#konstruktivisme
Explore tagged Tumblr posts
alyahanifahsblog · 18 days ago
Text
Teori Belajar Kognitif, Metakognitif, dan Pendekatan Konstruktivisme
Tumblr media
Prinsip Dasar Psikologi Kognitif
· Santrock : kognitif adalah cara berpikir mengacu pada aktivitas mental tentang bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, disimpan dan diubah, serta diingat dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir.
· Chaplin : kognitif adalah salah satu bidang atau wilayah/wilayah psikologi manusia, yang meliputi perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, perhatian, pemrosesan informasi, pemecahan masalah, niat dan keyakinan.
Teori Belajar Cognitive
· Field Lewin : Tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan baik yang dari dalam diri individu (seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan) maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan.
· Piaget : kemampuan belajar individu dipengaruhi oleh tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur individu, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada.
Discovery Learning Bruner
· Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif (yang disesuiakan dengan kemampuan masing-masing) untuk akhirnya sampai kepada sesuatu kesimpulan.
· Menunjukkan simetri lipat bangun datar menggunakan karton. b. Menggambar benda dari simetri lipatnya. c. Menuliskan simbol-simbol yang berkaitan dengan simetri bangun datar.
Implikasi Teori Belajar Kognitif dalam Proses Pembelajaran dan Pengajaran
· Pembelajaran Berpusat pada Siswa (siswa berfikir secara aktif)
· Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis (mendorong siswa untuk bertanya, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Diskusi, debat, dan pemecahan masalah)
· Penggunaan Konstruksi Pengetahuan (mengembangkan pemahaman mereka sendiri melalui pengalaman langsung)
· Penggunaan Teknologi dan Media (penggunaan simulasi komputer, video pembelajaran, dan permainan)
A. Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Pendekatan Konstruktivisme adalah sebuah teori pembelajaran yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun oleh individu berdasarkan interaksi mereka dengan lingkungan dan pengalaman mereka sendiri.
a. Konstruktivisme Individual dan Prinsip dasar konstruktivisme: Sosial (Vygotsky)
Konstruktivisme Individual dan Konstruktivisme Sosial adalah dua varian utama dari teori konstruktivisme yang menyoroti bagaimana pengetahuan dibangun oleh individu dan melalui interaksi sosial.
· Konstruktivisme Individual : Pendekatan ini lebih berfokus pada proses mental individu dalam membangun pengetahuan.
· Konstruktivisme Sosial (Vygotsky): Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun terutama melalui interaksi sosial dan budaya.
Prinsip dasar konstruktivisme: Sosial (Vygotsky) 1. Belajar sebagai proses aktif 2. Pembelajaran bersifat subjektif 3. Kolaborasi dan interaksi sosial 4. Penerapan dalam situasi nyata
Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan), Inquiry-Based Learning Problem-Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah), Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif), Model pembelajaran konstruktivisme Contextual Learning (Pembelajaran Kontekstual), Project-Based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek), Cognitive Apprenticeship (Magang Kognitif), Reciprocal Teaching (Pengajaran Timbal Balik), Socratic Dialogue (Dialog Socratic).
1. Proses Mengkonstruksi Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Proses Mengkonstruksi Pengetahuan:
1. Eksplorasi dan Pengalaman Langsung
Individu berinteraksi dengan lingkungan fisik atau sosial. Pengalaman nyata ini menjadi dasar bagi proses pembelajaran. Melalui interaksi, individu mulai mengamati, mengidentifikasi pola, dan menemukan fenomena baru yang merangsang proses berpikir.
2. Integrasi dengan Pengetahuan yang Sudah Ada
Informasi baru yang diperoleh akan dibandingkan dan dikaitkan dengan skema atau pengetahuan sebelumnya yang telah ada di dalam pikiran individu. Proses ini disebut asimilasi, di mana informasi baru digabungkan dengan pemahaman yang sudah ada.
3. Pembentukan Skema Baru atau Modifikasi
4. Refleksi dan Penyempurnaan Pemahaman - Setelah asimilasi atau akomodasi, individu akan merefleksikan apa yang telah dipelajari, mempertimbangkan apakah pemahaman barunya konsisten dengan fakta atau pengalaman, dan apakah perlu revisi lebih lanjut.
5. Kolaborasi dan Diskusi - Proses pengetahuan juga diperkuat melalui interaksi sosial. Dalam diskusi atau kerja kelompok, individu dapat bertukar ide, menerima umpan balik, dan mempertimbangkan perspektif yang berbeda, yang memperdalam dan memperluas pemahaman mereka.
6. Aplikasi dan Pengujian Pengetahuan - Pengetahuan yang telah dibentuk kemudian diuji dalam situasi nyata. Pengujian ini memungkinkan individu untuk memvalidasi pemahaman mereka atau mengidentifikasi area yang memerlukan perbaikan lebih lanjut.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Konstruksi Pengetahuan
1. Pengalaman Pribadi
Setiap individu memiliki latar belakang pengalaman yang unik, yang membentuk cara mereka menginterpretasi informasi baru. Pengalaman masa lalu menjadi dasar dalam proses asimilasi atau akomodasi pengetahuan baru.
2. Interaksi Sosial
Interaksi dengan orang lain, seperti teman sekelas, guru, atau anggota keluarga, memainkan peran penting dalam pembentukan pengetahuan. Melalui diskusi dan kolaborasi, siswa dapat memperkaya pemahaman mereka dengan perspektif orang lain (seperti yang ditekankan dalam konstruktivisme sosial Vygotsky.
3. Bahasa
Bahasa berperan penting sebagai alat komunikasi dan berpikir. Melalui bahasa, individu dapat mengartikulasikan, mendiskusikan, dan merefleksikan ide-ide mereka. Bahasa juga membantu menginternalisasi pengetahuan baru.
4. Konteks Sosial dan Budaya
Lingkungan sosial dan budaya mempengaruhi cara individu membentuk dan memandang pengetahuan. Nilai, norma, dan tradisi dalam Masyarakat tempat individu tinggal juga dapat mempengaruhi proses belajar mereka.
b. Perkembangan Kognitif dan Metakognitif
Perkembangan kognitif adalah bagaimana individu mengembangkan kemampuan berpikir dan memahami, seperti yang dijelaskan oleh Piaget melalui empat tahapan: sensorimotor, pra operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Ini mencakup kemampuan berpikir logis, abstrak, dan pemecahan masalah.
Perkembangan metakognitif melibatkan kesadaran dan pengaturan terhadap proses berpikir sendiri. Ini terdiri dari dua aspek: 1. Kesadaran metakognitif (pengetahuan tentang strategi belajar) 2. Pengaturan metakognitif (memantau, mengontrol, dan mengevaluasi proses belajar). Metakognisi penting dalam pendidikan karena membantu siswa menjadi pembelajar mandiri, lebih efektif dalam memecahkan masalah, dan lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan mereka.
c. Hubungan Kognitif dengan Tingkah Laku dan Hasil Belajar
Aspek kognitif, tingkah laku, dan hasil belajar saling berhubungan erat dalam pembelajaran. Kognitif adalah proses berpikir, seperti memahami dan mengingat informasi, yang membantu siswa menyerap dan memproses pengetahuan. Tingkah laku adalah respons yang terlihat selama belajar, seperti aktif bertanya atau terlibat dalam diskusi, dan ini dipengaruhi oleh pengulangan, penghargaan, atau hukuman.
Hasil belajar adalah perubahan yang terjadi setelah pembelajaran, seperti peningkatan pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Ketiga aspek ini saling mempengaruhi. Pemahaman kognitif yang baik akan menciptakan tingkah laku belajar yang positif, seperti aktif bertanya dan terlibat dalam diskusi. Sebaliknya, tingkah laku yang terarah akan memperkuat proses kognitif sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang berhasil perlu memperhatikan keseimbangan antara pengembangan kognitif, perilaku yang baik, dan evaluasi hasil belajar yang tepat.
d. Karakteristik Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif mengacu pada perubahan kemampuan berpikir yang terjadi seiring bertambahnya usia, menurut teori Jean
Piaget. Proses ini terbagi menjadi empat tahap:
1. Sensorimotor (0-2 tahun): Anak memahami dunia melalui tindakan fisik dan pancaindra, seperti mengisap, meraba, dan melihat.
2. Praoperasional (2-7 tahun): Anak mulai berpikir simbolis, menggunakan kata-kata dan gambar. Namun, pada tahap ini, mereka
belum dapat berpikir logis dan cenderung egosentris, artinya mereka melihat dunia hanya dari sudut pandang mereka sendiri.
3. Operasional konkret (7-11 tahun): Anak mulai mampu berpikir logis tentang hal-hal konkret. Mereka dapat memahami konsep
seperti jumlah dan volume, tetapi masih kesulitan dengan konsep yang bersifat abstrak.
4. Operasional formal (11 tahun ke atas): Anak dapat berpikir secara abstrak dan memecahkan masalah hipotesis. Mereka mulai
mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan merencanakan solusi. Dua proses utama dalam perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika anak menggunakan
pengetahuan yang sudah ada untuk memahami informasi baru, sedangkan akomodasi terjadi ketika mereka perlu mengubah pengetahuan yang ada untuk menyesuaikan dengan informasi baru. Kedua proses ini berjalan bersamaan dan membantu anak memahami dunia.
Selain itu, faktor lingkungan juga sangat berperan dalam perkembangan kognitif. Lingkungan yang mendukung, seperti interaksi sosial dan kesempatan untuk mengeksplorasi, dapat merangsang kemampuan berpikir anak. Seiring bertambahnya usia, anak-anak mulai mengurangi egosentrisme dan mampu melihat perspektif orang lain, serta mengembangkan kemampuan berpikir logis dan abstrak secara bertahap.
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
Perkembangan kemampuan kognitif anak, mengacu kepada teori Piaget, dipengaruhi oleh 6 faktor. Keenam faktor tersebut yaitu:
1.Faktor Hereditas / Keturunan Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif secara hereditas atau keturunan ini dipengaruhi oleh gen dan struktur kromosom yang diwariskan kepada anak dari kedua orang tuanya. Menyesuaikan dengan apa yang disampaikan dalam teori nativisme, bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia masing-masing membawa potensi bawaan yang didapatkan secara genitas. Sehingga baik dan buruk seorang anak merupakan sifat diturunkan dari orang tuanya. Dengan kata lain, menurut teori ini, intelegensi seorang anak sudah ditentukan sejak lahir, bahkan bisa jadi sejak dalam kandungan ibunya.
2. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan sebagai salah satu bagian yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak berkaitan dengan teori empirisme yang dipopulerkan oleh John Locke. Teori ini mengatakan bahwa setiap anak yang terlahir ke dunia berada dalam keadaan yang suci bagaikan kertas putih. Yang dapat “mengisi” atau “mewarnai” kertas putih tersebut adalah lingkungannya. Sehingga taraf intelegensi anak, jika mengacu kepada teori ini, sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, sosial-budaya, pola asuh orang tua serta pengalaman yang ia peroleh dari sekitarnya.
3. Faktor Kematangan Dalam teori kognitif Piaget, faktor kematangan berkaitan erat dengan perkembangan fisik anak. Perkembangan fisik berkaitan dengan perkembangan organ organ yang digunakan sebagai alat untuk berfikir, seperti kematangan susunan syaraf pada otak. Kematangan secara fisik ini mempengaruhi secara keseluruhan garis besar perkembangan kognitif anak. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing- masing.
4. Faktor Pembentukan Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan yaitu pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
5. Faktor Minat dan Bakat Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat seseorang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Seseorang yang memiliki bakat tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya.
6. Faktor Kebebasan Kebebasan yaitu keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti bahwa manusia dapat memilih metode metode tertentu dalam memecahkan masalah.
f. Perbedaan Individual dalam perkembangan Kognitif
Perbedaan individual dalam perkembangan kognitif menunjukkan variasi kemampuan berpikir yang dimiliki setiap orang. Variasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti genetik, lingkungan, dan pengalaman belajar. Meskipun teori Piaget menetapkan tahapan umum dalam perkembangan kognitif, setiap individu dapat mencapai tahapan tersebut pada usia yang berbeda dan dengan kecepatan yang bervariasi. Faktor genetik memengaruhi perkembangan otak dan kemampuan dasar dalam memproses informasi, sementara lingkungan, seperti interaksi sosial, pendidikan, dan rangsangan intelektual, dapat mempercepat atau menghambat perkembangan tersebut.
Setiap individu juga memiliki cara belajar dan strategi berpikir yang berbeda. Beberapa orang mungkin lebih cepat memahami konsep abstrak, sementara yang lain lebih mahir dalam memecahkan masalah konkret. Selain itu, faktor motivasi, minat, dan latar belakang sosial budaya juga berperan penting dalam perkembangan kognitif. Misalnya, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan banyak rangsangan intelektual, seperti interaksi dengan orang dewasa atau akses ke bahan bacaan, cenderung berkembang lebih cepat.
g. Membantu Perkembangan Kognitif Anak dan Implikasinya bagi Pendidikan
Perkembangan kognitif mengacu pada peningkatan kemampuan berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan, serta aspek kecerdasan dan bakat anak. Kemajuan cara berpikir anak dapat diukur melalui kemampuan mereka dalam mengaitkan berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah. Proses ini sangat dipengaruhi oleh kematangan fisiologis, di mana anak dapat melakukan koordinasi gerakan dengan sadar setelah perkembangan saraf dan otot yang optimal. Oleh karena itu, setiap kemampuan yang diperoleh anak harus diimbangi dengan kematangan fisik agar perkembangan kognitif mereka lebih baik dan koheren. Stimulasi perkembangan kognitif perlu disesuaikan dengan kesiapan anak dalam menerima pembelajaran.
Menurut Piaget, anak belajar secara alami, sehingga pembelajaran harus mengikuti tahap perkembangan mereka. Memaksa anak untuk mempelajari hal-hal di luar kapasitasnya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Meskipun Piaget bukan seorang pendidik, teorinya memberikan landasan penting dalam pendidikan, seperti pendekatan konstruktivis, di mana anak lebih baik belajar ketika mereka aktif mencari solusi sendiri. Oleh karena itu, anak sebaiknya didorong untuk menemukan, memikirkan, dan mendiskusikan materi, bukan sekadar menyalin dari guru.
Guru juga berperan penting dalam memfasilitasi pembelajaran melalui praktik langsung (learning by doing), yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Dengan mendengarkan, mengamati, dan mengajukan pertanyaan, guru dapat merangsang anak untuk berpikir lebih dalam dan menjelaskan jawaban mereka. Selain itu, penting bagi guru untuk memahami pengetahuan dan tingkat pemikiran anak, serta menyesuaikan tanggapan mereka agar sesuai dengan perkembangan anak. Penilaian terhadap perkembangan anak sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan, melalui pengamatan terhadap pemikiran dan nalar mereka, bukan hanya melalui tes standar.
2. Metakognitif
Metakognisi adalah kesadaran seseorang tentang cara ia belajar, termasuk kemampuannya menilai kesulitan, memahami tingkat pemahaman, dan mengevaluasi kemajuan belajarnya. Metakognisi terdiri dari tiga jenis pengetahuan menurut Flavell (1979) dan Pintrich (2002): pengetahuan tentang strategi, tugas kognitif, dan pengetahuan diri. Pengembangan kemampuan metakognitif penting agar siswa dapat meningkatkan efektivitas belajarnya dengan menyadari kekuatan dan kelemahan, serta menyesuaikan strategi belajar sesuai kebutuhan. Guru berperan memberikan kesempatan refleksi agar siswa lebih menyadari proses belajarnya.
a. Penerapan Metakognitif dan Belajar
Penerapan metakognitif dalam pembelajaran membantu siswa mengontrol dan memahami proses berpikir mereka, sehingga mereka dapat belajar lebih mandiri dan efektif. Proses ini melibatkan tiga langkah utama: perencanaan tujuan belajar, pemantauan efektivitas strategi belajar, dan evaluasi hasil belajar. Dengan penerapan metakognitif, siswa dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, motivasi, kemandirian, dan tanggung jawab dalam belajar. Selain itu, metakognitif juga sangat relevan dalam pembelajaran berbasis masalah, membantu siswa merumuskan, merencanakan, dan menilai solusi untuk masalah yang dihadapi.
0 notes
guide-saveurs · 2 years ago
Text
Top News Aliran Konstruktivisme
Tumblr media
Aliran Konstruktivisme adalah artikel yang trending di Hingga kini topik tersebut saat ini ramai dicari dalam 1 jam. Untuk itu kami akan membahas Aliran Konstruktivisme yang bisa kamu baca nantinya. Penasaran dengan Aliran Konstruktivisme? Jika benar yuk simak artikel tersebut di samping https://beritapolisi.id/aliran-konstruktivisme/
0 notes
ghostlysongbeard · 2 years ago
Text
Top News Aliran Konstruktivisme
Tumblr media
Aliran Konstruktivisme adalah artikel yang trending di Hingga kini topik tersebut saat ini ramai dicari dalam 1 jam. Untuk itu kami akan membahas Aliran Konstruktivisme yang bisa kamu baca nantinya. Penasaran dengan Aliran Konstruktivisme? Jika benar yuk simak artikel tersebut di samping https://beritapolisi.id/aliran-konstruktivisme/
0 notes
forresthom · 2 years ago
Text
Top News Aliran Konstruktivisme
Tumblr media
Aliran Konstruktivisme adalah artikel yang trending di Hingga kini topik tersebut saat ini ramai dicari dalam 1 jam. Untuk itu kami akan membahas Aliran Konstruktivisme yang bisa kamu baca nantinya. Penasaran dengan Aliran Konstruktivisme? Jika benar yuk simak artikel tersebut di samping https://beritapolisi.id/aliran-konstruktivisme/
0 notes
foodmucem · 2 years ago
Text
Top News Aliran Konstruktivisme
Tumblr media
Aliran Konstruktivisme adalah artikel yang trending di Hingga kini topik tersebut saat ini ramai dicari dalam 1 jam. Untuk itu kami akan membahas Aliran Konstruktivisme yang bisa kamu baca nantinya. Penasaran dengan Aliran Konstruktivisme? Jika benar yuk simak artikel tersebut di samping https://beritapolisi.id/aliran-konstruktivisme/
0 notes
mediaban · 1 year ago
Link
Siapa yang tidak mengenal Piaget, filsuf konstruktivisme dengan teorinya yang sangat terkenal Teori Perkembangan Kognitif.
0 notes
aditiyahermansyah · 2 years ago
Text
ARSITEKTUR DIMASA MODERN TERHADAP REMAJA
Dimulai dengan Archi Soup, arsitektur modern merupakan gerakan perubahan yang dimulai pada akhir abad ke-19. Pada masa ini terjadi revolusi teknologi, bahan bangunan dan penggunaan mesin untuk bangunan. Oleh karena itu, terjadi pergeseran dari konstruksi bangunan tradisional menjadi bangunan fungsional dengan teknologi baru dan gaya bangunan yang lebih modern. Menggunakan struktur baja dan lift yang tahan api, atau bahan aluminium yang aman, adalah salah satu elemen hebat dari bahan bangunan modern.
Arsitektur modern menunjukkan beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi dengan kurangnya dekorasi atau ornamen pada bangunan, mengurangi bagian non-fungsional dari desain modernis. Penerapan garis vertikal dan horizontal, bangunan geometris dan non-geometris adalah salah satu fitur yang membedakan arsitektur modern, seperti kunci pintu pintar yang tidak hanya menggunakan kunci tetapi kata sandi PIN dan sidik jari pemilik rumah adalah penggunaan teknologi bangunan baru. Dapat digunakan untuk membuka pintu. Maksimalkan penggunaan kaca sebagai fungsi penerangan di siang hari. Ruang yang lapang dan terbuka menciptakan suasana yang tenang, nyaman dan alami. Bentuk arsitektur asimetris yang mengedepankan fungsi, kekuatan dan keindahan merupakan ciri paling khas dari arsitektur modern. Maksimalkan fungsi ruang dan gunakan tanpa pemborosan atau penggunaan.
Dalam arsitektur modern, bentuk, fungsi, dan konstruksi harus tampil sebagai satu kesatuan yang utuh dan memunculkan bentuk khusus, dan kami selalu berharap solusi yang tepat akan memberikan bentuk tertentu di antara ketiga kombinasi ini. Solusi unik sebagian besar dapat dilakukan, karena teknik konstruksi modern memungkinkan semua jenis pekerjaan konstruksi. Bentuk yang diinginkan adalah bentuk yang sederhana karena semua gaya lama sangat rumit dan penuh hiasan. Bentuk dasar arsitektur modern adalah bentuk geometris yang disajikan sedemikian rupa
Konsep ruang dalam arsitektur modern adalah ruang yang tidak terbatas, ruang yang terukur, terbatas dan terlihat strukturnya (persegi panjang), yang dapat dipahami secara tiga dimensi. Ruangan dibentuk dengan menganalisis pengoperasian ruangan, dan model tata letak ruangan lebih cair dan berurutan berdasarkan proses kerja. Arsitektur modern memiliki bentuk dan struktur yang spesifik dalam perkembangannya, bagian fisik dari arsitektur modern sebagai solusi radikal untuk masalah fungsional; yang tidak bisa hilang karena merupakan bagian dari estetika.
1. Brutalisme adalah seni arsitektur modern awal dengan gaya Brutalis, yang memperlihatkan ciri-ciri bangunan besar yang dibangun dari beton, dan beton tersebut secara visual terlihat sangat jelas. Bangunannya terlihat angker namun memiliki karakter yang kokoh. Ciri lain dari dinding bangunan adalah nada gelap. Brutalisme Seni arsitektur diterapkan oleh tokoh-tokoh arsitektur, misalnya. Peter Smithson, James Stirling, Alison dkk. Brutalisme Arsitektural
2. Konstruktivisme Konstruktivisme adalah seni arsitektur modern awal yang menunjukkan susunan struktur tiga dimensi dan bentuk Kubisme. Fitur lain termasuk menggunakan ruang kosong sebagai elemen desain dan membuat objek geometris menggunakan metode industri. Tokoh-tokoh arsitektur yang menerapkan antara lain konstruktivisme dalam seni arsitektur; Vladimir Tatlin, Alexander Rodchenko, Varvara Stepanova, dan lainnya. Arsitektur Konstruktivisme
3. Ekspresionisme adalah seni arsitektur modern awal dengan karakteristik irasional, emosional, antropomorfik, romantis, dan monumental. Prinsip dasar komposisi arsitektural ini terdiri dari massa bangunan yang sentral, dominan dan menjulang tinggi. Tokoh-tokoh arsitektur yang menerapkan antara lain Arsitektur Ekspresionisme; Erich Mendelson, Rudolf Steiner, Michel de Klerk dan lainnya. Ekspresionisme Arsitektur . Formalisme Mazhab formalisme adalah seni arsitektur modern awal yang menekankan estetika bentuk bangunan. Formalisme disebut juga strukturalisme yang menerapkan prinsip dasar “bentuk menciptakan fungsi” sehingga lebih mengutamakan estetika. Tokoh-tokoh arsitektur yang menerapkan antara lain arsitektur formalisme; Louis Khan, Moshe Safdie, Craig Zeidler dan lainnya. Formalisme Arsitektur
5. Futurisme adalah seni arsitektur modern awal yang menerapkan konsep berbasis kecepatan baru pada kehidupan modern dan memisahkan diri dari konsep masa lalu. Prinsip dan kualitas yang ditampilkan adalah krom yang kuat, garis dinamis yang panjang dan kecepatan penyajian, urgensi dan kompleksitas. Tokoh arsitektur yang berlaku untuk mis. arsitektur futuristik; Philip Marinetti, Antonio Santelia, Richard Meier dan lainnya. Arsitektur Futurisme
6. Organik Sekolah Organik adalah seni arsitektur modern awal yang menunjukkan ekspresi visual yang harmonis antara bangunan dan alam. Prinsip dan fitur yang disajikan adalah bentuk biomorfik dan terorganisir berdasarkan analogi biologis. Arsitek yang menerapkan seni arsitektur organik antara lain Frank Lloyd Wright, Hugo Haring, dan lain-lain. Arsitektur
Masa remaja adalah ketika seseorang berusia antara 12 dan 17 tahun. Remaja tidak bisa disebut dewasa, tetapi juga tidak bisa disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Dalam kajian perkembangan pubertas, pubertas dapat didefinisikan secara biologis sebagai perubahan fisik yang ditandai dengan permulaan pubertas dan akhir pertumbuhan fisik. Seperti perubahan kemampuan berpikir secara kognitif, abstrak atau sosial, sebagai persiapan menuju masa dewasa. Perubahan biologis dan pubertas utama meliputi perubahan alat kelamin, tinggi badan, berat badan, dan massa otot, perubahan besar pada struktur otak, dan perubahan suara. Kemajuan kognitif mencakup peningkatan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan bernalar lebih efektif.
Saat ini banyak remaja yang menyukai bangunan berarsitektur modern, contohnya banyak kafe dan restoran yang menggunakan arsitektur modern untuk menambah kenyamanan dan menarik perhatian banyak orang ketika melihatnya. Tidak hanya enak dipandang dan nyaman, tetapi juga bisa digunakan oleh para remaja sebagai tempat memposting foto atau story Instagram mereka. Dengan hal tersebut, banyak dari mereka yang ingin mencoba merasakannya begitu melihatnya di Instagram Stories atau media sosial seperti Instagram atau Tiktok yang banyak digunakan oleh para remaja saat ini.
Kopi Nako merupakan kafe yang menggunakan desain arsitektur tropis yang sejalan dengan konsep arsitektur modern, menggunakan sinar matahari langsung sebagai pengganti pencahayaan dan banyak kaca di siang hari. “Kopi Nako memiliki desain yang sangat kotemporer yang unik dan menarik. Materialnya beberapa menggunakan kaca yang bisa terlihat tembus pandang dari dalam. Tentunya pemandangan ini sangat bagus sehingga setiap weekend kopi nako selalu ramai pengunjung”. (salsa wisata), merupakan bangunan cukup besar yang memadukan warna hitam dan putih agar terlihat lebih modern. “Berbagai nuansa alam dan keindahannya begitu sangat menawan apalagi konsep bangunan kontemporer membuat kopi nako sebagai tempat ngopi yang memiliki ciri khas sebagai rumah kopi yang epic”. (salsa wisata).
1 note · View note
sharellmichelleblog · 3 years ago
Text
᠃ ⚘᠂ ⚘ Pengolahan Data ⚘ ᠂ ⚘ ᠃
Hallo semua ! balik lagi sama aku Sharell.
Kali ini, aku bakal kasi tau kalian tentang data yang disesuaikan dengan variabel variabel yang ada di fisika. 
Yuk dibaca sampe habis ! 
Tumblr media
Sebelumnya, kalian udah tau belum kalo ada tiga jenis variabel dalam fisika? Ada apa ajasih? Nah, disini itu ada variabel bebas, variabel terikat, dan juga variabel kontrol. 
Mereka bertiga akan kita bahas disini, sesuai dengan topiknya yaitu Menemukan Variabel dalam Pengolahan Data. 
Mari kita cari tahu !! 
: ̗̀➛ Variabel Bebas 
Tumblr media
: ̗̀➛  Nah, gimana tentang Variabel Terikat ?
Tumblr media
: ̗̀➛ Terakhir nih, apasih Variabel Kontrol ? 
Tumblr media
                                            ┈┈┈┈┈❀┈┈┈┈┈
Nah, kalian udah tau kan beda antara Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol ? 
Sekarang, yuk kita coba ngolah datanya ! 
Tumblr media
Variabel bebas 
- Variabel bebas diatas adalah tahun, karena tahun tidak bisa ditetapkan dan pasti akan terus berubah. 
Variabel Terikat 
- Variabel terikat diatas adalah harga, karena semakin tinggi minat ekspor yang diminta harganya akan semakin bertambah. Dan akan berubah jika minatnya bertambah. 
DAFTAR PUSTAKA : 
https://docplayer.info/54292193-Korean-wave-sebagai-instrumen-diplomasi-korea-selatan-dilihat-dari-paradgima-realisme-liberalisme-dan-konstruktivisme-tugas-karya-akhir.html
Tumblr media
3 notes · View notes
kalinago-the-warriors · 3 years ago
Text
Analisis Kultur dan Tindakan Rasisme terhadap Orang Keturunan Haiti di Republik Dominika
Esai ini dibuat untuk memenuhi UAS mata kuliah Studi Kawasan: AMEURO dan sudah pernah saya publikasikan dalam blog pribadi saya lainnya yang dapat diakses di sini.
Terletak di Kepulauan Karibia, Hispaniola merupakan sebuah pulau yang menjadi rumah bagi dua negara, yaitu Haiti dan Republik Dominika. Meskipun secara lokasi bertetangga, kedua negara tersebut tidaklah memiliki hubungan yang baik. Pulau Hispaniola seakan-akan terbagi menjadi dua dunia berbeda antara Haiti dengan Republik Dominika. Pembagian ini disebabkan oleh beberapa aspek, seperti kondisi geografis, perekonomian, kualitas hidup, dan komposisi penduduk. Di antara aspek-aspek tersebut, komposisi penduduklah yang menjadi faktor paling signifikan dalam memisahkan keduanya. Adanya sekat yang memisahkan kedua negara disebabkan oleh sentimen berbasis ras yang dimiliki oleh orang-orang Dominika terhadap orang-orang Haiti. Mayoritas orang Haiti merupakan ras kulit hitam, sementara mayoritas orang Dominika merupakan ras kulit putih. Sentimen yang sering disebut dengan anti-Haitianismo tersebut telah tertanam begitu kuat dalam kehidupan sehari-hari bahkan telah terinstitusionalisasi dalam ranah politik dan kehidupan bernegara di Republik Dominika. Salah satu isu yang kerap dibahas oleh media adalah mengenai konstitusi Republik Dominika yang menyebabkan ratusan orang dengan darah Haiti di Republik Dominika kehilangan status kewarganegaraannya atau stateless. Kondisi ini tentu merugikan mereka karena membuat mereka sulit untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar hidup dan jaminan atas kelangsungan hidup mereka. Isu mengenai status kewarganegaraan hanyalah salah satu dari sekian banyak praktik rasisme terhadap orang-orang Haiti yang terjadi di Republik Dominika. Melihat isu rasisme yang begitu kental dalam relasi Haiti-Republik Dominika, esai ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan nilai rasisme begitu mengakar dalam kehidupan sehari-hari kedua belah pihak, terutama dalam kehidupan di Republik Dominika. Oleh karena itu, rumusan masalah yang akan dijawab oleh esai ini adalah “bagaimana nilai rasisme terhadap orang-orang Haiti dapat tertanam begitu kuat dalam kehidupan orang-orang Dominika?”
Dalam melakukan analisis, esai ini menggunakan perspektif Konstruktivisme, khususnya yang disampaikan oleh Nicholas Onuf, sebagai landasan konseptual. Secara umum, perspektif ini meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia merupakan konstruksi sosial, di mana aktor sendiri yang membangun makna mengenai hal tersebut. Dalam menginterpretasikan sesuatu, aktor dipengaruhi oleh nilai, norma, dan/atau identitas yang dimilikinya. Sistem juga berjalan sebaliknya, di mana aktor menentukan nilai, norma, dan/atau identitasnya sendiri. Singkatnya, manusia membentuk masyarakat dan masyarakat membentuk manusia.[1] Antara aktor dan struktur, terdapat aturan sosial yang mengikat keduanya. Aturan sosial menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh aktor sesuai dengan struktur sosial yang ada. Oleh karena itu, aturan sosial menjadi penentu mengenai siapa saja aktor yang menjadi bagian dari suatu masyarakat sebagai agen dengan melekatkan identitas padanya.[2] Dengan adanya identitas, baik secara sadar atau tidak, manusia selalu mengambil keputusan atas nama konstruksi sosial tertentu, seperti diri sendiri atau komunitas di mana dirinya berada.[3] Konstruktivisme menekankan bahwa tidak semua struktur sosial memiliki nilai atau norma yang sama, sehingga tidak semua tindakan aktor dapat dipahami melalui satu asumsi general saja. Dengan demikian, perspektif ini meyakini bahwa tidak ada penjelasan tunggal untuk setiap isu sosial yang ada di dunia.
Dalam memahami kondisi saat ini di mana terdapat praktik diskriminasi terhadap orang Haiti di Republik Dominika, perlu untuk melihat kembali ke perjalanan sejarah kedua negara ini. Haiti merupakan bekas koloni Perancis, sementara Republik Dominika merupakan bekas koloni Spanyol. Baik Perancis maupun Spanyol, keduanya sama-sama membawa budak dari Afrika ke masing-masih wilayah koloninya di Hispaniola tersebut. Setelah keduanya merdeka dan berdiri sebagai negara yang berdaulat, Amerika Serikat melakukan okupasi ke Pulau Hispaniola, Haiti pada 1915 dan Republik Dominika pada 1916,[4] dengan alasan politis yakni untuk mencegah pengaruh Jerman di kawasan Karibia.[5]
Praktik diskriminasi dan rasisme terhadap orang Haiti diawali dengan adanya dikotomi antara penduduk Haiti yang mayoritas merupakan ras kulit hitam dan penduduk Republik Dominika yang mayoritas merupakan ras kulit putih atau setidaknya terdapat percampuran dengan orang Eropa. Pendekatan yang digunakan oleh Perancis dan Spanyol terhadap Haiti dan Republik Dominika memiliki signifikansi besar dalam menentukan kondisi komposisi penduduk tersebut. Perancis mengeksploitasi habis-habisan para budak yang dibawa dari Afrika dan alam di Haiti, sementara Spanyol berintegrasi dengan penduduk asli Dominika saat itu sehingga terciptalah percampuran ras.[6] Dikotomi inilah yang menjadi titik awal dan pendorong terjadinya rasisme dan diskriminasi yang masih berlangsung saat ini.
Okupasi AS pun memperburuk situasi yang ada. Dalam periode okupasi tersebut, AS menginisiasi suatu program tenaga kerja yang menghasilkan banyaknya orang Haiti bermigrasi Republik Dominika untuk bekerja sebagai buruh dalam industri gula. Program ini menjadi basis awal eksploitasi terhadap buruh asal Haiti di Republik Dominika hingga saat ini.[7] Jarak yang sudah ada antara penduduk Haiti dengan Republik Dominika, menjadi semakin renggang dengan kekuasaan AS yang masih kental akan kultur rasisme dan stigma inferioritas terhadap ras kulit hitam. Pasca okupasi AS, Republik Dominika dipimpin oleh diktator bernama Rafael Trujillo, yang pernah menjadi bagian dari marinir AS. Dalam memimpin, ia menerapkan nilai anti-Haitianismo yang berujung pada pembantaian tahun 1937 terhadap orang-orang yang dinilai merupakan orang Haiti, berdasarkan warna kulit dan pengucapan mereka pada kata dalam bahasa Spanyol “perejil”.[8] Presiden berikutnya, Joaquín Balaguer, pun melanggengkan nilai diskriminasi tersebut dengan mengeluarkan kebijakan yang hanya mengizinkan para imigran Haiti untuk tinggal di perkebunan dan bekerja untuk industri gula.[9] Balaguer juga kerap menekankan paham yang meyakini bahwa tidak ada ras kulit hitam dalam keturunan orang-orang Dominika.[10] Kultur rasisme dan inferioritas ras kulit hitam menjadi terinstitusionalisasi di Republik Dominika kala para pemimpin negara mengeluarkan kebijakan yang mengeksklusikan orang-orang Haiti di negaranya. Kekuasaan yang mereka miliki dijadikan medium untuk mengaktualisasikan keyakinan mereka bahwa ras kulit putih memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sehingga mereka beralasan bahwa Republik Dominika harus dibersihkan dari orang Haiti sebagai justifikasi atas tindakan-tindakannya.
Tindakan pemerintah Republik Dominika yang bersifat diskriminatif terhadap orang Haiti kembali terjadi pada tahun 2010, di mana pemerintah merevisi konstitusinya mengenai hak kewarganegaraan. Melalui revisi, Republik Dominika menegaskan bahwa anak yang lahir dari orangtua dengan status kewarganegaraan selain Dominika setelah tahun 1929 tidak tercatat sebagai warga negara Republik Dominika.[11] Akibatnya, ratusan orang Haiti yang telah tinggal di Republik Dominika sejak lama pun kehilangan status kewarganegaraanya. Masalah pun bertambah ketika Pemerintah Republik Dominika memutuskan untuk mendeportasi mereka ke Haiti. Di antara mereka banyak yang telah tinggal di Republik Dominika sejak lahir, meskipun memiliki darah keturunan Haiti. Akibatnya, mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan atau familiaritas apapun dengan Haiti sehingga akan menyulitkan mereka untuk bertahan hidup. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian dan taraf hidup di Haiti yang buruk turut mengancam kelangsungan hidup mereka. Kritik pun datang dari pihak eksternal mengenai kebijakan tersebut, sehingga Pemerintah Republik Dominika mengizinkan mereka yang tidak memiliki status kewarganegaraan untuk mendaftarkan diri. Akan tetapi, proses ini juga mengalami kendala akibat tidak terdaftarnya akta kelahiran orang-orang Haiti tersebut dalam catatan sipil Republik Dominika.[12]
Selain dalam ranah hukum, praktik diskriminatif dan rasisme juga kerap ditujukan kepada orang-orang Haiti, atau setidaknya mereka dengan ras kulit hitam, dalam kehidupan sehari-hari. Di perbatasan Haiti-Republik Dominika, terdapat border market yang dibangun melalui bantuan UNDP dan Uni Eropa,[13] di mana penduduk dari kedua sisi negara dapat melakukan praktik jual beli seperti di pasar pada umumnya. Pada kenyataanya, praktik tersebut tidaklah semulus itu untuk dilakukan oleh penduduk Haiti. Untuk dapat memasuki pasar tersebut, mereka harus menunggu para penjaga perbatasan dari Republik Dominika membuka perbatasan. Setiap harinya, mereka harus menunggu beberapa saat sebelum diizinkan masuk padahal pasar tersebut sudah dibuka. Selama menunggu, mereka juga kerap diperlakukan kasar seperti dipukul menggunakan tongkat.[14] Selain itu, narasi-narasi seperti “Haitians eat dirt” dan “Haitians are unsanitary” juga populer dilontarkan oleh pembawa acara radio dan masyarakat sehari-hari.[15] Sebuah surat kabar di Santo Domingo, ibukota Republik Dominika, pernah menerbitkan pesan mengenai “invasi oleh tantara hitam dengan senjata terbesarnya adalah ratio kelahiran mereka.”[16] Kebrutalan yang dialami oleh orang-orang Haiti di Republik Dominika kini memaksa banyak dari mereka untuk tinggal dalam tenda-tenda di perbatasan kedua negara[17] untuk menghindari tindakan-tindakan diskriminatif dan rasisme yang ditujukan kepada mereka.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktik rasisme terhadap orang-orang Haiti—dan ras kulit hitam secara umum—telah berlangsung selama puluhan tahun lamanya diawali dengan adanya kultur rasisme yang sejak lama sudah mengakar di kehidupan umat manusia. Kultur rasisme dapat tertanam begitu kuat di kehidupan orang-orang Dominika, hingga pada titik mereka tidak menyadari adanya rasisme, disebabkan oleh adanya aspek historis dan politis yang mempengaruhi. Bermula dari periode kolonisasi yang mengakibatkan percampuran ras antara orang Spanyol dengan penduduk lokal Dominika, kemudian okupasi Amerika Serikat yang membawa kultur rasisme, hingga tindakan-tindakan pemerintah yang diskrminatif dan rasis hingga saat ini. Nilai rasisme yang awalnya hanya ada dalam kultur kehidupan, telah terinstitusionalisasi dan menjadi sebuah praktik diskriminatif yang terstruktur. Pemerintah Republik Dominika sebagai pihak yang memiliki kendali dan kuasa atas segala hal menyangkut kehidupan penduduknya, turut memakai kultur rasisme dalam berbagai tindakan dan kebijakan yang diambil. Kultur rasisme yang memang sudah kuat ada dalam masyarakat, menjadi terjustifikasi untuk dilanggengkan dengan adanya sikap pemerintah yang demikian.
Sebagai konsekuensi, sikap diskriminatif, rasisme, dan xenophobia terhadap orang-orang Haiti di Republik Dominika tidak akan hilang begitu saja dengan sendirinya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan penduduk di suatu negara, maka langkah kecil yang dapat memungkinkan berkurangnya—jika tidak tereliminasi secara penuh—kultur dan praktik rasisme terhadap orang Haiti adalah melalui tindakan dan kebijakan dari Pemerintah Republik Dominika sendiri. Di sisi yang lain, pemerintah juga akan tetap melanggengkan rasisme dalam kebijakannya selama negara tersebut masih dipimpin oleh aktor yang menganut nilai rasisme. Kondisi ini sesuai dengan pandangan Konstruktivisme, bahwa struktur membentuk aktor dan aktor membentuk struktur.
[1]  Nicholas Onuf, Making Sense, Making Worlds: Constructivism in social theory and international relations (Abingdon: Routledge, 2013).
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Christoper Minster, “US Occupation of the Dominican Republic”, ThoughtCo., last modified February 13, 2019, https://www.thoughtco.com/us-occupation-of-the-dominican-republic-2136380.
[5] Edwidge Danticat, “The long legacy of occupation in Haiti”, The New Yorker, last modified July 28, 2015, https://www.newyorker.com/news/news-desk/haiti-us-occupation-hundred-year-anniversary.
[6] Vox, “Divided island: How Haiti and the DR became two worlds,” Youtube, October 17, 2017, video, 15:52, https://youtu.be/4WvKeYuwifc.
[7] Lorgia García Peña, “One Hundred Years After the Occupation”, NACLA, last modified May 25, 2016, https://nacla.org/news/2016/05/25/one-hundred-years-after-occupation.
[8] Sharri K. Hall, “Antihaitianismo: Systemic Xenophobia and Racism in the Dominican Republic”, Council on Hemispheric Affairs, last modified June 29, 2017, http://www.coha.org/antihaitianismo-systemic-xenophobia-and-racism-in-the-dominican-republic/.
[9] Amelia Hintzen, “The Origins of Anti-Haitian Sentiment in the Dominican Republic”, NACLA, last modified July 14, 2015, https://nacla.org/news/2015/07/14/origins-anti-haitian-sentiment-dominican-republic.
[10] Hall, “Antihaitianismo: Systemic Xenophobia and Racism in the Dominican Republic.”
[11] Amanda Taub, “Dominican Republic strips thousands of black residents of citizenship, may now expel them”, Vox, June 18, 2015, https://www.vox.com/2015/6/18/8802587/dominican-republic-haitian-deportation.
[12] Hall, “Antihaitianismo: Systemic Xenophobia and Racism in the Dominican Republic.”
[13]  Vox, “Divided island: How Haiti and the DR became two worlds.”
[14] Ibid.
[15] Hall, “Antihaitianismo: Systemic Xenophobia and Racism in the Dominican Republic.”
[16] Ibid.
[17] Ibid.
REFERENSI
Danticat, Edwidge. 2015. “The long legacy of occupation in Haiti.” The New Yorker. July 28. Accessed May 14, 2020. https://www.newyorker.com/news/news-desk/haiti-us-occupation-hundred-year-anniversary.
Hall, Sharri K. 2017. “Antihaitianismo: Systemic Xenophobia and Racism in the Dominican Republic.” Council on Hemisphere Affairs. June 29. Accessed May 15, 2020. http://www.coha.org/antihaitianismo-systemic-xenophobia-and-racism-in-the-dominican-republic/.
Hintzen, Amelia. 2015. “The Origins of Anti-Haitian Sentiment in the Dominican Republic.” NACLA. July 14. Accessed May 14, 2020. https://nacla.org/news/2015/07/14/origins-anti-haitian-sentiment-dominican-republic.
Minster, Christoper. 2019. “US Occupation of the Dominican Republic.” ThoughtCo. February 13. Accessed May 14, 2020. https://www.thoughtco.com/us-occupation-of-the-dominican-republic-2136380.
Onuf, Nicholas. 2013. Making Sense, Making Worlds: Constructivism in social theory and international relations. Abingdon: Routledge.
Peña, Lorgia Garcia. 2016. “One Hundred Years After the Occupation.” NACLA. May 25. Accessed May 14, 2020. https://nacla.org/news/2016/05/25/one-hundred-years-after-occupation.
Taub, Amanda. 2015. “Dominican Republic strips thousands of black residents of citizenship, may now expel them.” Vox. June 18. Accessed May 15, 2020. https://www.vox.com/2015/6/18/8802587/dominican-republic-haitian-deportation.
Vox. “Divided island: How Haiti and the DR became two worlds.” Youtube. October 17, 2017, video, 15:52, accessed May 14, 2020. https://youtu.be/4WvKeYuwifc.
1 note · View note
hhehehehucowardis · 4 years ago
Text
kenapa??metop???baru pas uts??gw kan??malu??? ke dosen"??! ah but here it is https://www.arsitur.com/2018/12/definisi-arsitektur-konstruktivisme-tokoh-karya.html
1 note · View note
admherlambang · 4 years ago
Text
Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Konektivisme
BEHAVIORISME:
Treatment: pengendalian perilaku
Trigger: stimulus eksternal
KOGNITIVISME:
Treatment: pemrosesan informasi di otak
Trigger: penalaran
KONSTRUKTIVISME:
Treatment: pembuatan konstruksi pengetahuan
Trigger: pengalaman, pencarian, pemecahan masalah
KONEKTIVISME:
Treatment: menghubungkan beragam simpul informasi
Trigger: menghubungkan diri dengan sumber informasi
1 note · View note
sociotalker · 5 years ago
Text
Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial
"Yet we must... exhaust the resources of the concept of the experience before attaining and in order to attain, by deconstruction, its ultimate foundation. It is the only way to escape ’empiricism’ and the ’naïve’ critique of experience at the same time."
- Jacques Derrida, Of Grammatology
***
FEBRUARI 1661. Hawa musim dingin masih menyelimuti Kota London. The Royal Society yang baru berusia satu tahun sedang menerima kunjungan Duta Besar Kerajaan Denmark. Pertemuan dengan tamu agung ini bukanlah pertemuan biasa. Ada satu peristiwa menarik. Robert Boyle, salah satu pendiri organisasi ilmuwan bergengsi ini, mendemonstrasikan sebuah pompa udara hasil kerja selama beberapa tahun bersama Robert Hooke di Oxford. Machina Boyleana itu terdiri dari sebuah bola kaca yang berisi udara yang disambungkan pada sebuah pompa di bagian bawah. Ketika pompa itu ditarik, bola kaca tersebut menjadi ruang hampa udara. Para tamu yang hadir terkesima. Mereka menjadi saksi kemenangan Boyle atas tesis Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa udara tidak akan meninggalkan bola kaca. Melalui pompa udara ini, Boyle dapat membuktikan bahwa volume dari sebuah tabung berbanding terbalik dengan tekanan yang ada di dalamnya. Hukum Boyle lahir dari pompa ini.
POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai.
Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya. Apakah suatu obyek pengetahuan bersifat self-explanatory? Di manakah sebenarnya posisi ontologis manusia dalam proses produksi pengetahuan dalam sains? Sejauh manakah klaim atas obyektivitas sains dapat dijadikan pegangan? Apakah sains merupakan suatu ruang vakum yang lepas sama sekali dari segala bentuk imajinasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang menjadi landasan dan motivasi bagi studi sains kontemporer dalam memahami relasi antara manusia dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya.
Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.
Generasi awal
Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan- tujuan politik kaum proletar.
Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Mertonian vs Kuhnian
Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu. Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains.
Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam. Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.
Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian. Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional.
Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite.
Genre konstruktivisme
Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science.
Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge).
Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains. Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial.
Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute. Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup (closed system). Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.
Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai "pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.
Sains dan budaya
Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya. Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.
Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan.
Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini "menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis.
Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.
Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr- Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler.
Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.
Sains dan studi sains
Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah sosial.
Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.
Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.
Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.
Sulfikar Amir Mahasiswa Program Doktor Departemen Studi Sains dan Teknologi, Rensselaer Polytechnic Institute Sumber: Kompas Cyber Media
Tulisan ini dimuat di Bentara Kompas, 16 Februari 2003.
4 notes · View notes
rbcbimbelonline · 2 years ago
Photo
Tumblr media
Kelas SMP Bimbel Tatap Muka Kelas Privat Satu kelas maksimal 5 anak Materi menyesuaikan dengan kebutuhan Ananda (metode Konstruktivisme) Informasi dan pendaftaran : silahkan hubungi 0812-1776-3477 #rbcbimbelonline #bimbelonline #banyuwangi #bakat #belajaronline #matematika #indonesia #kids #parentinganak #parenting #duniaanak #bimbelprivat #privat #private #kidslearning #tipsparenting #belajarparenting #berhitung #tipsmatematika #caracepat #course #math #calistung #bimbelcalistung #Calistungonline #matematikaonline #fisikaonline #english #grammar (di bimbel rbc) https://www.instagram.com/p/Cj-erUUpae6/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
maglearning-id · 2 years ago
Text
Ciri Ciri Metode Penelitian Kualitatif
Ciri Ciri Metode Penelitian Kualitatif
Ciri Ciri Metode Penelitian Kualitatif – Menurut Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang melalui…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
serupa-id · 3 years ago
Text
Pendekatan Konstruktivisme - Pengertian, Ciri, Langkah, dsb
Pendekatan Konstruktivisme – Pengertian, Ciri, Langkah, dsb
Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam teori  belajar konstruktivisme belajar adalah mengkonstruksi pengetahuan atau. Artinya pengetahuan atau kompetensi pembelajar dibangun dari proses pengintegrasian pengetahuan baru terhadap struktur kognitif yang sudah ada dan dilakukannya penyesuaian struktur kognitif dengan informasi baru yang didapatkan. Menurut Ansari (2016, hlm. 65) teori…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mhdzhrw · 3 years ago
Photo
Tumblr media
Saat akan melangsungkan pernikahan sekitar 5 tahun yang lalu, salah seorang dosen yang saya hormati mengirim pesan via whatsapp dan kami berdiskusi ringan. Beliau sempat heran kenapa saya menikah begitu cepat. Tidak kerja dulu, tidak meniti karir dulu, tidak mengejar mimpi padahal pada saat itu kesempatan dan tawaran untuk melakukannya sangat terbuka lebar. Jangankan beliau, waktu itu saya juga heran dan takjub. Hahaha.
Saya menjawabnya dengan singkat dan penuh keyakinan, “ini pilihan yang saya ambil”
Tanpa babibu dan mempertanyakan lagi lebih lanjut, beliau mendoakan kebaikan untuk pilihan yang saya ambil. Lalu sekonyong-konyong bertanya, “Menurut Awi, hidup itu apa?”
“Hidup itu ibadah,” balasku.
“Ibadah itu apa?,” tanyanya lagi.
“Segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Baguslah kalau begitu,” ucapnya.
Aku membalasnya cukup lama. Bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba dosenku seperti ini?
“Ada apa [panggilan akrabku untuk dosennya]?”
“Gapapa. Kalau mikirnya sudah begitu, baguslah. Sejak dulu, kamu orang yang pandai mengolah konsep dan kata-kata. Lalu bertindak begitu saja sesuai dengan apa yang kamu yakini, berani mengambil resiko dan akibat yang sudah kamu hitung sebelumnya. Tapi hidup kadang tidak semudah itu.”
“Maksudnya [panggilan akrabku untuk dosennya]?”
“Hidup itu ibadah. Udah bener. Tapi kalau tadi Awi jawab hidup itu adalah pilihan, atau hidup itu adalah pengorbanan, maka kita harus diskusi panjang. Kalau hidup itu adalah pilihan, maka kamu akan milih-milih terus, kapan selesainya? Kalau hidup itu adalah pengorbanan, maka kamu akan berkorban terus, kapan selesainya? Kapan bahagianya? Kalau hidup itu adalah permainan, maka kapan kamu seriusnya? Kalau hidup itu adalah pencarian, sampai kapan mencarinya? Tapi kalau hidup itu ibadah, maka apapun yang kamu lakukan akan menjadi ibadah. Kamu akan cukup, bahagia dan energi kamu ga akan habis. Kamu akan lanjut terus, karena tujuannya sudah jelas”
Aku terperangah cukup lama. Rutinitas kontemplasi dini hariku setiap jam 3 pagi saja tidak membuatku berpikir sampai ke sana. Aku cenderung radikalis, fundamentalis, esensialis. Khas mahasiswa sosial yang dijejali filsafat barat dan perjuangan kaum marjinal. Menggali sampai ke akar-akarnya. Seumpama pesan Lemon Telang Squash atau Blue Ocean, aku cenderung memasukkan sedotan sampai ke dasar gelas dan meminumnya dari bagian yang paling bawah, bagian yang paling manis. Padahal bisa saja diaduk dulu dan manisnya rata ke seluruh minuman, warnanya tidak lagi terpisah biru gelap dan putih, tapi menjadi sewarna lautan.
Lalu, dia melanjutkan lagi, “Hidup itu sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Kamu punya kemampuan untuk re/de-konstruksi. Maka wi, berhati-hatilah dengan pikiranmu sendiri,”
Luar biasa, pikirku. Frame of Reference, Field of Experience, Benefit of the Doubt, Positivisme, Konstruktivisme, Kritisme, Harold Laswell, Sigmund Freud, Carl Jung, Humanisme, Behaviorisme, Jacques Derrida, Filsafat Barat, Filsafat Islam, dan Ketauhidan, disajikan begitu saja dalam percakapan singkat dan sederhana yang terjadi selama beberapa menit itu. Beliau mungkin tidak sadar telah melakukannya karena hal ini sudah menjadi kesehariannya, tapi kata-kata singkat itu membuatku berhenti sejenak dan sadar bahwa kalau minum Lemon Telang Squash atau makan bubur ayam itu enaknya diaduk dulu, dapat semuanya. Bukan berarti makan bubur tidak diaduk itu salah ya, hak masing-masing orang saja.
Dari percakapan sederhana ini, saya harus menerima fakta menyakitkan bahwa kebanyakan manusia itu hanya menilai sesuatu dari kacamata kuda. Bahkan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka menilai semua dari setiap sisi, atau orang yang kita percayai, bisa saja juga masih pakai kacamata kuda. Mereka mengklaim apa yang mereka katakan adalah kebenaran, padahal sesungguhnya hanyalah sebagian dari kebenaran. Kebenaran parsial.
Bukan berarti tidak benar, tapi ia hanya bagian-bagian yang terpotong saja, tidak utuh. Utuh atau tidak utuh, pada akhirnya hanya klaim saja.
Mereka melihat dunia apa adanya dan berbahagia. Lalu tiba-tiba eksistensinya dipertanyakan, hak-haknya tidak diberikan, kewajibannya ditambah secara paksa, dan ia melihat dunia dari sisi yang gelap. Ia berjuang keluar dari sana. Setelahnya, dia menemukan antitesis dan mendapatkan pengampunan. Eksistensinya dia tinggikan, hak-haknya dia tambah, kewajibannya dia kurangi, dielu-elukan, dan ia melihat dunia dari sisi yang terang. Ia nyaman di sana. Lalu beranggapan bahwa keadaannya hari ini adalah keadaan yang paling baik dan Tuhan sedang bersamanya. Tuhan sedang mendukungnya dan rezeki yang berlimpah sedang mengucur kepadanya.
Lalu, datang saat dimana dia harus menjadi seseorang yang memberi, kemudian luput dan menjadi sebab orang-orang lain mempertanyakan eksistensinya, mempertanyakan hak-hak yang tidak diberikan kepada mereka, mempertanyakan kewajiban yang ditambah secara paksa, dan menjadi penyebab orang-orang melihat dunia dari sisi yang gelap.
Dunia berputar, dan memang seperti itulah seharusnya kenyataan dan nilai yang disematkan untuk dunia, tapi bukan untukmu. Karena kamu bukan dunia ini, tapi seorang manusia. Seorang manusia yang telah menjadi manusia, memiliki tugas untuk berjalan, bukan untuk berputar. Ketika ia berjalan, ia membuang yang tidak penting, meringankan bebannya, lalu mengambil apa-apa yang penting untuk bekal perjalanannya.
Namun manusia yang belum menjadi manusia, hanya berputar pada lingkaran yang sama dan mengambil kembali apa yang telah dia buang. Tapi sedikit yang menyadari ini, selebihnya hanya menebak-nebak dan menunjuk-nunjuk bahwa bukan dirinya yang sedang berputar.
Ketika di Madrasah dia belajar tentang ketauhidan, dia percaya bahwa dirinya akan masuk kedalam surga jika dan hanya jika beribadah sesuai apa yang diperintahkan kepadanya. Lalu dia belajar tentang filsafat dan mempertanyakan segala hal. Ada yang selamat, ada yang tidak, ada yang menyangka dirinya selamat tapi ternyata tidak, ada yang menyangka dirinya tidak selamat tapi ternyata selamat. Ada yang menyangka untuk apa memikirkan selamat atau tidak, cukup jalankan sesuai yang diperintahkan. Ada yang menyangka boleh-boleh saja memikirkan selamat atau tidak tapi harus dibarengi menjalankan semua yang diperintahkan.
Ada yang menyangka sudah mengetahui semuanya, ternyata tidak tahu apa-apa. Ada yang menyangka sudah mengambil jalan tengah, ternyata malah sudah jatuh ke dalam jurang.
Ada yang menyangka dirinya telah bebas, tapi ternyata belum. Ada yang menyangka dirinya terpenjara, padahal adalah orang yang paling bebas. Ada yang menyangka bahwa kebenaran ada pada dirinya, tapi ternyata sangat jauh darinya. Ada yang menyangka dirinya penuh kesalahan, padahal adalah orang yang paling alim di masanya.
Ada yang menyangka kunci surga ada di tangannya, tapi ternyata jalan ke neraka terbuka lebar untuknya. Ada yang menyangka dia akan masuk neraka, padahal surga berada dalam genggamannya. Ada yang menyangka dirinya benar, tapi ternyata salah. Ada yang menyangka dirinya salah, tapi ternyata benar. Ada yang menyangka, yang menyangkal, yang menerima.
Ada yang tidak peduli pada dualisme itu dan melangkah maju.
Lalu ada satu lagi tipe manusia, yang tidak peduli pada semua hal remeh temeh itu. Baginya, semua yang datang dan pergi, yang terjadi dan tidak terjadi, yang ingat dan yang lupa, yang hadir dan yang tidak, semuanya adalah ketetapan Allah.
Mereka tidak membuang apapun, tidak mengambil apapun. Tidak condong ke kiri ataupun ke kanan. Melihat dari berbagai sisi, memperhatikan semuanya, lalu menyajikannya apa adanya. Baik hubungan vertikal ataupun horizontal, mereka tetap memakai ketetapan Allah dan bukan ketetapan yang dia bawa dari dirinya. Dia sadar dia bukan Tuhan, dan dia mengetahuinya. Dia sadar dia bukan Rasul, dan dia mengetahuinya. Dia mengetahui potensi dan batasnya. Tidak melampauinya.
Itu semua, gampang sekali diucapkan dan dilakukan jika dan hanya jika sudah menjadi manusia.
Mereka yang tidak lagi mempertanyakan dan berkubang dalam dikotomi laki-laki dan perempuan, dalam dikotomi hubungan vertikal dan horizontal, dalam kubangan bau penuh perdebatan antara hak dan kewajiban, antara peran individu dalam setiap level interaksi sosial. Tapi, ini bukan pembicaraan tentang humanisme ya, kalau kalian paham maksudku.
Mereka paham bahwa penanda laki-laki dan perempuan itu hanya alat kelamin dan anatomi tubuh yang berbeda, sedangkan identitas itu berada dalam pembahasan yang abstrak dan kontekstual. Mereka memahami dua hal ini, lalu menggunakannya pada benang merah yang mengikat hubungan vertikal dan horizontal, pada pemenuhan hak dan kewajiban, pada peran mereka sebagai individu dalam setiap level interaksi dan kelompok sosial.
Terlalu banyak dan terlalu panjang jika harus dijelaskan secara mendetail seluruhnya. Sementara itu,  pembahasan manusia yang berbelit-belit ini dijelaskan dengan indah melalui firman Allah,
"Dan barang siapa mengerjakan amal saleh, baik lelaki atau perempuan, sedang dia beriman, mereka akan masuk surga dan mereka pula tidak akan dianiayai (atau dikurangkan balasannya) sedikit pun." (QS sn-Nisa [4]: 124).
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)
Luar biasa Allah itukan? Dia meletakkan setiap kebenaran pada setiap levelNya. Menguji mereka, apa yang manusia akan lakukan setelah dengan sombongnya membangun dan memanjat menara babel ini ketika sudah sampai di puncaknya yang tinggi. Apakah akan tetap di atas dan memandang rendah manusia yang di bawah? Atau malah memanah langit dan melakukan sumpah serapah?
Luar biasa Allah itukan? Dia meletakkan setiap kebenaran pada setiap lapisanNya. Menguji mereka, apa yang manusia akan lakukan setelah diangkat ke langit pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh? Apakah akan tetap di atas dan menjadi Buddha Gautama, atau mengikuti teladan Rasulullah yang bolak-balik Surga dan Neraka untuk menyelamatkan umatnya?
Dari percakapan sederhana dengan dosen saya itu, saya harus menerima fakta menyakitkan bahwa kebanyakan manusia itu hanya menilai sesuatu dari kacamata kuda. Saya juga termasuk yang pakai kacamata kuda itu.
Tapi gapapa deh, yang penting Attentive dan Considerate. Kayak anjing yang nunggu majikannya pulang dengan ekor yang bergoyang-goyang walau udah dikasari oleh majikannya seharian. Sekarang belajar jadi anjing dulu, soalnya belakangan susah sekali jadi manusia.
“When the education is not liberating, the dream of the oppressed is to become the oppressor.”
0 notes