#paska records
Explore tagged Tumblr posts
joanofarc · 1 year ago
Text
the flower still remains, tossing seed (2023).
4 notes · View notes
radioactive-force · 2 years ago
Text
Hadir Tanpa Drummer, Mmmarkos! Perkenalkan Maxi-single Perdana ‘Live in My Head’
Tumblr media
Image: Mmmarkos! I Text: Fadly Zakaria.M
Geliat regenerasi musik sidestream di Surabaya gak kalah menarik untuk disimak, karena selalu menampilkan gerombolan band-band baru yang layak kalian cermati secara mendalam. Salah satunya adalah trio unit post-punk yang menamakan dirinya sebagai Mmmarkos!.
Dengan sengaja membentuk dari awal tanpa seorang drummer, Angelina Paskalia (vokal), Fadhullah Hamid (gitar), dan Ivan Reza (bass) melanjutkan komitmen mereka sebagai sebuah band yang utuh. Live in My Head adalah bukti nyata Mmmarkos! memperkenalkan karya perdana dalam format maxi-single dengan berisikan dua lagu berjudul “Midnight Thought” dan “Pleasure”.
Kedua lagu tersebut punya kesan yang berlawanan, Lagu pembuka dalam Live in My Head menyampaikan nuansa lebih kelam yaitu Midnight Thought. Serta berbanding terbalik dengan lagu selanjutnya, Pleasure, lebih menampilkan sisi terang tentang gambaran kehidupan. Tidak selalu bercerita akan kisah pilu ataupun suka cita, dan terkadang memori itu susah dipisahkan dalam pikiran, itulah gambaran besar yang ada dalam Live in My Head. Live in My Head tersedia juga dalam kepingan cakram padat yang dirilis oleh Paska Records. Tentunya kalian bisa mendengarkan maxi-single dari Mmmarkos! ini melalui layanan digital streaming favorit. Dengarkan di sini sekarang juga!
Simak artikel menarik tentang musik di pages ini dan jangan lupa follow akun media sosial Radioactive-Force via Instagram, Twitter, Facebook, dan juga subscribe channel YouTube kami yang bisa kalian cek di sini.
0 notes
renaultmograine · 9 months ago
Text
Tumblr media
can i help you guys
165 notes · View notes
leeenuu · 2 years ago
Text
estonian football season’s expectations vs reality
4 notes · View notes
molfarua · 2 years ago
Text
youtube
💖💖💖 "Paska will be soon" - the video of 5-year-old Matvey breaks records of 10 million views on TikTok 💖💖💖
1 note · View note
inthewindtunnel · 1 year ago
Text
Mmmarkos!
Motion
0 notes
ribrid · 3 years ago
Text
Sebuah Cerita Tentang Orang Baik--dan Yang Ingin Menjadi Baik.
Salah satu hal yang seringkali menjadi pengingat betapa baiknya Allah, adalah betapa banyak orang-orang baik di sekitar yang membantu diri ini belajar & berproses. Mungkin cerita ini tak akan bisa mewakili keseluruhan rangkaian pengalamannya, tapi cukup untuk mengenang apa-apa yang dirasa menjadi hal berharga beberapa semester ini.
Aku akan mulai dengan semester 6 masa perkuliahan, yaitu satu periode waktu yang membuatku jadi sebegitu jatuh cinta dengan arsitektur.
Saat beberapa semester sebelumnya masih merasa useless sekali, saat diri ini be like, "Aku belajar apasih ini, halu bangett?!" kemudian apa yang didapat di semester 6 adalah sesuatu yang slap me straight on the face. Betapa what a waste mendapati diri sudah menjelang tahun ke-4 tetapi baru menemukan apa yang namanya jatuh cinta untuk belajar, terutama arsitektur.
Pengalaman di semester 6 adalah pengantar untuk apa-apa yang terjadi di semester 7 dan 8. Semester 6 yang waktu itu satu kelas hanya diisi 6 orang, memungkinkan kelas buat memaksimalkan fasilitas apapun itu termasuk jam bimbingan, dan bahkan sampai Bu Arina meminjamkan printer di ruang dosen untuk kami eksploitasi bersama di studio. Pertama kali diajar secara langsung oleh Bu Arina di semester 6 rasanya seperti ditampar langsung di wajah (lagi). Apa-apa yang aku yakini adalah proses belajar yang baik, secara langsung di-skakmat beliau. Menyadari bahwa diri ini masih penyelam amatir, yang hanya kuat menyelam di perairan dangkal. Bukan, renang di kolam kedalaman 2 meter saja sudah takut.
Semester 6 penuh dengan survei-survei bersama yang menyenangkan, mengizinkan kami melihat lebih dekat mengenai dualisme kampung kota--sebuah topik yang relevan dengan isu sosial yang diangkat di studio PA 4 waktu itu. Ini yang bikin jatuh cinta, ketika arsitektur ternyata tidak hanya soal struktur bangunan, kemewahan, dan wealthy people, tapi juga manusia dari kalangan manapun itu serta kehidupannya.
Tumblr media
Kent, di depan rombong es burjo di muka sebuah rumah dengan atap yang unik.
Tumblr media
Hujan malam hari yang bikin kesel karena gabisa pulang tapi juga membuat lampu-lampu jalan ini kelihatan lebih cantik dari biasanya.
Memori survey yang seharusnya ada di tiap semester, membeku di semester itu. Karena setelahnya kami pulang ke rumah dan menjadikan rumah, kamar, atau ruang tamu, menjadi studio-studio kecil yang kesepian.
Semester 6 yang menyenangkan adalah salah satu faktor penentu dalam pemilihan dosen pembimbing pada matkul proposal tugas akhir. Karena, tentu saja, aku ingin belajar dengan guru yang juga menjadi salah satu kenangan baik di semester 6 itu.
Long story short, setelah diketahui bahwa peminat beliau jumlahnya membludak, dan aku termasuk kaum-kaum keras kepala yang tidak mau mengganti pilihan, ternyata Allah kasih juga buat jadi anak bimbing beliau. Pada pertemuan pertama, dengan antusiasnya (as always), Bu Arina meminta kami membawa ide TA masing-masing (dan aku be like, "what?? ide apa?!")
Long story short, mengerjakan proposal tugas akhir dengan masih berada di Surabaya waktu itu mengizinkanku untuk tetap bertemu beberapa kawan. Memori survey berikutnya adalah bersama Ria. Blusukan ke gang-gang di daerah Jagir, berpindah ke lokasi ex stasiun trem Wonokromo, dan menemani dia menggali informasi lewat beberapa pedagang kaki lima di sana. Kami menemukan fakta bahwa ternyata ada cukup banyak penghuni ilegal di bangunan tua itu, saling bergumul antar lawan jenis, dengan sikap seperti siap menyerang jika ada orang yang tiba-tiba masuk dan melewati bangunan itu.
Berada di Surabaya juga mengizinkanku untuk kenal dengan Kampung 1001 Malam, sebuah kampung di daerah Dupak yang beberapa pemukimannya berada tepat di bawah jalan tol. Sungguh sebuah kenangan yang amat heartwarming, meski sempat merasa kurang ajar karena merasa sudah menginjakkan kaki di wilayah teritori orang lain, apalagi ketika berjalan melalui gang jalan di bawah jalan tol Dupak, dan tahu-tahu ada orang yang berbaring di kasur yang dihamparkan di tanah, beratapkan alas beton jalan tol.
Tumblr media
Heartwarming, karena perjumpaan dengan Bu Wanti yang serasa seperti saudara sendiri, padahal baru pertama kali bertemu. Bu Wanti banyak bercerita mengenai keteguhan iman, yang banyak diuji dengan rasa lapar. Sebuah pembicaraan mengenai pertukaran rasa lapar dengan keimanan yang sempat membuat Bu Wanti jadi menitikkan air mata. Dan aku jadi trenyuh.
Waktu itu, tidak banyak yang bisa digali. Karena pembicaraan yang bak keluarga ini terasa begitu hambar jika diintervensi dengan pembicaraan yang terkesan penuh formalitas untuk menggali data, sementara aku datang tidak dengan memberikan harapan apapun. Aku pulang. Waktu itu hujan, Bu Wanti dengan entengnya meminjamkan payung untuk tamu asing ini. Aku pulang dengan perasaan nano-nano, sambil menjaga langkah agar tidak jatuh ke sungai karena terpeleset tanah becek.
Tumblr media
Dan kali kedua ke sana bersama Ria karena aku ingin mengembalikan payung Bu Wanti, sembari mengatakan bahwa aku tidak jadi mengambil lokasi penelitian di sana, setelah banyak berpikir dan uraian dari Bu Arina, yang mengatakan bahwa dengan topik yang mau diambil, maka harus bersedia mengamati kegiatan warga 24/7. Aku tidak bisa.
Long story short, semester 7 mendekati akhir, dan keputusan finalnya adalah mengambil isu permasalahan yang bisa digali lewat studi literatur, tanpa survei. Tanggal 25 Desember saat libur natal, setelah satu pekan sebelumnya meninggalkan Mba Azka yang seorang diri jauh-jauh dari Pekalongan untuk ambil data skripsi, ayah mengantar kembali ke Surabaya untuk memulangkan semua benda-benda sekaligus berpamitan pada ibu kos.
Sejak saat itu, aku resmi jadi penghuni rumah. Siswa WFH fulltime. Tanpa bermacam alasan-alasan lain untuk keluar rumah.
Memang ya, berada di rumah terus membuat kita kehilangan banyak momen. Kalau kata Habib, momen-momen sesederhana mengeluarkan motor dari tempat parkir dan bertemu teman kosan, atau momen-momen kecil seperti berpapasan di jalan dan saling menyapa, momen-momen ketika panik ngeprint tugas tapi kemudian jadi sans karena bertemu banyak teman di satu tempat printing yang sama, dan banyak momen-momen sederhana tak terhitung lainnya.
Sejak saat itu, waktu-waktu asistensi bersama Bu Arina menjadi amat berharga dan ditunggu-tunggu. Me-record sesi asistensi menjadi hal rutin, agar ketika menjumpai waktu-waktu ketika kebingungan harus memulai dari mana, petuah-petuah Bu Arina bisa diputar ulang dan menjadi reminder diri. Wkwkwk.
Karena tak banyak yang bisa diingat, maka hal memorable selanjutnya adalah menjelang pengumpulan dokumen akhir, pasca review 3. Di malam deadline review 3 dan review-review sebelumnya, selalu ada Warda yang jadi rekan-tidak-tidur. Menjelang pengumpulan akhir, somehow rekan-tidak-tidur-ku semakin banyak. Wkwk. Ada Eka, Firyal, dan Dila sebagai tambahan penghuni tetap warung google meet selama hampir sebulan lebih, dengan beberapa penghuni tambahan lain seperti Ria, Ine, & Fia.
Malam-malam panjang tidak lagi terasa sepi. Rasa kantuk tidak lagi menyerang semudah sebelumnya. Ada teman yang bisa diajak berbicara jika pikiran ini sudah mulai kendor. Ada teman yang bisa diajak bertukar informasi dan motivasi, terutama ketika jarum jam berdetak semakin dekat dengan tenggat waktu. Ada teman-teman yang menyemangati.
Hampir sebulan lamanya bersama mereka, obrolan tak jauh-jauh perihal paska kampus, dan beberapa insight arsitektur seperti diagram BIG, cara membuat gambar potongan yang menarik, dan hal-hal lain. Jujurly, jika tidak nge-meet dengan mereka, aku tidak akan kepikiran untuk membuat animasi di PPT Sidang.
Firyal sebagai salah satu bagian dari sidang makanan pembuka di hari pertama, disusul oleh Dila di hari ketiga. Perlahan-lahan warung jadi sepi. Bersyukur tidak di-plot di hari pertama, tetapi juga merasakan anxiety yang makin menjadi-jadi. Apalagi ketika H-1 enscape-ku rewel lagi setelah dipakai nge-render video. Setelah di setting berulang kali, tetap tidak bisa. Jam 3 sore, aku memutuskan harus minta bantuan orang untuk render.
Dalam waktu-waktu kritis itu, bersyukur ada Eka sebagai sobat 3 Agustus, yang merasakan hal yang sama ketika jarum jam berdetak dengan begitu mengerikan.
Dalam waktu-waktu kritis itu, berterimakasih juga untuk Dila yang mau direpoti untuk render. ((send virtual hug))
Pada hari H sidang, laptop sempat ngelag ketika sharescreen, sehingga terpaksa restart dan sidang jadi telat 20 menit.
Bagiku waktu itu, sidang tidak berjalan sebaik yang diharapkan. Semua pertanyaan yang sudah diperkirakan sebelumnya, mengambil dari gap kekurangan dalam desain, ternyata tidak ditanyakan dengan semulus itu. Wkwk. Wah, ini sih memang mindset-nya yang salah kali ya. Harusnya, prepare not only for things we've prepared, tapi juga untuk hal-hal tidak terkira.
Meski nada bicara Pak Angger menjatuhkan mental sekali, setidaknya kehangatan Bu Nuffi pada sesi akhir menjadi obat. "Terlepas keinginan kita sebagai manusia yang tidak pernah puas, yang paling penting adalah kita bisa bersyukur dengan apa yang sudah kita kerjakan sekarang."
Detik itu juga, diri ini yang hopeless jadi ngin menangees :( wkwkwk.
Tumblr media
Dan the rest of the story adalah mengenai orang-orang baik yang memberi keyakinan-keyakinan positif. Keyakinan akan lulus, keyakinan bahwa kerja keras yang sudah dilakukan perlu untuk diapresiasi.
The rest of the story adalah pengumuman nilai di hari Rabu, hingga revisi dari Bu Arina yang amat mendetail (yang sempat bikin mau nanges lagi karena sampe jam 9 malam pun masih direvisi juga, padahal batas uploadnya malam itu juga. Tapi, ternyata, memang akunya yang nggabisa sans, karena setelah nanya Vani, ternyata dia cukup sans...)
Last, but not least, hati kecil ini tetap menginginkan pertemuan offline, sebagaimana yang sudah direncanakan Bu Arina di awal.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Apabila ada yang bertanya mengenai the best thing in college life, maka akan aku jawab : bertemu dengan beliau adalah salah satu hal terbaik yang terjadi selama di ITS.
Beruntung bisa mengawali pertemuan ini di studio, di selasar-selasar, di kelas, di plaza rumput, di ruang dosen, dan di area manapun itu di ITS dan di Arsitektur.
Bila kali ini pandemi belum mengijinkan kita merayakan perpisahan dengan selaiknya perayaan perpisahan yang lain, semoga kita masih diberi usia sampai semua kondisi menjadi lebih baik. Semoga hati-hati ini masih bisa saling bertaut ketika ada yang memanggil dari jauh, demi merayakan perpisahan yang tertunda.
- From your hardworker-wannabe student, who wish to become a dedicated lecturer as you are
Tumblr media
Pada akhirnya, cerita ini soal orang-orang baik yang membersamai diri dalam belajar. Cerita ini soal orang-orang baik yang menemani diri dalam berproses. Sebuah privilege karena telah diberi kesempatan mengenyam nikmat menuntut ilmu, bertemu orang-orang berilmu, dan bertemu kawan-kawan baik dalam perjalanan yang amat singkat ini.
Meniru kalimat Pak Fahmi, semoga kelak diberikan kemudahan dalam menimba lautan ilmu, memperkaya benak dan sanubari sebagai insan yang utama. Mudah-mudahan yang diperoleh itu memiliki kemanfaatan yang mengalir dari generasi ke generasi.
Salam. Dari seorang teman, adik, saudara, sekaligus murid yang ingin menjadi orang baik--seperti yang sedang membaca ini.
14 notes · View notes
violentbouncej · 2 years ago
Text
Tumblr media
Kävin iltapäivällä tapahtumassa ja varmistui, että kivi ja jani seurustelevat. mitä tapahtuu?! lukivatko he asioita Internetistä ja pitivät sitä hyvänä ideana!? TÄMÄ ON NIIN YLIMÄÄRÄTTÄ.
Luulen, että ihmiset eivät ymmärrä, että olen tuntenut Kivi 14-vuotiaasta asti. LOL. se oli aina oikea ihminen väärään aikaan. joo, me seurustelemme. se on alkuvaiheessa. me vain nautimme siitä. se ei muuta bändin kanssa mitään. rentoutua. se ei muuta mitään muidenkaan romanttisten suhteideni kanssa. Tutkin rakkautta syvemmin kuin koskaan ennen ja rakastan sitä. se on maailman paras tunne rakastaa ihmisiä, jotka rakastavat minua niin paljon eivätkä tunne rajoituksia. älä jää niin koukkuun. se ei vaikuta muihin kuin meihin ja elämäämme. älä tee paskasta outoa.  lisäksi: kyllä, rakastan häntä ja olen aina rakastanut. älä usko, että tämä on viimeaikainen kehitys. Tiedän, että on hauskaa juoruilla ja puhua tällaisista asioista, mutta toivon, että ymmärrät, kun keskityt muiden ihmisten elämään, tuhlaat omaa aikaasi, jonka voisit omistaa omalle elämällesi. En ole koskaan ymmärtänyt pakkomiellettä jonkun tai jonkun toisen suhteen aivan kuten fanit suhteitamme. johtuuko se siitä, että ihmiset "lähettävät" meidät? olemme oikeita ihmisiä, joilla on todellisia tunteita, ja se paska on joskus liikaa käsiteltäväksi. se on todella invasiivinen eikä siistiä. se, että tämä laitettiin Internetiin, kun hän sanoi, että asia on perseestä, koska entä jos emme halua kenenkään tietävän? varastat tuntemattomien ihmisten yksityisyyden. tee paremmin.
I came back to edit this because I realise I have a lot of english speaking fans exclusively and I don’t want to leave anyone out.  OP posted: I went to the event in the afternoon (we did a signing at Levykauppa, a record store in Helsinki in case you were confused) and it was confirmed that Kivi and Jani are dating. what is happening?! did they read things on the internet and think it was a good idea!? THIS IS SO EXCESSIVE. My response:  I think people don't understand that I've known Kivi since I was 14 years old. LOL. it was always the right person at the wrong time. yes we are dating. it's in the early stages. we just enjoy it. it doesn't change anything with the band. relax. it doesn't change anything with my other romantic relationships either. I explore love more deeply than ever before and I love it. it's the best feeling in the world to love people who love me so much and know no limits. don't get so hooked. it affects no one but us and our lives. don't make shit weird. besides: yes, I love him and always have. don't think this is a recent development. I know it's fun to gossip and talk about things like this, but I hope you understand that when you focus on other people's lives, you're wasting your own time that could be devoted to your own life. I've never understood obsessing over someone or something else quite like the way fans do about our relationships. is it because people "ship" us? we are real people with real feelings and that shit is too much to handle sometimes. it's really invasive and not cool. the fact that this was put on the internet when he said it was fucked up because what if we don't want anyone to know? you steal the privacy of people you don't know. do better. ---- The only reason I entertain this and respond to this is simple. I remember what happened when Jussi and I were just dating and people pushed and pushed and pushed to find out if we were a couple. Someone pushed to the point they doxed my address, my phone number, text messages, photos and screen shots off of my phone that were specifically to us and our conversations. I have nothing to hide. Literally the majority of my life is lived in a social media bubble. I don’t care who knows who I am dating. I don’t care who knows who I am engaged to or married to. I’m polyamorous. It means having multiple partners. I know a lot of people can’t vibe with it or don’t understand it but then it’s not yours to vibe with or understand and you should mind your own damn business.  You should mind your business anyway though. My life isn’t your life.  your friend who is not my friend should keep their nose outta my business. i don’t wanna hear opinions, opinions, opinions.... remember that? yeah. not an accident. 
1 note · View note
kentonramsey · 4 years ago
Text
In 2020 Fashion Became Existential — Here’s Why That’s A Good Thing
Tumblr media
PARIS, France – FEBRUARY 25: A model walks the runway during the Marine Serre Ready to Wear Fall/Winter 2020_2021 show as part of the Paris Fashion Week on February 25th, 2020. (Photo by Victor VIRGILE/Gamma-Rapho via Getty Images)
2020 has been a devastating year — more than 1.7 million people have died from COVID-19, millions are out of work and struggling to pay their bills, and, running through it all, there were record-breaking natural disasters fuelled by climate change. Understandably, that has created a number of complex emotions, and, as result, existentialist musings — some of which fashion is now (quite literally) wearing on its sleeve. 
At the start of this year, Korean fashion brand Harlan + Holden opened an “Existential retail” experience in Seoul, urging customers to spend less time shopping and more time pondering “what truly matters,” while Marine Serre showed a dystopian Fall 2020 collection that simultaneously tackled death and love of life. In March, Parisian vegan footwear brand Rombaut released a collection that depicted apocalyptic-style climate imagery. Rick Owens and Balenciaga also got dark for Spring 2021. On the product side, there are now Online Ceramic’s “We’re all going to die” tees and stickers, as well as Jiwinaia’s “Numb” earrings. The fashion industry, it seems, is taking inspiration from the existentialist movement — that flourished in Europe in the 1940s and 1950s and was popularised as self-description by thinkers such as Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, and Gabriel Marcel — and is more interested in exploring death and, ultimately, the meaning of life.
View this post on Instagram
A post shared by Online Ceramics (@onlineceramics)
Iva Paska, Ph.D., a sociologist from the University North in Croatia and founder of Existentia, a website born from Paska’s own existential questions and research, views this as little surprise. “Times like these invite us to rediscover the teachings of existentialism,” she says. “Within current circumstances, it seems as if all these things that we usually take for granted are called into question. As if the rug of existential weaving that holds our everyday life is now being pulled under our feet and we are starting to see beneath it… death, illness, aloneness.”
Mirroring that sentiment, Mats Rombaut, founder and creative director of Rombaut, says the Spring-Summer 2020 dystopian imagery was inspired by reflection about the current state of the world. “[And] not just the recent pandemic either, which is just a consequence of how we have mistreated this planet for a long time,” he tells Refinery29. “I think everyone had to think in an existentialist way during these uncertain times.”
From experience, Rombaut says existentialism can prompt a fashion brand to evaluate its future, asking questions like: Where do we go from here? Does it make economic sense to continue? Does it make sense for humanity to continue like this? If not, how can we change? He predicts that the “real existentialism still has to show” with more brands closing down.
This is already taking place as chain retailers, department stores, and small designers alike struggle to stay afloat, with 2020 bringing a consecutive list of closures, including Century 21, Sies Marjan, Totokaelo, and Need Supply. It’s also evident through brands like Gucci, Saint Laurent, and more leaving the archaic Fashion Month calendar that encourages brands to produce collections at lightning speed that leaves little room for creativity and creates more clothing than we can ever wear in our lifetime. Amongst the mass layoffs of retail workers, and the cancellation of roughly $1.5 billion worth of orders (approximately £1.2 million) from an industry that relies on more than 150 million underpaid workers in lower-income countries (predominantly BIPOC women), the pandemic has poked enough holes in the fashion industry’s unsustainable production model that it’s becoming increasingly impossible for people to ignore. Naturally, this leads to an existential reevaluation of fashion’s entire purpose.
Tumblr media
Rombaut’s latest collection, “Next Life,” centres around the human struggle for survival. “The personal mental struggles humans go through, the general mood of depression, and current health of the planet,” he adds. “These were themes already present in the collection and in the Rombaut narrative before the pandemic hit.” These themes have also previously been explored by brands like Collina Strada, a label that has long highlighted the issue of climate change while sending messages of hope and optimism. This is also Rombaut’s approach, too, asking questions like: Will the next generation do better?
Marilynn H. Johnson, Ph.D., Assistant Professor at the University of San Diego’s philosophy department — who is currently working on a book that explores the philosophical meaning of bodily adornment, including clothing — notes that it’s not uncommon for existential thoughts, brought on as a result of an unprecedented event, to eventually take a turn for the positive and inspire people to appreciate life.  
“As you look throughout history at the time after people have been controlled, there’s a big boom in terms of fashion and people living it up,” she says. Think, for example, the Roaring Twenties, with its celebratory flapper aesthetic, following WWI. Or the upbeat tie-dye and psychedelic prints of the ’60s that people wore as they expressed their opposition to the Vietnam War and support for the Civil Rights Movement. “People will get sick of feeling numb, and there’ll be a backlash in the other direction,” says Johnson. 
Ian Olasov, Adjunct Professor of Philosophy at Brooklyn College and Medgar Evers College and author of Ask a Philosopher, says it’s easy to understand the connection between fashion and existentialist messaging. “It’s not hard to see people’s relationships to their own mortality growing with existential threats. The type of fashion trends you’re talking about are invitations for some sort of authentic connection with other people,” he says. “I could imagine people wearing ‘numb’ earrings ironically, but I could also imagine it as a sort of sincere bid for connection.” 
View this post on Instagram
A post shared by JIWINAIA (@jiwinaia)
While fashion has a looser definition of it, Olasov reminds us not to always associate existential thinking with morbidity, and not to confuse it with nihilism. While existentialism suggests that we can construct our own meaning within a world that has none, nihilism is the belief that not only is there no intrinsic meaning in the universe and it’s pointless to even try to construct our own.
“Existential means different things to different people so, for some people, it’s orienting your life around mortality or morbidity,” he says. “But in some existential philosophy, there’s a connection between authenticity being in light of your mortality. That kind of honesty about the facts of the situations you find yourself in and the honesty about your own freedom and responsibility in dealing with them.” This concept of authenticity is something, he explains, is currently appealing to a lot of people. He also points to stoicism — a concept that encourages living in accordance with nature — which he’s seen an increasing interest in, as offering people a way to deal with intense emotions. 
While it’s evident that the rise in existentialist thought as a result of the pandemic is seeping its way into our fashion choices (and no doubt will continue to rear its head across T-shirts, new shopping experiences, and sneaker campaigns as we enter the new year), it doesn’t mean that we’re caught in a negative spiral with no way out. Instead, it may be indicating a desire for connection and a growing interest in questioning why things and outdated systems still exist. This could be particularly important for the future of an industry that has long excluded people and encouraged overproduction and overconsumption over sustainability — and needs to change.
As Sartre put it, “Life begins on the other side of despair.” If fashion is currently in despair, it means that new life, designs, and ideas are on their way.
Like what you see? How about some more R29 goodness, right here?
Lingerie As Outerwear Is Trending On Instagram
The Women Turning Insta Into A Virtual Marketplace
Father Of The Bride II Is Full Of Lockdown Fashion
In 2020 Fashion Became Existential — Here’s Why That’s A Good Thing published first on https://mariakistler.tumblr.com/
0 notes
kvltvrmedia · 5 years ago
Text
“Selamat Ulang Tahun” Dari Nadin Amizah Berhasil Mencapai 5 Juta Streaming
Tumblr media
Bertepatan dengan ulang tahun yang ke-20 pada 28 Mei lalu, Nadin Amizah merilis album perdana bertajuk “Selamat Ulang Tahun.” Berisikan 10 lagu indah dan menenangkan yang kemasan lirik dikerjakan sendiri sepenuhnya oleh Nadin.
Dari segi aransemen musik, dibantu oleh beberapa rekan musisi seperti Tarrarin (Svmmerdose), Dissa Kamajaya (Fuzzy, I), Doly Harahap (ex-Temansebangku) dan Ramadhan Zulqi (Syarikat Idola Remaja). Sedangkan untuk proses produksinya dibantu oleh produser Petra Sihombing, Ferry Nurhayat, Ibnu Dian, Dissa Kamajaya, dan Mikha Angelo. “Nama-nama produser ini sama besar perannya dalam mewujudkan dengan akurat visiku yang kadang rumit untuk diterjemahkan tentang musik-musik yang ada di album ini.” ucap Nadin melalui rilisan pers yang diterima.
Debut album ini adalah cara Nadin untuk membekali dirinya yang telah berusia 20 tahun, dimana pada tahap inilah sudah dianggap sebagai batas memasuki tingkat pendewasaan dalam hidup dengan banyak berkontemplasi mengenai kedewasaan, dan juga membuat sebuah tribute untuk orangorang terdekat di kehidupannya. Nadin juga mengungkapkan bahwa album ini mempunyai tema besar tentang kegelisahan, kebingungan, kesoktahuan, kebodohan dan kebahagiaan yang campur aduk di masa pendewasaannya. Meskipun belum sepenuhnya dewasa, yang jelas hal-hal yang lalu itu kini bisa ia tengok dengan sedikit air mata namun tetap sambil tertawa.
Selain itu pula, album ini punya cerita tentang hubungannya dengan keluarganya yang sangat ia sayangi. Proses pendewasaan yang muncul dalam berbagai perasaan takut, ketidakpastian dan upaya untuk sebuah ekspresi tentang rasa kepada orang-orang yang paling dekat dengannya semua benarbenar dituangkan ke dalam album ini. Bisa dibilang debut album Selamat Ulang Tahun tertuang rasa lirih, terdengar indah, matang, tenang dan penuh percaya diri. Menariknya juga dimana proses recording keseluruhan hanya direkam di kamar tidur (bedroom recording), jadi terasa begitu intim dan sangat personal. Nadin menambahkan bahwa dalam tahap penulisan lirik menjadi catatan penting bagi dirinya, ia mengaku lebih banyak eksplorasi sampai teknik bernyanyi juga ia coba dengan berbagai pelajaran baru.
Terlepas dari itu semua, setelah album ini rilis secara serentak di semua layanan musik streaming, banyak feedback positif yang di dapat dari penikmat musik nasional. Terhitung kurang dari dua minggu paska perilisan album, secara kejutan dimana sudah ada 5.376.280 streaming. Spotify juga telah mencatatkan bahwa single “Beranjak Dewasa” sendiri telah menyumbang 1 juta streaming dalam kurun waktu hanya dua minggu. Tidak cukup itu saja, ada prestasi lainnya yakni masuk dalam Spotify Top Chart 200 Indonesia dan juga sempat menjadi trending topic di Twitter. Sebuah prestasi tersendiri bagi musisi nasional, karena sejauh ini hanya BTS saja yang bisa mencapai Spotify Top Chart tersebut.
Album “Selamat Ulang Tahun” dapat didengarkan disini
Foto: Dok. Nadin Amizah
1 note · View note
radioactive-force · 2 years ago
Text
Lunarways - SUN/DAZE: Debut Maxi-Single Pesona Pendatang Baru Musik Pop Surabaya
Tumblr media
Disela gempuran band-band berdistorsi di Surabaya, gairah anak muda untuk mulai beranjak bereksistensi di ranah skena musik pop memang gak ada matinya juga. Lunarways, salah satu unit pop generasi baru yang baru saja memperkenalkan maxi-singlenya di bulan Mei yang lalu.
DIbawah naungan Paska Records, maxi-single bertajuk SUN/DAZE berisikan dua track bernama “Be The One” dan “Flowering Hearts” telah dirilis juga dalam klip video berdurasi 10 menit 47 detik. Dengan bantuan Dewa Akmal sebagai director dan Fauzy Romdhoni selaku videographer sekaligus editor, semua konsep dikemas secara cermat dan saling bertautan yang bisa kalian terima dengan ringan.
Lewat klip video tersebut, Lunarways mencoba untuk menggambarkan situasi yang kalian rasakan saat ini dimana eksistensi seseorang bisa merubah perasaan dalam hari-harimu. Benar atau tidak, semua bergantung kisah romansamu juga. Gak usah banyak alasan, segera nikmati maxi-single Lunarways di sini!
Ditulis oleh Fadly Zakaria.M
0 notes
tershanjung13 · 6 years ago
Text
Musik, Senioritas dan Industrialisasi Berlebihan
berbicara musik, menurut saya musik adalah sebuah medium yang progresif. oleh karna itu seharusnya ekosistem didalam nya juga mesti dan wajib progresif juga untuk mengimbanginya..
tetapi akhir-akhir ini saya melihat ekosistem musik sidestream khususnya hardcore/punk di surabaya tampak seperti berjalan ditempat saja. didalam nya juga masih bercokol orang orang tua (yang menurut saya) minim ide dan terlalu memanfaatkan scene sebagai ladang mereka mencari makan saja dan juga tampaknya mereka juga masih enggan untuk sekedar memberikan tongkat-tongkat estafet kepada adik-adik mereka (read: regenerasi).
menurut saya ekosistem scene musik sidestream terutama hardcore/punk disurabaya juga masih terlalu segmented, seperti beberapa kawan yang terlihat ogah ogahan mengorganisir band dengan alasan tidak menyukai genre yang band tersebut mainkan atau mungkin terdengar asing ditelinga mereka. yang terjadi kemudian adalah band-band yang main di gigs tersebut hanya itu - itu saja
akhirnya, berawal dari kejenuhan yang sama seperti yang saya sebutkan diatas akhirnya 2 tahun yang lalu saya dan kawan-kawan memutuskan membentuk gigs organizer secara kolektif bernama mendadak kolektif, selain itu salah satu dari teman saya didi juga membentuk record label bernama paska records yang juga bisa dikatakan sebagai tandingan karna memilih merilis band dengan genre yang jarang di surabaya.
selain gap senioritas dan indutrialisasi yang massif sebenarnya masih ada satu lagi masalah dan tampaknya bukan cuma kami yang merasakannya yaitu venue. meskipun sebenarnya masih banyak juga alternatif kafe atau klub yang bisa digunakan, tetapi seluruhnya memiliki harga sewa yang kurang masuk akal untuk organizer kecil non provit seperti kami.
yah, ini masih menjadi PR penting untuk saya dan kawan-kawan mendadak kolektif atau bahkan kawan-kawan gigs organizer kecil (kolektif) lain di surabaya untuk memecahkannya atau mungkin sekedar mengakalinya dengan mencoba alternatif-alternatif studio gigs.
0 notes
thefederalistfreestyle · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Hamilton Goes to High School (EducationNext):
[. . .] Miranda knew how empowering it feels for a young person to create his own artistic project; indeed, that’s how he got his start in musical theater. He wrote three original songs when he was in 8th grade to help teach classmates the content of The Chosen, a novel by Chaim Potok set in 1940s Brooklyn. “My first musical I ever wrote was a class assignment,” Miranda revealed to Arrive magazine.
Hamilton producer Jeffrey Seller himself has a history of bringing Broadway to high school students. He created an educational program for the 1990s musical Rent, his first theatrical success.
And Gilder Lehrman has a long track record of developing history programs that benefit schools. Indeed, two-thirds of the students who take AP U.S. History visit the institute’s web site, and its total traffic jumped to 10 million visitors last year, up from fewer than 2 million two years ago. So when Seller and Miranda’s father, Luis Miranda Jr., visited Gilder Lehrman’s 45th Street office last summer, the institute’s director of education, Tim Bailey, showed them a recent curriculum program he had written called Vietnam in Verse. The lesson plan used poetry and music from the 1960s and ’70s to address the issues of that era. Seller was impressed: “You’re in,” he told Bailey. A partnership was born.
Working through the finances to create the education program was a complicated task. The first hurdle was to get the production to discount all seats for the student matinees. About 1,100 of the Richard Rodgers Theatre’s 1,321 seats cost between $179 and $199 apiece for a performance of Hamilton. The 200 or so center-orchestra seats fetch $849, by far the highest ticket price on Broadway. The play, which nets close to $2 million per week, is sold out until November 2017. The play’s principals agreed to sell the tickets for student matinees for $70, essentially the breakeven price point.
In October 2015, the Rockefeller Foundation put up $1.5 million to pay for Gilder Lehrman to create the curriculum and to subsidize $60 of each student ticket. Students pay the remaining $10 (a “Hamilton”) for each ticket, so they’re invested (except in San Francisco, where students attended for free because of a strict state law that prohibits them from paying for any educational experiences).
“Works like this don’t come around very often, and when they do we must make every effort to maximize their reach,” says Judith Rodin, former president of the Rockefeller Foundation. “Here’s a story that talks about American history and the ideals of American democracy . . . in a vernacular that speaks to young people, written by a product of New York public education,” Rodin told the New York Times. “Could there possibly be a better combination in terms of speaking to students?”
In June 2016 the foundation upped its commitment to $6 million to fund year two of EduHam in New York City and extend it to Chicago and the touring company.
[. . .]
The Curriculum
When Gilder Lehrman’s Tim Bailey started working on the Hamilton Project in late 2015, he knew he wanted to have students deal directly with primary sources. Gilder Lehrman owns 60,000 documents from American history, and Bailey recognized the value of reading and responding to these original materials. Secondary sources that merely summarize such documents and the events behind them tend to simplify the subject and rob students of the opportunity to analyze and interpret them for themselves. And the Common Core State Standards call for increased use of primary documents. But Bailey knew that asking students to read documents written more than 200 years ago could prompt lots of eye rolling.
Gilder Lehrman’s Basker puts it more succinctly: teaching the founding of the country can be the “castor oil of education,” he quips.
Bailey says that to capture kids’ interest in primary materials, “We have to teach the students the skills to unlock those sources. We provide enough structure so that students won’t freak out.”
[. . .]
Multimedia Materials
While Bailey worked on the classroom materials, colleagues set up a private Web portal where students could see excerpts from five songs performed during the show. The play’s creators insisted on limiting how much of the piece they would expose, for fear of diluting the play’s potential earnings on tour. Still, says Bailey, “We have amazing access to the show. It’s unprecedented.”
On the web site, students can view nine video interviews created exclusively for them. The videos feature Miranda explaining how Hamilton was different from other Founding Fathers, Chernow discussing the artistic license used in nonfiction writing, and actors reading from original documents of the period.
In one video, Miranda holds an actual love letter from Hamilton to his future wife Eliza and reads: “You not only employ my mind all day; but you intrude upon my sleep. I meet you in every dream and when I wake, I cannot close my eyes again for ruminating on your sweetness.” He looks up and tells students, “This puts whatever R&B song you’re listening to right now to shame.”
The web site also features information on 30 different historical figures, ranging from Martha Washington to Hercules Mulligan, the tailor who used his access to British troops to spy for the patriots. The site highlights 14 key events from the era, as well as 20-plus documents, including The Federalist Papers and Thomas Paine’s Common Sense.
While EduHam’s materials are robust, the program requires only two to three class periods to complete, Bailey says. Most of the student work, such as the suggested three hours of rehearsal, takes place outside the classroom. The program includes an 11-page teacher guide that discusses objectives, procedures, and the four Common Core standards the lessons align with. There is also a rubric to guide teachers in assessing student work.
Students are given wide latitude as to what, and how, they perform in EduHam. They can present a rap, song, poem, monologue, or scene. And while their performance must represent the Revolutionary War era, they can choose from key people, events, or documents, even if they aren’t in the play. During the November 2016 performances, one group of students compared the struggle between America and Britain to the Crips–Bloods gang battles in California. Students’ reactions were so enthusiastic it was hard to hear the end of the performance. One girl recited poetry about the African American poet Phillis Wheatley, who isn’t in the play, and another reworked the rapper Drake’s piece “5AM in Toronto” to depict the Boston Massacre.
[. . .]
Including Controversy
Of course, not all the drama around Hamilton has occurred onstage. At a performance in late November 2016, the cast addressed Vice President Elect Mike Pence, who was in the audience.
Actor Brandon Victor Dixon, who played Aaron Burr in that performance, told Pence: “We, sir, are the diverse America who are alarmed and anxious that your new administration will not protect us, our planet, our children, our parents, or defend us and uphold our inalienable rights. We truly hope that this show has inspired you to uphold our American values and to work on behalf of all of us.”
Miranda, who is prolific on Twitter, is not shy about trumpeting his political views, which lean decisively to the left.
When asked if this controversy would make schools less likely to use the play as a learning tool, Lawrence Paska says: “That’s going to depend on local school curriculum choices and planning. Some teachers and schools may use recent events as a way to highlight the intersection of history, art, and current events. Others may choose not to use works like Hamilton because they want to focus on historical events and not on recent activism.”
[. . .]
As Miranda tells students when they come to see the play, the big question is, “What kind of world do we want to create? It’s no less than that. What kind of world are you going to create when you grow up?”
amazing in-depth article on the #eduham program -- read the full piece!
75 notes · View notes
molfarua · 2 years ago
Video
youtube
🤣 "Paska will be soon" - the video of 5-year-old Matvey breaks records of 10 million views on TikTok. In just a week, the boy's recommendations for the festive table gained more than 10 million views.
0 notes
bajingsat · 4 years ago
Audio
Dalli Nestra by Senartogok “Pabila suatu nanti umurku dipacu waktu Merdekalah dari kungkungan mimpi.” ―Remy Sylado (Verse 1) Di berangkal Pasar Ciroyom Kita bersungkadara dengan sampah Paska Murs dan Amer mengayom Kemeja polisi kita buka paksa Menikam senja kita puki Beastie Boys!, Mayhem, lewat aroma lem Aibon, dan karbon, pita film Jarmusch, Mulatu, bertandem Vinyl bekas Nas hingga Def Jam Mana Oben? Jam berapa portal Lantas, ATM, tembok, juga rampok TV, kulkas, Kierkegaard, pensil warna, rampas! Sebab uang sekolah Heri belum lunas Kita kunyah dosa dan pahala Rotasikan Megadeth, Ucok AKA Menari menjelang kelam malam Dalam kalam Noam handam lalu padam Khadam salam pitam imam karam kodam Bam Margera pantas tuk semua orang tua Damn! Aretha Rock Steady kala membuta Jemput ajal khatam Milan Kundera Telat maut dentum Tristan Tzara Lantunkan satantango Bela Tarr segera (Chorus) Jalanan hanyalah keranda hati merekah Jalanan hanyalah marwah luka membuncah (Verse 2) Sepanjang rel kereta Kita catat martir muda Sejak Ismet hingga Dany Mengalunlah Vig Mihaly Dalam duka persetan Sangadji Murka genap Andrey Bely Rak perak lantak Jack Kerouac Kerak pekak teriak Blackmore's Night Takdir dihabisi mawas pula hati ini Umur diurapi tegas jua batin ini Kita tak ubahnya Jeff Buckley Jika nasib tak lain hanyalah bernyanyi Sematkan parang di ujung mata Persis lantunan Jeru Damaja Selepas Reynhart meninggal dunia Melipur lara bersama Frank Sinatra Saatnya melakoni larik Dalek Sigil Keny Arkana berdialek Saatnya menjalani bait Hynek Tanpa melankoli ala Nick Drake Di antara kunang-kunang bernyala Di pinggir trotoar kusam di kota Kita Tolstoy pembangun istana Tanpa tuhan, majikan, tanpa Pamong Praja! (Chorus) Jalanan adalah marka nasib diterka Jalanan adalah warta mati bicara “Irama dari bahaya dan bencana Lagi-lagi gentayangan dari kejauhan Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali Dan berlari jingkat telanjang bulat Ke muka tembilang Mampus segala jejak di belakang” ― Iwan simatupang Senartogok - "Dalli Nestra" Lyrics written by Senartogok Music written by Senartogok Engineered by Senartogok Recorded at Rand Slam Labs, Bandung, 2017. Mixed and mastered by Wing Narada at Cosmosonic Soundlab Contains a portion of "Space Cadet" performed by Kyuss, "A Portrait Of Tracy" performed by Jaco Pastorius, "Rebel Soldier" performed by Jamey Johnson, Spoken by Yadi Jenglot Rumah Belajar Sahaja Ciroyom Link IG @senartogok www.maratonmikrofon.com
0 notes
jobshub-pk · 5 years ago
Text
Data Entry Operator
paska Production Location : Rawalpindi PPB PK Data entry operator responsibilities include collecting and entering data in databases and maintaining accurate records of valuable company information.
More >>
jobs by
View On WordPress
0 notes