musslimnavis
Gibraltar
36 posts
Ind.
Don't wanna be here? Send us removal request.
musslimnavis · 7 days ago
Text
Peliknya Jalan Demokrasi Kita
Muhammad Muslim – Perantau Sekayu di Jakarta “Bawalah aku menyaksikan mukjizat pada suatu malam yang mulia, dimana anak-anak bebas bermimpi di dalam angin perubahan.” –Klause Meine–
Sewaktu kecil, sekira kelas dua atau tiga madrasah ibtidaiyah, apa (panggilan saya untuk ayah) tidak hanya sekali atau dua kali bercerita tentang Tembok Berlin dan Perang Dingin. Saya menerima apa yang ia ceritakan tidak lebih dari sekedar dongeng belaka dengan membayangkan Tembok Berlin sebagai sebuah tembok raksasa nan panjang, sekat pemisah kehidupan malaikat dan iblis, yang mustahil ditembus dan dirobohkan oleh umat manusia. Dan Perang Dingin sebagai perang panjang mencekam antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, berlangsung di hamparan salju yang luas, tiada berujung tiada bertepi. Kendati hanya menerimanya sebagai dongeng semata, cerita ayah adalah sumber keingintahuan paling utama dalam hidup saya.
Saya tidak ingat kapan persisnya saya mendengarkan lagu Wind of Change dari Scorpions untuk pertama kalinya. Yang pasti siulan Klause Maine di dalam intro lagu itu memberikan nuansa magis yang begitu personal. Kendati begitu, sampai tamat sekolah menengah atas, Wind of Change bagi saya tidak lebih dari sekedar lagu rock barat yang enak untuk didengarkan. Barulah saya sadar sesaat setelah berkuliah di Semarang, kalau Wind of Change tidak lain adalah dongeng yang ayah ceritakan. Semenjak mengikuti mata kuliah pengantar teori hubungan internasional, setiap kali mendengar lagu Wind of Changes, dengan serta merta saya terngiang dengan Francis Fukuyama dan ayah. Kesannya memang cocokologi, tapi antara ayah, Klause Maine, dan Francis Fukuyama, mereka sama-sama menuturkan sebuah inti pesan, yakni perubahan.
Cukuplah dua paragraf di atas sebagai pengantar dari apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Sejak terbersit untuk menulis ini, saya senantiasa mencari cara dan berupaya menemukan akal agar pesan yang hendak saya sampaikan dapat diterima oleh pembaca yang beragam bentuknya. Olehnya, tulisan ini mengusung genre sersan (serius tapi santai). Serius karena memang yang akan dibahas adalah apa-apa yang menjadi pokok dalam bernegara, dan santai karena tulisan ini tidak ingin menempatkan pembacanya pada respons yang latah dan reaksioner. Sesantai ketika kita mendengarkan Wind of Changes, seserius ketika kita membaca nubuat Fukuyama dalam buku The End f History and the Last Man. Begitulah kira-kira.
Saya mengutip penggalan lagu Wind of Change di awal tulisan, untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa angin perubahan itu senantiasa ada. Robohnya Tembok Berlin pada 1989 disusul keruntuhan Uni Soviet pada 1991 yang menandai berakhirnya Perang Dingin, menghantarkan dunia pada demokratisasi yang seluas-luasnya. Sebuah fenomena yang sering disebut sebagai musim semi global. Yang Fukuyama maksud sebagai the Last Man jelas adalah demokrasi liberal itu sendiri. Dunia berakhir dengan kemenangan demokrasi, sehingga tidak ada alternatif lain di masa depan. Menyusul fenomena musim semi itu, Indonesia turut menghendaki adanya perubahan radikal dalam cara bernegara, sebuah momentum peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi liberal ala barat. Ketidakpuasan terhadap Soeharto akibat kebijakan yang dianggap beraliran Jawa Sentris dengan paradigma pembangunan sentralistis, berujung pada kemunculan gerakan pro desentralisasi yang mengusung semangat kedaerahan untuk memberikan kemandirian dan keleluasaan bagi daerah dalam mengoptimalkan potensinya, yang diujungnya diharapkan dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Gerakan ini menyentuh puncaknya pada 1999 ketika otonomi daerah resmi digalakkan dan berdampak pada terbentuknya provinsi, kabupaten, dan kota baru secara masif dalam waktu yang sangat singkat. Musim semi demokrasi pada level global dan negara pun berlanjut sampai tingkat daerah. Mencermati fenomena ini, maka sangat sulit bagi saya untuk membayangkan kalau Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Selatan sana, sebagai contoh, luput dari pengaruh atas apa yang terjadi dalam tatanan global.
Berangkat dari diskusi di atas, pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul desentralisasi sebagai bagian dari demokrasi akan mampu mengangkat derajat daerah sehingga pada gilirannya mampu memberi imbas pada perbaikan secara nasional? Atau secara lebih praktis, dari mana kita memulai langkah untuk mewujudkan kemajuan Indonesia? Dari level pusat bergerak ke level daerah (top down), atau dari daerah bergerak menuju kemajuan nasional (bottom up)? Kita akan mengurai jawaban atas pertanyaan ini dengan seksama dan sesingkat mungkin.
Daerah (baca: provinsi, kabupaten, dan kota) menjadi penting mengingat jumlahnya begitu signifikan. Di tahun 2024, setidaknya terdapat 38 provinsi dengan 416 kabupaten dan 98 kota di dalamnya. Dengan otoritas daerah sebanyak itu, Indonesia sebetulnya menghadapi apa yang disebut sebagai kutukan kelimpahan ‘paradox of plenty’.[1] Betul bahwa desentralisasi mendorong partisipasi daerah dalam menentukan agenda pembangunan nasional. Namun di sisi yang lain ia berpotensi menciptakan permasalahan yang kompleks seperti terjadinya kesenjangan pembangunan antar daerah, dan paling parah melahirkan oligarki-oligarki kecil di daerah, dimana raja-raja kecil dikepung oleh segelintir orang yang menguasai akses dan memonopoli sumber ekonomi. Asumsi ini paralel dengan tingkat korupsi yang terjadi di daerah. Sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2022, KPK telah menangani sebanyak 1.351 kasus korupsi, dimana 905 di antaranya merupakan korupsi yang terjadi di daerah. Kalau kita mengandaikan yang terjadi pada 1998 sebagai musim semi Indonesia, kapan panen raya akan terjadi? Maka jawabannya adalah di tahun 2024 ini. Walaupun kita dihadapkan pada suatu kecemasan kolektif, sadar atau tidak, apakah buah yang akan kita panen adalah buah dengan kualitas ekspor atau buah busuk yang bahkan tidak akan laku di pasar lokal. Kendati dihadapkan pada pilihan buah-buah busuk sekalipun, masyarakat terpaksa tetap harus ikut memanen karena tidak ada pilihan lain. Buah busuk yang dipanen kemudian dikonsumsi dan berimbas pada sakit pencernaan kronis yang menahun. Karena kita tidak melakukan pembibitan dengan baik, tidak menjaga kesuburan tanah, dan tidak merawat kebun dengan baik sehingga terjadi hama selama musim semi berlangsung, maka panen raya tidak menghasilkan buah yang berkualitas.
Paragraf di atas sekiranya adalah perumpamaan atas apa yang sedang kita hadapi saat ini. Panen raya yang dimaksud adalah pilkada serentak. 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota terlibat di dalamnya. Bisa kita bayangkan betapa mahalnya ongkos demokrasi untuk melaksanakan pilkada serentak ini. Namun, dengan merogoh kocek yang begitu besar, kita tidak mendapatkan buah dengan kualitas terbaik. Bagaimana mungkin mantan narapidana korupsi dapat melanggeng sebagai calon kepala daerah. Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin daerah gagap dan gugup ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan gender. Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah terbata-bata menyebut kata ‘digitalisasi’. Bagaimana mungkin calon kepala daerah harus membolak-balik catatan yang berlembar sebelum menjawab pertanyaan moderator. Bagaimana mungkin ada calon kepala daerah yang hendak berinovasi mengubah padi menjadi beras. Itulah yang saya temui sepanjang proses pilkada serentak 2024 berlangsung. Kadang saya bingung harus tertawa terbahak-bahak atau prihatin ketika menyaksikan potongan debat yang berseliweran di media sosial. Itulah fakta demokrasi kita yang tak mungkin disangkal.
Kondisi di atas disebabkan oleh persoalan multidimensional. Pendidikan demokrasi tidak berlangsung secara ideal, lembaga politik kita menaruh pertarungan politik sebatas hubungan transaksional, dan proses demokrasi kita dijalankan dalam roda pragmatisme. Apa yang lebih bahaya dari otoritarianisme adalah yang disebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Kita melaksanakan pemilu seolah-olah kita adalah negara yang demokratis. Padahal demokrasi kita ditunggangi oleh kepentingan oligarki, ditentukan oleh tangan-tangan tak terlihat, dan dilaksanakan sebagai alat tukar tambah keuntungan ekonomi. Kalau pendidikan demokrasi berlangsung ideal di tengah masyarakat, maka celah politik uang atau ‘money politics’ akan semakin sempit. Dengan demikian tidak ada lagi masyarakat yang bersedia menerima uang 500 ribu rupiah untuk memilih salah satu calon. Bagaimana mungkin suara pemilih dihargai 500 ribu rupiah untuk lima tahun, yang artinya hanya dihargai 274 rupiah per hari. Kalau saya menjelaskan ini ke tetangga saya di Sekayu sana, maka jawabannya adalah yang penting uangnya diterima dulu untuk beli beras hari ini, dan besok adalah urusan lain. Pembiaran ini adalah awal bagi penyelewengan kekuasaan oleh pemimpin daerah di kemudian hari. Karena merogoh kocek besar untuk menggelontorkan uang bagi pemilih, maka pemimpin daerah berpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi lain, kalau politik kita disandarkan pada prinsip etika publik, maka tidak mungkin mantan narapidana korupsi lulus dalam seleksi demokrasi. Kalau demokrasi kita dijalankan dengan berdasar pada cita-cita memperbaiki kondisi masyarakat, maka debat yang kita saksikan adalah debat berbobot, substansial, dan berkualitas, bukan debat remeh-temeh yang memalukan.
Kembali lagi ke potensi gagal panen di masa panen raya yang dijelaskan sebelumnya, saya sangat terganggu dengan pendapat bahwa demokrasi bukanlah untuk memilih yang terbaik, melainkan menghindarkan kita dari pilihan terburuk. Apa gunanya menanam banyak bibit buah dan buang-buang tenaga untuk berkebun kalau kita hanya berharap mendapat buah terbaik dari buah-buah paling buruk. Demokrasi harus dipahami sebagai sebuah inkubator politik yang ditujukan untuk melahirkan kandidat-kandidat terbaik di antara yang paling baik. Bukan sebaliknya, menyeleksi kandidat terbaik di antara yang terburuk. Dengan kata lain, siapapun yang akan jadi calon kepala daerah, maka wajib kita pastikan mereka semua adalah yang terbaik. Perkara siapa yang akan memenangi pertarungan, itu akan ditentukan oleh preferensi-preferensi yang berkembang di tengah masyarakat. Sampai pada titik ini, dengan tegas dan sadar saya hendak mengatakan, bahwa kualitas kandidat calon kepala daerah paralel dengan kualitas masyarakatnya. Kita tidak mungkin menunut pemimpin yang berkualitas manakala masyarakat tidak berkualitas. Dalam diskusi formal seperti debat pilkada, praktis kita tidak melihat adu argumen yang tajam dan konstruktif antar calon. Kondisi ini sejalan dengan debat di tengah masyarakat yang sarat dengan cacian, makian, hasutan, dan sentimen-sentimen negatif lainnya. Tentunya masyarakat yang saya maksud di sini adalah sesuatu yang berdimensi luas yakni siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses demokrasi itu sendiri, mulai dari partai politik, lembaga pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga independen, masyarakat selaku pemilih, dan seterusnya. Semua pihak bertanggung jawab atas kesemrawutan ini.
Pilkada serentak yang kita bayangkan sebagai angin perubahan kenyataannya memang hanya sebatas momen pergantian pemimpin, bukan pergantian nasib ke arah lebih baik. Dalam konteks demokrasi Indonesia, pergantian presiden menjadi penting karena ia berperan signifikan dalam menentukan derajat dan marwah kepemimpinan nasional. Namun dalam kondisi praktis dan implementatif, pergantian kepemimpinan nasional tidak berarti signifikan tanpa dukungan kepemimpinan daerah yang kuat. Pada titik ini, maka kita perlu memahami bahwa perbaikan demokrasi dan perbaikan kehidupan bernegara sejatinya harus didorong dari atas dan ditopang dari bawah. Kita mengumpamakannya seperti menyapu lantai dimana debu jatuh berguguran dari langit-langit rumah, perubahan yang tidak dimulai dari bawah sama halnya dengan membangun atap tanpa fondasi rumah. Tentu saya tidak berharap setiap calon kepala daerah mendengarkan lagu Wind of Changes, atau membaca buku Francis Fukuyama, tetapi saya menghendaki adanya kepemimpinan daerah yang kuat. Dan kekuatan kepemimpinan daerah bagi saya bersumber dari dua hal. Pertama, kekuatan yang datang dari interaksi luar yang melahirkan keluasan cara pandang, kekayaan referensi, dan kedalaman pengetahuan. Kedua, kekuatan yang datang dari dalam, yakni kekuatan yang tumbuh dari rasa prihatin, pengalaman internal, dan dari pengamatan langsung atas kondisi yang berkembang di tengah masyarakat. Kekuatan terbaik adalah kekuatan yang menggabungkan keduanya. Adakah calon kepala daerah yang demikian? Mungkin ada di beberapa tempat, namun itu tidak terjadi secara merata. Untuk menjadi kepala daerah di Indonesia kita tidak perlu berlaku adil, berintegritas, dan berwawasan luas. Yang kita perlu hanyalah keberanian untuk tabrak sana-sini, lobi sana-sini, dan tukar tambah sana-sini. Semoga angin perubahan itu kembali tiba di masa kesiapan tanam yang lebih matang. Semoga demokrasi suatu hari beroperasi di tengah masyarakat yang berdaya dan berkualitas.
[1] Kutukan kelimpahan atau paradoks kelimpahan merupakan hipotesis yang menganggap bahwa kepemilikan terhadap sumber daya yang berlebihan berbanding terbalik dengan kualitas pemanfaatan sumber daya tersebut. Dalam konteks negara misalnya, negara dengan sumber daya alam yang melimpah cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat demokrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih sedikit. Dalam konteks digitalisasi, ‘paradoks kelimpahan’ terjadi ketika banyaknya data yang tersedia menyebabkan kurangnya perhatian pada hal-hal substansial. Ketika orang-orang berjuang untuk fokus di tengah informasi yang melimpah, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan informasi menjadi semakin lemah.
0 notes
musslimnavis · 3 years ago
Text
Mereka yang Terkenang
Dalam kurun waktu tujuh tahun lebih, aku lebih banyak berjumpa dengan orang lain ketimbang dengan keluarga sendiri. Hari bisa dihitung dengan jari tentang seberapa banyak waktu aku menatap wajah kedua orang tua dibandingkan aku menatap wajah orang lain. Banyak dari mereka yang semula asing, sekarang menjadi teramat penting. Mereka adalah teman, sahabat, keluarga, dan orang tua baru dalam kehidupanku. Dalam tiga tahun terakhir, tentang orang-orang itu aku gambarkan cerita singkat kurang lebih begini:
Alm. Hari Evy Saepudin – Hari kedua on the job training, saya mencari celah keluar ruangan. Sedang ada permintaan data taraf mendesak dari salah satu divisi. Sebagai anak baru, melihat variabel-variabel data yang begitu banyak, membikin kepala menjadi sesak. Jangankan memenuhi permintaan data, istilah-istilah dasarnya pun aku tak paham. Saat itu, ruangan hanya menyisakan dua tiga orang saja termasuk Pak Hari. Kesempatan untuk menyelinap datang ketika waktu magrib tiba. Aku meraih tas dan berhasil keluar, lebih tepatnya kabur. Tanpa dosa, kejadian hari itu pun berlalu tanpa sekalipun Pak Hari menagih apapun. Jangankan menagih, menegur saja tidak. Padahal sebenarnya dia berhak dan mampu. Bertahun berinteraksi dengannya, aku menyadari bahwa yang Pak Hari lakukan kepada ku waktu itu juga ia lakukan pada teman-teman yang lain. Diam Pak Hari adalah berpikir, begini kesimpulanku. Kepalanya penuh dengan pertimbangan-pertimbangan, kehati-hatian. Dan semua itu adalah bentuk pedulinya kepada kami semua. Ia sulit mengungkapkan suatu hal, tapi aku mampu menangkap setiap bentuk kepeduliannya. Istirahat yang tenang di sana Pak, Al-fatihah.
Bu Suci – Mungkin manusia paling bahagia di muka bumi adalah mereka yang menjadi anak-anak Bu Suci. Bagaimana tidak, ucapannya; tindak tanduknya; gesturnya; adalah bahasa-bahasa kasih sayang yang begitu alami. Karena itulah, aku langsung menemukan sosok Ibu padanya segera setelah pindah ke Jakarta. Singkat waktu yang aku habiskan, tapi ingatan tentangnya begitu membekas. Darinya aku menarik satu hal yang aku tebal-miringkan dan garis bawahi begini:
“Orang yang singkat engkau temui, namun mampu menciptakan kerinduan mendalam pada batinmu, boleh jadi adalah orang yang paling menyayangimu.”
Bu Tuti – Saya pernah memutari Pasar Glodok sampai jantung betis terasa mau lepas dari tumpuan kaki. Kalau tidak keliru, ketika itu kami sedang mencari peralatan dan perlengkapan band yang akan diberikan kepada sebuah sekolah di Bandung. Bu Tuti dengan sigap memastikan daftar belanjanya terbeli tanpa ada satu pun yang terlewat. Kecekatan, keluwesan, dan gerak cepat orang seusia 50 tahun lebih seperti Bu Tuti betul-betul membuat minder seorang yang baru berumur 20an seperti ku. Yang Bu Tuti lakukan itu, adalah yang ia lakukan bertahun-tahun. Begitulah yang aku saksikan. Banyak orang bisa melakukan beragam hal, tapi sangat sedikit yang mampu konsisten, istikamah, dan berdaya tahan. Bu Tuti adalah bagian dari sedikit dari orang yang bisa melakukan itu.
Bu Hertin – 2019 adalah tahun yang berat dan kami menutupnya dengan memakan lemon, yang tidak hanya kecut di lidah tapi juga kecut sampai ke lambung. Dari sekian banyak orang yang melakukan tantangan memakan lemon itu, hanya ada satu orang yang mampu memakannya seperti meminum air putih biasa, tanpa ekspresi dan seperti tak merasakan kecut barang sedikit pun. Ya, kami mengenal tantangan ini dari Bu Hertin. Tentu bukan itu poin pentingnya. Setiap saat kita dipengaruhi oleh apa yang datang dari luar diri kita. Entah itu perlakuan baik maupun perlakuan buruk, ucapan baik maupun ucapan buruk, hal yang disengaja maupun tidak. Kita tak memiliki daya dan kuasa apapun untuk mengontrol semua yang datang dari luar tersebut. Semakin kita berusaha mengontrol sesuatu, maka semakin lelah yang kita dapati. Oleh karenanya, satu-satunya hal dan yang paling penting untuk kita lakukan adalah mengontrol diri sendiri. Tidak merasa suci karena dipuji, tidak merasa hina karena dicaci. Bertindak apa adanya adalah sesulit-sulitnya upaya. Dan aku mendapat pelajaran ini dari Bu Hertin.
Mbak Afifah –  Karena kesibukan dan banyak sebab lainnya, kita terkadang tak mampu merasakan perhatian dan kepedulian yang ditujukan pada kita. Cara dan penilaian kita pun dibiaskan oleh ketidakmampuan kita dalam melihat berbagai macam hal secara jernih. Agar berat suatu benda dapat diukur secara akurat, maka kita perlu melakukan apa yang disebut dengan kalibrasi, mengembalikan hitungan pada kondisi 0. Begitu pun cara kita melihat seseorang. Beberapa kali, aku mendapati Mbak Afifah menunjukkan bentuk kepeduliannya yang sama sekali tak pernah terlihat selama aku berinteraksinya dengannya. Dan kepedulian yang tak terlihat itu menimbulkan ingatan personal yang berkesan bagiku.
Mbak Tanti – Tak banyak yang berubah. Ucapan ulang tahun pada 2020 adalah yang akan ku sampaikan berulang. Aku percaya pada pepatah Inggris ‘the bird of the same feather flock together’. Burung-burung yang sejenis akan hinggap pada dahan yang sama. Dalam hidup aku meyakini, bahwa aku akan dipertemukan dan berkumpul dengan orang yang tepat. Setiap yang aku temui, selalu ku yakini sebagai perantara terhadap hal-hal baik yang akan datang pada kehidupanku. Tak ada yang paling signifikan memengaruhi ku dalam kurun waktu tersebut, kecuali Mbak Tanti. Darinya aku memahami kelembutan dalam bentuk yang berbeda.
Pak Teguh – Jumat adalah hari raya Pak Teguh. Tak ada yang paling indah selain suara sahut-sahutan bus di Terminal Pulo Gebang. Begitu aku coba membayangkan apa yang ia rasakan. Pernah kita mendengar cerita tentang Titanic, kapal megah yang tenggelam karena sebongkah es batu di lautan. Segala sesuatu yang besar dikontrol oleh hal kecil. Small things matter, seperti kancing di kemeja kita. Begitulah aku melihat Pak Teguh. Kesibukannya terhadap pekerjaan tak pernah sekalipun meluputkan ia dari hal-hal kecil. Yang ku lihat, ia rutin mengecek email masuk, mengerjakan e-learning, memenuhi berbagai hal rutin yang bagi kebanyakan orang mungkin menjengkelkan. Pak Teguh adalah orang yang paling memahami atas setiap yang ia lakukan.
Mas Henjun – Tak bisa membayangkan apa yang aku lakukan selama hampir 3 tahun tanpa perannya. Bagiku, apa yang telah ia lakukan adalah apa yang paling signifikan bagi kami. Selalu ada peran penting pada segala proses yang menyangkut pekerjaan divisi, end to end. Mas Henjun adalah master mind terhadap itu semua. Yang tak kalah penting, ia adalah lawan bercanda yang sepadan. Duduk semeja dengannya menjadikan kami sebagai kawan ngobrol yang intens menyangkut topik apa saja. Banyak terjadi kesepakatan, tapi perempuan adalah misteri paling rumit yang belum kami pecahkan hingga kini. Semoga kita mampu memecahkannya dengan jalan masing-masing.
Fahmi a.k.a Ambon – Banyak hal yang tak bisa ku sampaikan sampai akhirnya aku mengenal orang ini. Celetukan sarkastis ku dalam kurun tiga tahun terakhir, mati suri dalam sanubari. Ibarat bermain bola, tak ada striker yang mampu memanfaatkan umpan lambung menyilang ku di depan gawang untuk dijadikan gol. Dengan Fahmi, setidaknya ada yang mampu menyambut umpan-umpan silangku walaupun hanya sampai kemelut di depan muka gawang, tidak sampai berbuah gol. Golnya mungkin adalah ketika kita sama-sama sukses menjalani apa yang sebetulnya kita mau. ~Begini nasib jadi bawahan~ (dinyanyikan dengan nada Lagu Bujangan karya Koes Plus). Lagu kebangsaan kita setiap mumet karena pekerjaan. Mari hidupkan mimpi-mimpi itu kembali, Mbon!
Melisa – Pada suatu waktu yang belum lama ini, tanpa sengaja aku bertemu dengannya di kereta ketika pulang kerja ke Bogor. Kami sama-sama pejuang kereta Bogor-Jakarta newbie. Sebagai anak baru, pulang pergi Bogor-Jakarta adalah hal yang perlu penyesuaian ekstra. Cepat atau lambatnya penyesuaian berefek pada ritme kerja, berdampak pada kesehatan mental dan tentunya fisik. Aku saja lelah apalagi Melisa yang baru saja melahirkan. Dalam perjalanan kereta itu, aku semakin yakin bahwa setiap orang memiliki tantangan hidup masing-masing. Hanya saja taraf dan waktunya yang berbeda-beda. Ada yang telah melewati, baru saja menjalani, dan yang akan segera mengalami.
Dhano – Sulit bagi seseorang untuk menampilkan diri dengan apa adanya. Tapi tidak dengan Dhano, atau yang lebih akrab ku panggil Mas Dan. Detik pertama orang kenal dengannya, maka di detik itulah orang akan mengenal Dhano seutuhnya. Ia sejajar dengan superhero yang kita kenal, Spiderman, Batman, hingga Superman. Ketika ada seorang lelaki yang rela mengubur mimpinya karena kepentingan keluarga, maka ia adalah superhero sebenarnya. Mas Dan adalah salah satu diantaranya.
Wintara – Ingat dengan cerita kabur dari Pak Hari? Wintara adalah tandem ku. Prinsip kami kala itu adalah mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Prinsip ini adalah delik bagi kami agar bisa main futsal setiap Rabu malam atau Jumat pagi. Untuk menuntaskan pekerjaan dengan apik, maka jiwa raga harus dalam keadaan baik. Kalau ada yang bertanya tentang keberadaan kami, maka kami akan menjalankan strategi Peduli Lindungi, saling peduli saling melindungi. Alias saling berkilah, saling menjaga. Ketika tuntutan pekerjaan sebelum di mutasi makin berat, kami makin menguatkan kesadaran kelas.
Mbak Hero – Bagi yang belum mengenalnya, menatap matanya bagai menyusuri lorong penjara yang gelap dan mencekam. Tak ada pilihan lain selain menundukkan kepala dan menatap ubin dengan memperhatikan langkah kaki sendiri. Mendengar suaranya bagai seorang maling yang secara seksama sedang mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut hakim ketika membacakan putusan di pengadilan. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin intensnya interaksi, kesan tersebut perlahan berganti menjadi kenyamanan, keterbukaan, keriangan, dan segala sikap apa adanya. Saking nyamannya, aku pernah membuat grup whatsapp yang isinya hanya kami berdua. Itulah pelajaran pentingnya, bahwa kita kadang terlalu fokus pada apa yang tampak. Kita selalu gegabah dalam menarik kesimpulan.
Bella – Kami memulai perjalanan di sini di waktu dan dalam keadaan yang relatif sama. Baru lulus kuliah, pekerjaan profesional pertama, perantau, dan kesamaan lainnya. Satu kelas saat diklat, on the job training dan penempatan pertama di divisi yang sama. Kami melalui serangkaian fase tersebut bersama. Yang membedakan mungkin cuma satu, bahwa aku mampu memberikan kepastian, sementara Bella masih saja digantung oleh ketidakpastian. Ingat dengan cerita tentang Wintara sang tandem ku itu? Bella adalah salah satu bagian dari kroni kami. Selain seorang pendengar yang baik, ia juga adalah penjaga rahasia sekaligus penasihat yang apik.
Mas Urip – Selayak namanya, ia begitu hidup dan menghidupkan. Harus ada sentuhan tangannya agar setiap apa yang kami lakukan dapat diterima dengan baik. Apa jadinya apabila sebuah restoran menawarkan menu enak tanpa plating yang menarik? Itulah kepiawaiannya yang tidak kami miliki. Tanpa kehadirannya, kami hanyalah serpihan puing-puing puzzle yang berserakan tanpa bentuk. Tidak hanya menyangkut pekerjaan, Mas Urip bak pohon kelapa yang bisa tumbuh dimana saja. Ia pandai bergaul, luwes, dan pengayom yang andal bagi kami semua dengan gaya cueknya.
Mbak Nia – Kalau menatap mata Mbak Hero bagaikan berjalan di lorong yang mencekam, maka menatap mata Mbak Nia bagaikan berjalan di sebuah savana panjang. Di sepanjang perjalanan kita akan diperlihatkan pada keindahan-keindahan dengan sesekali mendengar kicau-kicau burung dari kejauhan. Pada matanya hinggap cahaya ufuk barat, pertanda gelap akan segera tiba dan kita pun akan melewati malam yang panjang. Begitulah Mbak Nia. Aku menghabiskan banyak waktu dan momen dengannya. Kehadirannya selalu mencipta suasana riang penuh gelak tawa. Dan kita harus siap dengan sepi ketika dia pergi.
Mbak Nana – Bagian terpenting di sebuah rumah adalah pintu. Olehnya Mbak Ratna menjadi begitu penting bagi kami semua. Segala hal yang sampai pada kami terlebih dulu akan sampai padanya. Tanpa kehadirannya kami hanyalah logika tanpa logistik, alias lo gila! Tak hanya itu, bagiku Mbak Nana adalah rumah itu sendiri. Ketika dihadapkan pada kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan, maka ia selalu hadir untuk menjawab itu semua.  Dan ia adalah alasan ku menulis ini. Tak ada satu pun yang akan melihat matamu yang berkaca ketika membaca ini. Jangan ditahan-tahan, ya.
Dika a.k.a Dike Bangke – Kalau menjadi anggota militer, maka kawan satu ini selamanya akan berpangkat sersan, serius tapi santai. Ia penganut asas tritunggal; seserius-seriusnya kerja, mari kita bercanda jua; alon-alon asal kelakon; dan kalau bisa nanti kenapa harus sekarang. Dika adalah sufi bagiku. Ia tidak pernah meletakkan dunia di tangannya. Runtuh langit sekalipun tak akan mampu mengusik dirinya. Apalagi kalau hanya sekedar telepon dari orang-orang yang gelisah menunggunya ketika hendak berangkat ke Puncak. Aku ingin menjadi Dika, yang hidup tanpa tergesa.
Pak Rully – Sangat singkat waktu bersamanya. Namun ada satu pesan yang sangat terngiang dan akan selalu ku ingat. Pesannya ku teruskan kepada kita semua, “Ketika berbuat baik, kebaikan belum datang, keburukan sudah menjauh. Ketika berbuat buruk, keburukan belum datang, kebaikan sudah menjauh”.
2 notes · View notes
musslimnavis · 3 years ago
Text
Akhlak Digital dan Batas Kemerdekaan Kita
Sangat sulit bagi kita untuk bersepakat dalam mendefinisikan dua hal berikut: kebebasan dan kemerdekaan. Meminjam definisi dari Kamus Oxford, kebebasan (freedom) bermakna the power or right to act, speak, or think as one wants.[1] Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah kekuatan atau hak untuk bertindak, berbicara, atau berpikir sesuai keinginan. Sementara kemerdekaan berarti bebas dari kendali luar; tidak tunduk pada otoritas orang lain.[2] Dari definisi ini kita dapat menarik setidaknya satu kondisi yang menjadi prasyarat untuk menentukan apakah seseorang bebas atau merdeka, yakni manakala orang tersebut bertindak sesuai keinginan dan atau bebas dari kendali luar. Kalaulah kita bersepakat atas definisi ini, mungkinkah kita bersepakat atas batasan-batasan kebebasan dan kemerdekaan kita sebagai individu? Terlebih ketika dihadapkan pada ruang interaksi sosial dimana terdapat batasan yang mengatur tata kita dalam berucap, bertindak, hingga berpikir. Siapapun bisa mengklaim bahwa ia adalah insan yang bebas dan merdeka. Namun, ketika dihadapkan pada fakta bahwa ia merupakan bagian dari sebuah masyarakat, lembaga, perusahaan atau institusi sosial lainnya, maka terdapat batas yang tak dapat dilampaui.
Mari kita coba formulasikan batasan kebebasan yang dimaksud diatas. Dalam menjelaskan ini saya akan memakai entry point pengeras suara. Misal begini: kita diperkenankan memutar musik sepanjang suara musik yang kita putar di rumah atau di meja kantor tidak mengganggu orang sekeliling kita. Dalam hal ini, tentunya kita harus mampu menyesuaikan atau setidaknya mengira-ngira (adjustment) seberapa keras volume pengeras suara sehingga tidak mengganggu orang lain. Kemampuan adjustment inilah yang kita umpamakan sebagai keypoint dalam menentukan batasan dalam berucap dan bertindak. Pada titik inilah akhlak kita sebagai insan yang beradab diuji.
Namun formulasi diatas tampaknya hanya efektif digunakan apabila penerapannya sebatas pada ruang interaksi yang sempit, yaitu ruang interaksi yang tidak lebih dari dua atau tiga orang dengan pokok bahasan menyangkut hal yang informal, sederhana dan dilakukan dengan cara konvensional. Bagaimana dengan ruang interaksi yang melibatkan sekumpulan orang yang terinstitusionalisasi di dalam sebuah lembaga formal seperti korporasi besar? Dengan topik bahasan yang formal dan didukung oleh teknologi digital? Pertanyaan kunci ini akan saya coba jawab dengan cepat dan singkat dalam tulisan ini.
Digitalisasi yang masif dalam semua aspek kehidupan menuntut kita untuk memiliki satu kompetensi penting, yaitu akhlak digital. Saya mempersempit bahasan pada ruang lingkup pekerjaan. Pada 2019 WHO mengembangkan pedoman diagnosa lebih lanjut terkait potensi dimasukkannya sindrom stres di tempat kerja ke dalam daftar resmi penyakit WHO.[3] Di tahun yang sama penelitian dari Savvy Sleeper menunjukkan bahwa 20 kota dengan tingkat kejenuhan tertinggi merupakan kota yang menjadi pusat industri atau perniagaan, salah satunya Jakarta yang menempati urutan keenam.[4] Hal ini sejalan dengan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebutkan bahwa globalisasi dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong stres kerja, merupakan fenomena besar, kompleks serta terjadi secara merata di seluruh penjuru dunia.[5]
Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi tentu kita sepakat bahwa banyak hal yang dulu mustahil namun dengan sangat mudah dapat dilakukan hari ini. Seperti contoh, rapat secara virtual yang dapat dilakukan dimana saja. Di saat yang bersamaan sebenarnya terjadi sebuah paradoks. Karena teknologi adalah alat, maka kehadirannya harusnya hanya sebatas mengubah tata cara kita dalam melakukan sesuatu. Namun yang terjadi ternyata menyimpang jauh dari itu. Teknologi berperan dalam mengacau-balaukan pola interaksi kita. Meja makan yang tadinya menjadi simbol eksklusivitas komunitas keluarga, telah diterobos sifat eksklusifnya oleh notifikasi pekerjaan di Whatsapp di luar jam kerja. Ketika seseorang sedang menikmati waktu bersama keluarga di malam hari, disaat yang bersamaan ia menerima telepon menyangkut pekerjaan.
Melalui dua paragraf di atas, saya mencoba mengajak kita semua merenungkan secara seksama batasan-batasan yang harusnya kita patuhi di era digital. Kebebasan dan kemerdekaan kita sebagai individu boleh diartikan sebagai kemampuan menempatkan berbagai macam hal tepat pada tempatnya. Jangan sesekali menaruh urusan pekerjaan kantor pada keranjang waktu keluarga di rumah. Apa arti kehadiran teknologi apabila kita tidak bisa membedakan lagi mana urusan profesional, mana urusan privat? Kapan waktu untuk memikirkan pekerjaan, kapan waktu untuk bersantai. Karena bagi saya, ada hal yang jauh lebih penting ketimbang digital mindset dan digital savvy, yaitu digital morals atau yang saya sebut dengan akhlak digital. Di samping menguatkan kemampuan digital, kita juga harus terus mengasah moral digital.
Referensi:
[1] https://www.lexico.com/definition/freedom
[2] https://www.lexico.com/definition/independent
[3]WHO. (2019). Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases. Dalam https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases, diakses pada 9 Agustus 2021.
[4] Savvy Sleeper. (2019). The Cities with The Highest Burnout. Dalam https://savvysleeper.org/cities-with-highest-burnout/, diakses pada 8 Agustus 2021.
[5] ILO. (2016). WORKPLACE STRESS: A collective challenge. Dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---safework/documents/publication/wcms_466547.pdf, diakses pada 9 Agustus 2021.
1 note · View note
musslimnavis · 4 years ago
Text
Kegamangan mengadu nasib pada setiap pergantian waktu
usai ufuk barat menghantar kita pada batas-batas mimpi
letakkan semua pengharapan kembali pada tempatnya
pada keadaan semula
matikan mata lampu hati
menarik rapat tirai nurani
mengurai yang tercampur aduk
yang terbenam lama pada palung jiwa
akan kita lihat
arah datang cahaya
secara lebih jernih
dan engkau meminta pada-Nya
hentikan waktu di sini
0 notes
musslimnavis · 4 years ago
Text
Berpacu dalam Wacana; Bagaimana Teknologi Memerangkap Manusia Modern
Industri 4.0 (interkoneksi mesin dan sistem) memburu manusia modern untuk berpacu dengan teknologi yang hasilnya berserakan dalam beberapa tahun belakangan. Ditandai dengan semakin masifnya penggunaan alat pembayaran digital, layanan publik berbasis elektronik, sistem informasi karyawan berbasis aplikasi, dan penerapan e-learning. Ragam inovasi dihamburkan untuk tujuan efisiensi dan produktivitas. Dan pada saat yang bersamaan yang kita saksikan justru kesibukan yang semakin menjadi-jadi. Kalaulah dikatakan banyak pekerjaan kantor yang sudah bisa dikerjakan dari rumah, rapat tidak berarti pertemuan fisik, belajar tidak perlu datang ke sekolah, ini semua tampaknya bukan wujud efisiensi. Karena efisiensi adalah ketepatan cara dalam menghasilkan sesuatu, maka inovasi harusnya mengurangi beban manusia atas tata cara yang salah dalam menghasilkan sesuatu. Dengan inovasi (penerapan cara-cara baru dalam berbagai kegiatan manusia) harusnya pekerjaan manusia semakin sederhana, bukan sebaliknya. Pada pengantar ini saya hanya ingin menekankan bahwa cara pandang yang salah dalam melihat inovasi hanya akan melahirkan beban (dalam keadaan tak sadar terjadi eksploitasi).
Kesimpangsiuran industri 4.0 coba dibaca secara seksama oleh Shinzo Abe melalui gagasan industri 5.0 yang ia kemukakan dalam Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss. Kendati gagasan tersebut sarat dengan konteks ekonomi, setidaknya Abe berhasil menyirat satu persoalan krusial, yakni gap antara perkembangan teknologi dengan persoalan sosial. Olehnya lubang menganga tersebut coba ditambal dengan wacana industri 5.0 yang bertumpu pada interkoneksi manusia dan mesin. Pesan sederhananya adalah, jangan sampai pacuan teknologi justru menambah panjang deretan persoalan manusia modern. Apa saja persoalan kita hari ini? Sudahkah tepat respons kita terhadap persoalan itu? Dan apakah wacana demikian benar-benar diperlukan?
Mengutip dari World Health Organzation (WHO), pekerjaan yang sehat adalah pekerjaan di mana tekanan pada pekerja seimbang dengan kemampuan dan sumber daya mereka, dengan jumlah kendali yang mereka miliki atas pekerjaan mereka dan dengan dukungan yang mereka terima dari orang-orang sekitar. Karena kesehatan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, tetapi keadaan positif dari kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap. Beranjak dari pengertian ini, mari kita cermati bagaimana sebetulnya kondisi kesehatan mental manusia modern. Seberapa lengkap dan baik keadaan sosial yang mereka jalani? Dan paling penting, adakah teknologi memengaruhi keduanya?
Pada 2019 WHO mengategorikan kelelahan akibat stres kronis di tempat kerja sebagai sindrom yang dapat didiagnosis. Olehnya kondisi ini telah ditambahkan ke dalam daftar kompilasi penyakit resmi WHO. Di tahun yang sama Savvy Sleeper melakukan riset untuk menentukan kota-kota di dunia dengan tingkat kejenuhan di tempat kerja tertinggi dan terendah dengan  69 kota dari 53 negara menjadi sampel analisis. Hasil riset menunjukkan 20 kota dengan tingkat kejenuhan tertinggi merupakan kota yang menjadi pusat industri atau perniagaan dunia, salah satunya Jakarta yang menempati urutan keenam. Hal ini sejalan dengan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebutkan bahwa globalisasi dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong stres kerja dan merupakan fenomena besar, kompleks serta terjadi secara merata di seluruh penjuru dunia.
Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi tentu kita sepakat bahwa banyak hal yang dulu mustahil namun dengan sangat mudah dapat dilakukan hari ini. Seperti contoh, rapat secara virtual dan sistem belajar daring yang telah disinggung di awal tulisan. Di saat yang bersamaan sebenarnya terjadi sebuah paradoks. Karena teknologi adalah alat, maka kehadirannya harusnya hanya sebatas mengubah tata cara kita dalam melakukan sesuatu. Namun yang terjadi ternyata menyimpang jauh dari itu. Teknologi berperan dalam mengacau-balaukan pola interaksi kita akhir-akhir ini. Demikian yang saya tangkap dari tulisan teman saya, Kevin. Ia mencontohkan bagaimana meja makan yang tadinya menjadi simbol eksklusivitas komunitas keluarga, telah diterobos sifat eksklusifnya oleh notifikasi pekerjaan di WA. Tak heran apabila 76% pekerja AS mengatakan bahwa stres di tempat kerja memengaruhi hubungan pribadi mereka. Ketika kita sudah ‘selesai di luar’, kita pulang ke rumah dan tak terganggu. Sekarang, tidak ada kata ‘selesai di luar’. Semua yang di luar ikut masuk ke dalam, terutama dalam krisis pandemi Covid-19 ini. Demikian Kevin menjelaskannya di awal pandemi Maret 2020 lalu.
Hal di atas menggambarkan kelatahan kita dalam memahami wacana industri 4.0, 5.0 dan entah industri koma berapa lagi yang dihamparkan pada kita ke depan. Kalau saja sedikit lebih cermat, tidak banyak waktu kita yang terbuang hanya untuk turut terlibat dalam inovasi teknologi yang tidak menyederhanakan pekerjaan apa pun dalam hidup, justru sebaliknya hanya membuat rumit dan melalaikan kita dari banyak hal pokok. Inovasi yang demikian, ditambah dengan kacaunya cara pandang dalam melihat kehadiran teknologi semakin membuat kita payah akhir-akhir ini. Seperti sebuah film yang menceritakan sebuah robot yang justru menjadi musuh bagi penciptanya sendiri, begitu pulalah teknologi memerangkap kita hari ini. Kehadiran teknologi sewajarnya mampu memangkas jam kerja, membuat para pekerja memiliki waktu lebih banyak di rumah, namun kenyataannya tidak. Yang dimaksud dengan efisiensi dan produktivitas sebagai muara teknologi hanyalah penambahan beban kerja yang melampaui kemampuan dan sumber daya pekerja, timpang dengan jumlah kendali yang mereka miliki atas pekerjaan mereka dan dengan dukungan yang mereka terima dari orang-orang sekitar.
Industri 1.0 hingga 5.0 dianggap sebagai sebuah jenjang perkembangan peradaban. Seolah variabel mutlak yang menjadi penentu kemajuan peradaban tiada lain adalah teknologi. Yang tidak melek teknologi dianggap ketinggalan zaman. Kalau begini, bagaimana dengan ratusan ribu hingga jutaan masyarakat Indonesia yang jangankan memiliki akses terhadap teknologi terkini, dialiri listrik dua jam sehari saja sudah syukur. Apa kabar anak-anak pelosok yang tidak bisa mengikuti kelas daring selama pandemi? Bagaimana dengan petani di desa yang masih menggarap lahan dengan alat-alat tradisional yang sederhana? Apakah mereka semua ketinggalan zaman? Teknologi telah gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini. Sebetulnya kita tidak berpacu dengan perubahan, kita hanya berpacu dengan wacana. Teknologi bukan hanya tidak mampu menyelesaikan banyak persoalan, tapi turut menciptakan persoalan-persoalan baru. Terkait ini saya akan membahasnya lebih lanjut dalam tulisan selanjutnya.
1 note · View note
musslimnavis · 4 years ago
Text
Menggapaimu Sekali Lagi
Setiap menuju masa depan adalah perenungan panjang terhadap apa-apa yang lalu
Bercita sampai dituju, pernah berada di titik tertentu.
Hari terus berdiam dalam keadaannya yang tak menentu
Mata hati gagal menangkap serpihan kasih
Berlari pergi tetap jua disini.
Jakarta, 11.11.2020
0 notes
musslimnavis · 4 years ago
Text
Dahan yang Sama Itu
Sekira setahun yang lalu, aku menjumpai seorang perempuan. Tentang pertemuan pertama dengannya, ku ringkas begini:
Kursi dipojok ruangan yang ia duduki, dengan tajam sorot matanya, menahan langkahku untuk datang menghampirinya. Aku membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja. Beberapa orang mencoba menjebakku dengan menjelaskan tentang dirinya. Mereka gagal. Sedikitpun tak kuhiraukan ucapan tentang dirinya. Dari percobaan itu, yang ku tangkap hanyalah: Perempuan ini berbeda! 
Rasa penasaran tak lantas dan tak cukup mampu mendorongku untuk lekas mencoba mengakrabkan diri dengannya. Ku biarkan mengalir begitu saja. Aku percaya apa kata pepatah Inggris 'the bird of the same feather flock together'. Burung-burung yang sejenis akan hinggap pada dahan yang sama. Dalam hidup aku meyakini, bahwa aku akan dipertemukan dan berkumpul dengan orang yang tepat.
Pertemuan awal dan singkat itu berlalu begitu saja. Tanpa banyak obrolan dan interaksi yang cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Yang kuingat hanyalah tingkah jailnya. Aku tak cukup berani mengatakan kalau kejailan itu bagian dari rasa penasarannya terhadapku. Aku juga tak tahu apakah aku akan hinggap pada dahan yang sama. Sampai akhirnya hari ini, bahwa ternyata hampir setahun aku telah berkicau pada dahan yang sama dengannya.
Padanya ku sampaikan:
Terimakasih telah sudi berbagi dahan denganku. Terimakasih telah mempercayakan banyak hal padaku. Terimakasih untuk semua. Ini kartu ucapan ulang tahun yang pertama dariku. Akan ada ucapan kedua, ketiga, dan seterusnya. Aku ingin selalu menyayangimu, Mbak Tanti.
Jakarta, 28.8.2020.
Tumblr media
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Seorang anak manusia senantiasa berdiri pada satu poros kehidupan, yaitu proses hidup. Layaknya sedang bepergian, kita berjalan dengan setumpuk daftar tempat yang akan dituju. Bedanya, dalam perjalanan hidup, kita tak selalu tahu arah mana yang kita tuju ke depan. Kita boleh saja berencana, menginginkan kehidupan yang seperti ini, seperti itu. Berkeinginan memiliki ini, memiliki itu. Kita berhak berusaha untuk mewujudkan semuanya. Tapi, apakah tujuan dari perjalanan kehidupan adalah selalu tentang mewujudkan semua keinginan?
Kehidupan kita seolah-olah selalu dikejar oleh waktu, diburu oleh keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak datang dari hati yang paling dalam, melainkan dari dunia luar yang memengaruhi kita. Kita senantiasa diganggu oleh anggapan-anggapan orang terhadap diri kita. Harus begini, harus begitu. Sampai pada akhirnya kita sadar bahwa tak semuanya harus diraih. Tak semua yang kita inginkan adalah semua yang kita butuhkan. Tak semua yang menilai betul-betul mengerti dan peduli terhadap kita. Jadi, terus saja berjalan dan yang paling penting, menikmati perjalanan.
Sebab Mia. Di usiamu sekarang, kamu benar-benar berpacu dengan banyak hal. Seolah-olah segala pertanyaan harus dijawab sesegera mungkin. Dalam keadaan ini, satu-satunya hal yang paling kamu perlukan adalah menikmati kehidupan dengan tidak terburu-buru.  Don’t let anyone rush you by their timeline. Everything happens at their own pace. They have their own time and clock and so do you. Jadi, bersabarlah.
Selamat ulang tahun Mia. Ini kartu ucapan kedua di tahun kedua aku menyaksikan pergantian usiamu. Dan semoga ada ucapan ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Tetap teruslah jadi diri sendiri.
Jakarta, 17.5.2020.
Tumblr media
2 notes · View notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Dalam Suasana Krisis (Covid-19): Mengapa Data Menjadi Tidak Berguna?
Jauh sebelum Covid-19 merebak di Indonesia, keberlangsungan hidup kita senantiasa bias data. Dalam pelbagai soal, baik yang menyangkut interaksi kita sebagai warga negara, atau lebih jauh kita sebagai entitas yang berpotensi diuntungkan sekaligus dirugikan oleh kebijakan pemerintah, data tidak pernah betul-betul diperhitungkan secara benar. Ia dominan dipengaruhi intensi interaksi. Begitu pula dengan cara kita meresponnya.
Dalam berbagai taraf dan derajat, tanpa memperhatikan kelas dan strata sosial suatu individu maupun kelompok mana pun, kita dapat menemukan fenomena ‘pemerkosaan data’. Suatu tindakan seseorang dalam mencaplok sebagian data yang mampu mendukung presumption-nya dengan mengabaikan data terkait lain yang relevan. Pemerkosaan ini dilakukan oleh, dan mulai dari para pelaku debat politik warung kopi, mahasiswa, prajurit tagar Twitter, bahkan seorang profesor sekalipun. Kendati demikian, kita tidak lantas dapat menyimpulkan tindakan ini sebagai sebuah kesalahan. Meminjam basis pemikiran Robert Cox, tokoh mahzab kritis yang terkenal itu, theory is always for someone and for some purpose. Di Twitter misalnya, ruang publik yang oleh sebagian orang menganggapnya sebagai tempat paling tepat untuk kuat-kuatan data dan argumen, justru menjadi ladang bagi berkembang biaknya tindakan demikian. Perang tagar, yang sering kita saksikan dari pertikaian dua belah kelompok, mengindikasikan ada kegagalan kita dalam menggunakan data dengan benar. Perang tagar soal fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi contoh. Ketika rupiah menguat, akun Twitter Revan (katakan demikian) berkicau dengan mengatakan, “Mana nih suara yang kemarin teriak-teriak rupiah lemah. Giliran naik aja pada diem!”. Di lain pihak akun bernama Gondrong-Gondrong Alim menimpal dengan unggahan gambar nilai terkini rupiah, “noh liat udah 15.764!”. Apa persamaan dari keduanya? Alih-alih menerangkan data dengan benar, Revan dan Gondrong hanya dan sama-sama bertindak reaktif dengan intensi yang sudah bias sejak awal.  
Pola interaksi kita diuji oleh penyumbatan yang demikian. Orang boleh saja mengatakan bahwa siapa saja berhak untuk berargumen, atau bahkan mengafiliasikan diri terhadap kecenderungan pada data tertentu, lebih-lebih argumen tersebut dibangun dalam sebuah ruang publik bernama media sosial hari ini. Namun data, kegunaannya tidaklah terletak pada seberapa kuat ia mampu membantah sebuah argumen, melainkan terletak pada seberapa tajam ia dapat dimanfaatkan dalam menjelaskan suatu fenomena. Tidak hanya sampai di situ, data harusnya dimanfaatkan untuk mencermati gejala dan propabilitas dari sebuah kejadian. Memetakan hal-hal apa saja yang memungkinkan terjadi ke depan. Tidak untuk mendapatkan kemungkinan terbaik, tapi guna menghindarkan kita dari skenario terburuk.
Pernahkah kita bertanya, apa gunanya sensus penduduk yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali? Patutkah kita ragu terhadap data dari hasil sensus kependudukan yang tahun ini anggarannya tembus 4 triliun? Dengan mengacu pada paragraf sebelumnya, kita dapat merunut jawaban atas pertanyaan ini. Data kependudukan cukup kita percaya sebagai sebuah deskripsi atau gambaran terhadap keadaan demografi. Namun ia tidak dengan seketika dapat dipercaya ketika dimasukkan dalam bagian dari pekerjaan merumuskan kebijakan. Ketidakpercayaan kita bukan terletak pada seberapa jauh data kependudukan tersebut valid dalam menerangkan kondisi demografi, melainkan seberapa jelih pemerintah menggunakannya dalam perumusan kebijakan. Misal, dari sebuah hasil sensus kependudukan, diterangkan bahwa di Kabupaten A terdapat 315.000 penduduk dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Hasil sensus kependudukan tidak berhenti begitu saja setelah informasi Kabupaten A diterangkan. Pekerjaan selanjutnya adalah mengamati dengan cermat ragam data seputar Kabupaten A, sehingga dapat diputuskan kebijakan seperti apa yang paling tepat bagi Kabupaten A atau kabupaten lain yang datanya identik dengan Kabupaten A. Begitulah gambaran krusial dari keberadaan data.
Beranjak pada percakapan tentang kondisi hari ini. Data bermanfaat untuk menganalisis pergerakan kriris. Kita sebenarnya dapat menekan laju penyebaran Covid-19 kalau saja kita cermat atas situasi yang terjadi di China diakhir 2019 lalu. Lampu kuningnya ketika di bulan Februari peneliti mulai mewanti-wanti bahwa Indonesia sangat rentan terhadap wabah ini. Pongahnya pemerintah mengakibatkan kita terseok-seok hari ini. Ulah kepongahan tersebut, data-data yang ada dan seharusnya berguna untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk tidak dapat diperhitungkan dengan tepat dan benar. Atau bahkan memang tidak pernah diperhitungkan sama sekali. Mari kita tilik. Jakarta Timur dan Jakarta Selatan menjadi kota administrasi dengan kasus positif tertinggi sejauh ini. penyebabnya tidak lain karena kedua wilayah ini bersinggungan langsung dengan kota-kota penyanggah Jakarta seperti Bekasi di Jakarta Timur dan Depok di Jakarta Selatan, kota dengan temuan kasus pertama di Indonesia. Dikutip dari LIPI, warga Bekasi dan Depok sama-sama menjadi pengguna moda komuter tertinggi setiap harinya, yakni sebesar 20 persen dari akumulasi pengguna moda transportasi lainnya. Data ini menjadi tidak berguna karena sedari awal pemerintah tidak pandai mencermati data tersebut. Padahal, pengetatan atau bahkan penghentian mobilitas penduduk dengan transportasi massal berperan penting dalam mengunci persebaran virus. Lebih parahnya lagi, menjelang lebaran pemerintah justru membuka kembali penerbangan ke luar Jakarta. Di titik ini, kita dapat melihat bahwa persoalan lebih penting yang kita hadapi bukan seputar kapan kondisi ini lekas usai, namun kapan pemerintah dapat menggunakan data dengan jelih agar kebijakan yang dibuat tidak ngawur.
Tumblr media
Penumpukan penumpang di terminal 2 Bandara Soeta. Sumber : https://travel.kompas.com/read/2020/05/15/064000927/cerita-penumpang-antre-lama-di-bandara-soekarno-hatta-petugas-bingung?page=all
Hingga kini, Indonesia pun belum memiliki kurva epidemi yang sesuai standar ilmu epidemiologi. Belum usai dengan satu persoalan, ketidakmampuan dalam membuat data persebaran virus yang sesuai standar, Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI malah saling menebar Psychological Warfare alias psywar melalui pola interaksi mereka yang sama-sama kacau. Parahnya, warga melalui ragam wadah media sosial ikut bertikai dalam perang psikologis tersebut. Melalui pantauan dalam beberapa hari terakhir, di Twitter kembali menyeruak kedua tagar antara #kamipercayajokowi dengan #janganpercayaboneka. Bukannya mengonfirmasi mana data yang benar, pola interaksi demikian hanya akan mengeruhkan kebenaran itu sendiri. Lagi pula, untuk apa kita percaya pada aktor yang tidak pernah memperhitungkan data. Apalagi kalau kita sendiri ikut terlibat dengan interaksi yang intensinya bias sejak awal. Eman-eman uang negara yang dikeluarkan untuk meriset sebuah data, seperti data sensus kependudukan tadi misalnya.
Krisis hari ini menjelaskan kepada kita kenapa data bisa menjadi tidak berguna, dalam situasi normal dan terutama dalam kondisi krisis. Sebagai sarjana sosial, ada keyakinan yang melekat pada diri ini, bahwa krisis memiliki manfaat terhadap keberlangsungan hidup manusia. Ia mampu mengangkat endapan-endapan yang lama tertimbun dalam struktur dan pola interaksi antar kelas sosial di kehidupan bermasyarakat kita. Endapan tersebut adalah bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Agar tidak meledak, yang lebih kita perlukan ternyata bukanlah data, melainkan berinteraksi di ruang publik dengan proper. Kita harus insaf sesegera mungkin, dan menyadari bahwa data hanyalah instrumen, sementara kebenaran adalah hal lain yang menunggu di depan. Yang lebih kita butuhkan bukanlah kemungkinan terbaik, tapi menghindar dari kemungkinan terburuk. Data not created in order to bring us to heaven, but in order to save us from hell.
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Mencermati Angan Bekerja
Ku kembangkan sepenggal sajak dari Devy Widya. 
Bulan Juni yang kering, 2019 lalu. Aku berada dalam sebuah ruang kosong. Di sudut ruang, yang kulakukan hanyalah mengarahkan pandang di jendela baris ketiga. Sambil menuding langit, aku ajukan pertanyaan. Apakah betul aku hidup dalam kehilangan?
Bulan Juli yang kian kering, 2019 lalu. Aku berada dalam sebuah ruang yang tak lepas dari bising. Di balik jendela kamar, yang ku lakukan hanyalah mematikan mata lampu. Sambil menerka labuh arah angin, aku ajukan pertanyaan. Apa yang telah hilang?
Bulan Agustus, 2019 yang mulai basah. Aku mencari ruang yang hening. Di ruang tengah, ku awali malam panjang dengan menutup jendela baris kedua. Sambil menantang cahaya lampu, aku ajukan pertanyaan. Jikalau ada yang hilang, ganti apa yang lantas akan datang?
Bulan September yang basah, 2019 lalu. Aku berada dalam sebuah ruang, kosong namun tak lepas dari bising meski sesekali hening. Kubiarkan jendela baris ketiga dan kedua terbuka. Tak kurelakan padam lampu di sudut kamar. Ku tinggalkan ruang tengah tanpa cahaya. Kali ini, aku enggan menuding langit, tak pula berani menerka arah datang angin. Tak ada pertanyaan malam ini. Yang ku mau hanyalah mempersingkat malam. Segala tak ku anggap ada, hilang menjadi tiada.
Bulan Oktober yang kian basah, 2019 lalu. Aku berada dalam sebuah ruang yang kedap suara. Ketuk jantung itu, persis tertangkap telinga. Empat kursi kosong, memutari meja kecil di tengahnya. Aku mendapati sesuatu yang hilang. Asbak kecil yang petang tadi ku bersihkan. Aku lekas keluar. Menyalakan lampu tengah dan menemukannya di antara sudut jendela kedua dan ketiga.
Bulan November, 2019 yang segera hilang. Aku berada di ruang tengah, lampu padam. Cahaya tipi menjadi sumber terang. Siaran malam itu bercerita. Anak desa memimpikan hiruk pikuk ibu kota. Anak kota mendamba tenangnya suasana desa.
Bulan Desember, 2019 benar-benar hilang. Aku berada dalam ruang yang luas. Dikepung langit ku ajukan pertanyaan. Bukankah keinginan lahir dari dua keadaan yang berseberangan?
Jakarta, 30.03.20.
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Sebagaimana Aziz
Sedikitpun tak berjarak dengan yang ku duga, sudah barang tentu kau akan mendahului kami. Telah ku pahami dengan amat, pernikahan tak ubah prasyarat untuk mengakhiri segala yang ses(a)at. Ijab dan kabul harusnya tidak lebih sakral ketimbang cinta yang mengabadi waktu. Ucap ‘sah’ saksi hanya menghalalkan hak dan membuka gerbang kewajiban yang jauh lebih besar. Tapi cinta, meniscayakan ketentraman jiwa. Untuk itu, sekalipun jangan tertipu dengan hal yang sifatnya sesaat.
Aku yakin betul dan akan selalu, bahwa keeratan jiwa selalu mengalahkan kedekatan raga. Aku tidak datang, namun bukan berarti tidak hadir. Berlaku demikian, karena ku tak tahu persis tentang apa yang harus ku ganjar dan ganti atas ketidak-datangan ku di hari berucap saksi itu. Kalau pun tahu, rasa-rasa, tak ada yang mampu menjadi alat tukar atas kehadiran orang terkasih di hari yang sesak dengan bahagia. Jikalau pun yang kau maksud begitu, maka izinkan aku hadir dalam curahan doa-doa. Ku tumpah ruahkan, dan semoga mendekap perjalanan panjang mu.
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Aku rebah pada tatap mu yang hening. Mengurungkan kata-kata yang sudah bermuara pada ucap. Memulangkan kembali ingin pada angan. Menunda pasti dan membiarkan mimpi. Aku hanya ingin rebah lebih lama lagi, pada tatap mu yang hening. Hingga gugur segala ingin.
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
Jalan Panjang
Kemenangan itu jalanan yang panjang, berjejal terjal. Dengan apa aku menuju kesana kalau bukan dengan kendaraan yang ku namai keyakinan. Onhoorbaar groeit de padie, tumbuh padi tanpa terdengar. Siapa dirimu, adalah mengenai apa yang benar-benar kau yakini.
0 notes
musslimnavis · 5 years ago
Text
I
Aku hanya ingin menjadi saksi pada setiap pergantian masa di mata mu. Pada dukanya waktu dan sukanya rindu.
Sebab, kau sudah ku anggap tepat, dan selamanya kamu akan tetap.
0 notes
musslimnavis · 6 years ago
Text
Mia
17 Mei, 25 tahun lalu, dunia bersukacita, seorang gadis kecil cantik terlahir.  Bertahun hidup dalam dekapan kasih sayang, gadis kecil yang tak lebih besar dari lingkaran tangan ayah bunda, tumbuh bersama harapan dan cita-cita. Hingga kini, harapan dan cita-cita itu tak kunjung pudar, makin melekat di pundak yang kian hari kian tegar. Gadis kecil yang sudah tumbuh dewasa, sudah mulai menjalani puasa jauh dari rumah. Namun ia tetaplah gadis kecil yang mungil dan lucu bagi ayah bunda, pulangnya dinanti-nanti ketika lebaran tiba.
Hari ini, ia bertemu dengan 17 Mei untuk yang ke-25 kali dalam hidupnya. Apa jadinya hidup bila hari ini tak jadi lebih baik dari kemarin dan esok tak jadi lebih baik dari hari ini. Sebagaimana pesan yang ku baca di sebuah novel, “don't just count your years, make your years count.”  Untuk itu, jadi lebih baiklah. Jadikanlah hidupmu lebih berarti. 
Selamat ulang tahun dari ku yang kebetulan jadi saksi pergantian umurmu tahun ini. Di hari mu yang penuh suka cita ini, aku tak berharap apapun melainkan yang terbaik bagimu. Ketika kamu merasa hidup makin berat, saat itulah aku berdoa agar pundakmu kian kuat.
Dear ones, Surabaya, 17.05.19
2 notes · View notes
musslimnavis · 6 years ago
Text
Tumblr media
Aku yang kecil itu
Sehampar cakrawala terbentang pada matamu yang linang. Tempatku datang menemui tenang. Terima kasih atas kesudian menemani, dan selalu ada disetiap pergantian masa hidup ku. Janjiku, akan ku bawa pulang, masa kau menimang-nimang aku yang kecil itu, aku yang tak lebih besar dari lingkaran lenganmu. Pada dekap tanganmu lah ku dapati damai dan tenang itu. Kau lah bukti bahwa sejatinya cinta itu ada, tiada hingga sepanjang masa.
1 note · View note
musslimnavis · 6 years ago
Text
Aku yang kecil itu
Sehampar cakrawala terbentang pada matamu yang linang. Tempatku datang menemui tenang. Terima kasih atas kesudian menemani, dan selalu ada disetiap pergantian masa hidup ku. Janjiku, akan ku bawa pulang, masa kau menimang-nimang aku yang kecil itu, aku yang tak lebih besar dari lingkaran lenganmu. Pada dekap tanganmu lah ku dapati damai dan tenang itu. Kau lah bukti bahwa sejatinya cinta itu ada, tiada hingga sepanjang masa.
1 note · View note