#pesan terakhir
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku Takut Ma, Ma Tolong
Bikin merinding Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri
Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri Korban bernama Bintang Balqis Maulana, usia 14 tahun, tewas mengenaskan disaat tengah menempuh pendidikan di pondok pesantren PPTQ AL- Hanifiyyah, desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. 5 hari sebelum tewas dianiaya, Bintang Balqis Maulana, diketahui sempat mengirim pesan kepada mama kandungnya, Suyanti. Bintang…
View On WordPress
0 notes
Text
Seventeen - Tanpa pesan terakhir ( Lirik Lagu )
youtube
Lirik
Hidup terlalu singkat untuk cerita Tentang kau dan aku Kau pergi tanpa pesan terakhir Dariku yang menyertaimu Kau selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Ada yang hilang dalam hari-hariku Saat tak bersamamu Kau selalu ku kenang dan selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Medium : https://medium.com/@MyLyrics89/seventeen-tanpa-pesan-terakhir-lirik-lagu-5436b844af62
1 note
·
View note
Text
33 Tahun : Dinamika, Kestabilan, dan Tujuan
Alhamdulillah tiba masanya di usia 33 tahun. Sepuluh tahun yang lalu aku masih menjadi mahasiswa yang baru akan sidang tugas akhir, menggendong segudang pertanyaan akan ke mana setelah lulus nanti. Pertanyaan yang akhirnya telah kujalani jawabannya dalam 10 tahun terakhir.
Dinamika di usia ini berbeda, dulu kupikir kalau sudah melewati fase Quarter Life Crisis di rentang usia 20-30, berikutnya akan baik segala sesuatunya. Ternyata tidak gais! Ada fase krisisnya sendiri, bahkan ketika memiliki pekerjaan - masih mempertanyaan apakah diri ini akan menjalaninya seumur hidup, apakah akan selamanya bekerja ini sampai nanti di tepian liang lahat?
Belum lagi urusan pertemanan yang semakin selektif. Lebih cenderung mencari teman-teman sefrekeuensi di urusan-urusan dunia dan akhirat. Menghindari orang-orang yang rumit bin ruwet. Memilih untuk memperkecil lingkaran orang-orang dekat, tapi kebutuhan untuk meluaskan jejaring untuk membangun privilage untuk anak-anak tetap diperlukan. Semacam kontradiktif memang, tapi menjadi orang tua - mulai bisa merasakan apa yang diupayakan orang tua dulu, berusaha untuk memudahkan jalan anak-anaknya.
Di tengah pekerjaan yang sangat dinamis, ternyata menjalani hidup di usia ini cenderung untuk mencari kestabilan. Baik itu secara emosi, finansial, relasi, dan hal-hal lainnya. Kalau bisa tidak perlu bermasalah dengan orang lain atau apapun agar tidak mengganggu kestabilan ini. Jiwa-jiwa petualang terasa berbeda sekali, apalagi saat anak-anak mulai masuk usia sekolah. Penyesuaian terhadap waktu mereka, kebiasaan, dan hal-hal baru yang baru mereka temukan pertama kali dalam hidup sehingga tidak ada habisnya pertanyaan baru setiap hari atas rasa ingin tahunya yang membuncah, sudah cukup untuk menjadi tantangan hari demi hari.
Mulai memikirkan lebih dalam juga terkait tujuan dari akhir hidup ini. Apa sih yang mau dikejar dengan segala hal yang menyita waktu selama ini? Mulai lebih tenang ketika ada masalah, mulai lebih bijaksana (menurutku) dalam melihat kesempatan, sehingga tidak mudah teralihkan dari tujuan. Mulai menata lagi makna-makna hidup, mulai melihat diri sebagai makhluk yang kecil dan lemah, tidak ada alasan untuk sombong dan merasa paling benar.
Menjalani usia 30an ini benar-benar berbeda.
Pesan yang mungkin bisa kutinggalkan di sini ketika dibaca oleh teman-teman yang masih 20an, coba lakukan assesment ke dalam diri sendiri (bisa dgn bantuan ahli), apakah saat ini secara mental dan emosional ada hal yang perlu dibetulkan atau memang sudah matang. Sehingga jika ada hal di dalam diri yang perlu untuk kita sembuhkan lukanya, traumanya, maka selesaikanlah itu. Kalaupun memakan waktu, ambillah.
Sangat menenangkan bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Sangat menenangkan jika kita bahagia menjalani hidup dengan diri ini, dengan cara berpikirnya, dengan sudut pandangnya, dan juga dengan segala hal yang melekat pada badannya. Kurang dan lebihnya telah diri terima. Dan diri tahu betul, akan ngapain dengan badan dan jiwa ini.
Sampai bertemu di usia 30-an kalian. Nanti kita cerita-cerita lagi :)
175 notes
·
View notes
Text
Mulailah dari Gelisah
“Ada satu pesan terakhir?”
Ketika pada podcast LPDP aku ditanya satu pesan akhir, aku teringat nasihat mendalam dari KH Budi Ashari: “mulailah dari rasa gelisah.”
Eh gimana gimana? Rasa gelisah memangnya positif ya?
Ternyata yang dimaksud di sini adalah rasa keprihatinan pada suatu isu. Pada suatu masalah. Pada suatu problematika.
Rasa gelisah itu bisa amat berbeda di tiap orang. Ia hadir sebagai titipan pada hati tiap individu, yang beragam latar, cara pandang, pengalaman hidup, dan lingkungannya.
Kata kakak saya yang seorang dokter anak… banyaak sekalii bayi prematur di Indonesia yang tidak tertolong karena mahal dan terbatasnya inkubator. Kenapa harus impor inkubator sementara alat ini mudah dan murah dibuat? Kenapa harus mengikuti spek ukuran di jurnal ternama? Padahal realitanya di masyarakat, kamar mereka sempit dan bersebelahan dengan kandang kambing. Mana mungkin cukup? Kenapa alatnya terlalu berat sehingga sulit ditransportasi, sementara pasien kita hidup di pegunungan dengan akses jalan kaki terjal?
Ujar seorang Professor teknik mesin penggagas gerakan inkubator gratis untuk bayi prematur di Indonesia.
Aku sakit kanker kelenjar tiroid di usia muda, usia dimana seharusnya aku bersenang dan bermimpi. Tidak hanya fisikku yang sakit, mentalku jatuh. Padahal aku sendiri kuliah psikologi. Bagaimana dengan remaja dan pemuda lain di luar sana yang sendiri menghadapi sakit kronis? Yang dikucilkan? Yang tiap hari harus konsumsi obat? Yang tiap bulan tamasya-nya ke Rumah Sakit?
Ujar seorang penggerak komunitas pasien penyakit kronis.
Rasa gelisah itu tidak bisa direkayasa.
Rasa itu muncul dari belanja masalah pada realita. Muncul dari ilmu tentang kondisi ideal yang kemilau dari hasil literasi, diskusi, dan keyakinan atas ayat-ayat suci. Semakin berilmu, semakin gelisah.
Semakin tinggi ilmunya, semakin sadar akan standar ideal yang menjadi acuan, dan betapa tidak idealnya kondisi saat ini.
Sesederhana acuan penanganan “door-to-needle-time” pasien stroke 15 menit yang sulit diterapkan. Yang kemudian mendorong tim dokter saraf merevolusioner sistem pre-hospital penerimaan pasien stroke dengan mengintegrasikan alat CT scan di ambulans.
Atau sekompleks kenapa suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat terjadi di tengah masyarakat.. sementara pada kitab suci dan tuntunan Nabi telah dipercontohkan sebagai panduan. Yang kemudian membangkitkan seseorang berjuang mendirikan madrasah. Kemudian memberi akses pendidikan yang kini menjadi aliran amal… dari ribuan sekolah di Indonesia dari bangku TK hingga perguruan tinggi. Iya, KH Darwis, pendiri Muhammadiyah.
Rasa gelisah itu bukan kebetulan.
Dipertemukan tokoh ini dan itu, orang ini dan itu. Dipertemukan bacaan-bacaan buku. Dipertemukan guru-guru. Dipertemukan ujian ini, kondisi itu.
Jadi mulailah dari rasa gelisah. Jika belum menemukan rasa itu, mungkin itu tanda baik dari Allah untuk kita lebih semangat mencari ilmu, semangat belanja masalah, semangat membaca buku. Lalu temukan celah-celah itu. Celah besar antara realita dan kondisi ideal.
Berdirilah di celah itu, rasakan kegelisahannya. persempitlah celah itu, mulailah dari situ.��
Nanti akan Allah bukakan jalan untuk menjawab kegelisahannya.
InsyaaAllah.
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang amat peduli. Amat khawatir dan gelisah tentang kondisi umat dalam kondisi kebodohan dan kerusakan serta kebiadaban saat itu. Ber-tahannuts di gua Hira, bukan karena menghindari masyarakat, justru karena beliau SAW adalah sosok yang selalu hadir di tengah masyarakat.. Rasulullah SAW merasakan kegundahan, kegelisahan, keprihatinan mendalam.
Wallahua’lam.
-h.a.
Kalau kamu, rasa gelisahnya terhadap apa?
55 notes
·
View notes
Text
Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadr
Cara mendapatkan lailatul qadr adalah beribadah semaksimal mungkin di 10 malam terakhir di bulan Ramadhan dan berusaha untuk sementara waktu meninggalkan hal-hal mubah yang bisa menurunkan kuantitas dan kualitas ibadah kita di 10 malam terakhir.
Ibadah apa yang bisa kita kerjakan di 10 malam tersebut sehingga kita bisa mendapatkan lailatul qadr, diantara amal dan ibadah yang bisa kita kerjakan :
1. Menjaga sholat wajib. Khususnya sholat Isya dan Subuh secara berjamaah. 2. Shalat tarawih berjamaah. 3. Memperbanyak membaca Al-Quran, usahakan minimal 100 ayat dalam sebuah malam. 4. Memperbanyak doa, khususnya doa: Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fakfuani, ya Allah sesungguhnya engkau dzat yang maha pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah diriku. 5. Memperbanyak muhasabah atau introspeksi diri, bertaubat dan beristighfar. 6. Memperbanyak dzikir, khususnya di akhir tengah malam. 7. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. 8. Berpenampilan baik, mandi, pakai baju yang bagus dan memakai parfum di 10 malam ini. 9. Bangunkan dan ajak keluarga kita untuk beribadah pada 10 malam terakhir ramadhan. 10. Lakukan semua ibadah dengan penuh keimanan dan keyakinan.
Lailatul Qadr = 1 malam lebih baik daripada 1000 bulan.
Selamat mencari lailatul qadr, ingat satu malam lebih baik daripada 1000 bulan dan hanya dengan cara habis-habisan beribadah di 10 malam saja.
Nabi ﷺ bersabda : "Barang siapa yang terhalang dan tidak mendapatkan lailatul qadr, maka ia telah terhalang dan tidak mendapatkan pahala yang sempurna dan ampunan yang menyeluruh yang diraih oleh orang-orang yang mendapatkan malam tersebut."
Pesan dari Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. حفظه لله تعالى | Ahad, 20 Ramadhan 1445 H.
83 notes
·
View notes
Text
Aku tidak tahu kenapa aku harus menulis ini, saat aku tahu ia tidak akan pernah singgah di sini, mengenaliku lebih jauh meski kebanyakan yang kurangkai adalah rekayasa perasaan alias fiksi belaka. Mungkin sebab itu aku menulisnya di sini, entah siapapun yang membaca mereka akan mengira-ngira apakah aku sedang berkarya atau sedang bercerita tentang kenyataan.
Aku tak ingin menceritakannya dengan gamblang, dengan jelas layaknya prosa yang menarasikan karakter utama dalam paragrafnya. Aku pula tak ingin menuliskannya sebagai puisi, yang setiap kata mewakili ia dari berbagai lini dan dimensi. Maka aku akan menuliskannya sebagai kalimat yang kehilangan keindahan, yang tak memiliki struktur serta ejaan yang tak disempurnakan.
Aku menuliskannya sebagai sesuatu yang rancu dan kehilangan pesan dalam isinya.
Kami bertemu dalam riuh rendah dunia yang semakin bising, hadir dengan wajah masing-masing. Aku menjelma bijak yang pendiam, membunuh diriku yang skeptis dan pemarah. Ia datang bagai rupa lamaku, dalam bentuk yang lebih matang. Tentu aku abai untuk pertama kali, hingga satu-persatu kebetulan atau kesengajaan mengetuk pertanyaan di dadaku, dan rasa penasaran itu bertamu.
Jika tak membohongi hati, aku bisa katakan yang sepertinya berulang kali aku temukan, namun jika menelaahnya menjadi sebuah perasaan yang lebih lekat, aku sudah lupa kapan terakhir kali ingin tahu tentang seseorang, dalam konteks yang lebih jauh. Mungkin empat tahun lalu, dan aku tahu itu bukan perasaan yang baik.
Maka aku menjelma nama yang hadir dalam banyak eksistensinya, berkeliaran untuk memuaskan rasa penasaran, mencari celah untuk jadi pelajaran, namun sayangnya aku malah terjebak dengan ilusi yang membuatku kembali mempertanyakan diri sendiri.
Jika ada seseorang yang menanyakan perasaan apa yang paling kubenci saat ini, ia adalah rasa penasaran kepada seseorang. Aku dibuat belajar kembali untuk menahan segala gejolak, keinginan spontan yang terkadang harus diredam paksa agar tak mengakibatkan buruk pada pola diri dan pikir. Karena bagaimanapun kadang aku menguasai diri, ada perasaan-perasaan baru yang harus mati-matian baru mampu dikendalikan.
Sekarang aku ingin menutup buku yang menuliskan tentangnya, aku lelah bertanya, goyah dan menebak-nebak. Meski sebagian besar bisa aku tepis, namun bukankah lebih baik tak memikirkannya sama sekali. Di saat aku bisa melihat satu dua tanda bahwa apa yang kulakukan hanya berujung kepada kesia-siaan.
55 notes
·
View notes
Text
dari dinding bercorak derita
ku sampaikan nestapa pujangga yang tak lagi mampu bersajak
matanya penuh dendam
bibirnya bergumam
tangannya bergetar
akalnya menumpul
sajak-sajaknya tak mampu lagi meluapkan isi hatinya
tubuhnya diserbu ribuan cambukan kehidupan
hatinya buta, rasanya enyah, cintanya pudar
...
gemintang, riak, dawai, jentaka
tak lagi membisikan narasi yang elok menawan
pujangga, ia ditawan oleh abdi dunia
kepalanya penuh ocehan yang membutuhkan validasi
langkahnya penuh rintangan yang seharusnya tak menghalang
pujangga, ia menggores tubuhnya sadis
sakit tak lagi terasa, merana menetap dalam jiwanya
ia lelah lemah mengendong ribuan pelangi yang diharapkan menghiasi mawar melati meski tak hujan turun
...
menyalahkan manusia lain oleh karena egonya
merusak kepercayaan karena caranya
menikam dirinya,
menghujat tubuhnya sebelum jasad
memperkosa kata kata yang membantunya bersajak
...
pujangga, mati berbaring pada dinding bercorak
menuliskan pesan terakhir untuk para pengenal
"aku tidak mati dengan tangan ku sendiri, namun saja jiwaku mengajak mati dengan seksa, selamat tinggal tubuh yang kuatnya mengalahkan dunia, kau usai dengan tak layak, aku pun begitu, berkesudahan dengan kecewa."
dinding bercorak menangis terisak dibisiki tragisnya napas pujangga,
Daik, 26 Oktober 2024
#sajak puisi#puisiindonesia#puisi#tulisan#sajak#cerita#self reminder#duka lara#pujangga#kumpulan puisi#gramabiru#oktober#oktober2024
19 notes
·
View notes
Text
how depression feels like
#part2
"kalau aku lompat dari motor yang lagi jalan ini, aku bisa langsung mati ga ya"
"kalau aku minum obat pembersih wc ini sakitnya gimana sih? apa bisa langsung mati?"
"kalau pake piso kayaknya ribet deh,"
"gak mau pake tali, aku pendek gak bisa manjat,"
dulu, aku berpikir pemikiran-pemikiran seperti itu wajar saja dirasakan anak usia 14 tahun. wajar juga setelah 10 tahun berlalu, pemikiran-pemikiran itu gak pernah memudar. pemikiran bahwa tak ada lagi yang menyenangkan dalam hidup ini sehingga kematian kiranya menjadi pilihan yang lebih mudah. Benar kata Nadin Amizah, "hancur lebih mudah daripada bertahan".
Saat aku sedang konsul, aku cerita soal pemikiran-pemikiran ini kepada psikologku. Terus dia tanya, aku mulai memikirkan hal-hal itu sejak kapan. Sebelum membalasnya, aku sempat berpikir "emang orang lain gak pernah mikir kaya gitu?" ternyata emang gak wkwk. Aku ketawa terus ngerasa aneh. Kok orang-orang pada pengen hidup lama, ya? Padahal aku udah cape banget.
Psikologku juga nanya, apa penyebab aku sering berpikiran seperti itu, dan apakah aku pernah mencoba merealisasikan apa yang aku pikirkan. Aku jawab jujur: terakhir kali aku memikirkannya baru-baru ini. Dia menanyakan penyebab mengapa aku berpikir seperti itu. Dengan badan gemetar, aku memaksa diri untuk bercerita. Salah satu alasan aku gak pernah berbagi hal ini kepada siapa pun, bahkan ke keluargaku sendiri, karena setiap bercerita, aku seakan mengulang adegan yang sama berkali-kali. Rasa sakitnya masih sama. Menjijikkannya masih sama. Memalukannya masih sama. Dan bisa dibayangin betapa gilanya aku saat harus mereka ulang itu semua. Berkali-kali.
Ngerasain ini semua aku jadi paham, kenapa banyak sekali berita orang-orang yang mengalami kejadian traumatis memilih untuk menyimpan semua lukanya sendirian. Karena memang tidak pernah mudah untuk bercerita. Dan tidak akan ada yang bisa memastikan, apakah setelah bercerita, orang-orang bisa mengerti itu semua.
Psikologku bilang, setiap pemikiran-pemikiran itu datang lagi, dan keinginan untuk menyakiti diri begitu besar aku bisa mencoba cara-cara berikut:
• cerita ke orang dewasa yang dipercaya (aku ketawa soal ini, kalian akan tau kenapa)
• menggenggam es batu
• meremas kertas
apalagi, ya? Aku lupa. Atau mungkin merasa teralu ribet melakukannya.
tadi malem, aku kumat lagi. Perasaannya campur aduk. Capek kenapa harus ngerasain perasaan ini lagi. Capek gak tau harus ngapain. Capek harus menjalani semua ini sendirian lagi.
Berusaha untuk lebih waras. Aku mencoba untuk menghubungi satu-satunya orang yang aku percaya (sisanya). Kepercayaan yang sudah 1% ini kuberikan untuk dia semua. Siapa dia? sahabatku. Dia satu-satunya orang yang tau kondisiku. Itu pun setelah bertahun-tahun. Awalnya aku mengirim pesan:
"daripada memiliki bunuh diri, aku lebih suka untuk minta Allah mencabut nyawaku saja. Tapi aku juga takut kalau Dia mengabulkan itu, aku masih punya banyak dosa yang aku gak tau tanggung jawabnya gimana. tapi aku benar-benar udah gak ada motivasi apalagi untuk hidup lebih lama..."
ceklis satu.
Poto profil dan status akun tidak terlihat.
Di sisa-sisa kekuatan aku mencoba positif thinking.
"mungkin hapenya lagi dicas makanya mati. Mungkin kuotanya habis, makanya gak aktif, dan berbagai mungkin-mungkin lainnya."
Aku mencoba menelpon dan video call juga gak aktif. Aku cek jaringanku, gak ada masalah.
ternyata aku yang lagi-lagi suka membohongi diri.
Menganggap bahwa semua orang akan stay selamanya. Menganggap atau mencoba percaya bahwa orang yang ku percaya bisa selalu ada.
Mencoba bercerita dan meminta bantuan kepada orang dewasa yang dipercaya...
Haha omong kosong.
Kenapa sih Allah menjadikanku sebagai seorang manusia kalau dibuat selelah ini?
Dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Aku memilih untuk tidur saja. Ditemani pemikiran "kalau aku benar-benar gak ada lagi, dia sepertinya gak akan sedih atau merasa bersalah kan?"
Aku lelah dengan peperangan pikiran setiap malam.
Aku hanya ingin ditemani. Apa sesusah itu?
25 notes
·
View notes
Text
For years I’ve been seeking answers to some of my questions.
Because deep down I know, once I have that kind of money, I would really want something out and off my life and if I can’t do that, then I am planning on vanishing.
Just like “pesan terakhir” lirik where it goes “ku kan menghilang jauh darimu tak terlihat sehelai rambut pun” , but never “tapi di mana nanti kau terluka, cari aku, ku ada untukmu”.
Because for some reason, I don’t think I could ever be that person any longer.
Aku telah hilang terlalu lama bahkan terlalu sulit untuk aku menemukan diri ku yang dulu, yang ada kini cuma pesona yang baru, yang dibentuk dari segala luka dan kecewa. Pengalaman bukan sahaja mengajarkan aku erti dewasa, tapi ia selalu hadir mengingatkan untuk sentiasa berwaspada.
Tapi yang peliknya, no matter how many times, aku rasa nak menghilang dan persetankan tanggungjawab yang ada,there is just something that is stopping me. Something that I am afraid I would re-live it again with regrets.
12 notes
·
View notes
Text
Mungkin suatu saat kau akan belajar, bahwa memendam ego lebih penting daripada harus melepaskan seseorang.
Karena sebelum aku bertemu denganmu aku sudah patah se'patah-patahnya, tapi setelah dipertemukan denganmu aku nyaris sembuh, dan akhirnya aku patah lagi.
Kita menjadi usang yang asing yang pernah bersama. Kini kamu hanya orang asing yang tahu tentang kisah kelam dan luka-luka yang tak pernah aku ceritakan kepada orang lain.
Hilangmu adalah pilihan bahagiamu, jangan buang waktumu hanya untuk sesuatu yang memaksamu untuk bertahan. Langkahmu masih panjang begitu pula dengan aku yang harus belajar mandiri tanpa pesan dan dering telfonmu lagi.. terdengar tidak adil bukan
Terakhir:
Tolong jangan tambah lagi deritaku dengan Angan angan yang selalu kamu janjikan ke padaku, sedangkan aku sendiri tidak tau mau sampai kapan aku berada dalam situasi seperti ini, karena luka ku sudah amat penuh. Aku mohon itu.
8 notes
·
View notes
Text
Interview ...
Baru kali ini pulang interview sampai nangis di jalan. Siang hari. Karena se-sesak itu. (But ya, i'm sorry kalau setelah kamu baca ini ternyata emang akunya aja yang terlalu sensitif dan mungkin hal lainnya).
Jadi, akhirnya hari ini abis interview user di salah satu pabrik maklon kosmetik. Wah, kosmetik nih. Sama kaya pengalaman 3 tahun terakhir. Prosesnya lumayan cepet. 2 minggu lalu, tawaran dari HRnya dateng lewat pesan linkedin, setelah ternyata aku sempat memperkenalkan diri lewat DM pas bulan april. Terus udah interview HR 2 kali dan ngerjain beberapa tes dan tentu ada tes psikologinya. Terus akhirnya di jadwalin interview user hari ini.
Setelah cek di maps dan ngedatengin langsung kemarin sama mas, aku ya mikir aja kalau maybe sanggup kok sekitar 50 menit perjalanan dari rumah. Toh di Bandung kita berdua masih ngontrak juga. Jadi masih fleksibel kalau mau pindah biar ngga gitu berat (kalau diterima).
Hampir sampe pabriknya, ternyata kebanjiran. Hampir 1 km kurang lebih panjang banjirnya. Walau area banjirnya kepotong-potong. Awalnya cuma banjir gitu aja. Terus makin ke depan, banjirnya makin dalem. Motorku yang mio soul gt tuh banjirnya sampe ngerendem dipijakan kaki. Pas kakiku mau ngga mau turun, banjirnya sampe setengah tulang kering. Mantep. Interview dengan sepatu basah.
Sekitar 300an meter dari pabriknya, aku baru minggir, buat ngabarin ke HRnya. Minta maaf karena kejebak macet banjir dan sepatuku basah. HRnya bilang nggak apa-apa dan minta maaf juga karena lupa ngabarin kalau daerahnya emang banjir. Aku minggir di depan ruko-ruko kosong gitu. Terus pas mau ke jalan lagi, motorku masuk ke banjir yang lumayan ambles karena bawahnya tanah. Aku takut mau maju. Terus minta tolong sama aa aa yang dibelakangku kebetulan, buat narik motor aku dan akhirnya bisa melipir ke pinggiran yang jalannya di cor.
Sebenernya ya gpp banjir. Karena pas di kawasan industri dulu juga banjir. Dengan tinggi yang lumayan sama. Cuma pas di kawasan industri aku tenang aja karena jalannya cukup bagus. Jadi ngga khawatir. Dan ya, motorku lumayan tinggi juga. Kalau tadi ya karena baru mau interview terus aku takut pas di jalan ngelewatin banjir, takut jatuh dan kecemplung. Soalnya pinggirnya rawa dan sempet diawal-awal yang jalan banjir itu, motorku kaya yang mau kepleset.
Fast forward ke interview user. Usernya cowo, masih muda ketimbang aku. Masalah ngga? Ya aku pas tau dia lebih muda ya aku biasa aja. Karena buatku ya pengalaman kerja sama sikap kerja yang penting sih. Umur bisa nyusul.
Awal basa-basi. Tanya-tanya singkat. Kaya naik apa, berangkat jam berapa. Terus kan udah tau umurnya maksimal 28 dan pendidikan s1, kenapa tetep ngelamar juga. Ya kalau masalah ini ku jawab aja karena ya aku berpengalaman, dan aku pun baru 29 masih baru bulan lalu. Selain itu yaa, HRnya yang nawarin. Dan udah ngobrolin masalah umur ini. Ngga masalah. Jadi kenapa harus mundur? (Yang bagian ditawarin HR sampe akhir aku ngga bilang. Cuma dalam hati aja).
Terus dibilang kalau disitu (pabrik) itu tuh kaya ngalamin 3 musim. Kalau hujan, depan bakal banjir banget. (Dan iya, aku udah interview beberapa jam, cuaca cerah dan pas balik banjirnya masih dalem). Kalau lagi panas, yaa bakaal panas banget. Dan yang terakhir kemungkinan bakal kena puting beliung. Kaya pas awal tahun (katanya, aku juga ga inget beritanya) pas rancaekek kena puting beliung, pabriknya juga kena dampak (entah apa).
Sebelumnya disuruh ngisi 40 soal. Kaya soal TKP. Terus dijadiin pertanyaan buat interview. Terus ya tanya-tanya pekerjaan aku sebelumnya, jobdesknya gimana. Cerita gitulah.
Sampe akhirnya ...
Kan tadi aku udah bilang ya, ada tes psikologi.
"Disini katanya kamu lebih suka menyendiri ya?"
"Hmm, ya memang. Tapi kalau untuk bekerja ya saya bakal ikut bergabung dengan yang lain. Dan tentu kalau perlu mengerjakan tugas saya sendiri dan perlu fokus, saya menyendiri. Dengan mengiformasikan kepada yang lain."
"Kamu sukunya jawa dong ya?"
"Jawa sunda (sih), campuran."
"Oh iya. Saya juga campuran sih. Tau ngga bedanya suku jawa sama sunda tuh apa? Kalau jawa kan kalau kita menyendiri orang akan memaklumi ya, oh mungkin dia lagi ada masalah sendiri. Tapi kalau sunda ya ngga kaya gitu. Kalau menyendiri malah jadi pertanyaan. Mungkin kamu ga suka sama orangnya, atau ya ngga bisa buat kerja sama."
"Oooh iya.." (masa sih? Seumur-umur aku selalu berpindah jawa sunda buat sekolah dan di tangerang buat kerja, kok kayaknya aku ga pernah denger penilaian macam kaya gitu).
"Ini lulus s2 2 tahun 11 bulan ya? kok lama? kenapa?"
"Ya, waktu itu lagi covid. Ada peraturan di lab kalau cuma boleh ngelab sampe jam 15.30. Jadi semua kerja lab ditingga dan dilanjutin besok. Selain itu ya harus ikut seminar internasional dan publikasi di jurnal terindeks scopus."
"Oh, saya juga S2. Saya farmasi. Saya juga sekolah waktu covid. Di Lab mikrobiologi. Jadi selama wiken, 2 hari saya ngelab mikro dari pagi sampe jam 11 malam..."
Ya terus why? Why???
"Dari skala 1 sampe 10, berapa level ketegasan kamu? Kamu people pleaser ya? skala berapa menurut kamu?"
"Yaa mungkin di 8 ketegasan. People pleser 6-7."
"Tapi hasil tes kamu lebih menunjukkan kalau kamu people pleaser dan kurang tegas. Bahkan ya masukan untuk kamu aja dari hasil ini adalah kamu harus lebih tegas lagi."
"Menurut saya, saya cukup tegas kok. Selama saya menjadi QC, saya tegas dengan standar yang ada. Saya tidak pernah melepaskan produk untuk langsung release walau itu permintaan dari departemen lain yang katanya urgent dan akan segera dipasarkan...."
"Tes MBTI mu apa terakhir?"
"INFJ kalau tidak salah."
"Hasil mbtimu yang ini ESFJ. Cukup berbeda ya. Tapi menurutmu kamu introvert? masa sih?"
"Ya, karena yaa saya lebih suka menyendiri atau cepat pulang setelah kerja kalau cape. Orang lain mungkin masih memiliki waktu untuk main bersama yang lain. Tapi kalau saya, jika tidak perlu yaa saya lebih memilih untuk pulang."
"Tapi kalau kamu diajak kegiatan sama yang lain setelah kerja, mau?"
"Kalau sesekali, dengan didiukung kesehatan saya, saya tidak ada agenda dan tentunya suami saya mengizinkan ya kenapa tidak."
Terus beberapa pertanyaan lagi yang formal, ceunah dia tuh. Terus pas menurut dia pertanyaan formal udah abis, dia mau tanya yang informal.
"Kenapa ngga mau jadi dosen aja?" Daang! denger ini lagi. Dari orang yang bahkan baru ketemu sekali. Muak banget ngga sih?
"Yaa untuk jadi dosen sih, sejujurnya itu urutan terakhir. Saya lebih suka di lab di lapangan, jadi yaa riset langsung, analisa langsung. Lagi pula, menurut saya pekerjaan dosen apalagi di indo masih banyak yang administratif. Belum lagi senioritas.... Hal-hal yang saya amati waktu s2 dan yang saya dengar dari pembimbing yaa membuat saya mempertimbangkan kenapa saya tidak memilh jadi dosen (aja).
Tapi tau ngga kenapa aku juga muak selalu disuruh jadi dosen aja dan malah ngincer banget balik ke industri? Selain aku bilang diawal kalau aku udah jatuh cinta duluan di Qc, aku ngerasa happy aja pas kerja jadi QC. QC yang kata orang mah ngga ada kerjaan, aku kerjaannya banyak. Beragam. Seru. Kesana sini. Kadang berantem seru sama departemen lain karena kita terlalu strick sama standar dan kualitas tapi yaa aku seneng jalaninnya. Aku pingin ngejalanin hal yang aku pikir itu itu seseneng itu pas dikerjain. Setelah 4 tahun terkahir hidup aku tuh cuma berusaha buat bertahan hidup karena udah tanggung masuk s2, udah bayar mahal buat s2, nggak mau bikin mas sedih (walau pernah hampir) tapi aku rasa semua itu kebanyakan karena alasannya ya buat orang lain. Kali ini, aku mau buat aku sendiri. Ada hal dalam hari aku tuh, aku kerjain karena buat aku sendiri. Sebelum nanti, siapa tau bakal punya anak, maybe. Yang mana yaa, cwe kalau udah punya anak pertimbangannya juga banyak. Dan mungkin banyak juga yang perlu dikorbanin, dan juga mungkin dirinya sendiri. Paham ga? Makanya kenapa kok ngejar industri itu aku usahain banget. Apalagi QC. Kosmetik lagi ya bagus, kalau industri lain juga gpp. Aku cuma mau kerja buat kesenengan diri aku sendiri aja buat saat ini.
Setelah beberapa obrolan informal lainnnya, akhirnya si user bilang cerita
"Waktu itu juga saya recruitment buat QA. Ternyata ngga cocok buat manejemen. Saya sarankan buat masuk ke Pabrik kosmetik S. Tau ngga? (Iya, tau). Terus ternyata diterima. Direkturnya itu kenal sama saya. Menurut saya kamu lebih cocok buat jadi dosen aja. Kalau misal disini ngga keterima, saya mungkin bisa ngenalin ke kaprodi kampus X. Saya juga puna kerja sampingan jadi dosen kalau lagi ngga kerja di Kampus X itu. Kayaknya deket sih dari rumah kamu. 30 menitan. Kampus X itu banyak yang dari golongan anak ga mampu. Walau banyak yang dapet beasiswa tapi ya mereka kan pas lulus SMA/K ada harapan dari ortunya buat membantu mereka ya. Saya sih cuma pingin mereka (si mahasiswa) ini buat bisa dapet pendidikan yang baik. Dan lagi kan kamu bilangnya suka riset ya. Di kampus lebih banyak risetnya. Ngga cuma kaya yang kamu gambarkan. Bahkan menurut saya JADI DOSEN ITU LEBIH BAGUS BUAT PEREMPUAN. LEBIH FLEKSIBEL. JADI MASIH BISA KERJA DAN JUGA URUS KELUARGA."
"Emang kenapa kok menurut kakak saya lebih cocok buat jadi dosen?"
"Karena kamu ngga ada pengalaman buat memimpin di industri. Beberapa tugas teknis juga kamu ngga tau. Terus menurut saya kamu lebih sistematis ketimbang teknis. Jadi lebih cocok buat di dosen. Jadi dosen ngga harus pinter. yang penting bisa menyampaikan dengan jelas dan bisa dipahami. Bahkan harusnya ya gpp kalau dosennya kalah pinter sama mahasiswanya ... Kemampuan buat bisa jadi dosen itu anugrah tau. Ngga semua orang cocok jadi dosen. Ada kan yang dosen ngajar ngga bisa dipahami? Karena ya mungkin mereka ngga punya kemampuan buat jadi dosen sebenernya. Tapi terjebak aja."
Denger itu tuh kaya, kalau kamu nyarinya punya pengalaman mimpin di industri, kenapa harus diproses? Kalau ngga ada pengalaman dan ngga dikasih kesempatan gimana orang punya pengalaman? Kamu ngga tau kenapa aku mengesampingkan jadi dosen, kenapa ngomong panjang lebar diawal aku cocok jadi dosen? Ini ngga aku minta. Kamu baik emang. Menawarkan bantuan. Tapi ntah kenapa denger kalimat yang lainnya tuh bikin sedih aku. Bikin rasanya aku semakin jauh sama dream job aku balik jadi anak QC industri yang mungkin itu akan bikin aku happy ngerjainnya karena emang aku mau. Kata-katamu tuh rasanya kaya ngehancurin harapan aku yang kecil. Yang di bandung industrinya ngga sebanyak tangerang, selain garmen. apalagi jauh-jauh. Ngehancurin harapan aku, ngehancurin rasa aku mampu buat balik ke industri dan mimpin orang setelah pengalaman kerja dan pengalaman leadership aku walau bukan di industri. Dan rasanya tuh nyeseg banget gitu.
Tugas teknis yang aku gtw tuh juga karena jujur emang clueless. Aku cuma tau beberapa kerjaan QA yang emang beririsan sama QC. Karena ya kita dulu kan yang disuruh bantuin aja. Belum lagi ruangan QA yang terpisah sama QC. Aku ngga cukup tau banyak juga emang. Tapi, bukannya kamu bilang nyarinya QC bukan QA?
Dosen ngga harus pinter? Mohon maaf. Standarku buat jadi dosen emang ketinggian. Standarku siapa? Dosbing S2 ku sendiri. Walau emang rasanya masih jauh banget sekeren beliau, tapi ya aku merasa aku belum semampu itu. Belum seyakin dan semampu itu buat mencerdaskan kehidupan bangsa yang mana aku sendiri aja ngerasa ngga cerdas.
Apa ngga sinting, dosen tuh ngga harus pinter? Kamu tau ngga sekeren apa dosbing aku? Beliau kuliah IPKnya 4. Dari S1-S3. Beliau tuh bahkan bisa dibilang gugel berjalan. Tanya kebeliau apa aja. tentang kuliah atau penelitian yang bahkan bukan bidangnya beliau tuh, tetep bakal selalu dapet jawaban yang bikin aha moment dan ngga buntu lagi.
Aku mau jadi yang kaya gitu. Tapi entah kapan. Nanti dulu. Aku mau bikin seneng dan bikin puas diri aku sendiri dulu. Setelah tahun-tahun kemarin. Aku tau aku ngga akan sekeren beliau kalau ngga memulai. Tapi ngga dulu. Boleh ngga?
Terus karena ini tadi sepanjang jalan, berusaha mikir yang baik, makasih sama si user baik ini tapi tetep aja aku nangis. Bahkan ngetik ini juga nangis banjir. duet sama hujan deres di luar.
Maaf ya, aku.
7 notes
·
View notes
Text
Jodohku yang mana ya?
Di tengah-tengah gempuran updatean status pernikahan temen2ku atau temennya temen2ku (barakallah untuk kalian semua tentunya!), muncullah beberapa berita juga tentang kematian. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Dari sekian berita wafatnya seseorang, salah satu berita yang mengguncangkan diriku adalah berita meninggalnya anak terakhir dari temennya ibu aku. Ketika mendengar berita orang wafat dan ternyata umurnya sudah 50 ke atas, seakan2 itu lebih ringan, lebih biasa. Tapi ketika mendengar kabar pulangnya seseorang yang lebih muda dari aku, rasanya kematian itu dekat sekali.
Padahal, ya emang sedekat itu kematian dengan kita.
Setelah kabar itu ibu aku memberiku pesan. Beliau bilang doa beliau untukku adalah supaya aku dapat lulus s2 tepat waktu, kerja, dan menikah. Sebuah doa yang simple sebenarnya karena itulah harapan semua orangtua untuk anak-anaknya. Supaya dapat melihat anak-anaknya menua hingga memiliki keturunan. Ketika ku bertanya kenapa ibu aku mengirimkan pesan tersebut secara tiba2, beliau bilang, "ya, ndak papa."
Padahal, setengah dari diriku sadar, mungkin itu adalah doa yang di langitkan karena ketakutan. Ketakutan bahwa keinginannya ada kemungkinan tidak akan terkabulkan (naudzubillah, gaboleh pesimis juga!)
Intinya, di umur kita yang sekarang, di tengah orang-orang yang sudah menemukan belahan jiwanya dan keinginan dalam diri kita untuk menikah juga, jangan lupa kematian juga selalu berada di belakang kita.
Oleh sebab itulah para asatidz dan ulama mengatakan, cara terbaik untuk menjemput jodoh adalah dengan memperbaiki diri. Maka bentuk jodoh manakah yang datang dahulu, kelak kita akan siap untuk keduanya.
Sehat-sehat semuanya! 🙏💗
9 notes
·
View notes
Text
Lagi mencoba menikmati masa-masa jadi perawat buat keluarga sendiri. Setelah direfleksikan, aku baru teringat lagi kalau dulu pernah punya niatan mengambil jurusan perawat salah satunya "supaya bisa pake ilmunya untuk keluarga sendiri". Dan, ya.. Setelah bertahun-tahun, beneran Allah beri jalannya. Ternyata Allah nggak pernah skip satupun hal tentang kita, termasuk perkara niat-niat kita.. Maasya Allah.
Di usia mama dan bapak yang semakin tua kini, rasanya aku banyak mendengar cerita-cerita mereka. Cerita hari-hari mereka, pandangan/pendapat mereka, pun cerita tentang apa yang mereka rasakan dengan tubuh mereka. Semakin renta, nyatanya memang fisiknya tidak lagi sekuat dulu. Muncul keluh nyeri sendi, lebih cepat lelah, cepat pusing, dan sebagainya. Qadarullah juga, sebulan lalu mama dan bapak kecelakaan dan akhirnya menimbulkan luka dan cedera di beberapa area. Jadi, makin kaya ceritanya, deh.
Dan, ya, sebulan terakhir kayaknya "lebih berasa" aja menjalani peran perawat di keluarga sendiri. Banyak belajar tegar dan coba refleksi diri.
Setelah sekian lama di ranah kesehatan ternyata masih banyak nggak tahunya. Kadang ada moment-moment penyesalan, kayak.. Kenapa aku nggak tahu hal ini dari dulu? Kenapa aku nggak lebih rajin belajar biar bisa ambil action lebih awal? Namun akhirnya nggak bisa disalahkan juga sih karena, qadarullah, aku baru tahu dan ngertinya belakangan. Jadi yasudah Syif. Terus belajar aja ya. Kita coba maksimalkan kesempatan yang ada saat ini.
Oh iya waktu datang ke IGD dan menghampiri mama dan bapak, ternyata aku tidak setegar itu meski aku sendiri adalah seorang nakes. Aku khawatir sekali. Apalagi pas lihat bapak sempat muntah darah, rasanya pengen meluk orang dan nangis aja. Beberapa hari setelahnya pun gitu. Butuh waktu sampai hati bisa lebih kuat. Ternyata faktor subjektifitas itu benar adanya, ya. Nggak mudah kalo yang di depan mata itu keluarga sendiri.
Saat ini kondisi mama bapak alhamdulillah sudah membaik dan masih terus menjalani pemulihan. Hari ini bapak menjalani operasi untuk patah tulangnya. Mohon doanya ya teman-teman tumblr, semoga Allah beri kelancaran dan kesembuhan untuk mama dan bapak.
Izin mengabadikan pesan dari dari Ners Icca yang bener-bener jadi penguat dan motivasi kala itu.
14 notes
·
View notes
Text
Ayah dan Rihlah
Sejak dulu, ayah tipe orang yang senang membawa kami jalan-jalan.. jika ada rezeki berlebih dari Allah. Ke luar kota maupun ke luar negeri. Alhamdulillah.
Kata ibu, “hobi” beliau itu produktif hehe. Tabungan daripada dipakai untuk mobil, jam, atau hobi bapack-bapack lainnya.. dipakai untuk membawa kami sekeluarga rihlah.
Sampai ibu sering meledek ayah untuk membuka travel-nya sendiri. Bagaimana tidak diledek? Ayah kalau sudah mau traveling akan all-out:
Mulai dari mencari flight paling ideal dari segi harga dan jadwal, membaca review hotel satu-satu, membuat itinerary lengkap, hingga mencari restoran halal.. pokoknya mengatur banyak hal sampai beberapa tahap ke depan.
Memang perfeksionis ya pak dosen satu ini. MasyaAllah.
Berhubung aku hendak berangkat S2… Beberapa hari terakhir, ayah sudah bolak-balik menanyakan perihal tiket pesawat, pembuatan visa, sampai akomodasi saat studi di Boston (padahal, persiapan keberangkatan dari beasiswa LPDP saja belum. Haha).
Tadi pagi ayah kirim pesan whatsapp berisi tiga pilihan pesawat. Kemudian sepanjang jalan di mobil hari ini.. ketiga pilihan tersebut (bukan pilpres ya) dibahas beserta pro-kontra masing-masing (kalau ini transitnya lama, kalau yang itu nanti terasa siang terus karena perbedaan timezone, kalau yang ini kamu nyampenya malem banget).
Dalam hati aku jadi tertawa geli sendiri, yaa inilah bentuk love language ayah. Dari dulu.
Akhirnya terjadi dialog ini saat kami semua sedang di kamar tempat adik Sofia dirawat inap.
“Ayah ikut nganter, kan?”
Aku bertanya retoris sambil membatin: kan kurang ahsan kalau perjalanan jauh tanpa mahram.
Ayah hanya tersenyum. Mencurigakan. Hehe.
Aku membujuk (walau sebenarnya yakin ayah pasti akan ikut mengantar ke Boston).
“Ayah ikut dong.. hehe.. masa aku sendiri?”
Tiba-tiba ibu nyeletuk,
“Pasti kamu mau-nya tau beres ya”
Haha ketahuan. Memang selama ini selalu dimudahkan oleh ayah, kami tak pernah berpikir abcd, tinggal packing dan menikmati perjalanan.
Ayah dan love language-nya.
Terima kasih ya, ayah. Selalu mengupayakan yang terbaik buat kami.
Selalu menjadikan rihlah kurikulum pendidikan dalam keluarga kami. Selalu menghadirkan kebersamaan di saat perjalanan-perjalanan kami. Selalu memastikan kami pulang dengan membawa pelajaran dari perjalanan tersebut.
Semoga Allah takdirkan kebaikan selalu mengiringi perjalanan pulang yang sejatinya: ke kampung akhirat.
Aamiin.
Memangnya jalan-jalan bukan bagian dari pendidikan anak? Ayo lah nabung untuk rihlah, rihlah itu perintah agama kok.. Nanti kita tapaki sejarah Andalus dan pelajari ibrah dibalik kejayaan dan keruntuhannya. Jangan jalan-jalan hanya mikirin selfie dan bikin konten aja.
Ustadz Asep Sobari hafidzahullahutaala
-h.a.
yang akan sangat senaaang jika ada dalam doa kalian
57 notes
·
View notes
Text
Meretas Kepuasan Diri: Perjalanan Kesadaran, Belajar dan Berkembang Tanpa Henti
Akhir-akhir ini aku sering merasa "Aku ternyata ga se bisa itu, aku tuh banyak kurangnya"
Padahal tanpa aku sadari, perasaan ini tuh udah ada dari dulu, cuman seringnya terabaikan karena banyak perjalanan hidup lainnya, dan baru sadar sekali untuk beberapa bulan terakhir ini.
Aku dulu sering banget merasa sangat percaya diri setelah memperoleh pengalaman baru atau mendalami suatu bidang tertentu. Pada momen-momen itu, seringkali aku berpikir, "Wah, aku bisa nih, aku kayaknya layak dan sesuai." Perasaan ini muncul dari keyakinan bahwa aku telah menguasai sesuatu, atau setidaknya, cukup baik di bidang itu.
Namun, perasaan ini berubah ketika aku mulai bertemu dengan banyak orang yang juga berada di bidang yang sama. Saat bertemu mereka, kenyataan mulai terbuka di depan mataku: banyak orang yang jauh lebih ahli dan berpengalaman daripada diriku. Orang-orang ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan serta keahlian yang bisa dimiliki seseorang dalam suatu bidang. Apa yang awalnya membuatku sangat percaya diri dan yakin, tiba-tiba menjadi sumber keraguan. Rasa percaya diri itu pun langsung merosot, jadi ngebuat aku merasa "auto mlempem dan letoy."
Pengalaman ini jadi pelajaran berharga. Ini sangat mengajarkan aku bahwa perjuangan tidak berhenti hanya karena kita merasa telah cukup. Pengalaman dan beberapa proyek di bidang tertentu memang penting, tetapi mereka bukanlah akhir dari perjalanan belajar kita. Bahkan jika kita merasa sudah bisa, kita harus tetap mengeksplorasi lebih dalam tentang bidang itu.
Ada pepatah yang mengatakan, "Semakin banyak yang kamu tahu, semakin kamu sadar betapa sedikit yang kamu tahu." Ini sangat relevan banget sama situasiku. Sebaik-baiknya kita, sebesar apa pun pengetahuan yang kita miliki, pasti ada orang yang lebih baik dan lebih tahu di bidang itu. Jadi, penting menurutku untuk tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang ada. Boleh sih puas buat merayakan perjuangan yg udah kita bentuk dan usahakan, tapi jangan sampai berhenti disitu. Pastinya harus haus ilmu lagi dan lagi.
Selalu ada ruang untuk evaluasi dan perbaikan diri. Setiap kali merasa sudah cukup baik, ingatlah bahwa ada orang lain di luar sana yang terus berusaha dan mungkin sudah berada beberapa langkah di depan. Kesadaran ini bukan untuk membuat aku ataupun kita merasa kecil, tetapi untuk mendorong kita agar terus belajar dan berkembang.
Pesan dari pengalamanku ini adalah: jangan pernah merasa puas dan teruslah mengevaluasi diri. Jadilah pribadi yang sadar diri dan mau berjuang lebih keras. Jangan biarkan rasa puas menghentikan langkah kita untuk terus belajar dan berkembang. Teruslah mencari kesempatan untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan, karena di dunia ini, selalu ada sesuatu yang baru untuk dipelajari dan dikuasai.
Semangat ya!!! Jangan malah kendor dan malas 🤘🏻🔥
#menulis#berbagirasa#reminder#bemyself#tulisan#inspirasi#quotesoftheday#sajak#motivasi#belajarmenulis#quotes#hidup
10 notes
·
View notes
Text
Agustus: Bendera Hijau di Lampu Hijau
Bulan Agustus biasanya identik dengan bendera merah putih yang berkibar dimana-mana untuk menandakan bahwa usia negeri ini telah bertambah satu tahun. Kali ini, sudah hampir delapan puluh tahun negeri ini merdeka, terbebas dari penjajah.
Meski aku bukan termasuk orang yang rajin ikut upacara atau aktif dalam acara peringatan ulang tahun negeri ini, aku tetap melihat kemerdekaan sebagai hal yang patut disyukuri. Walau dalam kualitasnya, negeri ini punya banyak hal lain yang masih perlu diperbaiki.
Negeri ini memang sedang tidak baik baik saja.
Tapi maaf aku tidak berniat mengubah topik tulisan ini menjadi tulisan bernuansa ketidakadilan atas kekuasaan yang candu seperti yang sedang hilir mudik disana sini. Seperti biasa, aku akan tetap berbagi tentang topik yang sama.
Topik tentang pencarian.
Lantas, ada apa dengan bendera hijau di lampu hijau?
Bendera hijau/greenflag adalah lawan kata redflag yang biasa digunakan anak zaman sekarang untuk menilai baik tidaknya karakter seseorang di dalam suatu hubungan. Tidak dapat dipungkiri, telah banyak laki-laki greenflag yang pernah datang dan berproses, tapi apa boleh buat? Prosesnya harus berakhir berkali-kali, lagi dan lagi.
Ya, harus kuakui, bersabar adalah jalan yang harus ditempuh untuk setiap kisah yang harus kandas di tengah jalan. Eh, atau memang sudah harus seperti itulah akhir ceritanya.
Bagiku yang sudah melalui beberapa proses dengan sekian manusia dengan beraneka rupa dan ragam, ternyata greenflag saja tidak cukup. Untuk urusan yang satu ini, seseorang juga perlu menemukan greenlight alias lampu hijau.
Jadi, mari beralih tentang lampu hijau.
Dulu, saat masih bekerja membangun sebuah produk digital bersama tim kecil nan solid di Kota Belimbing, setiap kali pulang kantor, aku harus berhenti sejenak di persimpangan jalan untuk menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Itu sudah menjadi rutinitas setiap pengendara.
Setidaknya ada 2 lampu merah yang harus dilalui dari kantor ke rumah, tidak begitu sebaliknya. Banyak hal yang bisa diperhatikan (misalnya membaca billboard di pinggir jalan yang semakin hari semakin meriah dan kreatif), atau didengar (banyak pengamen jalanan yang biasa mangkal di lampu merah), atau mungkin sekadar melanjutkan apa yang sedang dipikirkan dalam lamunan. Menunggu lampu hijau menyala artinya menghargai sesuatu untuk terjadi sesuai pada waktunya. Patuh. Sebenarnya bisa-bisa saja jika mau menerobos lampu merah karena tidak sabaran, tapi terlalu banyak konsekuensinya.
Begitupun aku yang saat ini masih menunggu lampu hijau untuk menyala demi urusan yang satu ini.
Di beberapa pekan terakhir, aku 'bertemu' dengan tiga bendera hijau, sebut saja En, Far, dan An. Ketiganya hadir di waktu yang berdekatan. Anggap saja ketiga orang ini adalah pengendara lain yang bersisian di samping kanan dan kiri saat menunggu lampu merah berubah hijau. Ada jeda waktu yang membuat kami bisa memperhatikan satu sama lain.
Ketiganya baik, ketiganya pun juga sedang menunggu lampu hijau. Sama sepertiku.
Tapi En dengan masa lalu dan traumanya yang belum sembuh. Far dengan keputusannya yang ternyata jauh berbeda denganku. Dan An yang pelan-pelan mulai menjauh. Pesan-pesanku kini tertinggal hanya terbaca tanpa terbalas.
Entahlah, pada akhirnya kami memang melanjutkan perjalanan masing-masing, tapi siapa tahu takdir akan membawa kami bertemu lagi di perhentian lampu merah yang sama, kembali bersisian. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawabnya.
Saat ini, aku hanya ingin pulang, beristirahat, dan melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan seperti biasa. Memilih untuk tidak terlalu peduli.
Lagipula, aku juga tidak sedang terburu-buru.
Lalu, pada akhirnya aku hanya bisa kembali berdoa dengan doa yang sama. Jika tahun ini yang terbaik bagiku maka dekatkanlah, mudahkanlah, dan berkahilah siapapun laki-laki shalih yang menjadi pilihan-Mu. Buatlah aku rida padanya, dia rida padaku, dan Engkau rida atas kami untuk saling membersamai sampai surga.
#menulis#catatan#agustus#bendera hijau#lampu hijau#mencariyangke12#belajar#bertumbuh#berbagi#bermanfaat
7 notes
·
View notes