha maksimalnya. Telah banyak hal yang tentu ia korbankan agar kapalnya tetap berlayar mengarungi samudra kehidupan yang penuh kejutan.
“Mamamu hanya khawatir dengan kamu, Nak. Ia sadar sekali, walau wajahmu sangat mirip dengan Ayah, namun karakter dan sifatnyalah yang ada pada diri kamu. Mamamu tahu kalau kamu nggak akan betah terus menerus di dalam rumah dengan aktivitas rumah yang monoton. Mamamu tahu kalau kamu suka pekerjaan yang menantang, dan mengurus pekerjaan domestik itu kurang menantang.”
“Trus, yang tentang kemandirian finansial? Selama ini aku melihat mama bertindak seenaknya terhadap ayah. Mentang-mentang menghasilkan duit sendiri, aku nggak mau merasa lebih tinggi dari suamiku nanti, Yah.”
Ayah tersenyum, “Setiap awal pernikahan, tidak semua pasangan baru memiliki finansial yang cukup, Nak. Dulu, Ayah belum seperti sekarang. Ayah belum bekerja dengan penghasilan yang tetap dan cukup setiap bulannya. Sedangkan Mamamu, sudah. Ayah belum bisa memberikan sepenuhnya kebutuhan lahir Mama kamu. Kebutuhan dapur pun kadang sebulan cukup, kadang enggak. Sisanya ditutupi oleh penghasilan Mama kamu. Mama kamu khawatir kalau Rio yang sekarang seperti Ayah yang dulu. Mamamu hanya ingin memastikan kamu tidak perlu mengalami apa yang ia alami dulu di awal pernikahan.”
“Rio kan sudah kerja empat tahun, Yah!”
“Itu belum menjamin pengaturan keuangannya baik, Rayya. Kamu sudah pernah membicarakannya?”
Aku terdiam, karena memang aku belum pernah menyentuh topik itu sama sekali. Aku masih merasa itu hal tabu untuk diobrolin di awal.
“Bicarakanlah, Nak! Agar itu bisa membuat kamu lebih tenang menjalani rumah tanggamu nanti. Mama dan Ayah memiliki sebuah kesepakatan yang kami buat agar Ayah nyaman, Mama nyaman, dan kapal ini tetap ajeg walau badai menghadang. Salah satunya tentang pengaturan keuangan. Di dalam agama kita, berlaku hukum keterpisahan harta antara suami dan istri. Itu yang kami sepakati di awal. Mungkin mama terkesan abai terhadap Ayah, tapi sebenarnya tidak. Kami memiliki waktu bersama untuk membicarakan segalanya dan menyepakati solusinya. Kami menjalankannya dan tidak mempedulikan apa kata orang. Karena kamu adalah buah hati ayah mama, ketika tadi kamu mengeluarkan statement itu, perlu menurut ayah meluruskannya.”
Kalimat-kalimat ayah membuatku makin terdiam. Ada banyak hal yang tidak kutahu tentang pernikahan. Yang kutahu ayah dan mama selalu bertemu setiap hari, setidaknya saat sarapan dan makan malam. Saat itulah kami membicarakan segala hal tanpa distraksi gawai. Setelahnya, mereka tak banyak bicara dan sibuk dengan urusannya masing-masing, walau berada dalam satu tempat. Ternyata itulah cara mereka mendukung satu sama lain, memberikan ruang berkarya untuk menumbuhkan potensi yang ada.
Satu atap. Ruang berkarya. Bertumbuh. Keberkahan. Banyak kata kunci yang berseliweran dalam benakku, memberikan andil pada keputusan besar yang akan kubuat. Menikah, pasti. Rio adalah lelaki yang entah sejak kapan ia berhasil mencuri perhatianku dan membuatku yakin bahwa kami bisa bertumbuh bersama. Berfokus pada rumah, ini yang masih kupertimbangkan. Keinginan paling besar dalam hidup setelah pernikahan adalah bisa sering bertatap muka dengan suami membicarakan banyak hal tentang masa depan keluarga kami.
"Abis nikah, aku resign, ya! Aku bakal ikut kamu di mana pun penempatan kamu," kataku kepada Rio saat kami mulai membicarakan masa depan di teras perpustakaan yang sering kami singgahi dulu waktu kuliah.
"Kamu yakin bakal melepaskan karir kamu, Rayya?" kata Rio yang cukup terkejut dengan pernyataanku.
"He'em. Bulan depan kita sudah menikah. Tepat empat tahun aku menimba ilmu di dunia perproyekkan. Kurasa cukup dan satu impianku telah sempurna tercapai. Waktu yang tepat untuk mencoba hal baru," jawabku mantap.
"Apa yang membuatmu mengambil keputusan itu? Kamu pintar. Kamu punya nilai akademis yang baik. Dan kamu punya kesempatan besar untuk meniti karir di perusahaanmu sekarang. Aku ga masalah kalau kita nanti harus LDM. Toh, aku kerja setiap hari dan hampir selalu lembur. Terus gimana dengan rencana sekolahmu?"
"Aku masih ingin lanjut sekolah, tetapi mungkin itu bisa kita bicarakan lagi. Hal terbesar yang ingin aku capai dalam pernikahanku adalah aku pengen kita jumpa setiap hari nantinya. Aku pengen kita bisa pillow talk mendiskusikan banyak hal untuk masa depan keluarga kita. Tanpa alat komunikasi untuk menghubungkan jarak kita yang jauh. Dan tentunya, aku pengen mencium tanganmu setiap pagi saat kamu berangkat kerja dan mendoakanmu dalam jarak dekat. Urusan rumah serahkan saja padaku," aku menatapnya sambil tersenyum, "tentu dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanyanya menyelidik.
"Kasih aku uang jajan khusus, ya! Hahaha," jawabku sambil tertawa.
"Hmm... baik," jawab Rio dengan senyum manyun lalu membetulkan posisi duduknya, "betewe, terima kasih, ya! Sudah mau mengalah untuk selalu bersama saat menikah nanti. Jujur, aku tidak berekspektasi kalau kamu bakal memutuskan hal itu. Tentang sekolahmu nanti, insya Allah akan aku dukung."
"Itu soal prinsip, Rio," jawabku. Keputusan telah dibuat. Ada rasa deg-degan membayangkan seorang Rayya yang suka lembur, sering ngeluh kalau pulang larut, selalu pakai PDL setiap hari, akan menjadi Rayya yang sering berada di rumah, mengerjakan segala hal di rumah agar suaminya senang saat pulang rumah rapi, makan malam sudah tersedia. Uwuuu banget.
***
Hari ke-30 setelah resepsi pernikahan.
Mendapatkan keberkahan, memang harus mengalahkan ego. Surga tak didapatkan hanya dengan tawa riang. Karena tawa riang yang terlihat menyenangkan, seringkali membawa manusianya terjerembab dalam neraka.
Tiga puluh hari berada di rumah saja, ternyata memang bukan Rayya yang sebelumnya. Benar kata ayah dan mama. Pekerjaan rumah itu monoton dan kurang menantang bagiku. Tak seperti hari-hari sebelum menikah, awal pagi selalu terisi dengan semangat membara, ada perasaan bahwa aku akan menemui sesuatu yang menyenangkan di tempat kerja. Setelah pernikahan, awal pagi seperti itu hanya bertahan seminggu. Selebihnya, aku harus terus mencari hal yang membuatku bisa tetap bersemangat mengawali hari. Mulai dari nonton Youtube Devina Hermawan untuk menemukan resep simple tapi endeus, sampai cek out peralatan mbenthel untuk menemani sore yang kadang gabut. Tapi semuanya tetap tidak bertahan lama. Aku harus terus mencari sesuatu yang membuat Rayya yang dulu kembali. Rio pun merasakannya.
“Yang,” ucap Rio suatu saat makan malam di hari ke-50 pernikahan kami.
“Hm…,” jawabku pendek sambil mengunyah makanan.
“Nggak pengen balik kerja?” tanyanya agak kurang jelas karena sedang mengunyah makanan.
“Kenapa, yang?” tanyaku balik ketika suapan terakhir telah sempurna kutelan.
“Biar kamu bisa ceria seperti dulu.”
“Emang sekarang nggak ceria?” tanyaku sambil merapihkan meja makan dan menunggu Rio selesai dengan makanannya.
“Enggak,” jawabnya menggeleng. Ia telah menghabiskan seluruh makan malamnya.
“Kok bisa?” aku menyandarkan diri ke kursi makan.
“Yang… gapapa banget lho, kalau kamu mau kerja lagi. Aku dukung. Dulu kan aku pernah bilang, gapapa banget kalau kamu mau meniti karir dan kita LDRan.”
“Tapi aku tetep nggak mau LDRan, Yang.”
“Oke, kamu nggak mau LDRan. Kamu cari kerja yang bisa kerja dari rumah aja. Karena kamu yang sekarang seperti bukan kamu. Ga bisa diajak bercanda seperti dulu. Bawaannya sensi mulu. Padahal dulu kalau aku becandain, reaksi kamu ga seserius itu. Aku nggak tau ya, kamu ada pikiran apa. Ini hanya dugaanku. Kamu kangen kerja ya?”
“Aku nggak tau aku kangen kerja atau nggak, Yang. Tapi rasanya aku useless di rumah ini. Ya…meskipun pekerjaan domestik setiap hari ngantre, tapi masih ada perasaan yang nggak bisa aku jelasin dengan kata-kata.”
“Hayuk, aku bantu menemukannya.”
“Apa?”
“Yang bikin kamu bingung.”
“Yakin?”
“Emang kamu sudah tau?”
“Kemarin aku mulai menuliskan apa yang bikin aku kayak gini. Hanya, ini perlu divalidasi sama kamu.”
“Coba apa aja?”
“Sepertinya karena aku terbiasa untuk menghasilkan uang sendiri, Yang. Mendapatkan uang bulanan dari kamu, seharusnya bisa sama bahagianya ketika mendapatkan uang dari keringat sendiri. Nominal besarannya sama. Beban kerjanya lebih ringan.”
“Hey, mengurus rumah itu nggak ringan, Sayang.”
“Ringan. Hanya monoton. Itu yang membuat tantangannya tak sebesar ketika aku di proyek dulu. Selain itu, aku tidak berjumpa dengan manusia lain. Tidak ada yang bisa kuajak ngobrol.”
“Kamu nggak pernah maen ke rumah mbak Anggun, istrinya mz Pras, teman kantorku? Kan rumahnya di depan kita.”
“Pernah. Tapi feelnya berbeda.”
“Fix, kamu memang butuh kembali ke dunia sipil, Yang.”
“Gitu, ya?”
“Iya. Kamu rindu dengan duniamu, Yang.”
“Kamu ga papa?”
“Aku nggak papa. Aku ridho. Asalkan aku tetap menjadi prioritas pertama kamu,” jawabnya memberikan senyuman menyakinkan itu lagi.
Berada di tempat asing, tanpa teman dan keluarga, membuatku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Ingin sonjo, tapi mulai dari mana. Seringnya, bukan aku yang mendahului, tetapi para ibu-ibu tetangga yang memulai. Tanah luas yang di depan kontrakan menjadi penyelamatku dari kesendirian. Ibu-ibu tetangga tiba-tiba menyapa dan mengajak bergabung menonton anak mereka bertanding. Seringkali aku iyakan. Setidaknya aku telah mencoba untuk membaur dan memperkenalkan diri kepada mereka. Tapi, tetap saja ada sebuah ruang yang kosong tak bisa terisi oleh hal-hal itu. Entah apa itu.
Hingga, suatu ketika ada yang menelponku. Di hari ke-100, di pagi hari setelah Rio berangkat kerja. “Halo, Assalamu’alaikum,” aku menjawab telepon dari nomor yang asing bagiku.
“Wa’alaikumsalam, Rayya. Ini Bu Kris,” suara empuk di seberang sana membuatku teringat akan masa lalu yang menyenangkan. Ada rasa yang mulai mengisi ruang kosong itu. Tapi aku belum tahu apa.
“Eh, bu Kris. Apa kabar? Maafkan nomornya belum tersave,” jawabku basa basi.
“Nggak papa. Kamu sekarang di mana?”
“Di Banyuwangi, Bu. Ibu di Banyuwangi?”
“Iya. Ibu di Banyuwangi. Sekarang sedang di hotel Amaris. Kalau Rayya tidak sibuk, boleh kita bertemu?”
“Jam berapa ibu senggang?” aku langsung mengiyakan. Sudah lama aku tidak berjumpa dengan Bu Kris. Sudah lima tahun berlalu.
“Rayya senggang jam berapa?”
“Sekarang senggang, bu.”
“Sekarang aja, yuk! Ibu tunggu di restoran hotel, ya.”
“Baik, bu,” kataku bersemangat. Bu Kris. Wanita yang pernah menjadi atasanku saat aku magang di kantor BUMN besar. Wanita yang sudah seperti ibuku sendiri. Ibu ideologisku.
Tak banyak kata, kulaju motor menuju Hotel Amaris. Ada banyak hal yang terlintas di dalam ingatan. Pengalaman magang pertama selepas lulus kuliah. Pertama kali mengenal dunia kerja yang nyatanya mengharuskan kita memberikan toleransi terhadap hal-hal yang tidak sesuai teori di perkuliahan. Pertama kali gejolak batin muncul begitu hebat dan Bu Kris lah yang memegang tangan ini agar tidak masuk dalam pusaran kegalauan yang terlalu dalam. Semoga hari ini pun Bu Kris membawa berita baik. 
“Hai, Rayya,” teriakan Bu Kris membuatku menoleh, lalu menuju ke arahnya.
“Assalamu’alaikum, bu!” aku meraih dan mencium punggung tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Rayya makin bersinar saja wajahnya. Sini, duduk!” bu Kris menepukkan tangan ke kursi sebelah tempat ia duduk.
“Makasih bu. Ada agenda apa, bu di sini?” tanyaku basa basi di sampingnya.
“Ada yang harus ibu urus di sini. Tapi ibu nggak bisa lama-lama di kota ini.”
“Ibu sudah berapa hari di sini?”
“Sejak kemarin siang. Turun pesawat, ibu langsung menuju lokasi. Ibu mikir, siapa ya yang bisa ibu delegasikan untuk melanjutkan tugas ini. Semalaman ibu mikir. Iseng ibu buka instagram dan story kamu muncul. Jadilah, pagi ini ibu telpon kamu. Untung nomor kamu nggak ganti,” ucap Bu Kris dengan logat bugisnya yang khas, “Terus terang, kerjaan ibu di kantor pusat sedang menumpuk dan harus selesai akhir bulan ini. Dan agenda ini permintaan pak Bos.”
“Kerjaannya tentang apa?” ruang yang kosong itu terasa mendapatkan angin segar.
“Jadi, pak Bos punya lahan di sini. Beliau ingin membuat rumah lengkap dengan kebun pangannya. Apa ya istilah yang sedang in sekarang ini, per..per…”
“Permaculture, bu?”
“Nah, iya! Rayya tahu tentang permaculture?”
“Sedikit bu.”
“Bagus. Belajar yang banyak tentang itu ya! Tugas ini rencananya ibu delegasikan ke kamu. Pak Bos juga sudah tahu kinerjamu. Kukira dia akan setuju kalau project ini kamu yang handle. Kamu masih di sini dalam jangka lama kan?”
“Insya Allah begitu. Nanti saya diskusikan dengan suami ya, bu!”
“Kenapa? Suamimu melarang kamu kerja?”
“Oh, nggak, bu. Malah sebaliknya. Saya dulu yang terlalu keukeuh untuk berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus rumah saja. Ternyata, mengurus rumah lebih melelahkan dan membosankan. Tantangannya tidak sesuai dengan saya. Hehe”
“Haha. Rayya… Rayya,” Bu Kris menepuk bahuku, “seringkali Allah menguji hambaNya dengan ekspetasi yang ia buat sendiri.”
Aku bengong mendengar kalimat bu Kris. Allah sedang menguji keinginanku? Apakah aku serius menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah, ataukah aku bisa berpikir lebih realistis bahwa berkarya pun tak masalah bagi seorang istri?
“Okeh, nanti bicarakan dengan suamimu ya. Semoga apapun keputusan kalian, ridho Allah menyertai.”
“Amin.” 
Pagi yang membawa angin segar, walau Banyuwangi di atas jam 10 pagi sudah sangat membuat gerah. Sepulang dari Hotel Amaris, aku beraktivitas melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai. Kali ini, mengerjakan rumah lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku. Apakah benar adanya bahwa aku rindu dunia sipil? Ah, jika sepulang dari berjumpa Bu Kris membuatku lebih bersemangat, artinya benar. Aku memang rindu.
“Yang,”
“Hm…”
“Tadi aku jumpa dengan Bu Kris.”
“Bu Kris siapa?”
“Ohya, aku belum cerita ya. Jadi, dulu setelah lulus kuliah, aku mendaftar magang di perusahaan A. Nah, Bu Kris ini atasan aku.”
“Oh… iya. Trus?”
“Dia menawariku kerjaan.”
“Kerjaan apa?”
“Kamu tahu permaculture kan? Salah satu list impian yang aku tuliskan bulan lalu?”
“Kemandirian pangan?”
“He em. Nah, Pak Bosku dulu itu punya tanah di sini. Mau bangun permaculture itu. Luasnya memang hanya 500m2. Rumah tinggalnya juga maunya dibangun sederhana aja. Mendengar itu tadi, seakan gayung bersambut tau nggak, Yang?”
“Kamu mau mengambil kesempatan itu?”
“He em.” jawabku tersenyum mantap.
“Nah, kita dong! Cahaya mata yang selalu kurindukan sudah kembali.”
“Heh?”
“Iya, aku ijinin kamu mengurus project itu. Aku percaya, kamu bisa atur waktu antara pekerjaan, suami, dan rumah.”
“Aaaah, terima kasih, Sayang!” kupeluk Rio dan kucium pipinya. Barangkali jika ku ditanya, hal apa yang aku syukuri saat ini, aku akan menjawab, memiliki Rio sebagai teman hidup sekaligus teman bertumbuh.
17 notes · View notes
oncahazellnut · 6 months ago
Text
Gunung Prau dan Postingan Tumblr Pertama Sasa
Ketika kebanyakan orang berlibur kala long weekend Kamis hingga Minggu, 23-26 Mei lalu, berbeda denganku yang justru berlibur di hari Senin setelah libur panjang akhir pekan. Sejak masa kampanye atau bahkan jauh sebelum kampanye keinginan untuk mendaki gunung selalu terlintas dan terbayang-bayang, tapi soal kapan akan terlaksana tidak ada bayangan sama sekali. Mengingat waktuku yang selalu tentatif, tidak tentu kapan bisa libur dan kapan bekerja.
Sehingga, postingan pertamaku di sini aku buka dengan cerita pendakian Gunung Prau di Kawasan Dieng, sekitar Wonosobo-Banjarnegara-Kabupaten Batang. Pendakian yang sangat mendadak tanpa perencanaan panjang.
Jakarta
Minggu siang, Mbak Jihan pergi ke Jogja karena ada kunjungan kerja. Aku sebenarnya tidak ditawari untuk ikut, khususnya karena aku juga masih belum ingin mengingat Kota Jogja. Tapi tiba-tiba terpikir untuk mewujudkan keinginan lamaku: naik Gunung Prau.
Karena tidak mungkin minta kakakku untuk menemani mendaki, aku bergegas mengambil smartphone dan membuka aplikasi hijau. Aku mencari nama temanku yang tinggal di Jogja untuk menemani mendaki. Tidak lama kemudian dia menyetujui, aku pun menambah syarat ditemani dengan salah satu teman perempuannya. (Dalam perjalanan aku baru tahu, si teman perempuan ini namanya Ekka dan sudah pernah naik Gunung Prau)
Jogja
Singkat cerita, aku sampai di Jogja Minggu siang pukul 16.00 WIB. Bersama Mbak Jihan, kami menuju ke sebuah hotel sekitar satu kilometer dari Tugu Jogja. Aku benar-benar tidak niat berlama-lama di Jogja-Dieng, hanya bawa satu ransel yang berisi perlengkapan mendaki.
Sore hingga malam aku sempatkan bertemu kakak tingkatku yang kebetulan adalah sahabat dari kakakku. Teman lama yang tidak berjumpa tentu menimbun segudang cerita, cerita seputar FK Unila hingga kehidupan PPDS yang sebenarnya tidak semenyeramkan kabar burung di luar sana. Karena setiap jurusan tentu punya tingkat kesulitannya masing-masing.
Sesuai rencana sebelumnya, pukul 21.00 kami menuju Dieng melalui Kulon Progo. Belanja keperluan pendakian lalu menjemput satu orang teman dan melengkapi kelompok pendakian ini menjadi 3 orang.
Karena perjalanan panjang seharian, badanku cukup lelah dan tertidur selama perjalanan. Beberapa kali terbangun hanya sekedar memastikan temanku yang menjadi supir malam itu tidak mengantuk hehe. Sekitar pukul 01.28 kami sampai di Basecamp Pendakian Gunung Prau via Dieng, awalnya kita berencana untuk mengejar sunrise di puncak tapi sepertinya tidur lebih nikmat dibanding kedinginan diluar akhirnya kita putuskan untuk tidur saja hingga azan subuh.
Dieng-Pendakian
Perjalanan dimulai pukul 05.00 WIB, pilihan pendakian via Dieng karena ini jalur yang paling nyaman, meski bukan paling populer. Jalur yang paling populer dengan view paling bagus adalah lewat jalur Patak Banteng.
Tumblr media
Karena masih pagi buta tentu perjalanan sepi dan gelap. Apalagi long weekend sudah selesai. Barang bawaan kami pun hanya sedikit, tanpa carier besar. Kami merencanakan pendakian naik lalu langsung turun tanpa nge-camp (istilahnya tektok).
Pukul 05.17 kami sampai di Pos 1. Jaraknya sebenarnya cukup dekat, tapi karena menanjak jadi terasa jauh. Total pendakian kita harus melewati 3 Pos dengan jarak masing-masing Pos sekitar 1 km.
Tumblr media
Gunung Prau cukup bersahabat untuk beginners seperti saya ini, karena jarak ke puncak yang masih dalam batas normal dan cukup banyak jalur landai. Selama pendakian, aku jadi teringat perjalanan ke Ranu Kumbolo di lereng Semeru beberapa tahun lalu. Di sana terdapat Tanjakan Cinta memiliki mitos kalau kita mendaki tanjakan tersebut dan dan melihat ke belakang tidak akan bertemu dengan jodoh kita. Ya tapi ngapain ketemu jodoh di gunung, saya kan maunya di pelaminan, hehe….
Nah, di Gunung Prau ini ada titik yang Bernama Akar Cinta…. tebarkanlah virus-virus cinta (nyanyi). Akar ini cukup cantik dipandang, sangat panjang, dan berkelok-kelok, aku sendiri tidak tahu sebenarnya ini akar dari pohon apa. Tapi yang pasti ini adalah gabungan akar beberapa pohon yang satu jenis dan berjejer sehingga menyatukan banyak akar. Struktur Akar Cinta cukup membantu para pendaki tidak terpleset karena menjadi semacam anak tangga alami di jalur pendakian.
Tumblr media
Puncak Prau
Setelah berbagai tantangan dan jalur yang terjal, akhirnya kami sampai di Puncak Prau pukul 07.00. Tepat sesuai perkiraan dua jam pendakian. Di ketinggian 2590 mdpl view Gunung Sindoro, Sumbing dan beberapa gunung lainnya terhampar. Saat itu sunrise sudah lewat, berganti dengan pemandangan Kaldera Dieng yang kebetulan saat itu cukup cerah.
Semua kelelahan dan kantuk terbayar. Kesejukan dan pemandangan luar biasa indah setelah perjalanan dadakan, justru sulit didapatkan kalau direncanakan sejak jauh-jauh hari. Bagian paling paling aku suka ketika tadabur alam adalah tubuh dan kulitku terasa sehat. Berbeda dengan wisata kota yang biasanya membuatku harus pakai make-up, kadang membuat kulitku justru berjerawat.
Kembali ke pendakian, Puncak Prau sebagai titik tertinggi berbeda dengan Sunrise Camp yang paling populer dengan pemandangannya. Karena kami mendaki via Dieng maka kami sampai di Puncak Prau. Lalu untuk melihat dengan jelas gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah, kami harus berjalan menuju Sunrise Camp. Jaraknya cukup jauh tapi dapat ditempuh dalam 15 menit jika berjalan kaki, jarak yang pantas untuk ditempuh karena medan cukup landau, disempurnakan dengan bunga-bunga cantik dan view Bukit Teletubbies yang memikat mata.
Tumblr media
Bunga Daisy warna-warni menghiasi perjalanan kami dari Pos 1 hingga puncak dan Sunrise Camp. Aku berkali-kali ambil foto sampai puas di sekitar semak-semak berbunga ini. Entah sejak kapan aku menyukai bunga, setiap ada bunga aku merasa cantik dan menjadi perempuan. Tapi kenapa ya bunga selalu identik denga perempuan? Kenapa tidak dengan laki-laki? Entahlah aku tidak tahu juga.
Sunrise Camp
Sunrise Camp tempat di mana para pendaki dari jalur Patak Banteng bermalam punya pemandangan yang luar biasa cantik. Gunung Sindoro dan Sumbing serta beberapa gunung di sekitarnya terlihat sangat jelas dan cantik, seolah mereka sedang bermain berkumpul bersama.
Tumblr media
Aku juga tidak menyangka akhirnya bisa sampai di atas puncak ini, mungkin kalau aku masih tinggal di kampungku dulu, aku tidak bisa sampai diatas puncak ini. Mungkin sebatas melihat pemandangan ini di botol Aqua atau maksimal hanya di YouTube dan medsos.
Kalau mengingat susahnya zamanku kecil dulu, aku jadi merasa tidak pantas untuk mengeluh lagi karena sekarang hidupku jauh lebih mudah dan penuh kenikmatan. Terimakasih Ya Allah, Gusti, atas kenikmatan yang sangat berlimpah ini.
Tidak lama kami di Sunrise Camp. Hanya menikmati pemandangan, mengabadikan momen berfoto-foto cantik, lalu minum dan makan snack untuk mengisi energi. Kami lalu begegas turun karena rencana aku harus kembali ke Jakarta dengan kereta pukul 17.00.
Perjalanan Turun
Baru jalan beberapa langkah, aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku, tapi aku coba paksakan jalan mungkin karena tadi pagi aku hanya makan buah dan belum makan berat, sehingga asam lambung naik ke esofagus. Perkiraan kita akan sampai di basecamp pendakian pukul 10.00 sepertinya tidak akan terwujud, karena semakin lama, perutku makin perih dan nyeri. Berjalan tiga langkah pun terasa nyeri sampai membuatku berkali-kali harus istirahat.
Biasanya aku membawa obat lambung, tapi kali ini aku kecolongan. Sialnya, beberapa kali bertemu dengan pendaki semuanya tidak membawa obat lambung. Perjalanan pulang cukup menyiksa, tapi namanya Sasa, walaupun nyeri perut tetap saja sempat tertawa dan foto-foto.
Tumblr media
(Ini adalah batas wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Batang. Aku mengerti beberapa kabupaten di Jawa Tengah karena sempat bersekolah di Kendal selama 4 tahun jadi masih familiar dengan daerah-daerah Jawa Tengah.)
Setelah bertemu 6-7 kelompok pendaki dan melewati Pos 1, akhirnya kami bertemu dengan pendaki yang membawa obat lambung. Setidaknya bisa menurunkan sedikit rasa nyeri yang aku tahan dari puncak. Mereka kelompok dari Jakarta yang baru mulai pendakian dan berencana stay 2 hari di puncak.
Tidak lama kemudian, kami sampai di Basecamp Dieng. Makan, tidur, dan bersih-bersih sebelum menutup pendakian dan kembali ke Jogja. Sejujurnya ini kali pertamaku tektok naik gunung. Ternyata sangat seru dan menyenangkan karena tidak perlu membawa banyak perlengkapan. Perjalanan menjadi simpel dan tidak merepotkan.
Tumblr media
Terimakasih Gunung Prau yang begitu indah, ingin aku ulang kembali mendaki Puncakmu.
Langkapura, 2 Juni 2024
1 note · View note
ailathifa · 1 year ago
Text
Bapak 🤍
Ada satu moment yang akhirnya membuat aku merasa begitu marah sama Jambret antah berantah yang membawa kabur ranselku ketika pulang kerja, malam tanggal 11 Oktober 2022 lalu, yaitu ketika di hari pertama aku masuk kerja lagi tanpa diantar Bapak. Malam itu, aku diminta nunggu di minimarket dekat jalan raya, Bapak akan jemput ke sana. Soalnya selepas jalan itu, untuk sampai rumah memang harus lewat ruas jalan yang sepi--yang jadi lokasi TKP aku dijambret itu. Saat itu hujan, sesampainya di depan minimarket aku kasih kabar ke Mama lewat pesan WhatsApp.
"Bapak jemput naik sepeda."
Pelupuk mataku basah bukan oleh air hujan, layar handphoneku mulai terkena satu dua tetes air. Aku nunduk, sambil nangis. Di depan minimarket ada mas-mas yang lagi asik ngobrol, jadi aku pura-pura sibuk sama handphone aja, ngasal buka aplikasi.
Bapak datang tidak lama kemudian, mengayuh sepeda, mengenakan jas hujan birunya. Sepanjang jalan pulang, aku dibelakang Bapak dengan kecepatan pelan. Sejak dari minimarket sampai di halaman rumah ngga bisa berhenti nangis.
Bapak di usia nya yang lebih dari 60, mengayuh sepeda malam-malam, lewat jalanan gelap, hujan pula. Sepeda motor satu lagi di rumah emang lagi dipake Mba kerja, jadi ngga ada motor lagi.
Nah, selama perjalanan itu lah aku menyumpahi si pelaku. Kalau bukan karena dia, bapak ngga akan sekhawatir itu, bapak ngga perlu cape ngayuh sepeda 3 km malam-malam di tengah gerimis. Manusia itu ngga tau, yang dia ambil bukan cuma apa yang ada di dalam ransel yang dia bawa, tapi juga kepercayaan dan keberanian seorang Bapak untuk melepas anak perempuannya. Manusia itu menukarnya dengan rasa khawatir yang begitu utuh.
Hari ini Bapak berusia 64.
Aku ngga bisa bercerita banyak soal Bapak. Kasih sayangnya seringkali berupa tindakan yang akan terlalu banyak dan panjang kalau diceritakan.
Bapak adalah sosok yang sederhana, ngga neko-neko, begitu apa adanya. Di sisi lain, dia adalah laki-laki yang ramah, bekerja keras, bertanggung jawab, dan amat jujur.
Kalau ada satu hal yang sangat aku pelajari dari Bapak adalah hatinya yang begitu lapang, yang terlihat selalu merasa cukup, rasa syukurnya yang tidak pernah ia lupa, caranya menyerahkan segala sesuatu pada Alloh, membuat Bapak jadi sosok yang nampak begitu tenang.
Aku menyukai waktu-waktu ketika kami nonton badminton bareng, Bapak akan bercerita banyak. Ketika ada acara musik pun, Bapak akan menceritakan tokoh-tokoh penyanyi besar di masa lalu. Entah karena pengalamannya atau karena memang tau, aku kagum dengan Bapak yang berwawasan luas.
Aku tidak pernah bertanya, Bapak ingin aku menjadi anak perempuan yang seperti apa. Bapak selalu memberikan kebebasan untuk anak-anaknya memilih yang kami suka dan sesuai hati kami saja. Tapi semoga, dengan apapun yang kami jalani saat ini, bisa menjadi cara untuk membuat Bapak senang dan semoga akan ada waktu dimana aku bisa membuatnya bangga.
🤍✨
Tumblr media
7 notes · View notes
ichakhr · 2 years ago
Text
Khawla
Sombrero, Januari 2016
Terpasang jelas di dinding kamarnya. Sebuah rancangan rumah mewah bergaya American style favoritenya.
Khawla, Gadis kelas tiga SMA yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas dengan cita-citanya menjadi seorang arsitek sukses dimasa yang akan datang. Ia selalu tersenyum tiap kali melihat dinding kamarnya dan juga gambar-gambar arsitektur lainnya yang disimpannya di laci meja belajar. Cita-citanya dirasa makin menguat kala Ia dinyatakan lulus dari SMA dua minggu lalu. Sejumlah jadwal tes masuk Universitas yang sudah Ia mantapkan untuk dipilih dan siap Ia jalani satu-persatu dengan setumpuk buku latihan soal yang sudah bulak-balik ia kerjakan. Ya! Khawla siap menjemput impiannya dengan sungguh-sungguh. Tak jarang Ia sampai tertidur di meja belajarnya karna tanggal ujian sebentar lagi tiba.
Pukul dua dini hari menjadi malam yang menegangkan bagi Khawla
“Khawla…. bangun. Ayo kita harus segera pergi, kemasi baju dan juga barang barangmu yang tidak ingin kau tinggalkan dirumah ini. Cepat Khawla”. Ibu Weli, Mama Khawla terlihat sibuk Manyiapkan beberapa tas.
Dengan mata setengah meram dan bingung luar biasa Khawla bangun dengan setengah nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Melihat Mamanya mengemasi barang ke tas ransel yang cukup besar.
“Mah kita mau kemana malam-malam begini aku ngantuk”
“Pssstt jangan berisik, ikuti saja apa yang Mama katakan, diluar gang sudah ada mobil yang akan menjemput kita. Secepatnya kita akan pergi dari sini. Kita tidak punya banyak waktu!”
“Aku harus bawa apa Mah? Papa kemana?”
“Mama tidak bisa jawab sekarang dimana Papamu. Pokoknya bawa apapun yang kamu ingin bawa. Tapi tinggalkan handphone dan laptop kamu disini karna kita tidak akan kembali kesini”
“Tidak mau! Ini handphone dan laptopku dan ini rumah kita kenapa kita harus pergi meninggalkan semua ini?” Ada bendungan air di mata Khawla.
“Dengar Khawla! Dengarkan Mama, semua ini bukan milik kita, kita tidak bisa tinggal disini, kita harus pergi sejauh mungkin. Kamu akan menyesal kalau kamu tidak dengarkan Mama sekarang”.
Dengan wajah panik dan tangan gemetar serta jantungnya yang ikut berdebar sangat kencang Khawla menuruti perkataan Mamanya dan mulai membereskan baju-bajunya.
Berjalan perlahan. Khawla, Mama dan kedua adiknya, Fasha yang masih berumur delapan bulan dan Hisyam berumur dua tahun  menghampiri mobil kijang hitam didepan gang agak jauh dari rumahnya, didalamya ada lelaki separuh baya memakai topi kupluk dan jaket hitam sudah siap memegang stir mobil.
Sambil melihat ke jendela Khawla menangis memandangi rumahnya yang Ia tinggali selama delapan belas tahun dengan banyak pertanyaan dibenaknya yang tak bisa Ia katakan saat ini.
••• Pelabuhan Simaya menjelang terbitnya Fajar •••
Tak sedikitpun pertanyaan Khawla terjawab, Mamanya sibuk menggendong Fasha beserta dua tas besar dan Khawla membantu menggendong Hisyam yang masih tertidur dan menggendong satu ransel besar berisi baju dan barang pribadinya. Sesekali adiknya terbangun dan menangis karna tidak nyaman. Khawla begitu lelah dengan perjalanan darat hampir empat jam dan untuk pertama kalinya menaiki kapal laut dan tidak bisa tidur karna goyangan kapal laut yang cukup kencang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Mukanya pucat pasih tapi Ia tahan sampai di pelabuhan kota tujuan hampir duabelas jam lamanya.
Sesampainya di Pelabuhan Tarari rasanya semua isi perut Khawla keluar, pahit terasa ke seluruh mulutnya, matanya berair dan lemas sekali tapi Ia dan keluarganya harus melanjutkan perjalanan darat dengan bus ke kota tujuan.
“Ini dimana?” Gumam Khawla. Ia benar-benar asing disini dan hanya memperhatikan orang sekitar, tak sanggup bertanya-tanya lagi ke Mamanya karna energinya sudah habis diperjalanan. Ia hanya mengikuti kemana Mamanya melangkah dan baru Ia bisa tidur di bus.
••• Kota Antennae •••
Mamanya membuka kertas kecil berisikan tulisan singkat Jalan Polala IV no. 10 Kecamatan Lininam, Antennae. Mereka sampai disebuah rumah kecil berisi dua kamar, satu kamar mandi yang menyambung dengan dapur, ruang tamu kecil dan teras tanpa pagar. Amat jauh berbeda dengan rumahnya di Sombrero yang bisa dibilang dikawasan komplek mewah.
Mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, Bu Weli membuka pintu rumah kecil itu
“Ini rumah siapa Mah?” Tanyanya heran sambil celingak-celinguk kedalam rumah yang tidak berpenghuni itu.
Karna waktu sudah menunjukkan waktu tengah malam, Khawla merebahkan badannya dan meletakkan semua tasnya di lantai. Mama dan kedua adiknya masuk ke kamar depan.
Aduh! Khawla sedikit menjerit karna kasurnya yang dikira empuk sepertinya dirumahnya dahulu ternyata hanya berbahan kapuk yang cukup keras. Tapi raganya tak mampu lagi berkutik. Ia melihat ke langit-langit rumah yang kini mereka tinggali.
“Oh Tuhan… apa aku sedang bermimpi saat ini? Tolong bangunkan aku sekarang juga.
Mimpi buruk ini sudah terlalu panjang, aku ingin bangun”. Tak sadar Khawla terlelap.
••••
Suara adzan subuh berkumandang, Bu Weli membangunkan Khawla dengan nada yang sama setiap paginya.
Matanya terbuka, masih di kamar  di rumah kecil dengan plafon warna coklat mudah yang sudah sedikit berdebu.
“Jadi aku tidak mimpi yah?”
Seusai solat subuh Khawla sudah melihat situasi diluar rumah. Jarak antar rumah yang cukup jauh tak membuat Khawla khawatir karna di komplek rumah lamanya juga sesepi ini.
“Ini Mama beli kue didepan sana, sarapan dulu. Gimana perutmu sudah baik setelah mabuk laut kemarin?”
“Iya.. sudah lebih baik” Singkat padat dengan wajah yang tak bisa tersenyum ceria seperti biasanya.
“Mana senyummu yang selalu Mama lihat di pagi hari?kok….”
Khawla memegang tangan Mamanya seolah menghentikan omongannya.
“Mama fikir aku bisa tersenyum pada kondisi seperti ini? Dengan rasa bingung,takut,marah. Mama fikir aku masih bisa seperti Khawla yang biasanya?”.
Bu Weli menarik lagi tangannya yang hendak mengambil kue yang dibelinya di tukang kue keliling selepas subuh tadi. Wajah lelahnya seakan menyimpan banyak cerita rahasia.
“Khawla, Papamu bilang Ia melakukan kesalahan yang sangat besar dan harus pergi, Mama pun tidak tau yang pasti jauh dari Sembrero. Dan Papa ingin Mama, Kamu, Hisyam dan juga Fasha juga pergi jauh dari Sombrero agar kita selamat dan Papa hanya berpesan pada Mama untuk segera meninggalkan Sombrero tanpa membawa handphone dan juga laptop”.
“Memangnya Papa berbuat salah apa Mah? Kenapa Papa memilih pergi begitu saja? Kenapa Papa meninggalkan kita semua kenapaa?”.
“Mama juga tidak tahu apa yang Papamu perbuat Nak, sungguh Mama tidak tau”.
Tak percaya sama sekali hal ini terjadi padaku Kugantungkan angan dan citaku di kota Sombrero Seluruh kehidupanku ada disana. Di kota yang ku cintai itu Tapi kini ku harus menelan pahitnya roda hidup yang berputar kebawah Semua harus ku kubur dalam-dalam Dan pelan-pelan harus menerima kota asing bernama Antennae. Lalu bagaimana dengan teman-temanku? dunia ku? dan juga mimpi-mimpiku?
Tangis mereka berdua pecah diruang tamu kecil itu. Sambil menutup mulutnya rapat rapat. Tak ingin kedua adiknya terbangun karna jarak mereka ke kamar tempat adiknya tidur sangat dekat. Khawla merasakan sesak di dadanya, tak ada kata yang bisa terucap hanya tangis yang Ia tahan kuat kuat, air mata yang tak berhenti berlinang, tenggelam dalam kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapinya. Semua jadwal ujian masuk Universitas yang akan segera dijalani seakan lenyap, gambar-gambar arsitektur bangunan tertinggal dikamar bersama kenangan delapan belas tahun hidupnya di kota Sombrero. Kini yang Khawla fikirkan hanyalah bagaimana bertahan hidup di kota ini bersama Mama dan kedua adiknya yang masih kecil sedangkan mereka tak banyak membawa barang dan meninggalkan ATM.
Uang lembaran yang mereka bawa dari Sombrero tidak seberapa. Dalam kesedihan yang mendalam Khawla sudah harus putar otak bagaimana Ia bisa mencari pekerjaan di kota yang baru Ia datangi ini. Tanpa gadget semua terasa sulit, Khawla terbiasa membuka handphone dan laptopnya untuk mencari informasi, tapi kini Ia harus terbiasa tanpa hal itu.
••• Keesokan harinya •••
Mencoba ke pusat kota dengan menggunakan bus, bermodal tanya sana sini sampai juga Khawla di keramaian pusat kota Antennae, hal yang sangat Ia rindukan ketika tinggal di Sombrero dulu.
Langkah demi langkah dan matanya tak berhenti melihat ke kanan dan kiri, apakah ada yang bisa Ia kerjakan dan menghasilkan uang walau Ia tak tau punya keahlian apa. Toko demi toko Ia masuki, memastikan apakah ada lowongan pekerjaan untuknya, bahkan menjadi tukang cuci piring pun tak masalah asal Ia dan keluarganya punya uang tambahan. Sudah setengah hari lebih Khawla berjalan tanpa tau arah pasti apa yang dituju. Perutnya kelaparan dan Ia pun terpaksa berhenti di Bapak tukang siomay pinggir jalan raya, memesan satu porsi siomay tanpa pare dan kol. Sambil mengunyah dengan lahapnya, tanpa sengaja Ia mendengar percakapan dua orang disebelahnya.
“Eh kamu jadi resign kah? Kerjaan yang ini lebih cuan kan?”
“Insya Allah jadi tapi lagi cari pengganti nih, Koh Acoh mau ada pengganti dulu baru aku bisa caw dari tokonya”.
“Oh udah dapet?”
“Belum nih, sepupu ku pada gak mau, mereka juga udah pada kerja soalnya, lagian gajinya gak seberapa memang, tapi pemiliknya baik banget sebenernya walaupun cerewet hahaha”.
Mendengar sebuah informasi berharga ini tanpa fikri panjang Khawla memberanikan diri bertanya ke dua orang yang tidak Ia kenal itu.
“Permisi mba maaf kalau saya lancang, tidak sengaja mendengar percakapan mba tadi, apa mba ini masih mencari orang yang mau bekerja di toko? Kebetulan saya sedang mencari pekerjaan, berapapun upahnya saya mau. Oiya sebelumnya perkenalkan nama saya Khawla”
Kedua mba itu saling bertatapan.
“Oh iya benar saya memang lagi cari orang untuk pengganti. Kamu tinggal dimana? Kamu terlihat muda, masih kuliah yah? Saya Pia”.
Khawla menyerahkan KTP nya ke Mba Pia yang berambut pirang itu.
“Saya sudah lulus SMA tapi belum melanjutkan kuliah karna saya ingin bekerja dulu sambil mengumpulkan uang untuk daftar kuliah”.
“Oh kamu pendatang yah? belum tau banyak daerah sini dong?”
“Iya Mba saya baru saja pindah ke kota Antennae, sebelumnya saya tinggal di kota Sombrero”
“Hoo begitu, oke boleh saya minta nomor handphone mu? Nanti saya infokan kelanjutannya besok yah karna saya harus izin Koh Acoh dulu”
“Maaf handphone saya rusak dalam perjalanan ke kota ini, tapi bisa beri saya alamat tokonya saja? saya pastikan datang di waktu yang diminta besok entah saya diterima atau tidaknya tidak apa-apa saya akan datang. Khawla terpaksa berbohong mengatakan hp nya rusak.
“Hoala okelah kalau begitu, saya tuliskan alamat dan letak tokonya yah”
Setelah mendapatkan kertas berisi tulisan alamat toko sembako di pasar kamis tempat mba Pia bekerja, Khawla tersenyum sumringah sepanjang perjalanan pulang, padahal Ia belum pasti akan bekerja tapi rasanya senang sekali. Tak sabar Ia beri tahu Mamanya dirumah.
“Mah.. lihat ini salah satu toko di Pasar Kamis, besok aku datangi untuk menggantikan Mba Pia yang tadi aku jumpai di tukang siomay, semoga aku bisa diterima, lumayan kita ada uang untuk menyambung hidup.
“Alhamdulillah.. kamu tidak apa kan La?” Mamanya tau ini sangat berat untuk Khawla, sejak kecil Ia hidup berkecukupan, belum pernah mencari uang sendiri tapi Ia tau anaknya juga bukan anak yang manja jadi Ia harus yakin Khawla bisa menghadapi ini meski akan terseok-seok.
“Enggak papa Mah, aku belum tau kerjanya gimana tapi jadi penjaga toko sembako ya paling melayani pembeli gitukan ya Mah? Bisalah aku dikit dikit, aku kan jago berbicara hahaha”
“Mandi dulu sana bau asam! Hahaha nanti Mama buatkan telor ceplok setengah matang kesukaanmu yah”.
Khawla masuk ke kamarnya, dibalik pintu Ia duduk bersandar. Memijit mijit kakinya yang terasa kebas karna berjalan jauh sekali, membiarkan air matanya menetes terus menerus tapi ia pastikan tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, Ia tak mau mmebuat Mamanya sedih.
••• Di Pasar Kamis Toko Jaya Abadi •••
“Koh ini Khawla yang aku ceritakan kemarin di whatsapp, Dia pendatang, baru lulus SMA dan pengen kerja disini, gimana koh?”.
“Eh elu orang masih muda beneran mau kerja disini?”
“Iya Koh, saya siap bekerja apapun karna butuh sekali uang untuk Mama dan adik dirumah”
“Lah Bapak lu kemana emang?”
“Em…”.
Raut wajah Khawla mendadak berubah, campuran rasa sedih, kesal dan marah rasanya ingin Ia ledakkan tapi Ia sadar ini bukan tempatnya dan bukan jawaban yang tepat untuk ia utarakan saat ini.
“Sudah sudah tidak usah lu jawab gue udah bisa baca. Iya lu boleh kerja disini tapi gue coba dua minggu ya kalo lu oke nanti lanjut.
Wajah bingung sekaligus lega dirasakannya bersamaan dan tak lupa Ia pun mengucapkan terima kasih berulang kali ke Mba Pia dan juga Koh Acoh.
“Selamat ya Khawla sekarang resmi jadi anak buah Koh Acoh hahaha”.
Hari-harinya kini disibukkan dengan belajar melayani pembeli dan mencoba menghafal semua harga sembako dan bahan bahan kue di toko yang sudah cukup terkenal di kalangan orang pasar.
Benar ternyata Koh Acoh memang cerewet, si newbie ini benar-benar kelimpungan dengan semua instruksinya, cepat dan selalu penuh gelora semangat macam tak ada jeda Ia berbicara, suaranya juga kencang membuat Khawla mengalami culture shock pertamanya dan sesekali terdengar membentak, tapi tidak. Koh Acoh bukan sedang marah marah, memang nada bicaranya demikian, Khawla mulai terbiasa meski setiap pulang kerumah terasa remuk sekujur tubuh karna ia tidak ingin dinilai lambat dalam penilaian kerjanya di dua minggu pertama ini jadi Ia usahakan bisa mengikuti irama Koh Acoh dan juga pegawai yang lain.
“La, lu kagak punya hp? Kalo nanti sewaktu-waktu gue butuh tanya elu gimaa?”
“Ehm.. kan aku senin sampai sabtu setengah hari kesini koh, tenang aja hehe”
“Heh bukan gitu kalo tiba tiba lu sakit trus gak bisa berangkat kerja gimana coba?
“Tapi aku belum punya uang koh buat beli hp”
“Yaudah gini deh, nih gue ada hp agak jadul sih tapi masih bisa dipake jadi kalo ada urgent lu telfon gue yak, ini udah ada nomornya jadi lu tinggal pake”
“Wah makasih banyak koh makasih”.
“Heh tapi itu gue pinjemin bukan buat elu hak milik ya”
“Siap Koh”.
Nyaris sebulan Khawla tak memegang hp setelah Mamanya minta untuk ditinggalkan dirumah lamanya di Sombrero. Rindu sekali Khawla punya hp lagi, Ia juga rindu dengan teman-temannya, sudah lama Ia pergi tanpa kabar ke teman teman terdekatnya. Tapi ini belum waktunya untuk mellow, Ia harus kembali bekerja karna toko sedang ramai-ramainya.
                                                                       •••
“Mah, lihat aku dipinjami hp sama Koh Acoh untuk komunikasi takut tiba-tiba aku sakit dan gak bisa mengabari koh Acoh”.
Dengan cepat Mamanya mengambil hp pinjamannya itu.
“Khawla, jangan membuka komunikasi dengan siapapun di Sombrero saat ini, kembalikan saja hp ini ke bos mu”. Mamanya terlihat panik sekali.
“Mah ini cuma bisa untuk telfon dan sms aja, Khawla menariknya kembali.
lagian ini sudah diisi kartu dan nomor Koh Acoh, aku tinggal pakai saja dan ini tidak bisa untuk internet kok”.
“Oh Mama fikir... Yasudah kalau tidak urgent tidak usah dipakai, lagi pula itu hp pinjaman kan? Kalau rusak nanti kamu kena ganti loh”.
“Iya siap Ma aku simpan saja”.
Khawla terlihat menuruti permintaan Mamanya tapi nyatanya tidak, Diam-diam Ia sempat mencatat nomor teman dekatnya di Sombrero dan berniat menghubungi mereka saat di pasar nanti dan mencari tau sebenarnya apa yang terjadi pada keluarganya.
Di Sore hari koh Acoh menegur Khawla karna sejak habis makan siang tadi kerjanya tidak fokus, berkali kali pembeli harus mengulang karna Khawla tidak dengar dan ada satu pembeli yang marah-marah karna pesanannya salah terus
“La elu lagi kenapa? Tumben banget lu gak fokus, muka lu pucet begitu lu sakit?” Niat hati ingin menegur Khawla Koh Acoh malah jadi kasian karna melihat muka Khawla tiba-tiba memucat dan seperti orang linglung.
“Gapapa Koh, aku sehat kok cuma tadi tiba-tiba nge blank aja karna kepikiran sesuatu”
“Ayok fokus La fokus nanti pelanggan marah lagi ke gue karna salah mulu pesenannya”
“Iya Koh maaf ya Koh”
Satu jam selepas solat dzuhur tadi rupanya Khawla berhasil menghubungi teman dekatnya di Sombrero, Kasih. Hanya bisa berbicara sebentar saja karna waktu yang diberikan untuk solat, makan dan istirahat tidak banyak.
Selama perjalanan pulang Khawla memilih turun bus lebih jauh dari rumahnya, Ia benar-benar tidak bisa berfikir jernih karna terlalu shock mendengar berita dari Kasih tadi kalau Papanya (Pak Soebandi) diberitakan menjadi terduga kasus korupsi bernilai milyaran rupiah.
Aku memang tidak sedekat itu dengan Papa dan aku tidak tau persis pekerjaan Papa tapi aku benar-benar tidak percaya  kalau Papa melakukan hal yang melanggar hukum Apa sebab itu juga Papa ingin kita pergi jauh dari Sombrero? Apa sebab itu Mama menyembunyikan cerita ini? Mama gak mungkin gak tau kan?atau memang Mama tidak tau? Kalau Mama tau kenapa Mama gak jujur kepadaku? Lalu sekarang Papa dimana? dipenjara? atau…..
Semua pertanyaan dan kenyataan itu benar-benar membuat kepala Khawla rasanya mau pecah.
Sedih, kesal dan marah semua jadi satu di satu waktu dan tanpa sadar Ia meremas remas botol kemasan air mineral yang sudah habis dan melemparnya kearah taman pinggir jalan sambil berteriak.
“Aduuuh”. Ada suara orang dibalik pagar tanaman, botol itu tepat mengenai kepalanya, segera Khawla mendekat ke sumber suara itu.
“Heii kamu yang lempar botol ini? Sakit tau ih.. udah buang sampah sembarangan, kena kepala orang lagi, gerutu laki-laki berumur sekitar tiga tahun lebih tua dari Khawla itu sambil mengusap usap kepalanya.
“Maaf, maaf ya Mas, saya tidak sengaja, benar-benar tidak sengaja”.
Terlihat muka pucat dan linglung Khawla kala itu membuat laki-laki itu merasa iba, lagi ada masalah kali ya nih cewe, gumamnya dalam hati.
“Yaudah lain kali hati-hati Mba, oiya diambil itu sampahnya, buang ketempat sampah”.
“Iya..” tak bicara banyak segera diambilnya sampah botol itu dan pergi meninggalkan laki-laki itu.
Sesampainya dirumah Khawla kaget melihat Adiknya Hisyam sedang muntah-muntah dan Adiknya yang paling kecil, Fasha ikut menangis.
“Maaaahh Hisyam kenapa?” Tanyanya panik.
“Enggak tau tadi habis makan, tidur lalu kebangun dan bilang perutnya sakit trus begini” Mamanya bingung sekali ingin mengurusi Hisyam atau mendiamkan Fasha yang menangis kencang. Segera Khawla menggendong Hisyam dan membawanya ke UGD terdekat sambil meminumkan adiknya air dicampur garam dan gula agar tidak dehidrasi.
Setelah diperiksa dokter, ada kemungkinan Hisyam keracunan makanan karna baru saja Hisyam yang pertama makan nasi dan lauk yang Mamanya beli di warung makan tadi siang.
“Ya Allah maafin Mama nak, harusnya tadi Mama dulu yang makan jadi biar Mama aja yang keracunan bukan kamu”.
“Sudah Mah jangan menyalahkan diri sendiri begitu, insya Allah Hisyam sudah gapapa tadi kata dokter sudah diberi obat dan di infus tadi juga dokter bilang paling tidak dirawat inap dulu satu malam karna perlu observaasi lebih lanjut kalau tidak ada keluhan besok bisa pulang”.
“Syukurlah nak kamu gapapa”. Mamanya mencium kening Hisyam yang sudah tertidur sambil menggendong Fasha.
Tak tega melihat kondisi keluarganya saat ini, Khawla urun untuk menanyakan berita yang Ia dapatkan dari Kasih di Sombrero. Lebih baik aku fokus dulu untuk Hisyam cepat pulih dan balik kerumah nanti baru akan kutanyakan perihal berita Papa di Sombrero pada Mama. Oiya aku harus beri tau Koh Acoh untuk izin kerja besok.
••••
“Biar aku saja yang menjaga Hisyam di rumah sakit, aku sudah izin kerja untuk hari ini, Mama dan Fasha pulang saja kasian Fasha kalau harus ikut menginap disini lagi pula hanya satu orang yang diizinkan menginap menemani pasien, jadi biar Khawla saja ya Mah”.
“Iya.. besok pagi Mama kesini lagi ya”.
Khawla duduk di dibangku samping tempat tidur Hisyam, Ia tidak bisa jauh jauh karna adiknya masih sering menangis dan tidak betah dengan selang infus yang berada ditangannya
Suasana ruang rawat yang sepi semakin membuat isi kepala Khawla makin berkecamuk dan saat ini Ia berfikir ingin cari pekerjaan lain. Karna setiap pagi sampai sore di toko dalam pasar membuat Khawla tidak berkembang, Ia masih ingin sekali berkuliah suatu hari nanti jika uangnya sudah cukup, dan saat Ia mendapat kepastian bagaimana Papanya.
―Kita kembali ke Kota Sombrero. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mengagendakan pemeriksaan terhadap dua mantan komisaris PT. Manouvol yakni Chiko dan Bagas pada hari ini. Chico dan Bagas dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran PT. Manouvol―
Nama PT yang tidak asing baginya, lalu Ia mendekatkan dirinya ke TV ruang rawat inap yang dipasang diatas mendekati atap. Memastikan apa yang Ia dengar dan lihat adalah benar. Selama hijrah ke kota Antennae, Khawla tidak pernah melihat siaran TV lagi karna dirumahnya sekarang mereka tidak memiliki TV dan di toko seringnya tidak dinyalakan, jadi baru saat ini Khawla melihat TV dan menonton berita lagi.
―Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SP (Soebandi Pratama,47) dan RR (Rachmat Rihardjo,45) yang saat ini masih menjadi buron. Dalam kasus ini SP dan RR diduga telah menerima aliran dana hasil pencairan pembayaran pekerjaan mitra fiktif senilai sembilan puluh tujuh milyar rupiah―
Khawla menjatuhnya dirinya ke samping tempat tidur Hisyam yang sudah tertidur, ternyata benar yang Kasih katakan kalau Papaku menjadi terduga kasus korupsi dan sekarang statusnya adalah buron. Jadi Papaku benar-benar terlibat korupsi? Dan sekarang Papa kabur entah kemana. Berarti aku anak seorang koruptor?
Khawla menutup mukanya rapat rapat sambil menangis , Ia sangat terpukul dengan berita yang baru saja Ia lihat di TV. Dirinya masih ingin percaya kalau apa yang Kasih katakan itu tidaklah benar dan Ia masih ingin tau kebenaran itu dari mulut Papanya sendiri tapi nyatanya Papanya kabur yang kemungkinan besar menandakan dirinya benar benar terlibat kasus ini.
Hancurnya sekali hatinya saat tau Papanya yang selama ini Ia hormati tega berbuat hal seperti ini. Lalu bagaimana kalau yang aku makan selama ini adalah harta haram dan sudah menjadi daging dan darah yang mengalir di tubuh ini? Tega sekali Papa pada kami. Oh Tuhan semoga engkau mengampuni dosa Papaku dan semoga Engkau mengampuni kami yang secara tidak sadar menikmati hasil pekerjaan kotor. Lelah menangis semalaman, Khawla tertidur bersandar besi tempat tidur sampai dibangunkan oleh cleaning service yang bertugas pagi ini untuk pindah ke kursi.
Setelah observasi terakhir, dokter bilang Hisyam sudah boleh pulang siang ini. Suster sudah melepaskan infusannya dan Khawla membereskan barang-barangnya ke dalam tas menunggu Bu Weli dan Fasha datang.
“Alhamdulillah yah dek kamu gak harus menginap disini, Mama sedih lihat kamu di tusuk jarum begini, yuk sekarang kita bisa pulang kerumah”. Khawla bantu dorongkan kursi roda kedepan lobby, mereka memesan taksi dekat RS.
“Kamu baik-baik saja? Semalam bisa tidur?”
“Sedikit” Jawabnya singkat.
Bu Weli melihat raut wajah anaknya yang sangat kusut tapi Ia berfikir Khawla begadang menjaga adiknya sepanjang malam. Dan mereka pun sampai di rumah. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mamanya, hingga larut malam tiba ketika dua adiknya benar benar terlelap, Khawla menarik tangannya dan mengajaknya ke teras depan dan duduk dibangku plastik warna hijau menghadap  jalanan tanpa pagar sebagai penyekat.
“Mama tau apa tentang Papa sampai detik ini? beri tau aku yang Mama ketahui dan Khawla mohon Mama jangan bohongi aku, jangan tutupi apapun dariku lagi”. Khawla mencoba menahan air matanya.
“Aku sudah tau beritanya kalau Papa tersandung kasus korupsi bernilai milyaran rupiah dan status Papa saat ini adalah buronan polisi”.
Bu Weli kaget darimana Khawla tau hal ini padahal selama pindah ke Antennae mereka tidak melihat siaran TV, hp yang dipinjamkan bosnya pun hanya bisa untuk sms dan tellfon
“Aku tau dari berita di TV  ruang rawat saat menemani Hisyam di RS semalam”. Seolah bisa menebak isi hati Mamanya.
“Kenapa Mama gak jujur sejak awal soal ini? Dan kenapa Papa harus kabur? Berarti benar Papa korupsi uang perusahaan?”.
“Maaf kalau kamu harus tau ini lebih cepat sebelum Mama memberitahumu, sama sekali tidak ingin menutupi semua ini darimu, hanya saja kalau kamu tau hal ini dari awal Mama yakin kamu pasti tidak akan mau pergi dari Sombrero”.
“Jelas aku tidak akan mau pergi dan aku juga tidak akan membiarkan Papa kabur dari masalah yang Ia buat sendiri, Papa harus bertanggung jawab dan kita juga harus membantu polisi agar Papa bisa mempertanggungjawabkan kesalahannya Mah, bukan malah kabur menjauh dari sana”.
“Tapi kita tidak membawa apapun dari sana kan nak, kita tidak bawa ATM, uang, eletronik dan apapun, kita tidak salah”.
“Tapi kita salah membiarkan Papa kabur dan kita juga salah menutupi keberadaan Papa saat ini dari tim penyidik”.
“Mama takut Papamu dipenjara, Mama juga tidak siap di cemooh semua orang disana, Mama tidak siap membesarkan kalian seorang diri dengan status istri seorang koruptor”.
“Mau sampai kapan mah? Cepat atau lambat semuanya akan terkuak, mau berapa lama Papa bersembunyi seperti ini? Mama fikir polisi akan berhenti mencari Papa dan kasus ini ditutup dengan kaburnya Papa? tidak Mah!
Bu Weli kali ini menangis sejadi jadinya, sudah lama rasanya Ia ingin meluapkan emosinya seperti ini tapi selalu ditahan karna tidak ingin Khawla dan adik-adiknya tau kalau Papanya seorang koruptor dan menjadi buron. Atas permintaan suaminya juga untuk membawa anaknya pergi jauh dari Sombrero dan memulai hidup baru dengan lingkungan baru di Antennae dan berjanji untuk tidak buka suara perihal keberadaannya. Namun bangkai tetaplah bangkai, mau di tutupi serapat apapun tetap akan tercium juga.
“Sekarang apa yang Mama harapkan dengan menyembunyikan Papa? keutuhan keluarga? yang aslinya tidak pernah utuh? keluarga kita memang terlihat seperti keluarga normal pada umumnya, bahkan mungkin orang lain melihatnya sebagai satu keluarga yang sempurna dengan kepala keluarga yang mempunyai posisi penting di perusahaan besar, berkecukupan bahkan lebih dari cukup, memiliki anak laki-laki dan perempuan. Semuanya terlihat ideal tapi sesungguhnya aku tidak merasakah se hangat itu didalamnya. Papa ya seorang orang tua, orang tua yang dihormati, pemberi segala keputusan dan memenuhi semua kebutuhan sandang pangan dan papan kita tapi apa pernah Papa tau bagaimana anak-anaknya? Kurasa tidak.
Rumah yang bukan ‘rumah’ untukku, Tak dapat lagi menahan beratnya bendungan air mata yang akhirnya dibiarkan jatuh, tak seberat kala merasakan kekecewaan yang teramat sangat pada Papanya sendiri yang sudah benar-benar menghancurkan hatinya dan juga mimpinya.
Malam ini menjadi malam yang paling mendung seumur hidupku. Aku dan Mama masih menangis di teras rumah.
••••
Sesungguhnya Khawla juga kecewa pada keputusan Mamanya yang hingga kini tak juga mau memberi taunya keberadaan Papanya tapi Ia ingin mengesampingkan sedikit masalah hidupnya saat ini mencoba untuk tidak terus berlarut dengan kesedihan yang mendalam. Khawla ingin hidup normal kembali entah bagaimana rencananya kedepan.
Khawla kembali bekerja besok pagi dan yang Ia fikirkan sekarang adalah menghidupi keluarganya dari kedua tangannya yang harus sepuluh kali lebih kuat dari sebelumnya.
―6 bulan kemudian―
Tidak seperti hari biasanya, hari ini Khawla sudah mantap memutuskan tidak lagi bekerja di toko Koh Acoh dan Ia sudah menyiapkan kata-kata pengunduran dirinya. Walau cerewetnya bukan main, tapi koh Acoh bos yang sangat baik dan dia membolehkan Khawla melamar pekerjaan lain tanpa harus mencarikan penggantinya terlebih dahulu karna koh Acoh juga merasa Khawla masih sangat muda, Ia berhak mencari pengalaman diluar sana yang lebih luas lagi. Khawla sudah memiliki cukup uang untuk membeli handphone yang sesuai dengan budgetnya saat ini, dan Ia sudah mengembalikan handphone pinjaman Koh Acoh sebelum pamitan dari toko.
Beberapa hari lalu saat Khawla sedang mengobrol dengan pegawai toko sebelah, Ia mendengar ada toko kue baru yang cukup besar, lokasinya gak jauh dari Pasar Kamis yang sedang buka lowongan pekerjaan. Khawla ingin mencoba melamar disana. Posisi yang dibutuhkan yaitu kitchen prep dan front –of-house. Khawla tertarik di front of house, selain kriteria yang dibutuhkan tak perlu sarjana, Ia juga merasa cukup cakap dalam berbicara dan pengalaman menjadi pegawai toko Jaya Abadi selama hampir setahun membuatnya belajar banyak melayani pelanggan dengan baik. Selang seminggu pengumuman calon pegawai, Khawla dipanggil untuk menjalani test kedua setelah lolos tes administrasi di toko cake and pastry tersebut, dengan semangat Ia datang dengan pakaian hitam putih ala pegawai orientasi. Ada sepuluh orang yang menjalani tes kedua yaitu praktek akan diambil dua orang.
Seminggu kemudian ternyata Khawla lulus sesuai harapannya. Hari pertama Khawla bekerja di toko kue tersebut rasanya membahagiakan sekali, selain harum dari pastry dari kitchen yang menyerbak ke seluruh bagian toko yang bahkan sejak melewati pintu masuk sudah tercium, lingkungannya yang pasti bersih dan yang paling Ia sukai adalah ketika memakai seragam Vimallya’s cake and pastry, terlihat chic dan keren sekali. Seluruh staff baru diajak berkeliling seluruh bagian toko sampai ke dalam kitchen dan office yang terletak di lantai dua untuk berkenalan dengan seluruh bagian di Vimallya dan ada yang membuat Khawla sedikit kaget ketika menyapa salah satu Specialty Chef yang wajahnya tak asing baginya tapi sama sekali tak ingat dimana mereka pernah bertemu. Ketika waktu pulang, tak sengaja Khawla bersinggungan dengan Chef tadi, ekspresi Khawla terlihat sekali memandanginya terus sambil mengerutkan alisnya lalu dengan santainya Chef itu nyeletuk.
“Gimana?masih gak inget pernah ketemu saya dimana? Masa sih gak inget pernah merasa menimpuk kepala saya dengan botol? Hahaha”.
Ah iya, Khawla baru ingat dan rasanya malu sekali karna saat itu dirinya sedang kalut.
“Saya gak sengaja kok Chef saat itu hehe”
“Hahaha iyaa santa. Inikan udah diluar kantor, gak usah panggil Chef segala, panggil aja Kafka”.
Kafka.. nama yang bagus dan tiba-tiba ada senyum ikhlas yang muncul di wajah manis Khawla.
Ah apasi kamu La baru juga kenal hahaha, gumamnya.
Hari demi hari Khawla makin terlihat makin dekat dengan Kafka lebih dari sekedar rekan kerja.
Kafka orang yang sangat humble kepada semua orang, Ia juga dikenal ramah dan sopan.. Buat Khawla, Kafka menjadi orang yang slalu bisa menghiburnya. Ada saja kelakuannya seperti bukan Chef Kafka yang Ia kenal saat bekerja, ada saja yang mereka tertawakan bersama seakan semua hal di dunia ini lucu untuk ditertawai Sebagai seorang Chef, Kafka juga tidak pelit membagi ilmunya kepada Khawla, di akhir jam kerja mereka sering menghabiskan waktu untuk praktek membuat sebuah resep baru dari sisa bahan kue yang sudah tidak dipakai dan dihitung. Bagai saling mengisi, akhirnya mereka menjalin kasih.
Atas saran Kafka juga Khawla mendaftar kuliah jurusan manajemen kuliner atau tata boga untuk jenjang karirnya lebih baik dari sekedar menjadi front-of-house di Vimallya’s cake and pastry.
Kehidupan Khawla dan keluarganya kini lebih baik, dipekerjaan yang lebih baik dan disamping orang yang berhasil menyentuh hatinya dan juga membantunya memperbaiki hidupnya yang semrawut selama dua tahun belakangan. Kepada Kafka juga Khawla menceritakan semua kisah hidupnya dan Papanya yang masih buron hingga detik ini, meski awalnya kaget tapi Kafka menerima semua masa lalu Khawla yang membuatnya justru makin kagum dengannya.
Empat tahun kemudian Khawla dinyatakan lulus sebagai Sarjana Manajemen.  Pada hari bahagia ini, Khawla membuat perayaan kecil-kecilan di suatu Caffe dengan mengajak keluarganya dan juga Kafka makan bersama.
Waiters Caffe mengantarkan pesanan sambil memberikan kartu seukuran A5 dari seseorang dengan isi pesan :
[Selamat ya Khawla kamu sudah lulus kuliah kuliner dan Papa turut bahagia atas pencapaianmu di Vimallya cake and Pastry]
“Papa?”. Khawla mematung membaca surat tersebut.
Ada sesosok laki-laki setengah abad yang berjalan mendekati meja Khawla dan keluarga.
Sungguh mengejutkan ternyata itu Pak Soebandi, Papa Khawla. Pertemuan seorang Ayah dan Istri serta anak-anaknya setelah hampir lima tahun terpisah karna keadaan.
Bu Weli sangat terkejut melihat suaminya kini ada didepan matanya dan langsung memeluk erat suami yang sangat Ia cintai dan rindukan itu. Campur marut perasaan Khawla saat ini, Ia masih diam mematung ditempatnya berdiri dari kursi.
Senang akhirnya Ia bertemu Papanya lagi setelah lima tahun berpisah dengan cara yang paling menyakitkan.
Marah mengingat beberapa tahun silam Ia, Mama dan Adiknya harus hijrah ke Antennae karna ulah Papanya sendiri dan sedih mimpi Khawla saat di Sombrero pupus walau kini Ia sudah merangkak ke mimpinya yang baru.
Sakit menahan luka yang ditorehkan Papa kandungnya sendiri.
Khawla mendekati Papanya perlahan dan Ia mengepalkan tangannya sambal menahan tangis yang pecah begitu saja.
Papanya memeluk putri pertamanya begitu erat
“Maafkan Papa nak”.
Masih menangis dipeluk Papanya, secara tiba-tiba sekelompok Polisi mengepung meja itu
“Pak Soebandi, anda kami tangkap atas dugaan kasus korupsi lima tahun silam” dan polisi langsung memborgol kedua tangannya.
“Pak.. apa ini Pak..” Pak Soebandi sangat terkejut kenapa bisa ada Polisi sebanyak ini disini dan Ia masih mencoba untuk menahan diri untuk tidak ikut ketika dua orang polisi mulai menariknya ke mobil yang berada tepat didepan Caffe itu
“Pahhh..Papaa, Pak Polisi jangan bawa suami saya”. Teriak Bu Weli histeris sambal menangis, Fasha, adik bontot Khawla yang kini berumur lima tahun ikut menangis melihat Mamanya menangis seperti itu. Hisyam memeluk Mamanya dari samping.
Khawla masih menangis sambal menunduk.
Setelah lima tahun lamanya menjadi buronan, didepan mereka semua akhirnya Pak Soebandi telah dibawa oleh pihak yang berwajib untuk mejalani proses hukum sebagaimana mestinya.
Caffe saat itu menjadi ramai karna proses penangkapan Pak Soebandi.
Kafka menggengam tangan Khawla, mencoba menguatkannya.
Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, termasuk Khawla dan Mamanya ikut dimintai keterangan oleh tim penyidik. Setelah melakukan sidang demi sidang, Hakim memutuskan bahwa Pak soebando dijatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun dan juga denda sejumlah uang. Rumah di Sombrero juga sudah disita.
Mereka semua sudah pasrah dan mencoba menguatkan satu sama lain. Mereka tetap tinggal di Antennae, dirumah sederhana itu.
Hari pertama Papanya mendekam di penjara, Pak Soebandi mendapatkan surat pertama dari Anaknya.
――
Untuk Papa yang Aku cintai, Aku tidak tau apa yang Papa rasakan saat ini. Melalui surat ini aku ingin mencurahkan seluruh hatiku kepada Papa. Yang pasti aku sangat marah, sangat sedih dan sangat kecewa atas apa yang Papa lakukan selama lima tahun ini. Kalau saja aku tau hal ini, lima tahun lalu takkan kubiarkan Papa pergi meningalkan kami dan membiarkan kami hijrah ke kota baru dan menjalani hidup disana tanpa Papa, memulai hidup dari nol yang sangat tidak mudah untuk aku jalani sebagai anak yang baru saja lulus dari sekolah menengah. Secara tidak sadar Papa juga telah menghancurkan mimpiku menjadi arsitek, aku gagal mengikuti sejumlah tes Universitas yang telah aku siapkan jauh-jauh hari. Membuatku jauh dari teman temanku di Sombrero dan menjadi orang asing di Antennae. Aku harus bekerja disini, mencari uang demi uang untuk menghidupi Mama dan kedua Adikku. Ya.. mungkin Papa sudah tau semua hal ini dari Mama kan? Tapi aku juga ingin Papa tau juga, Papa tetaplah Papaku bagaimanapun kesalahanmu dimata hukum. Papa yang aku hormati, yang telah membesarkan aku dan juga Adik-adik. Maafkan anakmu ini ya Pah, karna hanya dengan cara ini Khawla baru bisa benar-benar memaafkan Papa setulus hati Khawla dan Khawla akan mencoba ikhlas atas semua yang terjadi pada keluarga kita. Khawla akan terus melanjutkan mimpi-mipi Khawla yang baru di Antennae. Ku harap setelah ini keluarga kita makin membaik ya Pah dan bisa memetik pelajaran dari apa yang sudah kita lewati bersama. Aku ingin tidak ada lagi kebohongan didalamnya, ketidakjujuran dan ketidakterbukaan satu sama lain dikeluarga ini, Aku ingin rumah benar-benar ‘rumah’ yang hangat untukku pulang. Aku tunggu Papa sampai masa tahanan Papa berakhir, dan kita akan berkumpul kembali setelah Papa menebus semua kesalahan yang Papa perbuat. Salam sayang, Khawla Anakmu yang sudah melaporkanmu ke Polisi
――
• Flashback •
Khawla menemukan sejumlah surat dengan nama samaran, tapi Khawla tau persis itu bahasa Mama dan Papa Ketika berbicara. Jadi selama ini mereka saling bertukar kabar melalui surat surat ini? Kok aku tidak tau ya? Gumamnya sambal membaca semua surat secara cepat karna takut ketauan Mamanya.
Khawla segera mencatat alamat alamat yang tertera disitu, dan Ia segera melaporkannya ke Polisi. Tapi tidak mudah karna di semua surat tersebut ternyata ada beberapa alamat berbeda dari pengirim, mungkin Papa berpindah-pindah tempat selama ini. Akhirnya Khawla punya ide untuk memancing Papanya datang melalui Mamanya, Setelah lulus kuliah nanti Khawla ingin membuat perayaan kecil-kecilan dan ingin sekali Papanya ada disitu, dan tepat perkiraan Khawla, Mamanya menyampaikan hal itu kepada Papanya. Khawla mengatur strategi dengan tim kepolisian yang akan menangkap Papanya di Caffe yang sudah Khawla siapkan dan semua berjalan sesuai rencana.
••••
Di suatu sore yang indah di Antennae
Kafka sedang berada diruang tamu rumah Khawla dan berniat untuk melamar Khawla didepan Mamanya dan juga Adik-adiknya. Kafka mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.
“Khawla, bersediakah kamu menjadi teman yang setiap hari ada disampingku? Yang kupanggil dengan sebutan Istri?”. Kafka gugup sekali.
Khawla menengok ke Mamanya meminta persetujuannya, Mamanya mengangguk dengan penuh senyuman. Ia juga bahagia sekali Putri pertamanya sudah dilamar lelaki baik Bernama Kafka.
Yes Chef!!
Semua tawa menyertai keduanya yang insya Allah akan membina hubungan yang lebih serius lagi.
----------TAMAT------------
15 notes · View notes
himawariqurrotaaini · 1 year ago
Text
Menemukan Cinta di Baitullah #3
Mekkah. 11:15. 10112023.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Satu yang sangaaaaatt saya yakini tentang Baitullah adalah... betapa mudah Allah mengijabah doa, bahkan menggantinya dengan versi yang lebih baik.
Makanya kan suka ada tuh versi setan kasi kita was-was, hati-hati lohhhh nakal-nakal di kota tempat tinggal, nanti dibalas Allah lohhhh di Mekkah Madinah. Haiiisssh kl versi saya sih ndak gitu konsepnya kawan.
Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk. La syarika lak.
Artinya: "Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu."
Kita tuh dipanggil. Akan dimampukan untuk datang, bukan kepada yang mampu yang datang. Pegangan deh sama ini.
Postingan sebelumnya kan saya bocor cerita, minta mintaaaaaa banget sama Allah, supaya nanti umroh bisa sama suami, sama anak, walau ya ndatau kapan, tapi mintanya sama siapa lagi lah kalau bukan sama Allah?
Eeeehh selisih beberapa jam setelahnya, saya "dikasi" Allah kesempatan punya anak di sini. Ceritanya saya telat pergi ke masjid, malah ketemu Ibu dari 5 anak hebat yang pernah saya ceritakan di sini. Niatan saya sebenarnya mau i'tikaf saja di masjid. Duduk-duduk tenang, karena perkiraan saya, itu sudah jam padaaatt untuk ke pelataran Ka'bah.
Percakapan terjadi di depan pintu lift.
"Teteh mau ke mana?" tanya saya.
"Mau ajak anak-anak liat Ka'bah," ujarnya.
"Hnggg bertiga aja?"
"Iyaaa, bismillaah," jawabnya.
"Aku temenin boleh?"
Dan syuuuttt pergilah kami bersama.
Apakah mudah? Otentu tidaaaaaakk kawan.
Pintu-pintu masjid yang biasanya mudah dilalui, ternyata sedang diubah-ubah susunannya. Yang terlihat dekaaat dan mudah, jadi harus berputar. Aypris memang melatih diri angkat besi ringan. Tapi angkat-angkat bocah dan gembolannya, adalah hal yang membuat ayu deg-degan salah tingkah. Begini kaaan jatuh cinta tuh?
Untuk hal seperti ini lah diciptakan kata: berjibaku.
Surga itu mahaaaaaalll.
Allah mudahkan kokkk orang yang ingin beribadah tuh, akhirnya kami berempat tiba di pelataran Ka'bah. Kaki-kaki mungil itu, mungkin seperti kaki Fatimah RA, atau Asma binti Abu Bakar, berjuang di Baitullah. Malah saya dapat bonus lagi, bisa baca Surah Ibrahim sambil pangku mereka. Ya Allaaaah, hamba meleleh.
Tumblr media
Tangan-tangan mungil berkekuatan besar, yang membuat saya merasa berarti.
Innal 'aisya 'aisyul akhirah yaaaa Nak, selain kebesaran Allah menurunkan hujan pada ba'da subuh di Mekkah hari Jumat, bisa membersamai kalian adalah salah satu kebahagiaan besaaaar Tante ayuk di sana.
Tumblr media
Kata guru saya, untuk yang masih belum menikah, nda papaaa punya mimpi besaaarr. Malah harus. Niatkan niatkan niatkaaaaan nanti kalau punya anak, maunya anak yang gimana. Mau jadi madrasatul ula yang gimana. Jadi kalaupun memang di dunia belum rejekinya (kaaaan nangis kaaaann) inshaAllah sudah Allah perkenankan pahala untuk kita. Baeeeeekk sekali kan Allah ar Rohiim.
Melebarkan hikmah dari peristiwa ini, saya belajar dari Sang Ibu, bahwa untuk beribadah memang harus punya cita-cita besar. Bukankah Allah pasti bantu hambaNya yang menyerahkan diri kepadaNya? Mereka bertiga (dan si Kakak membawa sajadah cukup berat dalam ransel mungilnya) berani berniat ke Ka'bah pada jam yang saya perkirakan padat, yang mana saya yang sebenarnya lebih memiliki kelapangan tenaga, malah berniat ibadah yang 'biasa'. Mereka mengingatkan saya juga, bahwa surga teeeerlalu luaaaaaas untuk diusahakan sendirian. Tarik-menariklah.
Tumblr media Tumblr media
Semoga Allah ridha memperbaiki urusan agama, dunia, dan akhirat kita....
...dan ridha menjadikan kita perantara kebaikan dari Allah AzzawaJalla untuk ummatNya.
Salam,
ayuprissakartika.
3 notes · View notes
rubahlicik · 2 years ago
Text
Di Kelas
Sebelumnya, di Perpustakaan part.2
Makul pertama, pengantar keilmuan jurusan, mulai jam 7 pagi. Ada tugas kelompok. Uda beres, ada di ransel. Ranselnya, masih di loker perpustakaan,. Aduh, Ojaaan,..
Mampus,.
Tumblr media
Semoga besok ga telat ke kelas. Kelelahan karena aktivitas fisik yang tidak wajar membuatku sangat mengantuk. Hanya beberapa helaan nafas panjang sudah cukup untuk membuatku pulas.
***
‘emmm,.. nama Saya Fauzan, biasa dipanggil Ojan dari kelas MIPA 3.’
‘emmn,.. Pagi ini,.. saya dan rekan rekan akan mempresentasikan hasil penelitian singkat kami tentang Penerapan Ilmu Biofisika di Industri makanan cepat saji,..’
.
.
Aku didaulat sebagai juru bicara kelompok karena datang nyaris terlambat. Kelas Pengantar Keilmuan Jurusan adalah mata kuliah pengantar yang diberikan pada mahasiswa tahun pertama. Tujuannya untuk memberikan gambaran tentang jurusan kuliah yang akan dipilih kelak di akhir tahun. Apakah mahasiswa akan masuk Matematika, Fisika, Kimia atau Astronomi.
Pada mata kuliah ini, pesertanya merupakan gabungan dari tiga kelas, yaitu kelas MIPA 1, MIPA 2 dan MIPA 3. Kelas ini diselenggarakan di ruang auditorium yang jumlah kursinya paling banyak dan pintu masuknya pun lebih dari satu. Cukup besar untuk menampung mahasiswa dari tiga kelas digabung dan cukup terbuka untuk membuat mahasiswa bisa keluar masuk tanpa ketahuan.
Hanya selang beberapa menit setelah selesai presentasi, teman sekelompokku menghilang, entah pindah tempat duduk atau mungkin keluar kelas. Meninggalkanku sendirian bersama tugas kelompok yang baru saja selesai dipresentasikan.
Sisa waktu perkuliahan kugunakan untuk memperhatikan presentasi kelompok berikutnya. Temanya tentang kaitan antara ilmu astronomi dengan ilmu santet. Menarik.
Baru saja ketika aku hendak mulai mencatat, pundakku disentuh oleh seseorang. Sentuhan yang tidak asing,. Aneh sekali, ini baru kali kedua aku merasakannya, tapi sentuhan tangan itu terasa familiar.
Pensil yang kupegang terjatuh (lagi) ketika aku melihat sosoknya. Sosok yang membuatku lari layaknya kesetanan tadi malam. Bedanya, kali ini dia yang memungut pensilku. Aku menatapnya lekat-lekat.
Setelah memungut pensilku, gadis itu membetulkan posisi duduknya. Pandanganku beralih ke bawah. Aku bisa melihatnya dengan jelas, kini di bawah celana jeansnya aku melihat ada sepatu dan sepatunya menempel di lantai. Tidak melayang seperti yang kulihat kemarin.
Seolah mengerti, dia langsung menekuk lutut, lalu membuka sepatunya. Lebih tepatnya membuka sambungan yang menempel pada betisnya.
‘Dulu aku kecelakaan,. Telapak kakiku mesti diamputasi, dua duanya. Sekarang pakai yang prostetik. Keren kan?’
‘………..’
‘Barang-barang kamu yang ketinggalan di meja perpus uda aku simpan di loker. Petugas perpus kemarin kaget, dikirain ada yang berantem’
‘trus, aku bilang aja kalo kamu lupa ngunci kamar kos’
‘eh btw, kemarin kamu lari karena nyangka aku hantu tanpa kaki penunggu perpustakaan kan? Aku juga kaget waktu pertama kali denger cerita tentang penunggu perpustakaan itu. Kok kayak aku yah?. Makanya, waktu kamu liat kaki aku yang ga ada, aku langsung follow up sesuai cerita’
‘hahaha’
‘udahan karena udah malem, apa karena udah tahu?, hahaha epic banget’
‘eh tapi aku ga nyangka loh kamu bakal lari kayak gitu. Emang aku serem banget y?’
‘Halo??’
‘halo?’
Ternyata bukan hantu. Orang betulan. Yes! Semalem Aku bisa ngobrol lancar sama orang betulan. Cewek!. Yes! Yes! Sungguh kemajuan, wahai Ojan!
‘halo?’
‘yah, gimana? Gimana?’
‘aku serem ya?’
‘Eh, engga kok, Cantik. kamu cantik!’, jawabku tegas. Aku sungguh-sungguh mengatakannya bahkan dengan mengulangnya sekali lagi. Mahasiswi yang duduk di sampingku ini memang cantik sekali.
Aku begitu terlarut dalam informasi yang baru saja kudapat. Ternyata, yang semalam kukira setan adalah manusia betulan.
Tanpa kusadari, presentasi kelompok ‘Kajian Ilmu Santet dalam sudut pandang Astronomi’ telah usai dan sekarang telah masuk ke sesi tanya jawab.
Sesi ini adalah sesi yang paling hening dalam setiap kegiatan presentasi. Setiap presenter meminta audiens untuk bertanya dan pasti akan dijawab audiens dengan keheningan. Tapi tidak untuk sesi kali ini.
‘Cantik. kamu cantik!’
Setiap pasang mata yang ada di ruangan kini menatapku. Dosen, Rekan mahasiswa, termasuk mahasiswi yang baru saja selesai presentasi. Dia menatapku tajam, menuntut jawaban.
Aduh, Ojan,..
7 notes · View notes
bungajurang · 1 year ago
Text
Day0 - Arrival
Kami berangkat dari Stasiun Tugu pada hari Jumat, 26 Mei 2023 pukul 12.55 WIB. Cuaca siang itu cerah. Angin yang hangat ikut mengantar penumpang ke dalam kereta. AC di kereta ini tidak banyak membantu mengusir hawa panas. Baru setelah kereta berjalan selama kurang lebih 10 menit, suhu di kereta mulai turun. Gerbong yang kami naiki tidak terlalu ramai, ada beberapa kursi kosong. Aku baru tahu kalau ternyata tempat duduk di kereta bandara itu free seat, jadi bisa memilih duduk di kursi mana saja. Perjalanan menuju bandara memakan waktu kurang lebih 30 menit. Berada di usia 20-an tahun awal, aku masih takjub dengan teknologi bernama kereta yang bisa membawaku ke tempat jauh dalam waktu jauh lebih singkat dibanding kendaraan pribadi. 
Barang bawaanku tidak banyak, hanya tas selempang kecil, tas ransel, dan koper. Ada satu barang bawaan tambahan milik kantor, kardus berisi dokumen cetak–yang ternyata beratnya mencapai 8 kg setelah ditimbang di bagian pengecekan tiket dan penyerahan bagasi (...apa ya namanya aku lupa). Waktu perjalanan di tiket tertulis 16.15–19.15 atau selama tiga jam. Namun jam yang tertulis di situ sebenarnya sudah disesuaikan dengan perbedaan zona waktu. Perjalanan dari Kulonprogo ke Ujung Pandang hanya membutuhkan waktu 1,45 jam. Kami terbang pukul 16.30-an WIB dan mendarat pukul 19.20-an WITA. Kami menginap semalam di hotel transit. 
Tumblr media
Coto Makassar yang pertama.
Sayang, kami hanya di Makassar hanya untuk transit selama beberapa jam sehingga tidak sempat keliling. Pelataran dan ruang tunggu bandara penuh dengan orang-orang yang juga transit. Ada yang tidur di lantai, ada yang tidur di kursi tunggu, dan ada yang menunggu di kafe dan restoran. Setahuku, Sultan Hasanuddin merupakan bandara penghubung kota-kota lain di Indonesia dan menjadi tempat transit. Di sekitar bandara banyak flyer dan poster promosi untuk upgrade tiket pesawat dari Ujung Pandang menuju kota lain. Kami terbang lagi pada hari berikutnya, Sabtu, 27 Mei 2023 sekitar pukul 03.15 WITA. Sampai di kabin aku tidur…sebelum betulan tidur, aku membatin keinginanku untuk melihat matahari terbit. Tubuhku mengerti dan bangun tepat saat matahari mulai terbit.
Tumblr media
Menunggu dijemput bus bandara yang mengantar penumpang dari gedung bandara ke pesawat.
Tumblr media
Matahari terbit .
Kami sampai di Biak pukul 07.00 WIT. Dibanding dua bandara sebelumnya, ukuran dan luas bandara Frans Kaisiepo jauh lebih kecil. Hanya ada dua conveyor belt, satu besar dan satunya lagi kecil. Di dalam ruang tunggu ada satu kafe. Kami juga tidak sempat keliling Biak karena akan terbang lagi pukul 09.30 WIT. Dari Biak kami naik Trigana Air, salah satu maskapai penyedia pesawat kecil di Papua. Pesawat yang kami tumpangi berkapasitas 48 tempat duduk dan hanya ada dua pramugari di pesawat ini. Meski di tiket tertulis nomor tempat duduk penumpang, pesawat ini menerapkan free seat. Sepertinya karena pesawat ini kecil, mereka lebih mementingkan kapasitas penumpang dan bagasi ketimpang nomor tempat duduk. Meskipun gitu para penumpang dianjurkan untuk mengisi kursi di bagian depan terlebih dulu. Kata pramugarinya, “Agar bebannya seimbang.” Kami terbang dari Biak ke Serui menyeberangi Selat Yapen, jadi pemandangan selama di atas adalah laut–warna birunya sangat indah.  
Tumblr media
Rute pesawat dari Biak ke Kepulauan Yapen.
Tumblr media
Pintu utama bandara Frans Kaisiepo dari dalam pesawat.
Kami mendarat di bandara Stevanus Rumbewas, Kota Serui, pada hari Sabtu, 27 Mei 2023 sekitar pukul 10.00 WIT. Bandara ini lebih kecil lagi dibanding bandara sebelumnya. Bagasi diangkut dari pesawat menggunakan truk pick-up dan secara manual dimasukkan ke dalam gedung bandara. Penumpang dipersilahkan mengambil sendiri barang bawaannya.
Tumblr media
Menunggu loading bagasi di bandara  Stevanus Rumbewas.
Hidangan pertama yang kami makan setelah sampai di Serui, ibukota Kabupaten Kepulauan Yapen, adalah ikan baronang bakar. Menu kedua yang kami makan untuk makan malam adalah ikan bobara bakar. Hari kedatangan kami dipenuhi makan-makan dan minum enak :)
Tumblr media
Ikan baronang bakar di rumah makan Stadion: Coto Ujung Pandang. 
Pemilik rumah makan ini orang Sulawesi yang sudah lama menetap di Serui. Spesialisasi mereka adalah ikan bakar. Satu porsi ikan baronang bakar disajikan dengan nasi, gulai nangka, dan sambal dabu-dabu. Sayang sekali bahan utama sambal dabu-dabu adalah TOMAT. Untungnya ikan yang dijual di sini betul-betul ikan laut segar. Ikan ini dibakar tanpa bumbu sama sekali. Metode ini justru mampu menonjolkan rasa gurih dan sensasi segar ikannya.
Tumblr media
Ikan bobara bakar di rumah makan Mama Addar.
Tumblr media
Ikan segar yang ditawarkan di Mama Addar.
Saat di rumah makan Mama Addar, kami bisa memilih sendiri ikan yang mau diolah. Aku yang tidak familiar dengan jenis ikan laut manut-manut saja dengan rekomendasi penjualnya. Katanya, kalau mau olahan bakar bisa milih ikan bobara, barona, atau cakalang. Kalau mau olahan kuah bisa milih ikan kakap. Cuaca cerah dan perut lapar mendorongku memilih menu yang tidak berkuah. Seorang kolegaku yang sebelumnya sudah pernah ke Kepulauan Yapen bilang ikan di sini selalu segar, “Kalau ikan di Jogja itu sudah mati berkali-kali; sewaktu ditangkap, dibumbui, digoreng, lalu dibakar dibumbui lagi. Rasa ikannya sudah hilang.” Yah, ada benarnya, sih. Satu menu yang patut diapresiasi adalah es jeruk. Belum ada sehari di Serui dan baru dua kali mencoba es jeruk di sini, aku sudah menobatkan es jeruk a la Serui adalah es jeruk terenak setelah Waroeng Yanto di Sleman. 
Tumblr media
Sarabba dan pisang goreng. 
Sebelum kembali ke kamar penginapan, kami mampir ke warung yang menjual sarabba dan gorengan. Sarabba adalah minuman rempah asal Makassar yang rasanya mirip-mirip wedang bajigur. Sambil minum sarabba hangat ditemani pisang goreng yang baru diangkat dari wajan, aku memperhatikan sekitar. Warung ini bersebelahan dengan penginapan kami, dan letaknya persis di pinggir jalan. Dua hal pertama yang jadi perhatianku adalah banyaknya penjual pinang di sepanjang jalan dan tidak adanya transportasi publik. Perihal penjual pinang akan coba aku tulis di unggahan selanjutnya. Moda transportasi satu-satunya di sini adalah kendaraan pribadi. Aku tidak ingin menghitung ojek motor sebagai bentuk transportasi publik ya :D Meski secara istilah, ya mungkin bisa saja karena ojek motor itu dipakai oleh siapa saja. 
Perjalanan dari Yogyakarta ke Kepulauan Yapen memakan waktu lama dan energi yang tidak sedikit. Meski kalau dihitung dengan satuan jam, mungkin tidak sampai 24 jam. Tapi perbedaan zona waktu dan transit itulah yang bikin perjalanan ini jadi terlihat (dan terasa) melelahkan. Awalnya, dari Biak ke Serui kami berencana naik kapan. Namun cuaca buruk menyebabkan ombak di Selat Yapen tinggi, sehingga kami mengurungkan niat naik kapal. Bagian paling melelahkan dari rangkaian perjalanan ini adalah keberangkatan dari stasiun ke bandara di Yogyakarta karena barang bawaan belum masuk bagasi pesawat dan saat transit berjam-jam di Makassar. Kemudian bagian yang paling menyenangkan adalah saat bisa melihat laut dari atas.  
Tumblr media
Pemandangan dari dalam pesawat rute Ujung Pandang--Biak.
4 notes · View notes
ceritaapaaja · 5 months ago
Text
Tumblr media
Aku akan bercerita sesuatu. Jadi pagi ini aku pulang ke rumah. Aku pulang naik kereta. Keretaku berangkat tepat di jam 5 pagi. Aku memesan ojol untuk mengantarku ke stasiun. Semalam saat aku memberitahu Ibuku terkait kepulanganku jadinya aku pulang besok pagi. Terus Ibuk menjawab "hati-hati". Benar kata Ibuk, aku harus hati-hati. Jadi, aku kehilangan susu kotak cimori dan nextar yang hendak kuberikan ke temanku. Saat di perjalanan keduanya jatuh bergiliran tanpa diketahui oleh bapak ojolnya. Aku yang masih menahan kantuk karena hanya tidur setengah jam itu hanya bisa diam. Pun aku merasa nggak enak jika aku memberitahu bapaknya. "Lha, kok bisa jatuh?" Iya, jadi ceritanya selain membawa tas ransel aku membawa tas totebag dan satu kardus. Nah, cimori dan nextar itu kumasukan di dalam totebag bebarengan dengan kertas skalaku. Nah, totebag itu di taruh di depan di bawah kardus. Mana pas jatuh itu posisi di jalan raya. Aku yang ngeh suara seperti ada yang jatuh itu langsung menengok kebelakang ternyata nextarnya jatuh. Sedangkan, bapaknya tetap jalan :') eh tak lama kemudian cimorinya jatuh tepat setelah itu ada truk besar sepertinya abis itu kelindes ban truknya, huhuuu. Yasudah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga nggak berani ngasih tahu bapak ojolnya. Ntah bapaknya mengetahui atau tidak. Setelah kejadian itu aku meminta bapaknya untuk berhenti dan memberikan tas totebag itu biar ku pegang saja di belakang. Mungkin belum rezekinya buat temenku. Iya, nanti beli yang lain.
Dalam perjalanan di kereta Smg-Pkl, 14 Juni 2024
3 notes · View notes
gr8brandz · 1 year ago
Text
Huwai Tas Ransel Mountaineering 60L
https://tokopedia.link/G7i3tky7QDb - https://shope.ee/A9pqzFCvRc             
====================================================Spesifikasi: Merek: Huwai Material: Nylon Dimensi: Sekitar 61 x 37 x 21 cm Kapasitas: 60 L Gender: Unisex
Informasi Tas ini memiliki kualitas yang melebihi ekspektasi dari harganya itu sendiri, Anda akan mendapatkan tas ransel terjangkau yang dibekali fitur tahan air dan material yang kuat. Fisiknya yang begitu kekar dan kuat, sangat erat dengan desainnya yang bergaya militer.
Fitur Waterproof Anda tak perlu direpotkan dengan raincover bag, saat hujan tiba. Tas menggunakan bahan nylon yang yang dilengkapi fitur tahan air atau waterproof, sehingga melindungi bagian dalam dalam tas Anda, terutama saat Anda menyimpan barang-barang gadget seperti laptop, kamera, dan smartphone.
High Material Dengan menggunakan bahan nylon dan juga untuk bagian lining-nya menggunakan polyester, tas punggung sangat cocok bagi Anda tengah mencari tas yang kuat, awet, dan tahan lama. Bahkan, tas laptop ini tak mudah diseset oleh pisau dan benda tajam lainnya.
Many Slot Selain memiliki kompartemen utama yang cukup besar, tas ransel ini dilengkapi dengan banyak slot yang bisa Anda gunakan untuk menyimpan barang-barang kecil seperti peralatan tulis, botol air minum, maupun gadget smartphone dan tablet.
Comportable and Ergonomics Jangan dilihat dari fisiknya yang begitu kekar dan kuat, Tas ransel ini juga sisi kelembutan dan kenyamanan saat Anda pakai sebagai tas backpack. Sirkulasi udara yang mengalir di sela-sela bodi tas, juga akan mengurangi hawa panas dan gerah di punggung Anda saat mengenakan tas ini.
Paket Termasuk 1 x Huwai Tas Ransel Mountaineering 60L ==================================================== https://shope.ee/A9lt8Dkz3M https://tokopedia.link/vfg3UqLVZzb
16 notes · View notes
zhaf · 2 years ago
Text
One fine day;
Tumblr media
9/5/23
You know, my biggest happiness at the moment. Yes, do romanticizing my piece of day by being alone.
Sesimpel mengelilingi komplek kampus UNS tanpa g-maps yang berarti juga mempersilahkan hippocampus payahku untuk mengingat persimpangan-persimpangan jalannya yang cukup plot-twisted. Kemudian berjalan kaki sendiri mencari bubur ayam untuk sarapan pagi.
Setelah itu menuju perpustakaan besar UNS yang berlantai tujuh. Meminta id card pengunjung baru kepada librarian UNS pagi itu. Walaupun sedikit ngang-ngong karena it's literally my first time to visit that library. Lalu menitipkan Tas ransel 'antep' yang kubawa sedari pagi mengantar sepupuku untuk mengikuti tes SNBT. Aku juga menyempatkan untuk melihat-lihat seberapa banyak koleksi yang mungkin dapat ditampung di bangunan ini lewat informasi yang tertera di samping lift. Museum, Geografi, Kesusastraan, Geologi, Sains, Kedokteran, Pertanian, dan masih ada banyak koleksi lagi.
Bunyi identik dari lift saat berhenti. Pintu yang bergeser otomatis. Udara dingin yang memenuhi ruangan. Kurang lebihnya 20 derajat celcius dan sedikit lembap. Hening yang meramaikan setiap sudut ruangan. Beberapa manusia yang beruntun mulai datang. Mengejar deadline tugas kuliah, mungkin.
Dan aku, memilih untuk berkutik dengan layar notebook yang kubawa secara telanjang dari lantai satu. Feel curious about Virus Dengue yang belum lama ini menyerang adik sepupuku yang baru saja dirawat di rumah sakit. Jadi, perpustakaan tidak lebih dari sekadar tempat untuk menepi waktu itu. Kemudian membaca beberapa jurnal tentang kesehatan.
Pepohonan UNS yang rindang, jalanan yang teduh, satpam yang ramah, panasnya Kota Solo di siang hari, juga turut berkontribusi dalam mengaktifkan dopaminku yang terlampau mager ini {}
6 notes · View notes
shifaturrahmah · 2 years ago
Text
Golden Yellow (Part 1 : Pertanda)
Suara kipas angin terdengar sayup-sayup ketika Naira sedang mengepak satu per satu barangnya. Cuaca siang ini sangat cerah, ah lebih tepatnya panas. Hingga membuat dahi Naira basah. “Kemeja udah, jilbab krem, jilbab biru, kaos, celana, ah iya kaos kaki buat jaga-jaga. Hmm apa lagi ya?” Naira mengelist satu per satu barang yang akan dibawanya. “Hah rasanya seperti sauna.” Sambil sesekali dia mengeluh pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba dari balik pintu sepasang mata keriput memandanginya dengan seksama. “Banyak banget barang yang mau dibawa nduk, kayak mau pindah rumah aja, apa udah nggak betah tinggal sama bapak?”
Naira tersentak. "Ah bapak bercandanya nggak lucu. Nana sedang berusaha mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik ini Pak, biar besok interview nya sukses gitu. Bapak doain ya, kan bapak tau ini mimpinya Nana dari lama."
Bapak memandang anaknya dengan seksama. Takjub melihat anak mbarep yang ia besarkan dengan susah payah selama ini sudah besar, ia akan menentukan jalan hidupnya sendiri. "Nduk nek nanti bapak ndak ada, tetap jagain ibuk sama adikmu ya. Bapak bisanya ya cuma tani, cuma sekedar begini. Tapi bapak bersyukur anak bapak sing siji ini sebentar lagi mentas. Bapak lega."
Naira tak melihat ayahnya. Bukan tak ingin. Tapi ia sedih mendengar kata-kata itu. Ia tak ingin meneteskan air mata, sehingga ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan tumpukan baju dan tas ransel yang ada di depannya. Matanya panas. Apalagi hatinya. Kata-kata bapak kali ini, sama sekali tak ingin dia dengar. Ia belum siap. Sama sekali tidak siap. Tapi ia tak bisa membiarkan kata-kata bapak menguap begitu saja.
"Ah bapak ini lagi-lagi nggak ada angin nggak ada hujan kok ngomonge gitu. Pokoknya bapak sama ibuk doain Nana ya. Tugase bapak dan ibu doain dan bahagia lihat Nana sama dik Sasa sukses. Nana cuma pengen liat bapak ibuk seneng, dan lebih kepenak hidupnya. Nggak harus susah-susah kayak yang udah-udah. Habis ini biar gantian Nana yang banting tulang nyenengin bapak sama ibuk. Oke?"
Siang itu, Naira memutuskan untuk memeluk bapak. Panas di hati itu kini sudah terguyur hujan. Menyisakan hangat dan damai yang mendalam. Membulatkan tekadnya Naira untuk meraih mimpinya. Ia akan berangkat membawa sejuta harapan untuk keluarga Pak Karman.
Suara klakson kereta memekakkan telinga. Membuat kaget beberapa orang yang sedang asyik melihat gawainya. Menyungging senyum anak kecil yang terpesona melihat lokomotif kereta sambil melambai-lambaikan tangan. Sesekali ibunya mengejarnya yang tidak bisa diam. Kegirangan.
Suara berisik pengumuman, orang berbicara dengan lantang dan mesin kereta api mengisi ruang udara sore yang basah itu. Naira lega ia bisa sampai stasiun sesaat sebelum rintik ketiga hujan itu sempurna berlomba berjatuhan ke bumi dengan sesamanya. Naira duduk menatap handphone di tangannya. Ia terdiam sebentar, ingat lambaian tangan ke bapak barusan. Bapak pasti kehujanan. "Bapak hati-hati ya, kalau sudah sampai kabarin Nana." Seketika ia mengetikkan pesan WhatsApp ke nomor bapak, ingin memastikan bapak sampai rumah dengan selamat. Jarak stasiun dan rumah cukup jauh, tapi kali ini bapak bersikeras mengantar Naira. Biar berkah doanya sepanjang jalan katanya. Padahal biasanya Nana diantar Lik To, tetangga sekaligus tukang ojek langganan keluarga kalau ada apa-apa.
"Nduk nek nanti bapak nggak ada…" dan tiba-tiba kata-kata itu muncul lagi di benak Naira. Memenuhi ruang neokorteks dan amigdala secara bersama-sama. Memicu perasaan tak nyaman yang ia sebut sebagai sebuah kekhawatiran.
"Hfffhhhh" desahan nafas itu terdengar berat. "Ya Allah jaga bapak, semoga semua baik-baik aja.”
Suara pengumuman yang ia tunggu akhirnya terdengar. Sambil menatap jam di tangan kirinya ia mulai beranjak berdiri dan membawa barang-barangnya menuju peron kereta yang diarahkan oleh announcer, sembari mengingat nomor gerbong dan kursi yang telah ia pilih sebelumnya.
5 notes · View notes
arufikalam · 2 years ago
Text
-MAYA-
Tumblr media
"Maaf Rud, aku harus pergi. Seseorang mencariku di bawah,"ujarku tergesa-gesa, begitu gagang interkom kuletakkan pada tempatnya. Aku tak sempat mendengar jawaban Rudi. Entah dia memberiku izin atau tidak, aku tidak peduli. Yang jelas, aku menangkap tatapan keheranan dari mereka semua.
Aku berlari. Ku tekan tombol lift, tak ada pintunya yang terbuka. Aku tidak sabar. Ku putuskan untuk menuruni anak tangga yang tak sempat ku hitung jumlahnya. Orang-orang yang tak sengaja berpapasan denganku, minggir dengan sendirinya tanpa kuminta. Aku terpeleset, hampir jatuh. Ah, sialan, gerutuku. 
Sampai di lobby bawah. Aku terengah-engah. Degup jantungku berirama tak beraturan. Sedetik kemudian, retina mataku menangkap sosok yang tidak asing. Dia tengah menatapku juga. Jantungku masih deg-degan. Otakku memproses lambat, belum mampu menerjemahkan bayangan yang dikirim indera penglihatanku dengan cepat. Lalu, dia mendekat. Tanpa sadar, justru aku mundur. Dia tersenyum, aku mematung.
"Lama tidak berjumpa,"sapanya lirih saat jarak kami hanya tersekat satu kali uluran tangan.
Bibirku masih terkatup. Tak berani bereaksi apapun, kecuali menatap matanya lekat-lekat.
"Boleh kita bicara sebentar? Itupun jika kau tidak keberatan." Aku mengangguk pelan.
***
Meja dan tempat duduk yang sama seperti enam tahun yang lalu di Kafe Cendana. Membawa kami kembali bernostalgia, mengingat-ingat setiap episode kehidupan dimasa silam.
"Apa kabar?,"tanyanya memecah keheningan, membuatku tersentak dari diam. "Baik,"jawabku singkat.
"Maaf ya baru bisa menemuimu hari ini. Maaf juga untuk janji yang kuingkari. Tidak lekas kembali seperti ucapku dulu,"tercekat ia mengatakan kalimat itu. Ada suatu hal yang ia tahan, terlihat dari tatapannya yang berubah sayu.
"Tidak masalah. Hanya saja, tidak adanya satu kabar darimu membuatku khawatir. Kamu tidak hanya pergi, tapi menghilang,"ucapku menumpahkan segala kata-kata yang menari-nari dalam kepala.
"Banyak hal terjadi diluar kuasaku,"tuturnya. Sejurus kemudian mengalirlah cerita demi cerita yang ia alami dibalik kepergiannya. 
Enam tahun silam, kami saling berpamitan di Bandara untuk mengantar kepergiannya ke Negara Singa. Aku tidak pernah berfikir jika kami akan terpisah dalam waktu yang sangat lama. Satunya-satunya, media komunikasi kami sebelum itu adalah nomor ponsel. Tidak ada email atau sosial media yang lain. 
Kejadian nahas ternyata menimpa Fahmi begitu tiba di Changi Airport. Tas ransel yang berisi alat elektroniknya raib diambil orang ketika dia berada di toilet. Termasuk didalamnya laptop, ponsel dan beberapa berkas penting lainnya. Dengan bantuan pihak imigrasi setempat dia berhasil menghubungi kedutaan besar Indonesia yang berada disana. Singkat cerita, dokumen penting miliknya dapat dimilikinya kembali, tapi tidak dengan nomor ponsel dan seluruh data dalam laptopnya. Hal itulah yang membuatnya kehilangan akses untuk menghubungiku.
"Kenapa tidak mencoba mencariku ke rumah toh alamatku masih sama? Atau paling tidak, mengurus nomer ponselmu yang lama, supaya aku bisa menghubungimu,"protesku.
Dia menerangkan bahwa pada waktu libur akhir tahun saat itu, dia menyempatkan pulang ke Surabaya untuk menemuiku. Dan kebetulan, aku sedang ke ibukota, ikut keperluan dinas papa disana. Dia bilang,"pada waktu itu adalah satu-satunya kesempatan, aku bisa memanfaatkan waktu berlibur untuk pulang ke Surabaya, tapi kamu tidak ada. Aku tidak punya cukup waktu untuk mengurusi nomor lamaku,"terangnya sambil menyeruput es cappucino yang dipesannya. "Ternyata semesta tidak mengizinkan aku menemukanmu,"imbuhnya.
Saat itu, aku benar-benar berfikir bahwa Fahmi telah menghilang, tanpa tahu sebenarnya dia sudah berusaha menemuiku. Andai saja dulu aku berfikir untuk mencarinya dan berani mengambil kesempatan, mungkin aku bisa pergi ke Singapura sewaktu libur perkuliahan. Tentu tanpa harus menunggunya pulang. Toh, aku pikir akan mudah menemukannya disana, karena negara tersebut negara kecil bukan? Setidaknya seperti itulah informasi yang aku terima dari dunia maya. Dan lagi-lagi, aku yang terlalu pengecut ini hanya bisa pasrah dengan keadaan, tapi terus saja mempertanyakan apa, kenapa dan bagaimananya.
"Ya, aku paham,"tukasku akhirnya.
"Aku masih ingat dengan janji yang ku ucap dulu, inginku segera kembali tapi ternyata ada yang menahanku untuk bertahan disana lebih lama."
"Apa?,"tanyaku penasaran. Dia melanjutkan cerita dan aku menyimaknya dengan seksama.
"Ibu mengalami kecelakaan sewaktu di Malaysia dan meninggal dunia. Saat itu aku semester tiga,"ungkapnya.
Dia menuturkan bagaimana beratnya kehilangan satu-satunya anggota keluarga inti yang dia miliki. Saat itu dia seperti terombang-ambing. Serupa tidak punya daya lagi untuk melanjutkan mimpi-mimpinya. Dengan student loan yang bisa dicairkan dimuka, dia pergunakan untuk mengunjungi makam ibunya disana.
"Beruntung ibu memiliki majikan yang baik. Mereka bersedia mengurus pemakamannya disana. Maklum, kami tidak punya cukup biaya untuk membawanya pulang ke Indonesia." Tanpa sengaja, tanganku terulur untuk menepuk bahunya. Seolah bisa menyalurkan kekuatan dari sana. 
Tapi, ternyata ada luka lebih dalam yang tidak bisa aku pahami. Merasakan episode kehilangan milik Fahmi yang sama sekali belum pernah kualami. Dulu, Aku mungkin kehilangan ibu, itupun sewaktu aku masih bayi, ketika aku belum mengerti. Pasti rasanya berbeda ketika kita kehilangan seseorang, tapi kita sudah bisa memaknainya sebagai sebuah rasa di dalam dada.
"Sebelum ibu berpulang, beliau berpesan kepada Mak Cik Aishah, majikannya, bahwa apapun keadaannya nanti, aku tidak boleh putus kuliah. Itulah sebabnya, seusai kuliah, aku mencari pekerjaan terlebih dulu disana, untuk membayar student loan yang pernah ku cairkan, juga mencari modal untuk kembali ke Tanah Air,"tuturnya menerangkan. Aku membayangkan betapa tidak mudahnya menjadi sosok pemberani seperti Fahmi.
"Maukah kamu menunggu beberapa saat lagi, untuk kita tunaikan janji yang sudah disepakati?,"ungkapnya bertanya.
"Tentu saja, dengan senang hati,"balasku dengan uraian senyum penuh arti.
Ternyata, ada begitu banyak hal yang selama ini kutanyakan dan kini sudah kutemukan jawabannya. Memang ada harga yang harus dibayar untuk setiap perjalanan. Jika sewaktu itu persimpangan lain yang kupilih dengan keberanian, mungkin aku tidak akan bersedia membayarnya dengan kepedihan, sebagaimana Fahmi. Jadi, yang kuperlukan saat ini hanyalah berdamai. Menjadi manusia yang mengerti, apa yang harus disyukuri.
"Dunia maya tidak lebih menarik dari realita yang selalu penuh dengan kejutan nyata,"batinku meresapi.
"Terima kasih ya sudah mengajariku untuk tidak lagi menyesali apapun yang sudah terjadi,"ucapku tulus padanya.
Dia menatapku keheranan, tak mengerti apa yang ku maksudkan.
(end).
2 notes · View notes