Tumgik
#meja kasir
nurawal · 1 month
Text
Pembuatan bangku kursi meja untuk sekolah, ponpes, warung dll
Kami Mebel Kita Mojokerto, berpengalaman dalam pembuatan mebel kayu lebih dari 30 tahun. Melayani pembuatan bangku kursi meja untuk berbagai macam keperluan. Untuk sekolah, pondok pesantren, warung makan, warung kopi, meja lesehan, kursi santai, kursi teras dan sebagainya.Lokasi kami di Mojokerto, melayani pengiriman ke seluruh Jawa Timur.Silahkan hubungi kami melalui telpon/sms/whatsapp 0858…
0 notes
irmodayo · 2 months
Text
Ternyata, bahagia bukanlah sebuah tujuan. Ia adalah serangkaian perjalanan.
Sore tadi aku —sebagai penggemar jalan kaki, melakukan perjalanan kecil menuju Indomaret yang hanya 850 meter jauhnya dari tempat tinggalku. Pergi membeli sebotol jus jambu yang tak pernah tergantikan posisinya dalam jajaran kandidat jus yang kukehendaki. Bagian menariknya bukan soal perjalanan kecilku, tapi tentang seorang kakek dengan kulit legam dan rambut ikal tak terawatnya yang berpapasan denganku di dekat meja kasir. Kakek itu hanya membeli sebotol air mineral. Tetapi kilau matanya sama bersinarnya seperti kilau mata yang akan aku pancarkan ketika aku berhasil membeli satu pesawat pribadi. Sengaja aku menyapanya yang duduk di bangku sambil meneguk air dari botol yang mulai berembun. Berceritalah ia begitu senangnya bisa memasuki tempat ini, baginya semua terlihat mahal dan ia tak berani untuk sekedar menjajakan ibu jarinya. Maka membeli sebotol air mineral dari Indomaret terasa seperti berada pada level baru kehidupannya.
Oh, ternyata ada ya orang yang begitu sumringah hanya karena dapat membeli sebotol air mineral di Indomaret. Bagiku berlalu-lalang di pintu Indomaret sudah tak dapat kuhitung lagi jumlahnya, teramat sering dilakukan hingga terasa biasa saja. Tapi, bagi beberapa orang yang beruntung, satu langkah melewati pintu itu terasa seperti sebuah perayaan yang istimewa yang dipenuhi binaran pada matanya.
Waduh, lagi-lagi aku lupa. Terlalu banyak hal berkecamuk dalam kepalaku beberapa hari terakhir, perihal syukur dan ragu, juga perihal yakin dan takut. Aku paham betul tak seharusnya aku membiarkan mereka berngiang dalam kepalaku. Namun aku dengan segala kesombonganku berpikir bahwa semuanya harus kuatur sedemikian rupa agar aku merasa lebih baik. Padahal punya kuasa untuk mengintip nasib saja tidak, tapi aku bertindak seolah semua akan berjalan dengan benar jika aku yang memimpin diriku sendiri. Hingga aku menempatkan semua ambisi dalam daftar prioritas dengan berjubel, membuatku cukup khawatir dan tak tenang, serta sedikit lupa untuk berbahagia.
Untungnya, sore ini aku kembali diingatkan bahwa bahagia itu sendiri berasal dari tenangku terhadap hal yang sederhana. Menjadi bahagia kadang memang terasa tak semudah seperti menekan tombol 'menjadi bahagia' lalu seisi dunia akan berjalan mengikuti ritmeku begitu saja. Sejatinya menjadi bahagia memang sesederhana menekan tombol 'menjadi bahagia' itu saja. Sebab semuanya berasal dari pilihan dan kemauan, sebagai dua hal paling sederhana yang terasa rumit dalam pertimbangannya —apalagi ketika tengah melalui masa yang tidak mudah. Tetapi untuk terus merasa beruntung adalah sebuah pilihan dan kemauan. Sebab merasa beruntung dengan hal-hal sederhana terurai sebagai bentuk manusia mengakui nikmat kehidupan.
Whenever I feel life is uneasy, Tuhan selalu mengingatkan dengan membawaku kembali membumi. Tentang bagaimana benda-benda luar angkasa yang berukuran raksaksa itu dibentuk dari debu-debu asteroid yang ukurannya berbanding jutaan kali lebih kecil. Tentang bagaimana pohon ek yang berlingkar lebih dari satu depa dalam sinema juga berasal dari sebuah biji yang ukurannya hanya sebesar genggaman tanganku. Tentang bagaimana aku sebagai sapiens yang juga tersusun dari komponen atom-atom dalton yang bahkan mata telanjangku saja tak dapat melihatnya.
Maka dari itu kukatakan, bahagia bukanlah tujuan sebab ia adalah serangkaian perjalanan. Tak datang dalam bentuk yang tiba-tiba besar, namun dimulai dari ukuran 'sederhana'. Terus dilipatgandakan hinga ukurannya bisa bermilyar kali lipat dari 'sederhana'. Namun ketika bahagianya sudah lebih besar, janganlah lupa dengan rasa tenang dalam kesederhanaan-kesederhanaan yang kecil ukurannya. Tuhan maha baik, aku seharusnya memperbanyak syukur dan menguatkan yakin.
22 notes · View notes
carlcoulate · 9 months
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
29 notes · View notes
bagus-adikarya · 1 year
Text
Anak Sejuta Cerita
Saya dan Piti dipertemukan melalui tulisan.
Piti hobi menulis, saya rajin membacanya. Saya hobi menullis, piti juga rajin membacanya.
Kami menikah, lalu lahirlah humayra. Pelajaran penting pertama, tulisan bisa melahirkan anak manusia.
***
Dasar menulis adalah bercerita. Meski setelah menikah kami jarang menulis. Tetapi di rumah, kami tidak berhenti bercerita.
Kami membawa kebiasaan bercerita dalam perbincangan sehari-hari. Jika ada satu hal menarik yang terjadi di hari itu, kami akan tambahkan struktur cerita, sedikit analogi, lalu jadilah cerita. Mungkin ini yang menyebabkan, humayra juga sangat suka dengan cerita.
Memang selain itu, Piti sangat boros dengan buku anak-anak. Bersyukurnya, humay juga mendukung keborosan itu dengan membaca dan mendengarkan cerita dari buku yang Piti beli.
Lalu apa saya mendukungnya? Jawabnya antara ya atau tidak.
Ya, karena membaca buku adalah aktivitas yang baik untuk humay,
Tidak, karena saya merasa tersaingi.
Saya memiliki impian untuk memiliki perpustakaan pribadi. Sudah lewat umur 30 tahun saya belum berhasil mewujudkan cita-cita tersebut. Tetapi, Humay yang berusia 5 tahun sudah berhasil memiliki 3 buah rak buku dengan variasi buku anak-anak yang bermacam-macam: pop up, soundbook, touchbook, dan berbagai macam jenis buku lainnya.
Bagi humay, buku-bukunya adalah harta karun. Seperti bajak laut yang cinta harta karun, humay tidak ingin bukunya tersebut dibagi. Contohnya baru kemarin terjadi, TK tempat humay bersekolah menyelenggarakan program donasi buku.
Dan si Bajak Laut, tidak ingin satupun bukunya disumbangkan. “Nanti kalau humay sudah SD, baru boleh.”
Sampai dengan tulisan ini ditulis, kami berdua masih melakukan lobying dengan Humay.
***
Karena cerita itu butuh bumbu, kami perlu mendramatisasi beberapa hal yang sebetulnya  biasa saja. Dan mungkin itu yang membuat, keluarga kami cukup punya drama ….. dalam arti yang positif.
Pernah pada suatu malam, saya bercerita.
“Kak Humay, sini, ayah punya cerita.” Setelah saya berpikir ada satu kejadian yang menarik di hari itu.
“Apa yah?” humay mulai duduk menyimak
“Ayah tadi habis makan bakso. Di depan meja ada satu mangkok bakso dengan kuahnya, lalu ada satu mangkok lagi berisi saus kecap dan sambal, dan terakhir ada satu gelas es jeruk. Karena ayah lupa ambil sedotan, Ayah pergi ke meja dekat kasir mengambil sedotan. Trus ayah taruh sedotannya, eh, ternyata ayah naruh sedotannya di mangkok bakso.” Sebetulnya, ini cerita yang sangat biasa.
“Hahahahahahaha. Ibu sini ibu. Masa Ayah naruh sedotan di mangkok bakso.” Sambil lari-lari kecil ke ruang tamu menghampiri Piti.
Saya sebetulnya agak khawatir dengan selera humor humay.
***
Kebiasaan kami bercerita ternyata punya dampak yang sangat positif bagi Humay.
Pada suatu pagi menjelang siang, Piti menjemput Humay di TK. Wali kelas Humay menyampaikan ke Piti bahwa dia cukup terkejut dengan kosakata yang Humay sering gunakan saat berbincang.
“Ibu guru, ini tadi humay sudah memilah-milah tugasnya untuk dikumpulkan” kata Ibu Guru menirukan kalimat humay.
Kata memilah-milah menurut Ibu guru bukan kosa kata yang umum digunakan oleh anak di usia TK.
Saya dan Piti jadi ingat, sepertinya kata ‘memilah-milah’ humay kenali dari buku yang dia baca. Ada satu buku yang menjelaskan aktivitas memilah buah dan humay sering membaca buku tersebut.
Jadi jika digambarkan proses humay bercerita di sekolah adalah seperti ini: humay mendapatkan cerita dari rumah,  lalu menceritakan cerita tersebut di sekolah.
Saya berharap, semoga humay tidak menceritakan ‘sedotan dalam mangkok bakso’ pada teman-temannya.
Atau semoga teman-teman humay punya selera humor yang sama dengan Humay.
Dan jika selera humor mereka sama, saya yakin saya bisa berteman baik dengan teman-teman humay.
Mungkin kita bisa mulai dengan membentuk grup whatsapp.
Karena cerita punya dampak yang sangat positif bagi kami bertiga. Sangat disayangkan jika cerita tersebut tidak memiliki bentuk tertulis.
Akhirnya, saya beride untuk kembali aktif menulis. Dengan harapan, semoga kelak tulisan ini bisa humay baca dan mengingatkan dirinya bahwa humay adalah anak dengan sejuta cerita.
21 notes · View notes
owlshellr · 4 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
📍Kineruku - Hegarmanah, Bandung.
Secuil ulasan dari pengalaman mampir ke Kineruku ;
Book cafe konsep rumahan ini letaknya di area yang cukup sepi. Adem dan ga berisik karena bukan di pusat kota. Pertama dateng langsung disambut pegawai kafe yang ngasih tau rules baru. Ternyata ga boleh bawa tas ke dalam dan harus dititipkan di loker. Di dalam kafe juga tidak disediakan colokan atau wifi.
Area pertama di dalam toko yaitu kasir di sebelah kiri yang disambung pintu masuk ke bagian dapur. Area tengah diisi meja display yang ngejual perintilan buku dan aksesori. Bagian tembok depan dan kanan dipenuhi rak buku baru yang dijual. Masih sebelah kanan, ada ruangan khusus pegawai, lalu toilet dan mushola.
Masuk ke area perpustakaan -yang ternyata tidak terlalu besar-, dilengkapi rak dengan banyak buku-buku yang dikategorikan sesuai genrenya. Koleksinya cukup banyak, termasuk buku lama dan buku berbahasa Inggris. Aku bisa nemuin banyak buku yang pengin dibaca sejak lama. Funfact : aku nemuin buku Don Quixote-nya Miguel de Cervantes. "...so come and call me Don Quixote". ⚔️🎶
Setelah bimbang nyari buku mana buat dibaca, akhirnya kupilih Manifesto Flora oleh Cyntha Hariadi. Bukunya tipis, tapi hanya habis dibaca 6 halaman aja.
Lanjut pesan makan. Aku dengan Eskosu dan Kentang Goreng, Teh Niken dengan Capuccino dan Pisang Goreng. Kami pilih duduk di kursi sebelah jendela. Ga terlalu dekat dengan pengunjung lain, jadinya ga akan menganggu kalo tiba-tiba kami banyak ngobrol.
Hal yang disayangkan dari kafe ini cuma jam bukanya aja yang sebentar. Dari 11.30 sampai 17.30. Selain itu, semuanya suka. Tempatnya homey dan sejuk, bukunya lengkap, makanannya enak.
Semoga nanti bisa lebih sering lagi dateng kesini.✨
5 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Origami Perahu
Hanya satu meja itu yang kosong sore ini. Di permukaannya masih ada gelas bekas seseorang yang duduk di sana. Barista dan kasir toko kopi itu masih berjibaku dengan pesanan orang lain termasuk pesananku. Tidak ada waktu untuk membereskan meja pelanggan yang minumannya sudah tandas.
Origami perahu itu ada di sana. Di satu-satunya meja kosong tersisa yang bisa aku tempati. Bekas setruk yang menjadi lipatan perahu kertas itu amat rapi—seperti buatan dan kebiasaan seseorang yang kukenal. Masa lalu yang paling pedih. Masa lampau yang dipaksa usai.
Kubayangkan dia duduk di kuris ini. Atau mungkin di hadapanku lima belas atau sepuluh menit sebelum aku datang. Dia mungkin sedang belajar persiapan tes CPNS. Atau sedang menulis cerita-cerita pendek yang akhirnya selalu sedih.
Ya. Aku masih mengamatinya dari tempat yang amat jauh berupa nama samar di media sosial.
Sudah lama aku memikirkan berbagai skenario bila suatu saat aku dan dia bertemu di manapun tanpa sengaja. Aku akan tersenyum padanya sambil menyapa dan menanyakan kabarnya yang semoga baik meski tanpaku. Dia mungkin akan memasang ekspresi marah atau bahkan menyiramkan segelas air apapun yang ada di hadapannya pada wajahku. Aku sudah mempersiapkannya. Tapi, ternyata aku tidak pernah bisa siap.
Berhadapan dengan bayangannya saja aku masih membatu seperti ini.
Perlahan kuambil perahu kertas di permukaan meja itu, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mungkin salah, tapi aku juga mungkin benar jika origami itu miliknya. Probabilitasnya setengah-setengah Seandainya saja aku datang lebih cepat, aku mungkin bisa mengubah probabilitas itu menjadi hasil yang jelas. Tapi, tidak semua kemungkinan ada ujungnya.
Kata-kata 'seandainya' memang tidak ada gunanya.
Seandainya saja aku tidak terlambat datang padanya waktu itu, mungkin aku dan dia sedang mengurusi pernikahan impian yang pernah kami rencanakan. Tuhan lagi-lagi mengingatkanku bahwa dia bukanlah untukku hanya dari sebuah origami perahu di meja toko kopi yang sore ini aku datangi.
Bandung, 13 Agustus 2023.
13 notes · View notes
bianglalaputar · 1 year
Text
Perjalanan yang cukup menyenangkan
Sepanjang perjalanan, cuman berdoa minta tolong dimudahkan segalanya. Dari nyampe hujan deres banget, iseng tanya ke salah satu teman Nina tentang KRL. Baiknya, tiba-tiba mau dijemput. Akhirnya dijemputlah dari stasiun, diajak makan, diajak muter-muter UGM. Terus sampai di penginapan, penginapannya bagus, bersih, rapi. Yang jaga juga "welcome" banget.
Terus pas di penginapan, ternyata lupa ga bawa sisir dan mukenah (karena pas berangkat masih belum mensucikan karena kelar haid). Akhirnya tanya ke penjaga, bisa pinjem mukenah ga ternyata bisa. Syukurlah.
Lalu perihal sisir, akhirnya pergi ke toko toserba. Kalau ndak salah nama tokonya "Toko Jakal Merah". Tanya "bu ada sisir ndak ya?", dijawab "ada mba, tapi yang biasa". "Disini" dari meja kasir sampe dianter sama ibunya ke tempat sisir "harganya 1000 mba". Kaget, wak kok cuman seribu. Akhirnya jadi beli notes sama highliter soale ga enak ke kasir bayar cuman 1000 🙃
Alhamdulillah tidur cukup nyenyak, kamarnya enak, bersih, wangi.
Lalu pagi, berangkat tes pesen Gojek. Alhamdulillahnya lagi pak Gojeknya baik, ramah. Karena bapaknya tahu aku sekarang lagi di tes, pas sampai didoakan "terima kasih mba, semoga lancar dan lolos ya. Nanti kita ketemu lagi"
Aamiin aamiin
Setelah itu masuk ke tempat tes, pas masuk lihat banyak banget orang. AllahuAkbar, lumayan agak jiper sih. Tapi yaudahlah, pasrah apa kata Allah yang terbaik untuk ku.
Terus sepanjang tes ngantuk banget, ya Allah. I can't handle my self. Buerat banget mataku. Terus kurang sekitar 30 menitan. Tiba-tiba server eror, hampir seruangan eror semua. Yaudah akhirnya yang tes diulang semua dari awal. Karena sudah agak siangan yaudah mata agak bisa diajak koordinasi. Alhamdulillah lebih agak fokus. Terus bisa crosscheck jawaban lbih konsen, meskipun emang soalnya mayan susah. Dan sampai keluar alhamdulillah lancar, 90 soal terjawab dan tersubmit.
Lalu pulang, ternyata teman Nina baik mau jemput lagi. Terus pas lihat jam ternyata udah jam 12.30, harusnya kan penginapannya checkout jam 12.00. Yaudah akhirnya buru-buru checkout, terus karena telat kayak "siap didenda". Tapi ternyata penjaganya selow aja sih, ga kena denda alhamdulillah 😌🙏🏻
Terus akhirnya lanjut jalan jalan, muter muter Jogja, kulineran, ke Tempo Gelato. Meskipun cuman beberapa jam, it's such a great experience. Lalu sore hujan deras, alhamdulillahnya diantar lagi sampai di stasiun.
Alhamdulillah, thanks God
Sudah banyak dibantu dan dimudahkan, terlepas dari apa hasilnya nanti. InsyaAllah hamba ikhlas dan pasrah (nulisnya sambil pengen nangis, ya Allah Maha Baik). Setidaknya di setiap prosesnya ini, Allah sudah kasih banyak kemudahan.
Aku percaya, yang digariskan dari-Mu insyaAllah terbaik untukku ❤️
Thanks for the nice short trip, Jogja ✨
7 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
-MAYA-
Tumblr media
Dinginnya malam, serasa menguliti ku hingga ke tulang. Begitu sampai kamar, kuhempaskan tubuhku di tempat pembaringan. Tujuanku adalah merebahkan diri, menghalau sedikit rasa payah yang menghampiri. Berharap segera terlelap. Namun nyatanya, lelah tubuhku justru tak menghentikanku mengingat masa lalu. Lalu, satu per satu darinya hadir, menyesakkan.
***
Di bangku sebuah taman yang tak jauh dari tempatku tinggal, aku duduk termenung. Menunggui seseorang yang aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelumnya, kami berjanji temu pukul 3, tapi kali itu sudah lebih dari tiga puluh menit, orang yang aku tunggu belum muncul juga. Aku sebal, sebab tidak satu dua kali dia begitu.
Sesekali, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Benda yang hampir tak pernah absen kupakai ketika aku pergi. Lalu, indera penglihatanku teralihkan dengan dua anak kecil yang saling berkejaran di lapangan basket yang ada tepat di sebelah taman. Riuh gema tawa mereka seakan mensyaratkan, tiada beban yang bersarang di pundaknya. Ceria sekali. Setidaknya begitu yang tersurat dari kacamataku.
“Lagi lihat apa sih? serius amat, sampai-sampai nggak sadar aku dateng.”
Aku terkejut dengan suara seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. “Astaga, bisa nggak sih nggak bikin kaget orang,"kataku memprotes perilakunya yang mengejutkanku. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari ritme sebelumnya.
"Habisnya kamu diajak ngobrol pas aku dateng nggak nyaut, taunya ngelamun.” “Siapa yang ngelamun!.” Dia menunjuk ke arahku dengan dagu sambil tersenyum dengan seringai jahil yang seakan meledekku. Seperti, dia berhasil menebak sesuatu yang benar, sedangkan aku berkilah. Menyebalkan.
“Aku nggak ngelamun!,"ucapku dengan nada naik satu oktaf. Aku kesal. Teramat kesal. Pertama, karena dia terlambat datang. Kedua, dia membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ketiga, dia meledekku.
"Bisa nggak sih kau hargai waktu orang sedikit. Tiap menit keterlambatanmu itu sama dengan waktu orang lain yang kau korbankan untuk menunggu,"sungutku. Raut mukanya berubah sendu, mungkin merasa bersalah. Seketika kami terdiam dan aku merasa tak enak hati dibuatnya.
"Oke oke, aku minta maaf. Sudah ya, jangan marah,"rayunya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi lebih baik tidak disini,"sambungnya.
***
Dua kursi berhadapan dengan satu meja sebagai pemisah keduanya, disudut dekat jendela sebuah kafe bernama Cendana adalah tempat yang kami pilih untuk melanjutkan obrolan. Lebih tepatnya, Fahmi yang ingin membicarakan suatu hal yang aku tidak tau apa itu. Setelah memesan beberapa menu di meja kasir, kami dipersilakan menunggu beberapa saat sampai menu di antarkan ke meja.
"Di,"suara Fahmi menyapaku, memecah hening diantara kami berdua. Aku yang tengah mengamati interior kafe itu seketika menoleh ke sumber suara, memusatkan perhatianku padanya.
"Ya?,"jawabku singkat.
"Setelah kelulusan nanti, aku akan berangkat ke Singapura,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tunggu sebentar, apa maksudnya? Otakku masih belum selesai mencerna,“Aku diterima di Media, Arts and Design School, Singapore Polytechnic,"jelasnya sumringah. Aku melihat binar mata bahagianya. Tapi, mengapa aku merasa tidak sesenang itu mendengarnya?.
"Oh ya? Selamat ya,"ungkapku akhirnya, lalu aku terdiam mendengar semua tutur katanya. Dia menceritakan usahanya dengan begitu bangga, sampai pada saat dia diterima sebagai mahasiswa di kampus impiannya itu.
***
"Apa ini?,"tanyaku setelah mendapat sodoran amplop besar berwarna coklat.
"Brosur dan berkas pendaftaran UBAYA. Papa mau kamu ambil sekolah bisnis.”
“Aku ingin belajar sastra Pa, boleh tidak kalau aku….” Belum sempat kalimatku secara lengkap terucap, Papa menimpali,“Mau jadi apa kamu kalau masuk sastra? Sudahlah, ikuti saja saran papa,"tegas Papa tanpa mau dibantah.
Beberapa orang beruntung, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup lalu bisa menjalaninya. Beberapa lainnya beruntung tahu apa yang diinginkannya dalam hidup tapi harus bersabar atas ketiadaan kesempatan menjalaninya. Keduanya sama-sama beruntung, bukan? Tapi aku, adalah contoh yang kedua. Lebih tepatnya, tidak lebih berani mengupayakan keinginan yang kupunya. Kata lainnya, aku pengecut.
***
Hari pertamaku menjadi mahasiswa jurusan Bisnis Internasional UBAYA, adalah menjadi hariku juga melepas kepergian Fahmi ke Singapura. Setelah kuliah pagiku selesai, aku bergegas menuju Juanda. Tempat yang akan menjadi saksi perpisahan kami berdua. 
"Gimana rasanya jadi mahasiswa jurusan bisnis?,"tanyanya memecah keheningan antara kami berdua. Aku yang duduk tepat di sebelahnya bergeming. Aku menunduk, memandangi jari jemariku yang bertaut diatas pangkuanku.
"No feeling good,"lirihku masih dengan tertunduk.
"It’s okay.” Fahmi merangkul dan menepuk-nepuk pundakku perlahan. Mungkin dia ingin menenangkan. Sebab dia tahu, pilihan itu tidak mudah kujalani, tidak seperti dirinya yang memilih pilihannya sendiri.
“Mari buat kesepakatan,"serunya tiba-tiba, sembari dia bangkit dari duduknya dan berpindah berdiri di hadapku, mengulurkan tanganku agar bisa kujabat.
"Kesepakatan? Apa?,"tanyaku tak mengerti.
"Saat kita berdua sudah lulus nanti, kita akan buat projek bersama. Kamu jadi konseptor bisnisnya, aku tim kreatifnya. Kita berkolaborasi.”
Aku saja tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya atau tidak, pikirku. “Ya, bolehlah,"sambungku akhirnya.
"Saya Fahmi Fachriza Rudianto berjanji, akan segera kembali begitu saya lulus dan akan membuat bisnis bersama dengan kawan saya Diani Pratiwi,"ucapnya seraya mengangkat telapak tangannya serupa orang bersumpah.
"Ya, janji diterima, ku tunggu kau menepatinya,"ujarku malas-malasan, seolah tau bahwa janji itu hanya celotehan anak belia yang belum tau bagaimana kehidupan akan bekerja dengan sesungguhnya. Seakan meyakini bahwa janji itu akan berakhir sebagai gurauan belaka.
Sementara itu, pesawat yang akan ditumpangi Fahmi sebentar lagi akan lepas landas. Dia pun bersegera menyiapkan diri untuk check-in.
"Jaga dirimu baik-baik,"begitu pesannya sebelum meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya sampai bayangan punggungnya menghilang. Aku melepaskannya pergi ke negara seberang untuk mengejar mimpinya. Sementara aku, mungkin harus berdamai lagi dengan pilihan yang sudah ditentukan.
Tak terasa air mataku menetes ketika bayangan-bayangan itu melintas dalam ingatan. Dan benar saja, kesepakatan yang dulu terucap antara aku dan dia, kini hanya terpintal menjadi kenangan belaka. Bahkan, setelah dua tahun kelulusan pun, tak ku tahu rimbanya dimana. Fahmi apa kabar? Aku rindu.
***
4 notes · View notes
interiorjs · 2 years
Text
Tumblr media
jual jasa pembuatan furniture / interior rumah seperti kicenset modern ,Almari Moderen  ,meja kursi cafe, meja kasir cafe, Kabinet,Tempat Tidur/ dipan moderen ,Set Meja Makan ,Meja Tamu ,Rak ,Meja TV, Kabinet Dapur,Meja kerja,Meja Nakas, dan lain-lain. untuk pemesanan bisa hubungi wa.me/6285855371916 / massangger
2 notes · View notes
bungajurang · 2 years
Text
Kemarin (22/01) aku jalan-jalan bersama seseorang. 
Pukul 1 siang dia sampai di rumahku. Setelah memakai sandal dan pamit, aku menghampirinya yang menunggu di depan rumah. Kami berencana makan siang bersama, tapi kami belum menentukan mau makan apa. Sebelum keluar dari gang rumah, dia mengatakan ingin makan sesuatu yang pedas. Sampai di jalan raya, dia mengusulkan makan ayam geprek. Kami sepakat. Baru 5 menit berlalu, aku mengetuk bahunya dan bilang, “Gimana kalau makan di Waroeng Yanto? Kita udah lama enggak ke sana.” Ia menaikkan kaca helmnya, berseru, “Oh iya, ya, aku lupa ada tempat makan namanya Waroeng Yanto.” Kami tertawa. Mumpung belum terlalu ke selatan, aku mengarahkannya untuk lewat jalur hijau saja.
Jalur hijau atau jalur alternatif adalah caraku menyebut jalan di luar jalan raya dan jalan utama. Selain itu, jalur ini punya lebih banyak pepohonan di sisinya. Jadi, sepertinya enggak salah kalau menyebutnya jalur hijau. 
“Nanti pertigaan Pasar Rejodani belok kiri ya.” “Aku belum pernah lewat sini.” “Oh ya?” “Iya. Belum pernah.”
Setelah itu kami menyusuri Jl. Plumbon. Mengikuti jalan. Sampai tahu-tahu tembus Jl. Kaliurang. 
“Oalah, tembusnya sini ya. Aku baru tahu.” “Haha, baguslah, jadi tahu jalur baru.”
Waroeng Yanto bakal ramai, deh, soalnya ini hari Minggu, ujarku. Kami sudah mewanti-wanti sejak di jalan, memikirkan opsi lain kalau-kalau enggak dapat meja. Ia berhenti di area parkir motor tanpa mematikan mesinnya, lalu aku masuk duluan dan mencari meja kosong. Setelah memastikan masih ada tempat kosong, aku mengabarinya. Kami duduk di dekat pintu menuju dapur belakang. Semua meja sudah penuh. Biasanya, kami duduk di luar--lokasi paling strategis. Bayangkan ini: duduk di samping area masak, sambil menunggu makanan datang kami bisa melihat para chef sekaligus mencium aroma masakannya. Selain itu, kami enggak perlu merasa bersalah kalau merokok, karena ini di luar. 
Kami pesan menu kesukaan masing-masing. Sayang, kerang sudah habis. Padahal kami berniat pesan kerang saus padang. 
Pengalaman makan di Waroeng Yanto kali ini terasa lebih menyenangkan dari biasanya. Duduk di bagian dalam membuatku bisa memperhatikan pelanggan yang sedang makan, pelanggan yang kelaparan dan hampir bosan menunggu pesanannya datang, pegawai yang sibuk bolak-balik mengantarkan pesanan, Pak Yanto dan chef lain yang sibuk di depan kompor...driver ojol yang memenuhi area kasir, denting piring, sendok, garpu, dan gelas, serta asap dan api yang mengepul dari bawah kompor. Sesekali aku membagi perhatianku pada cerita orang di depanku. Ia menceritakan hari-harinya yang sedang berat. Aku tenggelam dalam suasana ini. 
Pesanan kami datang. Kami sudah kelaparan banget. Setelah mengucapkan selamat makan ke satu sama lain, kamu fokus pada makanan di depan kami. Satu hal yang aku sayangkan adalah nasinya keras, sepertinya kurang air. Ini kali pertama kami dapat nasi yang keras, biasanya selalu lembut dan pas. Yah, nggak apa-apa, toh, masakannya tetap enak. Pada akhirnya kami enggak merokok ketika sebetulnya bisa. Sewaktu kami selesai makan, ada satu keluarga yang membawa bayi duduk di seberang kami.
Aku mengajaknya jalan-jalan ke sebuah mall yang belum lama ini direnovasi dan berganti nama. Saat akan mengambil karcis parkir, kami melihat area keluar parkir yang macet. Antrian motornya panjang banget, sampai menutupi jalan bagi motor yang baru datang dan mencari tempat parkir. Bagian dalam mall juga ternyata sangat ramai. Banget. Suasana Lunar New Year sangat terasa. Warna merah ada di mana-mana! Ada beberapa panggung yang mengadakan pentas seni dan perlombaan untuk anak-anak. Sangat... lively. Kami enggak ada niat beli sesuatu atau menuju ke tempat yang spesifik, jadi kami hanya jalan-jalan mengitari mall. 
Masuk ke toko baju dan melihat-lihat, sambil menggosipkan selera baju masa kini yang aneh-aneh. Aku yang cenderung suka baju dengan model aneh-aneh (hanya belum ada kesempatan memakainya), sangat berbeda dengannya yang lebih suka baju model normal. Tiap aku menunjukkan satu model baju yang menurutnya aneh, ia akan geleng-geleng kepala. Hhh, anak muda zaman sekarang, ujarnya. Melihat responnya, aku jadi semakin jahil mengajaknya melihat model baju aneh lainnya. 
“Liatttt, kalau aku pakai ini gimana?” kataku sambil mengangkat baju crop top dengan tali serut di bagian perut, yang membuat panjang baju ini bisa disesuaikan. Mau sampai menutupi perut, atau digulung sampai bawah dada pas. “Hmm...” hening sesaat, sambil ia mengerutkan dahi dan mengelus dagunya, “...bagus.” 
Lalu kami melihat tag harganya, sama-sama kaget dan melotot, kemudian meletakkan kembali baju itu dan pergi melihat baju-baju model aneh lainnya. 
“Dengan harga segitu, aku bisa dapat dress cantik dengan model yang lebih lucu dan bisa dipakai ke mana saja karena modelnya normal.” “Iya. Tapi tadi bagus juga. Hehe.”
Sesekali kami menilai outfit orang lain. Kami mengapresiasi perpaduan baju yang dipakai seorang perempuan. Ia memakai pleated school skirt warna-warni, tank top dan cardigan, dan sepatu boots serta kaos kaki berwarna karamel. Kami juga mengapresiasi seseorang yang pakai dress bunga-bunga lengan pendek, yang menjuntai sepanjang mata kakinya. Rambutnya digerai. Cantikkk, kataku. Iya, balasnya. 
Kami terus mengobrol sambil jalan-jalan di dalam mall sampai sore. 
2 notes · View notes
bacotri · 2 years
Text
Rintik Hujan dan Kopi Senja
Rintik air hujan menenggelamkan suara pramusaji yang menaruh kopi hangat di mejaku. Laptop dan catatanku sama acuhnya denganku, pramusaji itu pun tidak begitu peduli, kopi ditaruhnya di meja dan ia berselancar kembali ke meja kasir. Hujan semakin rimbun dan aku semakin terbenam dalam pekerjaanku. Kepalaku terasa pusing tetapi kubiarkan lewat begitu saja.
Waktu tak terasa lama memang, dan aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Rupanya beberapa orang sudah minggat dan tinggal aku dan sekitar tiga orang lain yang masih tinggal di kafe. Hujan sudah reda dan gelasku kosong. Aku berdiri, membereskan barang-barangku dan bertolak ke pintu luar.
“Mas, gimana kopinya?” Ujar pria di balik meja kasir, di pin kartu namanya tertera “Andi”.
“Ah, enak mas, makasih ya,” balasku sekenanya.
“Oh, iya mas, nanti balik lagi ya kapan-kapan, saya sampaikan ke baristanya kalau mas suka,” sahut Andi.
Ketika aku membuka pintu kamar kos, kepalaku terasa berdenyut tidak keruan. Benakku, mungkin aku terlalu memforsir diri. Aku mencoba tidur setelah menenggak sekeping tablet Paracetamol.
Pagi datang dan kepalaku makin sakit. Aku mencoba meraih meja untuk mengambil obat namun seluruh tubuhku seakan menolak. Sadar bahwa HPku sejak tadi berdering, aku dengan susah payah mencoba mengangkat telepon.
“Dek, dek, kamu gak apa-apa?” Teriak suara yang terdengar seperti Kak Ahda di speaker.
“Kak Ahda… aku gak masuk kelas hari ini ya, bilangkan ke Bapak karena sakit,” jawabku lemah.
“Kelas apa dek, ini hari Minggu kan?”
“Bukannya ini hari Kamis kak?”
“Ngomong apa sih kamu? Bentar kakak ke tempatmu,”
Kepalaku berputar kencang. Aku baru saja bangun pagi tadi, kenapa Kak Ahda bilang kalau ini sudah hari Minggu?
Akhirnya Kak Ahda datang membawa makanan hangat. Aku sendiri baru selesai mengecek sekelilingku, benar saja kalender di ruang tengah yang selalu dilingkari oleh ibu kos menunjukkan ini hari Minggu. Begitu pula HP, laptop, dan semua barang elektronik yang mempunyai tanggalan. Aku bahkan meminjam HP tetanggaku, Andi, yang terheran-heran karena katanya ia melihatku pulang dan pergi kuliah seperti biasa.
Kak Ahda berkata bahwa kelas Bapak Dodi diliburkan hingga waktu tak tertentu karena musibah di keluarga Bapak. Meskipun demikian, Bapak Dodi masih mengawasi mahasiswanya dengan cara memaksa mereka melakukan swafoto dan menunggahnya di grup kelas. Kak Ahda menunjukkan fotoku yang diunggah dari akunnya.
“Kamu gak mau ambil foto sendiri, katamu kamu lupa sama password HPmu,” jelas Kak Ahda.
“Lupa gimana kak, sandi HP adek enak aja kok dihapal,”
“Gak cuman password HP dek, aku mau pinjem uang aja kamu gak mau, katamu lupa pin ATM,”
“Eh, pinjem berapa kak, bentar,”
“Wah gak usah dek, udah kok kemaren, ini aku dateng cuman mau liat kondisimu karena kamu aneh banget berapa hari ini,”
Ketika kuceritakan bahwa aku tertidur setelah pulang dari kafe, Kak Ahda tertegun. Kami berdua merasa bingung dan mencoba berpikir kembali. Tetapi semua teori kami berujung pada kafe yang kusambangi kemarin.
“Kamu ngapain ke situ?” Celetuk Kak Ahda.
“Hujan kak, gak ada tempat lain,” jawabku.
Lalu sebuah sekring seakan ditekan di kepalaku. Gelagat pramusaji, kasir, dan orang-orang di kafe itu tidak seperti biasanya. Karena hari hujan aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pramusaji. Tetapi sampai saat itu aku masih tidak sadar keanehan paling utama.
Kak Ahda datang ke kosku?
“Kamu siapa?” desisku.
“Hah, apa sih dek?” jawab sosok yang menyerupai Kak Ahda.
Orang di hadapanku memang benar-benar mirip dengan ketua kelas Kimia Tanah, Ahda Putri Natasha. Setelannya, nada bicaranya, sepaket memang. Namun Kak Ahda yang kukenal tidak akan pernah datang ke kos laki-laki sendirian.
“Jawab! Kamu siapa!” ujarku panik.
“Dek…” suara sosok itu memelan.
Kepalaku pening tidak karuan, pandanganku gelap dan perutku mual. Aku muntah, cairan hitam beraroma manis mengalir ke lantai keramik. Tunggu, kosku kan lantainya semen.
Seketika aku kembali ke kamarku, di rumah yang terletak ribuan kilometer dari kosku. Di hadapanku sosok serupa Kak Ahda berdiri, dan ia berjalan keluar kamar. Aku mencoba naik ke atas kasur, pikiranku tak keruan. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah mengecek tanggal, karena aku tidak mungkin berada di rumah dalam sekian jam saja.
Telingaku berdesing, suatu suara yang familiar, rintik hujan. Dengan lemah aku berdiri dan mencoba untuk duduk di kasur, kepalaku terasa berat namun terus kupaksa untuk menghadap ke arah laptop. Rintik air hujan menenggelamkan suara pramusaji yang menaruh kopi hangat di mejaku.
2 notes · View notes
nurawal · 3 months
Text
Pembuatan Meja Kasir , Meja Kursi Warkop, Meja Warung di Mojokerto Kami , Mebel Kita Mojokerto, berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam pembuatan mebelair, pembuatan meja kursi untuk berbagai macam keperluan. Kami berpengalaman dalam pembuatan meja warung, meja kantor, meja kasir, meja pelayanan warkop, meja resepsionis dan berbagai jenis meja lainnya untuk keperluan bisnis dan rumah…
0 notes
critcit · 2 years
Text
Nostalgia dan Klise
Tumblr media
Foto pertama dari klise negatif yang dicuci. Pada foto tersebut, aku mempotret kekasihku dari belakang. Hasil fotonya memiliki lightleak yang membuat foto itu seperti visualisasi potongan ingatanku.
Malam ini (8/11/22) aku datang untuk ketiga kalinya dalam rentang seminggu terakhir ke Bersoreria, salah satu tempat cuci film di daerah Prawirotaman. Aku datang pukul 20.18, parkir, masuk, kemudian menyapa seorang lelaki umur 40-an akhir yang walaupun jenggotnya panjang dan beberapa helai rambutnya mulai putih masih memancarkan aura anak muda.
"Mau ambil atau cuci film, mas?" Tanyanya.
"Enggak, mas. Ini, saya mau memastikan film yang kemarin saya cuci," sambil mengeluarkan gulungan klise film negatif.
Sabtu kemarin (5/11/22), aku dan kekasihku habis mengikuti workshop merangkai bunga. Di sana kami menghabiskan sisa exposure dari film yang sudah hampir setahun bersarang di kamera analog tipe rangefinder-ku, Ricoh 500GX. Selesai workshop berangkatlah kami ke Bersoreria untuk mencuci film itu.
"Jadinya besok ya, mas," kata seorang perempuan berhijab umur 20-an yang jaga di meja kasir, "Nanti kalau file digitalnya udah dikirim lewat drive, berarti klisenya udah bisa diambil," lanjutnya. Pulanglah kami dengan perasaan penuh debar, mengantisipasi hasil jepretan kami akan seperti apa.
Minggu siang (6/11/22), masuklah email dan link menuju drive tempat hasil scan klise film negatif yang kami cuci. Rasanya seperti nostalgia karena film itu mulai masuk kamera di kencan pertama kami setelah beberapa bulan terpisahkan oleh jarak. Ada juga beberapa foto pada waktu tertentu yang menunjukkan rambut gondrongku waktu itu.
Namun, ketika kulihat-lihat foto yang ada di drive rasanya ada yang kurang. Ternyata beberapa foto terakhir yang kami ambil di acara workshop itu tidak ada. Kebingungan, sore itu aku pergi ke Bersoreria untuk mengambil klise dan menanyakan jumlah fotonya.
"Sudah bener kok, mas," kata kasir itu.
"Mungkin itu karena underexposure, mas. Makanya gak bisa di-scan," sambut lelaki itu.
Penjelasan yang masuk akal pikirku, sebab aku baru sadar ISO film itu 200 dan bukan 400 setelah film dikeluarkan dari kamera yang aku setting untuk ISO 400. Langit sore itu sudah gelap, maka aku putuskan menerima penjelasan itu dan melaju pulang sambil berharap tidak kehujanan.
Aku kemudian sampai kos sekitar pukul lima sore dengan kabar baik dan buruk. Kabar baiknya adalah aku tidak kehujanan. Tepat saat hujan tiba-tiba deras dan angin bertiup kencang, tepat pula aku parkir di garasi. Kabar buruknya adalah setelah kuhitung dan urutkan klise filmnya, ternyata klise foto terakhir hilang.
Film yang kupakai adalah Kodak Color Plus ISO 200 36 Exposure, artinya nomor terakhir yang ada di gulungan klise harusnya 36, tapi di sana cuma sampai 31. Berangkat dari keraguan dan kebingungan itu, malam ini aku berangkat lagi ke Bersoreria.
"Oh iya, saya lupa jelasin lebih lanjut kemarin. Jadi karena gak bisa di-scan itu, saya potong. Salah saya, mas, harusnya klise yang terakhir tetap saya masukkan. Saya masih ingat, klise terakhir itu kosong soalnya. Maaf tapi mas, kayanya udah saya buang. Nanti saya coba cari, mudah-mudahan ada," lelaki itu menjelaskan, "Jadi pelajaran juga buat saya, mas. Saya gak kepikiran bakal ada masalah kaya gini. Ke depannya kalau ada yang kosong gitu juga, paling enggak saya ikutkan di gulungan klisenya".
Baiklah... Mau bagaimana lagi?
Setelah itu, aku sempat mau langsung pulang, tapi entah dari mana, aku rasanya ingin mengobrol dulu dengan lelaki ini. Basa-basilah aku bilang kalau mulai main analog karena baca Majalah Hai edisi khusus yang membahas hype kamera analog. Setelah ngubek-ngubek gudang dan ketemu kamera pocket milik bapakku, cobalah main analog dan keterusan sampai 2018 beli kamera rangefinder dengan pinjam uang teman dulu.
"Sambil duduk aja kali ya, mas?" Aku bilang ke lelaki itu. Lalu terlibatlah kami dalam pembicaraan seru soal bisnis kamera analog. Dia bilang harga mahal sekarang itu karena ada "mafia" yang pegang stok barang banyak. Sengaja dibikin langka supaya harga melambung, barulah barang dikeluarkan.
"Persis kaya kasus minyak goreng kemarinlah, mas," katanya.
Di saat itu, aku bersyukur sempat menggeluti jurnalisme jadi tipis-tipis punya kemampuan bertanya dan menjaga obrolan tetap berjalan. Pelan-pelan aku bertanya soal proses cuci film, stok barang, bisnis Bersoreria dan lainnya.
"Kalau lagi gak ada bos sih, pas saya cuci film boleh kalau mau liat prosesnya, mas," tawarnya, "Soalnya kalau pas ada, saya bisa dimarahin," ucapnya sambil nyengir. Aku tentu diam-diam berharap kesempatan bakal datang dan bisa melihat proses cuci film suatu saat nanti.
Dia juga cerita soal kelakuan-kelakuan lucu konsumen yang baru pakai analog. Suatu waktu ada dua perempuan dari Jakarta lagi wisata ke Jogja. Perempuan yang satu cakepnya luar biasa, tapi yang satu biasa aja katanya. Mereka jalan bareng, jepret foto bareng, cuci film bareng juga. Sewaktu hasilnya sudah jadi, perempuan yang cakepnya biasa ini protes, "Jangan mentang-mentang saya jelek, tapi temen saya cakep jadi hasil temen saya dibikin lebih cakep dong, mas," protes perempuan itu.
"Ya, saya diam aja, mas. Mau jelasin apa lagi coba? Permasalahannya bukan karena perempuan yang satu lebih cakep, tapi emang kameranya yang satu lebih cakep. Kan mau gak mau hasilnya tentu beda, ya?" terangnya, "Ya sudah saya ketawa aja sehabis kejadian itu. Kan kesalahan bukan di saya, tapi di kebodohan dia yang gak ngerti alat. Biasa saya dimaki-maki kaya gitu sama orang yang baru main analog dan ngeyel harusnya hasilnya bagus. Gak saya masukin hati yang kaya gitu, mas. Repot entar".
Aku bertanya beberapa hal pribadi juga. Ternyata lelaki itu asli Semarang dan sempat kuliah fotografi di IKJ walaupun gak selesai. Sudah hampir 30 tahun dia bekerja di bisnis fotografi, terutama analog. Baru sekitar awal 2021 dia pindah ke Jogja setelah ditawari mengurus cabang Bersoreria di Jogja.
"Suntuk saya di Jakarta, mas," ucapnya, "Apalagi setelah istri saya gak ada. Jadi ya, mlipir dulu lah ke jogja biar dapet suasana baru. Anak saya juga kuliah di UNY ikut mbahnya kok".
"Ini berarti masnya tinggal di toko ini?"
"Iya, di situ," menunjuk kamar kecil di samping ruang gelap tempat cuci film.
"Sendiri, mas?"
"Iya. Mbak kasir yang itu kan part-time, jadi kalau udah jam enam sore dia pulang," ucapnya. Menarik menurutku part-time di Bersoreria, kalau ada bukaan lagi aku akan coba daftar juga sepertinya. "Wah, tapi saingannya anak-anak Fotografi ISI, mas. Tapi ya keputusan di bos, bukan di saya kalau soal part-time," katanya.
Diam-diam aku menyadari kalau kemungkinan lelaki ini cuma lelaki biasa yang kebetulan sedang mengalami mid-life crisis. Tinggal sendiri, suntuk dengan suasana yang itu-itu saja, dan istri yang dicintainya sudah tidak ada lagi.
Tanpa terasa ternyata sudah pukul 21.15.
"Oh udah lewat jam sembilan, mas. Tutup jam sembilan kan ya, siapa tau masnya mau istirahat," ucapku sambil pamit.
Sambil berdiri aku berkata, "Oh iya, sorry, mas. Nama mas siapa ya?"
"Nama saya Yono," ucapnya sambil menyodorkan tangan berkenalan. "Saya Rizal, mas," balas saya kemudian menjabat tangannya.
"Saya pamit dulu ya, mas."
"Iya, maaf ya mas klisenya malah kebuang. Nanti kalau ketemu saya kasih tau," ucapnya lagi.
"Gapapa, mas. Santai," kataku sembari keluar dari toko.
4 notes · View notes
starstaeler · 3 days
Text
Arjuna Mahawira’s
Tumblr media
Spin Off
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sesampainya Naya di cafe tersebut Ia disambut ramah oleh salah satu pegawai cafe yang cukup mengenal dirinya karena saking seringnya Ia mengunjungi cafe itu.
“Haloo kak naya” sapa Jemi dari balik meja kasir.
“Hai ka jemi!” Naya balik menyapanya dengan semangat.
“Tumben banget jarang kesini”
“Iya nih lagi sibuk banget hehe”
“Oh iya lagi nyusun yaa?”
“Iyaa, ruwet banget deh”
“Hahaha semangaat, pasti selesai kok”
“Iya hehe makasih, seru banget cafe nya rame hari ini”
“Iya nih bersyukur banget, dari pagi banyak yang nongkrong juga.”
“Asik dong dapet bonus dari mas arsen.”
“Hahaha semoga yaa. Eh iya ini tadi Pak Juna mesenin buat kamu nih. Mau dianterin sekarang apa nanti?”
“Ohh boleh kakk, dianter sekarang aja.”
“Mau ada tambahan gak pesenannya?”
“Hm nanti dehh, yg dipesen kak juna dulu aja.”
“Yaudah kalo gitu, nanti dianter ya.”
“Siapp makasih ka jemi!”
“Sama-sama kak naya”
-
Setelah berbincang sebentar, Naya melihat sekeliling dan menemukan tempat yang pas untuknya berkutat dengan tugas akhirnya sembari menunggu sang kekasih datang.
Naya memilih meja yang terletak di tengah-tengah cafe tersebut, dengan kursi yang memanjang berbentuk huruf L dan terdapat dua buah meja bundar ukuran medium yang bisa ia gunakan untuk menaruh laptopnya dan beberapa makanan yang dipesan untuknya.
Tumblr media
Beberapa menit kemudian seorang pelayan cafe membawakan pesanannya. Kini mejanya terlihat cukup penuh dengan beberapa piring berisikan cemilan seperti satu potong strawberry cheese cake, mini cookies, serta kentang goreng dan sosis yang cukup menggodanya. Tak lupa salah satu minuman kesukaannya di cafe ini yaitu banaries yogurt, perpaduan buah naga dan pisang lalu dicamput dengan plain yogurt membuat minuman itu tampak segar.
-
Selagi menunggu Arjuna selesai dengan kegiatannya. Naya menyibukkan dirinya dengan menyelesaikan tugas akhirnya yang sedikit lagi akan rampung itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12:00, harusnya Arjuna sudah turun karena ini waktu makan siang. Tetapi tidak ada tanda-tanda pria itu akan muncul sesaat lagi. Bahkan tidak ada pesan apapun lagi darinya.
Jam makan siang hampir selesai dan Arjuna masih belum menunjukkan batang hidungnya. Naya sebenarnya tidak masalah jika memang Arjuna masih sibuk, namun Ia khawatir jika kekasihnya itu telat makan dan tidak bisa istirahat. Karena seingatnya tadi, Arjuna hanya sarapan dengan roti panggang dan kopi.
Selagi dirinya menunggu, muncul beberapa orang yang Ia tebak adalah karyawan di perusahaan kekasihnya. Karena sekumpulan orang ini memakai lanyard yang persis mirip milik Arjuna.
Orang-orang ini ternyata memilih duduk tepat di belakang meja yang Naya tempati saat ini. Sebuah meja panjang yang menyatu dengan sofa yang kini ia tempati.
Mereka duduk disana selagi menghabiskan waktu istirahatnya dengan menikmati es kopi yang mereka pesan dari cafe.
Naya berniat untuk memasang kembali air pod nya, agar tidak mendengarkan obrolan dari karyawan-karyawan tersebut. Ketika Naya ingin menyalakan musik dari handphonenya, jarinya terhenti ketika satu topik yang mereka bicarakan cukup membuatnya ingin mendengar lebih seksama.
“Eh lo tau gak sih, Pak Juna hari ini keliatan bete banget gara-gara client yang skrg telat sejam.”
“Ya wajarlah bete, udah telat dari waktu yang dijadwalin kok.”
“Tapi katanya dia bete karna waktunya jadi kepotong banyak hari ini padahal ceweknya mau dateng.”
“Yaelah kirain bete karena client nya gak professional. Ternyata gara-gara waktunya kepotong jadi gak bisa ketemu ceweknya.”
“Iya gitu dehh”
“Lagian itu ceweknya sering banget deh ke kantor, udah kayak karyawan sini aja anjir. Gatau apa dia tuh ganggu banget, gue kalo lagi butuh tanda tangan Pak Juna kadang jadi kehold mulu gara-gara lagi ada ceweknya.”
“Mana kadang seharian ya di ruangan Pak Juna.”
“Bener annoying banget.”
Deg, Naya rasanya ingin menangis dan kabur dari tempatnya. Tangannya mulai bergetar dan berkeringat.
“Tapi kalo ada ceweknya, mood Pak Juna jadi lebih bagus tauu. Apalagi kalo ada eval, biasanya dicecer terus, tapi kalo ada pacarnya dia kalem banget dan berubah jadi malaikat.”
“Yaiyalah orang ada yg nungguin dia juga.”
“Lagian kayak gak ada kegiatan lagi aja deh, sering banget gangguin kesini.”
“Kan emang masih mahasiswa tingkat akhir, katanya lagi nyusun.”
“Oh pantesan, masih bocah ternyata,”
“Eh tapi kemaren ada cewek yang dateng kesini katanya client dari jakarta itu mantannya Pak Juna tau.”
“Masa? Kata siapa lo?”
“Kata anak-anak sih pada ngomongin di pantry kemaren.”
“Cakep banget sih sumpah itu yg kemaren, lebih cocok Pak Juna sama dia daripada sama ceweknya yang sekarang.”
“Iya keliatannya lebih anggun dan lebih dewasa. Kemaren pas liat keluar dari ruangannya, beuhh aura nya gak maen-maen cocok banget.”
Tanpa mereka sadari, orang yang mereka bicarakan sedang mendengarkan dengan seksama.
“Hush kalian tuh masa ngomongin atasan kaya gitu sih.”
“Lagian emang bener kok, Pak Juna tuh cocoknya sama yang dewasa juga. Jadi enak liatnya.”
“Sama yang minggu kemaren kesini juga cocok tuh, yg nyariin Pak Juna.”
“Ahh yang pake dress putih itu gak sih? Iya itu juga cakep”
“Iya kalo yg itu katanya mantan tunangannya atau apa lah itu.”
“Wahh?”
“Iya, di ngenalin ke si Mila kaya gitu coba.”
“Hahaha tapi gue setuju sih sama yang itu. Cantik dan dewasa juga keliatannya.”
“Tapi aneh sih, kok sampe gak lanjut gitu tunangannya.”
“Eh bukan tunangannya tau, gue denger dari Pak Galen katanya itu mah dulu sempet mau dijodohin sm Pak Juna, tapi Pak Juna nya nolak.”
“Lah kocak wkwk dikasih yang bening begitu nolak.”
“Ya udah ketemu sm pacarnya yang sekarang kali.”
“Eh tapi ngapain ya masih nyariin Pak Juna kemaren, apa mau ada project juga? Setau gue gak ada project lagi deh”
“Belum move on kali, masih mau rebut Pak Juna.”
“Sembarangan banget ih kalo ngomong.”
-
Mata Naya sedari tadi sudah memanas, dan air mata itu mulai meleleh ke pipinya. Beruntung Ia buru-buru mengenakan masker yang Ia bawa saat orang-orang dibelakangnya mulai membicarakan dirinya.
Matanya kini total memerah karena menahan tangis ditengah-tengah keramaian cafe. Naya mencoba menghapus jejak air matanya, karena tidak enak jika Arjuna menemukannya sehabis menangis seperti itu.
Hingga suara dentingan dari pintu cafe itu menghentikan obrolan-obrolan dibelakangnya yang masih membanding-bandingkan dirinya dengan mantan Arjuna atau dengan siapapun yang berkunjung ke kantornya.
Dari sudut matanya Naya bisa melihat jika itu adalah orang Ia tunggu sedari tadi. Arjuna berhenti sebentar diambang pintu, menyisir ruangan cafe tersebut untuk menemukan sang kekasih.
Ketika Arjuna menemukan entitas yang dicarinya sedang berada di depan laptop berkutat dengan tugas akhirnya. Arjuna melangkah pelan menghampiri meja tersebut. Dengan terburu Naya menyalakan musik dari handphone nya dengan volume yang kencang.
Naya berpura-pura tidak menyadari jika kekasihnya sudah tiba di hadapannya.
Orang-orang dibelakang Naya tadi mencoba bersikap ramah pada Arjuna yang baru saja tiba.
“Eh Pak Juna. Baru selesai Pak?”
“Iya nih, lagi break makan siang dulu. Udah pada lunch?”
“Udah kok pak,”
“Oke kalo gitu, saya makan siang dulu.”
“Iya Pak, silahkan.”
-
Seketika karyawannya yang sedari tadi duduk dibelakang Naya terkejut bukan main ketika Arjuna mendudukkan diri di meja depan mereka yang sedari tadi ditempati oleh seorang perempuan yang mereka tidak sadari kalau itu adalah Naya, kekasih dari Arjuna.
-
“Hey sayang,” sapa Juna sambil menepuk bahu Naya pelan.
Naya sedikit terkejut, itu bukan acting. Kali ini ia benar-benar terkejut karena pikirannya masih berkabut setelah tidak sengaja mendengarkan obrolan dengan dirinya sebagai topik utama.
“Eh, ka juna, bikin kaget aja.” Naya merespon Arjuna sambil melepaskan airpods yang menempel di telinganya.
“Astaga ini volumenya kenceng banget, gak sakit apa telinganya.”
Naya menggeleng pelan sambil tersenyum, terlihat dari matanya yang membentuk bulan sabit.
“Sayang nunggu lama ya? Maaf ya, tadi banyak hal yang perlu dibahas dan agak ngaret mulainya makanya jadi lama. Ini juga kita break dulu nanti dilanjut lagi meetingnya habis ini.”
“Iya gapapa kok, kan akunya juga ngerjain bab 4 aku disini.. Maaf yaa akunya malah jadi ganggu Ka Juna meeting.”
“Loh apasih, kok ngomongnya gitu?” Arjuna menatap heran pada kekasihnya yang mengucapkan hal seperti tadi.
“Kan Ka Juna yang minta kamu kesini, kamu gak ganggu sama sekali.”
-
Sebenarnya Naya tidak sengaja berbicara seperti itu ketika orang-orang tadi masih duduk dibelakangnya. Namun, rasa bersalah Naya begitu besar setelah mendengar penuturan dari karyawan kekasihnya itu.
Beberapa orang tadi bergegas untuk segera beranjak dari tempatnya, dengan berpamitan singkat pada Arjuna yang ada didepannya, yang hanya dijawab dengan anggukan singkat pada karyawannya itu.
-
Naya masih enggan menatap kekasihnya yang masih betah mengelus rambut Naya sedari tadi Ia menemukan Naya.
“Iya pokoknya aku tetep minta maaf.”
“You didn’t do anything wrong baby, kenapa harus minta maaf? Liat sini sebentar coba”
Arjuna menarik dagu sang kekasih dan yang ia temukan adalah mata kekasihnya yang sudah memerah mengeluarkan air mata sedikit demi sedikit.
“Hey kok matanya merah ini? Sayang habis nangis?”
“Hah engga kok ini aku agak flu sedikit, mata aku jadi agak perih makanya merah ya?” Jawab Naya setenang mungkin agar kekasihnya itu tidak curiga.
“Serius? Kenapa gak bilang sayang? Udah minum obat?”
“Iya nih, makanya aku pake masker juga.. udah kok aku udah minum obat tadi sebelum kesini.”
Arjuna meraba pelan kening Naya untuk memastikan apakah suhu tubuhnya masih normal atau tidak.
“Syukurnya gak sampai demam. Sayang kalo gak enak bilang ya? Biar kamu nunggu di rumah aja okay?”
“Aku oke kok, cuma flu ajaa gak ada keluhan lain pak dokterr.”
Arjuna tersenyum gemas dan kembali mengusak pelan rambut Naya.
“Yaudah kalo gitu, ayo kita makan aja.”
“Oh iya wait.” Naya mengeluarkan kotak bekal dari tas kecil yang Ia bawa hari ini.
“Nih, habisin mam nya yaa ka junaa.”
“Okay sayang, thank you. Kamu juga bawa makan untuk lunch kan?”
“Bawa donggg,” kali ini Naya mengeluarkan sebuah kotak bekal bening, dan terlihat jelas apa isi dari kotak bekal tersebut.
“Yaampun, lagi mode sehat ya ini makannya sm salad?”
“Hehehe lagi mood mam salad jadi aku bikin deh.”
“Pinternya sayangku ini.”
Naya menjadi salah tingkah dibuatnya.
-
Keduanya sangat menikmati waktu makan siang mereka hari ini di cafe. Saling berbagi cerita dan yang satu tak hentinya memuji masakan dari yang lebih muda. Meski kondisi cafe cukup ramai, tapi tidak membatasi keduanya untuk saling memberikan afeksi kasih sayang.
“Enak banget sayang, makasih ya. Ini energi aku langsung full.”
“Lebay banget ish hahaha”
“Beneran lohh langsung seger aku.”
“Iya iyaa makasih juga ka juna udah habisin bekalnya yaa.”
“Iya sayangku, nanti aku boleh request gak ya?”
“Request apaa?”
“Ka juna mau juga dibawain lagi salad yang kaya tadi sayang enak banget seger.”
“Benerann seenak ituu??? Itu first try aku lohh.”
“Bener sayang, ka juna mau lagi.”
“Ohh okayy nanti aku bikinin lagi buat ka juna yaa.”
“Makasih ya sayangku.”
“Anytimeee kakk, oh iya ini ka juna break sampe jam berapa?”
“Ah iya 30 menitan lagi sih nanti ka juna balik lagi keatas.”
“Okk kalo gitu.”
“Sayang..” Naya kembali berbalik menghadap Arjuna setelah memasukkan kotak bekal yang sudah kosong kedalam tas kecil yang Ia bawa. Arjuna menyerahkan kunci mobilnya ke hadapan Naya.
“Sayang, ka juna minta maaf banget ini takutnya selesai lama, sayang kalo mau jalan-jalan dulu atau kemanapun boleh bebas ya bawa mobil ka juna aja gapapa sayang.”
“Masih lama banget yaa meetingnya?”
“Yes I guess, karena masih ada beberapa hal yang harus dibahas juga. Sorry akunya malah ingkar janji mau nemenin sayang ngerjain tugas akhirnya disini. Maaf ya sayang.”
“Loh gapapa kak, aku juga udah beresin kok tadi hehe nanti mingdep tinggal aku bawa pas bimbingan lagi..”
“Serius? Hebat banget sayang, aku doain biar bimbingannya mingdep lancar dan langsung acc”
“Aminnn..”
"Apa mau tunggu di ruangan aku aja ngga? Biar istirahat di dalem nanti." Tawar Arjuna kembali.
"Ah engga deh nanti aku gangguin ka Juna kerja.."
"Apasih kamu dari tadi ngomongnya gitu terus"
"Yaa maksudnya nanti ka juna gak fokus.. kan mau cepet selesain kerjaannya gituu, kalo aku disana nanti malah gak selesai-selesai"
"Agenda aku hari ini cuma meeting aja sayang, selebihnya nanti aku kerjain minggu depan sekalian di Bali."
"Iyaa tetep ajaa, gak enak ah aku diem di ruangan kamu terus, gapapa nanti kalo bosen aku jalan keluar aja yaa,"
"Aku cuma pengen kamu istirahat apalagi kamunya lagi flu kaya gini, takut kepala kamu pusing atau apa gitu,"
"Engga kok aku gapapa benerannn, engga pusing sama sekali."
"Gapapa gimana? Ini hidung kamu merah gini" ucap Arjuna sambil mengusap lembut hidung Naya yang sudah memerah.
"Ya kan wajar gak sih namanya juga flu,"
"Ini kamu yakin bukan habis nangis?"
"Yakin.. kok ka juna gak percaya ya?"
"Percaya sayang.. cuma khawatir aja kalo sampe berair gini matanya takut kamu kena flu berat.. atau sayang ke dokter aja deh kalo gitu"
"Aduh iya iyaaa nanti aku putuskan mau pergi kemana ya.."
"Yaudah nih kalo gitu, pegang kuncinya ya. Tolong dikabarin kalo mau keluar, dan kemananya"
"Iyaaa ih baweeeel, udah jam berapa ini nanti kamu dicariin,"
"Huhh yaudah ini aku tinggal dulu ya sayang? Hati-hati"
"Okay.."
Ketika Arjuna hendak bangkit dari duduknya, Naya memegang lengan kemeja panjang yang Arjuna kenakan. Tentu saja Arjuna menghentikan pergerakannya dan kembali memfokuskan dirinya pada yang lebih muda
"Kenapa sayang?"
"Akunya boleh dipeluk dulu sebentar ngga?"
Senyum teduh itu terbit dari wajah yang lebih tua. Arjuna dengan segera membuka lengannya dan menarik Naya kedalam pelukannya. Tidak perduli jika banyak pasang mata yang memerhatikannya. Naya mengeratkan pelukannya di tubuh Arjuna.
Dirasa sudah cukup mendapat pelukan dari sang kekasih. Naya melepas pelukannya dan menyuruh Arjuna untuk segera bergegas.
"Udah sana boleh keatas sekarang,"
Arjuna terkekeh melihat tingkah Naya kali ini.
"Iya sayang, ka juna keatas dulu ya."
"Okay, see you"
"See you baby, love you," Arjuna mengecup kening Naya singkat sebelum bangkit dan bergegas meninggalkan Naya kembali menempati kursi panjang itu seorang diri.
-
Setelah beberapa saat menimbang apa yang harus ia lakukan saat menunggu Arjuna selesai dengan urusan pekerjaannya. Naya memutuskan untuk berkeliling kota sebentar menggunakan mobil yang Arjuna titipkan padanya.
Nayapun segera merapikan barang-barangnya, untuk segera meninggalkan cafe tersebut. Ketika Ia sudah siap untuk meninggalkan tempat itu, matanya bertemu dengan seorang pria yang Ia kenal sebagai pemilik cafe ini yaitu Arsen.
"Loh Naya, baru kesini lagi ya? Udah dari tadi?"
"Mas Arsen! Iya nih aku udah dari tadi disini,"
"Kemana aja nih, sombong banget jarang main kesini. Sena sama ceweknya aja sering loh kesini,"
"Hah sena sama arin?"
"Yoiii"
Saat ini Arsen ikut bergabung dengan Naya duduk di tempat yang sudah Ia tempati sekitar 3 jam lamanya.
"Mau kemana ini udah beres-beres lagi aja? Mau ke atas ya ke ruangan Juna?"
"Hah enggaa aku mau keluar sebentar sambil nunggu ka Juna selesai meeting."
"Ngga nunggu diatas aja? Biar sekalian istirahat, biasa juga nunggu diatas"
"Engga ah gak enak haha gangguin ka juna kerja terus akunya. Lagian aku mau belanja kok ini"
Arsen hanya mengangguk tanda mengerti maksud dari apa yang Naya ucapkan.
"Mas Arsen tumben baru dateng siang?"
"Iya nih cuma mau ngontrol aja, soalnya tadi kata Jemi cafe lagi rame."
"Kasih bonus tuh Ka Jemi nya Mas Arsen"
"Hahaha aman aman,"
"Eh iya Mas Arsen, Mas Arsen sibuk banget gak hari ini"
"Engga kok, nyantai banget ini. Kenapa Naya?"
"Aku pengen ngobrol bentar boleh ngga ya?"
"Boleh dong, mau ngobrol disini apa di ruangan gue diatas?"
“Hmm enaknya dimana ya mas..”
“Di ruangan gue aja kalo gitu yuk.”
“Gapapa emang?”
“Gapapa dong, yuk.”
Naya akhirnya bangkit mengikuti Arsen menuju ke ruangannya yang terletak di lantai 2 bangunan cafe dan kantor ini.
“Duduk dulu aya”
“Okay thank you,”
Disinilah Naya sekarang, duduk di sofa empuk di dalam ruangan kerja Arsen berhadapan dengan sang pemilik ruangan.
“Eh mau minum gak?”
“Mas Arsen ajaa, aku udah kembung dari tadi minum terus. Ini bawa air putih kok.”
“Oke gue juga minum air putih doang kok.”
-
“Jadi kenapa Naya? Mau ngobrolin apa?”
“Hmm itu mas arsen, mas arsen tau mantannya ka juna ngga?”
“Mantan?”
“Iyahh, mantannya ka juna”
“Setau gue juna cuma punya dua mantan sih, satu waktu SMP, satunya lagi waktu SMA sampe kuliah. Kenapa emangnya?”
“Hmm berarti mas arsen tau dong mantannya yg mana?”
“Iya tau, cuma tau doang orangnya yang mana sih.”
“Kalo gitu mas arsen kemaren-kemaren liat ada mantannya ka juna kesini?”
“Ahh yg kemaren..”
“Iya mas arsen tau?”
“Tau sih, kemaren dia nanya juga kesini kantornya disebelah mana terus beli kopi juga sebelum dateng keatas. Gue lagi jaga di kasir soalnya.”
“Ah jadi bener ya..”
“Kenapa naya?”
“Kok ka juna ngga cerita ke aku ya..”
“Gue ngga tau sih, mungkin belum atau mungkin ya it’s not a big deal for him. Lo tau sendiri laki lo gakan ngomongin hal-hal remeh yang menurut dia gak penting.”
“Tapi mas, aku..”
“Loh Naya lo kenapa?”
Naya tidak dapat lagi membendung perasaannya. Air matanya luruh juga dihadapan Arsen.
“Mas Arsen, emang aku gak cocok ya sama ka juna?”
“Lo ngomong apa Naya? Siapa yg bilang begitu?”
Naya menggeleng lemah sambil terisak. Naya akhirnya menceritakan semua yang Ia dengar beberapa saat lalu. Arsen tidak habis pikir dengan orang-orang yang membicarakan atasannya seperti itu. Mengatur orang lain harus berpasangan dengan orang yang menurut mereka cocok adalah hal yang sangat tidak sopan.
-
“Jujur aku sakit hati banget pas denger itu mas, aku gak ngerti salah aku dimana sampe mereka se gak suka itu sama aku”
“I know, alasannya ya entah mereka iri atau emang lo bener-bener ngelakuin kesalahan. Karena disini lo gak ada salah apapun sama mereka, ya udah pasti mereka iri sama lo aya. Sebenernya gue juga kadang denger sih, emang habit nya aja ngomongin orang.”
“Emang harus banget ya ngomongin bos nya harus sama siapa biar keliatan cocok. Aku bener-bener sakit hati karena ka juna juga ngga pernah cerita kalo ada mantannya dateng ke kantor bahkan si mba clara itu juga dia gak ngomong apa-apa sama aku.”
“Hm menurut gue, lebih baik lo kasih tau semua apa yang lo denger hari ini ke Juna sih. Ditanyain baik-baik juga soal mantannya dan si clara itu dateng ke kantor mau ngapain.”
“Aku lagi gak pengen ribut mas, hari minggu dia berangkat ke bali. Aku gak pengen ditinggal ldr dalam keadaan gak baik-baik aja.”
“Iya makanya diberesin dari sekarang, obrolin apapun yang bikin lo ganjel. Gue yakin Juna akan nanggepin semuanya dengan bijak dan gakan balik marah sama lo.”
“Tapi kalo soal karyawannya aku bingung mas harus gimana, aku takut dia bertindak aneh-aneh deh:(“
“Itu konsekuensi sih sebenernya kalo mereka dapet sanksi dari Juna. Bukan soal kerjaan dia yang gak capable atau apapun, tapi juga soal attitude. Yakali Juna diem doang calon istrinya diomongin yang engga-engga sama karyawannya.”
“Aku pikirin lagi deh kalo soal itu, sebenernya aku ngerekam anu sih,”
“Lo ngerekam obrolan mereka? Bagus dong lo jadi punya bukti kuat.”
“Tapi ini lebay gak sihh mas? Kayak ini cuma soal aku yang sakit hati doang tapi jdi ngerembet kemana-mana.”
“Gue yakin, Juna bakal cari jalan keluar yang gak akan ngerugiin siapapun termasuk perusahaan dan bahkan lo juga Naya.”
Naya kembali terdiam sambil menata kembali nafasnya tersengal karena menangis dari tadi
“Minum dulu nih, sesek itu nafasnya kasian.”
“Iya makasih”
-
Naya terdiam sesaat, terlalu banyak hal yang Ia pikirkan saat ini. Hingga akhirnya Ia memutuskan untuk berpamitan pada Arsen untuk pergi entah kemana.
-
“Mas Arsen, aku keluar dulu deh kalo gitu. Makasih ya udah dengerin aku, sorry jadi ganggu waktunya.”
“It’s ok naya, gausah sungkan. Juna adik gue, otomatis lo juga adik gue.”
“Mas Arsen baik banget huhu pokoknya makasih yaa.”
“Iya naya anytime, trs ini skrg mau kemana?”
“Hmm belum tau sihh, yg penting keluar dulu aja deh.”
“Gamau nunggu disini aja? Biar sekalian istirahat juga. Itu mata udah bengkak gitu lagian.”
“Engga ah, biar gak kepikiran yang aneh-aneh terus aku harus banyak bergerak.”
“Hm yaudah hati-hati ya, kabarin Juna jangan lupa.”
“Iya, ini kan aku bawa mobilnya ka Juna.”
“Iya ok, tetep kabarin ya atau ga kabarin gue juga gapapa.”
“Oke siap, pergi dulu yaa.”
Naya pun melangkah keluar menjauhi ruang kerja Arsen yang berada disudut gedung itu.
-
Kini Naya terduduk lemas dibelakang kemudi, masih terngiang kalimat-kalimat jahat yang Ia dengar beberapa saat lalu itu. Dirinya kembali ingin menangis, memikirkan banyak kemungkinan.
Naya menangis hebat di dalam mobil Juna, mengeluarkan seluruh emosinya hingga beberapa menit lamanya.
Dirasa sudah agak cukup tenang, Ia pun bersiap mengemudikan mobil itu. Entah menuju kemana, yang pasti Ia harus mendistraksi dirinya. Meski tangannya masih gemetar saat memegangi kemudi didepannya.
Tidak banyak tempat yang bisa Ia kunjungi saat ini. Naya sudah membawa mobil itu cukup jauh dari tempatnya semula. Ia berkali-kali berhenti untuk memilih apakah Ia harus turun dan masuk kedalam atau tidak.
Setelah perdebatan batin yang cukup panjang ia lakukan. Akhirnya Ia memutuskan untuk membawa mobil itu ke halaman parkir sebuah salon kecantikan langganannya.
Mendapatkan hair treatment sepertinya bukan hal yang buruk untuk mengusir ingatan akan kejadian beberapa saat lalu.
-
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00, seharusnya Arjuna masih memiliki waktu untuk bekerja satu jam lagi. Namun, ketika rapat yang Ia lakukan bersama client nya tadi sudah selesai semua, Ia langsung membenahi seluruh barang-barangnya dan bergegas menuju ruangannya sendiri.
Arjuna mencoba menghubungi Naya namun tidak ada jawaban dari kekasihnya itu.
Hingga akhirnya Arjuna meminta bantuan salah satu karyawannya untuk menghubungi cafe dan menanyakan apakah Naya ada disana atau tidak.
“Mila, saya minta tolong tanyain ke Jemi ya, Naya masih ada dibawah apa engga. Nanti info lewat extension aja ya.”
“Oh baik pak.”
-
Setelah meminta bantuan pada karyawannya itu, Arjuna segera memasuki ruangannya dan terus mencoba menghubungi kekasihnya.
Tumblr media
-
Ditengah gundahnya Arjuna menunggu jawaban dari Naya. Satu dering telepon memecah fokusnya. Sesegera mungkin Ia mengangkat panggilan tersebut.
“Halo Pak,”
“Ya Halo gimana Mila? Naya ada dibawah?”
“Kata Mas Jemi, Kak Naya udah pergi dari jam 2 atau setengah 3 gitu.”
“Bilang ngga itu perginya kemana?”
“Engga katanya Pak,”
“Yaudah kalo gitu, makasih Mil.”
“Iya Pak.”
-
Arjuna semakin dibuat khawatir oleh kekasihnya yang tidak bisa dihubungi itu. Akhirnya Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju cafe untuk bertanya lebih jelas tentang keberadaan Naya.
-
Disisi lain, Naya sedang menikmati kepalanya yang sedang diberi pijitan halus untuk menghilangkan pening dikepalanya saat ini.
Naya sebenarnya sadar jika Ia belum mengabari kekasihnya kemana Ia akan pergi. Terlalu kalut dengan pikirannya sendiri hingga Ia melupakan hal tersebut.
Terasa beberapa getaran yang bersumber dari tas kecil yang Ia taruh di meja rias dihadapannya saat ini. Untuk yang satu ini, Naya sengaja tidak ingin membuka ponselnya selama Ia melakukan perawatan diri.
-
Arjuna tiba di cafe langsung mencari cari keberadaan sang terkasih, Ia harap Naya sudah kembali menunggunya di cafe. Namun nihil, Arjuna tidak menemukan presensi Naya sama sekali di ruangan bernuansa earth tone itu. Hingga ia menemukan Jemi yang sedang berjaga dibelakang kasir. Ia pun menghampiri Jemi untuk menanyakan keberadaan kekasihnya.
-
“Jem!”
“Eh Pak Juna..”
“Jem, Naya kemana?”
“Ah ka Naya ya, tadi habis ngobrol sama mas Arsen langsung pulang, oh iya pesenan yang tadi siang juga udah dibayar semua sama ka Naya.”
“Serius?”
“Iya, tadi saya bilang jangan tapi ka Naya nya maksa buat bayar bills nya, sorry ya Pak”
“It’s ok, tadi Naya ngga bilang mau kemana?”
“Engga Pak, habis bayar tadi kak Naya langsung keluar. Tapi agak aneh sih saya liat matanya agak sembab gitu kayak habis nangis.”
“Nangis? Kamu tadi liat Naya ngapain aja gak jem?”
“Waduh engga tuh Pak, saya gak terlalu merhatiin juga.”
“Hhh yaudah, trs sekarang mas arsen kemana jem?”
“Tadi lagi dibelakang sih bantuin tim kitchen, mau dipanggilin?”
“Iya tolong ya Jem.”
-
Pemuda jangkung dengan apron yang menempel ditubuhnya itu bergegas menuju dapur dimana Arsen tengah membantu team nya berada dan memanggilnya atas permintaan Arjuna tadi.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Arsen keluar dari dapur dan menghampiri Arjuna yang kini tengah menunduk memijit pangkal hidungnya karena kepalanya terasa pusing sekali saat ini.
-
Arsen menepuk pundak Arjuna untuk memberitahu keberadaannya. Arjuna yang terlihat frustasi sontak mendongak dan ingin segera memberondong Kakak sepupunya itu dengan berbagai pertanyaan.
“Ngapain? Kok tumben udah keluar?”
“Mas tadi lo ngobrol sama Naya? Ngobrolin apa? Naya kemana sekarang?”
“Wow chill bro chill, satu satu tanyanya okay? Gue nanya duluan malah balik nanya lo”
“Okayy sorry sorry, gue udah selesai meeting, mau langsung cabut sama Naya tapi anaknya gak ada. Sekarang lo jawab pertanyaan gue tadi.”
“Astaga, gue kayak lagi disidang aja ini.”
“Yaelah mas cepetan, Naya kemana? Anaknya gabisa dihubungin ini.”
“Iya iya santai, gue tadi emang sempet ngobrol berdua sama Naya diatas. Hm lebih tepatnya emang Naya yg reach out gue duluan buat ngobrol sih.”
“Ngobrolin apa?”
“Ngomongin lo”
“Hah? Soal apa?”
“Juna, Naya lagi gak ok, she’s over think about you. Gue kasih hint deh, Naya tau soal mantan lo dateng kesini beberapa hari lalu, oh soal si clara kesini juga dia tau.”
“What? Dia tau darimana? Lo yg ngasih tau?”
“Gue gak ada kerjaan banget ngasih tau si bocil soal begituan. She’s heard everything bad. Dan gue juga jadi bertanya2 kenapa lo gak ceritain itu sm dia? She’s deserved to know Jun.”
“Maksudnya gimana? Dia denger apaan?”
“Better lo tanya sendiri sama anaknya, dan jelasin baik-baik alasan lo gak ceritain soal itu kenapa.”
“Gue bukan gak mau cerita, tapi emang belum sempet. Akhir-akhir ini kerjaan lagi packed banget, dia pun harus fokus ngerjain skripsinya. Masa waktu gue yang sedikit itu gue pake buat ngomongin hal gak penting. Gue cuma pengen ngobrolin soal gue sm dia doang, gak pengen ngomongin soal yg lain.”
“Ya menurut lo gak penting, tp bagi Naya kan itu hal sensitif.”
“Terus ini gue harus gimana? Anaknya sekarang gak bisa dihubungin. Gue khawatir bgt sumpah.”
“Ya tinggal jelasin dengan jujur sm Naya kalo itu emang alesan lo. Anaknya keburu overthinking tuh.”
“Arghhh, terus ini Naya kemana?”
“Emang dia gak ngabarin ke lo?”
“Engga sama sekali, ini ditelpon juga gak diangkat.”
“Hadeh itu bocah, gue juga gatau dia mau kemana. Tadi bilang pengen cabut aja biar gak sumpek. Udah ditawarin biar istirahat di ruangan gue juga gak mau.”
“Dia gak bilang sama sekali mau kemana mas?”
“Engga jun, padahal gue udh suruh buat ngabarin lo aja kalo cabut kemana. Mungkin dia lupa, nanti juga anaknya ngabarin. Lo tenang dulu aja.”
“Gimana gue bisa tenang, disaat dia aja mood nya lagi kacau.”
“Percaya, sebentar lagi anaknya bakal hubungin lo.”
Arjuna mendesah frustasi memikirkan dimana kekasihnya saat ini dengan keadaan suasana hati yang tidak baik-baik saja. Apakah ia pulang ke rumahnya? Atau kemana Arjuna tidak tahu.
“Ada lagi yg mau ditanyain ngga? Gue mau balik ke dapur kalo udah selesai.”
“Udah mas, gue mau nunggu Naya dulu disini.”
“Okay gue ke belakang dulu kalo gitu, gausah khawatir dia pasti baik-baik aja.”
“I hope so.”
-
Arjuna berinisiatif untuk bertanya kepada ibu Naya, apakah Naya ada di rumah atau tidak. Namun belum sempat Ia bertanya, ibunya sudah bertanya duluan apakah Naya sedang bersamanya atau tidak. Akhirnya ia pun memberi tahu jika Naya sedang keluar dan Arjuna sedang menunggunya di kantor, serta Ia pun meminta izin pada ibunya Naya untuk Naya boleh menginap di apartemen nya selama dua hari kedepan karena Arjuna akan berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan untuk waktu yang lumayan lama. Beruntungnya Arjuna, karena sang ibu memberikan izin padanya untuk membawa Naya menginap di apartemennya.
-
Selagi menunggu kabar dari Naya, Arjuna mengeluarkan kembali laptopnya untuk memeriksa kembali beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Hingga beberapa waktu kemudian, muncul notifikasi dari yang ditunggunya sejak tadi.
-
1 note · View note
captaincrow13 · 8 days
Text
Hi... its me again...
saat ini pagi jam 08:22
aku duduk di sebuah kursi palstik dengan kaki besi, kursi yang kubeli setelah kursi yang lama rusak , sebuah kursi empuk yang bisa berputar, dengan warna hitam.
aku duduk di belakang sebuah meja berwarna coklat yang kutambahkan kaca yang cukup tebal diatasnya, agar awet begitu pikirku ketika memutuskan membeli kaca teraebut, kacanya pecah setelah kuguanakan beberapa hari.
aku duduk dibelakang sebuah meja , meja yang kugunakan menjadi meja kasir, meja kasir untuk warung kecilku. Warung kecil yang kurintis sekitar 2 tahun lalu. warung kecil yang memuat banyak harapanku.
aku duduk di warung kecilku ,sebuah warung kecil yaang menghadap kejalan. aku mengetik sambil mendengarkan taeyon yang menyanyi dilaptopku,aku berusaha mengeluarkan pemikiran yang menumpuk dikepala , berharap akan meredakan kebisingan yang ada di kepala.
0 notes
candylommss · 13 days
Video
youtube
Mils Tab Stand Holder bisa putar 360 derajat! Review Mils Stand Tablet I...
Link Pembelian Termurah : https://shope.ee/6047WXYky0
Link Grup Komunitas Meja Unbox : Grup WhatsApp : https://chat.whatsapp.com/BiEQ2v8IDsg... Grup Telegram : https://t.me/+Yg5a0rFFgmc2ZDFl
Jika kamu adalah user Tab seperti ipad, galaxy tab, ataupun microsoft surface, hal yang paling cape adalah posisi penggunaan yang membuat kita sedikit membungkuk, yang dimana sangat tidak bagus untuk postur tubuh kita.
Kini hadir Stand Tablet dari Mils, yang bisa berputar 360 derajat, tinggi rendah bisa disesuaikan, kokoh, dan bahannya 100% menggunakan aluminium berkualitas yang memiliki desain yang sangat estetik, cocok buat kamu yang mau pake jangka panjang, karena kamu bisa memakai spand ini untuk tablet jenis apapun
Saya sendiri sangat menyesal baru tau sekarang, karena dulunya saya sering pakai tab dan agak kesulitan untuk masalah stand
Untuk link pembelian TERMURAH : https://shope.ee/6047WXYky0
YouTube : youtube.com/MejaUnbox TikTok : tiktok.com/mejaunbox Instagram : instagram.com/meja.unbox Facebook Page : facebook.com/mejaunbox Twitter : x.com/MejaUnbox
stand ipad stand ipad terbaik stand ipad goojodoq stand ipad pro stand ipad mobil stand ipad pubg stand ipad untuk menggambar stand hp diy stand ipad murah stand tab stand tablet stand tablet 11 inch stand tablet 10 inch stand tablet kasir stand tablet mobil stand tablet terbaik stand tablet diy stand tablet goojodoq stand tablet stand tablet 11 inch stand tablet 10 inch stand tablet kasir stand tablet mobil stand tablet terbaik stand tablet diy stand tablet goojodoq membuat stand tablet mona stand tablet cara membuat stand tablet rekomendasi stand tablet ipad ipad mini 6 ipad air 5 ipad pro m2 ipad 10 ipad air 2 ipad gen 9 ipad mini 7 ipad pro ipad view pubg mobile ipad air 4 ipad air ipad air 3 ipad air 1 ipad air 2 pubg test ipad air 5 pubg ipad air 6 ipad air 5 pubg test a ipad air 5 a ipad mini a ipad pro max apple ipad apple ipad 10th generation galaxy tab galaxy tab a9 galaxy tab s9 fe galaxy tab s9 galaxy tab pro 11 galaxy tab a9+ 5g galaxy tab s8 galaxy tab a7 lite galaxy tab s9 ultra galaxy tab a8 galaxy tab a9 plus galaxy tab a7 galaxy tab a9 wifi galaxy tab a9 lte galaxy tab a8 lte galaxy tab a9 2023 a9 galaxy tab a8 galaxy tab about samsung galaxy tab a7 lite a7 galaxy tab lite accessories for galaxy tab s9 accessories for galaxy tab s9 ultra aesthetic samsung galaxy tab a8 aesthetic samsung galaxy tab s6 lite how to reset a samsung galaxy tab a galaxy tab bekas galaxy tab battery replacement galaxy tab budget galaxy tab book cover keyboard galaxy tab black screen galaxy tab bypass galaxy tab best galaxy tab a bootloop galaxy tab murah berkualitas galaxy tab s9 beige huawei tab huawei tablet huawei tablet 2023 huawei tab se huawei tab gadgetin huawei tablet matepad 11 huawei tab 2 jutaan huawei tab 11.5 huawei tab t10s huawei tab 13.2 huawei tab 11 huawei tab 10.4 huawei tab anak huawei tab terbaru huawei tab air huawei tab aesthetic huawei tab ags2-l09 frp bypass huawei tab ags-l09 frp bypass huawei matepad vs samsung tab a8 huawei matepad vs samsung tab a7 lite huawei tab unboxing aesthetic huawei mate tab air huawei tab google account cara download aplikasi di tab huawei samsung tab a9 vs huawei matepad se huawei matepad air vs samsung tab s9 fe huawei matepad air vs samsung tab s8 tab huawei matepad air huawei matepad air vs samsung tab s9 samsung tab a9 plus vs huawei matepad 11.5 huawei matepad air vs samsung tab s7 fe
0 notes