#dongeng indonesia
Explore tagged Tumblr posts
Text
En Beroligende Bjelle
“Ini adalah sebuah dongeng kecil di negeri utara Eropa. Dewa itu serba gelap. Memiliki tanduk bercabang layaknya Sang Rusa. Ia telah menghabiskan masa hidupnya untuk bersembunyi di balik kegelapan kahaf tepi pantai…. … dengan sebagian jiwanya yang hilang, dan tiada ketenangan.”
***
Bagi Sang Penjelajah, mengikuti haluan udara adalah bagian dari hidupnya.
Penjelajah itu bernama Lukas. Jika diperkirakan berdasarkan pergantian sang mentari, sudah hampir tiga tahun ia menghabiskan waktu untuk menjelajah setiap sudut Kepulauan Lofoten.
Pulau yang indah, baginya.
Ia pandangi setiap sisi pegunungan dan ladang nan begitu luas dan hijau, dengan udara yang begitu sejuk. Dan yang paling menarik dari tempat ini baginya adalah: tiada kata malam bagi sang cakrawala negeri ini. Sang surya terus menerus memancarkan cahayanya dan tetap abadi hingga pertengahan malam pun tiba. Dan tak lupa pula dengan para aurora yang menari di sekelilingnya.
Rasa kagum dalam dirinya perlahan bergejolak. Hingga air muka kebahagiaannya itu tercampur begitu sempurna dengan teriknya mentari dan tarian para aurora di bawah langit malam.
Hanya saja, di saat yang sama; entah mengapa ia merasa begitu lelah setelah perjalanan panjangnya ini dan membutuhkan tempat untuk istirahat.
“Wahai Sang Anemo… tuntunlah aku dengan anginmu,” gumam sang pengembara sembari menenteng sebuah lonceng bulat berwarna emas, lalu dengan perlahan ia mendentingkannya. “Kemanakah aku harus bersinggah untuk mengistirahatkan ragaku ini?”
***
Langkah kakinya terhenti di sebuah desa bernama Værøy. Desa itu tampak begitu sepi. Hampir tiada rumah di sekelilingnya.
Tidak ada rumah. Tiada tempat untuk bersinggah, pikir Lukas.
Ia pun mencoba memutar otak. Sembari berjalan dengan mengikuti haluan udara, ia tak sengaja menemukan sebuah pantai nan begitu luas.
Puinn Sand. Pantai yang tampak begitu indah menurut Lukas. Dikelilingi perbukitan nan diselimuti salju tipis, meski saat ini bukanlah musim dingin. Di saat itu juga, ia menemukan sebuah lubang besar—yang kemungkinan adalah kahaf—tepat di kaki bukit.
“Aku menemukannya,” gumam penjelajah itu dengan hati yang cukup tenang. “Mungkin, aku bisa melepaskan rasa penatku di gua ini untuk sementara waktu.”
Lukas—sebagai sang penjelajah, yang notabene tidak masalah jika ia tidur atau bersinggah di mana saja—memutuskan untuk bersinggah di kahaf itu. Setidaknya untuk satu malam saja.
Hanya saja, ketika ia mencoba memasuki kahaf itu….
“… sepasang cabang pohon?”
Melihatnya saja sudah membuat Lukas tersentak.
“… bukan,” gumamnya dengan rasa tak menyangka. “Manusia…? Bertanduk rusa…?”
Sosok manusia dengan tanduk layaknya rusa—yang sejak tadi duduk meringkuk di dalam kegelapan kahaf itu—menoleh ke arah pemuda berambut cokelat di hadapannya.
“… manusia tersesat lagi,” gumam manusia bertanduk rusa itu. Hal itu menimbulkan sebuah asumsi di benak seorang Lukas Hagen.
“Er du ikke et menneske?”
“Apakah di matamu aku terlihat seperti seorang manusia?”
Sungguh tak disangka. Lukas benar-benar tak menyangka dengan hal ini. Untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan makhluk mitologi—yang sejauh ini, ia pikir itu hanyalah dongeng belaka. Meskipun ia percaya: tiada yang mustahil ada dan terjadi di dunia ini.
“Hai, manusia tersesat. Kalau kau tahu legenda Dewa Rusa atau Cervus sang Dewa Pelindung Jiwa, akulah wujudnya.”
Mendengarnya saja sudah membuat Lukas tersentak. Di sisi lain, ia merasa dirinya masih sedang bermimpi, sebab ia telah bertemu dengan Sang Dewa Rusa. Tetapi, entah mengapa ia teringat sesuatu.
Sebuah dongeng kecil dari sang Ibu. Ia masih ingat, ibunya pernah menceritakan sebuah dongeng tragis—yang mungkin—ada hubungannya dengan Sang Dewa yang tinggal di kahaf ini.
“… Sang Dewa adalah Cervus. Sang Pelindung Jiwa.” Lebih dari enam ribu tahun Sang Dewa hidup di tepi pantai negeri utara. Meski Sang Dewa tampak gelap, ia bagaikan payung teduh. Cervus, Sang Dewa Pelindung Jiwa yang sungguh tenang. Sang Dewa selalu menyelamatkan jiwa para manusia yang tersesat. Tetapi saat itu, Sang Dewa dipertemukan dengan seorang manusia. Manusia yang sungguh tersesat. Tanpa arah. Tanpa harapan hidup. Sang Dewa berpikir bahwa ia bisa menyelamatkanmanusia berparas indah dan berjiwa suci itu. Hanya saja, Sang Dewa gagal menyelamatkannya. Jiwa manusia itu telah tenggelam dalam genggaman samudra,lalu tak pernah kembali lagi di mata Sang Dewa. Sang Dewa terpuruk. Ia kehilangan separuh jiwanya. Ia gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa. Hingga akhirnya, Sang Dewa menutup diri dan bersembunyi di balik kegelapan kahaf selama lebih dari dua ribu tahun….… lalu tak pernah menunjukkan dirinya lagi di hadapan dunia nan fana.”
Mengingat hal itu, Lukas sungguh penasaran. Ia ingin memastikan bahwa dongeng itu ada hubungannya dengan keberadaan dewa di hadapannya saat ini dengan sebongkah pertanyaan kritis.
“Apakah kahaf ini memang singgasana Engkau, Wahai Sang Dewa—”
“—panggil saja aku Cervus,” jawabnya dengan nada begitu datar.
“Baiklah, Cervus,” ucap Lukas dengan nada santai, meski terdengar tidak etis. “Apa kahaf ini merupakan singgasana Engkau?”
“Seperti yang kau lihat,” jawab Cervus dan mengangguk pelan. “Tetapi, maaf jika aku tak bisa menerima lagi manusia tersesat yang ingin berteduh di kahaf ini.”
Mendengar itu, Lukas tersentak.
“Engkau tahu betul tujuanku di kahaf ini,” ucapnya sembari tertawa kecil, lalu meneruskan pertanyaannya. “Tetapi, mengapa Engkau tak bisa menerimaku untuk berteduh di kahaf ini … setidaknya sejenak saja?”
Jika Cervus mengikuti instingnya, ia ingin menerima pemuda berambut cokelat di hadapannya itu untuk berteduh di singgasananya. Hanya saja,
“Karena aku … gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa.”
Oh. Jawaban itu. Sama seperti di dalam dongeng itu, batin Lukas.
Jawaban Cervus tak hanya sampai di situ. Ia lanjut menjelaskannya lagi mengapa ia tak bisa menerima manusia tersesat di hadapannya itu.
“Aku tak ingin jiwamu hanyut lagi dalam dekapan samudra sebab kegagalanku untuk kedua kalinya….”
Entah mengapa, tiada angin tiada hujan, gelak tawa terlontarkan dari mulut Lukas. Membuat Cervus merasa tidak nyaman—tidak, Sang Dewa Rusa justru merasa kesal.
“Tidak etis. Kau hanya manusia, tetapi kau tertawa di hadapanku—Sang Dewa.”
“Habisnya, ini pertama kalinya aku menemukan sosok dewa yang berbeda dari filosofi dewa yang kuketahui selama hidupku,” ujar Lukas masih tertawa. “Dewa yang unik.”
“Oh, maafkan aku. Aku lupa memperkenalkan diri kepada Engkau,” ucap pemuda berambut cokelat itu sembari tersenyum lembut. “Namaku Lukas. Lukas Hagen, dari Oslo. Hanya seorang penjelajah biasa yang hendak menikmati indahnya ciptaan Tuhan.”
Cervus tersentak mendengar ucapan itu. Jarang-jarang ia menemukan sosok manusia yang tak jauh dari definisi mentari. Ia begitu bercahaya. Sudah begitu, terik pula. Manusia yang sungguh ceria.
Cervus sudah begitu pasrah menghadapi pemuda berambut cokelat di hadapannya itu. Ia tak tahan dengan air muka keceriaan itu, lalu membiarkan pemuda itu bertindak sesuka hati. Dan secara tidak langsung, Sang Dewa Rusa membiarkan pemuda itu untuk bersinggah sementara di kahafnya.
***
Selama Sang Dewa Rusa bersemayam di kahaf ini, yang ia rasakan adalah keheningan, kegelapan, atau mungkin hampa. Tetapi, sejak Lukas berada di kahaf ini, rasanya sungguh berbeda.
Pemuda itu … berbeda dari manusia-manusia tersesat yang pernah ia temui sebelumnya. Bukan tersesat, bukan pula tiada tujuan. Pemuda itu rela mengorbankan waktu, jiwa, dan raganya untuk menjelajah wilayah ini—hanya untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Bukan untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara, Cervus masih merasakan ketakutan yang tak terbendung sejak kegagalannya saat itu. Ia kehilangan separuh jiwanya dan tidak menjadi payung teduh lagi. Bagi Sang Dewa Rusa, ia berbanding terbalik dengan manusia bernama Lukas itu. Ibarat siang dan malam. Bak cahaya dan bayangan di antara pepohonan. Sang Dewa begitu gelap, sementara Lukas sungguh bersinar—
“Omong-omong, aku akan melanjutkan perjalananku lagi.”
Seketika, ucapan dari sang penjelajah itu menghentikan pikiran-pikirannya. Hal itu membuatnya kaget bukan kepalang.
“Sekarang…?” tanya Cervus terkejut.
Lukas menghela napas. “Iya. Masih ada lagi keindahan dunia yang ingin kujelajahi. Maafkan aku jika ini terkesan mendadak….”
***
Masa terus berjalan, lalu berputar. Padahal, baru saja jiwanya merasa sedikit terisi berkat kehadiran Lukas sang penjelajah.
Jika Cervus boleh berkata jujur, ia merasa tidak tenang. Pemuda itu akan segera meninggalkan kahaf ini. Hampa? Mungkin saja. Cervus berpikir, tak semudah itu ia akan menemukan manusia secerah Lukas lagi. Menyakitkan.
Entah mengapa, Cervus tak ingin berpisah dengan pemuda berambut cokelat itu. Ia takut untuk merasakan hal yang sama seperti dulu lagi. Tetapi, Lukas menyodorkan sebuah lonceng bulat berwarna emas secara tiba-tiba di hadapan Sang Dewa Rusa.
“Untuk Cervus,” ucap Lukas sembari tersenyum lembut.
“Omong-omong, Cervus. Bagiku, Engkau tidaklah gagal menjadi Sang Dewa Pelindung Jiwa. Kau memberiku tempat untuk berteduh sejenak saja, itu sudah berarti bagiku,” lanjut Lukas dengan nada yang menenangkan. “Ini lonceng untuk Engkau. Sebagai rasa terima kasih Ibuku pernah bilang, jika kita mendentingkan lonceng ini, jiwa kita akan merasakan ketenangan. Jika Engkau merasa cemas karena kita harus berpisah, Engkau bisa mendentingkannya dengan khidmat. Terimalah ini.”
Lukas bergegas menenteng ransel miliknya, lalu berpamitan dengan Sang Dewa. Tepat di depan kahaf itu.
“Tusen takk, Cervus.”
***
“Sejak malam itu, tepat di bawah cakrawala negeri utara, dengan cahaya sang surya yang abadi,beserta tarian para aurora di sekelilingnya,Cervus, Sang Dewa Pelindung Jiwabangkit dari kegelapan, dengan “Lonceng Penenang Jiwa”.
Glosarium
☆ Lofoten adalah satu kepulauan kecil yang ada di Norwegia ☆ (Dalam bahasa Norwegia) Er du ikke et menneske=Apakah kau bukan manusia? ☆ (Dalam bahasa Norwegia) Tusen takk=Terima kasih banyak
#cerita pendek#cerita#sastra#sastra indonesia#indonesia menulis#cerita dongeng#cerita fantasi#fantasi#dongeng#norwegian mythology#bahasa indonesia#penulis indonesia
4 notes
·
View notes
Text
Cerita Rakyat Malin Kundang | Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, dan kini jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dahulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.
Penduduk desa mulai berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira. Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.
Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang.
Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat Malin karena takut kehilangan anaknya lagi.
Malin terkejut karena dipeluk perempuan tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya.....
0 notes
Text
My learning curve
Seminggu ini full ngementorin temen2 NGO yang concern ngerjain proyek kesehatan. Sebenernya dari bulan oktober aku udah terlibat dalam project ini.
Awalnya cuman diminta jadi translator - diminta ngisi kelas bootcamp - diminta jadi juri pitching (decide siapa yg berhak mendapat funding 200 jt WOW!!) - diminta untuk jadi mentor juga 😂 berhubung yang minta salah satu temen deket, jadi iyain aja, toh gue juga lagi summer break dan gue suka topiknya.
Been working on this CSO things since 2016 tapi ini kali pertama involve di proyek kesehatan passs aku lg sekolah MPH jadi kaya pass bgt alhamdulillah ✨
Proses ngementorin temen2 NGO yg udah mature ini jadi pelajaran berharga banget sih buatkuu, karena aku beneran banyak belajar dari mereka. Mulai dari kenapa NGO itu berdiri, isu2 yang mereka kerjakan, challenges sampe impact itu beneran ✨GILA KEREN ABISSS✨
Isunya mulai dari gender based violance, tracing pasien TB, WASH, sampe bikin vending machine buat minuman sehat, like????? Edan coy!??!!! Sesi mentoring one on one selama 1 jam setiap NGO jadi bahan belajar gratis buat aku. Dan tentu catch up per-dunia NGO-an duniawi setelah satu tahun ini nguprek di akademia.
Buatku, ini jadi salah satu learning curves aku… Kalau boleh di trace back ke tahun-tahun kumulai tertarik dan terlibat di dunia sosial kemasyarakatan itu ya 11 tahun yang lalu..
2013 : ikut program pengabdian masyarakat, sebagai kegiataan pas kakak2 kelas 12 Ujian Nasional
2014 : Lulus dari pesantren dan mulai rajin ikut kegiatan volunteering. Mulai dari komunitas dongeng dan ngajar di sekolah gratis di deket rumah.
2015 : ikutan volunteer ngajar di Thailand, sepulangnya bantuin temen buat mendirikan taman baca di Tangerang Selatan bernama Istana Belajar Anak Banten (thanks to Panji yang udh mau percaya sm aku!!)
2016 : Ikutan volunteering lagi di Banten, dan mulai mencoba mengaitkan dengan dunia kesehatan karena udah mulai kuliah di dunia keperawatan. Plus di tahun ini qadarullah (because there’s no coincidence) ikutan bootcamp tentang menjadi Community Leaders dan jadi inkubator Emcekaqu Project (and got my very first funding!!!!!)
2017 : Mulai explore dunia social enterprise. Rajin banget ikut kelas2 lepasan tentang SE. Dapet pelatihan lanjutan dari pemberi hibah yang dinamakan High-Potential Academy (kl gak salah). Dan kepilih buat ikutan fellowship di Belgia tentang Water and Sanitation! Ohiya sempet dpt funding dari kampus juga buat ngembangin social business tp baru smp tahap piloting 🥲
2018 : Masih konsisten nyoba ikutan inkubasi bisnis, banyak gagalnya, tapi ada berhasilnya juga 🥲 as a person, Alhamdulillah dapet academic fellowship ke US untuk belajar tentang lingkungan.
2019 : Mulai nyoba kerja profesional!!! Keterima internship di Ashoka Indonesia dan bertugas mencari wirausaha sosial yang bisa membuat perubahan sistematis di masyarakat! Riset buanyaaakkk bgt NGO - SE - You name it, yang sesuai dengan nilai2 Ashoka! Bahkan berkesempatan untuk visit ke Berau untuk lihat site project salah satu nominee!
After the intern, kumulai kerja profesional juga di NICE Indonesia. Perusahaan yang memberikan aku hibah pertama kali! Aku mulai jadi trainer dan mentor buat NGO yang jadi grantee mereka.
2020 : still working on the Nice Indonesia. Tapi mulai bergeser jadi assessor performance para grantee. Mulai kenalan lebih dalam sama para CSO. In depth interview sama board, CEO, C-level dan juga tim CSO tsb. Kenalan sama banyak impact evaluation methods.
2021 : Masih mengerjakan hal yang sama ditambah site visit karena udah gak pandemi :)
2022 : Mulai explore ke ranah baru, yaitu dunia breatsfeeding, dan ternyata aku fall in love bgt sm dunia ini 💜 punya expertise baru yang bs dibagi, dan aku melakukan banyak unpaid counselling, bukan karena nggak butuh duit (dan tidak ROI tentu saja lol 😭😂) tapi lebih karena aku ngambil sertifikasi ini karena emang pengen bantu orang!
2023 : Mulai berani ngambil side project yang berkaitan dengan Monitoring, evaluasi dan impact assessment. Ngerjain impact assessment Schneider Indonesia Foundation, Infradigital Foundation, Direktorat SMK sampe bikin impact Assessment buat Lab Belajar Ibu.
2024 : Gabung di Project Bisa Sembuh Fund, kolaborasi antara KitaBisa dan 3I Indonesia buat jadi mentor.
Kalau dilihat learning curves-nya tuh mungkin gini ya :
2 tahun following observing (2013-2014)
3 tahun initiating and incubating (2015-2018)
5 tahun leveraging (2019-2024)
Dan mungkin learning curves di tahun 2025 keatas lebih ke experting. Because i never consider myself as an expert karena ngerjain proposal aja masih belom sering tembus grant, ngerjain proposal program aja nilainya masih 66, ngerjain laporan dampak aja masih banyak revisinya.
Dan menyadari tentang “belum complete-nya” learning curves ini yang membuat aku legowo buat nggak lompat pindah field dulu jadi academia - dan membuat keputusan untuk nggak ambil master thesis dulu - instead ngambil public health in practice as my capstone to add more experience about community in academic settings.
Jujur sebenernya galau banget dan sempet sedih karena yg rajin baca tulisanku, aku pengeennn bgt sekolah sampe S3, tapi secara timeline-nya Allah, mungkin belum sekarang atau dalam waktu dekat. Dan entah kenapa memilih untuk ngambil capstone Public Health in Practice kaya tenang aja gituuu 🥺
Tapi emang sih.. kalau mau diakuin deep down, in my heart yang lebih aku pengenin dan penasaranin dari dulu adalah kerja di International NGO atau even UN agencies, lah. Dan itu belom kesampean, semoga ada jalannya setelah lulus MPH ini ya Allah aaminn 🥺 sehingga aku bs punya point of view yang lebih luas. Perspektif yang lebih kaya. Dan mungkin jadi lebih memahami mengenai kompleksitas masalah kesehatan komunitas karena banyak determinan lain, selain lingkungan, perilaku, sosial, dan commercial, bahwa misalkan political will itu sangat2 berpengaruh dlm kesehatan masyarakat juga.
Jadi panjang.. tapi itu sih mungkin refleksiku seminggu ini mentoring. Karena aku beneran mendengar lebih banyak hal yang bahkan aku gatau bahwa itu ada. Struggle yang dihadapi penyintas TB, kekerasan berbasis gender yang merugikan kesehatan ibu dan anak, anak-anak SMK yang bisa bikin alat sendiri untuk mengurangi penggunaan plastik bottle, kekuatan advokasi seorang ibu yang kehilangan anaknya, konsistensi organisasi dalam satu topik selama puluhan tahun.
Aku belajar banyak banget dari mereka. Aku bukan apa-apa dan aku bukan siapa-siapa. Syukur Alhamdulillah banyak2 sama Allah, aku diminta jadi teman perjalanan mereka, menyeimbangkan apa yang kupelajari di academia. Semoga aku bisa memberikan perspektif dari academia juga. Semoga Allah bimbing aku juga.
Aamin yaa rabbal alamiin.
5 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Seorang Penulis
perjalanan seorang penulis adalah perjalanan seorang pembaca...
- Raditya Dika
awal mula saya suka nulis tuh pertama kali sejak SD. waktu itu keadaan rumah cukup ‘bising’. dan anak seusia saya saat itu belum bisa bercerita secara gamblang apa yang saya rasakan, maka untuk pertama kali, saya mencoba untuk menuliskan perasaan saya di dalam sebuah diari. Menulis diari inilah yang menjadi teman saya untuk bercerita banyak hal karena tidak punya seseorang untuk diajak berbagi.
sedang hobi membaca saya waktu SD dimulai saat melihat buku-buku ayah saya banyak tergeletak. ayah saya adalah seorang sarjana hukum, jadi buku-buku beliau kebanyakan tentang hukum, berawal dari rasa keingintahuan seorang anak kecil yang besar, saya pun mulai mencoba membaca buku-buku ayah saya.
jika buku bacaan anak kecil lainnya tak jauh dari buku cerita atau dongeng, buku bacaan saya yang pertama kali malah buku yang berisi pasal-pasal wkwk. saya ingat sekali waktu kelas 5 SD, saya sempat menghapal beberapa pasal wkwk.
kegiatan itu mulai berubah setelah sekolah saya membuka perpustakaan. akhrinya, buku bacaan saya pun berpindah sama seperti anak lainnya, saya pun mulai mengemari berbagai macam buku cerita dongeng, cerita pendek, dan bacaan fiksi lainnya. sejak saat itu, beban tas sekolah saya bertambah, diisi dengan banyak buku pinjaman dari perpustakaan yang saya bawa pulang.
hari-hari saya pun waktu itu diisi dengan membaca buku-buku tersebut. saking senangnya membaca, sehari saya bisa menyelesaikan hingga 3 buah buku dengan kisaran lembar mencapai 100 lembar lebih.
pindah ke SMP, hobi menulis dan membaca itu masih berlanjut. waktu SMP saya mulai mengemari menulis Quotes dan juga surat, saat itu hape saya masih hape nokia, saya sering membuat pesan berantai berisi quotes dan mengirimkannya lewat SMS di nomor teman-teman saya, waktu itu saya bahkan juga sering mengirimkannya kepada Crush saya yang seorang Kakak kelas sekaligus teman akrab saya di sekolah wkwkw. dan juga sempat mencoba menulis sebuah novel dan mempertunjukannya kepada guru bahasa Indonesia saya dan juga teman saya.
beralih ke SMA, saya mulai menaruh minat lebih terhadap tulisan non fiksi, saya suka membaca dan juga menulis tulisan berisi motivasi. saya juga mengemari prosa dan sempat menulis tentangnya.
jujur, saya tidak menganggap pengalaman-pengalaman di atas sebagai bagian dari proses saya menjadi seorang penulis, entah apa alasannya. mungkin karena pengalaman tersebut saya anggap hanya sekedar ketertarikan semata saya, tidak ada proses ‘berjuang’ di dalamnya.
pengalaman saya menjadi seorang penulis baru mulai saya hitung semenjak saya memutuskan untuk menulis di media sosial. mengizinkan orang lain untuk membaca tulisan-tulisan saya, dan Tumblr adalah platform yang pertama kali saya pilih untuk mempublikasikan tulisan-tulisan saya.
niat itu pun sebenarnya datang secara tak sengaja, ketika entah bagaimana, Mbak @andromedanisa, salah satu penulis aktif tumblr menjadi orang yang saya ikuti di Instagram, dan waktu itu beliau sering membagikan tulisan-tulisan beliau dari Tumblr. melalui beliau, saya menjadi tertarik untuk menulis di dalamnya.
hingga saat ini, menjadi tahun kelima saya menulis di Tumblr. tak disangka, tempat yang awalnya saya jadikan pelarian untuk tulisan-tulisan saya yang tidak memiliki rumah, akhirnya menjadi rumah bagi tulisan-tulisan saya itu sendiri. tulisan yang saya tulis hanya untuk mengingatkan diri sendiri, untuk menjadi teman saya yang tidak punya tempat bercerita ternyata mampu untuk menjangkau lebih banyak orang dan juga perasaan.
saya tidak tahu, tulisan saya akan bermuara ke mana nantinya, saya juga belum tahu, tulisan saya akan membawa saya pada kehidupan yang seperti apa. karena jujur, sampai saat ini memilih karier sebagai seorang penulis masih terasa abu-abu bagi saya. saya tidak tahu mau menjadi penulis yang seperti apa, atau menulis di bidang apa, karena selama ini saya nulis tergantung dari apa yang sedang saya ingin tulis, atau barangkali..., karena saya masih tidak cukup percaya diri menyebut diri saya seorang penulis. saya hanya menganggap diri saya seorang gadis yang menulis, sesederhana itu.
pemikiran saya inilah yang membuat saya tidak berambisi untuk mendapatkan apa pun dari tulisan saya, juga belum berkeinginan untuk mengirimkan tulisan saya kepada penerbit dan menjadikannya sebagai sebuah buku. entah apa keinginan itu akan bertahan atau perlahan berubah nantinya. kita lihat saja nanti.
karena untuk saat ini, sama seperti sebelumnya..., saya hanya ingin menulis saja.
23 notes
·
View notes
Text
50 tahun Bobo
My childhood memories are here! Yeayy! Alhamdulillah kebagian juga edisi terbatas ini. Walaupun bobo udah terbit jauh sebelum aku lahir, tapi bobo membersamai masa kecilku. Bisa dibilang sedikit banyaknya suka nulis dan baca ya karna sering disodorin majalah bobo ini sama ibu. Paling sering bacanya tiap malam sebelum tidur, dan ibu jadi tempat bertanya kalau ada kata-kata baru yang belum kupahami.
Terimakasih bobo masih ada sampai saat ini. Harapanku bobo terus ada biar nanti akupun bisa kasih ke anakku kelak haha.
Terimakasih juga buat ibu yang udah kenalin bobo, yang udah beliin bobo tiap minggunya, sampe bosan aku teror buat beliin dan akhirnya ngizinin buat langganan aja biar bisa langsung dianter ke rumah.
Beberapa yang aku masih ingat ada di majalah bobo tentunya cergam keluarga bobo dengan keunikan tiap anggota keluarganya. Kirim-kirim surat dari sahabat pena (Sapen), arena kecil tak disangka yg kadang bikin kaget, dear Nirmala yang kadang curhatannya relate sama yg aku alamin. Pipiyot si penyihir yang aku takuti di cerita negeri dongeng Nirmala. Problem solving yang selalu ada dari belalai Bona yang ternyata sekarang udah ga sama rong-rong lagi, fyi buat yg belum tau sekarang temennya Bona namanya Ola. Juga ada cerbung yang lupa bgt apa namanya hahaa tapi ditunggu-tunggu banget. Paman kikuk yang ngeselin dan Husin ponakannya. Juga latihan soal-soal. Paling senang kalau ada bonusnya haha, apalagi kalau edisi ulang tahun di bulan April bonusnya bisa double bahkan triple. Ada halaman fakta-fakta, dulu ada halaman tentang Indonesia. Dan juga ada tentang artis cilik hahaha banyak banget dan sebagian udah lupa.
Seru banget ternyata kalau diingat-ingat lagi. Aku ga tau deh kalau masa kecilku tanpa bobo, waktu itu gadget juga belum terlalu pesat perkembangannya seperti sekarang, jadi enjoy aja baca majalah, dan vibesnya beda baca buku fisik dan digital.
Oya satu hal yang belum tercapai waktu itu adalah.... Ikut sayembara bobo haha motivasi pengen menang biar namaku ada di majalah bobo dan dapet hadiahnya, tapi ibu ga ngizinin karna males ngirim-ngirim surat haha yaudhlah ya it's okey.
2023
4 notes
·
View notes
Text
Halo dunia yang fana dan sementara ini, izinkan aku menyampaikan semua impianku di dunia yang sudah rusak ini.
Aku sadar aku hanyalah perempuan yang berpakaian tertutup yang beberapa gerak gerik dibatasi, yang beberapa aktivitas akan dicemoohi karena pakaianku. Aku juga bukan perempuan yang menutup sepenuhnya sebaiknya layaknya panutanku Sayyidah Fatimah Azzahra (oh, malu rasanya menyebut beliau sebagai panutanku dimana diriku saja jauh dari kebiasaan beliau). Setidaknya ku berusaha memakai pakaian yg tertutup dan longgar menjaga seluruh tubuh dan jilbab yang menjulur menutupi dada walau masih susah tuk memakai kaoskaki. -terbayang bukan bagaimana diriku ini-
Aku perempuan yang sangat menyukai alam, walau belum ada satu puncak gunung pun yang kutapaki. Namun percayalah rasa cinta dan keinginanku untuk kesana sangatlah tinggi, jika saja uang dan izin orangtua tidak menghalangi.
Aku ingin sekali berkeliling Negara Indah ini dimulai dari kota kelahiranku menuju barat Indonesia lalu ke Timur Indonesia, menemui penduduk" ramahnya, menyusuri alamnya, menjumpai semua kisah legendanya yang menjadi dongeng kala masa kecilku.
Aku takut melihat laut yang luas, namun aku ingin menyusuri keindahan di tepi dan dalamnya. Asal tidak di tengah kekosongannya.
Mungkin sekarang ku menemukan cita-citaku 'Backpacker' yahh, walau ku tak tahu akankah diri ini sanggup membawa tas carrier itu kemana mana selama perjalanan, tapi aku sangat menyanggupi, yang jadi permasalahanku saat ini hanyalah, 'pakaian'. Iya, pakaian.
Bukan ingin terlihat rapih, namun aku mencari cara bagaimana bisa aku menjadi backpacker mencari tumpangan jalan kesana kemari dengan baju yang tetap bersih untuk sholat?
Ah ya, ilmuku masih rendah untuk hal ini, ini tanda ku harus mengaji lebih dalam lagi. Allah tidaklah menyusahkan hambanya, hambanya saja yang terlalu mencari-cari alasan untuk sebuah keringanan atau mungkin peniadaan(?).
Bisakah aku tetap bergerak bebas di alam memakai Rok? Ya akan ku buktikan itu nanti ke dunia, sebelum kita melanjutkan angan-angan itu lebih baik kita selesaikan kuliah ini dan menabung untuk dapat mencapai itu semua.
Dan akan ku tuangkan seluruh cerita itu disini, atau mungkin di sosial media lain? Bukan aku ingin memamerkan, aku hanya tak ingin tempat-tempat hebat ini bersemayam saja di kenangan. Belum lagi jika ada kemungkinan terburuk dimana file kenangan tersebut hilang seketika tanpa jejak, setidaknya sosial media bisa menjadi galeri abadiku💓
4 notes
·
View notes
Text
Game Indonesia Underrated yang Harus Anda Coba Tahun Ini
Game Indonesia Underrated yang Harus Anda Coba Tahun Ini
Industri game di Indonesia terus berkembang, menghasilkan berbagai karya yang tidak kalah menarik dibandingkan game internasional. Namun, tidak semua game buatan pengembang lokal mendapatkan perhatian yang layak, meskipun kualitasnya luar biasa. Dalam artikel ini, kami akan mengulas sembilan game Indonesia yang underrated namun sangat layak untuk dicoba. Game-game ini menawarkan berbagai pengalaman unik, dari cerita yang emosional hingga gameplay yang inovatif. Mari kita mulai eksplorasi ini dan temukan game offline paling seru yang bisa Anda mainkan tahun ini.
1. Pamali
Pamali adalah game horor buatan StoryTale Studios yang sangat kental dengan nuansa budaya lokal. Game ini menghadirkan elemen cerita yang mendalam tentang larangan-larangan adat Indonesia. Setiap keputusan Anda dapat memengaruhi jalannya cerita, sehingga pengalaman bermain terasa lebih personal. Jika Anda suka game dengan tema mistis, Pamali adalah game offline yang wajib dicoba.
2. Coffee Talk
Game ini, karya Toge Productions, membawa Anda ke dalam peran sebagai barista di sebuah kafe unik. Anda akan menyeduh kopi untuk pelanggan sambil mendengarkan cerita-cerita mereka. Dengan gaya visual retro dan musik menenangkan, Coffee Talk adalah permainan yang sangat cocok untuk bersantai setelah hari yang melelahkan.
3. DreadOut Series
Sebagai pelopor game horor di Indonesia, DreadOut menawarkan pengalaman menyeramkan dengan gameplay yang menguji adrenalin Anda. Game ini memadukan elemen horor klasik dengan budaya Indonesia, seperti kuntilanak dan pocong. Seri ini menjadi salah satu bukti bahwa game lokal mampu bersaing di kancah internasional.
4. Nusakana
Nusakana adalah game RPG yang memadukan elemen eksplorasi dengan dunia tropis yang penuh warna. Anda akan menjelajahi pulau-pulau, memancing, dan berinteraksi dengan berbagai karakter menarik. Game ini sangat direkomendasikan bagi Anda yang mencari pengalaman bermain yang santai namun tetap menyenangkan.
5. Rage in Peace
Rage in Peace adalah platformer unik yang menawarkan tantangan sulit dan cerita emosional. Anda bermain sebagai Timmy, seorang pria biasa yang ingin meninggal dengan damai. Game ini menghadirkan level yang penuh rintangan absurd dan membutuhkan refleks cepat untuk menyelesaikannya.
6. Ultra Space Battle Brawl
Game ini adalah perpaduan antara ping-pong dan pertarungan futuristik, di mana Anda dapat bermain melawan teman dalam mode multiplayer lokal. Grafik yang penuh warna dan gameplay yang seru menjadikan Ultra Space Battle Brawl sebagai salah satu game Indonesia yang underrated yang layak dicoba.
7. Legrand Legacy: Tale of the Fatebounds
Legrand Legacy adalah game RPG dengan gaya klasik yang menghadirkan cerita epik dalam dunia fantasi. Dengan grafik yang memukau dan mekanisme pertarungan turn-based, game ini menjadi pilihan yang tepat untuk pecinta RPG.
8. She and The Light Bearer
Game ini adalah dongeng interaktif dengan grafik indah dan musik yang menenangkan. Anda akan memecahkan teka-teki sambil menikmati cerita yang sarat dengan pesan moral. She and The Light Bearer adalah pilihan tepat bagi pecinta game dengan alur cerita mendalam.
9. Coral Island
Sebagai simulasi bercocok tanam, Coral Island menawarkan pengalaman bermain yang santai dengan elemen tropis khas Indonesia. Anda dapat membangun kehidupan di sebuah pulau, bercocok tanam, memancing, dan berinteraksi dengan penduduk setempat.
0 notes
Text
Resensi Buku "Islam dan Diabolisme Intelektual"
Buku yang di tulis oleh Dr. Syamsuddin Arif ini merupakan penjelasan apik tentang beberapa isu kontemporer yang melanda umat Islam. Isu pertama yang diangkat adalah penjelasan gamblang tentang definisi Intelektual dan Ulama. Istilah ‘intelektual’ memang tidak di kenal di dunia Islam kecuali di zaman modern. Masyarakat di Timur Tengah sekarang menyebut intelektual itu ‘mutsaqqaf’ (budayawan) dan ‘mufakkir’ (pemikir). Sementara di Indonesia diistilahkan ‘cendekiawan’. Intelektual ialah cendekiawan yang selalu bersebrangan dengan penguasa, senatiasa kritis dan memberontak terhadap segala bentuk kemapanan atau status quo. Adapun ulama adalah orang-orang yang mempunyai kepahaman akan agama Allah kemudian ia menguasai dan mengajarkannya. Bukan hanya itu, para ulama adalah orang-orang yang terdapat padanya sifat-sifat keilmuan, kebaikan dan keunggulan. (3,15) Sesuai dengan judulnya “Islam dan Diabolisme Intelektual” Dr. Syamsuddin Arif dengan gaya penulisan ilmiah-renyah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan diabolis? dan siapakan sebenarnya yang termasuk dalam kelompok diabolis tersebut? Dr. Syamsuddin Arif mengutip pernyataan Arthur Jeffery dalam bukunya “The Foreign Vocabulary of the Qur’an” istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’ sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, Iblis memohon agar ajalnya ditangguhkan untuk sementara waktu dan bersumpah untuk menyeret orenag lain ke jalannya dengan segala cara. (24-25) Lebih lanjut, Dr. Syamsuddin Arif menyentil persoalan virus ‘liberalisme pemikiran’ yang melanda cekdekiawan Muslim. Virus liberalisme mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias shopisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion).(33). Kanker Epistemologis adalah istilah ilmiah masa kini yang dipakai oleh Dr. Syamsuddin Arif ketika mencoba menganalisa penyakit intelektual yang bisa menimpa siapapun. Pengidap kanker epistemologis biasanya memperlihatkan gejala-gejala pertama, bersikap skeptis (ragu-ragu) terhadap segala hal dari hal sepele hingga masalah prinsip terutama menyangkut keyakinan. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Kedua, penderita kenker epistemologis berpaham relativistik. Menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya). Terakhir, pengidap kanker epistemplogis ini mengalami kekacauan ilmu (cognitif confussion). Tidak mampu lagi membedakan yang benar dan yang salah mana yang haq dan yang batil. (45-47) Tidak bisa dipungkiri, bahwa isu seputar Islam dan Politik juga menjadi sorotan tajam dalam buku ini. Dr. Syamsuddin Arif. Dalam pemaparannya, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, akan tetapi politik sebagai sarana mencapai tujuan. Ada beberapa paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku ‘Islam politik’. Paradigma pesimis radikal ini diwakili oleh pengamat politik seperti Oliver Roy penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Yang seterusnya, paradigma utopian radikal bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi modern. Dan paradigma optimis moderat yang menyangkal pendapat Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, tapi pengalaman dan pengamalan yang lebih seribu tahun lamanya. Dan karenanya, ‘Islam Pilitik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. (49-54). Selain menyoal tentang masalah intelaktual atau politik, agama dan kanker epistemology. Dr. Syamsuddin Arif juga menjelaskan tentang makna kebebasan. Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus.
Pertama, kebebasan itu identik dengan ‘fitrah’ yakni tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan sekelilingnya. Maka bebas adalah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya. Makna kedua dari kebebasan adalah daya atau kemampuan (istita’ah) serta kehendak (masyi’ah) dan keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Makna ketiga, kebebasan dalam islam berarti ‘memilih yang baik’ sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya ikhtiyar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya. (168-169). Permasalah yang 'paling' parah di negeri ini adalah problematika korupsi. Sejak beberapa tahun terakhir, media masa memberitakan kasus korupsi dari kelas kakap, hingga korupsi kelas “taman kanak-kanak”. Dari jantung elite pemerintah hingga jantung level lurah. Dari pengusaha hingga politisi. Dari pegawai kabun hingga pejabat yang beruban. Herannya, tak terkecuali jaksa, hakim, polisi hingga menteri semuanya KORUPSI. Ini tidak luput dari pembahasan Dr. Syamsuddin Arif dalam topik pembahasan yang ke dua puluh dua. (179-183). Plot twist , buku ini mengulas tentang “Everroisme dan Renaissance” sebuah memoar sejarah yang telah lama terkubur dalam ingatan sejarah. Sosok Ibn Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Jika kaum santri hanya mengenal sebagai ahli fikih, sementara golongan cendekiawan mengaguminya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat penghubung antara dunia Islam dan Kristen. Itulah sosok Ibn Rusyd alias Averroes, tokoh yang belakangan disebut-sebut sebagi perintis gerakan pencerahan di Barat. (191). Kesimpulan, buku ini sangat hight recommended untuk dikonsumsi oleh intelektual generasi milenial jaman now. Mengingat isinya padat dan sarat pesan kritis yang sesuai dengan arus zaman sekarang. Petuah Nabi dan para Wali Akar umbi alam duniawi Elok disimak dan dipatuhi Anak Merpati di dahan jati Hidup sekali di dunia ini Agar bahagia dan diridhoi Tiada guna iri dengki Bersihkan hati sebelum mati Wallahu’alam bis Showab Judul Buku : Islam dan Diabolisme Intelektual Penulis : DR. Syamsuddin Arif Penerbit : INSISTS dan PIMPIN Cetakan : I, 2017. Tebal : vi + 253 halaman ISBN : 978-602-19985-7-1 Ikuti kami untuk konten inspiratif setiap hari: Facebook: @batutercom Instagram: @batutercom Twitter (x): @batutercom Telegram: @batutercom Tiktok: @batutercom Youtube : @batuter
0 notes
Text
"Fairytale Fortune™" dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai "Keberuntungan Dongeng™".
Namun, jika ini merujuk pada nama permainan, produk, atau merek tertentu (seperti dalam permainan mesin slot atau game), nama tersebut biasanya tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya untuk tujuan branding. Oleh karena itu, "Fairytale Fortune™" kemungkinan besar tetap digunakan tanpa diterjemahkan dalam konteks tersebut.
"Keberuntungan Dongeng" menggabungkan elemen fantasi dan cerita dongeng, yang sering kali berhubungan dengan tema keberuntungan, harta karun, dan petualangan dalam permainan yang bertema dunia fantasi atau dongeng klasik.
0 notes
Text
Peliknya Jalan Demokrasi Kita
Muhammad Muslim – Perantau Sekayu di Jakarta “Bawalah aku menyaksikan mukjizat pada suatu malam yang mulia, dimana anak-anak bebas bermimpi di dalam angin perubahan.” –Klause Meine–
Sewaktu kecil, sekira kelas dua atau tiga madrasah ibtidaiyah, apa (panggilan saya untuk ayah) tidak hanya sekali atau dua kali bercerita tentang Tembok Berlin dan Perang Dingin. Saya menerima apa yang ia ceritakan tidak lebih dari sekedar dongeng belaka dengan membayangkan Tembok Berlin sebagai sebuah tembok raksasa nan panjang, sekat pemisah kehidupan malaikat dan iblis, yang mustahil ditembus dan dirobohkan oleh umat manusia. Dan Perang Dingin sebagai perang panjang mencekam antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, berlangsung di hamparan salju yang luas, tiada berujung tiada bertepi. Kendati hanya menerimanya sebagai dongeng semata, cerita ayah adalah sumber keingintahuan paling utama dalam hidup saya.
Saya tidak ingat kapan persisnya saya mendengarkan lagu Wind of Change dari Scorpions untuk pertama kalinya. Yang pasti siulan Klause Maine di dalam intro lagu itu memberikan nuansa magis yang begitu personal. Kendati begitu, sampai tamat sekolah menengah atas, Wind of Change bagi saya tidak lebih dari sekedar lagu rock barat yang enak untuk didengarkan. Barulah saya sadar sesaat setelah berkuliah di Semarang, kalau Wind of Change tidak lain adalah dongeng yang ayah ceritakan. Semenjak mengikuti mata kuliah pengantar teori hubungan internasional, setiap kali mendengar lagu Wind of Changes, dengan serta merta saya terngiang dengan Francis Fukuyama dan ayah. Kesannya memang cocokologi, tapi antara ayah, Klause Maine, dan Francis Fukuyama, mereka sama-sama menuturkan sebuah inti pesan, yakni perubahan.
Cukuplah dua paragraf di atas sebagai pengantar dari apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Sejak terbersit untuk menulis ini, saya senantiasa mencari cara dan berupaya menemukan akal agar pesan yang hendak saya sampaikan dapat diterima oleh pembaca yang beragam bentuknya. Olehnya, tulisan ini mengusung genre sersan (serius tapi santai). Serius karena memang yang akan dibahas adalah apa-apa yang menjadi pokok dalam bernegara, dan santai karena tulisan ini tidak ingin menempatkan pembacanya pada respons yang latah dan reaksioner. Sesantai ketika kita mendengarkan Wind of Changes, seserius ketika kita membaca nubuat Fukuyama dalam buku The End f History and the Last Man. Begitulah kira-kira.
Saya mengutip penggalan lagu Wind of Change di awal tulisan, untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa angin perubahan itu senantiasa ada. Robohnya Tembok Berlin pada 1989 disusul keruntuhan Uni Soviet pada 1991 yang menandai berakhirnya Perang Dingin, menghantarkan dunia pada demokratisasi yang seluas-luasnya. Sebuah fenomena yang sering disebut sebagai musim semi global. Yang Fukuyama maksud sebagai the Last Man jelas adalah demokrasi liberal itu sendiri. Dunia berakhir dengan kemenangan demokrasi, sehingga tidak ada alternatif lain di masa depan. Menyusul fenomena musim semi itu, Indonesia turut menghendaki adanya perubahan radikal dalam cara bernegara, sebuah momentum peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi liberal ala barat. Ketidakpuasan terhadap Soeharto akibat kebijakan yang dianggap beraliran Jawa Sentris dengan paradigma pembangunan sentralistis, berujung pada kemunculan gerakan pro desentralisasi yang mengusung semangat kedaerahan untuk memberikan kemandirian dan keleluasaan bagi daerah dalam mengoptimalkan potensinya, yang diujungnya diharapkan dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Gerakan ini menyentuh puncaknya pada 1999 ketika otonomi daerah resmi digalakkan dan berdampak pada terbentuknya provinsi, kabupaten, dan kota baru secara masif dalam waktu yang sangat singkat. Musim semi demokrasi pada level global dan negara pun berlanjut sampai tingkat daerah. Mencermati fenomena ini, maka sangat sulit bagi saya untuk membayangkan kalau Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Selatan sana, sebagai contoh, luput dari pengaruh atas apa yang terjadi dalam tatanan global.
Berangkat dari diskusi di atas, pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul desentralisasi sebagai bagian dari demokrasi akan mampu mengangkat derajat daerah sehingga pada gilirannya mampu memberi imbas pada perbaikan secara nasional? Atau secara lebih praktis, dari mana kita memulai langkah untuk mewujudkan kemajuan Indonesia? Dari level pusat bergerak ke level daerah (top down), atau dari daerah bergerak menuju kemajuan nasional (bottom up)? Kita akan mengurai jawaban atas pertanyaan ini dengan seksama dan sesingkat mungkin.
Daerah (baca: provinsi, kabupaten, dan kota) menjadi penting mengingat jumlahnya begitu signifikan. Di tahun 2024, setidaknya terdapat 38 provinsi dengan 416 kabupaten dan 98 kota di dalamnya. Dengan otoritas daerah sebanyak itu, Indonesia sebetulnya menghadapi apa yang disebut sebagai kutukan kelimpahan ‘paradox of plenty’.[1] Betul bahwa desentralisasi mendorong partisipasi daerah dalam menentukan agenda pembangunan nasional. Namun di sisi yang lain ia berpotensi menciptakan permasalahan yang kompleks seperti terjadinya kesenjangan pembangunan antar daerah, dan paling parah melahirkan oligarki-oligarki kecil di daerah, dimana raja-raja kecil dikepung oleh segelintir orang yang menguasai akses dan memonopoli sumber ekonomi. Asumsi ini paralel dengan tingkat korupsi yang terjadi di daerah. Sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2022, KPK telah menangani sebanyak 1.351 kasus korupsi, dimana 905 di antaranya merupakan korupsi yang terjadi di daerah. Kalau kita mengandaikan yang terjadi pada 1998 sebagai musim semi Indonesia, kapan panen raya akan terjadi? Maka jawabannya adalah di tahun 2024 ini. Walaupun kita dihadapkan pada suatu kecemasan kolektif, sadar atau tidak, apakah buah yang akan kita panen adalah buah dengan kualitas ekspor atau buah busuk yang bahkan tidak akan laku di pasar lokal. Kendati dihadapkan pada pilihan buah-buah busuk sekalipun, masyarakat terpaksa tetap harus ikut memanen karena tidak ada pilihan lain. Buah busuk yang dipanen kemudian dikonsumsi dan berimbas pada sakit pencernaan kronis yang menahun. Karena kita tidak melakukan pembibitan dengan baik, tidak menjaga kesuburan tanah, dan tidak merawat kebun dengan baik sehingga terjadi hama selama musim semi berlangsung, maka panen raya tidak menghasilkan buah yang berkualitas.
Paragraf di atas sekiranya adalah perumpamaan atas apa yang sedang kita hadapi saat ini. Panen raya yang dimaksud adalah pilkada serentak. 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota terlibat di dalamnya. Bisa kita bayangkan betapa mahalnya ongkos demokrasi untuk melaksanakan pilkada serentak ini. Namun, dengan merogoh kocek yang begitu besar, kita tidak mendapatkan buah dengan kualitas terbaik. Bagaimana mungkin mantan narapidana korupsi dapat melanggeng sebagai calon kepala daerah. Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin daerah gagap dan gugup ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan gender. Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah terbata-bata menyebut kata ‘digitalisasi’. Bagaimana mungkin calon kepala daerah harus membolak-balik catatan yang berlembar sebelum menjawab pertanyaan moderator. Bagaimana mungkin ada calon kepala daerah yang hendak berinovasi mengubah padi menjadi beras. Itulah yang saya temui sepanjang proses pilkada serentak 2024 berlangsung. Kadang saya bingung harus tertawa terbahak-bahak atau prihatin ketika menyaksikan potongan debat yang berseliweran di media sosial. Itulah fakta demokrasi kita yang tak mungkin disangkal.
Kondisi di atas disebabkan oleh persoalan multidimensional. Pendidikan demokrasi tidak berlangsung secara ideal, lembaga politik kita menaruh pertarungan politik sebatas hubungan transaksional, dan proses demokrasi kita dijalankan dalam roda pragmatisme. Apa yang lebih bahaya dari otoritarianisme adalah yang disebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Kita melaksanakan pemilu seolah-olah kita adalah negara yang demokratis. Padahal demokrasi kita ditunggangi oleh kepentingan oligarki, ditentukan oleh tangan-tangan tak terlihat, dan dilaksanakan sebagai alat tukar tambah keuntungan ekonomi. Kalau pendidikan demokrasi berlangsung ideal di tengah masyarakat, maka celah politik uang atau ‘money politics’ akan semakin sempit. Dengan demikian tidak ada lagi masyarakat yang bersedia menerima uang 500 ribu rupiah untuk memilih salah satu calon. Bagaimana mungkin suara pemilih dihargai 500 ribu rupiah untuk lima tahun, yang artinya hanya dihargai 274 rupiah per hari. Kalau saya menjelaskan ini ke tetangga saya di Sekayu sana, maka jawabannya adalah yang penting uangnya diterima dulu untuk beli beras hari ini, dan besok adalah urusan lain. Pembiaran ini adalah awal bagi penyelewengan kekuasaan oleh pemimpin daerah di kemudian hari. Karena merogoh kocek besar untuk menggelontorkan uang bagi pemilih, maka pemimpin daerah berpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi lain, kalau politik kita disandarkan pada prinsip etika publik, maka tidak mungkin mantan narapidana korupsi lulus dalam seleksi demokrasi. Kalau demokrasi kita dijalankan dengan berdasar pada cita-cita memperbaiki kondisi masyarakat, maka debat yang kita saksikan adalah debat berbobot, substansial, dan berkualitas, bukan debat remeh-temeh yang memalukan.
Kembali lagi ke potensi gagal panen di masa panen raya yang dijelaskan sebelumnya, saya sangat terganggu dengan pendapat bahwa demokrasi bukanlah untuk memilih yang terbaik, melainkan menghindarkan kita dari pilihan terburuk. Apa gunanya menanam banyak bibit buah dan buang-buang tenaga untuk berkebun kalau kita hanya berharap mendapat buah terbaik dari buah-buah paling buruk. Demokrasi harus dipahami sebagai sebuah inkubator politik yang ditujukan untuk melahirkan kandidat-kandidat terbaik di antara yang paling baik. Bukan sebaliknya, menyeleksi kandidat terbaik di antara yang terburuk. Dengan kata lain, siapapun yang akan jadi calon kepala daerah, maka wajib kita pastikan mereka semua adalah yang terbaik. Perkara siapa yang akan memenangi pertarungan, itu akan ditentukan oleh preferensi-preferensi yang berkembang di tengah masyarakat. Sampai pada titik ini, dengan tegas dan sadar saya hendak mengatakan, bahwa kualitas kandidat calon kepala daerah paralel dengan kualitas masyarakatnya. Kita tidak mungkin menunut pemimpin yang berkualitas manakala masyarakat tidak berkualitas. Dalam diskusi formal seperti debat pilkada, praktis kita tidak melihat adu argumen yang tajam dan konstruktif antar calon. Kondisi ini sejalan dengan debat di tengah masyarakat yang sarat dengan cacian, makian, hasutan, dan sentimen-sentimen negatif lainnya. Tentunya masyarakat yang saya maksud di sini adalah sesuatu yang berdimensi luas yakni siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses demokrasi itu sendiri, mulai dari partai politik, lembaga pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga independen, masyarakat selaku pemilih, dan seterusnya. Semua pihak bertanggung jawab atas kesemrawutan ini.
Pilkada serentak yang kita bayangkan sebagai angin perubahan kenyataannya memang hanya sebatas momen pergantian pemimpin, bukan pergantian nasib ke arah lebih baik. Dalam konteks demokrasi Indonesia, pergantian presiden menjadi penting karena ia berperan signifikan dalam menentukan derajat dan marwah kepemimpinan nasional. Namun dalam kondisi praktis dan implementatif, pergantian kepemimpinan nasional tidak berarti signifikan tanpa dukungan kepemimpinan daerah yang kuat. Pada titik ini, maka kita perlu memahami bahwa perbaikan demokrasi dan perbaikan kehidupan bernegara sejatinya harus didorong dari atas dan ditopang dari bawah. Kita mengumpamakannya seperti menyapu lantai dimana debu jatuh berguguran dari langit-langit rumah, perubahan yang tidak dimulai dari bawah sama halnya dengan membangun atap tanpa fondasi rumah. Tentu saya tidak berharap setiap calon kepala daerah mendengarkan lagu Wind of Changes, atau membaca buku Francis Fukuyama, tetapi saya menghendaki adanya kepemimpinan daerah yang kuat. Dan kekuatan kepemimpinan daerah bagi saya bersumber dari dua hal. Pertama, kekuatan yang datang dari interaksi luar yang melahirkan keluasan cara pandang, kekayaan referensi, dan kedalaman pengetahuan. Kedua, kekuatan yang datang dari dalam, yakni kekuatan yang tumbuh dari rasa prihatin, pengalaman internal, dan dari pengamatan langsung atas kondisi yang berkembang di tengah masyarakat. Kekuatan terbaik adalah kekuatan yang menggabungkan keduanya. Adakah calon kepala daerah yang demikian? Mungkin ada di beberapa tempat, namun itu tidak terjadi secara merata. Untuk menjadi kepala daerah di Indonesia kita tidak perlu berlaku adil, berintegritas, dan berwawasan luas. Yang kita perlu hanyalah keberanian untuk tabrak sana-sini, lobi sana-sini, dan tukar tambah sana-sini. Semoga angin perubahan itu kembali tiba di masa kesiapan tanam yang lebih matang. Semoga demokrasi suatu hari beroperasi di tengah masyarakat yang berdaya dan berkualitas.
[1] Kutukan kelimpahan atau paradoks kelimpahan merupakan hipotesis yang menganggap bahwa kepemilikan terhadap sumber daya yang berlebihan berbanding terbalik dengan kualitas pemanfaatan sumber daya tersebut. Dalam konteks negara misalnya, negara dengan sumber daya alam yang melimpah cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat demokrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Dalam konteks digitalisasi, ‘paradoks kelimpahan’ terjadi ketika banyaknya data yang tersedia menyebabkan kurangnya perhatian pada hal-hal substansial. Ketika orang-orang berjuang untuk fokus di tengah informasi yang melimpah, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan informasi menjadi semakin lemah.
0 notes
Text
Cerita Rakyat Malin Kundang | Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.
Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin kemudian tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut.
Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan dirinya dan anak tunggalnya
Saat Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan Malin untuk pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari demi hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut.
la selalu mendoakan agar anaknya selalu selamat dan cepat kembali. Beberapa waktu kemudian ketika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
0 notes
Text
"London"
Mall di tengah kota memang banyak godaannya. Selain karena event yang sering muncul tidak menentu, atau saat waktu bejo akan bertemu dengan acara yang menarik hati, semuanya ambigu. Siang itu penulis bertemu dengan seorang perempuan muda yang amat cerdas namun terlampau sangat sederhana.
Beliau adalah seorang S3, sangat amat sederhana dan deep tentang agama. Beliau tidak tampak suka menjudge, santai dengan alur, serta menghargai sekitar. Tipikal perfect wife-able. Kalau kata anak jaman sekarang, bisa dibilang pesona wanita matangnya sangat kuat.
Banyak penulis temui atau dengar cerita, bahwa perempuan pribumi bisa mendapat takdir berjodoh dengan pria mapan kelas internasional. Ya, itu benar. Bahkan dua dari rekan penulis adalah perempuan yang gila karir, maksudnya kurang peduli dengan dunia romansa kala itu. Dan Allah mempertemukan mereka dengan takdirnya di negara sebelah. Keduanya adalah peneliti, Bangkok dan Jepang. Indonesia dan Inggris. Masya Allah, mereka wanita hebat yang bukan sekedar dongeng. Mereka nyata, guys. Mereka nyata!
Bergetar sanubari ini saat mendengar kisah romansa mereka. Bawaan keibuan yang sangat kalem, tenang, dan berwibawa. Sangat cocok untuk mendapat jodoh sempurna bahkan diluar kemampuan fikir kita sendiri.
Ya Allah, begitu banyak kisah romansa cantik yang engkau tampakkan pada hambamu ini. Engkau mendengar cerita kecil dari salah satu makhlukMu yang lemah ini. Maka Ya Allah, dengarkanlah hambaMu ini. Engkau Maha Penyayang dan Maha Pengasih, wahai Maha Pembolak balikkan hati.
0 notes
Text
*Jerih Payah Kaum Sarungan yang hendak disingkirkan* *SANTRI, SELALU DIBUNGKAM* Mengapa kalangan muslim modernis (Muhammadiyah wa akhawatuha) dan kalangan sosialis (PSI) kecewa kepada kepemimpinan Presiden Jokowi? Dalam sejarah pertempuran 10 November 1945, awalnya tidak ada yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisan Prof. Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada. Bung Tomo yang berpidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan Mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa & resolusi jihad. Karena itu, banyak orang menganggap fatwa & resolusi jihad itu hanya dongeng dan cerita orang NU saja. “Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU,” itu kesimpulan seminar nasional di PTN besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia, pada 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang mereka menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah.” Aneh. Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi *bahwa sejarah ulama dan kiai memang sudah lama ingin dilenyapkan.* *Tahun 1990 ada peringatan 45 tahun pertempuran 10 November.* Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu, yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah. “Itu ceritanya, *10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy’ari dan para kiai.* Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?” begitu komentar Nyai Sholihah, ibu Gus Dur. Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur meminta klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar!” “Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya kepada Gus Dur. Gus Dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap bodoh oleh mereka. Tahun 1991 Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran di kalangan anak muda NU. *Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi.* *Semua diajarkan supaya tidak lagi dianggap bodoh.* *Dan kemudian berkembang hingga kini.* “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu, karena itu, agak faham,” kata Dr. H. Agus Sunyoto. Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, *Dr. H. Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson.* *Dalam tulisanya tentang penjajahan Jepang di Indonesia selama 1942-1945,* ia menulis begini: *”Pada 22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.”* *Peristiwa ini ada, sekalipun orang Indonesia tidak mau menulisnya karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah.* *Sejarah dikebiri.* *Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.* *Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan.* Ketika Indonesia pertama kali merdeka 1945, kita tidak punya tentara. Baru dua bulan kemudian ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon. A...
0 notes
Text
Warisan Budaya Non-Material
Warisan budaya non-material di Indonesia meliputi berbagai tradisi, adat istiadat, dan praktik budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini termasuk ritual dan upacara adat yang unik di setiap suku. Misalnya, upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja adalah upacara pemakaman yang sangat kompleks dan penuh simbolisme, sementara upacara Nyepi di Bali merupakan perayaan Tahun Baru Saka yang melibatkan berbagai larangan dan meditasi. Seni pertunjukan juga merupakan bagian penting dari warisan budaya non-material Indonesia, seperti wayang kulit, tari kecak, dan gamelan. Seni pertunjukan ini tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan nilai-nilai dan cerita tradisional. Selain itu, bahasa daerah dan sastra lisan seperti dongeng dan puisi tradisional merupakan bagian integral dari warisan budaya non-material. Bahasa-bahasa seperti Jawa, Sunda, dan Bali menyimpan kekayaan literatur dan tradisi lisan yang memperkaya budaya Indonesia.
𝐁𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐋𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚 : Klik disin
0 notes
Text
Talkshow Parenting Wardah Kendari: Meningkatkan Literasi Melalui Membaca Nyaring
SULTRATOP.COM, KENDARI – Brand Kosmetik dan Skincare Wardah Kendari, di bawah naungan PT Paragon Technology and Innovation, mendukung kegiatan peningkatan literasi melalui kerja sama sponsorship pada Sabtu (5/10/2024). Kegiatan yang disponsori Wardah Kendari ini diselenggarakan di Bank Indonesia Sulawesi Tenggara (Sultra) oleh Komunitas Kampung Dongeng Litari Sultra, berkolaborasi dengan Labirin…
0 notes
Video
youtube
ABC Records, Lembaga Humor Indonesia
00:00 Dongeng Tidur - Iwan Fales 06:15 Kopral - Iwan Fales 09:27 Ambulan Zig Zag - Iwan Fales 13:09 Joni Kesiangan - Iwan Fales
0 notes