#kesimpulan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Imaginasi imaginasi berkeliaran, terkumpulkan warna dari berbagai arah. Ada yang sudah dengan corak yang terdeskripsi dan ada yang masih dibebaskan untuk penerimanya kembangkan sendiri.
Ada arahan yang tersampaikan dari capaian penelitian, ada yang tekumpulkan dan diturunkan dari kumpulan pengalaman, ada pula yang lewat pencerahan dengan berbagai bentuk atau nama nya.
Ingin memikirkan kondisi dimana kepala ini saat memang belum komplit menerima pengindraan. salah satu dari lima ataukah pecahan diantanya.
Mampukah kita temukan warna itu? mampukan temukan nada itu? temukan kesan lembut, panas dan rasa rasa eksterior itu?
lantas bagaimana rasa bagian yang dalam itu bisa ditularkan? kalau belum bisa menerima pengantar sebelumnya?
kebenaran masih mulur dan mengkerut bersamakan kebaikan, kelayakan, kepantasan masih dalam ranah tanya.
apakah orang yang tunarungu sedari dalam rahim akan ada ketercapain, peningkatan pemahaman warna akan suara?
apakah orang yang dia tiada tampak sedari dalam rahim tentang arti warna, kan ada kumpulan titik warna yang begitu indah jadikan yang bisa bawanya menari?
dst
kecuali rasa, alam rasa batin yang sampai saat ini belum kutemukan kejelasan struktur pembentunya itu; ada yang menyatakan dapat nkau tularkan.
kesamaan rasa, yang tapi atas sebab rasa beda yang terkontruksi sedari awal kehidupan kita kian jadikan jarak antara manusia.
jembatan nya apa?
ketercapaian macam apa; yang kan jadi gaun dengan merek manusia itu, bisa membuat pribadi pribadi itu saling mengenal dengan perbedaan masing masing diantara mereka tapi masih sadar dan berucap "kami sama" kami manusia.
iming iming kerukunan, dalam satu poros pemikiran-pun masih sering timbul cekcok, bahkan baku hantam hingga tikam.
melihati diri sendiri, mengenal, menyelam disamudra rasa, mengamati pergerakan arus yang ada didalamnya.
tak mengomentarinya, hingga pemikiran itu hilang dengan sendirinya (sepertinya begitu kata para meditator)

apakah rasa dalam diri hanyalah sensasi dari pemikiran yang ada tadi itu?
kemelut tanya dari beberapa jengkal pikir yang barusaja aku buat.
hingga terlintas
yaa aiyyuhannafsul mutmainnah, irjiu ila robby kirdiatam mardhiyya fadkuli fi ibadi fadkhuli jannati
Bunyi kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku."
Kalimat tersebut merupakan ayat dari Al-Quran (Surah Al-Fajr, 89:27-30) yang merupakan ajakan bagi jiwa untuk kembali kepada Sang Pencipta dengan rasa puas dan bahagia serta berusaha menjadi hamba-hamba yang saleh di sisi Allah untuk mendapat anugerah surga-Nya. Ayat ini mengingatkan untuk fokus pada tujuan akhir yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan mendapat pahala surga yang kekal. (chat-GPT)
mari bikin batas bahwa surga yang dimaksud adalah ketentraman batin
apakah kan ketentraman batin dpat dengan seketikanya lahir dalam kontruksi masyarakat? sebelum ketentraman itu sudah ada terupayakan lebihdulu dari masing masing pembentuk interaksi sosial???
Kata "saleh" dalam bahasa Arab mencakup makna baik dan benar secara bersamaan, khususnya dalam konteks agama Islam. Seorang yang saleh dianggap baik karena ia hidup dengan mengikuti ajaran agama dan berusaha melakukan kebajikan kepada sesama manusia. Selain itu, ia juga dianggap benar karena ia hidup sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh agama dan menerapkan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, kata "saleh" dapat diartikan sebagai seseorang yang baik dan benar dalam arti yang sebenarnya.
Kata "benar" dalam bahasa Arab adalah "صَحِيْح" atau "صَدِيْق" (sahih atau sadik).
Kata "baik" dalam bahasa Arab dapat dinyatakan dengan beberapa kata, di antaranya adalah:
1. "حَسَن" (hasan)
2. "طَيِّب" (thayyib)
3. "صَالِح" (shaleh)
4. "جَيِّد" (jayyid)
dalam kondisinyang saya temukan, dan bantuan chat-gpt
Kata "baik" dan "benar" memiliki makna yang berbeda.
Kata "baik" mengacu pada sesuatu yang mempunyai kualitas positif, mulia, dan sesuai dengan standar moral atau etika. Contohnya, "Dia adalah seorang anak yang baik dan rajin belajar."
Sedangkan, kata "benar" mengacu pada suatu pernyataan atau tindakan yang sesuai dengan fakta, kenyataan, atau kebenaran yang objektif. Contohnya, "Pernyataan itu benar karena didukung oleh fakta dan bukti yang valid."
Kata "bebar" bukanlah kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia. Namun, jika maksud Anda adalah "salah", maka kata tersebut memiliki makna kebalikan dari "benar", yaitu suatu pernyataan atau tindakan yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan, atau yang tidak sesuai dengan kebenaran yang objektif. Contohnya, "Dia salah mengira hari ini hari libur, padahal sebenarnya hari kerja."
dan kesimpulannya apa bang?
"semuanya tidak akan jadi apa-apa jika tidak ada apa?, ayo tafakur bareng"
dan aku luma ucapan temen kemarin sebelum quote yang gak gitu juga sih quotenya kemarin tu 🤣🤣
dan malah teringan cletukan yang intinya macam ini;
kalo ditanya nikah kapan sama orang, coba tanya balik "matimu kapan"
dan tadi sambil bercanda sama temen lain
bro minta list nama "cirkel kita" cewek dong yang belum nikah dan sekiranya cocok nggo aku 🤣🤣🤣🤣🤣
2 notes
·
View notes
Text
Mengkonstruksi Penelitian: Membuat Ciri Khas Penelitian Semiotika

MIRMAGZ.com - Semiotika adalah studi tentang tanda atau simbol, dan bagaimana tanda-tanda tersebut digunakan dalam komunikasi. Secara umum, semiotika membahas tentang cara kita membuat makna dari tanda-tanda dalam bahasa, gambar, musik, film, dan banyak lagi. Semiotika membahas tentang tiga hal penting dalam proses ini: - Tanda: Semiotika mempelajari tanda-tanda dan simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi, seperti kata-kata dalam bahasa, gambar, dan gestur. - Makna: Semiotika membahas tentang bagaimana makna dibuat dari tanda-tanda tersebut. Misalnya, bagaimana kata "rumah" dapat memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda, atau bagaimana warna dapat memberikan makna yang berbeda dalam sebuah gambar. - Konteks: Semiotika juga mempelajari konteks di mana tanda-tanda tersebut digunakan. Konteks ini dapat mempengaruhi makna yang dibuat dari tanda-tanda tersebut.

Dalam keseluruhan, semiotika membahas tentang bagaimana kita membuat makna dari tanda-tanda yang ada di sekitar kita dan bagaimana tanda-tanda tersebut digunakan dalam komunikasi untuk membentuk pemahaman dan arti. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu kalian memulai penelitian semiotika: - Pilih topik penelitian: Pilih topik yang menarik dan relevan dengan minat dan keahlian kalian. Pastikan topik tersebut memiliki elemen semiotika yang jelas, seperti kata-kata, gambar, atau tanda-tanda lainnya. - Tentukan tujuan penelitian: Tentukan tujuan penelitian kalian dan pertanyaan penelitian yang ingin kalian jawab. Hal ini akan membantu kalian dalam menyusun kerangka teoritis yang tepat untuk penelitian semiotika kalian. - Kumpulkan data: Kumpulkan data yang relevan dengan topik penelitian kalian. Data dapat berupa teks, gambar, atau tanda-tanda lainnya yang akan kalian analisis dalam penelitian semiotika kalian; misalkan apabila itu poster, maka dengan mudah dapat menganalisis segala elemen tanda yang ada pada konstruksi poster tersebut. Apabila itu video, kalian bisa menggunakan screenshot untuk menangkap tanda apa yang ingin kalian bahas. Saran saya, fokuslah pada tanda yang menjadi penarik perhatian kalian, yang penting untuk dihidangkan dalam sebuah tulisan. - Analisis data: Analisis data dengan menggunakan pendekatan semiotika yang sesuai, seperti analisis sintaktis, analisis semantik, dan analisis pragmatik. kalian juga dapat menggunakan kerangka teoritis dari ahli semiotika terkenal seperti Roland Barthes atau Ferdinand de Saussure. - Interpretasikan hasil analisis: Setelah melakukan analisis data, interpretasikan hasil analisis tersebut dan buat kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian kalian. - Sajikan hasil penelitian: Sajikan hasil penelitian kalian dalam format yang sesuai, seperti laporan penelitian atau makalah ilmiah. Pastikan untuk menjelaskan dengan jelas metodologi yang kalian gunakan, hasil analisis, dan kesimpulan yang kalian buat. - Lakukan revisi: Lakukan revisi dan penyuntingan terhadap hasil penelitian kalian untuk memastikan kualitasnya sebelum diserahkan atau dipublikasikan. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kalian dapat memulai penelitian semiotika dengan lebih terstruktur dan efektif. Terlebih apabila telah ada minimal 20 literature untuk membedakan penelitian kalian dengan penelitian yang telah ada. Apalagi sudah menentukan jurnal mana (tentu telah memiliki format penulisannya) yang akan dituju, itu akan lebih mempermudah karena cara penulisan telah ditentukan. Terakhir, selamat belajar. Read the full article
#analisis#FerdinanddeSaussure#gambar#ilmiah.#interpretasi#kerangkateoritis#kesimpulan#komunikasi#makna#metodologi#penelitian#penyuntingan#pragmatik#revisi#RolandBarthes#semantik#semiotika#simbol#sintaksis#tanda#teks
0 notes
Text
Tidak ada Pernikahan yang 100% Siap
Mungkin iya, ya
Kadang aku berpikir apa yang perlu aku siapkan untuk menikah? Mental? Finansial? Rida orangtua? Ilmu? Untuk yang terakhir, sudah aku persiapkan. Tapi, karena lama tidak di-murojaah, akhirnya banyak yang nguap. Hehe
Setelah berpikir, akhirnya aku dapat kesimpulan (sementara). Hal yang belum aku siapkan adalah; EGO.
Bisa jadi ... Hidup di kelilingi orang yang berilmu, hafal Quran, bisa dijadikan diskusi, dsb, membuatku memasang harap bahwa kelak pasanganku juga bisa menjadi partner juga teman.
Layaknya teman, ekspetasiku ya nanti bisa main bareng, kajian, cari makan, nongkrong, diskusi, bahkan saling curhat.
Padahal kehidupan pernikahan lebih luas dan kompleks daripada hubungan antar teman. Pasti akan terbahas juga perkara jemuran yang lupa diangkat, lauk yang lupa diangetin, paketan nyasar padahal lagi dibutuhkan, dan banyak hal lainnya yang -bisa jadi- menjadi pembahasan sehari-hari.
EGO
Inilah yang harus aku tundukkan. Menyiapkan hati agar mau menjalani takdir tidak sesuai ekspetasi. Menundukkan hati agar sekiranya harus mengurusi hal-hal di luar ekspetasi.
Termasuk soal pasangan. Bisa jadi ada satu hal dari pasanganmu yang lupa engkau minta ke Allah. Tak apa, ladang kesabaran. Jika tidak maka akan menjerumuskan pada dosa yang lebih besar; kufur dan takabur.
192 notes
·
View notes
Text
145
Tulisan ini hadir—setelah merenung lama, sebagai kesimpulan a.k.a nasihat untuk diri sendiri atas kehidupan yang jungkir balik di tahun yang cukup berat ini;
Ternyata, iman kepada Allah tidak sesederhana yang diucapkan ya?
Ternyata tidak semudah itu, untuk memercayakan segala alur cerita kehidupan kepada Allah. Ternyata memang berat, meyakini bahwa Allah benar-benar Maha Kuasa atas Segala Sesuatu.
Dulu, tahunya sebatas Allah Yang Maha Pencipta, atau ya hafal Asmaul Husna tanpa penghayatan. Ternyata lebih dari itu.
Maka, untuk setiap hal-hal baik, yang terlambat disadari. Untuk setiap penjagaan dari-Nya, yang aku tidak pernah mengerti. Untuk setiap pencapaian yang Ia bantu dekatkan. Serta untuk setiap keluh yang terkesan tidak tahu malu, sebab nyatanya masih banyak nikmat yang tidak sempat disyukuri.
Semoga Allah berikan kesempatan agar diri ini tidak berhenti belajar untuk percaya sepenuhnya, juga berprasangka baik terhadap-Nya.
©Fahra, pada penghujung tahun 2024, ditemani suara hujan (seperti yang diharapkan).
#bercerita#berkarya#bermanfaat#berpengaruh#tulisan#tumblog#writing#catatan#books & libraries#quotes#fyp#tumblr milestone#writers on tumblr#fyp tumblr
155 notes
·
View notes
Text
Semua Masalah Pasti Punya Solusi
Pasti.
Saya percaya begitu karena premis berikut:
1. Dibutuhkan kecerdasan tertentu untuk menyelesaikan masalah. Semakin kompleks sebuah masalah, semakin tinggi requirement kecerdasannya. Kecerdasan di sini bukan sebatas kecerdasan akademis atau intelektualitas, tapi kecerdasan dalam makna luas. Jadi jangan insecure kalau IQ kita biasa aja.
2. Kita gak tahu batas maksimal dari POTENSI kecerdasan kita. Manusia itu didesain Allah untuk bisa belajar dan berkembang. Jadi jangan berpikir kamu yang sekarang adalah versi final. Kamu bisa jadi lebih cerdas dari yang sekarang. Kamu itu gak diciptakan sekali jadi, terus beres. Kamu itu masih dalam proses penciptaan. Tiap hari ada sel baru yang diciptakan di tubuh kamu. Adilnya Allah, sekarang kamu punya andil untuk ikut membentuk diri kamu.
3. Solusi suatu masalah itu bisa banyak dan bisa dalam bentuk yang berbeda dengan bayangan kita. Jadi jangan fixated alias ngotot solusinya harus sama dengan yang kita mau. Misal, seseorang yang kita cintai meninggal dunia dan kita berduka. Kita mau orang yang kita cintai itu hidup lagi. Apakah ada solusinya? Ada. Apakah solusinya menghidupkan orang mati? Bukan. Solusinya bisa jadi belajar memproses rasa duka, konsultasi ke psikolog, ikut komunitas, atau yang lain. Maaf, bukan bermaksud menggampangkan. Poinnya, solusi gak selalu bisa sama dengan kemauan kita. Tapi toh pada akhirnya ada cara untuk menghadapi masalah itu kalau kita cukup terbuka dan mau berusaha nyari.
Ini kesimpulan untuk menjahit semua premis itu.
Kalau kita terjebak sama suatu masalah, bisa jadi karena level kecerdasan kita saat ini ga cukup untuk menghadapi masalah itu. Kita butuh level kecerdasan yang lebih tinggi.
Kata Einstein, kita gak bisa menyelesaikan suatu masalah dengan tingkat berpikir yang sama dengan saat masalah itu tercipta. Karena bisa jadi asumsi, perspektif, dan metode kita adalah bagian yang membuat masalah itu tetap ada.
Kita perlu tanya diri kita sendiri:
"Apa hal fundamental yang belum aku tau tentang masalah ini?"
"Bagaimana orang lain menghadapi masalah ini?"
"Kenapa ada orang lain yang bisa sementara aku gak bisa?"
"Apa bedanya antara aku dan mereka?"
"Gimana hal-hal bekerja dalam situasiku sehingga menyebabkan masalah ini?"
"Apa hal-hal yang bisa aku intervensi yang kemungkinan mengubah keadaan?"
"Apakah solusi yang aku bayangkan memang satu-satunya solusi?"
"Apa aja hasil yang bisa aku harapkan kalau solusiku emang ga mendatangkan hasil yang kuharapkan?".
Tapi kalau kita udah berpikir, "Aku emang ga becus", "Emang nasibku gini", yaudah wasalam. Kamu baru saja membatasi nasib kamu sendiri.
Semua yang saya bicarakan ini pada dasarnya implementasi dari growth mindset.
Sepenting itu lho growth mindset.
120 notes
·
View notes
Text
memutuskan
hari ini, saya, kakak ipar, serta adik saya (yang belum menikah) mengobrol tentang keputusan untuk tidak menikah. masing-masing dari kami punya setidaknya satu teman yang memutuskan untuk tidak menikah. kesimpulan kami, memutuskan untuk tidak menikah adalah keputusan yang sama beraninya dengan memutuskan untuk menikah. sama beraninya dengan keputusan untuk mengakhiri pernikahan. atau juga membatalkan pernikahan. bahkan, juga keputusan bertahan.
setiap orang pasti punya alasan, prinsip, dan kepercayaan tentang menikah dan pernikahan. itu semua mendorong munculnya sikap tertentu, keputusan tertentu. namun yang jelas, seseorang boleh disebut berani saat mengambil sebuah keputusan jika dan hanya jika keputusan itu diambil memang karena sebuah keberanian--bukan karena ketakutan.
misalnya... ada orang yang memutuskan untuk menikah karena ingin lari dari kehidupannya. itu keputusan seorang pengecut.
misalnya... ada orang yang memutuskan untuk tidak menikah karena tidak mau hatinya terluka sedikit saja--yang mana pasti ada dalam setiap pernikahan. itu juga bukan keputusan yang berani.
tapi, jangan salah juga. langkah yang berani tidak sama dengan langkah yang nekat. langkah yang berani adalah langkah yang disertai pertimbangan, persiapan, dan penerimaan konsekuensi. langkah yang berani adalah langkah yang tetap memenuhi kriteria aman, baik, dan benar.
dan jangan salah juga. langkah yang berani bukan berarti langkah yang tanpa kekhawatiran. langkah yang berani justru adalah langkah yang sudah khatam mengenal semua kekhawatiran sehingga bisa mengantisipasinya. langkah yang berani justru adalah langkah yang selalu tahu bahwa selalu ada pilihan berikutnya meskipun saat ini kita belum tahu pilihannya apa.
semoga setiap keputusan kita adalah keputusan yang berani.
163 notes
·
View notes
Text
Kita Tidak Akan Pernah Memahami Tentang Menerima Sampai Kita Menjalaninya
Sudah lebih dari dua pekan tulisan ini diendapkan di dalam pikiran. Awalnya ragu untuk dituliskan karena khawatir ada salah pikir di dalamnya. Tetapi, saya rasa saya memang butuh menulis untuk menguraikannya, berharap tulisan ini menjadi diskusi dengan para pembaca dan juga menjadi teman berproses bagi siapa saja yang saat ini sedang berlelah-lelah dalam berproses menerima. Baca sampai selesai supaya tidak salah paham, ya. Bismillah ...

Ada banyak hal di dalam hidup yang tidak akan pernah kita pahami sebelum kita benar-benar menghadapi dan menjalaninya. Salah satunya adalah acceptance atau penerimaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa itu menerima? Bagaimana caranya untuk menerima?" rupanya hanya akan bisa seutuhnya terjawab ketika kita sudah pernah memproseskan diri untuk melakukan penerimaan.
Iya, penerimaan pada akhirnya bukanlah tentang suatu konsep atau teori yang bisa kita hafalkan untuk memahaminya, sebab kita harus menjalaninya.
Itulah yang belakangan ini menjadi sebuah kesimpulan diri bagi saya selepas menjumpai hari-hari yang berat. Seperti yang sudah bisa ditebak, saat hari-hari berat itu sedang hadir, penerimaan nyatanya juga hadir sebagai PR besar, and I wasn't have any clue to solve those kind of things. Dalam kondisi seperti itu, nasehat-nasehat baik seperti "Kamu seharusnya bersyukur. Kamu itu tidak menerima ketetapan Allah." terasa seperti belati yang menyakitkan. Alih-alih menyemangati dan membuat saya menemukan insight baik, saya justru semakin ingin melawan! Saya pikir, mengapa orang lain begitu sulit berempati dan membaca situasi sehingga kalimat-kalimat seperti ini harus dikatakan di saat-saat yang tidak tepat?
Di saat yang sama, isi kepala saya yang hening seketika berubah menjadi sangat riuh. Peperangan terjadi antara sisi diri saya yang mengatakan, "Sudahlah, didengarkan saja. Itu kan benar." dengan sisi diri saya yang lain yang mengatakan, "Nggak, itu salah! The things is not about acceptance and gratitude. Saya ini sedang sedih, bukan sedang tidak bersyukur. Saya juga sedang marah dan kecewa, bukan sedang tidak percaya kepada Allah sehingga enggan menerima ketetapan-Nya." Tetapi, saya terus mengevaluasi cara berpikir saya ini hingga akhirnya saya menemukan sebuah insight bahwa,
Tidak pernah ada yang salah dengan konsep bersyukur dan menerima ketetapan Allah. Saya pun mengimani bahwa dua hal itu memanglah menjadi kebutuhan jiwa kita sekaligus juga merupakan sikap terbaik seorang hamba kepada Rabb-Nya. Hanya saja ...
Saat ujiannya sedang hadir sebegitu hebatnya, saat tangis sedang deras-derasnya, juga saat rasa sakit sedang terasa sakit-sakitnya, rupanya yang saya butuhkan adalah berproses untuk menerima sepenuh utuh apa yang menjadi ketetapan-Nya. Di dalam menjalani proses itu, yang saya butuhkan adalah rangkulan, bukan nasehat-nasehat idealis yang bisa menutup jalur komunikasi hingga saya jadi tidak ingin bercerita lagi.
Saat itu, sambil menata apa yang ada di hati dan pikiran, saya teringat pada sebuah materi yang yang pernah saya buat untuk sebuah kelas. Salah satu kata kunci dari materi itu adalah bahwa penerimaan adalah proses yang aktif. Lewat berbagai ujian kemarin, rupanya Allah ingin memahamkan saya lebih dalam tentang "proses yang aktif" ini. Lalu, apa yang saya dapatkan? Penerimaan itu, setidaknya bagi saya, adalah proses yang seperti apa?
Pertama, dalam proses menerima itu ternyata kita tidak selalu bisa langsung berhasil. Terkadang kita harus bertemu dulu dengan kegagalan. Kita mungkin saja semakin sedih, semakin marah, semakin kecewa, dsb namun semua perasaan yang semakin menjadi-jadi itu biasanya akan menghantarkan kita pada sebuah titik dimana kita akan menyerah, mentok, hingga akhirnya pelan-pelan memilih untuk berserah, "Oke ya Allah, aku ikut apa mau-Mu."
Kedua, dalam proses menerima akan terjadi berbagai dialog di dalam diri, "Kayaknya gini, deh! Eh tapi nggak, yang benar itu ... Tapi gimana kalau ..." dst. Saat itu terjadi, it's okay, nikmati saja prosesnya dengan tetap banyak beristighfar kepada Allah dan meminta-Nya menunjukkann kepada kita cara berpikir yang benar.
Ketiga, proses menerima itu tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali diri kita sendiri karena ia adalah urusan personal, subjektif, dan merupakan perjalanan diri yang Allah berikan khusus untuk diri kita. Meski kita dan seseorang yang lain sedang berproses untuk menerima satu ketetapan yang sama, proses di dalam dirinya pasti berbeda. So hang in there, sampai kita menyadari bahwa satu-satunya yang bisa menolong kita hanya Allah saja.
Keempat, dalam proses menerima akan ada banyak warna perasaan yang bermain. Menyadarinya itu baik, merasakan apa yang kita rasakan juga baik, tetapi jangan sampai kita merelakan diri kita untuk dipimpin oleh perasaan-perasaan kita. Sebab, jika itu terjadi, kita sudah kalah.
Kelima dan yang paling utama, ternyata yang paling kita butuhkan dalam berproses untuk menerima ketetapan Allah adalah petunjuk-Nya. Hanya dengan petunjuk Allah kita bisa luluh, lapang, hingga akhirnya menerima.
Well, sampai kapanpun, rupanya proses menerima akan selalu menjadi pembelajaran bagi diri kita. Masalahnya, hal-hal yang harus kita terima di dalam hidup selalu berganti-ganti: beberapa hal mungkin sudah kita selesaikan sehingga tidak lagi menjadi isu di dalam diri (bahkan mungkin sudah menjadi hikmah yang kita kantongi), namun, bukankah beberapa yang lain masih menyisakan rasa berat dan meminta kita untuk berproses dalam menerimanya?
Teruslah berproses. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk-Nya di dalam jiwa kita. Wallahu 'alam bishawab.
PS. Jika teman-teman butuh berdiskusi tentang ini, boleh ask question via Inbox di Tumblr ini, ya.
184 notes
·
View notes
Text
321
Penerimaan terhadap takdir selalu membawaku kepada kesimpulan hidup yang menakjubkan. Bahkan sebodoh-bodohnya diri ketika menyikapi takdir kala itu, tetap bisa menjadi pembelajaran untuk sekarang.
—04.02.2025
71 notes
·
View notes
Text
Mikirin Soal Sistem dan Takdir
Ini sebuah pemikiran yang lumayan liar ke mana-mana, tapi setelah dipikir mendalam, memang hubungan satu sama lain kayak nggak bisa dinafikan.
Apakah kalian percaya bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan seseorang (khususnya di negeri ini sebaga contoh terdekat) itu adalah sebuah bentuk yang sistematis? Kalau bahasa kekiniannya kemiskinan struktural, memang kondisi yang secara sistem disengajakan.
Mengutip dari google : Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Orang bekerja sekeras mungkin, dia tetap kesulitan untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Dan kondisi ini juga diperparah dengan sistem sosial yang menuntut anak harus membiayai seluruh anggota keluarga. Anggota keluarga membiayai saudara. Dan berbagai macam bentuk ketergantungan finansial akut yang membuat seseorang makin sulit untuk keluar dari lingkaran setan gali lubang tutup lubang.
Ditambah dengan sekolah yang kualitasnya bagus, biayanya tidak terjangkau oleh masyarakat yang rentan ekonomi. Sehingga, output dari pendidikan tidak bisa menjawab masalah dasar yang sebenarnya bisa dientaskan dari pendidikan, yaitu pola pikir.
Lalu, ketika dewasa ini. Kita dihadapkan pada beragam kondisi yang membuat diri kita tersadar bahwa ternyata bisa jadi kita ada dalam kondisi rentan. Sementara akses-akses tertentu, hanya bisa didapatkan oleh teman kita yang lain. Kita sebut itu sebagai privilese, sebagai bahasa kerennya. Tapi sebenarnya, kalau kita kulik lebih dalam, itu adalah bentuk sistem yang memang membuat seseorang tidak bisa mengakses hal tersebut.
Sebagai contoh sederhana, kalau teman-teman ingin membuat sebuah usaha dalam skala kecil tapi legalitas bener. Itu malah ribet banget, terhalang sana sini untuk bisa berkembang. Beda cerita kalau teman-teman memiliki modal kapital yang besar. Cenderung lebih lancar. Seolah-olah, jurang antara usaha kecil kita dengan usaha besar yang udah establish itu gak bisa dijangkau sama sekali. Karena akses untuk ke sana, tidak dibuat lebih mudah. Termasuk untuk inovasi, dsb.
Privilese itu riil banget dan produk dari sebuah sistem. Bayangkan kalau akses-akses pendidikan berkualitas itu bisa diambil oleh siapapun. Buku-buku yang kubeli tiap bulan ratusan ribu itu tersedia di mana-mana untuk bisa dibaca di perpustakaan yang selalu update bukunya. Tontonan yang disajikan di televisi di rumah-rumah orang sebagus channel-channel yang bisa kita akses melalui TV Internet., bahkan bisa kita pilih sendiri salurannya terserah kita dari seluruh dunia. Mata pelajaran soal manajemen finansial bisa diberikan sejak dibangku sekolah, tidak dijual sebagai program-program kelas di usia dewasa. Mata kuliah wirasusaha, bisa diuji coba sejak sekolah dengan akses modal yang lebih mudah.
Kesimpulan dari tulisan ini, ingin menyadarkan kepada teman-teman bahwa kita punya kesempatan untuk memilih takdir yang baik. Kalau kondisi di keluargamu, di lingkunganmu, di pertemananmu, di tempat saat ini kamu berada ternyata semencengkeram itu untukmu bisa maju, mengentaskan diri dari ketidakberdayaan. Kamu bisa memilih dan perlu untuk berani membuat pilihan tersebut. Hijrah kepada takdir yang lebih baik :)
93 notes
·
View notes
Text
PEREMPUAN SELALU JADI KORBAN
Saya mau cerita sedikit ya ke kalian. Sesuatu yang akhirnya membuka mata saya bahwa dunia memang sekejam itu. Ini masih sambungan dari pertanyaan soal dating app.
Kalau ada yang bertanya apakah saya pakai dating app? Ya, betul. Awalnya cuma iseng karena penasaran ingin tahu. Juga, dulu pernah diledeki sama teman-teman PPI Amerop waktu mereka lagi bahas Tinder, saya tidak tahu apa itu. Dan mereka menjelaskanlah ini-itu, saya masih tetap tidak tahu. Waktu berlalu dan saya tidak peduli dengan aplikasi macam begituan. Hingga sampailah ke Covid kemarin yang mana kita semua tahu bahwa kegabutan adalah konsumsi semua orang. Di situlah mulai iseng install dan ternyata seru juga. Saya pakai Bumble, by the way.
Seru karena ternyata bisa bertemu dengan banyak orang yang unik-unik; bisa mengevaluasi cara kita berkomunikasi; dan bisa dapat cerita drama yang akan saya ceritakan di sini. Sampai ada yang cerita panjang lebar lewat suara, meski kita tidak tahu dan tidak pernah ketemu juga. Ada yang menangis, marah, sampai menceritakan dosa dan kebodohan-kebodohan masa lalu. Ada yang dengan entengnya bilang aktif berhubungan seksual dengan pacar, padahal berjilbab rapi. Ada yang sampai menawarkan dirinya sendiri untuk dipakai. Pernah juga ketemu dengan seorang hafizah yang dibuatkan profil sama temannya. Ah, lucu dan seru. Tapi lain kali saya cerita yang unik-unik itu. Saya cerita sisi gelapnya dulu soal perselingkuhan.
Jadi, begini. Di situ, saya bertemu banyak sekali divorcee. Dari yang masih muda usia 22 tapi sudah pisah dengan satu orang anak, sampai yang usia 28 dengan tiga orang anak masih kecil-kecil. Ada yang bahkan pisah saat masih hamil. Kira-kira, dari 10 orang pisah, 9 karena perselingkuhan dan 1 karena narkoba. 9 yang selingkuh ini macam-macam jenisnya, ada yang main gila, ada yang memang sudah penyakit, ada yang menikah karena buat menutupi kelainan seksual, ada yang menikah dengan orang lain karena tidak direstui orang tuanya tapi mereka masih tetap berhubungan (bahkan sudah seperti suami istri). Dari semuanya yang menjadi korban adalah perempuan. Ada yang bahkan sampai tiga kali sujud-sujud ke istrinya karena ketahuan selingkuh tiga kali pula. Tahu pas kapan? Saat mereka ada di RS menunggu istrinya lahiran. Saat itu, suaminya ikut jaga dan kebetulan HP suaminya ditinggal di meja. Istrinya tidak sengaja melihat ada chat sayang-sayangan. Di situlah terbongkar ternyata suaminya selingkuh dengan mantannya. Bayangkan, kejadian ini berulang sampai tiga kali dan baru saat di anak yang ketiga si perempuan sudah tidak bisa memaafkan. Ada juga yang menikah tapi tidak pernah disentuh sama suaminya. Sampai-sampai si perempuan pakai pakaian yang begitulah, tapi tetap suaminya tidak menyentuh. Hingga setelah lama baru mau, tapi setengah hati. Baru setelah memuncak konfliknya ketahuanlah ternyata dia boti.
Gila. Stress saya mendengarkan kisah-kisah ini. Awalnya saat mendengar cerita seperti ini, saya selalu mencoba untuk berada di tengah, sebab saya hanya mendengar dari satu sisi. Bisa jadi ada kejadian yang tidak diceritakan. Tapi, dari semua pola yang ada: jelas yang paling terdampak adalah perempuannya. Semua sudah punya anak, anak-anaknya ikut dengan ibunya. Kebanyakan laki-lakinya bahkan tidak bertanggung jawab (tidak memberikan nafkah sama sekali untuk anaknya). Bayangkan, perempuan sudah diselingkuhi, merawat anak sendiri, bekerja dan cari nafkah sendiri, lalu masih lagi harus menyandang gelar “divorcee��. Saya sampai speechless mendengar kisah-kisah mereka. Di situ saya percaya bahwa mereka tidak mengada-ada.
Dari situ saya ambil kesimpulan bahwa di segala perceraian perempuan selalu menjadi korban yang paling besar. SELALU. Cerita di atas belum termasuk dari beberapa orang yang saya kenal dan mengalami nasib yang sama. Polanya sama: diselingkuhi, ditinggal pergi, anak-anak tidak diacuhi. Ini benar-benar membuka pikiran saya bahwa ternyata sekejam itu dunia di luar sana. Jujur, saya berasal dari lingkungan Tarbiyah yang mayoritasnya keluarga mereka baik-baik saja, tidak ada keributan, apalagi perselingkuhan. Setidaknya itu yang saya temukan dalam sirkel saya pribadi. Begitu sederhana tapi sempurna. Kalaupun ada yang cacat itu bisa dihitung dengan jari. Semenjak kenal dengan orang-orang baru, dari aplikasi itu, saya bisa sedikit melihat pada dunia yang lebih luas. Dunia yang ternyata: ada lho yang begitu. Astaghfirullah. Kalian pernah tidak sampai rasanya ulu hati sakit karena mendengar atau melihat sesuatu yang di luar ekspektasi? Saya merasa benar-benar masuk ke dalam hutan belantara.
Entahlah, apa hikmah yang bisa kalian ambil dari sedikit pengalaman yang saya bagi di sini. Yang jelas, ini bukan soal aplikasi. Ini soal dunia kelam yang, maaf sekali untuk kalian para perempuan, telah sering menjadi korban. Saya tidak menduga dunia sekejam itu. Berhati-hatilah ketika memilih pasangan. Jangan pernah terbuai dengan kecantikan, ketampanan, harta, atau hal-hal yang tidak membawa kalian ke kedamaian hati. Pilih pasangan yang benar-benar takut pada Tuhan yang bisa dilihat dari gesturnya, bukan sekadar tulisan atau persona yang dibangun di sosial media. Berdoalah untuk diberikan pasangan yang sama-sama mau ke surga. Dan, senantiasa perbaiki diri agar dipertemukan dengan orang yang sekufu dengan kita. Sekian.
73 notes
·
View notes
Text
Tidak ada solusi yang paling baik bagi lelaki dan perempuan yang saling jatuh cinta, selain menikah.
Jika belum mampu, maka keduanya harus mengambil jarak, memutus komunikasi, tidak berinteraksi.
Sebab jika masih saling bersinggungan, membalut perasaan atas nama pertemanan, keduanya akan terus tergelincir. Lalu kemudian lupa perihal dosa maksiat yang mereka lakukan.
Lantas siapa yang paling berperan atas hal ini? Ketika virus merah jambu telah merebak di dalam hati?
Adalah lelaki. Lelaki yang paling berperan atas semua hal yang akan terjadi.
Jika komitmen dirinya adalah menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, maka tidak akan pernah berat baginya untuk memutuskan semua rantai yang bisa menimbulkan fitnah di masyarakat.
Karena sampai kapan pun, lelaki selalu memiliki kontrol atas perasaan perempuan.
Karena selamanya perempuan akan menjadi makhluk yang senang diberi perhatian dan kejutan.
Untuk itulah laki-laki harus meretas perhatian itu. Membatasi setiap kejutan yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan benih-benih perasaan.
Karena kita tidak akan pernah bisa mematikan asumsi orang-orang terkait apa yang nampak di ruang publik.
Apa yang menjadi konsumsi banyak mata adalah sesuatu yang akan menimbulkan banyak prasangka. Maka salah satu jalan agar terhindar dari fitnah, tidak mendatangkan banyak prasangka adalah dengan berupaya menghindari pusat dari prasangka tersebut.
Tidaklah seseorang dikatakan gemar menghadiri konser musik, jikalau yang nampak dari kesehariannya adalah perihal panggung megah dengan penyanyi bak dewa. Juga dirinya yang ada di sana, seraya memamerkan semua aktivitas yang ia geluti.
Maka begitu pula dengan kedekatan seseorang.
Kamu tidak akan pernah diduga sedang menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, sampai kamu berani berjalan dengannya di ruang publik, berdua, bersama. Terlebih jika kamu berdua tidak terikat hubungan pernikahan.
Maka jalan satu-satunya untuk mematikan asumsi orang lain adalah menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahan perspektif.
Kamu mungkin bisa mengelak, menampik semua persangkaan banyak orang. Tapi aktivitasmu, gerak tubuhmu adalah tanda baca. Membiarkan orang lain melihat berarti membiarkan orang lain menarik kesimpulan atas dirimu, gerakmu, aktivitasmu.
Karena sampai kapan pun, orang-orang akan selalu percaya.
Bahwa mustahil menjalin hubungan akrab dengan lawan jenis tanpa melibatkan perasaan.
07.00 p.m || 02 Juli 2024
Source : @ulvafdillah
#tulisan#ulvafdillah#cerita#tulisansepanjangtahun#puisi#puisiindonesia#sajak#prosa#daily poem#kisah#monolog#pemikiran#pertemanan#friendzone#islampost#quoteislamic
164 notes
·
View notes
Text
Belajar Diam

Hari-hari ini, saya sadar, sepertinya daya tahan untuk sabar perlu ditingkatkan lagi. Dan, satu jalan yang saya tempuh, kembali bermajelis langsung dengan seorang guru.
Waktu-waktu kosong saat ini, di tengah mempersiapkan ujian nasional, semakin membawa saya kepada pemahaman; harus tahu kapan, sejauh mana, dan bagaimana kita 'bersuara'.
Di tengah kondisi yang kian semakin ramai, semua orang ingin berbicara dan didengar. Di tengah kondisi yang kian tidak terfokus, semua masalah seakan berlomba untuk diselesaikan. Di tengah kondisi yang kian memprihatinkan, dunia keilmuan dihinakan dengan hadirnya manusia tanpa otoritas berkomentar atau lolos dalam acara-acara pendidikan; maka saya sedang mencoba untuk belajar diam.
Saya hanya sarjana di sebuah kertas. Tidak punya karya tulis yang mumpuni, apalagi kebermanfaatan sosial yang banyak. Cita-cita yang terfikir saat dulu kecil sangat sederhana dan mungkin jika tercapai hari ini, sangat prestisius; menjadi pemain timnas Indonesia.
Tapi, entah mengapa, entah doa apa yang dirapalkan oleh kedua orang tua saya, entah bagaimana tirakat dari sepuh dan guru di sekitar saya, pertemuan dengan buku ustadz Salim A Fillah, menjadi gerbang pembuka bagi ilmu-ilmu yang lain, bukan hanya ilmunya, tapi juga cara berfikir dan bahkan bertingkah laku.
Itupula yang menjadi wasilah untuk kemudian memberi tekad bagi saya untuk mengarungi luasnya ilmunya Allah, menyimak banyak guru, asatidz, serta ulama, dan alhamdulillah menghantarkan kepada pemahaman yang lebih lanjut dari yang sebelumnya pernah saya simak.
Fase belajar diam ini, semoga bisa saya tempuh dengan konsistensi dan kesabaran, karena tentu tidak mudah untuk membuka kemauan hati dalam menyimak secara langsung; kita seringkali hanya membaca sebagian atau bahkan hanya kesimpulan. Dan indahnya lagi, antara bidang yang saya tekuni sebagai dokter kelak, beberapa kali dibahas dalam khazanah keislaman, seperti dalam kitab Ta'lim Muta'allim yang sedang dipelajari :
Imam Asy Syafii berkata : "Ilmu itu ada dua. Ilmu fiqh untuk urusan-urusan din, dan ilmu kedokteran untuk urusan-urusan badan"
Dikatakan juga :
وأما تعلم علم الطيب، فيجوز لأنه سبب من الأسباب، فيجوز تعلمه كسإرالأسباب وقد تداوى النبي صل الله عليه وسلم "Sedangkan mempelajari ilmu kedokteran/kesehatan, maka boleh. Karena merupakan bagian usaha untuk mengambil sebab kesembuhan. Sebagaimana Nabi pun pernah berobat"
Allahumma Baariklana Fii Ilminaa Wa Zidnaa Ilma An Nafi'a Wa 'Amalan Mutaqobbala
68 notes
·
View notes
Text
"Untuk benar-benar sembuh, kita butuh memberi jarak pada semua hal yang menyakitkan."
Acap kali aku berbisik demikian kepada diriku, kemudian menghela nafas panjang dan menghibur diri. Sebab aku menyadari betul, tidak ada yang selamanya. Pun perasaan-perasaan yang salah kaprah, tetap akan menuju kepada yang semestinya benar.
Dan pada semua yang terjadi, barangkali adalah cara-Nya untuk menyelamatkan diriku dari jalan yang tidak semestinya ditempuh.
Lalu ketika semakin menapaki usia-usia setelah dua puluh lima nanti, aku berjanji dan mengusahakan untuk tidak lagi salah dalam menerjemahkan intuisiku. Aku tidak akan mengizinkan segala yang abu-abu memasuki benteng besar yang sudah susah payah dibangun. Atau setidaknya, aku tidak akan terjerembab pada kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya fana.
114 notes
·
View notes
Note
Mau minta saran dari Mas Yunus. Saya seorang akhwat, akhir2 ini rekan-rekan kerja Saya sering bercanda "Mba itu lo kamu nikah aja sama imam masjid A, yang diseberang kantor kita" pun ketika bertemu orang yang secara penampilan terlihat religius. Masalahnya beliau seorang atasan dan melakukan hal itu ketika ramai. Karena malu, biasanya saya spontan istighfar atau ya Allah sambil tersenyum kecil. Lalu ditanggapi dengan kok istighfar to mbak. Terkadang juga suka di bercandain, jan emang calon istri idaman banget si mba kamu (beberapa rekan kerja laki-laki). Jujur terkadang saya bingung bagaimana harus menanggapi nya. Kalau dari hemat mas Yunus yang juga memiliki adik perempuan baiknya bagaimana merespon candaan2 yang seperti ini, karena saya sudah terikat dengan pekerjaan tersebut juga.
Semoga Mas berkenan untuk menjawab
Banyak bgtt pertanyaannya numpuk baru sadar kalau udah lama ngga balesin ask jama'ah anoniyah tumblr🙏🏻
Hmm case semacam ini tuh biasanya muncul akibat dua hal: 1) Kurang sisi empati kepada orang lain, atau 2) Murni ketidaktahuan, atau bisa keduanya. Kurang empati dalam memandang persoalan secara lebih luas. Kalau saja, dia mengedepankan pertanyaan ke diri "Kenapa di 'usia yang pada umumnya' kok si A belum menikah ya?" Mungkin dia bisa mendapat kesimpulan untuk "mending diam, si A belum menikah pasti ada alasan tersendiri, dsb."
Atau yang kedua, ketidaktahuan kalau pertanyaan-pertanyaan semacam itu, maupun becandaan yang semacam itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan ke semua orang, atau bahkan etis. Niatnya mungkin baik, tetapi jika dilakukan dengan cara yang salah, alih-alih berbuah kebaikan justru menghadirkan masalah lain.
Bukan berbagi nasib. Di usia saya saat ini, di tempat kerja saya saat ini dan sebelumnya, saya cukup sering dihadapkan pada case demikian; "mas ditawari proposal.", "mas ada yang menanyakan", termasuk juga 'dicomblangkan' di depan umum, sudah sering dan biasa. Apakah saya marah? Enggak, cuman gondok aja. "Siapa juga yang gamau nikah. Coba aja tau posisiku."
Lalu saya teringat, bahwa kita ini hidup bukan dalam ruang kesunyian, kita hidup dalam ruang publik yang penuh kebisingan, ada interaksi antar satu manusia dengan manusia lain, semua memiliki karakter yang beragam, banyak persepsi yang saling berbenturan. Banyak hal yang tidak bisa dikendalikan, maka fokus pada yang dapat kita kendalikan, kita usahakan. Dengan cara apa?
1. Tunjukkan gestur atau mimik wajah ketidaknyamananmu dihadapan mereka. Jangan direspon dengan senyuman atau hal lain yang menunjukkan kita malu. Kalau respon kita gitu, mereka akan terus melakukannya, karena mikirnya kita baik-baik aja. Multitafsir.
Yang kedua adalah...
2. KOMUNIKASI-KAN👌
Sampaikan pada yang bersangkutan, mau langsung atau via chat:
"Ustadz/ah, Pak/Buk, mohon izin menyampaikan, barangkali Ustadz/ah, Pak/Buk melakukan itu karena ketidaktahuan. Intinya saya merasa tidak nyaman atas becandaan menjodoh-jodohkan saya di depan umum. Saat ini saya dalam keadaan yang kurang memungkinkan untuk menikah dalam waktu dekat ini, atau sampaikan kalau saat ini saya sedang berproses dengan orang lain, dsb (sesuaikan keadaanmu). Semoga bisa menjadi pengertian untuk kedepannya. Minta maaf jika ada salah kata.... dsb"
Apakah pasti berhasil? Belum tentu. Namun setidaknya, akan ada perasaan beda di hati ketika dihadapkan pada hal serupa. "Setidaknya saya sudah mengupayakan apa yang saya bisa." , hati juga insyaallah lebih ridho. Pokoknya intinya jangan diam. Jurang antara ketidaktahuan dan ketidaknyamananmu, sayangnya hanya bisa terhubung dengan adanya komunikasi.
Mungkin muncul pertanyaan, "Habis ngucapin itu apa nggak bakal canggung mas? Bagaimana kalau dia tersinggung?"
Jawabannya, ada kemungkinan. Cuman kalau saya bodoamat dengan hal yang melibatkan perasaan macam itu di dunia kerja. Kita di tempat kerja itu prinsipnya adalah take and give values, asal kita bisa tetap menjaga perangai baik, kinerja sesuai target, selaras antara hak dan kewajiban, hal-hal yang personal semacam itu, I don't really mind 😁
Dah ya semoga menjawab👌
32 notes
·
View notes
Text
"Kalau kamu, kenapa mau nikah?"
Rencana Allah bener-bener selalu menyenangkan ya. Di tengah huru-hara mengkhawatirkan sosok yang kelak membersamaiku di masa depan, akan seperti apa dia dan kepribadiannya, apakah semenyenangkan atau semenyebalkan orang-orang yang sedang kujumpai saat ini, dan resah lainnya yang belakangan cukup mengganggu.
Hingga tiba-tiba saja, kakak kelas tempat biasa kutimba pengalaman hidupnya membuat sebuah postingan di instagram. Yang sampai pada satu kesimpulan menenangkan atas beberapa resah-resah terdekatku. Perempuan tidak perlu melelahkan diri dengan apa yang di luar tanggung jawabnya. Gigit jari, tutup mata. Berfokus saja pada bagaimana wanita menuju masuk surga melalui pintu mana saja. Duhai, indah sekali.
Tiba-tiba kedua, dengan salah satu teman yang intensitas bertemunya cukup tinggi belakangan ini, kami membicarakan hal serupa. Siang tadi, di tengah mempersiapkan thr untuk staff kantor, aku dan seniorku di sana, membicarakan hal yang sangat indah.
Kutanya, "Kakak, kenapa mau nikah?"
"Kurasa, fitrah keperempuananku mulai memanggil. Aku bukan pengen nikahnya, Lu. Aku pengen punya anak. Membahagiakan banget liat tumbuh kembang Karim misalnya (anak teman kami). Aku pengen, membersamai mereka di usia sebelum senja,"
"Kalau kamu, Lu? Kenapa kamu mau nikah?"
Tak kusangka pula, yang keluar dari mulutku juga serupa. Ingin punya anak. Demi menyadari diri ini melompati banyak anak tangga dalam kedisiplinan ilmu, dan demi menyadari tubuh umat Islam tidak akan kuat jika jiwa di dalamnya banyak yang masih 'serupa' aku, rasanya butuh generasi baru yang dibentuk oleh mereka yang memahami, bahwa bangsa yang Islami akan terwujud jika individunya islami. Benar islami, bukan hanya tidak asing dengan Islam sejak dini.
"Waj'alna lil muttaqiina imaamaa"
Seringkali saat membaca doa ini, aku lebih banyak berfokus pada permohonan diberi keturunan dan pasangan yang menyejukkan. Namun baru Allah sadarkan detik itu, bahwa menyejukkan itu, berhilir pada satu; menjadi pemimpin orang bertakwa.
Rabb, bimbing diri ini, selalu.
21 notes
·
View notes
Text
bias
belasan tahun berproses mengenali diri sendiri juga berarti harus bertarung melawan banyak sekali bias. Di blog ini, gue sering bercerita tentang betapa psikolog dan psikiater banyak membantu kehidupan gue.
Tapi di sisi lain, gue juga merasa perlu berbagi pandangan realistis bahwa di antara psikolog-psikolog yang pernah gue temui tuh ada juga yang judgemental dan terjebak bias. Gue berbagi kayak gini karena berharap kalau ada yang sampai dapet psikolog yang judgemental, kita bisa banget nyari second opinion atau pause dulu kemudian bercermin:
"Di sebelah mana biasnya?"
Contoh paling sederhana adalah lebih dari satu psikolog yang nge-asses gue menuliskan bahwa gue minder dengan fisik gue sehingga gue menarik diri dari lingkungan.
Pada sesi wawancara, gue tuh udah menjelaskan dengan gamblang bahwa gue sama sekali tidak punya masalah dengan fisik gue. Nggak ada minder sedikitpun. Yang jadi permasalahan gue di masa kecil sehingga gue merasa terasing adalah karena gue kerapkali dijudge sebagai anak nakal yang tidak tahu sopan santun. Karena di kelas tuh gue sering nggak fokus, gue nggak bisa menyimak penjelasan guru dengan baik dan sangat terdistraksi, gue juga sering dinilai tidak sopan karena sering memotong pembicaraan orang.
Ini sebenarnya gejala khas ADHD namun beberapa psikolog terjebak biasnya sendiri sehingga diagnosa tentang potensi psikopatologis yang dikeluarkan ya sebatas:
,,,,, punya kecenderungan mengasingkan diri untuk melindungi diri sendiri akibat fisik yang berbeda.
Pernah juga gue tuh cerita bahwa dalam kerja ternyata gue lebih nyaman berkomunikasi dengan gen Z. Karena gen Z relatif lebih jujur dengan perasaan mereka sehingga banyak uncomfortable conversation yang bisa gue lakuin justeru dengan orang-orang yang lebih muda dari gue.
Sementara orang-orang yang lebih senior dari gue tidak terbiasa memproses emosinya dengan baik. Sehingga saat ada masalah, mereka cenderung menghindari pembicaraan yang tidak nyaman dan langsung menggunakan kartu jabatan.
Tentu gue sendiri menyadari bahwa sangat mungkin gue punya bias dalam menilai gen Z dan orang di atas gue. Sementara yang muncul di laporan diagnosa adalah:
......cenderung menyelesaikan permasalahan secara parsial sehingga tidak mampu berempati.
Gue mendapatkan diagnosa semacam itu setelah 8 tahun bekerja. Tentunya selama 8 tahun bekerja, gue udah mengamati banyak hal. Selama sesi wawancara, psikolog tidak menggali lebih jauh kenapa gue mengambil kesimpulan seperti itu. Nggak pernah menggali juga berapa kali gue harus dealing dengan awkward situation menghadapi orang-orang yang lebih tua dari gue tantrum dan nggak mau diajak berdialog.
Ada banyak pengalaman-pengalaman semacam ini yang nggak bisa gue bagi semua. Gue memilih tetap ke psikolog karena pertanyaan dan diagnosa mereka membantu gue mengenali diri sendiri. Tapi menyuruh orang sakit langsung ke psikolog tanpa cautions bahwa ada psikolog yang judgemental tuh ngebuat gue khawatir. Khawatir kalo temen gue ketemu yang kayak gini, bukan malah sembuh tapi trauma.
Instrumen-instrumen assesment yang digunakan oleh psikolog sangat membantu kita mengecek kesehatan mental kita. Tapi balik lagi, jiwa manusia itu seperti lautan luas. Assesment-assesment tersebut tidak menggambarkan kondisi kita keseluruhan karena assesment itu bersifat parsial. Butuh kejelian psikolog untuk mencari instrumen assesment yang bisa menyentuh inti masalah.
Maka kalau kamu merasa deskripsi yang dituliskan oleh psikolog kurang tepat, kamu bisa banget bertanya lebih jauh detailnya. Tapi kalau kamu merasa semakin terhakimi, kamu boleh banget nyari psikolog yang lain.
Semoga kita semua bisa mendapatkan kehidupan yang baik dengan jiwa yang lebih sehat :)
56 notes
·
View notes