mhdzhrw
mhdzhrw
Saudagar Kata
740 posts
Mostly Personal Experience, Personal Value, My Ideal World, My Personal Diary. [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
mhdzhrw · 12 days ago
Text
Kemenangan Kecil
Pagi ini aku belajar tentang Learned Helplessness dari sebuah video pendek instagram. Menampilkan seorang guru di Amerika yang sedang memberikan tugas kepada para muridnya. Guru tersebut membagi kelas menjadi dua bagian, bagian kiri dan bagian kanan. Pada masing-masing bagian, Guru tersebut memberikan 3 kata untuk diubah menjadi kata yang lain, tugas anagram.
Bedanya, pada bagian kanan, kata yang diberikan lebih mudah daripada bagian yang kiri. Guru tersebut memberikan 3 kata yaitu Bat, Lemon dan Cinerama. Sedangkan pada bagian kiri, 2 kata pertama adalah kata yang sama sekali tidak bisa dibuat anagramnya, namun kata terakhir tetap Cinerama.
Guru tersebut bertanya ke seluruh kelas, apakah sudah ada yang selesai?
Ternyata, semua yang mengangkat tangan adalah mereka yang dari bagian kanan. Hasilnya? Bagian kanan menyelesaikannya dengan mudah. Bat menjadi Tab, Lemon menjadi Melon, Cinerama menjadi American. Namun, bagian kiri sama sekali tidak bisa menyelesaikan satupun meskipun kata terakhir sama-sama Cinerama.
Guru tersebut berkata, "Aku minta maaf, karena memberikan bagian kiri 2 kata pertama yang sama sekali tidak bisa diubah. Hanya kata ketiga saja yang sama dengan bagian kanan, yaitu sama-sama Cinerama. Tapi kenapa tidak ada satupun dari kalian yang mampu menjawabnya?"
"Bagaimana perasaan kalian ketika kalian melihat satu-persatu teman kalian di bagian kanan mengangkat tangan mengatakan sudah selesai?"
Para murid menjawab, "Aku merasa bodoh", "Aku merasa tidak ada harapan", "Aku merasa tidak ada gunanya"
Guru tersebut menanggapi, "Ya, kalian pikir kata yang kalian ubah sama dengan bagian kanan, sehingga kalian merasakan perasaan negatif tersebut. Padahal itu kata yang berbeda. Perasaan itu terus timbul hingga kalian luput melihat kata ketiga, yaitu Cinerama"
"Perasaan gagal pada dua kata pertama tersebut membuat kalian merasa bahwa kata ketiga juga tidak dapat disusun ulang. Kalian membawa perasaan gagal dari masa lalu dan memprojeksikannya untuk masa depan, inilah konsep Learned Helplessness"
Aku langsung teringat dengan hidupku 10 tahun terakhir yang penuh dengan gonjang-ganjing. Setelah jatuh, jatuh kembali, lalu jatuh kembali, lalu jatuh kembali. Apa kau tau hal yang membuatku tetap berdiri tegak?
Cuma Allah. Bahwa ini hanyalah dunia persinggahan yang sementara, kefanaan yang menghipnotis manusia. Ujian untuk orang-orang beriman, Cobaan untuk orang-orang yang sabar. Perintah-Nya untuk tetap berprasangka baik kepada-Nya. Perintah-Nya untuk tetap berjalan meskipun sulit, Perintah-Nya untuk menyelesaikan satu pekerjaan dan berpindah kepada pekerjaan lain. Perintah-Nya untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Peringatannya bahwa Akhirat lebih baik dari awal.
Semoga kau dan kita semua mampu melewati ini dengan baik, dengan kepala yang tegak dengan iman yang teguh kepada-Nya
0 notes
mhdzhrw · 13 days ago
Text
Kebaikan
Orang yang baik adalah orang yang kuat. Mereka yang memaafkan saat seharusnya marah, mereka yang memaklumi saat hatinya tersakiti. Kebaikan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat, orang-orang yang mempunyai kuasa. Jika bukan kekuasaan atas orang lain, setidaknya kuasa atas dirinya sendiri. Kuasa untuk menahan, kuasa untuk memaafkan.
Apa kau pernah berdoa untuk menjadi Kuat? Maka Allah akan memberinya lewat cobaan, lewat pengkhianatan, lewat hati yang hancur berkeping-keping.
Meskipun begitu, jangan berhenti menjadi orang baik. Pada akhirnya saat semua telah selesai dan final, kau akan tersenyum dan bersyukur seolah-olah hidup kembali menjadi manusia yang baru. Manusia yang kuat.
1 note · View note
mhdzhrw · 1 month ago
Text
Damned Conservative!
Hidup di jaman Post-Truth sangat melelahkan. Kau harus berbohong agar valid, melebih-lebihkan agar muncul keterikatan, menjilat agar disenangi, berhadapan dengan manusia berwajah tak terhingga yang menormalisasi absurditas ini. Orang-orang yang dicap konservatif sepertiku sangat tersiksa. Aku tidak bisa melebih-lebihkan sesuatu karena rasanya seperti mengoyak jiwamu, aku tidak bisa menjilat karena rasanya sangat menyiksa. Aku tidak bisa tersenyum saat dimanipulasi. Aku tidak bisa memalingkan wajah saat kau bersekongkol dalam kerusakan.
Ini salah, kawan! Ini salah!
Aku sempat berpikir untuk menjadi lebih "legowo," serta telah mencoba memaklumi segala hal, menjadi apa yang mereka sebut sebagai open-minded atau bahasa halusnya "berdamai".
Tapi... Berdamai? Kepada apa? Kepada para pencuri harta Negara ratusan triliun dan hanya didenda beberapa Milliar? Kepada para pencuri Emas yang diampuni? Berdamai dengan kondisi saat para Hakim menerima banding para cecunguk-cecunguk ini?
Berdamai? Untuk apa? Agar aku memiliki personal branding yang baik dan orang-orang membeli produkku? Untuk sekadar hidup dan membayar cicilan-cicilan yang tidak ada akhirnya itu? Atau tenggelam dalam diskursus tanpa akhir untuk memuaskan ego para akademis dan self-claimed aktifis yang merasa telah berjuang dalam debat-debat tanpa akhir terkait harapan palsu dari tindakan minimum. Untuk melepas beban.
Syaikh pernah mewasiatkan satu diksi kepada para muridnya that the interim is yours, the interim is mine, but Syaikh why it is so hard. How? What do we have to do?
0 notes
mhdzhrw · 1 month ago
Text
Random Post, 22 Januari 2025
Manusia-manusia yang mati, tenggelam dalam kebosanan rutinitas membayar tagihan bulanan. Manusia-manusia tidak autentik yang sibuk bermain aman dan membunuh dirinya sendiri, beralasan demi kebaikan dirinya sendiri, keluarganya, masa depannya. Dunia bagi mereka tidak lagi berwarna namun kelabu, tidak bergemuruh dengan gairah kehidupan yang bermakna.
Ada apa ini? Sejak kapan manusia-manusia menjadi seperti ini? Apakah benar untuk masa depan, atau hanya takut maju ke depan? Takut kehilangan masa depan sehingga mengorbankan hari ini, beralasan untuk nanti yang tidak pasti, dan membuang kepastian itu sendiri.
Ya Allah, kenapa kami ini? Kenapa kami takut dan malah mengemis kepada dunia ini?
0 notes
mhdzhrw · 5 months ago
Text
Di Ujung Tanduk
Di umur 30 tahun aku menyadari bahwa keberanian bukanlah berarti tidak takut atau tidak pernah takut. Justru, keberanian adalah terus maju menghadapi rasa takut. Saat-saat seperti itu adalah saat-saat yang riskan dan mengerikan, hanya Allah yang akan menolongmu. Tidak kekuatanmu, tidak prediksimu, tidak prestasimu, tidak pula koneksi-koneksimu.
Menghadapi rasa takut yang sekarang, bukan rasa takut yang nanti. Rasanya seperti dicerabut sampai ke akar-akarnya. Rasanya sangat menyesakkan dada. Seperti di ujung tanduk.
Seperti di tusuk-tusuk, seperti seluruh dunia membebanimu. Tanpa Allah, mana mungkin kita sanggup.
0 notes
mhdzhrw · 5 months ago
Text
Tidak semua mimpi harus menjadi nyata. Tidak semua tujuan harus tercapai. Tidak semua ide harus wujud. Sejak dulu dirimu itu memang lilin, habis terbakar demi menerangi tempat yang gelap. Berdiri dan menunggu, sampai mati, tidak diragukan lagi. Melihat orang lain, datang dan pergi mengejar mimpi. Menerangi mereka sampai redup, sampai mati.
0 notes
mhdzhrw · 5 months ago
Text
Tahajjud is the only solution to your problems. If you get up at night and explain to Allah how your heart is broken, how devastated you are, and how people have hurt you, Allah will be sufficient for you. The dua you made at tahajjud is always accepted, it's just a matter of your iman and sabr.
687 notes · View notes
mhdzhrw · 6 months ago
Text
Fourth Wall
Tumblr media
Jika selama ini kita mengalami segala hal dari sudut pandang orang pertama, bukankah artinya kita tidak benar-benar mengalaminya? Kita hanya mengalaminya dari sudut padang orang pertama, tubuh yang terbatas, melalui panca indera, sesuatu yang kita sebut sebagai "saya". Namun, pada akhirnya kita tidak benar-benar mengalaminya. Apa yang ada di balik sudut pandang tersebut? Siapa "Saya", Siapa "Kita" ini sebenarnya?
Segala jenis kenikmatan datang dari stimulus eksternal, atau stimulus internal yang diartikan melalui sinyal listrik di kepala manusia dan lalu mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh untuk memproduksi hormon tertentu. Agar kita dapat merasakannya. Kita, siapa kita? Kenapa kita harus merasakannya?
Kenapa kita harus merasakan kesedihan dan kesulitan ini berulang-ulang? Hanya untuk merasakan sebuah kelegaan yang positif setelah lusinan ketidakberuntungan? Sebuah hal baik yang kita syukuri, apakah kita menikmatinya? Atau menikmati kesulitan-kesulitannya?
Apakah mereka benar-benar kesedihan dan kenikmatan? Atau ini hanya sebuah sebutan yang mewakili suatu emosi, agar kita dapat memahaminya? Jika ia sebutan yang mewakil sebuah emosi tertentu, maka seharusnya tidak ada label buruk dan baik. Keduanya, baik kesedihan dan kenikmatan adalah hal yang sama. Bukankah begitu?
Dinding keempat. Begitu sebutan yang ditetapkan beberapa orang. Sebuah kondisi unik saat seseorang tidak lagi mengalami sesuatu dan mengambil makna melalui sudut pandang orang pertama, namun menjadi satu dengan sesuatu di balik Dinding Keempat, batas antara realitas dan idealisme, batas antara emosi fisik dan "Kita".
Beyond the fourth wall, there is... us
0 notes
mhdzhrw · 7 months ago
Text
I hate old, so I'm calling out my youth. The ruthless asshole driven by ambition-target oriented. the world is growing old so what are you waiting for? the right and wrong what is it for? doing good while others are wrecking up this world, what will you achieve for? sitting down hoping for some compassion, what are you, 12 years old? don't forget where you came from, what were you before, who you were and what that name stands for. The black horse and the black flag is waiting for you, what are you waiting for?
0 notes
mhdzhrw · 7 months ago
Text
Kalau kau mau merenung sejenak, kau akan sadar bahwa jawaban tidak selalu datang dari ketergesaan, bahwa hidup benar-benar bukan dan tidak akan pernah tentang pencapaian. Tentang berapa banyak uang yang telah kau kumpulkan, penghargaan yang telah kau terima, tentang tercapainya mimpi.
Semuanya kosong dan semu. Tidak berarti apa-apa sama sekali dan bahwa ini semua hanya alat-alat yang memudahkan hidupmu di dunia. Di dalam seonggok jasad yang pada akhirnya juga akan mati.
Bukan, ini bukan nihilisme. Bukan tentang mematikan mimpi dan menjadi anti kemapanan atau hal-hal kiri lucu lainnya. Ini adalah kenyataan yang belum terjadi pada kita, tapi telah terjadi pada orang-orang sebelum kita.
Apa yang abadi? Bahkan tulisan pun bisa hilang ditelan zaman, dibakar orang-orang anti peradaban dalam operasi penghilangan jejak dan kebudayaan, ditenggelamkan di sungai-sungai pada pertempuran antar bangsa. Alexandria. Bahkan jika buku-buku ini selamat melewati beberapa abad, manusia kehilangan kemampuan untuk membacanya seperti buku-buku di perpustakaan tibet.
Apa yang abadi di dunia ini?
Ini bukan nihilisme, ini bukan untuk mengecilkan dirimu. Ini adalah realitas yang akan kita temui dalam waktu-waktu selanjutnya. Bukankah begitu? Kematian, kengerian yang romantis. Utopis. Tak terelakkan.
Lalu untuk apa hidup? Lalu, setelah semuanya ini kita dapatkan, setelah bekerja pontang-panting, tunggang-langgang, lalu apa? Jangankan begitu, bahkan sebelum mati saja kita sudah merasa hampa, tidak merasakan apapun dari segala sesuatu yang kita sebut dengan kemajuan ini dan pencapaian-pencapaian yang mengikuti setelahnya.
Dalam fenomena yang aneh ini, manusia malah merasa hidup ketika dia memberi dan melepaskan apa yang dia miliki. Paradoks kan? Dahulu kita mengambil sebanyak-banyaknya, berpikir bahwa kita memerlukannya dan kita akan bahagia karenanya. Nyatanya, kita bahagia dan merasa hidup malah ketika melepaskannya. Ketika kau memberi uang 10 ribu terakhirmu kepada pengamen jalanan, ketika kau memberi kembalian uang belanjaan kepada penjual. Ketika kau mengisi parfum-parfum kosong di masjid, ketika kau menyediakan sandal-sandal bersih untuk digunakan ketika berwudhu, ketika kau memesan 100 porsi nasi bungkus porsi sedang untuk jamaah masjid sholat jum'at, ketika kau mentraktir adik-adik penjual pancake durian untuk makan bersamamu.
Ketika uangmu habis untuk anak dan istrimu, untuk pasanganmu, untuk orangtuamu dan kau hanya tersenyum berkata "Nanti kita cari lagi"
Merenunglah, lalu bekerja. Kumpulkan sebanyak-banyaknya, dan mungkin pada akhirnya, ayo kita habiskan dengan sukacita.
1 note · View note
mhdzhrw · 7 months ago
Text
Tumblr media
I guess this is good night...
947 notes · View notes
mhdzhrw · 7 months ago
Text
Pemutus Tawakal
Pernah dikisahkan kisah Khalid bin Walid -sang panglima yang tidak pernah kalah dalam memimpin perang baik sebelum beriman maupun sesudahnya- saat masa Umar bin Khattab, Khalid bin Walid pernah diberhentikan sebagai panglima.
Alasannya? Inilah menariknya.
Umar bin Khattab tidak mau ummat "menggantungkan" tawakalnya pada Khalid bin Walid. Berpikir bahwa ketika Khalid bin Walid yang menjadi panglima, pasti akan menang. Seolah-olah kemenangan dari Khalid bin Walid, bukan dari Allah.
Dari kisah itu, agaknya diri ini mulai berpikir.
Entahlah -ini bisa dibenarkan atau tidak- aku menghabiskan 100% tabunganku untuk keperluan yang sebenarnya bisa ditunda (membantu biaya adik kuliah) meski tidak banyak -karena tabunganku cuma segitu- tapi aku habiskan semuanya bulan ini.
Alasannya? Inilah -entahlah ini bisa dibenarkan atau tidak-
Sejak memiliki tabungan, aku merasa tawakalku berbeda. Berpikir bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan uang. Seolah melupakan hakikat solusi adalah dari Allah. Kemudahan dari Allah.
Aku masih menabung -untuk hal-hal yang akan memakai uang tabunganku nantinya- semoga dengan ini aku bisa menggantungkan semua urusan pada Allah.
342 notes · View notes
mhdzhrw · 7 months ago
Text
Bertarunglah
Setelah puncak pertama berhasil didaki, puncak selanjutnya langsung terlihat menjulang tinggi. Pencapaian kecil ini, terasa getir. Setelah puncak itu berhasil didaki, pasti, puncak selanjutnya akan langsung terlihat menjulang tinggi, lagi. Setelahnya, dan puncak-puncak selanjutnya.
Ternyata, dia tidak sadar bahwa dia jatuh sampai ke dasar. Dia tidak sadar. Tenggelam dalam dramaturgi yang terus dia ulang, tentang kiamat dunianya sendiri. Didramatisasi, diromantisasi. Sekarang, kejadian itu seperti cuplikan film yang sering diberikan sound epik di platform video durasi pendek. Keren sekali dia, tetap berdiri tegak tegap gagah berani menyaksikan hancurnya langit dan runtuhnya pilar-pilar yang menopangnya.
let the sky fall, ujarnya dengan tidak perduli, dengan penerimaan yang tinggi. Hancur? Ya sudah, hancurlah. Aku akan menerimanya dengan tenang dan tersenyum. Kata-kata yang dia ucapkan dengan hati yang tidak lagi memiliki bentuk, hati yang cair, yang cair akibat panasnya fitnah api-api dunia.
Memangnya, apa yang bisa kau lakukan ketika duniamu kiamat? Kau hanya bisa menyaksikannya. Setidaknya, saksikanlah kiamat itu dengan gagah berani.
Jurang tanpa dasar. Tempat makhluk-makhluk kegelapan yang tidak berhenti mengintai. Tempat pertarungan antara manusia dan makhluk kegelapan. Menang bukan berarti selesai, menang artinya masuk ke pertarungan berikutnya. Pertarungan tanpa henti. Pendakian yang terjal dalam kegelapan yang berlapis-lapis.
Puncak tertinggi pertarungan itu adalah dialektika antar dualisme.
Tapi jika kau menyadarinya, justru pertarungan ini yang membuatmu hidup. Tidak boleh ada pemenang dalam pertarungan ini. Mereka harus terus bertarung, tarik menarik, balas membalas. Untuk tetap hidup, mereka tetap harus melakukannya. Jika berhenti, maka mereka, dia, akan mati. Seperti laki-laki lain yang mati di usia 25 dan menjadi mayat hidup hingga maut menjemputnya.
Tapi pertanyaannya, apakah harus hidup? Kalau eksis sebagai yang bukan siapa-siapa, sebagai mayat hidup, tidak apa-apa juga kan? Kenapa harus menjadi sesuatu? Mati dan dilupakan, semua orang mengalaminya. Tidak apa-apa, tidak terlalu buruk. Benarkan?
Bukankah begitu? Bukankah tidak menjadi sesuatu juga artinya telah menjadi sesuatu?
Telah menjadi, "Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa". Aku rasa itu tidak sepenuhnya benar. Aku melihatnya sebagai kepasrahan yang menyedihkan. Mereka yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa adalah mereka yang tidak memiliki harapan. Bagaimana dan kepada siapa dia berharap jika dia bukanlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa? Tidak memiliki apapun, tidak bisa melakukan apapun, tidak dikenal siapapun, tidak berkontribusi apapun.
Kepada Tuhan? Bahkan Tuhan sendiri berfirman bahwa "tidak akan berubah nasib suatu kaum kalau dia sendiri tidak mengubahnya".
Kepada siapa?
Duhai yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, kepada siapa kau mau berharap dan meminta pertolongan?
Bertarunglah, hanya ini jawabannya.
1 note · View note
mhdzhrw · 8 months ago
Text
Menahan beban dunia seorang diri, menyembunyikan rasa sakit dalam hening. Tersenyum. Dada ini seperti akan pecah, pundak ini seperti akan rubuh. Tubuh ini ingin tumbang. Tapi Lloyd tidak menyerah, dia berkata
I just need to do what i do to the end, like i first started"
0 notes
mhdzhrw · 9 months ago
Text
Laki-laki itu melawan dunia setiap harinya, tidak dengan senjata atau dengan tulisan, tapi dengan bangun pagi dan tersenyum menyambut duri-duri yang bergelimpangan di jalan yang harus dia lewati hari itu, setiap harinya. Duri ini tidak ada habisnya, bermunculan terus seperti pohon yang tumbuh dengan subur.
Apa yang salah? Apakah jalannya? Apakah kakinya? Apakah Bumi tempat dia berpijak? Apakah tanahnya penuh dengan bibit Duri? Apakah tanahnya begitu subur untuk Duri tersebut tumbuh?
Dia tidak tahu dan dia tidak lagi peduli. Dia injak saja duri itu dan melangkah maju tanpa menunda-nunda lagi. Membunuh keengganannya, membunuh ketakutannya, membunuh dirinya sendiri. Enggan, itulah dirinya. Takut, itulah dirinya. Itulah yang dia bunuh setiap hari.
Dia terus membunuh dan melanjutkan perjalanan. Apa yang salah? Dia tidak tahu dan tidak punya waktu mencari tahu, dia maju dan melihat kesimpulannya di akhir saja. Apakah jalannya? Sepertinya tidak, jalannya terjustifikasi, jalannya lurus atau setidaknya berusaha lurus dan mengikuti orang-orang yang lurus. Apakah kakinya? Apa bedanya kakinya dengan kaki orang lain? Sepertinya bukan karena itu. Apakah Bumi tempat dia berpijak? Sepertinya tidak, bumi yang dia pijak sama dengan bumi yang orang lain pijak. Apakah tanahnya penuh dengan bibit Duri? Kalau ini mungkin saja, mungkin setelah ini dia harus lebih banyak melemparkan bibit kurma daripada bibit Duri. Apakah tanahnya begitu subur untuk Duri tersebut tumbuh? Mungkin saja, mungkin tanahnya begitu beracun hingga Duri yang malah tumbuh dan bukannya kurma.
Dia tidak tahu. Dia hanya maju saja, tanpa menunda-nunda lagi. After all, isn't life an ordeal?
0 notes
mhdzhrw · 9 months ago
Text
Random post 8 Juni 11:35
30 tahun hidup, aku semakin yakin tidak ada hal baik yang datang kepada orang-orang baik. Hal-hal baik hanya datang kepada orang-orang jahat dan hal-hal jahat hanya datang kepada orang-orang baik.
Orang baik akan menetralisir hal-hal yang jahat, dan hal-hal baik akan menetralisir orang-orang jahat. Jadi, mana yang lebih untung? menjadi orang baik atau menjadi orang jahat? atau menjadi orang baik yang melakukan hal-hal jahat? atau menjadi orang jahat yang melakukan hal-hal baik?
Entahlah, mungkin karna kepalaku sedang sakit makanya pandanganku juga ikut sakit.
0 notes
mhdzhrw · 10 months ago
Text
Begitulah hidup kebanyakan laki-laki. Menyelesaikan semua masalah di sekitarnya, membakar diri layaknya sebuah lilin yang akan habis pada waktunya. Tidak ada yang perduli padanya, pada kesehatannya, pada dirinya, bahkan dirinya sendiripun tidak.
Menjadi laki-laki utuh. Bagaimana? Dengan menjadi laki-laki yang tidak mengedepankan perasaan, keras seperti baja. Harus begitu, karena kalau tidak kau akan diinjak-injak oleh setidaknya isi kepala dan perasaanmu sendiri.
Ini standar baku menjadi laki-laki. Inilah esensinya, menjadi benda mati yang berfungsi baik. Hidup dan tertawa dalam chaos, kuat dan bertahan di bawah beban yang menimpa, tidak beristirahat sebelum tidur, tidak berhenti sebelum mati.
Demi sesuatu yang ada di ujung sana, entah apapun itu, kita harus berharap bahwa sesuatu itu layak dengan semua ini, dengan semua omong kosong ini. Harapan, satu-satunya yang laki-laki harus gigit sekuat tenaga. Harapan yang bahkan tidak bisa kita miliki.
Tuhan, pemilik harapan. Hanya Dia. Hanya denganNya kita bisa selamat. Wahai para laki-laki kuat, berTuhanlah, agar kau bisa bertahan. BerTuhanlah, agar kau memiliki harapan.
0 notes