#haloffantasy
Explore tagged Tumblr posts
hallofmess · 2 years ago
Text
Eye for Eye
Tumblr media
UMUR ERNAR ADALAH SATU ABAD ketika ia memutuskan untuk membunuh ayahnya. Ayahnya, seorang Duke Roncheron, sudah terlalu tua untuk memimpin, terlalu sakit untuk bertahan. Ia membunuhnya atas kutukan keabadian yang menghantui tiap-tiap iblis tingkat atas seperti mereka. Kematian terasa dingin dan senyap, keabadian juga begitu. Namun, ketimbang mengakhiri penderitaan dengan mati tenang, keabadian membiarkannya tetap hidup. Kemudian menyiksanya dengan berat penyesalan yang akan ia bawa sampai penerusnya menghunuskan pedang ke dadanya.
Hidupnya begitu gelap dan sepi, dengan ialah satu-satunya Roncheron yang tersisa di kastil. Semenjak keputusannya membunuh sang ayah, tidak hanya keluarganya yang perlahan menjauhinya, tetapi juga rakyatnya. Mereka mencintai Roncheron sebelumnya tanpa memberikan sedikitpun kesempatan untuk Ernar. Bukan urusan Ernar merubah pendapat seseorang tentangnya. Apa pun yang terjadi, mereka tetap akan ketakutan dengannya. Satu-satunya darah asli Roncheron yang tersisa, satu-satunya iblis berdarah hitam yang mampu membunuh hanya dengan tatapan.
Dan dirinya sedang menahan diri untuk tidak menatap—membunuh Yang Mulia Cardin yang tengah duduk di sofa seberangnya. 
Kehadiran siapapun tidak lebih dari pengganggu ketenangan di mata Ernar, apa pun statusnya. Meski begitu ia berusaha tetap tenang, memilih mengabaikan kesunyian yang dibuat tamu dengan mengepang rambut pirang seorang gadis di pangkuannya. 
“Papa, Sofi mau ke kamar mandi.”
Ernar terhenti sejenak, memandang gadis kecil tidak ada takutnya dengannya. Ia menelengkan leher, dan memanggil pelayan wanita untuk mendekat. “Urus dia. Nanti kembalikan lagi.”
Ernar mengarahkan tangan Sofi pada tangan pelayan ketika gadis kecil itu kebingungan mencari sumber suara. Kedua tangannya menggenggam tangan pelayannya, lantas bangkit dan tanpa sengaja membuat kakinya tersangkut kaki Ernar. Ia bisa saja tersentak jatuh jika Ernar tidak menangkap perutnya. 
“Terima kasih, Nyonya Os!”
“Itu Greta,” koreksi Ernar. Mengabaikan bahwa Sofi sudah salah berterima kasih.
Tangan gadis itu mencari sesuatu di tangan sang pelayan. Tidak lama dia mengangguk, “Eh, benar. Tidak ada cincin! Papa seharusnya tidak usah bilang! Sofi jadi malu!”
Pelayan tersebut lantas membawa pergi Sofi dengan cekikikan, sementara Ernar dan Cadin hanya menonton keduanya berlalu. Sekarang, dengan perginya kedua orang tersebut, sudah waktunya ajang tatap menatap ini berakhir. 
“Kau jadi baby sitter, huh? Ernar.” Cardin menghela napas, lalu mengambil cangkir teh yang sudah dingin.
Ernar tidak berkomentar. Sepasang mata rubinya terus menatap lurus pangeran mahkota di hadapannya, “Kepentingan apa yang membawa Anda kemari, Yang Mulia?”
Cardin tersedak, nyaris menyembur tehnya. “Apa-apaan dengan kekakuan itu? Hampir setengah abad kita bersahabat. Mendengarmu memanggilku Yang Mulia sungguh terdengar salah.”
“Kau pikir aku bodoh?” cercah Ernar, kali ini benar-benar menatap Cardin di hadapannya, “Kau kemari untuk mengembalikan Sofi.”
Tentunya, dan seharusnya Ernar tidak perlu bertanya. Keberadaan Sofi di kastilnya tidak pernah lepas dari penolakan kalangan yang lebih tinggi dan tentunya, berani melawannya. Ia agak terkagum, sarkastiknya, terhadap Cardin. Ernar hanya menunggu alasan apa yang sebenarnya membawa kerajaan menentangnya mengambil Sofi dari pelelangan manusia, yang sebenarnya, diselenggarakan oleh kerajaan itu sendiri.
“Kau begitu mengenalku, Ernar.” senyuman tipis Cardin tertarik. Tidak berlangsung lama karena sekarang kedua mata emas itu sudah menajam, menatapnya absolut. “Dan kau tahu juga bahwa aku tidak suka dilawan, bukan?”
“Tentunya.”
Ernar melipat kaki di atas kaki yang lain. Ia sengaja mencondongkan tubuhnya, “Kita dengar alasanmu sebelum aku bisa membandingkannya dengan wanita manusia yang kau punya di rumah.”
Cardin melebarkan matanya, barulah dia melepaskan kekehan panjang. “Ah, dia? Tunggu, siapa namanya? Maksudku, siapa peduli? Dia—”
“Apa yang kau takutkan dari manusia buta berumur lima tahun?” Ernar memotong tanpa sedikitpun teralih dari cangkir tehnya. Barulah ketika Cardin tidak menjawab hampir semenit penuh, ia baru mendongak.
Cardin menatapnya dalam, dan menjawab tanpa berkedip, “Kekuasaanmu.”
Ernar mengangguk sambil menelengkan wajahnya ke arah suara langkah yang terdengar. Greta dan Sofi sudah kembali, lengkap dengan cekikikan kecil yang keluar dari gadis kecil entah apa yang mereka bicarakan. 
Pemandangan gadis bermata kelabu itu entah mengapa selalu menjadi pemandangan menyejukkan untuknya. Terlepas dari rasnya, anak itu sungguh berhasil menyentuh hatinya. Jika melepaskannya sama dengan mengabaikan himbauan kerajaan ...
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Maugre.”
Kepala pelayan Maugre muncul dari balik pintu, lantas memberi tunduk hormat. “Memanggil saya, Tuan?”
“Tunjukkan jalan keluar untuk Yang Mulia Cardin. Sudah larut.”
Tanpa salam bahkan tanpa tundukan hormat, Ernar pun beranjak dari ruangan dengan Sofi di gendongan. Andai dia tahu, ayah iblisnya baru mengusir seorang pangeran yang juga seorang iblis, mungkin dia tidak akan melambaikan tangan ke arahnya. Beruntung, instingnya benar dan dia melambai ke arah yang benar.
Sofi ia temukan  di pelelangan budak manusia sekiranya dua bulan lalu. Ernar tidak biasanya menyukai pertemuan yang mengharuskannya mengenakan pakaian rapi dan menyesap wine sambil berbincang. Ia tidak senang berinteraksi dengan banyak orang dan apalagi, seorang manusia. Untuk pelelangan kemarin, ia mau tidak mau hadir dan ia berterima kasih kepada Cardin karena sudah memaksanya. 
Cardin, selayaknya seorang putra mahkota tahta iblis, tiap tahun bisa membeli dua orang manusia. Soal apa yang dia lakukan pada manusia tersebut Ernar tidak mau tahu. Dan ia harap Sofi juga tidak tahu. Pelelangan biasanya hanya berisi para manusia dewasa, dan kehadiran Sofi, Ernar kira adalah sebuah kesalahan.
Dia tidak memiliki harga, dia bahkan berjalan semaunya di lantai utama. Tubuhnya yang mungil membuatnya tidak terdeteksi, dan Ernar, mungkin tidak akan pernah menoleh jika saja anak itu tidak menarik ujung jubahnya dan menyebutnya: 'Papa'.
“Teman Papa pulangnya cepat?”
“Kenapa memangnya?”
Manusia kecil ini menduganya adalah ayahnya. Awalnya Ernar mengira dia hanya salah menarik dan akan langsung berubah pikiran, tetapi tidak, anak itu bertahan sambil mengerjab-kerjabkan kedua matanya yang mati. 
“Sofi mau ngobrol sama pangeran.”
“Bicara denganku.”
Sofi menggeleng, “Enggak. Bosen!”
Ernar menghentikan langkahnya, “Sofi bosen ngobrol sama Papa?”
“Iya! Sofi mau punya teman!”
Singkat cerita, Ernar jadi ayah dari seorang manusia kecil yang bahkan umurnya tidak sampai sepersepuluh dari umur Ernar. 
“Bisa diatur. Kamu ngobrol sama Greta dan Tuan Maugre mulai besok.”
Sofi menjatuhkan setengah badannya kecewa. “Yang lain dong, yang lain!”
Tawaan kecil lepas dari bibir Tuan Roncheron, pemandangan langka yang sayangnya satu-satunya saksi mata adalah gadis kecil dengan cacat penglihatan. Bisa jadi itulah yang membuat Ernar dapat dengan mudah membuka hati untuknya. Dia tidak menilai, dia tidak ketakutan. Jiwa mudanya terlalu polos untuk mengkhawatirkan siapa yang sebenarnya ia panggil sebagai 'Papa'. 
Jauh di dalam benaknya, ada kekhawatiran tumbuh. Bukan kekhawatiran yang sama seperti yang dikatakan Cardin tentunya, Ernar berpikir untuk hidup selamanya. Bentuk kekhawatirannya sederhana, dan semua itu bermula dari ucapan dokter yang setiap seminggu sekali bertandang.
“Omong-omong, Tuanku Rancheron, teman baikku bisa membuka mata batin Nona Sofi jika Anda tertarik.”
Ernar tidak tertarik, tetapi Sofi berkata lain. Gadis itu mendengar dari balik pintu, kepalanya menyembul, bisa jadi dia tidak tahu kalau dia tidak begitu tersembunyi. Melihatnya, Ernar menghela napas.
“Dia tidak ingin melihat hantu.”
Dokter bertanduk lurus dengan cepat mengibaskan tangan, “Tidak, tidak. Maksudku, dia bisa mengembalikan penglihatan dengan aura. Nona Sofi akan diimbuhi aura dengan konsentrasi tinggi yang … memaksa sel di matanya untuk aktif kembali. Kasarnya seperti itu.”
“Tapi …” dokter itu melanjutkan sambil menurunkan kacamatanya, “Ada ‘harga’ yang harus Anda bayar, Tuanku.”
Ernar membiarkan kemejanya kembali dikenakan oleh Maugre selagi dia menimbang-nimbang perkataan barusan. Hingga detik ini ia meyakini Sofi tidak tahu kalau dia diadopsi oleh iblis. Kebanyakan anak manusia ketakutan dengan sosok mereka yang menjulang, berkulit gelap hingga ke pucat, bertaring dengan tanduk beragam. Ernar bukan pengecualian, pastinya. 
Ernar menggeleng membuang pemikiran tersebut. Tatapannya kembali ke sang dokter, yang sudah menaikkan kedua alis menunggu respon. Sayang sekali satu-satunya respon yang bisa terucap hanyalah, “Kau bisa pergi sekarang.”
Sang dokter agaknya terkejut, tetapi ia mengabdi cukup lama sampai-sampai memaksakan diri untuk memahami tuan Roncheron. Kepalanya ia tundukkan sesaat, sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Ernar yang memilih duduk bersandar di sofanya. 
Sofi yang sekarang sudah sepenuhnya sempurna untuk Ernar, dan entah mengapa fakta tersebut selalu menakutinya. Pertumbuhan umur manusia dan iblis sungguh berbeda berkali-kali lipat. Umur enam tahun Sofi bisa bicara bahkan berlarian semetara iblis pada umur demikian masih berupa bayi yang belum bisa membuka matanya. Ia khawatir dengan itu, ia khawatir Sofi akan tumbuh begitu cepat untuk mengira bahwa selama ini ia diculik oleh seorang iblis di pelelangan budak. Sofi gadis yang pintar dengan segala keterbatasannya. Penglihatan akan menyempurnakannya sekaligus menyibak kebenaran yang selama ini dihalangi oleh inderanya yang terbatas. 
Hari semakin gelap, Ernar baru menyadarinya sekarang. Pemeriksaan kesehatan semakin hari semakin lama untuknya. Terkadang, sehabis pemeriksaan ini dadanya akan terasa begitu sakit. Kadang kala kepalanya begitu berat sampai-sampai ia tidak bisa bangkit dari sofanya semalaman. Untuk kali ini ia mampu berdiri. Tidak cukup bertahan lama begitu tubuhnya kembali terjatuh berkat nyeri mengerikan yang bertahan di dadanya. 
Suara langkah kaki terdengar dari koridor, dan sesaat berhenti. “Tu, Tuan Ernar?” kemudian berlanjut menjadi lari kecil yang segera mendekat. 
Ernar mengangkat tangannya, “Aku tidak apa, Maugre.”
Tangannya bergetar, tetapi sakit pada dadanya kian mereda. Bersamaan dengan itu, sebuah rasa panas terbangun di dalam dadanya. Saling bergerumul, seakan memaksakan untuk keluar. Sensasi panas tersebut menekan dadanya begitu kuat, mendorong kerongkongannya dan sebelum ia tahu …
Ia sudah memuntahkan segenggam darah.
Dan sejak saat itu ada sesuatu yang lebih Ernar takutkan dari melihat Sofi yang beranjak dewasa terlalu cepat.
***
Ini pertama kalinya musim dingin terasa begitu mengerikan untuk Ernar. Hanya berselang beberapa bulan dari kejadian muntahan darah tersebut, dan seluruh tubuhnya mendadak begitu renta. Tulang-tulangnya bergetar, selera makannya menguap, bahkan ia merasa tanduknya kian hari semakin memendek. Ia sudah menanyakan ini pada Maugre, persoalan tanduknya yang memendek. Maugre tentu saja menyanggah, berkata semua itu hanya pikiran buruk Ernar. Namun seorang yang paling bisa merasakan perubahan dirinya tentu adalah dirinya sendiri. Dan Ernar tidak dapat memungkiri, dua tanduk pada tulang pipinya yang semula hampir menyentuh dagu, kini hanya sampai menyentuh hidungnya saja. 
Sebuah tanda-tanda sederhana yang mencegahnya berpikir jernih. 
Kedua mata rubinya menatap lurus ke arah perapian yang mulai redup. Ernar ingin sekali bangkit dari sofa panjangnya dan memasukkan beberapa potongan kayu lagi, tetapi tubuhnya tidak mengijinkan. Tanpa bantuan siapapun ia tidak akan bisa menegakkan punggung, apalagi meraih kayu perapian. 
“Maugre! Maugre!”
Percuma saja, ini masih pukul empat pagi. Baru satu jam dari waktu istirahat orang tua itu setelah tubuh Ernar jatuh sakit. Ernar merutuk. Menjadi tua dan sakit sungguh menjengkelkan. Bagian paling menjengkelkannya adalah umurnya bahkan tidak sampai setengah dari umur Maugre. 
Sebuah deritan pintu yang terbuka mengagetkannya. Ernar menunggu Maugre yang berjalan tergopo-gopoh dan segera bertanya keadaannya. Kenyataannya, sosok yang muncul bukanlah Maugre. Bahkan, orang itu sama sekali bukan pelayannya.
“Sofi?”
Anak itu menoleh begitu mendengar sumber suara. Jalannya perlahan tetapi pasti. Ia tahu benar terlalu bersemangat hanya akan membuatnya tersangkut perabotan bermacam rupa yang ada di sekitarnya. Tapi bukan itu yang seharusnya ia khawatirkan sekarang.
“Kenapa kamu bangun jam segini?”
“Sofi tidur di kasur Papa tadi.”
Ernar melebarkan kedua matanya. Ia tidak sadar. Ia tidak menyadari hal tersebut?
“Apinya kecil ya, Pa? Sebentar, di mana kayunya …”
Rasa ngeri seketika memuncak, belum lagi ketika gadis kecil itu mulai merangkak dan meraba sekeliling. Ini lebih menakutkan dari apapun yang selalu menghantui Ernar. Api tersebut memang sudah redup, tapi siapa yang tahu dia akan masuk ke sana?!
“Sofi!”
“Oh, ini pasti kayunya!”
Memang benar, tapi, “Kamu berhenti di situ.”
Ernar mengatakannya tepat waktu. Tepat ketika anak itu hampir merangkak masuk menuju perapian dan menyentuh bara api dengan tangannya yang kecil. Sesaat gadis itu berdiri, menoleh ke arahnya dengan wajah kebingungan. Apa yang menjadi pemandangan selanjutnya menyita setengah napas yang tersisa untuk Ernar.
Karena sekarang Sofi sudah berbalik ke arah perapian, dan melempar kayu-kayu tersebut dengan sempurna.
Seakan, dia melihatnya.
“Kelihatan kok, Pa!”
Ernar berkedip tidak paham, dan ia buru-buru mengeluarkan tangan untuk dipeluk oleh Sofi. Ia tidak mengerti, tetapi bibirnya terlalu lemah berkat serangan jantung kecil barusan. 
“Kalau cahaya masih kelihatan kok, Pa!”
Ernar menelan ludah, “Ka, kamu … tidak sepenuhnya buta?”
Sofi menggeleng, lantas menyandarkan kepalanya ke pundak Ernar. “Enggak.”
“Papa …” Ernar meneguk ludahnya sekali lagi, “Sofi, bisa lihat Papa?”
Sofi mengedipkan kedua matanya, seakan kebingungan dengan pertanyaan tersebut. “Bisa.”
“Tapi buram banget ….”
“Kamu tahu Papa punya tanduk?”
“Tahu.”
“Kamu tahu Papa adalah iblis?”
“Papa kenapa nanya-nanya gitu sih? Sofi tahu!”
Tidak ada satupun kata dapat menjelaskan betapa inginnya Ernar untuk menangis sekarang. Salah satu hal yang amat menakutinya, ternyata selama ini mengetahuinya. 
Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh dan menepuk kepala pirangnya yang terlihat menyengat bagai singa. Selama ini ia salah, seharusnya ia bertanya juga pada Sofi. Tingkahnya yang salah menarik dan menyebut Papa pada iblis asing sudah meyakinkan Ernar bahwa anak ini buta sepenuhnya. Siapa yang tahu bahwa selama ini ia melihatnya, meski dengan keburaman yang mungkin baru ia sadari belakangan setelah melihat Ernar dari dekat. Meski begitu ia tidak ketakutan, ia tidak melarikan diri. Ia bertahan dan dia bersamanya.
Dan Ernar pikir akan selamanya begitu 
***
Musim semi tiba dengan pemandangan baru, cahaya baru, langit baru, dan paling pentingnya: mata baru.
Ernar lebih baik dari sebelumnya, dan hanya duduk menonton Sofi yang untuk kali pertamanya membuka mata setelah diimbuhi aura miliknya. Nyonya Os, Greta, Maugre beserta segenap pelayan yang antusias juga ia ijinkan menonton di baliknya. Hanya dalam beberapa bulan Ernar akui Sofi sangat hebat dalam memikat hati siapapun di sekitarnya. Diam-diam ia agak kagum, beserta sedikit cemburu dengan perhatian berlebihan ini.
Sofi yang duduk di hadapan mereka masih menutup kedua mata dengan tangan. Cekikan sekali lagi keluar selagi dia menunggu dokter mengatur sebuah kalung yang katanya akan ‘membuka mata batinnya’. Ernar awalnya tidak yakin. Memberikan aura pada kalung dapat melengkapi sebuah keterbatasan, hampir terdengar seperti dokter gadungan baginya. 
Prasangka buruk tersebut seketika runtuh begitu dokter rampung memasangkan kalung dan menyingkirkan dirinya ke sisi Sofi. “Silakan, Nona.”
“Sofi hitung ya …?”
Baiklah, ini dia ….
“Satu … dua … tiga!”
Tangan diturunkan, kedua kelopak mata terbuka dan sorakan bahagia segenap karyawan seketika mengisi ruangan tersebut. Kedua mata kelabu itu tiada, digantikan oleh warna yang setiap pegawai di kastil tersebut tidak akan pernah asing melihatnya.
Warna rubi. Warna mata Roncheron. 
Di antara sorakan kebahagiaan tersebut, Ernar dan Sofi sama-sama belum berkutik. Untuk sesaat Ernar pikir anak itu kecewa, dan pikiran buruk segera menyerang benaknya. Bagaimana jika dia ketakutan ketika segalanya terlihat jelas? Bagaimana jika dia kecewa dengan penampilan Papanya? Atau skenario paling buruk yang bisa Ernar bayangkan: bagaimana jika Sofi masih belum bisa melihat—
Rambut pendek pada tengkuk Ernar seketika menegang. Air mata jatuh berlinangan dari pipi Sofi, dan sepertinya ia terlambat menyadarinya pula. Kedua tangannya merentang ke depan, dan dia buru-buru berhamburan memeluk Ernar di sofanya. Tangisannya pecah di pundak Ernar, sesuatu yang masih belum dapat ia terjemahkan maksudnya. 
“Kelihatan …?”
Tangisannya masih berlanjut, tetapi ia berusaha mengangkat wajahnya. Perlahan ia menyebut satu-persatu nama dari para karyawan. Beberapa salah, tetapi kebanyakan benar setelah mereka bersuara. 
“Tuan Maugre.”
“Greta!”
“Nyonya Os ….”
Dan akhirnya dia menunjuk Ernar.
“Papa!”
Ernar tidak tahu, ia tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan sebutan 'Papa' tersebut. Hatinya keras dan pelu. Ia membenci semua orang, orang-orang pun demikian. Di tengah kehidupannya yang sepi dan dingin, Sofi muncul dan menarik ujung pakaiannya. Tangan kecil yang waktu itu sanggup ia hancurkan dengan jentikan tangan, justru ia terima dengan kuku penusuk dagingnya. 
Kehangatannya bagai sulur yang menjalar, mewarnai tiap sudut monokrom dunia Ernar yang sempat mati. Kepolosannya menyadarkan masih banyak yang ia lewatkan, masih lebih banyak waktu untuk dia nikmati. Dan kehangatan tersebut tidak pernah pudar, hingga detik matanya terbuka dengan iris rubi yang terpancar.
Ernar melepaskan senyuman lega yang tak disangkanya justru membuat pelupuk matanya mendadak panas. Jemari ringkih Ernar bergetar, perlahan menyapu lembut pirang keemasan rambut Sofi dari keningnya. 
Gadis kecil menerima tangan tersebut di pipinya, lantas menggenggam tangan kurus Ernar penuh kehangatan. Muka sembab Sofi kembali merengut. Mendadak, tangan kanannya menyentuh pipi Ernar, dan Ernar baru menyadari pipinya telah basah. Air dari mana?
“Papa?!”
Ernar mencoba mengendalikan diri dengan menarik napas. Semuanya akan baik-baik saja, ia tahu itu. Ia bisa merasakannya.
Dan dengan demikian Ernar menarik napas berat, “Sofi.”
“Selamat datang di Rancheron.”
***
9 notes · View notes