#lauk pauk untuk orang tua
Explore tagged Tumblr posts
Text
Peluang usaha pakuan Bogor Selatan Maksim
#lauk pauk untuk orang tua#laukpaukwajib#laukpaukwin#laukpaukwonogiri#laukpauk#laukpaukdapurdevina#laukpaukkampung#laukpaukdelivery#laukpaukseharihari#laukpauksedap#laukpauksederhana
0 notes
Text
Jaman sekarang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya-biaya pengeluaran yang tak terduga makin membengkak, sehingga seorang istri dulu tinggal di rumah. Suami pergi bekerja, Sekarang sama-sama pergi kerja. Logikanya, lelah juga sama banyaknya.
.
Namun sesampainya di rumah, sang istri pun tak membuka jilbabnya.. Ia langsung menuju dapur.
Ambil beras dan masukkan ke dalam rice cooker...
.
Buka kulkas, keluarkan ikan dan rendam. Ambil sayuran dan semuanya, lalu potong untuk dimasak.
.
Pada saat yang sama, sang istri masuk ke kamar dan mengumpulkan pakaian bau di badannya dan segera memasukkannya ke dalam mesin cuci. Tuang sabun, tekan tombol dan langsung ke dapur lagi.
.
Tumis bawang bombay, tumis lauk pauk dan lain sebagainya.
Suaminya mana? Berbaring di sofa sambil memainkan ponsel.
Anaknya mana? Berbaring di depan TV menonton drama Korea.
Tunggu sampai makanan disajikan, lalu semua orang bangun.
Hari-hari seperti ini.
.
Halo guys! Istri dan ibu bukanlah pencari nafkah. Dia bukan robot. Apakah kamu tidak merasa kasihan pada ibumu?
.
Tunggu, setelah makan.. bahkan tidak ada yang mau mencuci satu piring pun. Taruh saja di wastafel seperti itu. Itu bisa mematahkan tulang selangkanya.
Bahkan sampah di dapur pun mau tidak mau harus dibuang.
Kalau berisik bagaimana cara mengucapkan kata-kata yang keras...
.
Mari kita semua membantu. Tidak harus diberi tau. Kita memiliki otak untuk berpikir.
Seorang istri dan ibu, Tuhan memang memberikan kekuatan untuknya. Kita hanya perlu memahami bahwa dia juga lelah sama seperti kita dan dia juga bisa sakit.
.
Aku hanya ingin memesan satu,
.
Jangan menunggu sampai dia sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu kita akan menyesal.
Sayangilah dan cintailah sepenuhnya istri dan ibumu jika masih ada sebelum terlambat. Jangan sepertiku yang sudah ditinggalkan oleh kedua orang tua.😭
47 notes
·
View notes
Text
Air Mata Bagian III
Selesai membetulkan gelang. Ibu dan anak itu segera meninggalkan pasar dan mulai mencari warung makan lainnya. “kita makan di warteg aja ya bu.”Usul Naufal. “Boleh,” kata ibu. Warteg Bahari menjadi pilihan nya, selain banyak pilihannya, harga merayat juga menjadi alasan warung makan ini selalu berjejar di setiap sudut jalanan di pulau Jawa khususnya di kota-kota besar seperti Jabodetabek.
Warteg Bahari, warung makan khas Indonesia, mulai dari masakan lauk pauk tradisional yang resepnya sudah menyebar keseluruh penjuru rumah-rumah di Indonesia, cara penyajian nassi di Tengah lalu dkelilingi oleh lauk pauk di satu piring yang sama, juga letak meja dan kursi panjang yang saling berhadap-hadapan.
Lima menit waktu yang dibutuhkan untuk mengantri dan mendapatkan seporsi yang diinginakan. Kini Naufal dan sang Ibu sudah duduk berhadap hadapan dan mulai menyantap makanan. Sang Ibu memperhatikan makan anaknya. Setelah kejadian semalam, nafsu makan Naufal mulai kembali seperti sediakala, meski beban yang menumpuk didadanya belum diceritakannya.
15 menit kemudiian motor berwarna merah di depan warteg telah dinyalakan dan siap untuk dinaiki Naufal dan Ibunya. “Abang katanya mau ceriita, jadi ga?” Iyah bu, jadi”
Di sudut pojok ruangan, berjarak 20 cm dari jendela Naufal menyiapkan hati dan ceritanya untuk ditumpahkan kepada Ibu nya. Ia mengawali dengan kata “Apa boleh aku berbuat nakal bu, mengapa menjalani hidupp sebagai anak baik-baik itu capai bu?” Lalu Ia mengeluh dengan membandingkan jalan hidupnya dengan temannya yang dari kacamata dan sudut pandang dirinya. "Mengapa ada orang yang jalan hidupnya berisi senang-senang dan kemudahan, padahal dia kerjanya clubbing, mabok-mabokkan, gonta-ganti pacar tapi hidupnya enak, makan selalu di restoan mahal, pergi kemana-mana dengan nyaman dengan kendaraan pribadi bahkan kadang sama supir pribadi." Ungkap Naufal heran. Kali ini air mata sudah tak keluar, kali ini ia lebih siap mengeluarkan uneg-uneg, pertanyaann dan juga kekecawaan nya tentang ketidakadilan menjalani hidup.
Sang ibu hanya diam mendengarkan, lalu tersenyum dalam-dalam. "Nak sebagai sesama manusia, kita akan selalu melihat nikmat orang lain dari sudut pandang yang kita tidak miliki." Jawab ibu
"Kita hanya mampu melihat seseorang dari apa yang ditampakkan saja. Sejatinya kita tidak pernah tau seseorang seutuhnya, tentang derita nya, sakitnya, atau kekurangan nya. Ada kalanya kenakalan yang dia perbuat adalah tanda kekurangan nya, ada kalanya kenakalan itu adalah dampak dari kekurangan yang tidak tampak seperti orang tua yang tidak hadir." Jelas ibu panjang lebar
Anak ini ternyata masih sangat polos, batin sang Ibu. Dia membutuhkan lingkungan yang bisa membentuk kematangan pola pikirnya.
"Rabbi aku memohon penjagaan dan bimbingan Mu untuk diriku dan anakku. Temukanlah dirinya dengan lingkungan yang baik, guru yang dapat menjadi wasilah kematangan pola pikirnya. Engkau jaga dia dari segala hal yang dapat merusaknya, baik itu teman-teman dunia nyata maupun dunia maya. Aku sadar, bahwa aku tak akan mampu mengawasi dan membimbingnya 24 jam full non-stop, namun Engkau mampu Ya Rabbi." Do’a sang Ibu penuh khusyuk di dalam hatinya sambil mengelus-ulus kepala putra terkasihnya.
Tamat
0 notes
Text
Kita adalah
Kita adalah deru mesin industri, yg di pacu berlawanan jarum jam, tidak ada jam makan siang, sebab siang terlalu terang untuk istirahat.
Kita adalah detak jantung penderita angin duduk, yang sibuk berdiri menunggu antrian BPJS kelas 3, yg kehabisan kamar lalu mati terduduk.
Kita adalah ketenangan semu yang di cari kemudian hari di sela libur panjang hari raya, orang-orang atheis. Kita adalah ujung jarum suntik yang siap di tancapkan ke pembuluh darah buruh tua yang didiagnosa terkena tipes krna kelelahan dan terlalu banyak makan sampah industri. Tuan adalah harapan kami, tapi kenapa tuan berharap kepada kami? Kita adalah sisah kembalian jajan sore anak kolong yang hari-hari nya di habiskan di club termewah Senopati, sedang kita sibuk menghitung tanggal gajian yang tak kunjung tiba. Kita adalah orang biasa yg juga bisa jatuh cinta, sayangnya orang biasa lainnya tidak mau jatuh cinta pada orang biasa seperti kita, enggan baik matic injeksi yang olinya jarang di ganti. Aku jatuh cinta pada seorang, seorang jatuh cinta pada semua, semua keindahan yang tak aku miliki. Kita adalah bayang bayang akhir zaman, akhir bulan, akhir musim. Pasang headset keras-keras, berikan nasihat menjijikan pada dirimu. Umur sudah menua, kelamin masih sibuk di kuatkan. Kita adalah buta yang ingin melihat, tuli yang pernah mendengar, bisu yang siap memuntahkan kata. Kita akan mati satu waktu, entah di persimpangan atau kerongkongan. Dalam sunyi atau keramaian. Kita adalah ketidakpastian yang di tuntun mampu memastikan masa depan. Agama budaya dan isi perut sama kerasnnya ketika butuh perhatian. Aku benci menjadi hidup, sementara mati masih belum jelas rasanya. Desember dirindukan, Maret di nantikan, April di tipu habis2an. Belajar bahasa inggris agar terlihat intelek, tapi sehari hari makan nasi basi dan lauk pauk kmren. Kita adalah tulisan yg kuasa yg di beri hidup untk kembali menjadi tulisan. Terimakasih untk kita dan kita esok. Semoga esok msh ada, untk di nikmati dan dan disesali. Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka. :')
Dre.
26.05.2024
Aku benci menjadi hidup
0 notes
Text
Nama akak Jamilah tapi biasa orang panggil Milah atau kak Milah aja. Akak ni dah berumur sikit, dah 37 anak pun dah tiga. Badan akak ni berisi sikit tapi taklah gemuk macam Yusni Jaafar tu. Kulit sama macam dia cerah. Sebelum kahwin dulu akak kerja kerani tapi lepas dapat anak ketiga akak berhenti terus jadi surirumah sepenuh masa. Sekarang ni bila anak anak dah sekolah ni akak kerja balik.
Kak Milah nak cerita sikit pasal pengalaman akak dulu. Masa tu kami menyewa kat Datuk Keramat, satu dari empat rumah sewa kat satu tanah lot di situ. Sebelah rumah kami tu dihuni oleh Pak Husin tuan rumah seorang. Pak Husin ni dah mati bininya. Bahagian bawah pulak satu rumah tu penyewanya satu grup budak budak perempuan bertudung labuh dan yang satu lagi tu pasangan baru kawin tinggal. Si isteri ni sombong betul, berselisih kat pagar pun tak ndak senyum.
Pak Husin ni tak ndak tinggal dengan anak anak. Dulu anak perempuan dia Leha tinggal bersama tapi sekarang dia mengikut laki dia kena tukar ke Sabah. Anak lelaki Pak Husin dah berkeluarga dan tinggal di Subang Jaya. Dengarnya Pak Husin tak berapa dengan menantu dia tu. Kekadang tu ada juga diorang datang menjenguk orang tua tu.
Pak Husin ni walaupun dah berumur 65 tahun tapi masih sihat walafiat. Kalau kita tengok tu tak sangka dah 60 tahun lebih. Badan dia masih tegap manakan tidak bekas askar. Dia jarang di rumah kerana selalu ke kebun dia di Semenyih. Nak tinggal sorang sorang di kebun tu takut pulak dia jadi berulanglah selalu. Dia rajin hulurkan kami hasil kebun dia terutama kalau musim buah. Kami balaslah dengan kuih muih ataupun lauk pauk. Dia selalu memuji masakan akak.
Satu hari tu laki akak accident kat Jalan Ampang. Terus kena usung ke GH. Kaki dan bahu dia patah jadi kenalah masuk wad. Bermastautinlah dia di situ selama sebulan. Hari harilah akak kena menjenguk dia di GH selepas budak budak dah pergi sekolah petang. Naik bas mini aja akak turun kat Batu Road supermarket tu.
Masa tu kewangan terencatlah mana nak bayar hospital, sekolah anak anak, makan minum diorang dan ……… sewa rumah. Ada juga kawan kawan tempat kerja laki akak hulurkan tapi taklah mencukupi. Nak tanya sedara diorang pun sengkek macam kita.
Satu hari tak silap akak hari Rabu, akak bersiap siaplah nak keluar pergi GH dengan mangkuk sia dan kain baju laki akak tiba tiba bertembung dengan Pak Husin kat tangga. Bila dia tahu tujuan akak dia ofer nak hantarkan akak ke situ tapi akak cakap tak payahlah. Beriya iya dia pelawa tapi akak seganlah pasal duit sewa pun belum bayar. Akhirnya akak setuju juga pasal nak jaga hati dia. Jadi pergilah kami naik Volkswagon hijau Pak Husin ke GH. Lama juga kami diam tak bercakap dalam kereta itu tiba tiba dia tanya sama ada akak ada problem. Mula mula akak malu nak story kat dia tapi mengenangkan beban sewa bulan itu akak ceritalah sambil air mata berlinangan. Sesekali akak kesatlah pakai hujung tangan baju kurung akak. Dia diam aja lepas tu asyik pandang ke depan membuatkan terasa besar kemaluan akak.
Lepas tengok laki akak kat GH Pak Husin ajak pergi makan kat Restoran Bilal kat Chow Kit tu. Masa makan tu dia kata sewa rumah dia halalkan sepanjang laki akak kat hospital sebabnya dia kata kitorang ambil berat hal dia …. Kata dia. Lepas tu dia bawa akak pergi Batu Road Supermarket pulak, dia belikan barang barang dapur termasuklah beras, gula dan mainan budak budak. Masa dia bayar tu akak tengok kat 200 ringgit jugak. Dia tanya juga kalau akak nak beli barang barang akak, kalau ya pun tak tergamak akak nak cakap suruh beli modess lagipun akak masa tu tak sampai lagi seru. Malu akak masa tu dia tersenyum je.
Sampai di rumah jenuhlah pak Husin mengangkut barang barang tu ke atas. Mengenangkan budi dia tu akak buatkan air sirap untuk dia. Menyandar dia duduk di sofa kami sambil mengipas ngipas badan dia dengan suratkhabar yang dia baru beli. Lama juga akak mengemas di dapur mana yang nak kena masuk peti ais mana yang di bilik air .…..
Lepas tu akak rasa tak selesa puLepas tu akak rasa tak selesa pulak kerja pakai baju kurung jadi akak masukle ke bilik nak tukar pakai T-shirt dengan kain batik je. Masa akak tengah nak melucutkan baju akak (lekat kat kepala) tiba tiba pinggang akak dipeluk. Berderau darah akak, yang baju tu pulak susah sangat nak keluar. Dalam keadaan terperangkap tu tangan yang memang tak ada orang lain punya tu menjalar ke bahagian depan pulak Melekap kat tetek yang bersalut coli beli kat Globe tu. Kelu lidah akak .Terasa cangkuk coli akak dibuka. Baju akak pun dah selamat ke lantai.
"Pakcik, jangan pakcik" terkeluar juga suara akak.
"Aku tahukau ada masaalah lain lagi Milah" jawab dia sambil meramas ramas buah susu akak. "Biarlah yang ini pun aku tolong sekali"
"Tak baik Pakcik" akak merayu lagi terketar ketar. "Nanti abang tahu"
"Kalau kau tak bagi tahu macam mana dia nak tahu" Pak Husin jawap sambil menggentel gentel putting akak. Sesekali ditarik tariknya. Sesekali ditekannya ke dalam. Sesekali …..
Masa tu pertahanan akak runtuh sekali dengan rasa basah dalam kain akak. Yalah akak dah lama tak kena servis dik non. Kena switchnya habislah akak. Diuli ulinya tetek akak yang walaupun dah beranak tiga masih lagi tegang macam anak dara 20 tahun.
"Tegang tetek engkau Milah" Pak Husin mengconfirmkan lagi.
Perlahan lahan ditolaknya badan akak dengan badan dia yang tegap itu ke depan cermin almari baju akak. Nampak dalam cermin tangan dia mengerjakan tetek akak. Tak lama lepas tu kain kurung akak mengelongsor ke bawah meninggalkan seluar dalam hitam aje. Dalam cermin tu nampak tangan dia dah menjalar ke dalam seluar dalam tu. Malu akak nak tengok.
"Ahhhh" keluar keluhan dari akak bila terasa kelentit akak disentuhnya.
"Besarnya kelentit kau" bisik Pak Husin kat telinga akak. Lepas tu dirabanya seluruh cipap akak.Terasa dikuaknya bibir cipap.
‘Banyaknya air kau" dia bisik lagi. Dihulurkan jari dia ke dalam cipap akak.Disorong tarikkan jari hantu dia tu.
"Pakcik, Milah nak". "Milah tak tahan" tak sedar akak mintak pulak.
Lepas tu akak dapat rasa lidah pak Husin menjalar turun di belakang badan akak. Geli stim akak dibuatnya. Dalam cermin tu nampak dia dah mengcangkung kat belakang akak. Seluar dalam akak ditariknya turun. Terasa kedua dua punggung akak digigitnya perlahan lahan. Lidah dia turun lagi dan dijilatnya belakang lutut akak. Sedapnya tak tahu akak nak gambarkan.
Inzal akak.
Lepas tu badan akak dipusingkannya membuatkan muka Pak Husin betul betul mengadap cipap akak. Disuanya lidah dia kat situ sampai akak tak sedar menarik kepala dia melekap kat cipap akak. Entah macammana akak dibaringkan ke katil. Dikuakkan kedua dua peha akak, maka terpampanglah cipap akak yang dah lecun tu. Akak tutup mata akak dengan lengan pasal terasa malu . Yalah entah apa rupanya pasal dah tiga kepala budak keluar kat situ. Dah lama jugak akak tak trim bulu akak.
Tiba tiba akak rasa ada benda basah lembut menjalar kat cipap akak. Tahulah akak lidah Pak Husin tengah bekerja bila terdengar sekali sekala bunyi ‘slurp,slurp’. Itulah kali pertama cipap akak dijilat. Laki akak tak pernah buat pun selama 15 tahun kitorang kawin. Jari hantu je yang menggesel kat situ. Sedap betul akak rasa masa kena jilat tu, orang tua ni banyak pengalaman rupanya. Entah entah belajar masa kena hantar pergi Congo dulu. Sekali tu dikemamnya kelentit akak maka apalagi melolonglah akak . Akak kepit kepala dia dengan kaki akak. Entah berapa kali akak inzal masa tu tak dapat akak ingatkan lagi. Menggigil akak engkorang tahu. Tak pernah akak kena teruk macam ni.
Pak Husin lepas tu merangkak naik ke atas dan akak tengok mulut orang tua tu basah semacam je macam orang kena gila babi aja. Diciumnya akak, rasa masin masam payau mulut orang tua tu. Berlawan lidah kami masa tu, ditolaknya lidah dia sampai nak kena anak tekak akak. Lepas tu dia turun sikit dihisapnya tetek akak kiri kanan. Disedut sedutnya putting akak, kekadang tu digigitnya. Celah ketiak akak pun dijilatnya. Bengkak semacam tetek akak lepas tu.
Habis tu Pak Husin naik ke atas pulak, dia macam duduk kat depan akak. Apalagi terhidanglah konek dia depan mata akak. Besar betul konek dia lebih kurang dua kali konek laki akak. Berdenyut denyut kepala konek masa tu. Disuanya konek dia kat mulut akak. Akak yang tak pernah mengulum konek ni tak tahulah masa tu apa nak buat. Yalah yang laki akak punya nak tengok pun susah sedar sedar dah masuk je. Akak bukalah mulut akak bila dia gesel konek dia dua tiga kali kat bibir akak. Terus ditonyohnya konek dia masuk. Sekali tu masa ditariknya keluar, akak jilat kepala dia lepas tu akak jilat sepanjang konek dia terutama kat bahagian bawah. Sepanjang urat konek tu lidah akak ikut. Pak Husin lepas tu suruh akak jilat telur dia, akak ikutkan aje walaupun bulu dia yang berserabut tu menyesakkan hidung akak je. Sekali tu akak kemam telur dia sebelah apalagi mengadoi orang tua tu dibuatnya.
Pak Husin lepas tu tolak akak suruh baring semula. Dia duduk kat celah kelangkang akak. Kaki akak diangkat kedua dua ke atas lepas tu akak dapat rasa dia menggesel gesel konek dia kat kelentit akak. Lepas tu dia pandang akak dan dengan perlahan lahan konek dia masuk ke lubang cipap yang dengan lahap menyambutnya. Agaknya pasal air dah banyak maka dengan senang dia masukkan sampai santak. Akak pun bukan anak dara lagi. Dia buat macam pusing pusingkan konek dia kat dalam tu agaknya nak kasi lebih mengenali antara satu sama lain. Ataupun nak buat lubang akak dapat adjust dengan konek dia yang besar tu.
Dengan tangan dia memegang kedua dua belah kaki akak, dia pun mulalah sorong tarik konek dia. Sedapnya dik non. Habis cadar akak tarik sebelum akak paut tengkok dia pulak. Sekejap tu dia diamkan kat dalam tu. Sekejap tu ditariknya konek dia keluar sampai tinggal sikit kepala kat dalam sebelum ditonyohnya masuk sampai ke pangkal membuatkan bulu bertemu bulu. Mulut akak tak berhenti henti mengeluarkan sound effect masa tu. Sekali tu kaki akak bertaut kat belakang dia dengan tangan akak memaut tengkuk dia. Apalagi sesekali tu terangkat badan akak dari katil.
Lama juga akak kena balun . Sampai dah banyak kali dah tak terkirakan. Cup cap cup cap bunyi projek piling kami. Tiba tiba Pak Husin mendengus " Milahhhhh, aku nak sampaiiiii".
"Milahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh" Pak Husin jerit sambil mencabut konek dia dari cipap akak. Bersembur air mani dia kat atas perut akak, ada yang sampai lubang hidung akak. Agaknya bahana bertahun tahun diperamnya. Banyak betul air mani orang tua tu sampai penuhlah pusat akak. Terjelepuk dia kat sebelah akak menelentang.
Kedua dua kami diam memandang syiling. Nafas kami je kuat kemengahan. Pak Husin lepas tu toleh kat akak, disapunya air mani yang kena kat hidung akak dengan tersenyum. Akak senyumlah balik. Akak pegang konek dia dan akak urut urut biar habis semua air mani dia keluar. Lepas tu Pak Husi tarik akak dan akak letaklah kepala akak atas dada bidang dia tu. Romantik gitu.
Mulai hari itu boleh kata hari hari kami buat. Tak sabar akak tunggu budak budak tu pergi sekolah. Pergi je bas sekolah tu muncullah kekasih veteran akak tu kat muka pintu. Tutup je pintu tu macam bohsia jumpa bohjan je kami berdua. Semenjak hari tu Pak Husin dah jarang tengok kebun dia di Semenyih. Buat apa kata dia, kat sebelah rumah pun ada kebun yang ndak dikerjakan.
344 notes
·
View notes
Text
Momok Berumah Tangga
Alhamdulillah hampir tiga bulan menjalani peran baru sebagai seorang isteri. Tentu saja, banyak sekali episode baru setiap harinya yang membuat hari-hariku semakin berwarna. Sejak awal menikah, kami sudah komitmen untuk tinggal sendiri, berpisah dari orang tua. Wah, ini menjadi tantangan untukku pribadi. Bagaimana caranya bisa menjalani kehidupan berumah tangga yang sebelumnya tak pernah kubayangkan akan ada di depan mata? Meskipun sebelumnya aku sudah menyicil sedikit demi sedikit mempersiapkan diri, t-tapi banyak yang bilang, realitanya tak seindah yang dibayangkan. Jadi, harus benar-benar menguatkan mental.
Momok yang paling menakutkan buatku dalam kehidupan baru ini adalah: me-ma-sak. Ya! Dari sekian banya to-do-list seorang isteri, masak adalah hal yang amat krusial. Pasalnya, ketika sebelum menikah aku bisa dikatakan tidak ada minat memasak, baik masak lauk-pauk ataupun dunia per-baking-an. Tentu saja ada sebabnya.
Ketidak-minatanku ini bermula dari, tiap kali aku mencoba mengumpulkan niat untuk membantu mama memasak di dapur, ada saja kecerobohan yang aku lakukan. Dari mulai mengiris bawang yang ketebalan, terigu yang luber kemana-mana, minyak yang menyiprat ke tangan, tangan yang tidak sengaja tersayat, dan lain sebagainya. Sebenarnya, itu wajar dan lumrah dialami bagi orang yang jarang terjun ke dapur. Tapi, tiap aku melakukan kesalahan, aku merasa gagal. “Masa gini aja nggak bisa sih?” umpatku pada diri sendiri. Tidak bermaksud menyusahkan, mama akhirnya menyuruhku mengerjakan pekerjaan lain yang resikonya rendah, yaitu: ngulek sambal. Okelah, aku setuju. Lagi-lagi, terkadang aku juga ceroboh. Sudah menjadi kewajiban bagi mama untuk mengingatkan, agar tidak terjadi kesalahan yang sama. Tapi kadang, aku merasa teguran mama sebagai tamparan yang sakitnya sampai ke ulu hati wkwkwk. Kalau kondisi mood-ku saat itu sedang tidak baik-baik saja, maka aku akan marah dan meninggalkan begitu saja pekerjaan yang mama tugaskan. Berlari ke kamar dan menangis. Iya, aku se-baper itu! Hahaha. Kejadian itu nggak cuma sekali-dua kali, tapi berkali-kali. Akhirnya, dari pada aku nggak bisa kontrol emosi tiap dikritik mama, aku putuskan untuk meminimalisir inisiatif untuk bantu mama masak. Mending aku ngerjain pekerjaan lain aja, seperti nyapu, ngepel, nyuci atau nyetrika. Pokoknya kalau mama nggak minta bantuan, aku nggak akan sok-ngide pergi ke dapur.
Sampai akhirnya, menjelang hari H pernikahan, karena sudah tahu akan tinggal berdua aja sama suami nantinya, aku berusaha sekuat tenaga untuk mau memasak. Kebetulan, aku juga baru masuk kantor, jadi sambil belajar, aku menyiapkan bekal dengan masakanku sendiri. Tentu saja dengan catatan: aku nggak mau dibantu mama. Hehe. Mau gimana pun rasanya, ya aku nikmatin aja prosesnya. Dan ternyata, itulah cara terbaik buatku supaya nggak fobia masak. Dengan liat resep dari google, youtube, dan media lainnya alhamdulillah sedikit demi sedikit aku mulai berminat masak masakan yang mudah untuk pemula kayak aku.
Sekarang, meskipun tiap masak masih harus nontonin video tutorialnya berulang-ulang, aku sudah mulai percaya diri untuk belajar. PR-ku tentu saja masih banyak. Salah satunya, gimana caranya masak nggak lama. Karena jujur aja, sampai sekarang suami masih suka komentar karena aku kelamaan di dapur, padahal cuma goreng tempe aja. Wkwk. Part paling susah saat memasak buat aku adalah kupas kulit duo bawang. Terutama bawang merah! Jujur aja, itu yang menghambat kecepatan memasak aku. Solusinya, aku beli bamer-baput yang udah kupasan aja biar menghemat waktu. Haha. Nggak papa deh harganya lebih mahal dikit, yang penting semangat memasakku jangan sampai kendur.
Dulu, aku pikir, ngapain repot-repot masak, kan bisa beli. Tapi, kalau dihitung-hitung, masak sendiri bisa menghemat pengeluaran keluarga, aku pun bisa menjelajah lebih luas dunia baru ini. Dan tentunyaa lebih disayang suami karena rajin masak haha. Meskipun rasa masakanku masih fluktuatif, kadang keasinan, hambar, kurang ini, kurang itu, tapi ya dinikmatin aja. Apalagi suami bukan tipe picky eater, asal jangan terlalu pedas, dia lahap-lahap aja. Alhamdulillah.
Yah, inilah episode baru kehidupan berumah tangga versi aku. Banyak banget hal yang harus dipelajari dan dihadapi setiap harinya. Bismillah, kalau semuanya diniatkan lillah, insyaAllah segala capek, lelah, kesal, sedih, senang yang dialami akan bernilai ibadah. Doakan yaa semoga keluarga kami senantiasa dinaungi sakinah, mawaddah wa rahmah. Aammiin.
23 notes
·
View notes
Text
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Semasa sekolah beliau sudah habiskan usianya untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa menjadi teladan untuk keempat adiknya. Agar menjadi kebanggaan bagi orang tua.
Tidak ada kisah roman ala anak sekolah, galau tidak jelas hingga jadi membangkang orangtua.
Sejak sekolah menengah hingga lulus sekolah tinggi, beliau selalu bersekolah di tempat yang terbaik. Bukti nyata kesungguhan beliau berkutat dengan ilmu. Mengabaikan pengumuman kelulusan dari Institut terbaik di Bandung saat itu demi meringankan biaya orangtua, dan lebih memilih melanjutkan di sekolah kedinasan yang bebas biaya.
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Baru saja lulus sekolah tinggi, belum juga mengecap dinamika pergulatan muamalah dengan manusia, murobbi telah mengarahkannya untuk menggenapkan separuh agama.
Masih muda sekali jika dilihat pada konteks hari ini, 22 tahun usia. Bahkan kedua orangtua dan adik-adik terkejut mendapati keputusan itu
Bukan seorang kaya yang datang, pun bukan juga yang berpangkat tinggi, bahkan laki-laki itu belum usai masa studi menjadi mahasiswa strata satu, bukan teman lama ala cerita romantis yang katanya diam diam memendam cinta. Bahkan melihat wajahnya saja baru ketika akad nikah sudah bergema.
Namun karena taat sudah bertahta dan percaya bahwa biduk rumah tangga ini akan dibawa mengarungi samudera dakwah maka lugas saja menyetujuinya
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Tak ada kisah romantis dalam pernikahannya, seluruh isinya hingga hari ini adalah perjuangan. Setahun bersama, anak-anak mulai beruntun lahir ke dunia.
Besar satu, muncul lagi kedua. Kedua mulai merangkak, muncul pula ketiga. Ketiga mulai bisa berlari lahir pula keempat. Keempat masih belum masuk usia sekolah, kelima sudah menangis dalam kondisi merah.
Kelima masih tertatih bicara, keenam sudah hadir dengan tangisan kencangnya. Keenam masih gemar digendong, lahir pula ketujuh. Ketujuh baru mulai menjejak usia sekolah dasar, putri kedelapan menangis kencang menggenapkan keramaian putra putri di rumah.
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Beliau gali tutup lubang hutang agar pendidikan terbaik dengan ruh islam didapati untuk putra putri. Berbagai peran dilakoni agar nasi hangat dan lauk pauk tersedia dibalik tudung saji. Menyekolahkan anak-anak ke Pesantren berbekal keyakinan Allah pasti yang akan mudahkan dalam pembiayaan.
Menggendong dan menuntun anak-anak kecilnya untuk senantiasa tetap hadir di pertemuan pekanan meski berdesakan di kereta atau angkutan kota. Mengayuh sepeda besar agar bisa tetap mobilisasi dari satu tempat ke tempat dan mengenyahkan ragam omongan manusia.
Dan kini, anak-anaknya yang dulu meramaikan rumah siang malam dengan riuh tawa, pekik teriakan, hingga raung tangisan mulai memasuki gerbang pernikahan.
Menggenapi agama dengan orang-orang baru yang ia ridhoi agamanya. Meninggalkan rumah, menyisakan keheningan yang menggantung di langit-langit.
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Beliau tidak pernah menuntut anak-anak untuk melanjutkan studi dimanapun, karena citanya ialah semua anak-anak besar dan tumbuh menjadi anak shalih shalihah yang mencintai quran, dengan latar belakang ilmu yang diperbolehkan kajiannya oleh agama.
Beliau hanya mulai bersuara dan lumayan keukeuh ketika anak-anak mulai enggan hadir di pertemuan pekanan. Menurut pandangnya, pertemuan itu ialah juang yang harus dijaga konsistensinya sepanjang hayat.
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Harapnya sungguh tak berlebihan.
Beliau hanya ingin bisa lebih banyak hadir mengikuti kajian tadabbur Qur'an. Karena semasa dulu belum bisa meluangkan waktu untuk itu.
Beliau hanya ingin setiap hari bisa tilawah berjuz-juz, karena sedari dulu berkutat mengurus bayi yang menangis terus.
Beliau hanya ingin hadir tepat waktu dalam setiap pertemuan pekanan, bertemu lebih banyak ibu-ibu yang semangat belajar Qur'an dan mengenal Islam. Karena baginya pertemuan itu yang membuat jiwa tenang, tersebab ayat-ayat Allah yang digemakan
Beliau hanya ingin bisa di talaqqi hafalan, agar di usia yang sudah mulai menua dan daya ingat mulai menurun bisa tetap setoran hafalan di kelas tahfizh yang diikutinya
Beliau hanya ingin anak-anak ikut bangun sebelum subuh untuk menunaikan minimal dua rakaat shalat malam
Hingga saat ini, tidak bolehkah ibumu menikmati bahagia?
Biar saja jadi kau yang masih Allah amanahkan untuk berlelah mengurus urusan domestik rumah. Tak mengapa perabotan tidak selalu tertata ala tampilan dekorasi rumah di jagat sosial media. Pulanglah lebih sering menjenguk rumah dengan wajah sumringah. Biarkan Umi berlama-lama dengan mushafnya.
Ketika syukur yang terlangitkan, bukankah ketenangan hidup lebih bisa didapatkan? Bukankah dengan memudahkan orang lain untuk mendekatkan diri pada Allah, kau juga mendapat ganjaran?
Berapa kali sudah di bilang, nikmatilah hidup dalam kesederhanaan dan berbakti tanpa perhitungan!!
Suatu renungan ketika suka cemberut di rumah karena capek bebenah, dan Umi dengan senyum mengatakan
"Lulu senyum dong, kalo Lulu senyum itu sudah seperti setengah urusan selesai.."
Maaf Umi karena masih suka ngambek terus, tapi kalo habis ngambek selalu nyesal sampe sesek gitu beneran :"
6 notes
·
View notes
Text
Peri-peri didunia Disney dan ruang makan rumahku
Kepada angin yang bertiup tipis-tipis
Aku bisikan padanya
“Jangan bilang ibuku, aku masih mencintainya”
Tapi aku lupa, sendok garpu didepanku punya telinga.
Jadi aku ulang berbisik pada sendok dan garpu
“Jangan bilang ibuku, aku masih mencintainya”
Mereka mengangguk, tapi aku lupa ada piring kosong yang masih bersih, tumis kangkung, ada ikan goreng, sambal kecap, nasi putih dan beberapa potong buah semangka di depanku.
Jadi aku ulang
“Hey kalian semua yang ada di depanku, aku tau kalian mendengar ini jadi jangan bilang ibuku, aku masih mencintainya. Kumohon atau dia akan mencubit pahaku lagi”
Dalam khayalan ku mereka serentak mengagguk seolah mengerti bahasa manusia.
Tapi aku lupa kalau ada peri-peri yang selalu berterbangan mereka mendengar bahasa apapun dan berbicara dengan bahasa apapun, atas izin Sang Pencipta mereka berterbagan kesana kemari menuju hati yang selalu percaya keajaiban persis seperti filem dongeng yang selalu ibuku putarkan. Sial pekikku mereka pasti mendengar bisik-bisik rahasiaku bersama alat-alat makan dan lauk pauk ini, mereka pasti akan menyampaikan pada ibuku.
Jadi aku ulang bisik-biskku
“Peri-peri yang baik, sejak kecil aku dicekoki kehebatan kalian dalam dunia dongeng dan aku percaya diduniaku yang berisik dan menggemaskan ini kalian juga ada jadi bisakah kita bersahabat dan menunjukan keajaiban itu sedikit saja
Aku tidak akan minta kalian merubah buah labu menjadi kereta kencana atau merubah kodok menjadi pangeran tampan dengan kecupanku atau membuat ku tetap kelihatan cantik meski di medan perang berhari-hari tanpa mandi seperti Mulan. Itu semua pasti sulit sekali”
“Jadi aku akan meminta hal-hal sederhana saja seperti rahasiakan bisik-bisikku tadi dari ibuku!! “
Tapi tiba-tiba seperti ada satu peri yang berbisik
“Hanya itu, keajaiban itu sungguh diluar nalarmu jika kau percaya. Apa kau meragukan kami yang mampu menyatukan putri duyung dengan manusia?”
Aku tertegun dan hampir berteriak kaget tapi benar juga apa aku meragukan kemampuan peri-peri ini yang mampu membuat Elza menghasilkan es batu hanya dengan memetik jari jemarinya.
Jadi aku ulang bisik-bisikku
“Peri-peri yang baik jika keajaiban luar biasa seperti di dunia dongeng yang selalu ibuku dulu putarkan benar adanya bisakah membuat ibuku mengerti kalau aku masih mencintainya?? Tidak bukan hanya pada ibuku ; buat mengerti juga ayahku, ibunya, ayahnya, orang-orang tua di keluarga kami, sahabat-sahabatku, teman-teman tonkrongannya, dirinya dan pada orang-orang yang selalu meragukan hatiku kalau aku masih mencintainya dan aku bertahan dengan hal itu. Seperti bertahanya Putri salju yang hidup di tengah hutan hanya berkawan beberapa kurcaci”
“Peri-peri yang sayapnya berkilauan seperti manik-manik di baju para putri kerajaan, bisakah membantu untuk membuat semua mengerti, aku bukannya tidak bisa jatuh hati pada orang yang baru karena kenyataannya kau mampu jika aku mau, tapi sungguh jiwaku sudah bertaut padanya sulit melepas sulit berpaling”
“Peri-peri yang tulang pipinya merona, aku mungkin tidak bersifat pemberani seperti Moana dan tidak serba bisa seperti Merida. Aku bukan perempuan yang pandai memainkan pedang seperti Mulan. Aku tidak punya banyak uang dan tahta yang baik seperi Jasmine, kulitku ku tidak sebersih Milik Auorora dan bibirku tidak semerah milik Snowwhite. Tapi bisakah berikan aku juga keajaiban seperti yang kalian berikan pada mereka tau rubah saja aku jadi peri jadi aku bisa membawa keajaiban sendiri untuk kehidupanku tidak perlu mirip Twinkel bell karena aku tidak suka wanra hijau dan aku berhijap gaun milik trwinkell bell terlalu mini, tidak cocok untukku”
Aku menghela nafas menyadari sudah sangat panjang aku bercerita dalam hati pada peri-peri. Aku tersenyum lega sekali, nyaris mirip dengan senyumku saat pertama kali pintar mengayuh sepeda.
Perlahan mulai ku lahap lauk pauk di depanku.
Enak sekali pekikku, nanti kalau peri-peri telah memberikan keajaiban itu Dia harus mencoba lauk pauk ini.
2 notes
·
View notes
Text
Kayuh
Bahasa Melayu Apa yang Nawal rasa petang itu mengayuh basikal ungunya bukanlah perasaaan yang baru baginya. Kebahagiaan yang menyelubungi seluruh tubuh gadis tingkatan dua itu dirasainya setiap kali dia mengayuh basikal yang Nek Mah hadiahkan kerana dia berjaya menamatkan pengajian sekolah rendah, satu pencapaian yang cukup menggembirakan hati orang tua itu.
Basikal Raleigh Chopper yang dibeli Nek Mah dengan duit yang dikumpulnya menjual lauk-pauk dan kuih-muih cukup sebagai teman Nawal. Dia sentiasa tersenyum menaiki basikal yang dianggapnnya seperti adik yang tidak pernah jelma dalam hidup dia. Gadis berambut tocang dua itu sentiasa kelihatan bersama dengan basikal buatan England itu ke mana-mana sahaja.
Tiada siapa pun di Kampung Ubi yang memiliki basikal yang lebih mencuri pandangan orang ramai daripada basikal itu. Tempat duduknya bersandar. Tayar hadapan basikal itu bersaiz lebih kecil daripada tayar belakangnya. Pemegangnya seperti pemegang motosikal chopper. Nawal rasa dialah budak yang paling beruntung di kampung itu, nah, di seluruh Singapura kerana dia memiliki basikal seunik itu.
Dengan basikal itu, Nawal tidak rasa sebarang beban untuk ke sekolah. Tanpa disuruh dan dipujuk, Nawal akan ke sekolah walaupun dia kurang berminat dengan apa yang diajarkan di sana. Biarpun Singapura ada beberapa sekolah berbahasa Melayu, Nek Mah memasukkan Nawal ke sekolah berbahasa Inggeris. Dia faham akan hakikat hidup di Singapura. Mahu tidak mahu, sesiapa pun di negara kota itu perlu mempunyai kebolehan berbahasa Inggeris untuk maju dalam hidup. Nek Mah mahu Nawal mempunyai lebih banyak peluang daripadanya apabila cucunya itu tamat persekolahan nanti. Dia yakin yang dia masih boleh mendidik Nawal aturan hidup dan budaya Melayu di luar sekolah. Pendidikan Nawal tidak terhad di sekolah sahaja.
Hati Nawal meledak kebanggaan setiap kali dia perasan rakan-rakan sekolahnya memandang basikal yang disayangi gadis itu. Kadangkala dia melambai-lambai kepada sesiapa yang dia rasa sedang memerhatikan dia dan basikal itu. Ada yang membalas dengan lambaian, ada yang terus mengalihkan pandangan mereka.
Nawal tidak langsung lokek untuk membenarkan kawan-kawannya cuba menaiki basikal itu, membuatkan Nawal disukai ramai di sekolah. Rasa sayang Nawal terhadap basikal itu jelas kelihatan dengan kilauan yang terpancar darinya. Nawal membasuh dan menggilap basikal istimewa itu dengan kerap tanpa sebarang arahan daripada Nek Mah. Basikal itu juga dikunci rapi apabila di sekolah dan di simpan di dalam rumah apabila Nawal tidak berada di luar bersamanya.
Basikal itu bukan setakat basikal yang mengangkut Nawal ke hulu ke hilir untuk menuntut ilmu. Pada petang hari, Nawal juga bermain basikal dengan remaja-remaja lain yang mendiami Kampung Ubi. Kesemuanya lelaki yang berumur tiga ke empat tahun lebih tua daripadanya. Nek Mah tidak sedikit pun menghalang cucunya itu. Sayangnya terhadap Nawal, yang sudah pun kehilangan kedua ibu-bapanya, bagaikan dialah yang melahirkan Nawal. Kadangkala Nek Mah lupa yang Nawal itu cucunya dan bukanlah anak kandungnya. Dia seronok melihat Nawal mempunyai ramai kawan dan kegembiraan gadis itu sedikit sebanyak menyerikan hidup Nek Mah.
“Ni ha, awak tengok cucu awak seorang ni, habis luka sana sini jatuh main basikal. Macam jantan. Tak padan perempuan! Lasak habis,” bebel Puan Julie kepada Nek Mah sambil jirannya itu menyerahkan Nawal kepada Nek Mah.
Nawal memang selalu bermain basikal dengan Jason anak Puan Julie dan kawan-kawan Jason. Dari kecil Nawal memang lebih suka bermain dengan budak-budak lelaki. Dia sedikit pun tidak hirau digelar tomboy dan lain-lain panggilan yang kononnnya sepatutnya membuatkan dia rasa malu. Bagi Nawal takdir dilahirkan sebagai seorang perempuan bukanlah penghalang buatnya untuk menjadi lasak.
Puan Julie dan Nek Mah sudah hidup berjiran di Jalan Halia bertahun-tahun. Mereka memang tidak cakap berlapik sesama sendiri. Apa yang terdetik di hati, itu lah yang diucapkan. Biarpun begitu, Nek Mah sungguh tidak boleh terima bebelan Puan Julie pada hari itu. Dia tidak sedikit pun teragak-agak untuk membela Nawal.
Nek Mah pun membalas, “Awak jangan pandai cakap pasal anak orang saja, anak awak pun dua kali lima!”
Kalau tentera Jepun pun Nek Mah berani halau dari rumahnya dulu, inikan pula setakat jirannya yang jauh lebih muda daripadanya.
Perasan takut tidak menghantui hidup Nek Mah. Semua hal yang menakutkan sudah pun melanda hidupnya. Suami Nek Mah lari meninggalkannya untuk perempuan lain, lalu membiarkannya membesarkan empat orang anak seorang diri. Ditakdirkan pula seorang daripada yang berempat itu, ayah Nawal, turut kehilangan nyawa pada usia yang muda. Penjajahan, kehilangan, kemiskinan, semuanya telah ditempuhi Nek Mah. Bebelan jirannya itu hanyalah sekelumit kesulitan buat orang tua itu.
Sebaik sahaja Puan Julie meninggalkan halaman rumah Nek Mah, dia pun memeriksa luka-luka di badan Nawal. Sambil menyapukan ubat gamat ke atas luka-luka itu, Nek Mah pun berpesan kepada Nawal, “Kan aku dah cakap dengan kau, kau nak main basikal ke, main bola ke, apa-apa pun lah, dengan budak jantan, aku sikit pun tak halang. Tapi kau kena jaga diri kau. Jiran-jiran kampung kita memang suka cari salah. Tak kisahlah Melayu ke, Cina ke, Arab ke, India ke, Serani ke, siapa-siapa pun lah. Kalau nampak benda yang tak kena bagi dia orang, mesti akan jadi buah mulut. Kita memang tak nak hiraukan apa orang kata, tapi kalau kita boleh elak daripada dia orang buka mulut, lebih senang hidup kita.”
Sambil menahan sakit disapukan ubat pada luka-lukanya, Nawal pun menceritakan apa yang terjadi kepada neneknya. Pagi tadi, dia dan Jason pergi ke sebuah lebuh raya yang baru siap berhampiran Kampung Ubi. Masih belum ada kenderaan yang menggunakannya. Melihat betapa luas, lurus dan panjangnya lebuh raya itu, mereka pun bersetuju untuk berlumba basikal di situ. Bukan selalu datang peluang sebaik itu. Sebelum ini, mereka hanya berlumba di jalan-jalan kecil di kampung mereka. Kadang-kadang mereka berlumba hingga ke Geylang, yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah mereka. Tetapi jalan ke sana dari Kampung Ubi juga dipenuhi beca, jadi agak sukar untuk mereka berlumba hanya mengikut kebolehan mengayuh paling pantas. Terlalu banyak gangguan lain.
“Siapa yang menang dapat apa?” Nawal bertanyakan Jason sebelum mereka memulakan perlumbaan.
“Satu permintaan”, jawab Jason. “Apa-apa permintaan?”, Nawal menanyakan satu lagi soalan untuk mendapatkan kepastian.
“Apa-apa sahaja,” Jason balas tanpa ragu.
Nawal terus memecut sebaik sahaja perlumbaan terpenting bagi mereka berdua bermula. Kayuhan Nawal bertenaga dan cermat, memacunya jauh lebih hadapan daripada Jason. Dia menoleh ke belakang sekali-sekala untuk memastikan dia masih mempunyai harapan untuk memenangi perlumbaan itu. Jason tidak terus mengalah, dia kayuh selaju yang dia mampu. Semakin lama, Jason semakin menghampiri Nawal, namun Nawal tidak rasa gentar langsung.
Jason sudah selalu menang, jadi inilah peluang Nawal untuk membuktikan yang dia lah yang paling laju mengayuh basikal, hakikat yang dia sudah lama percaya.
Garisan penamat sudah tidak jauh buat Nawal, tetapi apabila dia menoleh ke belakang sekali lagi dan berdiri untuk mengayuh dengan lebih pantas, kaki kanan Nawal terlepas dari pedal. Perasaan cemas yang mencengkam Nawal membuatkannya hilang kawalan, lalu merebahkan basikal itu dan dirinya. Tubuhnya bergeser dengan tar apabila dia diheret sekali dengan basikal itu. Jason terkejut melihat kemalangan itu tetapi dia sempat menghentikan basikalnya sebelum dia melanggar Nawal. Jason berkejar ke arah Nawal dan membawa kawannya itu pulang ke rumahnya.
Nawal tidak keluar bermain basikal buat seketika sejak kemalangan itu kerana malu akan apa yang terjadi. Jiran-jiran sejalan mereka semuanya dengar herdikan Puan Julie tempoh hari. Mujur basikal Nawal dapat dibaiki semula tanpa sebarang masalah. Dia hanya berbasikal untuk ke sekolah dan ke kedai.
Jason pun tidak mencari Nawal lagi sejak haritu itu. Kadangkala mereka bertembung di sekolah tetapi mereka tidak bertegur. Masing-masing menunggu yang lain untuk memulakan perbualan. Mungkin Puan Julie tidak mahu mereka berkawan lagi jadi Jason tidak berani untuk menegur Nawal dulu. Lagipun Jason sudah hampir tamat persekolahannya.
Pengahiran persahabatan mereka menjadi pasti beberapa bulan kemudian apabila penduduk-penduduk Kampung Ubi terpaksa berpindah dari rumah-rumah mereka ke rumah-rumah flat yang baru siap dibina. Perpindahan itu bukanlah satu kejutan buat mereka. Di sekeliling kampung itu sudah pun terbina rumah-rumah flat dan mereka tahu giliran mereka juga akan tiba. Rumah-rumah mereka yang serba sederhana akan dirobohkan untuk membina lebih banyak rumah flat. Singapura membangun dengan sangat pantas, memaksa penduduknya mengikut arus pembangunan negara itu. Dalam jangka masa hidup Nek Mah sahaja dia menyaksikan Singapura berubah menjadi negara merdeka. Tempat-tempat yang dikenalinya turut berubah rupa, kadangkala nama-nama tempat itu juga diganti dengan yang baru. Walaupun berat hati untuk berpindah, masing-masing hanya akur demi kelangsungan hidup.
Pada mulanya Nek Mah dan Nawal rasa janggal tinggal di tingkat sepuluh rumah baru mereka di Bedok. Setiap hari mereka perlu menggunakan lif, satu perubahan yang ketara bagi mereka pada masa itu. Nawal risau akan Nek Mah kerana lif di flat mereka hanya berhenti di beberapa tingkat, jadi mereka terpaksa menggunakan tangga untuk sampai ke rumah mereka atau pergi ke lif. Orang tua itu tidak lagi secergas dulu tetapi lama-kelamaan semua ini menjadi kebiasaan buat mereka. Basikal Nawal pula terperuk di dalam stor kerana susah untuk Nawal membawanya keluar masuk. Dia takut basikal itu dicuri kalau ditinggalkan di bawah kolong bangunan flat mereka.
Rumah flat yang didiami mereka tidak terlalu kecil berbanding rumah kampung yang sudah pun dirobohkan. Sedikit demi sedikit, mereka menghiasi rumah itu dengan perkakas yang baru mahupun yang lama. Biarpun ringkas, susun atur rumah itu sering dipuji saudara-mara yang datang ke rumah mereka setiap kali hari raya tiba. Tetamu selalu terhibur dengan gelagat Nawal yang celoteh orangnya, digandingkan pula dengan keramahan Nek Mah. Tetamu-tetamu mereka suka akan gelagat-gelagat dan cerita-cerita mereka berdua.
Dulu di Kampung Ubi, semua orang berkongsi beberapa jamban untuk kegunaan penghuni-penghuni beberapa rumah yang bersebelahan. Seminggu sekali akan ada orang yang datang mengangkut najis-najis yang sudah terkumpul. Nawal perlu mengejut Nek Mah pada tengah malam untuk menemaninya ke tandas. Mereka tidak perlu lagi hadapi semua ini kerana adanya tandas di dalam setiap rumah flat.
Walaupun mereka rindu Kampung Ubi, Nawal dan Nek Mah menemui nikmat baru di rumah itu. Dari meja makan ruang tamu mereka, Nawal dan Nek Mah dapat menikmati pemandangan laut, walaupun sedikit terhalang dengan flat-flat yang lain.
“Nawal, kau tengok tu tepi laut ada taman. Kau tahu kan yang taman tu semua tambak? Dulu situ dah kira laut dah tu.”, Nek Mah berkata kepada Nawal suatu hari ketika mereka sedang menjamu selera. Nawal hanya mengangguk.
Nek Mah pun menyambung, “Apa kata nanti kita pergi sana? Tengok apa ada dekat sana. Aku rindu pula pergi tepi laut, dulu masa budak-budak, kampung aku tepi pantai. Sekarang mana nak dapat rumah betul-betul tepi laut kat Singapura ni.”
Keesokkan harinya mereka pun pergi ke East Coat Park yang selama ini mereka hanya pandang daripada meja makan. Ramai orang dari seluruh pulau itu suka menghadirkan diri ke sana untuk berbasikal, bersiar-siar dan berkelah. East Coast penuh dengan tenaga dan ragam pelbagai jenis penduduk Singapura mahupun pelancong asing.
Sejak hari itu, mereka sering ke taman itu, paling kurang pun sekali dalam sebulan. Kadang-kadang mereka ke sana untuk berkelah dengan anak-anak dan cucu-cucu Nek Mah yang lain. Nasi, lauk-pauk dan kuih-muih disediakan Nek Mah seperti ada majlis keramaian. Mereka seolah-olah berkampung di tepi pantai. Sekali-sekala Nawal bawa basikalnya ke sana dan berpusing-pusing di sekitar taman itu dengan sepupu-sepupunya.
Tahun berganti tahun, Nek Mah dan Nawal terus menetap di rumah flat mereka. Petang-petang yang Nawal tidak bermain di luar lagi digunakkannya untuk bermasak dengan Nek Mah dan membaca karya-karya sastera bahasa Inggeris yang dipinjamnya dari sekolah. Minatnya terhadap bahasa Inggeris semakan mendalam semakin banyak buku yang dibacanya. Minat ini akhirnya berubah menjadi kerjaya apabila dia mula berkhidmat sebagai seorang guru bahasa Inggeris setelah menamatkan pengajiannya. Hati Nek Mah cukup senang dengan hakikat ini. Cucunya menjadi orang.
Kalau dulunya Nawal berbasikal untuk ke sekolah sebagai pelajar, dia ke sekolah menaiki bas sebagai pengajar. Basikalnya lebih selalu terperuk di dalam stor menunggu hari dibawa keluar dan ditunggang Nawal. Nek Mah pula tidak lagi kuat menjalankan perniagaan kecilnya. Dia bersyukur duit yang Nawal dapat hasil bekerja sebagai seorang pendidik cukup untuk mereka berdua. Dalam diam, selama ini dia menyimpan rahsia sakitnya dari Nawal. Dia tidak mahu Nawal berhenti belajar untuk berkerja dan menjaganya.
Pada hari-hari yang Nek Mah bertenaga untuk keluar rumah, dia masih kemas berkebaya yang dipadankan dengan kain batik yang halus seninya. Kepala orang tua itu tetap dihiasi selendang. Gaya pemakaiannya kekal sama dari zaman tinggal di kampung dulu hinggalah ke zaman menetap di rumah flat. Biarpun kesihatan Nek Mah semakin buruk sehinggakan dia tidak dapat lagi menyembunyikannya daripada Nawal, dia tetap menggagahkan dirinya menjalani hari-harinya. Dia cuba untuk memasak setiap hari bagi melupakan sakit yang terus mengambil nyawanya sehari demi sehari. Keceriannya tidak sedikit pun malap dek usia mahupun sakit itu.
Nek Mah keluar masuk hospital dengan kerap. Biarpun dia mengambil ubat-ubat yang disarankan doktor, ajalnya tiba juga akhirnya. Hari Jumaat itu cukup syahdu buat Nawal dan ahli keluarganya serta semua yang menyayangi wanita yang terkenal dengan nasi ambeng dan kuih lopes hasil tangannya. Rumah flat mereka sarat dipenuhi semua yang ingin menatap wajah Nek Mah sebelum dia dikebumikan. Penuhnya sehinggakan ada yang terpaksa menunggu di luar rumah, malah ada yang berdiri di kawasan tangga. Tidak kira sama ada mereka berada di dalam atau di luar rumah itu, mereka semua membacakan surah Yaasin dan mendoakan Nek Mah.
Kesesakan itu amat berbeza dengan hari-hari yang hanya diluangkan Nawal dan Nek Mah berdua. Nawal cuba menahan tangisannya di hadapan semua yang hadir. Dia mengumpul kekuatan daripada pak cik, mak cik dan sepupu-sepupunya yang membantu menguruskan jenazah.
Nek Mah selamat dikebumikan di sebuah perkuburan Islam yang jauh dari mana-mana rumah di pulau itu. Sesiapa yang ingin ke sana tidak boleh pergi dengan menaiki MRT. Lebih senang kalau ada kereta sendiri. Pada mulanya kehilangan Nek Mah tidak dapat dihadam Nawal kerana ahli keluarga mereka terus datang melawat rumah itu berhari-hari untuk membacakan tahlil buat arwah.
Setiap malam selepas tiada sesiapa lagi datang melawat, Nawal tidur di katil Nek Mah, tetapi dia hanya rasa kesunyian. Setiap kali dia makan menghadap laut, air matanya menitis terkenangkan neneknya sehingga ada yang tertumpah ke atas nasi. Dia terpaksa makan di dalam dapur menghadap tembok apabila rasa sedih terlalu kuat.
Apa-apa sahaja yang dilakukan Nawal mengingatkannya kepada Nek Mah. Lauk-lauk Melayu yang Nek Mah ajarkan kepadanya dengan ikhlas. Kain-kain batik Nek Mah yang tersusuh rapi di dalam almari. Buku-buku peribadi Nek Mah yang bertulisan Jawi. Selama ini memang Nek Mah bergantung harap dengan Nawal untuk menulis dan membaca apa-apa dalam bahasa Inggeris mahupun bahasa Melayu bertulisan Rumi.
Berbulan-bulan setelah permergian Nek Mah, Nawal akhirnya memberanikan diri untuk ke East Coast kembali. Dia tidak suka akan rasa yang Nek Mah semakin hilang dari hidupnya walaupun dia tidur di katil neneknya, masak kuah-kuah kegemarannya dan mengenakan pakaiannya.
Biarpun dia terus terbayang-bayangkan Mek Mah apabila berada di taman itu, perasaan bahagia turut menyapa kerana dia tahu betapa sukanya Nek Mah akan tempat ini. Kayuhannya yang pada mulanya berat menjadi ringan semakin selalu dia menunggung basikal itu di East Coast. Nawal hadir ke sana seminggu sekali pada Sabtu petang. Setiap kali dia penat berbasikal, dia akan duduk di bangku-bangku yang tersedia di taman itu untuk memandang ke arah laut dengan tanggapan Nek Mah juga sedang memandangnnya.
Kadang-kadang Nawal tertawa sendiri memandang laut itu apabila yang dilihatnya hanya kapal-kapal dagang. Kekuatan ekonomi negara kota itu jelas kelihatan di mana sahaja, biarpun pada masa yang Nawal hanya mahu melupakan kebingitan hidup di bandar dan mendekatkan diri dengan alam semula jadi.
Berbulan-bulan Nawal mengulangi rutin ini. Keperitan yang dirasainya sedikit demi sedikit berubah menjadi kekuatan. Selagi basikal ungu itu masih bersamanya, Nawal merasakan yang neneknya terus menemainya. Nek Mah kembali dekat dengan Nawal.
Sabtu itu Nawal mengubah angin berbasikal di East Coast pada pagi hari. Tidak terlalu lama selepas dia tiba di taman itu, dia menyedari seolah-olah ada orang yang mengejarnya. Perasaan itu cukup aneh kerana laluan-laluan basikal di taman itu memang dipenuhi penunggang-penunggang basikal yang lain. Belum sempat untuk Nawal memecut, dia terdengar suara memanggil-manggil namanya. Pada mulanya dia ingin melarikan diri kerana dia rasa tidak sedap hati. Tetapi dia terus tersenyum apabila dia menoleh ke belakang. Yang muncul adalah wajah yang sudah lama tidak dipandang Nawal tetapi cukup dikenalinya tanpa sangsi. Jason dan basikalnya terus menhampiri Nawal.
Sambil mereka bergerak meninggkalkan laluan basikal yang dilalui mereka tadi, Nawal terus bertanyakan Jason, “Macam mana Jason tahu tu Nawal tadi?”. “
Siapa lagi yang guna basikal ungu macam ni?”, Jason jawab, tertawa sedikit. Nawal hanya membalas dengan tumbukan ringan ke bahu Jason.
Mereka pun duduk di salah satu bangku dan meluangkan masa bersama menceritakan apa yang telah mereka lalui semenjak meninggalkan Kampung Ubi. Jason kini tinggal di Pasir Ris. Walaupun di sana pun ada taman sebegini, dia lebih sukakan taman ini. Perbualan mereka cukup rancak, dipenuhi tawa dan diseliti tangisan. Tahun-tahun yang sudah berlalu pergi cuba dirumuskan semudah mungkin.
“Kita masih ada hutang,” Jason tiba-tiba mengubah topik perbualan mereka. Belum sempat Nawal berkata apa-apa, Jason menyambung “Perlumbaan kita dulu masih belum selesai.”
Nawal terdiam sekejap, lalu bertanya “Jadi Jason nak kita habiskan perlumbaan kita dulu itu hari ini?” Jason hanya tersenyum dan menjawab dengan matanya.
Setelah berpusing-pusing di sekitar taman itu mencari tempat yang sesuai untuk melangsaikan hutang mereka, Nawal dan Jason pun memilih sebuah jeti. Luas, lurus dan panjang. Nawal tetap dengan satu-satunya basikal dalam hidupnya. Jason dengan basikal baru yang serba canggih.
Perlumbaan yang sudah lama tidak terlunas itu bermula dan berakhir dengan terlalu pantas. Jason kayuh dengan laju seperti dikejar anjing. Nawal tidak sedikit pun menunjukkan yang dia sudah lama tidak berlumba basikal. Dia dapat memotong Jason dengan sekelip mata. Separuh jalan, kedua-dua mereka bersilih-ganti mendahului yang lain. Nawal terus memecut tetapi semakin hampir dia ke hujung jeti dan menghampiri laut, fikiran dia melayang bersama angin yang bertiup lembut. Nek Mah menjelma di fikirannya, lalu membuatkan kayuhan Nawal terhenti. Tetapi kali ini dia sempat mengawal basikalnya daripada tumbang. Namun selendang Nek Mah yang dipakainya terbang bersama angin, tidak sempat dicapai Nawal. Jason menang sipi. Dia memusingkan badannya ke arah Nawal yang masih terkejut. Tanpa ditanya Nawal, Jason bergerak ke arah Nawal dan menyatakan permintaannya dengan jelas, “Jason nak kita berlumba basikal lagi. Di mana sahaja.”
(Ditulis pada November 2021) English translation What Nawal felt that afternoon cycling her purple bicycle was not a new feeling for her. The girl who was in her second year of secondary school felt the happiness that engulfed her whole body every time she cycled the bicycle that Nek Mah gave to her as a present for completing primary school, an achievement that truly made the old woman happy.
The Raleigh Chopper bicycle that Nek Mah bought with money she collected from selling dishes and kuih was enough as a companion for Nawal. She always smiled riding the bicycle, which to her was like a younger sibling she never had.
The two-ponytailed girl was always seen with the England-made bicycle everywhere she went.No one else in Kampung Ubi had a bicycle that was more attention grabbing than the bicycle. Its seat had back support. The front tyres of the bicycle were smaller than its rear ones. The bicycle had handles like those of a chopper motorcycle. To Nawal, she was the luckiest girl in the village, or even the whole of Singapore, for possessing such a unique bicycle.
With the bicycle, Nawal did not feel any burden to go to school. Without being told and persuaded to, Nawal would go to school even though she was not that interested with what was being taught there. Even though Singapore had some Malay-language schools, Nek Mah enrolled Nawal in an English-language school. She understood the reality of life in Singapore. Like it or not, anyone in the city state needed to be able to use English to progress in life. Nek Mah wanted Nawal to have more opportunities in life when her granddaughter finished school. She was confident that that she could nurture Nawal with the Malay way of life and culture outside of school. Nawal’s education was not limited to school only after all.
Nawal’s heart exploded in pride every time she noticed her school friends looked at her prized bicycle. Sometimes she waved at anyone who she thought was checking her and the bicycle out. Some waved back, some looked away.Nawal was not stingy to allow her friends try riding the bicycle, which made many at school like her. Nawal’s love for the bicycle was clearly visible with its shine. Nawal washed and polished the special bicycle regularly without being instructed by Nek Mak. The bicycle was well locked at school and was stored inside the house when Nawal was not outside with it.
The bicycle was not just a bicycle that carried Nawal around for school. In the afternoon, Nawal played it with other teenagers living at Kampung Ubi. All of them boys who were three to four years older than her. Nek Mah never stopped her granddaughter from playing with them. Her love for Nawal, who had lost her both parents, was as if she was the one who gave birth to it. Sometimes Nek Mah forgot that Nawal was her granddaughter and not her own child. She was happy seeing Nawal had made friends and the girl’s happiness enlivened Nek Mah’s life.
“Here, look at your granddaughter, scars all over from falling of her bicycle. Like a boy. Not like a girl at all! So rugged.” Julie nagged Nek Mah while the latter’s neighbour returned Nawal to her.
Nawal regularly rode her bicycle with Julie’s daughter Jason and Jason’s friends. From a young age, Nawal preferred playing with boys. She had never been bothered being called tomboy and other names that were apparently supposedly to make her feel ashamed. For Nawal, being born as a girl was not an obstruction for her to be rugged.
Julie and Nek Mah had been neighbours at Jalan Halia for years. They had always spoken to each other without censoring themselves. Whatever that came to mind was expressed. Despite that, Nek Mah could not accept Julie’s nagging on that day. She did not hesitate to defend Nawal.
Nek Mah replied, “Don’t you dare only talk about someone else’s child only, your son is the same!”
Nek Mah was brave enough to banish Japanese soldiers from her house in the past, so of course she could do it to her neighbour who was way younger too.
Fear did not haunt Nek Mak’s life. Everything scary had happened in her life. Her husband left her for another women, leaving her to raise four children on her own. One of them, Nawal’s father, passed away at a young age. Occupation, loss, poverty, Nek Mah had braced through them all. Her neighbour’s nagging was just a minor inconvenience to her.
As soon as Julie left Nek Mah’s house, she inspected the scars on Nawal’s body. While spreading ointment on the scars, Nek Mah reminded Nawal, “I have told, you want to ride your bicycle, play football, or whatever it is, with boys, I do not stop you at all. But you have to take care of yourself. Our neighbours like to look for mistakes. It does not matter whether they are Malay, Chinese, Arab, Indian, Eurasian, whoever it is. If they notice something that is off, they will talk about it. We do not want to care about what people say, but if we can avoid from being talked about by other people, our life will be easier.”
While holding back the pain from being applied ointment on her scars, Nawal told what happened to her grandmother. Earlier in the morning, Jason and her went to a newly completed highway nearby Kampung Ubi. No vehicle had passed through it. Looking at how wide, straight and long the highway was, they agreed to compete in a bicycle race there. An opportunity that good did not come often. Before this, they only raced on small streets in their village. Sometimes they raced all the way to Geylang, which was not too far away from their school. However, the road heading there from Kampung Ubi was filled with tricycles, so it was hard for them to have a race based purely on how fast they could cycle. Too many other distractions.
“What does the winner get?”, Nawal asked Jason before they started racing.
“One request,”, Jason replied. “Any request?”, Nawal asked another question to be sure.
“Anything”, Jason responded without hesitating.
Nawal accelerated her bicycle as soon as the most important race in their life began. Her cycles were careful and energetic, driving her way ahead of Jason, She looked back intermittently to ensure that she could still hope to win the race. Jason did not give up straight away, he cycled as fast as he could. As the race progressed, Jason came even closer to Nawal, but Nawal was not shaken at all.
Jason had won many times, so it was Nawal’s chance to prove that she was the fastest at cycling, a fact that she had believed for a long time.
The finishing line was not far anymore for Nawal, but when she looked back another time and stood up to cycle even faster, her right foot slipped from the paddle. Nawal lost her balance from panicking, causing her bicycle to drop to the ground together with her. Her body slid on the tarred highway when she was dragged by the bicycle. Jason was shocked witnessing the accident but he managed to stop his bicycle before he hit Nawal. Jason ran towards Nawal and brought her back to his house.
Nawal stopped going out to play with her bicycle for a while since the accident because she was ashamed of what happened. All of their neighbours heard Julie’s scolding. Luckily Nawal’s bicycle was fixed without any issues. She only used her bicycle to go school and shops from then.Jason was also not looking for Nawal since that day. At times they bumped into each other at school but they did not say anything. Each of them waited for the other to start a conversation. Maybe Julie did not want them to be friends anymore, so Jason did not dare to say something to Nawal first. At the same time, Jason was close to finishing his secondary school education.
The end of their friendship became certain a few months later when the residents of Kampung Ubi had to move from their houses to flats that were recently finished being built. The move was not a shock to them. There were already flats around their village and they know their turns will come too. Their ordinary houses would be demolished to construct even more flats. Singapore developed quickly, forcing its residents to keep pace with the its development. Within her own her lifespan, Nek Mah had witnessed Singapore became an independent country. The places she knew transformed in appearance, sometimes new names were also given to them. Even though reluctant to move, they did anyway for the sake of life continuity.
At first, Nek Mah and Nawal felt off living in their new house on the tenth floor of a flat in Bedok. Every day they had to take the lift, which was an obvious change for them at that time. Nawal was worried for Nek Mah because the lift in their flat only stopped at certain levels, so they had to use the stairs to get to their house or the lift. The old woman was not as physically fit as she used to be but as time passed it became normal for them. Nawal’s bicycle was left abandoned in the store because it was difficult for her to bring it into and take it outside the house. She feared that that the bicycle would be stolen if it was left on the deck area of their flat.
The flat house that they lived in was not too small compared to their house in Kampung Ubi, which had already been demolished. Bit by bit, they decorated the house with new and old furniture. Even though simple, the arrangement of the house was always complimented by relatives who visited it every time Eid came. Guests were also entertained by the antics of Nawal, who was a talkative person, matched with Nek Mah’s friendliness. Their guests liked their antics and stories.
Back in Kampung Ubi, everyone shared a number of toilets for the use of those living in neighbouring houses. Once a week, there would be someone who came to pickup the accumulated excrement. Nawal had to wake Nek Mah up in the middle of the night to accompany her to the toilet. But now they had no longer needed to go through that because each flat house had its own toilet.
Even though they missed Kampung Ubi, Nawal and Nek Mah found a new joy in the house. From the dining table in their living room, they were able to enjoy the view of the sea, even though it was slightly blocked by other flats.
“Nawal, look, there is a park by the beach. You do know that the whole park is on reclaimed land? It would have been the sea there back then,” Nek Mah said to Nawal one day as they were eating. Nawal only nodded.
Nek Mah continued, “What if we go there one day? Let’s have a look at what is there. I am suddenly missing the sea, when I was a kid, my village was by the beach. Where can we even find a house exactly by the beach in Singapore now?”
The next day they went to East Coast Park, which up until then they had only viewed from the dining table. Many people from across the island liked to come there to ride their bicycles, walk around and have a picnic. The park was filled with energy and antics from all kinds of Singaporeans and foreign visitors.
From that day, they regularly came to the park, at least once a month. Sometimes they went there to have a picnic with Nek Mah’s children and her other grandchildren. Rice, dishes and kuih that Nek Mah prepared were as if there was a big celebration. As if they were treating the park like their own house. Sometimes Nawal brought her bicycle there and cycled around the park with her cousins.
Years went by, Nek Mah and Nawal continued living in their flat house. The afternoons that Nawal did not spent time outside she spent cooking with Nek Mah and reading English literature books she borrowed from school. Her interest in the English language grew as she read more books. This interest eventually turned into a career when she began serving as an English teaching after finishing her studies. Nek Mah was pleased with this fact. Her granddaughter had become a person.
If Nawal used to cycle to school as a student, she took the bus to school as a teacher. Her bicycle spent more time in the store waiting for the day to be taken out and ridden by Nawal. Nek Mah was no longer physically fit to run her small business. She was grateful that the salary that Nawal received from working as a teacher was sufficient for both of them. In secret, she kept her illness from Nawal. She did not want Nawal to stop studying to work and take care of her.
On days that Nek Mah had the energy to go out, she still wore neat kebaya matched with refined batik cloth. The old woman’s head remained adorned with selendang. Her style stayed the same from her village days to her flat days. Even though her health worsened until she could no longer keep it a secret from Nawal, she remained strong living her days. She tried to cook every day to make her forget about the illness that was taking her life day by day. Her joy did not dim despite her illness.
Nek Mah was regularly hospitalised. Even though she took the medicine prescribed by the doctor, her death arrived eventually. That Friday was very solemn for Nawal and her family members as well as everyone who loved the woman, who was famous for her nasi ambeng and kuih lopes. Their flat house was packed with everyone who wanted to look at Nek Mah’s face before she was buried. It was so full until some had to wait outside the house, with some even standing in the staircase area. No matter whether they were inside or outside the house, all of them recited surah Yaasin and prayed for Nek Mah.
The crowdedness was different to the days that Nawal and Nek Mah spent with only each other. Nawal tried to hold back her tears in front of those who came. She gathered strength from her uncles, aunts and cousins who helped to handle the deceased.
Nek Mah was safely buried at a Muslim cemetery that was far from any houses on the island. Anyone who wanted to go there could not take the MRT. It would be easier if they had their own car. At first, Nawal could not digest her loss of Nek Mak because their family members continued visiting the house for days to recite tahlil for the deceased.
Every night after no one came to visit, Nawal slept on Nek Mah’s bed, but she only felt loneliness. Every time she ate facing the sea, her tears dropped being reminded of her grandmother until some fell on her rice. She had to eat in the kitchen facing the wall when her sadness was too overwhelming.
Anything Nawal did reminded her of Nek Mah. Malay dishes that Nek sincerely taught her how to cook. Batik clothes that were nearly folded in the wardrobe. Nek Mah’s personal books in Jawi script. All this while Nek depended on Nawal to write and read anything in English or even Malay in Roman script.
Months after Nek Mah’s passing, Nawal finally gathered strength to return to East Coast Park. She did not like the feeling that Nek Mah was growingly slipping away from her life even though she slept on her grandmother’s bed, cooked her favourite dishes and put on her clothes.
Even though Nek Mah kept only playing on Nawal’s mind when she was at the park, Nawal felt joy too because she knew how much Nek Mah liked the place. Her cycling, which at first was heavy, became light the more often she rode the bicycle at the park. Nawal visited the park once a week on Saturday afternoons. Every time she was tired of cycling, she would sit on the benches that were available at the park to look towards the sea with the notion that Nek Mah was also looking at it.
Sometimes Nawal laughed alone looking at the sea when what she saw was just trading ships. The city state’s economic prowess was clearly visible everywhere, even when Nawal just wanted to forget the hustle bustle of city life and bring her closer to nature.
For months, Nawal repeated this routine. The pain that she felt slowly became strength. As long as the purple bicycle was still with her, Nawal felt that her grandmother was still accompanying her. Nek Mah became closer to Nawal again.
That Saturday, Nawal shifted gear by cycling at East Coast Park in the morning. Not long after she arrived at the park, she noticed as if someone was chasing her. That was a bizarre feeling because the bicycle paths there were filled with other cyclists. Even before Nawal had the time to speed up, she heard a voice calling her name. At first, she wanted to run away because she did not feel good. But she immediately smiled when she turned her head to the back. What appeared was a face she had not seen in a long time but that she recognised without a doubt. Jason and his bicycle straight away approached Nawal.
While they moved leaving the bicycle path that they were using earlier, Nawal immediately asked Jason, “How did you know it was me earlier?
“Who else uses a purple bicycle like this?”, Jason answered, laughing a bit. Nawal only responded with a soft punch on Jason’s shoulder.
They then sat on a bench and spent time together telling each other about what they had gone through since leaving Kampung Ubi. Jason now lived in Pasir Ris. Even though there was a park like this there, he preferred this park. Their conversations were lively, filled with laughs and tears. Years gone by tried to be summarised as simple as possible.
“We still have unsettled business”, Jason suddenly changed their topic of conversation. Even before Nawal managed to say anything, Jason continued, “Our race is still not over.”
Nawal was left speechless for a bit, and then asked, ‘So you want us to finish our race today?” Jason only smiled and answered with his eyes.
After roaming around the park looking for a suitable place to settle their business, Nawal and Jason chose a jetty. Wide, straight and long. Nawal was still with the only bicycle she had ever had in her life. Jason was with a new fancy bicycle.
The race that they had left unfinished for a long time started and ended too fast. Jason cycled so fast as if he was chased by a dog. Nawal did not show that she had not had a bicycle race in a long time at all. She managed to cut Jason in the blink of an eye. Halfway through, both of them continuously took over one another to be in the lead. Nawal accelerated her cycling but as she got closer to the end of the jetty and closer to the sea, her mind slipped with the gentle breeze. Nek Mah appeared on her mind, then made Nawal’s cycle to stop. But this time she managed to control her bicycle from falling. However, Nek Mah’s selendang that she was wearing flew together with the wind before Nawal could grab it. Jason scored a close win. He turned his back towards Nawal, who was still shocked. Without being asked by Nawal, Jason approached Nawal and expressed his request clearly, “I want us to race again. Anywhere.”
(Translated in April 2022)
#cerpen#cerpen bahasa melayu#short story#short story translated into english#singapore#singapura#basikal#bicycle
4 notes
·
View notes
Text
Tentang Masa Kecil
Ngeliat anak-anak kecil main sambil teriak-teriak depan rumah, aku jadi kangen masa kecilku.
Aku nggak tinggal di perumahan elit macam Pondok Indah yang rumah-rumahnya mewah dan besarnya segede dosa. Aku juga nggak tinggal di perumahan yang punya gerbang besar dengan satu satpam yang jagain di depan. Rumahku juga bukan di komplek yang tiap rumah bentukannya sama semua. Bukan di pinggir jalan, bukan di tengah kota, buka di antara gang sempit, bukan juga di pedesaan. Agak susah jelasinnya.
Rumah-rumah di tempatku tinggal ini saling berdekatan. Ukurannya nggak terlalu besar cenderung kecil (kalo dibandingin sama rumah-rumah di Pondok Indah). Orang-orangnya nggak individualis. Kita semua saling kenal dan berinteraksi satu sama lain.
Kalau bulan Ramadhan, suka diadain buka puasa bersama. Karena jalanan rumah kami bukan jalan utama, kami bisa leluasa menggelar matras besar di jalanan untuk diduduki. Tiap orang saling membantu sesuai kemampuannya. Karena garasi, teras, dan ruang tamu di rumahku cukup luas, kami menyediakan tempat untuk memasak dan duduk-duduk. Tetanggaku yang punya usaha ayam goreng menyumbangkan ayam-ayamnya untung dijadikan lauk-pauk. Tetanggaku yang punya usaha kue basah membuat kue di loyang besar untuk dijadikan takjil. Kami yang masih kecil waktu itu cuma sibuk bantu-bantu bikin es buah dan sesekali membantu bapak-bapak merapikan matras. Selesai buka puasa, kami semua langsung shalat Maghrib berjama’ah di matras. Lantas ramai-ramai pergi ke masjid terdekat untuk shalat Isya’ dan Tarawih.
Dulu di daerah rumah kami ada semacam gudang tak terpakai. Kosong, kotor, dan kadang jadi tempat kucing liar melahirkan. Lalu kami semua berpatungan untuk merenovasi gudang tersebut menjadi musholla. Kami yang anak-anak menyisihkan uang recehan lalu ditaruh di dalam kotak, lantas kami berikan ke orang-orang dewasa di kotak untuk jadi uang tambahan. Perlu waktu setahun sampai gudang tersebut benar-benar jadi musholla. Orang tua kami membeli karpet dan rak buku serta meja-meja kecil. Musholla tersebut kemudian dipakai sebagai tempat mengaji anak-anak sehabis Maghrib. Kadang jadi tempat kami bermain masak-masakan, atau tempat anak-anak cowok istirahat selepas main bola atau layangan. Kadang juga jadi tempat bapak-bapak dan ibu-ibu untuk rapat.
Semasa SD, aku dekat dengan teman-teman rumah. Anak-anak sepantaranku hampir semuanya laki-laki, jadi aku tumbuh dengan bermain bola, layang-layang, dan menerbangkan burung merpati. Kadang aku ikut anak-anak perempuan yang lebih kecil main masak-masakan. Kadang anak laki-laki juga ikutan. Mereka jadi pelanggan, kadang juga jadi pencuri. Biar dramatis aja permainannya. Kalau liburan kami suka bermain ke rumah salah satu teman hanya untuk menonton film bareng di televisi, lalu pulang menjelang Ashar. Kadang mereka main juga ke rumahku untuk main game yang ada di komputer: Feeding Frenzy, Wedding Dash, Varmintz, Iggle Pop, Zuma, Insaniquarius, atau kadang main game internet games.co.id. Kadang juga menonton film dari CD yang ayah beli atau sewa di tempat penyewaan CD, atau menonton Youtube “kursi goyang” yang legend itu. Kadang juga kami bermain congklak, UNO, atau kotak pos di ruang tamu rumahku.
Sore-sore sepulang sekolah, kami biasa bermain permainan tradisional anak-anak. Permainan baru selesai menjelang Maghrib. Kadang setelah itu kami bertengkar karena ada yang bermain curang, lalu besok lupa lagi. Kalau hari Minggu kami suka jalan-jalan naik sepeda, entah kemana. Hanya berbekal komando teman yang paling tua, tiba-tiba saja kami sudah nyasar ke tempat antah berantah yang penuh ilalang. Kadang kami mengunjungi rumah teman yang sudah pindah. Singgah sebentar buat numpang makan, lalu kembali jalan-jalan.
Dulu di daerah rumah kami juga ada satu kucing legend yang sudah bertahun umurnya. Aku beri nama dia Bellatrix, tapi teman-temanku yang lain lebih suka memanggil dia Belang Tiga. Kucing ini janda beranak banyak. Tiap tahun Bellatrix melahirkan anak. Tahun ini di rumahku, tahun di depan melahirkan di rumah tetanggaku yang lain. Tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa suami Bellatrix. Dia kadang suka tak terlihat beberapa lama, balik-balik perutnya sudah membesar. Anak Bellatrix kemudian tersebar di mana-mana. Mungkin kalau kamu lihat kucing di Pondok Gede, bisa jadi dia anaknya Bellatrix. Tiap hari kami memberi dia makan. Kadang dia sendiri yang inisiatif nyolong ikan di meja makan. Bellatrix juga yang jadi tersangka utama hilangnya ikan-ikan di kolam ikan kecil depan rumahku, yang kemudian jadi salah satu alasan kenapa akhirnya ayah menutup kolam ikan tersebut. Dulu aku juga punya hamster. Namanya Rosita, Rabbi, dan Kimmy. Tiap hari kami memberi mereka kuaci. Kadang suka aneh kami kasih pinggiran roti dan Koko Krunch. Karena ketidakprofesionalan dalam merawat binatang, tiga hamster itu bergiliran mati satu-satu. Aku menangis tujuh hari tujuh malam waktu itu. Dari situ aku sadar aku memang nggak berbakat kerja di dunia hewan-hewanan.
Aku harusnya belajar buat UTS Kapital Sosial, tapi aku malah ke Tumblr nulis ini. Tapi emang aku lagi kangen banget jadi anak kecil. Yang tiap pulang sekolah langsung ganti seragam buat main dengan teman-teman. Atau buat nonton Laptop si Unyil dan si Bolang di televisi. Yang hari Minggunya dihabiskan dengan jalan-jalan main sepeda bukan ngerjain tugas. Yang tetap dapat nilai bagus di sekolah walaupun jarang belajar. Yang nggak perlu anxious sama notif WA karena dulu memang nggak ada HP. Sekarang aku paham kenapa Peter Pan betah banget di Neverland. Karena ternyata nggak ada yang menarik dengan jadi dewasa.
But life goes on. Aku nggak mungkin kayak Peter Pan yang jadi anak kecil selamanya. Pun teman-temanku sekarang sudah tumbuh dewasa. Sewaktu teman-teman seusiaku lulus SD, sebagian besar dari kami masuk pesantren, termasuk aku. Lambat laun jalanan rumah jadi makin sepi. Beberapa tetanggaku pindah rumah, berganti dengan penghuni baru yang tidak aku kenal. Aku dan teman-temanku juga jadi canggung. Hanya tersenyum samar kalau bertemu.
Rumahku pun juga sudah berbeda. Dulu catnya warna-warni hijau, kuning, biru, dan peach, sekarang semua sudah dicat abu-abu dan krem. Kolam ikan kecil depan rumah yang dulu suka jadi tempat kami main air sudah ditutup. Komputer yang dulu kami gunakan untuk main game juga sudah tidak ada. Televisi tabung dan DVD player yang jadi tempat kami nobar juga sudah diganti dengan yang lebih modern. Meja belajarku yang dulu dihiasi striker Barbie dan Hello Kitty, telah berganti dengan meja belajar polos yang dihiasi tempelan post-it tugas-tugas kuliah. Rak buku di kamar yang dulu isinya kumpulan buku KKPK dan majalah Bobo, berganti dengan rak gantung yang isinya buku-buku Pengantar Sosiologi, Konstruksi Media Massa, Sosiologi Pembangunan, Komunikasi Lintas Budaya, dan apalah itu buku tebal yang sebenernya nggak pernah aku baca.
Ternyata emang bener. Aku udah bukan anak-anak lagi.
hahaha.
2 notes
·
View notes
Text
#1 Kesadaran: Satu Hal yang Harus Dimiliki Sebelum Menempuh Perjalanan
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
_
Pada hematnya, orang yang telah dianugerahi kesadaran untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Khalik, merupakan hadiah terindah (anugerah) yang tidak semua orang bisa memilikinya; meresapinya apalagi merasakannya. Betapa sekalipun waktu dan peluang kita sama; memiliki semua kelebihan sebagai manusia, namun tak semua orang bisa menerima panggilan rohaniahnya untuk menempuh perjalanan ke samudera kasih-sayang-Nya.
Maka hal pertama yang harus dimiliki sebelum menempuh perjalanan adalah: kesadaran bahwa memang sudah semestinya kita mempersiapkan diri dan akan kembali kepada-Nya. Karena tak semua orang mampu menyadari hakikat hidup di dunia ini hanya lah persinggahan sementara untuk kembali kepada-Nya. Innalillahi wainnailaihi ilahi raji’un.
Semua orang tahu bahwa dirinya pasti mati. Namun, tak semua orang bisa menyadari bahwa kematian yang pasti akan kita jumpai itu, adalah kuasa Sang Khalik, Rabbul Alamin. Kenyataannya kita masih terus memberi makan jasad kita meskipun kita tahu dan yakin jasad ini akan mati terkubur.... Lantas mengapa tak kita beri makan roh batin kita kalau memang kita yakin akan menemui sang pencipta?
Bekerja dan mengenal Tuhan adalah kewajiban yang selalu beliau tekankan. Bagaimana bekerja dan beragama adalah tujuan dan alasan kita semua hadir ke dunia ini hingga ajal menutup kesempatan kita meraih bekal sebanyak-banyaknya.
Orang yang yakin akan pulang—wafat, pasti akan meyakini bahwa ia akan menemui Tuhannya; dan bertawakal dalam segala amal-ibadahnya beserta sabar, syukur, ikhlas dan rida.... sebagai makanan rohani—batinnya. Sebagaimana nasi dan lauk pauk menjadi kebutuhan jasmaninya. Lahiriah untuk lahir—dzahir, dan batiniah untuk batin, begitu beliau selalu menyisipkan pesan-pesannya di setiap kesempatan.
Beliau sering menasihati kepada kami, bahwa, Dunia dan segala isinya hanya lah permainan. Maka, bermainlah dengan cantik selagi masih di dunia ini namun, jangan main-main! Karena hakikatnya, kita semua akan pulang. Dan bukankah orang yang pulang pasti pernah/sedang pergi sekadar untuk mencari sesuatu...? Maka di sinilah, di dunia inilah, manusia-manusia sedang pergi dari asal-Nya untuk mencari-cari sesuatu. Inilah yang membedakan setiap manusia di bumi ini.... Ada yang mencari harta, mencari kedudukan, mencari kesenangan, mencari perhiasan, mencari penghormatan dan bahkan, ada juga yang pergi ke dunia ini tanpa tahu hendak mencari apa!
Beliau memberi analogi, semisal kau diminta membeli buah jeruk oleh orang tua—ibu. Maka kau keluar dari rumah dengan kesadaran untuk membeli jeruk di tempat-tempat yang kau ketahui: di pasar. Dan jika tak ada, kau rela mencari-cari hingga kau dapatkan jeruk itu untuk kau bawa pulang. Begitulah anak yang berbakti, begitu pula hamba yang bersujud melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan mengupayakan segala cara untuk bisa kembali membawa sesuatu yang diminta.
Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku. Maka, jelaslah tugas manusia ke dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Baik ibadah lahir dan batin....
Tentu tidak semua anak akan melaksanakan perintah orang tuanya untuk pergi membeli jeruk tersebut dengan kondisi yang sama. Ada yang menolak terang-terangan; ada yang pergi namun kembali tanpa jeruk; ada yang pergi namun dengan hati yang berat; ada pula yang pergi namun tak pernah kembali lagi ke rumah orangtuanya. Bahkan, ada pula yang mengabaikan perintah namun mengambil uang untuk membeli jeruk tersebut. Naudzubillah.
Maka sadarilah oleh kalian! Apa yang menjadi tujuan kalian di dunia ini dan, sadarilah sejak pertama kali melangkah! Carilah jeruk itu dan jika tak kau temui, tanyakanlah kepada mereka yang sudah memilikinya dan jika telah kau dapati jeruk itu, pelihara-lah dan jagalah sampai kau pulang kembali ke rumah orang tuamu—ibumu. Pada yang demikian itulah sudah dapat dipastikan kau akan kembali dengan perasaan tenang dan selamat hingga di rumah. Orang tuamu senang dan kau mendapatkan kebaikan berupa keridaan dari ibumu, lalu sebuah anugerah kau dapati, ketika ibumu malah menghadiahkan jeruk itu untuk kesungguhanmu.
Namun jika kau kembali tanpa membawa jeruk untuk ibumu, pasti hati kecilmu tertindih kesombongan dan keangkuhan karena mengabaikan dan enggan mengupayakan segala cara demi melaksanakan permintaan itu. Meski ibumu tersenyum dan menerima keadaan itu, tetap saja kondisi ini tidak lebih baik dari kondisi yang pertama....
Kemudian, ketika saya tanyakan kepada beliau, apakah gerangan maksud jeruk itu? Beliau menjawab... takwa. Kemudian beliau menutup nasihatnya, Pelihara lah kesadaran kalian dan jangan kalian dekati jalan ini dalam keadaan mabuk!
Catatan: Dapatlah kita simpulkan dan itu pun jika kalian memiliki kesadaran yang sama, sebagaimana saya ketika duduk mendengarkan nasihat dari beliau secara langsung. Betapa indahnya nasihat itu karena bukankah sudah teramat jelas, betapa banyak hak guna pakai yang telah kita terima selama hidup di dunia ini namun, begitu banyak kewajiban yang kita abaikan padahal kita semua tahu bahwa segala amal kebaikan kita tak lain hanya untuk kita.... dari sinilah saya belajar dan menyadari satu hal, bahwa betapa tidak bertanggungjawabnya saya—manusia, di hadapan Pencipta sebagaimana durhakanya anak yang mengabaikan permintaan orangtuanya—ibunya.
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Mereka (Bagian III)
Pengabdian Sekayan
.
Ternyata rindu ku belum habis, malam ini dengan di temani segelas kopi hitam hangat ingatan ku terbawa kembali mengingat perjalanan yang banyak sekali menyisahkan cerita. Malam ini, aku teringat dengan satu orang baik dari sekian banyak orang-orang baik yang ku temui selama di desa Sekayan.
.
Ibu Lena namanya, seorang guru SD yang rumahnya tepat berada di samping posko tempat kami menginap. Bu Lena yang dengan ramah menyapa dan menawarkan ku untuk mandi di rumahnya, tidak hanya ditawarkan mandi saja namun beliau juga sering sekali menawarkan untuk makan ataupun istirahat di rumahnya. Dan jadilah aku hampir setiap hari mandi di rumahnya, yang membuatku sedikit banyak mengenal keluarganya.
.
Selama 10 hari berada disana, banyak cerita yang ku tukar dengan cerita Bu Lena. Tentang bagaimana perjuangannya merantau ke desa Sekayan, sampai bertukar cerita tentang anak bungsunya yang kini sudah beranjak dewasa. Aku juga cukup dekat dengan anak bungsunya, Tari namanya. Gadis Sekayan yang memiliki semangat tinggi, tak hanya itu di usianya yang masih 18thn kini tari sudah memiliki usaha wo(wedding organizer) kecil-kecilan, tari juga berjualan di kantin sekolahnya. Sedikit banyaknya aku juga terinspirasi darinya, dari semangat dan kegigihannya membantu ekonomi orang tua.
.
Bu Lena, satu dari banyak keluarga baru yang ku temui di Sekayan. Ada satu moments yang dengan tidak sengaja merebut porsi ingatan ku. Pernah di suatu siang dengan cuaca yang amat panas terik, ketika aku yang baru saja menyelesaikan proker (program kerja) dan belum sempat makan siang namun adik-adik sudah dengan sigap menyerbu ku untuk bermain dan belajar. Bu Lena awalnya menawari ku untuk makan saja di rumahnya, karena rumah tempat makan siang terbilang lumayan jauh dari tempat posko kami. Awalnya aku menolak ketika ditawari makan dirumahnya, dan dengan segera aku bermain dengan adik-adik Sekayan yang telah menunggu ku. Namun tanpa di sangka, Bu Lena dari arah rumahnya membawa sepiring nasi+ lauk pauk dan mendatangi ku untuk segera makan. Lagi dan lagi aku mengucapkan terima kasih dan berkata "nanti saja Bu, dwinta belum lapar". Namun siapa sangka bu Lena langsung menyuapi ku, dan berkata pada adik-adik "kak dwinta makan dulu yaa, abis itu nanti baru lanjut lagi". Karena banyak pasang mata yang melihat ku maka ku putuskan untuk makan sendiri dan jadilah aku dan Bu Lena makan sepiring berdua :D.
.
Hal itu yang dengan segera seperti merebut kerinduan ku terhadap almarhuma ibu. Tidak hanya kasih sayang dan perhatian dari Bu Lena saja, namun banyak kasih sayang dan perhatian yang ku dapatkan dari mereka ibu-ibu baik yang dengan senang hati membantu kami selama berada disana.
.
Berada 10 hari di desa Sekayan membuat ku merasa rinduku terhadap almarhuma ibu cukup terbayarkan. Dan dengan 10 hari aku berada di desa Sekayan, aku seakan kembali mendapatkan kasih sayang dan perhatian seperti yang diberikan almarhuma ibu.
.
Aku tak pernah bosan mengucap syukur dan berterima kasih kepada semesta yang menemukan ku dengan banyak orang baru. Di usia kepala 2 barangkali sedikit banyak aku tumbuh bersama perjalanan, bertumbuh dengan banyak pelajaran baru dan cerita-cerita baru.
.
Terima kasih kepada orang-orang baik yang telah menyambut ku dengan sangat baik. Doaku semoga tetap sehat, diberikan kelancaran rezeki, dan semoga saja kelak semesta mempertemukan kita kembali :').
.
#TentangMereka
#Volunteers
#PilarInspirasiNegeri
#AksiNyataUntukNegeri
#Sekayan
#Kemuning
#Indragirihilir
#Riau
#Pekanbaru
1 note
·
View note
Text
seikat jerami untuk burung-burung kecil
“ibu, ibu, coba lihat ini!” pekik Gendhis sembari menunjuk-nunjuk tembok penuh tanaman menjalar di rumahnya. matanya bulat berbinar, senyumnya mengambang, penuh keheranan, dan hatinya berdebar penuh kegembiraan. Ibu yang saat itu menyiram kebunnya perlahan mematikan keran air dan berjalan mendekati putrinya yang berjingkat senang!
---
“tapi pak..” ucap Gendhis lirih. Bapak tidak menggubris Gendhis yang memandang memelas kepadanya. dia memaksa dirinya memandang anaknya dengan tatapan penuh ketegasan. oh, sungguh sulit. rambut ikal menjuntai bebas di pundak Gendhis, kulit mukanya lusuh, bola hitam matanya membesar, dan siap menumpahkan banjir air mata. keputusannya sudah bulat. dengan menghela nafas panjang, dia memberikan senyum simpulnya pada Gendhis, seraya berkata, “Bapak tidak harap Gendhis mengerti sekarang, tapi menurut Bapak, itu yang terbaik untuknya.” mendengar pernyataan itu, Gendhis hanya bisa menunduk dan duduk di kursi kecilnya. sekali Bapak bilang tidak, sungguh sulit untuk digugat. tapi Gendhis tidak mau mengalah. kepalanya terus memutar dan mencari-cari cara agar Bapak setuju dengannya. dia menatap Bapak yang sudah sigap berdiri di depan wastafel sembari mencuci piring dan gelas kotor hasil makan siang di Minggu ini.
---
ibu terkejut begitu Gendhis menunjukkan kepala-kepala mungil berbulu tipis. ternyata paku tanduk rusa yang ia tanam beberapa hari lalu ‘menyelamatkan’ 3 anak burung ini. sepertinya anak-anak burung ini terjatuh dari pohon di Hutan Kecil di sebelah rumah. ibu melongok ke atas, mengintip pohon-pohon besar, mencoba mencari si Ibu dan sarang dari burung-burung ini. disibaknya dahan-dahan pohon tersebut dengan sapu kayu miliknya. perlahan-lahan, dia berjalan hingga ke ujung tembok seraya menyibak-nyibakkan dahan, ranting pohon, dan terus mencari. seberapa pun intensif ibu memincingkan mata atau mengurai dahan-dahan pohon, dia tidak menemui tanda-tanda kehidupan burung di Hutan Kecil itu. “bagaimana Ibu? apakah kau menemukannya?” tanya Gendhis dengan cemas. ibu hanya menggeleng. alis dan bibirnya tertekuk. Gendhis dan ibu pun turun dan segera mencari kotak sepatu bekas, mengisinya dengan kain-kain perca nenek, berharap anak-anak burung ini hangat.
---
Hutan Kecil, begitu Gendhis menyebutnya memang dipenuhi oleh pohon-pohon besar nan rindang. Di hari libur, Gendhis selalu menyambangi pohon-pohon itu, mengajaknya bicara, dan menyiramkan ecoenzym atau pupuk kompos hasil panennya bersama nenek, ibu, dan ayah. di antara pepohonan itu, Gendhis paling senang bermain di bawah pohon Angsana. Jika musim berbunga tiba, Gendhis akan berlarian sembari menangkap bunga-bunga kuning yang jatuh dari ranting-rantingnya.
---
setelah memberi anak-anak burung ini minum, Gendhis bergegas mandi. di hari Minggu, Gendhis mendapat keleluasaan untuk mandi pukul berapapun Ia mau. tentu saja ini adalah salah satu kesenangan di pagi ini untuk Gendhis. Sedang Ibu menemui Bapak dan bercerita tentang perjumpaan hangat mereka dengan anak-anak burung itu. seraya menyiapkan makan siang, Bapak dan Ibu terdiam menyesapi kejadian ini dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. jam makan pun tiba. Gendhis menuntun Nenek ke meja makan di mana Bapak dan Ibu sudah siap dengan lauk-pauk di piring mereka. Di siang terik itu, keluarga kecil ini menyantap makan siang mereka dengan syukur. dalam angannya, Gendhis, si gadis cilik ini sibuk memikirkan makanan burung apa yang akan ia berikan pada anak-nak burung ini.
---
“ini dia! ini yang Gendhis cari Nek.. terima kasih, Nek!” Gendhis menghabiskan siang itu di teras belakang rumah. mulutnya tak henti-henti bergumam. tangannya lincah menganyam. meskipun sekali-sekali ia menguap, ia terus berusaha agar tidak terlelap. tak lama kemudian, dia berdiri, menari, dan berputar-putar gembira. rumah jerami tua untuk anak-anak burung ini sudah selasai.
---
“Bapak, Gendhis sudah memutuskan. anak-anak burung ini akan tinggal di rumah jerami ini dan kita akan menaruhnya di atas pohon kembali.” tatapannya kuat, nada suaranya penuh keyakinan. Bapak memalingkan pandangan dari bukunya, meletakannya, dan memusatkan perhatiannya untuk Gendhis. “Gendhis tidak setuju dengan Bapak. Bapak tidak boleh memberikan anak-anak itu ke Dinas Perlindungan Hewan. Bagaimana dengan Ayah dan Ibu Burung? Bagaimana jika ternyata mereka mencarinya dan tidak menemukan anak-anaknya? pasti sedih sekali.. Gendhis tidak mau itu terjadi. bagaimana pun, anak-anak burung ini harus kembali dengan orang tuanya. kita harus menaruh mereka kembali ke Hutan Kecil.”. “Bagaimana jika Ayah dan Ibu burung tidak kembali? Bagaimana anak-anak burung ini tidak bisa bertahan? Bagaimana mereka makan dan minum, Gendhis? Bapak berpikir anak-anak burung ini butuh perlindungan yang lebih baik dan Dinas Perlindungan Hewan adalah yang terbaik. Teman Bapak di sana akan merawat mereka dengan baik”. “Tidak, kita bisa menjaganya, Bapak. Setiap pagi, siang, dan sore, kita bisa bergantian memberikan mereka makan selagi menunggu Ayah dan Ibu burung kembali dan menemukan mereka. Ayolah Bapak, kita bisa mencobanya, setidaknya sampai dua minggu ini.” Bapak diam seribu bahasa. dirinya tahu bahwa kali ini Gendhis bersungguh-sungguh dan jika putri kecilnya ini sudah bertekad, akan sulit diruntuhkan kecuali dengan argumen yang cukup logis dan sikap teguh. senyum Bapak pun mengambang dan dengan segera dia menganggukan kepalanya. Gendhis sangat senang! dipeluknya Bapak dengan ringkas, segera ia berlari untuk menyiapkan segala keperluan. Bapak dan Ibu mengikutinya dari belakang dan melakukan misinya.
Jakarta, 15 November 2020
Selama ini manusia dewasa sering merasa sok tahu apa yang terbaik bagi dirinya dan sesuatu lain di luar dirinya, tak terkecuali untuk mahkluk hidup non-manusia. Hingga di satu titik, hal ini berubah menjadi arogansi dan keinginan untuk berkuasa atas yang lainnya dan lihat lah dunia ini sekarang.
2 notes
·
View notes
Text
Panduan Gizi Seimbang untuk Anak selama di Rumah Aja
GIZI
Untuk melindungi anak-anak selama pandemik, salah satu caranya adalah dengan menyajikan makanan yang bergizi. Gizi harus tercukupi untuk membangun sistem imun yang kuat dan menangkal infeksi dari luar. Ini menjadi tugas penting bagi orang tua untuk menyediakan makanan yang bergizi tapi tidak membosankan.
Menjawab pertanyaan https://castrodeathwatch.com/ tersebut, Danone mengadakan webinar berjudul "Bicara Gizi: Biasakan Anak Terapkan Gizi Seimbang Selama di Rumah Saja" pada Rabu. Webinar ini menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya, seperti dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi, Sp.GK, spesialis gizi klinis, Putu Andani M.Psi, psikolog anak dari Tiga Generasi, dan Soraya Larasati, seorang ibu dengan gaya hidup sehat. Simak perbincangannya, yuk!
Seperti apa panduan makan gizi seimbang untuk anak?
Mengacu pada Pedoman Gizi Seimbang yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2014, yang dimaksud dengan gizi seimbang adalah susunan pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Prinsipnya ialah adanya keanekaragaman pangan, melibatkan aktivitas fisik, menerapkan perilaku hidup bersih, dan mencapai berat badan normal untuk mencegah masalah gizi.
"Perlu diingat, kebutuhan gizi anak relatif lebih besar daripada orang dewasa karena ada aspek tumbuh kembang yang harus diperhatikan. Kalau kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi, bisa terjadi gangguan tumbuh kembang," jelas dr. Juwalita.
Makanan yang sehat adalah makanan yang disiapkan sendiri di rumah karena lebih bersih dan gizinya terjamin. Sementara, makanan dari luar mungkin tinggi kalori, tapi rendah gizi. Menurutnya, pola hidup sehat bisa dimulai dari pemahaman ibu tentang gizi makanan agar sistem imun anak kuat, serta pertumbuhan dan perkembangan anak terjaga.
Inilah porsi makanan yang harus dikonsumsi anak-anak dalam sehari
Untuk anak berusia 1-3 tahun, dalam sehari mereka harus mengonsumsi 3 porsi makanan pokok, 3 porsi buah-buahan, 2 porsi lauk-pauk, dan 1,5 porsi sayur. Tak lupa, harus rajin minum air dan membatasi konsumsi gula, garam, dan minyak, tutur dr. Juwalita.
"Ingat, pola makan sangat menentukan kebiasaan makan saat dewasa nanti. Orang tua tidak boleh putus asa menawarkan makanan sehat pada anak. Orang tua juga harus menyediakan makanan selingan 2-3 kali dalam sehari untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang tidak didapat dari makan utama," tegas alumnus Universitas Indonesia ini.
Untuk tumbuh kembang, anak-anak harus mengonsumsi cukup protein, baik hewani atau nabati. Protein hewani memiliki asam amino lebih lengkap dan lebih mudah diserap tubuh. Sementara itu, protein nabati mengandung lemak baik, isoflavon yang bersifat antioksidan dan antikolesterol, tinggi serat, dan alternatif pengganti protein pada orang yang intoleransi laktosa.
Tak lupa, anak-anak juga harus mengonsumsi makanan yang mengandung folat dan kalium. Folat berfungsi untuk membentuk sel darah merah, sementara kalium berperan untuk kontraksi otot. Asupan makanan yang menunjang aktivitas fisik sangat diperlukan, apalagi pada usia anak yang sedang aktif-aktifnya.
1 note
·
View note
Text
Pertunjukan Pukul Dua
Fragmen 1
(siapakah kita?)
Adegan 1
PEMENTASAN DIBUKA DENGAN TARIAN BONDAN KENDI OLEH SEKAR YANG DIIRINGI DENGAN ALUNAN GAMELAN. DENGAN LAMPU BERWARNA SEPIA. BEGITU SENDU.
MARIA MENUNGGU PELANGGAN BERSAMA BEBERAPA TEMANNYA DI TEMPAT YANG REMANG-REMANG. DUDUK DI BANGKU DENGAN TATAPAN KOSONG. HAMPIR PAGI, TAPI DIA BELUM DAPAT SATUPUN PELANGGAN PADAHAL DIA SUDAH MENGHABISKAN 5 GELAS TEH PANAS.
MARIA PULANG KE RUMAHNYA DENGAN GODAAN DAN CELAAN DISEPANJANG PERJALANANNYA.
SEFIA DUDUK DI DEPAN CERMIN. BERDANDAN.
Fragmen 2
(Film-Film Berwarna Seperti Lipstik di Bibirmu)
Adegan 1
Sefia:
“Di negeri yang jauh, aku bercermin. Tetapi tidak sama sekali aku melihat wajahku yang berwarna-warni. Semua hitam dan putih, terkadang sephia. apa yang orang-orang pikirkan tentang warna sephia? Apakah orang-orang berpikir bahwa itu warna yang indah?
Sephia: cokelat dan abu-abu. Seperti hitam dan putih. Warna ini tidak menggambarkan aku. Jika aku boleh memilih, akan ku simbolkan diriku dengan warna fuchsia. Pink dan ungu. Lipstik warna pink. Rasa strawberry. Untuk wajah malaikat.”
(suara laki-laki)
“Sebelum matahari tenggelam, kutemui seorang perempuan mengenakan terusan berwarna pink. Sungguh cantik dan manis. Lalu dia duduk di rerumputan di bawah pohon. Berkaca dan berdandan. Di sampingnya terdapat bunga matahari yang baru ia petik dari kebun bunga milik Ibu Marlina. Seorang perempuan dengan baju pink memegang bunga lalu tersenyum manis. Berpose di depan kamera ponselnya, yang kata orang adalah ponsel paling bagus pada zamannya.
Aih, aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Dua puluh lima menit kemudian, aku melihat wajah cantiknya dalam ponselku.”
Sefia:
“Kuning, dan violet untuk kelopak mata. Merah untuk bibir, atau mau pakai pink juga boleh. Jangan lupa warna coral untuk pipi. Apakah perpaduan warna ini sudah menutup warna sephia-ku? Aku ingin terlihat berwarna-warni di hadapan semua orang.”
(LAMPU PELAN-PELAN BERGANTI MENJADI WARNA FAJAR)
(DATANG MARIA DENGAN MUKA LUSUH MENGANTUK, DANDANANYA SUDAH BERANTAKAN.)
Adegan 2
Maria: “Sudah tanggal berapa sekarang? Anakku sepertinya belum makan.”
Lelaki: “Lonte!”
Maria: “Aku pelacur.”
Lelaki: “Dua ratus ribu terlalu mahal untuk menjadi hargamu!”
Maria: “Jika kau tidak mampu membayar ya sudah jangan pakai.”
Lelaki: “Wanita Jalang!”
Maria: “Aku pelacur.”
Lelaki: “Ganti namamu! Pelacur tidak seharusnya bernama Maria.”
Maria: “Memang kenapa?”
Lelaki: “Maria nama suci. Kau kan penuh dengan Najis.”
Maria: (Tertawa)
Lelaki: “Wanita penghibur!”
Maria: “Aku pelacur! Sejak dulu saya adalah seorang pelacur. Jangan mengubah, menambah atau mengurangi nama saya. Mengapa soal nama saja kalian ributkan?”
Maria:
“Aku pernah punya mimpi indah. Kau menuliskan mimpiku dalam bukumu, seperti itu mimpimu sendiri. Aku juga menuliskan kata-kata dan angka-angka yang kau ucapkan dalam tubuhku dan kita menamai itu sebagai “mimpi kita”.
Hari itu, aku membuatkanmu masakan spesial. Itu makanan favoritmu. Sop ayam dengan sambal bawang dan kerupuk. Kau menciumku hangat lalu kita makan bersama. Kata orang-orang, kita sedang dinner. Kau memuji masakanku enak. Aku tersenyum. Setelah itu kita minum anggur sampai mabuk. Kau menciumku berkali-kali sampai membuat tubuhku geli. Kita telanjang dan bergandengan tangan. Berjalan dalam kegelapan dan tiba di tebing lalu terjun ke sungai. Tapi kau tidak. Pada hari sabtu yang hujan, aku mencium kening-kening anakmu di rumah bordil milik Mama Helena.”
(SEKAR MASUK PANGGUNG DENGAN DANDANAN PRIYAYI.)
Sekar:
“Jalan yang berkali-kali kau tempuh tidak menjadikanmu bunga yang wangi dan disenangi semua orang. Kau lupa pada apa yang seharusnya kau pilih. Menjadi apa kau seharusnya. Gerimis turun di hari Kamis, biru, semua menangis. Semua menangis.”
Sefia:
“Kenapa kisahmu bisa begitu pilu, Maria, kau terlihat seperti buku diary yang robek terkena hujan. Setelah itu terbuang. Hanya kau yang menangis. Hanya kau yang menangis.”
Maria:
“Sepasang mata tengah malam dan lipstik yang koyak. Sudah tanggal berapa sekarang? Aku harus membeli makan untuk anakku, membayar uang sekolahnya dan membayar semua urusan-urusan. Aku hanya tumbuh menjadi perempuan yang pandai memasak dan memiliki anak yang sering diserang kelaparan dan pertanyaan-pertanyaan. Aku adalah ibu yang yatim piatu. Sedangkan mereka mencariku dan mencaciku. Aku adalah bunga. Aku cacing tanah. Aku pelacur.”
Adegan 3
Sekar:
“Memasak bunga-bunga di dalam pikiran. Menjadikannya lauk pauk untuk sarapan suamiku. Aku tidak pandai memasak, tapi kata ibu, perempuan harus pandai memasak agar bisa melayani suami. Surgaku berada di telapak kaki suamiku, kayanya.”
Sefia:
“Memasak itu perlu, tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu terlihat cantik di hadapan suamimu. Supaya suamimu betah sama kamu. Kamu itu bunga matahari, Sekar, jadi pake eyeshadow kuning dan merah di kelopak mata, blush on pink di pipi, lipstik merah tua di bibir dan pakai highlighter di tulang pipi. Alismu sudah bagus, tapi masih perlu dirapikan. Mari aku bantu.”
(SEFIA MENDANDANI SEKAR SAMPAI SEKAR JADI CANTIK SEPERTI BUNGA MATAHARI)
Sekar:
“Impianku terhadap dunia adalah menjadikan diriku sebagai jam kerja. Umur 22 tahun, aku menikah dengan suamiku. Ibuku bilang dia adalah lelaki yang mapan dan tampan. Keluarganya terhormat, anak seorang pejabat. Aku akan bahagia jika menikah dengannya. Aku bahkan belum bertemu dengannya.
Dua hari setelah ibu berkata demikian, bapak kedatangan seorang tamu. Priyayi kata simbah. Wong-wong nduwe. Ibu menyiapkan makanan yang sebelumnya tidak pernah ada di rumah. Katanya mereka melamarku. Aku bahkan belum bertemu dengannya.”
Lelaki:
“Aku melihatmu saat kau menari untuk bupati 5 tahun lalu. Aku jatuh cinta padamu. Kau cantik, demikian perempuan, persis seperti apa yang dikatakan ibuku tentang seorang istri.
Sekar:
Lalu aku menikah dengannya. Dengan pesta meriah. Harusnya aku bahagia, tapi malah muncul pertanyaan adalah benakku “Bukankah pernikahan dan memiliki anak adalah pilihan?”. Aku menikah dengannya karena paksaan bapak, ibu, dan simbah. Aku bahkan belum bertemu dengannya.”
Lelaki:
“Cinta akan datang dengan sendirinya, Sekar, cepat atau lambat kau akan mencintaiku. Aku adalah suamimu.”
Sekar:
“Sebuah planet meledak. Aku tetap bangun pagi, memasak sarapan dan berdandan untuk suamiku di pagi hari. Setelah ia berangkat bekerja, yang aku lakukan adalah membereskan rumah. Apa bayaranku karena telah membereskan rumah?”
Lelaki:
“Kasih sayang, istriku. Bukankah itu cukup? Seorang istri harus mengabdi pada suaminya. Aku adalah kepala keluarga dan aku adalah imammu. Bukankah Pak Kiai sudah bilang bahwa “Sebaik-baiknya seorang istri adalah yang taat dan tunduk pada suami?”
Sekar:
“Halah, tidak usah menggunakan agama sebagai alat untuk menindasku. Bukankah manusia adalah makhluk yang bebas dan merdeka?”
Lelaki:
“(Dengan marah) Sekar, mari tidur!”
Fragmen 3
(Menjadi Bungur)
Adegan 1
Maria:
“Suara noir radio di tengah malam. Sebuah poster pertunjukan baru saja ditempel. Pertunjukan dalam tubuh siapa kali ini? Stevi? Suhana? Dahlia si gadis 12 tahun? Atau siapa? Tokoh apakah yang akan dia perankan? Gadis lugu? gadis binal? seorang model? Seorang istri? Seorang aktris? Atau seorang gadis kesepian dalam tubuh bapaknya? Mereka pandai bermain peran hanya agar semua orang tahu bahwa mereka hidup.
Pukul dua pagi, lampu-lampu yang sedih dengan label harga yang tidak boleh lagi ditawar. Dua ratus ribu untuk sekali main, belum termasuk ongkos kasur dan pisang goreng. Harga untuk makan seorang anak yang selalu minta dicium keningnya. Aih, aku harus menaikkan harga agar aku bisa membeli mekap dan membeli gunjingan tetangga. Menjadi tiga ratus? Empat ratus? Satu juta? Atau aku harus membuat paket bermain. Satu juta untuk bermain, mendengarkan suara-suara atau menonton film noir, kasur, pisang goreng, segelas kopi dan percakapan hangat?
Tetapi musim hujan berjalan-jalan di luar bajuku. Dari seluruh warna-warna lampu jalan yang dipadatkan lalu aku kenakan. Baju dengan kancing-kancing kesedihan dan ketakutan. Akan menjadi apa aku setelah daun jatuh dari pohon terakhir?
Orang-orang bilang aku akan terbakar api neraka. Tidak apa-apa. Akan kutemukan anjing lalu akan ku beri minum ketika dia kehausan. Aku akan masuk surga. Tuhan tidak akan bersedih sendirian. Orang-orang itu kan juga tidak tahu apakah mereka akan masuk surga atau neraka? Mereka bukan wakil atau sekretaris Tuhan.”
Lelaki: “Memang bukan. Tapi semua itu sudah tertulis dalam kitab suci.”
Maria: “Kitab suci siapa?”
Lelaki: “Kitab suci orang-orang beragama.”
Maria: “Tuhan lebih tahu apa yang kalian tidak tahu. Jangan merasa seolah-olah kamu paling tahu. Aku memang pelacur, tapi apakah surga dan neraka hanya ditentukan dari profesi? Aku orang baik juga. Aneh, kenapa orang-orang ini dungu seperti babi.”
Lelaki: (potongan ayat dalam kitab suci)
Maria: “Halah banyak bacot!”
(SEORANG ANAK MASUK PANGGUNG SAMBIL MENANGIS. MARIA MENGEJARNYA DENGAN WAJAH PANIK)
(MARIA MASUK PANGGUNG LAGI DENGAN SEORANG LELAKI. BERGANDENGAN MESRA.)
Maria: “Kau mau aku berperan menjadi siapa kali ini? Bunga apa yang ingin kau cium?”
Lelaki: “Aku ingin bunga tulip berwarna nila. Manis.”
Maria: “Aih, aku mahir memerankan tokoh itu. Mari, sudah kusiapkan kasur, radio, kopi dan pisang goreng. Juga percakapan tentang jurang dan sungai. Aku tidak mau ke jurang dan melompat ke sungai lagi.”
Sekar: Pelacur! Gara-gara kamu suamiku tidak pernah pulang. Kamu apakah dia? Semoga kau dikutuk oleh Tuhan!
Adegan 2
(PHOTOSHOOT)
Sefia: “Aku memotret telapak tanganku sendiri seperti memotret dunia yang berwarna ungu. Impianku adalah ungu. Dan pink seperti strawberry.”
Lelaki: “Sepertinya kamu akan lebih cantik jika kau berwarna tosca.”
Sefia: “Warna ini telah menjadi kupu-kupu setelah air laut ingin mendaki bukit. Aku akan mengubah warna eyeshadow-ku dan memakai eyeliner.”
Lelaki: “Menjadi lumba-lumba.”
Sefia: “Menjadi tabebuya. Menjadi bungur.”
Lelaki: “Sefia, berapa harga pakaianmu?”
Sefia: “Serupa Madonna. Aku ingin seperti Madonna.”
Lelaki: “Bukankah lebih cantik Hepburn?”
Sefia: “Aku akan menjadi Hepburn keesokan harinya.”
Lelaki: “Kau lebih cocok menjadi perempuan yang memiliki laut dalam tubuhmu. Di lenganmu.”
Sefia: “Laut yang seperti apa? Yang banyak pari dan kura-kura?”
Lelaki: “Yang banyak paus dan ubur-ubur.”
Sefia: “Laut itu berwarna apa?”
Lelaki: “Berwarna hijau.”
Sefia: “Aku tidak suka hijau.”
Lelaki: “Tapi aku suka.”
Sefia: “Baiklah, besok aku akan menggambar laut berwarna hijau dengan paus dan ubur-ubur.”
Lelaki: “Kau memang perempuan yang cantik, Sefia, mari hapus lipstikmu yang pink rasa stawberry dan telanjangi wajahmu.
Sefia: (berteriak)
(SEKAR DAN SEFIA BERADA DI TENGAH PANGGUNG. SUARA SEORANG PRIA MUNCUL DARI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG BERGANTIAN. SEKAR MENGENAL SUARA ITU SEBAGAI SUAMINYA DAN SEFIA TIDAK MENGENAL SUARA ITU MEREKA BERLARI MENGEJAR DAN MENGHINDARI SUARA ITU. MEREKA KETAKUTAN KETAKUTAN.)
Sekar:
Dan berjalan. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan melupakan. Dan memasak. Dan melupakan. Dan makan. Dan menggambar matahari di kelopak mata. Dan menggoreng bunga pada pukul 25.67. dan melupakan. Dan melupakan. Dan aku harus melakukan seumur hidup.
(SEFIA DI DEPAN BLITZ KAMERA MEMELUK DIRI YANG BERANTAKAN, MENANGIS. BAJU, MEKAP DAN KEYAKINANNYA KOYAK. DIA MEMBERSIHKAN MEKAP DARI WAJAHNYA.)
Maria:
“Apakah orang-orang tahu, setiap hari, setiap saat, seseorang sedang melakukan sebuah pertunjukan. Karena dia hidup. Atau karena dia percaya bahwa dia hidup. Hidup adalah sebuah kata benda. Jika aku menyukainya, ia bernama kesunyian. Jika aku membencinya, ia bernama kesepian.
(MEMASANG POSTER-POSTER PERTUNJUKAN)
Pertunjukan ini berjudul “Menjadi Jam Tengah Malam yang Meledak di Paris Semua Menangis Dengan Mata dan Bibir Koyak Karena Apakah Kau Ada Di sana?” dengan aktor utama: aku. Pencahayaan: lampu-lampu dini hari yang bersedih. Mekap: seorang aktor yang baru saja selesai pentas. Musik: tangisan anak-anak yang lupa dicium keningnya. Tentu saja penontonnya adalah kalian. Kalian bebas menonton, berbicara, mengkritik, menghujat, memuji, memaki, ikut serta dalam pertunjukan ini, membubarkannya, bebas. Tapi yang perlu diingat adalah akulah aktor utama. Jadi jalannya pertunjukan ini terserah padaku.
Kau mau menemaniku dalam pertunjukan ini?”
Lelaki 2: “Tidak!”
Maria: “Mengapa tidak? Kau akan aku jadikan aktor utama juga, menemaniku berdiri di atas panggung.”
Lelaki2: “Tidak!”
Maria: “Nanti aku tambah dengan percakapan pukul 2 pagi. Bagaimana?”
Lelaki 2: “Tidak!”
Maria: kamu merah seperti tomat. Lucu sekali. Mau jadi pacarku saja?
Lelaki 2: “Tidak!”
Maria: “Ih menggemaskan sekali. Coba katakan hal lain selain tidak (mencubit pentil lelaki). Gendut. Gemas. Ayo kita main. Nanti aku kasih diskon deh. Ayo!”
Lelaki 2: “Ih, kok jadi aku sih yang jadi objek?”
Fragmen 4
(Setelah Kita Terjebak dalam Etalase)
Adegan 1
(SEORANG LELAKI MENATAP SEFIA SINIS)
Sefia:
“Museum ini terbuka kembali. Kini dengan gadis boneka berdiri dalam etalase yang terkunci. Semua orang melihatnya, memotretnya, memajangnya dalam ponselnya, kemudian beberapa menit setelah itu semua lengang. Hilang. Hitam.
Semua warna yang aku gambarkan di tubuhku semua hilang. Dia telah menelanjangi warna-warna itu. Warna yang sedari dulu aku kumpulkan di hadapan umat manusia. Ternyata aku hanya boneka kayu untuk mereka.
Tapi tidak apa. Ayo jadi boneka kayu yang cantik. Berwarna. Boneka yang semua orang senangi.”
(SEFIA BERDANDAN DI DEPAN CERMIN. BERANTAKAN. LALU MENANGIS)
Adegan 2
Sekar:
“Bawang merah. Merica. Cabai. Tomat. Lengkuas. Bawang putih. Jahe. Garam. Kemiri. Lada. Kunyit. Kemangi. Serai. Ketumbar. Kunyit. Penyedap rasa. Daun salam. Lengkuas. Asam jawa. Eyeshadow berwarna mustard. Cabai. Garam. Parfum rasa vanila. Tomat. Terong. Lengkuas. Bawang bombay. Garam. Asam jawa. Kencur. Temulawak. Ketumbar. Gula merah. Hal-hal lain yang turut berpartisipasi dalam cerita ini.”
Sekar: “Maria, aku dipukuli suamiku semalam.”
Maria: “Kenapa?”
Sekar: “Karena potongan ayat suci perkataan kiai.”
Maria: “Seperti apa potongan ayat suci tersebut?”
Sekar: “Bahwa istri harus selalu patuh pada suaminya.”
Maria: “Perempuan yang malang. Tapi yang aku tahu bahwa perempuan memang harus selalu patuh pada suaminya.”
Sekar: “Pernikahan dan anak adalah pilihan, bukan kewajiban. Lelaki keparat.”
Maria: “Sekar, yang aku tahu lagi, istri tidak boleh membicarakan keburukan lelaki kepada orang lain.”
Sekar: “Siapa bilang?”
Maria: “Ibuku. Hal-hal mendasar begitu saja kamu belum tau. Pantas kau dipukul suamimu.
Sekar: “Sinting!”
Adegan 3
Sefia: “Aku biru karena aku melihat bahwa aku biru, karena hanya itu jalan satu-satunya yang aku tahu.”
Lelaki 2: “Kisah-kisah manusia memang penuh tangis, Sefia.”
Sefia: “Mungkin pagi ini aku harus pulang.”
Lelaki 2: “Ke mana?”
Sefia: “Kepada museum yang tutup jam sembilan malam. Pada wajah cantik, tirus, kurus, bunga matahari, parfum Jean Baptiste Grenouille, pada sepotong apel.”
Lelaki 2: “Pulanglah kepadaku.”
Sefia: “TIDAK!”
(SEFIA BERJALAN MENGELILINGI PANGGUNG YANG TELAH DIBATASI DENGAN LAMPU WARNA-WARNI. LELAKI 2 MENGEJAR SEFIA. SEFIA BERJALAN SEMAKIN CEPAT. SEPAKIN LIAR. DENGAN TERIAKAN. MENGINDAR DARI LELAKI 2 SAMPAI LELAKI 2 BERHASIL MEMELUK SEFIA.)
Maria: (Kepada Lelaki 2, mencubit pipinya, gemas) “Kamu kok lebih memilih dia sih daripada aku? Aku lebih bohay dari dia.” (Maria mencubit seluruh tubuh Lelaki 2 dengan gemas dan melecehkan)
(LELAKI 2 MENANGIS. LALU MELAKUKAN APA YANG DILAKUKAN SEFIA. SEFIA MENGEJARNYA)
Sefia & Lelaki 2:
“Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat. Lelaki dan perempuan harus bisa bebas untuk menjadi kuat.”
(MENGIKATKAN TALI DI TUBUH MARIA.) (MARIA MENCOBA MENYENTUH LELAKI 2 LAGI. TAPI TUBUHNYA TERIKAT) (SEORANG ANAK MENANGIS)
Sefia: “Dasar Pelacur!”
Lelaki 2: “Sampah Masyarakat!”
Sefia: “Kau pasti Masuk Neraka!”
Sekar: “Kau telah merusak keluargaku, semoga kau dikutuk!”
Sefia: “Pelacur bangsat!”
Lelaki 2: “Pelacur bangsat!”
(SEKAR MENARI BONDAN KENDI. SEMAKIN LAMA TUBUHNYA SEMAKIN LEMAH. MENANGIS. LAMPU MEREDUP. TERDENGAR SUARA CAMBUK. LAMPU PADAM.)
1 note
·
View note
Text
Alarm pengingat
melihat meja makan setiap hari, yang selalu penuh dengan berbagai macam makanan kayaknya sudah gak aneh. berbagai lauk-pauk dengan segala gizi yang dikandungnya rasanya biasa aja. malah terkadang bosan, karena yaa makanannya itu-itu aja. ditambah sekarang bulan puasa, sering menjadikan kita manusia lapar mata. apa yang dilihat enak, ya kita beli! urusan belakangan kalau ternyata tidak termakan, yang penting hati kita puas. lalu.. dikirim berita tentang seorang teman, yang dengan keadaan susah payah harus menahan lapar karena tidak punya uang. sendirian, tidak diakui oleh orang tua, menekan-nekan perut untuk setidaknya dapat meredam riuh yang tidak tertahankan! "tidak apa-apa, itung-itung puasa aja ya.." ucap ia kepada perutnya. oleh karena inipun, sakit mulai menghampirinya. lambung yang harusnya bekerja memproses makanan yang masuk, sudah mulai bekerja memproses makanan yang tidak kunjung masuk. ia mulai menyerang tubuh. sakit! namun berlari pun harus kemana? tidak ada mereka yang dapat ia gapai untuk sekedar meminta bantuan. bertahanpun tidak bisa selama ini, sampai akhirnya Ia ingin menyerah.. ada seorang teman lainnya, seolah Tuhan gerakkan hati untuk bertanya kabar padanya. terbongkarlah semua kenestapaan yang ia hadapi saat itu. Tuhan itu tidak tidur, Dia mendengar semuanya dan kamu hanya perlu sabar. mulai saat itu bantuan mengalir dengan cepat. satu teman, dua teman.. sampai mereka yang bahkan tidak ia kenali menyalurkan bantuannya, lengkap dengan ucapan do'a untuk memberikan semangat. "aku bersyukur bisa makan hari ini, akupun bersyukur untuk waktu-waktu saat aku tidak makan hari kemarin. aku akan selalu bersyukur untuk sisa waktu aku hidup kedepannya. aku bersyukur, Tuhan. terima kasih" pelajaran kecil Tuhan berikan hari ini padaku. makanan yang dirasa biasa-biasa saja itu berubah menjadi makanan yang mewah dan patut disyukuri keras-keras! nasi yang kau ambil banyak dan tidak habis itu, ditangisi oleh mereka yang berjuang untuk dapat makan. lauk yang kau sebut tidak enak itu, dimohonkan mereka diluar sana yang tidak peduli akan rasa yang penting bisa masuk ke mulutnya. tidak pernah sekeras ini aku diingatkan akan sesuatu. semoga aku dan kamu semua dapat lebih bersyukur untuk segala yang dipunya. aku belajar bahwa sesekali menengok kebawah itu perlu, agar kita bisa belajar rasa sakit dari mereka yang kurang beruntung dalam hidup. aku berdo'a, semoga Tuhan selalu berkahi dan lindungi setiap langkah dihidup kita. Aamiin, ya?
2 notes
·
View notes