#meja kasir
Explore tagged Tumblr posts
Text
Pembuatan bangku kursi meja untuk sekolah, ponpes, warung dll
Kami Mebel Kita Mojokerto, berpengalaman dalam pembuatan mebel kayu lebih dari 30 tahun. Melayani pembuatan bangku kursi meja untuk berbagai macam keperluan. Untuk sekolah, pondok pesantren, warung makan, warung kopi, meja lesehan, kursi santai, kursi teras dan sebagainya.Lokasi kami di Mojokerto, melayani pengiriman ke seluruh Jawa Timur.Silahkan hubungi kami melalui telpon/sms/whatsapp 0858…
#bangku kayu#meja kasir#meja kursi#meja resepsionis#meja rumah makan#meja warkop#meja warung#mojokerto
0 notes
Text
Ternyata, bahagia bukanlah sebuah tujuan. Ia adalah serangkaian perjalanan.
Sore tadi aku —sebagai penggemar jalan kaki, melakukan perjalanan kecil menuju Indomaret yang hanya 850 meter jauhnya dari tempat tinggalku. Pergi membeli sebotol jus jambu yang tak pernah tergantikan posisinya dalam jajaran kandidat jus yang kukehendaki. Bagian menariknya bukan soal perjalanan kecilku, tapi tentang seorang kakek dengan kulit legam dan rambut ikal tak terawatnya yang berpapasan denganku di dekat meja kasir. Kakek itu hanya membeli sebotol air mineral. Tetapi kilau matanya sama bersinarnya seperti kilau mata yang akan aku pancarkan ketika aku berhasil membeli satu pesawat pribadi. Sengaja aku menyapanya yang duduk di bangku sambil meneguk air dari botol yang mulai berembun. Berceritalah ia begitu senangnya bisa memasuki tempat ini, baginya semua terlihat mahal dan ia tak berani untuk sekedar menjajakan ibu jarinya. Maka membeli sebotol air mineral dari Indomaret terasa seperti berada pada level baru kehidupannya.
Oh, ternyata ada ya orang yang begitu sumringah hanya karena dapat membeli sebotol air mineral di Indomaret. Bagiku berlalu-lalang di pintu Indomaret sudah tak dapat kuhitung lagi jumlahnya, teramat sering dilakukan hingga terasa biasa saja. Tapi, bagi beberapa orang yang beruntung, satu langkah melewati pintu itu terasa seperti sebuah perayaan yang istimewa yang dipenuhi binaran pada matanya.
Waduh, lagi-lagi aku lupa. Terlalu banyak hal berkecamuk dalam kepalaku beberapa hari terakhir, perihal syukur dan ragu, juga perihal yakin dan takut. Aku paham betul tak seharusnya aku membiarkan mereka berngiang dalam kepalaku. Namun aku dengan segala kesombonganku berpikir bahwa semuanya harus kuatur sedemikian rupa agar aku merasa lebih baik. Padahal punya kuasa untuk mengintip nasib saja tidak, tapi aku bertindak seolah semua akan berjalan dengan benar jika aku yang memimpin diriku sendiri. Hingga aku menempatkan semua ambisi dalam daftar prioritas dengan berjubel, membuatku cukup khawatir dan tak tenang, serta sedikit lupa untuk berbahagia.
Untungnya, sore ini aku kembali diingatkan bahwa bahagia itu sendiri berasal dari tenangku terhadap hal yang sederhana. Menjadi bahagia kadang memang terasa tak semudah seperti menekan tombol 'menjadi bahagia' lalu seisi dunia akan berjalan mengikuti ritmeku begitu saja. Sejatinya menjadi bahagia memang sesederhana menekan tombol 'menjadi bahagia' itu saja. Sebab semuanya berasal dari pilihan dan kemauan, sebagai dua hal paling sederhana yang terasa rumit dalam pertimbangannya —apalagi ketika tengah melalui masa yang tidak mudah. Tetapi untuk terus merasa beruntung adalah sebuah pilihan dan kemauan. Sebab merasa beruntung dengan hal-hal sederhana terurai sebagai bentuk manusia mengakui nikmat kehidupan.
Whenever I feel life is uneasy, Tuhan selalu mengingatkan dengan membawaku kembali membumi. Tentang bagaimana benda-benda luar angkasa yang berukuran raksaksa itu dibentuk dari debu-debu asteroid yang ukurannya berbanding jutaan kali lebih kecil. Tentang bagaimana pohon ek yang berlingkar lebih dari satu depa dalam sinema juga berasal dari sebuah biji yang ukurannya hanya sebesar genggaman tanganku. Tentang bagaimana aku sebagai sapiens yang juga tersusun dari komponen atom-atom dalton yang bahkan mata telanjangku saja tak dapat melihatnya.
Maka dari itu kukatakan, bahagia bukanlah tujuan sebab ia adalah serangkaian perjalanan. Tak datang dalam bentuk yang tiba-tiba besar, namun dimulai dari ukuran 'sederhana'. Terus dilipatgandakan hinga ukurannya bisa bermilyar kali lipat dari 'sederhana'. Namun ketika bahagianya sudah lebih besar, janganlah lupa dengan rasa tenang dalam kesederhanaan-kesederhanaan yang kecil ukurannya. Tuhan maha baik, aku seharusnya memperbanyak syukur dan menguatkan yakin.
23 notes
·
View notes
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
31 notes
·
View notes
Text
Anak Sejuta Cerita
Saya dan Piti dipertemukan melalui tulisan.
Piti hobi menulis, saya rajin membacanya. Saya hobi menullis, piti juga rajin membacanya.
Kami menikah, lalu lahirlah humayra. Pelajaran penting pertama, tulisan bisa melahirkan anak manusia.
***
Dasar menulis adalah bercerita. Meski setelah menikah kami jarang menulis. Tetapi di rumah, kami tidak berhenti bercerita.
Kami membawa kebiasaan bercerita dalam perbincangan sehari-hari. Jika ada satu hal menarik yang terjadi di hari itu, kami akan tambahkan struktur cerita, sedikit analogi, lalu jadilah cerita. Mungkin ini yang menyebabkan, humayra juga sangat suka dengan cerita.
Memang selain itu, Piti sangat boros dengan buku anak-anak. Bersyukurnya, humay juga mendukung keborosan itu dengan membaca dan mendengarkan cerita dari buku yang Piti beli.
Lalu apa saya mendukungnya? Jawabnya antara ya atau tidak.
Ya, karena membaca buku adalah aktivitas yang baik untuk humay,
Tidak, karena saya merasa tersaingi.
Saya memiliki impian untuk memiliki perpustakaan pribadi. Sudah lewat umur 30 tahun saya belum berhasil mewujudkan cita-cita tersebut. Tetapi, Humay yang berusia 5 tahun sudah berhasil memiliki 3 buah rak buku dengan variasi buku anak-anak yang bermacam-macam: pop up, soundbook, touchbook, dan berbagai macam jenis buku lainnya.
Bagi humay, buku-bukunya adalah harta karun. Seperti bajak laut yang cinta harta karun, humay tidak ingin bukunya tersebut dibagi. Contohnya baru kemarin terjadi, TK tempat humay bersekolah menyelenggarakan program donasi buku.
Dan si Bajak Laut, tidak ingin satupun bukunya disumbangkan. “Nanti kalau humay sudah SD, baru boleh.”
Sampai dengan tulisan ini ditulis, kami berdua masih melakukan lobying dengan Humay.
***
Karena cerita itu butuh bumbu, kami perlu mendramatisasi beberapa hal yang sebetulnya biasa saja. Dan mungkin itu yang membuat, keluarga kami cukup punya drama ….. dalam arti yang positif.
Pernah pada suatu malam, saya bercerita.
“Kak Humay, sini, ayah punya cerita.” Setelah saya berpikir ada satu kejadian yang menarik di hari itu.
“Apa yah?” humay mulai duduk menyimak
“Ayah tadi habis makan bakso. Di depan meja ada satu mangkok bakso dengan kuahnya, lalu ada satu mangkok lagi berisi saus kecap dan sambal, dan terakhir ada satu gelas es jeruk. Karena ayah lupa ambil sedotan, Ayah pergi ke meja dekat kasir mengambil sedotan. Trus ayah taruh sedotannya, eh, ternyata ayah naruh sedotannya di mangkok bakso.” Sebetulnya, ini cerita yang sangat biasa.
“Hahahahahahaha. Ibu sini ibu. Masa Ayah naruh sedotan di mangkok bakso.” Sambil lari-lari kecil ke ruang tamu menghampiri Piti.
Saya sebetulnya agak khawatir dengan selera humor humay.
***
Kebiasaan kami bercerita ternyata punya dampak yang sangat positif bagi Humay.
Pada suatu pagi menjelang siang, Piti menjemput Humay di TK. Wali kelas Humay menyampaikan ke Piti bahwa dia cukup terkejut dengan kosakata yang Humay sering gunakan saat berbincang.
“Ibu guru, ini tadi humay sudah memilah-milah tugasnya untuk dikumpulkan” kata Ibu Guru menirukan kalimat humay.
Kata memilah-milah menurut Ibu guru bukan kosa kata yang umum digunakan oleh anak di usia TK.
Saya dan Piti jadi ingat, sepertinya kata ‘memilah-milah’ humay kenali dari buku yang dia baca. Ada satu buku yang menjelaskan aktivitas memilah buah dan humay sering membaca buku tersebut.
Jadi jika digambarkan proses humay bercerita di sekolah adalah seperti ini: humay mendapatkan cerita dari rumah, lalu menceritakan cerita tersebut di sekolah.
Saya berharap, semoga humay tidak menceritakan ‘sedotan dalam mangkok bakso’ pada teman-temannya.
Atau semoga teman-teman humay punya selera humor yang sama dengan Humay.
Dan jika selera humor mereka sama, saya yakin saya bisa berteman baik dengan teman-teman humay.
Mungkin kita bisa mulai dengan membentuk grup whatsapp.
Karena cerita punya dampak yang sangat positif bagi kami bertiga. Sangat disayangkan jika cerita tersebut tidak memiliki bentuk tertulis.
Akhirnya, saya beride untuk kembali aktif menulis. Dengan harapan, semoga kelak tulisan ini bisa humay baca dan mengingatkan dirinya bahwa humay adalah anak dengan sejuta cerita.
21 notes
·
View notes
Text
📍Kineruku - Hegarmanah, Bandung.
Secuil ulasan dari pengalaman mampir ke Kineruku ;
Book cafe konsep rumahan ini letaknya di area yang cukup sepi. Adem dan ga berisik karena bukan di pusat kota. Pertama dateng langsung disambut pegawai kafe yang ngasih tau rules baru. Ternyata ga boleh bawa tas ke dalam dan harus dititipkan di loker. Di dalam kafe juga tidak disediakan colokan atau wifi.
Area pertama di dalam toko yaitu kasir di sebelah kiri yang disambung pintu masuk ke bagian dapur. Area tengah diisi meja display yang ngejual perintilan buku dan aksesori. Bagian tembok depan dan kanan dipenuhi rak buku baru yang dijual. Masih sebelah kanan, ada ruangan khusus pegawai, lalu toilet dan mushola.
Masuk ke area perpustakaan -yang ternyata tidak terlalu besar-, dilengkapi rak dengan banyak buku-buku yang dikategorikan sesuai genrenya. Koleksinya cukup banyak, termasuk buku lama dan buku berbahasa Inggris. Aku bisa nemuin banyak buku yang pengin dibaca sejak lama. Funfact : aku nemuin buku Don Quixote-nya Miguel de Cervantes. "...so come and call me Don Quixote". ⚔️🎶
Setelah bimbang nyari buku mana buat dibaca, akhirnya kupilih Manifesto Flora oleh Cyntha Hariadi. Bukunya tipis, tapi hanya habis dibaca 6 halaman aja.
Lanjut pesan makan. Aku dengan Eskosu dan Kentang Goreng, Teh Niken dengan Capuccino dan Pisang Goreng. Kami pilih duduk di kursi sebelah jendela. Ga terlalu dekat dengan pengunjung lain, jadinya ga akan menganggu kalo tiba-tiba kami banyak ngobrol.
Hal yang disayangkan dari kafe ini cuma jam bukanya aja yang sebentar. Dari 11.30 sampai 17.30. Selain itu, semuanya suka. Tempatnya homey dan sejuk, bukunya lengkap, makanannya enak.
Semoga nanti bisa lebih sering lagi dateng kesini.✨
5 notes
·
View notes
Text
Origami Perahu
Hanya satu meja itu yang kosong sore ini. Di permukaannya masih ada gelas bekas seseorang yang duduk di sana. Barista dan kasir toko kopi itu masih berjibaku dengan pesanan orang lain termasuk pesananku. Tidak ada waktu untuk membereskan meja pelanggan yang minumannya sudah tandas.
Origami perahu itu ada di sana. Di satu-satunya meja kosong tersisa yang bisa aku tempati. Bekas setruk yang menjadi lipatan perahu kertas itu amat rapi—seperti buatan dan kebiasaan seseorang yang kukenal. Masa lalu yang paling pedih. Masa lampau yang dipaksa usai.
Kubayangkan dia duduk di kuris ini. Atau mungkin di hadapanku lima belas atau sepuluh menit sebelum aku datang. Dia mungkin sedang belajar persiapan tes CPNS. Atau sedang menulis cerita-cerita pendek yang akhirnya selalu sedih.
Ya. Aku masih mengamatinya dari tempat yang amat jauh berupa nama samar di media sosial.
Sudah lama aku memikirkan berbagai skenario bila suatu saat aku dan dia bertemu di manapun tanpa sengaja. Aku akan tersenyum padanya sambil menyapa dan menanyakan kabarnya yang semoga baik meski tanpaku. Dia mungkin akan memasang ekspresi marah atau bahkan menyiramkan segelas air apapun yang ada di hadapannya pada wajahku. Aku sudah mempersiapkannya. Tapi, ternyata aku tidak pernah bisa siap.
Berhadapan dengan bayangannya saja aku masih membatu seperti ini.
Perlahan kuambil perahu kertas di permukaan meja itu, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mungkin salah, tapi aku juga mungkin benar jika origami itu miliknya. Probabilitasnya setengah-setengah Seandainya saja aku datang lebih cepat, aku mungkin bisa mengubah probabilitas itu menjadi hasil yang jelas. Tapi, tidak semua kemungkinan ada ujungnya.
Kata-kata 'seandainya' memang tidak ada gunanya.
Seandainya saja aku tidak terlambat datang padanya waktu itu, mungkin aku dan dia sedang mengurusi pernikahan impian yang pernah kami rencanakan. Tuhan lagi-lagi mengingatkanku bahwa dia bukanlah untukku hanya dari sebuah origami perahu di meja toko kopi yang sore ini aku datangi.
Bandung, 13 Agustus 2023.
13 notes
·
View notes
Text
Perjalanan yang cukup menyenangkan
Sepanjang perjalanan, cuman berdoa minta tolong dimudahkan segalanya. Dari nyampe hujan deres banget, iseng tanya ke salah satu teman Nina tentang KRL. Baiknya, tiba-tiba mau dijemput. Akhirnya dijemputlah dari stasiun, diajak makan, diajak muter-muter UGM. Terus sampai di penginapan, penginapannya bagus, bersih, rapi. Yang jaga juga "welcome" banget.
Terus pas di penginapan, ternyata lupa ga bawa sisir dan mukenah (karena pas berangkat masih belum mensucikan karena kelar haid). Akhirnya tanya ke penjaga, bisa pinjem mukenah ga ternyata bisa. Syukurlah.
Lalu perihal sisir, akhirnya pergi ke toko toserba. Kalau ndak salah nama tokonya "Toko Jakal Merah". Tanya "bu ada sisir ndak ya?", dijawab "ada mba, tapi yang biasa". "Disini" dari meja kasir sampe dianter sama ibunya ke tempat sisir "harganya 1000 mba". Kaget, wak kok cuman seribu. Akhirnya jadi beli notes sama highliter soale ga enak ke kasir bayar cuman 1000 🙃
Alhamdulillah tidur cukup nyenyak, kamarnya enak, bersih, wangi.
Lalu pagi, berangkat tes pesen Gojek. Alhamdulillahnya lagi pak Gojeknya baik, ramah. Karena bapaknya tahu aku sekarang lagi di tes, pas sampai didoakan "terima kasih mba, semoga lancar dan lolos ya. Nanti kita ketemu lagi"
Aamiin aamiin
Setelah itu masuk ke tempat tes, pas masuk lihat banyak banget orang. AllahuAkbar, lumayan agak jiper sih. Tapi yaudahlah, pasrah apa kata Allah yang terbaik untuk ku.
Terus sepanjang tes ngantuk banget, ya Allah. I can't handle my self. Buerat banget mataku. Terus kurang sekitar 30 menitan. Tiba-tiba server eror, hampir seruangan eror semua. Yaudah akhirnya yang tes diulang semua dari awal. Karena sudah agak siangan yaudah mata agak bisa diajak koordinasi. Alhamdulillah lebih agak fokus. Terus bisa crosscheck jawaban lbih konsen, meskipun emang soalnya mayan susah. Dan sampai keluar alhamdulillah lancar, 90 soal terjawab dan tersubmit.
Lalu pulang, ternyata teman Nina baik mau jemput lagi. Terus pas lihat jam ternyata udah jam 12.30, harusnya kan penginapannya checkout jam 12.00. Yaudah akhirnya buru-buru checkout, terus karena telat kayak "siap didenda". Tapi ternyata penjaganya selow aja sih, ga kena denda alhamdulillah 😌🙏🏻
Terus akhirnya lanjut jalan jalan, muter muter Jogja, kulineran, ke Tempo Gelato. Meskipun cuman beberapa jam, it's such a great experience. Lalu sore hujan deras, alhamdulillahnya diantar lagi sampai di stasiun.
Alhamdulillah, thanks God
Sudah banyak dibantu dan dimudahkan, terlepas dari apa hasilnya nanti. InsyaAllah hamba ikhlas dan pasrah (nulisnya sambil pengen nangis, ya Allah Maha Baik). Setidaknya di setiap prosesnya ini, Allah sudah kasih banyak kemudahan.
Aku percaya, yang digariskan dari-Mu insyaAllah terbaik untukku ❤️
Thanks for the nice short trip, Jogja ✨
7 notes
·
View notes
Text
-MAYA-
Dinginnya malam, serasa menguliti ku hingga ke tulang. Begitu sampai kamar, kuhempaskan tubuhku di tempat pembaringan. Tujuanku adalah merebahkan diri, menghalau sedikit rasa payah yang menghampiri. Berharap segera terlelap. Namun nyatanya, lelah tubuhku justru tak menghentikanku mengingat masa lalu. Lalu, satu per satu darinya hadir, menyesakkan.
***
Di bangku sebuah taman yang tak jauh dari tempatku tinggal, aku duduk termenung. Menunggui seseorang yang aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelumnya, kami berjanji temu pukul 3, tapi kali itu sudah lebih dari tiga puluh menit, orang yang aku tunggu belum muncul juga. Aku sebal, sebab tidak satu dua kali dia begitu.
Sesekali, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Benda yang hampir tak pernah absen kupakai ketika aku pergi. Lalu, indera penglihatanku teralihkan dengan dua anak kecil yang saling berkejaran di lapangan basket yang ada tepat di sebelah taman. Riuh gema tawa mereka seakan mensyaratkan, tiada beban yang bersarang di pundaknya. Ceria sekali. Setidaknya begitu yang tersurat dari kacamataku.
“Lagi lihat apa sih? serius amat, sampai-sampai nggak sadar aku dateng.”
Aku terkejut dengan suara seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. “Astaga, bisa nggak sih nggak bikin kaget orang,"kataku memprotes perilakunya yang mengejutkanku. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari ritme sebelumnya.
"Habisnya kamu diajak ngobrol pas aku dateng nggak nyaut, taunya ngelamun.” “Siapa yang ngelamun!.” Dia menunjuk ke arahku dengan dagu sambil tersenyum dengan seringai jahil yang seakan meledekku. Seperti, dia berhasil menebak sesuatu yang benar, sedangkan aku berkilah. Menyebalkan.
“Aku nggak ngelamun!,"ucapku dengan nada naik satu oktaf. Aku kesal. Teramat kesal. Pertama, karena dia terlambat datang. Kedua, dia membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ketiga, dia meledekku.
"Bisa nggak sih kau hargai waktu orang sedikit. Tiap menit keterlambatanmu itu sama dengan waktu orang lain yang kau korbankan untuk menunggu,"sungutku. Raut mukanya berubah sendu, mungkin merasa bersalah. Seketika kami terdiam dan aku merasa tak enak hati dibuatnya.
"Oke oke, aku minta maaf. Sudah ya, jangan marah,"rayunya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi lebih baik tidak disini,"sambungnya.
***
Dua kursi berhadapan dengan satu meja sebagai pemisah keduanya, disudut dekat jendela sebuah kafe bernama Cendana adalah tempat yang kami pilih untuk melanjutkan obrolan. Lebih tepatnya, Fahmi yang ingin membicarakan suatu hal yang aku tidak tau apa itu. Setelah memesan beberapa menu di meja kasir, kami dipersilakan menunggu beberapa saat sampai menu di antarkan ke meja.
"Di,"suara Fahmi menyapaku, memecah hening diantara kami berdua. Aku yang tengah mengamati interior kafe itu seketika menoleh ke sumber suara, memusatkan perhatianku padanya.
"Ya?,"jawabku singkat.
"Setelah kelulusan nanti, aku akan berangkat ke Singapura,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tunggu sebentar, apa maksudnya? Otakku masih belum selesai mencerna,“Aku diterima di Media, Arts and Design School, Singapore Polytechnic,"jelasnya sumringah. Aku melihat binar mata bahagianya. Tapi, mengapa aku merasa tidak sesenang itu mendengarnya?.
"Oh ya? Selamat ya,"ungkapku akhirnya, lalu aku terdiam mendengar semua tutur katanya. Dia menceritakan usahanya dengan begitu bangga, sampai pada saat dia diterima sebagai mahasiswa di kampus impiannya itu.
***
"Apa ini?,"tanyaku setelah mendapat sodoran amplop besar berwarna coklat.
"Brosur dan berkas pendaftaran UBAYA. Papa mau kamu ambil sekolah bisnis.”
“Aku ingin belajar sastra Pa, boleh tidak kalau aku….” Belum sempat kalimatku secara lengkap terucap, Papa menimpali,“Mau jadi apa kamu kalau masuk sastra? Sudahlah, ikuti saja saran papa,"tegas Papa tanpa mau dibantah.
Beberapa orang beruntung, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup lalu bisa menjalaninya. Beberapa lainnya beruntung tahu apa yang diinginkannya dalam hidup tapi harus bersabar atas ketiadaan kesempatan menjalaninya. Keduanya sama-sama beruntung, bukan? Tapi aku, adalah contoh yang kedua. Lebih tepatnya, tidak lebih berani mengupayakan keinginan yang kupunya. Kata lainnya, aku pengecut.
***
Hari pertamaku menjadi mahasiswa jurusan Bisnis Internasional UBAYA, adalah menjadi hariku juga melepas kepergian Fahmi ke Singapura. Setelah kuliah pagiku selesai, aku bergegas menuju Juanda. Tempat yang akan menjadi saksi perpisahan kami berdua.
"Gimana rasanya jadi mahasiswa jurusan bisnis?,"tanyanya memecah keheningan antara kami berdua. Aku yang duduk tepat di sebelahnya bergeming. Aku menunduk, memandangi jari jemariku yang bertaut diatas pangkuanku.
"No feeling good,"lirihku masih dengan tertunduk.
"It’s okay.” Fahmi merangkul dan menepuk-nepuk pundakku perlahan. Mungkin dia ingin menenangkan. Sebab dia tahu, pilihan itu tidak mudah kujalani, tidak seperti dirinya yang memilih pilihannya sendiri.
“Mari buat kesepakatan,"serunya tiba-tiba, sembari dia bangkit dari duduknya dan berpindah berdiri di hadapku, mengulurkan tanganku agar bisa kujabat.
"Kesepakatan? Apa?,"tanyaku tak mengerti.
"Saat kita berdua sudah lulus nanti, kita akan buat projek bersama. Kamu jadi konseptor bisnisnya, aku tim kreatifnya. Kita berkolaborasi.”
Aku saja tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya atau tidak, pikirku. “Ya, bolehlah,"sambungku akhirnya.
"Saya Fahmi Fachriza Rudianto berjanji, akan segera kembali begitu saya lulus dan akan membuat bisnis bersama dengan kawan saya Diani Pratiwi,"ucapnya seraya mengangkat telapak tangannya serupa orang bersumpah.
"Ya, janji diterima, ku tunggu kau menepatinya,"ujarku malas-malasan, seolah tau bahwa janji itu hanya celotehan anak belia yang belum tau bagaimana kehidupan akan bekerja dengan sesungguhnya. Seakan meyakini bahwa janji itu akan berakhir sebagai gurauan belaka.
Sementara itu, pesawat yang akan ditumpangi Fahmi sebentar lagi akan lepas landas. Dia pun bersegera menyiapkan diri untuk check-in.
"Jaga dirimu baik-baik,"begitu pesannya sebelum meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya sampai bayangan punggungnya menghilang. Aku melepaskannya pergi ke negara seberang untuk mengejar mimpinya. Sementara aku, mungkin harus berdamai lagi dengan pilihan yang sudah ditentukan.
Tak terasa air mataku menetes ketika bayangan-bayangan itu melintas dalam ingatan. Dan benar saja, kesepakatan yang dulu terucap antara aku dan dia, kini hanya terpintal menjadi kenangan belaka. Bahkan, setelah dua tahun kelulusan pun, tak ku tahu rimbanya dimana. Fahmi apa kabar? Aku rindu.
***
4 notes
·
View notes
Text
jual jasa pembuatan furniture / interior rumah seperti kicenset modern ,Almari Moderen ,meja kursi cafe, meja kasir cafe, Kabinet,Tempat Tidur/ dipan moderen ,Set Meja Makan ,Meja Tamu ,Rak ,Meja TV, Kabinet Dapur,Meja kerja,Meja Nakas, dan lain-lain. untuk pemesanan bisa hubungi wa.me/6285855371916 / massangger
2 notes
·
View notes
Text
Kemarin (22/01) aku jalan-jalan bersama seseorang.
Pukul 1 siang dia sampai di rumahku. Setelah memakai sandal dan pamit, aku menghampirinya yang menunggu di depan rumah. Kami berencana makan siang bersama, tapi kami belum menentukan mau makan apa. Sebelum keluar dari gang rumah, dia mengatakan ingin makan sesuatu yang pedas. Sampai di jalan raya, dia mengusulkan makan ayam geprek. Kami sepakat. Baru 5 menit berlalu, aku mengetuk bahunya dan bilang, “Gimana kalau makan di Waroeng Yanto? Kita udah lama enggak ke sana.” Ia menaikkan kaca helmnya, berseru, “Oh iya, ya, aku lupa ada tempat makan namanya Waroeng Yanto.” Kami tertawa. Mumpung belum terlalu ke selatan, aku mengarahkannya untuk lewat jalur hijau saja.
Jalur hijau atau jalur alternatif adalah caraku menyebut jalan di luar jalan raya dan jalan utama. Selain itu, jalur ini punya lebih banyak pepohonan di sisinya. Jadi, sepertinya enggak salah kalau menyebutnya jalur hijau.
“Nanti pertigaan Pasar Rejodani belok kiri ya.” “Aku belum pernah lewat sini.” “Oh ya?” “Iya. Belum pernah.”
Setelah itu kami menyusuri Jl. Plumbon. Mengikuti jalan. Sampai tahu-tahu tembus Jl. Kaliurang.
“Oalah, tembusnya sini ya. Aku baru tahu.” “Haha, baguslah, jadi tahu jalur baru.”
Waroeng Yanto bakal ramai, deh, soalnya ini hari Minggu, ujarku. Kami sudah mewanti-wanti sejak di jalan, memikirkan opsi lain kalau-kalau enggak dapat meja. Ia berhenti di area parkir motor tanpa mematikan mesinnya, lalu aku masuk duluan dan mencari meja kosong. Setelah memastikan masih ada tempat kosong, aku mengabarinya. Kami duduk di dekat pintu menuju dapur belakang. Semua meja sudah penuh. Biasanya, kami duduk di luar--lokasi paling strategis. Bayangkan ini: duduk di samping area masak, sambil menunggu makanan datang kami bisa melihat para chef sekaligus mencium aroma masakannya. Selain itu, kami enggak perlu merasa bersalah kalau merokok, karena ini di luar.
Kami pesan menu kesukaan masing-masing. Sayang, kerang sudah habis. Padahal kami berniat pesan kerang saus padang.
Pengalaman makan di Waroeng Yanto kali ini terasa lebih menyenangkan dari biasanya. Duduk di bagian dalam membuatku bisa memperhatikan pelanggan yang sedang makan, pelanggan yang kelaparan dan hampir bosan menunggu pesanannya datang, pegawai yang sibuk bolak-balik mengantarkan pesanan, Pak Yanto dan chef lain yang sibuk di depan kompor...driver ojol yang memenuhi area kasir, denting piring, sendok, garpu, dan gelas, serta asap dan api yang mengepul dari bawah kompor. Sesekali aku membagi perhatianku pada cerita orang di depanku. Ia menceritakan hari-harinya yang sedang berat. Aku tenggelam dalam suasana ini.
Pesanan kami datang. Kami sudah kelaparan banget. Setelah mengucapkan selamat makan ke satu sama lain, kamu fokus pada makanan di depan kami. Satu hal yang aku sayangkan adalah nasinya keras, sepertinya kurang air. Ini kali pertama kami dapat nasi yang keras, biasanya selalu lembut dan pas. Yah, nggak apa-apa, toh, masakannya tetap enak. Pada akhirnya kami enggak merokok ketika sebetulnya bisa. Sewaktu kami selesai makan, ada satu keluarga yang membawa bayi duduk di seberang kami.
Aku mengajaknya jalan-jalan ke sebuah mall yang belum lama ini direnovasi dan berganti nama. Saat akan mengambil karcis parkir, kami melihat area keluar parkir yang macet. Antrian motornya panjang banget, sampai menutupi jalan bagi motor yang baru datang dan mencari tempat parkir. Bagian dalam mall juga ternyata sangat ramai. Banget. Suasana Lunar New Year sangat terasa. Warna merah ada di mana-mana! Ada beberapa panggung yang mengadakan pentas seni dan perlombaan untuk anak-anak. Sangat... lively. Kami enggak ada niat beli sesuatu atau menuju ke tempat yang spesifik, jadi kami hanya jalan-jalan mengitari mall.
Masuk ke toko baju dan melihat-lihat, sambil menggosipkan selera baju masa kini yang aneh-aneh. Aku yang cenderung suka baju dengan model aneh-aneh (hanya belum ada kesempatan memakainya), sangat berbeda dengannya yang lebih suka baju model normal. Tiap aku menunjukkan satu model baju yang menurutnya aneh, ia akan geleng-geleng kepala. Hhh, anak muda zaman sekarang, ujarnya. Melihat responnya, aku jadi semakin jahil mengajaknya melihat model baju aneh lainnya.
“Liatttt, kalau aku pakai ini gimana?” kataku sambil mengangkat baju crop top dengan tali serut di bagian perut, yang membuat panjang baju ini bisa disesuaikan. Mau sampai menutupi perut, atau digulung sampai bawah dada pas. “Hmm...” hening sesaat, sambil ia mengerutkan dahi dan mengelus dagunya, “...bagus.”
Lalu kami melihat tag harganya, sama-sama kaget dan melotot, kemudian meletakkan kembali baju itu dan pergi melihat baju-baju model aneh lainnya.
“Dengan harga segitu, aku bisa dapat dress cantik dengan model yang lebih lucu dan bisa dipakai ke mana saja karena modelnya normal.” “Iya. Tapi tadi bagus juga. Hehe.”
Sesekali kami menilai outfit orang lain. Kami mengapresiasi perpaduan baju yang dipakai seorang perempuan. Ia memakai pleated school skirt warna-warni, tank top dan cardigan, dan sepatu boots serta kaos kaki berwarna karamel. Kami juga mengapresiasi seseorang yang pakai dress bunga-bunga lengan pendek, yang menjuntai sepanjang mata kakinya. Rambutnya digerai. Cantikkk, kataku. Iya, balasnya.
Kami terus mengobrol sambil jalan-jalan di dalam mall sampai sore.
2 notes
·
View notes
Text
Rintik Hujan dan Kopi Senja
Rintik air hujan menenggelamkan suara pramusaji yang menaruh kopi hangat di mejaku. Laptop dan catatanku sama acuhnya denganku, pramusaji itu pun tidak begitu peduli, kopi ditaruhnya di meja dan ia berselancar kembali ke meja kasir. Hujan semakin rimbun dan aku semakin terbenam dalam pekerjaanku. Kepalaku terasa pusing tetapi kubiarkan lewat begitu saja.
Waktu tak terasa lama memang, dan aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Rupanya beberapa orang sudah minggat dan tinggal aku dan sekitar tiga orang lain yang masih tinggal di kafe. Hujan sudah reda dan gelasku kosong. Aku berdiri, membereskan barang-barangku dan bertolak ke pintu luar.
“Mas, gimana kopinya?” Ujar pria di balik meja kasir, di pin kartu namanya tertera “Andi”.
“Ah, enak mas, makasih ya,” balasku sekenanya.
“Oh, iya mas, nanti balik lagi ya kapan-kapan, saya sampaikan ke baristanya kalau mas suka,” sahut Andi.
Ketika aku membuka pintu kamar kos, kepalaku terasa berdenyut tidak keruan. Benakku, mungkin aku terlalu memforsir diri. Aku mencoba tidur setelah menenggak sekeping tablet Paracetamol.
Pagi datang dan kepalaku makin sakit. Aku mencoba meraih meja untuk mengambil obat namun seluruh tubuhku seakan menolak. Sadar bahwa HPku sejak tadi berdering, aku dengan susah payah mencoba mengangkat telepon.
“Dek, dek, kamu gak apa-apa?” Teriak suara yang terdengar seperti Kak Ahda di speaker.
“Kak Ahda… aku gak masuk kelas hari ini ya, bilangkan ke Bapak karena sakit,” jawabku lemah.
“Kelas apa dek, ini hari Minggu kan?”
“Bukannya ini hari Kamis kak?”
“Ngomong apa sih kamu? Bentar kakak ke tempatmu,”
Kepalaku berputar kencang. Aku baru saja bangun pagi tadi, kenapa Kak Ahda bilang kalau ini sudah hari Minggu?
Akhirnya Kak Ahda datang membawa makanan hangat. Aku sendiri baru selesai mengecek sekelilingku, benar saja kalender di ruang tengah yang selalu dilingkari oleh ibu kos menunjukkan ini hari Minggu. Begitu pula HP, laptop, dan semua barang elektronik yang mempunyai tanggalan. Aku bahkan meminjam HP tetanggaku, Andi, yang terheran-heran karena katanya ia melihatku pulang dan pergi kuliah seperti biasa.
Kak Ahda berkata bahwa kelas Bapak Dodi diliburkan hingga waktu tak tertentu karena musibah di keluarga Bapak. Meskipun demikian, Bapak Dodi masih mengawasi mahasiswanya dengan cara memaksa mereka melakukan swafoto dan menunggahnya di grup kelas. Kak Ahda menunjukkan fotoku yang diunggah dari akunnya.
“Kamu gak mau ambil foto sendiri, katamu kamu lupa sama password HPmu,” jelas Kak Ahda.
“Lupa gimana kak, sandi HP adek enak aja kok dihapal,”
“Gak cuman password HP dek, aku mau pinjem uang aja kamu gak mau, katamu lupa pin ATM,”
“Eh, pinjem berapa kak, bentar,”
“Wah gak usah dek, udah kok kemaren, ini aku dateng cuman mau liat kondisimu karena kamu aneh banget berapa hari ini,”
Ketika kuceritakan bahwa aku tertidur setelah pulang dari kafe, Kak Ahda tertegun. Kami berdua merasa bingung dan mencoba berpikir kembali. Tetapi semua teori kami berujung pada kafe yang kusambangi kemarin.
“Kamu ngapain ke situ?” Celetuk Kak Ahda.
“Hujan kak, gak ada tempat lain,” jawabku.
Lalu sebuah sekring seakan ditekan di kepalaku. Gelagat pramusaji, kasir, dan orang-orang di kafe itu tidak seperti biasanya. Karena hari hujan aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pramusaji. Tetapi sampai saat itu aku masih tidak sadar keanehan paling utama.
Kak Ahda datang ke kosku?
“Kamu siapa?” desisku.
“Hah, apa sih dek?” jawab sosok yang menyerupai Kak Ahda.
Orang di hadapanku memang benar-benar mirip dengan ketua kelas Kimia Tanah, Ahda Putri Natasha. Setelannya, nada bicaranya, sepaket memang. Namun Kak Ahda yang kukenal tidak akan pernah datang ke kos laki-laki sendirian.
“Jawab! Kamu siapa!” ujarku panik.
“Dek…” suara sosok itu memelan.
Kepalaku pening tidak karuan, pandanganku gelap dan perutku mual. Aku muntah, cairan hitam beraroma manis mengalir ke lantai keramik. Tunggu, kosku kan lantainya semen.
Seketika aku kembali ke kamarku, di rumah yang terletak ribuan kilometer dari kosku. Di hadapanku sosok serupa Kak Ahda berdiri, dan ia berjalan keluar kamar. Aku mencoba naik ke atas kasur, pikiranku tak keruan. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah mengecek tanggal, karena aku tidak mungkin berada di rumah dalam sekian jam saja.
Telingaku berdesing, suatu suara yang familiar, rintik hujan. Dengan lemah aku berdiri dan mencoba untuk duduk di kasur, kepalaku terasa berat namun terus kupaksa untuk menghadap ke arah laptop. Rintik air hujan menenggelamkan suara pramusaji yang menaruh kopi hangat di mejaku.
2 notes
·
View notes
Text
Pembuatan Meja Kasir , Meja Kursi Warkop, Meja Warung di Mojokerto Kami , Mebel Kita Mojokerto, berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam pembuatan mebelair, pembuatan meja kursi untuk berbagai macam keperluan. Kami berpengalaman dalam pembuatan meja warung, meja kantor, meja kasir, meja pelayanan warkop, meja resepsionis dan berbagai jenis meja lainnya untuk keperluan bisnis dan rumah…
0 notes
Text
Hari ini adalah awal yang hebat dari kehidupan baruku. Aku, Edrea Quinza Ferran. Nama baruku itu berarti seorang petualang wanita yang sangat kuat dan mampu memimpin. Aku berharap aku akan menjadi seperti makna nama tersebut.
Di minggu pagi ini, aku bangun lebih siang dari hari-hari biasanya. Aku sempat bergumul dengan suasana hati dan berbagai pikiran. Aku pun telah mencoba yang terbaik untuk menjalaninya. Namun, seketika aku terjebak dalam kondisi sulit.
Singkatnya, aku memutuskan bahwa kedepannya aku ingin menjadi jurnalis perjalanan. Aku memilih hal itu karena menurutku itulah cara yang terbaik dalam menjalani kehidupanku. Pada siang itu, aku bergegas ke luar rumah dan pergi ke suatu tempat.
Seperti hari-hari tertentu yang telah berlalu, aku ingin pergi ke toko buku dan menikmati waktu di kafe. Aku sempat ingin membeli buku jurnalistik. Mungkin aku akan mendapatkan buku murah di aera bazar buku di toko buku tersebut. Karena energiku telah terkuras dengan hal-hal yang terjadi pagi tadi, aku merasa lelah memilah buku. Aku berpikir bahwa di lantai atas toko buku ada buku-buku baru yang bisa di pilih. Aku telah menemukan satu buku. Sayangnya, uangku tak cukup untuk membelinya.
Kemudian aku pergi menuju kafe. Saat itu aku bergumul kembali dengan pikiran dan perasaan. Aku teguhkan prinsipku dan melangkah. Sesampainya, aku bergumul pula dalam memilih apa yang mau aku pesan. Setelah ke luar kafe dan memasukinya kembali, aku mencoba memilih yang tepat dan akhirnya aku memesan satu tusuk ayam karage pedas dan satu gelas es teh manis.
Setelah menerima pesanan di kasir, aku langsung menuju lantai atas untuk mendapatkan kursi. Aku memilih tempat duduk yang dekat dengan stop kontak untuk sambil mengisi daya handphoneku. Aku mulai menyeruput es teh manisku dan memakan ayam karage pedasku.
Sebuah buku catatan dan alat tulis yang kubawa sudah aku letakkan di atas meja dan aku ingin menghabiskan waktu untuk menulis jurnal -- karena tak membeli sebuah buku yang dapat aku baca. Aku menulis hal-hal baru dalam mengelola kehidupanku.
Aku merincikan tentang diriku dan apa yang ingin aku capai. Tentunya, aku ingin memiliki pekerjaan yang melibatkan bepergian dalam tugasnya.
Sampai aku rasa cukup untuk berada di kafe tersebut, aku ingin berpindah ke mall dekat kafe untuk membeli sesuatu di toko pernak-pernik dan sholat ashar. Ternyata di luar turun hujan yang cukup deras.
Aku telah mempersiapkan diri untuk membawa payung karena aku tau ini musim hujan. Aku menerobos hujan untuk sampai ke mall tersebut dengan jalan kaki.
Setibanya, aku bersyukur pakaianku tak begitu basah. Aku memasukan payungku ke sebuah plastik, lalu ke sebuah tas yang aku bawa untuk payungku yang basah.
Mall tersebut agak begitu ramai -- seperti biasanya pada akhir pekan, ada acara perlombaan tertentu. Aku menuju toko pernak-pernik.
Saat itu belum terpikir untuk membeli apa, tapi terlintas di benakku bahwa aku ingin membeli perhiasan imitasi seperti cincin atau kalung; atau benda lain.
Aku mencari perhiasan berwarna hijau karena warna itu adalah warna kesukaanku. Tanpa banyak berpikir, aku dipertemukan dengan sebuah kalung berwarna emas di rantainya dengan buah kalung berbentuk hati yang berwarna dasar putih dan ada hiasan daun menjari hijau. Aku tak mau ragu; aku langsung ke kasir.
Karena waktu sholat ashar telah tiba, aku pergi ke sebuah masjid di dalam mall. Masjid itu terletak di lantai atas dekat parkiran. Aku sudah berencana memilih alat sholat hijau kalau ada. Tepat! Itu ada! Aku memilihnya dan melaksanakan sholat.
Hujan masih turun dan aku ingin pulang. Aku memberhentikan sebuah angkutan umum. Dalam perjalanan, ada insiden pergesekan antara angkutan umum dengan mobil pribadi lain. Untungnya, tak terjadi perselisihan.
Aku berhenti di halte sebuah stasiun dan harus menyebrangi stasiun tersebut untuk menuju rumah. Kartu akses masuk aku ambil dan aku menyebranginya melalui tangga bawah tanah.
Hujan begitu deras, aku mengurungkan untuk menerobosnya karena ada kilat pula. Untuk itu, aku menunggu bersama orang-orang di dalam stasiun.
Karena merasa bingung harus melakukan apa, aku membeli sebuah burger dan sebotol es teh manis. Itupun dengan pertimbangan karena uangku yang terbatas.
Aku terus berdoa agar hujan mereda dan berhenti. Selang berapa menit, hujan pun mereda walau masih merintik. Aku melanjutkan perjalananku ke rumah dengan memakai payung.
Hanya dengan jalan kaki beberapa menit, aku sampai di rumah. Aku berberes diri dan kembali melanjutkan hariku.
Ternyata aku mengalami "suasana terjebak" lagi. Disitulah aku menemukan kreatifitas. Aku berpikir untuk membuat nama baruku. Sebuah nama dengan maknanya aku temukan: Edrea Quinza Ferran; seorang petualang wanita yang sangat kuat dan mampu memimpin.
Walau tak selalu mudah, aku memahami arti namaku: "memimpin". Maka, aku memahami bahwa dalam memimpin akan menemui tantangan. Aku bersabar dan tak menyerah.
Aku merasakan efek positif yang signifikan. Hidupku terasa baru dan berubah. Aku menjaga konsistensiku dan tak pantang mundur.
1 note
·
View note
Text
Kinder Joy memang hebat. Mereka menaruhnya di meja kasir, dimana meja tersebut tidak bisa aku hindari ketika aku mengajak anakku untuk berbelanja di Indomaret. .. Dan juga mereka menaruh barang itu ditempat yang sangat terjangkau dengan tinggi badan anak-anak. .. Lalu produk ini juga memainkan psikologi anak-anak. Dimana anak-anak sangat suka sekali dengan "Hadiah Kejutan". Mereka selalu penasaran, hadiah apa sih yang akan dia dapat. Itu sebabnya, dari sekian rangkaian acara ulang tahun anak-anak paling suka sesi buka kado. .. Psikologi ini membuat anak-anak akan selalu ingin membelinya lagi dan lagi. .. Jamanku masih anak-anak juga pernah terjebak dengan strategi marketing ini ketika sedang tergila-gilanya dalam mengkoleksi stiker Digimon. .. Makanya, paling bahaya klo anak sudah merengek ikut belanja ke Indomaret. Paling tidak pasti akan beli barang ini 2 biji, itu artinya 30 ribu pasti akan keluar, padahal cuma mau beli Indomie 1 biji doank.
0 notes
Text
Menegangkan! Aksi Pencurian di Supermarket Berakhir Tak Terduga
Menegangkan! Aksi Pencurian di Supermarket Berakhir Tak Terduga
Baru-baru ini, sebuah kejadian mengejutkan terjadi di sebuah supermarket yang ramai dikunjungi. Dalam suasana yang tampak tenang, tiba-tiba sekelompok orang memasuki toko tersebut dengan maksud mencuri barang-barang berharga. Aksi pencurian ini berlangsung begitu cepat dan menegangkan, membuat para pengunjung supermarket panik dan ketakutan. Namun, apa yang terjadi selanjutnya sangat tak terduga.
Ketika para pencuri mulai mengumpulkan barang-barang, seorang pegawai supermarket yang sedang bertugas dengan sigap segera menekan tombol alarm yang tersembunyi di belakang meja kasir. Alarm tersebut langsung mengeluarkan suara keras yang memicu respon cepat dari pihak keamanan. Para pengunjung yang awalnya terkejut mulai berusaha mencari tempat aman, sementara para pencuri tampak panik dan terbagi antara melarikan diri atau meneruskan aksi mereka.
Situasi semakin memanas ketika petugas keamanan datang ke lokasi. Mereka langsung mengamankan pintu keluar, mencegah para pencuri melarikan diri. Dalam kekacauan tersebut, salah satu pencuri yang berusaha melarikan diri terjatuh dan tertangkap oleh petugas. Kejadian ini disaksikan oleh banyak orang, dan momen tersebut menjadi viral di media sosial, menyoroti keberanian pegawai supermarket dan ketangguhan petugas keamanan.
Setelah kejadian tersebut, pihak berwenang segera melakukan penyelidikan lebih lanjut dan berhasil menangkap seluruh anggota kelompok pencuri. Pengunjung supermarket pun merasa lega dan berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam menghentikan aksi kejahatan ini. Kisah ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan dan kerjasama dalam menjaga keamanan masyarakat.
Untuk lebih detail mengenai kejadian ini, Anda bisa mengunjungi link berikut:
https://mez.ink/sobat55sud
https://mez.ink/sobat55dd
https://mez.ink/sobat55sdva
https://mez.ink/sobat55db
https://mez.ink/sobat55ydv
https://mez.ink/sobat55sff
https://mez.ink/sobat55sff
https://mez.ink/sobat55asd
https://mez.ink/sobat55isj
https://mez.ink/sobat55sdc
https://mez.ink/sobat55sf
Kisah ini tak hanya menggugah rasa ingin tahu, tetapi juga menginspirasi kita untuk selalu waspada di lingkungan sekitar.
0 notes
Text
Menggambar toko mainan. Maryam sebutkan semua mainan di rak. Mulai dari mobil-mobilan, boneka, sepeda dll yang pernah dia lihat di toko mainan. Banyak lampu di atas rak mainan. Di kiri bawah ada meja dan kasir juga troli, di tengah bawah ada aksen lantai, lantai digambar bukan karena hanya sebagian saja lantainya tetapi dia ingin menyampaikan bahwa di toko mainan semua lantainya kotak-kotak (bukan hanya dis ebagian temoat saja) itu metode anak-anak menyampaikan informasi. Sebelah kiri ibu sedang memilihkan mainan untuknya.
0 notes