Tumgik
#pesan terakhir
temanceritaindonesia · 7 months
Text
Aku Takut Ma, Ma Tolong
Bikin merinding Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri
Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri Korban bernama Bintang Balqis Maulana, usia 14 tahun, tewas mengenaskan disaat tengah menempuh pendidikan di pondok pesantren PPTQ AL- Hanifiyyah, desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. 5 hari sebelum tewas dianiaya, Bintang Balqis Maulana, diketahui sempat mengirim pesan kepada mama kandungnya, Suyanti. Bintang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mylyrics89 · 10 months
Text
Seventeen - Tanpa pesan terakhir ( Lirik Lagu )
youtube
Lirik
Hidup terlalu singkat untuk cerita Tentang kau dan aku Kau pergi tanpa pesan terakhir Dariku yang menyertaimu Kau selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Ada yang hilang dalam hari-hariku Saat tak bersamamu Kau selalu ku kenang dan selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Medium : https://medium.com/@MyLyrics89/seventeen-tanpa-pesan-terakhir-lirik-lagu-5436b844af62
1 note · View note
kurniawangunadi · 10 months
Text
33 Tahun : Dinamika, Kestabilan, dan Tujuan
Alhamdulillah tiba masanya di usia 33 tahun. Sepuluh tahun yang lalu aku masih menjadi mahasiswa yang baru akan sidang tugas akhir, menggendong segudang pertanyaan akan ke mana setelah lulus nanti. Pertanyaan yang akhirnya telah kujalani jawabannya dalam 10 tahun terakhir.
Dinamika di usia ini berbeda, dulu kupikir kalau sudah melewati fase Quarter Life Crisis di rentang usia 20-30, berikutnya akan baik segala sesuatunya. Ternyata tidak gais! Ada fase krisisnya sendiri, bahkan ketika memiliki pekerjaan - masih mempertanyaan apakah diri ini akan menjalaninya seumur hidup, apakah akan selamanya bekerja ini sampai nanti di tepian liang lahat?
Belum lagi urusan pertemanan yang semakin selektif. Lebih cenderung mencari teman-teman sefrekeuensi di urusan-urusan dunia dan akhirat. Menghindari orang-orang yang rumit bin ruwet. Memilih untuk memperkecil lingkaran orang-orang dekat, tapi kebutuhan untuk meluaskan jejaring untuk membangun privilage untuk anak-anak tetap diperlukan. Semacam kontradiktif memang, tapi menjadi orang tua - mulai bisa merasakan apa yang diupayakan orang tua dulu, berusaha untuk memudahkan jalan anak-anaknya.
Di tengah pekerjaan yang sangat dinamis, ternyata menjalani hidup di usia ini cenderung untuk mencari kestabilan. Baik itu secara emosi, finansial, relasi, dan hal-hal lainnya. Kalau bisa tidak perlu bermasalah dengan orang lain atau apapun agar tidak mengganggu kestabilan ini. Jiwa-jiwa petualang terasa berbeda sekali, apalagi saat anak-anak mulai masuk usia sekolah. Penyesuaian terhadap waktu mereka, kebiasaan, dan hal-hal baru yang baru mereka temukan pertama kali dalam hidup sehingga tidak ada habisnya pertanyaan baru setiap hari atas rasa ingin tahunya yang membuncah, sudah cukup untuk menjadi tantangan hari demi hari.
Mulai memikirkan lebih dalam juga terkait tujuan dari akhir hidup ini. Apa sih yang mau dikejar dengan segala hal yang menyita waktu selama ini? Mulai lebih tenang ketika ada masalah, mulai lebih bijaksana (menurutku) dalam melihat kesempatan, sehingga tidak mudah teralihkan dari tujuan. Mulai menata lagi makna-makna hidup, mulai melihat diri sebagai makhluk yang kecil dan lemah, tidak ada alasan untuk sombong dan merasa paling benar.
Menjalani usia 30an ini benar-benar berbeda.
Pesan yang mungkin bisa kutinggalkan di sini ketika dibaca oleh teman-teman yang masih 20an, coba lakukan assesment ke dalam diri sendiri (bisa dgn bantuan ahli), apakah saat ini secara mental dan emosional ada hal yang perlu dibetulkan atau memang sudah matang. Sehingga jika ada hal di dalam diri yang perlu untuk kita sembuhkan lukanya, traumanya, maka selesaikanlah itu. Kalaupun memakan waktu, ambillah.
Sangat menenangkan bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Sangat menenangkan jika kita bahagia menjalani hidup dengan diri ini, dengan cara berpikirnya, dengan sudut pandangnya, dan juga dengan segala hal yang melekat pada badannya. Kurang dan lebihnya telah diri terima. Dan diri tahu betul, akan ngapain dengan badan dan jiwa ini.
Sampai bertemu di usia 30-an kalian. Nanti kita cerita-cerita lagi :)
174 notes · View notes
kaktus-tajam · 4 months
Text
Mulailah dari Gelisah
“Ada satu pesan terakhir?”
Ketika pada podcast LPDP aku ditanya satu pesan akhir, aku teringat nasihat mendalam dari KH Budi Ashari: “mulailah dari rasa gelisah.”
Eh gimana gimana? Rasa gelisah memangnya positif ya?
Ternyata yang dimaksud di sini adalah rasa keprihatinan pada suatu isu. Pada suatu masalah. Pada suatu problematika.
Rasa gelisah itu bisa amat berbeda di tiap orang. Ia hadir sebagai titipan pada hati tiap individu, yang beragam latar, cara pandang, pengalaman hidup, dan lingkungannya.
Kata kakak saya yang seorang dokter anak… banyaak sekalii bayi prematur di Indonesia yang tidak tertolong karena mahal dan terbatasnya inkubator. Kenapa harus impor inkubator sementara alat ini mudah dan murah dibuat? Kenapa harus mengikuti spek ukuran di jurnal ternama? Padahal realitanya di masyarakat, kamar mereka sempit dan bersebelahan dengan kandang kambing. Mana mungkin cukup? Kenapa alatnya terlalu berat sehingga sulit ditransportasi, sementara pasien kita hidup di pegunungan dengan akses jalan kaki terjal?
Ujar seorang Professor teknik mesin penggagas gerakan inkubator gratis untuk bayi prematur di Indonesia.
Aku sakit kanker kelenjar tiroid di usia muda, usia dimana seharusnya aku bersenang dan bermimpi. Tidak hanya fisikku yang sakit, mentalku jatuh. Padahal aku sendiri kuliah psikologi. Bagaimana dengan remaja dan pemuda lain di luar sana yang sendiri menghadapi sakit kronis? Yang dikucilkan? Yang tiap hari harus konsumsi obat? Yang tiap bulan tamasya-nya ke Rumah Sakit?
Ujar seorang penggerak komunitas pasien penyakit kronis.
Rasa gelisah itu tidak bisa direkayasa.
Rasa itu muncul dari belanja masalah pada realita. Muncul dari ilmu tentang kondisi ideal yang kemilau dari hasil literasi, diskusi, dan keyakinan atas ayat-ayat suci. Semakin berilmu, semakin gelisah.
Semakin tinggi ilmunya, semakin sadar akan standar ideal yang menjadi acuan, dan betapa tidak idealnya kondisi saat ini.
Sesederhana acuan penanganan “door-to-needle-time” pasien stroke 15 menit yang sulit diterapkan. Yang kemudian mendorong tim dokter saraf merevolusioner sistem pre-hospital penerimaan pasien stroke dengan mengintegrasikan alat CT scan di ambulans.
Atau sekompleks kenapa suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat terjadi di tengah masyarakat.. sementara pada kitab suci dan tuntunan Nabi telah dipercontohkan sebagai panduan. Yang kemudian membangkitkan seseorang berjuang mendirikan madrasah. Kemudian memberi akses pendidikan yang kini menjadi aliran amal… dari ribuan sekolah di Indonesia dari bangku TK hingga perguruan tinggi. Iya, KH Darwis, pendiri Muhammadiyah.
Rasa gelisah itu bukan kebetulan.
Dipertemukan tokoh ini dan itu, orang ini dan itu. Dipertemukan bacaan-bacaan buku. Dipertemukan guru-guru. Dipertemukan ujian ini, kondisi itu.
Jadi mulailah dari rasa gelisah. Jika belum menemukan rasa itu, mungkin itu tanda baik dari Allah untuk kita lebih semangat mencari ilmu, semangat belanja masalah, semangat membaca buku. Lalu temukan celah-celah itu. Celah besar antara realita dan kondisi ideal.
Berdirilah di celah itu, rasakan kegelisahannya. persempitlah celah itu, mulailah dari situ.
Tumblr media
Nanti akan Allah bukakan jalan untuk menjawab kegelisahannya.
InsyaaAllah.
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang amat peduli. Amat khawatir dan gelisah tentang kondisi umat dalam kondisi kebodohan dan kerusakan serta kebiadaban saat itu. Ber-tahannuts di gua Hira, bukan karena menghindari masyarakat, justru karena beliau SAW adalah sosok yang selalu hadir di tengah masyarakat.. Rasulullah SAW merasakan kegundahan, kegelisahan, keprihatinan mendalam.
Wallahua’lam.
-h.a.
Kalau kamu, rasa gelisahnya terhadap apa?
54 notes · View notes
auliasalsabilamp · 6 months
Text
Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadr
Cara mendapatkan lailatul qadr adalah beribadah semaksimal mungkin di 10 malam terakhir di bulan Ramadhan dan berusaha untuk sementara waktu meninggalkan hal-hal mubah yang bisa menurunkan kuantitas dan kualitas ibadah kita di 10 malam terakhir.
Ibadah apa yang bisa kita kerjakan di 10 malam tersebut sehingga kita bisa mendapatkan lailatul qadr, diantara amal dan ibadah yang bisa kita kerjakan :
1. Menjaga sholat wajib. Khususnya sholat Isya dan Subuh secara berjamaah. 2. Shalat tarawih berjamaah. 3. Memperbanyak membaca Al-Quran, usahakan minimal 100 ayat dalam sebuah malam. 4. Memperbanyak doa, khususnya doa: Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fakfuani, ya Allah sesungguhnya engkau dzat yang maha pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah diriku. 5. Memperbanyak muhasabah atau introspeksi diri, bertaubat dan beristighfar. 6. Memperbanyak dzikir, khususnya di akhir tengah malam. 7. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. 8. Berpenampilan baik, mandi, pakai baju yang bagus dan memakai parfum di 10 malam ini. 9. Bangunkan dan ajak keluarga kita untuk beribadah pada 10 malam terakhir ramadhan. 10. Lakukan semua ibadah dengan penuh keimanan dan keyakinan.
Lailatul Qadr = 1 malam lebih baik daripada 1000 bulan.
Selamat mencari lailatul qadr, ingat satu malam lebih baik daripada 1000 bulan dan hanya dengan cara habis-habisan beribadah di 10 malam saja.
Nabi ﷺ bersabda : "Barang siapa yang terhalang dan tidak mendapatkan lailatul qadr, maka ia telah terhalang dan tidak mendapatkan pahala yang sempurna dan ampunan yang menyeluruh yang diraih oleh orang-orang yang mendapatkan malam tersebut."
Pesan dari Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. حفظه لله تعالى | Ahad, 20 Ramadhan 1445 H.
83 notes · View notes
milaalkhansah · 2 months
Text
how depression feels like
#part2
"kalau aku lompat dari motor yang lagi jalan ini, aku bisa langsung mati ga ya"
"kalau aku minum obat pembersih wc ini sakitnya gimana sih? apa bisa langsung mati?"
"kalau pake piso kayaknya ribet deh,"
"gak mau pake tali, aku pendek gak bisa manjat,"
dulu, aku berpikir pemikiran-pemikiran seperti itu wajar saja dirasakan anak usia 14 tahun. wajar juga setelah 10 tahun berlalu, pemikiran-pemikiran itu gak pernah memudar. pemikiran bahwa tak ada lagi yang menyenangkan dalam hidup ini sehingga kematian kiranya menjadi pilihan yang lebih mudah. Benar kata Nadin Amizah, "hancur lebih mudah daripada bertahan".
Saat aku sedang konsul, aku cerita soal pemikiran-pemikiran ini kepada psikologku. Terus dia tanya, aku mulai memikirkan hal-hal itu sejak kapan. Sebelum membalasnya, aku sempat berpikir "emang orang lain gak pernah mikir kaya gitu?" ternyata emang gak wkwk. Aku ketawa terus ngerasa aneh. Kok orang-orang pada pengen hidup lama, ya? Padahal aku udah cape banget.
Psikologku juga nanya, apa penyebab aku sering berpikiran seperti itu, dan apakah aku pernah mencoba merealisasikan apa yang aku pikirkan. Aku jawab jujur: terakhir kali aku memikirkannya baru-baru ini. Dia menanyakan penyebab mengapa aku berpikir seperti itu. Dengan badan gemetar, aku memaksa diri untuk bercerita. Salah satu alasan aku gak pernah berbagi hal ini kepada siapa pun, bahkan ke keluargaku sendiri, karena setiap bercerita, aku seakan mengulang adegan yang sama berkali-kali. Rasa sakitnya masih sama. Menjijikkannya masih sama. Memalukannya masih sama. Dan bisa dibayangin betapa gilanya aku saat harus mereka ulang itu semua. Berkali-kali.
Ngerasain ini semua aku jadi paham, kenapa banyak sekali berita orang-orang yang mengalami kejadian traumatis memilih untuk menyimpan semua lukanya sendirian. Karena memang tidak pernah mudah untuk bercerita. Dan tidak akan ada yang bisa memastikan, apakah setelah bercerita, orang-orang bisa mengerti itu semua.
Psikologku bilang, setiap pemikiran-pemikiran itu datang lagi, dan keinginan untuk menyakiti diri begitu besar aku bisa mencoba cara-cara berikut:
• cerita ke orang dewasa yang dipercaya (aku ketawa soal ini, kalian akan tau kenapa)
• menggenggam es batu
• meremas kertas
apalagi, ya? Aku lupa. Atau mungkin merasa teralu ribet melakukannya.
tadi malem, aku kumat lagi. Perasaannya campur aduk. Capek kenapa harus ngerasain perasaan ini lagi. Capek gak tau harus ngapain. Capek harus menjalani semua ini sendirian lagi.
Berusaha untuk lebih waras. Aku mencoba untuk menghubungi satu-satunya orang yang aku percaya (sisanya). Kepercayaan yang sudah 1% ini kuberikan untuk dia semua. Siapa dia? sahabatku. Dia satu-satunya orang yang tau kondisiku. Itu pun setelah bertahun-tahun. Awalnya aku mengirim pesan:
"daripada memiliki bunuh diri, aku lebih suka untuk minta Allah mencabut nyawaku saja. Tapi aku juga takut kalau Dia mengabulkan itu, aku masih punya banyak dosa yang aku gak tau tanggung jawabnya gimana. tapi aku benar-benar udah gak ada motivasi apalagi untuk hidup lebih lama..."
ceklis satu.
Poto profil dan status akun tidak terlihat.
Di sisa-sisa kekuatan aku mencoba positif thinking.
"mungkin hapenya lagi dicas makanya mati. Mungkin kuotanya habis, makanya gak aktif, dan berbagai mungkin-mungkin lainnya."
Aku mencoba menelpon dan video call juga gak aktif. Aku cek jaringanku, gak ada masalah.
ternyata aku yang lagi-lagi suka membohongi diri.
Menganggap bahwa semua orang akan stay selamanya. Menganggap atau mencoba percaya bahwa orang yang ku percaya bisa selalu ada.
Mencoba bercerita dan meminta bantuan kepada orang dewasa yang dipercaya...
Haha omong kosong.
Kenapa sih Allah menjadikanku sebagai seorang manusia kalau dibuat selelah ini?
Dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Aku memilih untuk tidur saja. Ditemani pemikiran "kalau aku benar-benar gak ada lagi, dia sepertinya gak akan sedih atau merasa bersalah kan?"
Aku lelah dengan peperangan pikiran setiap malam.
Aku hanya ingin ditemani. Apa sesusah itu?
21 notes · View notes
nonaabuabu · 5 months
Text
Tumblr media
Aku tidak tahu kenapa aku harus menulis ini, saat aku tahu ia tidak akan pernah singgah di sini, mengenaliku lebih jauh meski kebanyakan yang kurangkai adalah rekayasa perasaan alias fiksi belaka. Mungkin sebab itu aku menulisnya di sini, entah siapapun yang membaca mereka akan mengira-ngira apakah aku sedang berkarya atau sedang bercerita tentang kenyataan.
Aku tak ingin menceritakannya dengan gamblang, dengan jelas layaknya prosa yang menarasikan karakter utama dalam paragrafnya. Aku pula tak ingin menuliskannya sebagai puisi, yang setiap kata mewakili ia dari berbagai lini dan dimensi. Maka aku akan menuliskannya sebagai kalimat yang kehilangan keindahan, yang tak memiliki struktur serta ejaan yang tak disempurnakan.
Aku menuliskannya sebagai sesuatu yang rancu dan kehilangan pesan dalam isinya.
Kami bertemu dalam riuh rendah dunia yang semakin bising, hadir dengan wajah masing-masing. Aku menjelma bijak yang pendiam, membunuh diriku yang skeptis dan pemarah. Ia datang bagai rupa lamaku, dalam bentuk yang lebih matang. Tentu aku abai untuk pertama kali, hingga satu-persatu kebetulan atau kesengajaan mengetuk pertanyaan di dadaku, dan rasa penasaran itu bertamu.
Jika tak membohongi hati, aku bisa katakan yang sepertinya berulang kali aku temukan, namun jika menelaahnya menjadi sebuah perasaan yang lebih lekat, aku sudah lupa kapan terakhir kali ingin tahu tentang seseorang, dalam konteks yang lebih jauh. Mungkin empat tahun lalu, dan aku tahu itu bukan perasaan yang baik.
Maka aku menjelma nama yang hadir dalam banyak eksistensinya, berkeliaran untuk memuaskan rasa penasaran, mencari celah untuk jadi pelajaran, namun sayangnya aku malah terjebak dengan ilusi yang membuatku kembali mempertanyakan diri sendiri.
Jika ada seseorang yang menanyakan perasaan apa yang paling kubenci saat ini, ia adalah rasa penasaran kepada seseorang. Aku dibuat belajar kembali untuk menahan segala gejolak, keinginan spontan yang terkadang harus diredam paksa agar tak mengakibatkan buruk pada pola diri dan pikir. Karena bagaimanapun kadang aku menguasai diri, ada perasaan-perasaan baru yang harus mati-matian baru mampu dikendalikan.
Sekarang aku ingin menutup buku yang menuliskan tentangnya, aku lelah bertanya, goyah dan menebak-nebak. Meski sebagian besar bisa aku tepis, namun bukankah lebih baik tak memikirkannya sama sekali. Di saat aku bisa melihat satu dua tanda bahwa apa yang kulakukan hanya berujung kepada kesia-siaan.
53 notes · View notes
haninditaas · 16 days
Text
Lagi mencoba menikmati masa-masa jadi perawat buat keluarga sendiri. Setelah direfleksikan, aku baru teringat lagi kalau dulu pernah punya niatan mengambil jurusan perawat salah satunya "supaya bisa pake ilmunya untuk keluarga sendiri". Dan, ya.. Setelah bertahun-tahun, beneran Allah beri jalannya. Ternyata Allah nggak pernah skip satupun hal tentang kita, termasuk perkara niat-niat kita.. Maasya Allah.
Di usia mama dan bapak yang semakin tua kini, rasanya aku banyak mendengar cerita-cerita mereka. Cerita hari-hari mereka, pandangan/pendapat mereka, pun cerita tentang apa yang mereka rasakan dengan tubuh mereka. Semakin renta, nyatanya memang fisiknya tidak lagi sekuat dulu. Muncul keluh nyeri sendi, lebih cepat lelah, cepat pusing, dan sebagainya. Qadarullah juga, sebulan lalu mama dan bapak kecelakaan dan akhirnya menimbulkan luka dan cedera di beberapa area. Jadi, makin kaya ceritanya, deh.
Dan, ya, sebulan terakhir kayaknya "lebih berasa" aja menjalani peran perawat di keluarga sendiri. Banyak belajar tegar dan coba refleksi diri.
Setelah sekian lama di ranah kesehatan ternyata masih banyak nggak tahunya. Kadang ada moment-moment penyesalan, kayak.. Kenapa aku nggak tahu hal ini dari dulu? Kenapa aku nggak lebih rajin belajar biar bisa ambil action lebih awal? Namun akhirnya nggak bisa disalahkan juga sih karena, qadarullah, aku baru tahu dan ngertinya belakangan. Jadi yasudah Syif. Terus belajar aja ya. Kita coba maksimalkan kesempatan yang ada saat ini.
Oh iya waktu datang ke IGD dan menghampiri mama dan bapak, ternyata aku tidak setegar itu meski aku sendiri adalah seorang nakes. Aku khawatir sekali. Apalagi pas lihat bapak sempat muntah darah, rasanya pengen meluk orang dan nangis aja. Beberapa hari setelahnya pun gitu. Butuh waktu sampai hati bisa lebih kuat. Ternyata faktor subjektifitas itu benar adanya, ya. Nggak mudah kalo yang di depan mata itu keluarga sendiri.
Saat ini kondisi mama bapak alhamdulillah sudah membaik dan masih terus menjalani pemulihan. Hari ini bapak menjalani operasi untuk patah tulangnya. Mohon doanya ya teman-teman tumblr, semoga Allah beri kelancaran dan kesembuhan untuk mama dan bapak.
Tumblr media
Izin mengabadikan pesan dari dari Ners Icca yang bener-bener jadi penguat dan motivasi kala itu.
13 notes · View notes
akunkuini · 2 months
Text
Meretas Kepuasan Diri: Perjalanan Kesadaran, Belajar dan Berkembang Tanpa Henti
Akhir-akhir ini aku sering merasa "Aku ternyata ga se bisa itu, aku tuh banyak kurangnya"
Padahal tanpa aku sadari, perasaan ini tuh udah ada dari dulu, cuman seringnya terabaikan karena banyak perjalanan hidup lainnya, dan baru sadar sekali untuk beberapa bulan terakhir ini.
Aku dulu sering banget merasa sangat percaya diri setelah memperoleh pengalaman baru atau mendalami suatu bidang tertentu. Pada momen-momen itu, seringkali aku berpikir, "Wah, aku bisa nih, aku kayaknya layak dan sesuai." Perasaan ini muncul dari keyakinan bahwa aku telah menguasai sesuatu, atau setidaknya, cukup baik di bidang itu.
Namun, perasaan ini berubah ketika aku mulai bertemu dengan banyak orang yang juga berada di bidang yang sama. Saat bertemu mereka, kenyataan mulai terbuka di depan mataku: banyak orang yang jauh lebih ahli dan berpengalaman daripada diriku. Orang-orang ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan serta keahlian yang bisa dimiliki seseorang dalam suatu bidang. Apa yang awalnya membuatku sangat percaya diri dan yakin, tiba-tiba menjadi sumber keraguan. Rasa percaya diri itu pun langsung merosot, jadi ngebuat aku merasa "auto mlempem dan letoy."
Pengalaman ini jadi pelajaran berharga. Ini sangat mengajarkan aku bahwa perjuangan tidak berhenti hanya karena kita merasa telah cukup. Pengalaman dan beberapa proyek di bidang tertentu memang penting, tetapi mereka bukanlah akhir dari perjalanan belajar kita. Bahkan jika kita merasa sudah bisa, kita harus tetap mengeksplorasi lebih dalam tentang bidang itu.
Ada pepatah yang mengatakan, "Semakin banyak yang kamu tahu, semakin kamu sadar betapa sedikit yang kamu tahu." Ini sangat relevan banget sama situasiku. Sebaik-baiknya kita, sebesar apa pun pengetahuan yang kita miliki, pasti ada orang yang lebih baik dan lebih tahu di bidang itu. Jadi, penting menurutku untuk tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang ada. Boleh sih puas buat merayakan perjuangan yg udah kita bentuk dan usahakan, tapi jangan sampai berhenti disitu. Pastinya harus haus ilmu lagi dan lagi.
Selalu ada ruang untuk evaluasi dan perbaikan diri. Setiap kali merasa sudah cukup baik, ingatlah bahwa ada orang lain di luar sana yang terus berusaha dan mungkin sudah berada beberapa langkah di depan. Kesadaran ini bukan untuk membuat aku ataupun kita merasa kecil, tetapi untuk mendorong kita agar terus belajar dan berkembang.
Pesan dari pengalamanku ini adalah: jangan pernah merasa puas dan teruslah mengevaluasi diri. Jadilah pribadi yang sadar diri dan mau berjuang lebih keras. Jangan biarkan rasa puas menghentikan langkah kita untuk terus belajar dan berkembang. Teruslah mencari kesempatan untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan, karena di dunia ini, selalu ada sesuatu yang baru untuk dipelajari dan dikuasai.
Semangat ya!!! Jangan malah kendor dan malas 🤘🏻🔥
10 notes · View notes
kata-renjana · 19 days
Text
Maafkan aku telah mengusikmu kemarin, seharusnya aku biarkan kau menikmati masa cintamu yang baru.
Maafkan aku menyampaikan yang seharusnya cukup aku tahan dikepalaku, bukan membombardirmu dengan pesan pesan membosankan.
Maafkan aku mungkin pernah menaruh harapan padamu, yang aku kira akan menjadi tempat terakhir namun kurasa bukan.
9 notes · View notes
abidahsy · 24 days
Text
Agustus: Bendera Hijau di Lampu Hijau
Bulan Agustus biasanya identik dengan bendera merah putih yang berkibar dimana-mana untuk menandakan bahwa usia negeri ini telah bertambah satu tahun. Kali ini, sudah hampir delapan puluh tahun negeri ini merdeka, terbebas dari penjajah.
Meski aku bukan termasuk orang yang rajin ikut upacara atau aktif dalam acara peringatan ulang tahun negeri ini, aku tetap melihat kemerdekaan sebagai hal yang patut disyukuri. Walau dalam kualitasnya, negeri ini punya banyak hal lain yang masih perlu diperbaiki.
Negeri ini memang sedang tidak baik baik saja.
Tapi maaf aku tidak berniat mengubah topik tulisan ini menjadi tulisan bernuansa ketidakadilan atas kekuasaan yang candu seperti yang sedang hilir mudik disana sini. Seperti biasa, aku akan tetap berbagi tentang topik yang sama.
Topik tentang pencarian.
Lantas, ada apa dengan bendera hijau di lampu hijau?
Bendera hijau/greenflag adalah lawan kata redflag yang biasa digunakan anak zaman sekarang untuk menilai baik tidaknya karakter seseorang di dalam suatu hubungan. Tidak dapat dipungkiri, telah banyak laki-laki greenflag yang pernah datang dan berproses, tapi apa boleh buat? Prosesnya harus berakhir berkali-kali, lagi dan lagi.
Ya, harus kuakui, bersabar adalah jalan yang harus ditempuh untuk setiap kisah yang harus kandas di tengah jalan. Eh, atau memang sudah harus seperti itulah akhir ceritanya.
Bagiku yang sudah melalui beberapa proses dengan sekian manusia dengan beraneka rupa dan ragam, ternyata greenflag saja tidak cukup. Untuk urusan yang satu ini, seseorang juga perlu menemukan greenlight alias lampu hijau.
Jadi, mari beralih tentang lampu hijau.
Dulu, saat masih bekerja membangun sebuah produk digital bersama tim kecil nan solid di Kota Belimbing, setiap kali pulang kantor, aku harus berhenti sejenak di persimpangan jalan untuk menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Itu sudah menjadi rutinitas setiap pengendara.
Setidaknya ada 2 lampu merah yang harus dilalui dari kantor ke rumah, tidak begitu sebaliknya. Banyak hal yang bisa diperhatikan (misalnya membaca billboard di pinggir jalan yang semakin hari semakin meriah dan kreatif), atau didengar (banyak pengamen jalanan yang biasa mangkal di lampu merah), atau mungkin sekadar melanjutkan apa yang sedang dipikirkan dalam lamunan. Menunggu lampu hijau menyala artinya menghargai sesuatu untuk terjadi sesuai pada waktunya. Patuh. Sebenarnya bisa-bisa saja jika mau menerobos lampu merah karena tidak sabaran, tapi terlalu banyak konsekuensinya.
Begitupun aku yang saat ini masih menunggu lampu hijau untuk menyala demi urusan yang satu ini.
Di beberapa pekan terakhir, aku 'bertemu' dengan tiga bendera hijau, sebut saja En, Far, dan An. Ketiganya hadir di waktu yang berdekatan. Anggap saja ketiga orang ini adalah pengendara lain yang bersisian di samping kanan dan kiri saat menunggu lampu merah berubah hijau. Ada jeda waktu yang membuat kami bisa memperhatikan satu sama lain.
Ketiganya baik, ketiganya pun juga sedang menunggu lampu hijau. Sama sepertiku.
Tapi En dengan masa lalu dan traumanya yang belum sembuh. Far dengan keputusannya yang ternyata jauh berbeda denganku. Dan An yang pelan-pelan mulai menjauh. Pesan-pesanku kini tertinggal hanya terbaca tanpa terbalas.
Entahlah, pada akhirnya kami memang melanjutkan perjalanan masing-masing, tapi siapa tahu takdir akan membawa kami bertemu lagi di perhentian lampu merah yang sama, kembali bersisian. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawabnya.
Saat ini, aku hanya ingin pulang, beristirahat, dan melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan seperti biasa. Memilih untuk tidak terlalu peduli.
Lagipula, aku juga tidak sedang terburu-buru.
Lalu, pada akhirnya aku hanya bisa kembali berdoa dengan doa yang sama. Jika tahun ini yang terbaik bagiku maka dekatkanlah, mudahkanlah, dan berkahilah siapapun laki-laki shalih yang menjadi pilihan-Mu. Buatlah aku rida padanya, dia rida padaku, dan Engkau rida atas kami untuk saling membersamai sampai surga.
7 notes · View notes
carlcoulate · 9 months
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
29 notes · View notes
kaktus-tajam · 7 months
Text
Ayah dan Rihlah
Sejak dulu, ayah tipe orang yang senang membawa kami jalan-jalan.. jika ada rezeki berlebih dari Allah. Ke luar kota maupun ke luar negeri. Alhamdulillah.
Kata ibu, “hobi” beliau itu produktif hehe. Tabungan daripada dipakai untuk mobil, jam, atau hobi bapack-bapack lainnya.. dipakai untuk membawa kami sekeluarga rihlah.
Sampai ibu sering meledek ayah untuk membuka travel-nya sendiri. Bagaimana tidak diledek? Ayah kalau sudah mau traveling akan all-out:
Mulai dari mencari flight paling ideal dari segi harga dan jadwal, membaca review hotel satu-satu, membuat itinerary lengkap, hingga mencari restoran halal.. pokoknya mengatur banyak hal sampai beberapa tahap ke depan.
Memang perfeksionis ya pak dosen satu ini. MasyaAllah.
Berhubung aku hendak berangkat S2… Beberapa hari terakhir, ayah sudah bolak-balik menanyakan perihal tiket pesawat, pembuatan visa, sampai akomodasi saat studi di Boston (padahal, persiapan keberangkatan dari beasiswa LPDP saja belum. Haha).
Tadi pagi ayah kirim pesan whatsapp berisi tiga pilihan pesawat. Kemudian sepanjang jalan di mobil hari ini.. ketiga pilihan tersebut (bukan pilpres ya) dibahas beserta pro-kontra masing-masing (kalau ini transitnya lama, kalau yang itu nanti terasa siang terus karena perbedaan timezone, kalau yang ini kamu nyampenya malem banget).
Dalam hati aku jadi tertawa geli sendiri, yaa inilah bentuk love language ayah. Dari dulu.
Akhirnya terjadi dialog ini saat kami semua sedang di kamar tempat adik Sofia dirawat inap.
“Ayah ikut nganter, kan?”
Aku bertanya retoris sambil membatin: kan kurang ahsan kalau perjalanan jauh tanpa mahram.
Ayah hanya tersenyum. Mencurigakan. Hehe.
Aku membujuk (walau sebenarnya yakin ayah pasti akan ikut mengantar ke Boston).
“Ayah ikut dong.. hehe.. masa aku sendiri?”
Tiba-tiba ibu nyeletuk,
“Pasti kamu mau-nya tau beres ya”
Haha ketahuan. Memang selama ini selalu dimudahkan oleh ayah, kami tak pernah berpikir abcd, tinggal packing dan menikmati perjalanan.
Ayah dan love language-nya.
Terima kasih ya, ayah. Selalu mengupayakan yang terbaik buat kami.
Selalu menjadikan rihlah kurikulum pendidikan dalam keluarga kami. Selalu menghadirkan kebersamaan di saat perjalanan-perjalanan kami. Selalu memastikan kami pulang dengan membawa pelajaran dari perjalanan tersebut.
Semoga Allah takdirkan kebaikan selalu mengiringi perjalanan pulang yang sejatinya: ke kampung akhirat.
Aamiin.
Memangnya jalan-jalan bukan bagian dari pendidikan anak? Ayo lah nabung untuk rihlah, rihlah itu perintah agama kok.. Nanti kita tapaki sejarah Andalus dan pelajari ibrah dibalik kejayaan dan keruntuhannya. Jangan jalan-jalan hanya mikirin selfie dan bikin konten aja.
Ustadz Asep Sobari hafidzahullahutaala
-h.a.
yang akan sangat senaaang jika ada dalam doa kalian
57 notes · View notes
ibnufir · 2 years
Text
Pesan Terakhir Seorang Kawan
"Kalau sudah ada sesuatu yang hasilnya bikin hati tenang. Untuk apa lagi mengejar sesuatu yang bikin resah dan tidak tenang menjalaninya".
Langit menguning dibalik cakrawala, udara subuh yang sejuk memberi suasana kesegaran baru di minggu pagi yang malas. 
Tak ada yang berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. 
Hanya embun di balik dedaunan yang memberi kabar bahwa matahari akan naik, sementara gerimis berlibur seperti kesibukan. 
Rasa-rasanya bisa meletakan telepon genggam adalah kemewahan, hari minggu yang sebenar-benarnya berlibur. 
Terdengar notifikasi bersahutan begitu ramai. Tetapi biarlah sesekali ketenangan mengambil kendali dan menenggelamkannya. 
Hingga tiba di suatu sore, kali pertamanya membuka notifikasi. Seorang kawan menandai di salah satu grup whatsapp. 
"Kawan kita sudah berpulang"
Innalillahi wa Innalillahi Rojiun
Sempat tidak percaya, tapi apalah daya. Salah satu foto yang dikirimkannya semakin memperkuat kenyataan bahwa memang takdir sudah lebih dulu menemuinya. 
Rekaman memori langsung melayang pada sebuah chat tadi malam. "Besok kalau santai aku ke tempatmu".
Juga teringat obrolan beberapa minggu sebelumnya. 
"Kalau sudah ada sesuatu yang hasilnya bikin hati tenang. Untuk apa lagi mengejar sesuatu yang bikin resah dan tidak tenang menjalaninya".
Pesan terakhir, ketika kala itu kami berbincang soal bagaimana memikirkan apa yang memang layak diterima, bagian mana yang bukan hak dan mesti ditolak. 
Kabar terakhir kudengar, ia berpulang saat mengikuti sebuah acara penggalangan dana untuk pembangunan masjid di sebuah perkampungan. 
Semoga amal kebaikannya menjadi ladang pahala yang mengalir menuju Surga-Nya. Amin
—ibnufir
90 notes · View notes
milaalkhansah · 4 days
Text
Pagi ini gue buka Instagram dan yang pertama kali muncul di timeline gue adalah informasi bahwa salah satu following gue meninggal dunia, setelah berapa lama berjuang dengan cancer. Postingan itu diunggah oleh suaminya. Sedangkan beberapa hari yang lalu bapak seorang kenalan gue juga meninggal setelah berapa waktu dirawat karena sakit.
Suami following gue itu aktif membagikan kisah perjuangan istrinya selama mengidap cancer juga membagikan perasaan betapa dia sangat mencintai istrinya itu. Hal yang berbeda tampak di rumah duka kenalan gue. Waktu itu gue pergi melayat, cuman ada keluarga dan juga beberapa tetangga, mungkin karena gua datang masih agak pagian. Gak ada suara tangis sama sekali, yang bikin gue terheran-heran. Beberapa orang sedang nampak asik bercerita sambil ketawa dan juga bermain handphone. Bahkan saat gue datang pertama kali dan langsung masuk ke dapur buat temuin kenalan gue itu mereka lagi makan rame-rame dan sempat nawarin gue buat ikut makan. Gue menolak lalu keluar dan duduk di depan mayat yang sudah ditutupi kain. Gue termenung lama, ngebayangin diri gue yang terbaring di situ sambil berpikir, "apa nanti kalau gue meninggal juga, orang-orang akan seenggak peduli ini?"
Gue nggak tahu mereka begitu karena saking tegarnya, emang sudah benar-benar ikhlas ngelepasin si mayit karena setelah dua tahun dirawat karena sakit dan gak ada peningkatan yang signifikan mereka agaknya sudah paham bahwa akhirnya memang akan seperti itu dan umur bapak itu emang udah lumayan sepuh. Atau memang sesederhana gak banyak memori baik yang bisa mereka kenang dan membuat mereka meneteskan air mata? Entahlah...
Tiga bulan terakhir ini gue jalani dengan pikiran yang bekerja seperti mesin rongsokan. Setiap hari gue cuman berpikir mati, mati, dan mati. Otak gue cuman diisi:
"gue kayaknya lebih baik mati deh,"
"ya Allah gue udah gak punya alasan pengen hidup lebih lama lagi"
"kalau gue mati sepertinya gue gak perlu semenderita ini"
Dan berbagai pikiran lain yang intinya kurang lebih sama: gue gak lagi menganggap kehidupan gue seberharga itu untuk dijalani lebih lama.
Hal itu diperparah karena gua tiap hari semakin kesulitan untuk tidur. Sehari gue cuman bisa tidur yang benar-benar tidur tuh 1-2 jam. Selebihnya gue cuman bolak-balik badan dengan pikiran yang bising. Gue capek. Bener-bener capek. Gue masih menahan diri untuk gak mengonsumsi obat tidur karena takut jadi ketergantungan dan takut sama pikiran gue yang malah menjadikan obat tidur itu untuk keperluan lain.
Gue kemarin sempat deactivate IG sebulan lebih. Sebenarnya pengennya sampai tiga bulan. Tapi gue kangen banget chattan sama teman-teman gue. Akhirnya gue reactivate dan gue emang sebahagia itu melihat kabar mereka, bertukar pesan dan saling melemparkan candaan. Gue sempat berpikir, "gue gak mau hiatus terus," "gue juga pengen ketemu orang, pengen ngobrol". Tapi gimana yaa, susah dijelasin sih gue sebenernya maunya apa. Seperti yang gue bilang di awal, pikiran gue akhir-akhir ini tuh udah kek mesin rongsokan, kadang masih bisa dipake tapi selebihnya emang sering eror.
Terus tuh hari Sabtu lalu, setelah menolak bertemu dan mengisolasi diri, gue akhirnya memutuskan buat keluar. Ketemu orang-orang dan ngobrol banyak. Kebetulan kemarin ada pertemuan klub buku gitu, dan beberapa orang yang sering datang gue kenal baik dan cukup nyaman bertemu dengan mereka.
Gue datang cukup awal. Disambut ramah dan cukup hangat sama Kak Amaya. Kami berbagi pelukan dan bertukar kabar masing-masing. Kak Amaya ini pendiri klub buku itu. Salah satu orang yang membuat gue merasa nyaman bicara dengan beliau dan juga sosok idola gue secara diam-diam xixi. Kak Amaya masih semenakjubkan yang terakhir gue ingat. Dengan sikap tenang, tutur kata yang jelas, dan juga binar mata yang mampu membuat orang merasa nyaman. Namun salah satu hal yang gue notice beliau makin kurus.
Kami lalu duduk bersebelahan. Gue memutuskan buat diam karena gak tau mau ngomong apa lagi dan memilih mengedarkan pandangan. Cukup banyak 'wajah baru' yang gue lihat hari itu. Kak Amaya membuka obrolan dengan seorang perempuan di sebelah kiri beliau. Obrolan yang membuat gue cukup tertegun.
🧕: Kak Amaya
🧑‍🦰: perempuan yang diajak ngobrol
🧕: "Kamu ke dokter mana?"
🧑‍🦰: "Aku pertama sempat ke dok Hardi Kak, tapi karena gak cocok aku cari dokter lain."
🧕: "loh, aku malah ke dokter Hardi sekarang karena ngerasa cocok. Gak cocok gimana maksudnya?"
🧑‍🦰: "iya tuh dulu aku dikasih obat gitu buat penenang dan obat tidur gitu. Sedangkan masalahnya tuh aku bukan gak bisa tidur tapi jadi keseringan tidur,"
🧕: "emang sih pada cocok-cocokkan gitu. Eh btw case-mu sama loh kayak aku, terus diagnosisnya apa?"
🧑‍🦰: "kata dokternya aku bipolar. Tapi masih diagnosis sementara sih..."
Mendengar itu gue mulai nggeh sama apa yang sedang mereka bicarain. Gue memperhatikan Kak Amaya dan jadi termenung sendiri, "apa sosok yang menginspirasi itu selalu datang dari orang-orang dengan hidup yang tak mudah seperti ini?"
Melihat Kak Amaya gue jadi merasa malu sama diri gue sendiri. Di satu sisi gue cukup kaget melihat mereka berbicara di depan banyak orang tentang topik yang lumayan sensitif. Dan kalau gua jadi mereka, jujur gue belum bisa seterbuka itu untuk berbagi tanpa ada pemikiran orang-orang akan menganggap gue caper atau terlalu lebay aja.
Tahun 2024 tinggal 4 bulan lagi. Kadang ya gue merasa waktu berjalan selambat dan secepat itu di saat yang bersamaan. Tahun demi tahun gak pernah ada yang mudah buat gue jalani. Beberapa masalah dari tahun-tahun sebelumnya masih gue bawa hingga di tahun ini.
Orang pernah bilang bahwa itu tanda gue masih belum lulus ujian. Ujiannya masih sama dan masih di situ-situ aja berarti emang masih perlu diuji lagi. Sampe lulus. Sampe dapat skor yang sempurna. Sampe gak perlu remedial lagi. Tapi kalau kita mau merhatiin lebih jauh, ujian yang sama yang terus menerus kita jalani membuat kita banyak berubah. Hal yang kita hadapi mungkin selalu sama. Tapi diri kita dari satu ujian ke ujian yang lain pasti sudah banyak berubah. Meskipun belum benar-benar lulus, kita jadi lebih tahu mana yang harus kita perbaiki, tingkatkan dan benahi lagi. Ibarat sedang ujian semester, setiap orang diuji dengan pengetahuannya masing-masing. Dengan 'kelasnya' masing-masing. Orang yang gak tahu sama sekali sudah tentu gagal dan disuruh mengulang, sedangkan orang yangsudah lebih paham akan disuruh untuk memperbaiki agar mendapatkan nilai yang lebih baik lagi.
Nanti kalau ujiannya udah ganti, gak di situ lagi, dan malah jadi lebih berat, berarti kita udah lulus dari ujian sebelumnya. Tingkat/kelas kita naik, jadi ujiannya udah mulai beda lagi.
Gitu terus pokoknya sampai mati.
Jadi kalau misal tiba-tiba kepikiran "kok ujiannya ini-ini mulu?" Jangan langsung nyalahin Tuhan kok kayak gak punya ujian yang lain aja. Tapi coba tanya ke diri sendiri, "apa yang masih salah dan butuh diperbaiki dari diriku saat ini yang membuat ujian ini bisa segera kuselesaikan?"
Terbentur terbentur terbentuk
Gitu kan kata orang-orang bijak?
Lagian, ujian yang seberat itu untuk kita jalani, nggak mungkin hadiahnya cuman kipas angin/magic com. Kan?
9 notes · View notes
ceritajihan · 2 years
Text
Tumblr & Warganya
Tumblr media
Saat nanya warga tumblr alasan Mereka main di sini, hampir semua partisipan jawabannya kalau Tumblr itu tempat cerita, tempat dimana mereka bebas numpahin segala perasaan dan ide nya disini, dan yah ini juga berlaku pada ku.
Aku main tumblr pertama kali bulan Maret tahun kemarin dan tau tempat ini pun engga sengaja waktu lagi dengerin podcast. Singkat Cerita aku install dan main tumblr selama sebulan, dan yah di sini aku merasa nyaman.
Ada beberapa Alasan mengapa aku pribadi nyaman main di sini dan paling dasar nya adalah karena di circle pertemanan aku, tidak ada yang main tumblr.
Analoginya kek kamu lagi pergi ke suatu tempat baru kemudian di lingkungan itu tidak ada satupun yang kenal sama kamu, jadi kamu bebas melakukan apa aja tampa harus takut respon mereka akan seperti apa. Se bebas itu.
Alasan kedua kenapa aku pribadi suka dan di buat nyaman sama Tumblr
kalian sadar engga sih intensitas unggah foto di sini itu menurut ku jarang sekali, disini kurang sekali orang yang narsis yang tiap jam unggah foto
Alasan ketiga kenapa aku suka main tumblr karena tulisan-tulisan warga tumblr disini mayoritas nya nyentuh perasaan, ada banyak sekali akun-akun yang isi tumblr nya bagus, banyak sekali pesan-pesan yang berhasil sampai di perasaan, banyak juga pengalaman orang lain yang di bagikan di sini yang buat kita jadi banyak ngambil pelajaran nya.
Dan Alasan terakhir nya kenapa aku masih betah disini karena dari sini aku ketemu orang-orang baru yang baik sekali.
*Terimakasih atas kesan dan baiknya warga tumblr
@ceritajihan
54 notes · View notes