riginetambunan
Bingkai Kata
51 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
riginetambunan · 8 years ago
Text
Persimpangan Pusat dan Daerah
Tumblr media
Ketidakselarasan antara peraturan daerah dan peraturan pemerintah (baik tingkat kementerian maupun legislatif), kerap kali ditemukan. Meski tidak secara menyeluruh, namun kerap ditemukan berbagai benturan yang jatuhnya mengesampingkan target yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat.
Tumblr media
Inilah yang sering ditemukan, pihak pusat sudah bagus-bagus menyusun program beserta tujuan, sasaran, serta kiat-kiatnya bisa kemudian hari hanya selesai sebagian atau bahkan tidak terlaksana akibat ketidakcocokan ini. Pemerintah Pusat, baik lewat menteri ataupun titah langsung dari presiden, sudah membuatkan tata batas pelaksanaan suatu program, namun bila pihak daerah tidak menyanggupi atau bekerja lamban jelas memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan program tersebut. Program yang tadinya ditargetkan selesai 2 tahun misalnya, ternyata ngaret untuk diselesaikan atau bahkan standarnya terpaksa diturunkan.
Sebagai contoh Qanun atau peraturan daerah yang dibuat oleh Provinsi Aceh, yang merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor: 11 Tahun 2006 bidang kehutanan. Dalam Qanun tersebut lebih banyak mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sedangkan pengaturan tentang perizinan hanya dibahas secara singkat, yaitu pada pasal 55 hingga pasal 69.  Sementara, dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2002 tentang pemberian izin kehutanan mengatur hal tersebut lebih lengkap. Hal ini dikhawatirkan oleh perwakilan Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) tentang nasib Gunung Leuser.
Pemerintah Aceh juga membatasi peran masyarakat pada level pengawasan hutan dan pada level perencanaan dan pemanfaatan kehutanan, masyarakat tidak dilibatkan. Hal ini bertentangan dengan harapan Jokowi terkait Reforma Agraria. Pak Jokowi justru berharap peran serta masyarakat terkait perhutanan sosial semakin ditingkatkan, demi peningkatan kualitas ekonomi masyarakat juga. Pembatasan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Aceh tidak hanya merugikan dari segi ekologis saja, tetapi pada keterlibatan masyarakat (terutama masyarakat adat). Padahal, masyarakat adat sangat berperan dalam penjagaan dan pemeliharaan kawasan hutan. Jelas ini bertentangan dengan harapan Pemerintah Pusat untuk lebih melibatkan peran masyarakat.
Pertentangan pun juga ditemukan diberbagai provinsi lainnya, sebagai contoh Provinsi Riau. Kebijakan tentang pemanfaatan lahan gambut dan kawasan yang dilindungi (tidak boleh dikonversi) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah misalnya, bertentangan dengan program pusat yang justru ingin merestorasi gambut dan mengkonservasi daerah-daerah lindung. Izin pinjam pakai kawasan atau pun konversi lahan ini memang membuahkan dampak dengan ditangkapnya Gubernur Riau terkait perizinan konversi lahan di tahun 2014. 
Beberapa contoh kecil di atas menunjukan bahwa masih terdapat pertentangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Meskipun Pemerintah Pusat telah mengeluarkan kebijakan dan standarnya, namun dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang mengizinkan pemerintah daerah membuat kebijakan sendiri, seringkali membuat pelaku kepentingan daerah yang nakal memanfaatkan kesempatan ini. Mungkin ini hanyalah segelintir kecil peraturan yang saling bertentangan, belum lagi bila digali di provinsi-provinsi lain, mungkin begitu banyak peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat bila diakumulasi.
Memang butuh kerja keras dan pemantauan yang serius dari pemerintah pusat terhadap provinsi-provinsi di Indonesia yang tersebar luas ini. Jelas ini merupakan pekerjaan yang sangat berat dan tidak mungkin setiap hari pemerintah pusat mengawasi langsung tiap-tiap daerah ini sampai unit terkecilnya. Dibutuhkan kerjasama dan saling pengertian antara program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembangunan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya bisa terwujud bila masing-masing elemen dalam pemerintahan dan pemangku kepentingan lainnya bisa bersinergis mengerjakannya. Bila ada satu saja kepentingan pribadi dimasukan dalam program pemerintah, niscaya tujuan bersama ini sulit untuk dicapai. Boro-boro memedulikan kelestarian alam, kesejahteraan diantara anggota di pemerintahan saja diinterpretasikan dan diimplementasi secara berbeda dan kerap kali salah. Memang revolusi mental dan keselarasan visi dan misi hingga unit terkecil dalam pemerintahan sangat dibutuhkan demi Indonesia yang kembali berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2017/05/08/qanun-kehutanan-aceh-2016-bagaimana-nasib-leuser/
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kasus-alih-fungsi-lahan-kpk-tangkap-gubernur-riau
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Pembagian TORA: Kesejahteraan Rakyat vs Konflik Budaya
Tumblr media
Reforma agraria dengan salah satu kebijakannya yaitu TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) akan memberikan lahan seluas 9 juta hektar kepada petani. Lahan ini tersebar di 34 Provinsi dengan pembagian terbanyak berada di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Riau. 9 juta hektar tersebut berasal dari kawasan hutan (4,1 juta hektar), tanah terlantar (0,4 juta hektar), dan legalisasi aset (4,5 juta hektar). Pembagian ini akan dilakukan di Pulau Jawa dan juga luar Pulau Jawa. Tentunya, mekanisme pembagian di luar dengan di dalam pulau akan berbeda, mengingat luas lahan di tanah Jawa yang terbatas.
Pembagian lahan ini ditegaskan, diberikan pemerintah melalui kelompok tani, bukan perorangan. Namun, perorangan dalam kelompok-kelompok tani ini akan memiliki hak individual dalam pengelolaannya. Pembagian berdasarkan kelompok tani diprediksi untuk menjalankan fungsi kelembagaan yang akan memudahkan petani untuk kemudian melakukan pembentukan koperasi-koperasi untuk kegiatan operasional dan organisasional dalam kegiatan pertanian.
Dikhawatirkan ketersediaan lahan yang terbatas di Pulau Jawa akan kembali memicu terjadinya transmigrasi yang dapat menyebabkan kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang. Jika hal ini kelak terjadi (upaya transmigrasi demi kemerataan tanah yang dikelola), pemerintah harus benar-benar mengawasi jalannya pengelolaan lahan oleh kelompok pendatang, mengingat wilayah yang berbeda akan menghasilkan pola tanam yang berbeda pula. Selain itu pengawasan lebih juga diperlukan untuk memastikan keakuran antara penduduk lokal dengan pendatang.
Pengalaman penulis ketika melaksanakan kerja praktik di wilayah Sumatera Selatan, tepatnya Muara Enim, adalah penduduk lokal merasa cemburu dengan kedatangan penduduk transmigran. Saya melakukan kerja praktik di salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) disana. Saya diceritakan oleh pegawai tempat saya KP bahwa mereka serba salah dalam mempekerjakan buruh (disana sistem borongan) dari masyarakat sekitar. Bila minta tolong pada penduduk transmigran, penduduk yang lokal marah dan merasa tak dihargai. Sementara saat penduduk lokal terlebih dulu dimintai bantuan dengan ditawari pekerjaan sebagai buruh ini, mereka menolak ataupun menerima tapi kinerjanya tidak serajin yang transmigran ini.
Perbedaan budaya, inilah yang dikhawatirkan akan kembali memicu adanya pertengkaran antara pendatang dengan penduduk lokal. Pemerintah dapat melakukan pendampingan di kawasan dengan penduduk transmigran agar dapat mencegah kekhawatiran ini sembari memberikan pelatihan-pelatihan, pengenalan dan penyadartahuan tentang bercocok tanam/panen/penjualan kepada masyarakat.
Bila kelak beberapa petani yang tak mendapatkan lahan di tanah Jawa menolak untuk dipindahkan (transmigrasi), pemerintah perlu memberikan peluang kerja yang lain. Tentunya masih ada jenis lapangan pekerjaan lain yang dapat ditawarkan dan dilakukan oleh mereka. Namun lebih dari itu, semoga keberjalanan Reforma Agraria dalam 2 tahun ini akan berjalan sesuai yang diharapkan. Pemerintah sungguh harus bekerja keras karna target yang banyak dan cakupan yang luas.
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/05/04/162000126/reforma.agraria.dikhawatirkan.munculkan.konflik.etnis
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Pendidikan: Akar Permasalahan Bangsa
Tumblr media
Selamat hari Pendidikan Nasional! Yap, 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional di Indonesia untuk mengingat hari kelahiran pahlawan nasional dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi pada zaman kolonialisme. Jika mengingat kembali peristiwa-peristiwa pada masa penjajahan, seolah perbedaan menjadi tiada berarti. Asa hanya satu, yaitu kemerdekaan termasuk kemerdekaan dalam meraih pendidikan yang layak. Lantas, apakah semangat kemerdekaan itu masih ada? Apakah dunia pendidikan Indonesia sudah merdeka seperti bangsa ini yang telah merdeka selama 71 tahun?
Mirisnya adalah usia kemerdekaan bangsa tidak dibarengi dengan usia kemerdekaan pendidikan. Masih terdapat kesulitan akses memperoleh pendidikan yang layak di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Meskipun sudah mulai dilakukan pemerataan, seperti pemerataan guru-guru yang dikirim ke daerah dalam salah satu program SM3T maupun program kemitraan khusus dari pelajar-pelajar daerah untuk mendapatkan kesempatan bersekolah di universitas ternama (seperti program afirmasi untuk pelajar Papua ke ITB, dan pasti ada juga ke universitas-universitas negeri lainnya di Indonesia), nyatanya hal ini belum membawa kemajuan yang berarti di dunia pendidikan di Indonesia.
Masyarakat daerah memang berkesempatan untuk mencicipi pendidikan di sekolah ternama misalnya,namun bagaimana dengan keadaan di daerah asalnya? Apakah pendidikan disana sudah terjamin? Nyatanya, di daerah-daerah masih banyak kurang terfasilitasi untuk kegiatan belajar-mengajar, baik secara infrastruktur maupun sarana penunjang belajar (secara intra ataupun ekstrakulikuler). Manusianya lah yang dibawa untu mengenyam pendidikan di tempat yang lebih baik, namun pendidikan yang lebih baik itu belum bisa diterapkan/dibawa ke daerah asal masing-masing. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan yang layak masih mengkhawatirkan. Seharusnya pelajar-pelajar muda di daerah bisa mengecap, minimal fasilitas yang layaklah, untuk mendukung aktivitas belajarnya, seperti: gedung sekolah, fasilitas komputer dan internet, buku-buku pelajaran dan tulis, ruang kelas serta kursi-meja yang nyaman, guru-guru yang memadai. Kedepannya itu semua bisa terwujud, namun dalam proyeksi waktu berapa tahun? Bangsa kita sudah 71 tahun merdeka, apakah ini masih disebut umur yang muda untuk pemerataan terjadi? Tak perlulah fasilitas yang wah seperti di perkotaan, cukup tempat yang layak dan kualitas guru yang mendukung untuk kemajuan insan muda yang dikemudian hari akan menopang tanggung jawab sebagai pembangun negeri lewat daerahnya masing-masing.
Tumblr media
Pendidikan yang layak, andaikata di daerah-daerah sudah memiliki universitas-universitas yang juga berkualitas dan terjangkau secara ekonomi di daerahnya masing-masing, tak perlulah ada kekecewaan tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di kampus-kampus terkenal. Kurikulum bisa belajar dari kampus yang terlebih dahulu berdiri, dosen-dosen bisa berasal dari binaan kampus-kampus terbaik sebelumnya. Secara kualitas, seharusnya mampu menghasilkan produk yang sama untuk membangun daerahnya masing-masing, tentunya didukung dengan keberadaan fasilitas yang memadai. Bisa juga dengan adanya pertukaran pengajar/pelajar agar mahasiswa/i di daerah bisa merasakan kualitas dari pendidikan yang sudah lebih tua. Mengapa hal demikian diperlukan? Agar anak-anak terbaik daerah lebih dekat dengan daerah asalnya dan lebih terpacu untuk membangun daerahnya. Kebanyakan lulusan universitas ternama yang berada di Pulau Jawa, umumnya mencari pekerjaan ya di daerah yang itu-itu saja, wilayah urban yang notabene sudah maju. Di daerah asal? Bisa hidup apa? Hal ini merupakan pengaruh lanjutan dari lapangan pekerjaan yang lebih berlimpah di daerah urban ketimbang pedesaan. Untuk hal ini, pemerintah bisa memikirkan lebih lanjut (khususnya pemerintah daerah) dan pemerataan pendidikan tingkat universitas di daerah bisa terlaksana di kemudian hari (sepertinya tahunnya juga masih panjang) setelah pendidikan tingkat dasar dan menengah dibenahi terlebih dahulu. Jelas hal ini bukan perkara mudah, mirip dengan pemindahan ibu kota negara, bukan perkara yang mudah. Harus ada niat, tekad, dan kerja keras baik dari pihak pendidik dan terlebih pemerintah (pusat dan daerah) untuk mewujudkan pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyebutkan kata “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Hal diatas adalah permasalah klasik yang sudah diketahui dari zaman baheula, tentang pemerataan pendidikan yang belum terjadi di Indonesia. Masyarakat perkotaan seolah bahagia dengan fasilitas dan kemudahan dalam memperoleh pendidikan berbanding terbalik dengan kesulitan dan kerja keras menempuh jarak dan bahaya bagi masyarakat di desa untuk memperoleh pendidikan yang layak. Ya, hal ini sudah jelas dan dapat dilihat semua orang. Namun, justru banyak hal miris yang terjadi terkait kualitas pendidikan kaum urban. Apa itu? Segi pendidikan karakter. Kualitas karakter pelajar baik urban maupun village, bisa dilihat dari penggunaan sosial media. Tidak perlu banyak bukti karena kita bisa melihat sendiri bahwa era globalisasi membuat jenis informasi apapun dapat dengan mudah kita terima dan saksikan. Tak heran bila era instan ini, generasi muda lebih bergantung pada gadget masing-masing dan memantau segala sesuatu lewat smart phone mereka. Hal yang baik ketika informasi dapat mudah dan cepat untuk kita akses. Namun kemudahan membuat kita lupa cara untuk bekerja keras dan menghargai setiap hasil jerih lelah dari tiap individu. Tak hanya bicara soal jerih lelah, kemudahan kerap membuat kita “menggampangkan” segala sesuatu dan terkesan menyepelekannya. Memang tidak semua orang, tapi sebagian besar orang mulai terpengaruh dengan budaya ini. Coba ditanya tentang isi Pancasila atau pernah dengar apa tentang sejarah Bangsa Indonesia? Pelajar masa kini umumnya sudah tidak kenal dan rerata lupa dengan semangat kebangsaan yang dulu diperjuangkan para pahlawan.
Kesannya terlalu dalam dan serius kali ya? Tapi ya, kemudahan untuk mengekspresikan sesuatu menjadikan kita sulit mengontrol emosi. Karakter seseorang dinilai juga dari kontrol emosinya (kecerdasan emosional), seseorang tak hanya harus cerdas secara intelektual tapi juga emosional dan spiritual. Misalnya saja menggeneralisasi sesuatu, nampaknya hal yang cukup mudah dan sering dilontarkan. Namun, kita tidak boleh lupa ada pengecualian-pengecualian yang menjadi perhatian dalam segala sesuatu. Generalisasi terkadang hanya menimbulkan apatisme dan kembali lagi ke sifat meremehkan sesuatu. Kemudahan memperoleh informasi tidak berbarengan dengan kapasitas otak untuk mencerna sesuatu sebelum mengeluarkannya kembali untuk dibeberkan dimana-mana. Penulis pun masih terus belajar dalam mengelola dan kontrol emosi, agar tidak terpancing dan malah memperkeruh keadaan. Bebas mengekspresikan bukan menjadikan kita lupa untuk menghormati hak-hak orang lain. Ingatlah bahwa ada banyak pihak yang sama-sama penting, siapa kita merasa diri paling penting? Main menyalahkan pemerintah atau swasta, tapi lupa akan peran diri sendiri. Sama-sama introspeksi dan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Aktivitas mengecek diri harus selalu dilakukan demi mengevaluasi pribadi masing-masing.
Selamat hari Pendidikan Nasional. Mari terus membangun karakter kita karena karakter kita menunjukan karakter Bangsa Indonesia, baik di mata sesama maupun di mata dunia. Proses belajar tidak berhenti ketika kita lulus S1, tapi proses belajar itu berlangsung seumur hidup sampai pada waktunya kita mendapatkan perhentian untuk menghadap yang Kuasa.
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Bencana di DAS Air Bengkulu
DAS Air Bengkulu, dari namanya pun sudah jelas menyatakan DAS yang berada di Provinsi Bengkulu. 
Tumblr media
DAS Air Bengkulu terletak di dua lokasi di Bengkulu yatu Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu dengan luasnya 51.950 ha. DAS Air Bengkulu berbatasan dengan DAS Tanjung Aur dan DAS Babat di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, DAS Air Hitam dan Air Lemau di sebelah Barat, dan DAS Sungai Musi di sebelah Utara. DAS Air Bengkulu memiliki 6 anak sungai diantaranya, Sungai Susup, Sungai Rindu Hati, Sungai Kemumu, Sungai Pasemah, Sungai Sialang, dan Sungai Muara Kurung. Di dalam DAS Air bengkulu terdapat ekosistem lahan basah seperti cagar alam (CA) Danau Dendam Tak Sudah, yang merupakan habitat bagi Raflesia arnoldi dan Vannda hookeriana. 
DAS Air Bengkulu memiliki curah hujan yang tinggi, sekitar 3500-4500 mm/tahun) dengan curah hujan di musim kemarau dan musim penghujan tidak jauh berbeda. Tutupan lahan di DAS Air Bengkulu sebagian besar adalah campuran pertanian dan lahan kering, sekitar 43.775 ha (85%). Pertanian lahan kering ini hampir tersebar merata di seluruh area DAS. Hutan Sekunder dan pemukiman mencakup 4% luas DAS, semak belukar 2%, dan 5% sisanya merupakan kombinasi lahan sawah, hutan rawa, dan lahan basah/danau. Tanah negara (termasuk hutan lindung dan kawasan lindung) mencakup 23% dari total luas DAS Air Bengkulu, sisanya merupakan lahan masyarakat.
Dilihat dari aktivitas penggunaan lahan yang telah dijabarkan, DAS Air Bengkulu merupakan pemasuk air bersih bagi warga dan juga digunakan untuk kegiatan pertanian. Bila dilihat dari luasan pertanian, maka utamanya memang sebagai sumber irigasi untuk kegiatan tersebut. Namun, terdapat kegiatan yang mampu mengganggu fungsi hidrologis dan juga kualitas dari air di DAS Air Bengkulu ini. Diantaranya aktivitas pertambangan dan terdapatnya pabrik karet di daerah hulu DAS.
Hulu suatu DAS masuk kedalam kawasan lindung karena bila hulu tersebut terkikis atau mulai berkurang kawasan hijau (hutan)nya, akan berpengaruh pada kualitas air di daerah hilir. Tidak hanya kualitas, namun juga kuantitas. Pohon membantu siklus hidrologi untuk mempertahankan air tanah, untuk mencegah erosi tanah, dan tentunya berperan dalam transpirasi air. Utamanya untuk hulu DAS, bila bukan kawasan hutan maka besar kemungkinan siklus hidrologi terganggu. Ketiadaan kawasan hutan memicu erosi tanah. Bila tanah terkikis, tanah akan terbawa air saat hujan dan tentunya menumpuk di sungai dan menyebabkan sedimentasi (pendangkalan sungai). Pendangkalan jelas membuat kapasitas sungai menampung air menjadi berkurang, akibatnya tak heran bila terjadi bencana banjir dan utamanya berdampak pada kawasan hilir.
Aktivitas pertambangan jelas memperburuk keadaan. Bukan tanah biasa yang terbawa ke sungai, melainkan padatan-padatan lain yang mencemari sungai. Bahan-bahan kimia sisa penambangan seperti sulfur (S), merkuri (Hg), timbal (Pb), Hidrogen Sianida (HCN), Mangan (Mn), Asam Sulfat (H2SO4) adalah beberapa contohnya. Senyawa-senyawa ini dapat memicu berbagai macam penyakit, contohnya kanker. Padahal, DAS Air Bengkulu merupakan salah satu sumber air untuk PDAM. Hal ini jelas membuat PDAM harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengolah air di DAS Air Bengkulu.
Pencemaran air selanjutnya dipengaruhi oleh keberadaan pabrik karet yang berada di hulu DAS. Seperti kita ketahui, setiap proses pengolahan pada pabrik pasti menghasilkan limbah. Bila limbah tersebut tidak diolah sebelum dialirkan ke pembuangan akhir, jelas akan membahayakan kesehatan dan kualitas air. Apalagi bila limbah-limbah ini mudah mengendap, jelas akan bertahan lebih lama dan memberikan dampak secara terus-menerus terhadap air. Akumulasinya jelas makin membahayakan.
Selain pencemaran air, juga terjadi pencemaran tanah. Air-air pencucian bahan tambang mengandung kadar asam yang tinggi, hal ini mempengaruhi kesuburan tanah. Contoh unsur/senyawa kimia lain yang mempengaruhi tanah adalah besi, mangan, sulfat, dan timbal. Hal-hal ini berpotensi meracuni tanaman.
Miris, sangat disayangkan, baik kegiatan pertambangan ataupun aktivitas pabrik. DAS Air Bengkulu sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mandi. Namun, keadaannya kian memburuk. Airnya semakin mengeruh hari demi hari. Luas kawasan lindung (hutan) di DAS Air Bengkulu memang dibawah 30%, padahal syarat kawasan hutan di hulu DAS minimal 30% dari total luasan. DAS Air Bengkulu hanya bersisa 10% saja dari total kawasan. Sungguh memilukan, luas hutan yang hanya 10% total luas kawasan DAS dan terdapat aktivitas pertambangan di hulu DAS. Jelas kondisi-kondisi tersebut akan memperparah kualitas dan kuantitas air di DAS Air Bengkulu. Apakah yang bisa dilakukan pemerintah? Adakah rehabilitasi yang dilakukan dari pihak perusahaan terkait?
Sumber: Andriyansah, O. dan Mustikasari, R. 2011. Gambaran Umum Permasalahan Pengelolaan Air di DAS Air Bengkulu. Telapak
http://www.mongabay.co.id/2017/04/30/aktivitas-tambang-batubara-yang-meresahkan-di-hulu-das-air-bengkulu/
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Regulasi Tata Kelola Gambut Melesukan HTI
Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tahun 2015 lalu merupakan salah satu yang terhebat di Indonesia. Selama berbulan-bulan, kabut asap meliputi daerah-daerah di pulau tersebut. Tak hanya dalam negeri, kabut asap pun sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai sorotan dunia dan jelas masuk daftar hitam karena kasus kebakaran hutan di Indonesia terbilang sering dan laju pengurangan luas hutan di Indonesia terbilang cepat.
Lahan gambut merupakan kawasan yang unik bagi sumber daya alam Indonesia, butuh perlakuan berbeda untuk merehabilitasinya. Hutan-hutan lain mungkin lebih mudah perihal pembibitan dan penanamannya, hanya masalah waktu saja. Gambut? Berbeda. Dikenal dengan kanal-kanal airnya yang menyimpan harta karun berupa sumber bahan bakar, tak heran bila kebakaran kerap ditemukan di lahan gambut. Adanya sumber api (yaitu musim kemarau panjang), bahan bakar, dan tentunya udara menyebabkan kebakaran dapat terjadi dan sumber bahan bakar yang melimpah tadi menjadikan api cepat sekali menyebar dan sulit untuk dipadamkan? Mengapa? Gambut itu tidak hanya bicara luas, tetapi volume. Ya, kawasan ini memiliki kedalaman, bisa mencapai 10 m. Hal ini yang menjadikannya sulit untuk dipadamkan.
Upaya restorasi dan rehabilitasi lahan gambut sedang giat digalakan. Dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) menandakan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kekacauan yang ada. Lembaga ini dipercaya pemerintah untuk merehabilitasi dan restorasi lahan gambut di Indonesia dengan program restorasinya hingga 2020. Sekarang sudah dimulai kegiatannya dari pulau Kalimantan. Selain kegiatan yang sedang hangat-hangatnya dilakukan, ada pula upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk menghindari kebakaran gambut dikemudian hari, salah satunya dengan membuat regulasi tata kelola lahan gambut.
Salah satu peraturan yang dikeluarkan adalah PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. . PP tersebut menjelaskan bahwa tiap satu konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) wajib mengalokasikan 30% wilayah kerjanya sebagai zona lindung dalam skema kesatuan hidrologis gambut (KHG). Di dalam zona lindung tidak diperbolehkan melakukan kegiatan penanaman komoditas HTI, seperti akasia maupun eukaliptus. Selalu ada dua sisi dari sebuah mata uang, demikian juga dengan suatu regulasi.
Efek baiknya adalah kelestarian ekosistem gambut lebih terjaga dibandingkan sebelumnya, harapan pemerintah agar kasus kebakaran hutan di lahan gambut berkurang dapat tercapai. Selain itu, hal ini diharapkan memudahkan proses rehabilitasi dan restorasi gambut yang sedang dilakukan. Kabar buruknya ada pada badan usaha perkebunan maupun kehutanan. Sumatera dan Kalimantan terkenal dengan usaha pertambangan, perkebunan, dan kehutanannya. Keberadaan aturan ini melesukan industri-industri tersebut. Sebagai contoh, sekitar 20.000 pekerja HTI di Provinsi Riau diprediksi akan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tenaga kerja tersebut termasuk karyawan maupun pihak kontraktor yang mengelola lahan. Selain itu, produksi yang dihasilkan juga tentu berkurang akibat lahan yang berhak dikelola menurun dengan adanya regulasi tersebut. Penurunan tersebut mencapai 76% dari sebelumnya dan itu baru dari sisi produksi komoditas HTI. HTI sendiri secara khusus menyediakan lahan untuk dikelola masyarakat sekitar berupa tanaman hidup, lahan ini juga terkena dampaknya dan diperkirakan hanya tersisa 27% saja.
Tumblr media
Ini baru proyeksi di satu provinsi, belum untuk provinsi-provinsi lainnya dan baru untuk kalangan HTI. Dikhawatirkan regualasi ini akan berdampak pada keengganan investasi di bidang HTI maupun perkebunan. Industri lain yang terkena dampaknya adalah perkebunan kelapa sawit. Sekitar 1 juta lahan kelapa sawit terkena dampak dari regulasi gambut ini. Tadinya, ada 11,9 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia dan akan berkurang sejumlah 1 juta hektar. Provinsi Riau terutama, memperoleh devisa negara dari industri kelapa sawit ini. Segi HTI dan perkebunan kelapa sawit, jelas akan mematikan perekonomian Provinsi Riau. Pemerintah Pusat dianggap perlu untuk mempertimbangkan ulang regulasi ini.
Mata uang selalu memiliki dua sisi, demikian juga sebuah kebijakan. Andai sejak dulu masyarakat ataupun badan usaha dapat melakukan pembukaan lahan dengan benar (tidak dengan membakar meski cara ini dianggap paling murah), mau memperhatikan fungsi ekologis demi kelestarian hasil dan kelestarian lahan, serta melakukan praktik-praktik manajemen dengan taat (gak perlu curang-curang atau cara cepat) pasti hal ini dapat dihindari. Kurangnya perhatian pemerintah daerah ataupun ketidakpedulian dari pengusaha, entah salah dimananya. Diharapkan semua sama-sama belajar dan memberikan pertimbangan terhadap fungsi ekologis yang kian memburuk. Memang industri-industri di atas adalah penyumbang devisa negara dan penopang perekonomian bangsa, tapi apalah gunanya bila belum taat pajak? Ataupun masih egois dalam mengelola lahan tanpa memperhatikan carrying capacity dari suatu lahan? Jika kelestarian lahan juga diperhatikan, niscaya tidak akan membuat rugi produktivitas hilir karena akan mencegah berbagai risiko tak terduga yang tak diinginkan.  Semoga upaya pemerintah dapat dimengerti pihak swasta meski hal ini jelas merugikan dari segi produktivitas dan tenaga kerja. Namun, reformasi agraria yang akan segera dilakukan diharapkan mampu menjadi salah satu solusi bila PHK besar ini kelak akan terjadi.
Sumber: http://industri.bisnis.com/read/20170428/99/649004/-20.000-tenaga-kerja-hti-di-riau-terancam-phk-akibat-regulasi-gambut
http://industri.bisnis.com/read/20170320/99/638648/pp-gambut-pelaku-hti-merasa-pemerintah-pandang-sebelah-mata
http://industri.bisnis.com/read/20170427/99/648893/indonesia
http://www.mongabay.co.id/2017/02/25/benahi-tata-kelola-gambut-menteri-lingkungan-terbitkan-aturan-aturan-berikut-ini/
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Resolusi Sawit: Sektor Ekonomi vs Sektor Lingkungan
Tumblr media
Resolusi Sawit adalah upaya baru yang dikeluarkan oleh Parlemen Eropa untuk meningkatkan standardisasi produk sawit yang masuk ke eropa yang katanya guna mengurangi deforestasi maupun kesenjangan sosial di industri perkebunan kelapa sawit ini. Indonesia, sebagai salah satu negara yang disebut (selaku pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia) menuding kebijakan ini hanyalah upaya untuk menggagalkan hilirisasi sawit Indonesia.
Seperti diketahui, negara-negara di Eropa terkenal dengan pro adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan kebakaran hutan Indonesia dituding sebagai salah satu penyumbang perubahan iklim tersebut. Namun, pemerintah Indonesia balik menuding bahwa ini adalah permainan bisnis, dimana minyak nabati keluaran Eropa masih kalah dengan minyak kelapa sawit. Bisa jadi, tetap ada kepentingan lain yang dibawa-bawa dibalik alasan lingkungan. Ekonomi vs Lingkungan.
Selalu ada berbagai sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan, termasuk tentang resolusi sawit. Jika dilihat dari sektor ekonomi, memang benar hilir sawit memberikan pencerahan bagi Indonesia untuk menjadi yang paling unggul di sektor agroindustri. Lahannya sudah menyebar mulai dari Sumatera hingga Papua, perusahaan maupun perseorangan yang memiliki perkebunan (baik hak lahan ataupun konsesi) memang banyak dan tergolong sektor yang menjanjikan. Dilihat dari manapun, hampir seluruh bahan pangan atau bahan pembersih, menggunakan turunan dari minyak kelapa sawit. Jelas sebuah pembuktian bahwa sektor ini harus dipertahankan dan ketika hal yang menguntungkan (terutama bagi suatu bangsa yang sedang berkembang dan berusaha menaikan taraf kesejahteraan negerinya) seolah dihalang-halangi dengan adanya resolusi sawit ini, tentu garda terdepan (yaitu pihak pemerintah) menjadi geram dan tidak setuju dengan kebijakan baru ini. Kebijakan ini dinilai sebagai tameng saja, alasan agar produk nabati Eropa tidak kalah saing dengan produk minyak kelapa sawit.
Namun, jika dilihat dari sisi manajemen lahan, memang banyak kelemahan pada perkebunan kelapa sawit ini sehingga tuduhan deforestasi yang dikeluarkan oleh Parlemen Eropa menjadi tepat sasaran (meskipun pemerintah menjelaskan bahwa di era ini sedang dilakukan perbaikan besar-besaran di sektor industri perkebunan maupun kehutanan). Perlu diperhatikan bahwa industri kelapa sawit itu tidak hanya hilir tapi juga ada hulunya. Berdasarkan kajian KPK (2017), hulu industri kelapa sawit masih memiliki kelemahan terkait dengan mekanisme perizinan, lemahnya pengawasan, dan pengendalian. Tidak hanya memberikan dampak negatif bagi lingkungan yang tentunya akan mengganggu prinsip pembangunan berkelanjutan, melainkan juga menjadi celah untuk korupsi. 
Permasalahan sisi hulu, tidak ada mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Apalagi, integrasi perizinan masih belum memiliki skema one map policy. Sistem pengendalian perizinan pun belum akuntabel dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha. Akibatnya, masih terdapat tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektar (Febri, 2017).
Ini baru segi permasalahan lahan, belum dampaknya bagi biodiversitas. Lemahnya pengawasan dan belum adanya kesepahaman mengenai kawasan konservasi memberikan dampak bagi kematian beberapa satwa liar, salah satu yang sering terjadi adalah Gajah Sumatera yang ditemukan tewas di perkebunan kelapa sawit. --> menyangkut pada tulisan Critically Endangered Species: Gajah Sumatera
Tumblr media
Tak jarang, gajah dianggap sebagai hama bagi beberapa komoditas pertanian ataupun perkebunan, salah satunya adalah kelapa sawit ini. Padahal, gajah tidak akan masuk suatu kawasan yang tidak menjadi wilayah jelajahnya home range). Wilayah jelajah ini adalah cakupan areal yang menjadi teritori dari suatu habitat yang berguna untuk mencari makan, tempat berlindung, maupun untuk keperluan reproduksi. Sangat disayangkan hal ini belum masuk pertimbangan (baik pemerintah maupun swasta) dalam pemanfaatan ruang. Pembuatan kawasan konservasi diharapkan masuk dalam kajian tata ruang wilayah, terutama untuk Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat Provinsi (RTRWP) salah satunya untuk menghindari kasus tumpang tindih kawasan. Tak hanya untuk home range, tapi juga kaitannya dengan lahan milik masyarakat. Kerap kali status kepemilikan lahan masyarakat kalah dengan kepentingan swasta, tak heran rakyat ataupun masyarakat lokal menjadi salah satu pihak yang dirugikan. Hal ini pun tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia seharusnya memikirkan hal ini dibiasakan untuk berjalan sejak awal.
Apakah perihal perkebunan sampai produk kelapa sawit hanya sebatas sektor ekonomi vs sektor lingkungan? Ternyata masih ada PR lain yang patut dikerjakan pemerintah secara cepat dan tegas. Pungutan pajak dari industri ini rupanya belum berjalan sebagaimana mestinya. Tingkat kepatuhan pajak perorangan maupun badan usaha di sektor ini terus menurun sejak 2011-2015, masing-masing 24,3% (wajib pajak badan) dan 36% (perseorangan). Tentunya hal ini sangat disayangkan bukan? Sektor yang dielu-elukan justru mengalami penurunan dalam ketaatan pajak. Apakah masih layak kita berbangga diri? Sementara di dalam negeri sendiri, untuk urusan pajak malah makin menurun. Bukankah kita layak untuk berkaca dan serius membenahi yang masih cacat di sektor ini? Mungkin tindak resolusi sawit Parlemen Eropa adalah teguran bagi kita untuk membuktikan kesungguhan dan kesanggupan Indonesia dalam kelestarian sumber daya alam. Bukan hanya lestari secara hasil, melainkan juga lestari secara ekologis.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2017/04/26/kajian-kpk-temukan-masalah-sawit-dari-perizinan-sampai-pungutan-pajak/?utm_content=buffer279f2&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer
http://www.mongabay.co.id/2015/09/09/mati-lagi-dua-individu-gajah-ditemukan-membusuk-di-perkebunan-kelapa-sawit-bumi-flora/
https://tirto.id/resolusi-sawit-uni-eropa-dibalas-mentan-dengan-ancaman-cmAR
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/04/18/002757226/uni.eropa.tak.suka.hilirisasi.sawit.indonesia.berhasil
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Kerterkaitan Antara Etika Lingkungan dengan Penerapan Kebijakan Kehutanan dan Sumber Daya Alam
Tumblr media
Kebijakan bukanlah hal yang asing kita dengar terutama dalam kegiatan ketatanegaraan ataupun berbagai komponen lain dalam kehidupan kita. Singkatnya, dalam bentuk apapun (baik norma, nilai, peraturan, atau yang lain) pasti ada elemen kebijakan yang dibuat dan dijadikan pedoman untuk melakukan sesuatu. Fungsinya untuk mengatur agar setiap elemen yang memiliki kepentingan berbeda dalam suatu ruang dapat diintegrasikan dan tidak saling bertolak belakang ataupun sampai saling merugikan. Begitu juga hubungan manusia dengan alam, harus ada aturan baku yang tertata untuk mempermudah kegiatan manusia dan keseimbangan kerja alam itu sendiri. Bumi bekerja dalam suatu sistem dan sistem itu hidup, bahkan tanpa manusia ikut campur, siklus yang ada di bumi bisa berjalan sesuai kinerja alam.
Bumi (biosfer) merupakan tempat makhluk hidup dan komponen mati menetap dan saling memengaruhi satu sama lain. Manusia butuh makhluk hidup lain, manusia butuh elemen mati pun juga untuk hidupnya. Demikian juga makhluk hidup lain, hidup saling berdampingan dan saling bersimbiosis. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan berpendapat, termasuk dalam tatanan kehidupannya yang berkaitan dengan alam. Timbul suatu kata yang disebut dengan etika. Etika merupakan suatu refleksi kritis tentang norma ataupun nilai, terutama kaitannya dengan lingkungan, yang dapat mengatur cara pandang manusia dengan sesamanya; manusia dengan alam; maupun perilaku manusia itu sendiri yang akan bersumber dari cara pandang hasil refleksi tersebut (Keraf, 2002). Cara tindak manusia pada sekitarnya, termasuk juga pada bumi dan isinya, terpengaruh dari etika lingkungan. Ada tiga teori tentang etika lingkungan menurut Keraf (2002), yaitu Antroposentrisme, Biosentrisme, dan terakhir Ekosentrisme.
1. Antroposentrisme Teori ini menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan alam, manusia menjadikan dirinya sebagai pusat dari sistem alam semesta. Hal ini berarti, dalam segala tatanan kehidupan, manusialah yang menjadi puncak tertinggi dalam mengambil keputusan dan hanya manusia yang memiliki kepentingan/hak  atas semesta alam (Keraf, 2002).
Kepentingannya lebih tinggi dari apapun, termasuk dari nilai yang dimiliki oleh alam dan makhluk hidup lainnya. Sifat antroposentris inilah yang sering kita temukan dalam tatanan hidup manusia. Manusia serakah, bahkan dalam hubungan dengan sesama, tak lagi memedulikan kebutuhan dan kesejahteraan sesamanya, apalagi terhadap alam. Baginya, selama semua kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, itu sudah cukup. Padahal, sesamanya dan bahkan alam serta makhluk hidup lainnya memiliki batas dan kapasitas dalam memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya tidak dapat dipaksakan. Hal seperti inilah akhirnya menimbulkan masalah dalam hubungan manusia dengan alam.
2. Biosentrisme Teori ini mengajarkan bahwa setiap bentuk kehidupan di bumi, masing-masing memiiki nilai dan sama-sama berharga. Entah makhluk ini berguna atau tidak bagi manusia, mereka sama-sama berharga dan layak untuk diperhatikan dan diperjuangkan keberadaannya (Keraf, 2002).
Hal ini sering menimbulkan kesan “fanatik lingkungan” atau “fanatik terhadap konservasi”. Kenapa? Karena setiap elemen layak hidup, elemen-elemen ini akan saling mempengaruhi bak rantai makanan dan menyokong untuk keberjalanan sistem yang lainnya. Ini memang benar, segala siklus yang ada di alam memang saling memberi pengaruh antarsatu dengan lainnya, namun kita perlu melihat pada kesejahteraan dan kebutuhan hidup manusia. Kita tidak dapat menutup mata pada perkembangan zaman dan angka kelahiran yang semakin bertambah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Teori ini dianggap akan mengesampingkan keterpenuhan kebutuhan manusia.
3. Ekosentrisme Ekosentrisme mengajarkan untuk mengembangkan pandangan etika pada seluruh komunitas ekologis, entah itu biotik ataupun abiotik (Keraf, 2002).
Alam semesta tersusun atas makhluk hidup dan makhluk tidak hidup, kedua komponen ini saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam siklus yang ada di bumi. Pendekatan ini muncul sebagai penengah antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam dan makhluk hidup lain yang juga membutuhkan kelestarian demi tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kesalahan manusia di masa lampau, mempengaruhi dunia hari ini dan hal ini pun berlaku pada lingkungan hidup. Tak menutup telah terjadi kepunahan, satwa yang masuk dalam daftar terancam punah, hingga terjadinya perubahan iklim adalah bukti bahwa ada yang salah dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dari masa ke masa.
Maka timbul pertanyaan, memangnya tidak ada suatu aturan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia agar kelestarian lingkungan dan sumber daya alam tetap terjamin??
Jawabannya Ada.
Indonesia sendiri memiliki beberapa kebijakan yang mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan, diantaranya: 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini baru empat contoh undang-undang yang diberlakukan untuk memberikan ketertiban, agar kegiatan yang dilakukan manusia tidak memberikan efek negatif bagi alam. Demikian juga, supaya manusia tetap dapat memperoleh manfaat dari alam untuk memenuhi kehidupannya dengan meminimalkan efek negatif bagi lingkungan. Di bawah undang-undang ini, masih terdapat beberapa turunan peraturan lainnya, entah tertuang dalam peraturan pemerintah, keputusan presiden, hingga peraturan menteri bidang terkait.
Jika dilihat dari berbagai jenis peraturan yang ada, pemerintah terbilang serius dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dengan kelestarian alam, cukup sedemikian hal diperhatikan karena tahu bahwa keanekaragaman hayati perlu dilestarikan dan manusia tetap membutuhkan alam untuk kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, tengah mengatur beberapa macam zona diantaranya zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan atau zona lainnya. Mengapa begitu banyak sistem zona yang digunakan? Inilah salah satu upaya yang dilakukan pemerintah agar kelestarian biodiversitas tetap terjaga (yaitu di zona inti) dan manusia bisa memperoleh manfaat dari alam (di zona rimba secara terbatas, zona pemanfaatan).
Tapi, Upaya yang dilakukan pemerintah dalam bentuk kebijakan (peraturan perundang-undangan) hanyalah alat untuk melindungi sumber daya alam, aktornya tetap manusia sendiri. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, tetap ditemukan berbagai pelanggaran terutama terhadap satwa liar yang dilindungi maupun hutan yang termasuk dalam kawasan konservasi. Hutan konservasi berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, sehingga tidak boleh ada kegiatan yang mengganggu tumbuhan dan satwa di dalamnya (UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). 
Kasus pelanggaran tersebut banyak terdengar di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Sebagai contoh kasus pembakaran yang terjadi di Taman Nasional Teso Nilo (TNTN), Riau. Kegiatan pembakaran ini merupakan kegiatan pembukaan lahan di kawasan TNTN untuk perkebunan kelapa sawit (Syukur, 2016). Contoh satwa liar yang terancam akibat habitatnya yang mulai hilang adalah Gajah Sumatera. Salah satu talk show dalam acara 9th IndoGreen Forestry and Environment Expo yang saya ikuti bulan April 2017 ini dikatakan bahwa populasi Gajah Sumatera yang hidup diluar penangkaran, khususnya di wilayah Tangkahan (Sumatera Utara) dan Gunung Leuser, sekitar 1000 ekor dan salah satu penyebab keterancaman kelestarian satwa ini adalah pembunuhan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang merasa dirugikan oleh kehadirannya. Gajah kerap ditemukan tewas di wilayah perkebunan kelapa sawit. Dua contoh ini memberikan gambaran pada kita bahwa perlindungan terhadap alam dan satwa belum dilaksanakan oleh seluruh elemen yang terhubung dengannya, terutama oleh masyarakat sekitar hutan. 
Lantas kenapa hal fatal seperti itu terus terjadi? Peraturan tentunya begitu banyak dan cukup jelas disertai dengan berbagai sanksi yang dikenakan bila dilakukan pelanggaran. Hal ini nyatanya belum disadari manfaatnya oleh manusia, entah masyarakat sekitar yang berinteraksi langsung dengan sumber daya alam, maupun pemangku kepentingan lain yang memiliki hak untuk memanfaatkan alam. Etika lingkungan yang dijelaskan di awal memengaruhi pihak-pihak terkait dalam memperlakukan alam. Ternyata masih banyak penganut teori antroposentris yang menyebabkan manusia melakukan eksploitasi terhadap alam tanpa mempertimbangkan akibat setelahnya terlepas alasannya adalah kebutuhan ekonomi, sosial, atau yang lain.  
Apakah tidak ada harapan untuk menghentikan itu semua? Jelas masih dapat dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan seluruh tindak kejahatan ini dan memulihkan kembali ekosistem yang rusak. Satwa yang punah jelas tidak bisa dikembalikan, namun kita masih bisa mencegah kepunahan bagi jenis yang masih ada. Tentunya diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah(baik pusat maupun daerah), LSM, masyarakat, pihak swasta/perusahaan terkait, hingga penegak hukum  agar terwujud kelestarian ekosistem dalam kegiatan pembangunan nasional. 
Beberapa upaya yang dapat dilakukan diantaranya melakukan mediasi dengan perusahaan swasta yang mendapatkan lahan konsesi agar menyediakan kawasan konservasi dalam area konsesinya. Salah satu manfaatnya adalah menjadi bagian habitat satwa yang dilindungi. Upaya yang kedua adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang bersentuhan langsung dengan sumber daya alam agar dapat menjaga kelestarian alam, penyadartahuan tentang kebijakan yang mengatur kegiatan manusia dan kawasan hutan, dan memberikan didikan/pelatihan khusus pada masyarakat agar kegiatan pemanfaatan mereka tidak mengganggu siklus alam, termasuk satwa yang hidup disekitarnya. 
Perlu dibuat kelompok-kelompok tani atau penjaga hutan di kalangan masyarakat sebagai bentuk kerjasama dan kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat sekitar hutan. Acara IndoGreen Expo memberikan salah satu solusi yang menarik yaitu mempertimbangkan kawasan konservasi dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) khususnya ditingkat provinsi. Adanya pertimbangan ini diharapkan memperkecil tingkat kematian satwa liar serta untuk mencegah tumpang tindih dalam pemanfaatan kawasan.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah memperketat pengawasan di kawasan hutan, terutama terhadap satwa atau tumbuhan yang dilindungi. Hukum yang dilakukan bagi pelaku pelanggaran juga perlu dipertegas. Oknum-oknum yang melakukan kejahatan bukan semata-mata tidak tahu akan peraturan yang berlaku, namun berani berbuat karena tahu hukum di Indonesia masih lemah. Kita harus berani bersikap atas alam Indonesia. Apakah mau terus menjadi penganut antroposentris atau beralih menjadi penganut ekosentris? Kita tidak dapat hidup tanpa alam, alam pun butuh manusia untuk menjaga dan melestarikannya bagi kehidupan generasi-generasi selanjutnya.
Daftar Pustaka: Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006. Pedoman Zonasi       Taman Nasional. Jakarta   Syukur, M. 2016. Aneh, Ada Permukiman dan Perkebunan Sawit di Dalam           Taman Nasional. http://regional.liputan6.com/read/2560633/aneh-ada-       permukiman-dan-perkebunan-sawit-di-dalam-taman-nasional [akses: 23       April 2017] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999. Kehutanan. 30           September 1999. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor       167. Jakarta
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Kaum Hawa dan Hari Bumi
Tumblr media
21 April diperingati sebagai hari Kartini. Sosok wanita yang satu ini sungguh menginspirasi setiap kaum hawa di Indonesia atas perjuangannya dalam emansipasi perempuan, memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Perempuan juga layak mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki, meski bukan berarti dalam segala hal perempuan bisa melakukan setiap pekerjaan laki-laki, juga bukan berarti dengan adanya emansipasi, kesamaan derajat antardua kelamin manusia ini membuat saling sindir dan egois satu sama lain. Persamaan hak ada untuk saling membantu, bukan saling menonjolkan dan menjatuhkan. Perempuan tetap harus menghormati laki-laki, demikian juga setiap laki-laki menghormati kaum perempuan. Sedangkan 22 April diperingati sebagai hari bumi, tempat dimana komponen kehidupan maupun yang tidak hidup saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Dua tanggal yang sangat istimewa ini ingin menunjukkan peranan yang dapat dilakukan kaum hawa dalam upaya pelestarian bumi.
Ternyata di bidang yang dikenal keras dan berbahaya seperti kehutanan, masih terdapat peranan penting kaum hawa dalam kelestarian hutan. Diantaranya adalah Ibu Erni Suyanti seorang dokter hewan yang sekarang bekerja di BKSDA Bengkulu untuk menangani bidang konservasi satwa liar dan Ibu Sri Hartini sesosok ketua dari kelompok dari Hutan Adat di Wonosadi, Yogyakarta. Berikut kisah singkat dari kedua sosok ini.
Tumblr media
Ibu Erni Suyanti adalah lulusan kedokteran hewan dari Universitas Airlangga. Kecintaannya pada satwa sudah muncul sejak menonton film yang mengisahkan kehidupan satwa liar. Beliau terkenal sebagai penyelamat perdana Harimau Sumatera pada tahun 2007. Ibu Yanti sangat tergerak oleh belas kasihan melihat perawatan kesehatan pada satwa liar sangat minim dan ingin sekali untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi satwa liar. Berbagai macam satwa liar yang terancam punah telah berhasil diselamatkannya, mulai dari gajah, orang utan, hingga Harimau Sumatera ini. Sungguh mulia perjuangannya, dengan peralatan yang minim dan menghadapi satwa liar yang dapat mengancam nyawanya sewaktu-waktu, terutama sebagai perempuan tidak menghentikan langkah kaki dan gerakan tangannya untuk terus memberikan perhatian dan tindakan nyata terhadap satwa liar. Mungkin tidak banyak dari kaum hawa yang sampai segitunya terenyuh dan bertekad terjun langsung memberikan perhatiannya terhadap satwa liar, seperti yang dilakukan dokter Yanti. Sungguh luar biasa kiprahnya dan keberanian yang dilakukannya selaku kaum hawa. Bekerja di lapangan bukanlah hal yang mudah, terutama berinteraksi dengan satwa. Berbeda jelas dengan menghadapi manusia yang memiliki bahasa yang sama, satwa? Apa yang bisa kita pakai untuk berkomunikasi dengan satwa?
Tumblr media
Ibu Sri Hartini. Sejak tahun 1996, bersama sang ayah, Ibu Sri Hartini telah terjun langsung dalam menjaga kelestarian hutan. Bermula dari tahun 1965 dimana Hutan Wonosadi ditebang habis oleh masyarakat setempat dan hanya menyisakan 4 batang pohon sehingga mengakibatkan bencana berupa tanah longsor dan keringnya seluruh mata air di wilayah tersebut. Satwa yang seharusnya tinggal di hutan, kehilangan tempat bernaung sehingga mulai berdatangan ke pemukiman warga. Di tahun 1966, sang ayah yang bernama Sudiyo bersama warga sekitar lainnya melakukan penanaman hutan kembali dan menjaga kelestarian kehidupan yang mereka tanam. Hal ini berbuah hingga suatu saat Hutan Wonosadi terpilih menjadi kawasan percontohan pengelolaan hutan rakyat dan memenangi penghargaan Kehati tingkat nasional dan kader lingkungan hidup. Sang ayah meninggalkan pesan pada Ibu Sri Hartini agar terus menjaga hutan adat tersebut karena menjaga hutan berarti menjaga mata air untuk kehidupan mereka. Sejak ayahnya meninggal di tahun 2009, Ibu Sri Hartini dipercaya menjadi ketua kelompok  penjaga hutan 'Ngudi Lestari' menggantikan ayahnya. Ibu ini harus menjaga hutan seluas 25 hektar.  Selama melakukan penjagaan hutan ini, Ibu Sri merupakan sosok yang tidak pamrih, Beliau melakukannya dengan ikhlas dan tulus. Beliau percaya bahwa Tuhanlah yang akan memberikan rezekinya tersendiri, selama Beliau mampu, dia akan tetap menjaga hutan selama hidupnya. Selama Sri Hartini memimpin, terbukti tidak ada yang berani menebang pohon-pohon di hutan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa sosok perempuan pun mampu mengerjakan amanah yang berisiko ini dan tentunya berkat bantuan dari warga sekitar yang mau bekerjasama melestarikan hutan. Beliau sendiri berharap kepada generasi muda, khususnya kartini-kartini Indonesia untuk menjadi sosok yang tangguh dan terus berjuang untuk kepentingan bersama. Selagi mampu, kerjakanlah tidak perlu terus-terusan bergantung pada orang lain. Kita harus mampu menjadi jawaban atas kekosongan dan ketidakpastian.
Selamat hari Kartini (21 April) dan selamat Hari Bumi (22 April) Jadilah wanita-wanita tangguh yang terus berjuang untuk keharmonisan dan kepentingan bersama, serta jangan lupakan tempat yang kita tinggali. Bumi kita memang sementara, namun kesementaraannya ini perlu dijaga keseimbangannya agar dapat terus menopang kehidupan sampai kepada generasi yang tak terhingga. Terbukti dari penanaman kembali di Hutan Wonosadi, mata air yang tadinya kering kembali mampu memberikan sumber kehidupan. Jaga terus bumi kita selama kita hidup. Saat bumi kita mati, disitulah kehidupan berakhir.
Sumber: http://harianrakyatbengkulu.com/
 http://news.unair.ac.id/2016/04/23/erni-suyanti-kartini-alumni-unair-sang-penyelamat-harimau-sumatera/?print=pdf
http://regional.kompas.com/read/2017/04/21/12125721/kisah.sri.hartini.kartini.penjaga.hutan.adat.yang.pegang.teguh.pesan.ayah
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Apakah Hujan Es di Bandung Benar Bukti Perubahan Iklim?
Tumblr media
Rabu kemarin (19/04/2017) tepatnya di Kota Bandung terjadi suatu fenomena hujan badai disertai turunnya butiran es yang menyebabkan sekitar 63 lokasi pohon tumbang dan kerusakan diberbagai tempat, seperti jatuhnya papan reklame di Jalan Terusan Jakarta. Fenomena ini seingat saya pernah terjadi juga di November 2016 lalu, hujan badai namun disertai turunnya air bukan es yang menyebabkan banjir besar di banyak titik.
Tumblr media
Awan yang menyebabkan badai ini adalah Awan Cumulonimbus. Cumulonimbus berasal dari bahasa latin yaitu Cumulus (tumpukan) dan Nimbus (awan badai, hujan badai) dengan kata lain awan ini adalah awan dengan kepadatan tinggi dan menumpuk atau berbentuk menjulang sangat ke atas. Awan jenis ini sering dikaitkan dengan badai dan ketidakstabilan komponen di atmosfir dan adapat menjulang hingga setinggi 18 km dan di dalamnya terdapat komponen seperti air, es, listrik, hingga badai. Proses pembentukan awan ini terjadi dalam 3 proses yaitu dorongan oleh angin, penyatuan, dan terakhir penumpukan.
Tumblr media
Menurut Pakar Meteorologi dan Klimatologi Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) (dikutip dari mongabay.co.id), Edvin Adrian fenomena angin kencang dan hujan es yang terjadi kemarin di Bandung merupakan hal yang biasa dalam peralihan musim hujan kepada musim kemarau. Hujan es sendiri dapat muncul akibat pengaruh angin yang cukup kencang. Kecepatan angin diperkirakan mencapai 70 kilometer/jam. Angin seperti ini dapat dikategorikan sebagai angin puting beliung. 
Faktor lain yang mempengaruhi adalah letak geografis Bandung yang dikelilingi oleh pegunungan, sehingga suhu panas yang sebelumnya terjadi di pusat wilayah tidak berpindah.  Selain itu, perubahan suhu yang ekstrim juga dapat memicu munculnya hujan es. Pada suatu pagi bisa dirasakan cukup terik, kelembaban tinggi, dan ada beda suhu yang besar di dalam satu hari tersebut (menurut sains kompas).
Menurut Hary (BMKG), terjadi perbadaan suhu yang besar hari itu diantara jam 7 hingga 10 pagi (sekitar 5 derajat celcius), kelembaban yang terjadi sekitar 70% dengan radiasi matahari yang optimum. Kondisi seperti ini menyebabkan pembentukan awan secara konveksi dan muncullah kumulonimbus.
Sementara itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan hujan es yang disertai angin kencang dan petir itu sebagai fenomena hujan badai ekstrem. Dalam ilmu meteorologi disebut juga badai dalam sel tertutup. Erma Yulihastin( Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan Bandung) mengatakan pemicu pertama badai dalam sel tertutup adalah konvergensi angin kuat 7 m/s dari Selatan, yaitu berasal dari Laut Selatan Jawa Barat dengan angin berkekuatan sedang 4 m/s dari Utara. "Angin dari Selatan dan Utara yang bersifat lembab ini berinteraksi dengan udara kering dan dingin di atas wilayah pegunungan yang mengelilingi cekungan Bandung, sehingga terbentuk sel badai tertutup yang memproduksi banyak sekali es di dalam awan tersebut," kata Erma dalam keterangan dikutip dalam liputan6.com
Lantas Dimana Perubahan Iklimnya? Angin Kencang Loh, kok jadi angin disalahin. Hujan esnya? El-Nino. El-Nino adalah angin yang mempengaruhi terjadinya perubahan musim. El-Nino akan mengakibatkan pemanasan suhu dipermukaan laut. Sedangkan kebalikannya, yaitu La-Nina, akan menyebabkan pendinginan suhu di permukaan laut. Kita bisa rasakan sendiri bahwa musim di Indonesia pada khususnya, sudah tidak menentu. Umumnya musim kemarau muncul sekitar bulan Maret-April dan musim penghujan dimulai sekitar bulan September-Oktober, sekarang? Tidak menentu bukan? Hujan bisa datang kapan saja, panas bisa hadir sepanjang hari.
Fenomena El-Nino yang teramati adalah meningkatnya suhu permukaan laut yang biasanya dingin. Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya subur dan kaya akan ikan (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrien dari dasar) menjadi sebaliknya. El-Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut.
Dalam perkembangannya, para ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut, terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La-Nina berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “anak perempuan”. Fenomena ini memiliki periode 2-7 tahun. Prabowo menyampaikan, saat ini sebenarnya sudah terjadi badai El-Nino di sekitar samudra pasifik. Tentu saja badai ini cukup mempengaruhi musim di Indonesia, hanya saja badai tersebut masih kategori intensitas rendah. “Bulan-bulan Juni-Juli ini sudah ada gejalanya (badai El-Nino) tapi intensitasnya rendah. Sementara itu bulan Juli ini sudah memasuki musim kemarau. Meski kemarau, bukan berarti tidak akan terjadi hujan. Menurutnya, potensi turunnya hujan tetap ada, hanya saja dalam intensitas yang rendah.  Berbeda jika dalam kondisi terjadinya Badai La-Nina 
Kedua badai tersebut jika terjadi berkepanjangan, memastikan bahwa proses perubahan iklim benar telah terjadi di dunia. Suhu bumi yang semakin panas mengakibatkan musim yang semakin tak menentu. Tandanya adalah angin. Kecepatan angin yang terjadi dalam peristiwa badai di Bandung tidaklah biasa, hingga menumbangkan puluhan pohon bahkan papan reklame. Hal inilah yang mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim, angin kencang yang tidak wajar, tidak seperti pada hujan biasanya.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2017/04/20/hujan-es-melanda-kota-bandung-kok-bisa-terjadi/?utm_content=buffera59f5&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer
https://nasional.sindonews.com/read/657337/19/fenomena-pancaroba-1341486491
http://regional.liputan6.com/read/2926124/pemicu-hujan-es-guyur-kota-bandung-di-siang-bolong
http://sains.kompas.com/read/2017/04/19/18245831/hujan.es.di.bandung.kenapa.bisa.terjadi.dan.apa.bedanya.dengan.salju.
http://teknosains.com/i/mengenal-awan-cumulonimbus-dan-proses-terbentuknya
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Biasnya Perlindungan Hukum Hingga Keadilan Reformasi Agraria
Sebenernya saya bingung ngasih judul tepat untuk tulisan kali ini, tapi yang mau saya coba ulas adalah kaitan kesalahan di masa lampau terkait izin pelepasan kawasan hutan hingga keteraturan yang akhirnya dibuat untuk menetapkan kawasan hutan yang diperbolehkan menjadi kawasan pembangunan non kehutanan.
Tumblr media
Peraturan Era Lama
Masih terkait dengan tema kemarin dan tema-tema sebelumnya, yaitu reformasi agraria, perbedaan acuan undang-undang yang mengatur perihal pelepasan kawasan hutan jelas memberikan dampak yang berbeda dengan zaman yang berbeda pula. Pada era sang mantan, pelepasan kawasan hutan mengacu pada Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2012 tentang Pelepasan Kawasan Hutan. Lewat PP ini, izin perusahaan di kawasan hutan yang tadinya ilegal menjadi ilegal. PP ini keluar dengan dalih dari pemerintah bahwa penerapan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengakibatkan kerancuan hukum. Padahal mandat UU ini sudah jelas agar pemerintah menyelesaikan permasalahan tata ruang termasuk mengambil tindakan hukum atas pelanggaran yang terjadi.
Keluarnya PP No. 60 tahun 2012 tadi menyebabkan usaha masyarakat ataupun lembaga yang berusaha membongkar pelanggaran penggunaan lahan di kawasan hutan menjadi sia-sia. Tercatat ada 3,5 juta hektar kebun berada di kawasan hutan (Kalimantan Tengah). Contoh lainnya adalah di Kalimantan Barat, pengembangan kebun sawit di wilayah ini mengancam 570.000 hektar kawasan hutan untuk dikonversi. Seharusnya, pemerintah mampu menyelidiki lebih lanjut terkait pelaku kejahatan lingkungan ini dan menindak tegas (membawa perkara ini ke pengadilan) sebelum mengeluarkan PP ini. PP ini dianggap sebagai dalih ketidakmampuan pemerintah bertindak tegas dan menimbulkan masalah baru terkait pelepasan kawasan hutan. Pihak-pihak yang nakal dapat mudah saja mendapatkan lahan kalau begini caranya, ini sama saja memberikan celah bagi pelaku kejahatan untuk terus melakukan ekspansi.
Peraturan Petaka Bagi Masa Depan
Tumblr media Tumblr media
Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang yang disebutkan di atas adalah patokan bagi era pemerintahan Presiden SBY mengambil keputusan terkait pelepasan kawasan hutan. Kita bisa lihat efeknya pada grafik di atas. Tahun 2011-2014 tercatat paling besar tahun 2014 sebanyak 44 unit (495.651 ha)  kawasan hutan dilepaskan dan luasan terbesar terjadi di tahun 2012 sebesar 538.915 hektar. Terlihat seperti ingin cepat lari dari masalah dan pelepasan kawasan hutan adalah jalan terbaik di era itu. Selain kehilangan kawasan hutan, ternyata ada efek berlanjut yang timbul setelah hal ini terjadi.
Kebakaran Hutan dan Lahan. Pembukaan lahan dengan cara membakar dianggap menjadi cara termurah dan termudah (tanpa memikirkan efek setelahnya) sehingga banyak dilakukan di berbagai kelompok masyarakat. Bayangkan, dengan jumlah unit dan luasan kawasan yang dilepaskan, bila seluruh pengelola lahan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Wah, nggak heran bila kabut asap sering kali terjadi dan Indonesia kerap menjadi sorotan dunia terkait kebakaran hutan. Satu pemilik membakar, diikuti dengan yang lain, nggak kebayang berapa tebal kabut asap itu. Cara seperti ini jelas mempengaruhi kualitas udara dan secara jangka panjang memberikan peran bagi perubahan iklim.  Pemberian izin ini dilakukan tanpa kendali baik untuk konsesi pengusahaan kehutanan (perusahaan pemerintah/swasta/nasional/asing) dan diikuti kelemahan dalam regulasi, pengawasan, koordinasi dari pemerintah pusat maupun daerah, penegakan hukum, dan sumber daya manusia. Faktor lain yang memperparah adalah faktor cuaca (El-Nino), kesadaran masyarakat yang lemah, dan budaya membakar dalam bertani atau berkebun. Hal-hal inilah yang sering dipermasalahkan jika terjadi kebakaran hutan.
Munculnya Peraturan Baru
P.51/Menlhk/Setjem/KUM.1/6/2016 yang dibahas pada tulisan kemarin adalah yang menjadi dasar dalam pelepasan kawasan hutan saat ini. Hutan yang diperbolehkan untuk dilepaskan bagi pembangunan non kehutanan adalah HPK (Hutan Produksi yang dapat Dikonversi). Tidak seperti pada era sebelumnya, pembukaan lahan hutan gambut yang akhirnya memberikan celah izin konsesi untuk perkebunan kelapa sawit), kawasan hutan yang boleh dilepaskan sudah jelas ditetapkan yaitu HPK dengan ketentuan yang tidak produktif lagi (bila terpaksa dilepaskan yang produktif, sudah ada aturannya yang mengatur di P.51 tersebut). Reformasi Agraria(yang sebelum-sebelumnya pernah dibahas) melibatkan 2 hal besar, yaitu TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) dan Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyiapkan lahan sebesar 4.1 juta hektar untuk kegiatan TORA: 2,1 juta hektar berasal dari HPK yang tidak produktif, ada juga 20% alokasi dari perusahaan perkebunan (sesuai dengan P.17/menhut-II/2011). Target TORA sendiri bukan sekadar sertifikasi lahan, namun atas dasar keinginan luhur untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat. Jenis kawasan yang telah jelas ditetapkan dapat dikonversi jelas mempermudah proses regulasi agar tidak menjadi bias, selain itu dapat memberikan kejelasan bagi pegiat lingkungan bahwa tidak semua jenis hutan dapat diperuntukan untuk pembangunan non kehutanan; pemerintah tetap bertanggung jawab dan bertindak berlandaskan hukum dan pertimbangan ekologi (selain ekonomi dan sosial) dalam memberikan keputusan.
Kita dapat melihat pengaruh dari tiap peraturan terhadap kegiatan yang terjadi di bidang kehutanan. Keberjalanan pengelolaan lahan tidak hanya bergantung pada peraturan yang berlaku/dianut, tetapi juga bagaimana peran stakeholder saat mengerjakan kegiatan usahanya, apakah berbasis pada pengelolaan yang berkelanjutan ataukah semata-mata untuk eksploitasi kekayaan sumber daya alam?
Sumber: http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/587
 http://www.mongabay.co.id/2012/08/11/kebijakan-baru-pelepasan-kawasan-hutan-ajang-melegalkan-pelanggaran-hukum/
http://www.mongabay.co.id/2013/05/09/laporan-pelanggaran-kehutanan-menumpuk-di-wilayah-moratorium-kalteng/
http://www.mongabay.co.id/2017/02/05/pelepasan-kawasan-hutan-biang-kerok-kebakaran-mengapa/
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Non Kehutanan
Masih banyak kesalahpahaman dalam memahami kegiatan pelepasan kawasn hutan, padahal hal ini tercantum dalam salah peraturan, yaitu P.51/Menlhk/Setjem/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi. Kawasan hutan yang dilepas pun gak sembarangan, sudah ditetapkan bahwa Hutan Produksi yang dapat Dikonversi lah yang dapat diperuntukan untuk kegiatan ini, selain itu kegiatan yang dilaksanakan adalah pembangunan non kehutanan (masih terkait pembangunan). Pelepasan kawasan hutan sendiri merupakan perubahan peruntukan kawasan HPK menjadi bukan kawasan hutan.
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) merupakan Kawasan Hutan Produksi yang tidak produktif dan produktif yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan, dengan kata lain dikemudian hari HPK yang sudah tidak produktif bisa sewaktu-waktu untuk dilepaskan dan kemudian dialihfungsikan menjadi bentuk penggunaan lahan lain yang masih termasuk dalam pembangunan non kehutanan.
Lantas, apakah yang menjadi ciri dari HPK yang sudah tidak produktif? Diantaranya adalah penutupan lahan dengan dominasi lahan tidak berhutan antara lain semak belukar, lahan kosong, dan kebun campur. Meskipun statusnya masih kawasan hutan, tapi lahan/kawasan tersebut rupanya sudah tidak produktif lagi untuk kegiatan pengelolaan hutan. Ketidakproduktifan itu dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya pengelola yang modal terbatas sehingga terpaksa mengalihfungsikan kawasannya ataupun kehabisan modal sehingga meninggalkan kawasan yang seharusnya dikelola sehingga lahan tersebut tidak terurus lagi, maupun pengelola yang sudah habis masa waktu pemanfaatan kawasan karena produktivitas lahan yang memang sudah menurun.
Selain pelepasan kawasan hutan, ada beberapa istilah lain terkait pemakaian kawasan hutan untuk kegiatan lain diluar kehutanan, seperti perubahan peruntukan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, dan perubahan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan perubahan kawasan dari hutan menjadi bukan kawasan hutan, Tukar menukar kawasan hutan merupakan perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan Produksi Terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan Kawasan Hutan dan/atau HPK yang produktif menjadi kawasan hutan tetap. Terakhir, perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi hutan yang lain.
Perihal pinjam pakai kawasan, tidak hanya HPK yang dapat dialihkan tapi jenis hutan lainnya dan bergantung pada kesepakatan dan kepentingan dari kedua belah pihak terkait. Pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan hanya dapat dilakukan pada kawasan HPK dengan kriteria sebagai berikut: 1. Fungsi HPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. Tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan dan/atau perizinan lainnya dari Menteri 3. Tidak produktif, kecuali pada provinsi yang sudah tersedia lagi kawasn HPK yang tidak produktif. 4. Berada pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan diatas 30%
Selanjutnya, siapa saja yang dapat mengajukan permohonan untuk pelepasan kawasan itu? a. Menteri atau jabatan setingkat menteri b. Gubernur c. Bupati/Walikota d. Pimpinan Badan Usaha/Badan Hukum, diantaranya BUMN/BUMD/BUMS yang berbadan hukum/koperasi e. Perseorangan, kelompok orang, dan atau masyarakat
Perihal permohonan untuk pelepasan kawasan hutan sendiri dapat diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Koordinasi Penanaman Modal yang bersifat komersil maupun melalui hal yang bersifat nonkomersil.
Tumblr media
Beberapa peruntukan pelepasan kawasan hutan tersebut diantaranya adalah untuk: a. Penempatan korban bencana alam b. Fasilitas Pemakaman c. Fasilitas Pendidikan d. Fasilitas Keselamatan Umum e. Rumah Sakit Umum dan Puskesmas f. Kantor Pemerintah/Pemda g. Permukiman/Perumahan h. Transmigrasi i. Bangunan industri j. Pelabuhan  k. Bandar udara l. Stasiun Kereta Api m. Terminal n. Pasar Umum o. Pengembangan/Pemekaran Wilayah p. Pertanian tanaman pangan q. Budidaya pertaian r. Perkebunan s. Perikanan t. Peternakan u. Sarana olahraga, atau v. Tempat Pembuangan Akhir
Yap, jadi manteman ada kriterianya kok untuk kawasan hutan yang diperbolehkan untuk dilepaskan menjadi kawasan non hutan, dan kawasan itu adalah HPK (Hutan Produksi yang dapat Dikonversi). Jadi, jangan langsung negatif thinking dulu ya kalo ada kabar-kabar tentang pelepasan kawasan hutan. Boleh banget untuk tetap dikawal tentang kebenaran fungsi hutan yang mana nih yang akan dilepaskan statusnya dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan, tapi gausah langsung panik gitu ya. :)
Sumber: P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Gajah Sumatera - Critically Endangered Species
Wets, tumben-tumbenan membahas satwa nih. Yapski, satu-satunya talk show yang berhasil diikutin pada 9th IndoGreen Environment and Forestry Expo 2017, yang berlangsung dari 2 hari lalu sampe tadi sore cuma ini :( Baru bisa dateng hari ini soalnya ehehehe
Tumblr media
Talk Show ini membahas tentang Elephas maximus utamanya yang Sumatraensis. Gajah Sumatera merupakan turunan dari Gajah Asia. Di Asia sendiri, ada 13 negara yang memiliki Gajah Asia diantaranya: Indonesia, Malaysia, Thailand, Nepal, Bhutan, Laos, India, Sri Lanka, Kamboja, Cina, Bangladesh, Myanmar, dan Vietnam. Di Indonesia, utamanya di Taman Nasional Leuser (Aceh-Sumatera Utara), soalnya tadi sih yang dibahas disini terutama daerah Tangkahan (Aceh). Sekitar 2000 ekor gajah sudah ada di penangkaran, namun 1500 ekor lainnya berada di alam liar. Sekitar 85% populasi gajah memang berada di alam liar, namun kondisi populasi gajah ini semakin terancam. Gajah Asia berbeda dengan Gajah Afrika, secara taksonomi mereka berbeda garis keturunannya, jadi meskipun sama-sama gajah, mereka sama sekali nggak sodaraan ibarat kuda sama bagal, beda tah. Kalo ada yang bilang: “Yaudah, dikawinkan aja Gajah Asia sama Gajah Afrika, toh ngelahirin gajah juga kan?” Eits gabisa. Spesies ini berbeda, kayak manusia sama simpanse kasarnya, BERBEDA.
Sumatera terkenal dengan kawasan perkebunan, semakin tahun, luas kawasan hutan semakin berkurang dan hal ini berpengaruh pada populasi gajah yang semakin berkurang. Gajah, kalo gak dibunuh dengan racun ya dijerat. Alasannya? Macam-macam. Mulai dari masyarakat yang mengincar gadingnya untuk dijual, ada yang merasa geram karena gajah merusak perkebunan warga. FYI, sebagian besar kasus pembunuhan gajah terjadi di Perusahaan Swasta loh, bukan sama masyarakat lokal. Pembunuhan karena gading gajah ini merupakan dorongan ekonomi. Kenapa? Harga gading gajah 1 kgnya dihargai Rp. 4.000.000,-. 1 gading gajah aja beratnya bisa 40 kg, wah bayangin aja 1 gading gajah nilainya berapa ga heran kalo gajah diburu. Kedua, merusak perkebunan. Gajah adalah hewan yang hidupnya berkelompok, satu kelompok bisa berisi 20-40 ekor gajah. Kelompok gajah ini memiliki home range(daya jelajah) dengan luasan hingga 165 km persegi. Home range dibutuhkan untuk mencari makan (1 ekor gajah butuh makan 10% dari berat tubuhnya), untuk berlindung, dan bereproduksi. Nah, kalau wilayah perkebunan atau lahan masyarakat/perusahaan swasta lain ternyata masuk ke dalam home range gajah ini, maka pihak Taman Nasional dan BKSDA akan melobi pihak perusahaan untuk memberikan wilayah yang menjadi home range kelompo gajah ini untuk menjadi kawasan konservasi bagi makhluk ini. Selain itu, untuk masyarakat dapat dilakukan perekayasaan penanaman. Caranya? Bisa dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah seperti kopi, lada, pala, jengkol, atau tanaman jeruk-jerukan. Kesalahan yang sering dilakukan adalah menanam tanaman yang disukai gajah seperti sawit, karet, palawija, coklat, ataupun durian di kawasan yang dilewati gajah. Wajar aja dirusak sama gajah-gajahnya karena mereka suka.
Gajah Sumatera sendiri memiliki kesulitan internal dan eksternal dalam upaya pelestariannya. Dari internal, anak-anak gajah mudah terkena penyakit bernama herpes gajah atau nama latinnya Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV). Umumnya menyerang anak gajah usia 1.5-7 tahun. Uni Eropa sendiri memiliki 2 maskot gajah di Asia, satu di Leuser (Sumatera Utara) namun sudah mati saat berulang tahun ke 8, dan 1 lagi anak gajah yang masih muda berada di Tangkahan (Aceh). Status Gajah Sumatera yang memasuki tahap Critically Endangered Species ini membuat kita (baik yang bersentuhan langsung ataupun jauh dari habitatnya) ikut serta dalam pelestarian spesies ini.
Tentu kita tidak ingin kepunahan terjadi seperti yang dialami Harimau Jawa maupun Harimau Bali. Kenapa sih penting? Bukannya semua yang hidup pasti akan mati? Ya, benar sekali. Tapi, bayangkan kalo kekayaan yang kita punya mendadak lenyap karena keserakahan kita manusia. Apa yang mau kamu wariskan pada anak cucumu kelak? Biodiversitas Indonesia adalah yang dikagumi oleh dunia, bukankah seharusnya kita turut bangga dan berperan serta menjaganya? Mau kita berinteraksi langsung ataupun nggak. Bukan berarti kita jadi fanatik dan dikit-dikit jadi insecure sama segala hal harus dikonserve, tapi bisa kita perlakukan dan jaga sedari awal. Maksudnya, selama belum terancam punah, kita udah bisa atur-atur kan gimana biar sesuatu itu lama untuk mencapai tahap terancam punah.
Faktor eksternalnya, ya itu tadi ekonomi dan sosial. Ekonomi dari gading gajah yang mahal, sosialnya (ada ekonominya juga sih) mengganggu perkebunan atau hutan/persawahan milik swasta ataupun masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kepunahan tersebut diantaranya: -Memasukan gajah-gajah yang liar tadi dalam area penangkaran khusus gajah yang dikelola oleh pihak BKSDA. - Melobi pihak swasta untuk mau memberikan luasan kawasan yang menjadi home range gajah untuk dijadikan kawasan konservasi. Imbalannya? Diberikan insentif atau bisa pajaknya dikurangi. - Memberikan penyadar tahuan (aka pencerdasan) pada masyarakat sekitar. Yap, kalo dari pengakuan kepala TN Leuser tadi sih, Beliau dan tim sering terjun ke masyarakat untuk memberikan penjelasan. Harusnya sih gak cuma di TN Leuser tadi, tapi di ke-52 TN lainnya pun ikut memberikan pencerdasan pada masyarakat mengenai habitat satwa yang penting (aka spesies kunci) di suatu kawasan. Kalo di TN Leuser, selain Gajah Sumatera, ada juga Harimau Sumatera, Orang Utan, dan Badak Sumatera. - Pihak TN bekerja sama dengan Pemda, swasta, LSM, maupun masyarakat terkait dengan pelestarian habitat satwa langka tadi.
Yang menarik perhatian saya saat mengikuti talk show ini saat sempat disinggung mengenai pembuatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), terutama RTRWP(Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi). Disitu dijelaskan bahwa dalam tiap penyusunan RTRW ini, permasalahan Kawasan Konservasi belum menjadi bahan pertimbangan di dalamnya, padahal kawasan ini penting banget untuk turut dijadikan pertimbangan penggunaan suatu lahan. Entah kawasan itu menjadi Kawasan Konservasi bagi satwa ataupun Koridor bagi satwa. Kalau dalam RTRW tadi kawasan tersebut harusnya perkebunan, tau-taunya masih masuk home range satwa, kan repot juga. Ada baiknya sedari awal dijadikan pertimbangan dan turut dimasukan dalam penyusunan suatu tata ruang wilayah. Memberikan pencerahan sekali bahwa peran sarjana kehutanan untuk bersuara dan dipertimbangkan pemikirannya tuh sangat perlu, terutama untuk penyusunan suatu tata ruang dan wilayah (Bukan cuma PWK, tapi peran planologi kehutanan pun penting) ehehehe Makanya, butuh saling memberikan masukan dan pemikiran agar kedua belah pihak bisa saling dihargai-menghargai.
Sekian laporan dari saya. Ini bonus gambar wilayah Tangkahan yang indah
Tumblr media
Sumber: Talkshow 9th IndoGreen Environment and Forestry Expo 2017.
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Resolusi Sawit, Ajang Introspeksi Diri
Tumblr media
Sawit oh sawit, buahmu memang berharga dan minyaknya sangat bermanfaat. Turunan dari minyak kelapa sawit sangat banyak, semua produk yang kita konsumsi atau kenakan sebagian besar pasti ada deh campuran dari turunan minyak kelapa sawit.
Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, dan beberapa negara di Asia Tenggara (bahkan Asia-Asia lain deh) merupakan pengekspor produk sawit terbesar di dunia. Sampai saat ini, Indonesia masihlah yang terbesar. Adanya resolusi sawit ini jelas membuat geng eksportir geram. Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi ini atas dasar sawit dianggap masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM.
Hati nurani penulis sih berpihak banget sama Parlemen Eropa, secara permasalahan mendasar dari sawit bukan pada buahnya melainkan pada status lahan, pengelolaan lahan, hingga pelestarian lahan. Iya, semua tentang lahan, it’s all about land. Kenapa? Masih berkaitan dengan reforma agraria kemarin, lahan perkebunan menduduki peringkat satu dalam konflik agraria. Uni Eropa memang kelompok yang terdepan dalam menanggapi kasus perubahan iklim dan deforestasi hutan dikhawatirkan akan semakin meningkat, terutama di negara-negara tropis. Niat mereka baik, hanya ingin menjaga stok karbon agar tetap terjaga. Saya pribadi juga setuju dengan yang disampaikan dalam Mongabay.co.id
“Parlemen Eropa mencatat, 46% dari minyak sawit impor oleh Uni Eropa untuk memproduksi biofuel, membutuhkan penggunaan sekitar satu juta hektar tanah tropis. Selain pendorong deforestasi, Parlemen Eropa menyatakan, sebagian besar produksi global minyak sawit melanggar hak asasi manusia dan standar sosial memadai. Ia sering menggunakan pekerja anak, dan ada banyak konflik lahan antara masyarakat lokal dan adat dan pemegang konsesi.” Jika dilihat dari sisi ekstensifikasi lahan, saya setuju, bila terus menerus terjadi ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit, ya lama-lama semua lahan hijau di Indonesia cuma sawit. Tapi itu baru dari sudut pandang ekstensifikasi lahan. Sertifikat tanah pun harus jelas beserta pal batas yang menjadi pembatas perkebunan kelapa sawit dengan kawasan lainnya. Namun, bila posisi dari perkebunan kelapa sawit sudah sesuai klasifikasi penggunaan lahan yang seharusnya dan sesuai dengan perjanjian konsesi ya tak apa, yang menjadi masalah bila ada kelompok yang membuka perkebunan kelapa sawit tidak semestinya. Hasil bumi Indonesia tidak hanya kelapa sawit, masih banyak buah-buahan maupun bahan pangan lain yang mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat, justru kalo semua menanam sawit, siapa yang akan menanam coklat atau pun kopi? Haruslah terjadi keseimbangan, jangan sampai Indonesia terkenal dengan biodiversitasnya justru belum mampu mencukupi kebutuhan negerinya sendiri. Kita harus menjaga keseimbangan hidup dalam memenuhi kebutuhan rakyat di dalam. Kalau bisa kita penuhi sendiri, kenapa harus impor dari luar? Memang sawit itu menguntungkan, tapi ada baiknya pemerintah juga memperhatikan produksi dari bahan pangan atau bio lainnya. Mengenai kasus korupsi ataupun pelanggaran HAM, saya belum begitu mendengar atau melihat langsung. Yang saya tahu, berita ini sempat didengungkan mendekati hari hutan internasional, namun lebih disoroti untuk wilayah Afrika. Namun, dari permasalahan ekstensifikasi lahan ini sebetulnya dapat memicu dugaan sisanya tadi, seperti pelanggaran HAM(kasus saling bunuh karena lahan), bahkan bisa ke korupsi. Mungkin ada, namun belum begitu ditelusuri secara mendalam informasinya.
Penulis secara pribadi sependapat dengan artikel saat menyoroti ekstensifikasi lahan, karena status lahan di Indonesia yang terlalu luas memang masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Yang kedua adalah tentang sertifikasi tunggal. Parlemen Eropa ingin ada sertifikasi seperti RSPO dan ISPO, namun bagi konsumen hal ini masih membingungkan dan negara2 pengekspor minyak sawit meminta Uni Eropa menjelaskan standar mereka tentang sertifikat sustainability management untuk sawit. Sepaham saya, sertifikasi untuk sawit sudah ada sejak tahun 2000an dan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib melampirkan itu dan memastikan produknya adalah hasil sertifikasi berkelanjutan. Salah satu hal yang saya kenal adalah kriteria penilaian HCV untuk perkebunan kelapa sawit. Tidak hanya di kebun sawit, tapi di perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) pun wajib memiliki kawasan untuk konservasi. Saya rasa Parlemen Eropa dengan penelitiannya yang lebih maju seharusnya bisa membagikan persyaratan yang mungkin dapat menyempurnakan sertifikasi yang sejauh ini telah dipakai di negara2 penanam sawit, selain untuk bisa memasuki pasar Eropa, juga untuk kemajuan teknologi dan pengelolaan lahan perkebunan agar semakin ramah lingkungan. Kalau ada metode/teknologi yang lebih baik, kenapa tidak untuk disosialisasikan dan diterapkan bukan? Toh untuk kepentingan dan kebaikan bersama, bumi itu sendiri.
Sanggahan dari Asia Tenggara pun berdatangan, Indonesia adalah salah satu negara yang disebut terkait resolusi sawit ini. Menurut kemenlu berdasarkan data Eropa pada 2013, deforestasi global dalam 20 tahun terakhir terjadi paling besar dari peternakan sebesar 58 juta hektar sedangkan kelapa sawit hanya 6 juta hektar. Emisi dari kotoran hewan-hewan ternaklah yang lebih berperan dalam peningkatan pemanasan global. Eropa, Amerika, maupun Osenia sendiri memang dikenal dengan peternakan sapinya. Total minyak sawit dunia hanya berkontribusi 2,5% terhadap perubahan iklim dunia. Memang ini tidak adil bila semua dibebankan hanya pada negara tropis. Perubahan iklim adalah tanggung jawab bersama, baik Uni Eropa, Benua Amerika, Afrika, Asia, dan Benua Australia. Kita sama-sama harus saling menjaga bumi kita, negara-negara di Asia “dituntut” untuk menjaga hutan tropisnya bukan sekadar untuk mitigasi perubahan iklim saja, tapi juga menjaga tingkat biodiversitas di dunia. Namun negara-negara selain Asia pun juga harus sadar dan menunjukkan bahwa mereka turut bertanggung jawab dan ikut memberikan kontribusi dalam upaya menurunkan pemanasan global ini. Bumi milik kita bersama, tidak hanya tanggung jawab negara-negara tropis pemilik luas hutan terluas di dunia.
Data yang tidak akurat. Ini menjadi permasalahan yang masih tinggal di Indonesia. Di dalam artikel ini terjadi saling menyalahkan keakuratan data dari masing-masing peneliti deforestasi hutan dan kaitannya dengan perkebunan kelapa sawit. Saya pernah dengar dari teman saya yang berbisnis sawit, memang lahan untuk penanaman kelapa sawit banyak yang melebihi batas, banyak yang masuk-masuk kawasan hutan, bahkan itu mungkin lahan yang menjadi perjanjian konsesi antara pemerintah dengan perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit. Miris, sangat disayangkan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka tak heran deforestasi di Indonesia terus meningkat. Pemerintah harus aware dan benar-benar bertindak tegas mengenai hal ini, bukan beralih menutupi hal ini dengan menggembar-gemborkan isu yang sedang hangat untuk diangat saat ini. Sangat aneh bukan bila sesama peneliti datanya saling bertolak belakang, bukan saling mendukung. Perbedaan angka sedikit tak masalah lah, namun bila benar-benar bertolak belakang? Patut diperbanyak lagi izin penelitian dan tentunya pelaku penelitian itu sendiri. Kita sendiri pun juga harus sadar untuk mengedepankan pembangunan berkelanjutan, yang berdasar pada keseimbangan ekologi (lingkungan), ekonomi, dan juga sosial. Saat kita tidak terima dituntut seperti itu oleh Parlemen Eropa, ada baiknya kita pun juga berkaca, apakah resolusi sawit ini memang sudah benar? Adakah hal baik yang bisa diambil dari resolusi sawit ini? Parlemen Eropa pun juga seharusnya mau menerima teguran dan berintrospeksi terhadap peternakan yang menghasilkan kotoran-kotoran hewan ternak yang menjadi sumber emisi karbon dioksida.
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2017/04/09/ketika-parlemen-eropa-keluarkan-resolusi-soal-sawit/
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Konflik Agraria di Indonesia
Kembali lagi pada kajian Reforma Agraria, kali ini data yang dibahas adalah data konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2016.
Tumblr media
Menurut harian Kompas tanggal 5 Januari 2017, konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2016 meningkat hampir 2x lipatnya. Total luas lahan yang menjadi konflik agraria adalah 1.265.027,39 ha. Wow besar ya. Se-Indonesia loh. Konflik agraria tersebar di 34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain: 1) Riau dengan 44 konflik (9,78 %) 2) Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %) 3) Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %) 4) Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %) 5) Aceh 24 konflik (5,33 %) 6) Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %) Konflik agraria terbesar terjadi pada lahan perkebunan. Tak heran, data provinsi dengan jenis penggunaan lahan sesuai. Luas perkebunan yang terkena kasus sebesar 601.680 hektar disusul oleh sektor kehutanan dengan luas 450.215 hektar, kemudian diurutan ketiga  sektor properti seluas 104.379 hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektar. Untuk jumlah konflik yang terjadi, dapat dilihat dalam gambar di atas. Di tahun 2015, jumlah konflik agraria yang terjadi adalah 252 kasus sedangkan di tahun 2016 naik menjadi 450 kasus. 
Enam provinsi terbesar kasus agrarianya, 4 diantaranya terletak di Pulau Sumatera dimana sebagian besar lahannya adalah kawasan perkebunan dan kawasan hutan. Komoditas sawit menjadi primadona untuk sektor perkebunan, mengingat ekspor sawit Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia(25,8 juta ton/tahun). Masih di atas Malaysia (18 juta ton/tahun). Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan secara besar-besaran membuat konflik dalam status kepemilikan lahan. Kenyataannya, banyak lahan perkebunan kelapa sawit yang luasnya melebihi batas (pal batas). Banyak perkebunan yang berbatasan dengan hutan lindung dan melewati (banyak malah) yang masuk dalam hutan lindung tersebut.
Tumblr media
Sebagian besar kasus agraria yang terjadi melibatkan antara pihak warga (masyarakat lokal) dengan perusahaan swasta. Ini salah satu wujud ketidakadilan yang terjadi di negeri. Masyarakat kecil masih kalah dalam mendapatkan hak atas tanah. Kedua adalah pihak warga (masyarakat) dengan pemerintah. Salah satunya adalah dari perkebunan kelapa sawit tadi yang melewati batas dan masuk ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat diakibatkan efek dari swasta vs masyarakat vs pemerintah. Masyarakat yang “diusir” swasta terpaksa melewati batas dan masuk ke dalam tanah milik pemerintah. Bahkan tak jarang, swasta pun bersikap demikian. Konflik agraria, 100 m saja tetap namanya melanggar konsesi atau perjanjian dua belah pihak. Selain itu, belum adanya sertifikat tanah yang sah dimiliki oleh masyarkat, membuat konflik ini semakin besar melibatkan pihak warga lokal ini. Bisa dilihat diposisi 1-4, masyarkat/warga selalu tercatat sebagai pelaku ataupun korban dari konflik ini. Sebanyak 86.745 kepala keluarga terlibat dalam konflik ini, sampai mengakibatkan korban jiwa sebanyak 9 orang. Ada 9 orang yang mati karna kasus penggunaan tanah/hak atas tanah. Memang sedikit, tapi tetap saja ada korban jiwa karna kasus ini, bahkan ada 134 orang menjadi korban kriminalisasi dan 26 orang korban penganiayaan. Ya, kasus agraria merupakan kasus yang serius, selain memberikan pengaruh pada pemanfaatan tanah untuk produksi sumber daya alam, memberikan dampak pula pada pihak yang berhak mengusahakannya. Hal ini akan mempengaruhi supply kebutuhan pokok ataupun kebutuhan pasar terhadap permintaan pasar. Kebutuhan pangan sendiri masih terbilang masih sulit dipenuhi di Indonesia, dapat dilihat dari harga beberapa bahan pokok yang masih mahal (contoh harga cabai rawit).
Terbukti bahwa konflik ini sangat genting untuk secepatnya diselesaikan. Mulai dari kepentingan dasar, yaitu kebutuhan pokok masyarakat hingga kepentingan ekonomi bagi masyarakat lokal. Selain sertifikasi tanah, perlu juga hukum yang jelas dan sanksi yang tegas pada para pelanggar. Rakyat kecil melanggar karena butuh makan dan ruang untuk bertani/berkebun. Pihak swasta/BUMN butuh lahan untuk memaksimalkan produksi sektornya masing-masing, apalagi perkebunan kelapa sawit yang sangat menggiurkan baik pihak swasta maupun masyarakat lokal. Minyak kelapa sawit dan turunan-turunannya memang sangat bermanfaat dan tak dapat dipungkiri sebagian besar barang/pangan yang kita konsumsi merupakan hasil turunan dari kelapa sawit ini. Memang ekstensifikasi lahannya masih menimbulkan permasalahan, baik dari segi sumber daya lahan dan juga efek sampingnya yang membahayakan lingkungan, terutama terhadap tanah (ketandusan, nutrisi, dan ketersediaan air tanah). Hal ini butuh diteliti lebih lanjut dan dicari jalan keluar kedepannya.
Sumber:  http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/10/13/indonesia-negara-pengekspor-minyak-sawit-terbesar-dunia
http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/
http://nasional.kompas.com/read/2017/01/05/15230131/konflik.agraria.naik.hampir.dua.kali.lipat.pada.2016
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Benarkah Ibu Kota Negara Akan Hijrah ke Borneo?
Tumblr media
Saya menemukan berita tentang permintaan presiden Jokowi kepada Bappenas untuk mengkaji perihal perpindahan ibu kota negara dari Jakarta menjadi Palangkaraya kemarin di Line Today. Lantas saya perkuat isu ini dengan membaca artikel-artikel berita lainnya.
Belum tentu pindah sih, ya namanya saja masih kajian tentu akan banyak pertimbangan, terutama dalam hal biaya pemindahan tentu tidak sedikit dana yang dibutuhkan. DKI Jakarta terlanjur menjadi Provinsi metropolitan dengan segala kemajuan dan kemudahannya, rasanya jika dibandingkan dengan kota-kota lain, apalagi yang berada di luar Jawa, masih terbilang jauh untuk melampauinya. Baik aktivitas perkantoran hingga kuliner, bisnis media, dan sebagainya, semua serba ada di Sunda Kelapa ini.
Rupanya isu ini telah ada sejak 2014 lampau (melihat sudah ada yang menulis di kompasiana), bahkan ditemukan juga pemindahan ini adalah cita-cita dari Bung Karno juga (artinya lebih lama lagi dong sudah dilemparkannya). Pikiran saya mirip2 dengan yang disampaikan olehh penulis ini. Pertama kali respon saya melihat sudah mulai serius untuk pemindahan ibu kota ini dan mendengar pilihan kotanya, ga kebayang lautan manusia, aktivitas super padat, segala kehingar-bingaran, dan sebagainya ini akan pindah ke Borneo.
Palangkaraya merupakan ibu kota dari Provinsi Kalimantan Tengah. Secara umum, Borneo sendiri terkenal sebagai pulau terbesar ketiga di Dunia setelah Greenland dan Papua dengan luas  743.330 km2. Negara yang ada di pulau ini diantaranya Indonesia, Brunei Darusalam, dan Malaysia. Kalimantan Tengah terletak antara  0°45’  Lintang  Utara,  3°30’   Lintang  Selatan  dan  111°-116°  Bujur  Timur. Provinsi ini merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia setelah Papua dengan luas mencapai  153.564  Km² (1,2 kali luas Pulau Jawa loh). Luas di Kalimantan Tengah ini diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: 1. Kawasan Hutan dengan luas 12.675.364 Ha (82%) 2. Kawasan Non Hutan dengan luas 2.751.416 Ha (17,84%) Lapangan usaha mayoritas penduduk adalah Pertanian dalam arti luas (Hutan, Kebun, Ikan, Ladang, Ternak), yaitu sekitar 612.572 orang. Bisa dilihat dari sini bahwa kawasan hutan di Kalteng tuh besar ya. 82% luas total provinsinya. Udah bisa kebayang akan tinggal berapa luas hutan disana bila ibu kota negara dipindah? Seriously? Ga kebayang :’)
Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 11 sungai besar dengan 33 anak sungai (bayangin dong sungai di Jakarta aja baru bersih pas kapan, 1 aliran dari Ciliwung aja demikian kebersihannya, ini 11 sungai mau gimana nasibnya?) Sungai terpanjang di Kalimantan Tengah adalah Sungai Barito. Kalimantang Tengah merupakan daerah beriklim tropis dengan suhu udara antara 23°C hingga  33°C dan memiliki rata-rata intensitas curah hujan per tahun relatif tinggi 331,68 mm.
Dari kondisi Geografis aja sudah terlihat bahwa Kalimantan didominasi oleh ekosistem hutan. Hutan hujan tropis Indonesia memang tersebar dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Papua, namun Kalimantan dan Papua sendiri (yang notabene pulau terbesar kedua dan ketiga di dunia) memiliki komposisi luasan terbesar dari bentuk penggunaan lahan kawasan hutan di Indonesia. Sudah luas hutan semakin hari semakin berkurang, gak kebayang lagi andai ibu kota negara pindah ke pulau ini dan tepatnya di provinsi terbesar kedua di Indonesia. Dampak kehilangan yang dirasakan akan semakin tinggi.
Memang kondisi Jakarta sudah terlampau padat, kemacetannya sungguh parah. Jika dibandingkan dengan Pulau Jawa, Kalimantan memang relatif lebih aman dari bencana alam gunung berapi atau gempa bumi. Namun perlu diingat, sektor sumber daya alam yang pemanfaatannya terbesar di Indonesia berada di pulau ini. Sektor Kehutanan, Perkebunan, tak kalah sektor Pertambangan. Belum lagi dari segi biodiversitas yang tinggi, ada di pulau ini. Ah, gak kebayang rasanya kekayaan yang begitu besar akan hilang bila pemindahan ini terjadi. Memang benar Kalimantan merupakan tempat yang cukup strategis. Bahkan Gubernur Kalimantan Tengah pun siap menyiapkan lahan seluas  500.000 ha (0,03% luas total Kalteng) untuk menampung pemindahan ini. Dipikir-pikir memang kecil kok bila dibandingnya dengan luas total provinsi ini. Tapi coba pikirkan efek jangka panjangnya
Kepadatan Penduduk Akan Ikut Berpindah Itu mungkin logika yang dapat terjadi. Bila kita flashback kebelakang, Jakarta juga belum padat dan semrawut sekarang kok. Tapi, semakin lama orang berdatangan dan akhirnya bekerja dan menetap di Jakarta. Memang tidak salah, lapangan pekerjaan lebih banyak disini kok. Hal yang sama pun bisa terjadi kedepannya terhadap kota Palangkaraya bila menjadi the next ibu kota negara. Salah satu Pengamat Budaya Perkotaan Universitas Indonesia pun berujar: "Ya wacana gak apa-apa, tapi apakah orang yang di Jakarta mau di bedol ke Kalimantan Tengah. Permasalahannnya itu," ujar Yophie Begitu juga dengan masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya Kota Palangkaraya,  apakah mereka sudah siap menjadi warga ibu kota seperti Jakarta. Pasalnya, jika sudah menjadi ibu kota orang-orang dari seluruh Indonesia akan hijrah ke kota itu untuk mencari nafkah. "Nah siap gak mereka menjadi ibu kota yang padat, dengan berbagai karakter budaya orang. Kalau mereka tidak bisa menerima akan berbahaya," katanya. 
Inilah faktanya. Contohnya aja nih ya, teman2 kuliah saya setelah lulus kerjanya dimana coba? Ujung-ujungnya di Jakarta karena semua lapangan kerja tersedia disana. Itu yang sudah pasti harus disediakan ibu kota sebuah negara bukan? Coba saja tengok pada negara-negara maju (namun di Negara maju memang sistem klaster dari kota hingga desanya sudah bagus) Ga kebayang juga bila penduduk aslinya tergusur. Memindahkan sebuah ibu kota gak seperti pindah kantor. Tak hanya sistem administratif dan eksekutif di dalam kantor yang pindah, melainkan aktivitas yang bergantung oleh  keberadaan status ibu kota ini bisa ikut berpindah. Memang sih Kalimantan Tengah jauh lebih luas dari DKI Jakarta, namun bila dibiarkan terus menampung pendatang ya kelamaan pembangunan akan mulai bergeser terus menerus menekan hingga menuju hulu. Okay gak masalah wilayah hilir terbangun, tapi kalau sudah menyentuh daerah hulu yang harus dilindungi, pusat konservasi hewan maupun tumbuhan langka, bahkan sampai lokasi penting kebudayaan ikut tergusur, bayangkan saja berapa banyak kerugian yang harus ditanggung. Memindahkan sebuah ibu kota mahal(ada artikel yang bilang mencapai triliunan) tapi coba hitungan ini ditambahkan dengan kerugian yang ditimbulkan dari kehilangan Sumber Daya Alam. Meskipun hutan dibilang dapat diperbaharui, tetap butuh puluhan bahkan ratusan tahun (ingat peristiwa terumbu karang Raja Ampat? Itu butuh waktu ratusan tahun untuk memulihkannya) untuk memulihkan ekosistem yang rusak. Cuma memulihkan loh ya, bukan mengembalikan ke asal. Belum lagi dari kepunahan.
Pemerintah mungkin tidak bermaksud juga untuk sampai kesana(bahkan saya yakin gak ingin kok), jalan kepada mengganggu kehidupan konservasi dan sumber daya alam bahkan sampai memunahkan sesuatu, tapi bila pembangunan sudah berlebihan dan mencapai wilayah hulu yang “rawan”, itu udah bisa banget mengganggu kerja dari suatu ekosistem sih. Entah akan seperti apa andai ini kejadian, peristiwa pemindahan ini, kajiannya benar-benar harus matang dan memikirkan lagi potensi dan biodiversitas yang dimiliki oleh setiap provinsi. Apalagi Kalimantan Tengah memiliki luas hutan yang dikelola terbagi menjadi hutan produksi terbatas (3,3 juta hektar), hutan produksi tetap (3,8 juta hektar), hutan produksi dapat dikonversi lahannya (2,5 juta hektar), hutan lindung (1,3 juta hektar), dan areal sebesar 2,7 juta hektar sisanya digunakan untuk hal lain, sisanya tentu sektor Pertambangan, Pertanian, dan Perkebunan ikut mendominasi bentuk penggunaan lahan disana.
Apakah orang-orang yang terbiasa hidup dengan hingar-bingar ibu kota siap dengan keadaan Kalimantan Tengah yang seperti ini? Dikelilingi oleh rimba raya? Bahkan provinsi-provinsi Kalimantan yang lain juga memiliki keadaan yang mirip seperti Kalimantan Tengah. Hal ini masih wacana sih, masih dalam status kajian dan belum tentu terjadi. Masih mungkin ada pertimbangan pulau dan provinsi yang lain. Wariskan yang terbaik kepada anak cucu kita agar mereka tetap punya cerita betapa indah dan kayanya alam Indonesia.  Sumber: http://www.gcftaskforce.org/documents/Kalteng%20-%20GCF%20Draft%20Booklet.pdf
http://www.jawapos.com/read/2017/03/16/116673/seberapa-siap-palangkaraya-jadi-ibu-kota-negara
http://www.jawapos.com/read/2017/03/20/117542/ibu-kota-pindah-ke-palangkaraya-dpr-negara-butuh-triliunan
https://kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICLE_id=1617
https://kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICLE_id=1618
http://sebarr.com/3589/bappenas-presiden-jokowi-serius-kaji-ibu-kota-ri-pindah-ke-palangkaraya
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Sarana Kepastian Hukum, Bukan Bagi-Bagi Lahan
Tumblr media
Banyak yang salah kaprah tentang reforma agraria. Dianggap sekadar ajang bagi-bagi lahan dan diutamakan untuk transmigran lah, tidak melihat aspek ekologis karena dianggap begitu saja melepaskan kawasan hutan, dan masih ada yang lainnya. Sebetulnya tujuan di clear kannya persoalan agraria ini adalah guna memberikan persamaan hak dan penghidupan yang layak dengan memberikan status hukum yang jelas bagi masyarakat yang terlanjur menetap di kawasan tersebut.
Di satu sisi, pro konservasionis mungkin akan beranggapan seharusnya kegiatan ilegal yang dilakukan masyarakat di dalam hutan tidak diizinkan (iyalah, wong namanya ilegal), masyarkat tidak diizinkan bermukim di wilayah hutan bila dianggap mengganggu keseimbangan ekosistem, keberadaan manusia berpotensi mempercepat kepunahan spesies kunci, dan masih banyak lagi.
Banyak hal perlu diluruskan dan diberi sudut pandang yang cukup rasional. Land reform sebetulnya sudah dicanangkan jauh-jauh sebelum rezim Jokowi, namun realisasinya memang tak terlihat. Sudah cukup lama juga sejak transmigran datang dan tentunya berketurunan dan hidup di luar pulau Jawa, pasti banyak kawasan yang masih berstatus lahan negara yang “terlanjur” diduduki oleh kelompok ini. Keberadaan mereka yang di luar pulau Jawa bisa menjadi salah satu faktor kelemahan dalam memantau perkembangan mereka.
Manusia berkembang biak tentu butuh dipenuhi sandang, pangan, papannya. Terbengkalai sejak lama, tentu membuat land reform tak punya pilihan lain. Populasi yang butuh lahan untuk hidup mau dikemanakan? Dikembalikan ke Jawa kan gak mungkin juga, manusia2 ini dikembalikan juga sudah padat. Jalan terbaik adalah memberikan mereka fasilitas untuk hidup layak. Itu adalah bayaran yang pantas, selain itu keberadaan mereka bisa dioptimalkan untuk pengembangan pulau non Jawa. Sektor pangan yang semakin lama semakin meningkat kebutuhannya, sedangkan ketersediaannya terbatas. Sertifikasi lahan untuk dibagikan ke masyarakat lokal ini justru menjadi titik balik yang baik agar sektor pangan bisa bangkit dan dibantu dari pembebasan lahan ini. Memiliki kepastian hukum membuat masyarakat akan lebih leluasa dalam mengolah tanahnya. Namun bukan berarti setelahnya secara sengaja masyarakat mencari celah untuk menjual kembali lahannya atau disewakan dengan maksud yang tidak baik, dan sebagainya. Pemerintah sendiri memiliki harapan dari land reform ini, diantaranya untuk memperkuat perekonomian Indonesia.
Harapan perkuatan itu salah satunya dibidang pangan dan perhutanan sosial. Sertifikasi lahan diharapkan perkembangan sektor pertanian lebih optimal dengan sistem klaster (http://ksp.go.id/menjaga-asa-reforma-agraria-untuk-pemerataan/) Salah satu pendekatan dalam reforma agraria yang berbasis karakter sosial-ekologi desa adalah mengklasifikasi TORA yang berada di dalam wilayah desa untuk dikembangkan sesuai dengan karakter desa setempat, misalnya desa persawahan, desa pulau dan desa pesisir, desa perkebunan, desa hutan, desa adat, dan desa peri-urban. (http://presidenri.go.id/topik-aktual/reforma-agraria-redistribusi-lahan-redistribusi-kesejahteraan.html) Sisi perhutanan sosial sendiri diharap lebih diperkuat dengan keberadaan hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan. Masyarakat diajak untuk mengembangkan sektor bisnis kehutanan mulai dari hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, sektor bioenergi, hingga jasa wisata alam.  Untuk menghindari terulangnya proses ketimpangan struktural dalam redistribusi lahan, salah satu kuncinya adalah menghidupkan dan menggerakkan kembali sistem-sistem produksi pertanian di pedesaan berbasis pada sistem pengelolaan model koperasi. Model ini diharapkan akan memperkuat sendi-sendi perekonomian di pedesaan, dan sekaligus menjawab banyak persoalan pokok yang sebelumnya dikhawatirkan oleh sebagian kalangan. 
Sungguh harapan yang baik. Selain pemerintah yang bekerja keras, butuh dukungan dari masyarakat dan tentu kita semua agar hal ini dapat terwujud. Masyarakat lokal jelas butuh pendampingan dan pembinaan, semoga setelah proses pembagian dan pengesahan lahan ini selesai, kegiatan ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Apa maksudnya? Tentu ada oknum-oknum yang beranggapan tanah ini adalah potensi besar untuk pemanfaatan tertentu, sehingga oknum ini ingin mencari celah untuk mengambi keuntungan. Alangkah baiknya bila pihak yang benarlah kelak mau bekerja sama dengan pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat juga, tak hanya mencari celah untuk kepentingan kelompok semata. Masyarakat lokal perlu hati-hati dengan kelompok seperti ini, harap dilaporkan langsung ke pemerintah daerah setempat dan semoga pemerintah juga sigap menanggapinya. Niscaya, keharmonisan yang perlahan terbangun dapat menopang dan menjadi titik cerah untuk diwariskan kepada generasi setelahnya. Jelas hal ini tidak bisa terwujud dalam jangka pendek, ini adalah program yang berkelanjutan dan jangka panjang dan bersiklus. Mari kawal reformasi agraria demi masa depan bangsa kita. Kamu Indonesia? Yuk mulai peduli. :)
Sumber http://katadata.co.id/berita/2017/03/16/pemerintah-siap-ubah-41-juta-hektare-hutan-jadi-lahan-rakyat
:http://kbr.id/berita/04-2017/reforma_agraria__teten__bukan_bagi_bagi_lahan/89556.html
http://ksp.go.id/menjaga-asa-reforma-agraria-untuk-pemerataan/
 http://presidenri.go.id/topik-aktual/reforma-agraria-redistribusi-lahan-redistribusi-kesejahteraan.html
0 notes
riginetambunan · 8 years ago
Text
Hambatan Reforma Agraria
Tumblr media
Penyusunan tiap program kerja tentu tak hanya didasarkan pada sasaran ketercapaian, melainkan dengan berbagai pertimbangan akan hambatan yang mungkin muncul. Demikian halnya dalam upaya pelaksanaan reforma agraria ini. Dikutip dari http://presidenri.go.id/topik-aktual/reforma-agraria-redistribusi-lahan-redistribusi-kesejahteraan.html Terdapat 3 persoalan dalam praktik pelaksanaan reforma agraria. Reforma agraria sendiri diharapkan tak hanya untuk redistribusi lahan melainkan sebagai tonggak bangkitnya perekonomian Indonesia serta peningkatan kehidupan sosial masyarakat tingkat hulu. Dari sumber yang sama, seorang memberikan masukan terkait reforma agraria ini demikian: “Orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air hingga udara harus ditata ulang sesuai dengan semangat kemerdekaan bangsa ini,”
Menanggapi masukan ini, saya sangat setuju. Penduduk merupakan garda terdepan dari suatu negara, pemerintah itu hanya pelayan namun sesungguhnya yang dikerjakan pemerintah dan diatur dalam undang-undang dan berbagai peraturan semata2 untuk keteraturan irama hidup bermasyarakat yang tentunya penduduk atau masyarakatlah yang menjadi aktor utama dalam hidup sehari-hari. Eksekutor sekaligus penerima manfaat adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Oleh sebab itu, rakyat butuh diberikan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Selain diberikan ruang, mereka juga memerlukan pendampingan dan pembinaan agar tujuan yang hendak diimplementasikan oleh pemerintah dapat dipahami dan diresapi (ini yang namanya penurunan/penularan visi) oleh eksekutor-eksekutor tersebut. Tidak hanya untuk Reforma Agraria, pengawalan dari masyarakat terhadap segala produk yang dikeluarkan pemerintah juga perlu dilakukan.
Tumblr media
3 hambatan pokok dalam praktik reforma agraria diantaranya: 1. Ketimpangan penguasaan tanah Negara. Ketimpangan ini merupakan efek dari masa lalu, dimana pelaku ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan dalam skala besar dan sebaliknya terjadi pada rakyat kelas bawah. Salah satu fakta yang dapat kita lihat adalah penguasaan hutan konsesi seluas 35,8 juta hektar oleh 531 perusahaan pemegang konsesi hutan. Sebaliknya, terdapat lebih kurang 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena berada di kawasan hutan. Belum ada kepastian hukum. Hukum seolah-olah hanya ada untuk kaum berdasi dan eksekutif, sedangkan rakyat jelata bingung harus mencari suaka kemana.  Indikator lainnya adalah lebih dari separuh jumlah petani, yakni sebesar 56%, memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Logikanya saja, bila ada 531 perusahaan tadi memegang konsesi seluas 35,8 juta hektar, itu artinya 1 perusahaan kira-kira memiliki 67420 hektar. Bayangkan ketimpangan ini. Memang bisnis yang diusung perusahaan tadi lebih besar, namun coba pikirkan peluang untuk masyarakat lokal dalam mengelola tanah di daerahnya? Bukankah seharusnya masyarakat lokal juga bisa menikmati apa yang tumbuh dan dihasilkan di daerahnya? Turut mengusahakan dan berkontribusi untuk kebutuhan pangan, kayu rakyat, hasil hutan non kayu, dll untuk negeri?
2. Timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yang diberi izin untuk dikelola, ternyata tidak seluruhnya merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan. Lagi-lagi kebijakan yang tidak jelas. Hal ini harus segera dibenahi mengingat pertumbuhan dan pertambahan penduduk yang terus meningkat serta penduduk yang sudah ada di daerah itu sejak masa lalu juga butuh dipenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan sosial lainnya. Tahun 2004-2015 tercatat ada 1722 konflik agraria terjadi akibat ketidakjelasan status tanah dan tumpang tindihnya peraturan di lapangan. Konflik ini setidak-tidaknya melibatkan sekitar 1,1 juta rakyat, dan luasan yang menjadi pokok konflik mencapai kurang lebih 6,9 juta hektar. Wow, bayangin. Sepanjang 11 tahun itu melibatkan 1,1 juta rakyat. Kalo dibagi secara bulat (tidak memperhatikan data aktual tahunan) didapatkan kira-kira 100.000 rakyat bermasalah status tanahnya dalam setahun dan luasan konflik pertahunnya 627.273 hektar yang bermasalah. WOW. Jumlah yang fantastis ya, kalo dilihat tadi masih banyak petani yang mengelola tanah kurang dari 0,5 hektar dan belum ditambah masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan SDH atau mengelola agroforestri untuk hidup sehari-hari. Memang kalau saya perhatikan sepintas, peraturan di Indonesia masih belum detil-sedetil-detilnya, masih terlampau luas cakupannya dan multi tafsir. Agak sulit juga dalam mendetilkan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dan setiap pulau di Indonesia memiliki potensi yang khas dan berbeda. Cukup sulit untuk mengatur secara detil, tak hanya dalam penyusunan namun juga dalam implementasi. Tingkat pemahaman masyarakat di tiap wilayah juga berbeda-beda, cara pendekatan kepada mereka pun demikian. Menjadi hambatan juga bila ingin mendetilkan sesuatu, pemerintah butuh taktik cerdik dan kreatif, jangka waktu pengerjaannya membutuhkan waktu lebih panjang untuk menjangkau seluruh pelosok negeri. *ya mungkin untuk detil-detilan ini bisa lain kali mereun*
3. Timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan Krisis ini diindikasikan oleh meningkatnya tingkat degradasi kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan untuk pertanian yang dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian, dan lebih banyak bertumpu pada pekerjaan di sektor jasa.Sebanyak 15,5 juta penerima beras untuk rakyat prasejahtera yang tinggal di pedesaan adalah salah satu indikator timbulnya krisis sosial di pedesaan. Sedangkan krisis ekologi di pedesaan salah satunya ditandai oleh keberadaan desa dengan status rawan air di 15.775 desa dan kekeringan di 1.235 desa. Tanggapan tentang minimnya tenaga kerja disektor pertanian, kalau dilihat dari loker-loker yang ada memang sulit menemukan kategori khusus untuk bidang ini, kalau pun ditemukan seringkali gaji yang diberikan tak sesuai dengan harapan tenaga kerjanya. Kita perlu mengingat bahwa sektor pangan adalah hal yang KRUSIAL, tidak hanya di Indonesia, melainkan di bumi tercinta ini. Semua makhluk hidup butuh makan. Perlu ada penghargaan yang sebanding dengan jerih lelah petani, mereka sama seperti guru yang adalah pahlawan tanpa tanda jasa, namun perlakuan terhadap mereka masih sering kurang menyejahterakan kehidupan kaum ini. Kawasan pedesaan umumnya adalah kawasan pertanian, namun jumlah penerima beras sejumlah angka di atas menunjukkan justru kawasan penghasil ini malahan tidak bisa atau masih sangat kurang untuk merasakan jerih lelahnya sendiri. Upah dan fasilitas yang tidak sesuai dan pendampingan yang belum maksimal perlu disoroti untuk krisis sosial ini. Sedangkan sisi krisis ekologi dari status rawan air menunjukkan perlu adanya pengaturan dalam tata air (baik secara teknis-mekanik maupun biologis) agar sistem aliran air di desa-desa tersebut bisa berjalan dengan semestinya. Keberadaan hutan sebagai pengatur tata air serta dam-dam dan saluran untuk lalu lintas air sangat dibutuhkan untuk tetap lestari. Demikian juga dengan krisis air di musim kemarau, fungsi hutan dalam pengaturan siklus hidrologis perlu dipertahankan dengan tetap melestarikan vegetasi dan ekosistem hutan, terutama untuk kawasan-kawasan krusial (seperti konservasi dan lindung) yang memang diperuntukkan untuk keseimbangan ekosistem.
Sumber: http://presidenri.go.id/topik-aktual/reforma-agraria-redistribusi-lahan-redistribusi-kesejahteraan.html
0 notes