#beraktivitas sambil berdiri
Explore tagged Tumblr posts
l-edelweis · 2 years ago
Text
Rahmatan Lil 'Aalamiin (1)
Mendengar cerita Elsa di sesi #menjemputhikmah kemarin, bikin aku inget lagi rasa waktu satu bulan menjadi muslim di Eropa. Di Lithuania.
Negara yang, jumlah orang Indonesianya cuma belasan aja. Kalau aku bilang aku dari Indonesia, orang-orang di sini selalu jawab, "You mean, Malaysia?". Nggak ada kedutaan Indonesia (karena jadi satu sama Denmark. Dan di Indonesia pun nggak ada kedutaan Lithuania). Termasuk, muslimnya yang sangat minoritas (atau bahkan over-minoritas) wkwk.
Gimana diri ini tuh rasanya kering banget karena enggak dengar adzan. Waktu ngobrol sama Elsa kemarin, aku jadi inget lagi gimana rasanya jadi manusia yang bener-bener 'kering' jiwanya. Kering banget karena bahkan buat sholat juga aku merasa struggling, enggak tau kenapa yah. Padahal kan itu rutinitas dan kewajiban. Harusnya yaudah, just do it. Mungkin, karena adaptasi waktu sholat yang cukup sulit buat aku.
Iya, adaptasi waktu kayaknya jadi PR banget buat aku waktu itu. Yang tentu saja merembet ke adaptasi waktu sholat. Waktu itu summer, jadi matahari bersinar sangat lama. Waktu sholat maghrib itu baru jam 10 malem (dan bumi baru bener-bener gelap jam 11 malem). Terus waktu sholat isya' jam 12 malem. Dan waktu sholat subuh (guess what) itu jam 2 pagi! Wkwkwk mau nangis waktu liat jadwal sholat di aplikasi Muslim Pro. Biasanya jarak isya ke subuh tuh luuaama banget kalau di Indonesia, ini cuma 2 jam! Gimana mengatur waktu ibadah dan istirahat dan aktivitasnya?
Waktu sholat dzuhur mulai jam 2 siang, dan itu adalah waktu dimulainya (banget) kelas sesi kedua dari program yang aku ikuti. Sedangkan waktu sholat ashar itu jam 5 sore.
Waktu itu aku berusaha sholat dimanapun aku bisa. Karena aku disana cuma satu bulan, jadi bawaannya itu selesai kelas aku mau explore sama temen-temen. Ke sana, kemari. Pergi ke sini, situ. Mengunjungi tempat-tempat yang menarik, nge-mall karena pengen ngerasain mall nya Europe (yang ternyata nggak lebih bagus dari mall di Indonesia). Jadi, mungkin bisa dibilang mayoritas sholat aku lakukan di kendaraan. Di bis. Atau juga di sudut-sudut tempat di mall. Atau juga di taman-taman kota.
Ya Allah, kalau ingat moment itu rasanya aku mau nangis. Aku jadi merasakan kembali bagaimana aku menyadari, kalau imanku ternyata masih sangat lemah. Ilmu agamaku masih sangat rendah. Aku belum berani sholat sambil berdiri (kecuali di asrama), karena aku belum siap kalau ditanya-tanya sama orang "Kamu lagi ngapain? Apa yang kamu lakukan?" di tengah-tengah aku ruku', atau sujud, atau saat sedang membaca Al-Fatihah. Jadi aku sholat di taman atau di mall itu sambil duduk. Buat 'menyamarkan' kalau aku sedang beribadah.
Aku inget banget, habis karyawisata ke kota lain, kalau nggak salah habis dari Kaunas. Kita jalan pulang sekitar jam 3 siang (iya, itungannya masih siang wkwk). Di perjalanan aku nyambi sholat dzuhur di bis. Terus temen sebelah aku, namanya Lumi, ngefoto aku pas lagi sholat. Lumi ini perempuan asal Kosovo dan temen sekamar aku di asrama. Habis selesai sholat dia memuji aku karena aku barusan beribadah. Ya sebenernya biasa aja, nggak sih wkwkw. Ya tapi ternyata it was amazing menurut dia.
Adaptasi sholat yang cukup sulit adalah sholat maghrib, isya, dan subuh. Memang biasanya kita (aku dan teman-teman yang suka explore) pulang balik ke asrama itu mungkin sekitar jam 8-9an gitu sih. Mungkin bisa dibilang, waktu 'senja' ya. Meskipun jam segitu tuh matahari masih bersinar cerah banget. Jadi sholat maghrib bisa di asrama. Cuma nih, menunggu 2 jam menuju sholat isya tuh masyaallah. Perjuangan banget, karena setelah seharian beraktivitas, dan itu kan udah masuk jam tidur ya. (mungkin aku akan cerita soal 3 sholat ini di lain sesi #rahmatan lil alamin selanjutnya. Karena aku masih sulit merangkai kata-kata buat menjelaskan betapa, yaallah imanku--imanku :""")
Waktu itu, ada titik dimana aku sempat bertanya-tanya, "Yaallah, apakah muslim bisa hidup di negara seperti ini? Di daerah seperti ini? Di belahan bumi-Mu sebelah sini?". Karena saat itu aku merasa, betapa sulitnya menjalani hari-hari sebagai muslim di sana. Mungkin karena cuma satu bulan juga, jadi kayak, adaptasinya belum selesai. Dan terlalu banyak yang 'ingin dikejar karena mumpung di sana' dalam satu bulan itu. Salah satu hal yang aku bayangkan adalah, gimana kalau ramadhan di sini terjadi saat summer?
Tapi sisi lain diriku, seakan-akan aku menjawab pertanyaanku sendiri. Islam kan rahmatan lil 'aalamiin ya. Rahmat bagi seluruh alam. Bukan cuma rahmatan lil Indonesia, atau rahmatan lil Arabiyah, atau rahmatan lil Malaysia. Islam itu rahmat untuk alam Allah. Yang meliputi langit dan bumi. Jadi dimanapun kamu berada, Allah ada disana. Islam bisa hidup di sana.
Iya. Jadi tinggal pemeluknya saja, manusianya saja, yang menjaga ke-rahmatan islam itu. Kemampuan untuk ber-islam. Mempertahankan identitas sebagai muslim. Dan rupanya, aku masih perlu belajar untuk itu.
Kayaknya aku pengen mengabadikan rasa-rasa yang aku rasa waktu itu disini. Supaya jadi catatan buat aku di masa depan, dan mungkin juga untuk yang membaca (kalau ada yang membaca, wkwk), siapa tau suatu hari nanti kalian berkesempatan tinggal di belahan bumi lain. Semoga tulisanku berpengaruh sesuatu.
Bismillaahhh. Soon another chapter of #rahmatanlilalamin
Kulampirkan beberapa foto di Kaunas
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
6 notes · View notes
ariekdimas · 2 years ago
Text
Bangkit
Tumblr media
Aku sadar keputusan berat ini harus diambil karena diriku tidak mau terpuruk terus dalam ketidakpastian. Tindakan amputasi pun akhirnya dilakukan. Pagi esoknya aku terbangun dengan perasaan berbeda. Kain putih rumah sakit menutupi kakiku. Aku menarik seprai dan melihat bahwa kaki kananku kini sudah tidak ada.  Setelah berpisah dengan kaki kananku, dokter menyarankan aku harus menjalani masa pemulihan di rumah selama beberapa bulan.
Tidak hanya pemulihan fisik yang aku butuhkan, namun juga pemulihan psikologis. Karena mentalku benar-benar sedang hancur saat ini. Bagai tersambar petir di siang bolong. Mimpi seorang remaja laki-laki itu untuk menjadi pesepakbola profesional kini kandas begitu saja.
Benar rupanya, manusia tidak sadar bahwa apa yang mereka punya begitu berharga sampai Tuhan mencabut nikmat tersebut darinya. Padahal hanya satu anggota tubuhku saja yang diambil, namun itu sudah cukup untuk membuatku tidak berdaya dan kehilangan tujuan hidup yang ingin aku capai selama ini.
“Arrgh! Mengapa harus aku yang mendapatkan musibah ini!?” Keluhku yang terbaring mengurungkan diri di dalam kamar.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu
“Mas Arga, Ibu izin masuk ya.”
“Kamu nggak mau keluar kamar? Belakangan ini Ibu perhatikan kamu sering murung. Ibu tahu pasti berat menerima keadaanmu saat ini. Tapi nggak baik loh kalau terlalu larut dalam kesedihan.”
“Iya Bu, ntah mengapa aku masih belum bisa menerima kondisiku saat ini. Rasanya sekarang aku udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi deh. Maaf ya bu, kayaknya Arga udah nggak ada harapan lagi untuk bisa ngasih yang terbaik ke Ayah dan Ibu.”
“Huss Arga! Nggak boleh ngomong gitu. Berputus asa nggak akan membawa kamu kemana-kemana. Kamu cuma kehilangan satu anggota tubuh, bukan berarti dunia  telah berakhir. Ingat tujuan mas Arga selama ini kan ingin bisa jadi juara.”
“Tapi bu, sekarang untuk berdiri saja aku kesulitan. Bagaimana mungkin aku bisa jadi juara?”
 “Seorang juara nggak melulu tentang kemenangan atau pencapaian sebagai sebuah keharusan, mas Arga. Tetapi tentang melihat apa yang ia dapat  tampilkan dengan sebaik-baiknya. Jadilah seseorang yang mampu mengendalikan diri dalam situasi apapun yang menekannya dan selalu bersiaplah dengan berbagai keadaan yang dialami. Baik itu yang dapat diprediksi hingga keadaan yang luar perhitungan. Inilah yang disebut sebagai mental juara.” Aku terdiam mendengar perkataan Ibu.
“Memiliki mental juara nggak hanya bagi orang-orang yang sedang menghadapi pertandingan atau perlombaan. Tanamkan dipikiran kamu bahwa kamu mampu, mas Arga. Ibu yakin kamu pasti bisa menghadapinya .” kata Ibu sambil mengelus kepalaku.
“Tapi bagaimana cara agar aku bisa menumbuhkan mental juara tersebut Bu?” tanyaku.
“Caranya, yakin pada diri sendiri. Tepiskan rasa pesimisme dari hati, dan hargai sekecil apapun prestasi yang kita raih.” senyum Ibu kepadaku.
“Kamu tahu, dari dulu Ibu sebenarnya sudah khawatir kalau mas Arga menjadi pemain bola. Karena kemungkinan cedera atau kecelakaan di pertandingan rentan terjadi. Tapi Ayahmu yang selalu menenangkan dan meyakinkan Ibu untuk tidak terlalu mencemaskanmu. Buktinya kamu bisa memenangkan berbagai liga sepakbola junior di sekolah. Pokoknya, Ibu akan selalu do’akan mas Arga yang terbaik.
Sejak dapat nasehat dari ibu, aku mulai merenung dan mencoba untuk menerima diri ini kembali. Ternyata sudah setahun aku ngendog di rumah aja tanpa melakukan apapun. Hatiku sudah lebih tenang sekarang. Mungkin ini saatnya aku mulai beraktivitas kembali. Aku pun mulai membiasakan diri menggunakan kruk agar bisa berjalan. Agak sulit memang, karena butuh mengatur keseimbangan biar stabil. Tapi lama-kelamaan mulai biasa untuk menggunakannya.
Keesokkan harinya rumah kami kedatangan seorang tamu. Ia adalah teman lamaku. Yaps benar, Rio mampir menjengukku. Sebelumnya  aku dengar kabar kalau dia masuk kedalam timnas U-17. Tim sekolah kami kalah dibabak final waktu itu, tetapi karena Rio dianggap sebagai salah satu pemain terbaik di turnamen tersebut maka dia mendapat kesempatan bergabung dari PSSI. Dia baru bisa pulang karena harus mengikuti Pelatnas (pemusatan latihan nasional) di luar kota selama satu tahun kemarin.
“Assalamu’alaikum Arga!”
“Wa’alaikumsalam Rioo..Apa kabar lo? Lama nggak ketemu.”
“Baik gue alhamdulillah. Lo sendiri gimana? Masih hidup aja lo Ga.”
“Hahaha sialan lo. Oh iya, ngomong-ngomong selamat ya Yo. Gue turut bangga lo bisa masuk timnas U-17. Seru dong nih bisa dilatih sama pelatih kelas internasional?”
“Rasanya bersyukur Ga bisa berlatih bersama tim professional. Tapi gue nggak  bisa masuk kalau tanpa lo Ga. Karena lo yang buat guee semangat dalam bermain bola. Jujur kesan combo dynamic duo kita udah lama nggak gue rasakan lagi. Andai lo bisa ikutan juga pasti akan lebih seru lagi rasanya.”
“Kelas Pro tekanannya lebih besar pasti. Lo harus membiasakan diri bertanding tanpa gue Yo. Dikondisi gue yang sekarang, gue nggak mikirin lagi untuk jadi pesepak bola.”
“Eh iya Ga, udah lama kan lo nggak main bola? Ikut gue ke lapangan yuk, kita main bareng!”
“Gimana caranya? Lo nggak lihat kondisi gue sekarang?”
“Bisa tenang aja. Lo cuma nggak pernah nyoba lagi aja.”
Aku mengambil kedua tongkat berjalanku dari dalam kamar lalu bergegas ke luar. Kami pun menuju ke lapangan dekat rumah, tempat kami biasa bermain bola waktu kecil. Senang sekali rasanya bisa berada di lapangan hijau kembali. Bau rumput lapangan ditambah dengan hembusan angin sore, melingkupi seluruh tubuhku.
Rio membawa bola dan kemudian mengopernya kepadaku.
“Coba oper bola nya kesini Arga. Gunakan tongkat lo buat tumpuan dan tendang.”
Aku lalu mencoba memposisikan diriku ke arah bola. Ku gunakan tongkat sebagai sandaran seperti yang Rio katakan. Kemudian aku condongkan badanku kebelakang dan menekuk kaki kiriku sedikit.  Lalu ku tending dengan kaki bagian dalam. Tendanganku agak meleset diawal Aku pun mencobanya kembali dan berhasil mengoper bola ke Rio dengan baik.   Di momen itu serasa ada energi bercampur rasa bahagia yang seakan terisi kembali dalam tubuhku.
“Haha lihat itu Yo! Tendangan super Arga kembali!”
“Tendangan super apanya, cuma operan biasa itu loh. Apa gue bilang kan, lo tuh bisa Ga! Sekarang kalau lo bosen di rumah coba main bola aja, biar biasa mainnya juga.”
Tak terasa matahari hampir terbenam. Waktu terasa cepat ketika bermain bola. Walaupun saat ini aku hanya bermain saling mengoper sebentar saja dengan Rio, tetapi itu udah cukup untuk membangkitkan semangatku untuk mulai bermain bola kembali.
(Bersambung) (c) Ariek Dimas
5 notes · View notes
horrorbanget · 2 months ago
Text
Permainan Sang Iblis 2
Matahari mulai terbit dari timur, bersamaan dengan langit yang mulai terang, cahayanya mulai menembus jendela. Pagi ini, pagi setelah peristiwa penghukuman, rasanya sangat sunyi namun juga tenang. Akibat dari pembunuhan yang dilakukan Iblis, penduduk di desa ini hanya tersisa belasan orang lagi. Bagaikan desa kosong terbengkalai, tidak seperti beberapa hari yang lalu, jalanan desa bahkan menjadi sangat sepi.
Disaat matahari mulai naik, jalanan masih saja sepi, tentunya karena jumlah penduduk yang berkurang. Hanya tersisa sedikit yang beraktivitas. Si Penyair sendiri memutuskan untuk melupakan kejadian sebelum-sebelumnya. Dan seolah tidak terjadi apa-apa, ia dengan suara merdunya membaca lantunan syair dengan lembut meski terpancar kesedihan.
Ada juga si Penari yang sudah siap menari di panggungnya. Kaki dan tangannya memang agak kaku karena sudah lama tidak menari. Meski begitu, ia tetap berusaha sekeras mungkin untuk menari dengan indah. Terukir kesedihan di wajah cantiknya, mungkin ia masih teringat dengan kematian beberapa penduduk.
Seperti biasa, si Pelukis yang antisosial dan apatis ini sibuk mencoret-coret cat di kanvas. Ia sama sekali tidak peduli dengan peristiwa pembunuhan beberapa hari lalu. Tangannya masih menggerak-gerakkan kuas seolah tak terjadi apa-apa. Di kuburan, hanya ada si Penjaga Makam seorang diri yang sedang menjaga kuburan seperti biasa. Daripada memikirkan peristiwa masa lampau, ia lebih baik melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Kemudian, di Gereja yang sunyi, hanya ada sedikit jemaat yang hadir. Si Pendeta berdiri di hadapan mereka sambil memimpin doa dengan tenang. Ia juga memberikan sedikit ceramah. Dan doa-doa mereka terjawabkan, setelah penghukuman, suasana desa kembali seperti semula. Para penduduk pun mencoba untuk melupakan kejadian itu dan fokus menjalankan kehidupan mereka yang sekarang.
Kebanyakan dari mereka menggelar pesta meriah untuk merayakan kemenangan. Mereka berhasil membawa cahaya harapan dan memusnahkan sang Iblis terkutuk. Semua orang bersukacita merayakannya. Mulai dari bernyanyi, menari, bahkan makan bersama-sama. Momen yang sangat membahagiakan.
Pagi ini bisa dibilang sebagai pagi yang cukup dingin. Cahaya matahari tidak dapat muncul sepenuhnya karena langit yang tertutup awan. Hari ini juga cukup sunyi, tidak ada burung-burung yang berkicau. Hanya ada beberapa orang sudah bersiap untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Namun sayang, seolah ditertawakan oleh sang takdir itu sendiri. Ditengah kesunyian ini, mereka menemukan mayat-mayat yang sudah dingin. Sama seperti peristiwa sebelumnya, mereka semua mati dalam keadaan mengenaskan. Mulai dari tulang-tulang mereka yang patah, anggota tubuh yang terpisah, atau bahkan darah yang menggenang.
Di antara tumpukan mayat itu, ada mayat si Pendeta. Ia mati dalam keadaan terduduk dengan luka tusuk di dada dan perut. Kedua tangannya terangkat seolah-olah sedang berdoa. Kasihan sekali, bahkan dalam kematian, ia masih sempat berdoa. Tapi kepada siapa? Apakah ia berdoa pada Dewa untuk memohon perlindungan? Ataukah… Ia berdoa pada sang Iblis untuk dikasihani?
Lonceng gereja yang berbunyi di pagi yang sunyi ini seolah mengawal roh si Pendeta menuju gerbang akhirat. Mungkin sekarang, Dewa sedang menertawakan perbuatan para makhluk fana yang bodoh ini. Karena pada nyatanya, sang Iblis belum berhasil dimusnahkan. Sekarang, ia masih bersembunyi diantara mereka.
Para penduduk yang tadinya merasa tenang dan aman kembali panik. Ternyata selama ini mereka salah. Kenyataan bahwa mereka telah menghukum orang tak bersalah membuat hati dan pikiran mereka dihantui rasa takut. Cepat atau lambat, sang Iblis akan membunuh mereka yang berjiwa kotor.
Kini hanya tersisa 4 orang di desa itu. Rasa takut dan putus asa kini memenuhi pikiran si Penari dan Penyair. Si Penjaga Makam hanya sibuk menguburkan jenazah, lagi-lagi ia harus berkerja keras. Sementara si Pelukis masih tetap tidak peduli, ia masih melukis layaknya tidak ada hal yang terjadi.
Hari-hari berikutnya mereka jalani dengan rasa takut. Harapan telah sirna dari desa ini, dan hanya menyisakan kehancuran. Tinggal menunggu waktu, cepat atau lambat, mereka semua akan mati. Saat ini, pasti sang Iblis sedang menyaksikan dengan tawa dan senyum kegirangan.
Desa kecil yang semula dipenuhi kebahagiaan, sekarang menjadi semacam desa mati yang terbengkalai. Atas keserakahan para manusia sendiri, Dewa seolah-olah meninggalkan mereka. Dan menyerahkannya pada sang Iblis. Meski begitu, jauh dalam lubuk hati, mereka ingin bebas dari penderitaan ini.
Puluhan orang tewas hanya karena permainan gila sang Iblis. Permainan yang membuat mereka menuduh dan menghukum satu sama lain atas dosa yang tak pernah dilakukan. Doa mereka tak pernah sampai pada Dewa, itu semua adalah usaha yang sia-sia.
Alangkah terkejutnya mereka kala melihat sesosok mayat pada keesokan harinya. Mayat ini bukan mati karena pembantaian Iblis. Tapi ia mati dengan menyayat urat nadinya, si Pelukis yang apatis mati dengan bunuh diri. Tergambarkan dengan jelas di wajahnya bahwa sebenarnya ia sudah putus asa dan lelah dengan permainan ini. Daripada mati dibunuh dengan mengenaskan, tampaknya ia lebih memilih untuk mati dengan caranya sendiri.
Di sebelah mayat Pelukis yang sudah dingin, terdapat secarik kertas bertuliskan sesuatu. Tampaknya ia meninggalkan surat wasiat bunuh diri. Surat itu sudah ternodai darah si Pelukis sendiri, dapat dilihat bahwa ia menulis ini dengan keadaan tangan yang berdarah-darah.
“CEpaT … SeLAMatkaN AKuu!”
“Apa-apaan ini? Kenapa si Pelukis sialan itu memilih untuk mati?” Ucap si Penjaga Makam yang kesal. “Yah, bukan berarti aku peduli sih. Lebih baik orang sepertinya mati daripada tidak berguna sama sekali.” Tambahnya. Ia tidak suka dengan si Pelukis yang selalu bertindak tidak peduli namun pada akhirnya malah mati bunuh diri.
Si Penari yang tidak terima dengan ucapan si Penjaga Makam mulai marah. “Tarik kata-katamu, kau tak berhak berkata seperti itu! Kita tidak tahu penderitaan macam apa yang dirasakannya!” Karena terpancing ucapannya, si Penjaga Makam pun menjawab. “Aku hanya mengatakan fakta. Lagipula untuk apa kau membela Pelukis bodoh itu?”
Lelah dengan penderitaan tanpa akhir ini, si Penyair juga kesal mendengar perdebatan mereka. Ia pun melerai keduanya dan berucap “Tenanglah kalian berdua. Lebih baik kita berhenti membohongi dan menuduh masing-masing. Jika kita terus bertengkar, bisa-bisa kita mati seperti yang lain.”
“Maaf… Ucapanmu benar. Tapi sekarang hanya tersisa kita bertiga, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghukum Iblisnya. Semakin sedikit yang tersisa, semakin besar kemungkinan untuk menebak Iblis yang bersembunyi!” Usul si Penari yang disetujui si Penyair. Tapi sepertinya, ada satu hal yang mengganjal pikiran.
Tiba-tiba saja si Penyair terpikir pemikiran gila yang mungkin saja masuk akal. “Tunggu dulu, bagaimana jika sebenarnya tidak ada Iblis?” Si Penari yang kebingungan pun bertanya “Apa maksudmu?” Dan dijawab si Penyair dengan gemetaran “Bagaimana jika semua ini ternyata hanyalah perbuatan seseorang agar ia bisa melakukan pembunuhan?”
“Maksudmu ada orang yang cukup gila untuk membuat permainan Iblis ini?” Tanya si Penari dengan tak percaya. Namun ucapan mereka lumayan masuk akal. Bisa jadi selama ini tidak ada Iblis, dan hanya ada seorang pembunuh yang bersembunyi.
Pembunuh itu membuat permainan gila atas nama Iblis dan membuat orang-orang percaya agar ia bisa melancarkan aksinya. Ia membuat semua orang percaya bahwa Iblis adalah dalang dibalik ini semua. Mungkin saja pelakunya adalah seseorang dengan jiwa kotor menyerupai Iblis. Tapi siapa?
Dipaksa menerima kenyataan bahwa mereka akan segera mati. Ditambah teori liar si Penyair bahwa sebenarnya tidak ada Iblis. Si Penari yang lelah fisik dan mentalnya memilih untuk beristirahat di rumah si Penjaga Makam yang hanya berjarak beberapa langkah. Ia tak memiliki cukup keberanian untuk menyaksikan pemakaman si Pelukis.
Kakinya berjalan lemah ke arah pintu dan membukanya dengan perlahan. Kemudian ia duduk di sofa ruang tamu. Tapi ada yang aneh, hidungnya mencium sesuatu. ‘Bau apa ini?’ Pikirnya dalam hati. Bau busuk yang menyengat indra penciuman ini berasal dari sebuah ruangan.
Bukannya si Penari bertindak tidak sopan di rumah orang lain. Tapi wajar baginya untuk merasa curiga setelah mengalami berbagai peristiwa pembunuhan. Meski sempat bimbang dan ragu. Ia menarik nafas dalam-dalam dan membuka pintu ruangan tersebut dengan perlahan.
Sesaat setelah pintu dibuka, ada bau busuk sangat menyengat. Tangannya refleks menutup hidung dan mulut. Matanya terbelalak kaget melihat pemandangan mengerikan. Si Penari seketika mendadak mual. Tubuhnya gemetaran dengan hebat.
Ruangan itu dipenuhi dengan mayat-mayat yang tergantung di dinding. Bagaikan hiasan, mayat-mayat yang tampaknya sudah diawetkan itu dipajang dan didandani layaknya boneka. Dinding kanan, kiri, bahkan atas, semua dipenuhi mayat. Ada mayat si Gadis muda, Ksatria, Pendeta, dan mayat penduduk lainnya.
Kaki si Penari mendadak lemas, tidak kuat melihat pemandangan dihadapanya. Ia pun terjatuh ke lantai. Dan dengan ketakutan, ia berteriak sekuat tenaga. Teriakannya yang menggema terdengar keluar. Si Penyair dan Penggali Makam yang khawatir langsung berlari melesat kearah sumber suara.
Begitu sampai disana, si Penari yang ketakutan, menangis gemetaran. Dan si Penyair yang baru saja sampai juga tidak mempercayai apa yang ia lihat sekarang. Ia hanya berlutut disamping si Penari, mencoba menenangkannya meskipun ia juga sama terkejutnya.
‘Orang gila mana yang mengoleksi mayat sebagai hiasan?’ Pikir mereka berdua. Sementara itu, si Penggali Makam hanya berdiri diam menatap mereka dengan tatapan kosong, kemudian dia tertawa dan menyeringai. “Ah gawat, aku ketahuan ya?”
Tawa si Penjaga Makam semakin keras. Sambil menatap mereka yang ketakutan, ia hanya tersenyum. “Kau… Dasar gila! Kau pikir mayat adalah hiasan?!” Ucap si Penyair dengan marah, orang yang sudah mati itu seharusnya dikuburkan dengan layak, bukan digantung seperti hiasan.
“Kalau iya kenapa?” Jawab si Penjaga Makam dengan entengnya. Disaat-saat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Si Penari yang tidak terima dengan perbuatan tak bermoral ini berkata “Sungguh menjijikan, ini sangat tidak manusiawi! Kau pasti pengikut ajaran sekte sesat!”
Dengan tatapan polos, si Penjaga Makam menjawab dengan wajah tanpa dosa. “Benarkah? Oh ayolah, aku hanya bersikap profesional. Tugasku adalah mencintai dan merawat orang yang sudah mati. Apa yang salah dengan itu?” Karena kesal, si Penyair langsung memegang pisau dan menodongkannya.
“Tentu saja salah, perbuatanmu yang menjijikan ini sudah menyerupai Iblis.” Tanpa bergeming sedikitpun, si Penjaga Makam tersenyum manis dan menjawab dengan santai. “Kenapa aku tidak diperbolehkan untuk mencintai mayat-mayat ini? Lagipula, dulunya mereka manusia juga, kan?”
“Sudah cukup! Berhentilah beralasan, dasar Iblis!” Si Penari langsung mengambil sekop disampingnya dan memukul si Penjaga Makam. Ia mencoba untuk menghindar dari serangan, namun sayang, keberuntungan tak akan pernah memihak Iblis terkutuk sepertinya. Pada akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri akibat terkena pukulan sekop si Penari.
Mereka yang tadinya bertiga, kini telah mengungkap Iblis yang bersembunyi. Setelah sekian lama, akhirnya permainan gila ini selesai dengan menyisakan dua orang. Mereka berdua menatap kearah sang Iblis yang tak sadarkan diri dengan tatapan marah dan benci. Sekarang, mereka dapat membalas perbuatannya.
Dan sesuai rencana awal penghukuman. Tubuh si Penggali Makam diikat pada batang pohon dan akan dibakar hidup-hidup. Si Penyair cukup kesulitan untuk mengikat tubuhnya pada batang pohon karena sekarang mereka hanya tersisa berdua. Dengan bantuan seadanya, si Penari pun mengumpulkan kayu bakar dan air suci.
Akhirnya permainan ini selesai. Meski tersisa dua orang, tapi mereka dapat membawa cahaya harapan dan mengusir kehancuran. Iblis terkutuk itu juga akan dihukum untuk membayar dosa-dosanya. Memang benar, Dewa selalu menjawab doa mereka dengan cara yang berbeda. “Oh Dewa, maafkanlah kami yang telah berprasangka buruk padamu…”
Mereka yang tadinya putus asa dan hampir keluar dari jalan keimanan, kembali bersyukur pada Dewa. Dewa mereka memanglah maha pengampun. Doa-doa mereka selama ini memang terjawab, namun dengan cara yang berbeda. Kini, desa itu kembali mendapatkan cahaya rahmat Dewa.
Dengan tatapan benci, si Penari hanya melihat penghukuman Iblis itu dari kejauhan. Bahkan saat dibakar hidup-hidup pun, si Penjaga Makam sama sekali tidak berteriak kesakitan, sungguh Iblis yang mengerikan. Tak lupa, mereka juga merapalkan doa-doa, memohon perlindungan. Setidaknya sekarang mereka berdua selamat.
Ketika matahari mulai terbenam, bersamaan dengan langit yang mulai berwarna oranye kemerahan, proses penghukuman selesai. Kini hanya menyisakan api yang belum padam. Warna langit dan api itu kini menjadi sangat serupa. Si Penyair dan Penari hanya menyaksikan dalam diam.
“Minumlah, setidaknya kita harus merayakan kemenangan.” Ucap si Penyair sambil menyodorkan jus apel. Si Penari tersenyum dan meminumnya. “Aku senang karena akhirnya Iblis itu musnah. Sekarang kita bisa bernafas lega.”
Malam ini, mereka berdua menghabiskan waktu dengan merayakan kemenangan. Saling tertawa dan bercanda bersama. Akhirnya mereka bebas dari jeratan permainan sang Iblis. Meski hanya tersisa berdua, setidaknya mereka dapat hidup bahagia dan tenang mulai sekarang. Dewa memang maha Penyayang.
Namun setelah menghabiskan jus apel yang diberikan si Penyair, si Penari merasa aneh. Tenggorokannya terasa terbakar dengan hebat. Beberapa saat kemudian, ia terbatuk-batuk dan mengeluarkan banyak darah. Seketika itu, tubuhnya terasa sangat sakit, organ dalamnya seperti dibakar.
Tubuhnya yang mungkin diracuni tak sanggup menahan rasa sakit. Si Penari langsung terjatuh lemas. Tubuhnya yang tumbang segera ditahan oleh si Penyair yang sigap menangkapnya. “A-apa… Apa yang terjadi…?” Ucapnya dengan lirih di pangkuan si Penyair.
Seketika mata si Penyair berubah menjadi merah darah, lebih tepatnya berubah menyerupai mata Iblis. Disaat itu si Penari sadar bahwa ia telah ditipu. Iblis itu tersenyum sadis kearah si Penari, dan dengan tatapan kasihan, ia berkata “Shh… Jangan khawatir, sekarang kau bisa beristirahat dengan tenang.”
“Kau…!!” Sayang sekali, si Penari tak dapat menyelesaikan ucapannya karena kondisinya sekarat ditambah tenggorokannya yang mungkin terluka parah karena racun. Ia hanya bisa menatap si Penyair dengan tatapan tak percaya. Ekspresinya menggambarkan rasa terkhianati dan amarah. Ekspresi yang dinantikan sang Iblis.
Sang Iblis terkutuk dalam wujud si Penyair hanya tertawa terbahak-bahak menatap si Penari. “Sejak awal Dewa tak pernah berniat untuk menyelamatkan kalian. Kalian makhluk fana pada akhirnya berakhir tertipu permainanku, sungguh menyenangkan. Sekarang tidurlah dengan nyenyak. Mimpi indah…”
“Terimakasih banyak atas hiburannya, wahai manusia. Tapi sayang sekali, dalam permainanku tidak ada yang diselamatkan. Semuanya harus mati.” Ucap si Penyair, atau lebih tepatnya sang Iblis. Ia menari-nari kegirangan sambil tertawa senang. Permainan kali ini sangat-sangat menghiburnya.
Untuk kesekian kalinya manusia ditipu oleh Iblis lagi. Dan pada akhirnya, dewa benar-benar telah meninggalkan mereka. Doa-doa dan usaha mereka tak pernah tersampaikan. Yang tersisa hanyalah tipu daya dan siksaan sang Iblis yang bermain dengan mereka. Tak ada satupun dari mereka yang selamat dari permainan gila ini.
Sang Iblis yang masih merasuki tubuh si Penyair mulai tertawa jahat. Ia sengaja berjalan melompat-lompat hingga kakinya terpeleset dan jatuh dari tangga. Tubuhnya yang berguling-guling mengakibatkan patah tulang. Dan lehernya tanpa sengaja tertusuk ujung payung yang runcing, seketika mengakibatkan pendarahan.
Si Penyair yang sudah terbebas dari pengaruh Iblis hanya bisa mengerang kesakitan. Tubuhnya mengalami banyak patah tulang, ditambah pendarahan di leher akibat tertusuk. Cepat atau lambat ia pasti akan mati kehabisan darah. Si Penyair yang mengetahui takdirnya hanya bisa meneteskan air mata dan berdoa mengharapkan keselamatan. Namun sayang, dalam permainan sang Iblis, semua orang harus mati.
“Sudah kubilang, kan? Tidak akan ada yang selamat.”
Tumblr media
0 notes
lily-difall · 4 months ago
Text
Do I Exist?
Tumblr media
Pernah dengar tentang kapan kalian menyadari kalau diri kalian ada dan hidup? Berdampingan dengan orang-orang, berpikir, bergerak, bermain, membaca dan menulis. Tidak banyak orang menyadari bahwa dirinya ada, bahwa mereka benar-benar berfungsi sebagai seorang manusia, sampai akhirnya di usia-usia tertentu mereka sadar bahwa mereka adalah anak kecil yang sedang bermain bersama kawan mereka yang lain.
Difall menyadari dirinya hidup, berdiri dan bernafas ketika seorang kawan, Dinka menanyakan agama apa yang dia anut, di umur 6 tahun. Difal saat itu kebingungan karena dia benar-benar tidak paham. Dinka bertanya lagi tentang apa yang ia pakai di hari jum’at, apa dirinya memakai pakaian yang menutupi kepalanya dan Difall baru menyadari kalau Mama memang suka memakaikan pakaian yang lebih sopan dan menutupi rambutnya.
“Emangnya kalau pake pakaian itu kenapa?” tanyanya dengan polos.
“Berarti kamu muslim!” Dinka berseru.
Dia sendiri kebingungan, jadi, hari itu Difall nggak menjawab apapun tentang pertanyaan Dinka, dia jadi pingin cepet-cepet pulang untuk menanyakan tentang apa agama yang keluarganya anut.
“Muslim, sayang.” Jawab Mama sambil merapikan baju, setelah Difall dengan kaki kotornya menapaki lantai rumah dan menaiki anak tangga untuk mencapai kamar orang tuanya. “Kamu ‘kan tiap hari Jum’at selalu pakai jilbab.” Lanjut Mama.
Difall baru benar-benar mengerti dan sadar kalau ia secara ada hidup di dunia adalah ketika ada di moment itu. Terlalu lama, ya, di usia 6 tahun. Tapi, kira-kira kawannya yang lain menyadari mereka hidup di usia berapa?
Difall penasaran tentang konsep Exist.
“Pernah dengar tentang are we exist or just live?” Tanya Difall ke Dinka—tentu saja ini saat mereka berada di SMP, kira-kira waktu itu di kelas 2 SMP.
“Karena tentu aja mereka berdua adalah suatu kata dengan arti yang berbeda, walaupun pasti kalau kamu akan ada untuk hidup, tapi kamu enggak harus hidup untuk ada. Seperti contohnya adalah Einsntein, kira-kira kapan Einstein meninggal? Okay, 69 tahun yang lalu, tapi ciptaannya terkenang dan banyak dimanfaatkan oleh orang-orang, iya, ‘kan?”
Dinka melotot. Ia baru paham dengan konsep tersebut.
“Kalau maksud just live itu gimana?” Dinka bertanya.
“Kayak hidup, kamu sekarang hidup, hidup itu apa?” Difall bertanya, yang dijawab dengan wajah Dinka yang melongo. “Hmmm…” Difall bergumam.
“Hidup itu kamu bernafas, kamu berjalan, beraktivitas, bermalas-malasan, bangun, tidur, sekolah, kayak ngejalanin kebiasaan.” Difall melanjutkan. “Tapi, ketika kamu ngebantuin aku ngerjain PR, ngebantuin temen-temen ngerjain tugas, ngebantuin Bu Guru buat ngambil keranjang bola, itu disebut exist!”
“Hah? Kenapa aku ngga disebut live?” Dinka penasaran.
Difall menggeleng. “Exist itu sudah satu kesatuan dengan live, ketika kamu cuman baring malasan-malasan dan engga punya tujuan hidup, kamu hidup secara pasif dan kamu ngejalanin yaudah karena kamu hidup aja dan kamu engga tau mau ngapain, kamu cuman disebut live aja, not exist, paham?”
“Oh…” Dinka mengangguk, diikuti dengan anggukan Difall sambil tersenyum. “Wow.” Lanjut Dinka takjub.
“Jadi, kamu lebih suka exist atau live?” Dinka bertanya lagi.
Difall mengerucutkan bibirnya. “Aku ngga tau, menurut aku sih, yang aku lakukan sekarang ke kamu adalah bagian dari apa yang kita lagi bahas, yaitu exist.”
“Oh, ya? Kenapa bisa gitu?” Dinka dengan wajah melongonya bertanya lagi. Difall hampir muram.
“Ih… capek banget jelasinnya.” Ujar Difall sambil ngacak-ngacakin rambutnya.
0 notes
reidocamarote · 1 year ago
Text
Granada Land - Harga Kavling Villa Eduwisata Ekslusif Tanjungsari Bogor
Tumblr media
Telah terjual lebih dari 2000 unit kavling, Granada Land Tanjungsari Bogor adalah destinasi investasi properti eksklusif yang terletak di kawasan eduwisata terbesar di Bogor Timur. Dengan luas mencapai lebih dari 40 hektar, Granada Land menawarkan berbagai pilihan kavling untuk memenuhi beragam kebutuhan Anda, termasuk Kavling Villa, Kavling Serbaguna, dan Kavling Jati.
Keindahan Alam yang Menawan
Terletak di kecamatan Tanjungsari Bogor, Granada Land menawarkan panorama alam yang menakjubkan. Anda akan dapat menikmati pemandangan pegunungan yang memukau, hamparan sawah yang hijau, dan sungai yang mengalir dengan jernih. Keindahan alam ini menjadikan Granada Land sebagai destinasi investasi yang sangat istimewa.
Investasi yang Aman dan Menguntungkan
Kavling villa dan kebun produktif di Granada Land adalah pilihan terbaik bagi investor yang ingin meraih keuntungan maksimal dari investasi properti. Selain legalitas dan perizinan yang lengkap, proyek kavling Granada Land juga telah berhasil memperoleh sertifikasi dari International Organization for Standardization (ISO), yang menegaskan bahwa proyek ini memenuhi standar global yang ketat. Dengan demikian, Anda dapat berinvestasi dengan keyakinan bahwa properti Anda di Granada Land adalah investasi yang aman dan menguntungkan sekaligus menegaskan bahwa Granada Land bukan penipuan
Fasilitas yang Lengkap
Granada Land juga menawarkan beragam fasilitas yang menarik untuk memenuhi kebutuhan penghuni dan investor. Beberapa fasilitas yang tersedia di Granada Land meliputi:
1. Masjid
Granada Land peduli akan kebutuhan spiritual penghuninya. Dengan adanya masjid di kompleks ini, Anda dapat menjalankan ibadah dengan kenyamanan dan ketenangan.
2. Aula Pertemuan
Untuk acara atau pertemuan bisnis, aula pertemuan modern dan nyaman tersedia untuk Anda.
3. Penginapan Villa
Jika Anda ingin menginap lebih lama, tersedia penginapan villa yang nyaman dan mewah.
4. Rekreasi Luar Ruangan
Granada Land menawarkan berbagai aktivitas luar ruangan, termasuk area berkemah, gazebo park, dan playground untuk keluarga Anda.
5. Aktivitas Petualangan
Bagi pencari petualangan, Granada Land memiliki area berkuda, memanah, wahana outbond, dan arena ATV. Nikmati sensasi petualangan yang tak terlupakan.
6. Eduwisata Kambing Perah dan Pertanian
Granada Land juga mengedukasi tentang pertanian dengan mengajak Anda berpartisipasi dalam aktivitas seperti melihat kambing perah atau membajak sawah.
7. Aktivitas Olahraga
Jangan lewatkan jogging dan sepeda track untuk menjaga kesehatan Anda.
8. Foodcourt
Nikmati berbagai kuliner lezat di foodcourt setelah seharian beraktivitas.
9. Wisata Sungai
Jelajahi keindahan alam dengan mengunjungi objek wisata sungai terdekat.
10. Spot Foto Instagramable
Bagi pecinta fotografi, Granada Land memiliki banyak spot foto yang Instagramable. Abadikan momen indah Anda di sini.
Harga Kavling yang Menarik
Harga kavling di Granada Land sangat menarik. Anda dapat memulai investasi dengan harga mulai dari Rp 60 Juta per 100 m², termasuk biaya pajak dan AJB notaris. Selain itu, tersedia juga kavling berukuran 60 m² dengan harga Rp 48 Juta, sudah termasuk biaya-biaya pajak dan AJB notaris. Dengan harga yang kompetitif, Anda bisa memiliki bagian dari keindahan Granada Land.
Zonasi Lahan Kavling yang Fleksibel
Granada Land berdiri di atas lahan zona kuning, yang berarti Anda dapat membangun bangunan permanen atau villa semi permanen di sini. Instalasi listrik dan penyediaan wifi sudah tersedia di Granada Land, memastikan kenyamanan Anda dalam beraktivitas.
Investasi Properti yang Luar Biasa Potensial di Granada Land
Granada Land Tanjungsari Bogor adalah tempat yang sempurna untuk berinvestasi dalam properti eksklusif sambil menikmati keindahan alam dan fasilitas luar biasa. Jangan lewatkan peluang emas ini.
Info selengkapnya: Granada Land
1 note · View note
lasealwin · 7 years ago
Text
10 Cara Merapatkan & Mengencangkan Daerah Kewanitaan Tanpa Obat - Memperkuat Otot Organ Intim Secara Alami, Mudah & Tradisional
10 Cara Merapatkan & Mengencangkan Daerah Kewanitaan Tanpa Obat – Memperkuat Otot Organ Intim Secara Alami, Mudah & Tradisional
Tumblr media
Kehidupan seksual adalah anugerah, itu bukan sesuatu yang tabu sebab setiap orang bisa melakukakan dan merasakannya. Hanya saja bagi yang masih singel mengaktifkannya sendiri sedangkan yang sudah berkeluarga dapat melakukannya secara bersama-sama dengan pasangan resmi (antar suami-istri). Bagi para jomblowati tidak usah gigit jari lalu merasa kekurangan sebab pada dasarnya private sex sama saja…
View On WordPress
1 note · View note
sulastmusiam · 3 years ago
Text
Jadi Ibu (Part II)
Bismillahirrahmanirahim
Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Aloha people! Seperti yang terlihat dari judulnya aku ingin melanjutkan cerita di postingan sebelumnya ya.
Setelah drama kehamilan berakhir aku jadi bisa lebih menikmati masa kehamilan dan langsung makan banyak, yang tadinya berat aku 44 dan harus dirujuk ke poli gizi, naik jadi 60 pas aku melahirkan. Oh ya aku tahu jenis kelamin calon anak aku pas di minggu 26-27 dan itu pertama kalinya aku coba USG 4D, jadi bisa lihat muka jabang baby. Eh ternyata dia mirip ayahnya. Padahal aku yang udah ditendangin tiap malem. Tapi yaudahlah yang penting semua dalam kondisi sehat dan normal. Aku juga cek mata di minggu 34-35, jadi aku dirujuk ke dokter mata untuk dicek apakah aku bisa lahiran normal atau enggak, karena mata aku kan minus 3. Hasil dokter menunjukkan aku bisa lahiran normal.
Dari minggu 35-36, aku udah mulai tiap minggu harus kontrol kehamilan dan aku juga harus PCR. Ya karena aku hamilnya di masa pandemi aku jadi musti melakukan serangkaian yang agak berbeda dari ibu-ibu yang lahir di masa normal. Trus aku dan suami juga sudah mulai menyiapkan tas persalinan. Tasnya isi apa aja? Nih aku kasih fotonya ya, kurang lebih isi tas aku itu.
Tumblr media
Aku emang udah rencanain kalo lahiran mau deket ibu aku. Biasa lah anak ehm manja. Eits tapi ini karena ini anak pertama ya. #banyakalasan Jadi lah 3 minggu sebelum HPL aku pindah ke rumah ibu di Penggilingan, Jaktim, tapi aku kontrol tetep ke tempat biasa di Johar Baru, Jakpus. Jadi tiap minggu aku balik ke Johar Baru untuk kontrol, alhamdulillah semuanya selalu baik dan normal, kecuali HB darah aku yg masih kurang, HB aku 10an waktu itu, harusnya untuk bumil HB di atas 12. Sambil nunggu kelahiran, aku beraktivitas kayak biasa, sama banyakkin jalan, suami juga sering pijat laktasi, aku juga pijet PD supaya nanti ASI aku keluar setelah melahirkan.
Karena di minggu 37-38 aku belum melahirkan, aku harus PCR lagi. Suami aku ketar ketir karena dia takut dicutek idungnya kalo mau nemenin aku lahiran (maksudnya ikut di PCR juga). Alhamdulillah selama PCR hasil test aku selalu negatif covid.
Eh baru deh di minggu 38-39, itu hari rabu dini hari setelah aku solat subuh, ada muncul flek sedikit. Aku dan suami langsung sigap berangkat dari Penggilingan menuju Johar Baru. Sampe sana aku harus anti-gen dulu baru diperiksa, setelah hasil keluar dan aku negatif covid, aku langsung diperiksa udah pembukaan berapa, taunya jengjengjeng belum ada pembukaan dong, masih kuncup kalo istilah dari bidannya. Pantes perut aku belum sakit banget, masih bisa aku tahan sakitnya. Yaudah kita suruh balik lagi deh. Btw, aku agak shock ya ternyata buat ngecek pembukaan kehamilan caranya kayak begitu.
Setelah itu, kami gak langsung pulang ke rumah, tapi sarapan di KFC Cempaka Putih, kita makan di lantai 2, dan itu sepi banget, paling cuma ada 4 orang, aku jalan-jalan aja kelilingin KFC, berharap bisa nambah pembukaan, sama berdiri jongkok, di sini rasa sakit kontraksi masih bisa aku tahan.
Lanjut, aku pun balik ke rumah Johar Baru, pas di perjalanan aku liat ada promo dari Kepala Manyung Bufat di Cempaka Putih, khusus untuk bumil bisa makan GRATIS. Si doyan promo ini tentu aja gak pengen melewatkan kesempatan ini dong. #yekanmumpungmasihhamil. Jadilah aku dan suami maksi di sana. Tapi sambil maksi, aku berdiri, duduk, jongkok, karena nahan sakit kontraksi, di sini udah lumayan sakit kontraksinya. Bela-belain demi makan gratis padahal lagi kontraksi. Nah pas mendekati maghrib, sakitnya makin jadi, aku udah gak bisa posisi sujud dan ruku karena sakitnya luar biasa. Jadi, aku solatnya duduk.
Setelah itu aku bermalam di rumah Johar Baru, tapi perut aku mulesnya makin sakit. Sekitar jam 10 malam, balik lagi lah kita ke puskesmas. Ternyata pas dicek, masih pembukaan satu. Ya Allah udah sesakit itu ternyata masih pembukaan 1. Yaudah kata bidan aku nginep aja di puskesmas, besok pagi diliat apakah pembukaannya nambah, kalo nambah, ya aku stay di puskesmas. Pas bermalam aku susah banget tidur, karena nahan sakit, suami beliin makan, tapi aku gak nafsu. Suami dan aku bobo di kasur pasien berdua. Pas subuh, aku coba nahan sakit perut dengan main gym ball yang ada di kamar perawatan, berharap sapa tau pembukaannya nambah. Jam 7 pagi, aku dipanggil lagi ke ruangan bersalin sama bidan untuk dicek lagi pembukaannya, taunya masih pembukaan 1 dong. Padahal sakitnya udah sakit banget. Ya tulang miss V sakit, punggung sakit, perut sakit. Ya Allah. Akhirnya aku disuruh pulang deh, dan bidannya bilang aku jangan balik lagi kecuali ketuban aku udah pecah.
Aku dan suami balik ke rumah Penggilingan, dan selama itu aku nahan sakit juga gak bisa makan. Coba makan, malah muntah, aku sampe meringkuk buat nahan sakit. Pada akhirnya aku menyerah, bilang sama suami mau sesar aja. Aku ngerasa gak kuat. Yaudah deh abis dzuhur aku dan suami ke rumah sakit ibu dan anak di Penggilingan. Sampe sana aku dicek masih pembukaan 1. Ya Allah kok gak nambah-nambah pembukaanya, tapi sakitnya udah sakit banget. Aku tetep minta sesar aja, tapi kata bidan "Jangan bu sayang, soalnya semua kondisi ibu mendukung untuk normal, janin posisinya udah benar, detak jantungnya juga bagus, ibu tahan aja dan sabar ya". Aku disuruh pulang ke rumah. Di situ aku bener-bener, ya Allah kok begini amat mau lahiran, aku bakal nahan sakit ini sampai kapan? Pikiran udah aut-autan. Kondisi fisik juga udah aut-autan, belum mandi, belum apa.
Yaudah kita pulang dengan rasa kecewa, karena aku ditolak buat sesar. Aku jalan aja harus berhenti-berhenti karena nahan sakit kontraksi. Di rumah aku cuma bisa baringan ama meringkuk. Pas hampir tengah malam di rumah Penggilingan, tiba-tiba perut aku makin menjadi sakitnya, kita berangkat lagi ke rumah sakit yang tadi siang. Aku langsung dianter ke IGD pake kursi roda, dicek sama bidan udah pembukaan 2. Di sini aku diomel-omelin ama bidannya karena aku bilang aku belum makan. Ya gimana mau makan, orang gak ketelen, dan muntah. Ih aku gemes banget deh, akunya udah kayak orang sekarat, bilang sakit. Eh dia jawab “Semua orang yang mau melahirkan juga sakit bu, bertaruh nyawa. Ibu harus makan bu, yang mau melahirkan kan ibu, yang harus ngeden juga ibu, bukan saya.” Aku bener-bener gak ngerti ya, apakah bidan tersebut gak tahu kondisi psikis orang yang mau melahirkan? Gak bisa dia empati sedikit aja ama aku yang lagi kesakitan? Sedih dan kesel banget aku digituin. Asli. Aku juga ditolak untuk sesar. Kalopun mau sesar paling besok pagi. Yaudah dengan sisa sisa tenaga yang aku punya. Aku balik ke parkiran sama suami.
Aku ajak suami cari rumah sakit lain untuk sesar, aku udah rasanya gak kuat nahan sakit. Yaudah kita pergi ke rumah sakit di daerah Pondok Kopi, aku berusaha ngarahin suami menuju ke sana walaupun lagi sambil nahan sakit, itu sekitar tengah malam, mana ternyata pintu gerbang rumah sakitnya ditutup lagi salah satunya, jadinya kita pake muter-muter dulu. Sampe sana langsung parkir, tapi tempat parkiran ama IGD lumayan jauh dan gak ada kursi roda, karena sakitnya udah banget-banget, aku jalannya dipapah sama suami menuju IGD. Sampe sana baru aku disuruh duduk di kursi roda. Diliat buku KIA aku sama beberapa dokter jaga di sana. Nah di sini beda treatment nakesnya sama yang rumah sakit sebelumnya tadi. Mereka bilang "Jangan disesar bu, bentar lagi juga bayinya keluar, sabar ya bu, sayang uang operasinya kalau sesar, mending untuk kebutuhan baby nya aja nanti, ibu ini gak ada indikasi untuk sesar, ibu masih bisa lahiran normal." Yaudah aku dan suami pergi lagi dari rumah sakit dengan tangan kosong. Kita balik ke rumah Penggilingan. Sampe di garasi, aku stay di mobil, masih berusaha nahan sakit. aku bilang ke suami, kita ke Johar Baru aja yuk, itu udah sekitar jam 2 pagi.
Kita pun berangkat dari Penggilingan ke rumah Johar Baru, aku susah payah masuk ke kamar kami, kebetulan kamar kami di lantai 2. Aku udah lepas kerudung dan siap-siap mau bobo itu sekitar jam 3an. Eh tiba-tiba aku ngerasain sakit yang sakitnya sakit banget banget banget. Aku histeris panggil suami, teriak-teriak kesakitan, narik-narik tirai, dan aku jongkok kan nahan sakit, taunya bunyi 'tus' gitu, kayak balon meletus, Yup. Ketuban aku pecah dan udah pendarahan juga. Aku bisa ngerasain kepala bayi udah di pantat aku. Aku gak yakin bisa berdiri, apalagi jalan, lebih lebih kalo harus turun tangga. Aku minta suami untuk telpon ambulans aja, aku dijemput aja, aku gak bakal sanggup jalan. Suami berusaha nelpon tapi gak ada satupun yang respon (gak ngerti dah konsep ambulans, bukannya buat gawat darurat ya? Ini kok semua nomornya gak ada yang respon?)
Suami udah berpikir aku bakal lahiran di kamar. Akhirnya dia berusaha ngebujuk aku buat pake kerudung dan jalan, dia bopong aku, aku sepanjang jalan keringetan, tarik nafas, dan dzikir. Moment paling mengerikan itu pas aku turun tangga. Ya Allah itu rasanya kayak ada bola bowling ditaro di bokong aku, sakit banget dan berat banget tiap langkahnya pas turun tangga. Akhirnya aku berhasil naik mobil, dan aku minta dianter ke RSUD Johar Baru aja, aku kapok ke puskesmas ditolakkin mulu. Sepanjang perjalanan aku cuma bisa tarik nafas, doa, dzikir, dan pasrah sambil mandang langit malam. Mungkin harus aku atau baby aku yang pergi subuh ini, sempet terlintas kayak gitu di benak aku. Waktu adzan subuh kita sampe di RSUD, aku langsung dipapah dan dinaikin ke kursi roda, masuk IGD. Itu kondisi udah berantakan banget akunya deh, pas aku dari posisi duduk ke baring, sakit banget tiap gerak, jadi aku berulang-ulang kali coba untuk baringan, dan akhirnya bisa baringan.
Beberapa bidan langsung ngeliat kondisi aku, bidan bilang ini udah pembukaan 10, dia gunting miss V untuk membuka jalan lahir, karena otot miss V aku tegang, dan gak sampe 10 menit, aku ngeden sesuai instruksi bidan, akhirnya bayi aku keluar dengan selamat, bayi aku nangis. Ya Allah akhirnya aku lahiran juga, setelah semua kesakitan yang musti aku tahan selama 2 hari. Kalo lahirannya gak lama, jahitnya lama, kayaknya sekitar 30 menit lebih deh, sobek dimana-mana. Oh ya ambil plasentanya juga mayan lama, karena kayak tali pusarnya gak abis-abis ditarik. Pas dijait aku dibius lokal, tapi tetep kerasa pas dijait, dan agak cenat-cenut. Setelah serangkaian selesai, aku di anti-gen, dan alhamdulillah hasil aku masih negatif. Jadi lah aku dipindah ke ruang bersalin, tapi aku belum ketemu bayi aku.
Sekitar jam 7, bayi aku baru dianter ke aku, bidannya tanya ASI aku keluar gak, aku bilang kayaknya enggak, eh ama si bidan PD aku dipencet dan ternyata ASInya keluar. Lumayan sakit ya dipencetnya. Bidannya ngajarin aku cara menyusui, dan alhamdulillah bayi aku langsung otomatis bisa menyusu. Moment pertama kali menyusui itu aku amaze banget sih. Kayak apa ya? Waw ternyata sampai ya aku di tahap ini dalam hidupku, jadi seorang ibu.
Aku lumayan puas dengan pelayanan di RSUD ini, emang harus tawakkal sih ya jadi Allah kasih yang terbaik. Walaupun aku jadi harus turun kelas ruang perawatan karena di sini cuma ada untuk BPJS kelas 3. Petugasnya sampe minta maaf, padahal bukan salah dia juga, orang aku yang pilih lahiran di sini dan gak tau kalo cuma ada untuk kelas 3 aja. Jadi di ruang bersalin ada kira-kira 5 pasien disekat pakai tirai, kamar mandinya 1, berAC dan insyaAllah bebas covid karena emg pasiennya harus di PCR dulu dan harus negatif. Nakesnya sangat cooperative. Dapet makan 3 kali sehari dan dapet snack pagi juga, aku juga dikasih beberapa obat, selain itu yang paling bikin aku gak sangka, mereka juga menyiapkan sesi baby photoshoot gratis. Lumayan banget kan?
Oh ya setelah melahirkan, aku dimandiin sama suami dan itu perih banget coy pas pipis dan ceboknya. Maklum masih sobek dan berdarah-darah. Aku baru bisa pulang pas besoknya hari sabtu sekitar jam tengah 2 siang. Karena memang aku dan baby harus dicek secara menyeluruh dulu, baru dibolehin pulang. RSUD juga membantu pengurusan akta lahir bayi aku.
Ya segitu aja cerita kehamilan dan lahiran aku. #gak’aja’sihyasebenarnya #ceritapanjanginimah #sampedibikin2part
Untuk yang masih menanti momongan semoga Allah kasih di waktu terbaik menurutNya, yang sedang hamil, semoga selalu sehat dan dijaga kandungannya sampe lahiran, yang baru jadi ibu, tetap semangat ya, dan yang masih jomblo, dapet suami dulu ya baru punya anak.
Pesan untuk kita semua, jangan pikul beban kita sendiri, berat, kita serahin aja sama Allah ya yang Maha Mengatur segalanya. Kita kira udah well prepared aja, ternyata masih banyak hal-hal meleset yang gak sesuai dugaan kita. ye kan?
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
4 notes · View notes
zilamanzil · 4 years ago
Text
[BUYA PART 1]
"Kuat" dan "Sabar", itulah dua kata yang selalu tertuju kepadaku dari banyak orang. Setiap menerima kata-kata itu, perasaanku selalu menjawab penuh harap "Siap InsyaAllah". Sejujurnya, hari-hari setelah Kamis, 28 Januari 2021 bukanlah hari yang mudah untuk kulalui. Ummi belum genap tiga tahun pergi dan sekarang Buya telah menyusulnya, meninggalkan begitu banyak memori. Kini aku sudah kehilangan dua pintu surga dan kehilangan perantara diijabahnya doa-doa. Tak akan ada lagi panggilan merdu memanggil, "Zilaaa...Manzilaaa...". Hari ini izinkan aku memenuhi permintaan dari banyak orang untuk membuat tulisan tentang Buya.
Buya sudah mengidap sakit cancer colons sejak tiga bulan setelah wafatnya Ummi, November 2018. Tahun 2019 Buya menjalani operasi dan kemoterapi. Alhamdulillah setelah menjalani operasi dan kemoterapi berkali-kali, Allah memberikan kekuatan kepada Buya. Setelah menjalani tindakan-tindakan tersebut Buya masih selalu hadir di banyak majelis, masih selalu menghidupkan dua masjid, dan masih beraktivitas sebagaimana layaknya orang sehat. Alhamdulillah berkah pandemi, aku menghabiskan banyak waktu di rumah. Menikmati bulan Ramadhan bersama Buya, menikmati sholat berjamaah dengan Buya, menikmati suara Buya untuk membangunkanku, dan nikmat-nikmat lainnya yang selama ini terlewat.
Agustus 2020, kenikmatan aku dan adikku dicabut. Aku sakit thypus dan adikku, Ghifar, sakit demam berdarah. Saat itu Buya yang menjaga, mengurus, dan merawat kita. Qaddarullah, ternyata itu adalah sakit terakhir kita yang dirawat oleh Buya. Awal September saat kita berdua sembuh, Buya yang bergantian menjadi demam. Pada awal September juga adalah jadwal Buya untuk menjalani proses Bone Scan di rumah sakit. Sepulang dari Bone Scan, kondisi Buya semakin drop. Sejak awal September, perlahan kondisi Buya terus melemah. Berangkat ke masjid pun harus dibonceng pakai motor. November 2020 Buya harus bed rest dan pada Desember 2020, kondisi Buya mengharuskan beliau menjalani transfusi darah. Akhirnya sejak Desember sampai Buya dipanggil Allah, Buya keluar-masuk rumah sakit sebanyak tiga kali.
Kondisi pandemi seperti ini mengharuskan kita untuk patuh dengan prokes (protokol kesehatan) rumah sakit. Untuk prokes di MRCCC Siloam Hospital Semanggi adalah calon pasien rawat inap harus melakukan tes PCR terlebih dahulu. Jika hasilnya negatif, maka diterima menjadi pasien rawat inap. Begitupun dengan pendamping pasien. Pendamping pasien hanya diizinkan satu orang, tidak boleh bergantian, dan harus melewati tes PCR. Jika hasilnya negatif, maka diizinkan untuk mendampingi. Oleh karena itu, sejak awal Desember sampai pertengahan Januari, Buya dan aku harus tiga kali melewati tes PCR.
Jumat, 22 Januari 2021 sebelum subuh, aku dibangunkan oleh kakak perempuanku, Ka Nadia. "Zila, Buya kesakitan minta dibawa ke rumah sakit. Tolong telpon Ka Fadhi". Akhirnya aku bangun dan langsung menghubungi kakak sulungku, Ka Fadhi. Namun tak tersambung ke Ka Fadhi dan baru tersambung pukul 05.30 WIB. Ternyata Ka Nadia bilang kalau Buya sudah kesakitan sejak pukul 00.00. Sakitnya hilang-timbul. Setiap merasakan kesakitan Buya ingin dibawa ke rumah sakit karena sakitnya sudah tak tertahankan, namun ketika rasa sakitnya hilang Buya menyampaikan untuk dirawat di rumah saja. Akhirnya pagi itu, anak-anak Buya yang di rumah bekerja sama untuk merawat Buya. Pukul 06.30 Buya meminta ke aku untuk menghubungi Bang Afif, kakak ketigaku, agar ke rumah Tebet. Alhamdulillah pagi itu kelima anak Buya bisa berkumpul di rumah. Kita berusaha merawat dan mendo’akan Buya. Akhirnya sekitar pukul 08.00 WIB terputuskanlah untuk membawa Buya ke rumah sakit untuk ketiga kalinya
Tiba di rumah sakit, dokter mengajakku dan Ka Fadhi berbincang. Intinya adalah dokter menyampaikan bahwa kanker Buya sudah stadium tertinggi dan sudah menyebar kemana-mana. Dokter juga memohon izin jika nanti Buya kondisinya sangat drop, Buya tidak akan dibawa ke ruang ICU dan tidak dipakaikan ventilator karena tidak ada tujuannya dan itu hanya membuat Buya semakin sakit. "Dok kalau kita berbicara tentang kemungkinan, bagaimana dengan kemungkinan orang tua saya?", dengan penuh pengharapan Kak Fadhi bertanya. Lalu dokter menjawab, "Semua ada di tangan Tuhan. Ini hanya pandangan medis saja ya. Bapak kalau bisa bertahan dua pekan dari sekarang, artinya Bapak sudah sangat kuat melawan kankernya itu" Setelah berdiskusi dengan dokter, saatnya aku dites PCR kemudian mulailah proses rawat inap dimulai.
Hari keempat dirawat sekitar jam setengah enam pagi, Buya bilang kalau Buya setiap tidur selalu mimpi. Ketika kutanya mimpi apa, Buya menjawab kalau Buya mimpi sholat. "Buya jalan bolak-balik dari rumah kita ke rumah enek (sebutanku ke ibunya Buya) dan berakhir di masjid. Di masjid Buya sholat berjamaah dengan banyaaak banget keluarga", kata Buya. Jujur, setelah mendengar cerita itu ada perasaan khawatir karena teringat Ummi. Beberapa hari sebelum Ummi wafat, Ummi cerita ke aku dan Ka Ima (istri Ka Fadhi) kalau Ummi mimpi bertemu dengan orang-orang yang sudah wafat. Spontanlah aku tanya ke Buya, "Keluarganya siapa aja Buy?". Buya jawab, "Pokoknya banyak banget keluarganya". Kemudian Buya bilang mau tidur lagi, aku persilahkan dan aku tilawah. Ketika aku yakin Buya belum pulas tidur, aku dengar Buya berbicara sendiri. Langsung saja, "Kenapa Yah?"
"Tuhkan Buya mimpi lagi"
"Buya mimpi apa?"
"Iya tadi dari arah sana (sambil nunjuk jendela rumah sakit) kayak ada temen metrisia Buya namanya Ujang yang dateng. Yaudah Buya tanya, "Ada tugas?"
Fyi, metrisia adalah komunitas remaja masjid waktu Buya muda.
"Yaudah Buya tidur aja. Buya ngantuk itu. Sambil zikir aja yah. Kalo Buya hafal surat yang Zila baca, boleh banget ikutin. Zila lagi baca Surat Asy-Syura nih"
Mendengar cerita itu, kesedihanku semakin bertambah. Diriku bertanya-tanya, apakah ini Ya Allah? Aku langsung melanjutkan tilawahku lagi sedangkan Buya pun pulas tertidur. Sekitar 5 menit Buya baru saja tertidur pulas, Buya berbicara sendiri lagi, "Buya gapapa". Aku langsung menghentikan kembali tilawahku dan bertanya,
"Ada apa yah?"
"Tadi ada Bang Afif ya?"
"Hah? Mana? Ga ada Bang Afif kok. Dari tadi ada Zila doang di sini temenin Buya. Lagipula kan gaboleh yah Bang Afif ke sini".
"Tadi kayak ada Bang Afif. Terus Bang Afif nanya, ‘Buya kenapa?’ Yaudah Buya bilang ke Bang Afif kalo Buya gapapa"
Mendengar Buya, aku spontan berdoa dalam hati, "Ya Allah berikan kenyamanan untuk Buya, panjangkan umur Buya" dan langsung mengabarkan Bang Afif tentang percakapan tadi. Ternyata Bang Afif memang hari itu sedang kurang fit, MasyaAllah sepertinya ini bentuk kontak batin antara orang tua dan anak. Perlahan-lahan aku memberi tau kabar bahwa Bang Afif sedang sakit ke Buya dan Buya mengiyakan. Merasa kejadian Buya berbicara sendiri terus berulang, aku alihkanlah perhatian Buya agar hanya tertuju padaku. Aku bilang ke Buya,
"Video call sama anak-anak dan cucu-cucu Buya yuk"
Buya menggelengkan kepala.
"Video call sama adik-adik Buya? Atau sama enek?"
Buya pun juga menggelengkan kepalanya. Dari awal masuk rumah sakit, Buya selalu menolak untuk diajak berkomunikasi dengan keluarga di rumah kecuali memang keluarga di rumah yang menelepon aku duluan. Akhirnya tanpa sepengetahuan Buya, aku menghubungi kakak-kakak dan akhirnya kita video call bersama Buya meskipun Buya hanya melambaikan tangannya karena senang melihat kelucuan para cucu-cucunya. Video call pun selesai, namun semakin siang semakin banyak perkataan dan perbuatan yang membuatku takut. Diantaranya adalah ketika Buya sedang tidur siang dan aku sedang tilawah, Buya tiba-tiba ngomong dengan volume yang sedikit lebih besar, "Kenapa Ghifaar?" Langsung aku tanya, "Kenapa Buya?"
"Itu Ghifar nanyain apa tadi? Buya ga denger"
"Ghifar? Emang ada Ghifar?"
"Iya itu ada Ghifar"
Spontan aku langsung mengeluarkan air mata dan langsung chat Ka Nadia. Usai chat Ka Nadia, lagi-lagi Buya ngomong sendiri lagi, "Alhamdulillah anak-anak sehat dan seneng lagi pada makan kebuli di rumah"
"Buyaaa, Buya ngomong sama siapa sih? Kok Buya bisa tau kalo di rumah makan kebuli?"
"Iya Buya tau"
"Kok Buya bisa tau? Buya tau dari mana?"
"Iya ya. Kok Buya tau ya. Ya pokoknya Buya tau"
Padahal aku sangat yakin di rumah tak mungkin makan nasi kebuli ketika orang terkasih kita sedang di rumah sakit. Air mata ini sudah tak terbendungkan. Aku memutuskan keluar ruangan dan menangis di luar, kemudian aku menelpon Ka Nadia. Saat itu kondisiku benar-benar tidak tenang dan kacau. Kebanyakan isi telpon aku ke Ka Nadia hanya tangisan saja dan Ka Nadia berusaha menenangkan aku. Setelah tenang, aku kembali masuk ke ruangan. Aku langsung ajak ngobrol Buya.
"Yah, udah yuk Buya ikutin Zila tilawah aja. Buya mau Zila baca surat apa biar Buya bisa ikutin?"
"Apa ya? Surat apa aja deh. Coba Buya mau liat Quran kamu, kebaca ga ya sama Buya."
Aku bukakan Al-Qur'an ku dan memperlihatkan ke Buya.
"Aduh hurufnya kecil banget, ga kebaca sama Buya. Coba Quran yang di hp."
Aku perlihatkan aplikasi Al-Quran hp ke Buya.
"Sama juga."
"Buya mau ngaji? Mau dibawain Quran yang gede dari rumah?"
"Boleh."
"Yaudah nanti Zila minta bawain sama orang rumah, sekarang Zila pasang Qur'an digital aja ya. Kita baca surat Al-Baqarah bareng. Banyak potongan ayat Al-Baqarah yang Buya hafal kan?"
"Iya boleh."
Akhirnya aku dan Buya sore itu ngaji bareng sambil mendengarkan Qur'an digital dari HP. Di pertengahan jalan ngaji bareng, Buya tertidur kembali. Karena aku merasa badan aku pegal-pegal, akhirnya aku sandarkan punggungku ke tembok dengan kondisi bibirku tak lepas dari membaca surat Al Baqarah. Sambil tilawah, aku memandang Buya yang terbaring di depanku. Lagi-lagi aku terkejut karena Buya mengangkat tangan kanan ke atas seakan akan bersalaman dengan seseorang yang di atas. Langsung aku berdiri dan meraih tangan kanan sambil memanggil Buya dan berkata lembut, "Zikir yaaah". Akhirnya aku melanjutkan tilawah sambil menggenggam tangan kanan Buya.
Hari mulai malam, aku menyuapi Buya makan malam. Setelah makan malam, Buya minta gosok gigi dan aku bantu beliau untuk menggosok gigi. Setelah menggosok gigi, kami berdua siap untuk tidur malam. Namun kejadian demi kejadian siang tadi sejujurnya mengganggu pikiranku. Akhirnya aku memutuskan untuk tak tidur demi menjaga Buya dan murottal terus kuputar sepanjang malam itu. Sepertiga malam terakhir, Buya terbangun dan tahajjud. Tak lama usai Buya tahajjud, azan subuh berkumandang. Buya dan aku menunaikan sholat subuh sendiri-sendiri. Usai sholat subuh, Buya minta minum, lalu aku berikan minum.
Pukul 6 pagi adalah jadwal perawat visit. Pagi itu saturasi oksigen Buya sangat rendah. Oleh karena itu, tekanan oksigen Buya dinaikkan secara drastis oleh perawat. Ketika tekanan baru dinaikkan, Buya merasa kurang nyaman dan meminta untuk dibuka saja karena hidungnya terasa gatal. Aku dibantu perawat berusaha menyalurkan energi positif agar Buya sabar menggunakan oksigen tersebut. Akhirnya Buya lebih tenang, kemudian Buya bilang mau tidur lagi karena masih ngantuk. Aku membiarkan Buya tidur dan kondisi murottal masih terus terputar dari semalam. Ketika Buya tidur, aku bersihkan kantong kolostomi Buya. Selama Buya tidur, aku bertanya-tanya, "Ini Buya beneran tidur kan bukan ga sadar diri?". Akhirnya aku memastikan ke suster, kemudian suster menjawab, "Bapak masih sadar kok kak, tapi memang kesadarannya mulai menurun. Nanti suster periksa lagi ya kak. Tetap ditemani terus saja bapaknya". Aku kembali ke ruangan dengan perasaan sedikit lega mendengar jawaban suster.
Tak lama kemudian, suster datang dan memeriksa kondisi Buya. Setelah memeriksa, suster bilang, "Kak kita mau memindahkan bapak ke ruangan khusus ya". Alasan Buya dipindahkan karena pagi itu Buya dinyatakan koma. Suster melanjutkan penuturannya, "Kakak silahkan hubungi keluarga, nanti saya minta rekomendasi ke kepala suster agar keluarga bapak diizinkan masuk karena kondisi bapak yang memburuk. Tapi masuknya satu per satu secara bergantian ya kak dan wajib menggunakan masker+faceshield". Aku langsung memberi kabar ke grup keluarga. Setelah itu, Buya pindah ruangan. Aku menunggu kedatangan kakak-kakak di ruangan baru bersama Buya yang koma. Ketika baru sampai di ruangan baru, aku langsung giat talqin, membaca surat Yasin, dan memutar murottal Yasin.
Sambil aku menunggu dan terus zikir, Cing Upi (adik Buya) video call dan menanyakan kabarku serta kabar Buya. Aku memberikan kabar terkini Buya. Terlihat ada rasa yang sangat sedih dari raut muka Cing Upi setelah mengetahui kabar Buya. Kemudian Cing Upi langsung mengundang semua adik-adik Buya ke video call tersebut. Sambil menunggu kehadiran kakak-kakak, aku dan Buya ditemani oleh adik-adik Buya aku melalui video call dan mereka juga mendoakan untuk Buya. Kemudian video call ditutup karena aku diarahkan oleh adik-adik Buya untuk tetap terus menemani Buya, membantu talqin Buya, membacakan Yasin, mendoakan Buya, dan mencoba ikhlas dengan apa yang dan akan terjadi nanti. Tak lama usai video call, kakak-kakak dan adikku berangsur berdatangan. Pagi itu, fanafifzilghif (kelima anak buya) mendampingi hingga menjelang ashar. Ketika kami sedang mendampingi Buya, dr. Faizal (dokter spesialis Buya) visit.
"Waktu di UGD sudah dijelaskan kan ya terkait tidak masuk ICU dan tidak pasang ventilator?" tanya dr. Faizal
"Iya sudah dok", aku menimpali.
"Iya InsyaAllah apapun yang terjadi adalah yang terbaik untuk Pa Abdullah dan keluarga. Kita akan ikhtiar semaksimal mungkin, keluarga bantu dengan doa saja dan mulai mengikhlaskan bapak ya", ucap dr. Faizal sambil menguatkan anak-anak Buya.
"Ini bapak sudah tidak sadarkan diri dok?" tanya Bang Afif.
"Kondisi bapak saat ini statusnya sama dengan pasien-pasien di ICU. Namun karena kondisi kesehatan yang cukup parah, ICU dan ventilator bukan cara yang baik untuk dilakukan terhadap bapak", kata dr. Faizal. Kemudian dr. Faizal mohon izin pamit pergi.
Beberapa saat setelah dr. Faizal pergi, Ka Fadhi selaku anak sulung memimpin keempat adiknya untuk berdiskusi karena setelah kabar Buya koma, ada beberapa saran masuk dari adik-adik Buya maupun adik-adik Ummi. Diskusi pun berjalan. Selagi berdiskusi, kuteringat sewaktu Ummi dulu yang berada di ICU, Buya adalah pemimpin diskusi kami. Kini, hal itu kembali terjadi, namun Ka Fadhi yang memimpinnya. Ketika diskusi berlangsung, tangan Buya bergerak. Kita semua langsung bangun dan mendekat ke Buya, namun masih belum ada perubahan. Diskusi pun berlanjut. Usai berdiskusi, aku menyampaikan ketakutanku kemarin ke saudara-saudara laki-lakiku karena kemarin aku memang hanya bercerita ke Ka Nadia. "Zila takut bermalam di ruangan ini sendiri dengan kondisi Buya yang koma, posisi ruangan berada di ujung gedung, jauh dari meja suster, dan berjendela besar tanpa gordyn", ucapku. Tapi kebijakan rumah sakit kurang memungkinkan untuk aku ditemani atau aku bergantian dengan saudaraku yang lain. Akhirnya aku berusaha menguatkan diri untuk menghadapi semua yang ada di depanku dan meminta agar Ghifar pulang lebih akhir karena Ka Fadhi masih ada urusan bisnisnya, Ka Nadia tidak bisa meninggalkan bayinya dalam waktu lama, dan Bang Afif harus kembali melanjutkan safari dakwahnya. Menjelang ashar Ka Fadhi, Ka Nadia, dan Bang Afif pamit pulang.
Ketika sudah masuk waktu ashar, aku makan nasi yang dibekali oleh Ka Nadia. Saat itu aku baru sadar, ternyata sejak kemarin malam perutku belum terisi. Aku pun makan sambil ditemani Ghifar. Setelah makan, aku dan Ghifar hendak sholat ashar berjamaah. Sebelum sholat ashar dimulai, "Ghif ajak Buya sholat aja yuk. Gapapa kondisi Buya seperti ini, yang penting kita omongin aja ke kuping Buya", ucapku ke Ghifar. Ya, aku melakukan ini juga karena diajarkan Buya. Masih jelas di ingatanku, waktu Ummi tidak sadarkan diri di ICU, Buya memerintahkan untuk membisikkan ke telinga Ummi untuk menunaikan sholat.
"Kamu udah wudhu kan Ghif? Tolong tayamumin Buya ya. Ka Zila wudhu dulu", ucapku.
Ketika aku dan Ghifar sudah siap sholat dan Buya sudah ditayamum, "Buyaaa, sudah masuk waktu ashar ya Buy. Aku sama Ka Zila mau sholat berjamaah ya, Buya ikutin kita juga ya. Kita sholat bareng-bareng ya Buy", bisik Ghifar dan langsung membisikkan bacaan niat sholat ashar juga di telinga buya. Sholat ashar pun dimulai denga Ghifar sebagai imamnya. Ketika i'tidal rakaat keempat, Ghifar membaca qunut nazilah (doa qunut untuk meminta pertolongan kepada Allah agar musibah yang sedang menimpa kita segera berakhir). Ya, aku memang yang meminta Ghifar untuk menyelipkan qunut nazilah di sholat ashar kita. Aku sangat menikmati qunut itu dengan bacaan Ghifar yang begitu mahir berkat ajaran Buya. Terdengar suara Ghifar pun bergetar ketika melafalkannya. Ketika bacaan qunut sedang berlangsung, terdengar suara suster masuk ruangan. Ketika sholat ashar berakhir dengan salam, aku langsung bangkit dan menemui suster.
"Kaakkk, bapak tadi buka mata sebentaaar banget dan mengeluarkan air mata di penghujung sholat kakak dan masnya", kata suster.
"Iya sus?" tanyaku penuh semangat.
Suster menganggukkan kepalanya.
"MasyaAllah Buyaaa", ucapku memandang Ghifar sambil mengusap tubuh Buya.
Aku dan Ghifar pun lanjut memperhatikan suster yang sedang memeriksa tensi darah, suhu, infus, dan peralatan medis lain yang terpasang di tubuh Buya. Setelah selesai, suster pergi meninggalkan ruangan. Sambil menunggu waktu maghrib, aku dan Ghifar terus tilawah dan zikir di samping Buya. Maghrib pun tiba, kita menunaikan sholat maghrib dan mengajak Buya kembali. Usai sholat maghrib, kita zikir, berdoa, dan tilawah di samping Buya. Isya pun tiba, kita menunaikan sholat isya dan mengajak Buya kembali. Usai sholat isya, zikir, dan berdoa, Ghifar pamit pulang. Mulailah aku hanya berdua dengan Buya di ruangan itu. Pukul 21.00 WIB, Buya sadarkan diri dan membuka mata. Buya sadar, namun Buya tidak berbicara. Jadi hanya membuka mata dan memandang ke atas. Aku langsung video call ke fanafifghif dengan niat mengabari kondisi terkini Buya dan menemaniku yang ketakutan. Pada saat itu, aku terus mentalqinkan Buya dibantu oleh fanafifghif dari hp. Ternyata salah satu dari fanafifghif juga mengundang dua dari adik Buya. Karena aku kelelahan, aku meletakkan hp di meja dengan kondisi menyoroti aku dan Buya.
Mendekati waktu sepertiga malam terakhir, sekitar pukul 2 dini hari, Buya menggerakkan tangannya. Buya memanggil, "Zilaaa". Kujawab, "Iya Buyaaa?" Kemudian beliau menggerakkan tangan kanannya dan memegang pipiku. Tangan sebelah kirinya juga digerakkan dan mengusap kepalaku, namun tidak ada komunikasi lagi dari Buya. Lalu Buya kembali meletakkan kedua tangannya di atas kasur. Ketika pukul 3 dini hari, aku bertanya ke Buya, "Buyaaa, Buya mau sholat tahajjud?"
Buya pun mengangguk
"Yaudah Zila tayamumin yaaa"
Buya menganggukkan kepalanya lagi
Usai Buya tayamum, "Udah yah. Buya bisa dimulai sholat tahajjudnya". Buya pun menunaikan sholat tahajjud dengan isyarat mata. Setelah perkiraanku bahwa Buya telah selesai sholat tahajjudnya, aku izin ke Buya untuk menunaikan sholat tahajjud dan aku menitipkan Buya ke Ka Nadia yang ada di videocall. Setelah aku tahajjud, aku mengajak Buya untuk mengingat Allah selalu hingga adzan shubuh dikumandangkan. Pagi itu, berbagai macam zikir dan kegiatan baik dibabat habis oleh Buya. Sambil menunggu adzan shubuh, aku tuntun Buya untuk membaca Al-Ma'tsurat, surat Yasin, senandung doa Al-Qur'an, sholawat thibbil qulub, mahalul qiyam maulid adh-dhiyaa ulami, dan aku tuntun Buya untuk berdoa dengan mengingat amalan-amalan kebaikan Buya serta memohon kepadaNya agar itu menjadi wasilah Buya kuat dalam menghadapi ujian dari Allah. Selama melakukan itu, memang lebih banyak aku yang melafalkannya, tetapi aku yakin Buya mengikutinya dalam hati. Karena air matanya terus mengalir dari kedua matanya. Kedua tangannya pun beliau angkat sambil mengucapkan lafadz, "Aamiin Yaa Allah", meskipun tidak terlalu jelas. Aku pun juga mengeluarkan air mata karena benar-benar sangat memohon pertolongan Allah, aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Buya dan Ummi. Aku bisa mahir mendampingi, karena didikan mereka juga. Ka Nadia pun mengikuti kegiatan-kegiatan bersama aku dan Buya.
Usai semua dilaksanakan, shubuh pun belum berkumandang. Akhirnya Ka Nadia mencoba invite Cing Pipit (salah satu adik Buya) ke video call. Ada rasa lebih lega yang terlihat dari raut wajah Cing Pipit melihat kakaknya sudah sadar dari koma. Cing Pipit bilang, "Kakak mau sholat shubuh ya kak? Makanya kakak bangun". Ka Nadia menanggapi Cing Pipit, "Alhamdulillah Buya tadi sholat tahajjud Cing". "MasyaAllah Alhamdulillah". Kemudian Cing Pipit menambahkankan lagi, "Kaakkk makasih ya kak udah jadi kakak terbaik". Tak lama, kemudian terdengar suara adzan yang bersumber dari Ka Nadia dan Ka Nadia langsung bilang, "Yah Buya adzan Buya. Itu suara Ajid (salah satu muadzin Al-Ikhwan) ya. Adzan ya dari Al-Ikhwan (salah satu masjid, dimana tempat Buya menjadi pengurus DKMnya)". Aku melihat mata Buya sangat berbinar dan bahagia. Kemudian aku meminta Ka Nadia untuk membawa HPnya keluar rumah agar suara adzan terdengar lebih jelas. Aku pun bilang ke Buya, "Buya alhamdulillah ya Yah kita sampai di waktu shubuh. MasyaAllah Buya bisa denger suara adzan dari Al-Ikhwan ya Buy. Al-Ikhwan yah, masjid tempat Buya jadi pengurus". Buya pun mengeluarkan air matanya lagi. Kemudian aku menuntun Buya untuk menjawab adzan. Usai adzan, aku menuntun Buya untuk membaca doa setelah adzan dan diiringi dengan doa untuk kebaikan Buya. Lalu aku bertanya, "Buya mau qobliyah shubuh?". Buya pun memberi isyarat, "Iya". Langsung aku tayamumin Buya dan Buya lanjut sholat qobliyah shubuh dengan isyarat mata. Setelah qobliyah shubuh, aku tayamumin Buya kembali untuk sholat shubuh. Buya pun sholat shubuh. Usai Buya sholat shubuh, aku menitipkan kembali Buya ke Ka Nadia yang ada di video call. Sementara Cing Pipit sudah pamit setelah adzan shubuh usai. Terlihat di video call, semua orang di rumah sudah bangun bahkan cucu-cucu Buya yang di rumah pun sudah bangun. Tak lama setelah aku selesai sholat shubuh, dokter dan perawat visit dan berbarengan dengan matinya video call Ka Nadia karena hp aku dan hp Buya lowbatt serta kuota internet habis.
Dokter dan perawat terlihat kaget karena Buya sadar. Mereka pun ikut berbahagia karena melihat Buya sadar. Kemudian dokter dan perawat memeriksa kondisi Buya.
"Pa Abdullah, selamat pagi", sapa dokter ke Buya.
"Bapak, nama bapak siapa?", tanya seorang bruder ke Buya.
"Abdullah", jawab Buya.
"Masih ingat dan bisa jawab ya kak", ucap bruder kepadaku.
"Tanggal lahir bapak kapan?" tanya bruder lagi.
"Lima belas bulan enam tahun lima empat".
"Wah benar", apresiasi bruder.
"Bapak, ini siapa Pak?", tanya dokter sambil menunjuk kepadaku.
Buya memandang wajahku lama dan kebingungan. Kemudian dokter mengusap punggungku dan bilang, "Sabar ya kak".
"Maksudnya apa ya dok?" tanyaku pada dokter.
"Memang proses penyakitnya bisa membuat kondisi pasien akan lupa ingatan sebagian memorinya", jelas dokter. Padahal saat itu, aku dalam kondisi membuka masker.
"Dalam waktu berapa lama dok? Selamanya kah?" tanyaku dengan nada kecewa.
"Kita tidak bisa memprediksi tapi mungkin saja nanti ingatannya akan kembali. Terus dampingi bapak ya kak", jawab dokter.
"Bapak boleh tolong angkat jempol tangan kanan?" seru bruder.
Buya mengangkat jempol tangan kanannya.
"Telunjuk tangan kanan?" ucap bruder lagi.
Buya mengangkat telunjuk tangan kanannya. Kemudian Buya melihatku dan berkata, "Saya punya anak empat dan adik tiga". Saat itu, hatiku menangis dan berusaha menenangkan diri seraya lanjut berkata, "Engga Buya, Buya punya anak lima. Adik Buya ada sepuluh, Buya anak pertama", aku mencoba meluruskan. Namun Buya mengulang penjelasannya kembali, "Saya punya anak empat, adik tiga".
"Oh yaudah Buya, boleh tolong sebut keempat anak Buya?"
"Pertama, Arief Fadhillah".
"Iya bener, kedua?"
"Titin Fathimah", seketika aku menangis mendengarnya karena Titin Fathimah itu bukan anak Buya tetapi adik Buya.
"Ok, ketiga?"
"Titin Fathimah".
"Keempat?"
"Titin Fathimah".
Aku menangis karena peristiwa ini. Sangat sedih melihat kondisi Buya. Sangat sedih Buya lupa denganku tapi memang ini skenario Allah. Seketika aku khawatir dengan kondisi Buya yang seperti ini dan mencoba mengabaikan kesedihanku yang lupa dengan aku sebagai anaknya.
"Buya, siapa tuhan Buya?"
"Allah", jawab Buya dengan cepat.
"Nabi Buya siapa?"
Buya berpikir dan akhirnya bisa menjawab, "Rasulullah Saw".
"Agama Buya apa?"
"Islam".
Aku ambil Al-Quran dan bertanya, "Buya ini apa?"
"Qur'an", jawab Buya
"Buya sholat sehari berapa kali?"
"Lima kali".
Alhamdulillah setidaknya aku lebih tenang karena Buya tidak melupakan hal-hal penting.
"Buya, sekarang Buya mau berdoa seperti tadi sepertiga malam lagi?"
Buya menganggukkan kepalanya kemudian mengangkat tangan. "Buya ikutin Zila ya", perintahku.
"Ya Allah", kataku
"Ya Allah", ikut Buya
"Abdullah lahir dalam keadaan Islam Ya Allah", kataku
"Abdullah lahir dalam keadaan Islam Ya Allah", ikut Buya
"Matikan Abdullah juga dalam keadaan Islam Ya Allah", ucapku
"Matikan Abdullah juga dalam keadaan Islam Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah", ikut Buya
"Jadikan aku termasuk golongan", ucapku
"Jadikan aku termasuk golongan", ikut Buya
"Yang berhak menerima syafaat dari Rasulullah Ya Allah", ucapku
"Yang berhak menerima syafaat dari Rasulullah Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah," ikut Buya
"Jadikan Quran penerang kuburku Ya Allah", ucapku
"Jadikan Quran penerang kuburku Ya Allah", ikut Buya
"Ya Allah", ucapku
"Ya Allah", ikut Buya
"Terimalah semua sholat dan amalku Ya Allah", ucapku
"Terimalah semua sholat dan amalku Ya Allah", ikut Buya
Aku tuntun Buya berdoa untuk kebaikan Buya, termasuk mohon ampun atas dosa. Setelah usai aku tuntun Buya mendoakan untuk dirinya sendiri, aku tuntun Buya mendoakan anak-anaknya.
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Arief Fadhillah Ya Allah"
"Arief Fadhillah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Nadia Ya Allah"
"Nadia Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Afif Ya Allah"
"Afif Ya Allah", ucap Buya sedikit kesulitan mengucapkan Afif
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Manzila Ya Allah"
Buya lama tak ucap kata Manzila. "Manzila Ya Allah", ucapku lagi. Buya belum juga mengucap Manzila. "Manzila Ya Allah", ucapku lagi namun Buya belum juga mengucap Manzila. "Manzila Ya Allah", tangisku pecah saat itu juga namun Buya masih belum mengucap Manzila. "Yah..Buyaaa ini Manzila Buyaaa", kataku sambil memukul dada dan menangis. "Buya ini Manzilaaa", kataku menangis penuh harap Buya mengucap namaku dan mendoakan aku. Dokter mengusap punggungku, "Kak sabar ya, sudah jangan dipaksa, kasian bapak. Semoga bapak mendoakan kakak dalam hatinya". Aku sudah putus asa mengucapkan Manzila dan berniat lanjut mendoakan Ghifar. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan ucapan Buya, "Manzila Ya Allah. Berkahilah hidup Manzila Ya Allah. Manzila Ya Allah", diucapkan namaku berkali-kali. "Aamiin Yaa Allah", aku mengaminkan doa Buya untukku penuh rasa haru dan lega. "Aamiin Yaa Allah", Buya mengikuti. Kemudian dokter dan bruder pergi meninggalkan ruangan tanpa berpamitan.
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ghifar Ya Allah"
"Ghifar Ya Allah"
Setelah mendoakan anak-anaknya, aku menuntun Buya untuk mendoakan adik-adiknya, "Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Abdurrahim Ya Allah"
"Saya Abdullah", ucap Buya. "Iya Buya Abdullah, Buya punya adik bernama Abdurrahim Yah". "Abdurrahim Ya Allah", ulangku. "Abdurrahim Ya Allah", sahut Buya
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Abdurrahman Ya Allah"
"Saya Abdullah", ucap Buya lagi. "Iya Buya Abdullah dan Buya juga punya adik bernama Abdurrahman". "Abdurrahman Ya Allah", ulangku. "Abdurrahman Ya Allah", sahut Buya
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ahmad Fauzi Ya Allah"
"Ahmad Fauzi Ya Allah", sahut Buya sedikit kesulitan mengucapkan Ahmad Fauzi
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Titin Fathimah Ya Allah"
"Titin Fathimah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Muhaya Ya Allah"
"Muhaya Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Ahmad Sidik Ya Allah"
"Ahmad Sidik Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Sayangilah Nurhasanah Ya Allah"
"Sayangilah Nurhasanah Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup"
"Zubaidah Ya Allah"
"Zubaidah Ya Allah", sahut Buya kesulitan mengucapkan Zubaidah
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup"
"Berkahilah hidup". Terus aku tuntun Buya mendoakan kesepuluh adiknya sampai selesai. Setelah itu, aku bertanya, "Buya siapa ibu Buya?" Buya kebingungan dan tidak bisa menjawab. Langsung saja, "Ya Allah" ucapku
"Ya Allah"
"Berkahilah hidup Hj. Muniroh Ya Allah"
"Berkahilah hidup Hj. Muniroh Ya Allah"
"Ya Allah"
"Ya Allah"
"Sayangilah H. M. Nafis (Ayah Buya) Ya Allah"
"Sayangilah H. M. Nafis Ya Allah".
Tak lupa juga aku tuntun Buya mendoakan kedua mertuanya, Ummi (istri tercinta Buya), seluruh cucu Buya aku bantu sebut namanya satu per satu, tak lupa juga aku meminta dan menuntun Buya mendoakan anak-anaknya Manzila dan anak-anaknya Ghifar nanti, serta aku memohon doa dan ridho Buya agar aku dimudahkan tugas akhir/skripsi (aku tuntun Buya mendoakan skripsiku hingga Buya mengucapkan doa atas skripsiku sebanyak tiga kali). Saat itu karena kondisi hp aku lowbatt dan belum sempat mengisi daya kembali dan hp Buya juga tidak ada kuota maupun pulsa, sebenarnya aku sangat menunggu keluarga di rumah menelepon aku. Sambil menunggu ditelepon, aku ulang kembali doanya dari doa kebaikan untuk Buya sendiri sampai mendoakan orang lain juga. Doa yang sama itu terucapkan sebanyak tiga putaran. Sampai pada saat aku kelelahan dan tak tau lagi harus berdoa apa, aku dikejutkan dengan Buya berdoa sendiri tanpa aku tuntun. Beliau mendoakan orang-orang yang memang selalu beliau doakan setiap akan baca Yasin dan tahlil. Saat itu, keyakinan aku bertambah bahwa Buya memang orang baik dan sholih. Usai doa, aku bantu Buya mentalqinkan terus di telinga sebelah kanannya. Tak lama ada telepon masuk di hp Buya, ternyata itu telepon dari Ka Nadia.
Aku meninggalkan ruangan dan menerima telepon dari Ka Nadia. Memang aku tak pernah menerima telepon di samping Buya baik ketika Buya sadar ataupun tidak karena aku khawatir Buya mendengar penjelasan kondisinya ketika aku menjelaskan ke orang yang ada di telepon. Ya, aku khawatir kalau Buya mendengarnya akan membuat Buya tidak bersemangat. Aku menceritakan semua yang terjadi ke Ka Nadia dan Ka Nadia hanya bisa mengucapkan "innalillahi wa innailaihi rojiuun". Kemudian aku meminta Ka Nadia agar meminta Bang Afif datang ke rumah sakit dan telepon pun ditutup.
Aku kembali ke ruangan. Saat itu, aku tidak mengetahui apakah Buya sudah kembali ingat kepadaku atau tidak. Namun ketika aku masuk ruangan, Buya memberi isyarat kepadaku bahwa Buya merasa kesakitan di perutnya, dadanya, kakinya, dan badan bagian belakangnya. Aku pun langsung memencet bel untuk memanggil perawat. Perawat pun datang. Aku langsung memberi tahu kondisi Buya. Suster pun setelah mendengar penjelasanku keluar sebentar kemudian masuk ke ruangan kembali. "Kak ini obat cukup keras. Kita tau proses penyakit bapak, bahwa bapak nanti sakitnya akan hilang-timbul. Jadi setiap bapak kesakitan, kita akan suntikan sedikit-sedikit obat ini guna memberikan sugesti ke bapak bahwa sakitnya akan segera hilang karena sudah disuntikkan obat", jelas suster. Aku mempersilahkan tenaga medis untuk melakukan semua yang terbaik untuk Buya. Pagi itu, sambil kumenunggu kedatangan Bang Afif, Buya sudah disuntikkan sebanyak lima kali dengan obat itu. Aku pun membantu Buya dengan terus mengajaknya sabar dan dzikrullah
Bang Afif pun datang. Karena kemarin sudah diizinkan masuk sebanyak lima orang ke ruangan, pagi ini hanya diperbolehkan satu orang yang masuk. Oleh karena itu, aku keluar ruangan dan Bang Afif pun masuk. Karena aku kelelahan, aku mencari tempat duduk untuk aku beristirahat di sekitar kursi antrian pasien rawat jalan. Namun hari itu, kursi antrian pasien rawat jalan penuh dan hanya tersisa kursi yang bertanda silang merah. Terpaksa aku menunggu sampai Bang Afif keluar dengan kondisi berdiri dan bersandar pada dinding. "Satu jam saja ya Pak di dalam ruangannya", ujar security kepada Bang Afif.
Aku pun menunggu di luar selama satu jam lebih beberapa menit. Sambil menunggu, aku mendengar beberapa percakapan orang-orang yang menderita penyakit kanker. Mereka banyak macamnya. Ada yang bahagia menghadapinya dan ada juga yang insecure. Tempat ini memang sangat cocok dijadikan sebagai tempat belajar bersyukur untuk orang-orang yang tak pandai bersyukur seperti aku ini. Perlahan, aku pun mulai tidak sadar dan disadarkan kembali oleh seorang bapak yang memukul pundakku menggunakan map berkas BPJSnya, "Mbak duduk aja di sini. Sakit kanker apa Mbak?" tanya bapak itu.
"Oh gausah Pak. Saya sehat kok. Udah bapak aja yang duduk, ini saya kayaknya karena terlalu ngantuk aja Pak".
"Oh maaf, Mbak. Saya kira Mba sakit soalnya wajahnya kelihatan capek banget. Gapapa Mbak, duduk aja dulu. Saya sakitnya memang gabisa terlalu lama duduk"
"Terimakasih ya Pak", aku pun duduk.
"Siapa yang sakit Mba?" tanya bapak itu.
"Ayah saya Pak. Pasien rawat inap".
"Oh pantes sampai ketiduran sambil berdiri gitu. Mba yang jaga ya?"
"Hehe iya pak", jawabku sambil menahan malu karena ketahuan ketiduran sambil berdiri.
"Semoga lekas sembuh ya Mbak ayahnya", ucap beliau sembari pamit karena nomor antriannya sudah dipanggil.
Aku pun melanjutkan tidurku di kursi itu. Ketika security sedang tidak ada di daun pintu pembatas ruang rawat inap dan ruang rawat jalan, aku menerobos masuk ke ruangan Buya. Ketika aku masuk, Buya masih sering merintih kesakitan seperti sebelumnya. "Nih Zila makan", ujar Bang Afif sambil menunjuk bawaannya. "Bang Afif izin pulang ya. Bang Afif gabisa lama-lama karena harus ke markas MR (Majelis Rasulullah) tapi mau pulang dulu ke Duren Sawit, biasa Ka Ica (istri Bang Afif) lagi hamil lagi ada yang harus dibantu sama Bang Afif", ucap Bang Afif. Belum aku menanggapi omongan Bang Afif, tiba-tiba suster masuk dan bilang, "Kak tolong urus administrasi lagi ya. Kita mau pindahin bapak ke ruangan sebelumnya karena bapak sudah sadar".
"Oh pindah ruangan?"
"Iya. Tapi nanti kalau bapak ga sadar lagi, kemungkinan kita pindah lagi ke ruangan ini", jelas suster.
"Ok sus", kataku sambil menerima kertas yang diberikan oleh suster. Suster pun pergi. "Bang pulangnya tunggu Zila selesai urus administrasi dulu ya. Zila mau titip Buya dulu", Bang Afif pun mempersilahkan dan bersedia menunda beberapa menit kepulangannya.
Setelah administrasi selesai dan Bang Afif pulang, aku dibantu dua orang suster pindah ruangan. Setelah pindah ruangan, aku menunaikan sholat zuhur. Setelah itu, aku tayamumin Buya dan membacakan dari niat sholat zuhur hingga salam di telinga sebelah kanan Buya. Ya sejak Zuhur hari Rabu, Buya sudah tidak bisa sholat sendiri meskipun memakai isyarat. Oleh karena itu, harus aku bisikkan semua bacaan sholat ke telinga Buya. Ketika aku sedang membisikkan bacaan tahiyat akhir di dalam sholat zuhur Buya, dr. Faizal dan timnya (timnya terdiri dari beberapa dokter spesialis kanker juga) masuk ruangan. Aku langsung memberikan isyarat, "Tunggu sebentar, sedang sholat". Mereka pun menunggu sampai aku mengucap salam di telinga kanan Buya. Usai Buya sholat zuhur, mereka pun masuk dan langsung memeriksa kondisi Buya. "Dok, boleh minta tolong periksa mata orang tua saya?", pintaku. Alasan aku meminta dokter untuk memeriksa mata Buya adalah karena aku ingat dengan omongan Ka Fadhi, "Pokoknya Zila gini aja, kalau Zila masih melihat bayangan Zila di bola mata Buya, InsyaAllah Buya aman. Tapi kalau Zila sudah tidak melihat bayangan Zila di bola mata Buya, ya itu artinya sebuah "tanda"", begitulah pesan Ka Fadhi atas pengalamannya yang menyaksikan Ummi wafat. Ketika aku sholatkan zuhur Buya, aku sudah tidak bisa melihat bayangan aku di bola mata Buya. Oleh karena itu, aku meminta dokter untuk memeriksa kondisi matanya Buya dan dokter pun memenuhi permintaanku.
14 notes · View notes
missdelfinov · 3 years ago
Text
Dua minggu yang lalu aku melahirkan janin yg sudah tidak bernyawa. Kira-Kira 15 minggu umurnya saat itu. Terimakasih anakku, sudah memberi waktu mama mu ini menyiapkan diri untuk melepaskanmu. Walaupun tetap saja sedih rasanya saat kamu keluar dari tubuhku. Sudah lengkap fisiknya, setengah tangan panjangnya. Yah, percaya saja ini memang takdir Allah yang terbaik untuk kami.
Hari Sabtu itu waktu untuk kami kontrol bulanan ke dokter kandungan. Seperti biasa, tiap mau kontrol rasanya deg-degan tapi excited ketemu baby. Saat dokter mulai memeriksa perutku dengan USG, awalnya kamu terlihat baik-baik saja. Secara 2D, fisik dan keadaan kandungan terlihat bagus. Tapi tiba-tiba dokter terdiam, mencari-cari detak jantungmu. Kenapa kamu kok diam saja? Aku hanya bisa terdiam, dan mencoba mencerna keadaan. Sedih, patah hati rasanya. Aku melihat mata suamiku berkaca-kaca. Dokter menanyakan apa aku pernah mual atau tidak enak badan? Aku merasa aku baik-baik saja, dibanding saat 1st trimester dimana aku harus bedrest setiap saat dan tidak kuat beraktivitas. Namun, kemarin jum'at aku memang sakit, seperti saat autoimunku kambuh, dan saat PMS. Pusing sekali kepalaku, kakiku kaku dan pegal sampai aku menangis. Ternyata bayiku memang baru meninggal sekitar 2-3 hari yang lalu. Aku bersyukur sekali Allah memberi aku kesempatan untuk melihat keadaan kandunganku saat masih baik dan sempurna. Jadi aku masih punya memori foto usg yang baik untuk kenang-kenangan. Dan aku masih diberi waktu untuk menyiapkan diri.
Tumblr media
Alhamdulillah aku mengalami natural miscarriage. Di hari minggu aku mulai mengeluarkan flek darah. Rasanya sedih tiba-tiba semua gejala kehamilanku hilang begitu saja. Di hari-hari awal rasanya kram perut ringan seperti saat haid. Pada hari Selasa tidurku tidak nyenyak, perut rasanya kram sekali, tiap jam rasanya kontraksi. Sudah siapin alas tidur kali-kali keluar semua pas tidur (ternyata ngga guys). Darahnya cuma keluar kalau lagi buang air aja ternyata, ga pernah rembes seperti haid. Jadinya cuma bisa dipijetin suami pakai aromaterapi, sambil atur nafas, lalu ketiduran-bangun-ketiduran dan seterusnya. Hingga akhirnya Rabu subuh sakitnya menghilang dan aku bisa istirahat.
Rabu siang mulai muncul kram kontraksi itu, akhirnya aku minum painkiller karena aku capek kalau harus menahan sakit dua hari tanpa istirahat. Jadi malam itu aku bisa tidur, dan Kamis pagi aku bangun dengan segar. Aku bisa beraktivitas, masak, dan yoga ringan. Akhirnya hari itu aku mulai banyakin minum kunyit, biar lancar aja sih maksudnya. Jam dua siang tiba-tiba sakitnya muncul lagi, yasudah aku minum pain killer lagi sambil duduk selonjor di sofa dan atur nafas. Tiba-tiba rasanya seperti kebelet buang air, tapi aneh. Kebetulan suami lagi di kamar mandi, aku suruh cepet selesai soalnya udah ga tahan. Lalu aku berdiri sambil jalan mondar-mandir. Tiba-tiba ada yang merembes, langsung aku lari ke kamar mandi dan jongkok di lantai. Keluarlah banyak gumpalan, dan akhirnya babyku. Dia nyangkut, aku minta suami membantuku mengeluarkan baby kami. Langsung kami bersihkan baby kami dan suami menyiapkan kuburnya.
Aku masih sempat jalan-jalan dan menggunting kain. Lalu perutku sakit lagi, lebih sakit rasanya, tiba-tiba darah ngucur banyak banget, aku panik. Ternyata aku mengeluarkan gumpalan-gumpalan besar dan plasenta yang besarnya kira-kira segenggam tangan. Baru setelah itu lega sekali rasanya, dan pendarahannya berhenti. Panik juga rasanya karena sebelumnya tidak pernah melahirkan, dan kebetulan belum sempet research tentang proses natural late miscarriage dan proses melahirkan. Karena memang kebanyakan keguguran terjadi di 12 minggu pertama kehamilan.
Kami mengubur Baby A di halaman belakang rumah kami. Jujur aku gamau lama-lama melihat babyku, akupun tidak ikut mengubur baby A. Kata suami, Baby A mirip aku wajahnya. Hidungnya mancung, wajahnya cukup runcing. Saat suami mengubur Baby A, Aku sibuk membersihkan sisa darah yang bertebaran di kamar mandi, di lantai, dan juga di badanku. Tadinya mau langsung ke klinik. Tapi aku lelah lahir dan batin rasanya, aku lebih memilih untuk istirahat dan makan yang banyak. Lagipula sudah tidak ada gejala seperti mual, pendarahan hebat, dan pusing.
Kami harus ikhlas. Walaupun awalnya ada rasa bersalah. Mengapa harus aku? Apa mungkin aku kurang berusaha dan semangat merawatmu? Atau mungkin aku kurang menjaga diri dan menjaga asupan giziku. Aku berterima kasih padamu dan Tuhan sudah mengizinkan aku untuk mengandungmu selama empat bulan ini. Hal yang selama ini aku kira tidak mampu aku lakukan secara alami. Terima kasih atas pelajarannya. Semoga dilain waktu aku sudah menjadi ibu yang kuat dan lebih baik lagi, dan kami dapat bertemu di surga yang kekal dan indah.
Baby A♡
Kamis, 24 Juni 2021.
6 notes · View notes
nrdhiva25 · 4 years ago
Text
01. Awal Yang Baru
Tumblr media
Ini merupakan hari pertama semua umat manusia kembali beraktivitas seperti biasa setelah libur nasional beberapa minggu. Dan seorang gadis masih setia dengan kasur dan selimutnya menjelajahi alam mimpinya. “AAAAAAAAAAAAAAAAAA” tiba-tiba anak itu berteriak histeris.
BRAKK!!
“Lia…. Lia, Lia kamu kenapa?? Heh! Ya ampunnn bangunnnnn” heboh Gendis, mama anak yang bernama lia tersebut. “AAAAAAAAA gue senenggg bangetttt” teriak Lia terbangun dan langsung memeluk erat mamanya. Gendis yang terheran langsung melepaskan pelukan dari anak satu-satunya itu. 
“ Kamu kenapa siihh? Bangun bangun langsung senang banget” tanya Gendis heran pada anaknya. 
“eh iyya kenapa aku senang banget ya? Tadi aku mimpi apaan yaaa? Duhh lia lupa maaa” bingung Lia. Gendis hanya menggeleng pelan melihat tingkah anaknya.
“ Maaa Lia berangkat, assalamualaikum” pamit Lia sambil mencium punggung tangan mamanya lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di persiapkan oleh mang udin.
“waalaikumsalam hati-hati ya nak” jawab Gendis sambil melambaikan tangannya dan memerhatikan mobil yang dinaiki oleh Lia hingga menghilang disebalik pagar rumah mereka.
  Setelah 10 menit dalam perjalanan tiba-tiba mobil yang membawa Lia tadi berhenti. “ ada apa mang? Kok berhenti?” tanya Lia heran.
“ga tau nih non, sebentar ya mang udin coba cek dulu” jawab mang udin lalu melepas seat beltnya dan segera keluar untuk memeriksa mesin mobilnya.
Dan ketika Mang Udin membuka kap mesin mobil langsung keluarlah kepulan asap yang membuat Mang Udin sedikit terbatuk-batuk.
Penasaran dengan apa yang terjadi, akhirnya Lia memutuskan untuk ikut turun dan melihat keadaannya.
“ kenapa mang? Ada masalah?” tanya Lia yang melihat Mang Udin sedang memijat pelipisnya.
“maap non, tadi perasaan waktu dirumah tadi udah Mang Udin cek semua. Tapi kenapa sekarang bisa mogok ya?” jelas Mang Udin masih dengan raut bingungnya.
“ yaudah mang gapapa, itu juga sekolah Lia udah deket tu di depan” ujar Lia sambil menunjuk kearah sekolahnya.
“Lia jalan aja” lanjutnya.
“duhhhh maap ya non, saya jadi ga enak” mohon Mang Udin sambil terus bergerak gelisah.
“iyya gapapa kok mang. Mang Udin urus mobilnya aja dulu, Lia duluan yaa” pamit Lia lalu mulai berjalan menuju sekolahnya yang tinggal hanya beberapa meter saja.
  “Aiissss” umpat Lia ketika sebuah mobil lewat dan melindas air yang tergenang di pinggir jalan mengakibatkan air tersebut terciprat ke baju Lia.
“gila tu orang, baju gue jadi kotor ni. WOIII BERHENTI WOIII” Teriak Lia yang sebnarnya percuma Karena orang yang berada di dalam mobil itu sama sekali tidak mendengarnya.
Tepat sekali! Mobil tersebut berhenti di depan sekolahnya. Karena merasa kesal Lia segera berlari menghampiri orang yang baru keluar dari mobil tersebut.
“WOI!” teriak Lia saat orang tersebut baru saja akan memasuki kawasan sekolah mereka.
Cowok yang betubuh tinggi dan berkulit putih itu sama sekali tidak menghiraukan teriakan Lia, dia masih tetap jalan.
Karena merasa diabaikan Lia kembali berlari mengejar cowok itu dan menarik baju seragamnya membuat cowok itu terhenti dan akhirnya membalikkan badan menghadap Lia.
“lo gatau caranya minta maaf setelah buat kesalahan ya?!” bentak Lia yang langsung di respon dengan mengangkat sebelah alis oleh cowok di hadapannya itu.
“nih! Lo liat ni! Baju gue jadi kotor gara gara lo!” lanjut Lia masih dengan emosi sambil menunjuk bajunya yang kotor.
Dan cowok tersebut masih saja diam dengan wajah datarnya tanpa minat untuk mengeluarkan suara.
“ ihhh malah diem, ini gimana sama baju gue woi?!” kesal Lia sambil menghentak hentakkan kakinya.
“bukan urusan gue” jawabnya lalu kembali melanjutkan langkahnya yang tadi sempat terhenti.
“ihhhh DASAR NYEBELIN!!’ teriak Lia.
 Setelah kejadian yang menyebalkan tadi Lia segera menuju Lokernya untuk mengambil seragam cadangannya. Untung saja ia sengaja menyimpan di loker untuk berjaga jaga jika hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti saat ini contohnya.
TING!
Lia baru saja sampai di toilet tiba tiba ponsel miliknya berdenting manandakan sebuah notifikasi masuk.
Adena S.A : Liii lo dimana?
Adena S.A : Bentar lagi bakalan bel upacara, lo ga telat kan?
Adena S.A : Masak hari pertama telat siiii
Cmlia C.C: bentar gue lagi ganti baju di toilet
Cmlia C.C: bentar lagi selesai kok
Cmlia C.C: lo duluan aja ke lapangan ntar gue nyusul
Setelah membalas pesan dari sahabatnya itu Lia segera berganti baju dan berlari menuju kelas lamanya untuk meletakkan tasnya terlebih dahulu baru setelahnya ia berlari ke lapangan menyusul seluruh murid yang sudah bersiap siap untuk memulai upacara.
“lama banget sih lo” ujar Ade ketika Lia sudah berdiri di sampingnya.
“ceritanya panjang, tapi yang jelas ini bukan hari baik gue” jelas Lia masih dengan nafasnya yang terengah engah akibat berlari tadi.
“makanya jadi anak gadis tuu jangan ngebo, biar rezeki lo ga di patuk ayam” balas Ade sambil terus mengahadap kedepan.
“gaada hubungannya bego. Bukan hari baik sama rezeki di patuk ayam” ngegas Lia tanpa mengontrol suaranya.
“siapa yang bego?” tanya seseorang dari belakang Lia.
“mampus deng” umpat Ade dengan berbisik, sedangkan Lia dia sudah mematung dan tak berani melihat siapa dibelakang.
“ikut gue” ujar orang tersebut lalu menarik paksa Lia yang hanya pasrah tanpa berani memberontak.
Setelah sampai di sudut lapangan yang sangat disinari oleh matahari yang kelewat cerah hari ini, orang tersebut langsung beranjak pergi meninggalkan Lia.
Namun baru beberapa langkah, Lia langsung berteriak menginterupsi membuat orang tersebut berhenti dan langsung berbalik.
“ELO!!” heboh Lia ketika menyadari siapa yang sedari tadi menarik tangannya.
Dia adalah Barra Rafeyfa Zayan Maulana atau biasa dipanggil Barra.
Seorang Ketua Osis yang sangat ditakuti karena sikapnya yang sangat dingin dan kejam juga misterius namun tetap dikagumi karena ketampanannya.
Lia langsung beranjak dari sudut lapangan menuju hadapan Barra, dengan napas menggebu gebu Lia langsung menggenggam erat kerah seragam milik Barra.
“GUE GA MAU TAU, POKOKNYA LO HARUS GANTI SERAGAM GUE YANG UDAH LO BUAT KOTOR TADI” bentak Lia.
Bukannya menjawab Barra justru meneliti seragam Lia mulai dari atas hingga kebawah.
“lo buta? Jelas jelas seragam lo ga kenapa napa. Gausa cari alasan, lo berdiri disini sampai upacara selesai dan jangan bergerak sebelum gue perintah” ucap Barra tak terbantah.
“tapi…”
“lo ngebantah gue tambahin hukuman lo” lanjutnya lalu pergi meninggalkan Lia yang entah sejak kapan sudah berada di sudut lapangan.
Setelah selesai upacara Lia dan anak anak lain yang telat juga yang tidak menggunakan seragam dengan lengkap, diperintahkan untuk mencatat nama mereka masing masing di buku hitam.
“LIAAA” panggil Ade ketika melihat Lia sudah keluar dari kumpulan murid murid yang sedang bernasib sial hari ini.
“sory ya Li, lagian lo juga siii pake acara ngegas segala” lanjut Ade ketika Lia baru saja sampai dihadapannya.
“udah la, gue badmood” balas Lia lalu beranjak menuju kelas tanpa menghiraukan panggilan Ade.
“udah gue tungguin bukannya makasih malah ninggalin, dasar cowo. Canda cowo” cerocos Ade yang entah ditujukan pada siapa, tapi yang jelas banyak murid murid yang menatap Ade sambil bergidik ngeri.
 Setelah dari lapangan Lia langsung menuju ke kelas yang dulu ia dan Ade tempati saat kelas 10 hingga 11.  
“Liiii kata Intan kalo mau tau nama kita di kelas mana cek di madding aja katanya” jelas Ade ketika ia telah menggendong tas kesayangan di bahunya.
“yaudah ayok ke madding, sekalian ntar singgah ke kantin dulu. Gue lupa bawa minum” ajak Lia yang langsung diikuti Ade.
“Liaaaa, Adeee, siniii” panggil Ulan yang sudah berdiri di dekat madding.
“ada apa Lan?” Tanya Lia begitu ia dan Ade sampai di hadapan Ulan.
“KITA SEKELASSS YUHUUU” histeris Ulan yang langsung di sambut oleh Lia dan Ade.
“YEEAAYY, bakalan asik nih pasti” heboh Ade.
“kelas mana?” tanya Lia.
“ 12 MIPA 3” jawab Ulan seadanya.
“yaudah yuk, cabut” Ajak Ade yang langsung menarik tangan kedua sahabatnya.
“jangan lupa kantin dulu, gue haus banget sumpa” Ujar Lia yang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Ade karena perempuan satu itu terlalu bersemangant sehingga jalannya menjadi cepat.
“Iyya iyya gue ga lupa kok” jawab Ade lalu kembali menarik Lia dan Ulan berbelok kearah pintu masuk kantin.
BYURRR
“LAGIIII?!” teriak Lia kesal Karena terkena tumpahan jus setelah tadi tidak sengaja menabrak seorang cowo yang baru saja ingin keluar dari kantin.
Dan tanpa rasa bersalah si cowo hanya mengambil gelas plastic yang telah kosong akibat minumannya yang tumpah lalu membuangnya ke tong sampah.
“WOI LU GA TAU CARA MINTA MAAF YA? HAH?!” teriak Lia dengan suara nya yang menggelegar membuat segala aktivitas dikantin terhenti, termasuk si cowo yang tadi di tabraknya.
“BARRA?!” kaget Lia setelah si cowo berbalik kearahnya.
1 note · View note
melinmenulis · 4 years ago
Text
Meja Makan
Alunan musik keroncong berdengung dari kejauhan. Suara air sungai mengalir setelah derasnya hujan yang datang semalam. Seorang anak berlarian kesana kemari menghasilkan suara teriakan kegembiraan atas kehadiran teman-temannya yang membawa loncat tali untuk dibuat main bersama. Angin yang sejuk dengan matahari yang tertutup oleh awan-awan tebal. Nina, wanita cantik berusia 25 tahun yang berambut panjang berkulit sawo matang, sedang duduk manis di depan rumahnya menikmati cuaca pagi yang indah.
“Mas Joko, reneo disek.” Suara Nina dengan kelembutan seorang wanita Solo memanggil tukang kebunnya. 
“Ada apa, cah ayu?” Jawab Mas Joko sambil menyirami tanaman-tanaman hijau yang berada di dekat Joglo di kediaman keluarga Nina.  
“Iki lho, Bapak ada keperluan dengan Mas Joko.” 
“Yongalaah, yowes tak urusi disek yo taneman-tanemane.” 
Terdengar suara lantang dari dalam rumah yang bernuansa Jawa Timur kediaman keluarga Nina. “Cah ayu eraaam, nyapo duduk neng arepan? Reneo! Dolan karo adikmu neng njero. Cah wedok koyo sampean ora usah nangkring neng arepan omah. Ra oleh.” 
“Iyo sek to, Pak.”. Nina berdiri dengan perasaan sedikit kesal karena Bapak menyuruhnya masuk ke dalam rumah untuk bermain dengan adik kesayangan keluarga, Adipati. 
Suasana jam 7 pagi di kediaman rumah keluarga Nina telah menghasilkan suara-suara dari dapur dan juga meja makan. Ibu Nina, Tris, dengan pembantu-pembantu wanitanya, menyiapkan makanan-makanan untuk sarapan keluarga. Rutinitas setiap pagi yang dilakukan oleh keluarga ini adalah untuk selalu makan di meja makan setiap sarapan dan makan malam. Adipati, anak laki-laki yang sangat dibanggakan keluarga yang baru saja berulang tahun ke 24 tahun, sedang dihadapi oleh tekanan ekonomi yang besar. Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 ini, membuat keluarga ini cemas akan kestabilan ekonomi.
“Nduk, ayo bantu Ibu memasak di dapur dulu. Cah wedok harus bisa mengurus suami nanti.” Ibu Nina dengan suara yang cukup lantang dari dapur yang sedang memotong bawang merah dan bawah putih. 
“Yah bu, biarin aku istirahat sebentar. Aku habis diskusi dengan Adipati mengenai krisis ekonomi yang sedang--” Argumen Nina dipotong oleh Ibu.
“Halah, ayo to, ora usah kebanyakan gaya sampean. Sampeyan iki lho wes umur 25 tahun. Mau sampe kapan kamu malas-malasan seperti ini? Kapan mau punya suami?”.
“Aku ora ngurus!” Nina berteriak di depan meja makan dan Bapak tidak segan-segan ingin menampar Nina yang dipandangannya kurang ajar. 
“NINA! Njaluk ngapuro karo Ibu! Sampeyan iki lho, cah wedok wani tenan berteriak seperti itu. Cangkemmu kui wuelek tenan! Saiki lingguh neng meja makan kene!”.
Suasana meja makan cukup tegang setelah kejadian itu. Nina duduk disebelah Adipati dan orang tua mereka duduk di seberang meja.` Adipati terlihat tenang menyuap Nasi Goreng Kampung buatan Ibu dengan Ayam Goreng yang dimasak sangat sempurna dengan kremesan sebagai makanan pelengkap. Nina terlihat sangat tertekan dan menahan amarahnya.
“Kita harus bisa memikirkan finansial keluarga kita, Pak. Kita bisa lama-lama menunggu usaha keluarga bangkrut. Rekan kerjaku yang merantau ke Jakarta, si Andi, sedang berkeluh kesah tentang pekerjaannya. Katanya sulit sekali.” Suara gagah Adipati menggelegar di satu ruangan meja makan. 
“Iyo, cah bagus. Bagaimana dengan usaha Emas kita?”
“Baik-baik saja, tapi yah begitu pak, lagi krisis. Kanan-kiri-depan-belakang sedang sulit…. Apakah kita jadi pindah ke Jakarta?” 
“Ora perlu, cah bagus. Seng penting sampeyan nyambut gawe ae. Suruh kakakmu itu, bilang suruh cepat nikah.. cepet cari bojo.” 
Nina pun tidak bisa menahan amarahnya dan tidak segan-segan untuk menggebrak meja. Tatapan Bapak Nina tajam melihat Nina berdiri dan menggebrak meja yang menghasilkan suara yang cukup kencang dan mengagetkan orang-orang di dapur.
“Bapak! Sampeyan iki lo keterlaluan. Kulo kakak paling sepuh ing ngriki lan kulo mboten nate dipunsukani pilihan! 2 minggu lalu Indra, 1 minggu lalu Laksmana, kemarin Abiroma. Kulo mboten remen kalih piyambakipun sedoyo! Napa kajengipun kulo milih pasangan gesang lan perjalanan kulo piyambak!” Nina berteriak sekencang-kencangnya dan tidak segan-segan lari mengarah keluar rumah. 
Tepat pukul 3 sore, matahari terik menyinari kota Solo. Tidak sedikit petani yang sedang mencabut padi-padi segar yang sudah siap diambil. Suara burung bersiul-siul yang bertengger di ranting pohon. Bunyi percikan air sungai yang mengalir cukup deras. Terdengar suara tangisan Nina yang sedang duduk di pinggir sungai. 
“Nuwun sewu, cah ayu.” seorang lelaki muda berkulit sawo matang sedang membawa banyak sekali padi yang siap untuk dibawa pulang untuk diproses. Lelaki itu tidak sengaja melihat seorang wanita muda yang sedang menangis dalam perjalanannya.
“Wonten nopo, Mas?” Tangan Nina yang langsung mengusap air matanya dan melirik lelaki yang sedang membawa padi dan sepeda kunonya. 
“Kenging menapa panjenengan muwun?” Suara halus lelaki tersebut secara tidak langsung membuat Nina berhenti menangis. 
“Mboten nopo-nopo, Mas. Mas tiyang pundi?” 
“Kulo tiyang ngriki asli. Beh beh, kulo lelah sanget ngurus bisnis keluwargi. Angel eram ekonomi saiki, beh jan apes. Oh, Mbake, kulo wangsul sek yo, Mbak. Amit--”
Percakapan singkat tersebut membuat Nina merasa lebih lega dibandingkan sebelumnya. Tidak lama, Nina bergegas balik ke rumah untuk bertemu kembali dengan keluarganya untuk meminta maaf atas perbuatan kasarnya tadi. Ketika Nina sudah sampai di depan rumah, Mas Joko sudah menunggu kedatangan Nina. 
“Non, kemana saja? Bapak dan telah mencari.”
“Oh, tidak apa-apa pak.” 
“Kalau bisa jangan keluar rumah dulu, cah ayu. Soeharto sedang mengurangi subsidi BBM. Takut ada kerusuhan, Non.”
Dari kejauhan, terdengar Bapak berdiri di depan pintu utama rumah dengan wajah penuh dengan kekhawatiran. Nina menghampiri Bapak dengan berlari sekencang mungkin. 
“Bapak, maafkan aku ya. Aku terlalu keras dengan--”
Bapak langsung memeluk Nina erat dan sedikit meneteskan air mata. 
“Ojo ngono yo, nduk. Maafkan Bapak.” 
Pada pagi hari, Nina membantu Ibu membawakan makanan-makanan untuk sarapan keluarga. Kali ini Bapak Nina tiba-tiba menggunakan baju Polisi yang di idam-idamkan selama sejak dia kecil. 
“Wuapik yo seragamku.” kata Bapak dengan senyum sumringah. 
“Iyo, pak. Doakan usaha Emas kita lancar ya.”Adipati pun sedang bersiap-siap untuk bekerja setelah beberapa hari tidak bekerja karena pekerjaannya di Toko Emas hampir bangkrut. 
“Aku karo Nina belanje sek neng Matahari Mall, yo.” Sahut Ibu yang sedang bersiap-siap untuk mengajak Nina berbelanja ke Mall. Keluarga Nina sudah siap untuk beraktivitas untuk hari yang cerah ini. 
“Cendol-cendol e, mas e mbak e.” Tukang es cendol melewati depan Toko Emas yang dimiliki oleh keluarga Nina tepatnya di depan Masjid Agung. Teriknya matahari pada pukul 10 siang tidak membuat para pekerja lengah dan berputus asa untuk mencari uang. Tidak lama setelah itu, keramaian datang dari kejauhan. Setidaknya ada puluhan anak-anak muda mengambil alih pertokoan di sekitar. Teriakan massa membuat Adipati yang kebetulan sedang ada di Toko Emas tersebut merasa cukup panik. 
“AYO SEMUA KELUAR! BAWA EMAS-EMASNYA CEPAT!”. Adipati menyuruh karyawan toko untuk segera membawa emas keluar dari toko. Secara cepat tanggap, Adipati membawa tulisan “Asli Pribumi, Asli Wong Jowo, Asli Muslim” dan menaruhnya di depan Toko untuk menghindari ancaman para massa yang rusuh. Namun, hal tersebut tidak membuat anak-anak muda berhenti menjarah Toko Emas tersebut. 
“KELUAR KALIAN SEMUA!” Teriak para anak-anak muda sambil membawa emas-emas dan mencegat jalannya Adipati. Kaki dan tangan Adipati dipenuhi oleh luka memar dan sayatan karena senjata tajam yang dibawa oleh para massa. 
“Nina, nduk, cah ayu, belanjaannya dibawa yang bener dong.” Ibu dan Nina sedang berbelanja pakaian untuk merayakan ulang tahun Adipati di hari Minggu nanti. 
“Iyo, buk. Ini kenapa barangnya banyak sekali? Nanti gimana bawanya?”
“Bisa, nduk.”
“Buk, ibu mencium bau asap dari lorong sana?”
Pandangan Nina tajam melihat puluhan massa menjarah Mall yang sedang dikunjunginya bersama ibunya. Nina melihat langsung tindakan kasar yang dilakukan oleh para massa kepada para penjual-penjual di Mall. Ibu menarik tangan Nina dengan sangat erat. Teriakan para penjual makin kencang. Barang-barang berjatuhan dan berhamburan. Asap tebal menutupi penglihatan para pengunjung. Situasi Mall menjadi sangat mencekam.  
Selagi Nina melihat sekitar, seorang laki-laki, berkulit sawo matang, merampas barang-barang yang dimiliki Nina dan Ibu. Nina pun menarik barang-barangnya kembali sambil berteriak “Jangan tarik! Saya pribumi, Ibu saya pribumi, saya wong jowo--” Teriakan Nina terputus pada saat Nina melihat wajah familiar yang pernah ia temui sebelumnya.
“Awakmu? Sing nggowo pari dek wingi?”
Mendengar kata-kata tersebut, laki-laki tersebut dengan cepat membawa belanjaan Nina dan Ibu. Dengan kasar, dia pun mendorong Nina dan Ibunya ke lantai lalu meninggalkan mereka dalam asap hitam yang tebal. Nina membantu Ibu bangun sambil menutup mulut dan hidungnya untuk menghindari asap. Dengan sisa tarikan nafas yang ada, Nina menggendong Ibu dan tetap melanjutkan perjalanannya untuk keluar. 
“Ibu, kulo badhe wangsul. Pulangkan kulo, bu.” Nina merasa sangat ketakutan dan kesakitan sambil berlari mencari jalan keluar melewati asap. 
“Komandan! Sedang terjadi kerusuhan di Jalan Selamet Riyadi. Ratusan ribu orang memenuhi jalan! Banyak korban luka-luka!” Rekan polisi menepuk pundak Bapak dari Nina yang menjadi salah satu pimpinan kepolisian. Tanpa basa-basi, Bapak segera memanggil para anak buah untuk turun ke lapangan memastikan keamanan para warga. Bangunan rumah ibadah, pertokoan, mall dan bank rusak. Para massa mulai melempar batu dan merampas barang dagangan yang berada di toko. Matahari Mall telah dipadati ribuan orang yang melempar batu dan membakarnya. Para polisi siap melawan para massa. Namun, para massa tidak segan-segan melawan para polisi. Batu dilempar. Senjata tajam. Darah. Keringat.
“BUNUH POLISI! BUNUH POLISI!” teriak para mahasiswa yang menjadi salah satu massa yang membuat ricuh. 
Tidak lama setelah itu, darah mengalir dari kepala Bapak Komandan. Terjatuh tidak sadarkan diri. 
“Tulung aku, Gusti Allah.”
Suasana kediaman keluarga Nina sunyi sepi. Daun-daun hijau bertebaran. Kaca rumah pecah yang menyebabkan beling bertebaran di sekitar pintu utama. Pepohonan yang sebelumnya hijau, sekarang menjadi kecoklatan dan layu. Dapur tidak lagi diisi oleh teriakan para pembantu yang sibuk memasak. Meja makan kosong. Tidak ada sarapan maupun makan malam. Yang tersisa hanyalah memori yang tidak akan pernah pudar. Tidak akan pernah tiada. 
2 notes · View notes
wetiartika · 5 years ago
Text
Tiara Memanggil
"Share"
Laki-laki itu menekan tombol itu di fitur Instagram Story. Gambar yang diabadikannya sederhana, sebuah foto kursi-kursi yang berderet panjang dan isi Trans Jakarta yang lengang dan hanya ada 6 orang termasuk supir dan rekannya. Sedikit kabar baik yang memilukan sebenarnya. Semenjak Pemerintah mengeluarkan edaran untuk di rumah saja selama hampir 2 Minggu terakhir, pengguna jasa kendaraan umum satu ini bisa duduk dan merasa lebih lega, karena ketika keadaan normal, jangankan mendapat tempat duduk, untuk menemukan Trans Jakarta yang masih bisa dinaiki saja sudah syukur tak terhingga, apalagi di jam pulang kerja.
Laki-laki itu memasukkan ponsel ke saku kemejanya yang berwarna merah hati dan kemudian terlihat berusaha untuk memejamkan mata. Dia terlihat lelah sekali, perusahaan di tempatnya bekerja belum memberikan keputusan untuk bekerja dari rumah, padahal dia m dan rekan-rekan di kantornya sudah berharap banyak, tapi mau bagaimana lagi? Beberapa perusahaan memang terkadang mau tidak mau harus tetap bekerja normal di tengah wabah mematikan ini, apalagi di bidang pelayanan jasa.
Saat matanya sudah hampir terlelap, ponsel di saku itu bergetar singkat, sebuah pemberitahuan dari Instagram, tanda bahwa ada orang yang mengomentari postingannya. Laki-laki usia 27 tahun itu melihatnya malas, lalu kemudian duduk sikap sempurna ketika membaca nama yang mengirimkan pesan itu.
"Kamu masih belum WFH, ya?" Sebuah akun mengomentari foto yang ia unggah tadi.
Dia tersenyum simpul membaca pengirim pesan itu. Sudah lama sekali mereka tidak bertukar kabar. Fakta bahwa perempuan yang pernah mengisi hatinya itu merespon foto yang ia unggah, membuat perasaannya membaik.
Dia terlihat buru-buru membaca kembali pesan balasannya dengan seksama. "Iya masih belum ada keputusan untuk kerja dari rumah, sulit.." jawabnya.
Lalu sebelum dikirim kembali dibaca, khawatir ada kurang huruf atau salah ketik.
Lama laki-laki itu memandangi ponsel miliknya, berharap segera ada balasan, tapi sayangnya ponsel itu tidak lagi berbunyi hingga Trans Jakarta sampai ke halte dekat kontrakan yang ia tuju.
Setibanya di kontrakan, dia bergegas membuka masker kain, melepas pakaian dan merendamnya dengan deterjen serta air hangat. Setelah beres dengan urusan mencuci pakaian dan mandi, dengan wajah lelah dia masuk ke kamar. Beristirahat sebelum adzan Magrib berkumandang. Seluruh _deadline_ membuat tubuhnya serasa dipukul dengan kayu, benar-benar hari-hari yang sibuk dan tanpa istirahat yang cukup semenjak Corona menyebar dan membuat banyak kekacauan terjadi.
Baru akan terlelap, ponsel yang diletakkan di atas meja dekat dengan tempat tidurnya kembali berbunyi. Dengan malas ia membaca pemberitahuan.
"Sayang sekali. Saya kira kamu sudah mulai WFH. Gimana sama stok makanan? Ada?"
Matanya sempurna terbelalak. Sebuah akun dengan nama yang sama ketika di Trans Jakarta tadi tertera di layar pemberitahuan ponselnya. Perempuan itu membalas pesan yang tadi. Laki-laki itu akhirnya meninggikan bantal untuk memposisikan diri agar lebih nyaman.
"Akhir-akhir ini kantor lagi tinggi permintaan jadi deadline makin banyak, sekarang cuma pakai sistem _shift_ tapi aku nggak termasuk di sana, jadi ngantor seperti biasa." Balasnya lagi.
"Sulit ya…"
"Gimana sama stok makanan, ada?"
Laki-laki itu kembali tersenyum simpul. Ia merasa senang karena ini kali pertama perempuan itu membalas cepat pesan yang dikirimnya. Biasanya, butuh waktu lama untuk pesannya dibalas dan dengan jawaban yang singkat dan padat. Tapi ini berbeda.
Dia mengetik balasan dengan hati-hati,
"Alhamdulillah stok makanan ada, di sini dekat dengan pusat perbelanjaan. Tapi sulit buat cari masker dan cairan pembersih tangan, padahal aku butuh banget itu sekarang. Selain itu, akhir-akhir ini aku membatasi baca atau informasi tentang Corona, untuk jaga-jaga biar berkurang kecemasan dan bantu untuk menjaga imun," balasnya. Laki-laki itu mengetukkan jari-jari tangannya di layar ponsel, dan terlihat lega ketika melihat ada balasan.
"Hmm, semoga syukur dan sabar kamu semakin luas ya. Jaga kesehatan," balasan kali ini singkat. Dia mengangguk dengan tanpa sadar. Pasti ia akan menjaga kesehatannya.
"Keluarga kamu gimana kabarnya? Jangan lupa kabari keluarga, mereka pasti khawatir.."
Menyusul sebuah pesan lagi. Jantung laki-laki itu berdebar. Ah, dia tahu bahwa perempuan yang sedang _chatting_ dengannya adalah sosok yang baik dan perhatian tapi entah mengapa sulit sekali berpikiran bahwa perempuan itu juga melakukan hal yang sama ke teman-teman yang lain. Ia juga merasa sulit sekali menahan agar tidak terbawa perasaan dengan perhatian sederhana yang disampaikan perempuan itu.
"Ibu sudah aku kabari, syukurlah keluarga di sana semuanya sehat. Aku sudah sampaikan dan minta doa supaya semuanya terhindar dari wabah ini. Pun misalnya suatu saat, aku jadi salah satu yang juga terdampak, aku sudah minta ibu untuk ikhlas dan memasrahkan semuanya ke Allah, yang penting di sini aku meninggikan ikhtiar. Oh iya, kamu dan keluargamu gimana keadaannya?" Dia mengetik kalimat terakhir dengan hati-hati, karena tahu bahwa perempuan itu biasanya tidak suka ketika ditanya kabar seperti ini.
"Alhamdulillah semuanya baik-baik saja, makin sepi dan seperti halnya di Jakarta, masker dan cairan pencuci tangan makin susah dicari, semua harga barang juga sudah mulai naik.."
Dia merasa lega ketika membaca balasan pesan dari perempuan itu, lalu berdiri sejenak menghidupkan kipas angin, karena merasa lebih panas dan gerah.
"Kamu jaga kesehatan di sana. Semoga wabah ini bisa segera mereda jadi kita bisa beraktivitas seperti biasa. Jangan lupa usahakan beli keperluan yang dibutuhkan jadi nggak terlalu banyak pengeluaran.." dia kemudian melanjutkan balasan dengan cepat. Kali ini sudah yakin tidak ada salah ketik.
Setelah mengirim pesan, laki-laki itu menaikkan tingkat kecepatan kipas angin, terasa panas sekali, hingga badannya berkeringat cukup banyak.
"Siap," balas dari pemilik akun yang sama, perempuan yang sudah membuatnya merasa senang dan terluka beberapa bulan terakhir.
Laki-laki itu menggaruk kepala yang tidak gatal. Sayang sekali percakapan ini harus segera berakhir. Dia tahu bahwa biasanya perempuan itu tidak akan membahas sesuatu yang tidak penting dan hanya akan menghubungi dengan alasan yang tepat. Itulah salah satu alasan mengapa ia tertarik padanya.
Dia melirik jam, sebentar lagi masuk waktu shalat magrib dan laki-laki berambut pendek itu sadar bahwa dia belum menyiapkan menu berbuka puasa. Tanggung, pikirnya. Keringat masih terus bermunculan dan ia merasa panas. Sambil menunggu, dia duduk sejenak di kursi yang teeletak di dekat kasur, memeriksa beberapa pesan di aplikasi perpesanan dan kemudian kembali membuka Instagram.
Laki-laki itu kemudian membuka akun perempuan yang tadi bertukar pesan dengannya, melihat postingan Instagram di profilnya dan tersenyum membaca setiap tulisan-tulisan yang ada di sana. Menarik dan menyenangkan untuk dibaca, seperti pemiliknya.
Setelah berpikir sejenak, dia memberanikan diri kembali mengirim pesan untuk perempuan yang berada di beda pulau dengannya. Dia mengetik dengan hati-hati dan banyak pertimbangan. Sembari mengetik dia mengelap keringat yang makin banyak, kali ini cukup untuk membuat nafasnya terasa sesak karena panas yang kian menggila.
"Ra, aku tahu bahwa jawabanmu atas lamaranku kemarin adalah atas pertimbangan paling matang, tapi hingga hari ini sulit bagiku untuk tidak menunggu kamu, perempuan yang kutuju. Aku harap kamu bisa segera selesai dengan dirimu sendiri, seperti katamu, jadi aku bisa kembali datang dan mengulangi permintaan yang sama juga berharap agar nantinya bisa menerima jawaban yang lebih baik."
Pesan terkirim.
Dia melanjutkan mengetik pesan, dahinya tampak berkerut, ia memegang sekitar bajunya yang basah oleh keringat.
"Ra, sebenernya sudah hampir 2 Minggu ini aku tidak baik-baik saja. Aku sering batuk-batuk dan merasa sesak ketika bernafas, apalagi ketika sedang rebahan, dadaku semakin sakit rasanya. Tapi InsyaAllah 3 hari lagi aku akan periksa ke dokter, sudah membuat janji. Aku berharap nanti semuanya baik-baik saja. Pesan ini untuk kamu, Ra. Semoga kamu senantiasa bahagia dan menemukan hal-hal baru yang membuatmu nyaman dan makin luas kebermanfaatanmu."
Pesan terkirim.
Kali ini ia batuk-batuk dan berusaha perlahan-lahan untuk mengurangi sakit yang membuatnya kesulitan bernafas. Sementara badannya makin terasa panas.
"Ra, kalau aku pergi lebih dulu, tolong jangan lupakan aku. Ingat aku dengan mengunjungi ibu di rumah, alamatku ada di buku alumni dan belum berubah. Ibu akan sendirian dan aku tahu beliau pasti merasa kesepian. Jadi jika setidaknya kita tidak bersama sampai akhir, aku harap kamu bersedia jadi teman untuk ibuku, cukup hingga kamu merasa bosan, Ra.."
Pesan terkirim.
"Ra, Terima ka .."
Kalimat terakhir belum sempurna terkirim ketika laki-laki itu tiba-tiba menekan dadanya. Ia menggigit bibirnya menahan rasa sakit, batuk-batuk membuatnya makin kesulitan bernafas dengan lega. Tidak lama ia mencoba keluar dari kamar kontrakannya, berusaha untuk memanggil seseorang di luar kamar tapi sayangnya sudah lebih dulu jatuh terjerembab.
Selang beberapa menit kemudian ponselnya bergetar..
"Tiara Memanggil…"
Alih-alih mengangkat panggilan telepon yang sudah sekian lama ia tunggu, bahkan menggerakkan ujung jarinya saja ia kesulitan. Tubuhnya bergerak cepat, ia merasa makin sulit bernafas, sesak, panas, sulit dan gelap..
28 Maret 2020, 14:36
-wetiartika-
2 notes · View notes
ekspansiperempuankecil · 5 years ago
Text
#MonthlyProject - Ketika Semua Sudah Berlalu Bagian 1
“Kenapa melupakan bisa sesulit itu?” Aku bertanya mereka ketika rumah akhirnya sudah sepi. Para pelayat, sudah pulang sejak satu jam yang lalu, Hanya tinggal kami berlima yang sekarang duduk di ruang tamu, dan beberapa saudara yang beristirahat di ruang tengah sambil menonton acara Tv.
Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab. Kami sama-sama lelah dengan kejadian yang datang bertubi-tubi, bagaikan ditabrak gerbong-gerbong kereta laju cepat. Kematian kedua orang tua yang menurut kami sangat tiba-tiba cukup menguras tenaga dan tentu saja membuat kami kesulitan menapak pada realita. Ironisnya, ini merupakan pertemuan kami yang paling lengkap setelah sekian lama tidak bertemu. 
“Kita harus istirahat. Sudah 2 hari ini, kurang tidur. Kasihan badan kalian, lusa sudah harus beraktivitas seperti biasa” Putra -Kakak tertua diantara kami- memecah keheningan sambil berdiri dan memberi perintah. Dia tidak berani menatap mataku yang kini sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sampai pada akhirnya mata kami bertemu, dia mengucapkan kalimat tanpa tenaga “Kita bahas besok, aku lelah”. Kami menuruti kata-katanya, dan berpencar pergi ke tempaT kami bisa beristirahat dengan tenang di rumah ini.
Aku memutuskan untuk beristirahat di kamar belakang yang dulu menjadi tempatku dan Putri-Kakak perempuan satu-satunya- tidur bersama ketika SMP dan dia SMA. Bedanya, kamar itu sekarang sangat berdebu. Bahkan ada banyak sarang laba-laba di setiap sudut ruangan. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk langsung beristirahat, alih-alih mengambil sampu dan pengki untuk membersihkan debu-debu yang menempel. Setidaknya sampai kamar itu layak ditinggali kembali.
Ketika aku baru sampai seperempat jalan membersihkan debu-debu membandel di sudut-sudut kamar, Iqbal-Kakak laki-laki kedua- masuk sambil membawa 2 kaleng minuman bersoda. Satu kaleng yang dipegangnya sengaja  dilempar ke arahku yang cukup sigap untuk menangkapnya. Aku tersenyum sinis sambil memperhatikannya yang sedang berjalan menuju salah satu tempat tidur dan duduk sambil meminum soda miliknya.
“Ini kalo dibuka disini, kegiatan bersih-bersih yang sejak tadi aku lakukan jadi sia-sia” aku menyimpan botol itu di meja belajar dekat tempat tidur yang Iqbal duduki sekarang. Dia hanya tertawa, sekali lagi meminum sodanya. Aku pun melanjutkan apa yang sedang kulakukan tadi, membersihkan debu membandel di sudut-sudut kamar. Sambil memunggungi Iqbal yang hanya memperhatikanku bekerja, kedua tanganku cekatan membersihkan sudut-sudut kamar.
“Ada banyak masalah yang tidak bisa diceritakan, Nan. Bahkan ketika kita pikir solusinya sudah ada di depan mata, tidak pernah ada yang mudah ketika membicarakan tentang trauma dan masa lalu. Sekarang mungkin kita bisa dengan lantang meminta penjelasan dan bersikap biasa saja setelah mendengar kenyataan yang pahit itu. Tapi apa kamu yakin akibat dari setelahnya yang mungkin terasa setelah itu?”. Tanganku berhenti setelah Iqbal selesai mengucapkan kalimat panjang itu. Ia lalu melanjutkan dengan kata-kata yang lebih menyakitkan.
“Kamu bertanya kenapa melupakan sesulit itu, kan? Karena kenyataan menyakitkan itu tinggal di dalam memori kita. Sebagai alat pertahanan diri. Kalau nanti suatu saat kita mengalami hal yang menyakitkan seperti itu lagi, diri kita sudah lebih siap menghadapinya. Menyebalkan memang, tapi itu yang membuat kita bisa bertahan sampai saat ini kan?” 
“Bukan hanya kamu yang sakit. Masing-masing dari kita sama-sama membawa trauma dan luka yang terlalu sulit untuk diungkapkan satu sama lain. Selain karena memang sejak dulu kita selalu diajarkan bahwa mengumbar rasa sakit dan masalah adalah sesuatu yang tabu, akhirnya kita semua hanya bisa membicarakannya sendiri-sendiri. Mencari pelarian yang tidak bisa kita temukan di dalam keluarga kita sendiri. Sampai akhirnya itu membuat kita jadi tidak saling mengenal satu sama lain.” “Tapi apa perlu berbohong selama itu? Aku bahkan tidak bisa marah-marah, tidak bisa menangis, tidak bisa meluapkan apapun. Mereka sudah pergi duluan, meninggalkan kita semua. Membiarkan kita jadi orang bodoh..” Tenggorokanku tercekat di kalimat terakhir. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan apa yang ingin aku utarakan. Semakin banyak yang ingin keluar, bukan semakin lega tapi malah lebih banyak duri menancap yang membuatnya semakin terasa sakit.
“Nan....” Iqbal berusaha meraih pundakku untuk menenangkanku yang kini terisak pelan.
“Putra benar, kita sama-sama lelah. Tolong keluar, aku mau istirahat. Benar-benar istirahat” Kataku tanpa menoleh ke arah Iqbal sedikit pun. Suara pintu ditutup terdengar menandakan aku sekarang sendirian di kamar itu. Meski sudah sendiri, tapi aku tidak pernah bisa menangis meraung-raung. Aku masih saja duduk menghadap tembok sambil menangis pelan.
Malam itu, aku tertidur di lantai sambil memeluk kedua lututku dan pipi yang basah oleh air mata.
Jakarta, 8 Februari 2020
sn
Menyelsaikan tulisan ini sambil mendengarkan lagu Davichi - Love Is.... The feeling just so raw...
2 notes · View notes
denycahyawati · 6 years ago
Text
Hidup kedua
Tumblr media
Masih berada di Stasiun Bekasi, bodohnya saya gak tau jadwal kereta berikutnya yang saya tumpangi pukul 22.49 sedangkan saya tiba pukul 21.20.
Ohyaa, saya juga belum buka puasa. Tadi hanya membeli rujak depan Alfamart dan bertengger ke Sbux, the deadline is killing me! Sekarang perutku mulees di stasiu. Tapi aku sadar sedang sendirian. Eh ada Allah ding :’)
Aku benci Bekasi!! Sama seperti Pras dulu pernah mengumpat soal kota ini. Aku disini karena ada beberapa urusan kerjaan, sendirian dan ini bikin aku menyadari hidup ku seperti kehidupan kedua.
Memulai segala nya dari nol. Dan jauuuhhh dengan aku yang dulu. Karir mulai nol, makan-beraktivitas sendiri, masih terapy dan minum obat untuk sehat sendiri. Tanpa orang tua dan canda tawa mereka di kota antah berantah ini :’)
Aku yang terbiasa terlalu di protektif in oleh ortu dan sahabat terdekat. Kemana-mana ada yang nganter, gak biasa sendiri, cengeng. Sekarang..semuaanyaaa dijalani sendiri, tetep cengeng sih cuman skg nangisnya dipendem. Banyak hal yang aku takuuuuttt sekali tapi dipaksa berani. Seperti aku melihat banyak orang di stasiun atau antri halte. Aseli untuk saya yg introvert melihat segitu banyaknya orang kaki langsung gemeter, ingin lari menjauh, kadang sampe sedikit linglung dan ingin berteriak.
Namun, gak boleh. Aku tetap harus berjalan menyusuri kerumunan orang yang buanyaask itu dengan konsekuensi mbrebes mili yang ampe nyesek, tangan gemeteran. Yah, karena ini sesuatu hal yang tidak biasa bagi saya.
Saya dulu yang tak terbiasa bergaul dengan laki2 sekarang dihadapkan dengan berada ditengah2 temen kerja yang semua nya laki-laki. Hidup saya jadi se amazing ini alhamdulillah. Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambanya bukan?
Saya menangis bukan berarti lemah ataupun ingin nyerah. Menangis buat saya ada luapan emosi marah-takjub-kaget. Yah, kurang lebih seperti itu.
Seseorang yang beberapa waktu pernah berikrar “aku bisa bantu apa?”
“Untuk apa?” Tanyaku
“Untuk semua hal yg kamu butuhkan di kota ini” jawabnya
“Tak perlu, cukup support dan temenin aku”
“Pasti” senyummu
Dan ikrar yang sama ketika ia membuatku sangat down
“Ingat ya aku bisa bantu kamu sembuh”
“Apa perlu nyawa ku buat itu”
“Aku gak akan ninggalin kamu”
Aku sangat percaya kamu. Namun akhirnya itu hanyalah ucapan omong kosong :’)
Terima kasih sudah membawaku keatas tebing. Mungkin ilustrasinya seperti ini.
“Ayo ikut aku keatas tebing, akan ku tunjukan keindahan untukmu”
“Sungguh? Aku percaya kamu”
“Iya, tapi kamu tutup mata ya” sambil mengecupku
“Apapun Pras, aku mempercayaimu”
Setelah sampai diatas tebing aku takjub
“Pras ini sungguh indah”
Kau mengecup ku berkali-kali. Menit berikutnya kau dorong aku ke dasar jurang yang tanpa ada apapun disana. Luka disekujur tubuh terasa perih dan ketika aku membuka mata, kau sudah tak lagi ada. Aku berteriak
“Pras..tolong aku, aku tidak bisa berjalan”rintihku
“Pras kamu dimana?”
“Pras, Pras, Mas Pras...!!”
Aku berteriak dengan keras, berharap kau bisa mendengarku lalu membantuku berdiri dan membawa ke rumah sakit. Tapi nihil.
Nyatanya aku masih bernapas, merangkak terseok sendiri menuju rumah sakit. Aku tidak bisa berdiri tanpa dokter. Disaat itu aku menyadari aku sendiri dan jauh dari kehidupanku.
Bersyukur aku diberi hidup kedua. Aku malu jika bunuh diri. Amalku tak sebanding dengan dosaku, apalagi karena seorang makhluk.
Aku bisa berdiri walau banyak air mata, walau kesakitan, walau tidak ada keluarga, walau ketakutan hingga berlari dan teriak gak jelas. Aku menerima keadaanku. Allah pasti menolongku.
Yang aku sadari saat ini semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfudz, begitupun hidup yang kujalani saat ini. Pasti disana sudah tertulis sebelum aku lahir di dunia ini.
Dan jadikan sholat dan sabar sebagai penolongmu. Alqur’an sebagai obatmu.
Aku kuat kok, tapi nahan mules di perut. Suara kereta komersial terdengar begitu menakutkan buatku. Kereta ku setelah ini tiba. Terima kasih untuk “aku” yang masih kuat sampai detik ini. Selamat berpetualang
Bekasi, 28 Juni 2019 pukul 22.40
9 notes · View notes
babblingpipit · 6 years ago
Text
Greed
Melbourne lagi dingin banget akhir-akhir ini. Kebetulan di kampus aku dapet ruangan sendiri (sebetulnya share dengan satu orang sih tapi beliau kebetulan punya dua kantor dan lebih sering di kantornya yang lain) dan di masing-masing ruangan ada AC sendiri. Jadilah setiap hari ACnya kustel 27 derajat celcius agar hangat dan nyaman saat bekerja. Masalahnya dirumah kita ga punya AC, cuma punya heater elektrik dan selimut elektrik yg butuh waktu lama untuk menghangat dan hangatnya pun ga akan sampe senyaman di kantor.
Akhir-akhir ini aku terkadang mengeluh di dalam hati karena landlordku menaikkan tarif sewa sejak kedatangan Adit. Argumennya adalah karena bills air dan listrik meningkat. Tapi aku selalu ngedumel karena kurasa kenaikan yang diberikan untuk aku terlalu besar karena kayaknya konsumsi listrik dan air serumah sebelum dan sesudah ada Adit sama aja (karena toh nyuci, mandi dan heater kan bareng sama aku paling nambah ngecas hp doang. Haha iya kita mandi bareng biasanya biar hemat waktu wkwkwk).
Lalu mulailah aku nyari-nyari akomodasi lain yang mungkin lebih murah. Sebagai gambaran rent kami sekarang AUD 1150 per bulan sudah termasuk semua bill. Sebelum ada Adit rentku AUD 915 di kamar dan fasilitas yang sama. Btw aku menempati main bedroom dirumah itu yang memang luas sekali. Mungkin sekitar 25-30m2.
Suatu hari di facebook ada iklan akomodasi seharga AUD 700 tapi belum termasuk bill, setelah ku tanya-tanya katanya billnya sekitar AUD 120. Wah murah sekali, kupikir. Lalu pergilah kami menginspeksi kamar yang bersangkutan. Ternyata rumah tersebut bahkan tidak memakai heater dan electric blanket, boro-boro AC. Kata mas yang tinggal disana, mereka biasa pake jaket dirumah. Ukuran kamarnya pun sekitar setengah dari ukuran kamar kami sekarang. 
Aku seketika nyengir sambil meringis. Rasanya manja sekali ya, udah dikasih fasilitas bagus dengan harga yang masih bisa dijangkau malah mengeluh terus. Mahallah, ga ada AClah, sementara ada orang yang ditengah winter begini bahkan tidak pake heater. Rumah yang aku tempati sekarang berdiri di tanah yang luasnya sekitar 100m2 dan hanya sharing dengan 2 orang lainnya. Sementara di akomodasi yang diiklankan, luasnya tak lebih dari ukuran kamar kami dengan gudang dan toilet dan dishare dengan jumlah orang yang sama.
Subhanallah, rasanya mataku baru terbuka. Selama ini kita memang tinggal di kawasan ‘agak elit’ sih. Dibandingkan dengan tetangga sekitar, mungkin  rumah kita biasa aja dan agak tua. Kupikir di Melbourne memang standar rumahnya seperti di lingkungan rumahku. Ternyata masih ada juga flat-flat serupa rusun.
Aku baru sadar betapa aku selama ini hidup di dalam bubble. Lingkungan kampus yang dipenuhi akademisi-akademisi cerdas, lingkungan rumah yang bertetangga rumah-rumah modern. Terkadang memang perlu ditampar oleh ketamakan sendiri untuk menyadari betapa beruntungnya kita berada dititik kita berada sekarang. Bahwa tidak semua orang memiliki privilej dan fasilitas yang sama dengan yang kita nikmati sekarang. And it’s completely fine. 
Lalu sekarang aku jadi rajin. Biasanya kalo lagi dingin maunya didalam selimut nyalain elektrik blanket. Males masak, maunya ubereats. Males nyuci piring meskipun pake dishwasher. Pokoknya males keluar kasur. Sekarang setiap mau ubereats entah kenapa jadi inget orang-orang yang dirumahnya gaada heater aja ga males buat bangun dan beraktivitas, jadi malu sendiri. Memang bener-bener ditampar ketamakan sendiri itu membekas ya.
11 notes · View notes
tikaalmira · 6 years ago
Text
Lost in Bulgaria
Sebuah sentuhan membangunkanku. Samar kulihat wajah wanita dengan kemeja putih dan garis wajah yang asing. Hidungnya tajam, seperti banyak fitur lain yang juga runcing di wajahnya, dengan bingkai rambut hitam yang lebat bergelombang. Satu, dua, tiga detik, barulah  aku sadar ia kenek bus yang aku naiki di perjalanan dari Plovdiv ke Istanbul. Dibanding kenek bus yang biasa aku temui di bis antarkota di Indonesia, mungkin ia lebih seperti pramugari di pesawat. Tugasnya melayani penumpang seperti menawarkan segelas teh panas, memberikan air minum, dan mengecek paspor.
Kutatap jam, baru dua setengah jam berlalu sejak aku duduk di bis ini. Seharusnya aku belum mencapai Istanbul di jam 3.30 pagi. Tiket yang kupesan adalah Plovdiv-Istanbul pukul 00.30 sampai 07.00 pagi.
“Passport check,” ujarnya.
Aku berdiri, mendapati semua orang sudah turun dari bis dan mengantri di depan pos imigrasi Turki. Ternyata aku sudah ada di perbatasan antara Bulgaria dan Turki. Kutengok tas selempangku yang berwarna tosca muda, dan kulihat paspor ada di sana, satu dari dua dokumen yang biasanya harus kusiapkan untuk petugas imigrasi. Kartu residence permit-ku juga seharusnya aman di dalam boks kartuku yang berwarna hitam, tempatku menyimpan segala jenis kartu. Hidup di Eropa sungguh berbeda. Di Indonesia kartu yang esensial hanya kartu ATM-ku saja. Sementara dengan seluruh kecanggihan teknologi, mendadak aku hidup bergelimang kartu sehingga butuh tempat khusus.
“Do you have other European Visa?” tanya petugas imigrasi. Visa Belanda di pasporku memang sudah tidak berlaku.
“Yes, I have residence permit from the Netherlands,” jawabku yakin sambil membuka kotak kartu.
Kartu debit bank Belanda, kartu kredit, kartu debit bank Indonesia, kartu kereta, kartu pelajar, kartu asuransi, kartu kereta cadangan, kartu member gym kampus, dan aku terpaku. Kartu yang kucari tidak ada.
“I think I leave it in my other bag,” kilahku.
“Please look for it. I need it.”
Patuh pada perintahnya, aku pun kembali ke bis membongkar seluruh isi ransel biru donkerku.
Kamera mirrorless, lengkap dengan charger.
Ipad, lengkap dengan charger.
Satu set baju kotor dalam keresek.
Satu set baju bersih.
Seperangkat alat mandi lengkap dengan make-up.
Handuk.
Dua tempelan kulkas yang kubeli di Sofia.
Buku bacaan.
Map berisi berbagai kertas.
“Pasti ada di dalam map ini, terselip.” Dalam hati aku bergumam sambil membongkar satu per satu isi map.
Lukisan cat air, berbagai kartu pos bergambar lukisan cat air, tiket-tiket museum; itu saja yang kutemukan. Aku menghela napas berat. Kubongkar lagi bagian depan tasku dan mendapati bahwa di sana hanya ada kunci kamar, stabilo, lip cream, dan coin pouch. Kartu saktiku untuk bisa keluar masuk negara mana pun di Eropa seakan mengalami sublimasi bagai seonggok kapur barus. Di antara semua kartuku yang kusimpan kotak kartu, hanya itu saja yang raib. Dengan langkah berat aku kembali ke hadapan pria 30-an tahun yang sudah memasang wajah gahar, sebagaimana pekerjaan menuntutnya.
“Ada visa untuk masuk Turki?” tanyanya lagi setelah kubilang bahwa kartuku tidak ada.
Aku menggeleng. Bodohnya aku yang baru memutuskan di tanggal keberangkatan untuk pergi ke Turki tanpa memeriksa aturan imigrasinya. Padahal ternyata visa Turki bisa dimohon secara daring dalam waktu kurang dari satu jam.
“Kamu nggak bisa masuk tanpa itu,” tegasnya.
Perdebatan panjang dalam bahasa Bulgaria antara supir bis, petugas imigrasi, dan beberapa penumpang berakhir pada kesimpulan aku tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus dieliminasi. Aku diturunkan dari bis dan harus kembali ke Bulgaria. Petugas imigrasi memesankan aku taksi untuk bisa pergi dari garis batas dua negara. Terkadang, kebodohan memang ada batasnya untuk bisa ditolerir.
Tika, berada di perbatasan Bulgaria dan Turki, tanpa bukti izin tinggal di Eropa, tanpa visa untuk masuk ke Turki. Jikalau ini adalah permainan catur, raja sudah terkepung di petaknya. Skakmat.
***
Tak ada yang bisa kulihat di kanan kiriku. Cahaya yang kulihat hanya bersumber dari sorotan lampu mobil taksi. Jalan, rumput, pagar pembatas jalan, ilalang, rambu; itu saja yang secara samar tertangkap oleh retinaku dalam kroma hitam putih. Mungkin karena ini daerah perbatasan Bulgaria, jauh dari pusat kota. Aku membayangkan seperti apa daerah perbatasan pada umumnya dan menyadari bahwa aku pun belum pernah ada di perbatasan di Indonesia. Kata perbatasan membuatku mengingat perbatasan Turki-Suriah, Aleppo, dan Palestina-Israel, Gaza. Memang, perjalanan seorang diri membuat kita lebih banyak merenung, mempertanyakan keadilan dan kemanusiaan. 
Fokusku entah mengapa kembali ke dalam ruang sempit di dalam taksi. Sejujurnya aku selalu takut berada di dalam ruang tertutup seperti ini dan hanya berdua dengan supir laki-laki, apalagi di daerah yang sepi. Pengalaman pelecehan seksual membuat napasku lebih berat ketika menjadi penumpang tunggal di taksi. Aku kepalkan tangan dan berusaha mengingat di mana aku menyimpan benda tajam di dalam tasku untuk bisa memastikan aku sanggup melawan ketika ada serangan. Aku tahu bahwa tidak semua laki-laki punya pikiran jahat. Namun, meski tidak parah dan selalu berusaha kulawan dengan tidak membiarkan rasa takut menghalauku untuk beraktivitas, dampak traumatis dari pengalaman buruk saat aku berusia 13 tahun tidak hilang begitu saja.
Itu aku, yang mengalami pelecehan seksual dalam perjalanan dengan ojek di Bogor, belum sampai ke tahap kekerasan yang lebih lanjut. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang mengalami kejadian yang lebih keras lagi dan trauma yang harus mereka lawan bersamaan dengan budaya victim blaming yang ada di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi soal regulasi yang masih banyak lubangnya terkait kekerasan seksual yang tak berpihak pada korban, hukum yang tak berpihak pada wanita. Ada saat di mana wanita tidak bisa melawan karena pengaruh obat yang diminumkan, atau murni tidak bisa bergerak karena reaksi psikologis, tapi dituduh menikmati kekerasan seksual karena dianggap tak melawan.
“You are okay with me,” ujar supir taksi itu tiba-tiba yang mengoyak lamunanku.
Mungkin ia mampu membaca ekspresiku yang terlihat tidak nyaman dari sejak aku membuka pintu taksinya. Aku tersenyum, namun terlalu lelah untuk memulai percakapan. Perjalanan ke stasiun terdekat membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari stasiun, aku harus pergi ke ibukota untuk menyelesaikan perkara kehilangan kartu izin tinggalku.
Taksi berhenti di depan sebuah bangunan berwarna krem, terlihat seperti puskesmas di mataku. Kubuka dompet dan memberikan selembar uang euro terakhirku kepada supir taksi. Aku tidak punya pilihan.
Stasiun itu sepi, tentu saja. Apa yang kuharapkan dari stasiun di perbatasan Bulgaria pukul 5 pagi? Kutatap layar yang menampilkan jadwal kereta, dan hanya abjad Sirilik yang kudapati. Tak menyerah, aku ketuk kamar petugas tiket dan bertanya jadwal kereta ke Plovdiv, kota besar terdekat yang kutahu. Seorang wanita dengan rambut pirang menuliskan harga yang harus kubayar. Tujuh leva.
“Apakah bisa bayar pakai kartu?” tanyaku.
Aku baru sadar bahwa aku sudah tidak punya lagi mata uang Bulgaria karena sudah berniat pergi ke Turki. Uangku sisanya ada di ATM.
“Cash,” jawabnya.
“Euro?” tanyaku, berharap uang Euro berlaku di Bulgaria, sebagaimana negara Uni Eropa lainnya.
“Leva,” tegasnya sambil menutup jendela di depan mukaku.
Benarkah negara ini bagian dari Uni Eropa? Aku menghela napas dan tersenyum lemah ke arah dua orang yang ada di sebelah kananku, sepasang bapak-ibu di usia 50-an tahun.
“ATM?” tanyaku pada mereka.
Saat kita berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, aku selalu berusaha mengurangi jumlah kata yang kusebut dengan harapan ada kata-kata umum. yang mereka mengerti. Bapak-ibu yang sedang duduk itu hanya saling bertatapan lalu menggelengkan kepala tanda tak mengerti.
Kuraih ponselku untuk menerjemahkan ATM ke dalam bahasa Bulgaria. Salam hormatku pada tim pengembangan Google karena dengan teknologi aku hampir bisa berkomunikasi dengan siapa saja dengan bantuan Google Translate. Berjalan sendiri di negara yang tak seluruhnya menguasai bahasa Inggris, aku harus mengandalkan teknologi. Beberapa orang bisa berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa Inggris di Bulgaria, terutama di museum, restoran; tapi di luar itu, tidak terlalu banyak.
“Bankomat?” tanyaku lagi pada mereka. Ditulis dengan банкомат, begitulah cara orang Bulgaria menyebut ATM.
Bapak itu berdiri dari duduknya dan melambaikan tangannya padaku. Aku membaca sebagai pesan bahwa tidak ada ATM di sini. Ia menunjuk ke luar dan menghadapkan telapak tangannya padak. Lima? Lima ratus meter bagiku adalah jarak yang masuk akal. Aku membuka pintu stasiun dan berniat keluar sampai Bapak itu berkata sambil menunjuk ke luar,
“Bis.”
Aku tak bisa melihat wajahku sendiri, tapi aku yakin ia terlihat cukup pucat. Kota macam apa ini yang untuk menjangkau ATM dari stasiun saja butuh naik bis terlebih dahulu. Malam itu aku lupa bahwa masih ada daerah di Indonesia yang belum punya pilihan untuk bisa menggunakan listrik atau tidak.
Bis yang berukuran seperti travel Jakarta-Bandung akhirnya datang, membawaku ke jalan utama kota ini, Svilengard nama kotanya, kata Google Maps. Bis berjalan pelan mengelilingi kota kecil ini dengan satu per satu penumpang naik di halte. Kebanyakan dari mereka berusia di atas 50 tahun. Selayaknya fenomena urbanisasi secara umum, orang muda banyak bermigrasi ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Bangunan paling besar yang kulihat adalah casino dan hotel, dikelilingi oleh air dan dihiasi gemerlap lampu; kontras sekali dengan kegelapan di sekitarnya.
Setelah 5 kilometer, seperti yang diberitahukan Bapak tadi, aku diturunkan di depan sebuah ATM tanpa harus membayar ongkos bis. Sepertinya supir itu tahu aku tidak punya uang. Di tengah berbagai drama yang kulalui, sedikit kebaikan membuat hatiku terasa hangat. Baik sekali supir bis ini, pikirku, mau mengantarkan dengan gratis dan menungguku mengambil uang. Saat kedua kakiku menginjak trotoar, barulah aku sadar bahwa supir bis tersebut tak punya niat menungguku. Aku hanya bisa berdiri di tepi jalan yang kosong melompong sambil menatap bis yang pergi meninggalkanku seorang diri di kota yang aku tak tahu cara menyebut namanya. Tatapanku nanar, dan selayaknya orang tua yang menasihati anak saat tertimpa musibah, aku bergumam
“Mungkin kurang sedekah.”
Sayup aku mendengar musik dan suara Harry Styles,
“If you like going places
you can’t even pronounce
Baby you’re perfect.”
Bukan. Svilengard tidak menyerel lagu One Direction sebelum matahari terbit. Itu suara di pikiranku sendiri. You’re perfectly in disaster, Tika.
***
“Gara?”
“Gara?” ulangku lagi dengan sedikit berteriak kepada siluet yang bergerak di hadapanku sejarak 50 meter.
Entah itu manusia atau bukan, aku yang takut hantu ini sudah tak peduli lagi. Lagi pula hantu Bulgaria mungkin tidak seseram kuntilanak, pocong, leak, dan berbagai hantu legendaris Indonesia lainnya. Udara dingin di kota perbatasan Bulgaria, yang bahkan tak kutahu apa namanya, menikamku hingga aku hanya fokus pada satu hal: aku harus meninggalkan ruang terbuka selekas mungkin. Gara, artinya stasiun dalam bahasa Bulgaria. Uangku di bank sudah kukuras habis; artinya aku hanya butuh kembali ke stasiun untuk membayar tiket.
“...Bis…auto…bis…,” siluet yang perlahan terlihat jelas sebagai pria paruh baya itu pun menjawab.
Membantu? Tidak sama sekali. Tentu aku tahu bahwa aku harus naik bis. Tapi aku butuh informasi yang lebih detail seperti lokasi halte yang tepat, nomor bis, dan berapa lama aku harus menunggu.
Aku berjalan lagi dan menyadari kelemahanku sebagai anak yang biasa dimanja kemudahan ibukota. Di Jabodetabek, ataupun Bandung, aku hanya perlu membuka Google Maps untuk pergi ke mana pun. Dengan hanya mengetikkan nama tempat tujuan, aku bisa mendapatkan informasi kendaraan umum apa yang harus kunaiki, dan berapa lama waktu tunggu maupun waktu tempuh yang dibutuhkan. Begitu pun yang aku alami di setiap kota di Belanda. Tapi di Bulgaria, pilihan transportasi umum tak pernah muncul di Google Maps.
Setelah dua ratus meter, aku berpapasan dengan seorang laki-laki yang membawa dua buah karung. Imajinasiku membawa pada berbagai terkaan soal isi karungnya: dari mulai bahan makanan, perkakas dapur, alat pertukangan, hingga kepala atau bagian tubuh manusia seperti yang sering ada dalam kasus-kasus yang biasa dipecahkan Kindaichi.
“Gara?” kutanyakan lagi kata sakti itu, satu-satunya kata kunci yang bisa membawaku ke Plovdiv, atau mungkin Sofia, ibukota Bulgaria.
“German? English?” tanyanya yang menyadari pelafalanku terdengar aneh.
Sungguh, ingin kupeluk Bapak ini rasanya. Malaikat ini tidak mungkin merupakan pelaku mutilasi seperti di komik detektif.
“Two, turn left,” ujarnya dengan hemat kata dibantu bahasa tubuh yang mengarahkan.
Dengan bersemangat aku berjalan lagi mengikuti instruksinya. Entah apa maksud dia dengan dua. Dua halte, dua belokan, entahlah, yang jelas mungkin aku bisa menemukan stasiun dengan petunjuknya yang minim. Setidaknya ada harapan. Aku berdzikir sambil berjalan, berharap Allah memberikanku jalan untuk setidaknya menemukan tempat yang ramai, atau tempat yang bisa membawaku keluar dari kota ini.
Tidak ada halte di sepanjang jalan ini. Dua persimpangan dan aku belok ke kiri, kutemukan sebuah lapangan yang tampak seperti terminal bis. Ini tempat teramai yang kujumpai di jam 5.30 pagi di kota ini. Aku pun memutuskan untuk mencoba peruntungan, masuk ke ruangan di terminal dan mencari bis antarkota.
“Plovdiv?” tanyaku pada sang petugas, yang juga wanita. Sepertinya di Bulgaria aku menemukan lebih banyak petugas wanita untuk pekerjaan di malam hari atau dini hari dibandingkan dengan di Indonesia.
“No bus to Plovdiv.”
“Sofia?”
“Yes.”
Selamat datang kembali, Atika, ke peradaban ibukota. Aku tersenyum lebar.
7 notes · View notes