Tumgik
#bersemi
abidahsy · 7 months
Text
Februari: Kisah Lama Bersemi Kembali
Aku berniat menulis ini sejak pertengahan Februari, tapi urung karena masih menunggu kabar terbaru yang ternyata belum juga aku dapatkan sampai hari ini.
Di awal Februari, aku kembali teringat pada memori beberapa tahun lalu, di tanggal yang sama. Setelah beberapa hari memikirkan dengan hati-hati, aku pun mencoba memberanikan diri untuk bertanya: apakah dia yang jauh di sana masih sendiri?
Yang jawabannya masih misteri.
Hingga detik ini.
Hidup memang berwarna-warni, lengkap dengan apa yang ada dalam hati. Dulu hati bisa dengan tegas dan lugas bilang tidak pada seseorang ini, tapi siapa sangka tiga tahun kemudian rasa itu hadir lagi tapi berbeda versi.
Secara tiba-tiba dan tanpa permisi, menyelinap masuk ke dalam mimpi.
Meskipun aku akui bahwa kini tidak semudah dulu, aku tidak mau terlalu cepat menghakimi. Lebih banyak hal yang bisa disyukuri dibandingkan harus berandai-andai mengapa dulu aku begitu atau begini.
Andai lebih sabar sedikit lagi, mungkin kisahnya tidak akan seperti ini. Andai aku tidak pergi, lantas menyerah dan menyudahi, mungkin aku dan dia sudah saling membersamai. Tapi, ayolah, jangan sampai andai itu menjadi andai lagi di kemudian hari karena terjebak dalam salah langkah yang sama. Dulu dan kini tentu berbeda, aku masih punya kendali atas hari ini. Agar kelak aku bisa mengatakan pada diri: terima kasih telah bersabar tanpa batas dan berdoa tanpa henti terlepas dari apapun yang akan terjadi nanti.
Aku hanya ingin mengamini rasa ini sekaligus mengimani takdir apapun yang Allah beri.
Akhirnya aku kembali pada titik itu, kembali melihat ke arah dan manusia yang sama, meski dengan diri yang berbeda. Setelah melewati ratusan hari yang berliku tanpa ujung, aku memilih memutar balik. Menguji salah satu memori yang baik. Menunggu, menunggu, dan mensyukuri sekuat cita serta doa yang dia punya hingga mampu menggetarkan langit, menurunkan hujan, dan menumbuhkan kisah lama menjadi bersemi kembali.
8 notes · View notes
adi-fitri · 1 year
Text
"...bertahanlah sedikit lebih lama. Tumbuhlah liar serupa gulma"
Tumblr media
Efek Rumah Kaca - "Bersemi Sekebun feat. Morgue Vanguard"
Dari album Rimpang.
0 notes
wenty90 · 1 year
Text
Misteri Bunga Mawar: Keindahan yang Membuat Terpesona
Misteri Bunga Mawar: Keindahan yang Membuat Terpesona – Pesona Keindahan Bunga Mawar yang Menawan. Bunga mawar telah lama menjadi lambang cinta dan keindahan. Dengan kelopak yang halus dan aroma yang memikat, mawar telah memikat banyak hati dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi keindahan mempesona dari bunga mawar ini. Seri Warna Mawar yang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
nurunala · 3 months
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain. 
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta. 
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya. 
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku. 
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku. 
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa? 
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar. 
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang? 
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan. 
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA. 
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik. 
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau. 
“Kamu kan yang nyuruh?”  
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.” 
Kamu selalu begitu. 
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil. 
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?  
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial. 
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan … 
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing. 
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana. 
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini. 
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian … 
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu. 
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku. 
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu. 
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi. 
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima. 
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima. 
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi. 
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca. 
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.  
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan. 
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum. 
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?” 
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku. 
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel. 
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel. 
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat. 
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja. 
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona. 
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan. 
Abadi sebagai kenangan. 
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …” 
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil. 
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana. 
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung. 
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan. 
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi. 
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang. 
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
64 notes · View notes
andromedanisa · 8 months
Text
Dipuji cantik memang menyenangkan, tapi berkhidmat dalam ketaatan menjaga diri dari menampakkan diri dilaman sosial media jauh lebih menentramkan.
Tulisan lama bersemi kembali kepermukaan, dan ku tulis ulang untuk menasehati diriku sendiri. Bukankah yang menentramkan jauh lebih menenangkan? Maka ingat-ingatlah selalu wahai diriku..
128 notes · View notes
dipenakala · 10 months
Text
R.
Dulu rumahku pernah runtuh, hampir semua ruangannya berubah sesak dan sulit menyisakan napas untuk bergerak — hanya ada tempat untuk bertapak satu kaki yang masih mampu berdiri. Di luaran sana, waktu terus berputar, angin terus berganti arah, matahari dan bulan beredar sebagai mana mustinya dengan aku yang pelan-pelan bangun untuk beranjak.
Dunia tetap berjalan dan mungkin yang berat akan terus membebani pundak, tapi saat ini aku nggak takut lagi untuk berdiri karena aku nggak melangkah sendiri. Tanganku juga nggak menggenggam semuanya seorang diri sebab milikmu akan selalu ikut meneduhkan. Sekarang rumahku lahir kembali dengan pekarangan yang tumbuh dengan banyak bunga bersemi tanpa mengenal musim. Aku punya tempat bersandar yang bisa aku ajak berbagi, jauh lebih hidup, lebih bernyawa, dan lebih sejuk.
Barangkali bertemu kamu adalah wujud dari semoga yang nggak pernah aku harapkan sebelumnya. Seorang manusia yang datang mematahkan keraguan lalu tumbuh menjadi keyakinan di antara ketidakyakinan. Atau mungkin juga kamu adalah jawaban atas pertanyaan yang datang di saat-saat sunyi atau resolusi di luar rencana yang nggak pernah aku tulis dan amini untuk terjadi. Senin sampai Minggu bersamamu rasanya nggak akan cukup waktu dua puluh empat jam untuk bicara banyak hal dengan topik yang itu itu lagi. Manusia egois, dan aku pun demikian. 
Bisa nggak ya, aku minta waktu lebih banyak, setidaknya untuk bernapas sebentar supaya bisa terus jatuh cinta lagi setiap hari… sama kamu?
61 notes · View notes
itamarista · 4 months
Text
Hari-Hari Setelah Menikah
Betul, usia pernikahan kami memang belum genap sebulan. Betul, masa-masa sekarang adalah masa-masa yang indah sebagai pasutri baru, banyak kencannya, banyak manjanya, banyak manisnya. Betul, kami masih belajar untuk beradaptasi satu sama lain. Betul, kami sedang jatuh cinta, sedang romantis-romantisnya. Betul, kami sedang berjuang untuk saling atas banyak hal. Betul, kami sedang merawat rasa yang Allah titipkan kepada kami setelah ijab qobul terucap. Mungkin banyak yang melihat kami lalu merasa "nikmatin ajaaa awal-awal pernikahan, nanti juga ada masanya ....." (sebagian teks hilang) Apa iya semua pernikahan memang hanya indah di awal saja? Apa iya semua pasangan suami istri romantisnya hanya sebulan dua bulan saja? Boleh kah kami tetap husnudzon agar romantisnya terus berlanjut sepanjang masa? Boleh kah kami berdoa agar Allah menambah rasa cinta kami setiap harinya? Boleh kah kami terus optimis agar tetap manis seperti ini hingga akhir usia? Ya Allah, berikanlah taufiq dan hidayah selalu kepada kami agar cinta kami selalu bersemi setiap hari. Agar kami bisa terus menjaga bahtera rumah tangga ini bersama-sama. Dear Zaujiy, jazaakallaah khairan sudah senantiasa mengupayakan yang terbaik, sudah bersedia terus belajar untuk 'saling' dalam banyak hal dan selalu ridho untuk bekerja sama dengan baik sampai hari ini. Semoga seterusnya ya. Semoga Allah senantiasa menjagamu dan juga menjagaku dari segala maksiat dan dosa-dosa. Mari terus sama-sama minta pertolongan kepada Allah untuk memberi banyak kebaikan & keberkahan bagi kita. Jakarta, 28 Mei 2024 Seorang istri yang tidak sempurna, pasca 23 hari menikah
35 notes · View notes
mputraff · 1 year
Text
42
Aku bisa menjadi bulan bila kamu mau. Yang bentuknya bisa kamu atur sesuka hatimu. Kamu mau aku menjadi apa malam ini? Sabit atau Purnama? Keduanya sama-sama permai, sama-sama bersinar. Namun, bolehkah aku menemani malam—mu dengan purnama? Agar engkau bisa melihatku dengan bentuk yang sempurna. Selain itu, cahaya purnama lebih indah dari barisan bintang-bintang di angkasa. Dengan itu, aku bisa menerangi langit-langit kamarmu dengan binarku. Bila kau ingin pulang, sinar—ku bisa menerangi jalan agar engkau tidak tersesat di belantara gelap. Atau, bila engkau ingin berlabuh di malam hari, aku bisa menerangi bahteramu dengan cahayaku. Kamu tidak perlu takut lagi dengan gulitanya malam. Kamu juga tidak perlu meneteskan air mata karena malam yang kelam. Aku disini, selalu disini, menemanimu dengan cahaya. Rancaekek, bila bulan tidak bisa membuat namaku bersemi di hatimu. Aku harus menjadi apa?
114 notes · View notes
aaronitsme · 10 months
Text
it’s my day, dan terimakasih
Aku belajar banyak kali ini. Perlahan membentuk kebiasaan baik dengan menjadi identitas baru, ini tidak mudah, kenyataan banyak hari yang terlewat begitu saja tanpa ada kemajuan. Tapi kesadaran akan ketidaksempurnaan manusia menyelamatkanku dari keterpurukan. Aku juga mengerti bahwa perlahan itu tidak mengapa. Tidak semua pohon bersemi bersamaan. Untuk itu terima kasih. Aku sadar bahwa hubungan antar manusia tidak se-sepele itu kenyataannya, kedekatan kita kepada seseorang itu berpengaruh, lingkungan itu berpengaruh, relasi yg baik itu penting. Aku sadar akan hal itu dan terima kasih. Aku juga mengerti alasan kenapa seseorang begitu ter ombang-ambing dalam kehidupannya adalah karena mereka tidak memiliki ambisi dan tujuan. Aku sadar dan aku mulai menentukan tujuanku, goal yang harus ku capai, aku berharap hidupku mulai tertata. Dan terima kasih untuk itu. Aku mengerti bahwa pencapaian ada setelah pengorbanan, meski ini adalah kenyataan yang berat, aku berusaha berkorban demi merasakannya. Jangan merasa cukup dengan “gimana caranya” tapi lanjutkan “sampai mana prosesnya?”. Semoga berhasil.
Terima kasih.
14 November 2023 | 00.01 WAS
19 notes · View notes
kiai-cosmos · 5 months
Text
Kita seringkali membacanya dengan tergesa tanpa tau maknanya. Atau lebih sialnya, kita membacanya tapi tanpa iman yang telah bersemi didalamnya. Maka yang terjadi adalah kita akan mendapat bangku paling terakhir, dan umat yang akhir-akhir. 🌻
7 notes · View notes
gramabiru · 4 days
Text
gama
Di antara doa yang berbeda suara,
Ada cinta yang bersemi diam-diam.
Meski langkah kita menuju arah berbeda,
Hati ini tetap berbisik dalam satu irama.
Tangan terulur, meski ada batas yang tak terlihat,
Cinta tetap mengalir, lembut seperti angin.
Kita mendaki gunung perbedaan yang tinggi,
Namun cinta selalu menuntun, tak kenal lelah atau sunyi.
Ada doa yang kita ucapkan dengan bahasa yang tak sama,
Namun maknanya tetap satu: harapan dan rindu.
Dalam diam, kita berbicara melalui tatapan,
Mengisi kekosongan dengan kasih yang tak terucapkan.
Bukan keyakinan yang menjadi penghalang,
Namun dunia yang memandang dengan tatapan asing.
Tapi biarlah cinta yang kita punya,
Menjadi jembatan di antara jurang keyakinan yang memisah.
Kita mungkin tak selalu bersama dalam doa,
Namun hati ini bersujud pada cinta yang tulus.
Di antara perbedaan yang menyelimuti jiwa,
Kita temukan persatuan dalam kasih yang tak pernah pupus.
Jika cinta adalah cahaya,
Maka biarlah ia menerangi jalan yang gelap.
Meski kita berdiri di sisi berbeda,
Cinta tetap akan bersinar, melintasi ruang dan waktu tanpa batas.
Mamuju, 28/08/24
4 notes · View notes
anecdotesc · 21 days
Text
Dara nan berdikari menyambut di beranda suatu laman sarat narasi, senyum lantas mengembang nyaris semanis gulali.
Lihat jemari Nona yang lihai memainkan pena ‘tuk tumpahkan aneka ragam materi. Shanina Rushika tertulis apik di sampul halaman fiksi, penanda nama puan apik berseri. Warna-warna lembut serupa penghias halaman demi halaman yang tercetak secantik parasnya yang memikat seisi bumi, lakon atraktif bahkan tatkala ia tengah bergembira ria seorang diri tanpa seorang pun menemani.
Tumblr media
Huruf latin terpatri rapi, untaian frasa mengandung sejuta mimpi. Ia memang suka sekali menyusun rupa-rupa manifestasi. Sorot mata teduhnya mengiringi perjalanan yang hingga kini belum juga berhenti. Berbagi cinta serta kasih yang menyertai, gores tinta kelak terlukis abadi. Jauh di lubuk hati, gadis ayu merapal sepenggal harapan yang telah sekian lama bersemi. “Semoga pada akhir setiap kisah ini, akhir yang baik senantiasa menanti.”
Tumblr media
2 notes · View notes
wenty90 · 1 year
Text
Bunga Mawar yang Megah: Pesona yang Memukau Hati
Bunga Mawar yang Megah: Pesona yang Memukau Hati – Kecantikan Bunga Mawar yang Mengagumkan. Bunga yang indah ini telah lama menjadi simbol cinta dan kecantikan. Dengan kelopak lembut dan bau yang memukau, mawar telah memikat banyak hati dari berbagai penjuru dunia selama berabad-abad. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi keindahan mempesona dari bunga mawar ini. Ragam Warna Mawar Mawar…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
uhscloud · 26 days
Text
menua ≠ meneduh
mungkin kita pernah melihat, sebagian orang semakin mendewasa ketika usianya semakin senja. tetapi tidak sedikit juga kita melihat, sebagian orang justru semakin kekanakan meski usianya kian menyenja.
ada orang-orang yang memilih bertumbuh dan menua, dengan membawa serta hati, pikiran, dan perilaku terbaiknya demi menghasilkan tunas-tunas terindahnya. ada pula orang-orang yang memilih bertumbuh dengan membawa serta kemarahan, kekecewaan, kecanggungan, dan dendam-dendamnya, lalu menyemai tunas-tunasnya yang serupa.
lalu apa yang berbeda? keduanya mungkin sama-sama bertumbuh, bersemi, meranggas, lalu menua. yang berbeda adalah teduhnya. pada hati yang menua dengan bijaksana; barangkali kita memang tidak akan bisa dan tidak pernah pantas menerka soal kedekatan dengan TuhanNya, —tetapi kita akan bisa menemukan teduh pada setiap ucapan dan sikapnya; yang enggan meluap dengan arogan.
yang mana kita saat menua, adalah tentang apa yang kita biarkan ikut serta di dalam proses bertumbuh. karena menua tidak lantas menumbuhkanmu bersama teduh 🌹
2 notes · View notes
hafidhulhaqq · 2 years
Text
Ujian yang menyadarkan
Dalam kehidupan ini, sudah berapa kali kita menelan kekecewaan karena kegagalan? Mengerutkan senyuman menjelma getir kepiluan. Padahal, segenap upaya sudah di ambang maksimalnya, segala perencanaan sudah rapi di awalnya, pun berbagai pertimbangan sudah matang untuk sekian kemungkinan. Namun nyatanya, diri ini masih berat untuk sebuah penerimaan.
Sudah berapa sering kita dirundung penyesalan tersebab melewatkan banyak kesempatan? Mengambinghitamkan diri sendiri; meratapi setiap momen-momen krusial dalam hidup yang begitu saja terlewati. Bahkan, menghakimi keadaan sebagai satu-satunya yang pantas disalahkan.
Demikianlah serba-serbi kehidupan. Dan pada saat semua berada di titik terendah dalam hidupnya, kapan pun Allah selalu menyertai hambanya. Allah akan menambal hati  yang patah untuk kembali utuh, mengobati jiwa yang pilu untuk kembali sembuh.
Mungkin kita mengira; kita tahu segalanya tentang apa yang terbaik untuk diri kita, tapi kenyataannya kita tak pernah tahu apa-apa. Dia-lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk makhluk-Nya, termasuk kita. Serupa lentera, petunjuk-Nya menerangi gelapnya pandangan kita melihat kebenaran. Bagaikan rasi bintang, petunjuk-Nya mengarahkan kita pada satu pemahaman bahwa segala yang buruk di mata kita, ada beribu hikmah di baliknya.
Jika direnungi lebih dalam, tidak ada jalan yang dapat menyadarkan kita bahwa kita hanya seorang hamba yang pasti akan pulang dan kembali, kecuali dengan ujian berat yang sukar diarungi. Karena dengan ujianlah, selangkah kita menjauh daripada cinta terhadap dunia. Ketika rasa cinta kepada dunia bersemi di dalam hati, akan membuahkan ketakutan untuk menghadapi mati. Cinta terhadap sesuatu berbanding lurus dengan takut kehilangan sesuatu tersebut.
Di titik inilah kita menyadari; dunia tak akan pernah kita dekap sepenuhnya dan kita rengkuh seutuhnya. Selama ini kita hanya mengejar fatamorgana belaka, dan hanya menyia-nyiakan rasa lelah untuk sesuatu yang fana.
Semoga Allah selalu membimbing kita mengarungi kehidupan dengan segala lika-likunya. --- Solo, 13 Maret 2023
30 notes · View notes
pemerhatihikmah · 3 months
Text
Membutuhkan tujuan
Sesuatu yang sifatnya continue atau berkelanjutan biasa membutuhkan sebuah alasan. Karna dengan alasan itulah seseorang bisa merasa tanggung jawab dengan apa yang ia jalani, dan alasan itu biasanya menghantarkan pada sebuah tujuan akhir.
Dalam pekerjaan, dalam program pembelajaran, dalam berumah tangga, bahkan dalam segala aspek dikehidupan .
Seseorang agar mampu dan mau bertahan untuk terus bergulat dengan kerasnya kehidupan karna dia memiliki alasan yang kuat demi mencapai tujuan akhir yang tepat.
Mencapai akhir yang bahagia itu tidak mudah, mendapatkan husnul khotimah itu butuh perjuangan, pengorbanan dan kesetiaan.
Perjuangan untuk bisa istiqomah dalam ketaatan, pengorbanan untuk bisa menerima sebuah taqdir yang seringkali tidak sesuai dengan keinginan hati manusia, dan kesetiaan pada Allah ta’ala dalam keadaan apapun dan dimana pun.
Hal ini yang membuat aku berfikir bahwa sebuah pernikahan pun sama sifatnya.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang karna akan di jalani seumur hidup, sangat mungkin dalam perjalanan ada saja ujian yang dihadapi, lelah, suntuk, bosan, bahkan sampai merasa putus asa, meskipun dalam perjalanan juga pasti banyak bahagianya, senang2nya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga hal hal yang kurang enak di hati itu terjadi.
Maka pernikahan tanpa sebuah alasan dan tujuan yang jelas akan lebih rentan putus asa ketika dihadapkan dengan suatu ujian dan perasaan diluar skenario dan harapan.
Berbeda dengan mereka yang menikah dengan alasan dan memiliki sebuah tujuan akhir yang jelas, selalu ada alasan untuk mereka menjalani hari hari bersama, selalu ada kerinduan di saat ada jeda untuk bertemu, selalu ada usaha untuk mempertahankan, apapun ujiannya, apapun kendalanya, karna mereka percaya, tujuan akhir itu akan sampai dengan orang yang tepat, dan orang yang tepat adalah yang saat itu sudah Allah takdirkan untuk menemani perjalanan panjang ini.
Berjuang bersama untuk menghadapi segala situasi dan kondisi, berkorban demi kebaikan rumah tangga , istri suami ataupun anak, dan kesetiaan yang di jaga untuk satu nama dalam satu hati sampai Allah takdirkan cinta itu kembali bersemi di SyurgaNya nanti .
3 notes · View notes