#kesimpulan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Imaginasi imaginasi berkeliaran, terkumpulkan warna dari berbagai arah. Ada yang sudah dengan corak yang terdeskripsi dan ada yang masih dibebaskan untuk penerimanya kembangkan sendiri.
Ada arahan yang tersampaikan dari capaian penelitian, ada yang tekumpulkan dan diturunkan dari kumpulan pengalaman, ada pula yang lewat pencerahan dengan berbagai bentuk atau nama nya.
Ingin memikirkan kondisi dimana kepala ini saat memang belum komplit menerima pengindraan. salah satu dari lima ataukah pecahan diantanya.
Mampukah kita temukan warna itu? mampukan temukan nada itu? temukan kesan lembut, panas dan rasa rasa eksterior itu?
lantas bagaimana rasa bagian yang dalam itu bisa ditularkan? kalau belum bisa menerima pengantar sebelumnya?
kebenaran masih mulur dan mengkerut bersamakan kebaikan, kelayakan, kepantasan masih dalam ranah tanya.
apakah orang yang tunarungu sedari dalam rahim akan ada ketercapain, peningkatan pemahaman warna akan suara?
apakah orang yang dia tiada tampak sedari dalam rahim tentang arti warna, kan ada kumpulan titik warna yang begitu indah jadikan yang bisa bawanya menari?
dst
kecuali rasa, alam rasa batin yang sampai saat ini belum kutemukan kejelasan struktur pembentunya itu; ada yang menyatakan dapat nkau tularkan.
kesamaan rasa, yang tapi atas sebab rasa beda yang terkontruksi sedari awal kehidupan kita kian jadikan jarak antara manusia.
jembatan nya apa?
ketercapaian macam apa; yang kan jadi gaun dengan merek manusia itu, bisa membuat pribadi pribadi itu saling mengenal dengan perbedaan masing masing diantara mereka tapi masih sadar dan berucap "kami sama" kami manusia.
iming iming kerukunan, dalam satu poros pemikiran-pun masih sering timbul cekcok, bahkan baku hantam hingga tikam.
melihati diri sendiri, mengenal, menyelam disamudra rasa, mengamati pergerakan arus yang ada didalamnya.
tak mengomentarinya, hingga pemikiran itu hilang dengan sendirinya (sepertinya begitu kata para meditator)
apakah rasa dalam diri hanyalah sensasi dari pemikiran yang ada tadi itu?
kemelut tanya dari beberapa jengkal pikir yang barusaja aku buat.
hingga terlintas
yaa aiyyuhannafsul mutmainnah, irjiu ila robby kirdiatam mardhiyya fadkuli fi ibadi fadkhuli jannati
Bunyi kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku."
Kalimat tersebut merupakan ayat dari Al-Quran (Surah Al-Fajr, 89:27-30) yang merupakan ajakan bagi jiwa untuk kembali kepada Sang Pencipta dengan rasa puas dan bahagia serta berusaha menjadi hamba-hamba yang saleh di sisi Allah untuk mendapat anugerah surga-Nya. Ayat ini mengingatkan untuk fokus pada tujuan akhir yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan mendapat pahala surga yang kekal. (chat-GPT)
mari bikin batas bahwa surga yang dimaksud adalah ketentraman batin
apakah kan ketentraman batin dpat dengan seketikanya lahir dalam kontruksi masyarakat? sebelum ketentraman itu sudah ada terupayakan lebihdulu dari masing masing pembentuk interaksi sosial???
Kata "saleh" dalam bahasa Arab mencakup makna baik dan benar secara bersamaan, khususnya dalam konteks agama Islam. Seorang yang saleh dianggap baik karena ia hidup dengan mengikuti ajaran agama dan berusaha melakukan kebajikan kepada sesama manusia. Selain itu, ia juga dianggap benar karena ia hidup sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh agama dan menerapkan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, kata "saleh" dapat diartikan sebagai seseorang yang baik dan benar dalam arti yang sebenarnya.
Kata "benar" dalam bahasa Arab adalah "صَحِيْح" atau "صَدِيْق" (sahih atau sadik).
Kata "baik" dalam bahasa Arab dapat dinyatakan dengan beberapa kata, di antaranya adalah:
1. "حَسَن" (hasan)
2. "طَيِّب" (thayyib)
3. "صَالِح" (shaleh)
4. "جَيِّد" (jayyid)
dalam kondisinyang saya temukan, dan bantuan chat-gpt
Kata "baik" dan "benar" memiliki makna yang berbeda.
Kata "baik" mengacu pada sesuatu yang mempunyai kualitas positif, mulia, dan sesuai dengan standar moral atau etika. Contohnya, "Dia adalah seorang anak yang baik dan rajin belajar."
Sedangkan, kata "benar" mengacu pada suatu pernyataan atau tindakan yang sesuai dengan fakta, kenyataan, atau kebenaran yang objektif. Contohnya, "Pernyataan itu benar karena didukung oleh fakta dan bukti yang valid."
Kata "bebar" bukanlah kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia. Namun, jika maksud Anda adalah "salah", maka kata tersebut memiliki makna kebalikan dari "benar", yaitu suatu pernyataan atau tindakan yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan, atau yang tidak sesuai dengan kebenaran yang objektif. Contohnya, "Dia salah mengira hari ini hari libur, padahal sebenarnya hari kerja."
dan kesimpulannya apa bang?
"semuanya tidak akan jadi apa-apa jika tidak ada apa?, ayo tafakur bareng"
dan aku luma ucapan temen kemarin sebelum quote yang gak gitu juga sih quotenya kemarin tu 🤣🤣
dan malah teringan cletukan yang intinya macam ini;
kalo ditanya nikah kapan sama orang, coba tanya balik "matimu kapan"
dan tadi sambil bercanda sama temen lain
bro minta list nama "cirkel kita" cewek dong yang belum nikah dan sekiranya cocok nggo aku 🤣🤣🤣🤣🤣
2 notes
·
View notes
Text
Mengkonstruksi Penelitian: Membuat Ciri Khas Penelitian Semiotika
MIRMAGZ.com - Semiotika adalah studi tentang tanda atau simbol, dan bagaimana tanda-tanda tersebut digunakan dalam komunikasi. Secara umum, semiotika membahas tentang cara kita membuat makna dari tanda-tanda dalam bahasa, gambar, musik, film, dan banyak lagi. Semiotika membahas tentang tiga hal penting dalam proses ini: - Tanda: Semiotika mempelajari tanda-tanda dan simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi, seperti kata-kata dalam bahasa, gambar, dan gestur. - Makna: Semiotika membahas tentang bagaimana makna dibuat dari tanda-tanda tersebut. Misalnya, bagaimana kata "rumah" dapat memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda, atau bagaimana warna dapat memberikan makna yang berbeda dalam sebuah gambar. - Konteks: Semiotika juga mempelajari konteks di mana tanda-tanda tersebut digunakan. Konteks ini dapat mempengaruhi makna yang dibuat dari tanda-tanda tersebut.
Dalam keseluruhan, semiotika membahas tentang bagaimana kita membuat makna dari tanda-tanda yang ada di sekitar kita dan bagaimana tanda-tanda tersebut digunakan dalam komunikasi untuk membentuk pemahaman dan arti. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu kalian memulai penelitian semiotika: - Pilih topik penelitian: Pilih topik yang menarik dan relevan dengan minat dan keahlian kalian. Pastikan topik tersebut memiliki elemen semiotika yang jelas, seperti kata-kata, gambar, atau tanda-tanda lainnya. - Tentukan tujuan penelitian: Tentukan tujuan penelitian kalian dan pertanyaan penelitian yang ingin kalian jawab. Hal ini akan membantu kalian dalam menyusun kerangka teoritis yang tepat untuk penelitian semiotika kalian. - Kumpulkan data: Kumpulkan data yang relevan dengan topik penelitian kalian. Data dapat berupa teks, gambar, atau tanda-tanda lainnya yang akan kalian analisis dalam penelitian semiotika kalian; misalkan apabila itu poster, maka dengan mudah dapat menganalisis segala elemen tanda yang ada pada konstruksi poster tersebut. Apabila itu video, kalian bisa menggunakan screenshot untuk menangkap tanda apa yang ingin kalian bahas. Saran saya, fokuslah pada tanda yang menjadi penarik perhatian kalian, yang penting untuk dihidangkan dalam sebuah tulisan. - Analisis data: Analisis data dengan menggunakan pendekatan semiotika yang sesuai, seperti analisis sintaktis, analisis semantik, dan analisis pragmatik. kalian juga dapat menggunakan kerangka teoritis dari ahli semiotika terkenal seperti Roland Barthes atau Ferdinand de Saussure. - Interpretasikan hasil analisis: Setelah melakukan analisis data, interpretasikan hasil analisis tersebut dan buat kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian kalian. - Sajikan hasil penelitian: Sajikan hasil penelitian kalian dalam format yang sesuai, seperti laporan penelitian atau makalah ilmiah. Pastikan untuk menjelaskan dengan jelas metodologi yang kalian gunakan, hasil analisis, dan kesimpulan yang kalian buat. - Lakukan revisi: Lakukan revisi dan penyuntingan terhadap hasil penelitian kalian untuk memastikan kualitasnya sebelum diserahkan atau dipublikasikan. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kalian dapat memulai penelitian semiotika dengan lebih terstruktur dan efektif. Terlebih apabila telah ada minimal 20 literature untuk membedakan penelitian kalian dengan penelitian yang telah ada. Apalagi sudah menentukan jurnal mana (tentu telah memiliki format penulisannya) yang akan dituju, itu akan lebih mempermudah karena cara penulisan telah ditentukan. Terakhir, selamat belajar. Read the full article
#analisis#FerdinanddeSaussure#gambar#ilmiah.#interpretasi#kerangkateoritis#kesimpulan#komunikasi#makna#metodologi#penelitian#penyuntingan#pragmatik#revisi#RolandBarthes#semantik#semiotika#simbol#sintaksis#tanda#teks
0 notes
Text
PENDAYAGUNAAN PERPUSTAKAAN SD NEGERI 2 DUKUHWALUH
Pendahuluan Adanya perubahan teknologi yang begitu pesat mempengaruhi aspek kehidupan dalam pembelajaran, pembelajaran tidak lepas dengan namanya perubahan teknologi harus selalu berjalan beriringan menyebabkan perubahan sistem dalam suatu instansi juga mengalami perubahan. Dalam sebuah instansi pembelajaran tempat informasi dan komunikasi bidang ilmu juga berpengaruh kepada sistem…
View On WordPress
#Abad 21#emenisme#kesimpulan#Pembelajaran Berdiferensiasi#PPG Prajabatan#proyek kepemimpinan#usman nurfatah#uts usman
0 notes
Text
Prestasi Perempuan
Menjadi seorang perempuan yang tidak terikut arus dan menjadikan tiktok/sosmed sebagai standar pemikiran dan pandangan adalah sebuah prestasi yang menurutku besar. Keep it up :)
I’m not generalizing about that. Tapi rasanya tak sulit menemukan postingan yang viral di sana tentang berbagai bias pemikiran dari perempuan, oleh perempuan, untuk perempuan. And you know what’s the effect dear?
Pemikiran yang bias bisa bikin kita salah dalam memandang sesuatu. Kesalahan cara pandang bisa jadi sebab salah mengambil sikap dan kesimpulan. Salah mengambil kesimpulan berakibat pada salah dalam mengambil keputusan dan tindakan. So keep it in mind. Tidak semua orang bisa diambil pandangannya meskipun viral, meski terlihat benar hanya karena banyak yang ngelike dan mewakili sisi perasaan. Jangan lupakan bahwa kamu masih punya kecerdasan untuk menimbang kebenaran dari sebuah pernyataan. 'Dear My Future' | Quraners
185 notes
·
View notes
Text
memutuskan
hari ini, saya, kakak ipar, serta adik saya (yang belum menikah) mengobrol tentang keputusan untuk tidak menikah. masing-masing dari kami punya setidaknya satu teman yang memutuskan untuk tidak menikah. kesimpulan kami, memutuskan untuk tidak menikah adalah keputusan yang sama beraninya dengan memutuskan untuk menikah. sama beraninya dengan keputusan untuk mengakhiri pernikahan. atau juga membatalkan pernikahan. bahkan, juga keputusan bertahan.
setiap orang pasti punya alasan, prinsip, dan kepercayaan tentang menikah dan pernikahan. itu semua mendorong munculnya sikap tertentu, keputusan tertentu. namun yang jelas, seseorang boleh disebut berani saat mengambil sebuah keputusan jika dan hanya jika keputusan itu diambil memang karena sebuah keberanian--bukan karena ketakutan.
misalnya... ada orang yang memutuskan untuk menikah karena ingin lari dari kehidupannya. itu keputusan seorang pengecut.
misalnya... ada orang yang memutuskan untuk tidak menikah karena tidak mau hatinya terluka sedikit saja--yang mana pasti ada dalam setiap pernikahan. itu juga bukan keputusan yang berani.
tapi, jangan salah juga. langkah yang berani tidak sama dengan langkah yang nekat. langkah yang berani adalah langkah yang disertai pertimbangan, persiapan, dan penerimaan konsekuensi. langkah yang berani adalah langkah yang tetap memenuhi kriteria aman, baik, dan benar.
dan jangan salah juga. langkah yang berani bukan berarti langkah yang tanpa kekhawatiran. langkah yang berani justru adalah langkah yang sudah khatam mengenal semua kekhawatiran sehingga bisa mengantisipasinya. langkah yang berani justru adalah langkah yang selalu tahu bahwa selalu ada pilihan berikutnya meskipun saat ini kita belum tahu pilihannya apa.
semoga setiap keputusan kita adalah keputusan yang berani.
153 notes
·
View notes
Text
Kita Tidak Akan Pernah Memahami Tentang Menerima Sampai Kita Menjalaninya
Sudah lebih dari dua pekan tulisan ini diendapkan di dalam pikiran. Awalnya ragu untuk dituliskan karena khawatir ada salah pikir di dalamnya. Tetapi, saya rasa saya memang butuh menulis untuk menguraikannya, berharap tulisan ini menjadi diskusi dengan para pembaca dan juga menjadi teman berproses bagi siapa saja yang saat ini sedang berlelah-lelah dalam berproses menerima. Baca sampai selesai supaya tidak salah paham, ya. Bismillah ...
Ada banyak hal di dalam hidup yang tidak akan pernah kita pahami sebelum kita benar-benar menghadapi dan menjalaninya. Salah satunya adalah acceptance atau penerimaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa itu menerima? Bagaimana caranya untuk menerima?" rupanya hanya akan bisa seutuhnya terjawab ketika kita sudah pernah memproseskan diri untuk melakukan penerimaan.
Iya, penerimaan pada akhirnya bukanlah tentang suatu konsep atau teori yang bisa kita hafalkan untuk memahaminya, sebab kita harus menjalaninya.
Itulah yang belakangan ini menjadi sebuah kesimpulan diri bagi saya selepas menjumpai hari-hari yang berat. Seperti yang sudah bisa ditebak, saat hari-hari berat itu sedang hadir, penerimaan nyatanya juga hadir sebagai PR besar, and I wasn't have any clue to solve those kind of things. Dalam kondisi seperti itu, nasehat-nasehat baik seperti "Kamu seharusnya bersyukur. Kamu itu tidak menerima ketetapan Allah." terasa seperti belati yang menyakitkan. Alih-alih menyemangati dan membuat saya menemukan insight baik, saya justru semakin ingin melawan! Saya pikir, mengapa orang lain begitu sulit berempati dan membaca situasi sehingga kalimat-kalimat seperti ini harus dikatakan di saat-saat yang tidak tepat?
Di saat yang sama, isi kepala saya yang hening seketika berubah menjadi sangat riuh. Peperangan terjadi antara sisi diri saya yang mengatakan, "Sudahlah, didengarkan saja. Itu kan benar." dengan sisi diri saya yang lain yang mengatakan, "Nggak, itu salah! The things is not about acceptance and gratitude. Saya ini sedang sedih, bukan sedang tidak bersyukur. Saya juga sedang marah dan kecewa, bukan sedang tidak percaya kepada Allah sehingga enggan menerima ketetapan-Nya." Tetapi, saya terus mengevaluasi cara berpikir saya ini hingga akhirnya saya menemukan sebuah insight bahwa,
Tidak pernah ada yang salah dengan konsep bersyukur dan menerima ketetapan Allah. Saya pun mengimani bahwa dua hal itu memanglah menjadi kebutuhan jiwa kita sekaligus juga merupakan sikap terbaik seorang hamba kepada Rabb-Nya. Hanya saja ...
Saat ujiannya sedang hadir sebegitu hebatnya, saat tangis sedang deras-derasnya, juga saat rasa sakit sedang terasa sakit-sakitnya, rupanya yang saya butuhkan adalah berproses untuk menerima sepenuh utuh apa yang menjadi ketetapan-Nya. Di dalam menjalani proses itu, yang saya butuhkan adalah rangkulan, bukan nasehat-nasehat idealis yang bisa menutup jalur komunikasi hingga saya jadi tidak ingin bercerita lagi.
Saat itu, sambil menata apa yang ada di hati dan pikiran, saya teringat pada sebuah materi yang yang pernah saya buat untuk sebuah kelas. Salah satu kata kunci dari materi itu adalah bahwa penerimaan adalah proses yang aktif. Lewat berbagai ujian kemarin, rupanya Allah ingin memahamkan saya lebih dalam tentang "proses yang aktif" ini. Lalu, apa yang saya dapatkan? Penerimaan itu, setidaknya bagi saya, adalah proses yang seperti apa?
Pertama, dalam proses menerima itu ternyata kita tidak selalu bisa langsung berhasil. Terkadang kita harus bertemu dulu dengan kegagalan. Kita mungkin saja semakin sedih, semakin marah, semakin kecewa, dsb namun semua perasaan yang semakin menjadi-jadi itu biasanya akan menghantarkan kita pada sebuah titik dimana kita akan menyerah, mentok, hingga akhirnya pelan-pelan memilih untuk berserah, "Oke ya Allah, aku ikut apa mau-Mu."
Kedua, dalam proses menerima akan terjadi berbagai dialog di dalam diri, "Kayaknya gini, deh! Eh tapi nggak, yang benar itu ... Tapi gimana kalau ..." dst. Saat itu terjadi, it's okay, nikmati saja prosesnya dengan tetap banyak beristighfar kepada Allah dan meminta-Nya menunjukkann kepada kita cara berpikir yang benar.
Ketiga, proses menerima itu tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali diri kita sendiri karena ia adalah urusan personal, subjektif, dan merupakan perjalanan diri yang Allah berikan khusus untuk diri kita. Meski kita dan seseorang yang lain sedang berproses untuk menerima satu ketetapan yang sama, proses di dalam dirinya pasti berbeda. So hang in there, sampai kita menyadari bahwa satu-satunya yang bisa menolong kita hanya Allah saja.
Keempat, dalam proses menerima akan ada banyak warna perasaan yang bermain. Menyadarinya itu baik, merasakan apa yang kita rasakan juga baik, tetapi jangan sampai kita merelakan diri kita untuk dipimpin oleh perasaan-perasaan kita. Sebab, jika itu terjadi, kita sudah kalah.
Kelima dan yang paling utama, ternyata yang paling kita butuhkan dalam berproses untuk menerima ketetapan Allah adalah petunjuk-Nya. Hanya dengan petunjuk Allah kita bisa luluh, lapang, hingga akhirnya menerima.
Well, sampai kapanpun, rupanya proses menerima akan selalu menjadi pembelajaran bagi diri kita. Masalahnya, hal-hal yang harus kita terima di dalam hidup selalu berganti-ganti: beberapa hal mungkin sudah kita selesaikan sehingga tidak lagi menjadi isu di dalam diri (bahkan mungkin sudah menjadi hikmah yang kita kantongi), namun, bukankah beberapa yang lain masih menyisakan rasa berat dan meminta kita untuk berproses dalam menerimanya?
Teruslah berproses. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk-Nya di dalam jiwa kita. Wallahu 'alam bishawab.
PS. Jika teman-teman butuh berdiskusi tentang ini, boleh ask question via Inbox di Tumblr ini, ya.
168 notes
·
View notes
Text
Tidak ada solusi yang paling baik bagi lelaki dan perempuan yang saling jatuh cinta, selain menikah.
Jika belum mampu, maka keduanya harus mengambil jarak, memutus komunikasi, tidak berinteraksi.
Sebab jika masih saling bersinggungan, membalut perasaan atas nama pertemanan, keduanya akan terus tergelincir. Lalu kemudian lupa perihal dosa maksiat yang mereka lakukan.
Lantas siapa yang paling berperan atas hal ini? Ketika virus merah jambu telah merebak di dalam hati?
Adalah lelaki. Lelaki yang paling berperan atas semua hal yang akan terjadi.
Jika komitmen dirinya adalah menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, maka tidak akan pernah berat baginya untuk memutuskan semua rantai yang bisa menimbulkan fitnah di masyarakat.
Karena sampai kapan pun, lelaki selalu memiliki kontrol atas perasaan perempuan.
Karena selamanya perempuan akan menjadi makhluk yang senang diberi perhatian dan kejutan.
Untuk itulah laki-laki harus meretas perhatian itu. Membatasi setiap kejutan yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan benih-benih perasaan.
Karena kita tidak akan pernah bisa mematikan asumsi orang-orang terkait apa yang nampak di ruang publik.
Apa yang menjadi konsumsi banyak mata adalah sesuatu yang akan menimbulkan banyak prasangka. Maka salah satu jalan agar terhindar dari fitnah, tidak mendatangkan banyak prasangka adalah dengan berupaya menghindari pusat dari prasangka tersebut.
Tidaklah seseorang dikatakan gemar menghadiri konser musik, jikalau yang nampak dari kesehariannya adalah perihal panggung megah dengan penyanyi bak dewa. Juga dirinya yang ada di sana, seraya memamerkan semua aktivitas yang ia geluti.
Maka begitu pula dengan kedekatan seseorang.
Kamu tidak akan pernah diduga sedang menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, sampai kamu berani berjalan dengannya di ruang publik, berdua, bersama. Terlebih jika kamu berdua tidak terikat hubungan pernikahan.
Maka jalan satu-satunya untuk mematikan asumsi orang lain adalah menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahan perspektif.
Kamu mungkin bisa mengelak, menampik semua persangkaan banyak orang. Tapi aktivitasmu, gerak tubuhmu adalah tanda baca. Membiarkan orang lain melihat berarti membiarkan orang lain menarik kesimpulan atas dirimu, gerakmu, aktivitasmu.
Karena sampai kapan pun, orang-orang akan selalu percaya.
Bahwa mustahil menjalin hubungan akrab dengan lawan jenis tanpa melibatkan perasaan.
07.00 p.m || 02 Juli 2024
Source : @ulvafdillah
#tulisan#ulvafdillah#cerita#tulisansepanjangtahun#puisi#puisiindonesia#sajak#prosa#daily poem#kisah#monolog#pemikiran#pertemanan#friendzone#islampost#quoteislamic
158 notes
·
View notes
Text
Belajar Diam
Hari-hari ini, saya sadar, sepertinya daya tahan untuk sabar perlu ditingkatkan lagi. Dan, satu jalan yang saya tempuh, kembali bermajelis langsung dengan seorang guru.
Waktu-waktu kosong saat ini, di tengah mempersiapkan ujian nasional, semakin membawa saya kepada pemahaman; harus tahu kapan, sejauh mana, dan bagaimana kita 'bersuara'.
Di tengah kondisi yang kian semakin ramai, semua orang ingin berbicara dan didengar. Di tengah kondisi yang kian tidak terfokus, semua masalah seakan berlomba untuk diselesaikan. Di tengah kondisi yang kian memprihatinkan, dunia keilmuan dihinakan dengan hadirnya manusia tanpa otoritas berkomentar atau lolos dalam acara-acara pendidikan; maka saya sedang mencoba untuk belajar diam.
Saya hanya sarjana di sebuah kertas. Tidak punya karya tulis yang mumpuni, apalagi kebermanfaatan sosial yang banyak. Cita-cita yang terfikir saat dulu kecil sangat sederhana dan mungkin jika tercapai hari ini, sangat prestisius; menjadi pemain timnas Indonesia.
Tapi, entah mengapa, entah doa apa yang dirapalkan oleh kedua orang tua saya, entah bagaimana tirakat dari sepuh dan guru di sekitar saya, pertemuan dengan buku ustadz Salim A Fillah, menjadi gerbang pembuka bagi ilmu-ilmu yang lain, bukan hanya ilmunya, tapi juga cara berfikir dan bahkan bertingkah laku.
Itupula yang menjadi wasilah untuk kemudian memberi tekad bagi saya untuk mengarungi luasnya ilmunya Allah, menyimak banyak guru, asatidz, serta ulama, dan alhamdulillah menghantarkan kepada pemahaman yang lebih lanjut dari yang sebelumnya pernah saya simak.
Fase belajar diam ini, semoga bisa saya tempuh dengan konsistensi dan kesabaran, karena tentu tidak mudah untuk membuka kemauan hati dalam menyimak secara langsung; kita seringkali hanya membaca sebagian atau bahkan hanya kesimpulan. Dan indahnya lagi, antara bidang yang saya tekuni sebagai dokter kelak, beberapa kali dibahas dalam khazanah keislaman, seperti dalam kitab Ta'lim Muta'allim yang sedang dipelajari :
Imam Asy Syafii berkata : "Ilmu itu ada dua. Ilmu fiqh untuk urusan-urusan din, dan ilmu kedokteran untuk urusan-urusan badan"
Dikatakan juga :
وأما تعلم علم الطيب، فيجوز لأنه سبب من الأسباب، فيجوز تعلمه كسإرالأسباب وقد تداوى النبي صل الله عليه وسلم "Sedangkan mempelajari ilmu kedokteran/kesehatan, maka boleh. Karena merupakan bagian usaha untuk mengambil sebab kesembuhan. Sebagaimana Nabi pun pernah berobat"
Allahumma Baariklana Fii Ilminaa Wa Zidnaa Ilma An Nafi'a Wa 'Amalan Mutaqobbala
64 notes
·
View notes
Text
Mikirin Soal Sistem dan Takdir
Ini sebuah pemikiran yang lumayan liar ke mana-mana, tapi setelah dipikir mendalam, memang hubungan satu sama lain kayak nggak bisa dinafikan.
Apakah kalian percaya bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan seseorang (khususnya di negeri ini sebaga contoh terdekat) itu adalah sebuah bentuk yang sistematis? Kalau bahasa kekiniannya kemiskinan struktural, memang kondisi yang secara sistem disengajakan.
Mengutip dari google : Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Orang bekerja sekeras mungkin, dia tetap kesulitan untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Dan kondisi ini juga diperparah dengan sistem sosial yang menuntut anak harus membiayai seluruh anggota keluarga. Anggota keluarga membiayai saudara. Dan berbagai macam bentuk ketergantungan finansial akut yang membuat seseorang makin sulit untuk keluar dari lingkaran setan gali lubang tutup lubang.
Ditambah dengan sekolah yang kualitasnya bagus, biayanya tidak terjangkau oleh masyarakat yang rentan ekonomi. Sehingga, output dari pendidikan tidak bisa menjawab masalah dasar yang sebenarnya bisa dientaskan dari pendidikan, yaitu pola pikir.
Lalu, ketika dewasa ini. Kita dihadapkan pada beragam kondisi yang membuat diri kita tersadar bahwa ternyata bisa jadi kita ada dalam kondisi rentan. Sementara akses-akses tertentu, hanya bisa didapatkan oleh teman kita yang lain. Kita sebut itu sebagai privilese, sebagai bahasa kerennya. Tapi sebenarnya, kalau kita kulik lebih dalam, itu adalah bentuk sistem yang memang membuat seseorang tidak bisa mengakses hal tersebut.
Sebagai contoh sederhana, kalau teman-teman ingin membuat sebuah usaha dalam skala kecil tapi legalitas bener. Itu malah ribet banget, terhalang sana sini untuk bisa berkembang. Beda cerita kalau teman-teman memiliki modal kapital yang besar. Cenderung lebih lancar. Seolah-olah, jurang antara usaha kecil kita dengan usaha besar yang udah establish itu gak bisa dijangkau sama sekali. Karena akses untuk ke sana, tidak dibuat lebih mudah. Termasuk untuk inovasi, dsb.
Privilese itu riil banget dan produk dari sebuah sistem. Bayangkan kalau akses-akses pendidikan berkualitas itu bisa diambil oleh siapapun. Buku-buku yang kubeli tiap bulan ratusan ribu itu tersedia di mana-mana untuk bisa dibaca di perpustakaan yang selalu update bukunya. Tontonan yang disajikan di televisi di rumah-rumah orang sebagus channel-channel yang bisa kita akses melalui TV Internet., bahkan bisa kita pilih sendiri salurannya terserah kita dari seluruh dunia. Mata pelajaran soal manajemen finansial bisa diberikan sejak dibangku sekolah, tidak dijual sebagai program-program kelas di usia dewasa. Mata kuliah wirasusaha, bisa diuji coba sejak sekolah dengan akses modal yang lebih mudah.
Kesimpulan dari tulisan ini, ingin menyadarkan kepada teman-teman bahwa kita punya kesempatan untuk memilih takdir yang baik. Kalau kondisi di keluargamu, di lingkunganmu, di pertemananmu, di tempat saat ini kamu berada ternyata semencengkeram itu untukmu bisa maju, mengentaskan diri dari ketidakberdayaan. Kamu bisa memilih dan perlu untuk berani membuat pilihan tersebut. Hijrah kepada takdir yang lebih baik :)
84 notes
·
View notes
Text
"Untuk benar-benar sembuh, kita butuh memberi jarak pada semua hal yang menyakitkan."
Acap kali aku berbisik demikian kepada diriku, kemudian menghela nafas panjang dan menghibur diri. Sebab aku menyadari betul, tidak ada yang selamanya. Pun perasaan-perasaan yang salah kaprah, tetap akan menuju kepada yang semestinya benar.
Dan pada semua yang terjadi, barangkali adalah cara-Nya untuk menyelamatkan diriku dari jalan yang tidak semestinya ditempuh.
Lalu ketika semakin menapaki usia-usia setelah dua puluh lima nanti, aku berjanji dan mengusahakan untuk tidak lagi salah dalam menerjemahkan intuisiku. Aku tidak akan mengizinkan segala yang abu-abu memasuki benteng besar yang sudah susah payah dibangun. Atau setidaknya, aku tidak akan terjerembab pada kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya fana.
110 notes
·
View notes
Text
bias
belasan tahun berproses mengenali diri sendiri juga berarti harus bertarung melawan banyak sekali bias. Di blog ini, gue sering bercerita tentang betapa psikolog dan psikiater banyak membantu kehidupan gue.
Tapi di sisi lain, gue juga merasa perlu berbagi pandangan realistis bahwa di antara psikolog-psikolog yang pernah gue temui tuh ada juga yang judgemental dan terjebak bias. Gue berbagi kayak gini karena berharap kalau ada yang sampai dapet psikolog yang judgemental, kita bisa banget nyari second opinion atau pause dulu kemudian bercermin:
"Di sebelah mana biasnya?"
Contoh paling sederhana adalah lebih dari satu psikolog yang nge-asses gue menuliskan bahwa gue minder dengan fisik gue sehingga gue menarik diri dari lingkungan.
Pada sesi wawancara, gue tuh udah menjelaskan dengan gamblang bahwa gue sama sekali tidak punya masalah dengan fisik gue. Nggak ada minder sedikitpun. Yang jadi permasalahan gue di masa kecil sehingga gue merasa terasing adalah karena gue kerapkali dijudge sebagai anak nakal yang tidak tahu sopan santun. Karena di kelas tuh gue sering nggak fokus, gue nggak bisa menyimak penjelasan guru dengan baik dan sangat terdistraksi, gue juga sering dinilai tidak sopan karena sering memotong pembicaraan orang.
Ini sebenarnya gejala khas ADHD namun beberapa psikolog terjebak biasnya sendiri sehingga diagnosa tentang potensi psikopatologis yang dikeluarkan ya sebatas:
,,,,, punya kecenderungan mengasingkan diri untuk melindungi diri sendiri akibat fisik yang berbeda.
Pernah juga gue tuh cerita bahwa dalam kerja ternyata gue lebih nyaman berkomunikasi dengan gen Z. Karena gen Z relatif lebih jujur dengan perasaan mereka sehingga banyak uncomfortable conversation yang bisa gue lakuin justeru dengan orang-orang yang lebih muda dari gue.
Sementara orang-orang yang lebih senior dari gue tidak terbiasa memproses emosinya dengan baik. Sehingga saat ada masalah, mereka cenderung menghindari pembicaraan yang tidak nyaman dan langsung menggunakan kartu jabatan.
Tentu gue sendiri menyadari bahwa sangat mungkin gue punya bias dalam menilai gen Z dan orang di atas gue. Sementara yang muncul di laporan diagnosa adalah:
......cenderung menyelesaikan permasalahan secara parsial sehingga tidak mampu berempati.
Gue mendapatkan diagnosa semacam itu setelah 8 tahun bekerja. Tentunya selama 8 tahun bekerja, gue udah mengamati banyak hal. Selama sesi wawancara, psikolog tidak menggali lebih jauh kenapa gue mengambil kesimpulan seperti itu. Nggak pernah menggali juga berapa kali gue harus dealing dengan awkward situation menghadapi orang-orang yang lebih tua dari gue tantrum dan nggak mau diajak berdialog.
Ada banyak pengalaman-pengalaman semacam ini yang nggak bisa gue bagi semua. Gue memilih tetap ke psikolog karena pertanyaan dan diagnosa mereka membantu gue mengenali diri sendiri. Tapi menyuruh orang sakit langsung ke psikolog tanpa cautions bahwa ada psikolog yang judgemental tuh ngebuat gue khawatir. Khawatir kalo temen gue ketemu yang kayak gini, bukan malah sembuh tapi trauma.
Instrumen-instrumen assesment yang digunakan oleh psikolog sangat membantu kita mengecek kesehatan mental kita. Tapi balik lagi, jiwa manusia itu seperti lautan luas. Assesment-assesment tersebut tidak menggambarkan kondisi kita keseluruhan karena assesment itu bersifat parsial. Butuh kejelian psikolog untuk mencari instrumen assesment yang bisa menyentuh inti masalah.
Maka kalau kamu merasa deskripsi yang dituliskan oleh psikolog kurang tepat, kamu bisa banget bertanya lebih jauh detailnya. Tapi kalau kamu merasa semakin terhakimi, kamu boleh banget nyari psikolog yang lain.
Semoga kita semua bisa mendapatkan kehidupan yang baik dengan jiwa yang lebih sehat :)
56 notes
·
View notes
Text
Merancang lingkungan kelas yang aman, nyaman dan berpihak pada ekosistem pembelajaran
Pendapat Menurut saya kelas yang baik adalah ruang kelas yang bersih, rapi, aman dan nyaman untuk pembelajaran. Ruang kelas adalah ruang interaksi antara siswa dengan temannya dan guru, interaksi dalam konteks ini adalah proses pembelajaran yang telah dirancang oleh guru didalam kelas atau selanjutnya kita sebut ekosistem pembelajaran. Berikut rancangan saya untuk membentuk ekosistem…
View On WordPress
#Abad 21#ekosistem pembelajaran#emenisme#Guru#kesimpulan#lingkungan belajar#pembelajaran#Pembelajaran Berdiferensiasi#pendapat#PPG Prajabatan#ruang kelas#usman nurfatah
0 notes
Text
Masih agak bingung dengan diri ini ingin hidup yang gimana.
Paham banget hidup sederhana tuh enak, damai, tenang. Yang penting ada rejekinya aja buat makan tiap hari sama sekolahin anak-anak ya kan. Asal sumber rejekinya halal insyaAllah semua berkah.
Tapi kalo liat postingan influencer beli tas baru kok ya pengen juga hahaha. Atau ada sale baju apa make up gt susah bgt buat ga tergoda. Tapi berarti butuh income oke dong?
Tapi income gede kerjaan dan tanggungjawabnya pasti gede juga dong?? (apparently not, mengingat di X lagi rame gaji pembantu asisten stafsus yg 19jt, lebih2 dari tawaran ASN BRIN yg minimal S3 yg rentang gajinya 7-11jt).
Kesimpulan: apa aku cari loker jd pembantu stafsus aja yah. Plis info dong kalo tau.
Anyway balik lagi ke kehidupan. Kayanya aku belum nemu deh di hidup ini ingin prioritasin apa. Kayak ingin segalanya (istigfar because ini hanya dunya yg singkat, sejatinya kejarlah akhirat huhu). Pengen kerja santay, bisa belanja2, tapi hidup berkah dan tenang juga hahaha. Udah ga relateee sama post keambisan bekerja dan achievement kayak yang udh capek karena tau banget hardwork yang dibutuhkan untuk mencapai achievement ituh.
Jadi ya udah deh go with the flow aja jangan pusingin yang belum harus dipusingin yah. Kontrak kan masih ada 2 tahun lagi. Kelarnya mau gimana ya urusan Allah aja aku terima. Yang penting kerjaan sekarang diselesaikan sebaikbaiknya dan opportunity lain kalo ada ya diusahakan semaksimal mungkin.
44 notes
·
View notes
Text
Hidup yang Begini-Begini Saja
Aku sering berpikir, sepertinya poin paling besar yang menjadi pembeda seseorang dengan orang lain adalah dirinya sendiri; ceritanya, perjalanannya dan kompleksitas cara berpikirnya. Itu kenapa aku sering sekali merasa seharusnya aku menuliskan ceritaku, perjalananku, dan semua huru-hara hidup yang membuat jatuh bangun.
Namun di sisi lain, masih sering sekali skeptis sama diri sendiri; 'Memang apa yang kau tawarkan dari cerita itu? Hei, lihat dirimu, masih saja terlunta-lunta urusan hidup.' Tapi, itu menariknya kan? Kita sering melihat, cerita duka hanya dibaca jika disampaikan oleh orang yang sudah bersuka ria. Cerita sedih dilirik jika sudah ada titik bahagia. Kegagalan didengarkan saat ada kesuksesan yang turut bisa dijual. Lalu kenapa kita yang seringnya merasa masih begini-begini saja, bersusah payah untuk didengarkan dengan berbagai strategi dan upaya, padahal kisah sendiri adalah kisah yang tiada duanya. Tapi sebenarnya apa itu menjadi begini-begini saja?
Uang? Kekuasaan? Kecantikan? Popularitas? Semua itukah yang membuat kita menjadi seseorang? Atau terlalu naif kita untuk memahami, bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup ini meski tanpa semua itu.
Aku tak cukup bijak untuk mengambil kesimpulan, tak cukup lainnya untuk didengarkan, namun ayolah, untuk diri sendiri setidaknya kita mau menerima dan mengerti, bertahan sejauh ini menjadi seseorang yang memahami kebaikan bukankah sebuah pencapain? Mari sama-sama hitung orang di sekitar kita, berapa hati yang menghilangkan kebaikan dalam dirinya demi semua hal yang sifatnya materi itu? Bahkan tanpa sadar kita sering melakukannya.
Pemahaman ini, pelajaran ini, bisa jadi sesuatu yang diketahui banyak orang. Tapi ada saja alasan yang digunakan untuk memaklumi bahwa adil menjalani kehidupan yang penuh kelicikan dan kepura-puraan demi semua pencapaian yang hingar bingar. Sehingga hadirlah sentimen bahwa menjadi seseorang yang berintegrasi dengan kejujuran, kebaikan dan prinsip menjalani hidup tidak seperti orang kebanyakan menjadi sebuah pilihan yang terlalu naif. Sayangnya aku juga pernah percaya itu.
Pada satu titik aku juga pernah menjadi si orang paling stress bahkan depresi akan hidup yang masih begini-begini saja. Melihat kiri kanan yang penuh dengan pencapaian, mendengar depan belakang yang penuh tekanan. Titik yang akhirnya membuat diri tak hanya stagnan dalam bergerak namun juga berhenti dalam berpikir. Hanya karena agar sama dengan orang lain, agar diterima di semua kalangan, dan agar-agar lain yang kalau kupikirkan sekarang, untuk apa?
Mungkin jika tidak melalui semua itu tak banyak yang kupelajari soal hidup. Mungkin hidup yang begini-begini saja adalah pengalaman yang tidak sembarang orang miliki, jadi kenapa harus merasa bahwa tak ada hal yang bisa kuceritakan sebab aku masih begini-begini saja?
Aceh, 02 Mei 2024
114 notes
·
View notes
Text
Terhubung (Lagi) dengan Diri Sendiri
Rasanya agak kaget, ya. Ternyata tahun 2024 akan berakhir dalam 3 bulan lagi. Mungkin masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan tentang perjalanan tahun ini, toh masih ada 3 bulan yang belum terlewati. Tapi, kalau harus merangkum perjalanan 9 bulan ke belakang, saya merasa ketangguhan atau resiliensi saya menurun.
Penilaian ini tentu lebih banyak memuat sisi subjektif. Kalau saya bertanya pada orang lain yang mengenal saya dengan baik dan mengetahui apa yang saya lewati, saya yakin penilaian mereka terhadap saya juga tidak seburuk saya dalam menilai diri sendri. Tapi, saya ingin mengizinkan kejujuran dari dalam diri saya bersuara, bahwa saya tidak cukup puas dengan bagaimana perjalanan diri saya dalam 9 bulan ke belakang. Ada banyak tangis dan luka yang terasa lebih dalam dari biasanya, sehingga saya butuh waktu yang lebih lama juga untuk menghadapinya. Padahal, di dalam hati saya selalu tahu bahwa seharusnya semua ini bisa jadi lebih sederhana.
Tahun ini saya bertemu dengan kehilangan dan kekecewaan, dan diantara keduanya ternyata yang terasa lebih menyakitkan adalah kekecewaan. Menghadapi kekecewaan ternyata memang tidak mudah, ya. Sampai dengan saat ini, saya pun masih terus berproses untuk memahami diri dan orang lain, menerima, memaafkan, dan kembali fokus pada tujuan-tujuan yang saya dan keluarga miliki. Di dalam proses itu, saya menemukan diri saya yang paling rapuh meski sebenarnya saya tidak ingin siapapun menyaksikan hal itu.
Apakah ini adalah kekecewaan pertama yang saya hadapi dalam hidup? Tentu saja bukan. Di tahun-tahun sebelumnya, saya pernah bertemu dengan kekecewaan yang lain, bahkan ada juga yang lebih besar dan menekan dari apa yang terjadi di tahun ini. Atas seizin Allah, saya diberi-Nya kemudahan untuk tetap menjadi pribadi yang resilien. Lalu mengapa tahun ini berbeda? Atas seizin-Nya, dalam obrolan bersama suami malam ini saya mencoba menelusuri perjalanan diri saya dan saya menemukan beberapa hal utama yang biasanya membantu saya di fase-fase sulit, yaitu:
Koneksi dengan Allah yang terbina dengan baik dengan adanya guru atau mentor,
Kebiasaan menulis secara rutin yang membantu saya menguraikan pikiran, dan
Kondisi sedang sekolah (baik formal maupun non-formal) yang membuat saya fokus pada proses mempelajari hal baru.
Ketiganya ternyata membuat saya terhubung dengan diri sendiri sehingga saya menjadi lebih berkesadaran dan punya banyak kesempatan untuk mengelola kondisi-kondisi sulit dengan menggunakan input-input baik yang saya terima.
Rupanya, ini yang memengaruhi resiliensi yang saya miliki. Tahun ini koneksi saya dengan diri saya sendiri berkurang signifikan karena tiga hal yang menjadi perantaranya juga berkurang. Alih-alih dimentori, saat ini saya lebih sering menjadi mentor. Saya senang dan menerimanya dengan baik, tetapi ternyata saya rindu menjadi gelas kosong yang bersiap diisi oleh kucuran ilmu dan hikmah dari para guru. Soal menulis, saya sebenarnya masih menulis untuk hal-hal yang sifatnya edukasi ekstrenal. Saya menikmatinya, tetapi ternyata saya rindu menulis tentang perjalanan diri saya dalam memproseskan banyak hal di kehidupan sehari-hari tanpa perlu berpikir tentang kesesuaian niche. Lalu soal sekolah dan belajar, tahun ini saya sudah lulus dan banyak berproses sebagai praktisi. Saya bersyukur dan menjalaninya dengan sukacita, tetapi ternyata saya rindu mempelajari hal-hal baru yang akan mengisi diri saya, saya rindu menerima, bukan terus memberi dan "mengisi gelas" orang lain.
Aha! Saya jadi menemukan satu jawaban bahwa sebenarnya yang saya butuhkan saat ini adalah terhubung kembali dengan diri saya sendiri. Sebab, itulah cara yang bisa membantu saya dalam mengakses kekuatan-kekuatan yang Allah titipkan di dalam diri saya. Selain itu, hal itu juga bisa membantu saya untuk berpikir lebih dalam dan menggali berbagai hikmah yang Allah sediakan.
Beberapa hal sedang saya ikhtiarkan untuk kembali terhubung dengan diri sendiri, insyaAllah akan saya ceritakan kalau sudah selesai atau minimal sudah separuh perjalanan, ya. Mohon doanya, semoga atas seizin Allah saya bisa memanfaatkan waktu-waktu yang tersisa di tahun ini agar bisa FINISH STRONG di akhir nanti.
Untukmu, jika hari ini kamu merasa berantakan dan lebih lemah atau lebih bermasalah dari sebelum-sebelumnya, coba temukan apa yang sebetulnya hilang dar dirimu dan perlu kamu munculkan kembali agar bisa berdampak baik untukmu. Semangat, ya! Di akhir 2024 nanti, insyaAllah kita finish strong bersama-sama.
57 notes
·
View notes
Text
Terkadang terlalu cepat menarik kesimpulan, seolah kita tahu apa yang terbaik. Saat sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, ada rasa kecewa yang muncul. Padahal mungkin keputusan yang terasa tidak baik adalah cara-Nya melindungi kita dari sesuatu yang tak kita pahami.
Dalam setiap kejadian, entah kita anggap baik atau buruk, ada rencana besar-Nya. Mungkin hanya melakukan riset sederhana, berharap segalanya sesuai harapan. Namun, ketika hasilnya berbeda, sering kali terjebak dalam asumsi dan ekspektasi.
Saya sadari, menemukan kelapangan hati butuh waktu. Itu tidak datang tiba-tiba. Ketenangan hati rupanya muncul ketika terus belajar percaya, bahwa apa pun yang terjadi adalah kehendak-Nya. Ini bukan tentang cepat memahami atau menerima, tetapi tentang proses terus-menerus untuk melatih hati agar tetap tenang.
Pada akhirnya, saya kembali diingatkan bahwa ini adalah perjalanan. Latihan sabar, latihan percaya. Mungkin tidak mudah, tapi di situlah proses menemukan ketenangan sejati, perlahan, dari dalam diri sendiri.
| 13 Oktober 2024 |
35 notes
·
View notes