#Uang Terus Mengalir Di Bandung
Explore tagged Tumblr posts
nyemildanuangbandung · 8 days ago
Text
Nyemil dan Uang: Dua Hal yang Bisa Kamu Dapatkan Di Bandung, Basreng Black Caviar
Tumblr media
Nyemil dan Uang: Dua Hal yang Bisa Kamu Dapatkan Di Bandung, Makan Nyemil dan Raih Uang Di Bandung, Nyemil Sambil Dapat Penghasilan Terus Di Bandung, Camilan Enak, Uang Terus Mengalir Di Bandung
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung, Yogies Camilan Basreng, Distributor Camilan Basreng Yogies, Agen Camilan Basreng Yogies , Supplier Camilan Basreng Yogies, Grosir Camilan Basreng Yogies Basreng Black Caviar: Camilan Renyah, Rasa Luar Biasa!
Basreng Black Caviar menggabungkan kelezatan camilan basreng yang pedas dan gurih dengan sentuhan mewah Black Caviar. Setiap gigitan memberikan rasa yang kaya dan tekstur crunchy yang bikin ketagihan. Dibuat dengan bahan berkualitas, camilan ini sempurna untuk menemani waktu santai atau berkumpul dengan teman-teman.
Dikemas praktis, Basreng Black Caviar mudah dibawa ke mana saja, memberikan kelezatan dalam setiap gigitan.
Dengan slogan “Nyemil Dapat Duit, Ayo Gabung dan Menangkan Hadiah Hingga 18 Miliar!” Basreng Black Caviar mengajak kamu untuk menikmati camilan enak ini dan meraih kesempatan memenangkan hadiah besar. Gabung sekarang, nikmati kelezatannya, dan raih hadiahnya!
Komposisi: Tepung Tapioka, Baso Berkualitas, Penyedap Rasa, Rempah & Minyak Nabati, Cabai Segar, Daun Jeruk
Info Lebih Lanjut Langsung Ke Alamat : 
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung
Yogies Camilan Basreng Bandung, Yogies Camilan Basreng Surabaya, Yogies Camilan Basreng Padang, Yogies Camilan Basreng Medan,Yogies Camilan Jakarta,Yogies Camilan Basreng Makassar, Yogies Camilan Basreng Palembang,Yogies Camilan Basreng Yogyakarta, Yogies Camilan Basreng
4 notes · View notes
nyemildanuangbandung90 · 8 days ago
Text
Nyemil dan Uang: Dua Hal yang Bisa Kamu Dapatkan Di Bandung, Basreng Black Caviar
Tumblr media
Nyemil dan Uang: Dua Hal yang Bisa Kamu Dapatkan Di Bandung, Makan Nyemil dan Raih Uang Di Bandung, Nyemil Sambil Dapat Penghasilan Terus Di Bandung, Camilan Enak, Uang Terus Mengalir Di Bandung
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung, Yogies Camilan Basreng, Distributor Camilan Basreng Yogies, Agen Camilan Basreng Yogies , Supplier Camilan Basreng Yogies, Grosir Camilan Basreng Yogies Basreng Black Caviar: Camilan Renyah, Rasa Luar Biasa!
Basreng Black Caviar menggabungkan kelezatan camilan basreng yang pedas dan gurih dengan sentuhan mewah Black Caviar. Setiap gigitan memberikan rasa yang kaya dan tekstur crunchy yang bikin ketagihan. Dibuat dengan bahan berkualitas, camilan ini sempurna untuk menemani waktu santai atau berkumpul dengan teman-teman.
Dikemas praktis, Basreng Black Caviar mudah dibawa ke mana saja, memberikan kelezatan dalam setiap gigitan.
Dengan slogan “Nyemil Dapat Duit, Ayo Gabung dan Menangkan Hadiah Hingga 18 Miliar!” Basreng Black Caviar mengajak kamu untuk menikmati camilan enak ini dan meraih kesempatan memenangkan hadiah besar. Gabung sekarang, nikmati kelezatannya, dan raih hadiahnya!
Komposisi: Tepung Tapioka, Baso Berkualitas, Penyedap Rasa, Rempah & Minyak Nabati, Cabai Segar, Daun Jeruk
Info Lebih Lanjut Langsung Ke Alamat : 
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung
Yogies Camilan Basreng Bandung, Yogies Camilan Basreng Surabaya, Yogies Camilan Basreng Padang, Yogies Camilan Basreng Medan,Yogies Camilan Jakarta,Yogies Camilan Basreng Makassar, Yogies Camilan Basreng Palembang,Yogies Camilan Basreng Yogyakarta, Yogies Camilan Basreng
0 notes
nisakhairunnisa · 3 years ago
Text
Kebaikan yang tersingkap setelah kepergian
Cerita ini aku tulis sebagai pengingat untuk diri ku sendiri, yang masih banyak lalai.
Masih tentang sahabat baik orang tua ku yang juga adalah tetangga dekat rumah. Terus menerus mendengar kebaikan-kebaikan beliau selama masih hidup di dunia, seolah tidak ada habisnya. Ini mungkin hanya baru beberapa saja yang aku dengar.
Tukang sate yang sehari-hari berkeliling di komplek ku bercerita bahwa beliau, allahuyarham, sering sekali membeli dagangan sate nya, yang dibeli jumlahnya tidak banyak, tapi sering beliau memberikan uang sangat sangat berlebih dari nominal yang seharusnya dibayar, katanya ambil saja kembali nya, dan itu selalu berulang, setiap kali beliau membeli dagangannya.
Ada juga tukang gorengan yang setiap pagi berjualan di depan gerbang komplek, ibu & bapa penjual gorengan bercerita, jika beliau rutin setiap Jumat pagi membeli gorengan nya, dan memberi uang yang berlebih dari nominal yang seharusnya dibayar.
Juga ada ibu penjual penjual sayur yang menjajakan dagangannya di area gedung serbaguna RT, beliau bercerita jika almarhum sering sekali membeli banyak dagangannya, juga pernah memberikan uang sekian juta, kemudian beliau bilang kepada ibu penjual sayur bahwa jika ada masyarakat yang dirasa kurang mampu mau berbelanja sayurannya, agar tidak perlu membayar, bilang saja sedang ada rezeki disini jadi tidak perlu membayar. Beliau bilang, sampai uang yang diberikan tersebut habis sejumlah harga jual sayur yang di dagangkan.
Ada juga, seorang ibu dan bapak yang sudah sepuh dan tidak memiliki penghasilan yang besar, karena mengandalkan jualan kripik peyek saja, beliau bercerita jika setiap bulan, almarhum rutin memberikan uang bulanan dengan nominal yang cukup besar, untuk modal katanya.
MasyaAllah, rasanya merinding sekali mendengar cerita-cerita itu semua, betapa mahal nya memiliki hati seperti almarhum, betapa sulit memiliki keyakinan bahwa harta yang dimiliki oleh kita berapapun banyaknya itu semua adalah titipan, yang mana ada hak orang lain di dalam nya. Betapa almarhum memegang keyakinan, bahwa harta yang beliau punya adalah jalan yang Allah berikan sebagai ladang untuk beramal. Betapa beliau meyakini bahwa harta yang beliau punya itu tidak akan pernah habis dengan disedekahkan.
Teringat ayat ini, "Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S Al Munafiqun : 10) . Sebuah ayat yang patut direnungkan, sebuah ayat yang mengingatkan kita untuk beramal. Amalan yang tidak berhenti mengalir pahala nya, bahkan saat kita sudah tidak lagi hidup di dunia. Semoga kita mengerti, memahami, bahwa kita hidup di dunia ini sangat sebentar, tidak ada yang kekal, semua akan kembali, termasuk diri kita sendiri, agar kita senantiasa mengumpulkan bekal.
Semoga masih Allah beri kita kesempatan, semoga kita tidak mendzolimi diri kita sendiri. Semoga Almarhum Pak Dodi, Allah terangkan kuburnya, ampuni dosa-dosa nya, dan semoga kita yang masih hidup di dunia ini, bisa mengambil pelajaran :")
Bandung, 12 Juli 2021
26 notes · View notes
googagooga · 5 years ago
Text
Catatan Akhir Tahun 2019
Ini tahun yang biasa, sebab tak ada pencapaian yang didapat. Saya kembali bekerja di perusahaan yang sama tanpa secuil perubahan yang kelihatan. Kalaupun memang ada, barangkali itu adalah berat badan saya yang terus bertambah. Pekerjaan di kantor juga tak menyenangkan saya. Dengan perasaan jenuh yang dibawa setiap pagi, rasanya tinggal menunggu waktu yang pas untuk mencari pekerjaan lain.
Wisuda cuma sebuah perayaan menghamburkan uang karena jaraknya yang begitu jauh. Permintaan bapak yang tak mudah dan tak murah sebenarnya menyenangkan saya ketika semuanya dapat dikabulkan, tapi beberapa hari kemudian barulah penyesalan akan segala keborosan muncul.
Dalam pergaulan, sebagian orang mungkin membenci saya karena sering tiba-tiba menghilang, tapi lainnya menganggap itu sebagai hal yang biasa. Orang-orang yang mengenal saya tentu akan membiarkan saya dengan kesendirian sementara mereka yang tak tahu malah sering kali mengganggu jam-jam sunyi. Entah karena rasa malas yang sudah lama mengalir di dalam darah, saya jadi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Ini tak ada bedanya dengan hari-hari saya selama di Nottingham di mana saya dipusingkan oleh tugas kuliah yang sulit dimengerti sehingga membuat saya tak berani keluar dari perpustakaan.
Naskah novel bersambung cuma wacana, sebab saya terlalu banyak mengubah ceritanya. Bagian yang paling sulit dilanjutkan adalah bab terakhir yang terlanjur terbit. Rasanya ingin menarik beberapa bab untuk membersihkan beberapa adegan yang tak penting. Sementara itu naskah novel perdana tadinya dalam perjalanan mulus sebelum pikiran bodoh ini menahannya karena merasa isinya sangat tak memuaskan. Sekali lagi, masih banyak bagian-bagian yang tak menarik pembaca termasuk oleh saya sendiri. Mestinya saya jauhkan saja komentar orang-orang yang membacanya, tapi entah kenapa saya jadi tak percaya diri.
Tahun ini akhirnya saya merayakan Natal bersama keluarga setelah sepuluh tahun berlalu. Bagian paling menyedihkan adalah keluarga kami yang tak lagi lengkap. Saya sangat menyesal karena dulu tak menyediakan waktu buat merayakan Natal bersama ibu.
Saya ingin sekali bertemu dengan ibu, tapi ia tak pernah ada setiap kali saya pulang. Ia tak ada di kamar. Tak ada di ruang keluarga, juga di dapur. Tak ada di garasi yang isinya cuma perabotan bekas apalagi di halaman depan rumah tempat anjing menyalak setiap dilihatnya orang melintas. Bukan di dekat pembakaran sampah karena itu pekerjaan bapak. Ia tak kelihatan di mana-mana, sebab ia mesti sembuh dengan meninggalkan kami. Gambarnya masih ada di ruang tamu. Senyumnya megah dengan kebaya berwarna biru. Sekali dua kali saya melangkah ke sana cuma buat melihat fotonya. Kira-kira apa yang ada di pikirannya jika melihat keadaan saya yang seperti ini?
Bapak tak tinggal sendiri di rumah sejak ia mempekerjakan orang buat mengurus rumah mulai dari membenarkan atap sampai membersihkan gudang. Di halaman ada seekor anjing penjaga yang makan siangnya bisa lebih mahal daripada makan siang saya. Ragam bunga di halaman yang rapi menandakan kalau bapak benar-benar mengisi masa tuanya. Ia antusias merawat tanaman-tanaman itu. Terakhir kali saya melihat ia membawa pulang tanaman anggrek. 
Mobil kami usianya hampir lima belas tahun. Dengan usia seperti itu tentu tak murah buat memastikan kebagusan onderdilnya. Lagi pula bapak sudah jarang menggunakannya. Kemarin ada adik yang menggunakan uangnya untuk memeriksa segala permesinan lalu saya ambil bagian buat mengurus surat-surat mobil yang hampir kadaluarsa.
Malam atau siang kami pergi keluar mencari makan. Mungkin itulah waktu kami berkumpul bersama setelah kepergian ibu. Lainnya tak ada waktu, sebab kami tinggal berjauhan. Meski demikian bolehlah kami bersyukur karena sudah lama tak berkumpul buat makan bersama. Cuma satu yang tak lagi kami rasakan setiap lapar: masakan ibu. Ketika orang-orang bilang kalau pulang tak sama rasanya tanpa kehadiran ibu, mungkin memang itulah maksudnya. Tak ada lagi masakan ibu.
Selain itu, saya juga mengunjungi nenek dari ibu. Seperti biasa ia terus bilang “Mamak sudah bahagia di surga,” kepada cucu-cucunya. 
Ia mungkin tak ingat entah berapa kali kalimat itu keluar dari mulutnya.
Rutinitas yang tak berubah lainnya adalah memandangi foto-foto masa muda anak-anaknya termasuk ibu di dalamnya. Nenek selalu mengajak kami duduk di belakang rumah sambil membawa beberapa album foto. Saya sudah pernah melihat isi album tersebut. Ibu memang cantik sekali di sana. Memang betul kalau ia kembang desa. Kadang saya ingin bilang betapa kurang beruntungnya ia bertemu bapak, sebab orang cantik biasanya mendapatkan kehidupan yang baik. Namun, tanpa semua itu mana mungkin saya ada seperti sekarang ini.
Lalu saya pikir-pikir lagi, sambil melihat ke halaman belakang yang dipenuhi oleh tumbuhan bayam yang ditanam oleh bibi, untuk apa juga saya ada di sini. Ibu sudah lama meninggalkan saya yang sampai hari ini tak punya kemajuan. Kalau pun orang mengira meraih gelar magister merupakan sebuah pencapaian, bagi saya itu percuma tanpa kehadirannya. Saya belum pernah lagi membuatnya senang sejak mulai bekerja bahkan mengirimkannya uang hasil pekerjaan pun ada rasa bersungut-sungut. Hingga kini saya merasa bersalah karena sering meninggalkannya hanya untuk pekerjaan-pekerjaan yang tak seberapa. Bodoh sekali.
Begitulah saya menjalani hidup yang isinya dipenuhi rasa sesal. Seorang teman sampai pernah bilang kalau bicara dengan saya sama saja membiarkan dirinya terhisap ke dalam jurang pesimis. Saya tertawa, tapi memang benar apa yang dikatakannya.
Tahun ini akhirnya berakhir dan ia tak meninggalkan apa-apa. Kecuali rasa cemas karena keputusan-keputusan yang teramat tolol.
Bandung, 3.2.20 7:38 PM
2 notes · View notes
ruangberbagi · 6 years ago
Text
Mutiara Hikmah (1)
Bandung, 1 Februari 2019
Pagi ini ku putuskan untuk membeli potongan bahan untuk memenuhi pesanan. Aku rencanakan untuk berangkat lebih pagi, supaya bisa pulang lebih awal. Namun, pada kenyataannya aku tak bisa meninggalkan rumah begitu saja tanpa menyiapkan santapan untuk makan siang. Ya, aku harus menyiapkan makan siang untuk ayah ku karena ibu ku masih berada di luar kota hari ini. Alhasil aku baru bisa berangkat jam 10. Diperjalanan aku berpikir, "apakah tokonya masih buka ketika aku sampai ?" Atau "tokonya sudah keburu tutup karena jeda sholat Jumat ?" Waktu tempuh dr rmh ke toko tsb kurang lebih sktar satu jam stengah dgn kendaraan umum itu pun hrs disambung dgn ojek online supaya bs lbh cpt.
Pertanyaan2 td terus berkecamuk hingga pada akhirnya ku dapati toko tsb tutup pada saat aku sampai. Akhirnya aku tunggu toko tsb buka & toko tersebut baru buka kmbali jam 1 siang. Ya satu jam setengah aku menunggu. Setelah toko buka aku bergegas membeli bahan, kemudian aku lanjutkan perjalanan ke tempat penjahit menggunakan ojek online. Sesampainya di sana aku langsung mengajak penjahit tsb untuk makan siang brsama. Setelah selesai makan akhirnya dia pun memulai pekerjaannya, yakni menjahit bahan yang sudah ku beli tadi. Waktu terus berjalan dan tepat pukul 4 aku putuskan untuk keluar sejenak mencari mesjid untuk melaksanakan sholat Ashar lagi-lagi ku gunakan ojek online. Sore itu hujan lumayan deras, aku pun berteduh di dpn salah satu Toserba di dkt msjid. Adzan Magrib berkumandang & aku kembali ke mesjid untuk melaksanakan sholat. Setelah melaksanakan sholat aku putuskan untuk berjalan kaki mencari penjual makanan. Setelah mendapatkan makanan, aku kembali memesan ojek online untuk mengantarkan ku ke tempat penjahit. Sesampainya di rmh penjahit tsb aku ambil jahitan ku, ku berikan makanan itu & tak lupa ku bayar ongkos jahitnya.
Setelah itu aku memustuskan untuk segera pulang karena sudah malam & hujan tak jg reda.
Lagi dan lagi ku pesan ojek online, namun entah karena cuaca buruk atau sinyal hp ku yg tak bersahabat akhirnya aku pesan beberapa kali ojek online namun tak ada yg menerima. Anehnya, saldo ku berkurang. Sampai pda akhirnya ada satu driver yg dtng menjemputku. Di tengah perjalanan, tiba2 ada panggilan masuk. Ternyata panggilan tsb berasal dr para driver, mereka bilang orderan masuk ke mereka smentara saat ini aku sdg dlm perjalanan dgn seorang driver lain. Lalu drivernya bilang "klu sdg hujan server suka eror makannya jd spt itu". Oke aku pun mulai mengerti dan mulai mengikhlaskan saldo ku yg terus berkurang.
Sesampainya di halte, aku pun kembali memesan ojek online karena sudah trllu mlm bis tujuan ke rumah ku sdh tak ada. Sebelum memesan, aku isi trlebih dlu saldo ku. Setelah memesan, tp lama tak ada driver yg menerima akhirnya aku cancel. Anehnya saldo ku berkurang, aku sontak kaget saldo berkurang tapi driver tak kunjung datang. Akhirnya aku kembali memesan ojek online dan akhirnya driver tsb menjemputku.
Di awal kedatangannya aku mencurahkan kekesalan ku thd kejadian yg bru saja ku alami. Driver tsb bilang "itu drivernya nakal". Oh gt ya pak, ya udah lah saya ikhlasin aja lagian tadi jg saya udh lapor kok ke CS nya, mudah2 an segera di tindak lanjuti supaya tdk ada kejadian serupa. "Iya neng ikhlasin aja, mudah2 an Allah ganti sm yg lbh baik". "Iya aamiin pak" ucapku.
Sepanjang perjalanan driver tsb brcerita ttg pengalamannya menjadi driver & pengalamannya ketika berhijrah. Entah mengapa, seketika air mata ini mengalir mendengar cerita & nasehat dr driver tsb. Perjalanan dr terminal leuwi panjang smpai cipadung pun tak terasa. Padahal di jalan bbrapa kali kami sempat terjebak macet.
Sesampainya di tujuan, aku baru menyadari. Mungkin ini yg dinamakan hikmah, banyak pertanyaan muncul dlm benak ku slh satunya "Ada skenario apalagi ya Allah, ku rencanakan brngkat pagi agar sore aku bs menyambut kepulangan ibu ku. Namun hingga mlm hari di tengah hujan dgn kondisi lapar, uang hampir habis, aku trjebak dlm situasi spt ini....hhhmmmm aku cuma pngn pulang ke rumah aja ya Allah" 😌
Sampai pada akhirnya ku dapati jawabannya, mungkin Allah membuat aku trheran2 dgn bbrapa kejadian di hari ini untuk mmpertemukan ku dgn bpk driver ini. Bpk driver yg akhirnya mengantarkan ku telah memberikan banyak sekali pencerahan & arti kesabaran.Terimakasih ya pak 🙏
Sungguh Allah lah sebaik - baiknya pembuat skenario. 💞
Tumblr media
1 note · View note
timemachineeees · 3 years ago
Text
İtu, tadi. Sore di kota bandung. Yang kata ayah pidi itu tempat bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku (ayah pidi) ketika sunyi. Ya, itu sore dan senja malu-malu. Bukan senja dengan semburat lembayung yang memanjakan mata. Dan, saya di atas flyover. Berdua menikmati senja dengan pemandangan kota bandung yang macet. Bukan denganmu. Tapi, dengan pak yuyus mulyana. Bapak baik hati, lelaki panggilan yang bersedia banting tulang untuk anak dan istri. Lelaki yang dipanggil oleh saya melalui aplikasi. Dan harus terus memecut motornya yang entah kapan terakhir kali diberi istirahat untuk menjemput saya, yang bukan siapa-siapa, bukan kawan, bukan sanak, bukan family. Sungguh mulia hati bapak yuyus, walau saya yakin jika motornya bisa bicara, motornya akan meminta ditembak mati daripada terus disiksa seperti itu.
Dan, betul terjadi. Di atas flyover, motor itu mati suri. Beragam cara dicoba agar dia kembali hidup. Tapi, nihil. Menyebabkan saya dan pak yuyus masing masing menikmati rokok kami yang dibeli oleh uang masing-masing. Setelah pak yuyus menolak rokok yang saya tawarkan karena berbeda selera. Ya, itu biasa.
"Santai aja, pak. Terminal Cicaheum mah moal pindah." Saya bilang begitu, agar saya terkesan seperti orang yang punya banyak maklum. "Nyantai gitu a? Ga buru-buru?" Pak yuyus tanya saya. "Nyantai pak, ngeroko aja dulu, biar motornya istirahat." Saya bilang begitu sebagai jawaban dari pertanyaan pak yuyus sebagai pribadi yang kritis. "Untung pak, mogok disini. Alhamdulillah. Coba kalau mogok di jamaica, bingung pak! bengkel jauh, pom bensin gaada pertalite, banyak singa, pak, hyena juga ada. Di sini mah indah, Alhamdulillah, bengkel ada dibawah." Saya bilang begitu, dengan maksud agar perjalanan tak usah diteruskan, lebih baik motor pak yuyus segera diberi perawatan.
Dan, pak yuyus mengerti. Lepas satu batang, akhirnya kami membuat motor itu melaju dengan tenaga kaki! Meluncur di jalan yang menurun menuju bengkel terdekat. Dan, itu perpisahan. Lepas kami saling berterimakasih dan bermaaf-maafan, saya harus menggunakan jasa lelaki panggilan yang lain. Yang membawa saya pergi menuju terminal cicaheum yang padat. Meninggalkan pak yuyus yang sedang merawat motornya. Dan, tak perlu sedih apalagi air mata.
Semoga lekas sembuh, pak, motornya. Kembali bisa ugal-ugalan di jalanan bandung, balapan dengan anggota brigez.
Semoga lancar rezekinya pak, mengalir seperti air terjun dari uang koin 1000 rupiah. Saya sudah di rumah pak, di kamar saya. Habis mandi, dan makan rendang, pak. Bapak juga sudah makan saya yakin, paling tidak waktu bapak balita. Semoga sehat selalu dengan MP-ASI rasa beras merah dan kacang hijau.
Wasalam
Dammy bukan mas
1 note · View note
ashmanafilahm · 3 years ago
Text
Rezeki itu ngga selalu berbentuk uang dan kekayaan. Ia bisa menjelma menjadi sosok sahabat yang ngga pernah absen mengingatkan dalam kebaikan.
Mungkin gue selama ini ngga sadar. Mereka yang ngga bosen-bosen ngajak sholat dhuha dan ibadah lainnya adalah anugerah yg luput dari mata. Emang sih kadang jengkel, diajak sholat dhuha di saat bel istirahat yg singkat berdering. Tapi mungkin aja keberkahan ilmu ketika di sekolah bisa didapat lewat jalur sholat dhuha itu. Keberkahan yg mengalir karena menyediakan waktu dan menyampingkan hal lain demi mendahulukan Allah.
Wah, merinding..
Setelah masuk dunia kampus pun, gue ngerasa sahabat yg baik itu bener-bener kaya harta karun. Kadang perlu dicari, kadang Allah yg ngasih tanpa kita minta. Pokoknya dengan cara apapun kita memperolehnya, itu adalah nikmat yang harus, wajib, kudu kita syukuri. Tapi kalo misalnya belum punya sahabat yg kaya gitu, ya gapapa. Kita bisa terus ikhtiar cari lingkungan yg bisa jagain kita. Dan yg paling penting, selain ikhtiar cari sahabat sholeh, kita juga harus.. be the one 😉
—Bandung, 15 Agustus 2021
1 note · View note
irfanilmy · 7 years ago
Text
Menghayati Kesantrian dalam Diri
[Jurnal Ilmyah: Hari #251]
Tumblr media
Santri menurut saya jangan hanya dipahami sekadar kata benda. Cara memandang mengenainya harus diubah menjadi sebuah kata kerja. Menyantri. Berarti secara aktif terus menuju ke arah bagaimana memang semestinya santri itu berlaku dan berkepribadian. Setiap saat diupayakan membawa arah diri sang santri bergerak pada definisinya yang ideal.
Selain tentang ilmu padi dalam hal ketawaduan, santri pun mesti belajar ilmu air untuk urusan keberfaedahan. Mengisi seluruh celah dan ruang kosong serta adaptif terhadapnya. Air sangat berperan dalam kehidupan. Air pula berjasa menghilangkan dahaga. Air menjadi kebutuhan seluruh makhluk hidup yang berarti keberadaannya amat bermanfaat. Meski bilamana ia diperlakukan dengan tak wajar, sisi lembutnya pun bisa menjelma jadi monster mematikan. Meluluhlantakkan banyak hal di depannya.
Maka santri pun seharusnya berlaku seperti air itu. Memberi sebanyak mungkin guna dan di lain sisi menyimpan kekuatan dahsyat untuk membela diri bila suatu saat diposisikan dengan tak semestinya.
Mimpi Membangun Sebuah Pesantren
Selain kemandirian, pelajaran sepanjang hidup dari pesantren yang mengalir dalam aliran darah saya hingga saat ini dan bahkan (mungkin) kelak sampai mati yaitu dorongan untuk tanpa henti mengabdi sepenuh hati. Nasihat-nasihat yang kerap terselip pada setiap pengajian—baik pagi, sore, dan malam—secara eksplisit maupun sekadar tersirat, hidup abadi di dalam benak dan bilik memori serta mengawal cara berpikir juga bersikap saya sekarang.  
“Santri harus mengambil peran dalam berbagai sektor kehidupan!” Begitu kurang lebih suara-suara yang terngiang tentang wejangan asatiz bila disimpulkan dalam sebuah kalimat singkat tapi padat. Petuah itu merupakan ekstraksi dan saripati dari perasan dalil naqli berupa hadits bahwa “sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Pelajaran untuk senantiasa menata hati saat melakukannya pun secara otomatis terset dengan baik. Implikasinya keikhlasan selalu jadi orietasi tiap kebaikan yang diperbuat. Memang tidak pernah mudah. Tapi karena tingginya frekuensi pesan-pesan ini disampaikan, wajar jika saya terus terdorong untuk mengupayakannya karena hal itu sudah mengendap dari sejak lama di alam bawah sadar saya.
Semua hal tentang pondok pesantren membuat saya jatuh cinta atasnya. Obrolan santai bersama bapak di suatu ketika, membuat akar pohon cinta terhadap semua hal yang bersangkut paut dengan pesantren itu tumbuh kian kuat di dalam sanubari saya. Terlepas konten pembicaraannya sangat ringkas, namun ternyata ada ketulusan dan harapan besar dari perkataan bapak itu. Bapak ingin ada salah satu anaknya yang meneruskan perjuangan mengajarkan nilai-nilai keislaman di kampung. “Jang engke ku bapak rek dipangdamelkeun pasantren,” yang artinya kurang lebih “Nak, nanti sama bapak akan dibuatkan pesantren”.
Sesederhana itu redaksinya. Tapi dampak dari kata-kata itu mengobrak-abrik pertahanan saya. Saya luluh dan tunduk atas permintaan yang disampaikan secara halus oleh bapak tersebut. Sejak saat itu, timbul satu benih impian dalam sanubari saya: mendirikan sebuah pesantren dengan salah satu segmentasi santrinya berupa mereka yang kurang beruntung secara ekonomi namun berprestasi dan punya keinginan tinggi untuk melanjutkan pendidikan (agama maupun umum).
Saat ini, saya juga tak betul paham dengan bagaimana langkah-langkah untuk merealisasikannya. Tapi saya yakin bahwa mimpi yang terus diikhtiarkan, suatu saat akan kesampaian pula. Entah jalannya seperti apa. Biarlah Allah yang mengaturkannya. Tugas saya terus bergerak dan menempuh jalan-jalannya.
Sekarang, ikhwal yang bisa diupayakan seperti membangun relasi sebagai salah satu penyumbang terhadap kelancaran pesantren kelak sedang saya lakukan. Dari perkenalan itu bisa tercipta peluang-peluang yang di kemudian hari bakal bermanfaat bagi terealisasinya impian mulia itu.
Beragam pelatihan dan kegiatan-kegiatan yang diikuti baik berskala lokal hingga nasional di samping berfokus pada serta informasi yang disampaikan pemateri, saya pun berusaha sambil sedikit demi sedikit menyusun jaring-jaring pertemanan berkualitas. Yakin, suatu saat nanti itu akan sangat bermanfaat.
Sebagai langkah konkret mewujudkan cita-cita itu, saya menginiasi sebuah kelompok mentoring prestasi yang pesertanya adik tingkat di program studi Ilmu Pendidikan Agama Islam UPI Bandung. Saya namai perkumpulan ini Akademi Prestasi. Tentu saja makna prestasi di sini amat luas. Dalam berbagai bidang kehidupan yang tak melulu soal meraih gelar juara lomba berupa hadiah uang tunai, piagam penghargaan, dan satu buah piala.
Memang hanya lima orang mahasiswa saja, jangkauan dampaknya amatlah kecil. Namun tidak ada yang terlalu kecil dan teramat besar untuk soal kebaikan. Semuanya sangat berarti. Dari yang jumlahnya sedikit ini saya optimis akan terbentuk iklim prestatif dan kontributif dengan cakupan lebih luas.
Isi forum ini berusaha melahirkan kader generasi muda yang memiliki gairah tinggi untuk mengukir banyak prestasi dan pengaruh positif bagi lingkungan di mana mereka berada. Saat ini tercatat sudah 5 kali pertemuan kami mengadakan mentoring, dari mulai pengenalan dan orientasi project ini, seputar Mahasiswa Berprestasi, dorongan untuk menjadi inisiator dalam beragama potensi kebaikan, mengenai semangat untuk mandiri lewat menjadi entrepreneur, dan yang terakhir materi tentang mengapa calon changes maker harus menyampaikan gagasan-gagasannya lewat aktivitas menulis.
Saya kira mengangankan membuat sesuatu yang besar tanpa memulainya sedari sekarang adalah sebuah kekonyolan. Kadang-kadang saya menyebutnya sebagai sebuah omong besar yang kosong. Dan untuk menghindari keomongkosongan itu, saya memilih melakukan sesuatu yang memang ditutujukan sebagai sebuah langkah nyata dalam rangka memulai. Ketika mendirikan sebuah bangunan ada proses paling elementer yakni meletakkan batu pertama. Anggaplah ini sebagai tahapan itu.
Menata Keseharian Hidup Seperti di Pesantren
Bagi saya, sebutan santri bukan sekadar sematan untuk para pencari ilmu yang sedang berproses di pesantren saja. Julukan santri menjadi semacam label yang menempel pada diri seseorang seumur hidupnya saat mereka memang pernah menjadi santri sebelumnya. Berbeda dengan sebutan lain seperti siswa dan mahasiswa, saya menganggap bahwa gelar santri ini tak akan pernah tanggal, justru di dalam jiwa hal itu selamanya akan manunggal. Tentu dengan catatan yang bersangkutan menghendakinya. Sebab tak dipungkiri, tidak semua buah pada tiap pohon tumbuh dengan sempurna. Ada saja sebagian darinya yang tidak layak konsumsi karena beragam faktor penyebab. Hal yang sama berlaku untuk alumni pesantren.
Tidak semua dari mereka konsisten dengan nilai-nilai yang telah diajarkan di pondok. Dengan berbagai dalih, mereka memilih sendiri jalan hidup berdasarkan sesuatu yang diyakininya pasca tidak lagi hidup dengan berbagai aturan di lembaga pendidikan Islam bernama pesantren. Meski terkadang keyakinan itu pada akhirnya tak selalu baik. Begitulah, pilihan hidup balik lagi ke tiap tiap-tiap individu. Sebab mereka punya pertimbangan sendiri-sendiri berdasarkan banyak perkara yang mempengaruhi pengambilan keputusannya.
Kehidupan santri di pesantren mengondisikan mereka hidup dalam sistem yang mendekati ideal. Sudah tentu standar itu menurut masing-masing penyelenggara pesantren. Sehari semalam pesantren memberikan kesempatan ibadah yang amat tak terbatas pada penghuninya. Santri terutama. Waktu rehat juga barangkali diisi dengan konten-konten kebaikan yang kalau tidak mengarah pada penambahan dan penguatan ilmu, ya ke peluang-peluang terjadinya kebaikan. Entah membantu sesama kawan yang juga senasib sepenanggungan jauh dari keluarga hingga memberikan kontribusi positif terhadap pesantren tercinta lewat berbagai wujud: waktu, tenaga, dan pemikiran-pemikiran konstruktif.
Apabila setiap alumnus pesantren menyadari tentang tahap sebenarnya menjadi santri adalah saat mereka sudah tidak lagi mondok, harusnya pembiasaan-pembiasaan yang telah dilakukan di lembaga itu tidak akan mudah ditinggalkan. Saya jadi berpikir bagaimana jadinya jika mereka membayangkan terus menjadi santri di pesantren walau kenyataannya sudah tidak lagi. Meskipun tidak ada lagi seksi keamanan yang mengontrol dengan teliti setiap amalan para santri, mereka akan merasa terus diawasi hingga dalam pembiasaan kesekian akan menjadi sebuah karakter yang secara otomatis dengan mudahnya bisa dilakukan.
Saya mengajak kaum santri (baca: alumni) untuk berimajinasi sedang menerapkan peraturan-peraturan pondok yang detail itu dengan disiplin tinggi. Saya yakin semangat untuk beramal dengan giat akan terkondisikan secara maksimal. Sebelum mengajak orang lain pastilah saya mengajak diri sendiri terlebih dahulu. Itu sudah pasti. Sebab mengatakan sesuatu yang tidak diperbuat merupakan sebuah perbuatan yang dibenci oleh-Nya bukan?
Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 3 Desember 2017 
Sumber gambar: dokumentasi pribadi
25 notes · View notes
saskiksmw · 4 years ago
Text
Walk by Faith, Not by Sight
20 Oktober 2020
Tulisan ini aku dedikasikan untuk Bapa Yang Penuh Kasih, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Banyak sekali hal yang aku alami selama aku hidup 22 tahun ini. Dalam tulisan ini, aku ingin membagikan pengalamanku, perjalanan imanku bersama dengan Tuhan serta kebaikan-Nya yang mengalir tak henti-hentinya layaknya sungai. Tidak pernah kering, tidak pernah habis, selalu berlimpah dan jernih menyegarkan. Aku mengambil judul “walk by faith, not by sight” dengan merujuk kepada 2 Korintus 5:7, “— Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat —” (For we walk by faith, not by sight). Ya, hidup karena percaya apa yang Tuhan akan kerjakan, bukan karena melihat apa yang terjadi di hadapan kita.  
Aku mengalami hal-hal baik ini, aku percaya bukan karena kehebatan atau kepintaran atau bahkan keberuntunganku sebagai seorang hamba, melainkan semua karena Kasih Karunia-Nya semata-mata. Dan aku percaya, Tuhan masih memiliki rancangan hidup dan keselamatan yang begitu indah bagi setiap orang yang selalu percaya dan taat kepada-Nya. Perlu dicatat bahwa tulisan ini bukan untuk menyombongkan diri, namun untuk mendorong saudara-saudaraku yang terkasih di dalam Tuhan untuk selalu “percaya” dan “menyerahkan diri” kepada Tuhan, karena percayalah bahwa semuanya yang Tuhan izinkan terjadi adalah baik dan manis. Segala sesuatu yang kamu dapatkan adalah yang terbaik dan untuk kebaikanmu. Dan apabila hal-hal buruk terjadi atau tidak sesuai ekspektasi, ingatlah bahwa Tuhan mengizinkannya terjadi karena Ia ingin melihat anak-Nya bertumbuh di dalam iman dengan menguji hati dan kesetiaan kita semua.
Berikut adalah beberapa dari pengalaman penyerahan diriku, dan bagaimana Tuhan selalu mengejutkanku dengan hal-hal yang lebih baik dari yang aku pikirkan.
1.       Masuk Kuliah dan Menerima Injil
Teman-teman terdekatku pasti tahu, dari SMA aku sangat ingin masuk Universitas A (mohon maaf harus disamarkan, yang jelas lokasinya di Depok wqwq). Lima tahun yang lalu aku sangat ingin masuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dengan jurusan Akuntansi. Padahal, aku tidak pernah menyukai matematika atau hitung-hitungan (walaupun jurusanku ketika SMA itu IPA wkwk). Lantas mengapa aku ingin masuk jurusan Akuntansi di Universitas A? Karena gengsi, passing grade yang tinggi serta apresiasi dan pujian yang hendak aku dapatkan dari orang-orang. Dan prospek kedepannya, yaitu kekayaan melimpah jika aku menjadi seorang ahli akuntan. Idealisme yang begitu tinggi sampai nabrak langit ya? Tapi begitulah pemikiranku pada saat itu. Orientasiku adalah kekayaan dan pujian dari orang-orang.  Dan aku berdoa sekencang-kencangnya kepada Tuhan bahwa aku sangat ingin masuk jurusan ini di universitas ini. Aku ingin sekali. Aku berdoa terus menerus dan melakukan puasa permohonan. Namun dalam doaku tersebut, selalu aku akhiri dengan kalimat “namun terjadilah padaku menurut kehendak-Mu”. Padahal seujujurnya dalam hati, ingiiiiiin sekali ya Tuhan, tapi apapun yang terbaik lah ya daripada nggak dapet dimana-mana.
Singkat cerita, di H-1 pengumuman, aku mendapatkan sebuah mimpi. Dalam mimpi itu aku dikejar-kejar oleh seorang laki-laki yang mukanya sangat tampan (mirip Justin Bieber), namun ternyata ia hendak membunuhku. Di mimpi itu aku ditangkap dan diangkut menggunakan mobil truk. Aku duduk di sebelah kursi pengemudi yaitu Si Pembunuh Tampan tadi. Lalu di tengah perjalanan aku berkata sudah tidak tahan dan ingin buang air kecil. Ia pun berhenti di pinggir jalan. Disana aku melihat gedung INTEN (tempat kursus aku dan teman-teman lainnya masuk PTN) dan aku berlari ke dalam. Aku bertemu dengan wali kelasku, Pak GM, dan aku meminta tolong kepadanya kalau aku sedang dikejar pembunuh. Ia menyuruhku segera berlari masuk ke ruang kelas yang ada Ibu SF. Ibu SF terlihat khawatir dan menyuruhku untuk tenang. Namun ternyata Si Pembunuh Tampan itu menemukanku dan ia hendak memukul kepalaku dengan tongkat listrik. Hal itu gagal terjadi, karena salah satu office boy di INTEN, mas DD, memukul kepalanya dengan kursi hingga ia pingsan. Pak GM menyuruhku lari keluar, dan ketika aku berlari keluar ke jalan tadi, aku memanggil taksi. Aku bergegas masuk, dan berkata kepada supirnya, “Pak cepet pak! Ke Bandung!”. Lalu aku terbangun. Kaget sekali karena dalam benakku ketika aku bangun adalah kenapa aku bilang ke Bandung bukan ke Depok ya?
Singkat cerita, aku masuk Universitas B di Bandung dengan jurusan Hukum. Sebuah hal yang mengejutkanku, di luar ekspektasiku, namun Tuhan begitu mengasihiku. Selama aku merantau di Bandung, tepatnya di Jatinangor, aku mengalami perjalanan iman dengan Tuhan. Pertama, kakak kandungku yang sedang studi di Korea Selatan, meneleponku dan memberitakanku mengenai Injil. Aku sudah kristen sejak lahir, namun aku belum benar-benar memandang Tuhan Yesus Kristus seperti sekarang ini. Lalu aku mulai bertemu dan diajarkan mengenai Empat Hukum Rohani dengan seorang Kakak Rohani berinisial CH di Jatinangor, mengikuti persekutuan di kampusku, dan menjadi pengurus pesekutuan. Atau istilah lainnya adalah aku telah lahir baru. Sebelum menerima dan memahami esensi Injil, aku begitu susah untuk diajak berdoa, ke gereja, apalagi membaca Alkitab. Aku merasa bosan dan tidak memerlukan hal-hal itu, toh aku sudah percaya Tuhan Yesus sejak lahir? Namun pemikiranku ini bukanlah yang Tuhan inginkan. Dan setelah menerima Injil, tidak secara instan aku langsung berubah ya, tapi sedikit demi sedikit Tuhan menanamkan hati yang rindu untuk selalu memuliakan nama-Nya dan bersekutu di dalam-Nya.
Lucu sekali, karena benar bahwa Tuhan Yesus lebih mengetahui apa yang aku butuhkan dibanding apa yang aku inginkan. Tuhan Yesus mengubah hidupku melalui Firman Tuhan dan Kebenaran Injil (hal ini mungkin akan diuraikan lebih detail di posting lain). Tuhan Yesus tahu aku tidak menyukai hitung-hitungan, makanya aku masuk jurusan Hukum. Dan ternyata aku sangat menyukai jurusan ini. Aku jatuh cinta dengan jurusan ini. Terimakasih Tuhan Yesus, all praises goes to You, my Lord.
2.       Mendapatkan Judul Tugas Akhir
Memasuki semester 6 di Jurusan Hukum, sudah saatnya memikirkan judul Tugas Akhir (skripsi). Cita-citaku memang cumlaude dan lulus 3,5 tahun. Dari awal Februari 2019 aku mulai mencari kesana dan kemari. Aku mulai mengambil topik mengenai Hukum Perusahaan dari bermacam-macam sumber tapi lama-lama sepertinya abstrak sekali judulnya. Singkat cerita, aku mengajukan tiga atau empat judul dan semuanya ditolak oleh kepala departemen. Judulku terlalu idealis dan datanya susah untuk didapat. Aku menjadi takut dan khawatir karena beberapa teman seangkatanku sudah ada yang mendapatkan judul, bahkan sidang usulan penelitian. Aku terus menerus membandingkan diriku dengan orang lain. Kok dia bisa cepet aku nggak sih? Sampai akhirnya di bulan April, temanku memberitahuku bahwa skripsi bisa menggunakan alternatif lain, yaitu mengikuti Penelitian Dosen, jadi topik yang kita bahas adalah sesuai dengan apa yang sedang dikerjakan dosen kita. Wah, aku harus mencoba ini, pikirku, karena targetku adalah mendapatkan judul di semester ini.
Aku mulai menghampiri dosenku, ibu Dr. Sinta Dewi Rosadi, untuk menawarkan diri menjadi asisten penelitiannya. Puji Tuhan, ia setuju. Aku dan satu temanku yang lain diperbolehkan untuk mengikuti penelitiannya yang bertemakan Privasi atau Perlindungan Hukum atas Data Pribadi di Indonesia. Menarik sekali, tapi aku lumayan gelisah karena jurusanku itu Hukum Ekonomi, sedangkan topik tersebut Hukum Siber. Aku mulai mencari cara supaya topik tersebut dapat menyinggung Hukum Ekonomi atau Hukum Perusahaan supaya nanti aku tidak terhambat di tengah jalan oleh kepala program studi di fakultasku. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil judul Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Peer to Peer Lending atas Kasus Pelanggaran Privasi Data Pribadi Menurut POJK mengenai P2P Lending. Dosenku setuju dengan judul ini, namun aku harus memastikan apakah judul ini sudah ada yang punya atau belum. Aku terhambat karena ibu wakil kepala departemen mengatakan judul tentang P2P Lending ini sudah banyak yang membahas, lalu aku mulai cari satu per satu, ternyata ada 3 orang kakak tingkat yang menggunakan judul ini. Aku sampai harus menghubungi ketiganya lewat chat memastikan apakah pembahasannya sama persis denganku. Ternyata 3 orang ini beda banget kok! Mereka lebih bahas ke arah perdata, atau perjanjian antara para pihaknya, bukan perlindungan data pribadinya menurut POJK.
Jadi aku meyakinkan ibu wakil kadept kalau judulku ini membahas topik yang berbeda karena aku sudah menanyakan ketiga orang tersebut (berani banget setelah dipikir2 ngechat kakak tingkat ga dikenal). Semua aku lakukan demi mendapatkan judul di semester itu. Lalu aku dengan pede dan senangnya menulis judulku di buku besar Judul TA Jurusan Hukum Ekonomi. Lalu aku melihat-lihat judul orang-orang lain, aku bolak-balik kertasnya, dan tiba-tiba…………. Aku menemukan judul yang sama persis. Bahas P2P Lending dan Perlindungan Privasinya menurut POJK. Wah……….. harus apa aku? Ya Tuhan, aku ingin sekali membahas tentang ini. Lalu aku kembali menghubungi nama yang menggunakan judul tersebut untuk menanyakan keseluruhan skripsinya. Dan ternyata memang persis sekali pembahasannya. Aku pergi dari gedung departemen dengan perasaan sedih, malu, bingung, semuanya tercampur. Lalu aku duduk dekat masjid di kampus Bandung bersama dengan pacarku, ia menenangkan hatiku dan membantuku untuk mencari judul lain. Beberapa judul kami temukan, lalu aku buat daftar judulnya. Aku tawarkan ke dosenku dan ia merasa judul-judul itu kalau tidak salah juga sudah ada yang bahas. Aku menjadi gelisah, sangat khawatir.
Sudah bulan Mei, artinya bulan depan sudah pergantian semester dan kenaikan tingkat. Aku berdoa setiap malam supaya Tuhan mengizinkanku untuk mendapatkan judul di bulan Mei ini. Aku benar-benar ingin lulus 3,5 tahun, membanggakan kedua orangtuaku, dan mulai mencari uang sendiri. Puji Tuhan, Tuhan mengabulkan doaku dan pada tanggal 27 Mei 2019 aku mendaftarkan judul yang baru, yang belum pernah dibahas oleh siapapun, yakni mengenai Good Corporate Governance Perusahaan Internet Intermediaries Dalam Melindungi Privasi atas Data Pribadi di Indonesia. Senangnya, aku langsung mendapatkan Dosen Pembimbing Kedua, Pak Elisatris Gultom. Perjalanan skripsiku dimulai dari hari itu dan semuanya berjalan begitu indah, penuh tekanan, senyuman, tangisan, sampai sakit asam lambung masuk klinik, tapi semuanya benar-benar aku lakukan dengan hati yang penuh syukur dan sukacita. Terima kasih Tuhan Yesus Kristus, ternyata topik ini benar-benar memampukanku untuk lebih melek dalam mencantumkan data pribadiku di platform-platform internet, karena tanggung jawab perusahaan itu sangat terbatas sekali menurut hukum di Indonesia dan tidak dapat kita tuntut semudah itu apabila data pribadi kita dilanggar. Sangat berguna untuk masyarakat dan masa depan Indonesia ke depannya dalam memasuki dunia yang serba digital.
3.       Sidang Akhir dan Gelar Sarjana
Pengumuman mengenai pembayaran UKT tersebar sekitar bulan Januari 2020, yakni pembayaran terakhir adalah tanggal 3 Februari 2020. Diri ini sangat khawatir karena sekitar dua minggu sebelum itu, dosen pertamaku juga belum mengabari, apakah skripsi aku dapat direvisi olehnya atau tidak. Dosen pertamaku, ibu Sinta Dewi, memang memiliki banyak sekali kegiatan, penelitian-penelitian, serta pengumpulan data hingga ke negara-negara di Eropa, sehingga sulit bagiku untuk bertemu dengan Beliau namun saya tetap mengaguminya. Sedangkan, dosen keduaku, Bapak Elisatris Gultom, adalah orang yang ingin mahasiswanya cepat lulus dengan skripsi yang bagus. Beliau memang mempermasalahkan Bab 1-ku pada awalnya, namun setelah melewati Bab 1 dan 2, Beliau mempercayaiku dan bimbingan hingga bab 5 pun berjalan dengan mulus, hanya satu atau dua kali revisi. Oleh karenanya, aku optimis bahwa aku dapat sidang akhir sebelum tanggal 3 Februari, agar tidak dikenai pembayaran UKT semester depan.
Ternyata ketika aku bertemu dengan dosen pertamaku, ia ingin meminta waktu setidaknya 10 hari untuk merevisi skripsiku. Pikirku, setelah 10 hari itu tepat tanggal 3 Februari 2020, aku bahkan tidak memiliki waktu untuk mendaftar sidang akhir dan ujian yudisium untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Semuanya akan terlambat dan aku akan dikenakan UKT semester depan? Padahal tinggal satu langkah lagi. Yah, apa boleh buat. Aku berserah pada Tuhan, hampir putus asa rasanya. Tapi aku tetap percaya, aku berjalan dalam iman. Dengan berat hati aku menunggu dan memberitahu orangtuaku bahwa aku belum tentu bisa memperoleh UKT 0 Rupiah. Tetapi Tuhan berkata lain, “kamu bisa dapat UKT 0 Rupiah”.
Setelah 3 hari menunggu, ternyata dosen pertamaku menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya di Bandung, padahal aku sedang berada di Jakarta dan sedang Magang di Kemenkominfo. Aku langsung mengurusi surat magang dan berangkat ke Bandung keesokan harinya. Puji Tuhan, dosen pertamaku menyuruhku untuk mendaftar sidang akhir. Ia hanya menanyakan beberapa materi saja dalam skripsiku, dan ia sudah menyetujui semuanya dan mempercayakan aku dengan dosen keduaku. Puji Tuhan, sungguh luar biasa rasanya. Aku pun mendaftar sidang akhir dan mendapatkan jadwal pada tanggal 29-30 Januari 2020. Terimakasih Tuhan Yesus, atas UKT 0 Rupiah yang boleh hamba peroleh dan persembahkan untuk kedua orangtuaku. Mereka sangat bersyukur, karena keadaan ekonomi keluargaku sedang kurang baik.
Namun tidak putus sampai disitu rasa kekhawatiranku. Ujian yudisium dilaksanakan paling lambat tanggal 14 Februari 2020 bagi yang ingin mendapatkan UKT 0 Rupiah. Di tanggal 10 Februari 2020, aku belum mendapatkan tanggal untuk ujian yudisium, karena kepala program studi fakultas (kaprodi) tidak menerima surat publikasi jurnal hukum yang telah aku terima untuk mendapatkan gelar cumlaude. Sebelumnya, di angkatanku muncul sebuah kebijakan baru, yaitu barangsiapa yang ingin cumlaude wajib menerbitkan jurnal nasional atau internasional dengan akreditasi jurnal minimal ISSN dan IPK di atas 3,51. Aku hampir putus asa dan pasrah apabila aku tidak mendapatkan gelar cumlaude, namun teman-temanku berkata akan sayang sekali, karena ini adalah penghargaan terakhirku sebelum meninggalkan kampus ini. Aku meminta tolong dosenku, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Lalu, dengan inisiatif aku meminta editor jurnalnya untuk mengubah format pada surat publikasi tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Tepat tanggal 14 Februari 2020 pukul 09.00 WIB, kaprodi menerima surat publikasi tersebut. Artinya, aku dapat melaksanakan ujian yudisium di hari itu dan mendapatkan gelar cumlaude. Impianku untuk lulus 3,5 tahun dengan predikat cumlaude pun terwujud. Puji Tuhan, Puji Tuhan, Puji Tuhan. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan yang selalu tepat setiap waktunya, aku tidak akan dapat melewati ini semua.
4.       Mencari Pekerjaan
Uang tabunganku habis karena aku baru mendapatkan musibah, handphone-ku dicuri. Sehingga aku membeli HP baru yang memang harganya cukup mahal (sekitar 4juta) karena aku butuh HP dengan spesifikasi yang bagus seperti HP lamaku dan memang sudah lama aku menginginkan HP baru ini, namun tak disangka harus dengan cara seperti ini. Ini sudah keempat kalinya HP-ku hilang.
Aku belum mendapatkan panggilan kerja di bulan Maret. Sudah hampir sebulan aku menganggur setelah dinyatakan sebagai alumni Universitas B. Tabunganku semakin menipis karena ayahku sudah tidak dapat memberikanku uang bulanan. Hingga tabunganku habis. Aku berdoa supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan di bulan Maret ini, dengan hati yang bersungguh-sungguh dan percaya, dengan sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan. Aku percaya, Tuhan pasti tetap akan menolongku. Aku ingin mendapatkan pekerjaan, karena aku sudah tidak ingin menyusahkan orangtuaku, dan ingin memberikan eyangku uang bulanan karena ia yang masak setiap harinya.
Tidak lama kemudian, aku mendapat panggilan kerja. Di sebuah kantor hukum di Jakarta Pusat. Puji Tuhan, seminggu setelah wawancara, aku mendapatkan pekerjaan ini. Namun dikarenakan pandemi covid-19 telah melanda dunia, hingga di Indonesia kasus juga meningkat, aku belum mulai bekerja. Aku harus menunggu sampai bulan Juni 2020, baru aku dapat menandatangani kontrak percobaan selama 3 bulan.
Selama 3 bulan lebih ini, aku berhasil menabung hingga Rp8 juta. Artinya, bulan depan aku dapat membuka rekening deposito. Namun, keadaan berkata lain, tiba-tiba laptop ayahku (yang aku gunakan untuk bekerja di rumah) harus dikembalikan karena ayahku membutuhkannya. Bagaimana dengan laptop lamaku? Sudah rusak dan tidak bisa hidup. So yeah, I have to buy a new one. Aku membeli laptop dengan spesifikasi yang bagus dan diperkirakan dapat bertahan lama, dengan harga sekitar Rp7,5juta. Yes, tabunganku habis lagi. Aku harus memulai menabung dari awal lagi.  Sehingga di bulan September 2020 aku mulai menabung kembali. Padahal targetku, aku dapat membuka rekening deposito di akhir tahun ini. Tapi tidak apa-apa, sekali lagi aku tetap percaya dan beriman bahwa Tuhan Yesus tidak akan pernah membiarkanku berjalan sendiri. Tuhan yang akan selalu menopang aku dan keluargaku, keadaan finansial kami, dan hidup kami. Aku tidak takut, aku tetap percaya pada-Nya. Aku bersyukur, karena di tengah pandemi global ini, aku masih mendapatkan berkat setiap hari setiap bulannya dari Tuhan. Aku masih bisa menabung setiap bulannya.
5.       Diangkat sebagai Karyawan Tetap
Aku berdoa pada Tuhan, bahwa kiranya aku dapat lolos masa percobaan dan diangkat menjadi karyawan tetap, sehingga upahku dapat dinaikkan dan aku dapat mulai memberikan uang bulanan kepada eyangku. Hal yang tidak aku duga adalah aku dinyatakan lolos masa percobaan di bulan Oktober 2020 ini, sehingga aku dapat diangkat sebagai karyawan tetap. Sampai sekarang memang belum tandatangan kontrak, namun atasanku sudah memanggilku lewat Google Meeting dan ia menjelaskan dan memaparkan nilai kinerjaku selama ini. Puji Tuhan, tidak pernah berhenti bersyukur rasanya diriku ini. Tahun 2015-2020 adalah tahun-tahun di mana Tuhan benar-benar menolongku, menopangku, serta menyertaiku dalam setiap lika-liku kehidupanku.
Aku sangat bersukacita di dalam Tuhan, dan aku ingin mengembalikan apa yang telah aku peroleh, segala sesuatunya ini, kepada Tuhan. Kiranya, Tuhan selalu menyertai kami semua dalam setiap langkah hidup kami, setiap perjuangan kami, setiap air mata dan keringat kami, setiap perbuatan kami. Dan kiranya, kami sebagai umat juga tahu diri, sadar bahwa segala sesuatu ini tidak dapat kita peroleh tanpa Tuhan. Sadar bahwa kami tidak dapat menyombongkan diri, atau bahkan melupakan kebaikan Tuhan. Dijauhilah kiranya hal-hal demikian. Terimakasih Tuhan Yesus atas segala sesuatu yang Engkau berikan ini, kiranya tulisan ini boleh menjadi dorongan bagi teman-teman pembaca untuk lebih mempercayai Tuhan dalam setiap hal yang diperbuat. Mungkin banyak di luar sana yang tidak mengalami hidup yang baik ataupun mulus, tapi ini bukan yang saya titikberatkan. Aku tidak menulis ini untuk memamerkan kehidupanku yang selalu berjalan dengan mulus dan sesuai ekspektasi (bahkan apabila dilihat lebih dalam, justru banyak kekhawatiran dan putus asa yang aku rasakan), tapi aku menulis karena aku ingin menyampaikan bahwa Tetap Percayalah, dalam setiap kondisi hidupmu. Mau itu kondisimu sedang di atas atau di bawah, sedang terpuruk, sakit, bahkan menderita, tetap percayalah. Aku tahu, banyak sekali orang yang tidak dapat melihat kebaikan Tuhan karena hatinya sedang sakit, pahit, dan hancur. Dan aku tidak melarangmu untuk merasa demikian. Namun aku berdoa, supaya kamu dapat dipulihkan dan dibangkitkan. Dan semuanya dapat kita lakukan dengan “percaya”.
“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” – Markus 11:24 TB
Terimakasih atas waktunya. Damai sejahtera Tuhan Yesus Kristus menyertai saudara sekalian.
S.K.
0 notes
mamakmetal · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Keangkuhan
Nafasku sesak saat menyadari arti 2 garis merah di test pack kehamilan itu. Aku hamil. Ya Tuhan, aku hamil!!
Serangan panik menderaku.
Bagaimana aku akan bertahan memiliki seorang anak lagi dalam kondisi seperti ini? Suamiku baru diputuskan kontrak oleh perusahaan tempatnya bekerja. Nasib pegawai kontrak, pesangon pun tidak dia dapatkan. Hanya gaji terakhir dan tambahan satu bulan gaji lagi sebagai ucapan terima kasih dari pihak perusahaan karena proyeknya sudah terselesaikan tepat waktu.
Dan gaji terakhir itu bersisa tidak lebih dari dua juta rupiah sementara suamiku belum kunjung mendapatkan pekerjaan lagi. Berapa lama kami akan sanggup bertahan hidup dengan sisa uang itu? Dia bukannya tidak berusaha tapi entahlah, aku tidak mengerti mengapa dia susah sekali mendapatkan pekerjaan lagi. Ku perhatikan dia rajin pergi ke taman kota agar bisa membaca surat kabar atau menumpang wifi gratis disana. Aku lihat buku tulisnya penuh catatan tentang lowonga pekerjaan yang dia lamar. Tapi entah, tak satupun sampai saat ini yang memilihnya untuk dipekerjakan.
Ku akui suamiku ini bukan orang yang pandai “menjual dirinya” saat interview kerja. Dia pemalu dan tidak banyak bicara. Dia lebih banyak tersenyum dan mendengarkan sementara berbicara hanya sepatah dua patah kata saja. Bukan strategi yang tepat untuk wawancara kerja, karena si pewawancara justru sedang ingin tahu lebih banyak tentang dirinya untuk memahami apakah dia layak diterima atau tidak. Tapi aku berani menjamin bahwa dia seorang pekerja keras dan berdedikasi.
Selama ini setiap kali suamiku mendapat pekerjaan itu karena dibantu oleh para relasiku di masa muda dulu atau dibantu oleh kawan-kawannya semasa kuliah. Suamiku pernah bilang bahwa tidak selamanya dia akan memanfaatkan relasi lagi. “Malu” katanya. Dan saat kontrak kerja terakhir kemarin berakhir, dia bilang dia ingin mendapatkan pekerjaan hasil dari usahanya sendiri.
Awalnya aku bangga terhadap suamiku. Sangat bangga!!
Dulu dia memintaku untuk mundur dari pekerjaanku sebagai Marketing Manager dari sebuah bank terkemuka saat putra pertama kami lahir. Dia ingin aku fokus menjaga anak kami. Akupun juga telah jatuh cinta kepada bayiku sehingga tidak sanggup meninggalkannya walau hanya ssaat. Jadi aku menyetujui permintaan suamiku.
Tabunganku selama beberapa tahun berkarir sanggup memberikan kami tempat bernaung sebuah rumah mungil yang nyaman, mobil SUV kecil dan sedikit sisa uang di bank. Gaji suamiku hanya cukup untuk kebutuhan dapur dan membayar listrik saja. Sesekali dia mendapat tambahan penghasilan dari gaji lembur yang mengijinkan kami untuk makan bakmi udang kesukaanku atau nasi padang kesukaannya sepuasnya. Atau kalau kami berhemat dengan tidak makan diluar sama sekali, uang lemburan itu bisa kami kumpulkan untuk membeli beberapa potong pakaian di Pasar Tanah Abang.
Tapi aku selalu mempercayainya bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dengan penghasilan yang lebih layak. Sembari diam-diam aku selalu membantu menyuntikkan dana dari tabungan pribadiku. Iya, diam – diam. Suamiku tidak mau menyentuh uangku. Dan dia juga tidak mau aku menggunakan uangku untuk membeli keperluan putra kami karena menurutnya kebutuhan anak adalah tanggung jawabnya secara penuh sebagai ayah. Prinsip yang saat itu semakin membuatku tergila-gila padanya.
Dana tersebut kugunakan untuk membelikan keperluan putra kami di mall. Kadang kugunakan untuk membeli pakaian dalam sutra yang mahal untuk menyenangkan diriku sendiri dan satu atau dua potong kemeja untuk suamiku di butik. Tag harga pada barang belanjaan itu selalu ku periksa dan ku buang sebelum pulang ke rumah agar suamiku tidak tahu harganya. Pernahlah aku ditegur olehnya setelah pulang berbelanja pakaian. “Apa gak sayang uangmu untuk beli baju sebanyak ini, ma?” dan aku hanya menjawab “tadi lagi diskon besar-besaran pa, belanja sebanyak ini cuma tigas ratus ribu kan murah namanya” sambil ku gigit lidahku agar tidak menyebutkan tiga juta rupiah, nilai yang sudah melayang dari rekeningku untuk berbelanja siang itu.  
Pernah juga kubelikan dia sepasang sepatu kulit buatan Italia sebagai hadiah ulang tahunnya. Ku katakan harga sepatu itu dua ratus lima puluh ribu rupiah ketika dia mendesak ingin mengetahui harganya. Sambil ku catat dalam hati agar aku menelpon abangku, bertanya apakah transferanku senilai empat juta setengah untuk mengganti uang pembelian sepatu itu telah diterimanya. Suamiku terlihat bahagia sekali dengan hadiahnya dan dia berjanji padaku untuk memberikan kado yang lebih baik saat aku berulang tahun. Dan dia membelikanku jam tangan yang merk nya bahkan tidak pernah ku kenal sepanjang hidupku sampai hari itu. Dia dengan bangga bercerita kepadaku bahwa dia menghemat ongkos ojek  selama berminggu-minggu, berjalan kaki ke kantor agar bisa mengumpulkan uang untuk membelikan aku hadiah ulang tahun. Aku melihat ada tag harga disana bertuliskan Rp. 475.000 dan seketika air mataku menitik, yang diartikan sebagai tangis keharuan oleh suamiku. Wajahnya begitu bahagia karena berpikir aku terharu atas pemberiannya. Tapi itu adalah air mata kebingungan. Apakah suamiku betul-betul mencintaiku? Apakah nilai cintanya seharga  Rp. 475.000 atau senilai usahanya berjalan kaki agar bisa menghemat uang untuk membelikanku hadiah? Aku membenci diriku sendiri saat dengan lancangnya mempertanyakan apakah logam dari jam tangan murahan ini tidak akan mengakibatkan iritasi pada kulit pergelangan tanganku? 
Suamiku tercinta yang begitu baik namun bodoh, tidak pernah bisa membedakan kemeja seharga tujuh puluh ribu dan tujuh ratus ribu. Sepatu kulit import buatan Italia dia pikir sepatu KW buatan Bandung. Dia tidak tahu bahwa kulit dan kesehatan anak-anaknya yang terjaga merupakan hasil dari produk perawatan bayi yang terkemuka serta vitamin mahal. Dan ketidaktahuannya ketika merayuku mengenai aroma tubuhku yang menyenangkan setiap kali menciumku diantara pipi dan leherku disaat pulang kerja merupakan hasil sihir dari Chanel No. 5 ku.
Aku tahu bahwa dalam kondisi hanya suami yang bekerja dengan penghasilan yang sebenarnya justru lebih kecil dari penghasilanku saat masih berkarir, seharusnya aku lebih berhemat. Tapi bagaimana ya? Aku tidak ingin suamiku malu dihadapan orang tua dan teman-temanku bila ketahuan hanya sanggup membeli pakaian di pasar alih-alih di butik. Saat itu aku masih berprinsip, kalau kamu berpenampilan seperti orang yang cuma biasa makan ikan asin ya rejekimu pun cuma sebesar ikan asin. Prinsip yang tolol. Darimana sih aku belajar pemikiran picik seperti itu?
Kesulitan keuangan semakin menghimpitku saat aku melahirkan putraku yang kedua. Tapi aku tidak sanggup menurunkan standard hidup. Aku tidak punya penghasilan pribadi sementara penghasilan suami tidak kunjung membaik. Mobil sudah kujual karena kami tidak sanggup lagi membayar pajak dan perawatannya. Uang hasil penjualan mobil lama-lama habis juga untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dan akupun sudah sering uring-uringan dengan kondisi keuangan keluarga kecil kami.
Dan sekarang ditambah lagi aku hamil yang ketiga. Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak sanggup memelihara anak lagi. Tidak dengan kondisi keuangan rumah tangga seperti ini. Saldo tabunganku saat aku berhenti bekerja senilai dua ratus juta ditambah dengan hasil penjualan mobil sudah ludes entah kemana dalam waktu kurang dari 5 tahun. Aku tidak mengerti. Apa saja yang telah kulakukan dengan uang itu? Dan aku tidak bisa menyalahkan suamiku karena dia tidak pernah meminta sepeserpun dari uang itu.
=============================================================
Aku selalu menyebut suamiku si bodoh yang naif tanpa menyadari kebodohan dan kenaifanku sendiri.
Dia tidak tahu bedanya parfum mahal dengan minyak wangi yang dijual oleh abang-abang penjual minyak wangi keliling. Ataukah aku yang tidak paham bahwa antusiasme suamiku untuk bermesraan tidak pernah berbeda entah saat aku memakai baju tidur sutra yang mahal dan sexy ataupun daster batik tua yang nyaman karena keduanya sama saja akan ditanggalkan saat kami bercinta?
Anak-anak tidak mengerti pakaian dan mainan mahal. Mereka tetap saja menumpahkan makanan yang meninggalkan noda permanen pada tshirt GAP mereka atau cepat sekali bosan dengan segunung mainan yang kubelikan tapi tidak pernah merasa bosan untuk bermain kejar-kejaran dan memanjat pohon ataupun pagar rumah.
Mengapa aku terus saja menghujani diriku sendiri dan keluargaku dengan kemewahan tak berarti?
Aku tidak sanggup membebani suamiku dengan menambahkan satu perut lagi untuk dikenyangkan. Dia sudah berusaha sangat keras. Dia sering memberikan potongan lauk jatahnya untukku atau anak-anak dengan alasan bahwa dia sudah kenyang, padahal aku tahu karena dia ingin kami menikmati makanan kami. Dia sudah berhenti membeli buku baru,  dengan alasan dia tidak memiliki waktu untuk membaca. Tapi aku tahu betul bahwa dia seorang kutu buku, dan tidak akan pernah kehabisan waktu untuk kesukaannya membaca.  Dia mengorbankan kepentingannya untuk kami. Sementara aku sudah tidak mampu lagi untuk diam-diam membantunya. Tabunganku sudah habis.
Kenapa aku bisa begitu bodoh? Mengapa aku tidak menggunakan uang tabunganku itu untuk membuka usaha agar terus bisa membantu suamiku mendapatkan penghasilan? Kenapa aku justru membeli benda-benda tak berguna ini yang dari hari ke hari hanya memenuhi rumah dan berakhir menjadi rongsokan?
=============================================================
 Aku berjalan terhuyung setelah turun dari angkot menuju rumah mami untuk menjemput kedua buah hatiku. Air mata tak henti mengalir di pipiku.
Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana mungkin aku tiba pada sebuah keputusan untuk menggugurkan janin itu? Aku memberikan semua sisa uang gaji suamiku kepada bidan yang baru ku kenal beberapa Minggu yang lalu, agar dia membantuku untuk tidak membiarkan janin itu tumbuh di rahimku.
Bidan itu bilang bahwa dia mengerti perasaanku dan akan membantuku. Dia bilang bahwa proses itu hanya sebentar dan tidak terlalu sakit. Dia bilang rasanya akan seperti nyeri haid saja. Tapi sepanjang perjalanan angkot setelah dari kliniknya yang tertutup menuju rumah mami aku merasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian bawahku.
Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini, baik secara fisik maupun mental. Aku tidak mempersiapkan diriku untuk menghadapi rasa bersalah yang teramat dalam ketika aku mengambil keputusan yang terlalu tergesa itu.
Aku terus membayangkan janin kecilku menangis saat dia direnggut secara paksa dari rahimku. Aku juga membayangkan dia berteriak mempertanyakan kenapa aku mengambil keputusan itu.
Dan aku bahkan belum memikirkan bagaimana tanggapan suamiku. Apakah dia akan mengerti keputusanku? Atau justru kecewa dan patah hati? =============================================================
Aku berjuang untuk menggapai pintu pagar rumah mami yang sebetulnya hanya tinggal berjarak beberapa langkah lagi tapi entah kenapa terasa begitu jauh.
Apakah aku mengompol? Mengapa di sela pahaku terasa basah dan lengket?
Dengan pandangan sedikit kabur, aku menunduk memperhatikan celana panjangku yang seharusnya berwarna khaki kini berwarna….. Apa itu? Ungu gelap? Atau coklat tua?
Dan bau amis apa ini? Darah? Darimana datangnya?
Aku akhirnya menggapai pintu pagar dan mendorongnya dengan sisa kekuatanku.
Sekilas kudengar lengkingan teriakan mami..
Sayup – sayup kudengar pula rengekan putra sulungku ”mama… kenapa bobok disitu?”
Lalu gelap dan hening, semuanya hilang…
=============================================================
2 notes · View notes
anakelima · 5 years ago
Text
Jika Allah perkenankan umur saya panjang, besok Jum'at kita akan menemui sang keberkahan, Ramadhan. Serta kamis malamnya kita akan dipertemukan dengan mesjid-mesjid yang penuh sesak hingga pelataran pada sholat taraweh malam pertama. Masya Allah sesuatu yang dirindukan dari sebelas bulan sebelumnya.
Keliru rasanya hati ini jika tidak merindukan Ramadhan beserta gemerlap kehidupan malamnya. Malam terasa siang, siang terasa malam. Semua lapisan manusia terlihat memulai hari selepas adzan maghrib berkumandang, full charge capacity saat itu. Tapi bukan itu yang kumaksud. Ada seseorang yang kutahu selalu menghidupkan malamnya, perlahan tapi pasti guntay langkah kakinya, suara tepukan sandal swallownya menghentak ubin rumah di keheningan malam. Diam-diam, menengok satu per satu kamar, berharap ada yang terbangun menemaninya kala itu, selalu seperti itu. Di usianya yang tak lagi muda, beliau seperti me-restart kembali usianya, semangatnya, kegigihanya, keteladanannya, seharusnya menjadi contoh bagi orang disekitarnya. Tanpa disadari tidak ada yang tahu jutaan doa telah dipanjatkannya bagi umat dan keluarganya. Keras kepala, lembut hatinya, kadang luruh jika anak cucunya sudah berada disekelilingnya. Berkumpul sebelum Ramadhan datang, menjadi pengingat tentang fiqih Ramadhan, untuk apa kita puasa Ramadhan. Harapanya satu saat itu, bisa mentuntaskan, membayar puasa Ramadhan yang ditinggalkannya karena alasan yang syar'i.
Terbaring lemah diranjang rumah sakit, mulai menguning warna kulitnya, keras tak membal lapisan kulitnya, mulai memudar bacaan sholatnya. Yang kuingat beliau ingin solat subuh, dan begitu susah, sampai ku tuntun beberapa kali, namun air mata deras mengalir ke pipinya, "meni hese pisan dek sholat subuh ge ya Allah." Bukan itu yang ingin dilihat pada saat itu, sontak tak bisa kutahan juga rasa sedih kala itu. Janjiku padanya saat itu, kan kubelikan kerang rebus HDL karena baik untuk kesehatannya menurut yang kubaca, dan dokter pun mengiyahkan. Pulang pergi beberapa kali dalam ikhtiar kesembuhannya, tak sedikit juga uang yang harus di keluarkan dan pinjam dari sanak family, pertemanan, juga saudara yang kami anggap mampu.
Tak ada penyesalan bagi kami sembilan anaknya dalam menemaninya bergilir, memutar otak, mencari jalan keluar, menghibur dengan cucu-cucunya. Akhir pekan, Bandung sedang padat sekali pada waktu itu, berbarengan dengan libur semester anak sekolah. Tak lama berada dirumah, harus menjalani rawat jalan, dan berjuang dari rumah bersama-sama. Pintanya saat dirumah ingin dibelikanya kursi roda, semangat saat itu tak pikir panjang, berangkat saya bersama adik laki-laki saya, membelinya dibawa dipangku diatas motor, berat memang, tapi tak apa, ini untuk kesembuhanya. Sepanjang jalan, tak henti saya berdoa tak henti saya berharap agar panjang umurnya, banyak waktu membersamai cucunya. Pulang kami ke Cilegon karena ada kewajiban pekerjaan yang harus dituntaskan esok.
Selang beberapa hari, tengah malam pulang lembur, seperti cerita dalam sinetron, teleponku berdering tak henti, dikabarinya muntah-muntah berdahak merah, pekat hitam. Gelisah dan terus berdoa, kuputuskan esok paginya untuk langsung pergi, kembali lagi ke Bandung menggunakan bis pertama jam setengah enam. Sudah siap kami pergi, telepon kembali berdering, adik perempuanku menelepon, diangkatnya oleh istriku, "mus, papah udah gak ada." Sahut istriku. Bingung saat itu, benarkah? Serius? Secepat inikah? Lemah, tak tahu harus berkata apa, duduk menangis tersedu-sedu, tak percaya bahwa malaikat izrail datang lebih cepat daripada kedatanganku.
Hari itu duka mendalam menyelimuti keluarga kami. Sosok besar yang menjadi panutan kami, tambatan hati kami telah menjemput takdirnya. Papah meninggal pagi itu selepas gerhana bulan di pertengahan bulan Juli. Dikelilingi oleh Mamah, adik-adikku, dan ditaqlid oleh kakak iparku.
Ini adalah Ramadhan pertama kami tanpanya. Entah apa yang dirasakan oleh setiap hati anak-anaknya, apalagi Mamah sebagai pendamping hidupnya. Yang jelas kami akan benar-benar merindukan sosoknya di setiap iftar dan sahur sepanjang Ramadhan tahun ini.
0 notes
nyemildanuangbandung90 · 9 days ago
Text
Makan Nyemil, Punya Uang Tambahan Di Bandung, Basreng Black Caviar
Tumblr media
Nyemil dan Uang: Dua Hal yang Bisa Kamu Dapatkan Di Bandung, Makan Nyemil dan Raih Uang Di Bandung, Nyemil Sambil Dapat Penghasilan Terus Di Bandung, Camilan Enak, Uang Terus Mengalir Di Bandung
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung, Yogies Camilan Basreng, Distributor Camilan Basreng Yogies, Agen Camilan Basreng Yogies , Supplier Camilan Basreng Yogies, Grosir Camilan Basreng Yogies Basreng Black Caviar: Camilan Renyah, Rasa Luar Biasa!
Basreng Black Caviar menggabungkan kelezatan camilan basreng yang pedas dan gurih dengan sentuhan mewah Black Caviar. Setiap gigitan memberikan rasa yang kaya dan tekstur crunchy yang bikin ketagihan. Dibuat dengan bahan berkualitas, camilan ini sempurna untuk menemani waktu santai atau berkumpul dengan teman-teman.
Dikemas praktis, Basreng Black Caviar mudah dibawa ke mana saja, memberikan kelezatan dalam setiap gigitan.
Dengan slogan “Nyemil Dapat Duit, Ayo Gabung dan Menangkan Hadiah Hingga 18 Miliar!” Basreng Black Caviar mengajak kamu untuk menikmati camilan enak ini dan meraih kesempatan memenangkan hadiah besar. Gabung sekarang, nikmati kelezatannya, dan raih hadiahnya!
Komposisi: Tepung Tapioka, Baso Berkualitas, Penyedap Rasa, Rempah & Minyak Nabati, Cabai Segar, Daun Jeruk
Info Lebih Lanjut Langsung Ke Alamat : 
“Dina / Yogies” Alamat: Jalan Srimahi Dalam Nomor 2A, Ancol, Regol, Kota Bandung
Yogies Camilan Basreng Bandung, Yogies Camilan Basreng Surabaya, Yogies Camilan Basreng Padang, Yogies Camilan Basreng Medan,Yogies Camilan Jakarta,Yogies Camilan Basreng Makassar, Yogies Camilan Basreng Palembang,Yogies Camilan Basreng Yogyakarta, Yogies Camilan Basreng
0 notes
truegreys · 7 years ago
Text
Tambora Kawan Lamaku
"Kau tahu rasanya menjadi yang tidak diinginkan kemudian dicampakkan?"
Pertanyaan itu keluar dari mulutnya di tengah perbincangan antara aku dan Bora. Kupikir, percakapan pertama kami ini hanya akan berujung pada pembicaraan basa-basi. Tapi ia membawaku ke tengah cerita tentang hidupnya sendiri. Ia seperti kesepian, ingin didengarkan. Semuanya berawal dari kue balok yang diceritakan kawanku. "Itu adalah kue balok terenak se-Bandung!" Ah, kawanku itu memang terlalu melebih-lebihkan. Tapi, toh, aku terpengaruh juga hingga kemudian aku dan kawanku yang lain sepakat akan mengunjungi warung kue balok esok sore. Tapi esok hanyalah esok. Dan waktu terus berjalan tanpa bisa melampaui sore ini agar segmen hidup langsung melompat ke esok sore.
Setelah kesepakatan esok sore itu, aku bermaksud untuk mengambil uang di ATM. Karena aku selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari mengambil uang di ATM, aku mengelilingin daerah Bandung kota untuk mencari mesin ATM yang bersanding dengan Bank. Maksudku, apabila kartu tipis itu ditelan sebuah mesin ATM, akan lebih mudah untuk membenarkannya. Toh, lokasi banknya pun bersebelahan. Kupikir mencari ATM yang bersanding dengan Banknya itu mudah. Jadi aku kehausan--karena ternyata tidak semudah itu mencarinya dan aku telah mengelilingi daerah yang biasa kulewati dan tidak sama sekali menemukan apa yang kucari. Akhirnya aku melipir ke minimarket untuk membeli air mineral. Disanalah aku bertemu Bora.
Namanya Tambora tapi aku memanggilnya Bora. Ia mengenakan jaket tebal, duduk sambil berkonsentrasi pada rubiknya. Tadinya tak ingin kusapa sebab akan begitu aneh untuk menyapanya. Kenapa? Entahlah. Terkadang perasaan segan muncul saat aku bertemu dengan teman lama di suatu kondisi yang begitu tiba-tiba. Tapi karena dia terlanjur melihatku--rubiknya telah selesai--jadi, demi sopan santun, kusapa saja dia. Secara impulsif, kutarik kursi di hadapannya sambil membuka botol air mineral yang baru saja kubeli. Percakapan itu mengalir begitu saja, dari mulai apa kabar, sedang sibuk apa, hingga kue balok yang baru saja kubincangkan bersama kawan-kawanku sebelumnya. Jika bisa kutarik kesimpulan, Tambora sedang asik menyibukkan diri bermain rubik karena ia sekarang hidup dari perlombaan rubik. Tambora menyelesaikan kuliahnya dengan predikat Cum Laude tapi tujuannya hanya untuk membanggakan orang tuanya saja, kemudian ia memulai hidup baru dengan mengerjakan apapun yang ia sukai seperti bermain rubik, membaca komik, hingga kuliner dan mengulasnya di channel Youtubenya sendiri. Ijasahnya melayang ke depan mata kedua orang tuanya, dan hidupnya berantakan di hadapan kedua orangtuanya. Tambora baru putus dengan kekasihnya. Katanya, kekasihnya begitu membosankan dan bodoh. Kekasihnya mulai cerewet dan ia memutuskan untuk mengakhirinya begitu saja.
Aku bertindak sebagai penanya saja. Sebab hidupku hanya begitu saja. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang prestisius. Aku hanya hidup seperti batang pohon yang terbawa arus sungai tak berujung. Percakapan antara aku dan Bora selayaknya cerita satu arah. Bora tak kunjung beres menceritakan hidupnya. Aku? Seperti yang kubilang, aku hanya ranting yang terbawa arus, hingga pertanyaan itu muncul. Kupikir, aku pernah merasakannya--tidak diinginkan. Karena akulah si ranting yang terbawa arus, kawan-kawanku malas sekali apabila harus memutuskan sesuatu bersamaku. Sebab jawabanku akan selalu sama: bebas, atau terserah aku ikut saja. Tidak ada perlawanan macam apapun. Jadi, ketika semua orang bingung memutuskan suatu perkara pelik, mereka tidak pernah lagi menanyaiku. Disanalah aku merasa tidak diinginkan. Tidak dilibatkan, tidak diingunkan, dicampakkan, semuanya sama dimataku. Keberadaanku rasanya tidak seberarti itu. Tapi, aku malas menceritakan hal menyedihkan seperti itu kepada teman lama yang baru saja bertemu. Jadi, kupilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya untuk ikut bertemu kawan-kawanku esok di warung kue balok. Tak perlulah kau tahu bagaimana caraku mengalihkan pembicaraan yang berpotensi untuk menggali hidupku lebih dalam di hadapan teman lama yang begitu asing. Intinya, seperti itulah.
Setelahnya, aku langsung pulang. Aku tak jadi mengambil uang di ATM. Biarlah esok kupinjam saja uang kawanku.
***
Keesokkan sorenya, aku dan Bora bertemu di minimarket yang sama dengan pertemuan pertama kami. Dari minimarket itu, kebetulan, dekat dengan warung kue balok yang kawanku maksud. Rencananya aku dan Bora akan bersama menuju warung kue balok. Bora masih mengenakan pakaian yang sama, masih pula membawa dan memainkan rubik yang sama. Selesai, acak, ulang. Selesai, acak, ulang. Begitu terus. Saat itu aku dan Bora adalah orang pertama yang datang. Kawan-kawanku yang lain datang lima belas menit setelahnya secara bergiliran. Aku bermaksud untuk mengenalkan Bora kepada kawan-kawanku yang lain saat mereka semua telah hadir. Jadi kutunggu mereka semua lengkap hadir.
Setelah semuanya datang, kukenalkan Tambora. "Eh! Kenalin! Ini Tambora, kawan lamaku." Semua orang hening. Mereka lalu menertawakanku. Tambora kemudian berbisik, "Kau tahu, kan, rasanya dicampakkan?"
Selesai.
4 notes · View notes
ummurain · 5 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Bismillhirrahmanirrahim
Selna Sari 3119060231
IP Bandung
Alhamdulillah tugas kali menantang. Daku yang seorang Introvert dan tidak begitu supel dalam bergaul dapet tugas cari temen, kenalan, dan berbaur di Camping Ground Hutan Pinus. Wowww auto mojok. Hiks. Ku tak bisa basa basi. Pasti kalau chat seperlunya aja, sepentingnya aja disampakan heuuu. Banyak *balem alias mingkem nya*, klo kata babah si jutek tapi kusayang. Whwuwhu. Kecuali kalo ditanya langsung dan punya jawaban menarik auto panjang kali lebar kali tinggi. Yhaa dari jaman orok mungin begitulah karakterku, tak pernah berubah.
Setelah beberapa jam liat Live ibuk, hati bergumam "Allah aku tak pandai bergaul, malu huhu, kegiatan offline IP aja jarang ikut hiks" Tapi tugas ini inshaAllah berfaedah. Dan tugasnya ada online bukan offline wkwkw, ada senengnyaaaa yes. Layaknya dulu awal jualan Urza gengsi pan nawarin ke temen-temen, susah pulak wkwkw. Harus persuasif dan asik. Qadarullah belajar lagi nih, itung-itung latihan personality yang supel. Si calm dan seperlunya ini harus banyak bicara jempolnya dan menyapa kawan-kawan di hutan yang sama.
And here alhamdulillah dapat 17 teman dalam 2 hari. Senangnyaaa. Dari IP Asia, Sulawesi, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Allah pertemukan kita lewat jempol, maasyaAllah semoga kelak bisa meetup keliling indonesia dan Asia lagi ya. Isi chatnya ada yang mengalir begitu aja panjang asyik timbal balik tanya sana sini, ada yang straight to the point ke maksud dan tujuan, kemudian salam. Whihuhu ada ybg chat duluan ada uang aku chat dulu. Yang di random chat banyak, beberapa ada yabg gatot karna satu regional hehe. Alhamdulillah semoga menjadi pertemanan yang berfaedah. Aamiin Yaa Mujiib.
Untuk data teman dan favorite class bisa dilihat di foto-foto dibawah ini ya. InshaAllah sudah lengkap dan jelas. Pemenang favorite yang menjadi temanku, adalah Manajemen Emosi. Seperti sebuah pertanda bahwa sepertinya akupun harus banyak belajar nih manajemen emosi dan turunnya. Rada kurang waras sebulan ini. Huge banget ilmunya ini kek manjemen waktu, maasyaAllah. Semoga bisa terus makan-makanan bergizi dan cemilan sehat nanti di group buncek ya. Semoga Allah kasih rizki luang dan tenang menuntut ilmu. Aamiin Yaa Mujiib
Alhamdulillah
Ummu rain 😊
#ibuprofesional
#buncek
#kelasulatulat
#ibubahagia
#ipbandung
#jurnalmingguan
0 notes
lutfiarifin · 7 years ago
Text
Jatuh Cinta Pada ITB
Hari ini, banyak kawan-kawan saya yang telah melaksanakan prosesi wisuda di ITB. Ada dua hal yang spesial dari wisuda kali ini, yang akan menjadi inti dari tulisan saya berikut. Yaitu, mengenai seseorang yang bernama Hifdhi Abdussalam, sahabat saya, dan jurusan Teknik Fisika sekaligus segala hal yang melekat dengannya, termasuk teman-teman angkatan saya sewaktu di jurusan tersebut. Mereka ini adalah penyebab saya begitu cinta dengan kampus terbaik yang pernah saya tempati di dunia ini. Karena kampus lain yang jadi pembanding hanya UNAS.
Di awali oleh perjalanan pulang kerja yang membosankan dan memakan waktu sekitar tiga jam.-- Memang, kekejaman Jakarta sangat parah. Pembangunan infrastruktur dibombardir dalam waktu yang cukup serentak, dengan mengorbankan kenyamanan bertransportasi masyarakat. Semoga pengorbanan rakyat ini (yang terpaksa, tanpa bisa kompromi) akan mendapat balasan yang memuaskan dengan fasilitas infrastruktur yang dapat memperlancar mobilitas kelas menengah songong seperti saya dan sejenis saya di seantero Jakarta.-- Karena jenuh dengan suara klakson dan nyala lampu rem mobil dan motor di sepanjang jalan Rasuna Said, saya memutuskan untuk membuka gawai saya. Begitu saya cek aplikasi perpesanan, Notifikasi di dalamnya mayoritas berisi ucapan selamat. Di grup komunitas, grup alumni, bahkan di lini masa media sosial saya seperti di Line dan Instagram juga ramai dengan gambaran bahagia dengan segala postingan penuh canda untuk merayakan suka cita wisuda oktober di ITB. Saya tahu teman-teman saya banyak yang baru saja menjadi sarjana hari ini, tapi saya merasa momen hari ini kurang menarik minat saya. Kenapa? Karena memang tidak menarik. Sesederhana jika seorang teman bertanya, "Kenapa kau tidak suka MU?" Dengan simpel pula saya jawab, "Maaf nih, ya. Hanya karena mereka tidak menarik perhatian. Itu saja. Titik." Namun, saya merasa tidak bijak jika melewatkan momen hari ini tanpa memberi ucapan selamat wisuda kepada salah seorang teman baik yang saya miliki. Sahabat saya yang namanya spesial telah saya tulis di atas. Meskipun saya kurang yakin jika Endho, panggilan akrab Hifdhi, juga menganggap saya sebagai sahabat. Mengingat dan menimbang seluruh sikap saya kepada dia yang selama ini cenderung parasit, yang sebenarnya saya lakukan hampir ke banyak teman-teman yang dekat dengan saya. Sebagai gambaran seberapa parasit saya adalah seperti berikut : Waktu tinggal di Bandung, saat saya kelaparan dan kehabisan uang, maka kontrakan Hifdhi dan kawan-kawan alumni MAN saya yang lain menjadi tujuan berlindung. Untuk apa? Apalagi yang dibutuhkan orang lapar selain makanan. Bukan duit. -- Ingat! Sekali lagi saya tegaskan. Orang lapar itu butuh makanan, bukan uang. Pikiran yang terbalik akan mengakibatkan anda kehilangan keadilan sejak dalam pikiran. Ikuti terus tulisan ini, nanti juga anda mengerti. Percayalah, saya sudah sangat ahli dalam dunia kelaparan. Bila diibaratkan jenjang karir pegawai, saya sudah melewati fase Trainee selama tiga tahun untuk perkara perut ini. Saya sudah selayaknya menempati jabatan Associate. Sayang sekali, saat ditawarkan perpanjangan kontrak saya memutuskan untuk berhenti dari dunia kelaparan dan beralih profesi menjadi desainer dadakan.-- Yang saya butuhkan saat itu adalah Hifdhi pergi membeli nasi serta seperangkat lauk di warteg terdekat. Sepulangnya dia membeli makanan, saya akan menawarkan bantuan dengan ucapan seperti berikut: "Endho, ana nebeng, aa?" Endho, saya ikut makan, ya? Begitulah kira-kira artinya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai lidah orang Indonesia Barat.
Hifdhi adalah orang yang baik dan senang membantu. Dia tentu sangat senang jika dapat membantu seorang teman yang kelaparan dengan berbagi. Dan saya juga bukan orang yang tidak tahu diri. Saya sadar, jika Endho memiliki telur dadar di makanannya, maka saya tidak boleh mengambil kecuali seperempat bagian saja. Cukup. Bahkan itu kebanyakan menurut saya. Yang sering kali membuat saya tekejut adalah Endho lebih mulia dari itu. Dia sering dengan senang hati berucap begini, "Sudah jo, jangan malu-malu bagitu. Kita tau so paham ngana ini." Tidak perlu terjemahan untuk logat gorontalo tersebut. Pokoknya, Hifdhi itu orang yang baik. Dan sebagai teman yang baik juga, tangan saya selalu terbuka untuk luapan dan limpahan kebaikan tersebut. Kebaikan membutuhkan saluran untuk mengalir, begitu kata teman saya yang bijak. Mirip-miriplah sama ucapan Nietzche yang sombong, diwakilkan oleh sosok alter ego-nya dalam diri Zarathustra. Sayangnya, Hifdhi dan Zarathustra memiliki perbedaan yang mencolok. Nietzche menulis hingga gila karena Zarathustra-nya menjadi bahan olok-olokan dalam bukunya, pun dalam kehidupaan nyata. Dia, Zarathustra maupun Nietzche, mendapat cap kehilangan kewarasan disebabkan rasa percaya diri yang terlalu tinggi. Tentu saja. Seperti halnya dalam pergaulan sehari-hari, selalu hadir salah seorang manusia di antara kita yang seolah tahu segala tentang dunia, paham semua hal kosmis, dan seolah kebaikan dan kebenaran hanya berkisar pada dirinya sendiri. Teman yang enggak asik parah. Maka kita kucilkan dia, hingga akhirnya dia sadar bahwa dirinya begitu hina. Kemudian dia gila, atau secara kolektif kita semua menganggapnya tidak waras. Sakit jiwa. Hilanglah masa depannya. Deskripsi barusan terasa familiar buat saya. Saya lalu mengambil cermin dan seketika saya ingat siapa yang saya maksud. Hifdhi tentu bukan orang seperti itu. Endho terlalu pemalu dan agak malas mengurusi persoalan sepele yang dibesar-besarkan seperti tadi. Dia adalah praktisi sejati. Calon teknokrat berbakat. Dibalut kebaikan jiwa penuh senyum yang tersembunyi di balik brewoknya. Saya percaya, dia akan menjadi orang besar yang akan mengganti hutang uang kuliah kepada orang tua seperti yang dia impi-impikan
Atas dasar perasaan menggebu-gebu, malam ini saya menulis terlalu dangkal. Saya lelah. Sekarang pukul 11.45. Padahal masih banyak yang ingin saya kenang tentang Hifdhi. Yang dapat mengingatkan saya momen-momen angkut barang sepanjang dua kilometer jalan kaki Babakan Siliwangi-taman hewan. Atau saat pulang dari Sabuga, di kamar kos saya berkata, "Apa kita ambil UGM jo harusnya, ndho? Kita bahkan gagal di ITB talalu cepat, sub", karena berkas pendaftaran ulang saya yang kurang. Dan momen-momen minor yang biasa saja untuk dikenang atau ditulis. Ah, sudahlah, Lutfi. Tidak penting tulisan ini. Sekarang, Endho telah lulus dan kau belum. Semoga, kau tidak dianggap sakit jiwa.
Bagaimana dengan Teknik Fisika dan teman-teman angkatan? Saya sudah sangat mengantuk dan tidak bisa menyisihkan waktu buat mengenang poin nomor dua yang saya sebut di paragraf pertama tadi. Lelah, kawan. Yang jelas kehidupan di kampus ITB itu sangat spesial. Saya tahu artinya menjadi bodoh, munafik, korupsi, dan penjilat. Karena saya telah menjadi bagian dari itu semua.
Semoga momen kelulusan teman-teman dapat menjadi fase untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Saya juga berharap, sekedar melihat kalian wisuda membuat saya ketumpahan kebaikan-kebaikan itu. Bagi anda para pembaca, yang merupakan orang tua calon mahasiswa, ITB adalah tempat yang mendapat rekomendasi mutlak dari saya.
Karena pembandingnya hanya UNAS.
Kantuk, bos.
 Pinggir Kali Pesanggarahan
19 (22.15) - 20 (00.11) Oktober 2017
1 note · View note
khairunnisasyaladin · 8 years ago
Text
#UNSTOPPABLE 13 : Meninggalkan Nasehat Di hatinya
Ketika sudah menikah, salah satu kegalauan menjadi perempuan adalah ketika memutuskan bekerja atau menjadi ibu rumah tangga saja. Tapi ini sangat subjective.
Fitrahnya memang dirumah. Namun, didalam Islam tidak Ada larangan seorang perempuan untuk berkarir. Contohnya adalah ibunda khadijah, beliau adalah pengusaha perempuan yang sangat sukses dan sukses juga merawat rumah tangganya.
lalu ada juga ibundanya Imam Maliq, Imam Ahmad, dan imam syafi'i. Ibunda beliau-beliau ini adalah seorang single parent. Artinya apa? artinya ibunda ibunda tersebut tentunya harus menafkahi sendiri kebutuhan keluarganya. Bayangkan betapa hebatnya anak-anak mereka yang mampu memberikan manfaat dengan karya hingga mereka telah tiada. Jadi, perempuan yang berkarir tetap bisa mendidik anak-anak dengan baik.
Bagaimana cara mendidik anak padahal kita sibuk bekerja?
kuncinya adalah prinsip dalam mentarbiyah anaknya, hal ini terdapat dalam surat Ali Imran ayat 35 :
(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
ketika seorang ibu mengandung, maka anaknya sudah didoakan untuk menjadi hamba Allah.
lalu ketika sang anak lahir ke dunia dan terus bertumbuh, dan disaat yang sama, sang ibu tidak bisa mendampinginya selama 24 jam. Tak apa. Meskipun ibunya bekerja, jauh dari anak, tapi hatinya selalu mendampingi sang anak selama 24 jam. How come? dengan mengkoneksikan hati ibu dengan anaknya melalui DOA terus dan terus.
“Ya Allah, semoga anakku engkau dekatkan dengan teman-teman terbaik yang cinta kepada-Mu. Ya Allah, semoga engkau mempertemukan anakku dengan guru yang mengajarkan kebaikan”
begitulah, walaupun jauh dari anak namun tetap bisa mendampingi mereka 24 jam. Allah yang akan menjaganya. Titipkan sang anak ke Allah.
Kemudian, cara mentarbiyahnya adalah dengan cara meninggalkan satu nasehat setiap hari. Inilah salah satu tugas dan tanggung jawab seorang ibu, yaitu menanamkan bibit kebaikan ke hati anaknya. Bibit kebaikan yang semoga bisa menjadikan hati anaknya bersih dan bening. Memberikan satu nasehat setiap hari adalah pekerjaan simple, namun efeknya bisa jadi tak terkira.
Pada suatu hari, ibunda dari Imam syafi'i berpesan : “Nak, mau berjanji untuk tidak berbohong kepadaku? jadilah anak yang jujur”.
Ketika Imam Syafi'i merantau untuk menuntut ilmu, ibunya memberikan banyak uang. Namun sayang, ditengah perjalanan ada perampok yang menghadang.
semua orang yang seperjalanan tidak mau mengaku dimana mereka menyimpan uang mereka. adalah Imam Syafi'i bocah kecil tang jujur. ia memberitahukan dimana uang yang dimilikinya. kejujuran itu ternyata membuat hati perampok luluh. bukannya mengambil uang itu, tapi perampok malah bertaubat jadi perampok.
Betapa dasyatnya satu pesan yang ditanamkan dalam hati seorang anak. Kebermanfaatannya mengalir tidak hanya di diri anaknya saja tapi juga sampai ke hatinya orang lain. Kegiatan simpel ini, Jangan diabaikan. Tanamkan terus bibit kebaikan itu setiap waktu.
Benarlah bahwa ibu adalah inspirasi bagi anaknya. Menjadi perempuan dengan berbagai peran, jadi istri, ibu sekaligus berkarir pasti akan rempong. Namun jalanilah dengan passion. Semoga dimampukan, ya!
Bandung, 09 Juni 2017
109 notes · View notes