#rak perpustakaan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Jual Papan Tulis Whiteboard di Mojokerto Mojosari
Kami adalah pengrajin kayu, berlokasi di Pulorejo kota Mojokerto. Melayani pembuatan papan tulis white board, papan tulis yang digunakan untuk menulis dengan spidol boardmarker. Selain papan tulis, kami juga membuat semua perlengkapan sekolah bahan kayu, misalnya meja kursi, papan pengumuman, rak buku, lemari arsip, rak sepatu siswa dan semua kebutuhan mebelair sekolah / kursus dengan bahan kayu. Silahkan hubungi kami melalui telpon/sms/whatsapp 0858 5358 1666, 0858 5358 1777 | website http://mebel.bisnisant.web.id
#papan tulis#whiteboard#blackboard#papan pengumuman#papan masjid#rak buku#rak perpustakaan#lemari arsip#mojokerto#rak sepatu
0 notes
Text
Lemari Buku Perpustakaan Pribadi
Lemari Buku Perpustakaan Pribadi Halo sobat furniture! Bagaimana kabar kalian? Saya harap semuanya baik-baik saja. Selamat datang di artikel kami tentang lemari buku perpustakaan pribadi. Kami sangat senang bisa berbagi informasi menarik ini dengan kalian. Mari kita mulai dengan memahami pentingnya memiliki lemari buku sebagai perpustakaan pribadi yang dapat menjadi tempat menyimpan dan…
View On WordPress
0 notes
Text
Anak Sejuta Cerita
Saya dan Piti dipertemukan melalui tulisan.
Piti hobi menulis, saya rajin membacanya. Saya hobi menullis, piti juga rajin membacanya.
Kami menikah, lalu lahirlah humayra. Pelajaran penting pertama, tulisan bisa melahirkan anak manusia.
***
Dasar menulis adalah bercerita. Meski setelah menikah kami jarang menulis. Tetapi di rumah, kami tidak berhenti bercerita.
Kami membawa kebiasaan bercerita dalam perbincangan sehari-hari. Jika ada satu hal menarik yang terjadi di hari itu, kami akan tambahkan struktur cerita, sedikit analogi, lalu jadilah cerita. Mungkin ini yang menyebabkan, humayra juga sangat suka dengan cerita.
Memang selain itu, Piti sangat boros dengan buku anak-anak. Bersyukurnya, humay juga mendukung keborosan itu dengan membaca dan mendengarkan cerita dari buku yang Piti beli.
Lalu apa saya mendukungnya? Jawabnya antara ya atau tidak.
Ya, karena membaca buku adalah aktivitas yang baik untuk humay,
Tidak, karena saya merasa tersaingi.
Saya memiliki impian untuk memiliki perpustakaan pribadi. Sudah lewat umur 30 tahun saya belum berhasil mewujudkan cita-cita tersebut. Tetapi, Humay yang berusia 5 tahun sudah berhasil memiliki 3 buah rak buku dengan variasi buku anak-anak yang bermacam-macam: pop up, soundbook, touchbook, dan berbagai macam jenis buku lainnya.
Bagi humay, buku-bukunya adalah harta karun. Seperti bajak laut yang cinta harta karun, humay tidak ingin bukunya tersebut dibagi. Contohnya baru kemarin terjadi, TK tempat humay bersekolah menyelenggarakan program donasi buku.
Dan si Bajak Laut, tidak ingin satupun bukunya disumbangkan. “Nanti kalau humay sudah SD, baru boleh.”
Sampai dengan tulisan ini ditulis, kami berdua masih melakukan lobying dengan Humay.
***
Karena cerita itu butuh bumbu, kami perlu mendramatisasi beberapa hal yang sebetulnya biasa saja. Dan mungkin itu yang membuat, keluarga kami cukup punya drama ….. dalam arti yang positif.
Pernah pada suatu malam, saya bercerita.
“Kak Humay, sini, ayah punya cerita.” Setelah saya berpikir ada satu kejadian yang menarik di hari itu.
“Apa yah?” humay mulai duduk menyimak
“Ayah tadi habis makan bakso. Di depan meja ada satu mangkok bakso dengan kuahnya, lalu ada satu mangkok lagi berisi saus kecap dan sambal, dan terakhir ada satu gelas es jeruk. Karena ayah lupa ambil sedotan, Ayah pergi ke meja dekat kasir mengambil sedotan. Trus ayah taruh sedotannya, eh, ternyata ayah naruh sedotannya di mangkok bakso.” Sebetulnya, ini cerita yang sangat biasa.
“Hahahahahahaha. Ibu sini ibu. Masa Ayah naruh sedotan di mangkok bakso.” Sambil lari-lari kecil ke ruang tamu menghampiri Piti.
Saya sebetulnya agak khawatir dengan selera humor humay.
***
Kebiasaan kami bercerita ternyata punya dampak yang sangat positif bagi Humay.
Pada suatu pagi menjelang siang, Piti menjemput Humay di TK. Wali kelas Humay menyampaikan ke Piti bahwa dia cukup terkejut dengan kosakata yang Humay sering gunakan saat berbincang.
“Ibu guru, ini tadi humay sudah memilah-milah tugasnya untuk dikumpulkan” kata Ibu Guru menirukan kalimat humay.
Kata memilah-milah menurut Ibu guru bukan kosa kata yang umum digunakan oleh anak di usia TK.
Saya dan Piti jadi ingat, sepertinya kata ‘memilah-milah’ humay kenali dari buku yang dia baca. Ada satu buku yang menjelaskan aktivitas memilah buah dan humay sering membaca buku tersebut.
Jadi jika digambarkan proses humay bercerita di sekolah adalah seperti ini: humay mendapatkan cerita dari rumah, lalu menceritakan cerita tersebut di sekolah.
Saya berharap, semoga humay tidak menceritakan ‘sedotan dalam mangkok bakso’ pada teman-temannya.
Atau semoga teman-teman humay punya selera humor yang sama dengan Humay.
Dan jika selera humor mereka sama, saya yakin saya bisa berteman baik dengan teman-teman humay.
Mungkin kita bisa mulai dengan membentuk grup whatsapp.
Karena cerita punya dampak yang sangat positif bagi kami bertiga. Sangat disayangkan jika cerita tersebut tidak memiliki bentuk tertulis.
Akhirnya, saya beride untuk kembali aktif menulis. Dengan harapan, semoga kelak tulisan ini bisa humay baca dan mengingatkan dirinya bahwa humay adalah anak dengan sejuta cerita.
21 notes
·
View notes
Text
📍Kineruku - Hegarmanah, Bandung.
Secuil ulasan dari pengalaman mampir ke Kineruku ;
Book cafe konsep rumahan ini letaknya di area yang cukup sepi. Adem dan ga berisik karena bukan di pusat kota. Pertama dateng langsung disambut pegawai kafe yang ngasih tau rules baru. Ternyata ga boleh bawa tas ke dalam dan harus dititipkan di loker. Di dalam kafe juga tidak disediakan colokan atau wifi.
Area pertama di dalam toko yaitu kasir di sebelah kiri yang disambung pintu masuk ke bagian dapur. Area tengah diisi meja display yang ngejual perintilan buku dan aksesori. Bagian tembok depan dan kanan dipenuhi rak buku baru yang dijual. Masih sebelah kanan, ada ruangan khusus pegawai, lalu toilet dan mushola.
Masuk ke area perpustakaan -yang ternyata tidak terlalu besar-, dilengkapi rak dengan banyak buku-buku yang dikategorikan sesuai genrenya. Koleksinya cukup banyak, termasuk buku lama dan buku berbahasa Inggris. Aku bisa nemuin banyak buku yang pengin dibaca sejak lama. Funfact : aku nemuin buku Don Quixote-nya Miguel de Cervantes. "...so come and call me Don Quixote". ⚔️🎶
Setelah bimbang nyari buku mana buat dibaca, akhirnya kupilih Manifesto Flora oleh Cyntha Hariadi. Bukunya tipis, tapi hanya habis dibaca 6 halaman aja.
Lanjut pesan makan. Aku dengan Eskosu dan Kentang Goreng, Teh Niken dengan Capuccino dan Pisang Goreng. Kami pilih duduk di kursi sebelah jendela. Ga terlalu dekat dengan pengunjung lain, jadinya ga akan menganggu kalo tiba-tiba kami banyak ngobrol.
Hal yang disayangkan dari kafe ini cuma jam bukanya aja yang sebentar. Dari 11.30 sampai 17.30. Selain itu, semuanya suka. Tempatnya homey dan sejuk, bukunya lengkap, makanannya enak.
Semoga nanti bisa lebih sering lagi dateng kesini.✨
5 notes
·
View notes
Text
The First Page
Bau khas buku baru menguar di penghidu, memasuki jam rawan overthinking, perempuan berpakaian serba hitam dengan aksen merah pada tas jinjing itu menetapkan keputusan untuk bersantai di bagian pojok perpustakaan demi ketenangan pikiran walau sementara. Petang menjelang malam adalah waktu terbaik untuk sekadar melamun atau membiarkan diri larut dalam ratus lembar kertas berisi ragam peristiwa, begitu cara pikirnya.
“Mbak Ay, nggak bosen pinjem buku mulu?” untuk hari ini perempuan itu tidak sendiri, selepas menjemput adik paling bungsu ia pergi ke perpustakaan demi sebuah buku kurang dari seratus halaman yang baru dihadirkan dua hari lalu.
“Nggak,” jawab sang puan apa adanya. Ia senang meminjam buku sebab tak punya cukup ruang untuk mengoleksi buku di dalam rumah.
Laki-laki yang sejak tadi menemani hanya berdiam, sesekali mengecek ponsel dan memainkan permainan di ponsel, lalu kembali merecoki dengan melongok ke sampul buku di genggaman kakak perempuannya. “Itu baca apa, Mbak?”
Melihat gerak-gerik adiknya yang tampak begitu jauh dari kata nyaman, bukunya ditutup sebentar. “Iden sebentar, ya, Mbak mau healing. Kamu kalo mau ke kedai sebelah boleh aja, nanti Mbak telepon, oke? Bukunya tipis, kok.”
‘Tipis apanya? Itu bahkan lebih tebel dari LKS matematika?’ ujar Aiden dalam hati saat menatap setebal apa buku tersebut. Menurut dugaan Aiden yang melongok diam-diam, sepertinya ada 300 lebih halaman.
Sedikit jengkel, adik laki-lakinya menggerutu. “Ih, orang nanya doang. Tapi uang aku abis, Mbak. Tadi ketinggalan jadi cuma kebawa 10 ribu, itu pun hasil selipan tas.”
Saking pengertiannya, wanita itu terkekeh, oh jadi ini alasan mengapa Aiden hanya melamun tidak jelas di sebelahnya. “Mbak transfer ke GoPay, sana, gih, kamu di sini malah gangguin Mbak.”
“Mbak udah bilang Bunda?” sepulang sekolah, biasanya Aiden sama sekali tidak diperbolehkan pergi berkelana oleh kedua orang tua, itu kesepakatan mutlak. Bila ingin keluar bersama teman, Aiden akan pulang ke rumah terlebih dahulu dan izin kepada Ibunda tercinta karena Ayah belum kembali dari bekerja. Maka dari itu, perizinan membawanya sampai hampir malam ini dipertanyakan pada sang kakak.
“Udah. Kata Bunda nggak apa, dia bilang sekalian ajak kamu baca, tapi kamunya kan ogah-ogahan, Mbak nggak mau maksa. Jadi ntar Mbak bilang Bunda aja kamu ke kedai. Maaf, buku ini cuma ada satu stok aja, jadi Iden ikutan Mbak ke sini,” tuturnya sedikit menyesal.
Aiden menyengir. “Gak papa, Iden ngerti Mbak butuh refreshing. Makasih, ya, Mbak. Iden ke sebelah. Love you!”
“Hm, too. Mbak transfer sekarang, nanti cek.”
Sang adik dengan celana abu-abu serta sweater biru dongker mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik jajaran rak menjulang.
***
Rak dengan ribuan koleksi buku menjadi rumah kedua bagi seonggok pria bertubuh semampai. Shift sore-malam menjadi tanggungan per akhir bulan ini untuk sementara dikarenakan temannya perlu merawat putri kecil yang dikabarkan dirawat sebab terjangkit demam berdarah.
“Tadi banyak yang balikin buku, tapi belum aku taruh di rak lagi, tolongin ya, Sal.” Pinta wanita penjaga perpustakaan kecil itu setengah memohon.
“Sip, nanti saya rapiin. Cepetan, Kak, nanti Iren keburu ngerengek nyari Mamanya,” ucapnya santai, toh dirinya bukan seseorang yang banyak sibuk, tak masalah bila terkena pergantian shift seperti sekarang.
Dengan tergesa-gesa, Ibu satu anak itu melambaikan tangan. “Iya, nih. Makasih, ya, Sal!”
“Sama-sama, Kak Gauri!”
Usai berkoordinasi, pria itu secara cekatan membereskan tasnya, meletakkan di dalam boks besar khusus menyimpan barang pribadi sebelum mendorong tumpukan buku-buku hasil pinjaman ke tempat semula.
Ekor mata si pria menangkap seorang wanita mengerutkan alisnya di pojok ruangan, wajahnya tampak sedikit tidak bersahabat sebab tatapannya terkunci seakan sudah menyatu dengan lembar per lembar buku bacaan.
Baru kali pertama si pustakawan melihat orang sebegitu serius membaca, ia terlalu banyak menengok pengunjung yang membaca di dalam tak betah dan berakhir hanya melamun alih-alih menghabiskan seratus lembar buku. Ah, sepertinya ia terlalu lama menelaah sampai lupa ada banyak hal untuk dikerjakan.
***
“Mas, kalo saya pinjamnya sekitar sebulan boleh nggak?” tiga tumpuk buku dengan halaman ratusan mendarat di meja dekat pintu tempat di mana para pustakawan biasanya melayani.
“Sesuai sama peraturan di sini, belum bisa, Kak. Maksimal dua minggu seperti biasa,” jelas sang pustakawan.
“Duh, saya ada acara di luar kota dan perkiraan waktunya sampai satu bulan. Boleh, dong, ya?” rayu perempuan di hadapan dengan binar melasnya.
Masih dengan senyum, pria itu menghela napas. “Kalau gitu kenapa nggak beli aja bukunya, Kak?”
“Rumah saya udah jadi gudang buku, Mas, udah nggak ada space lagi. Saya di jalan bosen nih, nggak ada buku.”
“Buku elektronik banyak, nggak perlu sewa sebulan, lho.” Solusi diberikan pada—si ngeyel—pelanggan pertamanya hari ini.
“Buku fisik lebih nyaman dibaca, Mas. Satu bulan, ya?” entah berapa lama ia perlu merayu agar luluh hati pria ini, yang jelas ia perlu buku itu untuk menemani perjalanan panjangnya yang dimulai dari akhir pekan.
“Ini bukan langganan Spotify, Kak. Kalau mau bayar denda 200.000 per buku pinjaman karena telat dua minggu. Gimana?” tawarnya. Itu sesuai peraturan absolut perpustakaan, di mana satu buku telat dikembalikan selama satu minggu, maka satu lembar uang merah menjadi pengganti.
“Mas, emang beneran se-nggak bisa itu? Saya langganan di sini, udah ada booklabs card juga, masak iya nggak ada privilege?” binaran putus asa sekarang dijadikan senjata demi rayuan terakhir.
Namun, reaksi pria itu masih teguh pendirian. “Mau poinnya sampai 100.000 pun nggak akan ada privilege sewa buku satu bulan, tertera di sana tulisannya mendapat buku segel gratis jika poin mencapai 4.000, ‘kan? Nggak ada tulisan ‘Anda akan mendapat kesempatan meminjam buku lebih dari tenggat waktu yang tercantum’. Saya cuma orang yang jaga, Kak, nggak bisa ambil keputusan juga.”
“Aduh, ya udah, deh. Kira-kira dua yang lain ini bakal ada yang keep nggak dalam waktu sebulan ke depan?” perkiraan ia akan meminjam kembali adalah sebulan lagi, ia ingin memastikan apa bisa setelah kembali dari kegiatannya ia pergi kemari untuk segera meminjam buku tersebut.
Raut wajah pria itu tampak berpikir. “Ya ... tergantung. Karena ini buku keluaran terbaru dan kami nggak punya banyak stok, kemungkinan ada.”
“Keep buat saya bulan depan, bisa, Mas—“ dibacanya nama di bagian dada sang pustakawan. “Salim?”
Mendengar namanya disebut, Salim terkekeh, “nggak bisa, Kak.”
“Capek, deh.” Perempuan itu menepuk jidatnya, kemudian memisahkan buku paling tebal untuk dipinjamnya dua minggu ke depan. “Ini dicap dulu, Mas, saya jadi pinjam yang ini aja.”
“Sebentar, ya.” Pria yang dirasa memiliki tingkat kesabaran rendah tetapi mudah mengendalikan itu mengecap kartu yang diselipkan di halaman paling depan buku sebagai keterangan dengan stempel berlogo perpustakaan bernama “booklab.studio” dan memberikannya pada wanita di depan meja.
“Member card-nya dibawa?”
“Ini, Mas.” Ia menyodorkan kartu bercorak minimalis khas interior perpustakaan.
Salim memindai kode dari kartu tersebut supaya poin beragam keuntungan itu menambah dan bisa ditukarkan dengan buku gratis saat jumlahnya mencapai 4.000 poin.
“Terima kasih, Kak Ayla. Have a good day!” di sana pula Salim mengetahui siapa nama pelanggan yang memohon padanya tadi.
“Serius nggak bisa sebulan?” masih juga.
Salim tertawa. “Nggak bisa, Kak.”
Ayla memanyunkan labiumnya. “I will not have a good day, fyi.”
Serius, pria itu tak hentinya terkekeh melihat bagaimana bibir wanita itu tertekuk karena inginnya tak dituruti. Mau bagaimana lagi, Salim bukan siapa-siapa yang mampu seenak jidat mengubah peraturan berdasar luluh lewat cemberut. “Smile. It'll be help. Kalo ada bukunya, saya hubungi.”
Langkah yang semula ingin melewati pintu kembali berbalik. “Lewat?”
“Dari member card kan ada alamat e-mail. Nanti saya kabari lewat e-mail.” Tunjuk Salim pada komputer di hadapan. Membuktikan bahwa perkataannya benar.
“Yes! Thank you, ya, Mas Salim!” binaran ceria kini menghiasi wajah manisnya, ia bergegas pergi dengan langkah bergegas, tak lagi lesu seperti sebelumnya.
Pria tersebut bergeleng. Ada-ada saja jenis manusia masa kini.
3 notes
·
View notes
Text
Progam Pemberdayaan Forum Anak Menuju Desa Digital Berkualitas Oleh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Dalam Rangka Kegiatan Pengabdian Masyarakat Oleh Mahasiswa (PMM) Bhaktiku Negri kelompok 32 Di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kabupaten Malang
Program Pemberdayaan Forum Anak Desa Pesanggrahan melalui sosialisasi teknologi digital, pengelolaan perpustakaan, dan pengajaran tilawatil Qur'an adalah kegiatan yang dilakukan oleh anggota Kelompok 32 Bhaktiku Negeri. Kelompok ini dipandu oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Sofyan Arifianto, S.SI, M.Kom, dengan Ahyad Izzudin Syuhaiba sebagai ketua kelompok. Mereka didukung oleh Maylani Kusuma Wardhani, Rahmatun Nikmah, Shelly Kurnia Ulisyah, dan Hanum Zaqiah Permatasari. Tujuan kegiatan PMM ini adalah untuk mengembangkan inisiatif teknologi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan akses informasi di desa, sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan akhir Desa Digital Berkualitas. Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kabupaten Malang, ditetapkan sebagai sasaran utama program kelompok 32.
Melalui upaya Program Pemberdayaan Forum Anak, kami bertujuan menerapkan program kerja kami agar Desa Digital Berkualitas bukan hanya mahir dalam teknologi, tetapi juga diperkaya dengan literasi yang mendalam dan nilai-nilai keagamaan yang kokoh. Dengan menyelenggarakan pelatihan kreatif menggunakan platform seperti Canva dan Microsoft Word, kami memahami pentingnya memastikan akses informasi yang mudah dan menghibur.
Selanjutnya, kami mengarahkan fokus kami pada memperbaiki dan merapikan data perpustakaan Desa Pesanggrahan. Tujuan utama kami adalah menciptakan perpustakaan yang lebih terstruktur dan memudahkan akses informasi bagi masyarakat. Dengan mengelompokkan buku-buku yang berantakan, menyusun rapi di rak sesuai dengan kode klasifikasi, serta mencatat informasi buku pada buku catatan khusus, kami berharap meningkatkan kualitas layanan perpustakaan. Kami percaya bahwa dengan memberikan akses yang mudah dan jelas terhadap koleksi buku, masyarakat akan lebih terdorong untuk memanfaatkan fasilitas perpustakaan dan mengembangkan minat baca. Tidak hanya itu, kami juga berkomitmen untuk mempercantik Perpustakaan Mayangsari Pesanggrahan agar menjadi ruang yang inspiratif dan menarik bagi pengunjung. Kami bertekad untuk mengubah persepsi mereka terhadap perpustakaan, bukan hanya sebagai tempat membaca, tetapi juga sebagai tempat untuk mengeksplorasi, belajar, dan merayakan keindahan literasi. Dengan menambahkan elemen-elemen artistik dan kreatif, seperti mural atau dekorasi tema yang menarik, kami berharap dapat menciptakan lingkungan yang memotivasi pengunjung untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, sambil tetap belajar dan mengeksplorasi dunia pengetahuan.
2 notes
·
View notes
Text
"Buku Kuno, Pintu Tersembunyi: Kisahnya menemukan Narnia”
Namanya Rowen, seorang pria muda yang hidupnya selalu diwarnai oleh aroma kertas dan halaman buku. Dia tidak sekadar pembaca biasa; Rowen adalah seorang maniac buku. Rumahnya dipenuhi rak-rak penuh dengan buku dari berbagai genre, dan setiap sudutnya dipenuhi dengan bau khas kertas yang lembut.
Kesehariannya dimulai dengan menyusun rencana untuk mengunjungi toko buku, perpustakaan, atau bahkan menjelajahi lapak-lapak buku bekas di pasar. Setiap penemuan baru adalah hadiah, dan kebahagiaannya terpancar melalui mata yang bersinar setiap kali dia menemukan buku langka atau edisi terbatas.
Rowen menghabiskan berjam-jam membaca, menyerap kata-kata dan cerita dari berbagai penjuru dunia. Saat orang lain terlelap di malam hari, dia masih terjaga membaca, terlena oleh dunia imaginatif yang hanya bisa ditemukan di antara halaman buku.
Tidak hanya sebatas pembaca, Rowen juga seorang pengumpul buku langka. Dia menjelajahi pasar gelap dan lelang untuk menemukan buku-buku yang sulit ditemukan, dengan hasrat untuk memiliki setiap karya tulis yang pernah ada. Meski mungkin dianggap eksentrik oleh beberapa orang, dia menemukan kebahagiaan yang tak tergantikan dalam dunianya yang terbuat dari kata-kata dan cerita. Setiap buku adalah jendela menuju petualangan tak terhingga, dan baginya, setiap halaman yang dibaca adalah langkah lebih dalam ke dalam kecintaannya yang tak ada tanding: maniak buku sejati.
—————————— 📖🪵 ——————————
Suatu hari, di tengah kesibukan hidup sehari-hari, dalam pencarian tak berkesudahan untuk menemukan buku-buku langka, Rowen pergi ke perpustakaan kota. Dia menemukan buku tua di rak yang kurang terawat, buku itu berjudul “Rahasia Narnia: Pintu ke Dunia Ajaib.” Dengan hati yang berdebar, Rowen menggenggam buku itu. Sampulnya yang berdebu dan halaman yang agak kuning memberikan kesan bahwa buku ini telah mengalami perjalanan panjang. Dengan rasa ingin tahu yang besar, dia membaca halaman demi halaman yang kuno.
Dengan suara bergetar “Rahasia Narnia… Pintu ke Dunia Ajaib. Apakah ini hanya cerita atau lebih dari itu?” Dia melanjutkan membaca, terhanyut dalam kata-kata yang menghidupkan kembali dunia Narnia. “Hutan yang tak terlukiskan, makhluk-makhluk ajaib, dan pintu menuju keajaiban. Apakah benar-benar ada tempat seperti ini?”
Matanya melambai seiring dengan petualangan yang dihadapinya dalam imajinasi. “Misterius… magis… sepertinya ada sesuatu yang lebih dalam di sini. Aku bisa merasakannya.” Dengan setiap halaman yang berlalu, Rowen semakin terperangkap dalam keajaiban cerita. “Faun yang bersahabat, rusa yang berbicara, dan Enchantoras yang bijak. Bagaimana mungkin suatu tempat seindah ini ada di luar sana?”
Dalam diam, dia merenung sejenak, merasakan kehadiran dunia Narnia meresap ke dalam dirinya.“Mungkin… hanya mungkin, ini lebih dari sekadar buku. Ini adalah undangan ke dunia yang belum pernah kurasakan sebelumnya.” Dia menutup buku itu, tetapi matanya penuh keinginan dan tekad. “Aku tak sabar untuk melangkah ke dalam pintu ini. Apakah Narnia benar-benar nyata, atau hanya mimpi di halaman kertas? Aku ingin tahu, dan aku siap untuk menemukan jawabannya.”
Terinspirasi oleh kata-kata dalam buku, Rowen memulai pencarian untuk menemukan pintu misterius tersebut. Dengan bantuan petunjuk yang tersembunyi di antara baris-baris buku dan referensi, dia akhirnya menemukan lokasi pintu di hutan terpencil.
Pintu itu nampak seperti pintu tua yang terlupakan, tertutup rapat oleh lumut dan tanaman merambat. Dengan hati berdebar, Rowen berjalan mendekat lalu membukanya, dan seketika itu, dunia di sekitarnya berubah. Hutan terpencil yang tadinya biasa kini menjadi Narnia, dunia yang penuh keajaiban. Rowen melangkah masuk ke dalam pintu Narnia, dan tak lama setelah dia berjalan beberapa langkah, dia disambut oleh makhluk-makhluk ajaib yang menghuni dunia ini. Faun yang ramah tersenyum padanya, rusa berbicara memberikan sapaan, dan burung-burung dengan sayap berwarna-warni terbang mengelilinginya.
Tak jauh dari sana, keempat Enchantoras, berdiri disana, rupanya mereka telah menunggu kedatangannya. “selamat datang, pahlawan dari dunia luar,” ucap mereka serentak. Mereka menceritakan tentang perjalanannya yang akan datang, mengungkapkan bahwa dia telah dipilih untuk membantu melindungi Narnia dari ancaman kegelapan yang mendekat.
“Petualanganmu akan dimulai; kamu akan menjelajahi tanah ajaib ini, maka dari itu, belajar kebijaksanaan dari Aslan, sang pelindung Narnia.”
—————————— 🍃🪵🌳 ——————————
2 notes
·
View notes
Text
Telah selesai, bagaikan akhir bab dalam buku perjalanan kita. Aku telah membaca setiap kisah, merasakan setiap emosi, dan mengejar setiap mimpi sampai ke halaman terakhir. Kini, kita sampai pada akhirnya, dan aku akan menyimpanmu dalam rak istimewa yang bernama "ingatan".
Namun, tahu bahwa ingatan ini tidak akan terkubur atau terlupakan. Seperti buku-buku terpilih di rak, kisah kita akan tetap hidup dalam warna-warni kenangan. Aku berjanji untuk menjagamu dari debu waktu dan membuka kembali halaman-halaman itu ketika kerinduan menghampiri.
Terkadang, kita harus menutup buku untuk membuka yang baru. Tetapi, di dalam rak ingatan, kisah kita akan selalu menjadi bagian dari perpustakaan hati. Meski bab ini berakhir, kisah tak pernah mati, dan namamu akan selalu menghiasi halaman-halaman indah di dalamnya.
2 notes
·
View notes
Text
Sepanjang hari, sepanjang malam itu aku hanya memikirkanmu. Tidak tahukah kamu aku sangat menyukaimu?
Hari ini aku memberanikan diri untuk berbicara denganmu. Aku mengetik ulang kalimat yang kuketik dalam ponselku. Rasanya malu bahkan hanya memikirkan wajahmu. Tahukah kamu aku sangat menyukaimu?
Suatu hari kamu datang padaku untuk menunjukkan buku yang terselip di rak perpustakaan. Mengapa tak ada bahasan untukku bisa berbicara denganmu? Tidak tahukah kamu bahwa aku sangat ingin mendengar suaramu?
Ku lihat kamu menggendong tas hitam di punggungmu. Aku tahu itu adalah gitar yang sempat kamu pamerkan di media sosial tempo lalu. Tak bisakah kamu menyanyikan sedikit lagu untukku? Tahukah kamu aku sangat ingin mendengar suaramu?
Berapa banyak hari yang telah dilalui. Berapa banyak momen yang terlewat dengan menyisakan cerita. Aku tidak pernah tahu apakah arti setiap momen itu bagimu.
Yang aku tahu, hanya berdiri disampingmu saja adalah kebahagiaan bagiku.
ND_23:50 Tte, 231228
6 notes
·
View notes
Text
Praktek Kerja Lapangan di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Grobogan
atas nama;
Muhammad Restu Bintang Pratama (25)
XII TKJ 2
assalamualaikum wr wb
Selamat hari selasa dan berbahagia semuanya.
Saya berangkat hari ini pukul 07:30 wib dengan lancar aman dan tanpa kendala,saya sampai disana dengan badan yang utuh serta sangat bersemangat menjalanlan pekerjaan yang saya lakukan hampir setiap pagi,pertama saya mengecek satu satu buku yang sudah terdata "sudah dikembalikan"
selesai mengecek buku yang sudah terdata,saya lanjut menyusun buku/merapikan buku yang berantakan.
setelah itu saya menganulir data data pada survey kepuasan masyarakat,ya cuman di cek cek aja sih
selesai itu saya membaca buku sebentar
lalu saya kembalikan lagi,budayakan memgembalikan pada tempatnya lagi ya guys
setelah saya selesai membaca dan merapikan kembali,saya mulai memasang kembali tag-tag tentang isi buku pada rak tsb.
tiba tiba bu histo datang...
dan kita fotbar dulu😜
setelah berpamitan dan bu histo pulang,saya melanjutkan mengisi sebuah data tentang "aset" dinas ini,yang kemarin saya data bersama pegawai dinas,"gambarnya lupa ngga di ambil".
Sudah selesai untuk satu hari ini,sebenarnya banyak pekerjaan nya tapi tidak terdokumentasi dengan baik,mohon maaf izin pamit,burung pipit burung camat,terima kasih dan mohon hormat🙏
oiya ini saya jadi damkar dadakan.
wassalamu'alaikum wr wb
3 notes
·
View notes
Text
10
Sendiri dalam Ilusi
Sendiri berjalan ditengah malam nan sepi
Kian jauh melangkah, semakin gelisah
Suara almarhum Chrisye memenuhi gendang telingaku. Alunan piano itu merayap masuk melalui headset yang kubeli di festival dulu. Damai, itu yang kurasa setiap kali mendengarnya. Seolah aku berada dalam dimensi lain yang membuatku merasa tenang, nyaman, tanpa beban.
Hari ini pikiranku sangat kacau tak karuan. Entahlah, kurasa setiap orang merasakan hal yang sama. Menerka-nerka tentang apa yang ingin dilakukan.
"Kemana selanjutnya akan melangkah? Apa tujuanku sebenarnya? Apakah akan terus seperti ini?"
Pertanyaan itu selalu melayang-layang di ruang kesadaran; siang dan malam.
Untungnya, suara Chrisye selalu menyelamatkanku. Lagunya yang berjudul "Sendiri" telah kuputar 3 kali sejak aku duduk di halte bis ini.
Langit biru berubah menjadi kelabu. Sang awan telah mengalahkan sang mentari. Gemuruh petir riuh sana sini tanda akan turun hujan. Orang berseragam sibuk kesana kemari mencari tempat berteduh. Rehat sejenak untuk menenangkan tubuh.
Tak lama kemudian, hujan pun turun. Membasahi bumi yang lelah karena polusi. Memberi kesempatan untuk tanaman yang rindu akan hujan.
Jalanan agak sepi, mungkin karena hujan. Tapi, pikiranku tak sepi sama sekali. Ramai seperti karnaval.
Aku memejamkan mata untuk mengosongkan pikiran. Suara rintikan hujan, aroma tanah yang khas, gemuruh petir, dan riuh angin menyatu padu menjadi simfoni alam. Tak pelak, suara Chrisye pun masih terus kuperdengarkan. Syahdu.
Irama konser alam ini seperti lagu pengantar tidur. Sayup-sayup suaranya mulai menghilang, menandakan ku mulai masuk ke alam bawah sadar.
"Permisi, bolehkah aku duduk disampingmu?" tiba-tiba seseorang mencolekku, mengacaukan ritual melepas penatku. Sambil menunjuk tempat duduk, orang tersebut meminta izin untuk duduk di sampingku.
"Duduk saja, kau tak perlu meminta izin kepadaku. Lagipula halte ini bukan milikku." Aku sedikit kesal.
"Maafkan aku karena membangunkanmu. Aku hanya butuh seseorang untuk diajak berbincang." Ia bicara sedikit menunduk.
"Baiklah, lupakan." Aku tak menghiraukan.
Hening.
Cih, aku sudah tak bisa melanjutkan ritualku. Gara-gara orang ini tiba-tiba muncul entah darimana, dengan seenaknya membangunkanku yang sedang menikmati konser alam.
Tapi, aku penasaran dengannya. Diam-diam aku meliriknya, sepertinya tidak asing. Seorang laki-laki berkacamata memakai kemeja hitam lengan panjang yang dilipat sampai siku. Sepertinya dia kutu buku. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Rambutnya sedikit kriting, atau entahlah bergelombang mungkin?
Aku menerka-nerka, siapakah orang ini?
Oh, aku ingat. Dia adalah orang yang kulihat di perpustakaan umum tadi. Sempat aku memperhatikannya, sedang duduk di sudut perpustakaan rak buku Filsafat Sejarah.
"Oh ya, hari ini hari spesialmu. Selamat beranjak dewasa" ia tersenyum, memecah keheningan.
Aku terkejut, sedikit menggeser posisi duduk. Bagaimana bisa ia tahu hari ulang tahunku? Padahal teman-temanku saja tak ada yang ingat. Pengingat hari ulang tahun di sosial media? Aku menggunakan tanggal palsu. Bagaimana mungkin?
"Sudah kuduga. Kau pasti terkejut. Tenang, aku bukan orang aneh. Aku kan bagian dari dirimu." ia sedikit tertawa melihat ekspresiku.
Hah? Bagian dari diriku? Lelucon macam apalagi ini?
"Bicara apa kau ini? ngawur sekali" kataku sambil membuang muka ke jalan "tapi, baiklah terimakasih atas ucapannya."
"Ngomong-ngomong, mengapa kau menggunakan tanggal palsu di akun media sosialmu? Bukankah itu bisa jadi pengingat untuk teman-teman yang ingin mengucapkan selamat untukmu?" dia bertanya seolah telah lama mengenalku.
"Bukannya ku tak mau, tapi aku hanya ingin tahu saja siapa yang benar-benar menjadi temanku. Bukankah teman sejati tak perlu pengingat untuk memperingati hari ulang tahunku?" aku menjelaskan.
"Lantas, adakah temanmu yang mengingatnya? Yang memberi hadiah atau sekedar mengucapkan selamat untukmu?" dia cerewet sekali.
"Tidak ada, hanya kau satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahunku," aku menghela napas
"lagipula aku tak peduli dengan semua ini. Tidak ada teman yang mengingat hari jadiku, itu sudah merupakan hadiah istimewa untukku."
"Sudahlah, tak perlu khawatir,"dia menatap ke jalanan, aku terus memperhatikan.
"Semakin dewasa seharusnya kau sadar, jika satu persatu teman-temanmu akan menghilang" Ia terdiam, kemudian melanjutkan, "bukan, bukan karena keinginannya. Memang seperti itulah kerjanya. Mereka sibuk terbang dengan sayapnya sendiri untuk mengejar mimpi yang telah mereka rancang. Dan tak ada waktu untuk melirikmu atau bahkan membawamu terbang. Kau juga punya sayap, bukan? Terbanglah dengan sayap sendiri, setidaknya saat kau jatuh, kau tak akan menyusahkan orang lain."
Sayap? Aku suka perumpamaan itu. Dia benar, sudah seharusnya aku tak terlalu bergantung dengan orang lain.
"Jadi, apa harapanmu hari ini?"
"Harapanku banyak. Tapi, bisa bahagia dan merasa tenang dalam menjalani hidup bersama orang yang dicinta, itu sudah cukup."
"Ahh, begitu. Apa kau pikir selama ini hidupmu tak bahagia? Merasa gelisah tanpa tau penyebabnya apa?"
"Ya, bisa dibilang begitu. Dulu aku pernah merasakan hal yang sama. Tapi, waktu itu aku minta kepada Tuhan supaya mengirimkan seseorang untuk mengubah hidupku. Dan benar saja, itu terjadi."
Dia terus mendengarkan.
"Namun, setelah kupikir ia berhasil mengubahku, ia tiba-tiba pergi. Dan aku pun tak mau lama-lama untuk singgah atau terus menerus bergantung padanya. Kupikir Tuhan hanya memberikan beberapa waktu saja untuk mengubahku lewat orang itu. Tuhan pasti memiliki alasan kenapa Dia mempertemukannya denganku. Bisa saja dengan kehadirannya Tuhan sedang mengujiku. Apakah dengan hadirnya dihidupku akan memperkuat cintaku Pada-Nya? Atau justru melemahkan cintaku pada-Nya? Tuhan pasti punya banyak alasan.
"Dan waktu itu, aku tak terlalu peduli jika ia pergi. Aku hanya berpikir, jika aku berubah karena seseorang, sebenarnya aku belum benar-benar berubah. Justru itu yang membuatku jauh dari jati diri sebenarnya. Walaupun pada akhirnya, aku harus tetap berterimakasih padanya dan Tuhan sudah tentu yang utama" Pikiranku melesat menuju lorong waktu kembali ke masa lalu.
Dia hanya terdiam, memerhatikan.
"Tapi sekarang, aku merasa kekosongan itu datang lagi" aku tertunduk.
"Sudahlah, tak perlu khawatir lagi," akhirnya dia angkat bicara "kau tahu rahasia agar hidup tenang?"
Aku menggeleng.
"Kau hanya perlu melakukan satu hal yang sempat kau lakukan dulu. Kau pun tahu jawabannya. Tapi, karena beberapa hal, mungkin kau melupakannya. Biar kuingatkan, sekali lagi." ia menggantung kalimatnya, seperti sengaja untuk membuatku penasaran.
"Ingatlah Tuhanmu, Alloh." ia tersenyum.
"Libatkan Tuhan dalam segala hal. Bukankah kau bilang Tuhan telah menghadirkan seseorang saat kau minta? Walau pada akhirnya, Tuhan juga yang membuatnya pergi. Tapi, percayalah, apa yang ada di sisi Tuhan, itu lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi."
Aku terus memperhatikan.
"Dan ada hal yang harus selalu kau ingat. Kau harus senantiasa menerima apa yang Tuhan berikan dan merelakan apa yang Tuhan ambil kembali. Lapangkan dadamu, luaskan hatimu, jernihkan pikiranmu. Itu sudah cukup untuk membuatmu bahagia dan tenang"
Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi. Dia benar, aku terlalu naif untuk terus mengandalkan diri sendiri. Padahal aku pun tahu, bahwa Tuhan yang menentukan segalanya. Tidak mungkin Tuhan menelantarkan hambanya.
Bodoh. Aku telah mengerdilkan kuasa Tuhan.
Blarrr. Suara petir tiba-tiba menyambar.
Sayup-sayup suara Chrisye terdengar kembali.
Bayu dingin lalu,
tapi tak mengedip sayu
Rembulan menyuram
Tiada terbayang
Harapan..
Sial. Leherku sakit. Aku merasa pegal diseluruh tubuhku. Aku menguap mengerjap-ngerjapkan mata. Membenarkan headset sebelah kiri yang sejak tadi terlepas di telinga.
Waktu telah menunjukkan angka 6. Hari mulai berganti malam tapi dari tadi belum ada bis yang datang.
Aku melihat sekeliling. Nihil tak ada siapa-siapa. Beberapa kendaraan lewat tanpa permisi. Lampu jalanan telah menyala sebagaimana mestinya.
Aku menghela nafas panjang. Menutup wajahku dengan tangan. Mengingat-ngingat apa yang baru saja terjadi. Percakapan sebentar, dengan orang tak dikenal.
Sial. Dia menghilang.
Aku cukup lama terdiam. Menerka situasi.
Aku keliru, dia tidak hilang. Karena sebenarnya dia tidak pernah benar-benar ada. Dia tidak nyata!
Sampai akhirnya ku sadari, dia hanyalah ilusi yang kubuat sendiri.
Sendiri melangkah di jalan remang membisu
Ku nanti engkau sinar
Bersama
Sang fajar..
Ruang Ilusi, 22 Januari 2023
Catatan: Cerita ini kutulis pertama kali pada tahun 2020. Setelah melalui beberapa revisi, akhirnya selesai di tahun ini, 2023! Selamat membaca, walaupun kuyakin tulisan ini masih banyak kekurangannya.
#catatan#semesta#note#quotes#duniaku#selfreminder#bayangan#menulis#cerpen#positivity#beranjak#dewasa#artoftheday#artists on tumblr#photooftheday#photography#typography#Spotify
12 notes
·
View notes
Text
Rumah Mimpi
Setahun sebelum rencana CC Farmasi Jalan-jalan dilaksanakan kami sudah berencana akan staycation di Bogor. Tapi hari berlalu dan rencana berubah. Setelah mempertimbangkan beberapa hal akhirnya kami staycation di Bandung. Di sebuah rumah, rumah impian bagiku.
Rumah itu dua lantai. Lantai dua berisi tiga kamar dan ruang ibadah. Lantai pertama berisi ruang keluarga. Ada meja makan panjang dengan pemandangan rak buku berjejer sekitar 4 meter. Rak buku itu berisi berbagai buku yang tersusun rapi sesuai kategori buku yang dikehendaki pemilik rumah. Ada beberapa buku yang menarik karena aku tahu persis buku-buku ini hanya akan dibeli oleh mereka yang ingin memperdalam pemahaman tentang agama. Tentang bagaimana keagungan-Nya. Tentang bagaimana perjalanan pembawa risalah itu.
Sudut lain aku melihat sisi akademisi dari pemilik buku-buku itu. Ada beberapa yang pernah ku baca. Namun lebih banyak yang belum ku baca. Aku punya keinginan kuat untuk mempunyai rumah buku, minimal dirumahku sendiri.
Aku ingin membangun rumah buku. Awal mula terinspirasi memiliki rumah buku ketika aku sedang kuliah kerja nyata di Desa Sangiang, Bima, Nusa Tenggara Barat. Sumringah dan bahagia anak-anak itu masih tergambar dalam ingatanku. Mereka hanya bisa membaca sepekan sekali di hari Minggu. Taman membaca itu dibuat di pinggir Pantai Sangiang. Pembuatnya adalah seorang pemuda sangiang yang merantau ke Kota Pelajar, Yogyakarta.
Semangat pemuda ini membuatku terpantik mengingat kalimat "buku adalah jendela dunia". Rasanya bahagia melihat anak-anak membaca buku daripada sibuk bermain game online atau menonton youtube. Rasanya ingin berkontribusi mengembalikan masa kecil anak-anak yang jauh dari kecanduan gawai.
Sepulang kuliah kerja nyata, keinginan memiliki rumah buku semakin menguat. Akhirnya aku dan keluarga membeli rak buku yang lebih besar. Harapannya bisa diisi beragam kategori buku. Bukan hanya buku yang ku butuhkan namun juga buku anak-anak. Ingin rasanya mengadakan open house taman baca untuk anak-anak disekitar rumahku. Tapi sebelum hal itu dilakukan, aku harus memiliki buku anak-anak lebih banyak, entah dengan membeli atau menerima kiriman buku dari kawanku.
Hal lain yang ku suka adalah tiap membeli buku baru. Saat-saat buka buku baru itu selalu jadi momen yang ku tunggu. Selain aku menyukai wanginya, aku lebih suka rasa penasaran yang muncul atas banyaknya hikmah yang akan aku pelajari dari buku itu.
Buku memang bukan satu-satunya sumber ilmu, tapi buku adalah salah satunya. Rumah buku masih akan tetap ada dalam wishlistku. Aku yakin dapat mewujudkan rumah buku itu didaerahku dalam 5-10 tahun kedepan. Beberapa strategi akan ku susun untuk langkah nyata komitmen diri mewujudkannya.
Salah satu inspirasiku adalah Negeri Buku. Sebuah yayasan milik seorang yang ku kenal karena keluasan ilmunya dan kegigihannya meningkatkan literasi anak Indonesia. Negeri Buku mengirimkan buku-buku ke pelosok secara sukarela. Buku yang diperoleh berasal dari teman-teman yang punya value sejalan atau berasal dari donasi teman-teman yang ingin berkontribusi.
Beberapa pekan lalu aku melihat informasi negeri buku mengirimkan berkilo-kilo buku ke pelosok negeri. Sumbangsihnya dalam meningkatkan literasi anak-anak sungguh sangat menginspirasi.
Mimpiku selain membuat rumah buku adalah membuat rumah tumbuh. Di dalam rumah itu tentu ada perpustakaan. Tempat yang nyaman untuk mengerjakan tugas, membaca, atau sekedar beristirahat dari bising. Rumah yang didalamnya akan diisi mahasiswi berbagai daerah yang memiliki semangat juang tinggi. Rumah yang didalamnya ramai lantunan ayat-Nya. Rumah yang akan melahirkan kebermanfaatan yang deras alirannya. Rumah yang akan menumbuhkan seisi penghuninya. Rumah yang kelak akan menjadi saksi bahwa di bumi kami pernah berjuang menegakkan hal yang Allah suka, saling menguatkan, dan terus menghasilkan karya untuk kemajuan peradaban. Rumah mimpiku adalah rumah buku dan rumah tumbuh.
10 notes
·
View notes
Text
Membunuh Waktu di Perpustakaan Kampus
Siang kemarin laptop yang sedang saya pakai mengetik tulisan ini kuantarkan kepada kawan yang memang punya pekerjaan menyerfis laptop. Tepatnya spesialis servise barang elektronik. Untuk urusan laptop yang rewel, sejak dulu saya selalu membawanya kepada kawan saya itu. Meski dalam perjalanan menuju tempat kerjanya saya melewati banyak ruko yang pekerjaannya menawarkan jasa yang sama. Bahkan yang lebih besar pun ada. Tetapi untuk kepuasan hanya kawan itulah yang paling baik. Setidaknya menurut ukuran saya.
Sembari menunggu laptop saya selesai untuk di obati, saya membuang waktu untuk berkunjung pada satu-satunya kampus negeri di kota tempat saya tinggal. Mumpung lokasinya hanya sepelemparan dari tempat saya nyerfis. Kebetulan pula, saya memang pernah nyangkut disana. Meski pada kenyataannya beasiswa hingga kelulusan dan beberapa fasilitas yang diberikan oleh negara kepada saya harus saya tinggalkan begitu saja (bukan karena Drop Out).
Singkatnya saya jenuh berkuliah dengan metode yang mungkin dari dulu hingga sekarang masih seperti itu. Tepatnya seperti hanya saat di Madrasah Aliyah Negeri atau SMA. Barangkali pembedanya hanyalah di seragam saja.
Maksud saya masuk ke kampus adalah untuk mengenang masa-masa saya berkuliah dulu. Sekaligus menemani teman saya jalan-jalan, meski yang tampak adalah tata ruang kampus sudah banyak yang berubah terutama pohon-pohon dan tanaman semuanya telah berubah menjadi batu. Gedung-gedung semakin bertambah banyak dan bertambah tinggi. Itu pula yang banyak membuat areal kampus kehilangan ruang terbuka hijau.
Satu-satunya yang saya kunjungi dikampus itu adalah perpustakaan yang kini telah berpindah tempat. Semasa kuliah dulu, perpustakaan di kampus tersebut memang sudah bertingkat dua dengan koleksi buku yang melimpah. Dari kitab gundul hingga yang gondrong, dari judul kapitalisme hingga sosialisme hingga wacana kiri lucu-lucu, kanan lucu-lucu dan sebagian tengah lucu-lucu. Pun jika dibandingkan dengan perpustakaan kota, koleksi dari perpustakaan kampus ini masih jauh melimpah.
Perpustakaan itu telah memiliki ruangan yang semakin besar, dingin oleh hembusan AC dan memiliki beberapa tambahan meja baru, komputer dan staf. Sayangnya setelah saya bertawaf dari lemari yang satu ke lemari yang lain, perpustakaan itu justru koleksinya semakin berkurang. Saya bisa tahu karena dulu saya termasuk pengunjung perpustakaan terbaik. Bukan pembaca yang baik, tentu berbeda bukan?.
Beberapa judul sejak dua dekade lalu masih bertahan tapi jumlahnya yang menyusut. Saya sendiri tidak tahu apa faktor penyebabnya. Mungkin di kunjungan berikutnya akan saya telusuri. Kebetulan kepala perpustakaannya masih mengenali saya. Barangkali karena waktu kuliah dulu kami sering mengundangnya berdiskusi atau cerita dibawah pohon besar yang letaknya tepat tengah kampus. Atau karena kepala perpustakaan tersebut menganggap saya sebagai selebritis (penjelasan soal ini panjang, dan saya tak akan menuliskannnya disini. Tidak penting!).
Saya akan fokus berdasarkan pengamatan sejak siang hingga jam berkantor selesai. Apa yang saya amati ini memang masih sangat subjektif, karena memang baru akan saya cari tahu setelah kunjungan kedua sebagaimana yang telah saya tuliskan diatas.
Untuk besaran gedung dan koleksi buku sangat berbanding terbalik. Jumlah staf yang membengkak justru tidak menambah kualitas layanan dan penataan buku. Padahal sejak dulu aturan yang berlaku adalah buku yang telah dibaca, diletakkan saja diatas meja. Mengapa? Agar memudahkan staf untuk menyusun atau mengembalikan pada lemari yang sama. Saya tidak tahu apakah aturan perpustakaan se Indonesia memang memiliki aturan demikian. Tetapi sudah semestinya demikian bukan?
Saya kesulitan menemukan buku yang saya cari. Apakah karena tata letak, atau memang karena buku itu sudah digudangkan. Sekali lagi saya tak ada waktu untuk menanyakan hal itu pada kunjungan pertama saya. Belum lagi posisinya sudah tidak sesuai dengan keterangan klaster yang tertulis di samping rak buku yang berjejer ibarat tentara lagi apel.
Keramahan staf tidak bertambah kualitasnya, meski secara akademik gelar mereka semakin bertambah. Bayangkan, orang yang berjibaku dengan ribuan judul buku selama bertahun-tahun pola menegurnya masih bar-bar untuk ukuran zaman sekarang.
Para pembaca diteriaki seperti orang yang berada diseberang sungai. Bukankah pada dinding perpustakaan tersebut telah tertulis di beberapa tempat yang strategis kalimat “DILARANG BERISIK” kalimat itu juga ada yang mulai keminggris seperti “DONT BE NOISE”. Belum lagi kalimat tegurannya bias gender dan toxic relationship. Tentu itu adalah preseden yang buruk.
Untuk hal teknis lainnya saya nyaman-nyaman saja. Seperti lemari penyimpanan barang meski barang berharga seperti emas, handphone dan dompet mesti dibawa dan jadi tanggung jawab pengunjung. Atau ruangan yang ber AC membuat ruangan sejuk meski saya tak tahu apakah punya pengaruh pada kelembaban kertas yang berpotensi merusak atau bagaimana? Termasuk Mushollah yang dari pengamatan singkat saya masih tertulis “KHUSUS AKHWAT” dan ada juga fasilitas kamar mandi yang lumayan bersih dan tidak bau khas.
Sementara dipintu masuk, sepatu mesti dilepas. Nampak berserakan karena memang tak ada rak yang di(ter)sediakan. Untuk saat ini saya bisa memaklumi mengapa pengunjung harus melepas alas kaki, karena memang area sekitar perpus masih berupa timbunan. Jika dikenakan bisa membuat ruangan berdebu dan kotor. Tentu ini akan merepotkan jika musim hujan dan pengunjung ada yang kaos kakinya berbau terasi, hehehe.
Sejauh ini halaman masih belum ada upaya untuk meratakannya apakah dengan rumput atau paving block. Kita bisa makfum, karena ini adalah soal kebijakan dan “politik anggaran” dari para petinggi kampus. Singkatnya proyeknya belum realisasi.
9 notes
·
View notes
Text
Di Perpustakaan part.4
《Cerita sebelumnya, di Perpustakaan part.3 》
‘Tapi,. hari ini kita belajarnya di lantai dua ya. Aku pengen ganti suasana’
'gapapa kan?'
Setelah menyimpan tas di loker, kami berjalan menaiki tangga yang berada di sebelah kiri meja administrasi tempat pak Muji sedang berkutat dengan pendataan buku yang keluar masuk hari ini.
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di lantai dua perpustakaan. Gedung perpustakaan utama terdiri dari 6 lantai. Lantai pertama adalah ruang administrasi tempat pak Muji berkerja dan tempat penitipan barang para pengunjung. Dari lantai satu, ada dua jalur tangga. Tangga pertama dekat meja administrasi, mengarah ke lantai dua. Satu lagi tangga yang menuju ke bawah, posisi nya dekat loker penyimpanan yang berada di seberang ruangan.
Lantai bawah lebih dikhususkan sebagai ruang belajar dan tempat diskusi. Selain ada booth yang menempel di sisi ruangan, ada meja meja panjang di tengah ruangan. Ada beberapa rak buku dari besi dengan koleksi buku teks yang biasa dipergunakan oleh mahasiswa tingkat satu. Ruangan dan koleksi buku disini kentara sekali menunjukan sensasi barang yang masih baru.
Situasi yang sangat berbeda kurasakan di lantai dua. Hanya ada beberapa meja kecil yang menyambut pengunjung begitu memasuki ruangan. Sisa space ruangan diisi oleh barisan rak-rak buku dari kayu yang terlihat cukup tua.
Setelah menyimpan alat tulis dan kumpulan latihan soal di salah satu meja terdekat, aku memutuskan untuk berkeliling sejenak. Luna tampak asik membuka-buka lembar soal, tidak tertarik untuk berkeliling. Nuansa ‘jaman old’ sangat terasa di ruangan ini. Dengan koleksi buku yang relatif spesifik untuk bidang-bidang tertentu, lantai ini cukup jarang didatangi pengunjung.
Aku tertegun di salah satu sisi ruangan yang menghadap ke arah jalan depan perpustakaan. Di sisi ruangan ini, dindingnya terbuat dari kaca tebal. Aku bisa melihat ke arah luar gedung, ada banyak civitas akademika yang berlalu lalang di depan gedung. Area ini memang ramai, di seberang jalan ada gedung penelitian sembilan lantai yang dikenal dengan nama gedung PAU dan tepat di bawah jalan, ada kompleks unit kegiatan (semacam ekskulnya anak SMA) mahasiswa.
‘lagi liatin siapa mas?’, tanya seseorang disebelahku.
‘eh pak Muji, enggak pak lagi liat random aja orang lalu lalang.’ Jawabku
‘ooh, kirain lagi scouting mahasiswi, hehe’ pak Muji terkekeh.
‘engga kok pak,. Saya kesini mau numpang belajar’ jawabku.
‘belajar apa pacaran, hayooo’ goda pak Muji sambil matanya melirik ke arah Luna yang sedang tenggelam dalam rumus-rumus kalkulus.
Pipiku terasa hangat mendengar celetukan pak Muji. Merasa obrolan ini hanya akan berputar di tempat, aku ijin untuk kembali ke meja tempat luna berada. Pak Muji yang masih terkekeh beranjak ke rak buku terdekat. Mungkin sedang merapikan posisi buku-buku yang tidak sesuai dengan tempatnya.
‘ngobrol sama siapa?, tanya Luna.
‘sama pak Muji, tadi bapaknya lagi beres-beres buku di rak deket dinding kaca’
‘ngobrolin apa? Ngobrolin aku ya?, luna bertanya dengan tatapan menggoda..
Aku tidak menggubrisnya dan pura-pura fokus dengan soal kalkulus yang ada di depanku. Meskipun mataku terpaku pada lembaran soal, aku bisa merasakan ada tatapan yang tertuju kepadaku. Ingin rasanya menoleh, tapi,. Niat itu segera kuurungkan.
Meja tempat kami berdiskusi berada di dekat tangga, letaknya berseberangan dengan dinding kaca. Gedung perpustakaan menghadap ke arah barat, semburat senja masuk ke ruangan perpustakaan lewat dinding kaca. Begitu matahari berangsur terbenam, tempat duduk kami menjadi yang paling pertama kehilangan suplai cahaya. Hari mulai gelap.
‘disini ada saklar lampu ga?; tanyaku pada luna. Luna mengangkat kedua tangannya pertanda tidak tahu. Di ruangan ini hanya beberapa lampu di tengah ruangan yang menyala, sedangkan lampu lampu lain di tepi ruangan tidak dinyalakan. Mayoritas pencahayaan berasal dari cahaya yang masuk lewat dinding kaca.
Tadinya, aku bermaksud untuk meminta pak Muji menyalakan lampu tapi luna mengajakku turun. Dia tampaknya sudah mumet dengan sesi belajar sore ini. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami kembali turun ke lantai satu.
Kontras dengan kondisi di lantai dua, lantai satu disesaki banyak mahasiswa yang kutaksir adalah tingkat pertama sepertiku. Beberapa ada yang sedang mengambil barang di loker, sedangkan mayoritas sisanya sedang mengantri di depan meja administrasi.
Pak muji terlihat sibuk sekali.
Menjelang minggu-minggu ujian, banyak mahasiswa yang meminjam buku ke perpustakaan. apa lagi besok weekend,. Jadwal studi mandiri pasti akan padat. Dari arah tangga yang menuju ke bawah terdengar suara ramai. Aku yakin ruang diskusi di bawah pasti sedang penuh-penuhnya. Keputusan luna mengajakku belajar di lantai dua sangat tepat.
Setelah mengambil tas dari loker penyimpanan, kami menghampiri meja administrasi untuk pamitan ke pak Muji. Mahasiswa yang tadi bergerombol sudah tidak terlihat. Batas waktu peminjaman dan pengembalian buku untuk hari ini sudah ditutup.
‘Sibuk banget ya pa kalo weekend?, tanyaku pada pak Muji.
‘iya de, apalagi kalo menjelang minggu ujian. Bapak dari tadi ashar ampe ga sempat berdiri. Teruus aja input data. Banyak banget buku yang keluar masuk’.
‘duh, kasihan pak Muji. Jangan sampai telat makan ya pak.’, ungkap Luna iba. Berbeda dengan hari- hari sebelumnya, situasi perpustakaan sore ini hectic sekali.
Langit mulai gelap ketika kami keluar dari gedung perpustakaan. Dari luar, aku memandang dinding kaca gedung perpustakaan yang menghadap ke jalan. Lantai dua, tiga, empat dan lima semuanya menggunakan dinding kaca pada sisi yang menghadap ke depan. Dari luar, terlihat deretan rak-rak buku yang dipenuhi oleh koleksi beragam ilmu pengetahuan.
Sekilas, aku melihat siluet seseorang di lantai dua, posisinya dekat tempat aku dan pak Muji berbincang tadi. Respect, di usianya yang sudah tidak muda pak Muji masih terlihat giat bekerja. Benar-benar mencerminkan kegigihan civitas akademika di kampus ini.
‘ eh Jan, besok malam kamu ada agenda ga?’, tanya luna. Ada kesan ragu-ragu dalam pertanyaannya.
‘engga sih, paling belajar aja. Kenapa gitu?’
‘besok sore aku ada kegiatan unit. Mungkin baru selesai jam sembilan atau setengah sepuluhan.’
‘kalo ga ngerepotin, bisa ga kamu jemput aku besok malam? Aku takut kalo pulang sendiri.’
‘….’
Besok. Sabtu malam. Malam minggu.
Apakah ini ajakan malam mingguan?
5 notes
·
View notes
Text
Kalau nanti punya suami ingin rasanya yang bisa kolaborasi nulis buku dan terbit, aamiin
Biar nama kita yang tersebar bukan hanya bersanding di undangan tapi juga terpajang di rak toko buku dan rak perpustakaan
2 notes
·
View notes