Merdeka dan Tantangan Sejatinya
Merdeka dan Tantangan Sejatinya
Subak, sistem irigasi di Bali yang digagas masyarakat setempat
Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, yang juga menjadi calon gubernur Jawa Barat, menyampaikan pandangan kontroversial dua hari lalu, yakni mengatakan seharusnya kita berterima kasih kepada Belanda. Dedi menyatakan positifnya Belanda yang membangun sistim irigasi yang kuat dan kokoh yang bisa
mengatur manajemen air untuk pertanian dengan baik. Dan meninggalkan asset itu serta perkebunannya buat kita.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Ir. Soekarno, alumni arsitektur ITB, ketika menyampaikan pandangannya di pengadilan “Landraad” atas dirinya, dengan tuduhan Makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, di Bandung pada tahun 1930, dengan pledoi yang sangat monumental “Indonesia Menggugat”. Dalam Pledoi itu Bung Karno mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dibuat Belanda, seperti sistem irigasi, bukanlah semata mata ditujukan buat petani kita, melainkan kepada kebun kebun Belanda secara utama dan sisa airnya baru diterima petani kita.
Tentu saja Dedi Mulyadi belum sampai kepada tingkatan pemikiran Bung Karno tersebut. Hal ini terjadi karena apa yang disebut “seeing is believing”, seseorang mempercayai apa yang dilihatnya tanpa mendalami lebih jauh apa dibalik yang terlihat tersebut.
Dalam “seeing is believing”, penglihatan fisik menjadi acuan utama. Sedang masalah esensi menjadi sekunder. Dalam kasus sistem irigasi ini, Dedi melihat hebatnya infrastruktur irigasi tersebut karena kokoh dan bertahan sampai saat ini.
Sedangkan Bung Karno, selain melihat infrastruktur pertanian, juga mengkritik pembanguna infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan dan kereta api yang dibangun Belanda lebih dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan rempah rempah dan kekayaan alam lainnya secara lebih mudah untuk diangkut ke Belanda.
Kenapa Dedi Mulyadi gagal melihat apa yang dilihat Sukarno? Bukankah ada contoh irigasi di Indonesia yang menjadi “World Heritage” yang mengagumkan dunia? Yakni Subak di Bali.
Subak di Bali selain diakui Unesco, juga menjadi bahan riset berbagai perguruan tinggi dunia karena kecanggihan manusianya secara kolektif mengatur pembagian air. Meski Subak sebuah infrastruktur yang canggih dan indah, namun kerjasama dan tanggung jawab petani menjadi utama. Artinya irigasi ini dari petani untuk petani. Sebuah kemandirian rakyat.
Mental Inlanders
Pembicaraan soal usul terima kasih Dedi Mulyadi ke Belanda, penjajah 3,5 abad bangsa kita, menjadi penting untuk melihat bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Kenapa? Karena pikiran di atas merupakan cerminan pikiran arus utama (mainstream) pemimpin bangsa ini yang melihat pembangunan (infrastruktur) hanya dari fisiknya saja. Beberapa waktu lalu, Ahok di Jakarta, juga melakukan kerja keras melakukan pembangunan infrastruktur secara cepat. Tentu saja Jokowi di tingkat pusat saat ini melakukan pemokusan pada infrastruktur fisik. Lalu tidak ada yang bertanya seperti Bung Karno bertanya: untuk keuntungan siapa itu infrastruktur?
Pertanyaan untuk kepentingan dan keuntungan siapa pembangunan itu pada masa Bung Karno langsung terlihat vis a vis antara rakyat kita versus Belanda. Tapi, Belanda saat itu hanyalah berbeda warna kulit, di luar warna kulit, kesadaran orang saat itu Belanda adalah pemerintah yang sah. Untuk memperkuat substansi pertanyaan itu Bung Karno mempertegas dengan vis a vis rakyat Marhaen vs Kapitalis. Bung Karno memperjelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintahan hanyalah semata mata menguntungkan kapitalis, kaum pemilik modal.
Setelah Indonesia Merdeka, Bung Karno telah memprediksi bangsa kita akan menghadapi persoalan yang lebih besar, yakni sulitnya menghadapi penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutnya, kapitalisme itu akan membonceng pemimpin2 bermental inlanders yang minderwarderheid (pemimpin yang selalu merasa rendah diri pada bangsa asing) untuk menanamkan uangnya dalam proyek proyek infrastruktur, tapi bukan pada kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan merampok sumberdaya alam kita secara mudah.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur hal itu? Bagaimana kita bisa menuduh pemimpin tertentu adalah “inlander yang minderwarderheid”?
Tentu kita harus melihat dalam dua hal: pertama, kita harus melihat ketimpangan yang terjadi dengan masuknya pembangunan Infrastruktur? Apakah ketimpangan sosial semakin besar atau semakin kecil?
Kedua, apakah pemimpin tersebut secara sadar menerima situasi tersebut? Atau sebenarnya tidak melihat korelasinya, karena memang infrastruktur itu dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Hal ini memang sangat sulit membacanya, bukan tidak bisa. Untuk itulah pentingnya memasukkan secara tegas pikiran pikiran Bung Karno dan Founding Fathers lainnya, bahwa ukuran (tantangan) pembangunan sejatinya bukan terletak pada seberapa banyak pelabuhan yang dibangun, seberapa banyak bandara yang dibangun, seberapa panjang jalan tol dan jalan lainnya yang dibangun, seberapa banyak rel kereta alai yang dibangun, dll. Namun, pertanyaannya, seberapa untung rakyat atas pembagunan itu? Seberapa untung bangsa ini dibanding bangsa lain yang memberi hutang pada pembangunan tersebut?
Jika ukuran-ukuran kesejahteraan rakyat dan kemakmuran ini diutamakan, disitulah kita bisa tahu mata pemimpin yang benar dan mata pemimpin yang dimaksud Bung Karno sebagai kolaburator.
Merdeka !!!
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Sumber : Source link
0 notes
Pustaka, Pendiri Bangsa, dan Pewarisan Ingatan
Pustaka tak jarang mengubah nasib seseorang. Atau bahkan membelokkan pada satu titik kesadaran, yang kemudian menjadi perjalanan hidup yang mesti dilaluinya sepanjang waktu. Mungkin pula, karena kesadaran berpustaka, sebuah bangsa bisa berdiri karena para pendiri bangsanya gemar membaca dan berpolemik. Menggagas wacana, beradu jalan pikiran, dan mengeksekusinya demi kebersamaan. Walau bisa saja perbedaan pendapat tak bisa dielakkan.
Kerap kali, buku-buku yang dibaca semasa belia, akan menjadi batu pijak yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Sampai kemudian kita tak akan tahu dari jalan mana hasil membaca itu akan kita petik di kemudian hari.
Mungkin saja, awal jatuh cinta pertama berjumpa dengan buku adalah kesenangan. Serupa anak kecil yang mendapatkan kegembiraan ketika mendapatkan mainan baru. Mulanya dilihat-lihat, lalu tersenyum, tertawa lalu hanyut dalam keriangan.
Jean Paul Sartre-seorang filsuf eksistensialis Perancis-berkisah secara ekspresif ihwal perjumpaannya dengan buku pada risalah yang ditulisnya sendiri, Kata-Kata. Dalam Kata-Kata, ia seperti bergumam. Pikiran anak kecilnya seperti melonjak kegirangan. "Dalam kantor kakek, buku ada di mana-mana...Meski belum bisa membaca, aku sudah memuja buku-buku yang nampak seperti tegaknya monumen batu: entah berdiri atau miring, sesak seperti bata di rak-rak perpustakaan atau berserakan di sana-sini seolah barisan menhir...Mereka semua mirip satu dengan lainnya, dan aku harus berjuang sendiri berjingkrak-jingkrak di ruang buku-buku nan suci itu, dikelilingi oleh wajah-wajah monumen kokoh dan kuno, yang telah menyaksikan kelahiranku, dan yang akan menyaksikan kematianku".
Barangkali dari kesan-kesan bermusyawarah dengan buku di masa kecil itulah, Sartre menjadi salah satu deretan filsuf eksistensialis terkemuka di abad ke-20. Ia menulis sejumlah skenario film, analisa atas sastrawan-sastrawan besar, naskah sandiwara, dan tentu saja traktat filsafat. Salah dua diantaranya adalah Critique de la raison dialectique (1960) dan sebelumnya Questions de méthode (1957). Dan di tahun 1964 ia sempat diganjar hadiah Nobel sastra, walaupun dia sendiri menolaknya.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia, sebuah negara yang belum terlalu lama mempunyai tradisi membaca dan beraksara?
Tak bisa dipungkiri, bahwa negara kita yang kenyang dengan kolonialisme didominasi oleh tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat. Menjadi legenda, cerita rakyat, hikayat, folklor, mitos, dan lain-lain. Dan tak jarang ia menjadi nilai-nilai yang terpatri dalam masyarakat itu sendiri. Tapi, ya itu tadi. Karena belum kokohnya membaca pustaka dan melestarikannya, ia hanya hidup dalam alam pikiran orang-orang yang menjaganya.
Ketika orang-orang yang menjaganya tersebut disapu oleh tua dan usia, nilai-nilai itupun lambat lain menjadi rapuh dan terlupakan. Boleh jadi, karena kita tak terlalu tangguh dalam beraksara (membaca dan menulis), bangsa kita yang besar ini terlampau lama dalam dekapan kolonialisme dan imperialisme. Tengoklah berapa banyak bangsa asing yang tergiur dengan kekayaan nusantara gemah ripah loh jinawi ini yang kemudian dijarah dengan sesuka hati. Portugis. Perancis. Inggris, dan Belanda. Mereka adalah bangsa-bangsa dengan tradisi pustaka yang panjang.
Berbekal kompas dan peta, mereka merangsek ke nusantara. Dengan tokoh utamanya, Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang bersauh di Jawa. Berbekal peta buatan kartografer bernama Jan Huygen van Linschoten. Mengutip suplemen Iqra di Majalah Tempo tanggal 3 September 2000, "Kolonialisme dimulai dari sebuah peta. Dari sebuah gulungan gambar penuh simbol, arah navigasi ditentukan dan sebuah sasaran ditargetkan".
Mengadaptasi kata-kata Thomas Suarez, penulis buku Early Mapping of Southeast Asia, masih di suplemen Iqra majalah Tempo, bahwa dengan kepustakaan peta-peta itulah bangsa Eropa mengundang kolonialisme ke wilayah Asia Tenggara.
Awalnya mungkin dengan senjata dan upaya kekerasan. Tapi lambat laun, kita dikendalikannya tanpa kita menyadarinya. Secara kuantitas tentu saja kita menang jumlah, tapi tidak secara kualitas. Kombinasi antara merekam jejak langkah dalam arsip, kekuatan pustaka, dan mengendalikan alam pikiran manusia pribumi, membuat Belanda makin betah tinggal lama di nusantara. Dengan upaya apapun, sang kolonialis berusaha mempertahankan wanginya teh dan juga harumnya kopi yang bisa dicicipi sesuka hati.
Kolonialisme jelas berbasis sains teknologi yang bersandar data dan pustaka. Maka, tak ada kata lain untuk melawannya kecuali dengan "senjata" yang sama. Dalam The Idea of Indonesia, Robert Edward Elson menulis, bahwa Raden Ajeng Kartini seorang ningrat terdidik yang mempunyai simpati pada orang-orang yang berkedudukan rendah, menyatakan "Pengetahuan bahasa Belanda adalah kunci yang bisa membuka gudang harta peradaban dan pengetahuan barat".
Dengan kata lain bahwa bahasa-bahasa asing yang nun jauh di sana, bukan hanya perlu, tapi wajib dikuasai guna sebagai pembuka bagi kepustakaan untuk membongkar praktik imperialisme yang sudah lama menahun. Di awal-awal abad ke-20 itulah, kesadaran sebagai bangsa yang harus terdidik mulai tertanam di benak anak-anak bangsa yang tercerahkan.
Suasana zaman yang sedang berubah itu dipotret dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia. Lewat tokoh utamanya bernama Minke, Pram melukiskan seorang pribumi terpelajar yang tentunya mempunyai kesadaran membaca, yang ingin meningkatkan harkat dan martabat bangsanya sendiri. Tokoh Minke sering diasosiasikan sebagai Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Dalam istilah Pramoedya, ia adalah sang pemula.
Semangat zaman waktu itu sedang menginjeksi anak-anak muda bahwa sudah saatnya-meminjam istilah dr. Abdul Rivai-berpindah dari sekadar bangsawan usul menjadi bangsawan pikiran. Dari bangsawan genealogis menjadi seorang pribadi yang mampu berdiri sendiri dari hasil usaha dan pikirannya sendiri. Dan ini mesti ditopang oleh luasnya bacaan menuju sebuah kemerdekaan, yang waktu itu entah kapan bisa terwujud. Tapi seperti hukum dalam sejarah, selalu ada-meminjam istilah Arnold. J Toynbee-minoritas kreatif yang terus menerus dengan keras kepala mewujudkan gagasannya merdeka seratus persen.
Ibrahim Datuk Tan Malaka. Majalah Tempo edisi khusus Hari Kemerdekaan Agustus 2008 menyebutnya sebagai bapak republik yang dilupakan. Muhammad Yamin menjulukinya sebagai "Bapak Republik Indonesia", dan Soekarno memuji dia "seorang yang mahir dalam revolusi". Pahlawan yang mungkin saja terlupakan ini menulis sejumlah pustaka yang menjadi "batu bata" republik ini. Hampir separuh hidup Tan Malaka dalam pelarian. Ia sering diburu polisi kolonial. Bukan karena badannya yang besar dan tegap, namun karena pikiran-pikiran lewat tulisan tajamnya yang membuat ia terus berada dalam pengawasan.
Di usianya yang menginjak 28 tahun dan disela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan Malaka menulis panjang Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Sebuah risalah penting tentang arti sebuah arti kemerdekaan. Terbit di Kanton tahun 1925. Beberapa eksemplar masuk ke Indonesia. Dan kabarnya, risalah yang ditulis oleh Tan Malaka inilah yang menjadi salah satu inspirasi Bung Karno dan menulis Indonesia Menggugat, sebuah pledoi yang dibacakan Soekarno di Landraad Bandung akibat aktivitas politiknya yang menjadi-jadi.
Nun jauh di seberang sana, seorang pemuda Indonesia, pembaca buku yang rakus dan pemikir yang tajam bernama Mohammad Hatta, berdiri dengan gagah di depan Mahkamah di Den Haag tanggal 9 Maret 1928. Ia membacakan nota pembelaannya berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Saya mengutip sebagian terjemahannya dari buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru yang ditulis Daniel Dhakidae
.
Hatta mencatat "Bahwa penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakan suatu kepastian. Persoalannya hanya waktu, cepat atau lambat, bukan ya atau tidak! Bangsa Belanda harus menerima hukum besi sejarah itu, terlepas dari apakah dia mau menerimanya atau tidak. Dan harap Nederland jangan meyakinkan dirinya bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh tegak sampai akhir zaman. Jangan pemerintah kolonial meneruskan politik kekerasannya karena hal ini bisa berakhir dengan suatu keadaan yang akan merugikan perdagangan Nederland dalam komoditi kolonial".
Pidato Indonesia Vrij yang dibacakan Hatta itu menurut Tempo Edisi Khusus Bung Hatta Agustus 2002, menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Disitulah, persis di ulu hati kekuasaan kolonial, dia menusukkan tikamannya
.
Kalau dilihat dari perjalanan intelektual ketiganya, sudah barang tentu Tan Malaka, Soekarno, dan Mohammad Hatta adalah sebagian dari pendiri bangsa yang menyadari bahwa kekuatan kata-kata sungguh luar biasa. Sejumlah risalah yang pernah ditulis oleh ketiganya merupakan dokumentasi sejarah yang tak ternilai harganya.
Sebuah artefak dari masa lampau, yang menjadi identitas dari pendirian sebuah bangsa yang bersusah payah menginginkan kemerdekaan. Ia menjadi warisan ingatan yang mesti dijaga oleh generasi selanjutnya. Sebuah warisan yang tak hanya disimpan secara fisik di sebuah bangunan yang megah, melainkan juga menjadi memori kolektif bagi sebuah bangsa yang ingin terus mendaki menuju kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya.
Kalau tak dijaga dengan benar, sejarawan Milan Hubl sudah mewanti-wanti, “Langkah pertama untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya”.
0 notes
HUKUM LEMBAGA KEHAKIMAN (TUGAS KULIAH SEMESTER 4)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia amatlah penting. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan di Indonesia, apakah ada system peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
Sejarah perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama sejalan dengan perkembangan system hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa (Belanda) datang ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal adanya dualism dalam system pengadilan di Indonesia. Karena adanya pemisahan Pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada penklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiksi perkara yang ditangani.
Pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an dimana perkembangan hukum nasional diarahkan untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo kolonialisme maka peran pengadilan sangatlah penting dalam mendorong transformasi hukum kolonial menjadi hukum nasional. Sedangkan perkembangan pengadilan dalam masa Orde Baru diarahkan untuk mengembalikan wibawa hukum dengan memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering) untuk suksesnya pembangunan. Namun kenyataan selama hampir 30 tahun lamanya kekuasaan Orde Baru, hukum dan peradilan justru mengalami kemerosotan karena tatanan hukum yang ada saat itu dilandasi oleh paradigma kekuasaan, sentralisme dan monolitik.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, bergulir pula tuntutan untuk mereformasi hukum secara menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem bagaimana dikemukakan L. M. Friedman, maka reformasi hukum selain menyangkut perbaikan substansi peraturan perundang-undangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan hukum serta kultur/budaya hokum masyarakatnya. Sejalan dengan tuntutan Reformasi dan amandemen UUD 1945 muncul lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan keberadaannya dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan di Indonesia.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini mengenai sejarah peradilan Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari system hukum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.
Permasalahan
Bagaimana sejarah lembaga peradilan yang ada di Indonesia dari masa ke masa?
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Kolonial Hindia Belanda
Yang paling mencolok adalah politik diskriminasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pengklasifikasian masyarakat yang ada di Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu golongan eropa, timur asing, dan bumiputera (pribumi).Secara umum dan ringkas, lembaga-lembaga pengadilan yang dimaksud adalah :
Pribumi Indonesia
a) Districtgerecht terletak di kecamatan dan dipimpin oleh Camat sebagai hakim. Perkara-perkara yang disidangkan di districtgerecht adalah:
Perkara perdata dengan nilai objek kurang dari 20 (dua puluh) gulden;
Perkara pidana yang diancam maksimal pidana denda 3 (tiga) gulden
Putusan perdata dari districtgerecht dapat dimintakan banding ke regentschapgerecht, sedangkan putusan pidananya bersifat final dan langsung mengikat (tidak dapat dimintakan banding).
b) Regentschapgerecht terletak di kabupaten dan dipimpin oleh Bupati atau deputinya sebagai hakim. Perkara-perkara yang disidangkan di regentschapgerecht adalah:
Perkara perdata dengan nilai objek 20-50 gulden;
Perkara pidana yang diancam maksimal pidan penjara 6 hari atau denda 3-10 gulden
Regentschapgerecht adalah pengadilan tingkat banding atas putusan districtgerecht. Putusan regentschapgerecht sendiri dapat dimintakan banding ke landraad.
c) Rechtspraak fer Politierol/Politierol terletak di Kabupaten dengan asisten gubernur sebagai hakim tunggal. Lembaga pengadilan ini hanya mengadili perkara pidana yang diancam pidana denda maksimal 25 gulden. Lembaga pengadilan ini dibubarkan pada tahun 1901 dan digantikan oleh landgerecht pada tahun 1914.
d) Landraad adalah lembaga pengadilan yang memiliki yurisdiksi se-kabupaten dimana hakim yang bertugas di landraad adalah hakim-hakim professional. Perkara-perkara yang disidangkan di landraad adalah:
Perkara perdata dengan nilai objek lebih dari 50 gulden atau di bawah 50 gulden untuk golongan eropa
Perkara pidana di luar kewenangan districtgerecht, regentschapgerecht, dan politierol, salah satunya adalah pidana yang diancam pidana denda maksimal lebih dari 25 gulden.
Putusan landraad dapat dimintakan banding ke Raad van Justitie dan Hooggerechtschof. Untuk putusan perdata dengan nilai objek di atas 100 gulden dan putusan pidana berupa putusan bebas, dapat dimintakan banding ke Raad van Justitie, sedangkan untuk putusan perdata dengan nilai objek di atas 500 gulden dan putusan pidana dengan pemidanaan selain bebas, dapat dimintakan banding ke Hooggerechtschof.
Golongan Eropa
a) Residentiegerecht berada di semua kota yang memiliki landraad dan memiliki wilayah yurisdiksi hukum sama dengan landraad. Persidangan di residentiegerecht dipimpin oleh hakim tunggal, yang adalah hakim dari landraad. Perkara-perkara yang dapat disidangkan di residentiegerecht adalah sebagai berikut:
Klaim yang nilainya tidak melebihi 500 gulden pada kewajiban pribadi, pembayaran untuk hak guna usaha, memperoleh kepemilikan properti pribadi.
Klaim pada kerusakan yang diakibatkan manusia atau perilaku hewan atas tanah, semak-semak, pohon atau taman buah atau umbi-umbian, perbaikan dan kerusakan untuk properti nyata disewa, yang berada di bawah penguasaan penyewa.
Klaim atas tindakan sewenang-wenang terhadap perencanaan penggunaan tanah, pohon, pagar, sungai, bendungan, saluran air atau yang mengakibatkan kerusakan pada hal-hal tersebut, yang sah di bawah hukum adat indonesia.
Klaim dalam penyewaan property, yaitu pengosongan properti karena berakhirnya jangka sewa, terlepas dari harga sewa, kecuali bahwa di persidangan, penyewa dengan bukti tertulis membuktikan bahwa jangka sewa telah diperbaharui dan harganya melebihi 600 gulden per tahun.
Klaim atas pemutusan kontrak sewa dan pengosongan properti yang disewa, dalam kasus penyewa diabaikan untuk membayar dan kemudian menyewa kecuali tidak melebihi 600 gulden.
Permohonan (putusan yang besifat deklaratoir) mengenai penyitaan properti yang telah dilakukan adalah sah selama dilakukan atas dasar klaim di bawah yurisdiksi residentiegerecht.
b) Raad van Justitie ( RvJ ) terletak di 6 kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Makassar. Wilayah hukum RvJ Jakarta meliputi Jawa Barat, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Wilayah hukum RvJ Surabaya meliputi Jawa Timur dan Madura, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Wilayah hukum RvJ Semarang meliputi Jawa Tengah. Wilayah hukum RvJ Padang meliputi Sumatera Barat, Tapanuli, dan Bengkulu. Wilayah hukum RvJ Medan meliputi Sumatera Timur, Aceh, dan Riau. Dan wilayah hukum RvJ Makassar meliputi Sulawesi, Timor, dan Maluku.
RvJ adalah pengadilan untuk orang golongan eropa, baik untuk perkara pidana, maupun perkara perdata. Untuk golongan chinese, pengadilan ini adalah pengadilan untuk perkara perdata. Pengadilan ini juga berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan oleh orang-orang di luar golongan eropa dan chinese, selama hal yang diperkarakan adalah masuk ke dalam hukum eropa dan para pihak tersebut menundukkan diri secara sukarela pada hukum eropa. Selanjutnya, terlepas dari golongan masyarakat, RvJ berwenang untuk mengadili kasus perdata atas barang yang ditemukan dari laut dan teluk.
c) Hooggerechtshof atau Mahkamah Agung Kolonial, terletak di Jakarta dengan wilayah yurisdiksi seluruh Hindia Belanda. Hooggerechtshof dipimpin oleh “chief justice”, atau yang sekarang disebut sebagai Ketua Mahkamah Agung. Selain sebagai pengadilan tingkat banding terakhir, Hooggerechtshof adalah pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana dimana tindak pidana dilakukan oleh pejabat tinggi lembaga yudisial dan administratif, seperti anggota volksraad (DPR masa Hindia Belanda). Putusan Hooggerechtshof bersifat final dan mengikat.
Hooggerechtshof memiliki kekuasaan untuk me-review putusan-putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan sebelumnya. Selain itu, fungsi utama hooggerechtshof adalah men-supremasi implementasi kekuasaan kehakiman oleh pengadilan di bawah nya.
d) Inheemsche Rechtspraak adalah lembaga pengadilan yang dibentuk untuk golongan bumiputera/pribumi Indonesia yang tidak dilaksanakan berdasarkan “In Naam des Konings” (Atas Nama Raja/Ratu). Pengadilan ini dilaksanakan oleh seorang hakim yang bukan hakim pemerintah Belanda, melainkan diserahkan kepada penguasa adat setempat. Ada 3 bentuk Inheemsche Rechtspraak ini, yaitu:
Masa Penjajahan Jepang
Kekuasaan Jepang yang hanya berlangsung selama 3,5 tahun mengakibatkan tidak banyak pengaruh yang terjadi dari sistem hukum dan peradilan Jepang ke sistem hukum dan peradilan Indonesia. Ada 2 hal paling terlihat mengenai perubahan lembaga pengadilan umum pada masa ini, yaitu:
Pemerintahan Jepang menghapuskan dualisme peradilan sesuai asas peradilan Jepang bahwa hanya ada satu macam peradilan untuk semua golongan penduduk, walaupun dengan beberapa pengecualian bagi orang-orang Jepang di Indonesia. Misalnya, untuk Tiho Hoin (sebelumnya landraad), yang merupakan pengadilan sehari-hari bagi semua golongan penduduk, kecuali orang jepang yang ada di Hindia Belanda/Indonesia tetap berlaku hukum dan peraturan perundang-undangannya sendiri. Penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh opsir-opsir Jepang pada Gunsei Hooin;
Nama-nama lembaga pengadilan diubah. Perubahan yang dimaksud adalah:
Districtgerecht menjadi Gun Hoin
Regentschapgerecht menjadi Ken Hoin
Landgerecht menjadi Keizai Hoin
Landraad menjadi Tiho Hoin
Raad Agama menjadi Sooryoo Hooin
Hof voor Islamietische Zaken menjadi Kaikyo Kootoo Hooin
Raad van Justitie menjadi Koto Hoin
Hooggerechtshof menjadi Saiko Hoin
Masa Kemerdekaan Tahun 1945 – sekarang
Adapun dasar berlakunya pengadilan adat ditentukan dalam Pasal 130 I.S, yang menentukan bahwa dimana-mana sepanjang rakyat Indonesia tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Ini berarti bahwa di samping pengadilan-pengadilan oleh Negara, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadilan-pengadilan asli. Pengadilan ash ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung ada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda;
b. Pengadilan Swapraja.
Lembaga pengadilan kembali mengalami perubahan ketika Indonesia disusuki oleh Jepang. Pada waktu Balatentara jepang dating di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia-Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Raja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Dan sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigu, Gunritukaigi, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Oleh karena itu, semua badan-badan peradilan dari Pemerintah Hindia-Belanda, kecuali residentiegerecht, yang dihapuskan dengan Undang-undang No. 4 tahun 1942 diganti namanya, enjadi sebagai berikut:
a. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian);
c. Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d. Districtsgerecht menjadi Gun Hooi (Pengadilan Kewedanaan).
Setelah Indonesia merdeka, di awal kemerdekaan belum terlihat adanya perubahan terhadap lembaga pengadilan. Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945, maka susunan pengadilan masih menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 34 tahun 1942. Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 tahun 1948. Undang-undang ini bermaksud melaksanakan Pasal 24 UUU 1945 tentang kekuasaan kehakiman sekaligus juga mencabut Undang-undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara RI dikenal adanya 3 lingkungan peradilan, yaitu :
1). Peradilan umum
2). Peradilan Tata Usaha Pemerintahan;
3). Peradilan Ketentaraan.
Lembaga Kehakiman
Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.
Batasan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.
Fungsi dan Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen). Dengan demikian maka hakim berkewajiban untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Badan-Badan Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
Sesuai dengan isi dari UUD 1945 maka kekuasaan kehakiman di Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung danMahkamah Konsititusi.
a) Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1). Kewenangan MA adalah mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).
Sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pengadilan Negara tertinggi maka MA membawahi empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat lingkungan peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat mempengaruhi putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara dan lain-lain.
b) Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
· Menguji undang-undang terhadap UUD
· Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
· Memutus pembubaran partai politik
· Memutus sengketa pemilu
· Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD.
Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif.
Hubungan Antara Kekuasaan Kehakiman dengan Hukum (Perdata) Materiil dan Formil
Hukum perata materiil adalah pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana selayaknya warga masyarakat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akan tetapi hukum bukanlah hanya sebagai pedoman saja, namun harus dilaksanak. Setiap orang dapat melaksanakan hukum tersebut meskipun kadang-kadang mereka tidak menyadarinya.
Hukum perdata formil adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Untuk melaksanakan aturan-aturan dan menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil maka diperlukan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini badan peradilan. Peraturan-peraturan hukum perdata formil tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman maka hukum perdata formil tidak dapat dilaksankan dan hukum perdata materiil tidak dapat dijamin pelaksanaannya.
Kaitan Kekuasaan Kehakiman dengan Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menegakkan, menerapkan hukum dan keadilan tidak hanya atas nama Undang-Undang, akan tetapi juga keadilan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Yang Harus Dimiliki Dari Pribadi Hakim
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa sifat yang harus dimiliki oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tanpa Pamrih. Sifat tersebut menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi seorang hakim, karena profesi harus dipandang sebagai pelayanan
b) Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur
c) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik
d) Intelektual
e) Menjunjung tinggi martabatnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian perjalanan panjang sejarah lembaga peradilan di Indonesia dapat kita simpulkan bahwa lembaga Pengadilan senantiasa berubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan masyarakatnya. Perubahan itu tentunya kearah penyempurnaan kelembagaan yang lebih baik sehingga bisa menjadikan Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar Negara hukum.
Perubahan dan perkembangan peradilan di Indonesia berhubungan dengan struktur dan pola budaya masyarakat Indonesia.
Saran
Dengan seiring berjalannya perkembanga zaman diharapkan juga diikuti oleh perkembangan peradilaan dan lembaga yang terkait didalamnya dan pelaksanaanya lebih objektif sehingga paradigama yang selama ini beredar dimasyarakat dapat dihilangkan.
0 notes