Tumgik
#ilmu ekonomi ur
kobongkastrol · 3 years
Text
Dalam Kepungan Pandemi: Meditasi Bersama Buku dan Indonesia yang Lebih Baik
Tumblr media
Lebih dari seratus tahun lalu, pandemi gigantis pernah memporak-porandakan masyarakat dunia. Akibatnya, jutaan orang di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia menggelepar dengan meregang nyawa. Pagebluk itu dalam sejarah dikenal sebagai wabah Flu Spanyol.
Sejarah itu berulang, kata Karl Marx seorang filsuf penganjur Marxisme. Mula-mula tragedi, selanjutnya menjadi banyolan. Nyatanya, seratus tahun setelah itu, wabah semacam flu kembali menerjang dunia hari-hari belakangan ini. Bukan sebagai banyolan, malah tragedi yang amat mematikan. Pergerakan manusia dibatasi, ekonomi tersendat, kerumunan dilarang di ruang-ruang publik. Keriuhan yang biasa terjadi tampak hening, bahkan sempat mencekam. Manusia dibuat tak berdaya menghadapi makhluk renik berukuran 125 nanometer itu.
Ya, pandemi Covid-19 atau lebih dikenal Korona belum juga usai setelah bercokol lebih dari setahun. Berawal dari Wuhan, dan sejak Maret 2020 resmi terindikasi masuk ke Indonesia. Lalu datanglah ketakutan, kecemasan, dan kesunyian. Demi memutus penyebaran virus, semua orang "dipaksa" mengurung diri di rumah. Pemerintah datang dengan beragam istilah: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), mungkin semacam eufemisme dari karantina.
Korona datang mengendap lalu menerkam secara membabi buta, membuat kita tak pernah siap. Bahkan terkadang-seperti ditengarai oleh Slavoj Zizek-pernah di awal-awal menghadapi Korona, kita melakukan penyangkalan, lalu kemudian tersadar, dan akhirnya mau tak mau memaksa kita mesti beradaptasi bersama Pandemi. Tatanan hidup memang belum normal seperti sebelum wabah Korona datang, atau memang jangan-jangan tak akan pernah kembali normal. Presieden Joko Widodo mengatakan, "Kita harus hidup berdamai dengan Covid-19".
Sebagai Homo Sapiens alias makhluk berfikir, manusia tak kurang akalnya. Sebagaimana mengutip ucapan seorang ahli biologi kenamaan Charles Darwin, yang berujar bahwa bukanlah yang terkuat yang bisa bertahan, melainkan yang bisa beradaptasilah yang sanggup bertahan. Beradaptasi dalam setiap keadaan adalah prosedur tetap manusia agar ia bisa terus estafet melanjutkan kehidupannya.  Dan itu telah menjadi kenyataan sejarah.
Sejak terjadi penyebaran Korona secara domestik, protokol kesehatan memaksa kita agar menjauhi kerumunan, menjaga jarak, dan memakai masker jika bepergian untuk kepentingan amat mendesak. Di awal barangkali kita agak jengkel dengan segala keterbatasan yang dibuat, namun hikmah yang bisa diambil tak kurang besarnya.
Perpustakaan kecil di rumah yang kurang terjamah saat sebelum pandemi, memaksa saya kembali mencumbunya di masa adaptasi pandemi ini. Buku-buku yang telah menghuni rak berdebu itu saya sortir, saya jejerkan, dan terus saya rapikan. Buku-buku yang saya kumpulkan sejak masih kuliah ternyata ampuh untuk mengusir kesunyian akibat pembatasan sosial. Ia menjadi penawar bagi diri yang dicengkeram kesepian yang dipaksakan.
Ada sejumlah buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang saya incar untuk dibaca ulang. Ada semacam rasa kangen yang menyeruak bermanja-manja dengan buku. Beberapa buku lama dan sebagian lagi buku yang terbilang baru. Buku-buku itu pernah dibaca acak. Ada yang selesai. Tak jarang juga terhenti di pertengahan dengan bermacam-macam sebab. Terdistraksi karena rutinitas atau kemalasan untuk membuka helai-helai halaman buku.
Selain motivasi personal, alasan buku-buku pilihan terbitan GPU itu dibaca ulang, juga dikarenakan temanya asyik dan konteks tulisannya tak lekang dimakan zaman.
Selama pandemi, di tengah rutinitas keseharian, meditasi bersama buku-buku sering saya lakukan. Buku-buku itu antara lain: Kata-Kata. Ditulis oleh filsuf eksistensialis asal Prancis, Jean Paul Sartre. Judul aslinya Les Mots. Diterjemahkan oleh Jean Couteau. Penerbit Gramedia menerbitkannya tahun 2000. Saya membelinya 17 Februari 2004. Buku lawas namun tetap pantas dibaca kapanpun. Isinya hanya dua bab. Bab pertama berjudul "Membaca". Bab kedua bertajuk "Menulis". Walaupun begitu, isinya "daging" semua.
Memang benar, Sarte dikenal sebagai salah seorang filsuf eksistensialis. Namun, ia juga seorang sastrawan besar. Roman dan naskah dramanya tak luput dari pemikiran filsafat yang diselipkan pada karya-karyanya.
Dalam Kata-Kata ia mengisahkan dirinya. Sartre merupakan cucu seorang pendeta. Dalam pengasuhan kakek dan neneknya, Sartre menjalani kehidupan tertutup di sebuah keluarga borjuis yang sangat terlindungi. Di tengah kesunyian itu, Sartre menikmati kemewahan yang tak bisa semua orang cicipi. Ia merasakan kebahagiaan karena dikelilingi oleh buku-buku.
Ia menulis, "Telah kuawali kehidupanku, pasti seperti aku akan menutupnya: di tengah buku-buku. Dalam kantor kakek, buku ada di mana-mana; tidak boleh dibereskan kecuali setahun sekali, menjelang dimulainya ajaran baru sekolah di bulan Oktober. Meski belum bisa membaca, aku sudah memuja buku-buku yang nampak seperti tegaknya monumen batu: entah berdiri atau miring, sesak seperti bata di rak-rak perpustakaan atau berserakan di sana sini seolah barisan menhir...Buku-buku itu kusentuh dengan sembunyi-sembunyi agar memberkati tangan-tanganku dengan debunya"
Sartre girang bukan kepalang ketika ia membaca karya-karya Fontenelle, Aristoteles, dan juga Rabelais. Di lain waktu, lewat buku-buku yang dibacanya itu Sartre "menemui" La Perouse, Magellan dan Vasco de Gama. Bahkan saking asyiknya dengan aktivitas membaca, Sartre bahkan pernah membaca ulang sebanyak dua puluh kali halaman-halaman terakhir dari novel Madame Bovary yang ditulis oleh Flaubert, pengarang Prancis abad ke-19. Sartre seperti lupa pada dunia ketika ia tenggelam berasyik masyuk dengan buku-buku di perpustakaan kakeknya.
Kecintaan Sartre pada membaca berbanding lurus dengan keinginannya buat menulis. Sartre mengarang novel pertama yang diberi judul "Pour un Papillon" 'Demi Kupu-Kupu', yang menurut sepengakuan Sartre, tema, tokoh, dan detail petualangannya, dan bahkan judulnya pun ia pinjam dari dari sebuah cerita bergambar yang sudah terbit tiga bulan sebelumnya. Sartre menulis, " Plagiat yang memang disengaja itu membebaskan sisa kegelisahan yang masih ada pada diriku: semuanya pasti benar, sebab aku tidak menciptakan apa-apa".
Sartre yang hidup dalam jejaring ekosistem ilmu pengetahuan yang bagus di Prancis, membuatnya menjadi salah seorang figur eksistensialis terkemuka. Dalam bidang sastra, ia pernah dianugerahi penghargaan prestisius Nobel Sastra tahun 1964, namun ia menolaknya.
Bagi kita, walaupun tak mesti seperti Sartre, membaca dan menulis harusnya menjadi kebiasaan rutin dan tak boleh ditinggalkan. Membaca dan menulis adalah tradisi peradaban yang harus terus digaungkan. Ia menjadi penanda dari kemajuan sebuah bangsa. Keduanya adalah pengingat agar kelampauan dan kemasadepanan mesti berjalan seimbang, supaya bangsa ini tak lupa pada asal usulnya. Sebuah bangsa yang lupa pada sejarah dan asal-usul bangsanya sendiri, niscaya akan tergagap-gagap melangkah ke masa depan.
Apalagi sampai saat ini kita sedang berjuang melawan musuh bernama korupsi yang terus mengintai sepanjang waktu. Dari yang jumlahnya trilyunan hingga recehan. Keduanya sama saja dikategorikan berperilaku korup.
Novelis keren asal Banyumas, Ahmad Tohari, pernah menulis Orang-Orang Proyek. Gramedia menerbitkannya tahun 2007. Saya beruntung membelinya pada 21 Agustus 2014 di sebuah bazar buku dengan harga miring. Buku-buku Ahmad Tohari menempati rak khusus di perpustakaan rumah kami.
Novel Orang-Orang Proyek akan selalu kontekstual karena temanya menjadi gambaran dari sepotong kehidupan keseharian. Dalam realitanya, media cetak dan elektronik hampir setiap hari memberitakan perihal korupsi beragam proyek. Sejumlah orang kemudian dicokok komisi anti rasuah. Memakai rompi oranye, dan kemudian mengaku menyesal kala diwawancara. Berulang dan terulang lagi. Tak pernah kapok dan terus seperti itu, mungkin sampai menunggu ikan bisa terbang.
Orang-Orang Proyek menempatkan Kabul sebagai tokoh utama. Ia seorang insinyur muda idealis, mantan aktivis, yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Saat ditempatkan di sebuah proyek, Kabul sering uring-uringan karena proyek yang dikerjakan belum mencapai target. Kabul menyadari seandainya saja kebocoran dana proyek ini bisa dihindari kalau pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan pada tingkat pelaksanaan. Namun sebagai pekerja biasa, Insinyur Kabul bisa apa?
Menghadap kejengkelan itu Kabul mesti berhadapan dengan atasannya sendiri bernama Insinyur Dalkijo. Dalkijo menganggap lumrah kebocoran-kebocoran sebuah proyek. Karena dengan itu ia bisa bermain dan mendapat keuntungan. "Saya tahu, dalam perhitungan yang wajar, keuntungan kita dari proyek-proyek yang kita kerjakan adalah nol atau malah minus. Tapi, ya itu tadi, kalau kita bisa bermain, nyatanya perusahaan kita masih jalan. Bisa menggaji karyawan termasuk Dik Kabul sendiri. Dan saya, he-he, bisa ganti Harley Davidson model terbaru setiap selesai mengerjakan satu proyek. Rekening pun bertambah. Jadi, apa lagi?"
Mendengar pernyataan itu Kabul pun masygul. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak dari semua permainan dan kebocoran itu. Kualitas bangunan menjadi taruhannya, bila mutu bangunan dipermainkan maka masyarakatlah yang menjadi korban. Bangunan proyek yang tak sesuai spesifikasi dikhawatirkan akan cepat ambruk sehingga muncul banyak korban yang tak perlu.
Bagi Kabul, hal seperti ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya. Ini seperti menampar pengetahuannya belajar teknik dengan sungguh-sungguh di perguruan tinggi. "Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah pertama merupakan manifestasi  yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus diplih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?"
Terdengar familiar bukan dilema semacam itu? Perilaku korup nampaknya bukan hanya milik para elit, melainkan juga penguasa-penguasa kecil yang kebetulan mendapat mandat. Ketika di luar "pagar", secara gagah berani berucap tak akan sedikit pun memakai uang rakyat, saat di dalam semua yang dikatakannya itu mendadak lupa, entah amnesia atau disengaja.
Bung Hatta telah mewanti-wanti pada tahun 1961 ketika beliau mengatakan, "Jangan biarkan  korupsi menjadi kebudayaan Indonesia". Bung Hatta merupakan contoh nyata tokoh bangsa yang sesuai antara kata dan perbuatan. Hidupnya penuh disiplin dan keteladanan. Sebagai pensiunan wakil presiden sekaligus proklamator, tak ada cela saat berurusan dengan uang. Malahan sampai akhir hayatnya ia hanya bisa menyimpan foto iklan sepatu bermerk "Bally".
Ihwal korupsi, penerbit Gramedia pernah menerbitkan buku bagus. Judulnya Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Terbit pada tahun 2018. Karena harganya cukup lumayan, saya mesti menabung dulu untuk memilikinya. Buku itu baru saya beli di Januari 2019. Ditulis ditulis oleh B. Herry Priyono, seorang dosen di STF Driyarkara Jakarta. Beliau baru saja meninggal beberapa bulan lalu.
Sebagai karya akademis, buku ini cukup berat. Secara rinci penulisnya menelisik perilaku korupsi sejak zaman kuno, modern, hingga kontemporer. Dalam buku ini kita bisa melihat bagaimana akar-akar korupsi yang dilakukan dari masa silam hingga saat ini. Ia adalah penyakit akut yang merusak tatanan moral dan peradaban.
Barangkali keserakahan merupakan pintu pertama berperilaku korup. Pelaku korupsi tak menyadari bahwa dibalik itu tersimpan kejahatan yang merugikan masyarakat. Mahatma Gandhi suatu ketika pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhah kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir orang yang serakah"
Bagaimanapun tak ada sisi positif dari perilaku korup karena sejatinya ia merugikan hak-hak publik. Sebagaimana definisi moral dari korupsi yang diajukan kepada Oxford English Dictionary oleh Arnold Heidenheimer dan Michael Johnshon, dua otoritas dalam studi korupsi, yaitu "Penyelewengan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan hadiah; keberadaan dan pemakaian praktik-praktik curang, terutama dalam suatu negara, badan/usaha publik dan semacamnya; proses menjadi busuk secara moral; fakta atau kondisi busuk; kemerosotan atau kebusukan moral; kebejatan.
Mereka yang tega berbuat korup nampaknya telah hilang rasa cinta pada sesamanya. Erich Fromm dalam The Art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia tahun 2005, menulis bahwa cinta paling fundamental yang mendasari semua jenis cinta adalah cinta pada sesama. Inilah jenis cinta yang dikatakan dalam kitab suci: cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri. Cinta sesama adalah cinta pada seluruh umat manusia. Dalam cinta sesama, terdapat pengalaman penyatuan dengan semua manusia, solidaritas manusia, keutuhan manusia. Cinta sesama didasarkan pada pengalaman bahwa kita semua adalah satu.
Apabila cinta yang tulus pada sesama telah merasuk dalam diri, maka ia akan menghindarkan diri dari perbuatan mengeksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l homme) dalam bentuk apapun. 
Bukankah ini yang menjadi salah satu tujuan berbangsa dan bernegara saat pertama kali kita merdeka dulu?
4 notes · View notes
mahasiswariau-blog · 7 years
Text
BEM UR Sindir Pemerintah Lewat Musikalisasi Puisi dan Nyanyian
BEM UR Sindir Pemerintah Lewat Musikalisasi Puisi dan Nyanyian
Mahasiswariau.com– Pasca terjadinya tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap beberapa mahasiswa yang tergabung dalam aliansi BEM Seluruh Indonesia, dimana sampai saat ini (23/10/2017), 2 mahasiswa Indonesia, Wildan Wahyu Nugroho (Koordinator Pusat BEM SI) dan Panji (Presiden Mahasiswa IPB) telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara 2 mahasiswa lainnya, Ardi S (IPB) dan Ihsan M (STEI…
View On WordPress
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
kopitesusu · 4 years
Text
Titik Terang
Sebuah media baru akan lahir. Di dalam kepala saya, sudah terbentuk bagaimana karakternya nanti. Independen. Tidak mengikuti arus pemberitaan. Lahir karena kebutuhan. Bukan ketamakan. Juga tidak didasarkan pada kekuatan modal. Tapi keresahan yang suaranya terus-menerus memekakkan kepala.
Sebuah media yang dibuat bukan demi memenuhi isi kantong. Namun, untuk melepaskan dahaga rasa penasaran.
Saya sudah memimpikannya sejak beberapa tahun terakhir. Mungkin pada 2018. Ketika mantan bos saya, yang juga sudah saya anggap sebagai kakak, Robithoh Johan Palupi, saat menanyakan mengenai karir saya di masa mendatang. Dengan lantang saat itu saya menjawab akan meninggalkan Berau Post. Sebagai catatan, Berau Post adalah surat kabar Robi-sapaan akrab Robithoh Johan Palupi- pada 2018 menjabat sebagai Direktur.
Koran yang beroperasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur itu tergabung di bawah naungan payung Kaltim Post Group. Saya tahu karir saya tidak akan ke mana-mana jika masih bertahan di sana. Mentok-mentok menjadi Pemimpin Redaksi. Itu pun jika nasib beruntung. Karena masih ada beberapa rekan senior saya, yang menjabat sebagai seorang redaktur. Di tahun itu, jabatan saya sebagai redaktur rubrik olahraga dan ekonomi.
Secara tidak langsung, mungkin karir saya menjadi pemimpin redaksi mungkin akan menghabiskan waktu minimal 10 tahun jika masih bertahan di sana. Tapi saya tahu, Berau adalah kolam yang menurut saya sangat kecil untuk diselami.
Saya membutuhkan lautan. Yang dalam. Dengan beragam mahkluk di dalamnya. Mengapa demikian? Semua karena rasa penasaran saya.
Saya tahu, saya adalah orang yang penakut. Terkadang sembrono. Lebih sering gagal. Cenderung beruntung. Karena seteah beberapa kali jatuh, Tuhan masih menyayangi saya dengan menghadirkan orang lain untuk mengangkat saya ke permukaan. Untuk kembali bernapas. Mencoba mengatur kembali kehidupan yang hancur. Lalu mencoba kembali menyelami lautan yang gelap, penuh dengan misteri.
Skenario itu terjadi juga menjelang penghujung 2018. Tawaran untuk bergabung INDOPOS, sebuah perusahaan surat kabar yang beroperasi di Jakarta, menawari saya untuk bekerja di sana. Tak tanggung-tanggung, tawaran itu langsung datang dari direkturnya, Rizki Darmawindra.
Bang Rizky-begitu saya menyapanya, mengajak saya untuk ”hijrah” bersama dengan beberapa orang rekan jurnalis lainnya, yang pada 2017 pernah menimba ilmu di INDOPOS. Dua orang rekan itu adalah Zaki dari Samarinda Pos, dan Muakbar, eks-Redpel Kaltara Pos.
Sangat disayangkan, Zaki tak mengambil kesempatan itu. Dia lebih memilih bertahan pada media yang telah membesarkannya. Walau tak sampai setahun, akhirnya dia juga memilih untuk undur diri pada perusahaan tersebut.
Saya dan Akbar pun terbang ke Jakarta untuk berjuang melawan derasnya arus ibukota. Layaknya para perantau lainnya, yang mencoba mencari peruntungan di balik, tipu-muslihat di tengah-tengah kehidupan urban kota termacet di Indonesia itu.
Memang, seiring saya bekerja di INDOPOS, ada banyak ketidakcocokan dengan kultur kerja perusahaan tersebut. Kultur oligarki, kurang egaliter, serta praktik-praktik manajemen politik, menjadikan hati saya kurang sreg dengan media tersebut.
Terlepas dari alasan tersebut, ada juga sejumlah kesalahan yang saya alami. Post-traumatic atau luka masa lalu, rupanya masih membekas di hati saya, sehingga membuat kinerja saya sedikit menurun di beberapa bulan terakhir 2019.
Tentu saya bisa membuat sejuta alasan dan pembenaran. Intinya adalah, saya diserang gejala kegelisahan. Entah mengapa, sejak September 2019, sampai Januari 2020, saya merasakan ada sesuatu yang mengganjal hati. Saya pun jadi uring-uringan. Kerja tidak semangat. Makanan rasanya tidak enak. Sementara itu, tidak ada tempat untuk berkeluh-kesah.
Saya merasa, dunia beserta seluruh isi masalahnya seperti berputar di dalam kepala saya. Merasa ada yang tidak beres, saya pun mencari pertolongan profesional. Ternyata benar. Saya mengalami persoalan tingkat stress cukup tinggi. Sehinga berakibat buruk pada tubuh saya. Sejumlah obat pun diberikan. Sedikitnya saya menghabiskan enam kali terapi, dan sejumlah meditasi untuk menghilangkan mental illness ini.
Setelah melakukan beberapa kali pengobatan secara profesional, saya pun berani terbuka kepada beberapa orang. Pertama adalah sahabat terbaik saya, Muhammad Yusuf Ekaputra. Lalu beberapa orang sahabat yang saya percaya. Terakhir adalah ibu saya, yang saya paham benar bahwa dia akan menerima keadaan anaknya dalam keadaan apapun. Saya sebenarnya agak terlambat memberi tahu ibu. Walau saya tahu itu salah. Sebenarnya, saya hanya tidak ingin membuatnya khawatir. Pun pada akhirnya juga memberitahunya bahwa saya mengalami masalah psikologi, walaupun sudah diobati.
Januari 2020, sepulang dari mendaki Gunung Gede, saya pun membulatkan tekad untuk menghentikan karir sebagai seorang jurnalis. Saya memutuskan untuk menutup bab perjalanan sebagai seorang wartawan. Usai sudah. Tidak ada penyesalan. Menurut saya, karir itu juga diakhiri dengan sangat elegan. Dikarenakan, terakhir saya bertugas adalah meliput di Istana Negara. Tempat presiden bekerja. Bagi saya, itulah puncak karir seorang wartawan. Walaupun tentu saja, pendapat saya itu bisa diperdebatkan.
Tak berselang lama, tawaran untuk bekerja pun sudah datang kembali. Kali ini untuk memulai bisnis. Bedanya, saya bukan sebagai karyawan. Tapi rekan bisnis. Ya, partner. Kami berbagi saham, dan profit. Tanpa pikir panjang, tentu tawaran itu saya ambil.
Di tengah proses memulai bisnis ini, saya juga melakukan perjalanan dari Jakarta ke Cirebon. Ke rumah paman saya. Kakak dari ayah saya. Lain kali, saya ceritakan pengalaman perjalanan yang menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 12 jam tersebut.
Bisa dibilang, saya memulai bisnis di saat yang kurang tepat. Di waktu baru saja memulai usaha, wabah Covid-19 kian menggila. Ada kekhawatiran bisnis ini tidak akan bertahan lama. Namun, ternyata prediksi itu bisa jadi salah. Karena saat pandemi dimulai, hingga akhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan, bisnis kami mulai bertahan.
Di rumah saja, ternyata tidak menghalangi bisnis yang kami jalani tetap survive. Tentu masih jauh dari kata untung. Tapi setidaknya ada progress. Meski masih perlu mendapat evaluasi.
Di tengah-tengah masa pandemi ini, saya pun banyak berpikir. Terutama mengenai kejadian pada 2019. Tahun lalu, saya seperti naik roller-coaster. Terkadang saya bisa tertawa dengan lepas. Namun, di waktu yang bersamaan, saya merasa begitu kesepian.
Pandemi pun mengajarkan saya banyak hal. Merefleksikan kesalahan. Membuka mata, hati, dan pikiran untuk menata ulang prioritas yang saya miliki.
Sedikit cerita, saya punya semacam bucket list. Thirty before thirty. 30 hal yang ingin saya lakukan atau kerjakan sebelum berumur 30 tahun. Tentu beberapa hal telah saya kerjakan. Tapi, masih banyak juga yang belum kesampaian.
Akhirnya, di tengah kondisi paling sulit yang pernah dialami manusia di abad ke-21, saya pun menghapus beberapa list tersebut. Menjadikannya lebih spesifik. Filternya sederhana. Saya mulai dengan pertanyaan, ”andai saya tidak mengerjakannya, apakah saya bahagia atau tidak?”.
Pertanyaan itu kemudian yang membuat list saya menjadi lebih sedikit. Dari 30, kini hanya tersisa lima. Salah satunya adalah memiliki media sendiri.
Aneh memang. Apalagi di awal Januari saya memutuskan untuk menghentikan karir jurnalistik. Lantas mengapa saya ingin menjadi media?
Begini. Keinginan untuk memiliki media, sebenarnya telah saya tulis sejak umur 25 tahun. Tepatnya pada 2017. Hasrat itu itu muncul, ketika saya berbincang dengan sahabat karib saya Irfan, untuk membuat sebuah media alternatif berbasis digital bagi warga Berau.
Karena tak memiliki modal, dan sumber daya, saya pun mencoba menawarkan proposal ini kepada Berau Post, media tempat saya bekerja saat itu. Sayang tawaran itu ditolak mentah-mentah.
Berangkat dari mimpi itu, saya pun mencoba melihat peluang untuk membuatnya menjadi kenyataan. Gayung bersambut. Seorang sahabat lainnya, yang saya panggil Bang Luway, menanyakan pertanyaan sederhana mengenai rencana membuat media. Bang Luway ini adalah, kolega saya sewaktu naik Gunung Gede pada akhir Desember 2019.
Pun, semasa orang-orang diwajibkan untuk tetap di rumah, dan bekerja secara online, saya melihat sebuah probabilitas, bahwasannya pertemuan bisa dilakukan kapan saja, dan di mana saja. Selama terhubung dengan jaringan internet, kita bisa melakukan jadwal rapat. Sebuah kejadian yang mungkin tidak pernah dibayangkan 5 tahun yang lalu. Tapi semua itu nyata terjadi.
Karena kemungkinan tersebut, saya mencoba menghubungi orang-orang yang bisa diajak bekerja sama mewujudkan mimpi itu. Tentu saja Bang Luway akan terlibat. Lalu, orang kedua yang ada di benak saya adalah Rusdiono. Rekan seperjuangan ketika bekerja di Berau Post.
Tidak perlu diragukan lagi kemampuan jurnalistik, dan analisanya. Wane-begitu saya menyapanya- adalah orang yang secara pikiran, dan perbuatan, yang bisa dibilang paling bisa menyamai saya. Bukan bermaksud tinggi hati. Tapi begitu faktanya. Sangat sering, kami memiliki ide yang sama saat hendak membuat sebuah liputan khusus. Atau ketika membahas ide mengenai rubrik baru, yang dapat menarik minat pembaca Berau Post.
Apalagi, Wane adalah orang yang bertanggung jawab karena telah meracuni saya mendaki gunung. Karena sudah terlalu percaya, saya pun senang sekali mendaki gunung dengannya. Perasaan selalu aman, dan nyaman ketika saya berjalan beriringan dengannya ketika mendaki gunung. Bahkan, kami mendaki Gunung Salak, yang terkenal mistis hanya berdua saja. Padahal kami berdua tidak pernah sama sekali mendaki gunung yang berada di Bogor, Jawa Barat itu.
Saya pun mengajak Wane. Ditambah saat ini, dia tidak sedang terikat kontrak kerja oleh perusahaan mana pun. Termasuk media. Saya pernah mencoba untuk meminangnya bergabung dengan INDOPOS. Namun, dia lebih memilih bertani di kampungya yang berada di Banyumas, Jawa Tengah sembari menjaga orangtuanya. Sebuah tindakan yang menurut saya harus mendapat penghargaan Nobel.
Wane pun setuju. Saya, Bang Luway, dan Wane akhirnya mulai intens berkomunikasi. Membahas konsep isi konten. Sampai arah media yang akan kami buat nantinya.
Namun, kepingan puzzle menurut saya masih belum lengkap. Di kepala saya terbayang beberapa orang lagi yang harus saya ajak untuk menjadikan proyek ini kenyataan. Beberapa nama, berputar-putar di otak saya.
Nama pertama adalah Ahmad Ridwan Alisyahbana. Dia bisa katakan adalah seorang seniman, paling brilian yang saya kenal. Kami mulai akrab pada 2012. Seorang anak muda lulusan SMK yang kehilangan arah, lalu memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan design grafis di Master School of Design di Yogyakarta.
Sangat disayangkan, Ridwan sangat sulit dihubungi. Entah mengapa. Saya tahu tentu dia mengalami banyak masalah di hidupnya yang belum diceritakan kepada saya. Saya juga merasa bersalah karena tidak bisa hadir di saat-saat paling berat dalam hidupnya. Tapi saya meyakini, bahwa Ridwan adalah sosok manusia yang kuat, yang mampu bangkit meski berada di titik paling rendah dalam hidup.
Saya tidak kehabisan akal. Orang lain yang sudah pasti saya ajak, dan pasti tidak akan menolak adalah Irfan. Ya, pria dengan dua orang anak ini adalah pemantik mengapa saya ingin membuat sebuah media sendiri.
Tentu saja, saya tidak perlu khawatir dengan kapabilitasnya. Sebagai seorang entrepreneur sejati yang sejak beberapa tahun terakhir bekerja menjadi karyawan ini, adalah pria paling kreatif yang mampu menyelesaikan sesuatu paling sulit, pasti menemukan solusi atau jalan keluarnya.
Saya tak perlu ragu dengan kemampuannya ini. Beberapa kali saya melihat dengan mata kepala saya ini. Saya pun sering dibuat kagum dengan etos kerja dan kreativitasnya. Pasalnya, tidak mudah bagi saya untuk menjalani beberapa pekerjaan di saat bersamaan. Tapi tidak buat Irfan.
Dia menjalani peran sebagai seorang suami, ayah, karyawan, seniman, pengusaha, bahkan leader untuk teman pekerjanya di saat bersamaan. Jadi ketika saya menjelaskan niat ihwal membuat media ini, dia pun sangat antusias mengenai ide ini. Mungkin dia tidak bisa menjelaskan secara gamblang mengenai perasaannya, ketika saya memintanya untuk bergabung. Air wajahnya memperlihatkan itu dengan sengat jelas.
Tentu saya berani menjamin ini. Sebagai seorang jurnalis dengan pengalaman lebih dari 7 tahun, saya sangat paham ekspresi orang. Jadi saya tahu, ketika diajak, Irfan menyiratkan perasaan bahagia.
Terakhir mengenai Bang Luway, saya percaya adalah sosok yang tepat untuk memimpin tim ini. Saya tidak mau menjadi leader dari sekawanan orang paling berbakat yang pernah saya kenal. Saya tahu peran saya tidak sebagai leader.
Kami butuh seorang konduktor dengan segudang pengalaman. Bang Luway adalah sosok paling tepat. Sepak terjangnya di dunia politik tidak perlu diragukan. Dia mampu membuat ribuan orang untuk meyakini memilih pilihan yang tepat dalam pemilihan umum. Sangat sedikit orang dengan kemampuan seperti itu menurut saya. Tan Malaka yang mahsyur pun tak mampu.
Saya yakin, jalur saya sekarang adalah dari segi bisnis. Entah mengapa, hasrat untuk mempelajari bisnis begitu tumbuh sekarang. Pengalaman sebagai jurnalis sekaligus redaktur rubrik ekonomi mengajari saya banyak hal. Mengenai ekonomi mikro dan makro. Mengenai ketimpangan bagi kelas masyarakat ekonomi lemah, maupun si pemilik modal. Di dalam hati kecil, dan pikiran idealis, saya ingin membengkokan stigma itu. Bahwa sebenarnya ketimpangan itu bisa dikurangi, tergantung dari cara penilaian kita di dalam kehidupan sosial.
Saya ingin membuat sebuah sistem bisnis yang lebih manusia. Yang mendirikan pondasi bisnisnya pada kemanusiaan. Mungkin ini delusi. Tapi jika tidak dicoba, saya belum bisa mengatakan bahwa rencana itu adalah sebuah kegagalan. Toh, pepatah mengatakan, bahwa orang yang merugi adalah orang yang tidak memiliki rencana sama sekali. Jadi lebih baik memiliki rencana, walau itu tidak mungkin.
Saya sangat sadar, bahwa akan ada banyak hal dikorbankan pada proyek ini. Terutama waktu. Tapi saya yakin dengan sepenuh hati, mereka bertiga mau memberikan sedikit waktunya untuk membuat proyek ini bangkit dari dunia mimpi.
Sekali lagi, di tengah masa-masa sulit, saya selalu melihat keburuntungan kerap menghampiri. Di keadaan paling gelap dan kelam, terkadang ada setitik cahaya yang selalu memberi tahu saya jalan menuju kehidupan lebih baik. Meski saya tahu, untuk mencapai titik itu membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Toh, titik terang itu ada.
Pandemi bukan halangan. Ada sejuta kemungkinan yang hadir di masa sulit. Terutama bagi manusia yang selalu berharap, dan mau mengerjakannya. Walau tahu jalan yang ditempuh akan penuh cobaan dan tantangan.
 Bandung. 10 Juni 2020
0 notes
adelzahara-blog · 6 years
Text
Program Magister Ilmu Ekonomi UR Raih Akreditasi B dari BAN-PT
Adel Zahara Program Magister Ilmu Ekonomi UR Raih Akreditasi B dari BAN-PT Artikel Baru Nih Artikel Tentang Program Magister Ilmu Ekonomi UR Raih Akreditasi B dari BAN-PT Pencarian Artikel Tentang Berita Program Magister Ilmu Ekonomi UR Raih Akreditasi B dari BAN-PT Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Program Magister Ilmu Ekonomi UR Raih Akreditasi B dari BAN-PT Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Riau mendapatkan akreditasi B dari BAN-PT tertanggal 2 Juli 2018 http://www.unikbaca.com
0 notes
aefnandisetiawan · 5 years
Text
Kenapa orang sinis dengan kekayaan?
Mengapa orang sekarang susah diajak bikin kerja bareng?
Ini karena sudah eranya komodifikasi
Tapi apa itu komoditas.
Untuk tahu apa itu komoditas, kita harus tahu dulu apa itu barang (goods) dan komoditas. 
Dalam hidup ini tidak semuanya adalah komoditas, maksudnya tidak semuanya untuk dijual. Kasih contoh.
Tapi saat ini terjadi komodifikasi, apa-apa harus ada nilai jualnya. 
Lalu bagaimana?
Tentukan mana yang dalam dirimu komoditas, dan mana yang bukan. 
Katakan lah komoditas dalam dirimu itu kehalian, misal keahlian desain grafis. Jika orang meminta kamu mengerjakan suatu desain, maka kamu berhak dibayar. 
Jika kamu diminta tolong membantu warga selametan, kamu jangan meminta bayaran. Karena itu bukan komoditas buat kamu. 
Beberapa teman sesama founder startup mengeluh tentang programmer di kotanya yang susah sekali diajak kerjasama. Mereka selalu minta dengan harga mahal, sulit sekali menemukan oran yang mau diajak kerjasama membangun startup. 
Menemukan programmer yang mau bersusah payah membangun startup itu rasionya bisa jadi 1:1000. Tapi sulitnya menemukan programmer yang mau kerja secara gratis bisa dimaklumi, setidaknya oleh satu alasan ini. 
Keahlian programming adalah komoditas paling bernilai di era digital yang konon mulai merangkak ke era IOT ini. 
Tapi sebentar, apa itu komoditas? Dan mengapa semua orang sekarang sekarang seakan sulit diajak bekerjasama jika tidak ada uangnya?
Oke, kita perlu membuka pelajaran ekonomi paling dasar. Dalam ilmu ekonomi ada istilah barang dan komoditas. Barang adalah segala sesuatu yang dibuat atau dimiliki bukan untuk dijual, sederhananya hanya untuk dikonsumsi sendiri. 
Sementara komoditas, adalah sesuatu yang diniatkan memang untuk dijual kepada orang lain. Karena dijual tujuannya buat dapat surplus, dapat wang. 
Kita ambil contoh. Kamu bisa ngelucu dan tertawa berjam-jam bareng temanmu sambil ngopi dan tidak memungut bayaran apapun. Kamu melucu dengan sukarela, tanpa nagih bayaran ke temanmu. 
Tapi kalau suatu hari nanti kamu jadi standup komedian, kamu ngelucu gak lagi gratisan. Tapi harus sudah memungut bayaran, karena kamu sudah menempatkan keahlianmu dalam melucu itu sebagai komoditas. 
Kembali ke soal programmer. 
Orang belajar programming mayoritas sebagai komoditas, artinya keahliannya nanti dijual untuk ditukar dengan sejumlah uang. Apalagi dijaman seperti sekarang, startup berani bayar belasan juta untuk keahlian ini. Sehingga keahlian programming adalah komoditas yang mahal. 
Kedua, kenapa orang sekarang harus selalu tentang uang? 
Ya, sejak kapitalisme mulai tumbuh di inggris sono, segala aspek dalam hidup ini perlahan-lahan mulai dikomodifikasi. Sederhanya, apa-apa sekarang tuh harus dijual. 
Kemampuan, barang dan apapun yang kamu miliki bukan lagi sekadar barang tapi sudah komoditas. Sudah jadi barang dagangan dalam hal apapun, termasuk urusan kemanusiaan ataupun agama. 
Donor darah itu pada dasarnya adalah untuk membantu sesama manusia. Namun, teman saya pernah uring-uringan ketika petugas tidak memberikan bingkisan sebagai pengganti nutrisi. 
Beberapa orang temanpun sekarang mulai ikut kajian bisnis berbayar di hotel dengan harga berbayar. Padahal ulama dimana-mana tidak pernah pernah memungut bayaran pada jamaahnya yang ikut. Ini yang namanya komodikasi. 
0 notes
tritutut-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
You know guys...feel happy with ur friends and make something will make us fun are the happinest from what we do together.... you dont know the happinest is more importand and make it by you and other people around you....check it out! #frends #happyour #thanksguys (at Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Palopo)
0 notes
mahasiswariau-blog · 7 years
Text
Jurusan Ilmu Ekonomi UR Jadi Tuan Rumah Rapat APSEPI ke-3
Jurusan Ilmu Ekonomi UR Jadi Tuan Rumah Rapat APSEPI ke-3
Mahasiswariau – Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau (UR) menjadi tuan rumah Rapat Aliansi Program Studi Ekonomi Pembangunan Indonesia (APSEPI) ke-3, Selasa (10/10). 
Sebagai tuan rumah Ekonomi Pembangunan UR mendorong sejumlah upaya peningkatan kualitas jurusan tersebut. Usaha itu juga tidak lepas dari keinginan jurusan untuk meningkatkan akreditasinya.…
View On WordPress
0 notes
mahasiswariau-blog · 7 years
Text
Jurusan Ilmu Ekonomi Laksanakan KBM di Desa Gema Kampar
Jurusan Ilmu Ekonomi Laksanakan KBM di Desa Gema Kampar
Mahasiswariau – Mahasiswa baru Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau mengadakan kemah kerja bakti mahasiswa di Desa Gema, Kecamatan Lipat Kain, Kabupaten Kampar,12-15 Oktober 2017. Kegiatan KBM menjadi agenda rutin Jurusan Ilmu Ekonomi, selama beberapa tahun belakangan.
KBM dilaksanakan di sekitar wilayah Provinsi Riau saja, menurut Koordinator Prodi sekaligus Dosen…
View On WordPress
0 notes
mahasiswariau-blog · 7 years
Text
Budi Setiawan Kembali Harumkan Nama UR Dikancah Internasional
Budi Setiawan Kembali Harumkan Nama UR Dikancah Internasional
Mahasiswariau.com – Budi Setiawan kembali akan membawa Almamater Biru Langit julukan Universitas Riau (UR) dikancah Internasional. Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi (IE) angkatan 2013 Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UR akan mengikuti kegiatan Forum Internasional World Entrepreneur Forum Malaysia (WEFM) 2017 di Kuala Lumpur,Malaysia yang diselenggarakan Word Student Summit.
Kegiatan yang akan…
View On WordPress
0 notes
adelzahara-blog · 7 years
Text
Kenang Masa Kuliah, Alumni IESP 96 Gelar Reuni Akbar
Adel Zahara Kenang Masa Kuliah, Alumni IESP 96 Gelar Reuni Akbar Artikel Baru Nih Artikel Tentang Kenang Masa Kuliah, Alumni IESP 96 Gelar Reuni Akbar Pencarian Artikel Tentang Berita Kenang Masa Kuliah, Alumni IESP 96 Gelar Reuni Akbar Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Kenang Masa Kuliah, Alumni IESP 96 Gelar Reuni Akbar Alumni Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Angkatan Tahun 1996 (IESP'96) Fakultas Ekonomi Universitas Riau (UR), pada Sabtu. http://www.unikbaca.com
0 notes