#perubahan siklus peradaban dunia
Explore tagged Tumblr posts
Text
Apresiasi Webinar Simpul Relawan ABRI-1, Anies: Forum Bertukar Pikiran
JAKARTA | KBA – Bakal Calon Presiden (Bacapres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan mengucapkan selamat dan apresiasi atas terselenggaranya webinar yang digelar Simpul Relawan Anies Baswedan Rakyat Indonesia Bersatu (ABRI 1) bersama Sahabat Anies Internasional (SAI). Ucapan itu disampaikan Anies melalui rekaman video yang ditayangkan saat acara. Terlihat Anies menggenakan kemeja…
View On WordPress
0 notes
Text
Dunia yang Ideal (?) bagian 2, habis.
Lanjutan dari tulisan di bawah berjudul “Dunia yang Ideal (?) bagian 1″. Kalau belum membacanya, silakan dibaca dulu.
Wawancara berjalan lancar, menghabiskan waktu sejam lebih dikit karena jawaban yang aku berikan terlalu banyak, mungkin.
Hari-hari berlalu. Aku kembali berkutat dengan jurnal, melanjutkan nonton “Attack on Titan (AoT) Final Season” dan “Hataraku Saibou Black”, dengan masih memikirkan seperti apa dunia yang ideal itu. Untuk seleksinya sendiri, alhamdulillah aku diterima dan acara berjalan luar biasa! Terima kasih, Salman. Terima kasih, LMD.
Suatu senja saat berkendara motor untuk pulang ke rumah, aku teringat dengan perkataan ibunya Eren Yeager (karakter utama di anime AoT) yang sudah meninggal di season pertama. Konteksnya adalah Carla Yeager (ibunya Eren) sedang ngobrol dengan Keith Shadis (Komandan Pasukan Pengintai) sambil menggendong Eren kecil. Keith merasa dirinya bukanlah orang spesial, orang yang terpilih untuk membawa perubahan, sehingga pasukan yang dipimpinnya tidak bisa mencapai prestasi apapun dalam hal menyelidiki Titan. Keith merasa dirinya telah gagal, terutama di hadapan Carla yang dia kagumi sejak lama namun memilih menikah dengan ayahnya Eren (Grisha Yeager). Carla pun menjawab bahwa dia tak merasa Keith harus menjadi sosok spesial, sosok yang terpilih memiliki bakat istimewa. Sambil melihat Eren di gendongannya, Carla berkata,
"Is it wrong to not be special? He (Eren) doesn't have to be great, to be special. Because... look at him. He's so cute. That's why he's already special. Because he was born in this world."
Lalu, apa hubungannya dengan dunia yang ideal?
Setelah sedikit mbrambang karena perkataan Carla tadi relate sama aku yang (kadang masih) terobsesi untuk jadi orang spesial, aku berpikir kalau sebenarnya dunia yang ideal itu...... ya dunia yang begini.
Sebobrok, sejelek, separah apapun dunia di pikiran kita saat ini, inilah tempat kita hidup sekarang. Kita masih bisa bernapas, makan, tidur, bercerita, main gadget, nonton anime atau drakor, sholat, ngaji, semuanya kita lakukan di dunia yang mungkin menurut kita tidak ideal ini. Pun kita bisa memikirkan dunia yang ideal gara-gara kita hidup di dunia yang tidak ideal, dan berusaha mengubah sebisanya agar sesuai dengan idealnya kita.
Allah Subhanahuwata’ala dalam beberapa firman-Nya menjelaskan terjadinya sesuatu dengan adanya proses yang mendahului, misalkan proses terbentuknya janin di rahim, siklus air, terciptanya bumi dan langit. Padahal Allah juga berfirman apabila ingin menciptakan sesuatu, cukup dengan “kun”, “terjadilah” maka terjadilah. Berarti sebenarnya Allah sangat mampu menjadikan dunia ini ideal, menghilangkan segala permasalahan di dunia ini dalam sekejap saja, bahkan langsung dijadikan surga. Kenyataannya?
Dunia diciptakan ya seperti ini, seperti yang kita baca di kisah-kisah terdahulu, dan mungkin akan berulang di masa depan. Ada proses di dalamnya, dan Allah ingin mengajarkan kepada kita tentang berproses dengan segala suka dukanya. Jadilah kita bisa merasakan senang, sedih, bahagia, marah, kecewa, biasa saja, heran, dan berbagai emosi lainnya. Jadilah kita berbuat baik atau jahat, giat atau malas, sehat atau sakit, berpikir atau abai, lapar atau kenyang, dan berbagai pilihan lain yang tidak bisa dilakukan makhluk lain selain manusia.
Dunia ini tidak perlu menjadi ideal, tidak perlu menjadi tempat yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena.... lihatlah, berapa lama dunia ini ada dan berapa lama peradaban manusia dari yang paling purba sampai sekarang? Apa saja yang peradaban manusia telah perbuat meskipun hadir belakangan dibandingkan spesies lainnya?
Itulah mengapa dunia yang begini saja sudah cukup. Karena dunia yang begini, yang tidak ideal, yang membuat kita jadi manusia.
2 notes
·
View notes
Text
Umat Islam dan Wacana Poros Kemaritiman Dunia
@edgarhamas
Nenek Moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak, tiada takut
Menempuh badai, sudah biasa
(Lagu Anak Nasional, Nenek Moyangku Orang Pelaut)
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mencapai tiga tahun jabatannya. Sekilas dilihat dan diseksamai, pernak-pernik pemerintah kita sekarang diisi dengan agenda pembangunan infrastruktur yang sangat masif; jembatan-jembatan dibangun, jalan tol diperbaiki kualitasnya, transportasi diperbaharui, dan banyak lagi. Namun, satu hal diantara janji dan komitmen Bapak Jokowi dan Jusuf Kalla selama kampanye mereka dalam Pilpres 2014, adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Nah, itu dia satu gagasan yang bagi saya fantastis, pertama karena judulnya keren, kedua karena program ini punya historical value yang tinggi.
Kemudian akhirnya muncul pertanyaan; apa pentingnya menjadi poros kemaritiman? Toh telah ada daratan dan udara yang memungkinkan perpindahan logistik bisa lebih cepat, iya kan?
Tidak, tidak semudah itu ‘menghakimi’ kemaritiman dan segala yang ada di dalamnya. Perbincangan kita dalam tulisan itu bukan menjangkau detail ilmu Geografi dan Kelautan yang jelas tidak ada dalam Muqarrar Universitas Al Azhar. Namun lebih dari itu, perlulah terbit di cakrawala idea kita pada sebuah tinjauan historis dan proyeksi masa depan dari sebuah peradaban besar, yakni sebagai bangsa Indonesia dan sebagai Umat Islam. Sebab, selain mesti memiliki spesifikasi terhadap satu disiplin ilmu, perlulah kita menjadi personal dengan generalisasi wawasan.
“Jika kita ingin menjadi bangsa pemenang, bangsa yang disegani, bangsa yang dihormati di kawasan ini dan dunia, kita harus memiliki kekuatan maritim yang kuat”, tutur Rizal Ramli yang pernah menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, “termasuk kapal-kapal dagangnya, kapal-kapal perikanannya. Siapa yang menguasai laut, akan menguasai dunia.”
Senada dengan itu, baik Presiden Jokowi dan para Ilmuwan seperti Dr Hilmar Farid mengangguk setuju dengan koneksi amat kuat antara proyek besar poros kemaritiman dengan romantisme sejarah Indonesia yang identik dengan nuansa kelautan.
“Kita belajar tentang Majapahit”, tutur Dr Hilmar, “tapi bukan tentang kejayaannya di masa lalu, melainkan mengenai pergulatan kekuatan yang memungkinkannya muncul sebagai kerajaan besar”, yakni dalam dunia kemaritiman, seperti dilansir situs maritim.go.id.
Pun ketika masa sekolah dasar, kita diajari guru kita untuk mengamini sebuah gelar yang disematkan untuk kerajaan Sriwijaya, yakni “Kerajaan Maritim”, yang kelak sekarang dibawa menjadi gelar baru Indonesia kita, “Negara Maritim”, tentu bukan tanpa sebab.
Mengapa Kelautan Menjadi Sangat Penting?
Banyak sekali faktor yang membuat kelautan menjadi satu proyek besar untuk dibangun di atasnya menara-menara gagasan dan ide. Namun izinkan kami melirik proyek besar ini dari sudut pandang sederhana, sebagai mahasiswa penuntut ilmu agama di Negeri Mesir, diiringi wawasan kilas sejarah dan peradaban Islam yang juga pernah menjadikan Mesir sebagai poros kemaritiman dunia.
Salah satu sejarawan yang menggaungkan perlunya anak-anak muda Muslim untuk mempelajari kemaritiman adalah DR Ahmad Mansur Suryanegara, Dosen Sejarah Universitas Indonesia. Lewat karya ‘Api Sejarah’ serta ‘Al-Quran dan Kelautan; Sejarah Maritim yang Terupakan’, beliau mencoba menyusun kembali puzzle sejarah dan menjelaskan pada kita betapa pentingnya menjadi poros maritim; sebab ada korelasi antara puncak kejayaan ‘Golden Ages’ Umat Islam dengan hegemoni kemaritiman negeri-negeri muslimin di waktu yang sama, mulai dari Asad bin Al Furat sang ulama penakluk Sicilia, kemegahan Aljazair sebagai pelabuhan masyhur internasional, sampai Admiral Piri Reis yang menemukan Amerika untuk kali pertama.
Pun sama dengan N.A Baloch, sejarawan Pakistan yang menggemakan Maritim Theory. Beliau dengan lugas menyebutkan, bahwa di masa kejayaannya, Umat Islam memiliki banyak navigator/mualim dan wirausahawan muslim yang dinamis dalam penguasaan maritim dan pasar. Korelasinya sangat lugas antara penguasaan Kaum Muslimin atas 2/3 samudera dunia dengan sampainya risalah agama Islam ke seluruh penjuru bumi, khususnya belahan bumi di Asia Timur dan Tenggara yang diislamkan lewat medium perdagangan di wilayah maritim.
Simpulan paling sederhananya; penguasaan dan dominasi atas wilayah maritim berdampak pada grafik naik dalam siklus peradaban Umat Islam, bahkan peradaban secara umum.
Umat Islam dan Legenda Kelautan yang Menyejarah
“Sesungguhnya Futuhat Islamiyah di masa kekhalifahan Abu Bakr As Shiddiq dan Umar ibn Al Khattab menjadi titik tolak terbitnya kekuatan maritim Islam dan kekuasaannya atas Laut Mediterania”, tulis sejarawan muslim yang mengambil spesifikasi dalam pengembangan atlas sejarah, DR Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Fath Ash Shaqliyah bi Qiyadati Asad bin Furat, “khususnya hegemoni Umat Islam atas pantai-pantai Syam dan Mesir, yang juga menandakan berakhirnya dominasi kekuatan maritim Romawi Timur atas Laut Mediterania.”
“Adalah Khalifah ketiga Umat Islam, Utsman ibn Affan, yang pertamakali mengizinkan Muawiyah bin Abi Sufyan untuk bertempur dengan Romawi Timur lewat medan maritim”, tulis DR Syauqi. Ekspedisi kelautan pertama adalah pembebasan Cyprus dari tangan Romawi Timur, yang diperkirakan oleh para sejarawan, saat itu Umat Islam telah memiliki 1900 kapal perang yang kokoh dan efisien.
Adapun momentum paling menyejarah pengubah peta kekuatan maritim internasional kala itu, adalah pertempuran Dzat Ash Shawary pada tahun 32 H/656 M, yang dalam literatur Eropa bertajub Battle of Phoenix, ketika 200 kapal Umat Islam yang bertolak dari Alexandria, dipimpin oleh seorang sahabat bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh, melawan 1000 kapal perang Romawi Timur di wilayah laut bernama Lycia dekat Turki sekarang ini. Kaum Muslimin secara telak memenangkan pertepuran laut pertama ini, dan “akhirnya dunia mengetahui ada sebuah kekuatan besar nan baru, yang berhasil memukul mundur armada maritim terkuat di dunia saat itu”, rekam DR Syauqi Abu Khalil.
Fenomena ‘Arsenal’ dan ‘Admiral’
Semenjak kekuatan maritim Umat Islam menguasai Laut Mediterania, mereka menjadi penggagas ide dan peradaban baru yang menginspirasi dunia. Melalui kekuatan maritim, kaum Muslimin menyiarkan pemikiran, barang dagangan hingga bahasa ke seluruh pelosok Eropa. Sebagaimana ditulis oleh Ahmad Adil Kamal dalam Athlas Al Futuhat Al Islamiyah, begitupula dalam buku Tarikh Ghazawat Al ‘Arab karya Syakib Arselan, Umat Islam secara perlahan namun pasti menguasai pos-pos Laut Mediterania seperti Cyprus (635 M), Rhodes (672 M), Crete (825 M), Sicilia (827 M), Malta (869 M), Palermo (902 M) dan Sardinia (1015 M).
Bahkan sebuah memorial sejarah terpahat megah dalam buku ‘Allah’s Sonne über dem Abendland’ (Mentari Allah bersinar atas Barat; Keutaamaan Arab atas Eropa) karya Sigrid Hunke seorang orientalis Jerman, bahwa banyak sekali kosakata kemaritiman dalam bahasa Inggris yang diserap dari istilah-istilah kelautan Umat Islam. Misalnya ‘cable’ diserap dari kata ‘habl’, kata ‘arsenal’ yang bermakna “gudang senjata” diserap dari kata ‘daar ash shina’ah’ yang bermakna hampir sama, sedang ‘admiral’ yang bermakna “laksamana” diserap dari kata ‘amir al bahr’ yang bermakna “pemimpin laut.” Marvelous, isn’t it?
“Apakah Mungkin Melukis Ulang Sejarah Kemaritiman?”
Ada banyak sekali fenomena yang membuat kita bergeleng kepala; tentang umat Islam umumnya dan bangsa Indonesia khususnya, yang memiliki bilik-bilik sejarah megah, namun belum sepenuhnya diolah menjadi pemantik untuk memproyeksi tangga kejayaan di masa depan. Masih banyak legenda kemaritiman Umat Islam -baik abad pertengahan maupun kontemporer- yang menyuguhkan preseden (hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai acuan) bahwa kita punya peluang menjadi maritim power di zaman baru.
Hiruk pikuk dunia tidak lagi sebatas bipolar; antara Eropa-Islam, Komunis-Kapitalis, Amerika Serikat-Rusia. Semua itu telah samar-samar lalu runtuh. Hari ini telah timbul sebuah realitas bahwa semua kekuatan dunia memiliki peluang untuk menjadi yang terbaik diantara yang lain, dalam artian blok-blok Internasional telah berubah menjadi multipolar. Berangkat dari realitas itu, kesadaran putra bangsa Indonesia terhadap ‘bakat maritim’ negerinya harus dinarasikan dengan masif. Apalagi kita, penuntut ilmu di luar negeri, mau tidak mau, selain harus mendalami spesifikasi yang kita geluti, kita punya tugas tambahan untuk menyeksamai perubahan dunia; kemudian memetakan langkah agar bisa dengan tepat mengisi kekosongan narasi untuk Indonesia.
Wallahu A’lam.
(ditulis tahun 2016 untuk Majalah PPMI Mesir)
86 notes
·
View notes
Photo
#Dia yang mendapat ketenangan, cenderung merasa #bahagia. Sebaik-baik kebahagiaan bukanlah terletak pada kehidupan dunia ini. Melainkan atas ketenangan menjalankan kehidupan setelah #mati. — Mau kemana kita setelah ini? — Dunia memang tempatnya berlelah-lelah. Namun hanya satu lelah yang menjalankannya justru memberi bahagia. Ya, merasa lelah di jalan Allaah. — #Lelah bermaksiyat, maka ia segera bertaubat. Lelah mengejar dunia, maka ia segera memenuhi seruan akhiratnya. Lelah terpenjara hawa nafsu, maka ia segera mendekat pada wahyu. Lelah melihat kerusakan peradaban, maka ia segera berdakwah mewujudkan perubahan. Manis, bukan? — Namun manusia tak selamanya begitu, kadang harus berjibaku dengan segudang #dilema. Kembali melakukan kesalahan yg sama, kembali terjerumus dalam siklus yg serupa. Mengapa bisa terjadi? Mungkin ada pemikiran dan kebiasaan yg perlu dibenahi. Belum terlambat untuk memperbaiki diri, selama detak #jantung ini belum berhenti. — Hanya Allaah tempat kembali. Sedang Allaah tak pernah berhenti #mencintai hambaNya yg berserah diri. Kalau bukan karena #keyakinan ini, sudah pasti tak ada ketenangan dalam hati ini. — Malam ke 27 Ramadhan malam nanti, siap bermesra lagi dengan Ilahi, @devinisee? 🥰 — **Nasihat ini untuk diri sendiri pertama kali, juga untuk saudara-saudari dan untuk setiap hati yang tak kuasa meninggi 💝 https://www.instagram.com/p/CAXnC6wBcTN/?igshid=1p2zem33v150v
0 notes
Text
Konsep filsafat sejarah Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh penting dalam peradaban Islam pada abad ke-14. Ia memiliki banyak pemikiran yang diikuti oleh banyak orang di dunia sampai saat ini, bahkan memiliki aliran pemikiran sendiri. Pemikiran tokoh ini sering dikaitkan pada dialog dengan realitas, sehingga gagasan-gagasan pemikirannya mendalam dan menarik untuk dikaji lebih jauh. Ibnu Khaldun memiliki konsep filsafat sejarah. Pemikiran ini memiliki basis konsep yang sama dengan teori sumber ilmu pengetahuan mazhab empirisme. Konsep ini banyak di telaah dari hasil karyanya yang terkenal yaitu kitab Ibrar, yang bermakna contoh atau pelajaran moral yang berguna. Ibnu Khaldun melihat sejarah dari dua sisi, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Sisi luar, beliau melihat sejarah tak lebih dari rangkuman suatu siklus atau periode kekuasaan masa lampau, namun apabila dikaji dari sisi yang mendalam sejarah merupakan penalaran kritis dan usaha cermat untuk mencari suatu kebenaran.
Pandangan tersebut mengarahkan Ibnu Khaldun merumuskan akar-akar dan konsep pemikirannya tentang filsafat sejarah. Menurut saya ini adalah bagian konsepsi dan mazhab pemikiran Ibnu Khaldun yang beraliran empririsme, dengan sebagian besar pemikiranya berdasarkan suatu pengalaman empiris. Berikut adalah tujuh poin pemikiran Ibnu Khaldun yang menggambarkan dominansi pemikiran empirisme tentang kritik dalam historiografi pada penulisan sejarah. Poin-poin pemikiran ini saya rangkum dari tesis Sujati (2013). Pertama, sikap memihak pada pemikiran atau mazhab-mazhab tertentu. Menurut hemat saya, pola ini terdapat kesamaan dengan teori cara pikir post-positivistik, bahwa selalu ada keberpihakan dalam bentuk apapun karena ada nilai-nilai yang dibawa oleh aktor tersebut, termasuk ilmuwan itu sendiri ketika ia akan membuat sebuah keputusan ilmiah. Pandangan Ibnu Khaldun ini menjelaskan tentang suatu afiliasi atau keberpihakan pikiran seseorang pada suatu pendapat atau kepercayaan sudah lebih dulu tertanam, maka ia akan berpihak pada pernyataan-pernyataan yang menguntungkan pendapatnya. Sehingga sikap memihak seperti ini akan menutup kejernihan pikiran, mencegah dilakukannya penyelidikan dan pertimbangan dan cenderung melakukan kesalahan.
Pemikiran Ibnu Khaldun yang kedua adalah kepercayaan yang berlebih pada pihak yang menukilkan sejarah. Padahal pernyataan-pernyataan tersebut sebelum diterima perlu diuji dengan ta’dil dan tajrih, sebagaimana metode ilmiah dalam sains. Metode ta’dil dan tajrih mirip seperti metode pengujian keshahihan suatu hadist dengan melakukan penelitan yang teliti terhadap personality aktor yang menyampaikan pendapat tersebut, diantaranya tentang aspek kejujuran dan kebenarannya. Metode ta’dil dan tajrih adalah langkah kedua dalam melakukan kritik terhadap suatu informasi sejarah. Langkah pertama adalah melakukan penilaian apakah informasi sejarah tersebut merupakan hal yang mustahil. Apabila diketahui infromasi sejarah tersebut mustahil terjadi, maka tidak akan dilakukan metode ta’dil dan tajrih. Ketiga, kesalahan dalam memaknai atau menginterpretasi maksud yang dilihat dan didengar serta membuat suatu laporan pernyataan atas dasar persangkaan atau perkiraan. Hal yang sering terjadi adalah seorang pengamat dan peneliti sejarah benar dalam menuliskan data-data atau informasi sejarah, namun salah memahami dan menginterpretasikanya. Penulis sejarah seringkali menulis informasi berdasarkan persepsi pribadinya, menggambarkan suatu peristiwa dengan imajinasinya, padahal persepsi yang digunakan tersebut salah.
Poin pemikiran Ibnu Khaldun yang keempat adalah persangkaan benar pada informasi sejarah yang tidak berdasar dari sumber berita. Kesalahan umum yang terjadi terlalu memutlakkan kebenaran yang disampaikan oleh penyampai informasi sejarah, tanpa melakukan konfirmasi atau menelusuri lebih dalam dengan metode-metode tertentu untuk mendeteksi sejumlah kekeliruan. Kelima, kesalahan karena lemah dalam mencocokan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya. Peneliti sejarah cukup dan merasa puas dengan interpretasi suatu peristiwa sejarah hanya berdasarkan melihat apa yang dilihat secara kasat mata, sehingga akan memutarbalikkan fakta dan kondisi sebenarnya yang lebih kompleks. Menurut saya konteks ini jika ditinjau dari teori kebijakan tentang menemukan masalah atau bagaimana mengungkap fakta, pemikiran Ibnu Khaldun pada poin kelima ini bermaksud menyampaikan bahwa pola seperti ini bisa terjadi karena belum terpenuhinya semua asumsi untuk menjelaskan dan mendefinisikan suatu peristiwa sejarah tersebut. Artinya gambaran besar dari suatu peristiwa belum didapatkan, sehingga banyak hal yang tidak diketahui dianggap sudah diketahui oleh penulis sejarah. Sesuatu yang tidak ada karena kita tidak tahu lalu dianggap tidak ada, padahal belum melakukan penelusuran detail dan menggunakan pendekatan atau bahkan bidang lain dengan model multidisiplin, sehingga ini merupakan suatu kesalahan dalam pendefinisian suatu masalah atau peristiwa sejarah.
Keenam, kecenderungan untuk dekat dengan para penguasa, pembesar atau tokoh-tokoh tertentu yang berpengaruh dengan memuji-muji atau menganggap baik semua perbuatan yang mereka lakukan. Dampaknya interpretasi suatu peristiwa sejarah akan disesuaikan dengan kepentingan atau membawanya pada hal yang menguntungkan mereka. Ada suatu pernyataan yang pernah saya baca, bahwa sejarah itu ditulis oleh pemenang atau yang memegang kekuasaan, sehingga kebenaran sejarah adalah kebenaran menurut interpretasi penguasa yang memiliki kekuasaan pada periode disusunnya peristiwa sejarah tersebut. Ketujuh atau poin yang terakhir adalah adanya ketidaktahuan tentang hukum-hukum atau watak perubahan masyarakat, padahal segala sesuatu itu pada umumnya baik benda maupun bentuk perbuatan tunduk kepada aturan hukum dan watak perbuatan. Penulis sejarah perlu memahami watak suatu peristiwa, konteksnya dan perubahan – perubahan yang terjadi, sehingga pengetahuan seperti ini akan membantu menguraikan setiap peristiwa sejarah berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran dan data yang memenuhi, serta dapat memilah kebenaran dan kebohongan yang terkandung dalam catatan atau dokumen sejarah.
Ibnu Khaldun dalam pemikirannya tentang filsafat sejarah menyatakan bahwa penyelidikan terhadap suatu peristiwa perlu menggunakan berbagai ilmu bantu atau multidisiplin ilmu dan bidang. Ilmu bantu tersebut diistilahkan oleh Ibnu Khaldun sebagai ilmu kultur (Ilm al-Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk melakukan penyelidikan tentang pengertian dan sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, dan melacak akibat-akibat dari perbuatan tersebut, sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah ini dikembangkan oleh Ibnu Khaldun berdasarkan inspirasi-inspirasi dari Al,qur’an. Demikian, terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Sujati B. 2018. Konsepsi pemikiran filsafat sejarah dan sejarah menurut Ibnu Khaldun. Tamaddun 6(2):134-137.
0 notes
Text
Iqra
Peradaban kita rasanya terlelap dalam tidur panjang. Di dalamnya tatanan dunia fantasi semacam Meikarta bermunculan sebagai mimpi. Saat kita terbangun, kita lalu sadar bahwa kita kembali ke awal. Peradaban kita terbuai teknologi. Nilai-nilai menjadi barang langka, sebab secara materil, ia tak tampak kasat. Dan peradaban kita tak menghargai hal semacam itu. Kemajuan selalu dianggap siam dengan indikator teknologi secara definitifl;teknologi yang membuai, bukan teknologi yang merangsang. Hasilnya kita jadi babi-babi di Spirited Away-nya Ghibli.
internet dan sosialitas adalah dua hal yang saling menggendong satu-sama lain. Kolaborasi keduanya sukses memberikan 'bumi' baru bagi pelakonnya. Oleh sebab itu, kita perlu mempertimbangkan untuk merekonstruksi ulang soal mana yang "nyata" dan "maya" di zaman digital ini. Ya, seluruh retak sisir pada diri manusia ini bisa jadi adalah efek samping perubahan. Siapa tak siap, maka menyingkir. Internet ini merambah seperti helm Chumbucket-nya Plankton; membudaki dan mengangkangi akal kita. Sayang, kita tak pernah sadar.
Saya pun begitu, selalu menggila dibuai teknologi. Mungkin hanya ada satu-dua orang gila (red: waras) yang menyadarinya. Bahwa kita, menyadur dari seseorang, "menaruh akal kita jauh di bawah telapak kaki."
Di sisi lain, saya bergumam, bahwa keadaan peradaban kita adalah sebuah pembuktian teori besar. Teori bahwa seluruh molekul, apapun bentuk dan jenisnya ada dalam sebuah siklus. Dalam siklus, tak ada depan atau belakang. Semuanya memudar.
Atau sebenarnya saya salah. Kita hanya tak mampu menahan percepatan. Kita tak pernah ada dalam siklus kalau tak mau disebut terlempar.
0 notes
Text
Resensi Buku Dilema Transformasi Budaya Dayak
Identitas Buku
Judul: Dilema Transformasi Budaya Dayak
Penulis: Roedy Haryo Widjono AMZ
Tebal: 196 + xxxix halaman
Terbit: 2016, Cetakan I
Penerbit: Nomaden Institute Cross Cultural Studies bekerja sama dengan Lembaga Literasi Dayak
Kata Pengantar oleh P. Wilfridus Samdirgawijaya Pr., Lic. Mis.
Pertama kali membuka buku ini saya terkesan dengan kertasnya yang berwarna gading dan beraroma khas. Pasti akan nyaman sekali dibaca, pikir saya. Namun melihat temanya tentang kebudayaan khususnya pada suku Dayak saya ragu apakah saya bisa bertahan membacanya hingga halaman terakhir. Lalu saya beranikan diri membuka bagian pengantar yang ditulis oleh P. Wilfridus Samdirgawijaya Pr., Lic. Mis., seorang Ketua Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik (STKPK) Bina Insan, Samarinda yang juga merupakan alumnus Facultae Missiologiae, Pontificia Universitas Urbaniana di Roma. Dalam pengantarnya beliau memaparkan bahwa banyak nilai-nilai kepercayaan masyarakat Dayak yang tertuang dalam adat kebiasaan hidupnya sejatinya juga ada dalam iman Katolik seperti penyerahan diri dan kepasrahan kepada Sang Pencipta, hidup berdampingan dengan alam sebagai saudara bukannya penguasa, pandangan tentang siklus kehidupan manusia serta penyembuhan penyakit. Sehingga dalam perkembangannya adat kepercayaan orang Dayak yang disebut 'agama bumi' dan iman Katolik yang merupakan 'agama langit' mampu berinteraksi secara harmonis. Lalu Pastor Wilfridus meyakinkan saya bahwa buku di tangan saya tersebut merupakan bacaan yang langka karena kerincian dan kedalaman pengetahuan penulis terhadap kebudayaan Dayak sehingga akan menginspirasi saya sebagai manusia yang hidup di zaman yang terus berubah.
Dilanjutkan testimoni oleh penulis yang mengenalkan kata kunci "sejarah tak mengenal jalan pulang". Kita sebagai manusia memengaruhi dan dipengaruhi oleh waktu sehingga transformasi merupakan proses yang tak mungkin dielakkan. Itu pula yang terjadi pada komunitas manusia Dayak. Dalam testimoni itu penulis yang menyebut dirinya "Sang Penyaksi" memaparkan alasan mengapa buku ini ditulis yaitu sebagai wujud keprihatinan terhadap nilai-nilai kearifan budaya dan adat Dayak yang makin lama makin ditinggalkan anggota komunitasnya karena lebih memilih bentuk-bentuk budaya baru yang serba cepat dan nampak keren. Menjadi kekhawatiran penulis bahwa peradaban Dayak akan punah begitu saja sebagai tragedi kebudayaan dalam sejarah seperti peradaban suku Maya, Lembah Indus dan Timur Tengah. Seperti pemandu penulis menjelaskan pula secara singkat garis besar "belantara-belantara" yang akan saya jelajahi sembari mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang berjasa dalam penulisan buku ini.
Belantara Satu: Pergulatan Identitas
Diawali dengan apa dan siapa orang Dayak itu, bagaimana mereka yang dipercaya berasal dari negeri Cina sampai di tanah Kalimantan dan lalu menyebar menjadi berbagai kelompok etnis Dayak yang memiliki berbagai versi klasifikasi suku dan sub-suku dengan keunikan karakteristik budayanya yang meliputi tempat tinggal yaitu rumah panjang, senjata khas yaitu mandau dan sumpit, kerajinan anyaman dan tembikar, kedudukan dan peran gender serta seni tari sebagai bagian ritual dan seremoni. Karakteristik budaya tersebut menjadi penegasan jati diri manusia Dayak sebagai pribumi Kalimantan. Penulis lalu mengarahkan pandangannya ke Samarinda, ibukota provinsi Kalimantan Timur yang dijadikan contoh dari banyak kota di Indonesia yang meminggirkan para pedestrian atau pejalan kaki dengan penyempitan area trotoar serta pengalih-gunaan trotoar sebagai lahan parkir dan lahan niaga, juga seringkali menjadi lajur alternatif bagi kendaraan roda dua. Sehingga dibanding dengan dekade 70an - 80an wajah Samarinda kini semakin kehilangan kemanusiaannya.
Kembali ke belantara budaya Dayak, penulis menyajikan konsep gender dalam konteks masyarakat Dayak. Perempuan dan laki-laki dalam konteks budaya Dayak adalah setara dan saling berimbang mulai dari mitologi, peran kepemimpinan dalam komunitas, sampai keterlibatan dalam kehidupan rumahtangga dan berladang. Pembedaan seksual hanya ada pada pakaian dan aksesoris atau tato yang dikenakan, ritual serta pemisahan tempat tidur dalam rumah panjang. Arus modernisasi dan eksploitasi wilayah budaya Dayak oleh industri skala besar justru menghancurkan akses masyarakatnya terhadap sumber daya alam sehingga peran perempuan pun terpinggirkan. Ditambah dengan peradaban sungai yang kian tenggelam digantikan budaya berbasis darat yang karena kecepatannya membuat kita lupa bahwa sejatinya budaya Indonesia tidak dapat terpisahkan dari sungai dan lautan.
Belantara Dua: Kearifan Tradisi Warisan Leluhur
Belantara dua merupakan rimba yang indah karena di sini dipaparkan ritual adat Dayak Benuaq yang mengikuti siklus kehidupan sejak kelahiran (ngeragaq), menjadi anak-anak (melas), perkawinan (pelulukng) dan kematian (kewangkey) yang dipandang bukan sebagai akhir namun merupakan awal dari kehidupan baru di Negeri Keabadian Lumut. Di setiap ritual dijelaskan secara rinci asal muasal, tata cara dan tahapan pelaksanaan, persembahan yang disiapkan beserta makna dan kearifan yang dikandung. Dituturkan pula cerita tentang Luikng Ayakng Sang Dewi Padi yang demi kelanjutan hidup manusia rela mengorbankan dirinya menjadi berbagai jenis padi serta asal mula kebiasaan nyahuq, yaitu membaca pertanda alam lewat suara binatang yang dipercaya menandai akan terjadinya suatu peristiwa.
Belantara Tiga: Kelampauan Tergerus Kekinian
Berpusat pada seputar kematian, bagian satu dari belantara tiga bertajuk "Kubur di Awang-Awang". Ini dikarenakan betapa unik dan istimewanya pandangan masyarakat Dayak terhadap kematian. Berbeda dengan kebanyakan kita yang memandang kematian adalah akhir kehidupan di dunia, bagi masyarakat Dayak kematian justru menjadi paragraf baru sejarah manusia. Maka dalam setiap tahap ritualnya dipahami sebagai proses perjalanan ruh menuju negeri para dewa dan Sang Pencipta di langit yang berlapis delapan (Langit Walo Lepir). Perjumpaan dengan iman Katolik khususnya dalam ritual kematian ini menghasilkan sinkretisasi (penggabungan) ritual adat dengan ritus agama sehingga menghasilkan makna baru yang melibatkan kekudusan Yesus dan Gereja dalam perihal kematian ini.
Pandangan tentang manusia juga tertuang dalam ritual belian yang memahami bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang jika kehilangan keseimbangannya maka manusia itu akan sakit, mengalami mimpi buruk atau nasib naas. Maka ritual belian bermaksud mengembalikan keseimbangan sehingga si sakit sembuh kembali. Dalam budaya Dayak sendiri telah berkembang tradisi obat-obatan tradisional dan pantangan makanan atau melakukan kegiatan tertentu sesuai penyakit yang sesungguhnya banyak bersesuaian dengan prinsip pengobatan medis modern. Akan tetapi seiring kemajuan zaman dan penyempitan hutan karena eksploitasi pengetahuan pengobatan tradisional Dayak kian punah tak terwariskan sehingga belian menjadi tumbal peradaban digilas praktik medis modern.
Dalam belantara tiga juga kita temukan bantahan terhadap anggapan bahwa cara bertani orang Dayak merusak hutan. Berladang merupakan bagian dari identitas masyarakat Dayak. Mereka memiliki aturan yang tegas terhadap pembagian lahan beserta fungsinya juga tata cara pengolahannya. Tumbuhan yang ditanam amat beragam baik dari segi jenis, nilai ekonomis dan manfaatnya. Jika tidak dilestarikan, budaya simpukng munan hanya akan menjadi legenda digantikan sistem perkebunan modern yang justru memutus akses pemanfaatan sumber daya alam secara arif bijaksana.
Belantara Empat: Dilema Pergolakan
Dikemukakan di sini bahwa masyarakat Dayak haruslah merebut kembali kedaulatan budaya agar tidak terus hilang tergerus penguasaan atas nama pembangunan dan globalisasi. Agar kebudayaannya yang khas tidak lantas menjadi komoditas yang sekadar dipertontonkan bahkan dijual namun juga menjadi nilai-nilai yang dihayati setiap manusia dalam menjalani setiap siklus kehidupannya. Dalam dialektika yang diajukan penulis, perebutan kedaulatan budaya ini bisa dilakukan melalui penguasaan habitus, kapital dan arena oleh generasi muda. Juga bersikap arif terhadap setiap perubahan yang dibawa oleh arus waktu. Penulis juga menggunakan pengukuhan Desa Long Anai di daerah Loa Kulu menjadi Desa Budaya sebagai contoh konkret dilema pergeseran budaya. Di mana suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang merupakan imigran dari Apo Kayan setelah beberapa kali masa eksodus kemudian menetap di wilayah Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya tidak lepas dari pro dan kontra, bahkan ada yang menjadikan pengukuhan Lung Anai sebagai desa budaya sebagai sarana untuk mendapatkan hak atas sumber penghidupan (areal perladangan).
Belantara empat ditutup dengan kenangan penulis tentang ayahnya, Hipoq Jaw yang bijaksana, bercerita tentang hakikat makna berladang sampai kekhawatirannya akan tradisi yang kian pudar.
Tengah malam ketika saya sampai di halaman terakhir. Saya merasa bangga sekaligus malu dan berdosa karena asumsi saya yang salah selama ini terhadap keyakinan dan cara hidup masyarakat Dayak. Karena percobaan mengubah mereka menjadi 'beradab'. Juga banyak manusia kini tak peduli pada apa yang terjadi dengan alam, masyarakat bahkan identitasnya. Benarlah kata Pastor Wilfridus, bahwa setelah membaca buku ini saya bertransformasi menjadi manusia yang lebih arif dalam memandang diri dan semesta. Benar pula pernyataan penulis bahwa sejarah tak mengenal jalan pulang. Sejarah akan terus mendorong kita untuk maju bersama waktu sembari menyisipkan kebijaksanaan berumur ribuan tahun.
Kesimpulan:
Sebagai bahan bacaan akademik, Dilema Transformasi Budaya Dayak berhasil memberikan gambaran yang utuh dan rinci mengenai adat dan ritual budaya Dayak dalam halaman yang relatif sedikit. Kutipan dari para filsuf dan puisi yang disertakan penulis dalam bukunya juga memperingan kesan 'berat' yang umum dimiliki buku sejenis. Sayangnya bagi saya yang merupakan pembaca awam non-Dayak buku ini tidak dilengkapi dengan cara membaca tulisan berbahasa Dayak Benuaq seperti tempuutn, simpukng, Luikng Ayakng serta terjemahan bagi mantra-mantra ritual yang indah itu.
0 notes
Text
Benar, Perpecahan NKRI Bisa Terjadi, Kalau…
Benar, Perpecahan NKRI Bisa Terjadi, Kalau…
Dakwah Media – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan potensi pecahnya suatu negara karena faktor internal dan eksternal. Hal itu juga bisa terjadi di Indonesia.”Saya berpendapat saat ini potensi perpecahan NKRI bisa terjadi. Dari mana sumbernya, bisa dari internal dan eksternal,” kata Tito saat memberi kuliah umum PMII di aula Asrama Haji, Jl WR Supratman, Kota Palu, Senin (15/5/2017). (https://news.detik.com/berita/d-3501807/kapolri-negara-pecah-karena-dua-faktor-internal-dan-eksternal)
Faktor Internal tapi dipengaruhi Ekspansi Eksternal Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyampaikan “Dari internal, justru permasalahan pemerataan pembangunan ekonomi…”, ini adalah salah satu masalah. Sumber masalahnya adalah diterapkannya kapitalisme, ditinggalkannya penerapan hokum Islam. Kapitalisme berarti kemunduran peradaban. Ekonomi dunia selama 60 tahun terakhir berada di bawah kendali Amerika, ikon negara kapitalis. Kebangkrutan yang terjadi di Indonesia adalah karena sistem Kapitalisme. Faktor ekspansi Barat, Barat memiliki dua andalan produk untuk diekspor ke penjuru dunia: sistem demokrasi dan sistem ekonominya yang dianggap sebagai cara terbaik untuk menghasilkan dan mendistribusikan kekayaan. Sejak dilancarkan apa yang dinamanakan ‘perang melawan teror’, negara-negara Barat, yang merupakan benteng ‘kebebasan dan demokrasi’ melakukan penyiksaan dan pembantaian. Dalam beberapa hal, demokrasi liberal dapat menjadi sebuah kekuatan penekan sebagaimana kediktatoran.
Ironis, selama bertahun-tahun, sebagian elemen politisi mengklaim bahwa sistem kapitalisme dan demokrasi liberal adalah cara terbaik yang bisa memberikan kesejahteraan, pemerintahan yang stabil dan ekonomi yang memakmurkan; serta mampu menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, politik dan masalah-masalah lain yang dihadapi masyarakat.
Para ekonom dunia saat ini menyalahkan krisis ini pada ketidakbecusan untuk mengatur dan tidak adanya rasa tanggung jawab rezim lokal maupun Wall Street, tetapi mereka tidak menyelesaikan masalah fundamental bahwa sistem Kapitalisme, walaupun pulih sejenak, selalu menimbulkan ledakan-ledakan yang tidak dapat dipertahankan dan akhirnya menimbulkan dentuman yang hebat.
Soal ekonomi, Islam telah menjawab apapun yang diperlukan, tetapi hanya kurang mekanisme untuk mengimplementasikan semua solusi itu, yakni sebuah negara. Jadi, solusinya adalah menegakkan kembali negara kita (Khilafah) dan menerapkan Islam. Semua konsep itu semua harus diterapkan dan tidak berlaku sebagai teori-teori. Islam tidak pernah datang sebagai argumen-argumen teoretis atau filosofis, melainkan sebagai sebuah agama yang bisa dipraktikkan bagi seluruh manusia. Firman Allah (yang artinya), “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,” adalah sama pentingnya untuk diterapkan sebagai mana ayat-Nya (yang artinya), “Dirikanlah shalat”.
Kesedihan terbesar kita adalah bahwa kehidupan seperti ini tidak kita praktikkan pada saat ini sehingga kepemimpinan intelektual dan ekonomi Islam tidak ada pada masyarakat. Semua ini menambah alasan bagi kaum Muslim untuk bekerja lebih giat guna mengembalikan kehidupan Islam ini sesegera mungkin. Faktor Eksternal tapi Kembali karena Sebab faktor Internal
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga menyampaikan faktor kedua yaitu politik internasional, “…Politik internasional dalam teori politik internasional dunia adalah anarki. Anarki bukan kekerasan. Artinya adalah terjadi ketidakteraturan karena tidak ada otoritas yang mengatur. Dalam hal ini tidak seimbang. Kenapa anarki? Karena tidak ada negara dunia yang menjadi pemimpin”.
Sebenarnya dunia ini benar-benar menangis untuk mencari jalan keluar alternatif atas sistem yang tidak adil dan tidak stabil ini. Karena itu, kaum Muslim harus menunjukkan munculnya kepemimpinan yang diperlukan itu. Perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Untuk itulah, umat Islam harus mendirikan kembali Khilafah Islam dan kemudian di situlah akan ada daya tarik luar biasa pada Islam yang membawa solusi untuk masalah-masalah seperti ini. Negara-negara miskin perlu melihat Islam diterapkan bukannya hanya mendengarkan diskusi atas suatu teori belaka.
Pak Tito, dunia sedang menunggu solusi alternatif bagi permasalahan yang dihadapinya, setelah Kapitalisme yang mengangkangi perekonomian dunia mengalami kerusakan, kelaparan dan pemiskinan sistematis. Belum lagi fakta di lapangan menunjukkan Kapitalisme tidak mampu mensejahterakan rakyat. Ini semua seharusnya menggugah kaum Muslim untuk menyodorkan Islam sebagai alternatif bagi dunia, bahkan solusi satu-satunya yang sahih, yang akan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien. Caranya adalah dengan merekonstruksi Daulah Khilafah sebagai metode implementasi Islam yang dapat mempersatukan potensi seluruh bumi Islam dan kaum Muslim.
Kepemimpinan yang diberikan oleh Khilafah (menurut sejarah dan pada saat kembalinya nanti) adalah untuk keuntungan masyarakat secara umum, dan bukan hanya untuk segelintir orang. Ketika Islam tersebar dengan cepat pada masa lalu, para sejarahwan kagum pada bagaimana Islam bisa menaklukkan orang untuk memeluk cara hidupnya, dan menjadi pemimpin di wilayahnya (dengan menerapkan syariah) dan mendukung terus tersebarnya Islam. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat ini, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan, rumah dan kekayaan mereka (melalui resesi, pajak yang memberatkan dan pemerintahan yang melakukan inflasi), mereka mulai mencari alternatif-alternatif dan amat penting bagi Muslim untuk menunjukkan kepada mereka alternatif itu.
Islam di dalam Khilafah memberikan sistem ekonomi yang stabil dengan sedikit bahkan tidak ada inflasi, tidak ada pemberian dana talangan bagi bank-bank, pelarangan pajak dan future trading (perjudian), pungutan atas kekayaan bukan pada pendapatan, dan mengakhiri siklus naik-turunnya ekonomi secara tajam.
Oleh: Umar Syarifudin (Pengamat politik Internasional)
Sumber : Source link
0 notes
Text
Habib Muhsin Sebut Anies Salah Satu Unsur Perubahan dalam Siklus 100 Tahun Peradaban Dunia
JAKARTA | KBA – Sekretaris Jenderal Majelis Bangsa Indonesia (MBI) Habib Muhsin Ahmad Al-Attas mengungkapkan bahwa setiap 100 tahun akan terjadi sebuah perubahan siklus peradaban dunia. Dia mengatakan, selama ini baik di bidang ekonomi ataupun politik didominasi oleh ideologi kapitalis dan komunis yang setelah diterapkan banyak kegagalan. Menurutnya, masyarakat ke depan akan membutuhkan sebuah…
View On WordPress
0 notes
Photo
Fisipol Art Days 2017 – Open Submission Brief
Future Leaks: 5W + 1H Are We Going?
Detik ini adalah titik transisi. Kita tak pernah benar-benar berada di sebuah awal atau akhir, maju atau mundur. Yang pasti, seluruh gerak kita adalah menuju masa depan, apapun bentuknya. Di level universal, seratus tahun lalu masa depan adalah serba-serbi modernitas. Pabrik-robot dibuat demi efektivitas produksi, mesin dibuat agar mobilitas adalah soal percepatan, relasi adalah kompetisi, dan kerja keras adalah kunci. Tengok sampai di mana kita sekarang. Ruang dan waktu dibunuh teknologi nirmateri. Internet membuat kita melayang-layang dalam identitas tanpa batas. Ketika jalur satu arah macet, orang-orang mulai kembali merayakan kelambanan sebagai gaya hidup. Ide-ide tak lagi harus mewujud materi, relasi digiring jadi kolaborasi, dan kerja cerdas adalah kunci.
Jangan bilang ini tak ada hubungannya dengan kita. Di level personal, pertanyaan ibu-bapak di rumah perihal skripsi atau serbuan tanya tahunan perihal gaji maupun relasi adalah hal paling awam yang memantik kita menerawang masa depan. Sebagian mungkin tengah memenuhi lembar CV, mengisi kontak relasi, atau berjudi dengan prinsip demi jiwa bebas yang tak disetir sistem. Tapi tren musik, pakaian, dan tetek bengek sosial lainnya dari tahun ke tahun lebih seperti siklus daripada gerak berganti. Ketika sebagian optimis dengan pembangunan, separuhnya bilang peradaban kita mundur. Lantas, masa depan itu arahnya maju atau mundur?
Berpijak pada saat ini, kami ingin mengajak kalian berpikir dalam kerangka cara kerja media. Karena, toh, semua orang sekarang adalah media. Aku, kamu, dan kita adalah versi termumpuni dari koran, radio, televisi, dan/atau agen informasi konvensional lain. Tak perlu sungkan karena kenyataannya memang begitu. Proses produksi dan konsumsi informasi yang dulu dalam kendali institusi sekarang sudah ada di tangan masing-masing. Mari rayakan sebuah era di mana informasi melayang di udara dan bebas direproduksi. Tak perlu sungkan menghadapi isu-isu miring. Nyatanya, zaman berubah. Dulu informasi dan pengetahuan adalah kekuatan, sekarang ketika kekuatan itu di tangan, bagaimana hal itu kita gunakan untuk menuju masa depan?
FAD 2017 mengajak kalian untuk membuat lubang di sekat waktu, lubang kecil untuk mengintip masa depan kita dan dunia, dengan menggunakan prinsip kerja media masa kini. Berbasis kenyataan, dengan ribuan kemungkinan. Dengan berbagai tarikan dan referensi tentang gerak maju peradaban, perubahan sosial, isu-isu keseharian yang intim maupun pergulatan pribadi, kami mengharapkan karya-karya yang menyentil, kontekstual, nakal, dan berani.
Masa depan seperti apakah yang kita tuju? Gerak macam apa yang kita buat? Ke mana kita akan pergi? Siapa kita nanti? Kenapa kita memburu masa depan? Kapan masa depan itu datang? Bagaimana kita membayangkan masa depan?
Dari begitu banyak kemungkinan, bayangkan satu.
Titah AW
-Kurator
0 notes
Text
Bumi
Lahir dalam peta, ingatnya akan masa lalu juga ialah mimpi yang hanya mewujud kertas lipat.
“Aku pernah ke laut sekali. Samudera yang megah berayat dalam hembusan. Biru. Aku dipanggilnya, untuk berlayar ke balik ombak. Barangkali, ke tempat kelahiranku.”
Dalam tidur, ia adalah kebun. Bunga yang mekar pada tanaman rambat menyebulkan serbuk sari yang menjelma mata. Terbang ia mencari dan memilah memori yang nyata, di tengah berlembar mantra yang hanya dibisikkan berkali-kali tapi berniscaya menjadi masa kecil dan sepeda roda tiga yang ia kenang dengan berharga. Tapi memori adalah halusinasi.
“Aku pernah ke laut sekali. Samudera yang megah berayat dalam hembusan. Biru. Aku dipanggilnya, untuk berlayar ke balik ombak. Barangkali, ke tempat kelahiranku.”
Pun bumi pernah bulat. Hukumnya juga masih mengadili jatuhnya batu dalam gravitasi, atau membelahnya ragi dalam roti di sini. Kisah itu nyata, dalam sejarah yang paling berantah, satu jengkal cahaya dari gapaian jemari.
“Aku pernah ke laut sekali. Samudera yang megah berayat dalam hembusan. Biru. Aku dipanggilnya, untuk berlayar ke balik ombak. Barangkali, ke tempat kelahiranku.”
“Apa benar bumi dijejak di punggung kura-kura?” Ide bercucuran dari ibu-ibu yang mulai tua. Intuisi mereka bicara, ada yang kurang bulat dalam bumi yang katanya bulat. Mereka anak-anak yang mengenal kampung halamannya.
Tapi kura-kura makan apa? Bagaimana ia hidup selamanya? Kalau berjalan, bagaimana bintang bulan dan matahari harus berlari mengejar bumi? Kura-kura terpilih karena punggungnya meja, tapi bahwa pemilihan hewan lain tidak masuk akal bukankah menjadikan kura-kura tidak masuk akal juga? Apa kura-kura lokal sini akan besar dan menumbuhkan kehidupan kecil juga di karapasnya? Apa magma tidak mematangkan darahnya? Mana bencana, waktu ia tidak sedang mematung diam layaknya sesuatu yang bukan kura-kura?
Demikianlah ibu-ibu itu menyudahi bersit tanya ini, kemudian menutup mata dan tak bangun lagi.
Dan buku-buku yang terbakarlah yang menyembunyikan jawaban. Bayi-bayi yang lahir tanpa contekan dari leluhurnya, akan membuat lazim yang baru. Mengapung di udara, adalah jawaban yang nanti akan mendudukkan mereka di tengah hampa yang tak hingga, bahwa mereka tak bisa pulang, tidak nanti, tidak sekarang.
Diagram alir pengawetan planet:
1. Kepunahan planet dikalkulasi dengan model prediktif
2. Profil dan konformasi atom permukaan direkam dan dikalibrasi pada satu waktu sebelum fase eksponensial kehancuran planet
3. Bidang bulat diproyeksi pada permukaan datar
4. Informasi lokal yang secara fisik berbeda dengan realita baru replika dihapus atau disesuaikan tanpa intervensi signifikan pada karakter profil informasi planet
5. Informasi diatur untuk mencegah makhluk planet keluar/mencapai ujung replika/ memperoleh informasi mengenai kondisi luar replika
6. Data makhluk hidup dan informasi mengenai makhluk hidup pada kutub yang diproyeksi menjadi ujung replika dihapus
7. Dilakukan simulasi replika in silico
8. Ruang kerja dikarantina
9. Benda mati direplikasi dari inti planet ke permukaan
10. Benda hidup direplikasi dari kulit ke inti
11. Dilakukan enyesuaian lingkungan eksternal dan iklim replika dengan kondisi asal planet atau penyesuaian informasi lingkungan planet dengan kondisi sesuai replika
12. Replika diorbit
13. Replika dikejut untuk aktivasi
14. Dilakukan konformasi atom ulang pada replika ke T0 setiap 500 ● atau setiap deviasi dengan ■>0.073
Setelah satuan ribu waktu, tim kembali ke planet target untuk merekam data kepunahan planet. Planet yang kering dikoleksi untuk bahan baku replika.
Dan museum peradaban planet adalah aset dan harta semesta. Tanpa intervensi pada ekosistem lokalnya, pembuatan replika dilakukan tanpa pelanggaran etika. Spesimen planet pada orbit museum telah dibekukan pada peradaban terakhir planetnya secara informasi, dan evolusi diperlambat dengan menjaga kestabilan lingkungan planet serta menjalankan depopulasi manusia selaku pemicu ketidakteraturan tertinggi secara teratur. Keberjalanan planet merupakan simulasi. Tidak terjadi pelanggaran hak asasi terhadap makhluk asal planet. Baik kehancuran planet asal maupun koleksi spesimen dapat diobservasi pada penelitian antropologi, biologi, dan kimia galaksi. Bangsa kami, sungguh telah menyumbangkan kontribusi tak tergantikan pada ilmu pengetahuan semesta.
57 pengulangan sudah dilakukan untuk SS3. Dalam 500●, makhluk dominan SS3 yang berumur pendek hanya mencapai paling banyak 17 generasi dalam satu siklus. Sejujurnya, menjadi pustakawan orbit akan membosankan tanpa spesimen-spesimen dengan sedikitnya tingkat kompleksitas ini. SS3 dan HG5 merupakan spesimen favoritku. Peradabannya warna-warni, makhluknya berperang dan menghancurkan diri. Yah, tentu saja mereka menghancurkan diri. Bagaimanapun, mereka bangsa yang secara prediktif akan mencapai kepunahan dalam waktu sangat dekat. Tanpa berbagai kalibrasi untuk mencegah perkembangan yang berarti, tak akan ada mereka bertahan barang 100●. Lagipula planet yang tidak memiliki kecenderungan semacam itu tak akan dikoleksi.
Sudah 1● setelah siklus baru dimulai. Dalam beberapa waktu ini, aku jadi terikat dengan beberapa karakter generasi pertama. Kelahiran, kematian, perjalanan dan kejadian yang sama 56 kali, pada waktu-waktu pertama. Dengan titik awal yang sama, mengasyikkan mengikuti bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka yang sebelumnya atau membuat pilihan yang berbeda di sini dan di situ, lalu mengubah sendiri hidupnya. Generasi-generasi lanjutan sudah terlalu banyak terpengaruh perubahan-perubahan kecil ini dan sulit untuk diikuti.
Mereka mengenal istilah dunia paralel, deja vu, reinkarnasi. Entah istilah ini muncul dari kehidupan mereka di planet asal atau sepanjang siklus dalam replika. Tidak tahu mereka kalau istilah-istilah itu ada benarnya. Seperti televisi, mereka hidup dalam selapis kenyataan yang pura-pura, dibungkus simulasi dan dibatasi pengetahuannya agar tak pernah menemukan kebenaran. Tapi, hei, kalau kebenaran adalah bawang, benarkah kami lapisan terluarnya? Hanya duduk di hadapan layar dan mengamati makhluk-makhluk lahir dan mati seperti ini sungguh akan membuat seseorang mempertanyakan hal.
Itu dia, lelaki tua itu tenggelam lagi.
“Aku pernah ke laut sekali. Samudera yang megah berayat dalam hembusan. Biru. Aku dipanggilnya, untuk berlayar ke balik ombak. Barangkali, ke tempat kelahiranku.”
03/05/17
ps. untuk Dumai tahun 1994
#gara-gara GNFI bilang dumai baru ada taun 1999#trus cindy bilang dumai aku adalah paper town :'#sama obrolan flat earth di mobil#sama pinjem konsep kota terbangnya Dark City (1998)#sama pinjem nama SS3 ya fi#sama pinjem vine-vinenya TDG#6#prosa
0 notes
Text
Hutan dan Pembangunan Berkelanjutan
Sebelum masuk ke isi judul, akan diberikan sedikit pencerahan mengenai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan gerakan universal (mendunia) yang dimaksudkan untuk mengakhiri kemiskinan dan melindungi planet ini, memastikan bahwa semua orang dapat menikmati perdamaian dan kemakmuran. Hah? Gimana tuh? Jadi, SDG’s merupakan goal-goal (ada 17) yang disepakati bersama di dunia internasional menggantikan Millennium Development Goals (mungkin nanti bisa iseng cari tahu sendiri). Saya sendiri gak akan terlalu bahas tentang sejarah dan goal-goal lengkap dari SDG’s. Goal-goal yang terdapat untuk pembangunan berkelanjutan ini melibatkan banyak aspek, mulai dari sosial, ekonomi, sampai kepada lingkungan (ekologis).
Lantas kenapa hutan bisa dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan? Emangnya ada peradaban di dalamnya? Nah, hutan sendiri bisa dikaitkan sama goal ke-15 dengan tujuan untuk “melindungi, mengembalikan, dan mendukung kelestarian penggunaan ekosistem terestrial (darat), pengelolaan hutan yang lestari, memerangi penggurunan, dan menghentikan serta mencegah degradasi lahan, dan menghentikan kehilangan biodiversitas.
Hutan berperan sangat signifikan dalam mengurangi risiko bencana alam. Kok bisa? Siklus hidrologi yang melibatkan vegetasi (dalam hal ini vegetasi hutan) dapat mencegah banjir, kekeringan (vegetasi hutan menjaga ketersediaan air tanah), longsor, dan bencana ekstrim lainnya. Secara global, keberadaan vegetasi hutan berperan untuk mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon, berkontribusi dalam menyeimbangkan oksigen, karbon dioksida, dan kelembaban di udara serta melindungi Daerah Aliran Sungai, yang merupakan penyedia air bersih di dunia (75%). Selain itu, hutan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh dunia di daratan (80%).
Secara umum, yang diberi cetak tebal merupakan hal yang ditopang oleh hutan. Karbon untuk mitigasi perubahan iklim, pemeliharaan Daerah Aliran Sungai bagi ketersediaan air bersih, dan habitat bagi biodiversitas. Penghasil oksigen terbesar memang bukan dari hutan, melainkan dari alga (gangang hijau) yang ada di laut. Mengapa demikian? Logikanya saja, bumi 2/3nya lautan jadi wajar kalau sumber oksigen terbesar memang berada di perairan. Namun jika ditanya soal stok karbon, daratan jelas berperan lebih banyak. Keberadaan hutan sangat penting dalam menjaga keseimbangan siklus karbon (mungkin suatu hari akan dibahas lebih jelas tentang carbon cycle). Karbon tidak hanya tersimpan dalam tubuh pohon (akar, batang, daun), tapi juga tersimpan di dalam tanah (bisa dibaca di HCV tentang istilah above ground and below ground biomass).
Air bersih. Wah untuk yang satu ini erat kaitannya dengan seluruh makhluk hidup. Manusia butuh banget air bersih untuk berbagai macam hal, mulai dari aktivitas sehari-hari sampai pekerjaan. Keberadaan air bersih menjadi suatu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan kita tak bisa hidup tanpanya. Saat ini mungkin saja kita gak sadar karena akses yang mudah untuk mendapatkan air bersih ini. Tapi kalau sulit? Mungkin mulai berpikir dan teringat lagi kalau vegetasi (terutama hutan yang berada di kiri kanan bantaran sungai) sangat penting dalam menjaga kebersihan air. Gunanya apa? Salah satunya mencegah sedimentasi. Sedimentasi erat kaitannya dengan erosi, erosi salah satunya merupakan akibat jika vegetasi tidak ada (tapi bukan berarti sembarangan nanem tanamannya ya, ada kriteria-kriterianya juga hehe). Menurut United Nations sendiri, Daerah Aliran Sungai menyupply air sebesar 75% di dunia. Wah kebayang banget lah ya andai hutan gak ada atau semakin berkurang, pasokan air bersih pun akan ikut berperan.
Habitat bagi biodiversitas. Menurut kitab suci yang aku baca pun, manusia pertama itu diciptakan untuk hidup di sebuah taman bernama Eden. Dan kalau baca di kitab pertama yaitu Genesis (Kejadian), taman Eden ini bisa dikatakan bak hutan lah dari keterangan yang tertulis disana. Lengkap, ada sungai, hewan2, dan pohon2 serta tumbuh2an lainnya. Kebayang dong ya, Tuhan memilih bentuk ekosistem ini sebagai penyokong kehidupan perdana sebelum timbulnya peradaban. Sandang, pangan, dan papan (mungkin saat itu manusia nomaden bentuk rumahnya, di Alkitab gak diceritain hehe). Di dalam hutan terlindungi berbagai macam hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan sampai bentuk organisme yang gak kelihatan pakai mata telanjang yang dikenal dengan mikroorganisme (mikroba). Kenapa biodiversitas penting? Aku pakai logika di hutan tanaman yang cenderung monokultur sama hutan heterogen deh ya. Nah, kalo di hutan tanaman yang monokultur kalau yang satu kena penyakit akan cepet banget menyebarnya ke tanaman lainnya karena jenisnya sama. Kalau di yang heterogen, yang satu sakit belum tentu bisa menular ke yang lainnya karena jenisnya beda. Nah, dari sini aja udah agak tercerahkan lah ya kenapa Tuhan menciptakannya gak sejenis tapi ragam jenis. Salah satunya ya untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Selain itu masih banyak deh, yang intinya untuk menjaga keseimbangan setiap proses yang terjadi secara alami dalam kehidupan. Kalau nanya kenapa lagi, jelas jawabannya antara jenis yang satu dengan yang lain berfungsi untuk saling mendukung dan memperlengkapi! (Ayo, mendukung dan memperlengkapi ya bukan untuk saling menolak belakangkan apalagi bermusuhan). Kemudian, menurut UN ada 80% keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan. Wah, sangat penting banget ya karena keragaman itu anugerah yang udah Tuhan sediakan sejak semula. Sebetulnya saat keragaman itu mulai berkurang, yang merugi itu kita sendiri yang menyebabkannya. Keragaman itu udah dipandang baik sejak awal penciptaan (kalo gak baik ya gak diadakan, ya kan?) Kita tidak bisa menghalangi kepunahan, sebab segala yang hidup pada akhirnya akan mati juga. Namun yang bisa kita lakukan adalah memperlambat kepunahan itu. Soal keragaman hayati ini ada banyak sudut sih, namun bisa kita pikirkan baik2 karena keragaman hayati memberikan pengaruh juga kepada dua fungsi hutan sebelumnya (karbon dan air bersih). Tiap jenis pohon biomassanya berbeda-beda dan tiap jenis pohon kekuatan akarnya pun berbeda. Nah, dua hal ini merupakan contoh kecil pengaruh biodiversitas terhadap dua fungsi lainnya.
Kira-kira, ini gambaran kecil yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat dan mohon maaf bila masih banyak kekurangan. Terima kasih :)
Sumber: https://www.fs.fed.us/speeches/role-forests-sustainable-development
https://sustainabledevelopment.un.org/topics/forests
0 notes
Text
Mozaik peradaban
Orang-orang besar yang mengisi ruang waktu dan mengubahnya menjadi lipatan sejarah besar hanyalah orang-orang biasa yang belajar konsisten, orang-orang sederhana yang isitiqomah memberikan yang terbaik. Orang-orang dengan dengan entitas yang sama, bedanya mereka punya obsesi besar untuk menjadi yang sebaik-baiknya di hadapan Allah. Itu obsesi mereka
"Setiap tempat dan momentum itu sebenarnya sama , namun yang membuatnya beda ialah aktornya. Aktor punya entitas makna yang dalam pada setiap waktu dan tempat, kesan dan kemampuan memetik hikmah, poin ini yang memberikan hasil yang berbeda
Hidup ialah suatu tahapan, dan hal ini juga suatu hukum yang sama yang berlaku pada setiap entitas hidup yang lain.
Ada satu point penting, ketika telah melewati tahapan sebelumnya, dan menuju tahapan selanjutnya, maka rangkaian tahapan sebelumnya merupakan suatu rantai yang tidak boleh terputus. Tahapan sebelumnya tetaplah menjadi proses yang mengantarkanya menjadi siklus besar yang menyejarah dalam peradaban hidup manusia
Manusia itu punya sisi keangkuhan dalam pribadinya, namun kekuatan iman mengalahkan sisi itu. Terkadang karena keangkuhan ini, lebih banyak manusia yang bertanya keabsahan suatu nilai daripada kebenaran suatu nilai.
Namun hikmah dari abad Jahiliyah dulu juga mengajarkan, sosok-sosok manusia angkuh yang bahkan menanyakan kebenaran firman Tuhan, benarkah ini Firman Allah ? Sisi keangkuhan itu telah mengalahkan suatu karunia besar dalam hati manusia, Cinta.
Momentum itu sebuah perubahan, hidup ini menuju perubahan dalam segala prosesnya. Momentum terbaik itu lahir ketika kesiapan dan kesempatan bertemu, sehingga nilai hal sederhana yang diperlukan adalah melakukan sebaik-baiknya pada setiap entitas momen kehidupan.
Pelajaran itu selalu datang setiap saat, hikmah itu banyak berserakan namun hanya hati yang ikhlas yang bisa mengambil momentum itu lebih baik di atas rata-rata. Setiap pribadi punya episode hidup, bagian perjalanan dalam hidup, dengan segala ceritanya.
Setiap pribadi punya hikmah dan inspirasi setiap episode hidupnya, punya bagian terbaik dari hidup, punya peranan terbaik yang diambil.
Setiap pribadi punya nikmat tersendiri dalam setiap satuan waktu terkecil dalam episode hidup, ada kenikmatan anugerah-Nya, ada romantisme terindah, ada kebahagiaan yang menyejukan, ada kesyukuran yang syahdu, ada cerita cinta yang selalu menginspirasi, ada nilai-nilai kepahlawanan yang kokoh, ada cerita sosok kuat dibalik kehebatan itu, dan ada entitas optimisme yang berkelanjutan.
Di entitas pekerjaan dan lingkaran manusia-manusia bervisi hari ini, saya menemukan bagian dari wajah-wajah Indonesia, bersama para penggerak dan pejuang peradaban saya menyaksikan wajah masa depan Indonesia, masa depan dunia Islam, dan masa depan peradaban dunia.
Di sini saya belajar semangat ke-Indonesiaan, di sini saya menggali inspirasi kepahlawanan, di sini miniatur Nusantara tercinta. 10-20 tahun yang akan datang, tidak lama lagi generasi ini yang akan memegang kendali negara ini. Di sini saya menemukan refleksi dan kolaborasi visi besar “kita” pada entitas terminogi Indoesia 2034, bahwa ini memang proyek peradaban yang telah Allah pilih aktor-aktornya.
@indarwan-iswan
0 notes