#kuliah ke inggris
Explore tagged Tumblr posts
Text
My WHV Timeline
I got that WHV with my name on it!
This post is going to be super long! Jadi, karena aku termasuk tipe yang suka menceritakan semua hal secara detail dan memang sudah niat juga sih, aku pengen tulis ini sebagai kenang-kenangan karena aku berhasil mendapatkan WHV!
Here’s my timeline, each moment a small but sweet step toward the dream: 12-02-2024: The day I made a quiet but powerful promise to myself—to see my name on that WHV, no matter what. 02-03-2024: Took my visa photos. Just one tiny step, but it felt like a step toward something big. 23-04-2024: Got my SKCK done at Mabes Polri. A little closer, a little more real. 22-05-2024: Took the PTE test, butterflies in my stomach, but my sights set firmly on the goal. 08-10-2024: Prepared my bank reference letter, and then—out of nowhere—the SDUWHV opening was announced! My heart raced; it was really happening. 10-10-2024: Received that precious SDUWHV letter. Holding it felt surreal, like I was holding a piece of my future. 25-10-2024: Lodged my visa application, sending off all my hopes and dreams along with it. 27-10-2024: Completed my Medical Check-Up (MCU), feeling both excitement and calm; the finish line was in sight. 12-11-2024: The day that made everything worth it—Visa granted! I felt pure joy, knowing the adventure of a lifetime was now just around the corner.
Jadi, aku sudah mengincar program WHV ini dari tahun lalu, gara-gara orang-orang di sekitarku tiba-tiba banyak yang berangkat ke Australia. Honestly, back in 2021, aku juga sempat berandai-andai, "Asyik juga ya kalau bisa ke Melbourne," waktu itu mikirnya pengen lanjut kuliah lagi, sih. Plus, one of my bucket list items is to work abroad, dan rasanya negara yang paling potensial buat goal itu adalah Australia. Banyak orang Pontianak juga yang hijrah ke sana, jadi makin kebayang, deh. Impian itu aku pendam, sambil terus cari kesempatan dan peluang, supaya bisa mewujudkan one of my ultimate dreams.
Ternyata, di tahun 2024, aku merasakan dorongan yang kuat untuk mengejar visa ini. Aku mulai mencari tahu semua persyaratannya, dan langkah pertama yang harus diambil adalah mendapatkan surat sakti SDUWHV. Nah, untuk bisa mendapatkan SDUWHV, ternyata ada beberapa persyaratan lagi yang harus dipenuhi. Waktu itu, aku masih berpatokan pada persyaratan tahun 2023, yaitu: foto, KTP, paspor, sertifikat bahasa Inggris, SKCK, ijazah, surat keterangan bank, dan surat keabsahan dokumen. Jadi, pelan-pelan aku mulai melengkapi semua dokumen yang bisa dicicil dulu sebelum pembukaan SDUWHV.
02 Maret 2024 Sore ini, aku pergi ke studio foto untuk ambil pas foto visa. Sempat bingung karena belum pernah foto visa sebelumnya, tapi untungnya studio tersebut sudah paham ketentuannya. Mereka mengarahkan dan membantu pengambilan foto serta pencetakan sesuai kebutuhan. Aku juga sekalian print ekstra untuk bikin SKCK.
28 Maret 2024 Setelah mendaftar antre online lewat aplikasi, pagi ini aku melakukan rekam sidik jari di Polda Kalbar. Aku datang pagi-pagi sekali agar bisa mendapat antrean pertama. Staff di sana dengan cekatan membantu dan sempat bertanya, "Apa tujuannya?" Aku jawab, "Untuk ke Australia, Pak." Mereka sangat mendukung dan turut mendoakan semoga prosesku lancar hingga mendapatkan visanya.
Perekaman sidik jari ini adalah salah satu syarat untuk membuat SKCK. Awalnya, aku pikir masih bisa membuat SKCK dengan tujuan WHV di Polda Kalbar, tapi ternyata sekarang ketentuannya sudah berubah dan harus diurus di Mabes Polri. Sempat bingung juga kalau harus ke Jakarta untuk mengurus SKCK. Beruntungnya, temanku bisa pergi ke Jakarta dan mewakilkan aku untuk membuat SKCK, dan pada 23 April 2024, SKCK-ku akhirnya terbit.
22 Mei 2024 Lanjut, dokumen-dokumen yang mudah sudah berhasil aku kumpulkan. Sekarang tantangan berikutnya adalah lolos tes Bahasa Inggris. Ada beberapa pilihan tes yang bisa diambil, dan dua yang paling populer adalah IELTS dan PTE. Kebetulan di Pontianak tersedia tes PTE, jadi aku memilih PTE saja. Jadwal tesnya juga lebih fleksibel. Sebenarnya, aku sudah mulai persiapan IELTS dari awal tahun, tapi H-2 bulan ini aku mulai intens belajar untuk PTE setiap malam dari YouTube dan website PTE Study, agar skorku tidak hanya lolos, tapi juga memuaskan. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi belajar sambil menunggu-nunggu hari ujian.
Hari itu akhirnya tiba: hari tes PTE-ku. Lokasi tes di gedung PTE Academic, Universitas Tanjungpura, persis di depan fakultas kampusku dulu—nostalgia, hehe. Jadwal tesku jam 11. Pagi itu aku terbangun dengan deg-degan, rasanya seperti menghadapi ujian akhir semester lagi. Ada skor minimal yang harus aku capai (minimal 30), dan kalau tidak lolos, berarti harus mengulang tes—yang berarti keluar biaya lagi.
Jam 8.30, aku pergi ke kafe sendirian untuk sarapan sambil mengulas tips dan trik dari setiap bagian tes. Setelah itu, aku pasrahkan semuanya pada usahaku sejauh ini. Jam 10.00 aku berangkat ke gedung ujian. Setibanya di sana, aku melakukan registrasi. Ujiannya terasa cukup formal, mungkin karena ini tes internasional. Setiap sesi hanya bisa diikuti oleh 6 orang, jadi jadwalnya memang terbatas. Aku duduk di komputer nomor 1, dan semua tes dilakukan secara komputerisasi. Jawaban kita direkam dan disimpan dalam sistem. Menurutku, bagian yang paling sulit adalah writing, haha, karena temanya tidak diketahui sebelumnya dan mendadak aku merasa blank harus menyusun kata-kata seperti apa.
Dua jam berlalu, dan tes akhirnya selesai. Kata petugasnya, hasilnya bisa keluar dalam waktu 2 jam dan akan dikirim melalui email. Setidaknya, salah satu tahapan sudah kulewati, dan aku hanya bisa berdoa semoga hasilnya sesuai harapan! Seusai ujian, aku pergi makan ramen bersama teman yang juga ikut tes. Kami sempat berandai-andai seolah-olah sudah siap berangkat ke Australia dan visa sudah di tangan—padahal waktu itu, jadwal pembukaan SDUWHV saja belum pasti.
Sore itu aku lalui dengan harap-harap cemas menunggu skor. Dan… akhirnya, malamnya, hasilnya keluar! Skorku jeng jeng jeng… 81/90! Not bad! Aku langsung merasa lega. Satu langkah lebih dekat. Salah satu dokumen penting sudah ada di tangan, dan malam itu aku bisa tidur dengan tenang.
01 Juli 2024 Jujur, di tanggal ini aku sempat deg-degan banget. Soalnya, aku pernah lihat di IG Kedubes Australia yang memposting bahwa pendaftaran program WHV tahun 2023 sudah ditutup, dan pendaftaran WHV untuk tahun 2024 akan dibuka pada 1 Juli 2024. Kupikir itu adalah hari “war” untuk SDUWHV. Ternyata, itu adalah tanggal pembukaan kembali untuk lodge visa WHV. Waktu itu aku masih belum paham, haha, jadi aku sudah ngebut mempersiapkan segalanya dari awal. Pas tanggal 1 Juli tiba, ternyata tidak ada info apa pun dari Ditjen Imigrasi.
Sebulan… dua bulan berlalu…
Tidak ada kabar dari MIDO soal pembukaan SDUWHV. Hingga akhirnya, tanggal 02 September 2024, muncul pengumuman dari MIDO yang membawa kabar gembira: pembukaan kuota SDUWHV akan segera dilaksanakan! Deg-degan makin terasa! Lalu, pada 27 September 2024, MIDO mengumumkan bahwa untuk tahun 2024 hanya akan ada satu batch SDUWHV. That means, hanya ada satu kesempatan untuk “war”—jika tidak berhasil, berarti harus coba lagi tahun depan.
Overthinking dan kalut semakin terasa. Ada ketakutan terselubung, “What if aku nggak dapat?” Pasti akan sangat kecewa, karena ini adalah impian yang sudah lama aku nantikan—satu kesempatan berharga untuk explore dunia luar, bekerja di luar negeri, dan melalang buana, melihat dunia dari perspektif yang berbeda.
08 Oktober 2024 Siang itu, aku sedang santai-santai mengurus surat keterangan bank di BCA. Ini kali ketiga aku datang ke CS untuk minta surat tersebut, sampai-sampai CS-nya masih ingat dan bilang, “Lho, Cece lagi, bikin surat referensi bank lagi ya, Ce? Kapan buka kuotanya? Btw, tadi sebelum Cece juga ada yang minta surat keterangan bank, lho.” Aku cuma bisa tertawa kecil, ini sudah ketiga kalinya aku minta surat yang sama, haha.
Di saat yang hampir bersamaan, aku melihat postingan di IG Ditjen Imigrasi yang menyatakan bahwa tanggal pembukaan kuota SDUWHV adalah 10 Oktober 2024—which is lusa ini! Hatiku langsung berdetak tidak karuan! Malam itu, aku bahkan tidak bisa tidur dengan tenang, memikirkan semua persiapan untuk “war” yang harus semaksimal mungkin. Aku cek berulang-ulang file dokumen yang perlu diunggah, membaca kembali semua ketentuan agar tidak ada informasi sekecil apa pun yang terlewat.
Untungnya, aku sudah membuat akun di website-nya sebelumnya, jadi tidak perlu repot di tahap ini. Banyak pengaju lain yang mengalami error karena terlalu banyak orang yang membuat akun di waktu bersamaan.
10 Oktober 2024 Hari war dimulai! Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Jujur, semalaman aku hampir tidak bisa tidur. Yang ada di pikiranku hanya satu: aku ingin bisa melewati hari ini dengan tenang dan lega. Banyak cerita dari tahun lalu tentang war SDUWHV yang katanya menegangkan dan “hidup-mati”—hanya ada satu kesempatan, dan kalau tidak berhasil, harus menunggu batch berikutnya yang entah kapan diadakan lagi. Jadi, hari ini, no matter what, aku harus mendapatkan surat sakti itu.
Jam 9 teng war dimulai. Laptop sudah siap, Wi-Fi aman, website sudah dibuka, dan akun sudah login. Masih menunjukkan pukul 08.45, tapi hatiku sudah dag-dig-dug, dan waktu terasa lambat. Detik demi detik berlalu sampai jam 9 tiba. Aku berpikir, Pasti bisa kok, sudah doa dan yakin. Tapi… tiba-tiba website down, dan aku ter-logout sendiri. Panik! Aku coba login lagi, hasilnya nihil, hanya muncul pesan error! Semakin panik, aku baca di grup, ternyata banyak yang mengalami hal yang sama. Temanku juga mengatakan hal yang sama, semua orang kesulitan login ke website.
Jam 9.11 aku berhasil masuk. Pengaju sudah terisi 423 dari kuota 4.796. Panik lagi! Aku coba segala cara—refresh browser, buka incognito, buka berbagai jenis browser—supaya bisa klik tab permohonan. Jika tombol “Ajukan Permohonan” berwarna biru, artinya kita bisa masuk ke halaman pendaftaran. Setelah beberapa waktu, tombol itu akhirnya berwarna biru. Aku langsung bersujud syukur, segera mengisi biodata dengan cepat karena waktu yang diberikan hanya 15 menit. Halaman 1 lancar, halaman 2 lancar, tapi di halaman 3, tersendat! Panik lagi! Setiap file yang aku coba unggah gagal. Waktu semakin habis. Aku coba ganti Wi-Fi ke tethering HP, tapi tetap gagal. Hingga waktu benar-benar habis, dan permohonanku terpental. Aku pun ter-logout sendiri.
Lemas… Rasanya mau nangis.
Usahaku seketika runtuh. Aku coba login lagi ke website tapi tidak bisa!
Aku pikir itu satu-satunya kesempatan, dan kalau sudah terpental berarti kesempatan itu hangus. Dunia rasanya runtuh. Tapi aku baca di grup lagi untuk mencari solusi. Mereka bilang coba terus masuk lagi dan ulangi dari awal. Akhirnya, meskipun panik, aku tetap mencoba. Ter-logout hingga ratusan kali kualami saat itu. Sampai akhirnya aku mendapat kesempatan kedua. Cepat-cepat aku isi lagi dan cek semuanya, tapi lagi-lagi terkendala di halaman ketiga untuk unggah file. Dan kembali lagi terpental sama seperti sebelumnya. Rasanya dunia runtuh untuk kedua kalinya. Kesempatan berharga yang kedua kali terbuang begitu saja. Kupikir semesta belum berpihak padaku.
Namun, aku tetap mencoba lagi dan lagi hingga masuk kesempatan ketiga. Kuota sudah terisi 3.000-an orang. Angka terus bertambah, mungkin karena banyak peminat dari seluruh Indonesia. Di IG MIDO, banyak yang protes dan mengeluh, hingga MIDO memberi pernyataan resmi bahwa pemohon mencapai 12.000 orang, sementara kuota hanya 4.796. Tidak heran jika website down. Tapi aku tetap berdoa. Aku yakin, surat sakti itu akan ada di tanganku hari ini! Akhirnya, aku berhasil masuk untuk ketiga kalinya, dan entah keajaiban dari mana aku bisa unggah semua file dengan bantuan tetheringHP. Aku langsung submit tanpa memikirkan sisa waktu, berserah. Yang penting aku sudah berusaha maksimal dan mengikuti semua prosedur.
Ternyata, untuk tahun ini, SDUWHV akan terbit di hari yang sama sekitar 1 jam setelah pengajuan diterima dan diverifikasi. Meski sudah lega karena berhasil submit, aku masih harus menunggu terbitnya SDUWHV. Dua jam berlalu tanpa kabar, membuatku cemas. Aku selesai submit jam 11.59, seharusnya jam 1 siang sudah terbit, tapi belum juga. Jujur, aku takut kalau ada dokumen yang terverifikasi gagal atau ada halangan lain, bahkan takut ditolak. Overthinking semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa duduk diam di depan laptop, menunggu status berubah ke penerbitan SDUWHV.
Tidak ada mood untuk makan sejak pagi hingga jam 14.40 sore, saat surat sakti itu akhirnya terbit!
Mau nangis bahagia! Tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan perasaanku. Ini adalah langkah awal untuk bisa apply WHV. Saat aku buka dan baca SDUWHV itu, rasanya seperti mimpi. Dari bulan Februari aku memimpikan ini, dan ini hari dimana aku benaar-benar mendapatkan surat berharga ini. Terima kasih banyak, Tuhan!
13 Oktober 2024 Hari Minggu yang cerah, aku memutuskan untuk fokus lodge visa. Karena ini pertama kalinya aku lodge visa, rasanya cukup deg-degan. Untungnya, aku punya banyak panduan yang bisa diikuti. Tapi tetap saja, aku sempat bingung—gimana caranya lodge visa kalau aku belum MCU? Kebingungan pertamaku: apa itu HAP ID, dan gimana caranya daftar MCU? Blank total. Untungnya, temanku mengirimkan link YouTube yang menjelaskan langkah-langkahnya. Baru deh aku paham prosesnya, termasuk cara mendapatkan HAP ID dan daftar MCU.
Aku segera menghubungi rumah sakit yang khusus untuk MCU Visa Australia, yaitu RS Premier Jatinegara. Aku memilih jadwal MCU hari Minggu, 27 Oktober 2024. Awalnya, aku berencana MCU pada 20 Oktober 2024, tapi karena suatu alasan, aku mau rescheduleke RS Bintaro. Sayangnya, RS Bintaro tidak melayani MCU pada hari Minggu. Akhirnya, aku kembali ke jadwal awal di RS Jatinegara. Namun, karena aku sudah mengajukan reschedule, jadwalku tanggal 20 Oktober hangus, jadi aku harus mundur jadwal MCU-ku ke tanggal 27 Oktober 2024.
23 Oktober 2024 Karena belum MCU, aku memutuskan untuk save dulu permohonan lodgement visa-ku. Alurnya memang bisa lodge visa dulu baru MCU, tapi aku belum punya dokumen yang di-translate, jadi rasanya lebih baik MCU dulu. Aku pun mulai mencari penerjemah tersumpah untuk menerjemahkan beberapa dokumen pendukung, seperti akta lahir dan kartu keluarga. Sayangnya, jadwal penerjemah penuh! Aku jadi menyesal kenapa tidak mengurus terjemahan lebih awal. Tapi, sudahlah. Aku terus menghubungi beberapa penerjemah tersumpah yang menerima layanan express. Untungnya, aku dapat Pak Joseph yang menyediakan layanan express dengan waktu pengerjaan 2 hari kerja. Dokumenku selesai diterjemahkan pada tanggal 23 Oktober 2024.
Saat aku mengecek hasil terjemahan dokumen—FYI, aku hanya menerjemahkan akta lahir dan kartu keluarga karena dokumen lainnya sudah bilingual—aku baru sadar kalau nama orangtuaku berbeda antara akta lahir dan KK. Wah, ini bikin aku galau berat. Seharusnya, aku lebih teliti sebelumnya untuk memastikan dokumen-dokumenku tidak ada masalah kecil seperti ini yang bisa menghambat proses visaku. Sebagai tambahan kekhawatiranku, SKCK-ku juga expired tepat tanggal 23 Oktober 2024. Aku tahu, SKCK adalah dokumen opsional untuk visa ini, tapi semakin banyak dokumen pendukung yang diunggah, kemungkinan visa granted akan lebih besar. Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk memperpanjang SKCK karena harus mengurusnya langsung di Mabes Polri.
Aku bertanya di grup, dan mereka memastikan bahwa SKCK tidak wajib diunggah. Tapi tetap saja, aku merasa was-was. Tidak ada jaminan pasti apakah visaku akan grantedtanpa SKCK. Di tengah drama ini, muncul lagi kabar kalau ada masalah di immiaccount—katanya banyak yang tidak bisa lodge visa karena website error. Bahkan, beberapa orang menyebarkan rumor bahwa pendaftaran visa akan ditutup sampai tahun depan. Wah, ini benar-benar bikin panik dan overthinking.
Benar saja, malam itu, setelah aku mendapatkan hasil terjemahan dokumen, aku mencoba lodge visa. Tapi ternyata, immiaccount benar-benar tidak bisa diakses. Memang, aku sudah menyimpan semua data sejak 13 Oktober 2024, tapi halaman tersebut tidak bisa dilanjutkan. Yang muncul hanya notifikasi maintenance, dan itu membuatku semakin galau karena tidak bisa memproses visaku. Padahal, aku hanya tinggal lodge dan membayar biaya permohonan visa. Rasanya frustrasi karena sudah begitu dekat, tapi masih terhalang masalah teknis.
Hari itu, pikiranku penuh dengan kekhawatiran: soal nama orangtua yang tidak sinkron, SKCK expired, masalah immiaccount, dan waktu yang terus berjalan.
Rasanya seperti drama tak berujung.
Tiap jam aku terus refresh immiaccount, berharap ada perubahan. Aku juga rajin cek grup, siapa tahu ada teman-teman yang berbagi info kalau maintenance sudah selesai. Tapi tetap saja, hasilnya nihil—selalu gagal. Mungkin karena terlalu banyak orang yang mencoba lodge WHV ini, jadi aksesnya dibatasi. Aku mulai merasa menyesal, kenapa aku tidak lebih cekatan dan mengamankan lodge visa lebih awal. Overthinking pun muncul. Bagaimana kalau benar-benar kuota tahunan ditutup dan baru dibuka tahun depan? Kalau itu terjadi, perjuangan war SDUWHV-ku jadi sia-sia. Pikiran-pikiran itu membuatku tidak bisa tidur, hati gelisah, benar-benar galau.
Sampai akhirnya, 25 Oktober 2024, sekitar jam 12 siang, aku coba login ke immiaccount lagi, dan ternyata BISA! Tanpa pikir panjang, aku langsung lodge visa dan melakukan pembayaran. Untungnya, semua dokumen sudah aku unggah dan simpan sebelumnya, jadi begitu maintenance selesai, aku tinggal klik submit. Syukurlah, pada 25 Oktober 2024, jam 12.29, visaku tersubmit dan status berubah menjadi received.
Lega banget rasanya!
Tapi, tidak lama kemudian muncul kekhawatiran baru. Aku sudah punya HAP ID yang aku request sendiri sebelumnya, tapi aku lodge visa-nya dulu sebelum MCU. Saat lodge, ada pertanyaan apakah sudah pernah MCU sebelumnya. Kalau sudah, aku tinggal memasukkan HAP ID-ku. Masalahnya, aku belum MCU, tapi HAP ID-ku sudah ada. Kalau aku tidak memasukkan HAP ID, nanti malah dapat HAP ID baru dari imigrasi, yang berarti bisa jadi double. Bingung banget! Akhirnya, aku tetap nekat lodge visa dengan menyertakan HAP ID-ku yang aku request di awal, meskipun aku belum MCU. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak ada masalah besar karena keputusan ini.
27 Oktober 2024 Aku berangkat ke Jakarta malam Minggu, 26 Oktober 2024, dengan penerbangan sore jam 6. Pesawat sempat sedikit delay, tapi aku tetap tenang karena Sabtu sore setelah pulang kerja aku tidak perlu terburu-buru mengejar ke bandara. Untungnya, proses MCU tidak lama, jadi aku tidak perlu mengajukan cuti. Tapi tentu saja, muncul lagi kekhawatiran baru. Malam sebelum MCU, aku haid! Panik lagi, karena salah satu persyaratan MCU adalah tes urin. Kenapa ya rasanya selalu ada saja masalah bertubi-tubi?
Sabtu pagi, aku benar-benar galau. Aku langsung memastikan ke pihak RS apakah aku masih bisa lanjut MCU dengan kondisi haid. Kalau tidak, aku harus reschedule tiket pesawat dan jadwal MCU, yang mana saat ini MCU sedang penuh-penuhnya karena banyak pengaju visa yang daftar. Kebayang antrean panjang dan waktu tunggu yang makin lama, dan itu bikin aku khawatir proses visaku jadi semakin tertunda. Untungnya, pihak RS mengonfirmasi bahwa tes urin sudah tidak lagi menjadi bagian dari MCU untuk visa ini. Lega banget!!! Setidaknya, aku tidak perlu reschedule, dan proses MCU bisa tetap berjalan sesuai jadwal.
Pagi itu, aku sampai di RS Premier Jatinegara sekitar jam 6.30 pagi dan langsung menuju tempat MCU di lantai 7. Meskipun pelayanannya baru buka jam 8, sekitar jam 7 lebih aku sudah diperbolehkan masuk untuk pengisian administrasi oleh stafnya. Estimasi awal, aku dapat giliran jam 9.05, tapi karena aku datang pertama, aku langsung dapat antrean pertama.
Jam 8.30, aku dipanggil untuk cek fisik dan mata. Dokternya melakukan sedikit wawancara tentang riwayat kesehatan dan menanyakan beberapa hal seputar diri kita. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik seperti cek nafas, detak jantung, dan refleks tubuh. Kemudian, lanjut ke tes mata seperti membaca huruf-huruf pada papan optik.
Selanjutnya, aku diarahkan ke ruangan kedua untuk timbang berat badan, cek tinggi badan, dan tensi. Di sini, aku juga diberitahu bahwa hasil MCU akan dikirimkan langsung ke imigrasi Australia dalam 3 hari kerja. Hasilnya bisa mulai ditanyakan pada H+1 setelah selesai. Setelah itu, aku diarahkan ke ruangan lain untuk pengambilan darah. Sebelum tes, aku sempat disarankan untuk banyak minum air agar hasilnya lebih baik. Oh ya, seminggu sebelum MCU, aku sampai nyetok susu Bear Brand dan minum rutin karena katanya itu bagus untuk kesehatan, terutama paru-paru. Did it work? Aku nggak tahu pasti, tapi aku tetap mengikuti saran orang-orang, siapa tahu memang ada manfaatnya.
Setelah selesai di lantai 7, aku lanjut ke kasir untuk melakukan pembayaran, kemudian diarahkan ke radiologi untuk Chest X-Ray. Proses Chest X-Ray cukup cepat ternyata. Saat tes, kita diminta mengikuti arahan staf, seperti cara bernapas yang sesuai prosedur. Di ruangan ini, kita hanya diperbolehkan memakai baju luar tanpa aksesoris seperti kalung, agar tidak mengganggu hasil foto. Seluruh proses MCU telah dipenuhi. Malamnya, aku pun langsung terbang kembali ke Pontianak.
MCU selesai! Berarti, aku tinggal menunggu hasilnya di-submit oleh pihak RS dan difinalisasi oleh imigrasi Australia.
Keesokan harinya setelah MCU, status Health Assessment di immiaccount-ku berubah menjadi finalised. Artinya, hasil MCU-ku bagus, dan pihak RS juga mengonfirmasi bahwa semua hasil normal. Lega rasanya! At least, aku tidak perlu MCU ulang, dan peluangku untuk granted semakin besar.
Tapi, apakah aku bisa menunggu dengan tenang? Oh, tentu tidak!
Masih ingat kekhawatiranku sebelumnya? Soal SKCK, aku sudah tidak terlalu cemas karena membaca banyak pengalaman orang yang tetap granted meskipun tanpa SKCK. Kalau pun nanti diminta, aku pikir aku bisa memperpanjang SKCK lagi.
Namun, yang benar-benar jadi sumber overthinking setiap hari adalah perbedaan nama orang tua di akta lahir dan kartu keluarga. Tiap hari aku kepikiran, apalagi setelah membaca case di Facebook tentang orang-orang yang kena random check karena masalah data ini. Ada yang harus bikin surat pernyataan kalau nama itu mengacu pada orang yang sama, ada juga yang diminta update KK, yang jelas itu semua butuh waktu dan proses yang tidak cepat, belum lagi harus di-translate lagi. Banyak juga yang bilang kalau tahu data ada perbedaan seperti ini, jangan coba-coba unggah KK karena bisa jadi malah bikin posisi kita lebih sulit kalau terkena random check. Rasanya, setiap hari aku tidak bisa tidur tenang, hanya bisa berdoa agar prosesku berjalan mulus dan visaku tidak menemui hambatan.
12 November 2024 18 hari berlalu sejak lodge visa dan selesai MCU. Setiap hari, aku rajin login ke immiaccount, berharap status visaku berubah dari received menjadi finalised dan granted. Tapi, nihil. Aku juga cek email berkali-kali, namun tidak ada notifikasi baru. Sementara itu, di grup, banyak pejuang WHV lain yang visanya sudah granted, dan aku mulai memperhatikan polanya—ternyata waktu lodge sangat berpengaruh. Semakin cepat kita lodge, semakin cepat visanya diproses. Karena aku lodge pada 25 Oktober 2024, berarti aku harus menunggu giliran teman-teman yang lodge pada 23 Oktober 2024 selesai granted terlebih dahulu sebelum giliranku. Setiap kali ada notifikasi dari Gmail, jantungku langsung berdebar kencang, tapi selalu saja bukan email granted. Rasanya mau nangis dan kecewa setiap kali harapan itu pupus.
14.46 Sore itu, aku memutuskan untuk refresh immiaccount untuk terakhir kalinya hari itu. Aku pikir, kalau tidak ada kabar, aku akan logout dan berharap lagi keesokan harinya.
Tapi… tiba-tiba, statusnya berubah menjadi FINALISED!
Aku terdiam. Bengong. Rasanya detik itu berhenti. Tanganku gemetaran. Aku refreshlagi untuk memastikan, dan di sebelah namaku tertulis GRANTED.
Aku mengecek kembali emailku, apa ada Grant Notification-nya? Beneran ada!
Semua overthinking-ku langsung buyar. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak perlu lagi memikirkan perbedaan nama dokumen atau takut terkena random check. Jantungku berdegup kencang, tapi kali ini penuh dengan kebahagiaan. Hari itu, semua impianku mulai terlihat semakin nyata.
Aku baca lagi granted letter-ku, dan akhirnya aku bisa mengatakan: Yes, I got that WHV with my name on it.
Terima kasih, Tuhan! ✨
Dan di sinilah perjalanan panjang ini akhirnya sampai pada awal yang baru. Semua perjuangan, rasa cemas, overthinking, dan doa yang tak henti-hentinya kini terbayar. Surat sakti itu bukan hanya sekadar dokumen, tapi simbol dari mimpi yang selama ini aku perjuangkan. Kini, langkah pertama sudah selesai—dan petualangan sesungguhnya baru saja dimulai.
Australia, here I come! 🌏✨
27 notes
·
View notes
Text
Naik Kelas, Melihat Dunia
Saya lahir dari keluarga tidak berpendidikan. Ibu saya tidak tamat SD. Ayah saya meninggalkan madrasah tsanawiyah (setara SMP) karena yatim piatu dan tidak ingin merepotkan kakak tiri dan suami kakak tirinya yang memberi atap, makan, dan menyekolahkan. Saya sejak kecil tidak merasakan "kemewahan" seperti handphone pribadi, komik, diantar jemput pakai mobil, sega, nintendo, playstation atau liburan ke luar kota. Kami sekolah, mengerjakan PR, mengaji di mesjid, and repeat. Kami tidak tahu apa itu politik dalam negeri, apalagi politik luar negeri seperti penjajahan Isra3L pada Palestin4.
Baru setelah merantau ke Singapura, saya mulai belajar apa itu pergerakan, tipis-tipis. Sebelum lulus kuliah ikut Forum Indonesia Muda yang membuat saya terekspos dengan dunia aktivisme. Tapi masih fokusnya pada isu-isu nasional.
Saat master dan PhD di Inggris saya terekspos lebih jauh dengan aktivisme yang lebih formal, seperti menulis antologi, menulis opini di media massa, dan lalu policy brief (semacam rekomendasi kebijakan berdasarkan bukti dan studi ilmiah).
Menjelang lulus PhD, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris ketar-ketir dengan invasi Rusia ke Ukraina. Tiga entitas politik ini mengutuk aksi Putin dan mengirim bantuan pada warga Ukraina. Media satu suara mengecam Putin. Beberapa negara juga buka pagar untuk pengungsi Ukraina sebagai bentuk simpati.
Sekarang saya bekerja di Inggris, invasi dan pembunuhan secara terang-terangan oleh IsraëL kepada warga Palestin4 dengan jumlah korban 8000an dalam waktu tiga minggu. Korban masih berjatuhan, aksi militer terus digencarkan dan parahnya didukung oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kerajaaan Inggris.
Dunia Barat dan negara superpower punya dua muka. Tahun lalu mereka mengecam invasi Rusia ke Ukraina, tapi tidak invasi Isra3L ke tanah Palestina.
Ini bukan perang karena seperti Ukraina-Rusia, kekuatan militer tidak sebanding. Ini invasi, penjajahan.
Ada hal-hal yang ternyata sulit diubah, tapi bisa jika kita semua satu suara melawan dan menolak diam.
Media massa sudah dua dekade berpihak pada Isra3L. Media massa punya pemilik. Pemiliknya punya keberpihakan. Pemilik media yang besar-besae berpihak pada siapa yang punya. Sulitnya, media seperti CNN dan BBC dipegang kendalinya oleh pendukung misi IsraëL. Kecaman pada grup militan di negara Timur Tengah dan Afrika itu bisa jadi teramplifikasi oleh media massa. Ketika kita lihat mendalam, ternyata ini jadi justifikasi Amerika Serikat membunuh ribu bahkan jutaan manusia di negara "konflik". Well, konflik ini mereka yang mulai dan amplikasi. Dibaliknya ada motivasi lain--sumber migas misalnya.
Ideologi Isra3L itu jelas, zionisme--merampas Tanah Palestina, menghapuskan negara dan bangsa Palestina demi berdirinya negara-bangsa Yahudi. Dari ideologi saja, sudah seharusnya kita tidak berpihak karena untuk mencapai misinya, Isra3L akan membunuh dan mengusir jutaan manusia warga lokal Palestina.
Isra3L sudah tumbuh menjadi negara maju yang punya jaringan bisnis. Ini membuat Uni Eropa tidak mengecam partner bisnis mereka koloni penjajah Isra3L.
Politisi punya hubungan dengan pebisnis Isra3L/orang-orang pendukung ide Zionisme. Misalnya, Perdana Menteri Inggris yang punya investor mantan militer Isra3L dan pejabat pentolan UNICEF ada istri dari investor bagong pendukung zionisme.
Dari 4 hal ini, sulit melawan jika banyak dari kita hanya diam. Media massa dan politisi negara maju tidak berpihak pada Palestin4. Bahkan 1-2 negara Arab malah "membantu" operasi pembantaian warga Palestin4 yang sedang berlangsung.
Jadi, harapan warga Palestin4 tinggal suara mayoritas (orang biasa, kita semua).
Setiap dari kita bisa melawan 4 kesulitan di atas. Lawan media massa yang misleading dengan media alternatif yang berpihak pada kemanusiaan. Tolak eksistensi Isr4el karena ideologinya pengusiran, perampasan, pembantaian, dan rasis. Anggurin semua komen pro-Isra3L biar komen mereka tenggelam. Like & reply komen yang cocok di hati. Jangan pakai istilah negara israhell, karena kita harus menolak mereka sebagai negara karena sejatinya mereka adalah koloni penjajah (settlers colonial state) yang sudah dibiarkan dunia (dengan kawalan negara adidaya) untuk mengambil rumah dan tanah warga Palestin4. Penjajah nomor satu, pembunuh nomor satu abad ini.
Lalu, lawan dominasi ekonomi dengan boikot brand dan block influencer yang mendukung Isra3L secara ekonomi maupun moril. Suarakan kebenaran terus menerus sampai dukungan hak warga Palestin4 dan kecaman pada pemerintah kolonial Isra3L menjadi mainstream. Kita mau semua manusia di dunia diakui sama dan punya hak yang sama, juga warga Palestin4 diakui setara (tidak seperti hari ini dimana pemerintah penjajah Israle menanggap warga Palestin4 hewan. Terlaknat mereka!)
Jika ada kesempatan, berkumpul dan ikutlah turun ke jalan. Buat perjuangan Palestina dan kejahatan perang Isra3L ini obrolan keluarga dan lingkar pertemanan kita. Jika busukny mereka sudah diakui jutaan orang, Isra3L dan teman-teman gentar dan mungkin akan meninggalkan perdana menteri IsraëL terpojok. Buat semua kanal media/tokoh yang mendukung Isra3L malu karena argumen invasi dan pengeboman mereka tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan HAM.
Akhirnya, Isra3L akan capek dan habis tenaga jika kita potong aliran dana dan sokongan pada mereka, seperti Rusia akhirnya tarik mundur karena melanjutkan invasi terlalu mahal.
Your boycott is important. Your voice to push politicians to cut ties with IsraëL is important.
We will win this together.
*
Ditulis oleh Bening, seorang anak pedagang kain di kios berdebu di pasar penampungan di Pekanbaru, dia baru saja mengedukasi dirinya lewat media alternatif dan akun Instagram wartawan lapangan di Gaza.
92 notes
·
View notes
Text
Tentang Perpustakaan
Ketika aku studi di Cina aku kaget karena perpustakaan harus tutup di malam hari
Loh kenapa?
Karena kalau buka 24 jam, dijamin orang-orang tidur semua di perpus untuk belajar
Ujar temanku yang kuliah kedokteran di Cina.
Ia melanjutkan,
Bahkan di akhir pekan, antrian masuk ke perpustakaan itu sampai ke jalanan
Aku kagum akan budaya semangat belajarnya. Dulu ketika aku di bangku SD (yang menggunakan kurikulum Singapur) pun demikian, perpustakaan harus ditutup di jam istirahat makan siang. Kenapa?
Bukan karena petugasnya istirahat, tapi.. agar murid-muridnya bersosialisasi di kantin dan main di playground!
Sebelumnya ketika perpustakaan tetap buka, ternyata banyak murid yang “ansos” karena memilih membaca di perpustakaan. Hal itu mengkhawatirkan para guru, akhirnya ditutuplah library sepetak kami itu.. saat jam recess dan lunch.
Perpustakaan kami pun membuat peraturan hanya boleh meminjam 1 buku dalam 1 kali kesempatan, karena jika tidak dibatasi semua murid berebut meminjam 3-4 buku.
SD kami juga punya library week (pekan perpustakaan) dimana para murid bertukar buku, sekolah mengadakan pameran buku-buku impor, menyelenggarakan lomba-lomba literasi, bahkan memberikan awards untuk mereka yang mengisi reading log terbanyak.
Oh ya, tiap term sekolah kami juga diwajibkan membaca dan mengulas satu buku yang sama untuk satu kelas. Lalu biasanya diadakan project terkait buku tersebut entah itu poster, drama, karya tulis. Aku ingat sekali, pertama kali pindah ke SD tersebut di kelas 4, buku pertama yang ditugaskan adalah James and The Giant Peach - Roald Dahl.
Tugas itu membuat aku menangis. Haha, iya karena itu kali pertama harus membaca buku bahasa Inggris di rumah, sendiri. Menangis karena tidak paham isi bukunya! Maklum, dipindahkan dari SD negeri (tanpa modal bahasa Inggris) ke SD swasta itu.
Di term-term berikutnya kami membaca ragam buku: Freckle Juice, A Wrinkle in Time, Narnia, dan lain-lain.
Mengingat masa-masa tersebut selalu membawa kenangan hangat dan penuh syukur karena ditakdirkan guru-guru yang ikhlas dan percaya: Dipercaya (dengan kemampuan alakadarku saat itu) untuk masuk ke kelas EL1 dan bukan ESL, diberikan cap “impressive” di esai pertamaku hingga akhirnya bisa memberikan speech kelulusan SD juga dalam bahasa Inggris.
Dari wasilah perpustakaan kami yang berkarpet biru itu, Allah mengantarkan kami berkeling dunia dalam imajinasi, membuka cakrawala ke pemikiran-pemikiran besar. Allah juga titipkan kecintaan membaca dan kecintaan pada buku.
Walau masih jauuuuh dari obsesi membaca para ulama, yang tidak pernah kenyang menelaah kitab…Tapi semoga Allah hadirkan hikmah dari taman-taman baca, perpustakaan, dan ruang buku itu. Semoga kelak dapat menghadirkan ruang literasi, mewariskan semangat berilmu, dan meneladankan adab terbaik pada buku.
Saat membahas tentang membaca buku, di dalam Shaid Al-Khâti, Ibnul Jauzi berkata menceritakan dirinya,
“Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah akulihat, maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun.
Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah An-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya.
Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu."
Atau sebagaimana bapak bangsa kita, Buya Hamka dengan kebiasaannya membaca.
Sejak kecil, Hamka sudah keranjingan membaca. Ketika Hamka kecil tahu bahwa gurunya Zaenuddin Labay El Yunusy membuka Bibliotek, yaitu tempat penyewaan buku, maka Hamka selalu menyewanya setiap hari. Setelah membaca Hamka selalu menyalinnya kembali dengan tulisan sendiri. Ketika uangnya habis, Hamka selalu membantu pekerjaan di percetakan, dan imbalan yang dipintanya yaitu diperbolehkan membaca buku.
Termasuk ketika Hamka naik haji dan menetap di Makkah, untuk menyambung hidupnya karena perbekalan sangat terbatas, Hamka bekerja di percetakan kitab. Disana pula Hamka tenggelam dalam lautan ilmu. Ratusan kitab dibacanya. Di tempat itu Hamka antara bekerja dan menuntut ilmu.
Rabbi zidnii ‘ilman..
-h.a.
Ditulis karena baru saja hari ini mengunjungi perpustakaan (lagi) hehe senang alhamdulillah
44 notes
·
View notes
Text
Buku part 2
Haaaaaaaaa. Sudah selesai weekend minggu ini sodara-sodara dan sekarang sudah 22 (23 sekarang, itu draft semalam) September?? Wtf. Ku masih ada hutang mau ngelanjutin tulisan ya tentang buku ini.
Berhubungan dengan itu adalah: aku baru saja menyelesaikan 2 buku di beberapa hari belakang: Dallergut Dream Department Store by Miye Lee dan Poison for Breakfast-nya Lemony Snicket yang keluar 2021! Both were delights to read. Dua-duanya genrenya fiksi tapi yang satu fiksi totok betul-betul penuh hiburan dan penuh imajinasi, while satunya sangat… filosofis dan BANYAK banget bikin belajar tentang literature.
Ku pernah cerita di sini: https://www.tumblr.com/asrisgratitudejournal/758711603506135040/library?source=share pas ku beli si Miye Lee itu dan beneran emang lambat banget bacanya karena ku gak nemu waktu yang tepat untuk duduk dan focus baca aja sih. Terus yang Lemony Snicket terpicu dari recent twitter trend: ku menemukan foto bookshelf orang dengan buku-buku Snicket jadi kepo “dia gak ngeluarin buku baru kah recently?”. Ternyata ada! Di 2021! Awalnya tentu saja search di library dulu biar gak usah beli kan, tapi ternyata gaada di library. Search di google ternyata ada di Blackwell’s Westgate, dan cuma £7 pulak, jadi yaudah sikat deh habis pulang dari lab ke situ dulu.
Jujur kalau mau digali lagi waktu minggu lalu teh mau nulis apa tentang buku juga ga inget sekarang. OH! Bahas siapa aja yang kubaca dulu dan gimana awal mulanya ku senang baca. Pas lagi bahas sama Puspa dan Oliv tentang betapa bersyukurnya kita sekarang hidup di jaman kita bisa baca buku tulisan cewek, ku langsung mencoba nginget-nginget aku teh dulu baca siapa aja ya… kayanya standar anak kelahiran 90-an:
Esti Kinasih (Fairish WKWKW itu keluaran 2004, terus ada juga CEWEK!!! keluaran 2005); Dealova by Dian Nuranindya, terus dari situ kayanya langsung ke Tere Liye(?). SEMUA novel dia tuh ku beli dari Daun yang Jatuh, Hapalan solat Delisa, dst. Mulai berhenti kayanya pas kuliah. Terus juga sempat ada periode Andrea Hirata. Kayanya yang orang Indo udah sih itu doang.
Yang terjemahan tentu saja: Harry Potter (mama yang pertama kali beliin bawa dari kantor karena fomo ceunah wkwk), terus Hunger Games, Twilight, Divergent (semuanya penulis cewek). Oh! Sama tentu saja Lemony Snicket. Dulu hype banget asli dah. Semua orang di sekolah keknya baca atau kalau ada orang yang pas istirahat baca itu tuh kek keren banget gitu dan ku jadi mau pinjem. Sempat ada periode ku suka minjem buku random juga deh kayanya di perpus SMP, cerita-cerita rakyat gitu. Ku inget banget sampe pernah ada fase ku nabung sehari 3ribu apa ya, buat ngumpulin duit pre-order Harry Potter 7. Keluar Januari 2008. Itu aku kelas 12 SMA, mau UN malah baca Harry Potter.... Untuk anak SMA buku 270ribu tu mahal banget (sekarang pun masih terasa mahal). Itu dulu mahal karena hard-cover kayanya. Ku betulan yang dateng ke Gramedia matraman ngangkot beres sekolah sore2 terus jalan ke counter: “mbak, saya mau pre-order buku Harry Potter ini ya…”. Ku lupa bayarnya kayanya pas ngambil bukunya deh.
Baca Pulang-nya Leila S. Chudori boleh minjem punya mantanku dulu pas kuliah dan dia juga yang ngerekomendasiin. Terus pas kuliah udah deh tu ilang aja hobi bacanya. Masih baca tipis-tipis sih tapi tipis banget dibandingkan pas SMA, waktu itu lagi eranya YA (Young Adult) yang sangat sarat dengan mental health awareness, youth identity (LGBTQ+ and race being people of color etc), police brutality, social justice: John Green, Nicola Yoon, Jennifer Niven, Rainbow Rowell, David Levithan, Angie Thomas. Kayanya itu periode ku mulai transisi ke baca novel Bahasa inggris juga. Di Bandung untungnya ada Periplus Setiabudi, jadi ku suka banget ke sana. Itu juga jaman-jaman udah punya uang lebih dari ngajar olim, jadi kadang kalau lagi pulang ke Jakarta bakal ke Kinokuniya, Aksara kemang, sama ke Periplus juga. Harga buku Bahasa inggris YA ini dulu mungkin di range 150-250ribu kali ya.
Karena mahal, jadinya tidak bisa sering-sering beli bukunya. Sehingga di periode kuliah, ku jadi lebih suka nonton, dan emang dulu itu jamannya ngopi-ngopian film/series dari hard-disk gitu loh inget gak. Sama piratebay wkwkwk. Betul-betul 0 rupiah. Oh sama ada juga FTP ITB yang semua orang bisa download filem atau mp3 di situ. Dulu series yang ditonton ada: Heroes, Game of Thrones jelas, Revenge, Pretty Little Liars (OMG), House of Cards, Veep, Agents of S.H.I.E.L.D., Teen Wolf(!!!), Sherlock, The Flash (awal-awal season doang nontonnya), Glee!!!, Empire, Gossip Girl, Mr. Robot, Master of None, Korra, Brooklyn 99, Orange Is The New Black, Westworld, mencoba nonton Breaking Bad tapi nggak nyangkut.
Tapi ku emang berprivilege seprivilege-privilegednya sih dalam hal baca (dan buku)… yang dari dulu tiap hari Kamis pulang kantor pasti mama beliin Bobo. Dari belom bisa baca pun di kasur dibacain cerita. Terus pas udah agak gedean, mama papaku langganan Kompas setiap hari dan di hari Minggu tuh ada Kompas anak. Di rumah juga papaku suka banget beli buku-buku Islam, ngelihat itu aku pun tumbuh besar menjadi anak yang “Oh membaca itu penting yah”. Pas mudik ke rumah mama di Klaten, di rak buku ada novel-novel Mira W. buanyaaak banget. Kayanya dulu ada 1 atau 2 yang kuhabisin pas lagi di periode lebaran itu. Jadi, ya memang budaya aja sih. Dan baca-baca reply twitter kemarin ya kesadar aja, oh belum semua orang seberuntung aku yah dalam hal ini. Bahkan punya teman-teman yang suka baca juga penting banget! Ada pulak yang cerita kalau dia malah dikata-katain kalau suka baca. Buset.
Aku dari dulu mimpinya cuma satu: punya rumah baca sendiri. Bisa bikin buat anak-anak/orang dewasa pun, bisa baca, senang baca. Dulu tuh masih ada rental buku gitu, di belakang stasiun Duren Kalibata, sama seberang pombensin volvo PasMing. Sekarang modelan gini masih ada kah? Dulu harganya se-buku 3000/minggu apaya buat minjem, murah banget kok. Dan bisa baca di tempat juga kalau mau. Kalau perpus-perpus yang hype di Jakarta kaya di Cikini dan Perpusnas medan merdeka gitu koleksinya ok kah? Ku pernah sih sekali ke perpusnas tapi jatohnya cuma buat liat-liat aja bukan baca. Sebetulnya di tempat kerja di UI juga ok sih perpusat tapi ak malah gak pernah masuk ke perpusatnya. Nanti deh ngecek kalau udah pulang.
Sejak tinggal di Oxford apa yah, tapi library tuh betul-betul tempat favoritku banget sih. Dulu pas di ITB masalahnya library tu lebih ke “tempat nongkrong TPB” dan agak bikin PTSD karena belajar ujian TPB semua di situ kan, jadi setelah Tingkat 2 udah boro-boro masuk ke perpus lagi. Kalo pas S2, bibliothèque-nya di basement jadi gaada sinar matahari masuk terus jadinya moodnya suram gitu, jadi malas deh.
Udah kayanya mau sampai situ dulu aja reminiscent tentang baca bukunya. Kalau sekarang, ku lagi suka banget eksplor penulis-penulis cewek tapi yang non-american/british dan non-white (karena sekarang ceritanya dah bisa Bahasa inggris jadi lebih gede options pool-nya). Gaktau kenapa sih, gaada alasan khusus, tapi kayanya di reading scene (di barat) pun, emang lagi banyak dinaikin penulis-penulis People of Colour/BAME ini? Ku terakhir baca Chimamanda Ngozi Adichie yang Americanah (bagus banget ku sangat merekomendasi). Dia Nigerian, jadi fresh banget diction/vocab yang dibawa. Terus ku bisa relate juga dalam hal privilege, economy background, culture-nya si characters karena Nigeria dan Indonesia mirip-mirip lah ya negara berkembangnya. Terus ada RF Kuang yang super hits 2 tahun belakangan, walaupun ku belum baca Babel sih… tapi Yellowface udah. Bernardine Evaristo. Penulis-penulis Jepang/Korea (translated dari Bahasa mereka ke English). Udah sih. Dolly Alderton palingan. Sisanya ku juga baca non-fiction tapi gak semenarik itu jadi malas kubahas. Komik juga dulu ku baca sampai di rumah ada koleksi Detective Conan, Doraemon, dan hai Miiko yang lumayan komplit.
Paling aneh dari ini semua, setelah ku-scroll lagi ke atas adalah: aku sekarang into kpop… jujur aneh banget.
Dah sekian dulu nge-rant-nya mau kembali bekerja. Buh-bye!
23 September 2024 18:01 flat 39 hujan seharian jadi di rumah aja
7 notes
·
View notes
Text
Tentang Berbahasa (Belanda)
Salah satu skill yang menurutku keren adalah kemampuan untuk berbicara berbagai macam bahasa. Menurutku orang yang bisa macem-macem bahasa itu keren banget. Cakap berbahasa adalah seni tersendiri: dengan menguasai berbagai macam bahasa, semakin terasa luas pula dunia ini untuk dijelajahi. Aku mengasosiasikan orang yang pandai macam-macam bahasa sebagai orang yang cara pandangnya luas. Pengen banget bisa kaya gitu.
Kalau boleh jujur, aku cukup bangga dengan kemampuan berbahasaku sejauh ini. Sebagai orang Indonesia, tentu Bahasa Indonesia adalah bahasa utamaku. Tingkat kemahirannya 10 dari 10 lah. Angka 10 dari 10 mungkin lebih tepat menggambarkan rasa percaya diriku untuk berbahasa Indonesia, bukan berarti aku sangat mahir dalam berbahasa Indonesia sampai bisa bikin puisi dan tulisan yang mengguncang dunia.. But you get the idea!
Karena aku dibesarkan di keluarga dengan latar Jawa Timur, aku juga cukup mahir Berbahasa Jawa. Mudik setiap tahun dan cukup sering ketemu sepupu, om dan tante yang ngomongnya Suroboyoan banget. Kalau dinilai, nilainya 6 dari 10 lah. Lumayan, walaupun ga bagus-bagus amat. Kadang suka roaming juga kalau ngikutin obrolan sepupu, tapi masih bisa nyautin atau ngobrol-ngobrol ringan dalam Bahasa Jawa.
Tumbuh besar di Lembang, mengalami pergaulan di "desa" sampai lingkungan gaul Bandung di Taruna Bakti dan SMA 3 membuatku cukup mahir Bahasa Sunda juga. Yang ini sedikit lebih baik dari Bahasa Jawa, kalau dinilai mungkin 7 dari 10. Pernah beberapa waktu lalu nemu akun seorang diaspora Indonesia yang kerja di Jepang. Dia sering bikin video-video ringan yang mengomentari hal-hal receh di Jepang dengan Bahasa Sunda. Sunda Garut, lucu banget hahaha, terus semakin didenger nyadar juga kalau Bahasa Sunda saya lumayan juga. Bisa ngikutin dan bisa ngomong juga!
Lalu Bahasa Inggris. Yang ini mungkin nilainya 9 dari 10. Kalau dirunut, aku juga ga inget kapan tepatnya bisa Bahasa Inggris. Yang jelas, waktu kecil banyak terpapar Bahasa Inggris pas main PS, lalu sempet ngikutin serial How I Met Your Mother (pake subtitle), sampe bisa inget hampir semua episodenya. Suatu hari pas SMA nginep di rumah Mbe bareng Widi, lalu nonton beberapa episode Eater tanpa subtitle, kaget juga ternyata bisa ngikutin. Lalu jaman kuliah ada kesempatan untuk berkomunikasi sama orang asing, dan tau-tau Bahasa Inggris ngalir aja gitu dari mulut..
-
Yang relatif baru-baru ini aku pelajari adalah Bahasa Belanda. Waktu pertama kali dateng ke Belanda tahun 2017, sebenernya ga ada niatan untuk tinggal lebih lama disini. Tapi setelah 2 tahun.. Kok rasanya belum puas ya tinggal di Eropa, hehehe, lalu ada kesempatan juga sih jadinya kenapa engga. Lalu kerja dan kebetulan berhubungan dengan client yang Belanda banget, perusahaan "ouderwets" (old school alias kolot) Belanda. Jadi beneran nyemplung ke lingkungan Belanda banget, dan mau ga mau.. Belajar bahasanya.
Kalau ngeliat perjalanan belajar Bahasa Belanda ini... Rasanya perjuangannya berasa banget. Ngalamin "terjebak" di meeting yang isinya orang londo totok kabeh, ngomong Bahasa Belanda semua, panik takut ditunjuk disuruh ngomong (padahal cuma ngerti 10-20% dari apa yang diomongin OMG). Suatu hari kejadian juga kebagian giliran untuk ngomong, dengan pemahaman yang pas-pasan, jadinya ngejawab sekenanya. Walaupun orang-orang kayanya ngerti dan oke-oke aja sih.. Tapi tetep aja. Pengalaman yang memalukan. Pengalaman belajar Bahasa Inggris dulu rasanya ga ada fase-fase kesulitan kaya gini. Kaya.. Awalnya aku ga bisa ngomong Bahasa Inggris. Tau-tau ada kesempatan ngomong, dan langsung jago. Fase "perjuangan"nya ga se-terasa fase perjuangan Bahasa Belanda ini. Kenapa gitu ya? Mungkin karena semua terjadi di waktu yang relatif singkat (~5 tahun?).
Yang menyenangkan dari perjalanan ini adalah, semua dimulai dari orang-orang yang sebelumnya aku udah kenal, i.e. orang-orang yang awalnya aku ngomong Bahasa Inggris sama mereka. Lama-lama mereka coba ngomong londo, terus aku jawab Bahasa Inggris, sampai akhirnya semua jadi 100% Bahasa Belanda. Eh, mungkin 95% deng, karena aku masih suka pakai istilah Bahasa Inggris kalau ga kepikiran istilah londonya apa. Orang-orang yang udah aku kenal itu cukup memudahkan, karena aku tau bahwa mereka tau kalau aku masih belajar Bahasa Belanda. Jadi mereka tau bahwa aku tidak terlalu fasih berbahasa Belanda.
Intinya adalah, ngatur ekspektasi lawan bicara. Kalau mereka tau bahwa aku belum terlalu fasih, itu semacam ngasih ruang buat diri sendiri untuk bisa bikin kesalahan. Jadinya lebih percaya diri, dan hajar bleh aja gitu walaupun gatau ini grammar atau pemilihan katanya bener apa engga. Ini juga jadi trik nih, kalau ketemu orang baru, aku sering bilang aku dari Indonesia dan baru belajar londo beberapa tahun belakangan. Semacam nge-set ekspektasi dari awal.
Kalau boleh nilai diri sendiri, tingkat ke-pede-an bahasa londoku nilainya sekarang 7,5/10 lah. Bahkan lebih baik dari Bahasa Sunda! Tapi... Banyak tapinya. Walaupun Bahasa Belanda sekarang udah jadi keseharian, tetep ada satu hal yang menurutku jadi tantangan paling besar. Aku ngerasa.. Untuk tiga besar bahasa yang aku bisa lafalkan sekarang (Indonesia, Inggris, Belanda), aku adalah tiga kepribadian yang berbeda. Sebagai bahasa ibu, Bahasa Indonesia tentu saja yang paling natural. Untuk cas cis cus, nimpalin omongan orang, becanda dan nyeletuk hal-hal yang lucu, semua muncul aja secara alami dan lancar. Pun begitu dengan bahasa Inggris, walaupun ga selancar Bahasa Indonesia, tapi masih oke lah. Tapi buat Bahasa Belanda ini, duh, hal-hal semacam itu sulit banget untuk keluar dari mulut. Di kantor sering ada orang-orang yang bercanda misalnya. Aku ngerti sih, dan bisa ikut ketawa, tapi untuk bisa nimpalin.. Itu susah. Jadinya aku lebih pendiem. Tapi sebenarnya aku ga sependiam itu kok! Hal-hal kaya gitu memang kayanya gabisa dipelajari dari buku atau dari les.
Beberapa minggu lalu ada sesi peer-review sama kolega se-tim, buat nge-review gimana perjalanan setaun belakangan. Dua dari empat orang di tim bilang bahwa awalnya aku pendiem banget, apalagi pas awal-awal project (~2-3 tahun yang lalu), dan sekarang jauh lebih ga pendiem. Ingin aku berkata bahwa aku.. Cuma.. Ga bisa.. Bahasa Belanda......
Lima tahun berselang.. Sekarang alhamdulillah jauh lebih pede dan lancar untuk ngomong londo. Dari yang awalnya selalu nge-set ekpektasi (pakai trik di atas), sekarang.. Ga selalu begitu. Syukurlah. Perjalanan masih terus berlanjut, dengan tantangan yang paling susah di atas, tapi mudah-mudahan.. Aku cuma butuh waktu. Bismillah!
Bonus poto pas pertama kali presentasi live dalam bahasa londo.. Tegang banget!!!
-
Ngomong-ngomong bahasa, beberapa bulan ini kepikiran untuk les Bahasa Jepang.. Gas?!?
2 notes
·
View notes
Text
Sebuah Perjalanan Penuh Harap dan Pelajaran di Vienna *)
Kisah ini menjadi refleksi selama enam bulan saya melangkahkan kaki keluar rumah untuk bertualang dan menetap di luar negeri hingga kurang lebih 3 tahun ke depan. Saya memulai perjalanan ini dari sebuah mimpi untuk melanjutkan sekolah doktoral di luar negeri. Sudah itu saja. Ada seorang guru yang terus memotivasi saya. Beliau yang selalu menyalakan bara api semangat untuk terus bersiap menempuh pendidikan lebih tinggi ke tempat terbaik. “Saya yang ndak pandai Bahasa Inggris jak bise S3 di Spanyol, masa’ Danu yang pintar ndak bise,” kata beliau.
Ini selalu jadi kalimat andalan Pak Dodi Irawan setiap kali bertemu atau berdiskusi tentang pengalaman S3 beliau. Beliau dulunya guru SMP saya, tapi saat ini perjalanan karir dan takdir Tuhan menjadikannya Rektor Universitas Muhammadiyah Pontianak. Tidak ada yang berubah dari sosoknya yang saya kenal sejak 18 tahun lalu. Ramah dan bersahaja.
Sejujurnya tidak pernah ada mimpi akan ke Austria. Kalau pun saya pernah terpikir untuk bermimpi, maka tujuannya adalah ke Spanyol, tepatnya Barcelona. Karena ada klub sepakbola favorit saya di sana. Saya tahu tentang Austria hanya dari seorang kolega di Universitas Tanjungpura yang merupakan alumni dari salah satu kampus di sini. Pak Zairin Zain, beliaulah sosok selanjutnya yang menjadi salah satu pembuka jalan untuk sampai di luar negeri. Pada sebuah diskusi, beliau menjelaskan bahwa Austria memang bukan di Eropa Barat, cenderung di tengah. Tidak terlalu besar dan semegah negara-negara favorit, seperti Jerman, Perancis, Italia, atau Inggris, tapi kalau sudah di Eropa standar pendidikan tingginya sama saja. Toh, jalan-jalan keliling Eropa juga bisa asal sudah sampai di sana. Beliau juga yang akhirnya memperkenalkan saya dengan skema beasiswa Indonesia-Austria Scholarship Programme dan ASEA-UNINET. Kalimat beliau sederhana sekali: “Bang Adit, coba nia ada beasiswa ke Austria. Berkas-berkasnye ade kan?”
Itu kalimat yang mengawali perjalanan saya. Sejak itulah harapan untuk ke Austria dimulai. Petualangan dimulai dengan mengumpulkan berkas-berkas hingga berkomunikasi dengan calon pembimbing doktoral di University of Vienna. Akhirnya pada 29 September 2020 menjadi tanggal bersejarah karena seorang anak dari Kota Pontianak dinyatakan menerima beasiswa untuk studi lanjut di Austria tepatnya kota Vienna. Perjalanan itu dimulai tepat pada 30 September 2021 setelah setahun persiapan keberangkatan.
Vienna adalah sebuah kota yang indah dan nyaman untuk ditinggali. Setidaknya itu kesan saya dari sejak pertama menginjakkan kaki pada tanggal 1 Oktober 2021. Kota ini adalah perpaduan cuaca cerah dan mendung dengan sesekali angin bertiup menghembuskan udara dingin. Sarana transportasi sangat mudah. Berbelanja bahan makanan atau menemukan restoran halal bukan perkarasa susah, banyak pilihan.
Kota ini memberikan banyak pelajaran berharga. Baik secara ilmu di kampus formal maupun kampus kehidupan. Institusi tempat saya menempuh pendidikan memiliki sistem administrasi berbasis daring yang luar biasa. Fasilitas referensi dengan basis data di laman perpustakaan daring juga memadai. Saya merasa mudah sekali mengakses buku atau artikel jurnal berkualitas dengan akun yang diberikan. Banyak juga ditawarkan mata kuliah atau kuliah tamu yang begitu bermanfaat untuk menunjang perkembangan sekolah doktor. Kolega di kantor juga baik sekali. Para staf akademik dan tim program doktor di fakultas serta program studi yang sangat ramah dan membantu proses administrasi, teman-teman sesama mahasiswa dan peneliti yang juga sama baiknya mengajarkan proses adaptasi selama di kantor, serta pembimbing disertasi yang begitu peduli. Saya amat bersyukur berada di lingkungan kerja dan kampus ini.
Hidup di Vienna juga tentang belajar menyeimbangkan waktu kerja dan menikmati hidup. Sebuah tren work life balance yang tidak hanya basa-basi. Jarang sekali ada interaksi tentang pekerjaan di luar jam kerja. Akhir pekan adalah milik keluarga. Bahkan toko dan pasar tutup di hari Minggu. Kecuali restoran karena biasa digunakan masyarakat untuk bercengkrama menikmati waktu libur atau toko-toko sembako di titik tertentu yang esensial, seperti stasiun besar. Di sini kami belajar untuk menikmati akhir pekan sebagai hadiah dari lima hari kerja yang melelahkan.
Selain itu, orang di Vienna sangat tepat waktu. Kenapa? Karena semua sarana transportasi tepat janji saat tiba dan berangkat. Kita dengan bantuan aplikasi transportasi atau peta di Google dapat dengan presisi mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di satu lokasi. Tidak ada alasan untuk telat karena alasan macet seperti di Indonesia.
Pelajaran kehidupan lainnya yang didapat selama di perantauan adalah bertemu dan bercengkerama dengan sesama mahasiswa atau penduduk Indonesia. Sejak awal tiba di Austria, saya dan teman langsung disambut oleh Mas Jaya Addin Linando, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Austria (PPIA). Pada malamnya kami juga diundang oleh sesama mahasiswa untuk makan malam dengan menu khas Indonesia. Hari-hari selanjutnya juga diwarnai dengan berbagai pertemuan bersama orang-orang Indonesia lainnya, mulai dari sesama anggota PPIA hingga Warga Pengajian Austria (Wapena). Bahkan jika dihitung, di komplek asrama mahasiswa yang saya tempati terdapat sekitar 10 orang pelajar Indonesia. Tidak jarang kami mengobati rindu dengan obrolan santai tentang kampung halaman. Kami juga rutin berkumpul sambil memasak makanan Indonesia dan menikmati kota bersama dengan jalan santai atau berbelanja. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika dua teman terjangkit COVID-19, kami saling mengirimkan makanan dan obat selama fase karantina.
Meski demikian, jangan tanya soal rindu. Ini yang paling berat. Rindu istri dan anak-anak, keluarga, makanan, teman, dan suasana kampung halaman. Istri dan anak-anak yang dengan penuh kerelaan melepas saya berangkat. Mereka pula yang terus memberikan semangat tanpa putus. Anak-anak yang masih usia di bawah 6 tahun, tapi begitu dewasa bersikap saat mengantar keberangkatan. Istri yang harus berjibaku dalam mengurus anak tanpa saya. Perjalanan ini akan selalu jadi pengingat betapa saya harus banyak membalas dengan lebih banyak kebaikan dan kasih sayang.
Rindu kadang terobati dengan panggilan video atau mengamati lini masa media sosial, tapi tidak jarang ia begitu memuncak. Karena saya hanya bisa melihat perkembangan anak-anak dari layar kaca, mendengarkan kisah istri selama mengasuh mereka, dan mendengar kabar keluarga yang sakit atau perkembangan COVID-19 di Pontianak. Rindu itu jadi sungguh sangat berat. Akhirnya semua itu menyisakan doa-doa dan harapan agar hati kembali kuat. Sehingga saya bisa bilang perjalanan ini amat penuh harap. Harapan untuk bisa berkumpul dengan keluarga dan mengobati kerinduan.
Satu kejadian yang begitu berkesan dari kisah tentang rindu adalah ketika pembimbing saya, Prof. Petra Dannecker, menanyakan kondisi keluarga di Indonesia. Ketika beliau tahu kalau kami sedang menanti kelahiran anak ketiga. Responnya adalah menyuruh pulang karena saat musim dingin juga tidak ada aktivitas apa-apa di kampus. Kalimat setelahnya yang membuat saya begitu terenyuh dan tersentuh. “Penting untuk anakmu tahu kalau dia punya seorang ayah,” ucap beliau dalam Bahasa Inggris.
Rindu yang dipendam pun seketika pecah, runtuh sudah pertahanan. Saya menangis di dalam hati ketika mendengar kalimat itu, begitu terharu. Beliau amat memperhatikan kondisi psikologis bimbingannya selama di sini. Perasaan seorang ayah yang menanti dengan harap cemas akan proses kelahiran anak yang hanya tinggal dua bulan, tapi harus tetap memfokuskan diri untuk memulai sekolah di perantauan.
Tuhan selalu punya jalan-jalan terbaik. Tidak pernah terbayangkan buda’ Pontianak ini akan pulang pergi ke luar negeri dalam hitungan bulan. Dalam rencana awal pun, kami sudah merelakan akan saling menatap layar kaca saat proses melahirkan tersebut. Tuhan begitu baik memberikan kesempatan kepada saya menemankan istri selama proses melahirkan dan menyambut putri kecil kami secara langsung. Hingga untuk mengenang persiapan dan perjalanan ini, kami menyematkan Vienna sebagai nama tengah untuk anak ketiga yang lahir pada bulan Desember 2021.
Kisah-kisah di Vienna pada akhirnya mengajarkan saya untuk senantiasa belajar bersyukur dengan semua yang telah diterima hingga saat ini. Lima bulan ini begitu banyak cerita yang begitu berharga untuk dijadikan bahan pendewasaan diri. Tentunya masih ada puluhan bulan penuh harap yang akan saya lalui. Pembelajaran diri pasti terus didapatkan seiring berjalannya waktu di kota yang indah. Seperti judul di atas, perjalanan di kota ini penuh harap dan pelajaran.
Adityo Darmawan Sudagung, 1 Maret 2022
*) Tulisan ini dikirimkan pada Writing Contest PPI Edufest 2022 dengan tema "Sepenggal kisah dari penjuru dunia, sejuta inspirasi untuk Indonesia" dan mendapatkan honorable mention.
2 notes
·
View notes
Text
Assignment Menulis
Alhamdulillah hari ini selesai mengerjakan assignment berupa proposal proyek yang aku rencanakan buat apply grant (yang entah kapan) makanya aku bener2 serius ngerjainnya! Tapi ini kali pertama beneran ngerjain A-Z proyek Allahu akbar, dari desk research tntg project site, bikin problem tree, bikin logic model yg revisi lebih dari 10x 😩 sampe bikin evaluation questions dan advocacy strategy.
Di awal matkul ini assignment-nya grup work trs aku ngerasa dragging bgt krn cukup demanding. Tapi ternyata individual assignment jauh lebih demanding Allahu akbar 😩 rasanya agak nyesel pernah mikir kalau mendingan ngerjain semua sendiri. Salah besar! Ngerencanain proyek tuh mendingan bareng2 tapi better emang udh punya knowledge yang setara biar bisa diskusi di level yang sama.
Lucu banget wkt itu Kak Fifi nanya gatau secara sadar atau nggak, dia nanya kaya gini “Semua tugasnya dikerjain dlm bahasa inggris? Enggak kan?!” Lahh.. yaiya dong 😭😭😭 wkwkwk gimana cara dosen gue nilai kalau nggak pake bahasa inggris?
Tapi kuliah di luar negeri tuh beneran next level bgt sih Allahu Akbar. Ngerjain proposal proyek aja udh bikin mikir banget apalagi pake bahasa inggris. Kalau translate pake AI semacam google translate, Chat GPT, Grammarly pasti akan ke-detect sm AI mereka. Well jujur gue juga pake, tapi ya paling sekitar 20-30% sisanya kaya mengandalkan pengetahuan gue dan spelling check dari Microsoft Word WKWKWKWK. Kalau semakin banyak baca bahasa inggris, otaknya juga akan semakin terlatih sama grammar bahasa inggris sih.
Anyway, kemarin aku sampe wa kak @asrisgratitudejournal karena akutuh ngerasa bodoh banget sama menulis paper. Nilaiku gak pernah tembus angka 80, selalu di angka 70-78 mentok. Aku tuh ngerasa super bodoh ksrena cita2ku mau PhD tapi kemampuan menulisku segitu2 aja. Tapi Kak Noni baik bgt bener2 kaya membesarkan hatiku kalau temen2 di Negara Maju tuh udh terlatih menulis semenjak SMA jadi emang pasti tulisannya lebih terstruktur, lebih kritis dan lebih kohesif. Beda sama gue yg mgkn ujian S1nya aja masih pilihan ganda coy 😭
Untungnya gak ada sit in exam nih Public Health ya Allah. Jadi gausah yang harus menulis beribu2 kata di tempat gitu.
Assignment kampus dalam dan luar negeri menurut gue juga kaya beda banget sih, karena gue kan pernah nemenin mas mogi kuliah kan walau ambil kelas internasional. Tugas2nya menurut gue jauh lebih light dibandingkan dengan unimelb yg rubrik penilainnya sangat strict. Huft. Jadi buat temen2 yang gak suka-suka banget nulis mending berpikir lagi buat kuliah di luar negeri hahaha bukan discouraging tapi agar hidup kalian nggak susah jujur 😭
Alhamdulillah udh kelar semua 2 matkul. Tinggal ada 2 matkul lagi dengan segala assignment-nya. 1 matkul harus ngumpulin research proposal 3 minggu lagi AND I AM NOT START ANYTHING YET YA ALLAH. Terus 1 matkul lagi ada grup presentation dan 1 paper gitu huft. Bismillah2.
Perkuliahan sih tinggal 3 minggu lagi tp assignment masih ada sampe awal november :) agak nangis gaktu
2 notes
·
View notes
Text
#70 Bertanggungjawab Atas Pilihan
Sejak kecil, kita sudah mulai dibiasakan untuk memilih. Mulai dari hal kecil, se-sederhana mau makan apa dari lauk di atas meja atau memilih mau les bahasa inggris atau matematika.
Ternyata, tanpa sadar setiap orang sudah diajarkan memilih sejak kecil. Walaupun pertimbangan kita di masa kecil dulu sebatas mana yang lebih disuka, lebih mudah, atau lebih banyak temannya. Haha, se-sederhana itu.
Saat kita beranjak dewasa, mengambil keputusan atas beberapa pilihan menjadi sedikit rumit. Contohnya, menu makan siang bersama teman kantor kadang perlu mikir dikit *eitss canda, bukan itu yang rumit. Tapi, pada beberapa pilihan saat dewasa yang lebih kita pertimbangkan dampak baik buruknya bagi orang lain, terutama bagi diri kita sendiri. Contohnya, bekerja atau lanjut kuliah, membeli barang mana, atau soal memilih pasangan hidup seperti apa.
Malam ini, aku membawa 2 buku ke atas kasur. Buku ini berjudul “Master Pocket TOEFL” dan “Otodidak Jago Kuasai Bahasa Inggris” yang kubeli sekitar 5 bulan lalu. Niat untuk melanjutkan S2 dengan beasiswa ini layak untuk diusahakan! Jadi, aku memilih mempelajari buku ini setidaknya 1 jam sehari. Buku yang kubeli dengan pertimbangan akan belajar sendiri, karena merasa dulu sudah terbiasa ujian dan belajar sendiri bisa kok membuahkan hasil yang baik.
Aku, memilih bertanggungjawab atas pilihan yang sudah kuambil, 5 bulan lalu. Good luck, me!
Ternyata, bertanggungjawab atas pilihan kita adalah bentuk kita menghargai diri kita sendiri atas pilihan yang sudah kita ambil
2 notes
·
View notes
Text
Saat Berlayar, Kita Pasti Bertemu Gelombang.
Karna beberapa hal, dia harus menyusun skripsi bersama juniornya. Aku adalah salah satu juniornya dan kami sering bertemu di musala asrama. Dari begitu banyak tempat, mengapa musala asrama? Tidak ada jawaban yang paling memungkinkan selain karena tempat itu memang teduh dan sepi, wajar jika aku dan Senpai menyukainya secara nuansa. Entah bagaimana kami menjadi dekat setelahnya.
"Ada kendala?" "Kendala mood saja." "Semoga semangat terus menyala." "Senpai, apa motivasimu salat tepat waktu setiap hari?" "Memang sudah terbiasa sejak lama. Kalau kamu?" "Karena takut" "Tidak apalah, setidaknya rasa takut itu membawamu kepada Tuhan. Anyway, siapa dosen yang kamu harapkan tidak terlibat di ruang sidang skripsimu?" "Tak ingin kupikirkan. Senpai?" "Bu XXXX. Kata teman-teman, beliau itu menyeramkan banget." "Aku 3 kali mengambil mata kuliah yang diampunya." "Iya? Mata kuliah apa?" "Forensik, Human Sexuality dan ... lupa." "Gimana rasanya?" "Seru. Beliau geram pada mahasiswanya yang tidak cukup baik berbahasa Inggris." "Makanya aku selalu menghindari kelasnya."
Nasib baik. Nama beliau muncul sebagai penguji dalam sidang skripsi masing-masing kami. Begitulah kami bertemu.
Beberapa tahun lalu, setelah pertemuan kami yang terakhir di kampus, secara khusus aku menghubungi dan mengajaknya bertemu. Aku membicarakan Tuhan kepadanya.
"Berapa lama Senpai pernah marah pada Tuhan? " "Aku mana bisa marah pada Tuhan. Dia begitu baik padaku." "Beruntung sekali. Apa tidak pernah sekalipun Senpai merasa bahwa Tuhan itu tidak adil?" Kutangkap romannya berubah saat aku berucap tegas. "Bukan Tuhan yang tidak adil. Kita yang tidak tahu, tapi Dia tahu mana baik dan tidak baik bagi kita."
Aku hanya tersenyum sedikit mengangguk. Aku belum mengatakan banyak, tapi aku sudah benar-benar ragu mengatakan lebih banyak. "Apa kamu sedang marah pada-Nya?" Aku tidak menjawab apapun. Aku bingung menjelaskannya. "Apa gerangan yang melemahkan imanmu? Kamu sedang marah pada Tuhan?" Senpai terus mencecarku. "Apa karena dia Tuhan jadi aku tidak boleh marah pada-Nya?" "Apaan, sih? Kamu hanya perlu percaya kepada-Nya. Hindari mencela-Nya." "Aku tidak mencela, aku hanya bertanya. Apa itu akan memengaruhi ke-Esaan-Nya?" "Itu barusan kamu mencela-Nya. Aku tak tahu kecewamu, tapi aku kecewa dengan cara berpikirmu dan prasangkamu yang seburuk itu pada-Nya."
Percakapan itu membentur tembok ego atau superego yang masing-masing milik salah satu kami. Seluruh pernyataannya menjadi penting untuk kupikirkan berhari, berminggu, hingga berbulan setelahnya. Bukan karena aku menganggapnya seperti kakakku meskipun dia pernah bilang aku ini seperti adik baginya, tapi karena kami sempat lama berbagi kecemasan bersama.
Setahun yang lalu, dia kembali dengan ceritanya.
"Suatu hari di awal 2022ku. Aku merasa sesuatu memenuhi dadaku. Setiap hari rasanya aku ingin meneriaki Tuhan atas hal yang menimpa. Aku mencoba waras dan berprasangka baik, tapi perasaan dan keadaan tak kunjung berubah." Aku tidak berniat balik mencecar atau menertawakannya. Begitu mantap ia menjawabku dulu membuatku ragu bahwa yang mengatakan hal-hal barusan adalah orang yang sama. Aku diam cukup lama. Sangat lama. Aku juga tak tahu Senpai ingin tanggapan atau hanya sekadar meluaskan. Aku nyaris tak punya tanggapan apapun, tapi akhirnya aku mengatakan sesuatu padanya.
"Untuk jeda dimana aku atau kamu atau siapa saja yang memilih menghindari-Nya, semoga selalu ditampakkan jalan kembali kepada-Nya. Secepatnya."
Hanya itu konversasi yang tercipta. Kami benar-benar hanya diam, saling tatap menghabiskan pertemuan. Pun perpisahan berlangsung tanpa kata atau suara. Aku hanya memeluknya erat dan berlalu. Sejak hari itu, aku tak tahu dimana Senpai berada. Semoga baik-baik saja.
Bukan untuk mengajarkan siapa saja mempertanyakan atau mencela Tuhan. Ini ditulis sebagai kenangan bahwa aku dan Senpai adalah manusia yang masih dan akan terus belajar, berproses mengenali Tuhan dan takdir-Nya saat mengarungi kehidupan.
Iman berfluktuasi, tidak selalu stabil sepanjang waktu. Tetaplah terbuka untuk menerima.
2 notes
·
View notes
Text
Takdir adalah rangkaian (2)
2019 adalah tahun pertamaku memulai karir sebagai guru SD. Bukan hanya 1 atau 2 orang yang mengernyitkan dahi mengetahui seorang lulusan S2 Inggris "hanya" menjadi guru SD. Mungkin diharapkannya aku bisa kerja di kementrian atau bikin start up pendidikan yang mampu memecahkan masalah bangsa, atau paling tidak... yaa jadi dosen lahh, wong udah S2.
Bukan aku tidak mencoba. Kuhabiskan 6 bulan menjadi asisten seorang dosen di sebuah univ negeri di Bandung. Berakhir menjemukan. Karena aku merasa tidak berkembang dengan budaya kerja feodal, sikap-sikap yang jauh dari integritas, dan to be honest, sama sekali tidak financially rewarding.
Fast forward hingga aku bekerja di Sequoia. Saat itu, belum banyak yang mengenalnya. Apalagi dibanding Cikal, Daarul Hikam, Salman Allfarisi, Al Azhar atau Mutiara Bunda yang sudah sejak dulu ada. Kalau dihitung-hitung, sudah puluhan instansi yang kucoba mendaftar, dari sekolah islam hingga yang terkenal se-nasional itu. Ada yang serta merta menolak, ada pula yang janji tak kunjung pasti. Dalam hati aku berkata, ya udah, rugi di kalian nggak mau rekrut aku.
Di Sequoia, aku berusaha totalitas. Bahkan sampai kuliah lagi untuk ambil S.Pd. Butuh 4 tahun hingga aku benar-benar membuktikan pada diriku bahwa langkahku tak salah. Para orang tua murid selalu bersikap baik padaku. Murid-murid menyayangiku. Para kolega adalah anak-anak muda yang friendly, bahkan mostly lebih mudah dariku. Kepala Sekolah sangat mendengarkan masukanku dan Yayasan pun memberiku banyak jalan dan kemudahan. In return, aku berusaha memberikan apa yang sekolah ini belum punya: desain pendidikan karakter.
Aku tak pernah menyangka bahwa menjadi guru SD amatlah menyenangkan. Ini yang selama ini aku cari: sebuah tempat kerja yang membuatku bisa berkembang dan mengerjakan yang aku suka. Salah satunya: mengizinkanku bekerja di UK. Mereka tak melarangku jika aku bekerja menjadi guru di sekolah di UK, bahkan meski aku masih berstatus pegawai sekolah dan mendapatkan hakku sebagai pegawai.
Semua terasa mudah ketika aku mendaftar sebagai guru dan para employer menghubungi. Mereka tertarik dengan CV dan pengalamanku. Di titik takdir ini aku bersyukur. Sebuah perjalanan panjang yang tak mudah. Seolah hanya untuk ditulis di sebuah lembaran CV. Namun menjalaninya, hari demi hari, tentu butuh sikap yang tepat. Aku bersyukur Allah selalu memberiku petunjuk.
Sudah hampir sepekan ini aku bekerja di sini: sebagai guru SD di UK. Sistem kerjaku membuatku bisa bekerja lebih di satu sekolah. Sejauh ini aku sudah merasakan bekerja di 3 sekolah. Sebuah pengalaman luar biasa yang amat rewarding untuk perjalanan karirku dan sepulangku nanti kembali ke Indonesia.
Terima kasih, Allah.
Untukmu Nad, percayalah pada takdir.
11 notes
·
View notes
Text
Tentang "Saya"
Aku lagi baca The Architecture of Love (sebelum nonton filmnya nanti) dan sampai di bagian Raia yang heran sama River, karena menyapa dirinya dengan sebutan 'saya'.
Aku senyum-senyum sendiri baca bagian ini, karena di sini River adalah aku.
Beberapa orang yang baru kenal aku mungkin heran, kenapa saat mengobrol, aku menyebut diriku dengan 'saya'. Terdengar formal banget, kan ya? Nggak pake 'aku' dan pasti nggak pakai 'gue' karena tidak pernah bersinggungan dengan kata itu kecuali saat kuliah. Jadi asing rasanya.
Ada dua kisah cinta yang menurutku unik, karena sapaan antar pasangannya itu 'saya-kamu' bukan 'aku-kamu'. Adalah kisah Rangga dan Cinta, juga Kugy dan Keenan. Waktu selesai menonton dan baca kisah mereka, aku bertanya-tanya, apa orang-orang dulu lebih familiar dengan sapaan 'saya-kamu' ya saat menjalin hubungan spesial dengan seseorang? Dibandingkan dengan 'aku-kamu' seperti yang orang-orang Jakarta sekarang bilang. Kebetulan, dua kisah itu latarnya ada di Jakarta dan sekitar tahun 2000-an kalau tidak salah ingat.
Okay, back to my story
Kerap aku mendapat pertanyaan dari orang-orang, kenapa kamu pakai kata 'saya', sih?. Terutama kalau ada di lingkungan baru. Dipikir-pikir emang formal banget, tapi karena itu sudah kebiasaan sejak lama, dan aku suka.
Waktu aku masuk Mu'allimaat tahun 2011, kakak-kakak senior mendidik adik-adiknya untuk terbiasa pakai bahasa inggris atau arab saat mengobrol. Hal yang sangat sulit untuk dipertahankan--tentu saja. Alhasil, setidaknya sapaan 'aku-kamu' harus pakai bahasa. Dan karena kalau pakai 'I-you' di bahasa inggris tuh aneh kalau dicampur bahasa Indonesia. Misal, 'I besok mau pergi ke malioboro. You mau ikut?' kan aneh ya. Beda kalau pakai bahasa arab, agak mending lah (at least menurut kami). Misal, 'Ana besok mau pergi ke Malioboro. Anti mau ikut?'
Jadi kami harus pakai sapaan 'ana-anti' untuk mengganti 'aku-kamu'.
Semakin naik tingkat, sapaan itu luntur dan berganti dengan 'aku-kamu' untuk sapaan ke teman seangkatan/sebaya. Tidak berlaku untuk sapaan ke kakak senior. Karena penggunaan kata 'aku-kamu' ke senior tuh haram. Termasuk juga ke guru-guru kami, kalau menyapa diri pakai kata 'aku' tuh dianggap nggak sopan banget. Jadi kalau mau menyapa ke kakak kelas, pakainya 'saya-mba'.
Kecuali ke adik kelas, no worries 'aku-kamu'. Haha emang senioritas. Tapi kadang ada senior yang menyapa dirinya bukan dengan 'aku' tapi dengan 'mba'.
Makanya sampai sekarang aku nggak pernah menyebut 'kamu' kalau lagi ngobrol ke orang yang lebih senior dari aku. Saat baru kenal dan setelah aku tahu kalau ternyata dia lebih tua dari aku, kayak otomatis aku akan menyebut diriku dengan 'saya', dan menyebut dirinya dengan 'mba/mas/kakak' as long as bukan 'kamu'.
Hampir setiap sesama alumni Muallimaat masih 'melestarikan' budaya tersebut. Dan aku suka.
Kalau sekarang aku pakai sapaan 'saya' karena memang sudah terbiasa, suatu hari aku juga ingin menjadi seperti Kugy dan Keenan, atau Rangga dan Cinta. Yang saling menyapa dengan 'saya-kamu' karena menurutku itu terdengar tulus dan mendamaikan.
2 notes
·
View notes
Text
AKU MARAH! -Tulisan panjang sekali-
Dengan kondisi umik yang begini, akhirnya aku faham, sepertinya tinggal jauh emang keputusan terbaik. Bukan apaa, tapi untuk menyelamatkan hati keduanya. Hatiku dan umik.
Ku ingat sekali, aku sangat merasa pertengkaran antara kami tuh mulai sejak SMP, itu yg aku ingat. As simple as umik ngeliat aku baca buku terus yang bukan pelajaran, atau pegang hp terus.
Aku lupa tepatnya gimana, suatu hari umik dan aku berantem di Subuh yang gelap. Lalu mbah keluar beli sabun. Mungkin mbah pusing dengan keadaan, sampe beliau jatuh dan tangan kanannya patah.
Pertengkaran semakin sering ada semenjak hari hari itu. Entah aku yang keras kepala sebagai anak sehingga selalu membantah atau memang umik yang sedang melampiaskan emotional baggagenya ke aku. Yang aku tau, hidupku selalu salah saat aku SMP-SMA.
Kejadian makin parah saat aku lulus SMA. Mungkin karena aku belum bekerja sedangkan perekonomian keluarga kacau. Syukurnya saat itu aku lolos Beasiswa BidikMisi, jadi umik gaperlu ngebiayain aku. Iya, sejak semester 1, aku sudah tidak pernah meminta uang saku pada umik. Semua aku tanggung sendiri. Bensin, jajan, dan apapun yang aku mau. Aku juga bekerja, walau gajinya cuma 25.000/meeting hahaha
Syukurnya, aku masih makan dan tinggal di rumah umik. Tapi saat kuliah, hidupku juga tidak sama baiknya. Itu pertamakalinya aku tau Umik selingkuh dengan suami orang. Pak Tek namanya. Pak Tek ini, sering sekali memberhentikan aku di jalan, tiba tiba berteriak memaki atau sesederhana tiba tiba muncul di depan sekolah adekku. Aku sungguh takut tiba tiba adekku diculik lalu Pak Tek minta tebusan hahaha
Yang paling aku ingat, pernah dulu saat sedang makan, umikku menyindiri: "Kamu mbak Eeng (sepupuku) dapet bidik misi duitnya bisa buat bayar motor, sedangkan kamu selalu habis tiap bulan." Lalu saat itu, kubanting piring yang sedang kupegang, dan pecah. Tiba-tiba, beberapa saat kemudian pak tek muncul depan rumah. Memarahiku. Seorang selingkuhan memarahi anak selingkuhannya. Aku boleh bilang "anjing" sekarang tidak?
Lalu tau tidak kondisinya sepupuku itu? Memang tiap bulannya uang bidikmisinya dibuat untuk bayar cicilan motor, tapi uang DP awal dan kehidupan sehari hari Mbak sepupuku itu termasuk bensinnya ditanggung oleh orang tuanya. Kalau aku harus bayar motor, dari mana kehidupan sehari hariku sedang aku sudah tidak meminta uang ke umikku kecuali numpang makan dan tidur di rumah beliau. Tapi, itu kewajiban orang tua pada anaknya bukan?
Ada lagi momen menyakitkan lainnya. Waktu itu, entah sudah lupa bagaimana awalnya, aku tiba tiba dalam kondisi ketakutan yang parah dan aku menjemput adikku dari sekolah dengan gemeteran dan sembunyi di sebuah rumah kosong dalam kondisi hujan deras. Aku dan anak kelas 2 SD ketakutan di rumah kosong, seorang diri tanpa seorang dewasa yang memberi keamanan. Kenapa? Karena seingatku saat itu umikku dan selingkuhannya itu sedang bertengkar hebat.
Lalu, masih banyak kejadian serupa. Hidupku dipenuhi ketakutan saat itu.
Pertengkaran kami mulai berkurang, lebih tepatnya umik mulai tidak berani "membantah"ku saat aku sudah kuliah. Saat umik tau umik salah. Tapi sama aja, beliau adalah tipikal yang mementingkan kebahagiaan sendiri dan tidak memikirkan orang lain.
Saat aku lulus kuliah, aku bekerja aku tidak hanya menanggung kehidupanku tapi aku sudah bisa membantu kehidupan orang rumah. Di titik itu aku faham kenapa dulu umik sering marah marah, ya karena masalah ekonomi. Tidak pernah ada sedikitpun keinginan umik yang tidak aku wujudkan saat itu. Saat lolos beasiswa luar negeri pun dan sekolah Nottingham, kehidupan kami semakin baik baik saja.
Tapi, aku sering mendengar umik telpon dengan lelaki lain padahal saat itu dia masih dengan suami ke duanya, which is bapaknya adekku. sampai sini pusing ga? hahaha
Long story short, umikku pisah sama Bapak dek Nafis. Entah pertengakaran apa yang terjadi, tapi aku hampir gila dibuatnya. Kejadiannya saat di Inggris. mungkin, aku masih menyimpan catatannya di Tumblr.
Singkat cerita, aku semakin tidak peduli dengan umik walapun aku "jijik". Aku jijik dengan umik yang menjadi leter dan alay dan seperti cabe cabean di tiktok. Aku jijik dengan umik yang ngomong mendayu dayu. Aku jijik dengan umik yang mengarang banyak cerita bilang aku lahir 97 padahal 95, bilang baru nikah sekali, bilang masih umur x, dan segala banyak kebohongan lainnya ke laki laki. Hp umikku, adalah sarang buaya. Sedangkan aku? satu saja tidak
Aku jijik! JIJIK! Aku tidak pernah tega mengatakan ini. Tapi aku harus. Aku tidak ingin menyimpan emotional baggage lagi.
Sampai suatu hari, kekocakan datang. Bulan Mei tahun lalu, umik bertemu dengan lelaki yang berumur 7 tahun diatasku. Lalu, mereka menikah di bulan Februari tahun ini tanpa mengabariku. Aku marah. Aku marahhh. Tidak ada satu orangpun yang memberitahuku. Katanya, kalau bilang aku, aku akan marah.
AKU MARAH! Yanga da dalam pikiranku adalah apa yang diharapkan lelaki muda itu dari umikku yang sudah tua itu? APA? AKU MARAH. Tapi saat itu aku di bandung, maka marahku tertahan.
Lambat laun, aku menerimanya. Asal umik bahagia kataku.
Tapi, umik semakin menjadi jadi. Umik bertengkar dengan budhe dan pakdheku. Umik berencana menikah (kali ini menikah sah) dengan pakai koade dan menikah pada umumnya. Tapi ditentang oleh budheku karena sudah tua katanya dan kan ya kasian anaknya belum nikah. Tapi umikku marah. Membanting hp yg aku belikan sampai hancur.
sudah. Aku sudah tidak mau peduli lagi. AKu tidak mau membelikan beliau hp lagi
OIYAAA SUAMINYA INI TIDAK BEKERJA YAAAAAA!!!!! JADI MENURUT KALIAN AKU HARUS MEMBIAYAI KEHIDUPAN PERNIKAHAN MEREKA? YA ENGGAK KAN YA. LUCU. DAN KOCAK.
Oh iya, katanya umikku sebenernya takut kehilangan uangku. Sempat bilang begini ke mbak sepupuku "jangan bilang adeknya kalau tante nikah lagi ya soalnya dek wirdanya gamau ngasih uang lagi katanya"
YA GAES TOLONG ANEH AJAAAAAAAAAA HAHAHAHAHA tapi tenang, aku tetep ngasih duit. Yang menurutku nominalnya sangat banyak kalau dibanding di tweet" twitter yang ngasih duit ortunya itu.
Singkat cerita, kepalaku sudah penuh. Tetangga pada bilang "lah saya kira anaknya yang nikah" "Lah, itumah lebih cocok nikah sama anaknya" "itu ga akan bertahan lama deh kayaknya" dsb.
ya namanya ibu ya, aku sakit hati tentu saja. TAPI AKU MARAH..
Umikku manipulatif sekali. menyuruh suaminya pergi dari rumah. Atau manipulatif lah aku udah capek cerita.
lalu semalem umik jatuh, tangannya terkilir. umik nih kadang lumayan drama queen. Sering banget bilang kenapa gak mati aja aku sih. LAH MASALAH ANDA BUAT SENDIRI YA KENAPA ANDA YANG VDWAHJAKUJHKUYAGWN:PAUOFETWVHIJKO:LUDFXGHJO:OFAEHJKL:":KJH
AKU MARAH.
Maka, tadi malam, kuceramahi umik. Umik marah. Aku marah. Iya, aku salah. AKu salah kenapa gabisa mengontrol rasa marahku. Aku salah kenapa justru menasihati umik saat umik baru saja jatuh
Rasa sayangku sering berubah jadi rasa marah seringnya.
Lalu yaudah deh pagi ini kami ga ngobrol tapi semalem umik udah aku belikan obat kok
AKU MARAH. AKU MARAH SAMA ALLAH AKU MARAH SAMA UMIK AKU MARAH SAMA BAPAK KANDUNGKU AKU MARAH SAMA SEMUA ORANG.
AKU MARAH.
6 Juni 2023
16 notes
·
View notes
Text
The Last Beatles Song: Now and Then :')
THE BEATLES BRODIIII!! Semenjak punya twitter aku udah follow official akun The Beatles karena ya ngefans lahhhh. Biasanya postingannya ya apalagi kalo bukan something nostalgic. And then suddenlyyyyy... Lauching lagu terakhir yg belom sempet "jadi", karena John keburu meninggal disusul George. Iya begitu klaimnya, mreka jg launching kemarin short movienya di Youtube sekitar 12 menit abistu baru semalam launching lagunya.. Update sekali infonya ih akutu yaiya kan follow akun beatles wkwk. Lsg dengerin bareng suami ditengah2 lg Netflix-an. Lagunya ttp easy listening khas beatles, cuma kaya bukan old beatles gt lebih modern. Merinding yaa suara John msh adaaa huhu, berkat teknologi jaman skrg jadi bisa gitu yaa. Tapi aku suka, pagi ini udah on repeat 10x huhu knp mengharukan dengerinnya yaaahh, sad and heartwarming at the same time..
Short filmnya yg cuma 12 menit. Waktu mreka ngerjain bertiga tanpa John (saat itu John belom mau gabung, lalu keburu meninggal.
Tolong ini euphorianya dimana mana haaaa
Sepenggal liriknya :'). Siapa yg gatau meme iconic
Chandler. Skrg jd sedih lg :(
Apakah aku seorang Beatlemania? Duh gatau jg, aku hanya menyukai tp ngga sampe menggilai.
Band legend kaya beatles mah pasti bapak2 kita jg tau, tp bapakku ngga sebegitunya sama beatles. Dulu tuh yg selalu masuk playlist bapak lagu "i'll follow the sun". Ya akupun jd hafal, setelah remaja ke dewasa baru deh tuh ngikutin beatles, lagu yg tenarnya mah udah tau lah dr kecil, smp, sma. Kaya "let it be", "yesterday", "i want to hold your hand", "obladi oblada", "twist and shout". Mulai dewasa, pas kuliah mulai explore aja tuh sama lagunya nya. Bukan hanya lagu2 ciptaan John & Paul (karena mreka berdua paling bnyk nyetak hits di lagu2 beatles). Dengerin jg lagu2nya George kaya "Something" (my favv), "while my guitar gently weeps". Ringgo juga! Paling suka "with little help from my friend", "yellow submarine" dan mreka berdua dikasih kesempatan jg jd lead vocalnya. Pokonya dari tiap album beatles dr thn 60an udah tau lah 4-5 lagu mah, banyak bgt lagunya dan enak2. Aku paling suka "strawberry fields forever", "in my life" dan masih banyak ituuuu pokonya.
Bahkan selain lagunya aku ikuti film2 yg berbau beatles atau cuma soundtracknya gt. Kaya, "i am sam", "nowhere boy", "across the universe", terakhir nonton "yesterday" ini ada di Netflix. Documentarynya jg, terakhir itu Get Back yg tayang di Disney+.
Dulu waktu masih seneng bola dan cheering for Liverpool FC gegara Xabi Alonso klubnya disana, iya ngefans bgt sm Xabi circa 2006 keatas deh hahaha bodor lah. Bermimpi kalo ke Inggris kudu bgt ke Liverpool, mau ke Anfield dan Museum The Beatles wkwkwk. Such a perfect combo, right!
Nah si sobi gigs ku mah beatlemania beneran dia krn bapaknya jg sama, dari mulai koleksian kaset, cd, piringan hitam dahlah the real beatlemania. Suatu wkt bapaknya dinas ke Inggris, sobiku si rajin lebih memilih kuliah drpd ikut bapaknya kan mayan atuh katanya bakalan ke museum the beatles, hih plis deh ngapa sih u!!. Balik2 bapake bawain oleh2 tas beatles dr enggres. "dah ini aja cukup buat gua mah".. Wkwkwk duh bestie! Oiya waktu resepsi kawinannya ada after party "beatles night". Sumpah seru pisan haha. Abis resepsi ngga ada capek2nya kita smua berjogedh dan bernyanyik.. Tepar tepar u ahhh..
Nah jd akupun tak cukup beatlemania utk ngefans. Cuma menyenangi karya2nya sajalah yaaa. Dan kalo ada band kaya G-pluck (band specialis lagu2 beatles) manggung, mau dengan senang hati nontoninnya. Sempet nonton G-pluck di JRL dulu, salah 1 membernya itu, member band Sore.. Lupa aku namanya siapa hihi. Bahkan mreka dress up like beatles sampe pake wig jg hahaha ngakak tp kami enjoy nonton live nya..
4 notes
·
View notes
Text
Aku dan Buku
Buku,
Satu hal memang tidak bisa jauh dari dekapan seorang Nadya Gifary, seorang perempuan pendiam nan seru apabila berdiskusi mengenai banyak hal (kata orang)
Bahkan, agaknya gelar "perpus berjalan" menjadi sebutan yang lekat sejak sekolah dasar, karena saking suka nya dengan buku sejak kecil
Mulai dari komik (Kuark, Why, dkk) sampai dengan ensiklopedia (pengetahuan umum, astronomi, tubuh manusia) bahkan dulu juga sering membaca kamus bahasa indonesia dan bahasa inggris. Agak lain ini memang
Buku yang masih rapi dan bersih bisa berubah menjadi buku yang astaghfirullah lecek, ketekuk, basah, nan kotor. Sampai suatu ketika mama membandingkan buku ku dan buku kakak, mama menemukan sesuatu yang ada pada diriku. Sama sama dibelikan komik kuark, tapi komik kuark yang satu masih bersih, rapi, bersegel, harum tapi yang satu sebaliknya. Maka, mama semakin suka membuatku nyaman membaca karena mengetahui bahwa anaknya satu ini memiliki minat yang tinggi pada buku.
Dengan cara, setiap akhir bulan atau setiap dibukanya pameran buku, kami pasti diajak untuk datang. Salah satunya, yang paling melekat adalah di Pameran ASSALAM (Pondok Pesantren Assalam) Solo (Dekat UMS).
Begitu sampai, semua anak mama ayah ngacir sendiri sendiri sesuai dengan minat yang disukai.
Satu hal lagi yang mama lihat dari seorang Nadya kecil, alih - alih memilih buku fiksi animasi yang lucu nan mahal seperti kakak kakaknya, Nadya justru memilih buku ensiklopedia pengetahuan umum yang murah, bahkan bekas yang harganya hanya 5 ribu. Tapi sangat bermanfaat untuk kedepannya (Jujur sampai sekarang, aku juga ndak tau mengapa bisa begitu, padahal kalau dipikir, buku yang dibeli kakak kakak sangat lucu).
Walhasil dengan itu, mama berinisiatif untuk membuatku lebih suka membaca lagi dengan membeli langganan komik kuark (komik olimpiade IPA ) agar nantinya aku senang dan gemar membaca sampai dengan dewasa. Setiap bulan, pasti ada buku yang diantar ke rumah dengan harga kurang lebih 13 ribu per buku , harga ini harga tahun 2008, tapi sekarang harganya sudah diatas 50 ribu :")
Dampak apa yang kiranya terjadi?
Yap, belum ada beberapa bulan, Nadya sudah banya didapuk untukmenjadi perwakilan OSN, lomba cerdas cermat dan lain sebagainya. Selain buku olimpiade, Nadya juga suka untuk meminjam buku di perpustakaan. Mulai dari ensiklopedia astronomi, buku pengetahuan alam dan lain lain.
Bahkan karena saking sukanya dengan buku, ayah sampai berpesan dengan wali kelas ku, ayah titip apabila walikelas ku (Ms. Ani) menemukan buku - buku bagus yang menunjang Nadya belajar, tolong rekomendasikan untuk Nadya.
Bukan hanya itu, dikala istirahat, ketika teman teman asyik ramai, tidur, makan dll, Nadya masih tetap asyik dengan bukunya, namun kala itu alur membaca Nadya sudah agak berubah, yang tadinya menyukai ilmu pengetahuan alam, bertambah menjadi ilmu pengetahuan sosial, politik, dan geografi.
Satu hal yang aku ingat, dan terjadi sampai dengan saat ini. Nadya ndak bisa bubuk kalau ndak ada buku di sampingnya. Aneh, tapi nyata. Ntah buku apapun, aku harus menyiapkan sebelum tidur, dan membaca minimal 1 halaman agar bisa terpejam. Kebiasaan itu pun terjadi sampai dengan sekarang :")) Ntah, apapun bukunya, pasti letaknya persis di samping bantal tempat aku tidur.
Bahkan sampai dengan perkemahan, ketika anak anak lain bingung membawa berapa baju dan berapa makanan, Nadya tetap membawa buku untuk dibaca. Padahal kalau dipikir, tenda kemah itu gelap, mana mungkin bisa membaca. Tapi, nyatanya kehadiran buku membuatku tenang dan damai.
Sama halnya dengan perjalanan, setiap mudik, study tour, bahkan hanya sekedar berangkat ke sekolah (menggunakan mobil antar jemput), buku selalu ada di genggaman Nadya.
Sampai dengan perantauan pun, Nadya membawa dua box besar isi buku hanya sekedar menemani Nadya kuliah di tempat baru.
Taklupa juga, mendatangi Gramedia/Togamas/Senyum/Tiga Serangkai hanya sekedar membaca dan melihat lihat buku, walaupun ndak beli wkwkwk
Kenangan kenangan itu lekat sampai dengan sekarang. Walaupun memang alur dan jenis bacaannya berubah setiap taraf pendidikan ( SD, SMP, SMA, Kuliah). Namun, tetap satu, Nadya tetap menyukai membaca.
Bagiku, buku adalah sahabatku, yang tidak lelah menggurui, tidak lelah berbagi ilmu, dan tidak lelah menemani di saat dan kondisi apapun. Ia adalah sahabat yang yang tidak pernah marah ketika aku muram, dan sahabat yang selalu menenangkan setiap kesendirian dan tangis ku.
Mama Ayah,
Terima kasih sudah mengenalkan Nadya dengan suatu benda bernama buku.
Yang bersama nya, Nadya menemukan kehangatan ilmu.
Mama Ayah,
Terima kasih sudah mengenalkan Nadya dengan suatu aktivitas bernama membaca,
Yang bersamanya, Nadya menemukan kemewahan ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan Nadya,
Mama Ayah,
Terima kasih sudah mengenalkan Nadya dengan keindahan membaca
Yang bersama nya, Nadya bisa merawat taman taman ilmu dan berkumpul serta dipertemukan dengan ilmu pengetahuan.
Segala bentuk kemenangan, prestasi, ilmu yang Nadya miliki, dan tahap pendidikan yang Nadya lalui, adalah bagian dari persembahan untuk Ayah dan Mama yang luar biasa hebat mendidik Nadya.
Semoga dapat menjadi amal kebaikan dan amal jariyah untuk ayah dan mama nantinya, tentang cara parenting yang pasti nya akan Nadya turunkan untuk anak - anak Nadya nanti. Tentunya bersama dengan suami, insyaAllah akan nadya teruskan pesan indah itu.
Koran Solopos, Edisi 3 April 2019
Mohon maaf ini fotonya pakai foto waktu nge mc pas SMA, mungkin masih kurang dari standar syar'i karena tuntutan panggung, tapi insyaAllah menutup semua aurat secara kaffah hanya saja jilbabnya kurang panjang, ndak seperti biasanya astaghfirullah nad
Ndak papa bismillah semoga dimudahkan dan diistiqomahkan untuk berbenah tiap harinya
8 notes
·
View notes
Text
Frequently Asked Question: Gimana Awalnya Bisa Jadi Editor Buku?
Jadi gini gaes ... mari kita mundur ke belakang beberapa waktu. Suatu hari di masa SMA, aku tersadar di satu titik ... ngapain ya ada di sini? Untuk apa ya ada di bumi? Krisis identitas. Existential crisis (sampai sekarang sih). Mungkin tulisan ini banyak curhatnya juga, gapapa, ya. Ya gitu. I feel so lost. Gak ada gairah untuk hidup. Kayak ... yaudah gitu? Lalu apa?
Sampai suatu hari, aku pinjam buku novel ke teman sekelas, Bumi, Tere Liye (mungkin beberapa orang udah bosen aku cerita ini, tapi gapapa, ini penting karena kita harus tahu kenapa dan titik awal kita mau bergerak). Di satu titik itu, duniaku seketika berubah. Satu titik bagian dalam otakku seperti menyentuh tombol on.
Seakan-akan selama ini baru "bekerja" dan merasa hidup. Baru kali itu aku betul-betul terpesona oleh kata-kata. Keajaiban kata-kata ternyata bisa sebegitunya. Bisa menghadirkan atau menyajikan kehidupan lain yang seru, alternatif lain dari kehidupan biasa yang monoton.
Di satu titik itu juga, aku seperti terpanggil kembali. Jiwaku seperti pernah mengalami sesuatu, seperti aku menyadari ada kaitannya dengan kehidupan awal sebelum kehidupan ini. Seperti ... akhirnya aku merasakan klik bahwa, "Ya ... I live for this, aku hidup untuk ini, untuk mengisi bagian dunia aksara, aku sebagai manusia di bumi yang berkontribusi di bidang bahasa dan sastra."
Dari situ, aku membulatkan tekad, aku harus memperjuangkan ini, aku mau hidup dalam dunia yang terus berkaitan dengan kata-kata, karena aku butuh merasakan hidup sebelum akhirnya mati. Sungguh menyedihkan kalau mati duluan sebelum mati, bukan? Ya, naluri untuk hidup.
Aku tidak mau melepaskan ini meski orang tuaku belum bisa mengerti. Waktu itu, aku pun belum bisa menjelaskan kepada mereka betapa aku keras kepala dan yakin akan hal ini. Aku ingin seluruh waktu hidupku di bidang ini.
Singkat cerita, mereka terus meragukanku apakah bisa hidup lewat bidang yang bertolak belakang dengan latar belakang mereka. Namun, dengan begitu, jadi energiku juga untuk terus meyakinkan bahwa aku bisa. Sejak hari itu, aku terus-terusan berusaha, belajar dan berkarya. Sampai orang-orang dalam kehidupanku tahu, kalau personal branding-ku di bidang ini.
Akhirnya, ketika pintu rezeki pertama itu datang, asal datangnya dari kedua kenalanku: guru PPL bahasa Inggris dan teman komunitas kepenulisan online. Lewat Instagram, mereka mengirimkan poster informasi lowongan pekerjaan sebagai editor lepas di suatu penerbit indie.
Saat itu, aku sudah lulus SMA dan baru masuk kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia, UPI. Dengan berbekal ijazah SMA dan titel sebagai maba, kucoba saja lamaran itu. Ditolak. Oh, ya sudah. Namun, beberapa hari kemudian mereka menghubungiku lagi. "Apakah masih tertarik bergabung?" Ya, tentu. Dari sinilah pekerjaan pertamaku di dunia dimulai: sebagai editor buku.
Tips melamar pekerjaan: know who you are, know who they are, prove them how will the collaboration work.
Di lamaran pertamaku, sebelumnya aku memang sudah sering menunjukkan minat berkarya bersama mereka lewat portofolio. Juga, menjelaskan secara jelas dan to the point soal kelebihanku dan irisan potensial agar bisa bekerja sama, salah satunya latar belakang pendidikan. Namun, setahuku, kebanyakan itu yang terpenting adalah portofolio kita juga.
Buktikan kalau kita sungguh-sungguh ingin berkarya, bukan hanya ingin saja. Terus cari peluang dan berkorban meski kecil-kecilan, jeli lihat kesempatan dari lingkaran terdekat, beri dampak terlebih dahulu untuk sekitar. Tanya, bantu, coba. Bukan cari alasan semata.
Singkat cerita, selama 4 tahun bersamaan dengan kuliah, aku juga sambil belajar mengedit buku. Awalnya 0 pengalaman, tentu banyak kesalahan dan bimbingan dari pimpinan. Alhamdulillah lingkungannya baik dan mendukung untuk terus berkembang.
Sampai baru lulus kuliah, rasanya sudah cukup pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan di penerbit ini. Aku pun makin berkembang, banyak kejadian yang jadi titik balik dan membuatku berubah. Singkat cerita, kecocokan dan tujuan kami sudah tidak sejalan lagi.
Di titik ini, aku lebih tertarik dan concern ke kehidupan yang lebih islami. Aku tahu kita akan mati dan aku ingin waktu setiap detik yang kugunakan bisa lebih bermakna dan tak sia-sia. Ekstremnya, tiba-tiba kutinggalkan semua yang tidak "islami" (maklum, anak hijrah baru, ilmunya masih dikit banget, padahal sekarang aku bisa lebih mengerti untuk tetap berbaur dengan siapa saja, asal dengan batas-batas prinsip yang bisa ditoleransi).
Aku mulai dari 0 lagi. Tidak punya pekerjaan. Tidak punya lingkaran "teman-teman" berjuang. Di antara kebimbangan dan terombang-ambing, aku terus berdoa dan berusaha agar bisa ada di lingkaran dan pekerjaan yang lebih islami.
Hari-hari terus bergulir dengan kekosongan dan keresahan, sampai akhirnya hari itu datang juga. Ada story Instagram dari penerbit islami yang ku-follow. Intinya: lowongan untuk jadi tim redaksi. Langsung kucoba alur rekrutmennya. Singkat cerita, aku diterima. Alhamdulillah.
Meski ditolak untuk fulltime di area Jabodetabek, aku masih ditawari untuk freelance secara remote. Jadi editor buku lagi. Kali ini di Penerbit Rekombuk. Pimpinannya: Bang Juna. Ternyata project pertamaku adalah bantu edit tipis-tipis soal penulisan buku zikir, kliennya: Kak Dena Haura. Iya, influencer anak muda itu. Favoritku!!! Senang banget. Meski gak interaksi secara langsung, aku bisa menitip salam lewat Bang Juna. Setelahnya, ada beberapa buku lain yang kuedit juga.
Secara garis besar, kegiatan edit-mengedit ini berpatok pada: ilmu yang kudapat selagi di perkuliahan, bolak-balik sesering mungkin untuk cek pedoman kebahasaan KBBI (kbbi.kemdikbud.go.id) dan EYD (ejaan.kemdikbud.go.id). Itu saja. Ditambah, feeling. Hehe. Hal terpenting, pesannya sampai.
Setelah kurang lebih setahun, aku disodorkan project baru lagi oleh Bang Juna. Kali ini, buku dari penerbit baru salah satu ustaz nasional, Ust. Oemar Mita. Awalnya, aku sama sekali tidak tahu beliau siapa (mohon maaf, Ustaz). Karena aku si anak baru hijrah ini hanya tahu: Ust. Hanan Attaki dan Ust. Felix Siauw. Padahal, beliau pun sudah banyak dikenal orang. Namun, di sini ada sisi plusnya juga, aku jadi bisa lebih meluruskan niat.
Kesempatan lainnya, aku juga mengincar bisa bekerja di Penerbit Linimasa. Karena kurasa dan sejauh yang kulihat, ada kesamaan visi dan value dengan mereka. Namun, saat itu belum tahu celah untuk memasukinya. Bahkan, aku sampai mimpi (literally) bisa mengunjungi kantornya.
Singkatnya, akhirnya hari itu tiba juga. Ada iklan Instagram yang lewat. Studio Nulis Buku dari Linimasa Studio. Ada audisinya juga biar bisa ikut kelasnya secara gratis. Aku langsung coba. Sambil berdoa, berusaha, dan menurunkan ekspektasi, setidaknya agar aku bisa "terlihat" dahulu oleh Teh Kartini F. Astuti dan teteh-teteh founder yang keren.
Alhamdulillah, ternyata aku dipilih juga. Aku bisa mengikuti kelasnya secara gratis selama kurang lebih 4 bulan. Kelas untuk jadi penulis. Ya karena memang awalnya, aku bermimpi jadi penulis buku yang buku terbitnya "masuk toko buku" biar merasa hidup wkwk. Namun, perjalanan hidup malah terus menuntunku dan menempatkanku sebagai editor buku. Allah yang memilihku.
Dari situ, aku jadi bisa kenal dan dikenali oleh mereka. Ternyata mereka bisa melihat potensi "mutiara" dalam diriku. Aku terus diajak berjalan untuk berjuang bersama mereka. Sebuah mimpi yang jadi nyata. Bahkan, aku belum mengirimkan lamaran sebagai editor. Namun, sudah ditawari begitu saja.
Ya begitulah. Perjalananku sampai detik ini yang masih jadi editor buku. Sekarang aku tengah memegang project-project dari Ust. Oemar Mita, Teh Kartini F. Astuti, Mbak Mawar Firdausi, dan Bang Amar Ar-Risalah. Meski masih ada plus minus, suka duka, dan perjuangannya ... semoga seumur hidup, aku masih bisa jadi editor buku islami. Untuk hidup dalam kata-kata.
Aku tahu suatu saat akan meninggalkan dunia ini, tetapi aku berharap dan senang juga kalau ada yang mau meneruskan perjuanganku ini. Rasanya, ke depannya akan ada peluang untuk mengisi posisi jadi editor buku islami lainnya, juga harus ada yang terus meneruskan risalah Nabi. Agar manusia ingat kembali: untuk apa mereka ada di dunia. Untuk Allah.
Karena setelah sepanjang hidup yang kujalani, manis pahit kehidupan ... kehidupanku jadi berantakan dan tidak jelas kalau bersandar pada diri sendiri. Namun, bersama-Nya, rasanya lebih ringan, tenang, dan bermakna.
Karena seseorang tidak dibebani melebihi kesanggupannya. Karena setiap kesulitan bersama kemudahan. Karena setelah selesai urusan yang satu, terus bekerja keraslah pada urusan lain, dan hanya pada-Nya tempat berharap.
Aku tahu napasku akan terhenti, maukah kamu melanjutkan napasku lewat kata-kata?
8 notes
·
View notes
Text
Salah satu hal yang saya syukuri di tahun 2023 kemarin adalah akhirnya mendapatkan kesempatan mengisi materi terkait dengan bidang keprofesian saya sendiri, yaitu dengan topik Manajemen Operasional dan Manajemen Rantai Pasok secara offline. Tujuh tahun terakhir pasca lulus S1 dulu rasanya mungkin belum pernah menerima invitasi secara profesional untuk mengisi materi semacam ini. Justru hampir semua permintaan terkait bahasa Inggris entah itu IELTS atau Business English, serta menyampaikan materi terkait tips dan motivasi meraih beasiswa.
Tapi ternyata tantangannya selalu ada. Sasaran peserta yang waktu itu diminta adalah para pekerja yang dominasinya adalah lulusan SMP-SMA/SMK yang akan menjadi operator untuk mengoperasikan RPB Garam di Pangkep, Sulawesi Selatan.
Tentu saja bahasa yang kompleks untuk level perkuliahan harus benar-benar disederhanakan, dikemas secara ringan serta menyenangkan agar peserta mampu memahami dengan baik. Sembari juga belajar dari pembicara lain yang pada waktu itu sudah tentu jam terbangnya jauh lebih tinggi dari saya.
Hal yang saya syukuri lainnya adalah akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menginjakkan kaki ke tanah sulawesi untuk kali pertama. Berkesempatan menyambung tali silaturrahmi dengan beberapa kawan saat kuliah dulu, serta mengunjungi tempat2 wisata yang "mainstream" di Makassar.
Begitulah barangkali tantangan dan lika-liku menjadi pembicara. Namun entah mengapa kekhawatiran itu selalu terhapus dengan senyum dan tawa dari para peserta. Sembari selalu meniatkan dalam diri semoga sedikit yang disampaikan ini bermanfaat dan menjadi wasilah keberkahan bagi mereka, serta menjadi amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir hingga kelak di hari akhir.
#30haribercerita #30hbc2407
instagram
2 notes
·
View notes