#dongeng indonesia
Explore tagged Tumblr posts
Text
En Beroligende Bjelle
“Ini adalah sebuah dongeng kecil di negeri utara Eropa. Dewa itu serba gelap. Memiliki tanduk bercabang layaknya Sang Rusa. Ia telah menghabiskan masa hidupnya untuk bersembunyi di balik kegelapan kahaf tepi pantai…. … dengan sebagian jiwanya yang hilang, dan tiada ketenangan.”
***
Bagi Sang Penjelajah, mengikuti haluan udara adalah bagian dari hidupnya.
Penjelajah itu bernama Lukas. Jika diperkirakan berdasarkan pergantian sang mentari, sudah hampir tiga tahun ia menghabiskan waktu untuk menjelajah setiap sudut Kepulauan Lofoten.
Pulau yang indah, baginya.
Ia pandangi setiap sisi pegunungan dan ladang nan begitu luas dan hijau, dengan udara yang begitu sejuk. Dan yang paling menarik dari tempat ini baginya adalah: tiada kata malam bagi sang cakrawala negeri ini. Sang surya terus menerus memancarkan cahayanya dan tetap abadi hingga pertengahan malam pun tiba. Dan tak lupa pula dengan para aurora yang menari di sekelilingnya.
Rasa kagum dalam dirinya perlahan bergejolak. Hingga air muka kebahagiaannya itu tercampur begitu sempurna dengan teriknya mentari dan tarian para aurora di bawah langit malam.
Hanya saja, di saat yang sama; entah mengapa ia merasa begitu lelah setelah perjalanan panjangnya ini dan membutuhkan tempat untuk istirahat.
“Wahai Sang Anemo… tuntunlah aku dengan anginmu,” gumam sang pengembara sembari menenteng sebuah lonceng bulat berwarna emas, lalu dengan perlahan ia mendentingkannya. “Kemanakah aku harus bersinggah untuk mengistirahatkan ragaku ini?”
***
Langkah kakinya terhenti di sebuah desa bernama Værøy. Desa itu tampak begitu sepi. Hampir tiada rumah di sekelilingnya.
Tidak ada rumah. Tiada tempat untuk bersinggah, pikir Lukas.
Ia pun mencoba memutar otak. Sembari berjalan dengan mengikuti haluan udara, ia tak sengaja menemukan sebuah pantai nan begitu luas.
Puinn Sand. Pantai yang tampak begitu indah menurut Lukas. Dikelilingi perbukitan nan diselimuti salju tipis, meski saat ini bukanlah musim dingin. Di saat itu juga, ia menemukan sebuah lubang besar—yang kemungkinan adalah kahaf—tepat di kaki bukit.
“Aku menemukannya,” gumam penjelajah itu dengan hati yang cukup tenang. “Mungkin, aku bisa melepaskan rasa penatku di gua ini untuk sementara waktu.”
Lukas—sebagai sang penjelajah, yang notabene tidak masalah jika ia tidur atau bersinggah di mana saja—memutuskan untuk bersinggah di kahaf itu. Setidaknya untuk satu malam saja.
Hanya saja, ketika ia mencoba memasuki kahaf itu….
“… sepasang cabang pohon?”
Melihatnya saja sudah membuat Lukas tersentak.
“… bukan,” gumamnya dengan rasa tak menyangka. “Manusia…? Bertanduk rusa…?”
Sosok manusia dengan tanduk layaknya rusa—yang sejak tadi duduk meringkuk di dalam kegelapan kahaf itu—menoleh ke arah pemuda berambut cokelat di hadapannya.
“… manusia tersesat lagi,” gumam manusia bertanduk rusa itu. Hal itu menimbulkan sebuah asumsi di benak seorang Lukas Hagen.
“Er du ikke et menneske?”
“Apakah di matamu aku terlihat seperti seorang manusia?”
Sungguh tak disangka. Lukas benar-benar tak menyangka dengan hal ini. Untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan makhluk mitologi—yang sejauh ini, ia pikir itu hanyalah dongeng belaka. Meskipun ia percaya: tiada yang mustahil ada dan terjadi di dunia ini.
“Hai, manusia tersesat. Kalau kau tahu legenda Dewa Rusa atau Cervus sang Dewa Pelindung Jiwa, akulah wujudnya.”
Mendengarnya saja sudah membuat Lukas tersentak. Di sisi lain, ia merasa dirinya masih sedang bermimpi, sebab ia telah bertemu dengan Sang Dewa Rusa. Tetapi, entah mengapa ia teringat sesuatu.
Sebuah dongeng kecil dari sang Ibu. Ia masih ingat, ibunya pernah menceritakan sebuah dongeng tragis—yang mungkin—ada hubungannya dengan Sang Dewa yang tinggal di kahaf ini.
“… Sang Dewa adalah Cervus. Sang Pelindung Jiwa.” Lebih dari enam ribu tahun Sang Dewa hidup di tepi pantai negeri utara. Meski Sang Dewa tampak gelap, ia bagaikan payung teduh. Cervus, Sang Dewa Pelindung Jiwa yang sungguh tenang. Sang Dewa selalu menyelamatkan jiwa para manusia yang tersesat. Tetapi saat itu, Sang Dewa dipertemukan dengan seorang manusia. Manusia yang sungguh tersesat. Tanpa arah. Tanpa harapan hidup. Sang Dewa berpikir bahwa ia bisa menyelamatkanmanusia berparas indah dan berjiwa suci itu. Hanya saja, Sang Dewa gagal menyelamatkannya. Jiwa manusia itu telah tenggelam dalam genggaman samudra,lalu tak pernah kembali lagi di mata Sang Dewa. Sang Dewa terpuruk. Ia kehilangan separuh jiwanya. Ia gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa. Hingga akhirnya, Sang Dewa menutup diri dan bersembunyi di balik kegelapan kahaf selama lebih dari dua ribu tahun….… lalu tak pernah menunjukkan dirinya lagi di hadapan dunia nan fana.”
Mengingat hal itu, Lukas sungguh penasaran. Ia ingin memastikan bahwa dongeng itu ada hubungannya dengan keberadaan dewa di hadapannya saat ini dengan sebongkah pertanyaan kritis.
“Apakah kahaf ini memang singgasana Engkau, Wahai Sang Dewa—”
“—panggil saja aku Cervus,” jawabnya dengan nada begitu datar.
“Baiklah, Cervus,” ucap Lukas dengan nada santai, meski terdengar tidak etis. “Apa kahaf ini merupakan singgasana Engkau?”
“Seperti yang kau lihat,” jawab Cervus dan mengangguk pelan. “Tetapi, maaf jika aku tak bisa menerima lagi manusia tersesat yang ingin berteduh di kahaf ini.”
Mendengar itu, Lukas tersentak.
“Engkau tahu betul tujuanku di kahaf ini,” ucapnya sembari tertawa kecil, lalu meneruskan pertanyaannya. “Tetapi, mengapa Engkau tak bisa menerimaku untuk berteduh di kahaf ini … setidaknya sejenak saja?”
Jika Cervus mengikuti instingnya, ia ingin menerima pemuda berambut cokelat di hadapannya itu untuk berteduh di singgasananya. Hanya saja,
“Karena aku … gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa.”
Oh. Jawaban itu. Sama seperti di dalam dongeng itu, batin Lukas.
Jawaban Cervus tak hanya sampai di situ. Ia lanjut menjelaskannya lagi mengapa ia tak bisa menerima manusia tersesat di hadapannya itu.
“Aku tak ingin jiwamu hanyut lagi dalam dekapan samudra sebab kegagalanku untuk kedua kalinya….”
Entah mengapa, tiada angin tiada hujan, gelak tawa terlontarkan dari mulut Lukas. Membuat Cervus merasa tidak nyaman—tidak, Sang Dewa Rusa justru merasa kesal.
“Tidak etis. Kau hanya manusia, tetapi kau tertawa di hadapanku—Sang Dewa.”
“Habisnya, ini pertama kalinya aku menemukan sosok dewa yang berbeda dari filosofi dewa yang kuketahui selama hidupku,” ujar Lukas masih tertawa. “Dewa yang unik.”
“Oh, maafkan aku. Aku lupa memperkenalkan diri kepada Engkau,” ucap pemuda berambut cokelat itu sembari tersenyum lembut. “Namaku Lukas. Lukas Hagen, dari Oslo. Hanya seorang penjelajah biasa yang hendak menikmati indahnya ciptaan Tuhan.”
Cervus tersentak mendengar ucapan itu. Jarang-jarang ia menemukan sosok manusia yang tak jauh dari definisi mentari. Ia begitu bercahaya. Sudah begitu, terik pula. Manusia yang sungguh ceria.
Cervus sudah begitu pasrah menghadapi pemuda berambut cokelat di hadapannya itu. Ia tak tahan dengan air muka keceriaan itu, lalu membiarkan pemuda itu bertindak sesuka hati. Dan secara tidak langsung, Sang Dewa Rusa membiarkan pemuda itu untuk bersinggah sementara di kahafnya.
***
Selama Sang Dewa Rusa bersemayam di kahaf ini, yang ia rasakan adalah keheningan, kegelapan, atau mungkin hampa. Tetapi, sejak Lukas berada di kahaf ini, rasanya sungguh berbeda.
Pemuda itu … berbeda dari manusia-manusia tersesat yang pernah ia temui sebelumnya. Bukan tersesat, bukan pula tiada tujuan. Pemuda itu rela mengorbankan waktu, jiwa, dan raganya untuk menjelajah wilayah ini—hanya untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Bukan untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara, Cervus masih merasakan ketakutan yang tak terbendung sejak kegagalannya saat itu. Ia kehilangan separuh jiwanya dan tidak menjadi payung teduh lagi. Bagi Sang Dewa Rusa, ia berbanding terbalik dengan manusia bernama Lukas itu. Ibarat siang dan malam. Bak cahaya dan bayangan di antara pepohonan. Sang Dewa begitu gelap, sementara Lukas sungguh bersinar—
“Omong-omong, aku akan melanjutkan perjalananku lagi.”
Seketika, ucapan dari sang penjelajah itu menghentikan pikiran-pikirannya. Hal itu membuatnya kaget bukan kepalang.
“Sekarang…?” tanya Cervus terkejut.
Lukas menghela napas. “Iya. Masih ada lagi keindahan dunia yang ingin kujelajahi. Maafkan aku jika ini terkesan mendadak….”
***
Masa terus berjalan, lalu berputar. Padahal, baru saja jiwanya merasa sedikit terisi berkat kehadiran Lukas sang penjelajah.
Jika Cervus boleh berkata jujur, ia merasa tidak tenang. Pemuda itu akan segera meninggalkan kahaf ini. Hampa? Mungkin saja. Cervus berpikir, tak semudah itu ia akan menemukan manusia secerah Lukas lagi. Menyakitkan.
Entah mengapa, Cervus tak ingin berpisah dengan pemuda berambut cokelat itu. Ia takut untuk merasakan hal yang sama seperti dulu lagi. Tetapi, Lukas menyodorkan sebuah lonceng bulat berwarna emas secara tiba-tiba di hadapan Sang Dewa Rusa.
“Untuk Cervus,” ucap Lukas sembari tersenyum lembut.
“Omong-omong, Cervus. Bagiku, Engkau tidaklah gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa. Kau memberiku tempat untuk berteduh sejenak saja, itu sudah berarti bagiku,” lanjut Lukas dengan nada yang menenangkan. “Ini lonceng untuk Engkau. Sebagai rasa terima kasih Ibuku pernah bilang, jika kita mendentingkan lonceng ini, jiwa kita akan merasakan ketenangan. Jika Engkau merasa cemas karena kita harus berpisah, Engkau bisa mendentingkannya dengan khidmat. Terimalah ini.”
Lukas bergegas menenteng ransel miliknya, lalu berpamitan dengan Sang Dewa. Tepat di depan kahaf itu.
“Tusen takk, Cervus.”
***
“Sejak malam itu, tepat di bawah cakrawala negeri utara, dengan cahaya sang surya yang abadi,beserta tarian para aurora di sekelilingnya,Cervus, Sang Dewa Pelindung Jiwabangkit dari kegelapan, dengan “Lonceng Penenang Jiwa”.
Glosarium
☆ Lofoten adalah satu kepulauan kecil yang ada di Norwegia ☆ (Dalam bahasa Norwegia) Er du ikke et menneske=Apakah kau bukan manusia? ☆ (Dalam bahasa Norwegia) Tusen takk=Terima kasih banyak
#cerita pendek#cerita#sastra#sastra indonesia#indonesia menulis#cerita dongeng#cerita fantasi#fantasi#dongeng#norwegian mythology#bahasa indonesia#penulis indonesia
4 notes
·
View notes
Text
Cerita Rakyat Malin Kundang | Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, dan kini jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dahulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.
Penduduk desa mulai berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira. Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.
Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang.
Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat Malin karena takut kehilangan anaknya lagi.
Malin terkejut karena dipeluk perempuan tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya.....
0 notes
Text
Slamet Nugroho, S.Sn alias Inug Dongeng, dan Hasan, M.Sn, Erwin Janim, Imron Supriyadi, dan Yosep Suterisno, dalam Workshop Teater Sekolah se-Sumsel di Museum Negeri Sumsel, Sabtu, 26 Nov 2022. Acara ini digelar atas kerjasama Forum Teater Sekolah (FORTAS) Sumsel dan UPTD Museum Negeri Sumsel "Balaputra Dewa"
#workshop teater sekolah se sumsel#yosep suterisno#imron supriyadi#erwin janim#inug dongeng#hasan m.sn#yussudarson#pegiat teater indonesia#fortass#Fortas Sumsel#majalah infortass#sriwijaya#seni palembang
0 notes
Text
Perjalanan Seorang Penulis
perjalanan seorang penulis adalah perjalanan seorang pembaca...
- Raditya Dika
awal mula saya suka nulis tuh pertama kali sejak SD. waktu itu keadaan rumah cukup ‘bising’. dan anak seusia saya saat itu belum bisa bercerita secara gamblang apa yang saya rasakan, maka untuk pertama kali, saya mencoba untuk menuliskan perasaan saya di dalam sebuah diari. Menulis diari inilah yang menjadi teman saya untuk bercerita banyak hal karena tidak punya seseorang untuk diajak berbagi.
sedang hobi membaca saya waktu SD dimulai saat melihat buku-buku ayah saya banyak tergeletak. ayah saya adalah seorang sarjana hukum, jadi buku-buku beliau kebanyakan tentang hukum, berawal dari rasa keingintahuan seorang anak kecil yang besar, saya pun mulai mencoba membaca buku-buku ayah saya.
jika buku bacaan anak kecil lainnya tak jauh dari buku cerita atau dongeng, buku bacaan saya yang pertama kali malah buku yang berisi pasal-pasal wkwk. saya ingat sekali waktu kelas 5 SD, saya sempat menghapal beberapa pasal wkwk.
kegiatan itu mulai berubah setelah sekolah saya membuka perpustakaan. akhrinya, buku bacaan saya pun berpindah sama seperti anak lainnya, saya pun mulai mengemari berbagai macam buku cerita dongeng, cerita pendek, dan bacaan fiksi lainnya. sejak saat itu, beban tas sekolah saya bertambah, diisi dengan banyak buku pinjaman dari perpustakaan yang saya bawa pulang.
hari-hari saya pun waktu itu diisi dengan membaca buku-buku tersebut. saking senangnya membaca, sehari saya bisa menyelesaikan hingga 3 buah buku dengan kisaran lembar mencapai 100 lembar lebih.
pindah ke SMP, hobi menulis dan membaca itu masih berlanjut. waktu SMP saya mulai mengemari menulis Quotes dan juga surat, saat itu hape saya masih hape nokia, saya sering membuat pesan berantai berisi quotes dan mengirimkannya lewat SMS di nomor teman-teman saya, waktu itu saya bahkan juga sering mengirimkannya kepada Crush saya yang seorang Kakak kelas sekaligus teman akrab saya di sekolah wkwkw. dan juga sempat mencoba menulis sebuah novel dan mempertunjukannya kepada guru bahasa Indonesia saya dan juga teman saya.
beralih ke SMA, saya mulai menaruh minat lebih terhadap tulisan non fiksi, saya suka membaca dan juga menulis tulisan berisi motivasi. saya juga mengemari prosa dan sempat menulis tentangnya.
jujur, saya tidak menganggap pengalaman-pengalaman di atas sebagai bagian dari proses saya menjadi seorang penulis, entah apa alasannya. mungkin karena pengalaman tersebut saya anggap hanya sekedar ketertarikan semata saya, tidak ada proses ‘berjuang’ di dalamnya.
pengalaman saya menjadi seorang penulis baru mulai saya hitung semenjak saya memutuskan untuk menulis di media sosial. mengizinkan orang lain untuk membaca tulisan-tulisan saya, dan Tumblr adalah platform yang pertama kali saya pilih untuk mempublikasikan tulisan-tulisan saya.
niat itu pun sebenarnya datang secara tak sengaja, ketika entah bagaimana, Mbak @andromedanisa, salah satu penulis aktif tumblr menjadi orang yang saya ikuti di Instagram, dan waktu itu beliau sering membagikan tulisan-tulisan beliau dari Tumblr. melalui beliau, saya menjadi tertarik untuk menulis di dalamnya.
hingga saat ini, menjadi tahun kelima saya menulis di Tumblr. tak disangka, tempat yang awalnya saya jadikan pelarian untuk tulisan-tulisan saya yang tidak memiliki rumah, akhirnya menjadi rumah bagi tulisan-tulisan saya itu sendiri. tulisan yang saya tulis hanya untuk mengingatkan diri sendiri, untuk menjadi teman saya yang tidak punya tempat bercerita ternyata mampu untuk menjangkau lebih banyak orang dan juga perasaan.
saya tidak tahu, tulisan saya akan bermuara ke mana nantinya, saya juga belum tahu, tulisan saya akan membawa saya pada kehidupan yang seperti apa. karena jujur, sampai saat ini memilih karier sebagai seorang penulis masih terasa abu-abu bagi saya. saya tidak tahu mau menjadi penulis yang seperti apa, atau menulis di bidang apa, karena selama ini saya nulis tergantung dari apa yang sedang saya ingin tulis, atau barangkali..., karena saya masih tidak cukup percaya diri menyebut diri saya seorang penulis. saya hanya menganggap diri saya seorang gadis yang menulis, sesederhana itu.
pemikiran saya inilah yang membuat saya tidak berambisi untuk mendapatkan apa pun dari tulisan saya, juga belum berkeinginan untuk mengirimkan tulisan saya kepada penerbit dan menjadikannya sebagai sebuah buku. entah apa keinginan itu akan bertahan atau perlahan berubah nantinya. kita lihat saja nanti.
karena untuk saat ini, sama seperti sebelumnya..., saya hanya ingin menulis saja.
23 notes
·
View notes
Text
50 tahun Bobo
My childhood memories are here! Yeayy! Alhamdulillah kebagian juga edisi terbatas ini. Walaupun bobo udah terbit jauh sebelum aku lahir, tapi bobo membersamai masa kecilku. Bisa dibilang sedikit banyaknya suka nulis dan baca ya karna sering disodorin majalah bobo ini sama ibu. Paling sering bacanya tiap malam sebelum tidur, dan ibu jadi tempat bertanya kalau ada kata-kata baru yang belum kupahami.
Terimakasih bobo masih ada sampai saat ini. Harapanku bobo terus ada biar nanti akupun bisa kasih ke anakku kelak haha.
Terimakasih juga buat ibu yang udah kenalin bobo, yang udah beliin bobo tiap minggunya, sampe bosan aku teror buat beliin dan akhirnya ngizinin buat langganan aja biar bisa langsung dianter ke rumah.
Beberapa yang aku masih ingat ada di majalah bobo tentunya cergam keluarga bobo dengan keunikan tiap anggota keluarganya. Kirim-kirim surat dari sahabat pena (Sapen), arena kecil tak disangka yg kadang bikin kaget, dear Nirmala yang kadang curhatannya relate sama yg aku alamin. Pipiyot si penyihir yang aku takuti di cerita negeri dongeng Nirmala. Problem solving yang selalu ada dari belalai Bona yang ternyata sekarang udah ga sama rong-rong lagi, fyi buat yg belum tau sekarang temennya Bona namanya Ola. Juga ada cerbung yang lupa bgt apa namanya hahaa tapi ditunggu-tunggu banget. Paman kikuk yang ngeselin dan Husin ponakannya. Juga latihan soal-soal. Paling senang kalau ada bonusnya haha, apalagi kalau edisi ulang tahun di bulan April bonusnya bisa double bahkan triple. Ada halaman fakta-fakta, dulu ada halaman tentang Indonesia. Dan juga ada tentang artis cilik hahaha banyak banget dan sebagian udah lupa.
Seru banget ternyata kalau diingat-ingat lagi. Aku ga tau deh kalau masa kecilku tanpa bobo, waktu itu gadget juga belum terlalu pesat perkembangannya seperti sekarang, jadi enjoy aja baca majalah, dan vibesnya beda baca buku fisik dan digital.
Oya satu hal yang belum tercapai waktu itu adalah.... Ikut sayembara bobo haha motivasi pengen menang biar namaku ada di majalah bobo dan dapet hadiahnya, tapi ibu ga ngizinin karna males ngirim-ngirim surat haha yaudhlah ya it's okey.
2023
4 notes
·
View notes
Text
Halo dunia yang fana dan sementara ini, izinkan aku menyampaikan semua impianku di dunia yang sudah rusak ini.
Aku sadar aku hanyalah perempuan yang berpakaian tertutup yang beberapa gerak gerik dibatasi, yang beberapa aktivitas akan dicemoohi karena pakaianku. Aku juga bukan perempuan yang menutup sepenuhnya sebaiknya layaknya panutanku Sayyidah Fatimah Azzahra (oh, malu rasanya menyebut beliau sebagai panutanku dimana diriku saja jauh dari kebiasaan beliau). Setidaknya ku berusaha memakai pakaian yg tertutup dan longgar menjaga seluruh tubuh dan jilbab yang menjulur menutupi dada walau masih susah tuk memakai kaoskaki. -terbayang bukan bagaimana diriku ini-
Aku perempuan yang sangat menyukai alam, walau belum ada satu puncak gunung pun yang kutapaki. Namun percayalah rasa cinta dan keinginanku untuk kesana sangatlah tinggi, jika saja uang dan izin orangtua tidak menghalangi.
Aku ingin sekali berkeliling Negara Indah ini dimulai dari kota kelahiranku menuju barat Indonesia lalu ke Timur Indonesia, menemui penduduk" ramahnya, menyusuri alamnya, menjumpai semua kisah legendanya yang menjadi dongeng kala masa kecilku.
Aku takut melihat laut yang luas, namun aku ingin menyusuri keindahan di tepi dan dalamnya. Asal tidak di tengah kekosongannya.
Mungkin sekarang ku menemukan cita-citaku 'Backpacker' yahh, walau ku tak tahu akankah diri ini sanggup membawa tas carrier itu kemana mana selama perjalanan, tapi aku sangat menyanggupi, yang jadi permasalahanku saat ini hanyalah, 'pakaian'. Iya, pakaian.
Bukan ingin terlihat rapih, namun aku mencari cara bagaimana bisa aku menjadi backpacker mencari tumpangan jalan kesana kemari dengan baju yang tetap bersih untuk sholat?
Ah ya, ilmuku masih rendah untuk hal ini, ini tanda ku harus mengaji lebih dalam lagi. Allah tidaklah menyusahkan hambanya, hambanya saja yang terlalu mencari-cari alasan untuk sebuah keringanan atau mungkin peniadaan(?).
Bisakah aku tetap bergerak bebas di alam memakai Rok? Ya akan ku buktikan itu nanti ke dunia, sebelum kita melanjutkan angan-angan itu lebih baik kita selesaikan kuliah ini dan menabung untuk dapat mencapai itu semua.
Dan akan ku tuangkan seluruh cerita itu disini, atau mungkin di sosial media lain? Bukan aku ingin memamerkan, aku hanya tak ingin tempat-tempat hebat ini bersemayam saja di kenangan. Belum lagi jika ada kemungkinan terburuk dimana file kenangan tersebut hilang seketika tanpa jejak, setidaknya sosial media bisa menjadi galeri abadiku💓
4 notes
·
View notes
Text
Peliknya Jalan Demokrasi Kita
Muhammad Muslim – Perantau Sekayu di Jakarta “Bawalah aku menyaksikan mukjizat pada suatu malam yang mulia, dimana anak-anak bebas bermimpi di dalam angin perubahan.” –Klause Meine–
Sewaktu kecil, sekira kelas dua atau tiga madrasah ibtidaiyah, apa (panggilan saya untuk ayah) tidak hanya sekali atau dua kali bercerita tentang Tembok Berlin dan Perang Dingin. Saya menerima apa yang ia ceritakan tidak lebih dari sekedar dongeng belaka dengan membayangkan Tembok Berlin sebagai sebuah tembok raksasa nan panjang, sekat pemisah kehidupan malaikat dan iblis, yang mustahil ditembus dan dirobohkan oleh umat manusia. Dan Perang Dingin sebagai perang panjang mencekam antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, berlangsung di hamparan salju yang luas, tiada berujung tiada bertepi. Kendati hanya menerimanya sebagai dongeng semata, cerita ayah adalah sumber keingintahuan paling utama dalam hidup saya.
Saya tidak ingat kapan persisnya saya mendengarkan lagu Wind of Change dari Scorpions untuk pertama kalinya. Yang pasti siulan Klause Maine di dalam intro lagu itu memberikan nuansa magis yang begitu personal. Kendati begitu, sampai tamat sekolah menengah atas, Wind of Change bagi saya tidak lebih dari sekedar lagu rock barat yang enak untuk didengarkan. Barulah saya sadar sesaat setelah berkuliah di Semarang, kalau Wind of Change tidak lain adalah dongeng yang ayah ceritakan. Semenjak mengikuti mata kuliah pengantar teori hubungan internasional, setiap kali mendengar lagu Wind of Changes, dengan serta merta saya terngiang dengan Francis Fukuyama dan ayah. Kesannya memang cocokologi, tapi antara ayah, Klause Maine, dan Francis Fukuyama, mereka sama-sama menuturkan sebuah inti pesan, yakni perubahan.
Cukuplah dua paragraf di atas sebagai pengantar dari apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Sejak terbersit untuk menulis ini, saya senantiasa mencari cara dan berupaya menemukan akal agar pesan yang hendak saya sampaikan dapat diterima oleh pembaca yang beragam bentuknya. Olehnya, tulisan ini mengusung genre sersan (serius tapi santai). Serius karena memang yang akan dibahas adalah apa-apa yang menjadi pokok dalam bernegara, dan santai karena tulisan ini tidak ingin menempatkan pembacanya pada respons yang latah dan reaksioner. Sesantai ketika kita mendengarkan Wind of Changes, seserius ketika kita membaca nubuat Fukuyama dalam buku The End f History and the Last Man. Begitulah kira-kira.
Saya mengutip penggalan lagu Wind of Change di awal tulisan, untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa angin perubahan itu senantiasa ada. Robohnya Tembok Berlin pada 1989 disusul keruntuhan Uni Soviet pada 1991 yang menandai berakhirnya Perang Dingin, menghantarkan dunia pada demokratisasi yang seluas-luasnya. Sebuah fenomena yang sering disebut sebagai musim semi global. Yang Fukuyama maksud sebagai the Last Man jelas adalah demokrasi liberal itu sendiri. Dunia berakhir dengan kemenangan demokrasi, sehingga tidak ada alternatif lain di masa depan. Menyusul fenomena musim semi itu, Indonesia turut menghendaki adanya perubahan radikal dalam cara bernegara, sebuah momentum peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi liberal ala barat. Ketidakpuasan terhadap Soeharto akibat kebijakan yang dianggap beraliran Jawa Sentris dengan paradigma pembangunan sentralistis, berujung pada kemunculan gerakan pro desentralisasi yang mengusung semangat kedaerahan untuk memberikan kemandirian dan keleluasaan bagi daerah dalam mengoptimalkan potensinya, yang diujungnya diharapkan dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Gerakan ini menyentuh puncaknya pada 1999 ketika otonomi daerah resmi digalakkan dan berdampak pada terbentuknya provinsi, kabupaten, dan kota baru secara masif dalam waktu yang sangat singkat. Musim semi demokrasi pada level global dan negara pun berlanjut sampai tingkat daerah. Mencermati fenomena ini, maka sangat sulit bagi saya untuk membayangkan kalau Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Selatan sana, sebagai contoh, luput dari pengaruh atas apa yang terjadi dalam tatanan global.
Berangkat dari diskusi di atas, pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul desentralisasi sebagai bagian dari demokrasi akan mampu mengangkat derajat daerah sehingga pada gilirannya mampu memberi imbas pada perbaikan secara nasional? Atau secara lebih praktis, dari mana kita memulai langkah untuk mewujudkan kemajuan Indonesia? Dari level pusat bergerak ke level daerah (top down), atau dari daerah bergerak menuju kemajuan nasional (bottom up)? Kita akan mengurai jawaban atas pertanyaan ini dengan seksama dan sesingkat mungkin.
Daerah (baca: provinsi, kabupaten, dan kota) menjadi penting mengingat jumlahnya begitu signifikan. Di tahun 2024, setidaknya terdapat 38 provinsi dengan 416 kabupaten dan 98 kota di dalamnya. Dengan otoritas daerah sebanyak itu, Indonesia sebetulnya menghadapi apa yang disebut sebagai kutukan kelimpahan ‘paradox of plenty’.[1] Betul bahwa desentralisasi mendorong partisipasi daerah dalam menentukan agenda pembangunan nasional. Namun di sisi yang lain ia berpotensi menciptakan permasalahan yang kompleks seperti terjadinya kesenjangan pembangunan antar daerah, dan paling parah melahirkan oligarki-oligarki kecil di daerah, dimana raja-raja kecil dikepung oleh segelintir orang yang menguasai akses dan memonopoli sumber ekonomi. Asumsi ini paralel dengan tingkat korupsi yang terjadi di daerah. Sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2022, KPK telah menangani sebanyak 1.351 kasus korupsi, dimana 905 di antaranya merupakan korupsi yang terjadi di daerah. Kalau kita mengandaikan yang terjadi pada 1998 sebagai musim semi Indonesia, kapan panen raya akan terjadi? Maka jawabannya adalah di tahun 2024 ini. Walaupun kita dihadapkan pada suatu kecemasan kolektif, sadar atau tidak, apakah buah yang akan kita panen adalah buah dengan kualitas ekspor atau buah busuk yang bahkan tidak akan laku di pasar lokal. Kendati dihadapkan pada pilihan buah-buah busuk sekalipun, masyarakat terpaksa tetap harus ikut memanen karena tidak ada pilihan lain. Buah busuk yang dipanen kemudian dikonsumsi dan berimbas pada sakit pencernaan kronis yang menahun. Karena kita tidak melakukan pembibitan dengan baik, tidak menjaga kesuburan tanah, dan tidak merawat kebun dengan baik sehingga terjadi hama selama musim semi berlangsung, maka panen raya tidak menghasilkan buah yang berkualitas.
Paragraf di atas sekiranya adalah perumpamaan atas apa yang sedang kita hadapi saat ini. Panen raya yang dimaksud adalah pilkada serentak. 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota terlibat di dalamnya. Bisa kita bayangkan betapa mahalnya ongkos demokrasi untuk melaksanakan pilkada serentak ini. Namun, dengan merogoh kocek yang begitu besar, kita tidak mendapatkan buah dengan kualitas terbaik. Bagaimana mungkin mantan narapidana korupsi dapat melanggeng sebagai calon kepala daerah. Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin daerah gagap dan gugup ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan gender. Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah terbata-bata menyebut kata ‘digitalisasi’. Bagaimana mungkin calon kepala daerah harus membolak-balik catatan yang berlembar sebelum menjawab pertanyaan moderator. Bagaimana mungkin ada calon kepala daerah yang hendak berinovasi mengubah padi menjadi beras. Itulah yang saya temui sepanjang proses pilkada serentak 2024 berlangsung. Kadang saya bingung harus tertawa terbahak-bahak atau prihatin ketika menyaksikan potongan debat yang berseliweran di media sosial. Itulah fakta demokrasi kita yang tak mungkin disangkal.
Kondisi di atas disebabkan oleh persoalan multidimensional. Pendidikan demokrasi tidak berlangsung secara ideal, lembaga politik kita menaruh pertarungan politik sebatas hubungan transaksional, dan proses demokrasi kita dijalankan dalam roda pragmatisme. Apa yang lebih bahaya dari otoritarianisme adalah yang disebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Kita melaksanakan pemilu seolah-olah kita adalah negara yang demokratis. Padahal demokrasi kita ditunggangi oleh kepentingan oligarki, ditentukan oleh tangan-tangan tak terlihat, dan dilaksanakan sebagai alat tukar tambah keuntungan ekonomi. Kalau pendidikan demokrasi berlangsung ideal di tengah masyarakat, maka celah politik uang atau ‘money politics’ akan semakin sempit. Dengan demikian tidak ada lagi masyarakat yang bersedia menerima uang 500 ribu rupiah untuk memilih salah satu calon. Bagaimana mungkin suara pemilih dihargai 500 ribu rupiah untuk lima tahun, yang artinya hanya dihargai 274 rupiah per hari. Kalau saya menjelaskan ini ke tetangga saya di Sekayu sana, maka jawabannya adalah yang penting uangnya diterima dulu untuk beli beras hari ini, dan besok adalah urusan lain. Pembiaran ini adalah awal bagi penyelewengan kekuasaan oleh pemimpin daerah di kemudian hari. Karena merogoh kocek besar untuk menggelontorkan uang bagi pemilih, maka pemimpin daerah berpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi lain, kalau politik kita disandarkan pada prinsip etika publik, maka tidak mungkin mantan narapidana korupsi lulus dalam seleksi demokrasi. Kalau demokrasi kita dijalankan dengan berdasar pada cita-cita memperbaiki kondisi masyarakat, maka debat yang kita saksikan adalah debat berbobot, substansial, dan berkualitas, bukan debat remeh-temeh yang memalukan.
Kembali lagi ke potensi gagal panen di masa panen raya yang dijelaskan sebelumnya, saya sangat terganggu dengan pendapat bahwa demokrasi bukanlah untuk memilih yang terbaik, melainkan menghindarkan kita dari pilihan terburuk. Apa gunanya menanam banyak bibit buah dan buang-buang tenaga untuk berkebun kalau kita hanya berharap mendapat buah terbaik dari buah-buah paling buruk. Demokrasi harus dipahami sebagai sebuah inkubator politik yang ditujukan untuk melahirkan kandidat-kandidat terbaik di antara yang paling baik. Bukan sebaliknya, menyeleksi kandidat terbaik di antara yang terburuk. Dengan kata lain, siapapun yang akan jadi calon kepala daerah, maka wajib kita pastikan mereka semua adalah yang terbaik. Perkara siapa yang akan memenangi pertarungan, itu akan ditentukan oleh preferensi-preferensi yang berkembang di tengah masyarakat. Sampai pada titik ini, dengan tegas dan sadar saya hendak mengatakan, bahwa kualitas kandidat calon kepala daerah paralel dengan kualitas masyarakatnya. Kita tidak mungkin menunut pemimpin yang berkualitas manakala masyarakat tidak berkualitas. Dalam diskusi formal seperti debat pilkada, praktis kita tidak melihat adu argumen yang tajam dan konstruktif antar calon. Kondisi ini sejalan dengan debat di tengah masyarakat yang sarat dengan cacian, makian, hasutan, dan sentimen-sentimen negatif lainnya. Tentunya masyarakat yang saya maksud di sini adalah sesuatu yang berdimensi luas yakni siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses demokrasi itu sendiri, mulai dari partai politik, lembaga pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga independen, masyarakat selaku pemilih, dan seterusnya. Semua pihak bertanggung jawab atas kesemrawutan ini.
Pilkada serentak yang kita bayangkan sebagai angin perubahan kenyataannya memang hanya sebatas momen pergantian pemimpin, bukan pergantian nasib ke arah lebih baik. Dalam konteks demokrasi Indonesia, pergantian presiden menjadi penting karena ia berperan signifikan dalam menentukan derajat dan marwah kepemimpinan nasional. Namun dalam kondisi praktis dan implementatif, pergantian kepemimpinan nasional tidak berarti signifikan tanpa dukungan kepemimpinan daerah yang kuat. Pada titik ini, maka kita perlu memahami bahwa perbaikan demokrasi dan perbaikan kehidupan bernegara sejatinya harus didorong dari atas dan ditopang dari bawah. Kita mengumpamakannya seperti menyapu lantai dimana debu jatuh berguguran dari langit-langit rumah, perubahan yang tidak dimulai dari bawah sama halnya dengan membangun atap tanpa fondasi rumah. Tentu saya tidak berharap setiap calon kepala daerah mendengarkan lagu Wind of Changes, atau membaca buku Francis Fukuyama, tetapi saya menghendaki adanya kepemimpinan daerah yang kuat. Dan kekuatan kepemimpinan daerah bagi saya bersumber dari dua hal. Pertama, kekuatan yang datang dari interaksi luar yang melahirkan keluasan cara pandang, kekayaan referensi, dan kedalaman pengetahuan. Kedua, kekuatan yang datang dari dalam, yakni kekuatan yang tumbuh dari rasa prihatin, pengalaman internal, dan dari pengamatan langsung atas kondisi yang berkembang di tengah masyarakat. Kekuatan terbaik adalah kekuatan yang menggabungkan keduanya. Adakah calon kepala daerah yang demikian? Mungkin ada di beberapa tempat, namun itu tidak terjadi secara merata. Untuk menjadi kepala daerah di Indonesia kita tidak perlu berlaku adil, berintegritas, dan berwawasan luas. Yang kita perlu hanyalah keberanian untuk tabrak sana-sini, lobi sana-sini, dan tukar tambah sana-sini. Semoga angin perubahan itu kembali tiba di masa kesiapan tanam yang lebih matang. Semoga demokrasi suatu hari beroperasi di tengah masyarakat yang berdaya dan berkualitas.
[1] Kutukan kelimpahan atau paradoks kelimpahan merupakan hipotesis yang menganggap bahwa kepemilikan terhadap sumber daya yang berlebihan berbanding terbalik dengan kualitas pemanfaatan sumber daya tersebut. Dalam konteks negara misalnya, negara dengan sumber daya alam yang melimpah cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat demokrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Dalam konteks digitalisasi, ‘paradoks kelimpahan’ terjadi ketika banyaknya data yang tersedia menyebabkan kurangnya perhatian pada hal-hal substansial. Ketika orang-orang berjuang untuk fokus di tengah informasi yang melimpah, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan informasi menjadi semakin lemah.
0 notes
Text
"London"
Mall di tengah kota memang banyak godaannya. Selain karena event yang sering muncul tidak menentu, atau saat waktu bejo akan bertemu dengan acara yang menarik hati, semuanya ambigu. Siang itu penulis bertemu dengan seorang perempuan muda yang amat cerdas namun terlampau sangat sederhana.
Beliau adalah seorang S3, sangat amat sederhana dan deep tentang agama. Beliau tidak tampak suka menjudge, santai dengan alur, serta menghargai sekitar. Tipikal perfect wife-able. Kalau kata anak jaman sekarang, bisa dibilang pesona wanita matangnya sangat kuat.
Banyak penulis temui atau dengar cerita, bahwa perempuan pribumi bisa mendapat takdir berjodoh dengan pria mapan kelas internasional. Ya, itu benar. Bahkan dua dari rekan penulis adalah perempuan yang gila karir, maksudnya kurang peduli dengan dunia romansa kala itu. Dan Allah mempertemukan mereka dengan takdirnya di negara sebelah. Keduanya adalah peneliti, Bangkok dan Jepang. Indonesia dan Inggris. Masya Allah, mereka wanita hebat yang bukan sekedar dongeng. Mereka nyata, guys. Mereka nyata!
Bergetar sanubari ini saat mendengar kisah romansa mereka. Bawaan keibuan yang sangat kalem, tenang, dan berwibawa. Sangat cocok untuk mendapat jodoh sempurna bahkan diluar kemampuan fikir kita sendiri.
Ya Allah, begitu banyak kisah romansa cantik yang engkau tampakkan pada hambamu ini. Engkau mendengar cerita kecil dari salah satu makhlukMu yang lemah ini. Maka Ya Allah, dengarkanlah hambaMu ini. Engkau Maha Penyayang dan Maha Pengasih, wahai Maha Pembolak balikkan hati.
0 notes
Text
*Jerih Payah Kaum Sarungan yang hendak disingkirkan* *SANTRI, SELALU DIBUNGKAM* Mengapa kalangan muslim modernis (Muhammadiyah wa akhawatuha) dan kalangan sosialis (PSI) kecewa kepada kepemimpinan Presiden Jokowi? Dalam sejarah pertempuran 10 November 1945, awalnya tidak ada yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisan Prof. Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada. Bung Tomo yang berpidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan Mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa & resolusi jihad. Karena itu, banyak orang menganggap fatwa & resolusi jihad itu hanya dongeng dan cerita orang NU saja. “Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU,” itu kesimpulan seminar nasional di PTN besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia, pada 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang mereka menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah.” Aneh. Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi *bahwa sejarah ulama dan kiai memang sudah lama ingin dilenyapkan.* *Tahun 1990 ada peringatan 45 tahun pertempuran 10 November.* Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu, yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah. “Itu ceritanya, *10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy’ari dan para kiai.* Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?” begitu komentar Nyai Sholihah, ibu Gus Dur. Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur meminta klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar!” “Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya kepada Gus Dur. Gus Dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap bodoh oleh mereka. Tahun 1991 Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran di kalangan anak muda NU. *Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi.* *Semua diajarkan supaya tidak lagi dianggap bodoh.* *Dan kemudian berkembang hingga kini.* “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu, karena itu, agak faham,” kata Dr. H. Agus Sunyoto. Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, *Dr. H. Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson.* *Dalam tulisanya tentang penjajahan Jepang di Indonesia selama 1942-1945,* ia menulis begini: *”Pada 22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.”* *Peristiwa ini ada, sekalipun orang Indonesia tidak mau menulisnya karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah.* *Sejarah dikebiri.* *Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.* *Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan.* Ketika Indonesia pertama kali merdeka 1945, kita tidak punya tentara. Baru dua bulan kemudian ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon. A...
0 notes
Text
Warisan Budaya Non-Material
Warisan budaya non-material di Indonesia meliputi berbagai tradisi, adat istiadat, dan praktik budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini termasuk ritual dan upacara adat yang unik di setiap suku. Misalnya, upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja adalah upacara pemakaman yang sangat kompleks dan penuh simbolisme, sementara upacara Nyepi di Bali merupakan perayaan Tahun Baru Saka yang melibatkan berbagai larangan dan meditasi. Seni pertunjukan juga merupakan bagian penting dari warisan budaya non-material Indonesia, seperti wayang kulit, tari kecak, dan gamelan. Seni pertunjukan ini tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan nilai-nilai dan cerita tradisional. Selain itu, bahasa daerah dan sastra lisan seperti dongeng dan puisi tradisional merupakan bagian integral dari warisan budaya non-material. Bahasa-bahasa seperti Jawa, Sunda, dan Bali menyimpan kekayaan literatur dan tradisi lisan yang memperkaya budaya Indonesia.
𝐁𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐋𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚 : Klik disin
0 notes
Text
Talkshow Parenting Wardah Kendari: Meningkatkan Literasi Melalui Membaca Nyaring
SULTRATOP.COM, KENDARI – Brand Kosmetik dan Skincare Wardah Kendari, di bawah naungan PT Paragon Technology and Innovation, mendukung kegiatan peningkatan literasi melalui kerja sama sponsorship pada Sabtu (5/10/2024). Kegiatan yang disponsori Wardah Kendari ini diselenggarakan di Bank Indonesia Sulawesi Tenggara (Sultra) oleh Komunitas Kampung Dongeng Litari Sultra, berkolaborasi dengan Labirin…
0 notes
Video
youtube
ABC Records, Lembaga Humor Indonesia
00:00 Dongeng Tidur - Iwan Fales 06:15 Kopral - Iwan Fales 09:27 Ambulan Zig Zag - Iwan Fales 13:09 Joni Kesiangan - Iwan Fales
0 notes
Text
Cerita Rakyat Malin Kundang | Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.
Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin kemudian tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut.
Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan dirinya dan anak tunggalnya
Saat Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan Malin untuk pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari demi hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut.
la selalu mendoakan agar anaknya selalu selamat dan cepat kembali. Beberapa waktu kemudian ketika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
0 notes
Text
Fortas Sumsel, Didaulat Jadi Juri Musi Star Festival 2022
INFORTASS | PALEMBANG - Tim Kreatif Forum Teater Sekolah (Fortas) Sumsel, dipercaya panitia Musi Star Festival (MSF) 2022 untuk menjadi juri pada tangkai lomba baca puisi tingkat pelajar dna mahasiswa. Acara ini direncanakan akan digelar di Palembang Square (PS) Mall Palembang, 21-22 Desember 2022.
Yosep Sutersino, SE, Ketua Fortas Sumsel menyatakan, kepercayaan Panitia MSF 2022 kepada Fortas Sumsel merupakan satu kehormatan bagi lembaga yang kini dipimpinnya.
Sebab, menurut jebolan Teater Leksi Palembang ini, untuk mendapat kepercayaan dari lembaga lain bukan hal mudah. Apalagi event sekelas MSF 2022, dikomandoi dan didesain para seniman Palembang yang sangat mumpuni. Intinya menurut Yosep, yang terpenting membangun kepercayaan kepada relasi, sehingga kehadiran Fortas Sumsel di setiap kelompok bisa memberi warna yang baik, bukan sebaliknya.
“Jadi posisi Fortas Sumsel, baik secara kelembagaaan maupun secara personal yang dipercaya panitia Musi Star Festival sebagai juri lomba puisi ini, bukan sembarang tunjuk. Tim panitia juga memillih kualifikasi juri yang memiliki rekam jejak yang jelas, baik pribadi atau kembaga yang menaunginya,” ujar alumnus Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), ketika dibincangi usai Rapat Koordinasi (rakor) Panitia MSF 2022, di Rumah Budaya Plembang Nian (RBPN), Sirng Agung, Palembang, Minggu (4 Desember 2022).
Pada rakor itu diketahui, Tim Kreatif Fortas Sumsel yang bakal menjadi juri Lomba Puisi, selain Yosep Suterisno, SE, juga pelaku teater Palembang, Erwin Janim dan Imron Supriyadi, S.Ag, M. Hum, pelaku sastra yang juga penerima Anugerah Batanghari, kategori penulis sastra terbaik di Sumsel tahun 2019.
Terpisah, Heri Listio, Ketua Panitia MSF 2022 menjelaskan, lomba baca puisi yang digelar ini dalam rangka memperingati Hari Ibu 22 Desember 2022. Cabang seni lain yang juga dilombakan, aga ada 3 jenis lomba seni yang berbasis lokal Sumsel.
“Ada empat tangkai lomba dalam acara ini, yaitu Lomba Lagu Daerah, Tari Tanggai, Fashion Show dan Baca Puisi,” ujarnya pada Rapat Koordinasi Panitia Pelaksana MSF di Rumah Budaya Plembang Nian (RBPN), Minggu (4/12/2022), siang.
Lebih lanjut Heri mengatakan, pada MSF ini panitia menargetkan akan mengundang 300 peserta dari berbagai cabang lomba yang digelar.
Menjelaskan tentang kriteria lomba, Heri mengatakan, Lomba Lagu Daerah ada dua kategori; Anak-anak (usia 6-18 tahun) dan Umum (umur 18-40 tahun).
Cabang lomba Tari Tanggai, terdiri dua kategori; Anak-anak (usia 6-15 tahun) dan kategori pelajar/mahasiswa (usia 18-30 tahun). “Untuk Tari Tanggai, setiap grup maksimal berjumlah tiga orang, tidak boleh lebih,” tegasnya.
Heri menambahkan, untuk cabang lomba baca puisi, persertanya dari kalangan pelajar Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) .
Tema Hari Ibu
“Khusus cabang lomba fashion show, berlaku untuk semua umur. Tapi karena acara ini berkaitan dengan Hari Ibu, panitia menetapkan semua casual kostum lomba ini, harus sesuai tema hari ibu, yaitu surga di bawah telapak kaki ibu,” tegasnya.
Pada event ini, menurut Heri akan melibatkan sejumlah dewan juri yang berkompeten di bidangnya masing-masing. “Baik seniman tari, pelaku sastra, musisi dan fashion show,” ujarnya.
Berakhir 19 Desember 2022
Bagi para calon peserta yang berminat ikut lomba ini, menurut Heri, pendaftaran masih terbuka, sampai tanggal 19 Desember 2022 pada tehnical meeting (TM), di Kafe Dower Palembang.
“Pendafftaran masih terbuka, sampai batas waktu yang kami tentukan. Bagi remaja dan pelajar yang akan mendaftar lomba, bisa dilakukan pada saat tehnical meeting pada tanggal 19 Desember di Kafe Dower Palembang,” tambahnya.
Biaya Pendaftaran
Tentang biaya pendaftaran, Heri mengatakan, Lomba Lagu Daerah pserta dikenakan uang pendaftaran, sebesar Rp. 50 ribu, Tari Tanggai Rp. 50 ribu, Fashion Show Rp. 50 Ribu dan Baca Puisi, Rp. 30 ribu. Pendafraran peserta, bisa melalui WA panitia; 0821-4002-662 atau 0821-84-34-0272.
Pada kesempatan yang sama, Lisa Surya Andika, S.P, pengelola RBPN menambahkan, gelaran MSF 2022 ini dilakukan untuk membuka ruang bagi peminat seni, baik sastra, musik dan lagu, fashion dan seni tari.
Menurut Lisa, MSF ini sekaligus menjadi ruang bagi para pegiat dan peminat seni, khususnya kalangan muda dan pelajar, untuk mengekspresikan naluri seninya di atas panggung.
“Kalau mereka sudah sering latihan, menggali potensinya di sanggar-sanggar seni, atau di sekolah, tetapi tidak dibuka ruang untuk berekspresi, ya percuma. Sayang potensi mereka tidak tersalurkan. Jadi lomba ini seni deglar, untuk panggung mereka, supaya potensi mereka terangkat ke publik,” tegasnya.
Rapat Koordinasi Tim Panitia MSF 2022 ini dihadiri belasan seniman tari, sastra, musisi, fashion show, pelaku enterpreuer, sebagian pegiat seni Rumah Budaya Palembang Nian (RBPN) yang sedang berlatih di lembaga itu dan Tim Kreatif Forum Teater Sekolah (Fortas) Sumsel.**
TEKS : AHMAD MAULANA | FOTO : DOK.FORTASS
#musi star festival 2022#yosep suterisno#erwin janim#yussudarson#inug dongeng#hasan m.sn#anugerah teater sekolah#pegiat teater indonesia#teater sumsel#seni palembang#sriwijaya#rumah budaya palembang nian
0 notes
Text
Mengenal Jenis-jenis Teks Bahasa Inggris Beserta Struktur & Contohnya.
Reading merupakan salah satu aspek yang dinilai dalam tes kemahiran bahasa Inggris seperti pada TOEFL atau pun IELTS. Nah, kalau berbicara tentang reading pasti tak lepas dari yang namanya kalimat dan teks bahasa Inggris.
Pada umumnya, macam-macam teks yang akan kamu pelajari di artikel ini nggak jauh berbeda dengan jenis teks dalam bahasa Indonesia. Masing-masing teks tersebut memiliki tujuan/fungsi sosial masing-masing. Jadi, yuk kita cari tahu definisi, fungsi, struktur, dan contoh paragraf dari setiap teks-nya!
Pengertian Teks
Teks adalah sebuah tulisan yang disusun dengan kalimat yang memiliki konteks. Kalau dalam teori sastra, teks adalah segala benda yang dapat “dibaca”, baik benda tersebut berupa karya sastra, tanda jalan, atau gaya pakaian.
Tapi, dalam hal ini, cakupannya hanya akan seputar “tulisan” saja ya, guys. Maka dari itu, setiap teks bahasa Inggris memiliki struktur dan kaidah kebahasaan (language feature) dalam penulisannya.
Jenis-jenis Teks Bahasa Inggris
1. Descriptive Text
Descriptive text bertujuan untuk menggambarkan/menjelaskan kepada pembaca mengenai seseorang, tempat, benda, hewan, dan hal lainnya secara detail. Pada teks ini, suatu objek akan dipaparkan secara rinci. Fungsinya supaya pembaca bisa membayangkan bagaimana bentuk, suasana, atau wujud dari suatu objek. Struktur dari descriptive text adalah identification dan description.
2. Explanation Text
Sederhananya, descriptive text itu berisi mengenai penjelasan yang menjawab pertanyaan “what” atau “apa”. Nah, sementara, explanation text adalah jenis teks untuk menjawab pertanyaan “how”, alias bagaimana. Jadi, teks eksplanasi berfungsi untuk menjelaskan bagaimana suatu hal bisa terjadi, sifatnya logis dan mendetail.
Umumnya explanation text digunakan banyak orang untuk memaparkan fenomena alam, sosial, dan juga budaya. Supaya pembaca bisa semakin mudah untuk memahami isi teks, biasanya sang penulis akan melengkapi teks dengan gambar yang relevan. Struktur dari explanation text adalah general statement, explanation, dan ada juga yang menambahkannya dengan conclusion.
3. Recount Text
Kamu hobi mengabadikan pengalaman melalui tulisan? Nah, berarti recount text bisa jadi salah satu teks yang cocok untuk kamu tulis. Jadi, recount adalah teks yang menjelaskan cerita/pengalaman dari kejadian lampau, misal cerita traveling, mengikuti lomba, dan lain-lain. Struktur teks recount adalah orientation, series of event, kemudian diakhiri dengan reorientation.
4. Narrative Text (Teks Naratif)
Apakah kamu sering mendengarkan kisah Cinderella dan sepatu kacanya? Yap! Itu merupakan salah satu contoh dari narrative text atau narasi yang bersifat fiktif dan menghibur. Narrative text merupakan sebuah teks yang biasa dijadikan sebagai bahan story telling atau dongeng bahasa Indonesia mau pun bahasa Inggris. Generic structure dari narrative text adalah orientation, complication, resolution, dan yang terakhir reorientation.
5. Report Text
Kalau membaca kata “report”, biasanya kita akan langsung teringat dengan “laporan”. Yap, teks ini digunakan untuk menuliskan laporan/informasi dari suatu objek, atau bisa juga dari hasil penelitian. Hmm, apa bedanya dengan descriptive text?
Kalau tujuan dari teks deskripsi itu menceritakan sesuatu secara detail dan lebih spesifik. Nah, dalam report text, sebuah objek akan digambarkan secara umum. Contohnya adalah mengenai “My Cat”, lalu kamu menuliskan bagaimana warna kucing itu, siapa namanya, apa jenisnya, bagaimana ciri-cirinya, etc.
Teks report akan memberikan deskripsi terhadap “Cat” pada umumnya. Misal kakinya ada berapa, bagian tubuhnya ada apa saja, and many more. Dalam teks ini, generic structure yang akan kamu temukan adalah general classification dan description.
Meskipun jenis teks bahasa Inggris-nya cukup banyak, kamu nggak perlu galau. Soalnya, English Academy kan sudah memberikan penjelasan masing-masing jenis teks yang populer pada artikel terpisah. Jadi, kamu bisa belajar dengan lebih detail melalui artikel tersebut. Semangat!
(Sumber: https://www.english-togel2win.id/blog/teks-bahasa-inggris)
0 notes
Text
Long time no see....
Setelah sekian lama, akhirnya diberi kesempatan buat lihat tempat ini lagi, ya... Walaupun liatnya tetep dari kejauhan hehe
Entah apa nama tempat ini sekarang, terakhir tahu namanya itu BBRSPDF, mungkin udah ganti lagi 😂
Rehabilitasi Centrum Prof Soeharso, tempat yg jadi objek penelitian skripsi dari tahun 2017-2019. Iya emang ini objeknya, tapi selama penelitian cuma dua kali kayaknya ke tempat ini 🤣
Waktu awal2 penelitian, kalau ditanya kenapa pilih RC ini buat dijadikan objek penelitian, jawabnya pasti krn masih jarang penelitian ttg objek ini, padahal dilihat dari sisi sejarah, tempat ini punya sejarah yg sangat2 penting , dan peran yg sangat besar dalam perjalanan hidup manusia.... Iya... Itu emang bener, tapi itu sebenarnya alasan formalitas 🤣🤣
Alasan sebenernya akhirnya milih tempat ini jadi objek penelitian skripsi krn pertengahan 2017 itu gak sengaja nemu buanyaaakk bgtt arsip tentang tempat ini di Dinas Kearsipan di Semarang. Setelah coba2 dilihat, arsipnya itu cukup mudah dimengerti, walaupun susunan kalimatnya agak beda dari saat ini, tapi masih memungkinkan untuk dimengerti isi2nya. Dan juga, dalam arsip2 itu ada data2 angka yg bisa dideskripsikan... Ini akan sangat2 membantu membentuk sisi objektif dalam penelitian.
Waktu nemuin arsip2 itu, dan akhirnya mantep buat milih tema itu, waktu itu belum tahu bentuk RC tuh kayak apa, tepatnya letaknya dimana... tahunya ya cuma tempat ini di Solo 🤣 ini juga sebenernya jadi pertimbangan kuat akhirnya mantep milih tema itu, krn tempatnya di Solo, jadi kalaupun terpaksa harus berkunjung tempatnya gak jauh2 amat gitu 🤣🤣
Tapiii.... Berbagai surprise muncul saat mulai mempelajari garis umum sejarah RC ini. Belum dari arsip, tapi dari buku2 babon biografi Prof Soeharso. Satu hal yg pasti, sebenarnya sejarah tokoh Prof Soeharso ini jauh lebih lebih lebih menarik buat diteliti dan digali daripada tempatnya (RC). Tapi yaa... Gak mungkin ganti objek penelitian! Bukan gak boleh, tapi emang dari awal peneliti sangat sangat menghindari "sumber lisan", yup... info2 yg harus didapatkan dengan wawancara para saksi sejarah. Tapi kan pasti seruuu....?! Iya seru! Tapi prioritas saat itu adalah lulus secepatnya sesuai batas beasiswa! Sedang kalau sumbernya harus lisan, itu ruiibbeett nya bikin ngeluas dada, belum lagi unsur subjektif dari si pemberi info ini sgt besar 😩
Oke, akhirnya lanjut penelitian tentang Rehabilitasi Centrum, tapi tetep di dalamnya membahas tentang Prof Soeharso, walaupun gak detail2 bgt, krn ditakutkan malah memecah fokus penelitian 🤦🏻♀️
Ternyataaa.... Wooww.... Buanyaakk bgtt menemukan fakta2 baru. Dari RC ini lah kemudian lahir berbagai yayasan atau wadah atau organisasi yg mendukung dari berbagai sisi untuk dapat memanusiakan pada disabilitas. Sebuah perjalanan panjang merubah disabilitas menjadi difabel.
Yayasan untuk anak, RS Orthopedi, Akademi Fisioterapi, bahkan wadah untuk bidang olahraga juga ada... Dan itu lahirnya dari Rehabilitasi Centrum ini. Pelaksanaan pekan olahraga untuk para difabel juga dari tempat ini lahirnya!! Adanya anggota tubuh palsu pengganti, itu juga dirintisnya dari tempat ini, yg dalam perkembangannya gak cuma memberi manfaat buat di Indonesia aja, tapi sampai diadopsi juga sama negara2 lain.
Kalau mau nulis lagi sejarahnya ya puanjaangg bgt... Tapi beneran baguuss bgtt, bahkan waktu nulis ngubah data2 jadi deskripsi itu rasanya wow bgt! Berasa lagi dengerin dongeng dan jadi orang pertama yg mendengar dongeng itu...
Ya siapa yg nyangka, seorang yg didorong rasa kemanusiaan yg tinggi setelah melihat keadaan para korban perang (krn saat itu lagi ada agresi militer), punya ide gila dan beneran dibilang mustahil sama temen2nya, merintis dari garasi rumah sakit, dengan sangat sangat minim dukungan... Kerja keras itu membuahkan hasil yg sgt2 besar, bahkan sampai sekarang meski bukan lagi dalam keadaan perang, masih sangat banyak orang2 yg terbantu... Padahal waktu itu, kalaupun Prof Soeharso ini mau cuek, beliau bisa lho hidup nyaman, gak terlalu capek... Dan gak bakal ada juga yg nyalahin beliau... Tapi kemanusiaan di diri beliau terlalu besar sepertinya, sampai memilih jalan yg lebih rumit...
Excited bgt waktu ngerjain skripsi ini, walaupun di sisi lain juga merasa heran... Eman gitu... Sejarah sebagus ini, tapi gak banyak orang yg tahu...
Krn skripsi ini juga, jadi dapet kesempatan masuk ke ruang kerja Prof Soeharso. Mungkin itu gedung pertama RC kali ya... Suasananya mirip gedung2 tua, sejuk dan tenang. Waktu akhirnya berkesempatan mendatangi tempat ini, sebenernya skripsi udah hampir selesai. Tapi kalau misal masih bisa dapat tambahan data juga gak nolak, rela lah nulis ulang... Krn emang sebagus itu kisahnya...
Krn waktu baca buku babon biografi Prof Soeharso ini dilampirkan daftar karya2 beliau yg berupa jurnal2 gitu... Akhirnya memberanikanlah diri ini buat tanya ke petugas (krn waktu di ruang kerja gak ada buku apa2) ttg karya2 Prof Soeharso. Dan apa jawabannya? "Gak ada mbak... Ya, tau sendiri lah mbak sistem negara kita kayak apa, orang2 kayak pak Soeharso ini kalau di negara kita ya mana mungkin dapat perhatian lebih..." kurang lebih kayak gitu... Shock lah ya, firasat buruk, keinget BJ Habibie waktu mendapat jawaban itu. "Jadi, gak ada pak?" mencoba memastikan. "Ya gak ada mbak, entah mungkin dibawa keluar negeri atau kemana..." habis sudah harapanku nambah data 😂
Sumber data buat penelitan tentang RC ini banyak didapat justru dari Dinas Kearsipan di Semarang sama Perpustakaan Mangkunegaran.
Ngomongin perpustakaan mangkunegaran, rasanya kayak jackpot karena milih neliti RC ini. Krn penelitian ini, jadi seriingg bgt berkunjung ke perpustakaan mangkunegaran (krn disini juga banyak bgt arsipnya). Krn penelitian jadi gratis masuk mangkunegaran, biasanya datang lebih awal biar bisa jalan2 di dalam, liat2 apa aja yg bisa diliat. Waktu perpus mau buka barulah duduk di kursi emperan deket pintu menuju perpus di lantai 2. Petugasnya sampai hapal kayaknya, dan ramah pol... Padahal buka nya cuma beberapa jam, tapi diri ini kadang minta dicarikan banyak arsip, dan beneran dicariin lho... Ada rasa gak enak, tapi ya gimana lagi... tetep minta dicariin krn butuh 😂
Biasanya milih duduk deket jendela, anginnya semilir sejuuk... Dan biar bisa liat kebawah, krn biasanya gak lama setelah perpus buka, gamelan dimainkan di pendopo mangkunegaran, dan itu bisa bgt dilihat dari perpus... Hehe
Waktu sidang, inget bgt waktu itu ditanya... Udah puas belum sama hasil penelitiannya? Jawab apa? Udah lah! Kalau jawab belum, takutnya malah banyak revisi dan gak lulus2 🤣
Padahal... Jujur belum puas, masih banyak bgt yg bisa digali, masih banyak yg bikin penasaran, masih banyak yg bisa dijelaskan dengan lebih detail, masih banyak arsip2 yg bisa menambah data2 dan bisa dijabarkan lebih luas. Dan diluar itu semua, masih penasaran dengan sosok Prof Soeharso ini. Kok bisa gitu rasa kemanusiaannya sebesar itu? Kok beliau mau berkorban banyak, kerja keras mati2 an, padahal gak ada jaminan akan berhasil.
Ya gitu lah akibatnya... Krn sejak awal fix fokus penelitian ke RC nya, jadi ya sgt membatasi untuk mencari data detail ttg tokoh utama dari RC ini sendiri, biar apa? Biar fokusnya gak pecah! Biar cepet lulus... Haha 😂
Let's stop it! Again and again.... I wrote too much 🤣🤣
0 notes