#goda omen
Explore tagged Tumblr posts
Text
And so it was official...
9 notes
·
View notes
Text
The art director & the Good Omens book cover tier list of doom, part 2
Part 1 l Part 2
I am your resident Art Director/Good Omens enthusiast, and welcome to my completely meta-free book cover tier list. Listen, making a book cover is HARD. I should know. But while we salute these artists for their hard work and time, I think we can all admit that once in a while, the vision is just not on. And on very rare occasions, publishers seemed to have managed to commission the cover art directly from hell... here's where we left off last time:
Onwards and upwards, as they say. 11. International paperbacks, Goda Omen
It is inexplicable to me but I LOVE this cover art. It's so sweet and innocent, the colours are contrasty and fun, and the layout leaves enough room for the text. Maybe I would call it slightly inaccurate to have our boys dancing on Greenland while the UK has drowned in a great flood, but hey. It's charming. The international cover gets a thwack with a ruler for trying to fit "creator of Discworld" in between the two wings like that, though. Tier: Great
12. Italian Cover, Buona Apocalisse à tutti!
The Italian translation of Good Omens into "Happy Apocalypse to All!" really tickles my funny bone. Unlike this cover which is trying to scrape at it with a dull knife until I'm screaming on the floor. I know demons can only dance badly, but does Crowley *really* have to fracture both ankles while trying? Aziraphale pelvic thrusting his way into heaven is a visual I didn't think I'd ever want. Minus so many points for random murder alley where this is all occurring. At least the designer managed to wrangle the type into one of the best proportional layouts I've seen thus far? Tier: Bad
13. Italian Cover, Good Omens
A truly valiant attempt here to rectify a terrifying situation with that earlier Italian version. While this one actually seems much more interesting at a glance, the details kinda get to me. The Bentley's steering being on the wrong side, the word Omens kindasortanotfquite fitting on the black wing, the motorcycles with no drivers... TIMES NEW ROMAN FOR THE AUTHORS NAMES. I don't think it can even be redeemed by the most powerfully rendered Sacred Heart/Cardi B W.A.P. imagery I've ever seen. Tier: Good (Omens)
14. Japanese cover, Good Omens
Look, this designer GETS IT. Crowley and Aziraphale are a pair, a group of the two of us. Do not separate. It's also the only cover I've seen that uses shades of grey! The woodcut vibes are STRONG AND POWERFUL. The type is well placed! I should love this, except the end result kinda looks like a manual for clinical depression in the workplace? It's ending up higher on the list than it deserves, frankly.
Tier: Good (Omens)
15. Japanese cover, Good Omens
This cover might as well be an Ethereal/Occult firemen's calendar. Someone wanted teens to cut off this cover and tape it to their bedroom wall. I can't even judge the typography or the symbolism because I'm just getting hit with waves of pheromones and angst. I can't even tell if it's good but it's going in the Good pile because I can't look at it anymore...
Tier: Good (Omens)
16. Japanese covers, Good Omens
Other people have assured me that this is, in fact, a dual Good omens cover. Alas, I cannot tell. I don't possess compound eyes or even an exoskeleton, and as such lack the ability to decipher these decisions.
Tier: WTF
16. Japanese cover, Good Omens
Holy overlap, Batman! I can’t fault this designer for wanting to reuse the wonderful dual illustrations in a Ying-Yang layout, all the elements are there, but there’s a clinginess to the type and positioning that makes me feel like someone is trying to hurt the letters? Is this designer okay? Do they need a hug?
Tier: Does the Job
18. Chinese cover, Good Omens
Can I say how charming it is they’ve managed to conserve the halo and devils tale on the Chinese title, as well as the woodcut detailing? However, the simplicity of the cute, contrasting wing design is sadly swallowed by the intense, New-York taxi cab vibes coming off the yellow and checkerboard text block. It could have been so good! Chinese readers: I am mad on your behalf!
Tier: Not so good (Omens)
19. UK 1991 paperback, Good Omens
What are we doing here, people. I think I've stepped into a Jungian analysis of what it feels like to have read Good Omens. It's dreamy yet unsettling. Right yet very wrong. And Ol' "Tiny Hands" Aziraphale up there is really judging me for what they found inside my mind. In less upsetting news, we've kept the improved typography and layout of the authors and book title. All is not lost to the nightmare.
Tier: Not so good (Omens)
20. 50 Shades of Gray rip-off cover, Good Omens
*panic* WHAT ARE WE DOING HERE, PEOPLE...?! Bonus : the guardian quote is almost as much of a mystery as the cover it’s on.
Tier: WTF
End of round 2.
#good omens 2#art director talks good omens#tier list#good omens#aziraphale and crowley#aziraphale x crowley#crowley and aziraphale#book omens#book cover#go2
115 notes
·
View notes
Quote
Nu fanns det moln på himlen ovanför, moln som for runt som tagliatelle som står och stormkokar.
Terry Pratchett & Neil Gaiman, Goda Omen
0 notes
Photo
2005, published by B. Wahlströms Translated by Peter Lindforss Cover Art: Haydn Cornner
ISBN: 9789132332012
Language: Swedish
Title: Goda Omen
45 notes
·
View notes
Text
Goda omen och ytterligare pris
En liten rulle tejp i rätt läge är värt mycket
Ibland känns det som att man jobbar i motvind, men plötsligt händer något som inger hopp.
I det här fallet så var det RockTape H2O som jag läst om och ville tejpa fötterna med imorgon, i mitten av förra veckan klickade vi hem dem från RockTape Scandinavias webbshop.
Vi hittade lite fräcka mönster och tänkte att det borde hinna fram även om Postnord…
View On WordPress
0 notes
Text
LISA
Jika saja aku diberi kesempatan lebih lama.
Setidaknya kan kugenggam tanganmu lebih erat dari biasanya.
--------------------------------------------------
“Siang bolong gini udah ngelamun aja, Cuy!” Sapa Omen, sahabat terbaikku.
“Sialan lu, orang ngelamun lu gangguin.” Jawabku ketus.
“Hahahahaha, ngelamun jorok lu ya? Dicariin Lisa noh, dia lagi nungguin lu di depan kelas, samperin gih!” Ujarnya seraya menunjuk kearah seorang gadis yang berdiri membelakangi jendela kelas, dan kini yang terlihat hanya rambut hitamnya dibalik jendela.
“Kaga lah, bego! Hahahahaha. Thanks, Bro. Gue samperin do’I dulu.” Kataku sambil menepuk pundak Omen.
“Yo! Tiati!”
Aku beranjak dari kursiku yang terletak tiga baris dari belakang, dan berjalan menuju ke depan ruangan kelas 3 IPS 2 ini. Menghampiri wanita berkulit kuning langsat, berambut hitam panjang sedikit ikal, dan memiliki mata terindah diantara semua wanita di sekolah ini.
“Udah lama, Lis?” Sapaku.
“Bayu ih! Ditungguin dari tadi di kelas aku juga. Mana SMS aku ga dibales lagi. Sebel ih!” Ujapnya seraya cemberut dihadapanku.
Aku suka dengan caranya cemberut ini, tidak membuatnya menjadi jelek. Makin lucu malah. Pipinya yang sedikit tebal itu makin terlihat berisi seiring dengan mata sinisnya yang diarahkan padaku. Ah Tuhan, mengapa tak ada celahnya makhluk ciptaanmu yang satu ini.
“Dih malah marah-marah. Tuh make up kamu jadi luntur kalo cemberut, jelek ih!”
Ya, aku berbohong. Mana bisa malaikat ini menjadi jelek. Tidak akan pernah bisa. Dia sehari hari kesekolah sepertinya hanya mengenakan bedak tipis di wajahnya, bahkan tanpa itu, aku yakin kalau seluruh jagad raya akan memuji kecantikannya.
“Bete ah! Pokoknya hari ini jajanin aku biar aku ga bete!” Katanya sambil menarik tanganku kearah kantin.
“Hahahahahahaha! Iya, iya. Aku jajanin deh, tapi pinjem duit dulu ya.”
“Yeeeeeee, itu mah sama aja aku yang bayarin! Emang duit kamu gaada?”
“Ada kok, tapi dompetnya ketinggalan di kelas.”
“Ya ambil doooong. Bayu ih ngeselin amat sih.”
“Hahahahahahahahaha!”
Aku tertawa melihat tingkah polosnya itu. Hmmmm, mungkin ini juga salah satu hal yang aku suka darinya.
Pernah dengan terburu-burunya dia datang kerumah ku, dengan memasang wajah cemas saat dia tahu aku sedang sakit. Saat itu aku bilang sakitku terlalu parah hingga aku membatalkan janji pada hari sabtu itu.
Dia datang tanpa mengabariku, walau aku sepenuhnya tahu bahwa dia akan segera tiba saat aku mengatakan tentang keadaanku.
Dia masuk dengan raut wajah yang hingga kini tak dapat kulupakan, betapa cemas dan takut terarsir jelas dipelupuk mata indahnya.
Hingga sebuah ekspresi kaget dan emosi yang tiba-tiba muncul saat dia melihat aku dengan bahagianya sedang bermain game dikonsol game kesayanganku.
Ya. Aku tidak sakit parah seperti yang aku bilang padanya. Aku hanya ingin mengerjainya. Untuk sekali itu, aku ingin dicemaskan olehnya. Walaupun aku tahu dia akan marah.
Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk membujuknya hari itu. Aku tahu dia menyayangiku, hingga dia menjadi sebegitu cemasnya seperti hari itu. Aku tahu betul hal itu.
“Mau makan apa? Jangan banyak-banyak, nanti tambah gendut.” Kataku sambil melihat-lihat menu di kantin sekolah.
“Bay, Ih. Kamu makin hari kok makin ngeselin sih!”
“Tapi sayang kan?” Kataku sembari tersenyum tanpa melihat wajahnya dan masih memilih makanan di kertas menu.
“Hehehehe, iya.”
Tatapan matanya. Aku tahu, saat itu dia sedang menatapku.
Tatapan mata yang membuat aku percaya, jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada.
Kira-kira satu tahun yang lalu.
Di sekolah kami, setelah Ujian Akhir Sekolah, dan sebelum libur semester. Biasanya mengadakan pertandingan futsal antar kelas. Sekolah kami memang mempunyai fasilitas lapangan futsal yang cukup nyaman di dalamnya.
Aku ikut bertanding.
Karena dikelasku, aku adalah salah satu yang bisa diandalkan dalam permainan futsal.
Satu jam sebelum pertandingan kelas 2 IPS 1 yaitu kelasku saat itu, melawan 3 IPA 1, aku begitu kebingungan. Aku mencari sesuatu yang sangat penting. Sepatu futsalku.
Rasanya aku sudah menaruhnya tidak disembarang tempat.
Rasanya aku menaruhnya di……….
“Sori, permisi..” Ujar seseorang yang tiba-tiba muncul dibelakangku.
Bikin kaget saja, pikirku.
Ditangannya, aku melihat tas yang tidak asing dimataku.
“Ini, punya kamu bukan? Tadi aku nemu di kantin. Ketinggalan di atas meja.” Katanya sambil memberikan sebuah tas kecil kepadaku.
Ya, itu tas berisi sepatu futsal kesayanganku. Bodoh sekali, aku sibuk mencari di kelas, ternyata tertinggal di kantin.
“Waaaah, makasih banget yaaa! Aku kira udah ilang.”
“Sama-sama. Lagian tadi pas aku mau ngejer mau balikin, eh kamunya lari.” Jawabnya sambil tersenyum.
Detik itu juga.
Aku jatuh cinta.
“Aku makan ini aja deh, Bay. Mie Goreng.”
“Mie Goreng? Kamu emang ga mau makan nasi? Orang Indonesia minimal harus makan nasi dulu baru bener-bener bisa dibilang makan.”
“Ga ah. Ntar jadi gendut kaya kata kamu tadi. Nanti aku kasih kamu setengahnya juga ya.”
“Yeeeee, dia percaya aja lagi. Aku becanda tauuk.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya karena gemas.
“Hehehehe, engga sih. Emang ga terlalu laper aja.”
Kami memesan dua porsi Mie goreng dan dua gelas es jeruk siang itu.
Jam satu siang lebih beberapa menit, bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi. Aku mengantarkan Lisa ke kelasnya dan bergegas kembali ke kelasku.
“Cieeee, asik nih yang abis pacaran.” Ledek Omen dari kejauhan saat aku baru memasuki kelas.
“Jangan kelamaan jomblo, Men. Ntar bisa jadi homo lu.”
“Amit-amit baay! Sialan lu. Sahabat macam apa lu!”
“Sahabat yang peduli dengan nasib sahabatnya. Si Fitri gebetan baru lu itu gimana?”
“Sulit, Bro. Kayanya dia demennya sama cowo yang naek mobil deh. Apa daya gue yang kemana-mana cuma naek motor bebek butut ini.” Katanya sambil tertunduk lesu.
Untungnya Lisa tidak seperti itu. Dia tidak pernah peduli aku menjemputnya dengan mengendarai apa. Baginya, bersama denganku adalah yang terindah. Tak perduli panas matahari menerpa, atau hujan turun tanpa aba-aba. Jika berdua denganku, dia selalu merasa bahagia. Begitupun aku.
Bahkan pernah disuatu hari, saat motorku dengan sangat terpaksa harus masuk ke bengkel dan pada hari yang sama aku sudah berjanji untuk menemani Lisa pergi ke ulang tahun temannya.
Aku memberitahunya tentang motorku, dan dengan santai dia menjawab.
“Naik angkot aja yuk! Seru deh kayanya.”
“Kamu gapapa naik angkot ke rumah temen kamu?”
“Ya gapapa kali, emang kenapa sih? Kan seru naik angkot, dulu waktu kecil aku suka naik angkot sama Mama aku.”
“Ga malu?”
“Ngapain musti malu sih? Toh kita kan bayar sendiri, ga ngemis ke ibu-ibu yang duduk disebelah kita nanti.”
“Kalo misalnya yang duduk di sebelah kita bukan ibu-ibu tapi bapak-bapak?”
“Bawel ih! Aku tunggu di rumah ya. Kita jalan bareng dari rumah aku aja. Kayanya lebih deket.”
Bahkan dengan wajah cantik yang dimilikinya, tidak ada rasa minder yang tersirat diwajahnya ketika berada di dalam angkot. Buat apa malu katanya. Toh kita bayar sendiri. Bukan ngemis minta dibayarin orang.
Sepanjang perjalanan di dalam angkot. Dia hanya terdiam menikmati suasana sesaknya angkot dan tak lupa menggandeng tanganku.
Ya Tuhan, aku terlalu mencintai ciptaanmu yang satu ini.
Dia tidak seperti wanita kebanyakan, yang terlalu ingin sering diberi kabar. Yang mungkin tiap satu jam sekali harus mendapatkan SMS dari pacarnya perihal pacarnya sedang ada dimana, dengan siapa, dan mulai ngomel saat tidak mendapatkan kabar yang dia pinta.
Lisa memang seperti itu, akupun tidak semerta-merta tidak mengabarinya. Aku memberitahukannya kegiatanku saat tidak bersamanya.
Dan jika dia tahu bahwa aku sedang sibuk, dia tidak pernah menggangguku.
Jika malam tiba pun, saat rasa rindu sudah perada di puncak ubun-ubunnya. Dia akan meng-SMS-ku terlebih dahulu dengan kata kata.
“Boleh telepon ga? Kangeeeeen!”
Padahal, siangnya kita baru saja pergi mengunjungi toko buku berdua.
Berjam-jam berbicara dengannya ditelepon tak pernah berhasil membuatku bosan. Aku suka suaranya. Aku suka semua kata-kata salah tingkahnya saat ku goda dia dengan rayuan gombal yang sering kubaca di internet. Aku suka caranya mengakhiri telepon dengan mengucapkan selamat malam dalam sepuluh bahasa yang berbeda.
Bahkan dengan tidak menatap matanya langsung saja, aku sudah berkali-kali dibuatnya jatuh cinta.
Aku ingin selalu disisinya.
Aku ingin selalu mendengarkan suaranya.
Aku ingin selalu menjadi berarti untuknya.
Aku ingin selalu terlihat sebagai pahlawan dimata indahnya.
Aku ingin selalu menyebut namanya.
Lisa Nurfitriani Azizah Binti Rahmat Syaifullah.
Perlahan nama itu kubaca, di sebuah batu nisan dingin yang berdiri di depanku kini.
Aku menangis, sejadi-jadinya.
Sumpah serapah kini kuteriakkan di dalam hatiku.
Hasilnya, sudah beberapa jam ini air mataku tak berhenti bercucuran. Mataku lebam, wajahku muram, aku hancur, sehancur-hancurnya hancur.
Hari itu, aku tidak ingin hari itu terjadi, namun sudah terjadi. Takdir menuliskan berbeda, terlalu berbeda dari yang kupinta.
Aku menggenggam tangannya di ICU rumah sakit, Lisa sudah koma sejak beberapa minggu yang lalu. Tidak ada perkembangan yang berarti terjadi padanya. Kulantunkan doa-doa harapku akan kesadarannya. Akan terbukanya kembali mata yang telah membuat aku jatuh cinta sejadi-jadinya.
“Lis, kamu yakin gamau bangun nih?” Kataku lirih.
“Lis, naik angkot bareng lagi yuk. Aku janji kita gabakalan kelewatan lagi kok turunnya. Biar kamu ga cape jalan kaki.”
“Lis, aku udah mulai bisa bilang selamat malem dalam 5 bahasa lho. Bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Mandarin, sama India. Jadi kalo kamu ngomong selamat malam 10 bahasa, aku bisa bales sekarang. Ga cuma bilang Good night aja.”
“Lis, kamu tau ga? Di mata aku kamu ga pernah keliatan gendut, kok. Apalagi sekarang. Kamu udah kurus banget gini. Nanti kalo kamu udah bangun, kita pergi ke warteg kesukaan kamu itu lagi ya. Aku yang bayarin. Kamu boleh makan sepuasnya. Ga bakalan aku katain gendit lagi kok, Lis. Janji.”
Air mataku mulai berjatuhan, satu demi satu. Bergulir membasahi kasur tempat tidur Lisa saat aku menenggelamkan wajahku kesana.
“Lis, kamupernah ga sih ngerasa bosen pas aku bilang kalo aku cinta sama kamu? Soalnya hari ini aku mau bilang kalo aku cinta kamu sebanyak 20 kali deh. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku……….cin……ta……..kamu. Tuh, ja…….ngan bosen ya, Lis. Nanti kalo kamu udah bangun, aku bakal lebih sering ngomong kaya gitu lagi deh.” Kataku sambil terisak.
Beberapa hari berikutnya, Lisa telah tiada.
Tuhan memanggil bidadari terbaikknya.
Tampaknya Tuhan sudah terlalu rindu dengan bidadari yang dia ciptakan saat sedang bahagia itu.
Tampaknya aku tidak diberikan waktu lebih panjang untuk menikmati cinta dari sang bidadari itu.
Hari itu, Takdir menang. Dia menang dengan gagahnya. Tatapanku kosong menoleh pada wajah yang selama ini aku puja namun tak lagi bisa memanggil namaku. Meneriakkan namaku. Menyanyikan namaku dengan nada irama lagu kesukaannya.
Hari itu, aku mengaku kalah.
Kutuliskan kata-kata pada secarik kertas.
Dear Lisa,
Aku kangen. Aku boleh ga nelpon kamu? Eh, di surga ada sinyal ga sih? Hahahahahaha.
Kalo misalnya ada, kamu SMS aku kaya biasanya ya. Nanti aku deh yang nelpon kamu.
Ada banyak yang masih mau aku lakukan bareng kamu. Kita belum jadi pergi ke taman hiburan favorit kamu itu. Akhir tahun ini kan rencana kita?
Kita juga belum jadi makan di restoran yang kata temen kamu ikan bakarnya enak banget itu? Malem ulang tahun kamu besok kan rencana kita?
Kita juga belum jadi nonton film yang DVDnya udah kita beli itu? Tiap weekend abis gajian kan rencana kita?
Kenapa sih semuanya sekarang cuma berakhir jadi wacana, padahal dulu tiap kita buat janji, selalu jadi lho. Aku marah kali ini. Tapi aku ga marah sama kamu kok. Aku juga ga marah sama Tuhan. Aku cuma marah sama diri aku sendiri yang kali ini terlalu banyak bikin janji.
Lisa, baik-baik ya di sana. Aku juga bakal baik-baik kok disini. Kamu gausah khawatir. Aku tau kok kalo kamu selalu khawatir, walaupun kamu jarang nanya kabar aku kalo aku tiba-tiba ngilang. Aku tau kamu percaya banget sama aku, makanya kamu jarang nanyain aku lagi dimana dan sama siapa. Dan lihat kan, selama ini aku ga pernah menghianati kepercayaan yang kamu kasih.
Lisa, boleh tolong titip salam sama Tuhan ga? Sekalian bilangin, tolong jagain Bidadari yang selalu jagain aku ini. Dia emang agak bawel tapi sebenernya dia baik kok. Sama tolong balikin sayap bidadari yang punya mata terindah itu ya. Dia kayanya butuh deh, buat terbang bebas.
Lisa, kamu pasti tau ini berat banget buat aku. Ngerelain kamu, disaat aku sayaaaang banget sama kamu. Tapi aku pasti kuat kok. Aku pasti bisa kok. Kamu jangan sedih ya disana.
Lisa, aku mungkin bakal kangen sama ocehanmu. Sama bawelnya kamu kalo aku main game sampai terlalu larut malam. Sama kata selamat malam dalam sepuluh bahasa yang selalu kamu ucapin ke aku sebelum tidur.
Aku bakal kangen semua.
Aku bakal kangen kamu.
Kamu jangan lupa kangenin aku ya, hehehehe.
Udah ya, Lisa. Jangan lupa pesen aku di atas tadi, ya.
Selamat istirahat.
Dari Suamimu.
Bayu Dimas Perdana
Kuletakkan surat itu di atas batu nisan putih itu.
Aku harap kamu bisa baca ini ya, Lis.
Aku harap kamu bisa baca seluruh isi hati aku saat ini ya, Lis.
“Udah, Bro. Jangan nangis lagi. Lisa juga bakal sedih kalo ngeliat lu kaya gini terus.” Ujar Omen sembari merangkul pundakku.
“Engga kok, Men. Dia udah bahagia banget pasti disana. Gue yakin.” Balasku sambil tersenyum namun masih menahan air mata.
Sebelum terlalu jauh aku berjalan dari tempat berbaring terakhirnya Lisa, aku sempatkan mengambil HPku, lalu mengetikkan sesuatu.
“Kangeeeeeen!” Begitu tulisku.
Aku kirim ke sebuah nama di kontak HPku yang tak pernah berhenti kukirimi pesan.
LISA.
#cerpen#cerita#pendek#cerita pendek#romantis#romantic#love#story#love story#cerita cinta#short story#cinta
2 notes
·
View notes
Quote
När kvinnan hade gått satt Rose uppe och väntade. Snart blev det midnatt. Regnet vräkte ner. Nästa gång Rose tittade på klockan var den tjugo i två. Hur kunde tid som var så tom gå så fort? Hon släckte ljuset för hon ville inte bli ertappad med att sitta uppe. Hon klädde av sig men kunde inte förmå sig att lägga sig mellan de nya lakanen. Hon satt kvar i köket, i mörkret. Då och då kokade hon nytt te.
from the Short story “Simons goda omen” (orig. Simon’s Luck), part of the Short story Collection “Tiggarflickan” (orig. The Beggar Maid) by Alice Munro
0 notes
Text
The Childhood of a Leader (Brady Corbet, 2015)
Titel: The Childhood of a Leader Land: USA, 2015 Regi: Brady Corbet Manus: Brady Corbet, Mona Fastvold Med: Bérénice Bejo, Liam Cunningham, Robert Pattinson, Stacy Martin Längd: 1 tim 53 min
Hur kväser man en diktatur i dess linda? Går det att fostra bort tyranniska tendenser? Det är inga små frågor som väcks i Brady Corbets regidebut The Childhood of a Leader, inspirerad av Jean-Paul Sartres novell från 1939 med samma namn.
Kostymdramat inleds med ett montage av journalfilmer och Scott Walkers slagkraftiga musik. Första världskriget är slut och Versaillesfördraget under förhandling. På den franska landsbygden bor unge Prescott med sina auktoritära föräldrar – pappan diplomat och mamman ingift i det privilegierade livets hårda skola. Strukturerad i kapitel om tre eskalerande raseriutbrott, berättas hur pojken tas i Herrans tukt och förmaning när han stör den högkyrkliga omgivningen.
Filmens officiella affisch blinkar uppenbart åt Omen och skräcktemat onda barn. Likheterna med Damien är annars få. Prescott är inget mystiskt väsen, än mindre djävulen inkarnerad. Hans beteende växer fram i miljöer utan naturlig empati, och med tiden omvandlas uppmärksamhetssökande till maktspel, manipulation och utstuderad hämnd.
Corbet har sagt att Walkers score mixades högre än vanligt och medvetet över Dolby-standard. Som skrivet för en operapublik på första parkett, får dissonanta stråkar ta rejäl plats i ljudbilden. Musiken görs så viktig att den nästan övertrumfar det poetiskt vackra fotot. Å andra sidan handlar personporträttet lika mycket om de små gesterna, som antas pågå i det undertryckta och fördolda. De inre skeendena hos en fascist i vardande.
Förhoppningsvis är det inte kört för oss riktigt än, även om Brady Corbets psykologiska studie inte direkt ökar hoppet för mänskligheten. "Tragedin med krig är inte att en man vågar vara ond, utan att så många inte vågar vara goda". Att filmens inledning lånar ord av John Fowles, blir en sedelärande påminnelse om civilsamhällets ansvar – den kollektiva skulden i att få de ledare vi förtjänar.
0 notes
Text
GO2: “The Ball” [S02E05].
Serie: Good Omens. Skapare: Neil Gaiman. Författare: Terry Pratchett & Neil Gaiman (boken). Författare: Neil Gaiman & John Finnemore (avsnittet). Regissör: Douglas Mackinnon (avsnittet). Publicerad: 2023. Medium: Amazon Prime Video.
Ses tillsammans med @kulturdasset.
¡Oi! Spoilers, stavfel och alternativa fakta kan förekomma rakt föröver!
Man känner att det börjar dra ihop sig i det här avsnittet där Aziraphale till synes omedveten om att snaran dras åt runt bokhandeln pliktskyldigt årsmötet för de lokala entreprenörernas förening. Jag säger entreprenörer då Azirazphale är mer inkluderande än man kanske skulle kunna tro. Tänker på att även sömmerskan blev inbjuden. 😇🤣
Apropå bokhandeln – undrar om den runda dörröppningen till foajén på insidan av butiken är ett homage till Tolkiens ”The Hobbit”?
På det hela taget ännu ett roligt avsnitt där det är en idel samling fummelpellar på bägge sidor om skranket. Furfur och Shax är roliga på sin sida och Muriel håller fanan högt som himmelens utsända ”spion” kring den lilla bokhandeln. Michael är imponerad är jag säker på. Sedan att Gabriel (i egenskap som ”Jim”) kliver ut och annonserar att han är där – men ingen tror honom.
Intressant inblick för övrigt vi får i vad som hände Gabriel, det verkar som om han medvetet gömt sina minnen för att skydda sig eller någon annan. Frågan är då, ingick det i planen att dumpa sig själv utanför bokhandeln? Visste han att, vad det nu än är som pågår i kulisserna, att Aziraphale och Crowley var de bästa kandidaterna att hjälpa honom/reda ut saker och ting? Är apokalypsen på ingång? Igen?
Lite fundersam är jag kring sms:en Nina fick, att de visas på griffeltavlan men det verkar som om det var ett listigt sätt bara att visualisera dem för tittarna. Undrar f.ö. hur intrigen med Nina och Maggie passar in i den större intrigen, något säger mig att det här är mer än bara ett tidsfördriv för Aziraphale och Crowley att tussa ihop dem.
Säsongsavslutning nästa avsnitt. Ser verkligen fram emot det!
Länkar.
Serien @ playpilot.se.
Serien @ epguides.com.
#tv#streming#terry pratchett#neil gaiman#John Finnemore#Douglas Mackinnon#good omens#goda omen#s02e05 the ball#fantasy#urban fantasy#science fiction#ficton#prime video#2023#us
8 notes
·
View notes
Text
Nvidia Geforce GTX 1650 och Geforce GTX 1660 Ti
Nvidia lanserar nya grafikkort för bärbara datorer Nu är det äntligen dags för de första bärbara datorerna med Geforce GTX 1650 och Geforce GTX 1660 Ti.
Under tisdagen visade Nvidia upp Geforce GTX 1650 och Geforce GTX 1660 Ti för bärbara datorer, något som är goda nyheter för spelare. Enligt Nvidia är Geforce GTX 1650 1,7 gånger så snabb som GTX 1050, medan Geforce GTX 1660 Ti är 1,5 gånger så snabb som GTX 1060. Det bör emellertid påpekas att siffrorna inte gäller för precis alla spel. De nya grafikkorten baseras nämligen på den nya Turing-arkitekturen, något som innebär att det framför allt är i moderna spel som Strange Brigade och Rainbow Six Siege som skillnaden i prestanda märks. Tyvärr saknas stöd för ray tracing, vill du ha det får du skaffa en dator med grafikkort i RTX-serien.
De första bärbara datorerna med Geforce GTX 1650 blir MSI PS63 och Lenovo Y540, medan de första datorerna med Geforce GTX 1660 Ti blir Asus ROG Zephyrus GU502, HP Omen 15, Acer Nitro 7 och Dell G5.
via Blogger http://bit.ly/2KZgwkK
0 notes
Quote
....hade någon av de där ungarna en liten utomjordin med ett ansikte som en väldig bajskorv i en cykelkorg?
Terry Pratchett & Neil Gaiman, Goda Omen
0 notes
Photo
2000, published by B. Wahlströms Cover Art: Graham Ward Translated by Peter Lindforss
ISBN: 9789132433849
Language: Swedish
Title: Goda Omen
28 notes
·
View notes
Text
GO2: “Every Day” [S02E06].
Serie: Good Omens. Skapare: Neil Gaiman. Författare: Terry Pratchett & Neil Gaiman (boken). Författare: Neil Gaiman & John Finnemore (avsnittet). Regissör: Douglas Mackinnon (avsnittet). Publicerad: 2023. Medium: Amazon Prime Video.
¡Oi! Spoilers, stavfel och alternativa fakta kan förekomma rakt föröver!
Så kom den, den stora upplösningen och svaret på alla frågor som vi haft under säsongen: Vad hände med Gabriel? Varför jagar himmelens agenter honom? Och kommer den lilla flugan bränna ned biblioteket? Okej, den sista frågan är kanske lite ur det blå.
När allt kokar ned och förklaringen kommer så handlar det om Harmagedon: Uppföljaren[1], där Gabriel som ärkeänglarnas överkucku numero uno resolut sade nej till. Till allas frustrerade förtret. Det är faktiskt med viss underhållning som man ser ärkeängeln Michael styra himlen snarare som en maktfullkomlig diktator med ett gäng nickedockor vid sin sida och hela ”rättegången” som känns som det största spelet för gallerierna genom tiderna. Vad säger vi om resten av förklaringen då? Det finns något sött i att Gabriel och Belzebub fallit plask för varandra och nu ger sig av på egna äventyr. Minnes bilderna vi ser från detta och hur det förklarar de fragment av mysteriet som Aziraphale följde under serien är både roliga och intressanta.
Slutet skvallrar om att det från författarnas håll finns en öppning för mer: för visst känns det som om serien slutar med en cliffhanger nu när Himlens och Helvetets Dream Team™ verkar gå åt varsitt håll? Visst är det kul att se hur Aziraphale får sig en befodran, men jag kan inte låta bli att misstänka att det finns en dold agenda bakom utnämningen. Och visst vill vi veta vad denna ”andra återkomst”[2] innebär? Enl. artiklar på ScreenRant finns det en säsong 3 uppskissad men WGA-strejken kom emellan. Jag tror chanserna att Amazon Prime förnyar serien är goda.
Länkar.
Serien @ playpilot.se.
Serien @ epguides.com.
Neil Gaiman Gives Good Omens Season 3 Update Amid Strikes: "It's Planned & Plotted" @ screenrant.com (Jun 23).
Good Omens Season 3: Renewal Chances, Release Date Prediction & Everything We Know @ screenrant.com (Sep 23).
Fotnoter.
aka: Armageddon: the Sequel.
aka: The Second Coming. (Undertexterna på Prime Video översatte det som ”Kristi Återfödelse två” eller liknande.
#tv#streming#terry pratchett#neil gaiman#john finnemore#douglas mackinnon#good omens#goda omen#s02e06 every day#every day#chapter 6: every day#fantasy#urban fantasy#science fiction#ficton#prime video#2023#us
2 notes
·
View notes
Text
GO2: “Chapter 4: The Hitchhiker” [S02E04].
Serie: Good Omens. Skapare: Neil Gaiman. Författare: Terry Pratchett & Neil Gaiman (boken). Författare: Neil Gaiman & John Finnemore (avsnittet). Regissör: Douglas Mackinnon (avsnittet). Publicerad: 2023. Medium: Amazon Prime Video.
¡Oi! Spoilers, stavfel och alternativa fakta kan förekomma rakt föröver!
Ses tillsammans med @kulturdasset.
Ett lika bra och humoristiskt avsnitt som tidigare där Crowley, underhållande nog, blir indragen i Aziraphales lilla magiska trick. Storymässigt så känns det annars lite som ett mellanavsnitt, Gabriel-intrigen står lite och stampar och Aziraphales avslöjande om Gabriel för ”Helvetet” kanske är den enda utvecklingen. Stickspåret med zombierna och den opportunistiske kontorsslaven från helvetet rör om i grytan är intressant, liksom att det antyds att Crowley verkligen blev lurad av Aziraphales ”magiska” trick.
Länkar.
Serien @ playpilot.se.
Serien @ epguides.com.
#tv#streming#terry pratchett#neil gaiman#john finnemore#douglas mackinnon#good omens#goda omen#chapter 4: the hitchhiker#fantasy#urban fantasy#science fiction#ficton#prime video#2023#us
2 notes
·
View notes
Text
GO2: ”I Know Where I'm Going” [S02E03].
Serie: Good Omens.
Skapare: Neil Gaiman.
Författare: Terry Pratchett & Neil Gaiman (boken).
Författare: John Finnemore (avsnittet).
Regissör: Douglas Mackinnon (avsnittet).
Publicerad: 2023.
Medium: Amazon Prime Video.
¡Oi! Spoilers, stavfel och alternativa fakta kan förekomma rakt föröver!
Ses tillsammans med @kulturdasset.
Ännu ett bra avsnitt med en trevlig inblick i det förflutna, och vi får åter se Crowley förnöjt passera gränsen mellan gott och ont med smidigheters hos en slalomåkare i vinter-os medan Aziraphale sladdar runt den som en rattlös radiobil.
Extra kul var det givetvis att se Crowley leka bokhandlare och Aziraphale frammana sin bästa grävande journalist. Himmelens utsände övervakare Muriel verkar kunna bli en intressant karaktär, gillade hur hon verkade både närvarande och offline på en och samma gång.
Beelzebub[1] är en karaktär som också kan vara intressant. I över huvud taget tycker jag att det är intressant för storyn att vi får se både himlens och helvetets agenter cirkulera kring den lilla bokhandeln som svultna gamar. Och ingen av oss vet egentligen vad som pågår, bara att Gabriel är en del av det och att Aziraphale långsamt och metodiskt lägger pusslet åt oss.
Och att bägge sidor börjar inse exakt hur mycket Crowley och Aziraphale har vänstrat med den andra sidan genom eonerna…
Länkar.
Serien @ playpilot.se.
Serien @ epguides.com.
Fotnoter.
[1] Som spelas av ”Shelley Conn” vilken vi givetvis känner igen från tv-serien Terra Nova…
(Hmm. Tror @kulturdasset och alla bottar som följer mig får leva med att jag skriver kort denna säsong... Det är som om jag öppnar Word och sedan får skrivkramp.)
#tv#streming#terry pratchett#s02e03 I Know Where I'm#neil gaiman#john finnemore#douglas mackinnon#good omens#goda omen#fantasy#urban fantasy#science fiction#ficton#prime video#2023#us#good omens I Know Where I'm#s02e03 I Know Where I'm Going
2 notes
·
View notes
Text
GO2: “Chapter 2: The Clue featuring the minisode A Companion to Owls” [S02E02].
Serie: Good Omens. Skapare: Neil Gaiman. Författare: Terry Pratchett & Neil Gaiman (boken). Författare: John Finnemore (avsnittet). Regissör: Douglas Mackinnon (avsnittet). Publicerad: 2023. Medium: Amazon Prime Video.
¡Oi! Spoilers, stavfel och alternativa fakta kan förekomma rakt föröver!
Ytterligare en härlig inblick i Aziraphales och Crowley vänskap och hur den kunnat frodas genom seklerna. (Ingen av den är särskilt bra på att genuint på den egna sidan). Och det finns en viss charm i hur Aziraphale ertappar Crowley med att vara inte rakt igenom ond och ”gömma” sina offer, snarare än att göra sig av med dem.
Det är också riktigt kul att se Gabriel vimsa runt i bokhandeln och hjälpa till på sitt eget lilla sätt. Också riktigt skoj när det blir inspektion och Gabriel antagligen passerar under radarn för att han framstår som en rätt oslipad kniv i lådan.
(Lite kortare än vanligt när jag skriver kortare -- beror lite på mitt arbetsschema).
Länkar.
Serien @ playpilot.se.
Serien @ epguides.com.
#tv#streming#terry pratchett#neil gaiman#John Finnemore#Douglas Mackinnon#good omens#goda omen#titel#fantasy#urban fantasy#science fiction#ficton#prime video#2023#us
2 notes
·
View notes