#rambut tipis
Explore tagged Tumblr posts
Text
musim panas itu, ace harusnya mati.
acesabo, the summer that hikaru died!au. short.
warning: written in indonesian. spoilers for the summer that hikaru died. character's death
-
seharusnya jantung sabo berdebar setiap kali ia melihat lidah ace yang berputar di es loli, seharusnya. atau seharusnya perut sabo terasa melilit saat ace menyingkirkan rambut sabo yang jatuh menutupi wajahnya, ditambah lagi dengan jemari ace yang betah lebih lama di rambutnya, seharusnya. tapi debaran itu tidak hadir lagi meski iris kelabu ace menggali ke dalam mata sabo.
di bawah teriknya matahari, wajah ace terlihat memerah karena sabo terdiam menatapnya balik, memberikan izin kepada ace untuk menyapu pipi sabo dengan jemarinya. uh, sabo merasakan telapak tangan ace berkeringat.
sabo menggeser wajahnya dari tangan ace, mulai tidak nyaman dengan sentuhan ace, kemudian melangkah lebih cepat ke halte bis yang hanya sesekali beroperasi karena lokasi desa mereka yang antah-berantah ditutupi pegunungan. ace mengekor sabo dan mereka duduk bersama, berteduh di halte.
sabo bisa merasakan ace sesekali melirik kepadanya sambil menghabiskan es loli. kalau, kalau, hal ini terjadi sebulan yang lalu, mungkin lirikan ace akan membuat sabo berusaha menahan senyum dan tersipu sampai telinga, atau mungkin seluruh tubuhnya terasa panas meski mereka mengenakan seragam musim panas tipis mereka.
tapi ace yang sekarang bukanlah ace yang sama dengan ace seminggu yang lalu.
ace di ingatan sabo tidak pernah berusaha menautkan jemarinya dengan sabo, ace tidak peduli dengan pandangan sabo yang terhalang rambutnya, ace tidak pernah memerah melihat badan sabo yang terlihat samar di balik kemeja musim panas yang basah berkeringat.
es loli yang habis di tangannya menyadarkan sabo kembali dari ingatannya terhadap ace dan sabo tersenyum pahit.
suara tonggeret tidak kunjung mereda, sabo pun mengeluarkan keberanian untuk mengatakannya.
“kamu beda banget sama ace.”
omongan sabo membuat ace menoleh, matanya melebar karena terkejut. bibirnya berhenti mengulum es loli. sabo mengeratkan pegangannya pada batang es loli di tangannya, siap berlari.
alih-alih diterjang, sabo malah mendengar ace menghela nafas panjang yang membuat sabo memutar kepala ke arah ace.
mata sabo bertemu kembali dengan mata yang, kali ini, tidak seperti ace.
“aku kira tiruanku udah sempurna.” lanjut ace.
ralat, lanjut ace yang bukan ace. sabo gentar dan ingin lari saat itu juga, tapi sabo kalah cepat dengan lengan ace yang sudah merengkuhnya, erat. erat sekali. tangan ace di punggungnya menahan sabo agar tidak kabur.
kalau ini ace, sabo sudah pingsan karena kegirangan merasakan tubuh mereka sedekat ini. dada bertemu dada di balik katun tipis, paha yang bersentuhan, dan bibir ace yang dekat dengan telinganya. namun saat ini, hanya takut yang sabo rasakan.
belum lagi bisikan ace berikutnya yang membuat tubuh sabo seperti disiram dengan air es saat itu juga;
“jangan bilang siapa-siapa, aku mohon,” sabo bisa merasakan jari ace mengerat di belakang kemeja dan pinggangnya. “ini pertama kalinya aku hidup sebagai manusia, sabo. aku bisa sekolah, punya teman.”
nafas sabo tersengal-sengal. semua cara untuk kabur telah menghilang di pikirannya, digantikan dengan berbagai kemungkinan cara ace untuk membunuhnya sekarang juga.
“identitasku dan tubuhku memang pinjaman,” ace terhenti sesaat. “tapi aku benar-benar cinta kamu.”
sabo ingin muntah.
“sabo, tolong. aku nggak mau membunuh kamu.”
seluruh tubuh sabo bergetar. ia menelan ludah dan balas merengkuh ace dengan tangannya yang gemetaran.
padahal sabo sering sekali berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri, tapi ketika dia dihadapkan dengan sesosok makhluk menyerupai ace yang bisa membunuh sabo kapan saja, sabo tiba-tiba ingin bisa tetap hidup.
helaan nafas sabo keras dan satu-satu.
“iya–ace… selamat datang kembali…”
jari sabo mencengkram punggung ace, bukan karena rindu.
-
ace seharusnya meninggal seminggu lalu di dalam hutan, sabo melihat mayat ace.
bersih dan cantik, seperti hanya tertidur.
tapi sehari setelahnya, ace kembali di depan pintu rumah sabo seolah-olah tidak pernah mati.
20 notes
·
View notes
Text
Dalam diam, ia menatap. Seulas senyum tersungging di bibirnya, mata yang tajam namun lembut, seperti sinar mentari pagi yang menyejukkan.
Ada rahasia dalam sorot matanya, cerita yang tak terucap, namun terasa, seperti angin yang membawa bisikan, menembus hati, menggetarkan jiwa.
Rambut pirang terurai, jatuh dengan elegan, memberikan kesan yang misterius. tatapannya tajam, seolah menyimpan banyak sejuta cerita dan emosi yang mendalam. Matanya yang berwarna gelap, mencerminkan kedalaman perasaannya.
Kulit pucat dengan ekspresi tenang dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. terlihat ramah namun tetap menjaga jarak. Garis wajah tegas, visual yang menarik dan kharismatik.
Sayangnya, Dia tidak nyata meskipun pria ini memiliki segala pesona dan karakteristik yang memikat, sayangnya ia hanyalah sebuah karya seni. Kehadirannya hanya dalam imajinasi, mewakili sosok ideal yang mungkin tidak mudah ditemukan di dunia nyata. Namun, keberadaannya sebagai tokoh fiksi atau gambar tetap membuatku menyukainya.
ILAY RIEGROW, dialah sang tokoh fiksi diatas.
7 notes
·
View notes
Text
Untuk bidadari ku
Aku percaya di dunia ini tak ada yang sempurna, tapi 99% dirimu sempurna.
Puluhan tahun terus membersamaiku tanpa terlewatkan sedikitpun.
Seorang bidadari cantik, pemilik mata coklat, alis tipis, dan warna rambut yang kian hari kian berubah, sedikit menyebalkan ketika ku tau rambut itu kian hari kian putih tapi tak sedikitpun mengurangi rasa cantikmu
Terimakasih sudah selalu ada di setiap episode paling buruk di hidupku. Terimakasih selalu memelukku saat aku benar-benar rapuh dan tak berdaya. Terimakasih selalu mendengarkan setiap keluh kesah ku. Terimakasih sudah menjadi teman di ujung hari untuk berbincang bersama sampai hal-hal tak penting sekalipun. Dan terimakasih untuk setiap malam tanpa henti untuk terus mendoakan ku, dari setiap doa-doa yang kau panjatkan pada Tuhan aku yakin 90% doa itu untuk ku.
Maaf
Maaf
Maaf
dan maaf hanya bisa merepotkan mu mulai dari di dalam kandungan, hingga sekarang ⅔ perkataan sering ku bangkang. Maaf belum bisa menjadi apa yang kau mau, menjadi seseorang yang baik, dan berguna bagi orang lain. Maaf masih sering tak mendengarkan mu, dan maaf belum bisa menjadi apa yang sering kau semogakan pada Tuhan.
Kau sempurna, kau yang terhebat, kau yang selalu ada, kau yang selalu mengusahakan apa yang ku mau, dan kau yang mengutamakan ku di bandingkan dirimu sendiri.
Aku selalu berdoa agar kau sehat, kau bahagia, dan kau hidup lebih lama lagi. Kita belum melihat Ka'bah seperti cita-cita kita, kita belum ke Turki seperti mimpimu, kita belum menulis satu buku bersama seperti harapanmu.
100% hidupku bersamamu. Duniaku bersamamu adalah kebahagiaan, jika kau pergi lantas di mana aku harus mencari kebahagiaan?
Mah....
Terimakasih atas segalanya. Atas pengorbanan, waktu serta tenaga selama ini
Terimakasih untuk selalu mengajarkan untuk menjadi manusia
dan Terimakasih telah memberikan banyak cinta kasih tulus tanpa syarat
Tulisan ini hanya sebagian kecil bentuk rasa cintaku padamu.
Tertanda cinta
2 notes
·
View notes
Text
Day 10 - Childhood memory
30 days photography challenge
Foto2 ini udah tersimpan di galeri, lupa kapan fotoin dari album fotonya langsung.
Duh kalo nyerita atau liat2 lg foto masa kecil itu beneran lsg waas dan keueung gituloh, paham ngga sih? Mana masih ada ibu pula ya Allah pengen nangis :( ibunya masih muda segar cerah ceria. Cuma bisa mengenang aja lihat senyum manis dan cantik ibu huhu.
Foto pertama masih jadi anak tunggal baru brp bulan ituu, 5-6 bulan yah kayanya, soalnya itu ada tulisan di fotonya jun 89 wkwk lawaaassss.. Ibu belom pake kerudung saat itu.
Foto kedua yg kanan atas, kaya lg ada acara dirumah tp lupa acaranya siapa dan kalo ngga salah msh jadi anak tunggal tp udah mau jadi calon kakak. Saat itu ibu lg mengandung adikku. Berarti sekitar tahun 91/92 dan ibuku udah mulai berhijab. Foto 1 dan 2 gemesin yah akutu huahaha.. Pernah lucu gening akutu
Foto ketiga kiri bawah, wah udah ber4 nih. Adikku jg udah gede itu tp lg rese2nya tantrum mele, segala keinginannya harus dipenuhi, sampe pusing aku sbg tetehnya wkwk. Lokasinya dirumah emak (ibunya bapak) singaparna, tasik. Tempat fav kami saat liburan. Kayanya sih aku dah SD, adikku berumur sekitar 3 thn kayanya.
Foto keempat yg terakhir, di cibodas lagi ada fam gath nya kantor bapak, tapi kayanya sih gara2 ibu punya bayi alias adikku, bapak cuma ngajak aku doang. Bapak hobi bgt ngajak kemana2 berdua, ke tasik jg sering bgt berdua naik bisa saat itu dan aku mau2 aja lagi berduaan bapak haha padahal bapak ngga sehangat itu orgnya. Ini umurku kayanya 4/5 thn.. Btw, aku suka bgt sama jaket bapak yg ini warnanya lilac trus fit aja gt keliatan lebih muda (ya emg msh muda wkwk, msh 30 tahuan pasti atau akhir 20an).
Nah tau kan gen rambut tebal lurus berkilaunya dari mana, iyakkk itu bapak rambutnya ya begitu.. Kalo ibu keriting, tipis.. 2 anaknya ngga ada nurunin rambutnya hehe.
5 notes
·
View notes
Text
Berkendara dengan kecepatan 40km/jam. Melewati jalan yang sudah sangat dikenal. Pohon-pohon di tepian jalan yang belum berubah, masih pendek dan berwarna hijau legam. Sambil memandang lampu kendaraan yang menjelma kunang-kunang, kepalaku memutar rekaman perbincangan beberapa menit yang lalu bersama seorang teman. Apa yang ku bicarakan tadi? Siapa tadi yang berbicara? Benarkah itu aku, manusia dewasa diakhir kepala dua, yang kerap menghabiskan 12 jam sehari untuk bekerja. Rupanya serabut tipis idealisme masih menjalar dalam otaknya, persis seperti sehelai rambut putih yang menjulur dari kulit kepala.
Apa yang ku bicarakan tadi? Pendidikan? Sekolah yang bebas berpikir sedari kecil? Hahaha lucu sekali.
Seandainya aku bisa sekolah di manapun, berguru dengan siapapun tanpa kekhawatiran. Kali ini aku tidak sependapat dengan Tan yang mengatakan “Idealisme menjadi kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda”. Menurut pikiranku yang sedang kalut “Idealisme menjadi kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda yang berkecukupan” karena kenyataanya idealisme sulit untuk membuat kenyang.
3 notes
·
View notes
Text
*Day 1:*
Berkenalan dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam...
*Yang tampan!*
📜 Dari Jabir ibn Samurah, dia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ pada suatu malam yang tak berawan terang karena cahaya bulan. Aku menatap Rasulullah ﷺ dan rembulan bergantian sedang beliau mengenakan pakaian berwarna merah kala itu. Sungguh di mataku beliau lebih indah dari rembulan.(HR. Tirmidzi)
*Sekarang kamu tahu...*
Bahwa Rasul kamu tampan! Dikatakan ketampanan beliau melebih Nabi Yusuf alaihissalam 😮
Jika kamu penasaran bagaimana rupa beliau, kamu bisa cek deskripsi para sahabat yang pernah bertemu langsung dengan beliau sebagai berikut:
Wajah beliau bundar, tapi pipi beliau tidak tembam. Wajah beliau tidak tajam seperti pedang, melainkan bundar seperti rembulan. Dahi beliau lebar, selaput pelangi mata beliau hitam pekat, bulu mata beliau panjang, alis beliau tipis, panjang, melengkung sempurna dan tidak menyambung, di antara keduanya terdapat urat yang nampak saat beliau marah. Hidung beliau mancung, janggut beliau tebal. Terdapat celah antara gigi depan Rasulullah ﷺ. Menurut sahabat Ibn Abbas, ketika beliau berbicara seakan ada cahaya yang keluar dari mulut beliau. Beliau sangat sering tersenyum.
Kulit beliau putih tapi tidak terlalu putih, tidak juga sawo matang. Dikatakan bahwa kulit beliau putih dengan rona kemerahan.
Rambut beliau tebal, tidak keriting dan tidak juga lurus, melainkan bergelombang. Panjang rambutnya biasanya hingga cuping telinga beliau, ada riwayat yang mengatakan rambut beliau sampai menyentuh pundaknya. Jika rambut beliau panjang maka sangat mudah dibelah, namun biasanya rambut beliau tidak melebihi cuping telinga. Ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, rambut putih di kepala dan janggut beliau tidak sampai dua puluh helai.
Postur tubuh beliau tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek. Kata sahabat Hind ibn Abi Halah, beliau lebih tinggi dari rata-rata, namun lebih pendek dari orang yang jangkung. Tubuhnya bagus, badan beliau sedang, berisi namun tidak gemuk. Perut beliau rata, dada beliau lebar dan bidang.
Telapak tangan beliau lebar dan sangat lembut, lebih lembut dari sutera kalau kata sahabat Anas ibn Malik. Kaki dan tangan beliau panjang. Kata sahabat al-Aswad, tangan beliau lebih dingin dari salju dan lebih wangi dari minyak kasturi.
Bicara tentang aroma, beliau ﷺ sangatlah wangi. Sahabat Anas ibn Malik berkata: Aku belum pernah mencium suatu aroma atau wewangian yang lebih harum dari aroma atau wangi Nabi ﷺ.
Untuk deskripsi terakhir, lebih dari satu orang sahabat yang berkata: Aku tidak pernah melihat yang serupa dengan beliau sebelum maupun sesudah beliau. Seistimewa itu beliau.
❣️Semoga kita menjadi bagian dari umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mengenal dan mencintai beliau, yang mendapat syafaat beliau, yang beliau banggakan kelak saat kita berjumpa di akhirat nanti, aamiin 🤲🏻
#RamadhanMubarak
#RamadhanOneDayOneChallenge
#RODOC
#SmallStepsForABetterMuslim
2 notes
·
View notes
Text
"kiss your friend for fun and find out"
I did. I did kiss my friend and I found out how it felt.
Suatu sore tanpa rencana yang matang seseorang mendatangiku atas keinginannya untuk mencari tahu bagaimana rasanya night drive. Aku menyetujuinya, dia menjemputku di dekat rumah sebab mobilnya terkepung jalanan ramai namun sempit. Andai aku tahu seberapa pengecut ia hingga tidak menghampiriku tepat di depan pagar yang siap menyambutnya.
Aku mempengaruhi adikku agar dia mau mengantarku ke lokasi di mana temanku memarkirkan mobilnya, dengan iming-iming bahwa itu dekat hingga adikku sampai hati mengantarku. Hari itu kali pertama Ibu mempersilakanku pergi tanpa banyak tanya sebab aku mengenakan baju santai yang berarti aku tidak akan pergi jauh. Ibu tertipu.
Membuka pintu mobil bewarna putih yang aku kenali, beberapa kali aku duduk di kursi penumpang prioritas. Di sebelahnya. Tidak ada bau mobil yang terkadang membuatku mual, hanya sekelebat harum dari parfumnya. Harum, tidak cukup membuatku untuk jatuh hati.
Perlu digarisbawahi; aku pernah jatuh hati namun ditolak dengan segelintir alasan untuk kebaikannya, kebaikan kami berdua, katanya.
Tentu aku menyetujuinya untuk menjadi teman saja. Kami akrab, tidak pernah ada perseteruan yang sampai menarik urat. Kami sudah sama-sama melalui banyak hal dari masa lalu, jadi masa kini bukan hal yang terlalu penting untuk meributkan perihal memberi dan menerima kasih.
"Hai! maaf lama ya kamu nunggunya?" Sapaan pertamaku saat membuka percapakan sembari memasang sabuk pengaman. Seingatku air wajahnya bahagia menerima kehadiranku di sebelahnya.
Kami bertukar kabar setelah hampir satu bulan tidak bertemu, bulan bulan sebelumnya kami beberapa kali pergi bersama sampai dipisahkan oleh jarak seratus kilo meter.
Aku menunjukkan rambut baruku yang ku cat hitam beberapa hari sebelumnya, terakhir kali dia melihatku, rambutku masih berwarna oranye. Pada hari itu juga kali pertama dia melihatku mengenakan kacamata.
"Bangs? kamu cocok deh dengan rambut yang sekarang!" Dia mulai memperhatikan kanan kiri sebelum mobilnya masuk ke jalan raya, waspada apa ada kendaraan lain di belakang kami.
Sepanjang perjalanan kami berbicara dengan aku yang berceloteh menyebut tempat yang menarik ketika kami melewati jalan-jalan yang sudah aku hafal di luar kepala, dari lampu merah mana saja yang memaksa kami menunggu lama sampai orang berseragam transformer yang kami sapa. Tujuannya aku yang tentukan, seperti yang aku bilang dia tidak memiliki rencana tapi aku selalu punya ratusan bahkan ribuan rencanan di kepalaku yang belum terwujud satu-persatu.
Pasar Santa.
Aku mengenali tempat tersebut karena beberapa kali semesta menunjukkan video yang lucu tentang tempat itu. Jadi, aku ajak dia untuk berbagi kelucuan dan keseruan.
Ketika sampai di Pasar Santa, temanku itu menolak ajuan bayar parkirku, uangnya lebih banyak. mungkin. Di dalam Pasar Santa kami disambut beberapa lorong yang sepi ada juga yang masih buka, tujuan utama kami salah satunya. Tempatnya tidak begitu ramai namun cukup membuat temanku menghela nafas sebab tidak ada pendingin ruangan yang memadai seperti di rumahnya.
Aku merasa tidak enak hati dan kerap menanyakan keadaannya serta menawarkan untuk pindah tempat supaya tidak hanya aku yang menikmati hari itu. Matahari telah tenggelam dan digantikan bulan yang tidak timbul, hujan melanda. Beruntung kami naik mobil.
Pindah ke tempat yang lebih cocok untuk temanku, namun tidak cocok untukku. Subway terlalu dingin, kami memesan chicken wrap dengan rasa yang berbeda dan aku memesan mushroom soup sebagai ekstra untuk menghangatkan tubuhku yang hampir dimakan oleh dinginnya ruangan.
Lupa aku sebut, aku hanya mengenakan kaos abu-abu tipis dengan jaket yang tidak berhasil menghangatkanku. Kami makan dengan tenang sesekali bertukar rasa, kue yang juga dia beli rasanya enak. tidak terlalu manis, cocok dengan seleraku. mushroom soup yang aku beli juga menurutnya cukup enak walau tidak memberi banyak rasa kaya. Matanya teduh sekali, jantungku hampir loncat setiap kali pandangan kami bertemu. Pun saat memilih menu aku memberanikan diri bersandar pada bahunya, dia lebih tinggi tiga centi meter.
Setelah usai dengan makanan, kami bergegas keluar berharap bisa menghabiskan waktu lebih lama. Aku bilang aku masih ingin mempertahankan nikmat waktu bersamanya dan dia setuju. Sepanjang perjalanan ke arah yang bukan Ibu kota, dia memilih lewat jalan tol guna menghindari kemacetan. Jalan tol begitu sepi sehingga aku pikir ini tanda bahwa kami dipersilakan bercengkrama dengan khidmat.
Kami memainkan permainan saling melempar pertanyaan dan jawaban, dari makanan kesukaan sampai bagaimana kami melihat dunia dan isinya. Tanpa aku duga dia menginisiasi pertanyaan baru.
"Apa harapan kamu sebelum tahun baru, apa yang mau kamu lakukan?"
Tentu sebagai seseorang yang gemar berkelana aku menjawab ingin pergi ke Bali, aku lupa bahwa tahun baru tinggal hitungan jari. Ia menyadarkanku bahwa harapan itu terlihat mustahil untuk dilakukan. Aku tanyakan hal serupa padanya, jawaban dia benar-benar membuatku termenung.
"I want to kiss someone other than my ex, it has been a long time. I crave to be kissed by someone else."
Aku sadar persis yang dia maksud adalah aku. Bukan manusia jika aku tidak bisa mengendus maksud di balik kalimatnya itu. Kepalang kaget, aku mengalihkan pertanyaan takut suasana kami menjadi canggung.
Menyusuri jalanan yang terbalut sedikit angin canggung kami tetap bercengkrama tanpa henti, mengitari malam yang mulai dingin. Aku mendekapnya lebih lama di dilam celotehan-celotahanku.
Tiba di penghujung waktu bersama, dia menawarkan tangan kirinya untuk ku genggam dengan senang hati aku menerima. Belum pernah ada yang menawarkan tangannya padaku, dia kali pertama setelah sekian banyaknya aku yang memulai duluan. Putaran lagu sedih yang dinyanyikan oleh Nicole Zefanya merengkuh kami berdua, andai aku lebih dulu tahu makna lagu On The Drive Home. Harapan yang takkan pernah terealisasikan. Hubungan kami sebatas teman.
Tangan yang mulai berkeringat ini enggan melepaskan, aku menolak keras kebaikannya untuk menurunkanku di depan rumah. Sudah terlalu larut sehingga batas keamanan dia mulai kuperhatikan. Dia menurunkanku di Cafe dekat rumah.
Sebelum kami berpisah aku menawarkannya mimpi akhir tahun, sebuah ciuman di bibir. Bodoh memang, bukan pahlawan bukan siapapun namun berani hati bertanya, "Can I kiss you?"
Dia terkejut aku mengetahui mimpinya adalah bibir ranum yang aku rasa rasa manis adanya. Aku telah mempersiapkan diri sejak pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Kepalanya mengangguk tanda setuju. Dalam hitungan kurang dari satu detik aku merengkuh pipinya dan mendekatkan wajah. Aku menciumnya, menyapa lidahnya yang hangat dengan dia yang juga melakukan hal yang sama. Menyudahi mimpi sesaat itu jantung kami berdua memukul-mukul dada. Aku menjauhkan diri dan menutup wajah yang disemprot warna merah malu.
Tidak sampai merutuki diri, kami benar-benar terkejut. Setelah mengambil beberapa nafas dan menenggak minuman yang aku sempat beli, aku berusaha terlihat baik-baik saja sampai satu kekehan dilayangkan, "Kamu keliatan baik-baik aja."
Tidak. Sama sekali tidak. Aku menyanggah itu dan membalasnya dengan "No, i am freaking out, too!" kami berdua membiarkan kecanggungan terbang ke angkasa, aku pamit keluar dan mengecup bibirnya sekali lagi beserta meninggalkan ucapan terima kasih atas hari ini.
Mobilnya mulai hilang dari pandanganku, yang tersisa hanya aku dan jantungku yang berdegup kencang. Gila.
Aku segera pulang ke rumah dengan memesan ojek online, sesampainya di rumah aku masih dimakan dengan suasana di dalam mobil itu, suara decakan bibir kami tertanam di tulangku.
Kami melanjutkan percakapan yang terputus karena malam memisahkan, jantungku kembali berdetak setelah sekian lama beristirahat di dalam kubangan yang aku jaga. Kami bahagia selama dua hari. Dia terbang ke negara Transkontinental bersama perasaan bahagiaku. Meski kembali setelah sepuluh hari. Bahagiaku benar-benar hilang. Dia tidak pernah siap dengan harapanku yang mencuat.
Mimpi yang aku beri menjadi kenangan, kami kembali berteman.
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Sebuah Latar
"Coba aku baca ceritamu," ucap Sumi sore itu. Kami sedang bersantai di sebuah saung yang tegak berdiri di lingkungan fakultas kami.
Sebelumnya.
Saya sendirian, tapi beberapa menit lalu anak perempuan yang mempunyai gigi putih yang kecil-kecil rapi tersusun itu, dengan pupil matanya yang besar, mengenakan setelan olahraga dan kerudung langsung warna hitam (ternyata ia batal latihan tari hari ini) memaksa untuk menemani saya – begitulah—anak ini sangat pemaksa.
"cuma sendirian?" tanyanya tadi. Lewat sambungan telepon saya mengiyakan. Iya sendiri, jawab saya. Ia kembali mempertanyakan hal yang sama, kali ini dengan nada kasihan. saya tak menjawabnya karena malu, selang beberapa detik ia kembali bersuara: Oke aku temenin ya. Hmm yaudah terserah, saya mengalah.
Dan sekarang.
"Udah bagus sih," komentarnya. Saat ini saya menatapnya tajam sekali. Saya benci respon yang hanya terdengar basa-basi. Bahkan jika boleh memilih, saya lebih suka di kritik dibandingkan mendapat pujian sepintas lalu semacam ini.
"Baiklah aku akan sedikit jujur"
"Banyak juga gak apa-apa," balas saya tak mau kalah. Ia tersenyum tipis, manis sekali. Saya bahkan tak bisa mendapatkan kesimpulan atas senyum itu. Tapi—
Lupakan senyumnya. Kira-kira beginilah kritik yang dia berikan kepada saya. Meski tidak terdengar seperti nyatanya tapi beginilah saya memahami kritikannya:
Latar dalam cerita itu ibarat komponen di wajahmu. Seperti mata, hidung, rambut, mulut dan sebagainya. Nah, setelah aku baca... Ceritamu persis seperti wajah kosong datar, yang kamu kuatkan cuma karakternya dan minim sekali latar.
Hebat betul analoginya, wajah adalah karakter dan elemen pelengkapnya adalah latar cerita. Saya mengiyakan. Tapi di dalam hati masih ada yang mengganjal.
Ini memang pertama kali saya memperlihatkan tulisan saya kepadanya. Selama ini kami memang hanya bertukar cerita hidup satu sama lain. Mengintip visi dan nilai kehidupan masing-masing dan saling menunjukkan ketertarikan. Ya, mungkin sebetulnya cuma saya yang merasakan hal itu.
"Oh begitu ya?" tanya saya balik, ia nampaknya menangkap ketidakpuasan. Kini ia beringsut dekat, merapatkan jarak diantara kami. Saya seperti bisa mencium aroma strawberry dari dirinya. Mungkin parfum atau bau mulutnya? ah tidak-tidak, saya mikir apa coba. Tapi saya malah mencuri pandang ke arah bibirnya. Terlihat adanya balutan bewarna pink cerah menghiasi. Sejujurnya dengan jarak sedekat ini dada saya sudah kembang kempis, perut saya mual dan irama jantung saya bertambah cepat. Ah, saya memang tidak biasa di posisi semacam ini. Maklum jomblo.
Astaga kenapa jadi curhat dan mikir yang enggak-enggak?
"Sebetulnya..." ujar saya memulai. Anak ini kemudian mengalihkan pandangan dari laptop yang bertengger di pangkuan saya. Pupilnya nampak makin membesar, bahunya terangkat dan gerak tubuhnya nampak tertarik.
Pupil matanya sesekali berkedip kini. Entah karena penasaran atau mungkin karena tersapu angin.
Kami memang punya banyak perbedaan, sering berdebat dan tak sekali dua kali bertengkar. Tapi nampaknya itu yang membuat pertemanan kami tetap hidup. Iya, pertemanan. Bagi saya itu sudah cukup.
"sebetulnya?" Tanyanya balik.
"Sebetulnya aku memang jarang bahkan mengharamkan latar yang kentara di dalam ceritaku,"
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
Kemudian saya menjelaskan kepadanya. Bahwa betapa latar waktu dan tempat itu membunuh imajinasi.
Saya seringkali hanya mengandalkan indra dan suasana seperti: aku saat ini bersamamu, berdampingan di sebuah saung yang atapnya pelepah rumbio, menghabiskan sisa senja dengan siluet orang-orang yang hilir mudik menuju parkiran. Dan beberapa dedauan menjatuhkan diri, seakan sedang jatuh cinta pada bumi.
Ketimbang: aku saat ini sedang berduaan dengan seorang gadis di saung, tepatnya disamping gedung L Fakultas Bisnis dan gadis itu bernama Sumi, ia terlihat cantik. Tapi bukan itu alasanku jatuh cinta padanya.
Buat apa sih saya harus memaksakan latar saung di Fakultas Bisnis. Jika dengan penggambaran sedemikian samarnya. Orang-orang akan punya bayangan tersendiri. Mungkin tentang sebuah saung di lokasi wisata, bersama istri yang ia cintai atau kenangan masa kecilnya ketika dedaunan jatuh menimpa kepalanya saat akan memakirkan motor dan kebetulan saat itu ada dua orang yang lagi kasmaran. Mungkin saja bukan?
Sudah kuduga, Sumi kelihatan tak puas. Ia berkilah, katanya latar itu harus spesifik. Kalau tidak begitu buat apa kamu capek-capek riset kemaren coba?
Oh dia benar, saya kemaren memang mengajaknya melakukan observasi ke sebuah daerah pesisir pantai yang terkenal dengan banjir rob dan tambak ikannya. Kebetulan ia sangat suka motret dan saya butuh riset untuk cerita yang baru saja dia baca.
Tapi saya tak menulis nama tempat itu dengan jelas dalam cerita. Btw, itu memang sifat alamiah saya yang tidak suka berterus terang.
"Terus kenapa di tulisan ini kamu menambahkan kota Semarang? Bukannya lebih bagus nama daerah pantai itu saja sekalian?" Sumi kembali bertanya.
"Ya, itu karena karakternya sama-sama membicarakan lumpia dan berbicara dengan logat Jawa," jelas saya.
Ia masih menatap saya dengan pandangan minta kejelasan.
Sebelumnya saya pikir saya akan gugup menjelaskannya. Karena jarak kami cukup dekat bukan? Karena mata jernihnya terpaku menatap saya. Tapi entah mengapa saya begitu tenang. Seakan ia tengah mrngenggam tangan saya, memberi saya ketenangan.
Padahal sebetulnya kedua tangan kami terpisah, sejauh 30 cm. iya sejauh itu. Meski sebetulnya amat dekat.
Tapi apa gunanya jarak sedekat 30 cm jika saya terus menerus berpikir "bukan hak saya mengenggamnya, menggandengnya atau bahkan mencium punggung tangannya".
Satu menit telah berlalu tapi rasanya jam sudah berdetak seratus kali.
"Ih, kamu nyebelin" ujarnya. Kami sama-sama membuang muka dan terdiam satu sama lain.
Saya kelagapan. Saya suka keheningan, membuat saya lebih mendengarkan isi kepala saya yang cukup berisik, sesekali si isi kepala bahkan menjerit loh. Tapi diam kali ini terasa canggung. Saya tidak suka.
"Yah, kalau misalnya di daerah pantai itu semua masyarakatnya berkelamin lelaki atau ada wanita secantik kamu tinggal disana. Mungkin saya akan menuliskan jelas nama daerahnya. Tapi itu cuma pesisir yang biasa saja dan memprihatinkan," cerocos saya membunuh situasi diam sore itu.
"Ya, gaya tulisannya gak jauh beda sama orangnya. Gak pernah ngasih kejelasan"
Sumi bicara sambil menatap ke arah taman di depan sana. Mungkin ia tengah menyaksikan serangga yang beterbangan, sampah plastik yang tersapu angin atau sejoli yang sedang pacaran?
Saya tercekat.
Entah darimana keberanian itu muncul. "Its possible are we?" tanya saya.
"We never now until we try"
Saya mengusap wajah saya yang mulai mengeras dan kaku, dari ujung matanya Sumi mungkin sedang memperhatikan saya.
Saya akhirnya membuat keputusan.
Tangan saya terangkat, mencoba menggenggam tangan anak itu dengan hati-hati. Tapi tangan mungil Sumi dengan kuteks cokelatnya tidak lagi ada disana. Rupanya tangannya sudah menggenggam sebuah tas, mengemas barang dan—
"a-aku pulang dulu ya, udah mau sore nih. Kamu jangan lupa Maghrib di masjid ya!"
"Okedeh, makasih nona cumi-cumi"
"Ih apa sih"
Sumi mengenggam pipinya, nampaknya ia masih kesal. Saya dapat melihat kedua pipinya bersemu merah, seperti cumi-cumi. Tapi lagi-lagi keberanian saya menjatuhkan diri, satu-persatu. Seperti halnya langkah Sumi yang semakin menjauh.
Dan begitulah cerita ini berakhir.
13 notes
·
View notes
Text
Kebun Bunga dan Lorong Panjang (1)
Rambut gelap dan panjang perempuan itu dicepol asal. Ada jepit besar warna biru yang membuatnya tetap tergelung meski anak-anak rambut berjatuhan di sisi telinganya. Pandangannya terlempar ke luar jendela. Banyak kabut di sana. Di jendela dan di matanya.
Sudah beberapa hari ini ia tergesa-gesa mengajakku bertemu, tapi agendaku tak punya sela. Hari ini saat kubisa, ia tidak tampak seingin itu. Barangkali karena keinginannya cerita sudah reda, barangkali karena sudah terlampau kebas lukanya.
“Nggak ngopi?” tanyaku. Di depannya ada green tea, pilihan yang sungguh terlalu sehat bagi orang masokis berpenyakit magg seperti perempuan ini.
“Busui,” jawabnya sekilas. Ia tersenyum ke arahku, minta dimaklumi.
“Busui kok banyak pikiran, harusnya bahagia,” komentarku. Aku duduk di depannya dan baru menyadari bahwa ia lebih berantakan dari yang kelihatan. Make up tipis-tipis tak menyamarkan bengkak di matanya, tampak tak ada upaya berusaha menyamarkannya juga. Wajahnya kelihatan kelelahan. Entah karena begadang, entah karena terlalu banyak menguras air mata.
Ia menghela napas, “Iya, ibu macam apa, di antara sekian banyak hal yang mestinya kusyukuri, aku malah membebani kepalaku sendiri?”
*
Ada badai di rumahnya. Turbulence. Cuaca yang kemudian membuka matanya. Ia tak sebahagia yang ia dan orang-orang kira. Ternyata dalam rumah tangganya, ia sendirian dalam perjalanan di kebun penuh bunga. Suaminya ternyata mengambil jalan yang berbeda: lorong panjang tanpa cahaya.
"Malam itu, aku menghabiskan jam-jam panjang untuk menyibak satu-satu monster yang ia sembunyikan. Tentang betapa ia peduli dan perhatian pada seseorang, dan betapa rasa itu bersambut, betapa ia merasa bersalah pada orang lain dan memelas minta waktu untuk menyampaikan maafnya sendiri, betapa, katanya, aku tak bisa menyelamatkan dia dari dirinya sendiri, betapa ia ingin pergi dari sini, betapa ia merasa lelah, tapi merasa tak ada yang peduli padanya, dan upaya-upayanya untuk mencari bahagia dalam kegelapan di sana." Perempuan itu menarik napas, berat sekali. "Segala yang ternyata tak ia temukan di rumah, tak ia temukan di aku. Ia ternyata punya kehidupan lain di luar aku dan duniaku."
"Kau tahu, saat itu tanganku gemetaran seperti orang gila. Sialnya, tanganku tahu ke mana harus mencari, seperti dipandu. Satu-satu segalanya kusaksikan dan tersimpan. Sialnya lagi, yang pantas kubombardir dengan semua kegilaan ini sedang tertidur nyenyak di sampingku. Damai dan kelihatan baik-baik saja."
Air mata menggenang di mata kirinya, tapi lekas-lekas ia telan lagi. "Aku menyimpannya sendirian, Ki, diam-diam. Aku berpura-pura masih di kebun bunga, padahal sejak tahu, aku mengikutinya ke lorong itu."
"Kemudian mataku terbuka lagi. Dengan lagak tak tahu apa-apa, aku memperhatikan segala gerak-geriknya, kata-katanya, tatapan matanya, upayanya sembunyi-sembunyi. Hal-hal yang sebelumnya kupikir cukup kupahami, sekarang memberi arti yang berbeda. Sejak itu, dalam setiap peluk dan ciumnya, aku mencicipi juga rasa bersalah."
"Aku jadi tak yakin lagi, jangan-jangan ia di lorong inilah dirinya yang asli. Jangan-jangan dirinya yang selama ini kukenallah yang sebenarnya cuma pura-pura."
*
Aku mengenal keduanya bertahun-tahun lalu. Pasangan ini tidak sempurna, aku tahu, tapi aku selalu yakin mereka tumbuh bersama. Berproses bersama. Yang baru sekarang kutahu, barangkali langkah mereka memang searah, hanya tidak seiring sejalan, ternyata ritmenya tidak seirama.
"Bertahun-tahun aku mengenalnya, satu hal yang kuyakin pasti. Ia punya dinding tinggi menjaga privasinya. Selama ini aku percaya padanya, sepenuh hati dan jiwa, tak pernah sekalipun aku mengintervensi atau sekadar ingin tahu. Aku percaya padanya tanpa ragu." Suaranya bergetar, "Jadi begitu masuk ke lorong yang ia sembunyikan itu, meskipun merasa tersakiti, aku juga merasa sudah menyakitinya."
"Jangan," sanggahku. "Kamu tetap harus sadar bahwa dalam ceritamu tadi, dia villain-nya."
Ia menarik tangisnya, "Aku merasa berkontribusi menjadikannya begitu. Apa aku terlalu tak acuh, sampai tak sadar ia menggali lorong gelap sepanjang ini, selama ini, diam-diam? Apa aku terlalu banyak bicara, apa aku tak bisa dipercaya, hingga ia tak bisa cerita apa-apa? Aku merasa gagal jadi temannya, bagaimana aku punya muka mengaku aku istrinya?"
"Barangkali karena aku terlalu bodoh atau terlalu menyayanginya, bahkan ketika dia menyakitiku, aku berusaha memahaminya."
Perempuan itu menatapku, air mata jatuh di pipi kirinya.
[bersambung]
6 notes
·
View notes
Text
perihal kumis isagi.
dan rin yang suka?!
☆⋆。𖦹°‧★
ngomongin soal isagi kumisan. tau gak kalo yang ngebantu isagi cukuran, tuh, selalu rin?
dulu, sih, enggak ya. bahkan rin pun gak pernah kepikiran kalau ada kemungkinan kumis dan jenggot isagi bisa tumbuh. sangking kulit wajah isagi selalu bersih dari rambut tipis dari para kumis dan jenggot.
sampai akhirnya ada kondisi yang menyeret isagi buat mau-tidak mau menumbuhkan rambut-rambut tipis itu.
sewaktu tim futsal sekolahnya kalah ngelawan sekolah lain, taruhan kali itu membuat mereka gak boleh cukur kumis atau jenggot sampai sebelum UAS, yang artinya isagi harus tahan buat gak cukur sekitar empat (4) bulan.
untuk aiku, teman seangkatan sae, yang selalu bermimpi untuk memanjangkan kumisnya setelah lulus, taruhan itu bukan suatu mala petaka. lain halnya untuk isagi yang selalu langsung menyukur rambut tipisnya sesaat setelah ia melihat mereka muncul setiap ia bercermin.
kala itu, hubungan isagi dan rin semakin dekat dengan pernyataan cinta yang belum kunjung diucapkan, tapi isagi bercerita soal taruhan itu dan rin mulai menunggu dengan penuh harap.
rin tahu itu hanya rasa penasarannya saja karena pikiran soal lelaki berkumis sebagai tipenya tak pernah terlewat di benaknya. namun bayangan tentang isagi dengan rambut-rambut tipis di antara hidung juga bibirnya sempat membuat jantung rin berdegup kencang. rasa penasaran ‘kah? atau murni karena itu isagi?
dan waktu yang ditunggu pun telah tiba. saat rin menangkap ada segaris kumis halus yang muncul di wajah isagi, matanya bingung harus fokus ke garis tipis itu atau bibir—
“rin?”
empunya nama akhirnya melihat lawan bicaranya kembali. “kenapa? gak denger.”
“gue nanya, aneh gak, sih, kumisnya? gatal banget gue mau cukur, tapi masih sebulan lagi.”
“gatal? emang gatal ya kalo tumbuh kumis?”
“enggak juga. maksudnya, gue gak kebiasa aja numbuhin kumis—aneh gak? kok gue ngerasa aneh ya.”
rin mengalihkan pandangannya sesaat setelah isagi kembali menatap wajahnya di cermin kecil yang ia bawa dari dalam kamar. minggu sore itu mereka habiskan dengan bercengkerama di teras lantai dua rumah isagi. banyaknya angin sempoyongan bertiup ke arah mereka tapi kenapa rin malah merasa panas?
“gak aneh. mungkin lo gak kebiasa aja ngeliat kumis gitu di muka lo.”
“iya, kali ya,” ujar isagi, tidak ada kepekaan sedikit pun dengan apa yang rin rasakan saat itu. “kalo gak aneh, menurut lo cocok gak?”
“hah?”
“gue cocok gak kumisan gini?”
isagi menoleh ke arah rin. mata mereka bertemu tatap. isagi yang masih saja tidak peka akan tingkah rin dengan sabar menunggu rin untuk menjawabnya. rin meneguk ludahnya sebelum berucap pelan, “cocok aja.”
“cocok?”
“iya.”
suara pelan rin tetap ditangkap oleh isagi walaupun surai hijau itu membuang mukanya lagi setelah sadar seberapa dekat wajah kakak kelasnya itu dengannya. isagi pun terikut sadar mengapa mata rin tidak kuat berlama-lama bertatapan dengannya dan senyum jahil mulai muncul.
“lo suka ya?”
sontak rin menoleh kesal ke arah isagi. “apaan? enggak. ngaco mulu.”
“bilang aja iya.”
“enggak.”
“iyaa.”
“enggak, anjing. stop.”
“suka ‘kan?”
“enggak?! diam gak lo.”
“aku tau kamu suka.”
“enggak, isa. anjing. nyebelin lo. ngomong sekali lagi, gue cukur tuh kumis.”
“cukur aja,” ujar isagi semakin usil dengan memiringkan wajahnya agar rin bisa melihatnya dengan jelas. “tapi cobain dulu sebelum lu cukur.”
“cobain gimana—gak usah aneh-aneh lo, isagi?!”
“aneh-aneh apaan sihhh.”
isagi duduk tegak kali ini dengan telapaknya yang ia buka ke arah rin. “pinjam tangan, dong.”
“mau ngapain…”
“pinjam bentar. gak aneh-aneh. janji.”
rin bolak-balik melirik telapak tangan itu dan raut wajah isagi yang tenang. ia tahu ia akan dijahili lagi tapi di sisi lain rasa penasaran yang ia miliki berhasil melawan rasa kesalnya itu. maka ditaruhnya lah tangannya untuk isagi genggam dan membiarkan isagi menariknya pelan untuk menangkup pipi si surai biru.
perhatian rin terlalu fokus pada bagaimana isagi tetap menggenggamnya dan mengelus lembut punggung telapaknya sebelum ia merasa ibu jarinya didorong halus bersapuan dengan garis tipis kumis isagi.
“nih, coba.” isagi menyenderkan pipinya lebih relaks ke tangkupan rin seraya membiarkan rin yang pelan-pelan mulai mengusap kumis juga bibir isagi dengan ibu jarinya. “gitu rasanya.”
“rasa apaan, sih?”
“ya, gitu.” senyuman jahil lainnya nampak pada bibir isagi. ia menatap rin yang terlihat terlalu fokus pada apa yang ia lakukan. isagi juga tidak pernah menebak tentang rin dan rasa penasarannya itu, namun usut punya usut, ternyata rin gampang sekali ia tebak. dan muncul lah pikiran usil lainnya di kepala isagi yang langsung ia laksanakan: ditolehkan wajahnya sedikit untuk ia kecup sekilas telapak tangan rin yang masih ia genggam.
semburat merah di pipi rin terpampang jelas setelah itu dan menarik tawa kecil dari mulut isagi yang menyaksikannya. celoteh amarah rin keluarkan tapi tidak ada tanda-tanda ia ingin menarik tangannya. alih-alih ia tangkup kedua pipi isagi untuk dicubitnya gemas wajah itu. kesal, katanya. namun merah pipinya berkata lain.
☆⋆。𖦹°‧★
habis itu, karena isagi gak berhenti ketawa geli sehabis ngebuat rin mau meledak layaknya gunung berapi, rin beranjak masuk ke kamar mandi dan mengambil krim juga cukuran.
hari minggu itu, pertama kali rin belajar cara mencukur rambut-rambut tipis di wajah isagi dengan benar, yang akhirnya menjadi kebiasaan karena si kakak malah jadi ngelunjak dan manja—gak mau cukur kalo bukan rin yang cukurin.
dan isagi yang kena hukuman lainnya karena kumisnya udah dicukur sebelum waktu yang telah ditentukan.
☆⋆。𖦹°‧★
juga aiku yang keterusan gak cukur kumis & jenggotnya. jadinya di hari pertama UAS, dia ikut susulan karena gak boleh masuk kelas.
(selain kebersihan, jaga kerapian juga, ya, kak!)
6 notes
·
View notes
Text
Eye for Eye
UMUR ERNAR ADALAH SATU ABAD ketika ia memutuskan untuk membunuh ayahnya. Ayahnya, seorang Duke Roncheron, sudah terlalu tua untuk memimpin, terlalu sakit untuk bertahan. Ia membunuhnya atas kutukan keabadian yang menghantui tiap-tiap iblis tingkat atas seperti mereka. Kematian terasa dingin dan senyap, keabadian juga begitu. Namun, ketimbang mengakhiri penderitaan dengan mati tenang, keabadian membiarkannya tetap hidup. Kemudian menyiksanya dengan berat penyesalan yang akan ia bawa sampai penerusnya menghunuskan pedang ke dadanya.
Hidupnya begitu gelap dan sepi, dengan ialah satu-satunya Roncheron yang tersisa di kastil. Semenjak keputusannya membunuh sang ayah, tidak hanya keluarganya yang perlahan menjauhinya, tetapi juga rakyatnya. Mereka mencintai Roncheron sebelumnya tanpa memberikan sedikitpun kesempatan untuk Ernar. Bukan urusan Ernar merubah pendapat seseorang tentangnya. Apa pun yang terjadi, mereka tetap akan ketakutan dengannya. Satu-satunya darah asli Roncheron yang tersisa, satu-satunya iblis berdarah hitam yang mampu membunuh hanya dengan tatapan.
Dan dirinya sedang menahan diri untuk tidak menatap—membunuh Yang Mulia Cardin yang tengah duduk di sofa seberangnya.
Kehadiran siapapun tidak lebih dari pengganggu ketenangan di mata Ernar, apa pun statusnya. Meski begitu ia berusaha tetap tenang, memilih mengabaikan kesunyian yang dibuat tamu dengan mengepang rambut pirang seorang gadis di pangkuannya.
“Papa, Sofi mau ke kamar mandi.”
Ernar terhenti sejenak, memandang gadis kecil tidak ada takutnya dengannya. Ia menelengkan leher, dan memanggil pelayan wanita untuk mendekat. “Urus dia. Nanti kembalikan lagi.”
Ernar mengarahkan tangan Sofi pada tangan pelayan ketika gadis kecil itu kebingungan mencari sumber suara. Kedua tangannya menggenggam tangan pelayannya, lantas bangkit dan tanpa sengaja membuat kakinya tersangkut kaki Ernar. Ia bisa saja tersentak jatuh jika Ernar tidak menangkap perutnya.
“Terima kasih, Nyonya Os!”
“Itu Greta,” koreksi Ernar. Mengabaikan bahwa Sofi sudah salah berterima kasih.
Tangan gadis itu mencari sesuatu di tangan sang pelayan. Tidak lama dia mengangguk, “Eh, benar. Tidak ada cincin! Papa seharusnya tidak usah bilang! Sofi jadi malu!”
Pelayan tersebut lantas membawa pergi Sofi dengan cekikikan, sementara Ernar dan Cadin hanya menonton keduanya berlalu. Sekarang, dengan perginya kedua orang tersebut, sudah waktunya ajang tatap menatap ini berakhir.
“Kau jadi baby sitter, huh? Ernar.” Cardin menghela napas, lalu mengambil cangkir teh yang sudah dingin.
Ernar tidak berkomentar. Sepasang mata rubinya terus menatap lurus pangeran mahkota di hadapannya, “Kepentingan apa yang membawa Anda kemari, Yang Mulia?”
Cardin tersedak, nyaris menyembur tehnya. “Apa-apaan dengan kekakuan itu? Hampir setengah abad kita bersahabat. Mendengarmu memanggilku Yang Mulia sungguh terdengar salah.”
“Kau pikir aku bodoh?” cercah Ernar, kali ini benar-benar menatap Cardin di hadapannya, “Kau kemari untuk mengembalikan Sofi.”
Tentunya, dan seharusnya Ernar tidak perlu bertanya. Keberadaan Sofi di kastilnya tidak pernah lepas dari penolakan kalangan yang lebih tinggi dan tentunya, berani melawannya. Ia agak terkagum, sarkastiknya, terhadap Cardin. Ernar hanya menunggu alasan apa yang sebenarnya membawa kerajaan menentangnya mengambil Sofi dari pelelangan manusia, yang sebenarnya, diselenggarakan oleh kerajaan itu sendiri.
“Kau begitu mengenalku, Ernar.” senyuman tipis Cardin tertarik. Tidak berlangsung lama karena sekarang kedua mata emas itu sudah menajam, menatapnya absolut. “Dan kau tahu juga bahwa aku tidak suka dilawan, bukan?”
“Tentunya.”
Ernar melipat kaki di atas kaki yang lain. Ia sengaja mencondongkan tubuhnya, “Kita dengar alasanmu sebelum aku bisa membandingkannya dengan wanita manusia yang kau punya di rumah.”
Cardin melebarkan matanya, barulah dia melepaskan kekehan panjang. “Ah, dia? Tunggu, siapa namanya? Maksudku, siapa peduli? Dia—”
“Apa yang kau takutkan dari manusia buta berumur lima tahun?” Ernar memotong tanpa sedikitpun teralih dari cangkir tehnya. Barulah ketika Cardin tidak menjawab hampir semenit penuh, ia baru mendongak.
Cardin menatapnya dalam, dan menjawab tanpa berkedip, “Kekuasaanmu.”
Ernar mengangguk sambil menelengkan wajahnya ke arah suara langkah yang terdengar. Greta dan Sofi sudah kembali, lengkap dengan cekikikan kecil yang keluar dari gadis kecil entah apa yang mereka bicarakan.
Pemandangan gadis bermata kelabu itu entah mengapa selalu menjadi pemandangan menyejukkan untuknya. Terlepas dari rasnya, anak itu sungguh berhasil menyentuh hatinya. Jika melepaskannya sama dengan mengabaikan himbauan kerajaan ...
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Maugre.”
Kepala pelayan Maugre muncul dari balik pintu, lantas memberi tunduk hormat. “Memanggil saya, Tuan?”
“Tunjukkan jalan keluar untuk Yang Mulia Cardin. Sudah larut.”
Tanpa salam bahkan tanpa tundukan hormat, Ernar pun beranjak dari ruangan dengan Sofi di gendongan. Andai dia tahu, ayah iblisnya baru mengusir seorang pangeran yang juga seorang iblis, mungkin dia tidak akan melambaikan tangan ke arahnya. Beruntung, instingnya benar dan dia melambai ke arah yang benar.
Sofi ia temukan di pelelangan budak manusia sekiranya dua bulan lalu. Ernar tidak biasanya menyukai pertemuan yang mengharuskannya mengenakan pakaian rapi dan menyesap wine sambil berbincang. Ia tidak senang berinteraksi dengan banyak orang dan apalagi, seorang manusia. Untuk pelelangan kemarin, ia mau tidak mau hadir dan ia berterima kasih kepada Cardin karena sudah memaksanya.
Cardin, selayaknya seorang putra mahkota tahta iblis, tiap tahun bisa membeli dua orang manusia. Soal apa yang dia lakukan pada manusia tersebut Ernar tidak mau tahu. Dan ia harap Sofi juga tidak tahu. Pelelangan biasanya hanya berisi para manusia dewasa, dan kehadiran Sofi, Ernar kira adalah sebuah kesalahan.
Dia tidak memiliki harga, dia bahkan berjalan semaunya di lantai utama. Tubuhnya yang mungil membuatnya tidak terdeteksi, dan Ernar, mungkin tidak akan pernah menoleh jika saja anak itu tidak menarik ujung jubahnya dan menyebutnya: 'Papa'.
“Teman Papa pulangnya cepat?”
“Kenapa memangnya?”
Manusia kecil ini menduganya adalah ayahnya. Awalnya Ernar mengira dia hanya salah menarik dan akan langsung berubah pikiran, tetapi tidak, anak itu bertahan sambil mengerjab-kerjabkan kedua matanya yang mati.
“Sofi mau ngobrol sama pangeran.”
“Bicara denganku.”
Sofi menggeleng, “Enggak. Bosen!”
Ernar menghentikan langkahnya, “Sofi bosen ngobrol sama Papa?”
“Iya! Sofi mau punya teman!”
Singkat cerita, Ernar jadi ayah dari seorang manusia kecil yang bahkan umurnya tidak sampai sepersepuluh dari umur Ernar.
“Bisa diatur. Kamu ngobrol sama Greta dan Tuan Maugre mulai besok.”
Sofi menjatuhkan setengah badannya kecewa. “Yang lain dong, yang lain!”
Tawaan kecil lepas dari bibir Tuan Roncheron, pemandangan langka yang sayangnya satu-satunya saksi mata adalah gadis kecil dengan cacat penglihatan. Bisa jadi itulah yang membuat Ernar dapat dengan mudah membuka hati untuknya. Dia tidak menilai, dia tidak ketakutan. Jiwa mudanya terlalu polos untuk mengkhawatirkan siapa yang sebenarnya ia panggil sebagai 'Papa'.
Jauh di dalam benaknya, ada kekhawatiran tumbuh. Bukan kekhawatiran yang sama seperti yang dikatakan Cardin tentunya, Ernar berpikir untuk hidup selamanya. Bentuk kekhawatirannya sederhana, dan semua itu bermula dari ucapan dokter yang setiap seminggu sekali bertandang.
“Omong-omong, Tuanku Rancheron, teman baikku bisa membuka mata batin Nona Sofi jika Anda tertarik.”
Ernar tidak tertarik, tetapi Sofi berkata lain. Gadis itu mendengar dari balik pintu, kepalanya menyembul, bisa jadi dia tidak tahu kalau dia tidak begitu tersembunyi. Melihatnya, Ernar menghela napas.
“Dia tidak ingin melihat hantu.”
Dokter bertanduk lurus dengan cepat mengibaskan tangan, “Tidak, tidak. Maksudku, dia bisa mengembalikan penglihatan dengan aura. Nona Sofi akan diimbuhi aura dengan konsentrasi tinggi yang … memaksa sel di matanya untuk aktif kembali. Kasarnya seperti itu.”
“Tapi …” dokter itu melanjutkan sambil menurunkan kacamatanya, “Ada ‘harga’ yang harus Anda bayar, Tuanku.”
Ernar membiarkan kemejanya kembali dikenakan oleh Maugre selagi dia menimbang-nimbang perkataan barusan. Hingga detik ini ia meyakini Sofi tidak tahu kalau dia diadopsi oleh iblis. Kebanyakan anak manusia ketakutan dengan sosok mereka yang menjulang, berkulit gelap hingga ke pucat, bertaring dengan tanduk beragam. Ernar bukan pengecualian, pastinya.
Ernar menggeleng membuang pemikiran tersebut. Tatapannya kembali ke sang dokter, yang sudah menaikkan kedua alis menunggu respon. Sayang sekali satu-satunya respon yang bisa terucap hanyalah, “Kau bisa pergi sekarang.”
Sang dokter agaknya terkejut, tetapi ia mengabdi cukup lama sampai-sampai memaksakan diri untuk memahami tuan Roncheron. Kepalanya ia tundukkan sesaat, sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Ernar yang memilih duduk bersandar di sofanya.
Sofi yang sekarang sudah sepenuhnya sempurna untuk Ernar, dan entah mengapa fakta tersebut selalu menakutinya. Pertumbuhan umur manusia dan iblis sungguh berbeda berkali-kali lipat. Umur enam tahun Sofi bisa bicara bahkan berlarian semetara iblis pada umur demikian masih berupa bayi yang belum bisa membuka matanya. Ia khawatir dengan itu, ia khawatir Sofi akan tumbuh begitu cepat untuk mengira bahwa selama ini ia diculik oleh seorang iblis di pelelangan budak. Sofi gadis yang pintar dengan segala keterbatasannya. Penglihatan akan menyempurnakannya sekaligus menyibak kebenaran yang selama ini dihalangi oleh inderanya yang terbatas.
Hari semakin gelap, Ernar baru menyadarinya sekarang. Pemeriksaan kesehatan semakin hari semakin lama untuknya. Terkadang, sehabis pemeriksaan ini dadanya akan terasa begitu sakit. Kadang kala kepalanya begitu berat sampai-sampai ia tidak bisa bangkit dari sofanya semalaman. Untuk kali ini ia mampu berdiri. Tidak cukup bertahan lama begitu tubuhnya kembali terjatuh berkat nyeri mengerikan yang bertahan di dadanya.
Suara langkah kaki terdengar dari koridor, dan sesaat berhenti. “Tu, Tuan Ernar?” kemudian berlanjut menjadi lari kecil yang segera mendekat.
Ernar mengangkat tangannya, “Aku tidak apa, Maugre.”
Tangannya bergetar, tetapi sakit pada dadanya kian mereda. Bersamaan dengan itu, sebuah rasa panas terbangun di dalam dadanya. Saling bergerumul, seakan memaksakan untuk keluar. Sensasi panas tersebut menekan dadanya begitu kuat, mendorong kerongkongannya dan sebelum ia tahu …
Ia sudah memuntahkan segenggam darah.
Dan sejak saat itu ada sesuatu yang lebih Ernar takutkan dari melihat Sofi yang beranjak dewasa terlalu cepat.
***
Ini pertama kalinya musim dingin terasa begitu mengerikan untuk Ernar. Hanya berselang beberapa bulan dari kejadian muntahan darah tersebut, dan seluruh tubuhnya mendadak begitu renta. Tulang-tulangnya bergetar, selera makannya menguap, bahkan ia merasa tanduknya kian hari semakin memendek. Ia sudah menanyakan ini pada Maugre, persoalan tanduknya yang memendek. Maugre tentu saja menyanggah, berkata semua itu hanya pikiran buruk Ernar. Namun seorang yang paling bisa merasakan perubahan dirinya tentu adalah dirinya sendiri. Dan Ernar tidak dapat memungkiri, dua tanduk pada tulang pipinya yang semula hampir menyentuh dagu, kini hanya sampai menyentuh hidungnya saja.
Sebuah tanda-tanda sederhana yang mencegahnya berpikir jernih.
Kedua mata rubinya menatap lurus ke arah perapian yang mulai redup. Ernar ingin sekali bangkit dari sofa panjangnya dan memasukkan beberapa potongan kayu lagi, tetapi tubuhnya tidak mengijinkan. Tanpa bantuan siapapun ia tidak akan bisa menegakkan punggung, apalagi meraih kayu perapian.
“Maugre! Maugre!”
Percuma saja, ini masih pukul empat pagi. Baru satu jam dari waktu istirahat orang tua itu setelah tubuh Ernar jatuh sakit. Ernar merutuk. Menjadi tua dan sakit sungguh menjengkelkan. Bagian paling menjengkelkannya adalah umurnya bahkan tidak sampai setengah dari umur Maugre.
Sebuah deritan pintu yang terbuka mengagetkannya. Ernar menunggu Maugre yang berjalan tergopo-gopoh dan segera bertanya keadaannya. Kenyataannya, sosok yang muncul bukanlah Maugre. Bahkan, orang itu sama sekali bukan pelayannya.
“Sofi?”
Anak itu menoleh begitu mendengar sumber suara. Jalannya perlahan tetapi pasti. Ia tahu benar terlalu bersemangat hanya akan membuatnya tersangkut perabotan bermacam rupa yang ada di sekitarnya. Tapi bukan itu yang seharusnya ia khawatirkan sekarang.
“Kenapa kamu bangun jam segini?”
“Sofi tidur di kasur Papa tadi.”
Ernar melebarkan kedua matanya. Ia tidak sadar. Ia tidak menyadari hal tersebut?
“Apinya kecil ya, Pa? Sebentar, di mana kayunya …”
Rasa ngeri seketika memuncak, belum lagi ketika gadis kecil itu mulai merangkak dan meraba sekeliling. Ini lebih menakutkan dari apapun yang selalu menghantui Ernar. Api tersebut memang sudah redup, tapi siapa yang tahu dia akan masuk ke sana?!
“Sofi!”
“Oh, ini pasti kayunya!”
Memang benar, tapi, “Kamu berhenti di situ.”
Ernar mengatakannya tepat waktu. Tepat ketika anak itu hampir merangkak masuk menuju perapian dan menyentuh bara api dengan tangannya yang kecil. Sesaat gadis itu berdiri, menoleh ke arahnya dengan wajah kebingungan. Apa yang menjadi pemandangan selanjutnya menyita setengah napas yang tersisa untuk Ernar.
Karena sekarang Sofi sudah berbalik ke arah perapian, dan melempar kayu-kayu tersebut dengan sempurna.
Seakan, dia melihatnya.
“Kelihatan kok, Pa!”
Ernar berkedip tidak paham, dan ia buru-buru mengeluarkan tangan untuk dipeluk oleh Sofi. Ia tidak mengerti, tetapi bibirnya terlalu lemah berkat serangan jantung kecil barusan.
“Kalau cahaya masih kelihatan kok, Pa!”
Ernar menelan ludah, “Ka, kamu … tidak sepenuhnya buta?”
Sofi menggeleng, lantas menyandarkan kepalanya ke pundak Ernar. “Enggak.”
“Papa …” Ernar meneguk ludahnya sekali lagi, “Sofi, bisa lihat Papa?”
Sofi mengedipkan kedua matanya, seakan kebingungan dengan pertanyaan tersebut. “Bisa.”
“Tapi buram banget ….”
“Kamu tahu Papa punya tanduk?”
“Tahu.”
“Kamu tahu Papa adalah iblis?”
“Papa kenapa nanya-nanya gitu sih? Sofi tahu!”
Tidak ada satupun kata dapat menjelaskan betapa inginnya Ernar untuk menangis sekarang. Salah satu hal yang amat menakutinya, ternyata selama ini mengetahuinya.
Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh dan menepuk kepala pirangnya yang terlihat menyengat bagai singa. Selama ini ia salah, seharusnya ia bertanya juga pada Sofi. Tingkahnya yang salah menarik dan menyebut Papa pada iblis asing sudah meyakinkan Ernar bahwa anak ini buta sepenuhnya. Siapa yang tahu bahwa selama ini ia melihatnya, meski dengan keburaman yang mungkin baru ia sadari belakangan setelah melihat Ernar dari dekat. Meski begitu ia tidak ketakutan, ia tidak melarikan diri. Ia bertahan dan dia bersamanya.
Dan Ernar pikir akan selamanya begitu
***
Musim semi tiba dengan pemandangan baru, cahaya baru, langit baru, dan paling pentingnya: mata baru.
Ernar lebih baik dari sebelumnya, dan hanya duduk menonton Sofi yang untuk kali pertamanya membuka mata setelah diimbuhi aura miliknya. Nyonya Os, Greta, Maugre beserta segenap pelayan yang antusias juga ia ijinkan menonton di baliknya. Hanya dalam beberapa bulan Ernar akui Sofi sangat hebat dalam memikat hati siapapun di sekitarnya. Diam-diam ia agak kagum, beserta sedikit cemburu dengan perhatian berlebihan ini.
Sofi yang duduk di hadapan mereka masih menutup kedua mata dengan tangan. Cekikan sekali lagi keluar selagi dia menunggu dokter mengatur sebuah kalung yang katanya akan ‘membuka mata batinnya’. Ernar awalnya tidak yakin. Memberikan aura pada kalung dapat melengkapi sebuah keterbatasan, hampir terdengar seperti dokter gadungan baginya.
Prasangka buruk tersebut seketika runtuh begitu dokter rampung memasangkan kalung dan menyingkirkan dirinya ke sisi Sofi. “Silakan, Nona.”
“Sofi hitung ya …?”
Baiklah, ini dia ….
“Satu … dua … tiga!”
Tangan diturunkan, kedua kelopak mata terbuka dan sorakan bahagia segenap karyawan seketika mengisi ruangan tersebut. Kedua mata kelabu itu tiada, digantikan oleh warna yang setiap pegawai di kastil tersebut tidak akan pernah asing melihatnya.
Warna rubi. Warna mata Roncheron.
Di antara sorakan kebahagiaan tersebut, Ernar dan Sofi sama-sama belum berkutik. Untuk sesaat Ernar pikir anak itu kecewa, dan pikiran buruk segera menyerang benaknya. Bagaimana jika dia ketakutan ketika segalanya terlihat jelas? Bagaimana jika dia kecewa dengan penampilan Papanya? Atau skenario paling buruk yang bisa Ernar bayangkan: bagaimana jika Sofi masih belum bisa melihat—
Rambut pendek pada tengkuk Ernar seketika menegang. Air mata jatuh berlinangan dari pipi Sofi, dan sepertinya ia terlambat menyadarinya pula. Kedua tangannya merentang ke depan, dan dia buru-buru berhamburan memeluk Ernar di sofanya. Tangisannya pecah di pundak Ernar, sesuatu yang masih belum dapat ia terjemahkan maksudnya.
“Kelihatan …?”
Tangisannya masih berlanjut, tetapi ia berusaha mengangkat wajahnya. Perlahan ia menyebut satu-persatu nama dari para karyawan. Beberapa salah, tetapi kebanyakan benar setelah mereka bersuara.
“Tuan Maugre.”
“Greta!”
“Nyonya Os ….”
Dan akhirnya dia menunjuk Ernar.
“Papa!”
Ernar tidak tahu, ia tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan sebutan 'Papa' tersebut. Hatinya keras dan pelu. Ia membenci semua orang, orang-orang pun demikian. Di tengah kehidupannya yang sepi dan dingin, Sofi muncul dan menarik ujung pakaiannya. Tangan kecil yang waktu itu sanggup ia hancurkan dengan jentikan tangan, justru ia terima dengan kuku penusuk dagingnya.
Kehangatannya bagai sulur yang menjalar, mewarnai tiap sudut monokrom dunia Ernar yang sempat mati. Kepolosannya menyadarkan masih banyak yang ia lewatkan, masih lebih banyak waktu untuk dia nikmati. Dan kehangatan tersebut tidak pernah pudar, hingga detik matanya terbuka dengan iris rubi yang terpancar.
Ernar melepaskan senyuman lega yang tak disangkanya justru membuat pelupuk matanya mendadak panas. Jemari ringkih Ernar bergetar, perlahan menyapu lembut pirang keemasan rambut Sofi dari keningnya.
Gadis kecil menerima tangan tersebut di pipinya, lantas menggenggam tangan kurus Ernar penuh kehangatan. Muka sembab Sofi kembali merengut. Mendadak, tangan kanannya menyentuh pipi Ernar, dan Ernar baru menyadari pipinya telah basah. Air dari mana?
“Papa?!”
Ernar mencoba mengendalikan diri dengan menarik napas. Semuanya akan baik-baik saja, ia tahu itu. Ia bisa merasakannya.
Dan dengan demikian Ernar menarik napas berat, “Sofi.”
“Selamat datang di Rancheron.”
***
9 notes
·
View notes
Text
tiga bulan.
sabo punya waktu tiga bulan untuk mengupas tuntas tentang ace sebelum ace pulang dari sertifikasi perfumer di grasse. sabo tidak akan membiarkan kehadiran orang yang tidak diketahui asal-usulnya ini mengguncang seluruh aspek kehidupannya. selagi ada waktu untuk menyelisik, sabo akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
meski cara yang akan dilakukannya cukup bertentangan dengan moralnya; mengacak seisi kamar ace tanpa seizin orang yang bersangkutan.
di malam pertama, sabo mengendap-ngendap keluar dari rumah agar tidak diketahui oleh asistennya. jalannya berjingkat membelah taman antara rumah utama dengan paviliun tua yang dialihfungsikan menjadi kamar ace. jangan tanya sabo dapat kunci dari mana, dia punya cara.
tangan sabo gemetar ketika berusaha memutar kunci. otaknya masih sibuk mempertanyakan apakah ini cara yang benar dan boleh? ternyata moral kompas dan nuraninya masih bekerja. derit pintu paviliun berlapis teralis mengiringi degup jantung sabo yang sudah tidak karuan.
setelah akhirnya masuk ke dalam, meski sabo sendiri sempat meragukan langkahnya, sabo menyalakan senter dari handphone.
indera penglihatannya disambut dengan kesederhanaan. alih-alih kamar berantakan seperti rambut hitam ace, sabo malah mendapatkan kasur yang ditata rapi. sudut-sudut sprei terselip rapat, bantal dan guling tersusun seadanya. sepanjang sabo mengedarkan pandangan, tidak banyak barang pribadi yang dapat ditemukan. hanya satu kasur, satu lemari baju, satu nakas, satu meja kerja dan satu kulkas kecil di pojok ruangan. hah.
handuk basah dan kain lap lembab pun tidak ada. padahal sabo sudah berprasangka buruk terhadap ace yang datang dari tempat pembuangan akhir.
sementara indera penciumannya disambut dengan wangi lembut linen bersih dan tipis kapulaga. dan sedikit wangi khas debu karena ditinggalkan tuannya untuk sementara.
oke. area pertama yang sabo periksa adalah meja kerja. tidak ada benda mencurigakan, bahkan meja itu polos sekali, seolah tidak mengizinkan sabo untuk mengintip sedikit saja seperti apa kepribadian pemiliknya. tidak ada foto keluarga, tidak ada secarik kertas, tidak ada apa pun. laci-lacinya pun kosong.
berikutnya sabo membuka lemari. hanya kemeja-kemeja katun dan celana kain. lagi-lagi sederhana. dalam laci lemari pun tidak ditemukan apa-apa. benda yang sabo kira rahasia, terselip di bagian bawah kemeja yang tergantung pun, rupanya hanya tas yang dibelikan oleh orang tua sabo, di dalamnya hanya ada silica gel.
lemari es, kosong. hanya ada minuman kemasan yang belum terbuka.
nakas, kosong. hanya beberapa kamus bahasa inggris dan bahasa perancis untuk mempersiapkan keberangkatannya ke grasse.
di saat sabo sempat menyerah, wangi tipis kapulaga menarik tubuhnya untuk mendekat ke kasur sambil mengendus. ini wangi rempah yang sering ia cium dari ace belakangan ini. sabo memejamkan mata, semakin menempelkan wajahnya ke bantal. entah kenapa wangi yang ditinggalkan ace cukup menenangkan serbuan adrenalin sabo. padahal saat pertemuan pertama mereka, indera penciumannya terserang dengan kuatnya hidrogen sulfida khas sampah.
dari ekor penciumannya, sabo tiba-tiba menangkap sesuatu. bau yang tidak enak. di salah satu sudut kasur. sabo tersedak dan menjauhkan wajahnya dengan cepat sebelum menempelkannya kembali di bantal, membiarkan wangi kapulaga mencuci saraf-saraf olfaktorinya. tidak berhenti sampai situ, sabo mulai naik ke atas kasur, membenamkan dirinya di antara sprei dan selimut putih seperti kerasukan sesuatu, kehilangan akal dengan wangi yang ditinggalkan ace.
tapi bau tidak enak itu masih bisa menembus damainya sabo di tengah lautan aroma ace, mengetuk tanpa diundang ke rongga penciumannya dan mau tidak mau sabo mengikuti jejaknya. hingga ia menemukan sumber bau tersebut, tepatnya di balik headboard. dengan penciumannya yang lebih jernih, sabo kini dapat mengenali bau-bau tersebut. indol. putresin. hidrogen sulfida, lagi. bau pembusukan dan sampah.
tanpa membuang waktu, sabo melilitkan selimut ace di kepalanya untuk menghalangi hidungnya dari serangan bau selama ia membongkar headboard kasur ace.
ada sesuatu. lebih tepatnya; beberapa buku. setelah sabo berhasil menggali semuanya, sabo menghitung kembali. total ada delapan buku catatan. dari yang sangat lusuh sampai yang baru terisi setengah, terlihat cukup baru. tercium dari baunya, sabo yakin ini adalah buku yang ace bawa dari rumahnya di tempat pembuangan akhir.
ada tiga buku ditulis dengan ‘aroma tunggal’ di sampulnya, tiga buku berikutnya ditulis dengan ‘aroma campuran’, satu buku dengan tengkorak, dan satu buku…. tanpa penanda apa pun.
melihat wujud buku-buku ‘aroma tunggal’ yang kertas-kertasnya keriting dan menguning–bahkan hampir cokelat, sabo memutuskan untuk menjadikan aroma tunggal sebagai tujuan pertamanya. jemarinya membuka asal buku-buku tersebut dan tampak tulisan yang awalnya sangat berantakan seperti tulisan anak kecil. banyak benda-benda sederhana yang tertulis seperti beras, batu, kaca, embun.
sekian halaman berikutnya dalam buku ‘aroma tunggal’, tulisannya semakin matang dan rapi. dan benda yang tertulis juga semakin rumit, menyentuh wujud molekuler dan menggunakan nama-nama senyawa kimiawi. ester, eter, aldehida, sulfida. tapi dari barisan nama kimiawi itu, masih kerap ditemukan kata sederhana; gerimis dan badai. entah kenapa, sabo mengerti. bukan petrikor yang dimaksud oleh tulisan tersebut. tapi sebuah aroma kedatangan peristiwa. ace mampu mengenalinya.
tiga buku berikutnya, ‘aroma campuran’. mengingat isi buku-buku sebelumnya, sabo sudah dapat menerka isinya. hasil eksperimen ace dari aroma-aroma yang dikenalnya, dari yang sederhana sampai gila. banyak coretan dan revisi di sana-sini. ada beberapa campuran yang ace beri nama, senonoh dan tidak senonoh semuanya ada. sabo mengernyitkan dahi ketika menemukan campuran yang tidak layak dicoba, khusus untuk ace coba seorang diri tanpa perlu diketahui banyak orang.
selain percobaan-percobaan aneh ace, tidak ada keanehan lain dalam buku-buku berlabel ‘aroma campuran’. tapi dari buku-buku tersebut sabo mulai mengerti, betapa besar rumpang antara indera penciumannya dengan ace.
buku berikutnya adalah buku bersampul tengkorak. sabo sudah dapat mengira kurang lebih seperti apa isinya, dan kekhawatirannya terbukti benar setelah sabo membaca sekilas tiap halamannya.
ada catatan ace, ditandai per hari.
tentang.
tentang.
tentang jabang bayi yang dibuang sembarangan orang di tumpukan sampah tempat pembuangan akhir.
tapi bukan itu yang membuat sabo merinding.
ace menuliskan dan mendeskripsikan bau bayi tersebut beserta dengan visual yang tertangkap mata. deskripsinya detail, dari hari pertama. kedua. ketiga. hingga hari di mana jabang bayi itu busuk dan hilang seutuhnya, ditelan oleh alam yang membawanya kembali.
inikah wujud asli ace? wujud seseorang yang orang tuanya bawa ke kediamannya? orang yang dengan tenang memperhatikan makhluk hidup, terlebih lagi, manusia, mati perlahan di hadapannya dan mencatatnya seolah tak punya hati dan nurani?
sabo menutup buku tengkorak itu dengan gegabah. menyimpannya kembali di balik headboard kasur dengan tangan gemetar dan nafas terburu. memutar pandangannya terakhir kali di kamar ace, memastikan semuanya resik seperti sedia kala, sebelum keluar dengan langkah yang tidak dapat sabo sembunyikan lagi suaranya. mengunci pintu dan teralis dengan jemarinya yang tidak lagi mau diajak bekerja sama untuk tenang.
kali ini sabo tidak berusaha lagi untuk menutupi suara langkah kakinya yang membelah rumput basah antara rumah utama dan paviliun. keringat di dahinya semakin terasa dingin diterpa angin malam. bintang dan bulan yang tersembunyi di balik awan menjadi saksi kalut pikiran sabo malam itu.
tentang ace, yang sabo semakin berusaha kenali malah semakin menjadi misteri.
siapa kamu sebenarnya?
pertanyaan itu terus berulang dan sabo tidak yakin akan bisa menemukan jawabannya.
2 notes
·
View notes
Text
Jogja dan Hujan Pertama di Bulan September
Jangan lupa follow Wattpad Erzullie ya :)
Babak 1
Masih ku tatap hujan pertama di bulan September.
"Permisi, Mas," ucap seorang gadis manis dengan rambut sebatas bahu.
"Oh, ya, silakan." Aku memberikan celah untuk gadis itu lewat di depanku.
Ia duduk di tepat di kursi sebelahku, menjadi pendamping perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Sejak kereta api berjalan, tak ada kata yang terucap di antara kami. Aku sibuk menatap hujan di luar jendela, sementara ia sibuk menidurkan diri.
Sejak ia tertidur, muncul keberanian untuk sesekali meliriknya. Takdir memang bajingan. Bisa-bisanya menghadirkan orang asing macam begini. Wajahnya tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik untuk terus dipandang.
Perjalananku kali ini bertujuan untuk membasuh luka dari patahnya hati. Namun, September memang unik. Selain hujan pertama, ia juga menyuguhkan pertemuan pertama.
'Seandainya bisa kenal sama dia.' Batinku. Berharap ia singgah sejenak di beranda takdir.
Waktu terus bergulir. Perlahan kepalanya turun hingga bersandar di bahuku.
'Bajigur!' Batinku. Aku takut degup jantungku yang berdebar kencang ini membangunkannya. 'Woilah! Cepet bangun Mbak. Hatiku geter-geter ini hoy!'
Biarpun begitu, sisi kecil hatiku berharap ia terus begitu. Setidaknya pundak pria ini tidak rapuh seperti hatinya.
Tanpa sadar, terukir senyum tipis di bibirku. Hingga tiba-tiba aku merasakan ada air yang mengalir dari bahu menuju lenganku. Ku tatap si manis ini.
'Si jenius! Ngiler anjay!'
Tiba-tiba mata si jenius in—si manis ini terbuka. Ia terkejut dan langsung mengangkat kepalanya. Ditatapnya iler yang berdusun di bahuku.
"Eh sorry." Dengan panik ia ambil sapu tangan dari kantong jaketnya, lalu membersihkan baju dan lenganku.
Aku tersenyum menatapnya. 'Untung manis!' Batinku. "Enggak apa-apa kok."
"Maaf, maaf, enggak sadar saya."
"Kalo sadar mah bukan tidur, Mbak," balasku dengan bumbu guyon.
Ia tertawa. Lesung pipinya membuat senyumnya semakin manis.
"Mau ke mana, Mas?"
"Jogja. Mbaknya?"
"Sama."
"Mau kuliah?" tanyaku
"Emang masih kelihatan kayak mahasiswi, ya?" Ia berpose menempelkan jarinya yang berbentuk huruf v di bawah dagu.
Aku terkekeh. "Iya," balasku.
"Sempet kuliah di sana, tapi udah lulus tiga tahun lalu. Sekarang mau main aja. Masnya mau ngapain?"
Aku tersenyum membuang muka menatap hujan di luar jendela. "Menghapus luka, Mbak."
"Mirip-mirip deh sama aku. Aku main juga karena mau ngubur pilu."
'Jiahahaha menarik!'
Aku menyodorkan tanganku. "Riki." Ia membalas jabatan tanganku. "Lena," ucapnya.
Lena. Seperti namanya. Aku dibuat terlena dengan parasnya.
Lena bercerita bahwa ia suka ayam geprek di Jogja. Ayam geprek di Jakarta terlalu culun katanya. Selain geprek, ia juga suka pengamen di Jogja. Menurutnya para pengamen ini adalah orang-orang yang mencari panggung jalanan, bukan sekadar mencari uang dan tidak bertanggung jawab dengan telinga pendengarnya. Jogja memang begitu, kaya dengan seniman.
"Kalo kamu, apa yang paling kamu suka dari Jogja?" tanyanya padaku.
"Enggak ada," jawabku
Ia memicing. "Kok?"
"Aku juga kuliah di sana. Sejak lulus, Jogja enggak lagi sama. Keistimewaannya ikut terkubur bersama masa lalu. Tempat yang sama, tapi dengan waktu dan orang yang berbeda."
"Nyesek ya ... terus ngapain ke Jogja kalo gitu? Masih banyak kota lain," ucapnya.
Aku tersenyum. Suasana mendadak hening diselimuti dinginnya kereta malam. "Aku butuh luka yang lebih besar untuk menghapus luka di hatiku saat ini. Aku mulai menyadari, bahwasanya sakit hati terbesar adalah ketika kita cuma diberikan ketidakberdayaan untuk duduk sambil menikmati secangkir nostalgia tanpa dicumbu sua."
Lena tersenyum mendengar ucapan ku. "Wih, kata-katanya."
"Setelah lulus, aku sadar. Hal yang paling mahal itu adalah kehadiran."
"Sepakat," ucap Lena.
Waktu yang tersisa kami gunakan untuk saling mendekatkan diri. Menyenangkan rasanya mengenal orang baru.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Bogowonto akan tiba di stasiun akhir Yogyakarta ...."
Hingga tak terasa kami hampir tiba di penghujung perjalanan. Baik aku dan Lena, kami berdiri. Aku mengambilkan tas miliknya yang berada di atas.
"Makasih." Lagi-lagi ia tersenyum padaku.
"Sama-sama," balasku sembari menyematkan senyum balasan.
Kami berjalan ke depan stasiun bersebelahan. Rasanya nyaman, aku tak ingin jauh darinya. Padahal belum ada sepuluh jam kami saling mengenal satu sama lain. Sepertinya Lena sukses meluluhkan hatiku. Aku jatuh cinta.
"Rik, aku duluan, ya. Makasih udah nemenin ngobrol. Semoga lekas sembuh." Lena masuk ke dalam mobil taksi berlogo twitter sambil melambaikan tangannya padaku. Aromanya perlahan pudar dari hidupku.
Tanpa dosa ia pergi begitu saja. Tak meninggalkan jejak barang secuil nomor ponselnya. Di matanya aku hanyalah sebuah selingan takdir.
Lagi. Aku terluka ditikam anganku sendiri. Lena tidak salah. Aku yang salah karena berharap padanya.
Benar kata orang-orang rupanya. September memang identik dengan hujan. Dengan senyum mendung, aku melangkah pergi. Biar ku anggap semua rasa ini hanyalah bunga tidur semalam.
END
18 notes
·
View notes
Text
Hujan Berbisik
Seorang pemuda dengan pakaian hitam molor, celana jeans yang sobek-sobek, dan wajahnya yang babak-belur penuh luka goresan itu duduk melamun di pinggir jalan ibukota yang saat itu tengah hujan. Pemuda itu meringis, tubuhnya terasa nyeri ketika tetesan hujan jatuh mengenai luka-lukanya yang tak kunjung mengering. Beberapa saat pemuda itu merasa bahwa tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuhnya, dan ia melihat tepat di depannya seorang gadis sedang berjongkok sambil menyodorkan payung kepadanya, gadis berseragam SMA dengan rambut panjang lebat itu pun menyuruh pemuda itu menerima payungnya dengan paksa. Setelahnya, gadis itu mengambil sesuatu di tasnya yaitu sebuah note kecil dan bulpoin, gadis itu menulis sesuatu disana lalu menyobek selembar kertas itu dan memberikannya kepada pemuda itu. Tak lama setelah memberikan kertas itu, gadis itu berlari menuju halte bus yang tak jauh dari sana. Saat sadar gadis itu pergi tanpa membawa payungnya, pemuda itu pun berdiri lalu hendak mengejarnya. Namun terlambat, bus yang berhenti di halte itu telah menancap gasnya tepat ketika pemuda itu baru berlari beberapa langkah. Dengan penuh tanya, pemuda itu membaca tulisan yang ada di kertas itu.
Anak kecil saja tahu, saat hujan kita harus membawa payung. – Kinara.
Senyuman tipis terbit di bibirnya setelah membaca tulisan mengejek itu, namun hanya beberapa detik saja sebelum akhirnya ia ingat bahwa ada luka di bibirnya dan membuatnya meringis ngilu. Segera setelah itu karena sudah terlanjur berdiri, sejenak ia sadar bahwa tadi ia hendak berlari mengejar gadis itu dengan keadaan yang payah ini. “Sepertinya kebodohanku semakin parah” ucapnya pada diri sendiri dengan tawa getir. Memandang payung biru itu, pemuda itu menghela nafas sambil mengibaskan bajunya, “Apa gunanya kasih payung ke orang yang bajunya sudah basah” pikirnya heran dengan gadis itu. Sambil berjalan picang dan sesekali berdesis kesakitan, pemuda itu terus memikirkan tidakan gadis SMA tadi, “Ini juga, haruskah mengejek orang lewat tulisan. Lagian yang namanya ejekan tetap saja buruk kan?” Oceh pemuda itu.
Pemuda tampan bernama Arjuna itu dulunya adalah seorang mahasiswa di jurusan DKV. Hidupnya normal-normal saja sebelum perusahaan Ayahnya bangkrut, perubahan yang tiba-tiba ini membutnya terpaksa keluar dari kampus dan menjual beberapa barang untuk melunasi hutang yang jumlahnya tak sedikit itu. Tak disangka, kemarin tiba-tiba salah seorang yang mengaku penagih hutang Ayahnya itu datang dan merampas paksa uang yang baru dihasilkan Arjuna dari menjual komputernya, Arjuna tentu merasa tidak adil dengan para penagih hutang itu, ia pun sedikit melawan dan terjadilan aksi pukul hingga Arjuna memiliki beberapa luka ditubuhnya. Entah kenapa ia merasa emosional dan berpikir hidupnya hancur dan malang hingga ia pun menyalahkan orang tuanya untuk dijadikan alasan, terkadang menyalahkan orang lain adalah cara cepat untuk menenangkan diri. Setelah itu Arjuna memilih untuk tidak pulang, disitulah hari dimana ia bertemu dengan gadis ‘payung’ itu.
Keesokannya Arjuna kembali ke halte bus untuk mengembalikan payung milik Kinara, Arjuna juga penasaran dengan gadis bernama Kinara itu. Beberapa menit kemudian sebuah bus berhenti dan akhirnya seseorang yang ditunggu pun turun di halte itu, “Syukurlah” ucap Arjuna. Ia pun memanggil gadis itu, “KINARA!”teriaknya lantang namun Kinara tak kunjung menoleh, Arjuna pun menarik lengannya. Kinara menoleh kaget, “Aku sudah panggil tadi, kenapa tidak merespon?, kamu Kinarakan?” tanya Arjuna. Gadis itu malah berkutat dengan ponselnya dan mengintrupsi Arjuna untuk menunggu. Gadis itu pun menampilkan layar poselnya kepada Arjuna.
Maaf, apa kakak memanggilku?
Arjuna mengangguk sambil menggaruk tengkuknya bingung.
Maaf, Aku tidak bisa mendengar suara. Apa yang ingin anda sampaikan?tolong bicara pelan agar Aku bisa membaca gerak bibirmu.
Arjuna pun kini paham kenapa gadis ini memberinya kertas hari itu, “Aku hanya ingin mengembalikan payung, terimakasih telah meminjamkannya kepadaku kemarin” ucapnya peralahan seperti perintah gadis itu.
Simpan saja kak, lagian sekarang sedang tidak hujan.
Membaca itu Arjuna pun kembali bertanya, “Tapi ini milikmu?”.
Kembalikan nanti saja kak, saat payung itu sudah rusak. Mulai sekarang jangan lupa bawa payung itu saat hujan.
Arjuna mengangguk.
Kinara pun tersenyum, sebelum melenggang pergi ia bertanya kepada Arjuna, Siapa namamu kak?
“Arjuna”jawabnya.
Arjuna seperti seorang ksatria. Setelah itu Kinara pergi.
Arjuna menatap punggung Kinara yang mulai menjauh, “Tuhan entah teguran apa yang kau berikan kepadaku saat ini, tapi aku bersyukur kau mengirimkan sebuah payung di tengah badaiku” ucapnya penuh arti. Ia pun kembali menata niatnya untuk mencari lowongan pekerjaan dengan senyuman yang merekah di sepanjang jalan.
2 notes
·
View notes
Text
Day 21 - Name five things you love about your body
30 days gratitude challenge
Rambut. Dari kecil rambutku sering bgt di pujapuji org, katanya tebel, lurus dan hitam. Iya betul memang, aku sama adik sama bentukan rambutnya gitu, lurus bgt. Gen dari bapak. Karena ibuku keriting dan tipis.. Kalo skrg rambutku ngga sehat, wlpn masih sama tapi rontok parah, rontokpun ngga bikin rambutku tipis alhamdulillah. Tapi ya risih aja gitu sedih liatnya..
Gigi. Haha inimah kesukaan bapak suami, sepertinya selalu terkesima melihat kesimetrisan gigiku (thx to behel dipake almost 10thn) wkwk ngga simetris jg stlh lepas behel msh ada ko miring2nya. Tapi emejingnya gigiku ini gapernah sakit dari kecil, bolong keropos tuh ngga ada, selain estetika sebelum di behel yg rada acak2an tp gigiku bagus dan kuat. Sakit gigi tuh krn pake behel aja, selebihnya alhamdulillah gapernah..
Tangan. Haha inimah gatau kudu bangga atau kurang proporsional ya tp tanganku selalu terlihat kurus. Sampe kalo punya jam harus di potong dulu lah. Ajaibnya mau brp kilo bb nya itu tangan tetep konsisten begitu. Aneh jg ya haha.. Oiya sama telapak tangan selalu dibilang haluuusss kaya gapernah "kerja kasar" hahaha mksdnya kerja domestik kali ya, dari dulu disangkain anak manja yg gapernah bantuin ibu dirumah, saking halusnya telapak tangan. Yaampun ya suka atuh, sembarangan! Terakhir kemarin2 mam dyra blg "eh mam nemo tangannya meni halus".. Msh konsisten yg muji ini telapak tangan. Padahal hobinya gogosrek toilet coy.. Treatment khusus jg ngga ada sugan pake handcream khusus atau apa gapernah ih cm body lotion aja. Etapi telapak tangan ini halus2 jg fragile, gabisa buka tutup botol yg keras, disangkain manja jg ini padahal kalo maksa bisa sampe luka dalem ituuu. Merah bgt dan sakit huhu.
Jari jemari. Sama kurusnya ini sama tangan wkwk entahlah.. Sampe dulu temen cowo wkt SMA mengagumi jari jemariku katanya cantik. Weitsss sa aee~. Cicing kawin yg org2 mah saat hamil teh jd ngga cukup, da akumah ttp sama ngga ada perubahan. Padahal wkt hamil aku naik sampe 13kg hahaha.
Perut. Kesukaan bapak suami jg ini, dari jaman langsing blio selalu ngecekin aja perutku entah kenapa hahaha. Skrg mah udah kek nutrijell ya pakkk? Tapi semenjak lari udah mayan sedikit mengecil huehehe. Nah perkara perut, pasca hamil dan melahirkan perutku msh mulus semulus wkt gadis, alhamdulillah ngga ada stretchmark samsek padahal ngga ada treatment khusus saat itu, temen udah nyuruh pake ini itu tp akunya cuek bgt ya Allah wkwk. Tp alhamdulillah bisa mulus jg aku gapahaaamm.. Bersyukur ajalah yaa
3 notes
·
View notes
Text
Harapan Yang Bersinar Seperti Bintang #Bagian1
12 Februari 2023
*******************
Menjadi orang yang dibanggakan adalah harapan dan kebahagian bagi semua orang pastinya. Bangga akan kehadiranmu di kehidupan ini. Bangga akan semua yang ada dalam dirimu. Bangga atas semua pencapaianmu. Apalagi jika kehadiranmu menjadi kebanggaan orang tua. Setiap anak pasti menginginkan hal itu, termasuk juga bagi seorang anak perempuan yang saat ini tinggal di Ibu kota Jakarta. Dia adalah Jaselle Helen Lange.
“Selamat Pagi Bibi” Sapanya, saat memasuki ruang makan keluarga
“Selamat Pagi juga Nona Helen” Sapa bibi May yang sedang sibuk menyiapkan sarapan
Yap itulah nama panggilannya, Helen. Panggilan nama itu bukanlah sekedar nama yang tercantum di namanya tapi karena memang memiliki arti yang sangat indah. Sehingga setiap orang yang memanggilnya dapat sekaligus mendoakannya. Tapi bukan berarti kata lain di dalam namanya tidak memiliki arti indah. Semua kata di namanya sangat memiliki arti indah, apalagi jika digabungkan bersama.
Jaselle memiliki arti orang yang dijanjikan
Helen memiliki arti bersinar seperti bintang
Lange nama keluarganya yang diambil dari nama ayahnya
Jadi jika digabungkan Jaselle Helen Lange memiliki arti orang yang dijanjikan bersinar seperti bintang di dalam keluarga Lange. Arti nama yang sangat indah itu mengandung harapan dan doa dari kedua orang tuanya untuk dirinya. Helen pun sangat bersyukur memilikinya dan sangat berterima kasih pada kedua orang tuanya atas pemberian nama tersebut.
Helen adalah anak dari sepasang suami istri yang bernama Pen Lange dan Jean Margaret. Sepasang suami istri yang berbeda warga negara, karena ayah helen adalah warga negara Jerman sedangkan ibunya adalah warga negara Indonesia. Karena itulah helen memiliki paras cantik dengan penampilan fisik dan wajahnya yang dominan ke orang Jerman dibandingkan Indonesia, memiliki mata besar dan indah berwarna hazel, kulitnya yang terang, rambut kecoklatan dan wajah tirus. Wajah dan perawakannya mirip artis Indonesia yaitu Cinta Laura. Hal itu mungkin karena mereka sama - sama merupakan campuran antara Indonesia dan Jerman.
Meskipun dirinya sering dibilang mirip dengan artis Indonesia tersebut, tapi kehidupannya sangat berbeda 180 derajat.
“Non, sarapannya sudah siap yaa” Kata Bibi May, setelah dirasa semua sarapan sudah selesai dan disediakan di meja makan
“Bibi, lanjut beres – beres dulu dibelakang yaa Non” imbuh bibi May
“Okey Bi, Terimakasih atas makanan hari ini” jawab helen kepada bibi may sambil tersenyum dan mengacungkan dua ibu jari tanda jempol
Helen mengedarkan matanya melihat satu persatu seluruh makanan yang tersedia diatas meja.
“Menu sarapan hari ini ternyata dominan ke nuansa jerman” kata helen
Di atas meja makan tersedia susu coklat kesukaannya, Roti Brotchen (Roti yang sangat disukainya juga karena tekstur keras di bagian luar tapi lembut dan gurih didalamnya), Roti Toastbrot atau roti yang di iris tipis dengan pilihan olesan dan isian rotinya yang sangat bermacam - macam yaitu mentega, krim kacang, krim coklat, selai alpukat atau biasa disebut Guacamole (alpukat yang dihaluskan, lalu ditambahkan potongan paprika, bombay, dan tomat yang kemudian diracik dengan bumbu rempah. Ini juga merupakan kesukaannya), kemudian ada irisan daging, keju dan sayur. Tidak lupa juga terdapat sup, salad sayur - sayuran dan buah - buahan.
Sarapan yang selalu lengkap setiap harinya, terkadang bernuansa jerman, terkadang bernuansa Indonesia dan terkadang bernuansa campuran jerman-indonesia.
Helen pun mulai meracik – racik untuk lapisan rotinya sesuai dengan kesukaannya. Dan segera menikmatinya selagi masih hangat. Sarapan yang enak dan lengkap ini rasanya tetap terasa sama setiap harinya dan tidak banyak berubah. Selalu terasa kurang dan hampa.
“Hari ini pun sama” kata helen se-lirih mungkin.
“Sepi” imbuhnya lagi sambil menghela nafas panjang
Bersambung ……
****************
Apa yang sebenarnya helen rasakan? kenapa dia merasa hampa? Nantikan kelanjutan cerita Harapan Yang Bersinar Seperti Bintang #Bagian2
11 notes
·
View notes