#abu hanifah
Explore tagged Tumblr posts
Text
Majlis Taklim Al Islah se-Solo Raya Sowan ke Pondok Pesantren IsyKarima: Pererat Ukhuwah Islamiah
RELASIPUBLIK.OR.ID, Karanganyar, 14 Juli 2024 – Majlis Taklim Al Islah se-Solo Raya melaksanakan kunjungan atau sowan ke Pondok Pesantren IsyKarima di Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 200 jamaah yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum Majlis Taklim Al Islah, Ustadz Eko Susanto, S.Pd, yang akrab disapa Ustadz Abu Hanifah, dan Sekretaris Umum, Sumardi, S.Pd.,…
#Ilmu Agama#Iman#Karanganyar#Karangpandan#Kesehatan#Majlis Taklim Al Islah#Majlis Taklim Al Islah Solo Raya#Pondok Pesantren IsyKarima#Ramah Tamah#Rasulullah SAW#Silaturahmi#Tips Sehat#Ukhuwah Islamiah#Ustadz Abu Hanifah#Ustadz Ahmadiyah#Ustadz Fajar Murdiyanto#WHO
0 notes
Text
Imam Abu Hanifah’s advice to his student:
“Don’t get married until after knowing that you’ll be able to take care of all its needs.
Seek knowledge first, then gather wealth from that which is halal, and then get married!”
● [الطبقات السنية ، ص ١٨٦ - ١٨٧]
#islam#quote#allah#hijab#knowledge#inspirational quotes#islamicadvice#islam4 life#jilbab#la ilaha illa allah
61 notes
·
View notes
Text
Tentang Perpustakaan
Ketika aku studi di Cina aku kaget karena perpustakaan harus tutup di malam hari
Loh kenapa?
Karena kalau buka 24 jam, dijamin orang-orang tidur semua di perpus untuk belajar
Ujar temanku yang kuliah kedokteran di Cina.
Ia melanjutkan,
Bahkan di akhir pekan, antrian masuk ke perpustakaan itu sampai ke jalanan
Aku kagum akan budaya semangat belajarnya. Dulu ketika aku di bangku SD (yang menggunakan kurikulum Singapur) pun demikian, perpustakaan harus ditutup di jam istirahat makan siang. Kenapa?
Bukan karena petugasnya istirahat, tapi.. agar murid-muridnya bersosialisasi di kantin dan main di playground!
Sebelumnya ketika perpustakaan tetap buka, ternyata banyak murid yang “ansos” karena memilih membaca di perpustakaan. Hal itu mengkhawatirkan para guru, akhirnya ditutuplah library sepetak kami itu.. saat jam recess dan lunch.
Perpustakaan kami pun membuat peraturan hanya boleh meminjam 1 buku dalam 1 kali kesempatan, karena jika tidak dibatasi semua murid berebut meminjam 3-4 buku.
SD kami juga punya library week (pekan perpustakaan) dimana para murid bertukar buku, sekolah mengadakan pameran buku-buku impor, menyelenggarakan lomba-lomba literasi, bahkan memberikan awards untuk mereka yang mengisi reading log terbanyak.
Oh ya, tiap term sekolah kami juga diwajibkan membaca dan mengulas satu buku yang sama untuk satu kelas. Lalu biasanya diadakan project terkait buku tersebut entah itu poster, drama, karya tulis. Aku ingat sekali, pertama kali pindah ke SD tersebut di kelas 4, buku pertama yang ditugaskan adalah James and The Giant Peach - Roald Dahl.
Tugas itu membuat aku menangis. Haha, iya karena itu kali pertama harus membaca buku bahasa Inggris di rumah, sendiri. Menangis karena tidak paham isi bukunya! Maklum, dipindahkan dari SD negeri (tanpa modal bahasa Inggris) ke SD swasta itu.
Di term-term berikutnya kami membaca ragam buku: Freckle Juice, A Wrinkle in Time, Narnia, dan lain-lain.
Mengingat masa-masa tersebut selalu membawa kenangan hangat dan penuh syukur karena ditakdirkan guru-guru yang ikhlas dan percaya: Dipercaya (dengan kemampuan alakadarku saat itu) untuk masuk ke kelas EL1 dan bukan ESL, diberikan cap “impressive” di esai pertamaku hingga akhirnya bisa memberikan speech kelulusan SD juga dalam bahasa Inggris.
Dari wasilah perpustakaan kami yang berkarpet biru itu, Allah mengantarkan kami berkeling dunia dalam imajinasi, membuka cakrawala ke pemikiran-pemikiran besar. Allah juga titipkan kecintaan membaca dan kecintaan pada buku.
Walau masih jauuuuh dari obsesi membaca para ulama, yang tidak pernah kenyang menelaah kitab…Tapi semoga Allah hadirkan hikmah dari taman-taman baca, perpustakaan, dan ruang buku itu. Semoga kelak dapat menghadirkan ruang literasi, mewariskan semangat berilmu, dan meneladankan adab terbaik pada buku.
Saat membahas tentang membaca buku, di dalam Shaid Al-Khâti, Ibnul Jauzi berkata menceritakan dirinya,
“Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah akulihat, maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun.
Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah An-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya.
Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu."
Atau sebagaimana bapak bangsa kita, Buya Hamka dengan kebiasaannya membaca.
Sejak kecil, Hamka sudah keranjingan membaca. Ketika Hamka kecil tahu bahwa gurunya Zaenuddin Labay El Yunusy membuka Bibliotek, yaitu tempat penyewaan buku, maka Hamka selalu menyewanya setiap hari. Setelah membaca Hamka selalu menyalinnya kembali dengan tulisan sendiri. Ketika uangnya habis, Hamka selalu membantu pekerjaan di percetakan, dan imbalan yang dipintanya yaitu diperbolehkan membaca buku.
Termasuk ketika Hamka naik haji dan menetap di Makkah, untuk menyambung hidupnya karena perbekalan sangat terbatas, Hamka bekerja di percetakan kitab. Disana pula Hamka tenggelam dalam lautan ilmu. Ratusan kitab dibacanya. Di tempat itu Hamka antara bekerja dan menuntut ilmu.
Rabbi zidnii ‘ilman..
-h.a.
Ditulis karena baru saja hari ini mengunjungi perpustakaan (lagi) hehe senang alhamdulillah
44 notes
·
View notes
Text
Tadi baca tulisan di salah satu akun tumbrl lupa akun nya (maaf ya) dan terinspirasi buat nulis di sini.
Entah kapan terwujud nya. Terpenting doa dulu, usaha dulu.
Mengupayakan impian
Akad nikah di masjid ( Bisa di masjid mana saja sesuai kesepatakan berdua)
Dilaksakan di hari jumat
Hanya disaksikan keluarga dan sahabat terdekat.
Ga perlu resepsi di gedung, ga perlu mewah, uang nya buat umroh atau hal bermanfaat lain nya.
Dress syari
Yang penting semanhaj, sekufu, sefrekuensi, ga merokok, bisa nyambung ngobrol.
Allah masih ingin aku terus mengulang ulang doa, berbenah dan meluruskan niat.
Nulis nya di tempat walimahan ustadzah Hanifah & Ustadz Maula BA.
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ
“Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
(HR. Abu Daud, no. 2130; Tirmidzi, no. 1091. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Graha Setyowati-Sukoharjo.
#Tulisan untuk diri sendiri.
18 notes
·
View notes
Text
“Carilah ilmu terlebih dahulu, kemudian kumpulkan harta dari sumber yang halal baru setelah itu menikah. karena jika kamu sibuk mengumpulkan harta saat masih mencari ilmu, kamu akan payah saat menuntut ilmu. Harta akan memanggilmu untuk membeli budak-budak dan anak-anak kecil utuk membantumu sibuk dalam hal duniawi.
Dan jangan sekali-kali kamu sibuk dengan wanita sebelum sampai tahap menghasilkan ilmu. Sebab waktumu akan habis. Anak-anak akan berkumpul padamu dan keluargamu akan makin banyak. Kamu butuh waktu yang banyak untuk seluruh urusan mereka. Saat itu terjadi, kamu akan meninggalkan ilmu”
-Wasiat Imam Abu Hanifah pada Qadhi Abu Yusuf dalam Al Asybah wa Nazdhair (dalam buku Kun Bil Qurani Najman)
136 notes
·
View notes
Text
There is consensus among Imam Malik, Imam Shafi’i, Imam Abu Hanifah and Imam Ahmad ibn Hanbal that visiting the grave of the Prophet ﷺ is recommended.
The Prophet ﷺ said,
“Whoever visits my grave after I die, it is as if he visited me when I was still alive.”
“The one who visits my grave deserves my intercession.”
[Ad-Daraqutni]
“The person, who performs Hajj and then visits my Tomb, will be regarded as though he had seen me in my worldly life.”
[Bayhaqi]
12 notes
·
View notes
Text
Puasa dan permasalahan Wanita
Masalah wanita di bulan Ramadhan, bisa dipelajari kali ini.
Masalah #01: Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” (Syarh Al-Mumthi’, 6:350)
Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atha’ bin Abi Rabbah dan Imam Abu Hanifah. Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang ada. Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Masalah #02: Mendapati Haidh dan Flek Saat Puasa
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari, no. 304; Muslim, no. 79).
Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah menjawab,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim, no. 335)
Namun bagaimana jika mendapati hanya flek saat puasa, apakah puasanya batal?
Ada kaedah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin yang bisa menjawab hal ini. Akhir kesimpulannya seperti yang dirinci berikut ini.
Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH.
Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH.
Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH.
Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), namun setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH.
Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa.
Masalah #03: Menggunakan Obat Penghalang Haidh Biar Lancar Puasa
Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’”
Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allaah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128)
Masalah #04: Belum Mandi Setelah Suci Haidh atau Masih dalam Keadaan Junub ketika Masuk Shubuh
Wanita yang suci sebelum Shubuh masih boleh melanjutkan puasa walaupun belum mandi kecuali ketika sudah masuk Shubuh. Karena yang penting sudah suci, menunda mandi tidak masalah seperti kasus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dalam keadaan junub saat Shubuh.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109)
Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allaah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allaah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Masalah #05: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Haidh
Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’.
Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu.
Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah)
Dari kaedah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci.
Kesimpulannya, masalah di atas tetap dianggap masih dalam keadaan suci ketika masuk buka puasa. Sehingga puasanya tidak perlu diqadha’, alias tetap sah.
Masalah #06: Shalat Tarawih bagi Muslimah
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya)
Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang.
Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442)
21 notes
·
View notes
Text
Majlis Hadits Ahad, Kitab Jami’ Tirmidzi
Bersama Syaikhina KH. Ahmad Marwazie, murid dan katib Syaikh al Musnid Muhammad Yasin al Fadani musnid-ad-dunya; pemegang ‘sanad dunia’ abad ke-20.
📍Zawiyah Raudhah Tebet, Jakarta Selatan.
Di pertemuan kali ini, pembacaan hadits Jami’ Tirmidzi telah sampai kepada pembahasan bab isy’arul budni pada kitab Haji, yakni penggoresan punuk unta sebagai penanda hewan qurban.
Kiranya ada beberapa hal penting yg perlu kita telaah bersama mengenai majlis kali ini.
Hadits singkat itu berbunyi:
“Telah menyampaikan kepada kami Waki’ dari Hisyam dari Qatadah dari Abi Hasan al A’raj dari Ibnu Abbas bahwa Nabi menggores punuk unta bagian kanan hingga berdarah lalu mengusap darah tersebut (untuk menandai) dan mengikat sandal lalu mengalungkan kedua sandalnya di unta tersebut”.
Hadits dari Sayyidina Ibnu Abbas r.a. ini dikategorikan oleh Imam Tirmidzi sebagai hadits hasan shahih (disunnahkan untuk melakukan isy’ar/penandaan tersebut). Hadits ini dijadikan sebagai landasan dalam mengamalkan tatacara orang yg ingin berqurban, yaitu dengan memberi tanda pada hewan qurban, alhasil itu sunnah meskipun (bagi sebagian orang yg cenderung menggunakan akal & perasaannya) seakan-akan itu menyakiti unta tersebut.
Bahkan beberapa imam madzhab ummat ini juga menyetujuinya, semisal Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Sufyan ats Tsauri, dan Imam Ishaq bin Ibrahim). Isy’ar ini sifatnya sunnah (tidak wajib). Di kalangan masyarakat umumnya ada yg menandai dengan melubangi telinga sebagai pertanda bahwa unta, sapi, kambing tersebut untuk diqurbankan, sehingga masyarakat mengetahui dan senang (karena sudah ada calon hewan qurban sebagai makanan bagi mereka).
Terdapat beberapa permasalahan yg muncul di kalangan orang yg mendahulukan akal & perasaannya dibanding nash:
- Kata mereka, “Isy’ar bagian dari ta’dzib (penyiksaan) terhadap hewan”. Jika kita perhatikan pada anak perempuan saat di tindik, anak laki-laki saat di khitan apakah itu ta’dzib juga? Sekali-kali bukan. Dibalik setiap perintah syariat pasti ada hikmahnya, misal faktor kesehatan yg akan didapat dari khitan: kemaluan akan lebih bersih dan terhindar dari kuman serta infeksi.
- Tidaklah mungkin seorang rasul yg diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin berlaku jahat, jadi hukum syariat yg ada jangan semata-mata dipandang hanya dengan perasaan & logika saja karena akan menghasilkan kerancuan (setiap orang punya pandangan tentang logika & perasaannya masing-masing).
- Manusia liberal menganggap beberapa hukum syariat ‘mencederai’ hak asasi kemanusiaan, padahal itu bertolak belakang dengan nash. Jadi jika terdapat nash, kita kesampingkan dahulu logika dan perasaan dari menilai hukum syariat. Karena jika menggunakan akal saja akan banyak hukum yg hilang. Sebagai contoh jika seorang yg berzina itu muhson (sudah nikah) maka dihukumi rajam sampai mati, jika dianggap kasihan maka tidak akan ada hukum tersebut. Sebaliknya hukum syariat berupaya memberikan hukum sejajar di mata undang-undang jika orang-orang itu mau memahami.
- KH. Marwazie pernah menyaksikan bahwa di Saudi ada seorang dari Yordania tertangkap mencuri dan sudah mencapai nishob untuk dilakukan hukum qishash potong tangan. Seorang supir dari Indonesia yg membawa KH. Marwazie di taksinya mengomentari bahwa hukum tersebut sangat kejam. Beliau lalu memberikan contoh, “Jika kamu punya uang dan sedang butuh, mungkin kamu tidak hanya akan mengambil balik uangnya tapi bisa jadi sampai membunuhnya. Bahkan tidak sedikit pencuri yg dibakar hidup-hidup. Kita bayangkan hal yg begitu sulit bagi kita, jangan bayangkan kondisi yg tidak kita alami (dicuri)”.
- Imam Tirmidzi mendengar dari gurunya, Yusuf bin Isa, beliau mendengar dari gurunya Waki’ bin Jarrah, “Janganlah kalian melihat pandangan ahli ra’yi (ditujukan kepada Imam Abu Hanifah secara khusus, secara umum kepada para ulama fuqoha’) dalam hal ini (isy’ar); karena isy’ar ini sunnah, sedangkan ucapan mereka (ahli ra’yi) bid’ah (tidak bisa diterima oleh ahli hadits/muhadditsin, karena nash hadits tersebut ada dan shahih). Sedangkan ketika masih ada nash maka tidak ada satupun hujjah yg bisa mengunggulinya; karena nash adalah landasan hukum utama. Perbedaan pandangan di kalangan ulama muhadditsin & fuqoha ini telah jamak di tengah ummat, jadi bukan berarti karena kita berpegang pada madzhab Syafi’i lalu kita membenci madzhab Hanafi (karena melarang isy’ar). Bagi mereka para ulama, sudah mafhum bahwa mereka memiliki hujjah atas setiap hukum yg dilahirkan, sedangkan kita sebagai pengikut madzhab adalah cukup mengikuti dan memandang perbedaan tersebut sebagai khazanah keilmuan dan menghormati mereka yg mulia.
- Ulama ahli ra’yi (ahli logika) yg dimaksudkan oleh Imam Waki’ bin Jarrah adalah ulama fuqoha yg tidak punya kepentingan keduniawian, bukan seperti kita yg hanya memakai logika dan masih teramat banyak kepentingan duniawinya. Selain itu, ulama ahli ra’yi memiliki metodologis yg rapi dan diselaraskan dengan aspek dalil; tidak serta merta akal & perasaan semata. Kalau kita akhirnya bukan memakai akal, tapi cuma akal-akal an🤣. Karena ahli ra’yi mengambil hujjah ketika tidak ada dalil yg kuat, tidak asal-asalan.
- Maka jika kita menelusuri suatu hukum dalam rangka istidlal/ ndalil, hendaknya kita tuntaskan belajar bab tersebut, supaya tidak serampangan dalam berargumen apalagi jika justru mukhalafah/bertentangan dengan ulama-ulama yg kompeten.
- Ada seseorang yg berkata kepada Imam Waki’ bahwa, “Abu Hanifah mengatakan isy’ar ini mutslah/ta’dzib/penyiksaan, bahkan Ibrahim an Nakha’i juga mengatakan isy’ar itu penyiksaan”. Imam Waki’ marah (karena ketegasan dan berpegang pada hadits) kepada orang tersebut dan berkata, “Saya mengatakan Rasulullah bersabda, dan kamu mengatakan Ibrahim (an Nakha’i) mengatakan demikian demikian?! (Sungguh tidak layak)”. Penggunaan dalil itu harus terukur: ketika ada dalil nash yg jelas, tidak akan sebanding dengan dalil (hujjah) dari ulama siapapun. “Jangan-jangan kamu yg bohong (karena bisajadi kamu tidak selesai penelusuran dan belajarnya). Kamu lebih pantas dipenjara dan tidak keluar darinya sampai kamu menarik ucapanmu”.
- Jadi ada jenis ‘orang yg bucin’ terhadap para tokoh fuqoha akan tetapi belajarnya tidak selesai akhirnya dia menjadi ‘manusia asal nukil tanpa bukti’ dan justru menjadi permasalahan yg besar di kalangan ummat. Walaupun pendapat tersebut (isy’ar madzhab Hanafi dll) ada penjelasannya dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ Tirmidzi, tapi orang bucin tersebut tidak mencari dan tabayyun. Disini-lah pentingnya kita duduk dan mengkaji dalil yg menjadi argumentasi ketika berhadapan dengan permasalahan yg dianggap orang hujjah kita tidak benar, terutama ketika berhadapan dengan ‘orang-orang bucin’ tersebut. Jadi tidak selalu orang yg mengatakan qawl nya berasal dari imam ini imam itu, karena bisajadi dia berdusta. Dahulukan tabayyun untuk mencari kebenarannya.
- KH. Marwazie pernah mengalami saat menyalin tulisan Syaikh Yasin, ketika diteliti beliau mengatakan nama tertentu salah dan harus dikoreksi, maka ada yg namanya proses tahqiq. Jika seseorang tidak punya ilmu makhtutot terhadap apa yg ditelusurinya maka jangan sekali-kali menukilnya. Sebagai contoh Imam Syafii punya beberapa murid yg menukil perkataan beliau. Maka diharuskan melakukan perbandingan qawl diantara murid beliau, ini yg berat. Memang, media dan teknologi sekarang membantu kita dalam belajar, namun jangan lupakan metodologi karena jika salah metode penelusurannya maka akan runtuh bangunan ilmu yg dihasilkan kemudian.
- Kelemahan pengikut madzhab zaman sekarang adalah pintar dalam dalil tapi lemah dalam tathbiq amaliy (melakukan amalannya), salah satu yg diperlukan untuk terus mengasahnya adalah rajin hadir di majelis (agar kita refresh ilmu dan amal).
- Pesan dari KH. Marwazie, bahwa jika ada seseorang yg berkata “rasulullah berkata ini dan itu” akan tetapi ternyata tidak ada nashnya maka sungguh dia termasuk dari sabda nabi, “Barangsiapa yg berdusta atas nama diriku secara sengaja, hendaklah ia bersiap menempati tempatnya di neraka”. Maka berhati-hatilah dalam menukil hadits. “Dakwah itu butuh modal (yaitu belajar dengan guru dan metode yg benar), maka jangan pernah ‘berjualan dalil’ untuk dakwahmu”. Kita boleh mengklaim kita ahlussunah wal jama’ah asalkan punya pokok & dasar ilmu yg benar.
Ahad, 25 Februari 2024.
2 notes
·
View notes
Text
Majlis Taklim Al Islah Gelar Sowan Kyai ke Ponpes IsyKarima: Pererat Ukhuwah dan Ilmu
REALITANEWS.OR.ID, Karanganyar, 14 Juli 2024 – Majlis Taklim Al Islah se-Solo Raya mengadakan sowan kyai ke Pondok Pesantren IsyKarima Karangpandan, Karanganyar, dalam sebuah acara yang penuh makna dan hikmah. Acara ini dipimpin langsung oleh Ketua Umum Majlis Taklim Al Islah, Ustadz Eko Susanto, S.Pd atau yang akrab disapa Ustadz Abu Hanifah, serta Sekretaris Umum Sumardi, S.Pd., M.Pd. Sebanyak…
#Kesehatan#Ilmu Agama#Iman#Karanganyar#Karangpandan#Majlis Taklim Al Islah#Majlis Taklim Al Islah Solo Raya#Pondok Pesantren IsyKarima#Ramah Tamah#Rasulullah SAW#Silaturahmi#Tips Sehat#Ukhuwah Islamiah#Ustadz Abu Hanifah#Ustadz Ahmadiyah#Ustadz Fajar Murdiyanto#WHO
0 notes
Text
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Ketika aku menemukan buku baru, rasanya seperti menemukan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di Madrasah An-Nidhamiyyah sebanyak 6.000 buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Humaidi, Abdul Wahhab bin Nasir, dan Abu Muhammad Al-Khasysyab. Aku telah menamatkan buku itu semua dan buku lainnya. Aku juga telah membaca lebih dari 200 ribu buku. Sampai sekarang, aku terus mencari ilmu."
Sumber: Buku Gila Baca Ala Ulama
2 notes
·
View notes
Text
The Belief Of Ahl Al-Sunnah Was Known Well Before The Emergence Of The Four Imams
Shaykh Al-Islām Ibn Taymiyyah [رحمه الله] mentioned:
❝The belief of Ahl Al-Sunnah Wa-Al-Jamā'ah is an ancient belief which was known well before Allāh created Abu Hanifah, Malik, Al-Shāfi'ī and Ahmad. It was the belief of the Companions who received it from their Prophet. Therefore, whoever opposes this belief is considered an innovator with Ahl Al-Sunnah Wa-Al-Jamā'ah.❞
[Minhaj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, (2/601) | Translated By Munīb Al-Sumālī]
12 notes
·
View notes
Text
𝐒𝐚𝐯𝐞 𝐃𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮!
𝟏𝟓 𝐑𝐚𝐦𝐛𝐮 - 𝐑𝐚𝐦𝐛𝐮 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐪𝐮𝐫𝐛𝐚𝐧
Ada beberapa rambu-rambu yang berkaitan dengan hewan kurban. Berikut ini kami sajikan 15 rambu-rambu untuk orang yang berqurban secara ringkas, semoga bermanfaat.
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan[1] yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan.
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَلاَةَ فَلَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيءٍ، وَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدْ مَهُ لأَهْلِه
“Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk kurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya“[2]
2. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabatnya agar mereka menyembelih jadza’ dari domba, dan tsaniyya dari yang selain domba[3]
Mujasyi bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْجَدَعَ مِنَ الضَّأنِ يُوْفِي مِمَّا يُوْفِي مِنْهُ الثَنِيُّ مِنَ الْمَعْزِ
“Sesungguhnya jadza’ dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya dari kambing“[4]
3. Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (bahwa) beliau bersabda :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبَحٌ
“Setiap hari Tasyriq ada sembelihan“[5]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Ini adalah madzhabnya Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga Allah merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan pendapatnya lebih dari satu sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Atsram menyebutkannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum”[6]
4. Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang ingin menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah. Telah pasti larangan yang demikian itu.[7]
Berkata An-Nawawi dalam “Syarhu Muslim” (13/138-39) : “Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau memecahkannya, atau yang selainnya.
Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu[8] atau selainnya. Sama saja apakah itu rmabut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya”.
Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (11/96) : “Kalau ia terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada Allah Ta’ala dan tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma, sama saja apakah ia melakukannya secara sengaja atau karena lupa”.
Aku katakan : Penuturan dari beliau rahimahullah mengisyaratkan haramnya perbuatan itu dan sama sekali dilarang (sekali kali tidak boleh melakukannya -ed) dan ini yang tampak jelas pada asal larangan nabi.
5. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih hewan kurban yang sehat, tidak cacat. Beliau melarang untuk berkurban dengan hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya[9]. Beliau memerintahkan untuk memperhatikan kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan kurban, dan tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa’ ataupun kharqa’ semua itu telah pasti larangannya.[10]
Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan Abu Ya’la (1792) dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Haitsami dalam ” Majma’uz Zawaid” (4/22).
6. Belaiu shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat.[11]
7. Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Atha’ bin Yasar[12] : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : “Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ia menjawab : “Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi makan yang lain”[13]
8. Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban, karena ada riwayat dari Anas bahwa ia berkata :
ضَحَّى النَّبِيُّ بِكَبْشيْنِ أَملَحَيْنِ أَقْرنَيْنِ، ذَبْحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَا حِهِمَا
“Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut“[14]
9. Hewan kurban yang afdhal (lebih utama) berupa domba jantan (gemuk) bertanduk yang berwarna putih bercampur hitam di sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat hewan kurban yang disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[15]
10, Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam menyembelih hewan kurbannya.[16]
11. Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
كُلُوا وَادَّخرُوْا وَتَصَدَّقُوْا
“Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah“[17]
12. Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari tujuh orang. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam “Shahihnya” (350) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
نَحَرْنَا بِالْحُدَبِيَّةِ مَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ البَذَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi betina untuk tujuh orang“.
13. Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali radhiyallahu ia berkata.
َمَرَ نِيِّ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُوْ مِهَا وَجُلُوْ دِهَا وَحَلاَ لِهَا وَأَنْ لاَ أَعطَى الجَزِرَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ : وَنَحْنُ نُعطِيْهِ مِنْ عِنْدِ نَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya[18] dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami”[19]
14. Siapa di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang menyembelih dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi berkata ketika menyembelih salah satu domba.
اَللَّهُمَ هَذَا عَنِّى، وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ اُمَّتِيْ
“Ya Allah ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih dari kalangan umatku“[20]
15. Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (11/95) : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafaur rasyidun sesudah beliau menyembelih kurban. Seandainya mereka tahu sedekah itu lebih utama niscaya mereka menuju padanya…. Dan karena mementingkan/mendahulukan sedekah atas kurban mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
𝐅𝐨𝐨𝐭𝐧𝐨𝐭𝐞.
[1] Akan datang dalilnya pada point ke delapan
[2] Riwayat Bukhari (5560) dan Muslim (1961) dan Al-Bara’ bin Azib
[3] Berkata Al-Hafidzh dalam “Fathul Bari” (10/5) : Jadza’ adalah gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak, kalau dari domba adalah yang sempurna berusia setahun, ini adalah ucapan jumhur.
Adapula yang mengatakan : di bawah satu tahun, kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang mengatakan 8 dan ada yang mengatakan 10 Tsaniyya dari unta adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi dan kambing adalah yang telah sempurna berusia 2 athun. Lihat “Zadul Ma’ad” (2/317).
[4] ‘Shahihul Jami'” (1592), lihat ” Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah” (1/87-95).
[5] Dikeluarkan oleh Ahmad (4/8), Al-Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” (3/1118) dan pada sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabari dalam ‘Mu’jamnya” dengan sanad yang padanya ada kelemahan (layyin). Hadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang padanya ada kelemahan. Hadits ini hasan Insya Allah, lihat ‘Nishur Rayah” (3/61).
[6] Zadul Ma’ad (2/319)
[7] Telah lewat takhrijnya pada halaman 66, lihat ‘Nailul Authar” (5/200-203).
[8] Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut.
[9] Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (1/83, 127,129 dan 150), Abu Daud (2805), At-Tirmidzi (1504), An-Nasa’i (7/217) Ibnu Majah (3145) dan Al-Hakim (4/224) dari Ali radhiyallahu ‘anhu dengan isnad yang hasan.
[10] Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya. Mudabarah : hewan yang dipotong bagian belakang telinganya. Syarqa : hewan yang terbelah telinganya dan Kharqa : hewan yang sobek telinganya. Hadits tentang hal ini isnadnya hasan diriwayatkan Ahmad (1/80 dan 108) Abu Daud (2804), At-Tirmidzi (4198) An-Nasa’i (7/216) Ibnu Majah(3143) Ad-Darimi (2/77) dan Al-Hakim (4/222) dari hadits Ali radhiyallahu ‘anhu.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5552) An-Nasai 97/213) dan Ibnu Majah (3161) dari Ibnu Umar
[12] Wafat tahun (103H) biografisnya bisa dibaca dalam “Tahdzibut Tahdzib” (7/217).
[13] Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Majah (3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan
[14] Diriwayatkan oleh Bukhari (5558), (5564), (5565), Muslim (1966) dan Abu Daud (2794).
[15] Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Daud (2792).
[16] Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara ulama, lihat point ke 13
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢: https://almanhaj.or.id/1281-hukum-hukum-yang-berkaitan-dengan-hewan-kurban.html#_ftn4
[17] Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun riwayat larangan untuk menyimpan daging kurban masukh (dihapus), lihat ‘Fathul Bari’ (10/25-26) dan “All’tibar” (120-122). Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.
[18] Dalam Al-Qamus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk berlindung dengannya
[19] Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Majah (3099) Al-baihaqi (9/294) dan Ahmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhari meriwayatkannya (1716) tanpa lafadh : “Kami akan memberinya dari sisi kami”.
[20] Telah lewat takhrijnya pada halaman 70
Referensi:
bimbinganislam.com
______
2 notes
·
View notes
Text
Approach of the Ahlus Sunnah on the Ambiguous Attributes of Allah
Allah does not have a body and the attributes he has mentioned such as ‘hand’, ‘face’, ‘shin’, etc are not taken on human terms, as Allah has said in the Quran, “There is none similar to Him”. (Shura 42:11) The verses mentioning them are also considered to be “mutashabihat” (ambiguous/unclear) verses.
“He is the One who has revealed to you the Book (the Qur’ān). Out of it there are verses that are Muhkamāt (of established meaning), which are the principal verses of the Book, and some others are Mutashābihāt (whose definite meanings are unknown). Now those who have perversity in their hearts go after such part of it as is mutashābih, seeking (to create) discord, and searching for its interpretation (that meets their desires), while no one knows its interpretation except Allah; and those well-grounded in knowledge say: “We believe therein; all is from our Lord.” Only the men of understanding observe the advice.” (Aali-Imran 3:7)
The First Point:
The correct approach to the ambiguous attributes is to leave the meaning to Allah, affirm it as Allah intended and to pass on through these verses without going into the details. The details of these are known only to Allah. This is the approach of tafwidh taken by the salaf, and Imam Malik famously regarded a person who seeks the details of these verses to be an innovator. (read further for the narration)
The Second Point:
This is about the translatability of these unclear terms such as ‘yad’. Imam Abu Hanifah (RH) discouraged translating the term ‘yad’ into Persian (non-Arabic language) as ‘dast-e-khuda’ (hand of God). This is expressed in his Al-Fiqh al-Akbar:
وكل شَيْء ذكره الْعلمَاء بِالْفَارِسِيَّةِ من صِفَات الله عز اسْمه فَجَائِز القَوْل بِهِ سوى الْيَد بِالْفَارِسِيَّةِ وَيجوز أن يُقَال "بروىء خد" أَي عز وَجل بِلَا تَشْبِيه وَلَا كَيْفيَّة It is permissible to express all the attributes of Allah Most High that the scholars have expressed in Persian, with the exception of hand in Persian. It is permissible to say ru’e khuda (the Countenance of God) Most Mighty and Majestic without any comparison or modality.
This was to avoid any anthropomorphic ideas from developing in the minds of the common people. Al-Maghnisawi in his sharh (commentary) explains this deeper:
“It is permissible to express all the attributes of Allah Most High that the scholars have expressed in Persian, that is, in any language other than Arabic. Likewise, it is permissible to express all other terms the scholars have expressed in other languages concerning the names of Allah Most High. Hence, it is permissible to say khuday ta'ala tawanast (God Most High is the All-powerful) with the exception of hand in Persian, that is, in non-Arabic. Hence, it is not permissible to say daste khuda (the Hand of God) [in Persian]. It is permissible to say ru’e khuda (the Countenance of God) Most Mighty and Majestic without any comparison or modality.”
Mulla Ali al-Qari (RH) states in his sharh:
“What is understood from this is that it is permissible for the scholars [of other languages] and others to express the attributes of Allah [in those languages] by mentioning, for instance, the hand (yad) according to the way they have been revealed [in the texts, while specifically avoiding anthropomorphic interpretation or insinuation].”
The Third Point:
Now that we have discussed above that the best course to take is to consign the meanings of these verses to Allah without contemplating about their reality, we must understand that Allah is in no way similar to his creation and he is free from being a substance and a body. That is, we must make tanzih which means that we declare Allah to be transcendent from resembling the creation in any way (denying tashbih).
ليس كمثله شيء “There is none similar to Him” (Shura 42:11) ولم يكن له كفوا أحد “And there is none comparable to Him” (Ikhlas 112:4)
The Fourth Point:
We must know that the question ‘how’ (kayf) describing modality does not apply to Allah, so we must make nafy (denial) of any kayf for Allah. A narration from Imam Malik:
قال البيهقي: أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أحمد بن محمد بن إسماعيل بن مهران، ثنا أبي حدّثنا أبو الربيع بن أخي رشدين ابن سعد قال: سمعت عبد الله بن وهب يقول: كنا عند مالك بن أنس فدخل رجل فقال: يا أبا عبدالله الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى كيف استواؤه؟، قال: فأطرق مالك وأخذته الرحضاء ، ثم رفع رأسه فقال: (( الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه، ولا يقال كيف، وكيف عنه مرفوع، وأنت رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه، قال: فأُخرج From Ibn Wahb: “We were with Malik when a man asked him: ‘O Abu `Abd Allah! “al-Rahman ‘ala al-‘arshi stawa” (20:5): how is His istiwa?’ Malik lowered his head and began to sweat profusely. Then he lifted up his head and said: ‘”al-Rahman ‘ala ‘arshi stawa” just as He described Himself. One cannot ask “how.” “How” is raised from him (does not apply to Him). And you are an evil man, a man of innovation. Take him out!’ The man was led out.” (Narrated by al-Bayhaqi with a sound chain in al-Asma’ wa al-Sifat (2:304-305 #866), al-Dhahabi in the Siyar (7:416), and Ibn Hajar in Fath al-Bari (1959 ed. 13:406-407; 1989 ed. 13:501).)
Jazakumullah khayr
5 notes
·
View notes
Text
Tafsir Al-Fātiḥah Ayat 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Tafsir Ringkas Kemenag
Aku memulai bacaan Al-Qur'an dengan menyebut nama Allah, nama teragung bagi satu-satunya Tuhan yang patut disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan tersucikan dari segala bentuk kekurangan, Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah (basmalah) akan mendatangkan keberkahan, dan dengan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan, seseorang akan memiliki kekuatan spiritual untuk melakukan yang terbaik dan menghindar dari keburukan.
Tafsir Tahlili
Surah al-Fātiḥah dimulai dengan Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم).
Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah Al-Fātiḥah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:
1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.
Hadis Nabi saw:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: ḍصَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا». (رواه الشيخان واللفظ لمسلم)
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai dengan al-ḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, tidak menyebut Bismillāhirraḥmānirrahīm di awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fātiḥah, dan pada surah an-Naml/27:30, اِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَاِنَّهُ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (النمل/27:30) yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:
عَنْ ابن عباس قال: كانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح)
Dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan bacaan Bismillāhirrahmānirrahīm. (Riwayat al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih)
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. (رواه أحمد وابو داود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى: سنده صحيح)
Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti berkali-kali dalam bacaanya Bismillāhirrahmānirrahīm, al-Ḥamdulillāhi Rabbil- ‘Ālamīn, ar-Raḥmānir-raḥīm, Māliki Yaumid-dīn. (Riwayat Aḥmad, Abu Dāud, Ibnu Khuzaimah dan al-Ḥākim. Menurut ad-Dāruquṭnī, sanad hadis ini sahih).
Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.
Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw telah sependapat menuliskan Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur’an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur’an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak menuliskan ‘āmīn’ pada akhir surah al-Fātiḥah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah ayat-ayat Al-Qur’an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fātiḥah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fātiḥah, memandang:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fātiḥah itu tetap tujuh.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata, “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini mengandung arti bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw dan Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur’an kepada manusia.
Makna kata Allāh
Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wājibul-wujūd). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.
Hikmah Membaca Basmalah
Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.
Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil.
Nabi saw bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ (رواه عبد القادر الرهاوي)
“Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).” (Riwayat Abdul-Qādir ar-Rahāwī).
Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lāta dan al-‘Uzzā, nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah.
2 notes
·
View notes
Text
Imaam Abu Hanifah [رحمه الله] said:
❝It is obligatory upon you to follow the Athar [narrations] and the path of the Salaf and beware of any [newly] innovated matter, for verily it is a Bid’ah.❞
[Dham Al-Kalaam Wa Ahlihi, (213/4) | Translated By Abu Afnaan Muhammad Abdullah]
6 notes
·
View notes
Text
Tetap Tegas Namun Lembut | Riyaadush Shaalihin
apabila kita bersyukur, maka Allaah senantiasa menambah kenikmatan kepada kita. sedangkan, jika kita kufur akan nikmat, sungguh azab Allaah itu sangat pedih.
Al Imam Abu Hanifah berkata, ilmu itu karena disebabkan diri yang bersyukur dan bertakhmid kepada Allaah. -> menjaga nikmat ilmu yang diberikan Allaah dengan bersyukur.
sikap bersyukur itu adalah suatu perbuatan menjaga nikmat agar tidak dicabut oleh Allaah.
QS. Al-'Ankabut Ayat 8, "Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya."
syirik antitesis dari ilmu. syirik itu perbuatan yang tanpa ilmu. apabila orang tua kita ada yang menganjurkan/mengajarkan/melaksanakan perbuatan "syirik" -> maka kita boleh menyelisihi mereka, jangan menuruti orang tua yang menyuruh kita berbuat syirik. tetaplah bersandar kepada firman Allaah, kelak Allaah akan menganjar dengan apa yang kita lakukan (Allaah maha adil, Allaah maha teliti).
tetap berbuat baik kepada orang tua, akan tetapi jangan memperturutkan perintah untuk berbuat syirik atau keburukan.
berbakti kepada orang tua itu gapapa asalkan tidak bertindak/bermaksiat kepada Allaah. apabila suatu hal berkaitan tentang hak Allaah atau hak Rasulullah -> maka ulama mengatakan, hak Allaah dan hak Rasulullah itu diprioritaskan di atas segala sesuatu; salah satunya yaa orang tua/istri/anak/teman/komunitas/bisnis.
islam memerintahkan kepada anak-anak untuk berbakti kepada orang tua, support orang tua, menafkahi ortu jika sudah tidak mampu, membantu ortu, dan mebahagiakan mereka -> asalkan sesuai dengan koridor yang baik dan tidak menciderai keimanan.
tapi jika orang tua merupakan sebab dari kita untuk melakukan kesyirikan, kemungkaran, kedzoliman, kejahatan; maka jangan di taati. namun, tetaplah berinteraksi, bersahabat, tetap bersikap dengan baik.
islam memang mengajarkan manusia untuk beradab dan berakhlak.
di society kita, orang baik identik dengan sifat tidak tegas. orang baik tetaplah harus baik dalam hal kebaikan, namun dalam hal keburukan yang endingnya bermaksiat kepada Allaah; maka harus bersikap tegas. -> prinsip.
tegas bukan berarti harus marah-marah. tegas itu bisa dengan halus dan baik. -> A ya A, B ya B -> sesuai prinsip sesuai tauhid, akidah, dan agama. -> karena sesungguhnya kita semua akan kembali kepada Allaah.
QS. Muhammad Ayat 7, "wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
pasti akan terjadi perang batin, disisi lain ga tegaan, tapi yaa tadi, kita harus lebih patuh sama Allaah dan percaya akan janji Allaah.
tegas melawan kemungkaran dan percaya Allaah akan menolong kita. barakallahu fiikum.
Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri حافظه الله
Sukoharjo, 9 Maret '23 | 01.01 wib
5 notes
·
View notes