#pengaruh silat dalam budaya
Explore tagged Tumblr posts
Text
IMACSSS dan GSMACC 2024: Laporan Komprehensif Tiga Hari di Putrajaya sebagai Platform Global Seni Mempertahankan Diri dan Budaya
oleh GM Prof Dr Mohamad Nizam Mohamed Shapie (IMACSSS) Pendahuluan IMACSSS dan GSMACC 2024 merupakan acara persidangan antarabangsa yang berlangsung selama tiga hari di Putrajaya, Malaysia. Dengan tema utama “Unity in Diversity: The Future of Combat Sports & Martial Arts Worldwide Through Cultural Diversity, Scientific Advancement & Professionalism in Governance”, acara ini menjadi platform…
#aplikasi teknologi dalam seni bela diri#bengkel silat praktikal#cabaran melestarikan silat tradisional#demonstrasi seni bela diri#falsafah seni mempertahankan diri#falsafah silat moden#inovasi dalam seni mempertahankan diri#inovasi pedagogi dalam silat#kecerdasan buatan dalam seni bela diri#kelebihan seni bela diri tradisional#kepentingan silat melayu#kolaborasi antarabangsa dalam silat#kolaborasi seni bela diri global#latihan bela diri interaktif#latihan silat di Malaysia#latihan silat intensif#manfaat seni bela diri untuk kesihatan#pameran seni bela diri antarabangsa#pembelajaran silat untuk kanak-kanak#pengajaran silat di sekolah#pengaruh silat dalam budaya#pengembangan silat global#penggunaan kecerdasan buatan dalam silat#penyelidikan silat di universiti#penyelidikan silat global#peranan silat dalam pembangunan sosial#program latihan seni bela diri intensif#realiti maya dalam silat#seni bela diri dan psikologi#seni bela diri Korea
0 notes
Text
Sejarah Si Buta dari Goa Hantu: Legenda Pahlawan Buta yang Mengharumkan Dunia Sastra
Si Buta dari Goa Hantu adalah salah satu karya sastra legendaris Indonesia yang memadukan antara epik petualangan, sejarah, dan kisah perjuangan. Karakter utama dalam cerita ini, yang dikenal sebagai Si Buta, menjadi salah satu ikon budaya populer di Indonesia, dikenal oleh generasi pembaca berbagai usia. Karya ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967 dan langsung menarik perhatian para pembaca, hingga kemudian menginspirasi berbagai media lain seperti film, serial televisi, hingga komik. Artikel ini akan mengulas sejarah Si Buta dari Goa Hantu, asal-usulnya, perkembangan karya ini, serta pengaruhnya dalam dunia sastra Indonesia.
Asal Usul dan Penulis Si Buta dari Goa Hantu
"Si Buta dari Goa Hantu" adalah sebuah novel yang ditulis oleh Hengky S. (Sigit P. Harjanto), seorang penulis Indonesia yang terkenal dengan karyanya dalam genre petualangan dan sejarah. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967 dan langsung menjadi fenomena di dunia sastra Indonesia. Kisahnya berfokus pada seorang tokoh utama yang dikenal dengan nama Si Buta, seorang pria yang buta tetapi memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa dan keberanian yang tak terbendung.
Si Buta, meskipun kehilangan penglihatan, memiliki berbagai kemampuan luar biasa seperti mendengar lebih tajam, bergerak dengan cekatan, serta memiliki keahlian dalam berbagai jenis ilmu silat. Tokoh ini menggambarkan semangat pantang menyerah dan perjuangan melawan segala keterbatasan fisik, menjadikannya sebagai simbol dari keteguhan hati dan keberanian.
Plot dan Karakter Si Buta dari Goa Hantu
Kisah Si Buta dari Goa Hantu dimulai dengan latar belakang tokoh utamanya, seorang pemuda yang terlahir buta akibat konspirasi jahat yang merenggut kebahagiaannya. Meskipun buta, Si Buta adalah seorang yang penuh semangat juang dan memiliki naluri petualangan yang tinggi. Dalam perjalanan hidupnya, ia berhadapan dengan berbagai musuh, rintangan, dan penjahat yang ingin menghancurkan keadilan.
Keunikan dari karakter Si Buta adalah kepribadian yang tegas, gagah berani, dan penuh dengan kebijaksanaan yang mendalam, meskipun secara fisik ia terlihat lemah karena kebutaan. Selain itu, Si Buta memiliki senjata khas berupa keris yang merupakan simbol dari kesaktiannya. Ketika berhadapan dengan musuh, Si Buta tidak hanya mengandalkan kekuatan fisiknya, tetapi juga kecerdasannya dalam merencanakan langkah-langkah taktis yang selalu membuat musuh terperangkap.
Cerita ini berkembang menjadi kisah yang penuh dengan pertarungan, ketegangan, serta perjuangan melawan kejahatan yang mendalam. Dengan karakter yang terlibat dalam konflik sosial dan politik, Si Buta dari Goa Hantu mengandung nilai-nilai perjuangan dan keadilan yang sangat relevan pada masanya.
Pengaruh Si Buta dari Goa Hantu dalam Sastra Indonesia
"Si Buta dari Goa Hantu" membawa nuansa baru dalam dunia literasi Indonesia pada era 1960-an. Sebagai sebuah karya yang menggabungkan elemen-elemen fiksi sejarah, petualangan, dan pahlawan, novel ini memberikan pembaca kisah yang tidak hanya menghibur tetapi juga sarat dengan nilai moral. Meski bergenre action atau adventure, kisah ini memberikan pesan bahwa keberanian tidak selalu berasal dari kekuatan fisik, melainkan dari semangat dan hati yang teguh.
Sebagai karya sastra, Si Buta dari Goa Hantu juga menawarkan pembelajaran tentang kegigihan, pembelaan terhadap kebenaran, dan kepercayaan pada kemampuan diri. Dengan karakter yang memiliki kekurangan fisik (kebutaan), Si Buta menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berbuat baik dan menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
Novel ini dengan cepat menjadi karya yang dikenang oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam konteks budaya populer yang melahirkan berbagai adaptasi. Dengan karakternya yang kuat dan plot yang penuh kejutan, Si Buta dengan mudah menarik perhatian pembaca dari berbagai usia, baik yang muda maupun yang tua.
Adaptasi dan Pengaruh Media Lainnya
Seiring berjalannya waktu, Si Buta dari Goa Hantu mengalami beberapa kali adaptasi, termasuk menjadi komik, film, dan serial televisi. Salah satu adaptasi pertama yang sangat populer adalah dalam bentuk komik yang diterbitkan pada tahun 1970-an. Komik ini segera mendapat tempat di hati pembaca Indonesia, khususnya penggemar cerita petualangan.
Selain itu, cerita Si Buta dari Goa Hantu juga telah diangkat ke layar lebar dalam bentuk film, yang dirilis pada tahun 1973 dengan judul yang sama. Film ini, meskipun tidak mendapatkan kesuksesan besar di pasar internasional, tetap memiliki tempat penting dalam sejarah perfilman Indonesia karena menjadi salah satu film petualangan awal yang menggambarkan seorang pahlawan yang berjuang melawan kejahatan.
Pada dekade-dekade berikutnya, Si Buta dari Goa Hantu terus hadir dalam berbagai format media, termasuk serial televisi, teater, dan adaptasi digital. Bahkan, pada tahun 2000-an, komik Si Buta kembali terbit dengan gaya visual yang lebih modern, yang menunjukkan bahwa meskipun sudah lebih dari lima dekade sejak pertama kali diterbitkan, karakter Si Buta tetap relevan dan disukai banyak orang.
Kesimpulan: Si Buta dari Goa Hantu Sebagai Ikon Sastra Indonesia
Si Buta dari Goa Hantu bukan hanya sekadar cerita petualangan biasa, tetapi telah menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia yang tak terlupakan. Tokoh Si Buta menggambarkan keberanian, kegigihan, dan keadilan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Novel ini juga memperlihatkan bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang untuk menjadi pahlawan yang besar.
Keberhasilan novel ini dalam berbagai adaptasi, baik dalam bentuk komik, film, maupun televisi, menunjukkan bahwa Si Buta dari Goa Hantu tidak hanya menjadi sebuah karya sastra yang penting, tetapi juga telah menjadi simbol dalam budaya populer Indonesia. Cerita ini menginspirasi banyak orang untuk tidak menyerah pada keadaan dan terus berjuang demi kebenaran dan keadilan, menjadikannya relevan hingga saat ini.
Si Buta dari Goa Hantu mengajarkan kita bahwa pahlawan sejati tidak harus sempurna, namun memiliki tekad kuat dan keberanian untuk berbuat baik, meskipun sering kali dihadapkan pada kesulitan yang luar biasa.
0 notes
Text
Cuma mau cerita soal film yang baru kutonton. Lewatin dan abaikan aja kalau kalian belum nonton Raya and the Last Dragon dan punya rencana untuk nonton filmnya.
Aku suka film Raya and the Last Dragon yang diproduksi Walt Disney Animation Studios. Yang bikin aku tertarik sama film ini adalah dunianya yang fokus sama kebudayaan Asia Tenggara, dan, ya, termasuk budaya Indonesia juga. Aku sempat lihat adegan pendek orang yang sedang membatik, seni bela diri pencak silat yang digunakan Raya, dan pedang Raya sendiri yang bentuknya menyerupai keris. Filmnya bagus. Alurnya agak terlalu cepat, tapi, ya, bagus. Dan enggak seperti film Disney yang biasanya, Raya and the Last Dragon sama sekali enggak ada adegan bernyanyi. Itu salah satu faktor yang bikin aku suka sama ini film, ditambah adegan action yang nyegerin mata. Apalagi pas adegan Raya vs Namaari menjelang akhir film.
Tapi sebagus-bagusnya film, pasti ada kekurangannya juga. Salah satunya yang tadi sudah kusebutkan di atas soal alurnya yang agak terlalu cepat, yang lain adalah masalah naganya. Semua naga di film RatLD. Aku enggak tahu persis gimana wujud naga menurut mitologi dari negara-negara Asia Tenggara lainnya, tapi aku tahu kalau naga dari mitologi Indonesia punya kemiripan dengan naga dari Cina yang wujudnya menyerupai ular daripada kadal bersayap seperti naga dari Eropa.
Di sini masalahnya. Semua naga di film RatLD, yah walaupun wujudnya emang hampir seperti ular, mereka punya bulu dan bukannya sisik! Bulu! Seluruh tubuhnya tertutup bulu! Disney, kamu–kamu ini kenapa?! Aku paham film yang kamu buat itu rata-rata untuk anak-anak, tapi kenapa harus begini?! Kalau tujuan kamu itu ingin memperkenalkan budaya Asia Tenggara ke dunia, harusnya kamu buat naga Asia sebagaimana harusnya! Jangan–jangan–argh!
Singkatnya, the dragon design in RatLD is shit. How to Train Your Dragon did it better. DreamWorks bisa bikin desain naga yang kelihatan imut tapi juga masih mengintimidasi (Toothless dan Light Fury, misalnya). Sedangkan Disney? Nah. Kupikir Disney harus belajar sama DreamWorks soal naga. Dan aku enggak suka Sisu. Mungkin belum sampai ke tingkat benci, tapi pokoknya aku enggak suka Sisu. Dia nyebelin sejak kemunculan pertamanya. Dan sebagai naga dia enggak berperilaku seperti naga Asia yang biasanya dianggap bijaksana.
Selain naga, yang aku enggak suka soal film ini adalah dialognya yang terlalu modern. Coba aja dengerin lagi dialog Sisu yang ngomongin soal group project saat dia pertama kali muncul, atau saat Namaari menghadapi Raya setelah dia ngambil permata naga di Tail ("what's dripping?" atau semacamnya). Dialog-dialog yang terlalu modern begini rasanya agak salah tempat. Kesannya Amerika banget.
Aku enggak tahu gimana menurut kalian, tapi di mataku film RatLD ini seolah-olah, hm ... dihantui sama Frozen II? Dari trailernya, kalau enggak salah ingat, creator F2 memang ikut bekerja dalam pembuatan film Raya, tapi, astaga, pengaruh Frozen 2 yang terbawa ke RatLD terlalu banyak. Pertama adegan jembatan tempat ayah Raya berubah jadi batu. mirip dengan adegan ketika penghuni kastil Arendelle berlari di sepanjang jembatan yang menghubungkan kastil dengan desa. Terus kisah tentang Sisu yang tertidur di suatu tempat di ujung sungai? Itu kedengarannya mirip dengan konsep sungai Ahtohallan di telingaku. Adegan Raya yang menemukan bangkai kapal sebelum dia bertemu Sisu, dan di situ juga Sisu bangkir. Sumpah, konsepnya mirip banget ketika Anna dan Elsa menemukan bangkai kapal yang ditumpangi kedua orang tuanya, dan di situ juga Elsa memanggil memori tentang kematian Agnarr dan Iduna lewat bantuan air. Ah, yes. Mirip banget. Selain itu ada lagi konsep tentang permata naga yang mirip dengan keempat kristal elemen dari F2, keempat naga bisa dibilang seperti roh sihir dari keempat elemen di Enchanted Forest. Dan jangan sampai aku ngungkit-ngungkit soal pilihan warna untuk kedua film ini.
Disney, kamu kehabisan ide, ya?
Tambahan: aku mungkin dan mungkin juga enggak nge-ship Raya/Namaari :'D. The gay tension in this movie is reallllll bruh.
1 note
·
View note
Text
Mengenal Tari Tradisional asal Minangkabau
Tari tradisional atau yang biasanya dikenal dengan tarian rakyat adalah unsur gerak yang mengandung unsur keindahan yang dibuat untuk kepentingan adat dalam suatu suku. Minangkabau merupakan suku yang ada di Sumatera barat. Seperti suku pada umumnya, suku Minangkabau memiliki beragam jenis kesenian tradisional, salah satunya yaitu tarian. Berikut ini kita akan membahas beberapa jenis tarian tradisional asal Minagkabau.
a) Tari Piring
Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah jenis tarian adat Minangkabau yang berasal dari kota Solok, Sumatera Barat. Tarian ini dilakukan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring tersebut yang belakang sekali diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi dipergunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Tari tersebut dipergunakan sebagai sarana prasarana hiburan untuk masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.
Tarian ini diikuti oleh alat musik Talempong dan Saluang. Kombinasi musik yang cepat dengan gerak penari yang begitu lincah membuat pesona Tari Piring begitu menakjubkan. Pakaian yang dipergunakan para penaripun haruslah pakaian yang cerah, dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan.
b) Tari Rantak
Tari Rantak merupakan tarian Minangkabau yang mungkin diadaptasi dari Tarian Rantak Kudo, tarian tradisional Jambi. Meski pada dasarnya memiliki kesamaan, khususnya pada hentakan kaki, namun oleh seniman Minang dikolaborasikan dengan silek (silat) yang tegas. Gerakan-gerakan silat dalam tarian ini mengambil bagian dari bungo silek yang memang difungsikan untuk pertunjukan semata. Tari ini disajikan dengan iringan musik yang cenderung bertempo cepat. Dalam ranah kebudayaan Minang dikenal dua tarian Rantak, yakni Rantak Kudo Pesisir Selatan dan Rantak karya Gusmiati Suid.
c) Tari Pasambahan
Tarian Pasambahan adalah contoh tarian yang didominasi oleh penari wanita. Tarian ini berkembang merata di Sumatera Barat, khususnya di Kota Padang. Pasambahan sendiri adalah tari penyambutan sebagai ungkapan selamat datang dan rasa hormat pada tamu. Keberadaan tari ini cukup melekat dengan upacara pernikahan adat Minang. Biasanya ditampilkan saat kedatangan tamu yang datang dari jauh, atau ketika pengantin pria tiba di rumah pengantin wanita. Dalam penyajiannya, tamu dipayungi sebagai bentuk penghormatan, setelahnya dilanjutkan dengan suguhan daun sirih dalam carano.
Tari ini disajikan oleh 9 penari yang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama; dua orang penari laki-laki membawakan gerak pencak silat, kedua; empat orang penari perempuan yang menari lembut dan anggun. Dan, ketiga; tiga perempuan dengan satu orang pembawa carano dan dua orang sebagai pendampingnya.
d) Tari Indang
Kesenian indang atau yang lebih dikenal sebagai tari Badindin merupakan ragam kesenian khas milik masyarakat pantai atau pesisir Sumatera Barat (Navis, 1986: 264). Menurut sejarahnya, kesenian indang sebagai seni tradisi awalnya berfungsi sebagai media komunikasi dalam menyampaikan ajaran Islam, kemudian berubah sebagai media silahturahmi dalam masyarakat. Selanjutnya kesenian indang berubah sebagai media hiburan, yakni hiburan pada acara pesta perkawinan, perpisahasan, dan sebagainya.
Kesenian ini disajikan per kelompok antarnagari dalam bentuk dendangan, diiringi oleh alat musik rapa’i sekaligus sebagai properti yang digunakan pemain dalam penampilan. Pemain terdiri dari laki-laki saja berjumlah ganjil.Namun, seiring berjalannya waktu, wanita pun juga turut melakukan tarian satu ini.
e) Tari Payung
Tari Payung adalah tari yang bersifat hiburan sebagai tari sosial yang mengutamakan nilai-nilai rekreasional dan ditarikan secara berpasangan dengan jumlah genap termasuk kelompok tari unison yang terdiri dari tiga orang penari perempuan dan tiga orang penari laki-laki. Gerak tari Payung sebagai tari Melayu Minangkabau mendapat pengaruh dua budaya yaitu selain Minangkabau juga terdapat budaya Melayu yaitu gerak singajua lalai sedangkan musiknya disebut musik Langgam Melayu diiringi lagu Babendi-bendi dengan menggunakan musik diatonis. Dalam menarikan tari Payung menggunakan properti, penari laki-laki menggunakan payung dan selendang untuk penari perempuan. Tari Payung sering tampil dalam bentuk pertunjukan tari Melayu Minangkabau baik dalam bentuk hiburan maupun dalam bentuk pertunjukan seni (performing art).
f) Tari Lilin
Tari Lilin merupakan salah satu tarian tradisional dari Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan oleh para penari dengan menggunakan piring kecil dengan lilin yang menyala di atasnya sebagai atribut menari. Tarian lilin dimainkan oleh sekelompok penari dengan gerakan yang atraktif dan seirama dengan alunan musik yang mengiringinya. Tarian ini merupakan salah satu tarian yang terkenal di Indonesia dan menjadi salah satu ikon tarian tradisional di Sumatera Barat, khususnya masyarakat Minangkabau.
Fungsi Tari Lilin dulunya hanya ditampilkan acara adat, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil dan pencapaian yang didapatkan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi Tari Lilin kini tidak hanya ditampilkan untuk acara adat saja, namun juga sebagai kesenian dan hiburan.
oleh Nadiyah Shabrina Subhan
Daftar pustaka:
Hidayat, Hengki Armez, Wimrayardi dan Agung Dwi Putra. (2019). Seni Tradisi dan Kreativitas dalam Kebudayaan Minangkabau. Musikolastika Jurnal Pertunjukan dan Pendidikan Musik, Vol.1 (No.2), 65-73.
Khairally, Elmi Tasya. (2021). Mengenal Tari Piring, Warisan Budaya Kebanggaan Sumatera Barat di https://travel.detik.com (diakses 26 April 2021).
Rulita. (2018). Keseniang Minangkabau yang Paling Terkenal di https://ilmuseni.com/(diakses 26 April 2021).
Rustiyanti, dkk. (2013). Estetika Tari Minang dalam Kesenian Randai. Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.23 (No.1), 42-46.
0 notes
Text
#Ngasal-13
Budaya Lokal Punah?
Ketertarikanku pada budaya lokal, terkhusus Jawa, terpengaruh dari lingkungan keluarga terutama dari Ibuku. Bagaimana tidak? Saat masih bayi saja, aku dijadikan teman nonton wayang kulit oleh Almarhum Mbahlik. Beliau memang penganut budaya Jawa yang masih sering "ngelakoni" adat istiadatnya. Ditambah lagi pada saat masa remaja, ternyata Ibuku seorang penari Jawa. Beberapa beksan seperti Tari Gambyong, Srimpi, Bondhan pernah ditarikan oleh Ibuku.
Sejak TK ketertarikanku pada budaya Jawa mulai terlihat saat mendengarkan instrumen gamelan dan menonton tari-tarian Jawa. Pada masa Taman Kanak-kanak tersebut, aku pun sudah ikut pentas tari. Pertama, ikut pada pentas Tari Kidang di RRI Solo. Kedua, mengikuti lomba Tari Punakawan tingkat kota.
Berlanjut saat di jenjang Sekolah Dasar, pada mata pelajaran seni budaya atau muatan lokal, aku begitu antusias mengikuti. Apalagi saat ada praktik memainkan instrumen gamelan dan menari Jawa khas gaya Surakarta. Saat kelas IV, Aku pun ditunjuk mewakili sekolah untuk mengikuti lomba tari berjenjang dari tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota. Tari Bugis Kembar, merupakan beksan yang ditarikan oleh dua orang putra. Bercerita mengenai sedulur yang terpisah dan dipertemukan kembali dengan cara unjuk kebolehan ilmu masing-masing serta mengadakan adu jurus antara pemegang senjata double stick dan toya (tongkat panjang). Adegan diakhiri dengan perdamaian diantara saudara tersebut.
Setelah lomba yang kami ikuti saat kelas IV, ternyata ketika kelas V pun diminta tampil pada acara Pentas Seni di Sekolah. Dan uniknya lagi, di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat kelas VIII, aku diminta mengikuti lomba tari yang sama lagi. Seperti takdir yang tidak terpisahkan, harus mengulang kembali nostalgia saat SD menarikan Tari Bugis Kembar dengan partner yang berbeda.
Selain mengikuti lomba tari, aku juga mengikuti ekstrakurikuler karawitan saat di SMP. Karawitan mempunyai daya tarik tersendiri bagiku, karena disini aku bisa belajar memainkan instrumen gamelan. Instrumen favoritku dan termasuk yang gampang pula, yaitu Kempul atau sederet Gong kecil yang memiliki beberapa nada suara. Sempat saat kelas VIII mengikuti pentas di citywalk Solo sebagai pengiring dalang cilik wayang kulit.
Di bangku kuliah, aku mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelatnas Perisai Diri. Salah satu perguruan historis Pencak Silat yang berkontribusi terhadap terbentuknya Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Alasanku mengikuti kegiatan ini, karena Pencak Silat merupakan salah satu budaya dan seni beladiri asli Indonesia yang keren serta akan sangat menarik jika tetap dilestarikan. Apalagi pada tahun 2012, Pencak Silat sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Di Perisai Diri, tidak hanya olahraga beladiri yang diajarkan, melainkan olah rasa, olah napas, olah hidup agar menjadi manusia berbudi luhur. Menguasai silat tidak untuk menyakiti, tetapi lebih ke menjaga, melindungi, mawas diri terhadap segala situasi. "Siapa saja yang ingin meraih sukses, haruslah mendaki dan memanjatnya, bukan dengan melompatinya", merupakan kata bijak dari Pendiri Kelatnas Perisai Diri yaitu Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo. Kita harus bersabar dalam menghadapi segala masalah dengan berproses secara seksama, tidak menuntut sesuatu yang instan.
Itulah beberapa kenangan keikutsertaanku dalam nguri-uri budaya lokal, terutama Jawa. Di rumah, wajar karena orang tuaku dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, selayaknya sudah memakai Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Dari yang awalnya cuma bisa memakai bahasa ngoko sampai mulai belajar krama alus, disitu aku merasa bahwa budaya Jawa memiliki nilai luhur yang pantas dilestarikan.
Sampai zaman pun berubah saat media sosial merajalela dan pengaruh buruk televisi yang makin tidak bermutu. Aku melihat perkembangan zaman yang begitu pesat, dari sisi teknologi, ilmu pengetahuan, serta adanya pergeseran budaya sangat drastis. Miris melihat budaya lokal mulai tergusur oleh budaya asing, ditambah dari bangsa sendiri yang membuat trend gaul tidak bermutu itu. Apalagi kaum milenial mudah silau terhadap sesuatu yang baru nan terlihat modern. Mulai dari dandanan, tata bahasa, tingkah laku, dan pola hidup sudah sangat berbeda dari orang tua, nenek moyang kita.
Tidak jadi masalah ketika perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Tetapi realita berkata lain, menurutku ada degradasi moral yang terjadi saat ini dan mungkin sampai kedepannya. Pengaruh asing makin menjadi-jadi ditambah dengan manusia Indonesia memiliki tabiat mudah terpengaruh dan konsumtif terhadap sesuatu yang sedang viral. Apalagi pengaruh dari publik figur, artis, politisi, media sosial, dan televisi yang membiarkan bangsanya sendiri menerima tayangan serta contoh buruk terhadap degradasi moral terutama pemahaman mengenai budaya lokal.
Sedikit sekali penayangan mengenai pengenalan budaya lokal yang masih mengajak penonton agar tetap melestarikan budaya lokal. Adanya malah acara televisi yang memakai bahasa daerah tertentu, tetapi hanya membuat banyolan, komedi, dan guyonan. Sangat disayangkan saat jati diri mulai tergerus dengan budaya-budaya asing yang sebenarnya tidak cocok dengan pola hidup keluhuran bangsa ini.
Hal yang aku khawatirkan adalah bagaimana kelak generasi selanjutnya mengenal budaya lokalnya sendiri? Jika memang ada pembiaran terhadap hancur ataupun sampai punahnya budaya lokal yang dahulu sudah lebih beradab. Apakah memang ini sudah mendekati akhir zaman? Saat budaya malu, andhap asor, unggah-ungguh, dan kebiasaan luhur nan beradab mulai tergerus, tergeser, ternoda serta lenyap, akan menjadi apa bangsa ini?
Marilah kita mencoba sadar terhadap perubahan drastis yang mengarah menuju kebobrokan. Jangan menjadikan ini sebuah kelaziman. Sudah menjadi tanggung jawab kita untuk menanggulangi pengaruh asing yang membawa pengaruh buruk, menjaga dan mengenalkan budaya lokal syarat dengan nilai luhur. Dimulai dari diri sendiri, keluarga, kerabat, saudara, teman sampai bangsa dan negara, marilah bahu-membahu tidak mudah silau dengan gemerlap modernisasi ke arah negatif, bisa waspada, dan introspeksi terhadap apapun yang menyeleweng dari kultur budaya, norma, serta agama. Semoga pembahasan kali ini bisa sebagai pengingat terutama bagi diri pribadi penulis dan para pembaca sekalian.-
1 note
·
View note
Text
On Hong Kong Comics (in Indonesian)
SEPTEMBER 2018
Komik Hong Kong di Indonesia: Kian Elit, Kian Sempit
Oleh Ade Irwansyah
Jika bertandang ke Hong Kong, sempatkanlah mampir ke Kowloon Park, sebuah taman dekat kawasan Tsim Sha Tsui yang sibuk. Di salah satu sudut taman terdapat surga kecil buat pecinta komik, terutama komik Hong Kong. Di area sepanjang 100 meter terdapat 30 patung karakter tokoh komik Hong Kong setinggi 1,8 hingga 3 meter berderet rapi.
Patung-patung yang dipamerkan di situ merentang dari karakter komik era 1960-an hingga dekade 2010-an. Di sana, Anda bisa puas berswa-foto dengan karakter Old Master Q, Wang Xiao Hu dari komik Long Hu Men, Dragon Lord, Cloud alias Angin dari komik Awan dan Angin (Wind and Cloud/Storm Riders) sampai yang kurang dikenal di sini seperti Miss 13 Dots, K si James Bond Hong Kong atau Ding Ding Penguin yang imut.
Tempat yang dinamakan Hong Kong Avenue of Comic Stars ini juga memuat sejarah perkembangan komik, pengaruhnya ke negara lain, termasuk Indonesia. Hong Kong Avenue of Comic Stars resmi dibuka September 2012 dengan tujuan merayakan budaya komik negeri bekas koloni Inggris itu.[1] Pembukaannya diresmikan Tony Wong Yuk-long, Presiden Hong Kong Comics and Animation Federation dan Gregory So Kam-leung, Menteri Perdagangan dan Pembangunan Ekonomi Hong Kong.
Tony Wong, tentu saja, legenda hidup komik Hong Kong. Ia layak disejajarkan dengan Osamu Tezuka di Jepang atau Stan Lee di Amerika. Seperti Stan Lee pula, Tony Wong beberapa kali muncul di film layar lebar. Ia pernah main film Project A (sebagai polisi), All’s Well, End’s Well (sebagai diri sendiri), New Police Story bareng Jacky Chan (sebagai kepala penjara) dan film adaptasi komik karyanya Dragon Tiger Gate (sebagai tabib Qi).[2] Membicarakan komik Hong Kong tak sahih tanpa menyebut Tony Wong. Namun, sejatinya pula, nama itu baru muncul sekitar akhir 1960-an di rimba persilatan komik di sana.
Bila ditelusuri muasal komik Hong Kong akan jauh sekali hingga ke masa Tiongkok kuno. Seperti Indonesia, orang China telah mengenal budaya gambar sejak ribuan tahun silam. Jejak lukisan tertua yang terselamatkan menunjuk ke masa abad 11 SM dan gambar-gambar di guci dari masa 5.000 sampai 3.000 SM. Di masa Dinasti Ming (1368-1644) muncul gambar dengan teknis kuas, sedangkan di masa awal Dinasti Qing (1643-1911) lahir gambar satir karya Zhu Da serta Luo Liang-feng sekitar 1771.[3]
Perkembangan gambar modern di China tak bisa dipisahkan dengan teknik cetak murah dari Barat. Teknik cetak ini membuat penerbitan koran dan majalah menjamur. Termasuk juga kartun dan karikatur yang muncul dalam koran dan majalah tersebut. Selain di media cetak, lahir juga apa yang dinamakan lianhuantu, buku cerita bergambar seukuran telapak tangan. Lianhuantu berformat 30 halaman. Setiap halaman berisi gambar dengan kotak keterangan di bawahnya. Komik format lianhuantu banyak diterbitkan di Shanghai awal abad ke-2o, serta diekspor keluar, di antaranya Hong Kong. Lianhuantu biasanya mengisahkan cerita kepahlawanan pahlawan atau legenda Tiongkok kuno.[4]
Di buku Hong Kong Comics (2002), Wendy Siuyi Wong menyebut komik Hong Kong pertama lahir di akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Komik Hong Kong awal berjenis kartun satir dan karikatur. Majalah kartun satir pertama The China Punch terbit 1867 oleh seorang wartawan Inggris. Namanya sendiri diambil dari The Punch, terbitan Inggris dan mengadopsi karikatur politik, lustrasi dan kartun satir.
Siuyi Wong menganggap peran The China Punch sangat berarti karena mengenalkan kartun dan humor politik di Hong Kong.[5] Orang China pertama yang melukis kartun politik di Hong Kong adalah Tse Tsan-tai lewat karyanya The Situation in the Far East yang diterbitkan di Jepang. Tse pendukung Sun Yat-sen, Bapak Republik China. Ia menentang ambisi negeri asing di China. Lewat karyanya, ia bermaksud memberi kesadaran politik pada rakyat China.[6]
Dari Komik Humor ke Kungfu
Dalam bahasa China, komik disebut “manhua”. Sejumlah sejarawan meyakini kata itu dipinjam sejak permulaan abad ke-20 dari bahasa Jepang, manga yang berarti komik.[7] Menginjak 1920-an dan 1930-an, komik Hong Kong jarang memuat pesan politik. Topik yang sering diangkat kebanyakan tema sehari-hari. Selepas Perang Dunia II, komik jadi hiburan orang banyak. Komik strip muncul di setiap koran menggambarkan keseharian orang Hong Kong, dengan dialog sehari-hari dalam bahasa Kanton alih-alih Mandarin.[8]
Tahun 1950-an terbit Uncle Choi karya Hui Guan-man. Awalnya, kisah Paman Choi ini bernuansa humor, tapi belakangan jadi serius saat fokus cerita beralih soal kepahlawanan perang lawan Jepang. Di masanya, Uncle Choi jadi manhua terlaris di Hong Kong selama beberapa tahun, terbit selama satu setengah dekade. Komiknya dikatakan membawa pembaruan dengan gaya bertutur modern yang membedakan dengan model lianhuantu. Wendy Siuyi Wong mencatat manhua ini mengikuti tren—misal, ketika film spionase James Bond populer, sang tokoh jadi mata-mata--walau tak selalu disambut baik pembaca. Pada pertengahan 1970-an penerbitannya dihentikan.[9]
Sebelum 1970-an, manhua populer lainnya adalah Old Master Q karya Wong Chak yang terbit pertama tahun 1964. Formatnya komik empat panel yang mengisahkan petualangan kocak Old Master Q, pria tua berkumis tipis dan kostum tradisional China, bersama kawan-kawannya (“Big Dumb”atau “Big Potato” dan Mr. Chun). Manhua ini masih terbit hingga hari ini membuatnya jadi serial komik China paling lama.[10]
Yang kini juga jadi klasik di masa itu adalah Miss Thirteen Dot yang muncul di komik 13-Dot Cartoons karya Theresa Lee Wai-chun. Manhua ini disebut komik mainstream pertama yang menyasar pembaca cewek. Dikatakan, komik ini terinspirasi karakter Richie Rich. Ceritanya sendiri tentang petualangan seorang gadis putri jutawan.[11]
Seiring popularitas film kungfu akhir 1960-an dan tahun 1970-an yang antara lain melahirkan sosok Bruce Lee, imbasnya juga sampai ke manhua. Tahun 1971 terbit manhua kungfu berjudul Lee Siu-lung yang merupakan nama China Bruce Lee karya Seung-gun Siu-bo. Akhir 1960-an, tepatnya 1968, terbit Little Vagabond karya Tony Wong berkisah tentang petualangan dewa mabuk Vagabond.
Namun, tak sah mengulas manhua kungfu tanpa menyebut karya Tony Wong yang lain, Little Rascals (1970). Manhua ini mengisahkan petualangan preman-preman muda yang tinggal di pemukiman rumah susun (public housing) Hong Kong. Penggambaran adegan duel di komik ini begitu brutal dan mengundang kritik. Pemerintah lantas menerbitkan Indecent Publication Law tahun 1975 untuk mengatur gambar kekerasan vulgar di komik. Tony Wong patuh. Mengubah judulnya bernada positif Oriental Heroes (Long Hu-men). Tahun 1980-an, gaya gambar ala kartun di manhua ini berubah jadi lebih realis seiring popularitas The Chinese Hero karya Ma Wong-shing.[12] Pada akhir 2000, Wong me-remake Oriental Heroes dengan judul Xin Long Hu-men (New Oriental Heroes), memakai karakter yang sama seperti Wang Xiaohu, Wang Xiaolong dan Shi Heilong, tetapi dengan cerita yang lebih memikat dan adegan laga yang jauh lebih mantap.[13]
Pengaruh Komik Hong Kong di Indonesia
Di buku Komik Indonesia (pertama terbit edisi Prancis, 1976; edisi Indonesia, 1998) Marcel Bonneff mencatat komik silat kita bermula dari cerita silat (cersil) China. Ia tak menyebut komik melainkan karya sastra. Sebelum Perang Dunia II, surat kabar Melayu-Tionghoa Keng Po dan Sin Po menerbitkan seri silat China, yang kemudian terbit dalam bentuk buku. Setelah perang, Koran Star Weekly sangat diminati karena memuat cersil China.[14]
Dikatakan juga, cersil China di Indonesia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: cersil Tionghoa terjemahan buku yang diterbitkan di Hong Kong dan Taiwan serta gubahan penulis Indonesia keturunan Tionghoa. Yang disebut terakhir pelaku utamanya adalah Kho Ping Hoo alias Asmaraman.[15]
Dalam format komik, salah satu cersil pertama adalah kisah legenda Sie Djin Koei pada 1954. Komiknya tak mengadopsi model lianhuantu ala cergam Shanghai awal 1920-an, namun sudah sepenuhnya mengadopsi format komik modern dengan panel-panel terpisah dan balon kata.[16] Menginjak 1960-an terbit komik Buku Angin Kuning atau Pendekar Piatu yang mengambil ilham dari cersil China. Di pasar Indonesia, kata Bonneff, komik Hong Kong mendapat tempat sejajar dengan buku cerita.[17]
Yang turut pula berpengaruh pada komik silat kita adalah film kungfu Hong Kong, Taiwan dan samurai Jepang yang tayang di Indonesia di masa awal Orde Baru, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Ganes TH yang mencipta Si Buta dari Gua Hantu dikatakan meniru komik Hong Kong, atau setidaknya film Jepang. Ganes membantah, mengatakan yang menginspirasinya adalah film Amerika tentang koboi buta yang beraksi dengan tongkat.[18]
Masa keemasan komik Hong Kong alias manhua di Indonesia berlangsung tahun 1990-an. Saat itu industri komik lokal tengah terpuruk oleh serbuan komik impor. Bila dekade sebelumnya orang Indonesia akrab dengan komik Eropa (Tintin, Asterix, Lucky Luke) dan Amerika (Batman, Superman dll), pada 1990-an mulai menjamur komik Jepang dan Hong Kong. Komik Jepang alias manga ditanadi oleh Candy Candy, Kung Fu Boy dan Doraemon yang diterbitkan Elex Media Komputindo milik Kompas-Gramedia; sedangkan manhua ditandai kehadiran dua karya Tony Wong: Tiger Wong dan Tapak Sakti juga oleh Gramedia. Tiger Wong judul aslinya Oriental Heroes versi 1980-an, sedangkan Tapak Sakti adalah Buddha’s Palm terbitan 1982.
Tahun 1990-an pemainnya bukan hanya kelompok usaha Kompas-Gramedia. Generasi ’90-an penggemar komik pasti akrab dengan manhua terbitan Garuda Mas. Penerbit ini menerbitkan banyak komik terjemahan Hong Kong macam Street Fighter, Crazy Guy, 3 Pendekar, Killer Sword dan macam-macam lagi. Di kebanyakan terbitan itu hanya disebut nama penulisnya, Chris Lau (Lau Ding-gin), padahal komik-komik itu dihasilkan macam-macam komikus: Fung Chi-ming, Li Chi-tat, dan lain-lain.
Jelang pertengahan 1990-an, Garuda Mas menghilang digantikan Rajawali Grafiti. Penerbit ini menerbitkan komik Hong Kong bajakan seperti Dragonman (Dragon Lord) hingga Awan dan Angin (Wind and Cloud) dan Pedang Bara (The Chinese Hero) dua karya legendaris Ma Wing-shing. Selain itu penerbit yang sama juga banyak menerbitkan manga terjemahan tak resmi seperti City Hunter, Dragon Ball, Ranma ½ hingga Tinju Bintang Utara (Fist of the North Star karya Burunson). Tidak sampai akhir 1990-an penerbit ini tak terdengar lagi kiprahnya.
Nasib Manhua Kini di Hong Kong dan Indonesia
Masa keemasan komik Hong Kong baik di negeri asalnya maupun Indonesia berlangsung hingga 1990-an. Di Indonesia malah rasanya masa emas itu lebih pendek: hanya setahun, tepatnya 1992 ketika Gramedia menerbitkan Tiger Wong dkk serta Garuda Mas membanjiri pasar dengan judul-judul beragam.
Penyebab kemunduran relatif sama: serbuan manga ke pasar. Di Hong Kong, dari segi format, manga yang terbit bulanan, hitam-putih, dicetak di kertas biasa dengan tebal 200-an halaman dianggap lebih memuaskan. Sedangkan manhua terbit mingguan, dicetak di kertas art-paper warna dengan tebal 30-40 halaman. Pembaca rupanya lebih memilih baca manga.[19]
Penyebab lainnya adalah abad digital yang mengubah kebiasaan orang membaca di kertas ke perangkat digital, baik komputer hingga handphone. Internet jadi biang keladi utama lantaran menyediakan komik hasil pindai (scan) gratis. Seorang pelaku bisnis komik dan animasi Hong Kong dikutip media setempat mengatakan pada 1995 hingga 2000 industri itu menghasilkan 700 juta dollar HK. Pada 2010, tinggal 300 juta dollar HK.[20]
Meski tak segurih era 1990-an bukan berarti industri manhua mati. Dari abad digital ini malah lahir komikus indie yang tak menggantungkan diri pada penjualan buku komik. Karena tak mengandalkan selera pasar pula, ekspresi kesenian mereka lebih personal. Yang lahir dari tangan mereka bukan lagi komik kung fu dengan jurus-jurus spektakuler, namun kisah keseharian dan keresahan hidup.
Yang patut disebut di sini antara lain How Blue was My Valley karya Yeung Hok-tak. Komik ini diterbitkan mandiri pada 2002. Kisahnya semacam memoar pengarangnya tentang kehidupan di rumah susun pemerintah (public housing) pada 1970-an. Gaya gambarnya berlainan sekali dengan manhua umumnya. Di komik ini manusia umumnya digambar seperti bayangan.[21]
Sayang beribu saying perkembangan komik Hong Kong kiwari tak sampai ke Indonesia. Manhua masih dijual di toko buku. Namun kebanyakan komik kung fu gubahan Tony Wong dan Andy Seto. Manhua Long Hu Men dan beberapa judul lain bisa ditemukan di toko buku kita. Kini pun yang tersisa tinggal manhua terbitan Gramedia. Sempat hadir Kumala Komik dengan judul-judul beragam, tapi menghilang juga tanpa kabar.
Manhua yang tersisa untuk dinikmati dalam bahasa Indonesia, selain hanya berjenis komik silat, juga harganya relatif mahal. Satu eksemplar dijual sekitar Rp 100 ribu. Bukunya memang tebal (hampir 200 halaman) dan dicetak di kertas art paper kinclong. Bandingkan dengan komik Jepang yang dijual di kisaran Rp 25 ribu.
Harga mahal itu menandakan yang disasar penerbit mereka yang berkocek tebal. Terutama generasi X dan milenial kelahiran awal 1980-an yang ketika kecil tumbuh membaca komik Tiger Wong dan Tapak Sakti yang dijual Rp 2.000 pada 1990-an. Mereka kini memang telah berada di puncak karier masing-masing, berpenghasilan berlebih. Membaca Long Hu Men kini buat mereka punya nilai nostalgis.
Bahaya dari strategi pasar model begini adalah penerbit tak hendak menyasar pembaca baru: mereka yang tak mampu beli komik seharga Rp 100 ribuan. Ini membuat pasar komik Hong Kong jadi elitis dan sempit. Amatilah toko buku. Manhua menyempil di rak sempit, terdesak puluhan judul manga. Begitulah nasibnya kini.***
[1] "Avenue of Comic Stars opens in Kowloon Park with statues of characters", South China Morning Post, 29 September 2012, dengan URL: https://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1049718/avenue-comic-stars-opens-kowloon-park-statues-characters (diakses 29 Agustus 2018).
[2] Lihat Long Hu Men Guidebook, PT Gramedia, Jakarta, 2013, hal. 87.
[3] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics: A History of Manhua, Princeton Architectural Press, New York, 2002, hal. 11.
[4] Ibid, hal.103.
[5] Ibid, hal. 12-13.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 11.
[8] Sally Gao, “An Introduction to Hong Kong Comics”, Culture Trip, 29 Oktober 2016, dengan URL: https://theculturetrip.com/asia/hong-kong/articles/an-introduction-to-hong-kong-comics/ (diakses 6 September 2018).
[9] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 107.
[10] Ibid, hal 67 dan lihat Sally Gao,…
[11] Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 73.
[12] Ibid, hal. 115.
[13] Lihat Long Hu Men Guide Book… hal. 3.
[14] Marcel Bonneff, Komik Indonesia, Cet. 3, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 115.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 118.
[17] Ibid, hal. 120.
[18] Ibid.
[19] Lihat “Japanese Elements in Hong Kong Comics: History, Art, and Industry”, dimuat di URL: http://www.cuhkacs.org/~benng/Bo-Blog/read.php?456 (diakses 6 September 2018)
[20] Lihat Nan-Hie In, "Hong Kong’s comics industry is proverbially in the shreds. The biggest saboteur? The internet", Coconuts Hong Kong, 30 Agustus 2014, dengan URL: https://coconuts.co/hongkong/features/hong-kongs-comics-industry-proverbially-shreds-biggest-saboteur-internet/ (diakses 6 September 2018).
[21] Lihat Jeffrey Mather (2017), “Hong Kong Comics: Reading the Local and Writing the
City”, Wasafiri, 32:3, 79-86, DOI: 10.1080/02690055.2017.1322325, di URL:https://doi.org/10.1080/02690055.2017.1322325 (diakses 6 September 2018).
CATATAN: Esai ini adalah versi belum diedit dari esai yang dimuat Jurnal Ruang dengan URL: https://jurnalruang.com/read/1537275375-komik-hong-kong-kian-elit-kian-sempit.
0 notes
Text
UTUSAN STAI DARUNNAJAH IKUTI KONFERENSI INTERNASIONAL DI SUEZ CANAL UNIVERSITY MESIR
Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Dr. KH. Sofwan Manaf, M.Si, beserta delegasi Pondok Pesantren Darunnajah, Ust. H. Hendro Risbiyantoro, M.S., Wakil Ketua STAI Darunnajah Jakarta, Ust. Ridha Makky, M.Pd., Wakil Ketua STAI Darunnajah Bogor, Ust. Wahyu Fazri, S.Ag., Wakil Kepala Biro Pengasuhan Santri Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Ust. H. Imam Khairul Annas, Lc., Direktur DIRO (Darunnajah International Relations Office), Dr. KH. Muhamad Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash Kuningan, menghadiri pembukaan Konferensi Internasional Warisan Budaya dan Peradaban ke-6 dengan tema Sastra Sastra Seni Arab dan Islam, Sebuah Interkorelasi yang berlangsung di Auditorium Utama Suez Canal University, Ismailiya, Mesir, 12 Maret 2019.
Konferensi diselenggarakan oleh Pusat Riset Warisan Budaya dan Peradaban Suez Canal University bekerjasama dengan Fakultas Sastra dan Humaniora Suez Canal University, serta Pusat Riset dan Studi Indonesia.
Hadir pada konferensi ini, Rektor Suez Canal University, Prof. Dr. Atef Mohamed Mohamed Abu El Nour, Duta Besar LBBP Republik Indonesia untuk Republik Arab Mesir, YM. Helmy Fauzy, Dekan Fakultas Sastra dan Humaniora Suez Canal University, Prof. Dr. Adel al-Sa’dani, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Cairo, Dr. Usman Syihab.
Konferensi diawali dengan lagu kebangsaan Mesir dan lagu kebangsaan Indonesia, dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci al-Quran oleh Qari Dr. Muhammad Asy-Syami, kemudian Sambutan Pembukaan oleh Prof. Dr. Hasan Muhamad El Nour, Direktur Pusat Studi Warisan Budaya dan Peradaban Canal Suez University.
“Konferensi Internasional Studi Warisan Budaya dan Peradaban ini merupakan Konferensi Besar Tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Warisan Budaya dan Peradaban Suez Canal University, yang pada tahun ini diikuti oleh para Peneliti dari Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Tunisia, Palestina, Indonesia, Nigeria dan Niger” ujar Prof. Hasan Muhamad El Nour.
“Kami berharap konferensi ini dapat meningkatkan kerjasama antara Mesir dan Indonesia, Kami mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang hadir pada Konferensi ini, khusunya dari luar Mesir” ujar Prof. Dr. Hasan Abdul Alim Yousuf, Dekan Pusat Studi Afro-Asia, Direktur Pusat Riset dan Studi Indonesia, Ketua Panitia Konferensi.
“Kami mengucapkan selamat datang kepada para peserta, khususnya dari Indonesia, serta bersyukur atas berdirinya Pusat Studi Afro-Asia di Suez Canal University, yang merupakan Pusat Studi kedua di seluruh Mesir” ujar Prof. Dr. Adel al-Sa’dani
Selanjutnya pembacaan syair Arab dari Penyair Yasir Qathami, tamu kehormatan Konferensi Internasional Warisan Budaya dan Peradaban
“Saya atas nama pribadi dan mewakili para peserta konferensi mengucapkan terima kasih kepada Suez Canal University atas penyelenggarakan konferensi ini. Apresiasi atas segala prestasi yang telah dicapai oleh Suez Canal University” ujar Prof. Dr. Ahlam al-Hasan, Bahrain University.
Selanjutnya presentasi makalah yang disampaikan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Cairo, Dr. Usman Syihab
“Terdapat banyak pengaruh Bahasa Arab terhadap Bahasa Indonesia, ada yang memiliki makna yang sama, ada yang maknanya semakin luas “Masa dalam bahasa Arab yang berarti sore sedang dalam bahasa Indonesia berarti waktu”, ada yang maknanya semakin sempit seperti “Syarab di Indonesia disebut Sirop”, ada yang murakkab 2 kata di bahasa Indonesia namun salah satunya berasal dari bahasa Arab seperti Puasa Ramadhan.
“Kami berbahagia karena KBRI Cairo setiap tahunnya senantiasa berpartisipasi pada Konferensi ini, kami merasa terhormat berada bersama para ilmuwan dan pimpinan Suez Canal University, universitas terbaik di Mesir, Suez Canal University telah menjadi partner kerjasama sejak tahun 2005 dalam bidang pertukaran Peradaban dan Kemanusiaan. Saya juga mengucapkan selamat atas diresmikannya Pusat Studi Afro-Asia Canal Suez University, dimana Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika tahun 1955, semoga Pusat Studi ini dapat melahirkan para pemikir-pemikir di masa yang akan datang.”
“Kami mengucapkan selamat datang kepada Bapak Duta Besar beserta rombongan, juga para peserta Konferensi ini, selain itu saya banyak belajar dari apa yang disampaikan oleh Atdikbud KBRI Cairo bahwasanya banyak kosakata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab” ujar Prof. Dr. Atef Muhamed Muhamed Abu El-Nour, Rektor Suez Canal University.
Dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan kepada Para Tamu Undangan Utama. Kemudian Penampilan Tari-tarian, yang terdiri dari Tari Jaipong asal DKI Jakarta, Tari Zapin asal Sumatera (diperankan oleh pelajar-pelajar Mesir) dan Tari Asmarandana dari Jawa Timur. Ditutup oleh Penampilan Silat Tapak Suci.
from WordPress https://ift.tt/2CfGlpW via IFTTT
0 notes
Text
Randai Kuantan
Randai Kuantan merupakan salah satu seni pertunjukan yang ada di Rantau Kuantan, atau juga dikenal sebagai Rantau Nan Kurang Oso Duo Puluah. Randai berasal dari kata berandai-andai, merujuk dari penggunaan perandaian dan petatah-petitih dalam kesenian ini. Randai Kuantan pertama kali dibawa dari Dataran Tinggi Minangkabau melalui Kampar. Pada awalnya, randai di Kuantan masih serupa dengan randai di Sumatera Barat yang didominasi oleh gerak silat dan alur cerita dari kaba seperti Cindua Mato dan cerita rakyat tempatan seperti Sutan Nan Garang, sebelum akhirnya mendapat pengaruh dari Melayu pesisir timur Sumatera. Pengaruh ini dapat dilihat dari adanya gerak joget dan munculnya cerita yang lebih luwes dan mengandung unsur humor dan sindiran terhadap keadaan terkini.
Randai Kuantan biasanya diawali dari sambutan dari pemimpin grup randai, lalu dilanjutkan dengan nyanyian dan musik. Alat musik pengiring randai antara lain piual (biola), gondang (gendang), serunai, dan lain-lain. Pemain randai Kuantan akan membentuk lingkaran dan menari sebebasnya sambil berjalan sepanjang lingkaran yang dibentuk. Penonton juga bisa ikut menari bersama pemain randai. Ketika masuk ke bagian cerita, para pelakon keluar dari lingkaran. Ruang di dalam lingkaran akan menjadi ‘panggung’ bagi pelakon. Setiap jeda adegan akan disisipi dengan lagu dan tarian. Pola ini akan terus diulang hingga cerita selesai.
Pada mulanya, pemain randai hanya terdiri dari kaum laki-laki. Dahulu, randai biasa dimainkan hingga larut malam. Masyarakat setempat saat itu tidak membiarkan perempuan berada di luar pada malam hari. Oleh karena itu, peran perempuan dalam pertunjukan randai digantikan oleh laki-laki berpakaian perempuan yang kemudian dikenal sebagai bujang gadi. Kini, perempuan dapat ikut serta dalam randai, namun beberapa komunitas randai masih mempertahankan tradisi bujang gadi yang kadang bisa menambah unsur lawakan dalam pertunjukan.
Pakaian pemain randai tergantung dari peran pada saat pertunjukkan. Pemain randai yang tidak mengambil peran dalam cerita bisa menggunakan pakaian yang seragam atau teluk belanga berwarna-warni, tergantung selera grup randai. Sementara itu, pemain randai yang menjadi tokoh dalam cerita akan berkostum sesuai perannya masing-masing. Contohnya, pemain randai yang berperan sebagai polisi akan memakai seragam polisi. Bujang gadi yang memainkan peran perempuan akan menggunakan rok, daster, jilbab dan atau sebagainya.
Randai Kuantan merupakan salah satu dari enam kesenian dari Provinsi Riau yang didaulat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada tahun 2016 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kini, tradisi ini mudah dijumpai di berbagai nagori di Kuantan Singingi dan menjadi bagian dari identitas masyarakat di tepi Batang Kuantan.
Ditulis oleh Ammarrifki A. Sjarif (UKMR'15)
0 notes