#pesan terakhir
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku Takut Ma, Ma Tolong
Bikin merinding Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri
Isi Chat Santri Asal Banyuwangi Sebelum Tewas Dianiaya di Ponpes Kediri Korban bernama Bintang Balqis Maulana, usia 14 tahun, tewas mengenaskan disaat tengah menempuh pendidikan di pondok pesantren PPTQ AL- Hanifiyyah, desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. 5 hari sebelum tewas dianiaya, Bintang Balqis Maulana, diketahui sempat mengirim pesan kepada mama kandungnya, Suyanti. Bintang…
View On WordPress
0 notes
Text
Seventeen - Tanpa pesan terakhir ( Lirik Lagu )
youtube
Lirik
Hidup terlalu singkat untuk cerita Tentang kau dan aku Kau pergi tanpa pesan terakhir Dariku yang menyertaimu Kau selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Ada yang hilang dalam hari-hariku Saat tak bersamamu Kau selalu ku kenang dan selalu ku kenang
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya
Medium : https://medium.com/@MyLyrics89/seventeen-tanpa-pesan-terakhir-lirik-lagu-5436b844af62
1 note
·
View note
Text
471 Hari, Gaza Mengubah Dunia
@edgarhamas
Aku menulis ini beberapa saat setelah juru bicara pejuang, Abu Ubaidah, tampil setelah ratusan hari tak terlihat. Badannya makin kurus, namun suaranya tak pernah merendah. Kata-katanya ditunggu, dan setiap kalimatnya dijadikan headline media. Salah satu pesan historisnya adalah,
"inilah 471 hari sejak dimulainya Pertempuran Thufan Al Aqsha yang bersejarah, yang telah memaku paku terakhir bagi peti mati penjajahan yang pasti akan lenyap."
471 hari ini, telah mengubah tak hanya peta kekuatan di kawasan Baitul Maqdis, tapi juga dunia seluruhnya. Di awal pidatonya, Abu Ubaidah menjadikan ayat 4 sampai 7 Surat Al Isra sebagai mukadimah. Seakan menegaskan bahwa perjuangan ini berlandaskan inspirasi Al Qur'an, dan bahwasanya kemenangan mereka telah berhasil "menyuramkan wajah-wajah musuh", sebagaimana yang termaktub dalam ayat 7 Surat Al Isra.
471 hari, dan lihatlah betapa banyak orang-orang Eropa yang memutuskan untuk masuk Islam setelah melihat keteguhan Gaza. 471 hari, dan lihatlah bagaimana respon dunia hari ini kepada zionis. Meskipun didukung penuh oleh AS, mereka tak berkutik melawan rakyat pejuang. Alon Mizrahi seorang penulis Yahudi menulis, "mereka (pejuang Gaza) adalah legenda bagi generasi yang akan datang. Mereka telah mengalahkan kami, bahkan seluruh Barat, dan bertahan dalam konfrontasi."
471 hari melawan kaum zalim dan jahat. Dalam press release terbaru pun, juru bicara pejuang mengatakan bahwa menghadapi zionis di medan tempur menjadi tantangan yang sangat besar. Sang juru bicara berkata,
"Para pejuang kami bertempur dengan keberanian yang luar biasa dan keberanian besar hingga jam-jam terakhir pertempuran, meskipun kami bertempur dalam kondisi yang tampaknya mustahil. Kami menghadapi konfrontasi yang tidak seimbang, baik dari segi kemampuan tempur maupun dari segi etika pertempuran."
471 hari perjuangan, dan di detik saat gencatan senjata terjadi, dunia dibuat kaget. Kita mengira, masyarakat Gaza sudah kehilangan harapan, tenggelam dalam sendu, dan tak punya lagi semangat hidup sebab rumah-rumah mereka hancur beserta segala kenangannya. Tapi, biarkan jurnalis zionis bernama Tzvi Yehezkeli ini mengungkapkan ketakjubannya,
"Di Gaza, nyatanya ada perayaan kegembiraan. Hal yang paling sulit bagi saya pagi ini adalah melihat pemandangan-pemandangan ini. Para pemimpin mereka kembali dengan kendaraan-kendaraan yang telah memerangi kami. Selama 15 bulan pertempuran, kami gagal mengubah aturan permainan perang di Gaza."
Tzvi melanjutkan, "Sebenarnya, saya bertanya pada diri sendiri, apa yang telah kami lakukan di sini selama satu tahun lima bulan? Kami menghancurkan banyak rumah, mengorbankan putra-putra terbaik kami, dan pada akhirnya hasilnya tetap sama. Mereka gembira, bantuan masuk, dan para pemimpin mereka kembali."
Hal senada juga dikatakan oleh gembong penjahat Itamar Ben Gvir menteri zionis, "kegembiraan di Gaza dan Tepi Barat membuat kita tahu, siapa yang sebenarnya kalah dalam perang ini."
"Dunia sebelum dan sesudah 7 Oktober tak lagi sama", tulis Ahmad Mansour jurnalis senior Al Jazeera.
Israel yang tadinya dikenal sebagai negeri yang membedaki dirinya dengan slogan toleransi dan kedamaian, telah menampakkan wajahnya aslinya yang penuh dengan kusta. Abu Ubaidah mengatakan,
"Thufan Al Aqsha telah menunjukkan bahwa penjajah adalah pihak brutal dan kriminal, para pemimpin dan tentaranya diburu sebagai penjahat perang. Pertempuran ini menunjukkan bahwa berlanjutnya penjajahan musuh atas tanah kami akan memengaruhi seluruh kawasan dan dunia."
471 hari, dan kita telah banyak berubah. Ada teman baru, ada ilmu baru, ada perasaan juang yang baru, ada semangat baru dalam menjalani hidup. Termasuk bagi kami, Gen Saladin, yang merasakan terulangnya kisah-kisah pahlawan zaman dulu di medan Gaza.
Abu Ubaidah pun berkata, bahwa rakyat Gaza telah mengulang kisah kepahlawanan para nabi, generasi sahabat dan salafus shalih yang menggetarkan.
Terakhir, inilah pesan Abu Ubaidah yang membuatmu tersenyum, "banyak pesan-pesan bantuan, dukungan dan penguatan, bahkan gerakan untuk ikut berjuang bersama kami, dari teluk Arab di timur hingga Umat Islam di barat. Dan dari seluruh umat Islam sedunia, dari Tangier hingga Jakarta!"
Jakarta!
#renungan#catatan#kontemplasi#islamic#inspirasi#islamicquotes#daily reminder#quotation#tadabbur#edgarhamas
82 notes
·
View notes
Text
33 Tahun : Dinamika, Kestabilan, dan Tujuan
Alhamdulillah tiba masanya di usia 33 tahun. Sepuluh tahun yang lalu aku masih menjadi mahasiswa yang baru akan sidang tugas akhir, menggendong segudang pertanyaan akan ke mana setelah lulus nanti. Pertanyaan yang akhirnya telah kujalani jawabannya dalam 10 tahun terakhir.
Dinamika di usia ini berbeda, dulu kupikir kalau sudah melewati fase Quarter Life Crisis di rentang usia 20-30, berikutnya akan baik segala sesuatunya. Ternyata tidak gais! Ada fase krisisnya sendiri, bahkan ketika memiliki pekerjaan - masih mempertanyaan apakah diri ini akan menjalaninya seumur hidup, apakah akan selamanya bekerja ini sampai nanti di tepian liang lahat?
Belum lagi urusan pertemanan yang semakin selektif. Lebih cenderung mencari teman-teman sefrekeuensi di urusan-urusan dunia dan akhirat. Menghindari orang-orang yang rumit bin ruwet. Memilih untuk memperkecil lingkaran orang-orang dekat, tapi kebutuhan untuk meluaskan jejaring untuk membangun privilage untuk anak-anak tetap diperlukan. Semacam kontradiktif memang, tapi menjadi orang tua - mulai bisa merasakan apa yang diupayakan orang tua dulu, berusaha untuk memudahkan jalan anak-anaknya.
Di tengah pekerjaan yang sangat dinamis, ternyata menjalani hidup di usia ini cenderung untuk mencari kestabilan. Baik itu secara emosi, finansial, relasi, dan hal-hal lainnya. Kalau bisa tidak perlu bermasalah dengan orang lain atau apapun agar tidak mengganggu kestabilan ini. Jiwa-jiwa petualang terasa berbeda sekali, apalagi saat anak-anak mulai masuk usia sekolah. Penyesuaian terhadap waktu mereka, kebiasaan, dan hal-hal baru yang baru mereka temukan pertama kali dalam hidup sehingga tidak ada habisnya pertanyaan baru setiap hari atas rasa ingin tahunya yang membuncah, sudah cukup untuk menjadi tantangan hari demi hari.
Mulai memikirkan lebih dalam juga terkait tujuan dari akhir hidup ini. Apa sih yang mau dikejar dengan segala hal yang menyita waktu selama ini? Mulai lebih tenang ketika ada masalah, mulai lebih bijaksana (menurutku) dalam melihat kesempatan, sehingga tidak mudah teralihkan dari tujuan. Mulai menata lagi makna-makna hidup, mulai melihat diri sebagai makhluk yang kecil dan lemah, tidak ada alasan untuk sombong dan merasa paling benar.
Menjalani usia 30an ini benar-benar berbeda.
Pesan yang mungkin bisa kutinggalkan di sini ketika dibaca oleh teman-teman yang masih 20an, coba lakukan assesment ke dalam diri sendiri (bisa dgn bantuan ahli), apakah saat ini secara mental dan emosional ada hal yang perlu dibetulkan atau memang sudah matang. Sehingga jika ada hal di dalam diri yang perlu untuk kita sembuhkan lukanya, traumanya, maka selesaikanlah itu. Kalaupun memakan waktu, ambillah.
Sangat menenangkan bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Sangat menenangkan jika kita bahagia menjalani hidup dengan diri ini, dengan cara berpikirnya, dengan sudut pandangnya, dan juga dengan segala hal yang melekat pada badannya. Kurang dan lebihnya telah diri terima. Dan diri tahu betul, akan ngapain dengan badan dan jiwa ini.
Sampai bertemu di usia 30-an kalian. Nanti kita cerita-cerita lagi :)
176 notes
·
View notes
Text
Dalam setiap pekerjaan, apapun amanah yang kita emban, tidak ada peran yang benar-benar besar, dan tidak ada pula yang terlalu kecil. Setiap bagian dari sebuah sistem saling melengkapi, membentuk harmoni untuk mencapai tujuan bersama.
Dari petugas kebersihan yang menjaga kenyamanan lingkungan, direktur yang memimpin arah perusahaan, supervisor yang memastikan segala sesuatu berjalan sesuai rencana, hingga security yang berjaga siang dan malam—semua memiliki makna yang tak tergantikan. Ketika setiap peran dikerjakan dengan sepenuh hati, nilainya jauh melampaui sekadar gaji atau jabatan. Ia menjadi ladang amal, tempat kita menanam kebaikan demi akhirat kelak.
Seringkali kita merasa peran kita terlalu kecil, tidak signifikan, tidak berarti. Namun, siapa yang tahu bagaimana Allah memandangnya? Bukankah bisa jadi hal kecil yang kita anggap sepele itu ternyata memiliki nilai besar di sisi-Nya? Mungkin senyuman kita di pagi hari kepada rekan kerja adalah penyemangat bagi mereka yang hampir menyerah. Atau mungkin usaha kita untuk mengerjakan sesuatu dengan teliti, meskipun tidak terlihat, menjadi sebab keberkahan dalam pekerjaan yang lebih besar.
Bukan besar kecilnya peran yang menentukan nilai kita, melainkan keikhlasan di balik usaha kita. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. Thabrani)
Selama satu bulan terakhir, diberi amanah menjadi juri implementasi budaya kerja di sebuah instansi. Sebuah pengalaman yang membuka mata, hati, dan pikiran saya. Di setiap sesi assesment, saya melihat bagaimana peran-peran yang tampak sederhana sebenarnya menjadi fondasi dari keberhasilan yang besar. Dari seorang petugas kebersihan yang menjaga kerapihan hingga supervisor yang tak henti memotivasi timnya, setiap individu memiliki cerita perjuangan yang layak dihargai.
Salah satu pengalaman yang paling membekas adalah melihat bagaimana edukasi tentang budaya kerja berhasil menjangkau pelosok-pelosok negeri. Menyaksikan bagaimana tim dari instansi ini memberikan pelatihan keuangan dan manajemen sederhana kepada masyarakat di desa-desa terpencil. Mereka mengajarkan pentingnya menabung, menggunakan teknologi pembayaran digital, hingga menjaga keamanan transaksi. Mereka menjadi edukator keuangan bagi masyarakat, terutama di daerah yang masih minim akses informasi. Dari mengajarkan literasi keuangan kepada ibu rumah tangga hingga menyosialisasikan program-program inklusi keuangan kepada petani dan nelayan, setiap langkah kecil ini membawa dampak besar bagi perekonomian nasional. Meskipun tantangan geografis tidak mudah, dedikasi mereka menunjukkan bahwa keberhasilan tidak hanya lahir dari kota besar, tetapi juga dari tekad untuk memajukan bangsa hingga ke pelosok.
Melalui perjalanan ini, saya belajar bahwa budaya kerja yang kuat bukan sekadar aturan atau prosedur. Ia adalah hasil dari rasa tanggung jawab setiap orang terhadap tugasnya, apapun itu. Saya teringat pada cerita seorang petugas kebersihan yang dengan bangga menunjukkan betapa bersihnya area kerjanya, dan pada saat itu saya menyadari bahwa dedikasinya menyampaikan pesan yang sama kuatnya dengan seorang direktur yang memaparkan strategi bisnis.
Di akhir perjalanan ini, kembali pada sebuah renungan: tak ada peran yang terlalu kecil di dunia ini. Yang ada hanyalah kesempatan untuk berbuat yang terbaik dengan apa yang telah Allah titipkan kepada kita.
"Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Cukup bertanya pada diri sendiri: Apakah sudah berbuat sebaik mungkin hari ini?"
21 notes
·
View notes
Text
Mulailah dari Gelisah
“Ada satu pesan terakhir?”
Ketika pada podcast LPDP aku ditanya satu pesan akhir, aku teringat nasihat mendalam dari KH Budi Ashari: “mulailah dari rasa gelisah.”
Eh gimana gimana? Rasa gelisah memangnya positif ya?
Ternyata yang dimaksud di sini adalah rasa keprihatinan pada suatu isu. Pada suatu masalah. Pada suatu problematika.
Rasa gelisah itu bisa amat berbeda di tiap orang. Ia hadir sebagai titipan pada hati tiap individu, yang beragam latar, cara pandang, pengalaman hidup, dan lingkungannya.
Kata kakak saya yang seorang dokter anak… banyaak sekalii bayi prematur di Indonesia yang tidak tertolong karena mahal dan terbatasnya inkubator. Kenapa harus impor inkubator sementara alat ini mudah dan murah dibuat? Kenapa harus mengikuti spek ukuran di jurnal ternama? Padahal realitanya di masyarakat, kamar mereka sempit dan bersebelahan dengan kandang kambing. Mana mungkin cukup? Kenapa alatnya terlalu berat sehingga sulit ditransportasi, sementara pasien kita hidup di pegunungan dengan akses jalan kaki terjal?
Ujar seorang Professor teknik mesin penggagas gerakan inkubator gratis untuk bayi prematur di Indonesia.
Aku sakit kanker kelenjar tiroid di usia muda, usia dimana seharusnya aku bersenang dan bermimpi. Tidak hanya fisikku yang sakit, mentalku jatuh. Padahal aku sendiri kuliah psikologi. Bagaimana dengan remaja dan pemuda lain di luar sana yang sendiri menghadapi sakit kronis? Yang dikucilkan? Yang tiap hari harus konsumsi obat? Yang tiap bulan tamasya-nya ke Rumah Sakit?
Ujar seorang penggerak komunitas pasien penyakit kronis.
Rasa gelisah itu tidak bisa direkayasa.
Rasa itu muncul dari belanja masalah pada realita. Muncul dari ilmu tentang kondisi ideal yang kemilau dari hasil literasi, diskusi, dan keyakinan atas ayat-ayat suci. Semakin berilmu, semakin gelisah.
Semakin tinggi ilmunya, semakin sadar akan standar ideal yang menjadi acuan, dan betapa tidak idealnya kondisi saat ini.
Sesederhana acuan penanganan “door-to-needle-time” pasien stroke 15 menit yang sulit diterapkan. Yang kemudian mendorong tim dokter saraf merevolusioner sistem pre-hospital penerimaan pasien stroke dengan mengintegrasikan alat CT scan di ambulans.
Atau sekompleks kenapa suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat terjadi di tengah masyarakat.. sementara pada kitab suci dan tuntunan Nabi telah dipercontohkan sebagai panduan. Yang kemudian membangkitkan seseorang berjuang mendirikan madrasah. Kemudian memberi akses pendidikan yang kini menjadi aliran amal… dari ribuan sekolah di Indonesia dari bangku TK hingga perguruan tinggi. Iya, KH Darwis, pendiri Muhammadiyah.
Rasa gelisah itu bukan kebetulan.
Dipertemukan tokoh ini dan itu, orang ini dan itu. Dipertemukan bacaan-bacaan buku. Dipertemukan guru-guru. Dipertemukan ujian ini, kondisi itu.
Jadi mulailah dari rasa gelisah. Jika belum menemukan rasa itu, mungkin itu tanda baik dari Allah untuk kita lebih semangat mencari ilmu, semangat belanja masalah, semangat membaca buku. Lalu temukan celah-celah itu. Celah besar antara realita dan kondisi ideal.
Berdirilah di celah itu, rasakan kegelisahannya. persempitlah celah itu, mulailah dari situ.
Nanti akan Allah bukakan jalan untuk menjawab kegelisahannya.
InsyaaAllah.
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang amat peduli. Amat khawatir dan gelisah tentang kondisi umat dalam kondisi kebodohan dan kerusakan serta kebiadaban saat itu. Ber-tahannuts di gua Hira, bukan karena menghindari masyarakat, justru karena beliau SAW adalah sosok yang selalu hadir di tengah masyarakat.. Rasulullah SAW merasakan kegundahan, kegelisahan, keprihatinan mendalam.
Wallahua’lam.
-h.a.
Kalau kamu, rasa gelisahnya terhadap apa?
56 notes
·
View notes
Text
Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadr
Cara mendapatkan lailatul qadr adalah beribadah semaksimal mungkin di 10 malam terakhir di bulan Ramadhan dan berusaha untuk sementara waktu meninggalkan hal-hal mubah yang bisa menurunkan kuantitas dan kualitas ibadah kita di 10 malam terakhir.
Ibadah apa yang bisa kita kerjakan di 10 malam tersebut sehingga kita bisa mendapatkan lailatul qadr, diantara amal dan ibadah yang bisa kita kerjakan :
1. Menjaga sholat wajib. Khususnya sholat Isya dan Subuh secara berjamaah. 2. Shalat tarawih berjamaah. 3. Memperbanyak membaca Al-Quran, usahakan minimal 100 ayat dalam sebuah malam. 4. Memperbanyak doa, khususnya doa: Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fakfuani, ya Allah sesungguhnya engkau dzat yang maha pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah diriku. 5. Memperbanyak muhasabah atau introspeksi diri, bertaubat dan beristighfar. 6. Memperbanyak dzikir, khususnya di akhir tengah malam. 7. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. 8. Berpenampilan baik, mandi, pakai baju yang bagus dan memakai parfum di 10 malam ini. 9. Bangunkan dan ajak keluarga kita untuk beribadah pada 10 malam terakhir ramadhan. 10. Lakukan semua ibadah dengan penuh keimanan dan keyakinan.
Lailatul Qadr = 1 malam lebih baik daripada 1000 bulan.
Selamat mencari lailatul qadr, ingat satu malam lebih baik daripada 1000 bulan dan hanya dengan cara habis-habisan beribadah di 10 malam saja.
Nabi ﷺ bersabda : "Barang siapa yang terhalang dan tidak mendapatkan lailatul qadr, maka ia telah terhalang dan tidak mendapatkan pahala yang sempurna dan ampunan yang menyeluruh yang diraih oleh orang-orang yang mendapatkan malam tersebut."
Pesan dari Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. حفظه لله تعالى | Ahad, 20 Ramadhan 1445 H.
83 notes
·
View notes
Text
dari dinding bercorak derita
ku sampaikan nestapa pujangga yang tak lagi mampu bersajak
matanya penuh dendam
bibirnya bergumam
tangannya bergetar
akalnya menumpul
sajak-sajaknya tak mampu lagi meluapkan isi hatinya
tubuhnya diserbu ribuan cambukan kehidupan
hatinya buta, rasanya enyah, cintanya pudar
...
gemintang, riak, dawai, jentaka
tak lagi membisikan narasi yang elok menawan
pujangga, ia ditawan oleh abdi dunia
kepalanya penuh ocehan yang membutuhkan validasi
langkahnya penuh rintangan yang seharusnya tak menghalang
pujangga, ia menggores tubuhnya sadis
sakit tak lagi terasa, merana menetap dalam jiwanya
ia lelah lemah mengendong ribuan pelangi yang diharapkan menghiasi mawar melati meski tak hujan turun
...
menyalahkan manusia lain oleh karena egonya
merusak kepercayaan karena caranya
menikam dirinya,
menghujat tubuhnya sebelum jasad
memperkosa kata kata yang membantunya bersajak
...
pujangga, mati berbaring pada dinding bercorak
menuliskan pesan terakhir untuk para pengenal
"aku tidak mati dengan tangan ku sendiri, namun saja jiwaku mengajak mati dengan seksa, selamat tinggal tubuh yang kuatnya mengalahkan dunia, kau usai dengan tak layak, aku pun begitu, berkesudahan dengan kecewa."
dinding bercorak menangis terisak dibisiki tragisnya napas pujangga,
Daik, 26 Oktober 2024
#sajak puisi#puisiindonesia#puisi#tulisan#sajak#cerita#self reminder#duka lara#pujangga#kumpulan puisi#gramabiru#oktober#oktober2024
25 notes
·
View notes
Text
Aku tidak tahu kenapa aku harus menulis ini, saat aku tahu ia tidak akan pernah singgah di sini, mengenaliku lebih jauh meski kebanyakan yang kurangkai adalah rekayasa perasaan alias fiksi belaka. Mungkin sebab itu aku menulisnya di sini, entah siapapun yang membaca mereka akan mengira-ngira apakah aku sedang berkarya atau sedang bercerita tentang kenyataan.
Aku tak ingin menceritakannya dengan gamblang, dengan jelas layaknya prosa yang menarasikan karakter utama dalam paragrafnya. Aku pula tak ingin menuliskannya sebagai puisi, yang setiap kata mewakili ia dari berbagai lini dan dimensi. Maka aku akan menuliskannya sebagai kalimat yang kehilangan keindahan, yang tak memiliki struktur serta ejaan yang tak disempurnakan.
Aku menuliskannya sebagai sesuatu yang rancu dan kehilangan pesan dalam isinya.
Kami bertemu dalam riuh rendah dunia yang semakin bising, hadir dengan wajah masing-masing. Aku menjelma bijak yang pendiam, membunuh diriku yang skeptis dan pemarah. Ia datang bagai rupa lamaku, dalam bentuk yang lebih matang. Tentu aku abai untuk pertama kali, hingga satu-persatu kebetulan atau kesengajaan mengetuk pertanyaan di dadaku, dan rasa penasaran itu bertamu.
Jika tak membohongi hati, aku bisa katakan yang sepertinya berulang kali aku temukan, namun jika menelaahnya menjadi sebuah perasaan yang lebih lekat, aku sudah lupa kapan terakhir kali ingin tahu tentang seseorang, dalam konteks yang lebih jauh. Mungkin empat tahun lalu, dan aku tahu itu bukan perasaan yang baik.
Maka aku menjelma nama yang hadir dalam banyak eksistensinya, berkeliaran untuk memuaskan rasa penasaran, mencari celah untuk jadi pelajaran, namun sayangnya aku malah terjebak dengan ilusi yang membuatku kembali mempertanyakan diri sendiri.
Jika ada seseorang yang menanyakan perasaan apa yang paling kubenci saat ini, ia adalah rasa penasaran kepada seseorang. Aku dibuat belajar kembali untuk menahan segala gejolak, keinginan spontan yang terkadang harus diredam paksa agar tak mengakibatkan buruk pada pola diri dan pikir. Karena bagaimanapun kadang aku menguasai diri, ada perasaan-perasaan baru yang harus mati-matian baru mampu dikendalikan.
Sekarang aku ingin menutup buku yang menuliskan tentangnya, aku lelah bertanya, goyah dan menebak-nebak. Meski sebagian besar bisa aku tepis, namun bukankah lebih baik tak memikirkannya sama sekali. Di saat aku bisa melihat satu dua tanda bahwa apa yang kulakukan hanya berujung kepada kesia-siaan.
56 notes
·
View notes
Text
how depression feels like
#part2
"kalau aku lompat dari motor yang lagi jalan ini, aku bisa langsung mati ga ya"
"kalau aku minum obat pembersih wc ini sakitnya gimana sih? apa bisa langsung mati?"
"kalau pake piso kayaknya ribet deh,"
"gak mau pake tali, aku pendek gak bisa manjat,"
dulu, aku berpikir pemikiran-pemikiran seperti itu wajar saja dirasakan anak usia 14 tahun. wajar juga setelah 10 tahun berlalu, pemikiran-pemikiran itu gak pernah memudar. pemikiran bahwa tak ada lagi yang menyenangkan dalam hidup ini sehingga kematian kiranya menjadi pilihan yang lebih mudah. Benar kata Nadin Amizah, "hancur lebih mudah daripada bertahan".
Saat aku sedang konsul, aku cerita soal pemikiran-pemikiran ini kepada psikologku. Terus dia tanya, aku mulai memikirkan hal-hal itu sejak kapan. Sebelum membalasnya, aku sempat berpikir "emang orang lain gak pernah mikir kaya gitu?" ternyata emang gak wkwk. Aku ketawa terus ngerasa aneh. Kok orang-orang pada pengen hidup lama, ya? Padahal aku udah cape banget.
Psikologku juga nanya, apa penyebab aku sering berpikiran seperti itu, dan apakah aku pernah mencoba merealisasikan apa yang aku pikirkan. Aku jawab jujur: terakhir kali aku memikirkannya baru-baru ini. Dia menanyakan penyebab mengapa aku berpikir seperti itu. Dengan badan gemetar, aku memaksa diri untuk bercerita. Salah satu alasan aku gak pernah berbagi hal ini kepada siapa pun, bahkan ke keluargaku sendiri, karena setiap bercerita, aku seakan mengulang adegan yang sama berkali-kali. Rasa sakitnya masih sama. Menjijikkannya masih sama. Memalukannya masih sama. Dan bisa dibayangin betapa gilanya aku saat harus mereka ulang itu semua. Berkali-kali.
Ngerasain ini semua aku jadi paham, kenapa banyak sekali berita orang-orang yang mengalami kejadian traumatis memilih untuk menyimpan semua lukanya sendirian. Karena memang tidak pernah mudah untuk bercerita. Dan tidak akan ada yang bisa memastikan, apakah setelah bercerita, orang-orang bisa mengerti itu semua.
Psikologku bilang, setiap pemikiran-pemikiran itu datang lagi, dan keinginan untuk menyakiti diri begitu besar aku bisa mencoba cara-cara berikut:
• cerita ke orang dewasa yang dipercaya (aku ketawa soal ini, kalian akan tau kenapa)
• menggenggam es batu
• meremas kertas
apalagi, ya? Aku lupa. Atau mungkin merasa teralu ribet melakukannya.
tadi malem, aku kumat lagi. Perasaannya campur aduk. Capek kenapa harus ngerasain perasaan ini lagi. Capek gak tau harus ngapain. Capek harus menjalani semua ini sendirian lagi.
Berusaha untuk lebih waras. Aku mencoba untuk menghubungi satu-satunya orang yang aku percaya (sisanya). Kepercayaan yang sudah 1% ini kuberikan untuk dia semua. Siapa dia? sahabatku. Dia satu-satunya orang yang tau kondisiku. Itu pun setelah bertahun-tahun. Awalnya aku mengirim pesan:
"daripada memiliki bunuh diri, aku lebih suka untuk minta Allah mencabut nyawaku saja. Tapi aku juga takut kalau Dia mengabulkan itu, aku masih punya banyak dosa yang aku gak tau tanggung jawabnya gimana. tapi aku benar-benar udah gak ada motivasi apalagi untuk hidup lebih lama..."
ceklis satu.
Poto profil dan status akun tidak terlihat.
Di sisa-sisa kekuatan aku mencoba positif thinking.
"mungkin hapenya lagi dicas makanya mati. Mungkin kuotanya habis, makanya gak aktif, dan berbagai mungkin-mungkin lainnya."
Aku mencoba menelpon dan video call juga gak aktif. Aku cek jaringanku, gak ada masalah.
ternyata aku yang lagi-lagi suka membohongi diri.
Menganggap bahwa semua orang akan stay selamanya. Menganggap atau mencoba percaya bahwa orang yang ku percaya bisa selalu ada.
Mencoba bercerita dan meminta bantuan kepada orang dewasa yang dipercaya...
Haha omong kosong.
Kenapa sih Allah menjadikanku sebagai seorang manusia kalau dibuat selelah ini?
Dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Aku memilih untuk tidur saja. Ditemani pemikiran "kalau aku benar-benar gak ada lagi, dia sepertinya gak akan sedih atau merasa bersalah kan?"
Aku lelah dengan peperangan pikiran setiap malam.
Aku hanya ingin ditemani. Apa sesusah itu?
27 notes
·
View notes
Text
For years I’ve been seeking answers to some of my questions.
Because deep down I know, once I have that kind of money, I would really want something out and off my life and if I can’t do that, then I am planning on vanishing.
Just like “pesan terakhir” lirik where it goes “ku kan menghilang jauh darimu tak terlihat sehelai rambut pun” , but never “tapi di mana nanti kau terluka, cari aku, ku ada untukmu”.
Because for some reason, I don’t think I could ever be that person any longer.
Aku telah hilang terlalu lama bahkan terlalu sulit untuk aku menemukan diri ku yang dulu, yang ada kini cuma pesona yang baru, yang dibentuk dari segala luka dan kecewa. Pengalaman bukan sahaja mengajarkan aku erti dewasa, tapi ia selalu hadir mengingatkan untuk sentiasa berwaspada.
Tapi yang peliknya, no matter how many times, aku rasa nak menghilang dan persetankan tanggungjawab yang ada,there is just something that is stopping me. Something that I am afraid I would re-live it again with regrets.
14 notes
·
View notes
Text
Jika aku terlahir kembali aku akan banyak memperbaiki diriku yang sudah terlanjur mengecewakan mereka. Aku akan lebih berhati-hati untuk tidak melukai mereka.
Ya, mereka adalah orang tuaku, orang yang tahun lalu sempat aku kecewakan. Aku suka tempat-tempat sepi, aku suka alam. Dan yah, lima tahun aku menekuni hobi mendaki. Ada banyak gunung yang aku daki. Rasanya senang sekali ke tempat-tempat seperti itu.
Dulu, pertama kali aku mendaki saat bersama seseorang yah bisa dibilang cinta pertama. Haha. Rasanya senang sekali, menikmati sepi bersamanya. Namun, naas hubungan kami kandas. Dan aku pikir aku akan selesaikan hobiku. Aneh, aku malah sering mendaki walau tanpa dia.
Patah hati emang enggak akan sembuh cuman naik gunung doang, hehe. Banyak list gunung yang akan kita daki sebelum akhirnya kita benar-benar selsai. Aku tetap mendaki walau tanpa kamu, sampai satu ketika ….
"Mamah sebenernya kurang suka kalau kamu mendaki, apalagi diliat akhir-akhir ini banyak berita yang kurang enak di dunia pendakian. "
"Bismillah, semua akan baik-baik aja, kok, doain aja akunya dan ridhoi. "
" Ke gunung tuh sebenernya ga ada manfaatnya tau, Neng, malah banyak madorotnya, campur baur sama laki-laki juga, udah yaa berhenti. "
"Tenang mah, aku ga mendaki sama cowok kok."
Dan … Aku berbohong. Dari kebohongan itu entah kenapa aku sangat menyesal sebeb setelah berbohong aku tergelincir jatuh dari motor, untung lukanya tidak terlalu parah. Saat itu aku menyesal, berbohong pada mamah.
Beberapa bulan kemudian, aku ijin mau mendaki lagi.. Ke gunung gede, bersama teman-teman kerjaku dan ya semuanya perempuan. Kami menuju Cianjur itu pakai mottor langung selepas pulang kerja dan akan beristirahat di rumah temanku dulu. Di perjalanan … adzan magrib tiba. Kami memutuskan untuk shotat magrib dulu, selesai solat magrib aku memaki sepatu mengecek hp dan mengirimkan pesan pada mamah. Yang isinya; "Biunng, bismillah otw, doain aku ya. " Send.
Aku pergi ke depan gerbang parkir di mana motorku tersimpan. Dan deg! Motorku hilang. Aku begitu lemas, sangat lemas.
Teman-temanku panik, aku lemas dan badanku lunglai. Aku menelphon mamah dan ya aku langsung disuruh pulang, teman-temanku mengantarkanku namun aku malah mendengarkan kata bapak-bapak yang ada di masjid itu, aku melapor polisi yang seharusnya aku pulang. Malah buat mama khawatir lagi. Mamah marah karena aku ga bisa dibilangain suruh pulang malah pergi laporan, buat laporan ke polisituh anu. Bahkan sampai detik ini pun laporan itu udah nihil sama sekali gak ada kabar.
Aku pulang, teman-temanku nginep di rumahku, kami … Gagal mendaki. Aku pikir, mamah akan marah. Ternyata mamah menyuruh kami bersih-bersih dan makan. Namun, aneh. Mamah diam ada kecewa yang terlahir dari matanya.
"Mungkin semua tuh ada hikamhnya, kamu ga jadi mendaki di halangi sama Allah mungkin ada bahaya di gunung itu, ini … yang terakhir ya neng, kali ini cuman kehilangan motor, mamah ga mau kehilangan neng, neng selama ini seru mendaki di sana ketawa-ketawa, di sini bapak dan mamah begitu khawatir, malamnya enggak bisa tidur, doa-doa selalu mamah langitkan buat keselamatan neng, tapi mamah mohon kali ini berhenti, ya. "
Aku menangis, ternyata selama ini mamah enggak ridho kalau aku ke gunung. Andai aku bisa mengulang semuanya, aku akan mengubah hobiku, aku tidak akan pernah suka mendaki.
Aku akan menjadi penulis saja.
10 notes
·
View notes
Text
Minggu lalu ku menemani teman aku untuk periksa kehamilannya yang masih sangat baru ke dokter. Aku tahu nya ketika di kantor, dia panik karena ada bercak darah. Berhubung suaminya lagi tugas ke luar kota, akhirnya aku yang nemanin dia ke dokter kandungan.
Ini kali pertama ku ke dokter kandungan untuk mendampingi seseorang yang sedang hamil. Duduk antri bersama beberapa wanita hamil. Atau mungkin ada juga beberapa wanita lain yang sedang memperjuangkan kehamilannya.
Kali pertama melihat USG transvaginal dan momen-momen mencemaskan saat dokter mencari-cari janin, memastikan apakah masih bertahan atau tidak. Juga menikmati momen melegakan, karena janin nya masih bertumbuh dengan baik di rahim.
Setelah proses konsultasi selesai, kami duduk bentar di ruang tunggu.
" waktu aku terakhir USG, masih cuma ada kantung. Sekarang janin nya udah kelihatan. Aku beneran hamil ternyata"
"Kata dokter, jantungnya udah ada. Sekarang berarti ada 2 jantung di badan aku ya"
Butuh waktu 3 tahun buat dia untuk hamil. Jadi wajar ketika akhirnya berhasil hamil, masih ada perasaan "ini beneran hamil?"
Aku turut merasa senang untuk kehamilannya. Sama senang nya dengan perasaan saat aku menghadiri pernikahannya 3 tahun lalu :)
Yang menarik, saat aku balik pulang, Mama nya tiba-tiba kirim pesan whatsapp. Mengucapkan terimakasih karena sudah menemani anak nya ke dokter. Beliau juga mengirimkan doa,
"Semoga Tuhan juga mempertemukan kamu dengan jodoh yang terbaik ya"
Aku percaya, ucapan terimakasih terbaik adalah dengan mendoakan, maka mari kita Aminkan :)
Entah jodoh seperti apa yang akan datang duluan, entah jodoh untuk menikah atau jodoh untuk sekolah lagi :)
7 notes
·
View notes
Note
Hallo teh din. Aku penggemar tulisan teh din yang amat sangat related dgn kehidupan aku. Btw aku 25 thn perempuan dan sekarang ngajar di sekolah swasta dgn gaji yang minim.
Teh din aku lulusan ppg yang sekarang bisa ikut tes asn di gel 2 dengan adanya mapping. Mapping ini adalah bertujuan untuk pemerataan tenaga guru seluruh indonesia dr lulusan ppg prajabatan, ppg mandiri dll (jd bisa ambil dimnapun dgn mapping ini dan bisa war lokasi baik di domisi atau bahkan luar pulau)
Sejujurnya aku lagi galau banget dengan restu orang tua kalau aku harus ambil mappingan di luar pulau.
- Ambil mappingan di domisili dengan formasi sedikit dan peminat banyak dan persentase lolos kecil.
- Ambil di luar pulau dengan formasi banyak dan persentase lolos juga kecil tapi pasti biaya hidup mahal dan jauh dr orangtua yang mulai senja
Belum lagi kehidupan percintaan, aku masih jomblo dr 4 thn terakhir ini. Capek banget hidup kalau tdk disandarkan dengan rasa syukur yg mendalam.
Teh din, Adakah saran aku harus bagaimana ? ಥ_ಥ
Jika sedang senggang semoga teh din berkenan membalas pesan ini, saya akan menunggu dengan senang hati. Terimakasih teh din semoga teh din selalu sehat juga bahagia✨💛
Halo anon, terimakasih sudah jadi pembaca tulisan ku ya.
Soal lokasi ppg, aku ada beberapa teman yang ppg juga, jadi ada sedikit gambaran. Menurutku, ketika kamu memilih jadi guru, ya emang mesti jadi asn kalau mau "sejahtera".
Untuk case mu, tanya ke orangtua mu, yang penting jadi asn (dimanapun), atau asn di dekat rumah.
Kalau yang penting jadi asn, 50% masalah hilang. Tinggal di kamu nya. Apa kamu mau mencoba hidup jauh dari keluarga, dengan segala konsekuensinya. Hidup sendirian di tempat baru itu gak selalu buruk. Kadang kamu bisa menemukan ketenangan dari tidak se-rumah dengan keluarga terdekat.
Kalau ternyata harus di dekat rumah, harus asn, kamu harus kasih penjelasan kalau itu "tidak mudah" karna formasi kecil dan saingan banyak. Pastikan ortu mu tau soal itu, bukan hanya soal "bertitel asn" tanpa tau war nya seperti apa.
Usia 25 masih muda banget, masih banyak hal yang bisa di-eksplor. Gausah takut dengan pindah pulau kamu akan jomblo. Kalo kamu gak bergaul sama penduduk sekitar, gak kenalan dan gak menjalin pertemanan, ya mungkin iya kamu akan kesepian disana.
Semoga membantu ya. Pilih yang bisa kamu jalani, dengan segala pertimbangan yang ada. Sukses!
15 Desember 2024
9 notes
·
View notes
Text
Mungkin suatu saat kau akan belajar, bahwa memendam ego lebih penting daripada harus melepaskan seseorang.
Karena sebelum aku bertemu denganmu aku sudah patah se'patah-patahnya, tapi setelah dipertemukan denganmu aku nyaris sembuh, dan akhirnya aku patah lagi.
Kita menjadi usang yang asing yang pernah bersama. Kini kamu hanya orang asing yang tahu tentang kisah kelam dan luka-luka yang tak pernah aku ceritakan kepada orang lain.
Hilangmu adalah pilihan bahagiamu, jangan buang waktumu hanya untuk sesuatu yang memaksamu untuk bertahan. Langkahmu masih panjang begitu pula dengan aku yang harus belajar mandiri tanpa pesan dan dering telfonmu lagi.. terdengar tidak adil bukan
Terakhir:
Tolong jangan tambah lagi deritaku dengan Angan angan yang selalu kamu janjikan ke padaku, sedangkan aku sendiri tidak tau mau sampai kapan aku berada dalam situasi seperti ini, karena luka ku sudah amat penuh. Aku mohon itu.
8 notes
·
View notes
Text
Ayah dan Rihlah
Sejak dulu, ayah tipe orang yang senang membawa kami jalan-jalan.. jika ada rezeki berlebih dari Allah. Ke luar kota maupun ke luar negeri. Alhamdulillah.
Kata ibu, “hobi” beliau itu produktif hehe. Tabungan daripada dipakai untuk mobil, jam, atau hobi bapack-bapack lainnya.. dipakai untuk membawa kami sekeluarga rihlah.
Sampai ibu sering meledek ayah untuk membuka travel-nya sendiri. Bagaimana tidak diledek? Ayah kalau sudah mau traveling akan all-out:
Mulai dari mencari flight paling ideal dari segi harga dan jadwal, membaca review hotel satu-satu, membuat itinerary lengkap, hingga mencari restoran halal.. pokoknya mengatur banyak hal sampai beberapa tahap ke depan.
Memang perfeksionis ya pak dosen satu ini. MasyaAllah.
Berhubung aku hendak berangkat S2… Beberapa hari terakhir, ayah sudah bolak-balik menanyakan perihal tiket pesawat, pembuatan visa, sampai akomodasi saat studi di Boston (padahal, persiapan keberangkatan dari beasiswa LPDP saja belum. Haha).
Tadi pagi ayah kirim pesan whatsapp berisi tiga pilihan pesawat. Kemudian sepanjang jalan di mobil hari ini.. ketiga pilihan tersebut (bukan pilpres ya) dibahas beserta pro-kontra masing-masing (kalau ini transitnya lama, kalau yang itu nanti terasa siang terus karena perbedaan timezone, kalau yang ini kamu nyampenya malem banget).
Dalam hati aku jadi tertawa geli sendiri, yaa inilah bentuk love language ayah. Dari dulu.
Akhirnya terjadi dialog ini saat kami semua sedang di kamar tempat adik Sofia dirawat inap.
“Ayah ikut nganter, kan?”
Aku bertanya retoris sambil membatin: kan kurang ahsan kalau perjalanan jauh tanpa mahram.
Ayah hanya tersenyum. Mencurigakan. Hehe.
Aku membujuk (walau sebenarnya yakin ayah pasti akan ikut mengantar ke Boston).
“Ayah ikut dong.. hehe.. masa aku sendiri?”
Tiba-tiba ibu nyeletuk,
“Pasti kamu mau-nya tau beres ya”
Haha ketahuan. Memang selama ini selalu dimudahkan oleh ayah, kami tak pernah berpikir abcd, tinggal packing dan menikmati perjalanan.
Ayah dan love language-nya.
Terima kasih ya, ayah. Selalu mengupayakan yang terbaik buat kami.
Selalu menjadikan rihlah kurikulum pendidikan dalam keluarga kami. Selalu menghadirkan kebersamaan di saat perjalanan-perjalanan kami. Selalu memastikan kami pulang dengan membawa pelajaran dari perjalanan tersebut.
Semoga Allah takdirkan kebaikan selalu mengiringi perjalanan pulang yang sejatinya: ke kampung akhirat.
Aamiin.
Memangnya jalan-jalan bukan bagian dari pendidikan anak? Ayo lah nabung untuk rihlah, rihlah itu perintah agama kok.. Nanti kita tapaki sejarah Andalus dan pelajari ibrah dibalik kejayaan dan keruntuhannya. Jangan jalan-jalan hanya mikirin selfie dan bikin konten aja.
Ustadz Asep Sobari hafidzahullahutaala
-h.a.
yang akan sangat senaaang jika ada dalam doa kalian
57 notes
·
View notes