#Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah
Explore tagged Tumblr posts
Text
0852-8082-8083 (GROSIR PABRIK), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah
0852-8082-8083 (GROSIR PABRIK), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6285280828083 , Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah, Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah, Harga Dan Merk Meja Kursi Sekolah Belajar Siswa, Harga Meja Bepajar Sd, Jual Meja Kursi Belajar Anak Smp, Hargameja Kursi Sekolah Sd, Harga Meja Kursi Siswa Dengan Bahan Besi, Harga Savello Meja Kursi Sekolah, Harga Meja Korsi Siswa Sma Di
Meja kursi sekolah kami adalah pilihan terbaik untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif. Dibuat dari bahan berkualitas dan didesain ergonomis, produk ini tidak hanya tahan lama tetapi juga mendukung kesehatan dan kenyamanan siswa. Dengan meja yang luas dan kursi yang nyaman, siswa dapat fokus sepenuhnya pada pelajaran tanpa gangguan. Mudah untuk dirakit dan dirawat, meja kursi sekolah ini adalah investasi cerdas untuk masa depan pendidikan. Dukung prestasi akademik siswa Anda dengan memberikan mereka fasilitas terbaik yang membantu meningkatkan konsentrasi dan kinerja belajar. Pilih meja kursi sekolah kami, solusi ideal untuk ruang kelas modern.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi nomor berikut.
Nomor HP CS: 0852-8082-8083
#TempatMembuatMejaKursiSekolah, #TempatMembuatMejaKursiSekolah, #HargaDanMerkMejaKursiSekolahBelajarSiswa, #HargaMejaBepajarSd, #JualMejaKursiBelajarAnakSmp, #HargamejaKursiSekolahSd, #HargaMejaKursiSiswaDenganBahanBesi, #HargaSavelloMejaKursiSekolah, #HargaMejaKorsiSiswaSmaDi
0 notes
Text
0852-8082-8083 (HARGA GROSIR), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Trenggalek
0852-8082-8083 (HARGA GROSIR), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Trenggalek
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6285280828083 , Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Trenggalek, Harga Perbiji Kursi Siswa Dan Meja Siswa, Toko Menjual Meja Belajar Anak Kab. Maybrat, Penjual Meja Dan Kursi Sekolah Kab. Parigi Moutong, Tempat Menjual Meja Untuk Sekolah Kab. Gunung Kidul, Pusat Meja Belajar Kab. Kepulauan Selayar, Agen Jual Kursi Meja Satu Set Sekolah Kab. Subang, Penyedia Bangku Meja Kursi Sekolah Kab. Banjarnegara, Produksi Meja Belajar Anak Minimalis Kab. Karo
Kami adalah menjual meja dan kursi sekolah berkualitas tinggi yang dirancang untuk memberikan kenyamanan dan daya tahan bagi para siswa. Dengan bahan baku terbaik dan desain ergonomis, produk kami memastikan anak-anak dapat belajar dengan optimal dalam lingkungan yang nyaman dan mendukung. Setiap meja dan kursi dibuat dengan teliti, memperhatikan setiap detail untuk memastikan keamanan dan keawetan. Jangan ragu lagi pilihlah produk kami dan dapatkan diskon menarik
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi nomor berikut.
Nomor HP CS: 0852-8082-8083
#TempatMembuatMejaKursiSekolahKab.Trenggalek, #HargaPerbijiKursiSiswaDanMejaSiswa, #TokoMenjualMejaBelajarAnakKab.Maybrat, #PenjualMejaDanKursiSekolahKab.ParigiMoutong, #TempatMenjualMejaUntukSekolahKab.GunungKidul, #PusatMejaBelajarKab.KepulauanSelayar, #AgenJualKursiMejaSatuSetSekolahKab.Subang, #PenyediaBangkuMejaKursiSekolahKab.Banjarnegara, #ProduksiMejaBelajarAnakMinimalisKab.Karo
0 notes
Text
Van Der Laan dan Sebentuk Delusi
Di sebuah sudut lengang Amsterdam yang berselimut kabut tipis. Seorang wanita berdiri di depan etalase toko kecilnya. Cornelia Marijke dengan balutan gaun flanel yang terlalu sering dipakai, menyusun tumpukan majalah bekas di sudut bengkel jahit miliknya. Bengkel jahit yang diwariskan dari generasi ke generasi itu kini berderak menahan usia, tak jauh beda dari pemiliknya. Tangannya yang rapuh dan bekas tusukan jarum merapikan kain-kain yang terserak di atas meja. Sementara tatapannya tertuju pada tempat lampu gas yang berkedip lemah, seperti nyala yang hampir padam di jantung kota.
Di sudut ruang yang beraroma debu kain dan sisa lem, Frederik, suaminya, duduk membungkuk pada kursi rotan yang sudah menghitam. Di tangannya, tergeletak setelan seragam Pieter yang telah usang. Mesin jahit Frederik kembali menyulam robekan di ujung celana seragam itu. Kacamata tebal yang kusam berusaha menangkap setiap simpul yang ia ikat, sementara bayang-bayang cahaya dari atap yang retak memantul samar ke lantai kayu yang tak rata.
“Kau tahu, Fred?,” gumam Cornelia dengan suaranya yang parau. “Bahwa suatu hari kita akan tinggal di salah satu vila megah di kanal Keizersgracht. Rumah bata merah dengan taman kecil di depan, dengan papan nama perunggu yang mengilap bertuliskan: Dr. Pieter Van Der Laan, Spesialis Bedah. Pieter akan menjadi seorang dokter di Leiden, dan kita akan bangga menyebutnya dokter Pieter Van Der Laan.”
Frederik yang biasanya tak banyak bicara, kali ini tertawa lirih, suaranya seperti denting kaca halus. “Pieter? Seorang dokter?,” katanya sambil menggeleng pelan. “Oh, Cornelia, kau selalu memelihara ilusi. Apakah kau kira hidup semudah menjahit seragam sekolah ini? Sudah cukup kalau dia bisa bertahan hidup dengan layak, tanpa terseret beban harapan kita.”
Namun, Cornelia tak tersenyum kali ini. Ada kilatan keras di matanya yang cekung. “Tidak, Fred. Kau tak mengerti. Pieter akan jadi lebih dari sekadar bertahan. Dia akan menjadi seseorang. Seseorang yang terhormat,” ujar Cornelia, seraya menumpu tubuhnya di atas meja. Matanya menerawang ke langit-langit berpalang kayu.
Frederik meletakkan seragam di pangkuannya sejenak. Ia menatap Cornelia dengan mata letih. “Cornelia, kau tahu hidup kita. Kita ini sebatas tukang jahit. Kau terlalu berharap pada hal-hal yang belum pasti. Bukankah kita sudah cukup dengan apa yang kita miliki sekarang?”
Cornelia tidak terpengaruh, dan senyumnya tetap terpatri, “Bayangkan, Fred. Kita duduk di balkon rumah besar, jauh dari kekacauan Amsterdam ini. Kita menyeruput black tea dari cangkir-cangkir porselen Limoges, dengan aroma mawar yang menguar dari kebun halaman belakang. Kita tak perlu lagi menambal pakaian yang sama berkali-kali, atau hidup dari pesanan kecil-kecilan.”
Frederik menggeleng lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. Ia sudah terlalu sering mendengar delusi-delusi dari bibir istrinya. “Dan kau pikir kita akan betah tinggal di rumah orang lain? Kau pikir Pieter akan punya waktu untuk kita, di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter?”
Cornelia melangkah mendekat, berdiri di hadapan suaminya. “Tentu saja. Kita tidak akan menjadi beban. Kita akan punya kamar di sayap kanan rumah itu. Pagi-pagi sekali, kita akan bangun, dan menyiapkan segala sesuatu untuk mereka. Kita akan menjaga cucu-cucu kita, dan memastikan mereka tumbuh sehat. Aku akan membawa mereka berjalan-jalan di Vondelpark setiap sore. Sementara kau, Frederik. Kau bisa duduk di kafe Jordaan, menyilangkan kaki, dan menghisap pipa mewah dari kayu ebony yang selalu kau idam-idamkan.”
Frederik mendesah panjang, kali ini tanpa perlawanan. “Cornelia, kau selalu punya cara untuk membuat segala sesuatu terdengar begitu manis. Kau selalu berbicara mengenai Pieter seolah hidupnya sudah tertulis di atas lembaran emas. Tapi kau lupa satu hal, cinta dan hidup tak pernah sesederhana itu.”
Cornelia terdiam sejenak, merenungi kata-kata suaminya. Di luar, kabut mulai turun lebih tebal, menyelimuti kanal-kanal yang berliku seperti urat nadi kota yang tak pernah tidur. Jauh di kejauhan, lonceng gereja Westerkerk berdentang, memecah keheningan. Cornelia mendesah panjang, lalu mendesis lirih, “Mungkin kau benar, Fred. Tapi izinkan aku bermimpi sedikit lebih lama.”
Suasana hening kembali menguasai ruangan. Frederik melanjutkan menjahit, sementara Cornelia melangkah pelan ke pintu belakang toko. Suara air kanal terdengar lebih jelas di luar sana; dingin dan tenang, seolah berbisik bahwa mimpi mungkin akan hanyut.
Di atas meja kayu yang berderit, segelas black tea mendingin, tak lagi tersentuh.
2 notes
·
View notes
Text
jajah aku di bawah kursi warnetmu.
Tags : M+, blow job in public, trying to not get caught, kissing, local porn words, mention of genitals. // juvenesheets on twitter.
Hari ini, Taesan lagi-lagi tidak masuk sekolah. Ia berkata bahwa percuma saja dirinya duduk berjam-jam hanya untuk melihat ponsel karena musim ujian sudah selesai. Lebih baik ia habiskan waktu untuk membantu bisnis warung internet keluarganya.
Sebuah gedung dua lantai dengan karpet biru gelap serta dinding yang catnya sudah terkelupas, berdiri kokoh di antara ruko lain. Fasilitas warung internet keluarga Taesan cukup lengkap. Pendingin ruangan, freezer berisi berbagai minuman, hingga makanan ringan.
Jika sedang hari biasa seperti sekarang, warung internet ini sepi. Hanya ada orang-orang terdesak yang membutuhkan bantuan Taesan untuk mengurus file mereka atau memakai komputer untuk kepentingan pekerjaan.
Permuda bersurai temaram tersebut menghela nafas di atas kursi beroda pada salah satu meja komputer warnet. Layar komputer menyala terang, menunjukkan permainan RPG yang mulai bosan ia mainkan. Hanya memakai kaos putih oblong dan celana pendek, ia duduk selagi melipat dua kaki ke atas kursi.
Taesan jadi bertanya-tanya, kira-kira saat ini apa yang dilakukan oleh temannya di sekolah? Sorot matanya yang selalu mengingatkan banyak orang akan kucing hitam, melirik ke arah ponsel. Ranum sang pemuda tersungging sendiri karena mengingat bahwa ada seseorang tengah ia tunggu untuk datang. Lelaki yang mudah sekali tersulut panasnya, membuat masa-masa sekolah Han Taesan seperti yang ada di serial-serial televisi. Tidak monoton.
Donghyun, Leehan—tadinya Taesan tidak menganggap ada hal yang menarik dari nama tersebut. Justru, nama Leehan terdengar membosankan karena seringkali terlihat di mading dan foto-foto berfigura di sekolah dengan medali serta piala kejuaraan. Belum lagi pemuda tersebut senang menjadi bintang tepat pada hari Senin, pengumuman kemenangan dari setiap insan tersebut menunda Taesan masuk ke dalam kelas nyaman yang ber-AC.
Bahkan, melihat sang lelaki dengan jelas saja ia tidak pernah sama sekali. Pertama kali Taesan menelisik sang mentari dari sekolahnya atas hingga bawah tanpa terlewat satu fitur pun adalah kala ia tiba-tiba didatangi Leehan saat berlatih futsal.
"Bu Meerah bilang, kamu harus catet materi dari buku aku dan beliau mau kamu belajar bareng aku. Nilaimu di pelajaran Bu Meerah jelek banget."
Leehan mengatakan hal tersebut dengan nada serius, cukup kencang untuk membuat permainan yang sedang berlangsung berhenti dan banyak kepala menoleh kepada mereka. Lucu sekali mengingat pemuda dengan surai kecoklatan halus yang khas itu berdiri percaya diri masih memakai seragam basah akibat hujan. Ia menyusul ke tempat Taesan berlatih memakai motor.
Dasar budak guru. Harusnya Leehan tidak perlu repot-repot menyusul. Bahkan dengan senang hati kedua tangannya yang kepalang mulus menumpuk beberapa buku tulis miliknya untuk diberikan kepada Taesan.
Merasa dipermalukan, Taesan ingin sekali menolak. Ia menarik Leehan ke sudut sepi.
"Gue gamau."
Pemuda di hadapannya tidak terbiasa ditolak. Padahal banyak yang mengatakan bahwa wajah Taesan memiliki terlalu sedikit ekspresi di balik fitur tajam dan menawan yang ia miliki, namun rupanya si pandai ini tidak mudah menyerah.
"Kalau kamu gamau, nanti aku bilang ke Bu Meerah kamu ngapa-ngapain aku. Sampai satu badanku basah kaya gini. Mau aku balik ke sekolah lagi terus bilang begitu?"
Tengil sekali.
Taesan tidak memiliki cara lagi (banyak sekali sebetulnya) tetapi, Leehan membuat ia bungkam dengan wajah bertabur gula itu. Belum lagi kedua mata Taesan tidak bisa fokus, tubuh molek di hadapannya benar-benar disuguhkan secara cuma-cuma. Diguyur oleh hujan membuat seragam sang lelaki menjadi melekat lebih erat lagi.
Ada rasa terbakar di dalam dada ketika Taesan merasakan beberapa orang di tempat mereka melihat Leehan dengan tatapan dalam. Ia harus membawa anak ini pergi dari kandang karnivora, hanya itu satu fikirannya.
Taesan tidak suka belajar. Ia hanya suka bermain musik dan bermain bola, tetapi selama satu bulan lebih—ia tunduk pada jemari Leehan. Memberikan sang pemuda berkacamata kesempatan untuk singgah lebih lama. Lagipula, dengan wajah bak karakter yang keluar dari buku itu dan juga cara dia berbicara dengan penuh kelembutan, tidak akan membuat Taesan bosan. Hingga pada akhirnya ia menyesal karena tidak mengenal Leehan lebih awal.
Terdengar gila mungkin, tetapi faktanya pada tahun kedua semester akhir—ia berhasil menggaet hati sang pujaan hati. Hubungan dua sejoli yang tidak terduga itu kini bertahan hingga sekarang.
Dengan latar belakang serta sifat mereka yang bertolak belakang, mungkin warga sekolah akan menganga mengetahui berita ini. Bahkan tidak sedikit yang selalu memberitahu Leehan untuk bersadar diri bahwa Taesan hanya akan membawa masalah bagi masa depannya. Untuk apa juwita berbakat sepertinya menetap dengan seorang pemuda monoton seperti Taesan.
Taesan hanya bisa tertawa lebar setiap kali mereka melakukan hal seperti itu. Sebab, keesokan harinya, justru Leehan semakin menempel dengannya. Menunjukkan kepada semesta bahwa ia bahagia.
Jikalau mengingat kembali, memang kisah asmara mereka terdengar terlalu datar. Tipikal berandalan yang menjadi lebih baik karena kekasih kutu bukunya yang gila pendidikan. Namun, Taesan tidak pernah menyesali pilihannya untuk memilih Leehan. Sebab, sekarang Taesan telah menemukan cahaya baru untuk terus melangkah.
"San, cowomu datang tuh."
Pemuda dengan pakaian rumahan dan surai yang masih setengah basah itu menoleh. Kakak laki-laki Taesan yang sudah rapi memakai kemeja flanel dan juga jeans yang sudah luntur warnanya menunjuk pada sang kekasih yang tiba-tiba saja sudah hadir selagi melambai lucu.
"Gue mau ke kampus dulu ya, jaga warnet yang bener. Gue tinggal, bye. Marahin aja kalo Taesan nakal ya, Han," goda Sunghoon mengulas senyum tipis dan sedikit mendorong perlahan tubuh Leehan.
Leehan datang masih dengan seragam lengkap. Rapih tanpa lipatan. Taesan melangkah kepada sang juwita sebelum membantu yang lebih muda menaruh tas ranselnya di salah satu kursi warnet. "Bawa apa kamu, yang?"
"Cireng sekolah. Katanya kamu mau kan dari pas libur? Kebetulan tadi kantin yang buka udah lengkap."
Leehan memang perhatian sekali. Pantas saja, pemuda tersebut banyak sekali yang memuja. Taesan mengambil satu cireng isi dari plastik dan menghadiahi kekasihnya kecupan di pipi.
"Thanks, Cantikku."
Senyuman kecil hadir di wajah pemuda yang lebih tua menyadari semu merah muda beesemi di wajah mempesona Leehan. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut agar duduk di sebelahnya. Lalu, untuk beberapa waktu—ruangan itu hanya terisi oleh suara keyboard dan juga Taesan yang sibuk mengunyah cireng dengan tenang. Ia memberikan waktu bagi Leehan untuk tenggelam di dalam fikiran dan memperhatikan tampak Taesan yang bagai dipahat hampir sempurna oleh Tuhan.
Bibir bawahnya yang tebal, hidung mancung, dan rahang tegas sang pemuda. Kedua manik gelap Taesan yang disertai dengan bulu mata lentik itu tampak memikat. Ia senantiasa membuat Leehan tenggelam. Namun, tidak lama kemudian sorot mata juwita itu berpindah pada tubuh kekasihnya. Ada dua hal yang juga tidak kalah memikat dari Taesan, yaitu bisep dan pahanya yang kuat dan terbentuk karena latihan rutin. Saat ini bagian itu terekspos karena kaos tidak berlengan serta celana pendek sang kekasih yang sedikit tertarik ke atas.
Detak jantung Leehan terdengar tidak teratur, ia meneguk ludah. Maybe right now is the right chance to steal Taesan's attention?
"Jadi aku ke sini cuma buat nontonin kamu main lagi? Mending aku balik ke sekolah engga sih?"
Tanpa menoleh, Taesan masih berfokus pada layar namun kali ini ia memajukan bibirnya tanpa alasan. Jari-jarinya yang lincah itu bergerak lebih cepat di atas keyboard.
Leehan menghela nafas. Ia ingin mengerjai kucing hitam yang terlalu serius itu dengan cara berpura-pura bangkit untuk pergi. Tetapi, belum sempat ia benar-benar bangkit dari kursi—lebih dulu dua tangan menahan paha Leehan agar tetap duduk.
"Aku lagi ngisi perut, permainan aku baru selesai. Siapa bilang kamu cuma nontonin aku main hari ini?" tanya Taesan mengubah posisi duduk menjadi ke arah Leehan, menukik alisnya selagi berbicara.
Paha Leehan diremas oleh yang lebih tua.
Lalu perlahan jemari Taesan naik ke atas untuk menarik dasi abu-abu milik Leehan agar wajah mereka mendekat. Dengan jarak sedekat ini, mereka dapat merasakan nafas satu sama lain.
Taesan melirih, "Kamu laper juga engga, Han? Mau diisi juga engga perutnya?"
Aduh, kok bisa tiba-tiba saja kekasihnya yang kepalang cuek itu merubah situasi secepat ini?
Leehan menggeleng. Ia ragu setiap kali hubungan mereka maju ke tahap yang lebih intim, namun jika itu Taesan, bisa apa dia? Ia rela memberikan apa saja asal laki-laki itu mau membubuhinya dengan ciuman kupu-kupu, pujian, dan juga senyuman puas. Toh, Leehan yang memulai dia juga harus membuka jalan lebih lebar untuk sang lelaki tercinta.
"L-laper, panas juga, San—Ngggh Mmph !"
Ucapan Leehan berhenti pada saat Taesan memaksa agar ranum mereka bertabrakan. Mereka memang sering bercumbu di mana saja. Walaupun Leehan paling menyukai pada saat ciuman pertama yang diberikan oleh Taesan pada saat ia begitu bahagia kala memenangkan pertandingan dengan musuh kebuyutannya sejak sekolah dasar di halaman belakang sekolah mereka. Ia masih ingat, hanya dengan satu kali ciuman itu mengajarkan Leehan yang belum pernah mencium orang sama sekali kini menjadi semakin lihai.
Dua insan saling memagut dan menghisap bibir satu sama lain seolah-olah mereka berada di dunia sendiri. Padahal, setiap barang di warung internet itu pasti terdiam iri menjadi saksi mereka yang bercumbu panas di saat matahari sedang terik-teriknya. Tangan Leehan sudah berpindah untuk meremat-remat surai sang kekasih, pahanya merapat untuk memberikan afeksi bagi bagian selatan si kecil yang sudah sesak hanya karena sentuhan pada bibir.
"Hhhah, nanti ada yang lihat—San, Esan," syahdu dari bibir Leehan memprotes akibat tubuhnya Taesan bawa agar terduduk di atas pahanya yang kuat itu.
"Katanya mau dipangku?"
Benar, sih. Pipi Leehan memerah lucu bagai buah persik segar. "Nanti kamu keberatan."
"Sayang, I could pick you up easily. You are perfect for me. Aku latihan buat manjain kamu kaya gini, Cantik," balas Taesan dengan tangan yang bergerak untuk meremas pinggang ramping sang juwita lalu bersiul menggoda ketika sengaja mengeluarkan seragam Leehan dari celana dan melihat jelas lekuk tubuh sang kekasih.
Ia memang terkadang bersikap memalukan.
Walaupun ingin berlari rasanya, ia tetap memberikan lampu hijau bagi Taesan untuk membuka dasinya dan beberapa kancing dari seragamnya. Memberikan pemandangan manusia terindah yang pernah Taesan tatap.
"San, Nnh, jangan ditandain ya?"
Taesan mengangguk mengerti, tidak diberitahu pun ia sudah mengerti. Mereka tidak mau mengambil resiko dengan berakhir dihusir dari rumah atau dijawil kencang pada bagian telinga. Maka, bibir Taesan hanya mengecupi dan membasahi sedikit bagian selangka Leehan yang putih tanpa noda.
Kacamata Leehan sudah hilang entah kemana, toh siapa yang peduli? Dengan sentuhan Taesan sendiri saja dia mampu menggelinjang nikmat, ia percaya sekali atas tuntunan sang kekasih atas segalanya. Birahi menutup segala dari manusia, termasuk kewarasan.
"Kenapa ahh kamu besar dimana-mana sih?" lirih Leehan tanpa rem. Ia gigit bibirnya merasakan bibir Taesan sudah memanjakan bagian sensitif di dada Leehan yang mencuat gemas. Jemari satunya juga tidak luput memilin dan mencubit puting laki-laki itu yang tidak tersentuh.
Kedua tangan Leehan dari tadi meremat bisep Taesan, merasakan otot sang pemuda yang terbentuk. Pacarnya memang XL. Apalagi di bagian bawah sana. Membayangkan benda berurat itu saja membuat perut Leehan berbunyi. Dia lapar dan kepanasan betulan, tidak bohong.
Kala mereka kembali memakan bibir satu sama lain, saling berperang lidah dan gigi, Leehan dapat merasakan celana pendek yang dipakai Taesan mencetak tenda. Menusuk-nusuk bagian bokong Leehan yang hanya dilapisi seragamnya yang saat ini sudah agak sempit (sebab mereka sudah mau lulus dan dia enggan mengganti).
"Han, Sayang, kamu laper kan tadi?"
Taesan bertanya ketika Leehan masih mengatur nafas dan masih mengumpulkan segala sel dari otaknya untuk mencerna setiap kata. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Berantakan sekali pria cantik itu dibuat oleh murid yang ditutornya sendiri.
Tali celana pendek Taesan ia buka.
"Sesek dia, Han. Kasian, mau engga bantuin? Makan ini aja, ya? I miss you getting messy with my milk all over your pretty face."
Muka pengen dari Taesan selalu sukses membuat Leehan ingin menurutinya. Ia tampak lucu dengan kedua mata berkilauan. Tapi, yang lebih muda belum merasa bahwa tawaran itu cukup. Han Taesan harus memohon di hadapannya.
"Kenapa harus?" tanyanya dengan tangan yang sengaja jatuh ke bawah, membelai gundukan kekasihnya dengan perlahan.
Taesan menggeram merasakan sentuhan tersebut. Kalau diteruskan, mungkin saja Taesan akan kehilangan kesabaran dan berakhir memainkan jarinya pada senggama sempit sang juwita selagi mendorong tubuh ramping itu ke meja warnet. Namun, ia tidak pernah tega dengan Leehan.
"Please, Han. Aku engga kuat, mau bibir kamu di sini. Sepongin kontol aku di bawah meja."
Gila memang, apa Taesan benar-benar menginginkan mereka melakukan kegiatan asusila di warung internet keluarganya? Bagaimana jika seseorang masuk? Bagaimana jika mereka terciduk lewat kamera? Bodoh, harusnya Leehan pikirkan itu sejak mereka berciuman jauh beberapa menit yang lalu.
"Serius kamu? Nanti kalau ketahuan—"
"Aku jagain, engga akan ketahuan. Ayo ke bawah," bisikan Taesan yang meyakinkan lantas membawa Leehan untuk memasang bendera putih. Dengan kaki sedikit lemas ia turun ke bawah. Mengisi ruang kecil di bawah meja dan langsung berhadapan dengan selangkangan sang kekasih.
Bahkan belum dimulai pun, Leehan terlihat manis di bawah sana. Matanya mengedip polos dan bertanya-tanya apakah dia harus melakukan itu sekarang?
Blow job mungkin adalah satu hal yang kini menjadi rangkaian maksimal di hubungan mereka. Tidak ada yang lebih daripada menghisap penis satu sama lain atau memasukkan jari memanjakan lubang Leehan yang masih sempit sekali. Meskipun begitu, Leehan masih belum berpengalaman (baginya.)
Hanya pujian dan juga suara-suara yang keluar dari mulut Taesan, satu-satunya validasi bagi Leehan jika dia sudah melakukan semuanya dengan baik. Karena itu lah—ia gugup.
"Jangan gigit, ya," ucap Taesan lembut ketika ia sudah berhasil menurunkan celana pendek dan juga celana dalamnya.
Penurut sekali Leehan, pelan-pelan ia mendekatkan diri. Satu tangannya memegang batang penis dari sang kekasih yang berukuran tidak kecil. Ia merasakan guratan urat pada benda Taesan yang tengah mengacung sempurna. Leehan senang, ia adalah alasan hormon sang kekasih memuncak.
Ia kocok perlahan atas-bawah penis Taesan, sebelum menjulurkan lidah untuk merasakan ujung kepala kejantanan tersebut. Matanya tidak lepas dari pandangan sayu yang lebih tua ketika ia perlahan-lahan memasukkan penis kucing hitam kesayangannya ke dalam mulut.
"Ah, shit, Kenapa pinter banget?" puji Taesan tersenyum lemas kala Leehan tanpa terbatuk mampu mencapai ujung penisnya. Menghidu wangi khas lelaki tersebut yang jantan.
Leehan mulai bergerak untuk menghisap batang penis Taesan, menjilat, serta menggerakkan kepalanya beraturan dalam ritme pelan. Ia lepas sesekali untuk mengocok lagi penis yang lebih tua.
Wajah Leehan berkeringat.
"Harusnya aku bawa kuciranku ya? Nnh, biar aku tariknya enak—rambutmu udah panjang, ahh, aku pengen liat jelas kontolku keluar masuk mulut kamu, Han," protes Taesan tersendat-sendat, jari-jari panjangnya mulai menyisir surai halus kecoklatan sang kekasih.
Cairan pre-cum mulai keluar dari kejantanan Taesan ketika seseorang melangkah ke lantai atas cukup cepat hingga membuat mereka terdiam kaku. Demi Tuhan, ingin sekali ia mencakar paha Taesan karena pemuda itu sudah janji bahwa mereka tidak akan tertangkap basah namun sekarang ada seseorang di warnet bersama mereka. Untungnya, sisi depan mereka berdua tidak akan terlihat karena tertutup meja.
"Dek ! Mas lupa ada flashdisk ketinggalan, aduh pelupa banget gue. Loh? Kenapa keringetan gitu?" Mas Sunghoon rupanya.
Jari telunjuk Taesan memberikan isyarat ke bawah agar Leehan diam. Ia hanya tersenyum gugup lalu berkata, "Panas di luar, Mas. Sampe ke dalam, haha."
Mas Sunghoon ber-oh ria lalu melangkah perlahan menjauh dari meja Taesan meskipun matanya masih dengan curiga menatap sang adik yang entah mengapa duduk di kursi warnet tanpa memainkan game.
"Leehan mana dek? Bukannya tadi ada?"
Damn.
Taesan melirik Mas-nya yang dengan jelas melihat tas dan juga dasi Leehan yang tadi terhempas asal. Ia berusaha menenangkan pacarnya yang tengah berperang dengan batin sendiri dengan cara mengelus kepala Leehan. Tetapi, entah mengapa justru tangan tersebut berpindah ke tengkuk yang lebih muda—membuat Leehan mau tidak mau kembali menyesap penis miliknya.
"K-Ke toilet, Mas, duh sialan," jawab Taesan lalu dengan cepat memukul mulutnya yang tanpa izin mengeluarkan umpatan.
Nikmat sekali ketika dengan lihai Leehan menjadi boneka penurut, memejamkan matanya di bawah sana dan menghisap penis Taesan. Mempercepat gerakan karena ia ingin ini semua cepat selesai. Suara yang mereka buat sebetulnya cukup berisik, licin dan basah, dengan suara desahan kecil dari Leehan di bawah meja. Hal itu disebabkan karena kaki telanjang Taesan dengan jahilnya menggesek pada selangkangan Leehan.
"Nah ini dia flashdisk gue ! Gue cabut lagi ya, San. Lu beneran gapapa ini gue tinggal sendiri? Muka lu merah loh," tunjuk Sunghoon dengan wajah sedikit khawatir. Jemarinya memutar-mutar kunci dengan lincah.
Iya, sumpah Taesan tidak apa-apa. Dia sedang setengah di nirwana sekarang karena ada yang tengah menghisap kuat penisnya hingga puas di bawah meja. Sekarang, cepat Mas pergi dong.
"Aman Mas, aman. Hati-hati y—ah Mas."
Hanya itu yang mampu Taesan keluarkan sebelum memastikan sang Kakak sudah pergi dari warung internet mereka. Ia sudah sange berat ketika menatap kondisi Leehan di bawah sana ternyata sudah mengeluarkan penisnya dari seragam dan mengocok perlahan dengan mulut yang masih bertengger pada kejantanannya.
Seksi sekali.
"Aku bentar lagi sampai, Han," lirih Taesan yang akhirnya bernafas lega dan bisa lanjut menuntun kepala Leehan agar kembali menghisap penisnya yang membesar.
Ia bergerak maju mundur dengan cepat hingga mentok di ujung tenggorokan. Pujian demi pujian Taesan keluarkan, ia merintih kenikmatan karena kehangatan yang mengokupasi penisnya.
"Sayang, aku keluarin di muka ya?"
Leehan menyungging senyum tipis menunjukkan bahwa ia akan menerima apapun dari sang kekasih. Tidak membutuhkan waktu lama sebelum pandangan Taesan memburam dan ia melepaskan kejantanannya dari mulut Leehan. Ia mendesah panjang kala cairan putih berhasil keluar beberapa kali dari penis panjangnya itu. Muka Leehan menjadi kotor.
Bahkan sisa sperma Taesan juga meleleh di lidah kekasihnya yang lebih muda karena ia tidak menutup mulut. Kalau Taesan tidak menahan diri, mungkin bagian selatan pemuda itu sudah berdiri lagi. Ternyata, Leehan pun mengotori tangan dan seragamnya di bawah sana. Mereka sampai bersamaan.
Jemari lentik Leehan menghapus lukisan sperma di atas wajah sebelum membawanya untuk ditelan ke dalam mulut. Pemandangan erotis yang ingin sekali Taesan pajang selamanya.
"Awas aja kalau sampai Mas kamu tahu, aku tebas kelamin kamu ya, San !"
Taesan meneguk ludah. Sang juwita jadi galak setelah peristiwa tadi rupanya. Tetapi tidak apa-apa, tidak ada yang harus pemuda bersurai temaram itu sesali. Sebab, ia sudah dimanjakan oleh Leehan hari ini dengan servis bintang lima.
End.
5 notes
·
View notes
Text
-MAYA-
Dinginnya malam, serasa menguliti ku hingga ke tulang. Begitu sampai kamar, kuhempaskan tubuhku di tempat pembaringan. Tujuanku adalah merebahkan diri, menghalau sedikit rasa payah yang menghampiri. Berharap segera terlelap. Namun nyatanya, lelah tubuhku justru tak menghentikanku mengingat masa lalu. Lalu, satu per satu darinya hadir, menyesakkan.
***
Di bangku sebuah taman yang tak jauh dari tempatku tinggal, aku duduk termenung. Menunggui seseorang yang aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelumnya, kami berjanji temu pukul 3, tapi kali itu sudah lebih dari tiga puluh menit, orang yang aku tunggu belum muncul juga. Aku sebal, sebab tidak satu dua kali dia begitu.
Sesekali, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Benda yang hampir tak pernah absen kupakai ketika aku pergi. Lalu, indera penglihatanku teralihkan dengan dua anak kecil yang saling berkejaran di lapangan basket yang ada tepat di sebelah taman. Riuh gema tawa mereka seakan mensyaratkan, tiada beban yang bersarang di pundaknya. Ceria sekali. Setidaknya begitu yang tersurat dari kacamataku.
“Lagi lihat apa sih? serius amat, sampai-sampai nggak sadar aku dateng.”
Aku terkejut dengan suara seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. “Astaga, bisa nggak sih nggak bikin kaget orang,"kataku memprotes perilakunya yang mengejutkanku. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari ritme sebelumnya.
"Habisnya kamu diajak ngobrol pas aku dateng nggak nyaut, taunya ngelamun.” “Siapa yang ngelamun!.” Dia menunjuk ke arahku dengan dagu sambil tersenyum dengan seringai jahil yang seakan meledekku. Seperti, dia berhasil menebak sesuatu yang benar, sedangkan aku berkilah. Menyebalkan.
“Aku nggak ngelamun!,"ucapku dengan nada naik satu oktaf. Aku kesal. Teramat kesal. Pertama, karena dia terlambat datang. Kedua, dia membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ketiga, dia meledekku.
"Bisa nggak sih kau hargai waktu orang sedikit. Tiap menit keterlambatanmu itu sama dengan waktu orang lain yang kau korbankan untuk menunggu,"sungutku. Raut mukanya berubah sendu, mungkin merasa bersalah. Seketika kami terdiam dan aku merasa tak enak hati dibuatnya.
"Oke oke, aku minta maaf. Sudah ya, jangan marah,"rayunya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi lebih baik tidak disini,"sambungnya.
***
Dua kursi berhadapan dengan satu meja sebagai pemisah keduanya, disudut dekat jendela sebuah kafe bernama Cendana adalah tempat yang kami pilih untuk melanjutkan obrolan. Lebih tepatnya, Fahmi yang ingin membicarakan suatu hal yang aku tidak tau apa itu. Setelah memesan beberapa menu di meja kasir, kami dipersilakan menunggu beberapa saat sampai menu di antarkan ke meja.
"Di,"suara Fahmi menyapaku, memecah hening diantara kami berdua. Aku yang tengah mengamati interior kafe itu seketika menoleh ke sumber suara, memusatkan perhatianku padanya.
"Ya?,"jawabku singkat.
"Setelah kelulusan nanti, aku akan berangkat ke Singapura,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tunggu sebentar, apa maksudnya? Otakku masih belum selesai mencerna,“Aku diterima di Media, Arts and Design School, Singapore Polytechnic,"jelasnya sumringah. Aku melihat binar mata bahagianya. Tapi, mengapa aku merasa tidak sesenang itu mendengarnya?.
"Oh ya? Selamat ya,"ungkapku akhirnya, lalu aku terdiam mendengar semua tutur katanya. Dia menceritakan usahanya dengan begitu bangga, sampai pada saat dia diterima sebagai mahasiswa di kampus impiannya itu.
***
"Apa ini?,"tanyaku setelah mendapat sodoran amplop besar berwarna coklat.
"Brosur dan berkas pendaftaran UBAYA. Papa mau kamu ambil sekolah bisnis.”
“Aku ingin belajar sastra Pa, boleh tidak kalau aku….” Belum sempat kalimatku secara lengkap terucap, Papa menimpali,“Mau jadi apa kamu kalau masuk sastra? Sudahlah, ikuti saja saran papa,"tegas Papa tanpa mau dibantah.
Beberapa orang beruntung, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup lalu bisa menjalaninya. Beberapa lainnya beruntung tahu apa yang diinginkannya dalam hidup tapi harus bersabar atas ketiadaan kesempatan menjalaninya. Keduanya sama-sama beruntung, bukan? Tapi aku, adalah contoh yang kedua. Lebih tepatnya, tidak lebih berani mengupayakan keinginan yang kupunya. Kata lainnya, aku pengecut.
***
Hari pertamaku menjadi mahasiswa jurusan Bisnis Internasional UBAYA, adalah menjadi hariku juga melepas kepergian Fahmi ke Singapura. Setelah kuliah pagiku selesai, aku bergegas menuju Juanda. Tempat yang akan menjadi saksi perpisahan kami berdua.
"Gimana rasanya jadi mahasiswa jurusan bisnis?,"tanyanya memecah keheningan antara kami berdua. Aku yang duduk tepat di sebelahnya bergeming. Aku menunduk, memandangi jari jemariku yang bertaut diatas pangkuanku.
"No feeling good,"lirihku masih dengan tertunduk.
"It’s okay.” Fahmi merangkul dan menepuk-nepuk pundakku perlahan. Mungkin dia ingin menenangkan. Sebab dia tahu, pilihan itu tidak mudah kujalani, tidak seperti dirinya yang memilih pilihannya sendiri.
“Mari buat kesepakatan,"serunya tiba-tiba, sembari dia bangkit dari duduknya dan berpindah berdiri di hadapku, mengulurkan tanganku agar bisa kujabat.
"Kesepakatan? Apa?,"tanyaku tak mengerti.
"Saat kita berdua sudah lulus nanti, kita akan buat projek bersama. Kamu jadi konseptor bisnisnya, aku tim kreatifnya. Kita berkolaborasi.”
Aku saja tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya atau tidak, pikirku. “Ya, bolehlah,"sambungku akhirnya.
"Saya Fahmi Fachriza Rudianto berjanji, akan segera kembali begitu saya lulus dan akan membuat bisnis bersama dengan kawan saya Diani Pratiwi,"ucapnya seraya mengangkat telapak tangannya serupa orang bersumpah.
"Ya, janji diterima, ku tunggu kau menepatinya,"ujarku malas-malasan, seolah tau bahwa janji itu hanya celotehan anak belia yang belum tau bagaimana kehidupan akan bekerja dengan sesungguhnya. Seakan meyakini bahwa janji itu akan berakhir sebagai gurauan belaka.
Sementara itu, pesawat yang akan ditumpangi Fahmi sebentar lagi akan lepas landas. Dia pun bersegera menyiapkan diri untuk check-in.
"Jaga dirimu baik-baik,"begitu pesannya sebelum meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya sampai bayangan punggungnya menghilang. Aku melepaskannya pergi ke negara seberang untuk mengejar mimpinya. Sementara aku, mungkin harus berdamai lagi dengan pilihan yang sudah ditentukan.
Tak terasa air mataku menetes ketika bayangan-bayangan itu melintas dalam ingatan. Dan benar saja, kesepakatan yang dulu terucap antara aku dan dia, kini hanya terpintal menjadi kenangan belaka. Bahkan, setelah dua tahun kelulusan pun, tak ku tahu rimbanya dimana. Fahmi apa kabar? Aku rindu.
***
4 notes
·
View notes
Text
Fasilitas Modern di STKIP PGRI Nganjuk Mendukung Proses Belajar Anda
Dalam dunia pendidikan yang kompetitif, keberadaan fasilitas STKIP PGRI Nganjuk yang modern menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan mahasiswa. Berlokasi di Jalan AR Saleh No 21, Kelurahan Kauman, Kecamatan/Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, kampus ini menawarkan berbagai fasilitas yang dirancang khusus untuk mendukung proses belajar dan pengembangan diri mahasiswa. Dengan visi yang jelas, yaitu unggul dalam pengembangan sekolah tinggi untuk menghasilkan lulusan yang terampil dalam mendidik, profesional, dan berkarakter, STKIP PGRI Nganjuk berkomitmen untuk menciptakan lingkungan akademik yang kondusif.
1. Ruang Kelas yang Nyaman dan Modern
Salah satu aspek penting dari proses belajar mengajar adalah ruang kelas. Di STKIP PGRI Nganjuk, ruang kelas dirancang dengan memperhatikan kenyamanan dan keefektifan. Dilengkapi dengan kursi ergonomis dan meja yang cukup luas, mahasiswa dapat belajar dengan nyaman. Selain itu, penggunaan teknologi terkini seperti proyektor dan sistem audio-visual membuat pengajaran menjadi lebih interaktif. Dosen dapat menyampaikan materi dengan cara yang menarik, memfasilitasi diskusi, dan membangun kolaborasi antar mahasiswa.
2. Laboratorium yang Memadai
Bagi mahasiswa yang mengambil program studi seperti S-1 PPKn, S-1 Pendidikan Ekonomi, S-1 Pendidikan Matematika, dan S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, laboratorium menjadi tempat penting untuk menerapkan teori yang telah dipelajari. STKIP PGRI Nganjuk memiliki laboratorium yang lengkap dan modern, dilengkapi dengan peralatan dan sumber daya yang diperlukan. Di sini, mahasiswa dapat melakukan eksperimen, simulasi, dan proyek yang mendukung pemahaman mereka terhadap materi kuliah. Keberadaan laboratorium ini tidak hanya menambah wawasan akademis tetapi juga meningkatkan keterampilan praktis yang akan sangat berguna di dunia kerja.
3. Perpustakaan yang Kaya Akan Referensi
Fasilitas STKIP PGRI Nganjuk juga mencakup perpustakaan yang luas dan terupdate. Perpustakaan ini menjadi sumber informasi yang berharga bagi mahasiswa, menyediakan berbagai buku, jurnal, dan materi pembelajaran lainnya. Dengan koleksi yang terus diperbarui, mahasiswa dapat dengan mudah menemukan referensi yang relevan untuk tugas dan penelitian mereka. Selain itu, ruang baca yang nyaman dan tenang menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar dan bersantai.
4. Ruang Diskusi dan Kolaborasi
Dalam upaya meningkatkan kolaborasi antar mahasiswa, STKIP PGRI Nganjuk menyediakan ruang diskusi yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan kelompok. Ruang ini dirancang untuk mendorong interaksi dan pertukaran ide antar mahasiswa. Dengan adanya fasilitas ini, mahasiswa dapat berdiskusi tentang proyek, melakukan presentasi, atau sekadar berkumpul untuk belajar bersama. Hal ini tidak hanya memperkuat hubungan sosial tetapi juga meningkatkan keterampilan komunikasi dan kerja sama.
5. Teknologi Informasi yang Canggih
Di era digital saat ini, kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi sangat penting. STKIP PGRI Nganjuk menyadari hal ini dan menyediakan akses internet cepat serta fasilitas komputer yang memadai. Mahasiswa dapat menggunakan komputer untuk mengakses materi pembelajaran online, melakukan riset, dan menyelesaikan tugas dengan lebih efisien. Selain itu, penggunaan platform pembelajaran daring juga semakin memudahkan mahasiswa dalam mengakses materi dan berinteraksi dengan dosen dan teman sekelas.
6. Fasilitas Olahraga dan Rekreasi
Belajar tidak hanya terjadi di dalam kelas. STKIP PGRI Nganjuk juga menyediakan fasilitas olahraga yang mendukung kesehatan fisik dan mental mahasiswa. Dengan adanya lapangan olahraga, gym, dan ruang rekreasi, mahasiswa dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik yang menyegarkan pikiran. Kegiatan olahraga juga menjadi sarana untuk membangun kerja sama tim dan mengembangkan kepemimpinan.
7. Lingkungan yang Ramah dan Inklusif
Salah satu daya tarik STKIP PGRI Nganjuk adalah lingkungan kampus yang ramah dan inklusif. Semua mahasiswa, tanpa terkecuali, merasa diterima dan dihargai. Suasana ini memungkinkan mahasiswa untuk berkolaborasi dan belajar dari satu sama lain. Dosen pun berperan aktif dalam menciptakan iklim akademik yang positif, mendorong mahasiswa untuk berani mengemukakan pendapat dan mengembangkan potensi diri.
Bergabunglah dan Rasakan Perbedaannya!
Dengan segala fasilitas STKIP PGRI Nganjuk yang modern dan mendukung, mahasiswa di kampus ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Pengalaman belajar yang menyenangkan, dukungan dari dosen, serta fasilitas yang memadai menjadi kombinasi yang ideal untuk meraih kesuksesan akademis.
Bagi Anda yang ingin merasakan pengalaman belajar yang berbeda, STKIP PGRI Nganjuk adalah pilihan yang tepat. Jangan ragu untuk bergabung dan nikmati setiap momen di kampus. Kunjungi website resmi di https://www.stkipnganjuk.ac.id untuk informasi lebih lanjut mengenai pendaftaran dan program studi yang tersedia.
Jika ada pertanyaan, Anda dapat menghubungi melalui Telpon/Fax: (0358) 321477 – 330650 atau melalui email di [email protected]. Untuk update terbaru, ikuti juga akun Instagram di @stkippgri.nganjuk.
STKIP PGRI Nganjuk bukan sekadar tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk tumbuh dan berkembang. Bergabunglah dan rasakan perbedaannya!
0 notes
Text
[Reupload] Summer | School AU
Pair: Aether (Genshin Impact) x Yunna (OC)
Genshin Impact © Hoyoverse
Story © Crescent
Yunna menjatuhkan kepalanya ke atas meja, tangannya bergerak untuk mengibas-ngibaskan seragam sekolah. Keringat bercucuran di dahinya. Tubuhnya terasa meleleh seperti es krim, musim panas ini benar-benar menyiksa. Bahkan dua kipas angin yang menyala di kelasnya pun tidak berpengaruh menghilangkan hawa panas karena musim panas.
"Hngh ... panas ... aku mau makan yang dingin-dingin ... tapi males pergi ke kantin ...," keluh Yunna masih menidurkan kepala di atas meja, dia menatap jendela di sampingnya. Matahari seakan bersinar lebih cerah dan lebih panas dari biasanya, tidak terlihat sedikitpun awan menggantung di langit. Benar-benar hari yang cerah.
Menghela napas pelan, Yunna sama sekali tidak berniat untuk bangkit dari tempat duduk. Selain karena dia malas, dia juga tidak memiliki tenaga untuk berjalan. Padahal dia tidak melakukan apapun, tapi suhu yang terlalu panas membuat tenaganya seolah terkuras begitu saja.
"Uh ... harusnya tadi aku titip saja beli minuman dingin ke Noelle ...."
Tepat setelah mengatakan itu, tiba-tiba saja sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Membuat nya tersentak kaget dan segera terbangun, "D-dingin!"
Matanya kemudian melihat pemuda berambut pirang yang berdiri di samping mejanya, memegang sebuah kaleng soda dingin. Dia terkekeh kecil setelah berhasil membuat si gadis kaget setengah mati. "Hehe, maaf, aku nggak berniat mengagetkanmu sampai seperti itu," ujarnya seraya menaruh kaleng minuman di meja Yunna.
Melihat kaleng soda dingin tersebut mengurungkan niat Yunna untuk memprotes aksi Aether sebelumnya. Tangannya segera menyambar kaleng itu dan membuka penutup nya, kemudian meminum seperempat isi kaleng.
Yunna menghela napas lega, melemparkan senyuman cerah pada Aether, "Makasih, buat minumannya!"
"Bukan masalah," jawab Aether, dia mendudukkan dirinya di kursi di depan meja Yunna, "Aku sudah sadar sejak jam pertama tadi kamu terlihat kepanasan, makanya aku membelikan mu itu," lanjutnya.
"Kelihatan jelas sekali, ya?" Yunna bertanya dengan polosnya, dia kembali meneguk kaleng soda di tangannya.
Aether mengangguk singkat sebagai jawaban. Tangannya bergerak ke depan, menyelipkan helaian rambut Yunna ke belakang telinganya.
Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti keduanya. Aether menumpukan dagu di atas telapak tangannya, manik emas nya menatap Yunna yang sedang menikmati minuman dingin di tangannya dengan bahagia. Wajah gadis tersebut terlihat berseri-seri seperti anak kecil yang mendapatkan permen.
Dari luar jendela terdengar suara angin musim panas yang berhembus lembut memasuki ruangan kelas, mengisi kesunyian di ruangan kelas yang hanya diisi kedua insan itu. Baik Aether maupun Yunna tidak berniat membuka suara, tenggelam dalam kegiatan masing-masing.
Meski tanpa mengatakan apapun, mereka berdua sebenarnya sama-sama menikmati kehadiran satu sama lain. Tanpa perlu mengucapkan satu kata, mereka sudah cukup hanya dengan berdiam seperti ini. Setiap kali tidak sengaja bertatapan, keduanya akan tersenyum sebelum akhirnya tertawa kecil.
Aether menatap wajah Yunna lekat-lekat. Menyadari gaya rambut gadis di hadapannya agak berbeda hari ini, rambutnya dikuncir kuda, padahal biasanya dia hanya menggerai rambut dan mengikatnya dengan pita putih. Berkat hal itu, leher jenjangnya yang mulus dapat terlihat jelas. Dia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika dia menyentuh lehernya itu secara langsung? Atau bagaimana jika dia menciumnya sekarang?
Segera setelah pertanyaan terakhir melintas di kepalanya, Aether segera menggelengkan kepala dan berusaha menghapus pertanyaan terakhir. Dia mengalihkan wajahnya ke samping, tangan menutupi sebagian wajahnya yang sedikit memerah.
Benar-benar berbahaya sekali, bisa-bisanya aku berpikir seperti itu! Sadarlah Aether! Ingatlah kalian belum resmi pacaran, belum resmi!
0 notes
Text
[Sc fic] Seharusnya Hari Ini Adalah Hari Ulang Tahunmu
Cast: Choi Seungcheol
Genre: Slice of Life, Angst
Word Count: 969
Warning: Major character death but only mentioned, as it is the main of the story. It's not Seungcheol, no.
Summary: Semuanya berubah menjadi sunyi. Janji yang pernah disampaikan, pada akhirnya hanya menjadi janji. Dan hidup pun harus tetap berjalan seperti biasanya. Tapi bahu yang kuat itu, pada akhirnya gemetar hebat.
~
Pagi itu, seperti biasa, alarm dari ponsel berbunyi nyaring. Butuh lebih dari sepuluh detik untuk pemilik dari ponsel itu bergerak dalam tidurnya dan perlahan terbangun dari mimpi. Dengan muka kesal, laki-laki berambut hitam yang surainya tergerai menutup matanya itu mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. Lima detik, dua puluh detik, satu menit, sampai akhirnya ia bangun dari tempat tidur dengan enggan. Kedua kelopak matanya masih terpejam, rambut berantakannya yang cukup panjang menghalangi pandangannya dari silaunya cahaya matahari. Dengan hembusan napasnya yang panjang, ia beranjak dari tempat tidur bersprei putih menuju kamar mandi.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, kaki laki-laki itu melangkah pergi meninggalkan pintu depan apartemennya tepat pada pukul 08:30. Setibanya di tempat parkir, ia masuk ke dalam mobil merahnya kemudian melaju menuju studio musik tempatnya bekerja sebagai produser musik. Tenggat waktu pengumpulan draft final tinggal sebentar lagi, ia harus bisa menyelesaikannya malam ini bersama Jihoon, teman sekaligus produser lain di lagu yang sedang ia kerjakan.
“Hai, Cheol.” sapa Jihoon tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer saat pintu studionya terbuka. Choi Seungcheol melempar tasnya ke atas sofa kemudian meletakkan dua gelas kopi di atas meja.
“Sudah sampai mana?” tanya Seungcheol setelah mendudukkan dirinya di atas kursi.
“Ada yang kutambahkan di bridge, menurutku lebih bagus kalau ada instrumen lain. Nanti kuperlihatkan.” jawab Jihoon yang dibalas dengan gumaman oleh Seungcheol.
Hening, tak ada suara selain suara dari komputer Jihoon, hingga akhirnya Seungcheol buka suara.
“Seperti rencana kita minggu lalu, draft ini harus selesai hari ini. Dan besok aku tidak ke studio.”
Kalimat terakhir Seungcheol membuat Jihoon menoleh. Raut kebingungan muncul di wajahnya. “Huh? Kenapa? Sehari setelah draft diserahkan kan biasanya—” Cahaya muncul di mata Jihoon saat ia akhirnya menyadari maksud temannya itu. “Oh… maaf, aku tidak sadar. Ambillah dua hari libur, kau membutuhkannya. Aku akan memberitahu yang lain supaya tidak mengganggumu.”
Senyuman mengulas di wajah Seungcheol. Bukan, bukan senyum senang karena sorot matanya terlihat sedih. Ia mengangguk ke arah Jihoon dan berkata, “Tak apa. Terima kasih.”
Hari berlalu dengan sangat lambat bagi Seungcheol. Berkali-kali ia melirik jam tangannya, yang rasanya tak bertambah lebih dari lima menit setiap ia melihat. Jihoon melirik ke arah temannya sejak duduk di bangku sekolah itu dengan khawatir. Beruntungnya hari itu tak banyak yang harus mereka kerjakan, hanya perlu mengecek beberapa hal dan menghubungi beberapa orang. Tapi tetap saja keduanya baru beranjak keluar dari studio saat jam tangan Seungcheol menunjukkan pukul 10 malam.
Seungcheol memacu mobilnya di jalanan Seoul yang masih penuh dengan orang-orang yang baru pulang kerja atau pulang berbelanja. Beberapa kali ia juga melihat murid-murid sekolah yang baru saja keluar dari tempat les. Salju yang turun dengan lumayan lebat tidak membuat anak-anak sekolah itu berdiam diri di rumah.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Seungcheol terparkir di tempat biasa. Seraya mengeratkan jaket tebal yang ia kenakan, Seungcheol melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai apartemennya. Selama beberapa saat, semuanya terasa hening sampai akhirnya bunyi “ding!” keras terdengar dan pintu lift terbuka. Kaki Seungcheol melangkah keluar, membawanya menuju pintu apartemennya.
Pintu apartemen terbuka perlahan dan lampu menyala otomatis. Seungcheol melirik ke arah vas bunga di atas lemari sepatu saat ia melepaskan sepatunya. Sepertinya besok ia harus membeli bunga yang baru, karena yang ada di dalam vas sudah hampir layu. Dengan helaan napas yang berat, Seungcheol membawa kakinya melangkah menuju dapur.
Udara di dalam apartemen terasa hangat, berbanding terbalik dengan udara musim dingin di luar. Seungcheol menatap ke luar jendela ruang tengah yang tirainya sengaja tak ia tutup. Sejak salju turun pada bulan November kemarin, ia lebih senang membuka tirai jendela agar bisa melihat ke langit malam setiap saat. Sudut bibirnya ia tarik perlahan, menyunggingkan senyum yang terasa lebih hangat dibandingkan senyumnya tadi pagi.
Dengan perlahan, Seungcheol mengeluarkan satu kotak kue yang ia beli dua hari lalu dari dalam lemari es. Diletakkannya kotak kue itu di atas meja dapur, lalu ia mengambil piring dan meletakkan kue di atas piring. Ia membuka laci dan mengeluarkan dua buah lilin berwarna biru serta satu korek api. Sembari tersenyum, ia membawa kue itu ke meja di ruang tengah. Ia berdiri sejenak untuk mematikan lampu, kemudian kembali duduk di atas karpet di depan meja dimana ia meletakkan kue.
Seungcheol menyalakan layar ponselnya. Wajahnya disinari oleh cahaya dari ponselnya, membuat senyumnya yang merekah saat mendapati angka 23:57 terlihat.
“Sebentar lagi.” lirihnya.
Dengan hati-hati, Seungcheol meletakkan dua lilin yang tadi diambilnya ke atas kue. Kemudian dinyalakannya lilin itu dengan korek api. Cahaya temaram seketika memenuhi ruang tengah apartemennya yang sunyi. Bayangan dirinya yang terkena cahaya api dari lilin terlihat di dinding. Seungcheol menoleh pada bayangannya sendiri, lalu tersenyum.
Saat angka di layar ponselnya berubah menjadi 00:00, Seungcheol memejamkan matanya. Dalam kesunyian itu, hanya api pada ujung lilin yang bergerak, memainkan bayangan pada dinding seakan ia hidup. Seraya mengulas senyum, Seungcheol membuka mata dan meniup padam api lilin di hadapannya. Semua kembali gelap, kembali sunyi, dan kali ini Seungcheol tak lagi sanggup menahan air matanya.
“Seharusnya hari ini adalah ulang tahunmu yang ke-tiga puluh. Seharusnya kau masih bersamaku sampai lima puluh tahun lagi. Kenapa kau meninggalkanku lima puluh dua tahun lebih awal.”
Isak tangis itu terdengar semakin kencang. Kedua bahu yang selama ini terlihat sangat kuat kini gemetar hebat. Kesedihan yang menumpuk itu kini tumpah seluruhnya.
Seungcheol membenamkan wajahnya di atas kedua tangannya yang ia letakkan di atas meja. Setiap sudut apartemennya yang berubah sunyi sejak dua tahun lalu, kini dipenuhi gema isak tangisnya. Hatinya sakit, mungkin bila dibandingkan dengan puluhan panah menghujam tubuhnya maka ia akan dengan lantang berkata bahwa hatinya terasa jauh lebih sakit beribu kali lipat. Kekuatannya telah hilang, lenyap bersama hembusan napas terakhir dari orang yang diyakininya menjadi tujuan terakhirnya.
Salju terus turun dengan lebat di luar sana. Angin malam berhembus kencang, menabrak kaca jendela apartemen laki-laki yang masih meneteskan air mata. Entah kapan perasaan sedih itu akan membaik. Mungkin esok, mungkin di tahun yang akan datang, atau mungkin tidak sama sekali.
1 note
·
View note
Text
SAKSI BISU YANG LEKANG OLEH WAKTU
Udara pagi yang panas menyentuh kulit saya, selayaknya udara pesisir, ia lembab, membawa uap air laut, berhembus dengan hangat. Waktu di gawai menunjukkan pukul 7.40 pagi. Seorang Pegawai Jawatan Kereta Api mengumumkan kepada para penumpang kereta api bahwa Kereta Probowangi akan tiba di Peron Jalur 3 dengan pengeras suara diiringi oleh irama stasiun yang khas di benak kita. Saya beranjak dari kursi ruang tunggu dan segera berjalan menuju Peron.
Saya, Ibu, Bapak. Kami bertiga bertolak dari Stasiun Probolinggo menuju sebuah kota dimana kota tersebut adalah kota yang menyimpan banyak memori di ingatan Bapak saya. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 2 jam. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kami selalu ke kota ini dengan mengendarai kendaraan roda 4, namun dengan perkembangan jumlah kendaraan yang begitu pesat sehingga berdampak menimbulkan kepadatan dan kemacetan di jalan maka kami menggunakan moda transportasi massal yaitu kereta api.
Sesampainya di kota ini kami langsung beranjak menziarahi makam orang tua dari Bapak. Selesai dari situ kami beranjak kerumah sanak keluarga yang berada tak jauh dari lingkungan makam.
Sesampainya disana kamipun berbincang panjang lebar menanyakan kabar, ya seperti layaknya orang bersilaturahmi pada umumnya. Kemudian Bapak ingin melihat kondisi rumah Eyang yang telah lama tidak dihuni lagi semenjak beliau meninggal dunia.
Sudah tujuh belas tahun semenjak rumah ini ditinggal selamanya oleh penghuninya. Kami masuk melalui pintu depan, dulunya pintu ini digunakan sebagai pintu masuk bagi tamu-tamu yang akan berkunjung dan biasanya di depan pintu ini yaitu teras rumah, kami senantiasa berfoto bersama keluarga besar Eyang disini tiap tahunnya. Namun sekarang sudah menjadi tempat untuk menaruh meja dan kursi warung kaki lima.
Di dalam ruang tamu kami pun disambut oleh jaring-jaring laba-laba dan pengelihatan saya secara cepat mengarah ke atas, melihat plafon yang terbuat dari kayu ini sebagian telah habis menjadi santapan rayap, bahkan di sisi sebelah barat ruang tamu, plafon sudah runtuh dan rata dengan tanah, sehingga kayu rusuk atap terlihat dengan mata telanjang. Ada sebagian genteng yang runtuh sehingga menciptakan lubang berdiameter setengah meter.
Seketika ingatan saya membawa saya kembali pada saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Tempat ini adalah tempat yang penuh dengan haru karena tiap tahun ketika kami merayakan Hari Lebaran tempat ini menjadi saksi bisu bahwa kami semua melakukan sungkeman dengan Eyang. Saya bergetar dan saat itu saya masih bisa merasakan kehadiran Eyang dan sanak saudara yang lain.
Beberapa perabotan beserta isinya telah diamankan oleh para ahli waris namun ada beberapa perabotan yang ditinggal begitu saja tak bertuan. Lemari-lemari yang sudah kosong dan berlubang, meja-meja tempat menyimpan buku-buku bacaan, album-album foto, beberapa lukisan yang masih tergeletak di sudut ruangan beserta barang-barang lainnya yang tidak turut terbawa. Disalah satu ruangan ada 2 dipan kasur serta besi-besi dari kasur tingkat yang sudah terpisah dan tertata rapi dipinggir ruangan, namun kasur kapuk yang bernasib malang mengeluarkan isinya sampai berceceran di lantai.
Ruangan demi ruangan kami masuki, namun ada ruangan yang sudah tidak bisa kami masuki karena atap dan rusuk kayu sudah jatuh kebawah sehingga ruangan tersebut tidak memiliki atap lagi, menurut saudara kami yang mengantar, terlalu bahaya untuk dimasuki.
“dahulu Bapak pernah tidur semalam diruang tidur ini, dikasur yang selalu menjadi tempat istirahat Eyang, dirumah tua ini sendirian.”
Seketika saya dibuat bergidik!
Jika membayangkan saja, saya rasa memang rumah ini menyeramkan, karena bentuk dan bangunan masih dipertahankan dari dahulu hingga sekarang. Namun, Bapak menganggap bahwa rumah ini adalah rumah tempat istirahat dan tempat paling nyaman di bawah kubah bentala ini. Mungkin rumah ini tempat satu-satunya yang membuat manusia-manusia yang bernaung didalamnya dapat bertahan menghadapi kerasnya hidup pada saat mereka mengakar bersama.
Tetapi sayang, rumah bersejarah ini lambat laun akan dimakan oleh alam. Ketika suatu bangunan buatan manusia sudah tidak terurus dan terawat maka alam pun senantiasa akan mengambil alih, menurut saya itu sudah menjadi hukum alam. Beberapa dari bangunan ini sudah ditumbuhi oleh lumut, semak belukar dan Pohon kersen yang tingginya sudah melampaui rumah itu sendiri di bagian selatan rumah, entah sumur yang ada di situ bagaimana wujudnya. Menurut warga sekitar rumah ini menjadi rumah berhantu yang tak berpenghuni, namun bagi Bapak rumah ini adalah rumah yang menyimpan banyak kenangan dan baginya rumah ini sudah menjadi bagian dalam hidupnya.
sisi depan rumah, teras dan akses pintu masuk tamu
sisi samping rumah, menuju pintu akses keluar masuk keluarga Eyang.
Bagi sebagian besar dari keluarga besar Eyang, Rumah Eyang adalah waktu untuk berkumpul, waktu untuk meninggalkan rutinitas dan kembali menghidupkan hangat kenangan masa lalu di masa kini. Ia berikatan dengan hari-hari ditiap bulan bahkan tiap tahun, dan menjadi penutup sekaligus pembuka satu kenangan baru.
Bagi saya, ia adalah pengingat akan orang-orang baik yang Bapak saya temui di kala itu, orang-orang yang meninggalkan kenangan dan pelajaran. Orang-orang yang selamanya akan menjadi bagian penting dalam hidup, beberapa darinya dipertemukan semesta dengan tidak sengaja.
Rumah Eyang seakan menjadi pengingat bahwa seburuk-buruknya sebuah tahun, akan selalu ada hangat keluarga, teman, dan cinta untuk kita selalu pulang di penghujungnya.
Saya berharap nantinya para ahli waris akan senantiasa kembali merawat dan menjadikan rumah ini tidak lagi menjadi saksi bisu yang lekang oleh waktu.
Tabik.
1 note
·
View note
Text
Reda
Pagi ini, semesta turut berbahagia, menghantarkan Rhea pergi ke sekolah tempatnya akan bekerja, setidaknya 10 tahunan ini, begitu yang tertulis pada perjanjian kerjanya dengan pemerintah.
“Bismillah” ucap Rhea dalam hatinya ketika memasuki gerbang sekolah berwarna hijau, yang sepertinya baru di perbaharui catnya. Kedatangan Rhea disambut dengan seorang Ibu paruh baya.
“Sini mari mba, mba Rhea ya, ayuuk mba masuk sini” Ibu itu menghampiri dan mengulurkan tangannya. Rhea bisa merasakan betapa ramahnya, tempat kerjanya nanti.
Rhea diantarkan menuju meja kerjanya, dan ia bergegas menemui kepala sekolah untuk memeperkenalkan diri.
“Iya, selamat datang mba Rhea, semoga kedepanya kita bisa bekerjasama dengan baik dan kedatangan mba Rhea bisa membawa perubahan yang lebih baik di sekolah ini”, pak kepala sekolah menutup perkenalan singkat kala itu.
“Sekarang mba Rhea, kita ke ruang kerja, nanti sekalian memperkenalkan diri ke guru-guru yang lain”
Rhea berdiri memperkenalkan dirinya. Salah satu hal yang membuatnya lega adalah kenyataan bahwa tidak ada yang mengenal dirinya sebelumnya. Jadi Rhea bisa lebih leluasa.
“Selamat pagi Bapak, Ibu dan teman – teman. Perkenalkan nama saya Rhea Kusuma Anjani. Bapak Ibu, bisa memanggil saya Rhea, saya berumur 24 tahun, saat ini belum berkeluarga, dan merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Senang bisa berkenalan dan semoga kedepannya, kita bisa bekerja sama dengan baik. Terimakasih”
Rhea duduk Kembali dan melihat ekspresi teman – teman kerjanya. Rhea merasa diterima dengan baik dan mendapat sambutan yang hangat. Bapak kepala sekolah mempersilahkan guru yang lain untuk memperkenalkan diri satu per satu.
“Hari ini ada yang tidak masuk di sekolah karena sedang mengikuti diklat mewakili sekolah di Semarang, Namanya adalah Dejan Antares”.
Rhea mengangguk sambil tersenyum.
“Oke mba Rhea, jadi nanti mba Rhea untuk tugas mengajarnya di kelas VI dan juga ada tugas tambahan yaitu untuk membuat lapor bulan, yaitu laporan kepegawain yang harus dibuat setiap awal bulannya, nanti disertai juga dengan tanda tangan absen dari setiap pegawai. Nanti habis ini bisa tanya – tanya ke operator sekolah ya”
“Nggih pak, nanti saya pelajari”.
Rhea pulang kerja dengan hati yang berbunga – bunga. Merasa diterima dan di sambut dengan hangat di tempat kerja dan mendapat lingkungan kerja yang terlihat baik dan supportif satu sama lainnya.
Keesokan harinya Rhea berangkat ke sekolah dengan hati yang riang. Sebagai pegawai baru dan tentu dengan semangat yang masih penuh, ia menjadi yang pertama datang di sekolah. Meletakan tas di kursi dan membersihkan meja kerjanya, yang sedikit berdebu. Ia membawa beberapa barang – barang dari rumah untuk diletakan di meja kerjanya.
“Mba Rhea, hari ini akhir bulan, nanti mba Rhea persiapkan berkas untuk laporan bulanan ke dinas ya, nanti dilampirkan juga absen bulan ini juga.”
“Oh iya mba, siap nanti Rhea selesaikan setelah selesai pelajaran di kelas, mba”
Bagian 2 : Titik Temu
Rhea mengecek kembali absen kepegawaian bulan ini. Ia teringat pesan Bu Sania, untuk membuat lapor bulan yang pertama kali harus ia selesaikan adalah memastikan semua anggota guru di situ sudah melakukan absensi satu bulan. Ia mengecek absensi setiap nama, dan ternyata ada satu guru yang belum melakukan absensi sama sekali. Pak Antares rupanya.
“Bu Sania, ternyata absenya pak Antares masih kosong, sama sekali belum absen Bu” Rhea bertanya pada bu Sania. Rhea selama seminggu di sekolah ini memang belum pernah bertemu dengan Pak Antares.
“Oo, Pak Antares memang tidak masuk Rhe, seminggu ini ia bertugas mewakili sekolah mengikuti diklat di Semarang, tapi hari ini dia udah masuk kok” ucap Bu Sania sambil Bersiap – siap pulang.
“Tapi kok, saya tidak melihatnya ya Bu di kantor” Rhea merasa sama sekali belum melihat Antares .
“Ah pak Antares memang jarang di kantor mba, ia berangkat tapi pangkalannya di perpus sana, paling kalo ada rapat ia baru ke kantor, kamu ke sana aja” Bu Sania berpamitan dengan untuk pulang ke rumah.
Rhea masih terpaku memegang buku absensi, masih memikirkan pak Antares. Dia orang yang seperti apa dan harus berkomunikasi dengan cara seperti apa.
“Rhea, hati – hati ya kalo ketemu pak Antares, jangan kaget” Bu Sania tiba tiba masuk lagi ke kantor hanya untuk mengatakan itu. “Pokoknya hati – hati, jangan kaget, udah itu aja”. Rhea masih duduk dibangkunya, mengumpulkan keberaniannya untuk menemui Antares.
“Ah sudah lah ndak tau nanti gimana” gumam Rhea dalam hati. Ia berjalan perlahan menuju perpustakaan yang berada di ujung sekolah ini. Ia sampai di depan perpustakaan. Dilihatnya ke arah rak sepatu, dan hanya ada satu sepatu perpaduan navy abu dengan merk adidas. Ia berpikir, berarti hanya ada pak Antares di dalam, dan berarti di sekolah ini hanya tinggal Rhea, Antares, dan penjaga sekolah yang belum balik dari sekolah”
Rhea berjalan mendekati pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca. Diketoknya pintu itu 3 kali. “Assalamualaikum”. Dan tidan ada jawaban sama sekali dari dalam. Rhea hanya menertawakan dirinya sendiri sambil menepuk kepala. “Astaga ini bukan rumah orang, dan aku bukan tamu” gumamnya dalam hati.
Rhea membuka pintunya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam perpustakaan. Sepi, dan seperti tidak ada orang. Bagian peminjaman buku juga sudah kosong. Di lihatnya sekeliling, sepertinya ia tidak melihat siapapun di dalam perpustakaan ini.
Rhea yang penyuka buku, perhatiannya terdistraksi sejenak menyusuri buku-buku yang rapi berjajar di rak buku. Dibacanya judul buku tersebut satu per satu sambil sesekali membaca synopsis buku tersebut.
“Siapa ya, nyariin siapa” suara seorang laki laki mengagetkannya. Di lihatnya seorang laki laki sedang duduk di bangku yang disediakan untuk membaca. Sorot matanya tajam, seolah mempertanyakan keberadaan Rhea disini. Rambutnya pendek rapi, dengan kumis, dan jenggot yang sepertinya habis di cukur tipis.
Rhea tanpa sadar terpaku mengamati Antares. “Lho kok diam” Antares menyadarkan Rhea yang sedari tadi diam.
“Maaf pak sa..” Rhea bermaksud memperkenalkan dirinya tadi sudah terpotong oleh Antares
“Iya tau, guru baru di sini kan? Ada apa ke sini”? tanyanya.
Rhea memberanikan diri berjalan mendekati Antares, membawa absensi kepegawaian di tangannya. “Maaf pak, bila mengganggu waktu Bapak, saya mau meminta tanda tangan pak Antares, di absensi kepegawaian untuk lapor bulan nanti pak” Rhe sekarang berdiri tepat di depan Antares. Antares tetap terpaku pada buku yang sedang ia baca.
“Taruh situ dulu aja, nanti aku tanda tangani” Dejan masih belum teralihkan dari buku yang ia baca.
“oh iya pak, saya letakan disini ya” ucap Rhea.
Rhea bertanya – tanya, Antares ini sebenarnya orang yang seperti apa. Ia menebak – menebak dalam pikirannya sendiri. “Sepertinya usianya beberapa tahun di atasku, sorot matanya mengisyaratkan dia orang yang pintar, dari caranya bicara sepertinya orang yang selalu mengungkapkan apapun yang ada dipikirannya, dan tidak peduli dengan orang lain, sedikit menakutkan” gumam Rhea dalam hati.
“Ah ngapain juga aku pikirin, bukan urusanku juga” ucap Rhea sambil berjalan menyurusi Lorong buku. Matanya Kembali terpesona dengan deretan buku itu, tertarik pada salah satu novel karya Tere Liye berjudul Hujan.
Rhea memutuskan untuk membaca buku sembari menunggu Antares menandatangani absensi kepegawaiaanya. Rhea berjalan mencari tempat duduk yang menurutnya paling nyaman. Ia memilih tempat duduk lesehaan dengan bantal dan beberapa meja yang terjajar rapi.
“Perpustakaan ini, sepertinya bakal jadi salah satu tempat favoritku, rapi, dingin, sepi, that’s my favorit” gumamnya dalam hati. Rhea tenggelam dalam bukunya. Membacanya dari kata – ke kata, dari baris ke baris, dari paragraph satu ke paragraph selanjutnya.
Rhea adalah tipe pembaca yang tenggelam ke dalam buku yang ia baca. Seolah olah ia ikut masuk dalam ceritanya. Memaknai setiap paragraph yang ia baca. Waktunya menjadi terlupakan ketika sudah bergelut dengan buku.
Sementara itu, Antares melih jam tangan berwarna hitam di tangannya. Jam hitam favoritnya pemberian Ayahnya sejak 4 tahun yang lalu. Di lihatnya jarum pendek sudah menunjukkan di angka 3 dan jarum Panjang menunjuk di angka 3. Ia bergegas membereskan buku dan laptopnya dan bergegas pulang. Ia berjalan menuju pintu keluar, dan pikirannya tiba tiba menghentikan langkahnya. “Oh iya, absensinya belum ku tanda tangani dan ketinggalan” Antares Kembali dan mengambil absensi kepegawainnya.
Antares menutup pintu perpustakaan dan menguncinya. Antares memang guru tetapi ia mendapat tugas tambahan sebagai ketua perpustakaan. Wajar ia mempunyai kunci perpustakaan. Antares mengambil sepatunya di rak sepatu, dan ia terdiam sebentar. Ada sepatu pantofel hitam di samping sepatunya. Ia tertegun sebentar dan mengingat sesuatu.
“Astaga, perempuan memang merepotkan”. Antares membuka kembali pintu perpustakaan. Ia bergegas mencari pemilik sepatu itu dan ia menemukannya. Seorang perempuan yang sedang tenggelam di dalam bukunya, sambil mendengarkan music favoritnya.
“Dasar anak kecil, polos sekali dia” gumamnya dalam hati
“Mau nginep disini” tanya Antares dengan nada cuek khasnya.
“Haa? Rhea kaget, oo udah jam 4 ya ternyata”..
“Keluar, mau aku kunciin disini, tidur sama buku buku” Antares melontarkan kata kata yang membuat Rhea terkejut.
“Bagaimana bisa orang seperti dia jadi Guru, orang secuek itu, ndak pernah mikirin apa yang dia katakana” gumam Rhea dalam hatinya.
Rhe bergegas keluar dan mengambil sepatu di rak sepatunya. “Kenapa kok tadi belum pulang”? kata Antares sambil mengunci pintu perpustakaan.
“Nunggu kamu absen lha pak,” jawabnya dalam hati.
“Makanya bilang yang jelas, Pak minta tanda tangan absen, ditunggu sekarang ya, kan jelas.” Kata Antares sambil memakai sepatunya.
“Bilang yang jelas, katakan, sampaikan, kamu udah dewasa buat menyampaikan sesuatu dengan jelas” Antares pergi meninggalkan Rhea yang masih terpaku mendengarkan ucapan Antares.
Pipi Rhea mulai basah, tak sadar air mata Rhea menetas. Baru kali ini ia bertemu dengan orang baru dan baru pertama kali ia diperlakukan seperti itu. Antares tidak jahat, tapi hati Rhea yang terlalu lembut untuk menghadapi dunia yang mulai keras menurutnya
Bagian 3 : Antares itu Unik
Hari berikutnya Rhea datang ke sekolah dengan perasaan yang kurang nyaman. Perasaan takut canggung ketika bertemu dengan Antares. Rhea memilih untuk tidak bertemu dengan Antares. Ia merasa malu, sebel, dan sedikit sakit hati dengan ucapan Antares ketika bertemu.
“Mohon maaf pak, saya mau minta tanda tangan bapak untuk laporan bulan ini” Rhea menyodorkan laporan absensi kepegawaian yang sudah dibuatnya.
“Oh ya, letakan di meja ya, nanti saya cek dulu kalau sudah oke nanti saya tanda tangani”
“Oh baik pak, saya ke kelas mengajar anak anak dulu pak”. Ucap Rhea bergegas menuju kelasnya untuk mengajarkan matematika.
Berjalan keluar kantor di pintu ia berpapasan dengan Antares. Rhea menganggukan kepala sambil menunduk ke bawah. Anggukan itu dibalas cuek oleh Antares yang tetap menatap lurus ke depan, seolah – olah Rhea tidak ada. Rhea semakin tidak mengerti Antares itu orang yang seperti apa.
Rhea masuk ke kelas dan mulai menjelaskan beberapa materi pembelajaran tentang planet. Suara ketukan pitu memberhentikan Rhea menjelaskan materi. Antares sudah berdiri di depan itu. “Ada rapat, di tunggu di kantor” kata Antares.
“Iy..” belum selesai Rhea mengucapkan terimakasih Antares sudah bergegas pergi menuju kantor. Rhea memberi tugas untuk siswanya dan bergegas menuju ke kantor untuk mengikuti rapat.
Rhea baru menyadari satu hal. Bahwa tempat duduknya tepat berhadapan satu sama lain dengan Antares.
“Iya, selamat pagi semuanya, hari ini kita akan adakan rapat koordinasi untuk satu bulan kedepan, mungkin ini pertama kalinya untuk Rhea mengikuti kegiatan rapat”.
“Oh iya Rhea, ini untuk laporan kepegawaiaanya sudah saya cek dan sudah benar nanti Rhea tinggal mengumpulkan ke kantor pusat ya” jelas pak Kepala.
“Tapi maaf pak, saya belum tau letak kantor pusatnya, di sebelah mana ya pak” Rhea merasa bingung karena belum pernah sama sekali ke kantor pusat.
“Maaf pak, nanti biar saya saja yang membawanya, kebetulan saya akan ke kantor pusat”. Rhea mencari pemilik suara laki – laki dan matanya menemukan yang mengatakannya bukan lain bukan adalah Antares.
“Oke, Rhea nanti berkasnya di serahkan ke Antares ya, biar nanti Antares yang mengumpulkan”
Rhea mengangguk pelan sambil melihat Antares yang masih focus mendengarkan pak Kepala. Kepala sekolah melanjutkan untuk memimpin rapat. Membahas target – target yang akan di capai dalam satu bulan ke depan, dan membahas hal – hal lainya. Semua anggota focus untuk mencatat dan berdiskusi tentang yang akan di bahas. Rhea belum banyak berbicara, hanya diam mendengarkan dan mencoba memahami situasi rapat.
“Iya, untuk acara rapatnya kira – kira seperti itu. Untuk lain – lain adakah yang ingin menyampaikan, atau ada sesuatu yang ingin di sampaikan”.
“Saya pak, begini pak Saya selama lima tahun ini mengurusi bagian inventaris di sekolah ini dan menjadi petugas inventaris. Saya rasa saya sudah Lelah pak, dan saya mau gentian ada orang lain yang mengerjakan, dan karena kebetulan sekarang ini kita kedatangan Bu Rhea yang kita tau masih muda dan pandai untuk masalah IT, jadi hari kemarin ketika ada form dari pusat mengenai pergantian pengurus inventaris sekolah, saya langsung mengisi untuk sekolah kita diganti dengan Bu Rhea” jelas pak Tegar.
Rhea yang mendengarnya, hanya diam sambil meneguk ludahnya. Menggumam dalam hatinya “bagaimana bisa ia tiba tiba dilimpahi pekerjaan yang bahkan dia tidak ditanyai kesediaanya untuk mengerjakannya”.
“Lho kenapa tidak memberikan informasi dulu kepada saya selaku kepala sekolah ini, harusnya kan memberi informasi dulu nanti kan bisa dibahas bersama – sama” dengan nada yang sedikit tinggi Bapak kepala sekolah memberikan responnya. Semua guru terdiam, dan suasana rapat menjadi hening.
“Iya maaf pak sebelumnya, karena saya takut ketika saya menyampaikannya kepada Bapak saya tidak mendapatkan izin untuk ganti. Maaf juga mba Rhea saya tidak memberi tahu mba dulu” jelas pak Tegar.
“Oh iya pak” Rhea hanya meresponnya dengan tersenyum kecil.
“Yasudah karena sudah terlanjur, mau bagaimana lagi, selama setahun ke depan bu Rhea yang mengurusi inventaris barang di sekolah ini, walaupun ini terpaksa tapi saya percaya Bu Rhea bisa menjalankan Amanah ini dengan baik”
Dengan suara lirih Rhea mengiyakan pernyataan pak kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke depan dan di lihatnya Antares sedang melihatnya, bukan dengan tatapan tajam lagi tapi tatapan iba dan kasihan. Rhea segera memalingkan mukanya, tak di sangkanya Antares punya sisi seperti itu.
Pukul 13.05 selesai rapat dan semua bergegas meninggalkan sekolah. Lagi – lagi hanya menyisakan Rhea dan Antares guru yang di sekolah. Rhea berjalan mendekat menuju meja Antares. “Pak ini untuk lapor bulannya, terimakasih ya pak sudah mau mengantarkan ke kantor” Rhea meletakannya di atas meja. Dan bergegas meninggalkan Antares. Baru beberapa Langkah ia terhenti mendengar suara Antares “Iya sama sama Rhea” ucap Antares dengan nada rendah.
Deg. Rhea takjub, ia mendengar kata kata itu dari Antares. “Kalau mau pulang pulang aja, ndak usah nungguin jam kerja selesai, di sini udah biasa gitu” sambung Antares.
“Iya,” jawab Rhea tanpa memalingkan mukanya.
Rhea duduk di kursinya kembali. Di lihatnya dari dalam Antares sudah pergi dengan motornya menuju kantor di pusat, dan hanya tinggal di sendiri di sekolah ini. Rhea masih tidak habis piker bagaimana bisa dia sekarang ini mendapat tugas tambahan lagi, yang Rhea sendiri tidak tahu tugasnya seperti apa, dan harus bagaimana, dan petugas lainnya siapa. Rhea memikirkan banyak hal di pikirannya sendiri. Ia baru menyadari bahwa dunia kerja memang tidak semudah yang ia pikirkan.
Pikirannya buyar saat sebuah notifikasi whatsapp masuk ke handphonya. Di bukanya sebuah pesan bertuliskan “Anda sudah dimasukan ke dalam grup oleh nomor yang tidak anda kenali”. Rhea sudah bergabung dengan grup whatsapp pengurus inventaris sekolah bersama dengan pengurus barang inventaris sekolah lain. Rhea kembali meletakan handponeya sembari menghela nafas.
Sekarang ia tidak punya pilihan, tidak ada pilihan lagi selain menerima dan menjalaninya. Meskipun entah tidak tahu apa yang akan terjadi di depan Rhea percaya apa apa yang terjadi itu memang yang terbaik untuk di jalani meskipun kadang ia tidak menyukaiinya.
Rhea membereskan meja kerjanya, dan bersiap untuk pulang. Ia kembali mendapati handphone berbunyi kembali. Dilihatnya sebuah nomor tanpa nama, dinotifikasinya. Di bacanya sebuah pesan tertulis “Laporan sudah sampai dengan selamat di kantor pusat”.
Rhea mengerti, sepertinya itu Antares. “Iya terimakasih pak” jawab Rhea. Rhea bergegas pulang ke rumah dengan perasaan yang sedikit lega setidaknya, satu tugas untuk bulan ini sudah selesai.
Sesampainya di rumah, di bukanya kembali chat whatsapp dari nomor tak Bernama tadi. “Oh sudah centang biru dua, tapi gak di bales e dasar, bilang sama sama kek apa gimana” beberapa detik kemudian Rhea sadar itu Antares Rhea, Antares manusia yang cuek dan tidak bisa di tebak.
Bagian 4 : Badai Masalah
“Selamat pagi anak anak, ayok gimana kabarnya hari ini. Hari ini Ibu Rhea akan mengabsen anak anak dulu, silahkan anak anak nanti ketika bu Guru panggil nama anak anak, silahkan anak anak menyebutkan makanan sarapan anak anak hari ini”
“Bu Rhea hari ini seneng sekali anak anak telihat semangat sekali hari ini, sebelum memulai pelajaran hari ini ada yang ingin ditanyakan”
“Bu mau tanya” Dante ketua kelas VI mengacungkan tangannya.
“Iya Dante silahkan, apa yang ingin ditanyakan ya” Rhea mempersilahkan Dante untuk bertanya.
“Begini Bu, kemarin waktu kelas V kan kita iuran uang Bu, untuk acara liburan ke Yogyakarta Bu. Nah kemarin kita ndak jadi liburan ke sana Bu” jelas Dante.
“Iya, Dante, terus gimana Dante”
“ Nah tadi kita sudah tanya ke Pak Desta, terus katanya uangnya sudah diberikan ke Bu Rhea karena bu Rhea wali kelas VI Bu, jadi kami mau minta uang kami kembali Bu” tanya Dante
Rhea terdiam sejenak mendengarkan pertanyaan Dante. Mencoba mencerna kata kata Dante. Ia mencoba tetap tenang dan menjawab pertanyaan Dante.
“Okay, nanti Ibu coba konfirmasikan dulu masalah ini dengan pak Desta ya” kata Rhea dengan tenang.
“Sekarang kita buka bukunya halaman 63 ya” Rhea melanjutkan pelajarannya sampai dengan selesai dengan pikiran yang tidak fokus.
Ketika sudah di bubarkan pulang, ia kembali ke kantor dan duduk termenung. Memikirkan masalahnya tadi.
“Bagaimana mungkin aku yang tidak tahu apa – apa tiba tiba dilibatkan dalam masalah uang yang bahkan aku sendiri tidak tahu tentang hal itu. Bagaimana bisa pas Desta mengatakan kepada anak – anak untuk meminta uang tabungan liburan kepadaku yang bahkan aku tidak tahu jumlahnya berapa rincianya, dan beliau tidak mengatakan apapun kepadaku atau menginformasikan kepadaku” kata Rhea yang tidak habis pikir.
“Kok tega, begitu ke teman kerjanya, kok tega aku yang dijadikan kambing hitam” katanya dalam hati. “Aku gak pernah berpikir dunia kerja akan serumit dan sekeras ini atau mungkin lebih keras dari ini” Rhea semakin tenggelam dengan pikirannya sendiri,
“Mba Rhea,” suara Bu Tea
“Iya bu Tea” jawab Rhea. Bu Tea adalah satu tenaga kependidikan di sekolah Rhea. Mejanya berdekatan dengan Rhea.
“Rhea, aku minta tolong boleh, kan sebentar lagi aku mau cuti lahiran, kira kira 2 bulan Rhea” Bu Thea memulai percakapannya
“Wah iya Bu, semoga lancar – lancar ya Bu lahirannya sampai hari H, nanti Rhea jengukin Bu kalau sudah lahir. Oh iya minta tolong apa Bu, kalau nanti Rhea bisa bantu Rhea bantu.” Jawab Rhea
“Begini Rhea, karena saya cuti, jadinya yang mengurusi bagian administrasi kosong Rhea, kalau sementara Rhea menggantikan saya bagaimana, kalau kemarin saya sudah berdiskusi dengan pak kepala dan paling cocok menggantikan adalah Rhea”
“Eh tapi Bu aku..” Rhea
“Minta tolong banget ya Rhea” bujuk bu Tea
“Iyaaa Bu, Rhea usahakan ya” jawab Rhea. Seberapa usahapun Rhea mengusahakan untuk berkata tidak, tetap saja yang keluar adalah kata iya. Rhea belum mampu mengalahkan ketakutannya untuk berkata tidak.
“Makasih banya ya Rhea, semoga urusan Rhea dilancarkan semuanya, nanti kalau ada hal – hal yang dibingungkan Rhea bisa wa saja ya ke saya, ini untuk laptop yang dipakai untuk administrasi ya..
“Oh iya Bu, terimakasih ya Bu” Rhea menyimpan laptopnya dalam lokernya.
“Ya sudah saya pulang dulu ya Rhea, sudah dijemput suami” bu Tea berpamitan pulang.
Rhea duduk menghela nafas. Sesekali menyesal kenapa mengiyakan permintaan Bu Tea, tetapi kalau menolak juga Rhea akan merasa tak enak hati sepanjang hari. Kalau tidak menolak Rhea juga bingung tidak begitu paham perilah urusan administrasi.
Rhea mengecek handphonenya, ada informasi di grup pengurus inventaris barang untuk mengerjakan laporan bulan akhir tahun. Rhea membacanya sambil duduk, apa yang harus di lakukan astaga. Rhea membaca panduan mengerjakannya dan Rhea mulai menyusun hal hal yang harus ia kerjakan.
“Sepertinya besok aku harus ke kantor pusat dulu, harus instal aplikasi ke pusat, tapi kantor pusat itu teh di sebelah mana, ah aku bisa tanya Antares” pikir Rhea.
“Ah sudahlah pikir besok lagi, aku mau pulang dulu” gumam Rhea dalam hati.
Beberapa menit Rhea sudah sampai Rumah, meletakan tas dikamarnya. Rhea bergegas mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Rasanya begitu gerah dan banyak pikiran yang berlarian di kepalanya.
Usai mandi Rhea duduk di depan rumah bersama orang tuanya, sambil meminum teh dan pisang goreng buatan ibunya yang selalu jadi favorit di rumah.
“Rhea, gimana kamu udah ada teman laki-laki yang serius belum” tanya Ibu tanpa ada aba aba.
Rhea yang sedang minum teh tiba – tiba tersedak.
“Pelan – pelan nduk, ndak usah gugup gitu” kata bapak meledek Rhea
“Ah ibu, kasih aba aba dulu kek kalau mau tanya tentang itu, aku kan kaget” jawab Rhea
“Kalau kamu belum punya, mau ibu carikan ndak, kemarin ada temennya Ibu yang ingin anaknya berkenalan dengan mu Rhea” jelas Ibu
“Toh umurmu sudah waktunya Rhea, sahabat sahabatmu kan juga sudah to Rhea” sambung Ibunya Rhea.
“Anaknya cakep ko Rhea, cekatan dan kelihatanya bertanggung jawab, umurnya dua tahun di atasmu Rhea, gimana Rhea, kamu pikirkan baik – baik dulu ya, siapa tahu memang bisa jadi pasangan Rhea ataupun kalau enggak kan bisa jadi teman Rhea” Ibu berusaha untuk membujuk Rhea.
Rhea yang kurang nyaman dengan pembicaraan ini memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. “Aku masuk duluan ke rumah ya Bu” Rhea meletakan gelas tehnya dan bergegas masuk ke dalam rumah tanpa mengeluarkan satu patah katapun.
Samar samar terdengar “Biarin saja to Bu, biar Rhea yang nyari sendiri toh, Rhea juga masih muda, mungkin juga ada hal – hal yang ingin di gapai, mungkin juga lagi ingin menata hidupnya” bapak Rhea mengeluarkan pendapatnya.
Rhea masuk ke kamarnya, rasanya hari ini entah begitu Lelah sekali, masalah masalah di sekolah yang belum selesai dan sekarang ditambah lagi tentang perjodohan, semuanya berlarian di kepala Rhea, mengajaknya berlarian ke sana kemari.
Rhea membuka hapenya. Entah apa yang membuatnya mencari nama Antares dalam daftar kontaknya.
“Selamat malam Pak Antares, maaf pak saya mau tanya, untuk alamat kantor pusat di sebelah mana, ya pak, saya besok mo kesana pak?” send. Pesan itu terkirim ke pak Antares.
Tidak lama setelah itu sebuah pesan masuk.
Antares : Iya, besok gampang.
Rhea masih tercengang mendapat pesan dari Antares. “Bukankah jawabannya harusnya, petunjuk arah, atau paling gak menjelaskan arah mana yang harus di ambil”
Antares, memang sulit di pahami dan di tebak. Unik.
Bagian 5 : Mencairnya Kutub Utara
Esok harinya Rhea datang lebih pagi ke sekolah. Rasanya ingin datang lebih pagi saja. Ia berjalan memasuki kantor, ada bu Sania dan pak Tegar yang sudah datang ke kantor. Rhea menyapa pak Tegar dan menyalami bu Sania. Rhea meletakan tasnya di kursinya.
Tiba – tiba sebuah mobil hitam masuk ke sekolah. Rhea bertanya – tanya, tamu siapa yang datang ke sekolah sepagi itu.
“Ibu, itu ada tamu sepertinya ada mobil masuk ke gerbang sekolah” tanya Rhea pada bu Sania
“Ndak mungkin sih mba, kayaknya kalo tamu sepagi ini” kata pak Tegar
“ah iya yaaa” jawab Rhea.
Tiba tiba seorang laki-laki keluar dari mobil tersebut. Laki-laki yang semua orang sekolah tau, Antares. Iya Antares yang membawa mobil ke sekolah.
“Weh tumben Pak Antares bawa mobil ke sekolah, ada acara apa ini pak Antares” tanya pak Tegar
“Tidak sih, lagi pingin bawa aja, cuaca lagi panas” jawab Antares asal-asalan
“Dasar” gumam Rhea sambil terkekeh.
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Guru – guru bergegas masuk ke kelas masing – masing. Rhea masih menyiapkan beberapa lembar kerja untuk siswanya.
“Nanti ke kantor pusat jam berapa” suara Antares mengagetkan Rhea, suatu keajaiban Antares bertanya lebih dulu.
“Nanti sekitar jam 10 an pak” jawabku.
“Okay, noted” Antares bergegas menuju kelasnya.
“Tumben tumbenan dia bersikap ramah hari ini, salah makan apa dia hari ini” Kata Rhea dalam hati sambil terkekeh kecil.
Rhea kembali dari kelas dan bergegas menuju kantor, dan bergegas siap siap menuju kantor pusat. Berbekal arah yang sudah diberi tahu bu Sania dan google maps sepertinya Rhea akan bisa sampai di sana. Cuma yang jadi masalahnya adalah jarak yang cukup jauh dari sekolah sekitar 30 km dari sekolah Rhea.
Rhea berjalan menuju parkiran, memakai jaket, dan sarung tangan.
“Mau kemana” tanya Antares yang entah datang dari mana tiba tiba sudah di parkiran.
“Mau ke kantor pusat lha, kemana lagi. Kan semalam saya tanya alamat kan, eh ndak mau di jawab” keluh Antares. Setelah sekian lama Rhea berani menungkapkan apa yang dipikiranya tentang Antares.
“Kan aku bilang gampang besok kan, artinya ya gampang kan, ayok masuk” kata Antares.
“Hah, ke mana” kata Rhea yang belum bisa menangkap maksud Antares.
“Mobil lah, masih tanya. Ayo aku anterin ke pusat, sekalian aku mau isi bensin” jawab Antares mencari – cari alas an.
“Jawaban yang tidak masuk akal, ucap Rhea dalam hati.
“Udah cepet masuk, ndak usah pake lama, kalau ada pilihan yang gampang kenapa harus repot repot pakai motor sih” Antares yang mulai kesal dengan Rhea.
“Memang manusia yang susah di tebak, Antares” kata Rhea pelan. Rhea membuka pintu mobil.
“Kamu mau duduk di belakang? Kamu kira aku supir kamu ? Duduk di depanlah” Antares keheranan melihat Rhea yang justru membuka pintu tengah mobil.
Rhea membuka mobil bagian depan dan duduk di samping Antares yang mengemudikan mobilnya. Tak pernah tepikirkan ia bisa satu mobil dan duduk sebelah dengan manusia paling unik, paling dingin, paling cuek, dan paling menyebalkan di sekolah.
“Dipakai dulu sabuk pengamannya” Antares memastikan Rhea memasang sabuk pengamannya dengan benar.
“Aduh gimana, aku belum pernah memakai sabuk pengaman e.” Rhea benar – benar kebingungan dan tidak pernah tau bagaimana cara memakainya.
“Perhatikan sini” Antares mempraktikan cara memakain sabuk pengaman yang benar. Rhea memperhatikan dengan seksama.
“Udah ah, sini aku pakain, lama kamu”. “Maaf ya aku pakaikan aja” Antares memakaikan sabuk pengaman Rhea, sementara Rhea duduk tak bergerak.
“Udah santai aja, ndak usah tegang di kantor pusat, nanti Cuma install aplikasi untuk inventaris kok, tidak akan ditanyai apa apa” Antares sepertinya memahami Rhea yang sedikit takut karena pertama kalinya ke kantor pusat dan mengurusi inventaris di sekolah.
“Beneran? Kata siapa” tanya Rhea yang keheranan kenapa Antares bisa tahu.
“Kata temanku lah, aku tanya” jawab Antares sambil fokus ke depan.
“Kenapa tanya ke temennya” tanya Rhea yang penasaran kenapa Antares bertanya tentang yang bukan urusannya. Sepertinya dari cerita orang – orang Antares orang yang sangat cuek dan tidak peduli dengan urusan orang lain.
“Udah ah banyak tanya kamu”. Jawab Antares ketus
“Ahahaaahah”, Rhea tertawa tawa sambil melihat Antares
Antares terlihat menahan tertawanya. Rhea menyadari satu hal. Antares tidak secuek yang dia pikirkan, tidak sedingin yang dia kira. Dia punya sisi sisi hangat yang jarang diperlihatkannya di depan orang – orang.
Antares memutar beberapa lagu dari flashdisk yang tertancap di dalam mobil. Rhea menikmati lagu yang diputarkan sambil melihat ke arah depan. Kendaraan berlalu-lalang.
Tiga puluh menit perjalanan, mobil berbelok ke arah sebuah Gedung berlantai dua berwarna putih. Diparkirkannya mobil dan Rhea dan Antares berjalan menjauhi mobil menuju Gedung.
Rhea berhenti sebentar mengecek handphone mencari informasi di grup, mencari ruangan yang ditujunya.
“Udah ayo ikut aku, aku tau lokasinya, percaya aja sama aku” ajak Antares denga begitu yakinnya.
Rhea mengikuti Langkah kaki Antares, ke arah manapun ia pergi. Antares memasuki ruang yang bertuliskan Inventaris barang pusat. Begitu Antares masuk ke ruangan, Rhea menyadari satu hal, begitu populernya Antares di Ruangan itu. Semuanya tau Antares dan menanyakan kabar Antares.
“Wuih pak Antares, lama ndak ketemu dan main ke sini, tumbenan ke sini” tanya salah seorang petugas yang ada di ruangan.
“Oh iya ini, aku nganterin teman aku, petugas inventaris barang di sekolahku mau install aplikasi” Antares memberi kode kepada Rhea agar membawa laptopnya.
“Pak, ini perkenalkan Rhea, pengurus barang dari sekolah saya yang baru” Antares mengenalkan Rhea kepada pekerja di situ.
“oo, Rhea ya namanya. Tenang mba Rhea selama, ada pak Antares, masalah apapun pasti beres”
“ah ndak juga ah” jawab Antares.
Rhea meletakan laptopnya di atas meja. “Mba Rhea, sudah lama kenal dengan pak Antares” tanyanya.
“Belum pak, baru satu bulanan ini, saya kebetulan guru baru di SD saya pak, memangnya kenapa” Rhea penasaran.
“Oh tidak apa-apa, sepertinya Antares perhatian dengan mbak Rhea” kata Bapaknya sambil tersenyum.
“Mana ada Pak, Antares galak dan cuek orangnya pak, eh hahaha” Rhea sedikit menyesal mengapa mengatakannya. Untung saja Antares sudah pergi menyapa teman – teman lainnya di kantor ini.
“ahaha, mbak yang tidak peka. Mana ada laki – laki yang jauh jauh nganterin, dan hari ini pakai mobil kan Antares, yang dia emang sengaja bawa buat nganterin mbaknya. Lagian semalam dia juga whatsapp ke saya, tanya hari ini pengurus barang kegiatannya apa aja. Kalau bukan karena perhatian ya apa lagi mba” jelas Bapaknya.
Rhea hanya tertawa tawa mendengar cerita bapaknya. Semuanya terlihat sangat tidak mungkin. Laptopnya selesai di Install bertepatan dengan Antares kembali ke ruangan itu. Antares dan Rhea berpamitan pulang. Mereka berdua berjalan menuju mobil.
Bagian 6 : Reda
Antares memasuki mobilnya dan disusul Rhea masuk ke kursi depan samping pengemudi.
“Rhea, sabuk pengamannya dipakai” Antares merendahkan nadanya kali ini.
Rhea tertegun mendengar suara Antares yang lembut. Rhea memakai sabuk pengamannya, dan kali ini ia berhasil memakainya sendiri.
“Rhea, kalau kita muter muter dulu gimana, tidak langsung pulang” tanya Antares.
“Boleh Pak, sekalian liat liat jalanan, aku suka di perjalanan” Jawa Rhea sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya.
“Rhea…” panggil Antares
“Iya, kenapa Antares”
“Aku mau bilang sesuatu, tapi jangan dipotong dulu yaa” Rhea menatapnya dan mendengarkannya dengan seksama.
“ Kemarin waktu kita pertama kali bertemu di perpustakaan, pasti kamu kaget kan Rhe dengan bagaimana sikapku ke kamu, bagaimana aku memperlaku kanmu dengan mungkin bisa dibilang tidak baik. Atau perlakuan – perlakuan yang selama ini aku lakukan mungkin sedikit banyak melukai perasaanmu Rhea, aku menyadari itu aku sadar. Tapi aku melakukannya bukan tanpa alasan Rhea. Alasan yang mungkin tidak kamu tahu. Aku ingin kamu menyadari satu hal Rhea, kalau dunia kerja itu keras. Terkadang kamu harus menerima tugas-tugas yang bahkan kamu tidak bisa menolaknya, yang harus kamu kerjakan walau kamu sendiri tidak tahu apa yang seharusnya kamu lakukan untuk menyelesaikannya.” Antares belum selesai berbicara.
“Aku ingin kamu belajar, bahwa orang-orang yang menurut kita baik Rhe ada kalanya ia tiba tiba mengkambinghitamkan kita atas kesalahannya. Ada kalanya ia melimpahkan tugasnya kepada kita. Ada kalanya banyak pekerjaan yang dilimpahkan kepadamu Rhea, sampai kamu kerepotan sendiri mengerjakannya”
“Aku ingin, Rhea jadi orang yang lebih kuat dari Rhea yang dulu, Rhea yang berani mengatakan tidak ketika diminta bantuan oleh orang lain”
“Aku minta maaf Rhea, sepertinya caraku selama ini salah” Antares membernikan diri mengusap ngusap kepala Rhea. “Aku minta maaf ya, Rhea”.
Rhea yang sedari tadi menahan air matanya, tidak mampu menahannya lagi ketika Antares mengusap – usap kepalanya. Rhea merasa ada yang peduli dengannya.
“kamu kenapa Rhea, kenapa nangis e” Antares yang kebingungan kenapa Rhea tiba tiba menangis.
“Pasti, awal awal kerja di sini, terasa berat ya Rhea, ada masalah apa Rhea” tanya Antares menatap Rhea dengan tatapan yang lembut.
“Aku kira dunia kerjaku akan seindah ekspektasiku pak. Anak anak belajar dengan lancar, teman teman dan lingkungan yang saling supportif. Ternyata di awal ini rada rada berat. Mungkin aku yang terlalu lemah dan memang aku belum pernah bekerja sebelumnya”.
“Aku kaget, kemarin tiba tiba dilimpahkan menjadi pengurus inventaris barang di sekolah bahkan aku tidak ditanyai sama sekali apakah aku bersedia atau tidak. Lebih kaget lagi kemarin aku ditagih uang oleh anak – anak mengenai tabungan uang liburannya, yang katanya di suruh oleh salah satu guru di sekolah kita untuk meminta uang ke aku, karena katanya uangnya sudah diberikan ke aku. Kok tega.
“Hah, siapa yang berani gitu ke kamu, kenapa kamu gak bilang ke aku” tanya Antares
“Bagaimana mungkin aku bilang ke kamu, kalau dulu kamu sedingin es di kutuh utara.” Jawab Rhea
“Dan kemarin aku juga dimintai bantuan untuk menggantikan Bu Tea sementara karena cuti hamil, aku ingin menolak, dalam hatiku aku menolak Antares, tapi lagi – lagi yang keluar dari mulutku adalah iya” aku benci sisi diriku yang selalu mengiyakan permintaan orang, Antares
“Nah sekaraang kamu tahu kan, dunia kerja dan dewasa itu, tidak seindah apa yang ada dipikiranmu Rhea. Makanya dulu ketika awal kita bertemu aku bilangkan ke kamu, sampaikan, katakana dengan jelas, kamu sudah cukup dewasa untuk melakukannya”
Rhea mengingat perkataan itu. Perkataan yang membuatnya merasa sedikit terluka waktu itu. Rhea kini memahaminya dengan sangat jelas. Bahwa apa yang dilakukan Antares dan di katakana Antares selama ini adalah untuk kebaikan Rhea.
“Ini kamu minum dulu, tadi aku mampir ke kantin sebentar pas di Gedung, minum dulu, dari tadi belum minumkan” Antares menyodorkan susu kotak rasa strawberry.
“Kok tau, aku suka susu rasa strawberry” Rhea masih tidak mengerti kenapa Antares mengetahui minuman favoritnya.
“Oh Cuma kebetulan, tadi adanya Cuma itu” Antares mencoba mencari alasan.
“Alasan macam ap aitu” Rhea spontan tertawa dan itu membuat Antares ikut tertawa juga.
“Mulai sekarang, Rhea harus jadi anak yang lebih kuat, lebih berani. Kalau ada hal hal yang tidak sesuai dengan prinsip dan nilai Rhea katakan. Kalau ada hal hal yang ingin disampaikan, di sampaikan Rhea. Kamu tidak salah kalau kamu menolak memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan bantuanmu karena kamu memang tidak bisa membantunya. Its okay. Kalau kamu butuh bantuan juga jangan sungkan untuk meminta tolong kepada orang lain. Meminta tolong kepada orang lain juga bukan suatu kesalahan Rhea”
Rhea mendengarkan Antares dengan seksama, sesekali melihat wajah Antares yang hari ini terlihat meneduhkan. Lagi – lagi Rhea melihat sisi Antares yang berbeda dari biasanya. Antares begitu terliahat dewasa sebenarnya. Hanya saja selama ini dia tidak menampilakn sisi sisi itu ketika di depan orang – orang.
“Rhe kalau sama orang tua, juga harus berani untuk menyampaikan pendapat Rhea, dan apa yang diinginkan oleh Rhea. Kalau Rhea missal tidak mau dijodohkan dengan seseorang yang mungkin dipilihkan Bapak ata Ibu juga sampaikan saja. Toh pada akhirnya yang akan menjalani kehidupan berumah tangga kan Rhea. Tapi yang perlu diingat, sampaikan dengan kata – kata yang baik jangan sampai menyakiti orang tua, toh maksud mereka kan baik” Antares menasehati Rhea.
“okay Rheaaaa”? tanyanya Antares sambil mengusap kepala Rhea.
“Iya Pak, Rhea paham” jawab Rhea yang kini bisa tersenyum kembali.
Rhea merasa senang hari ini. Antares tidak sedingin dan sejahat yang pernah ada dipikirannya. Dibalik penampilan luarnya yang begitu dingin, ternyata hatinya sehangat Mentari pagi. Rhea kini tahu dan menyadari, di sekolah ia tidak merasa sendiri lagi. Ia bisa berkeluh kesah dengan Antares, ia bisa berdiskusi dengan Antares.
“Pak Antares, terimakasih banyak ya, untuk kebaikan kebaikan Pak Antares kepada Rhea, yang mungkin ketika di awal Rhea salah dalam menafsirkan kebaikan Pak Antares, Rhea minta maaf ya” Ucap Rhea sambil melihat Antares
“Gak papa kok, namanya juga belum kenal, itu wajar kok, kan butuh waktu juga untuk memahami satu sama lainnya” Antares menjawab dengan begitu santainya.
“Pokoknya kalau besok ada apa apa, atau ada masalah apa, atau butuh bantuan apa, Rhea katakan aja ya, nanti aku bantu sebisaku.” Kata Antares sambil tersenyum
“iyaaa big bos” jawab Rhea sambil tersenyum.
“Dasar anak kecil” gumam Antares dalam hatinya.
“Pak Antares aku tanya sesuatu boleh? Ekspresi Rhea menunjukkan muka penasaran. “Jadi pan Antares hari ini sengaja membawa mobil biar bisa ngaterin aku ke kantor pusat”
“Masih nanya, dasar perempuan tidak peka” keduanya sama sama tertawa.
1 note
·
View note
Text
0823-3737-2255 (GROSIR TERMURAH), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah
0823-3737-2255 (GROSIR TERMURAH), Tempat Membuat Meja Kursi SekolahLangsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6282337372255 , Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah, Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah, Harga Dan Merk Meja Kursi Sekolah Belajar Siswa, Harga Meja Bepajar Sd, Jual Meja Kursi Belajar Anak Smp, Hargameja Kursi Sekolah Sd, Harga Meja Kursi Siswa Dengan Bahan Besi, Harga Savello Meja Kursi Sekolah, Harga Meja Korsi Siswa Sma DiPerusahaan furniture kami menyediakan meja kursi sekolah berkualitas tinggi yang dirancang khusus untuk memberikan kenyamanan, kepraktisan, dan daya tahan yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan pendidikan yang modern. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi nomor berikut.Nomor HP CS: 0823-3737-2255#TempatMembuatMejaKursiSekolah, #TempatMembuatMejaKursiSekolah, #HargaDanMerkMejaKursiSekolahBelajarSiswa, #HargaMejaBepajarSd, #JualMejaKursiBelajarAnakSmp, #HargamejaKursiSekolahSd, #HargaMejaKursiSiswaDenganBahanBesi, #HargaSavelloMejaKursiSekolah, #HargaMejaKorsiSiswaSmaDi
0 notes
Text
0852-8082-8083 (HARGA GROSIR), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Klaten
0852-8082-8083 (HARGA GROSIR), Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Klaten
Langsung ORDER KLIK WA http://wa.me/6285280828083 , Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Klaten, Harga Meja Belajar Murah, Tempat Membuat Meja Kursi Sekolah Kab. Trenggalek, Tempat Penjual Meja Belajar Anak Murah Kab. Halmahera Timur, Distributor Meja Kursi Sekolah Kab. Bandung, Yg Jual Meja Kursi Sekolah Dasar Kab. Subang, Produsen Kursi Siswa Kab. Tasikmalaya, Vendor Meja Kursi Anak Sekolah Kab. Pinrang, Pabrik Meubeleair Sekolah Kab. Nias Utara
Kami adalah menjual meja dan kursi sekolah berkualitas tinggi yang dirancang untuk memberikan kenyamanan dan daya tahan bagi para siswa. Dengan bahan baku terbaik dan desain ergonomis, produk kami memastikan anak-anak dapat belajar dengan optimal dalam lingkungan yang nyaman dan mendukung. Setiap meja dan kursi dibuat dengan teliti, memperhatikan setiap detail untuk memastikan keamanan dan keawetan. Jangan ragu lagi pilihlah produk kami dan dapatkan diskon menarik
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi nomor berikut.
Nomor HP CS: 0852-8082-8083
#TempatMembuatMejaKursiSekolahKab.Klaten, #HargaMejaBelajarMurah, #TempatMembuatMejaKursiSekolahKab.Trenggalek, #TempatPenjualMejaBelajarAnakMurahKab.HalmaheraTimur, #DistributorMejaKursiSekolahKab.Bandung, #YgJualMejaKursiSekolahDasarKab.Subang, #ProdusenKursiSiswaKab.Tasikmalaya, #VendorMejaKursiAnakSekolahKab.Pinrang, #PabrikMeubeleairSekolahKab.NiasUtara
0 notes
Text
did it hurts your feeling?
Martin
Kegiatan sekolah akhir-akhir cukup padat, banget malahan. Bukannya gue ingin mengeluh, tetapi memang kenyataannya begitu. Besok adalah hari pemilihan ketua OSIS baru, yang mana hal itu berarti jabatan gue sebentar lagi akan segera berakhir.
Dari semua kandidat yang ada, menurut gue nggak ada yang kurang sedikitpun mengenai potensi kepemimpinan yang mereka rancangan, cuma hal itu tetap aja kembali kepada semua siswa yang memilih nantinya.
Berhubung besok adalah hari pemilihan ketos baru, maka mau tidak mau gue masih harus stay di sekolah dengan beberapa teman osis untuk menyiapkan beberapa keperluan selama berlangsungnya acara besok pagi, termasuk juga Ela yang menjadi wakil gue selama ini.
"Lo siap lepas jabatan ini?" tanya Ela sambil menggulung kabel yang berantakan sedangkan gue masih sibuk mencari-cari mic cadangan didalam lemari.
Gue tersenyum pada saat itu ketika mendengar pertanyaannya.
"Semua hal yang sudah dimulai, pasti akan menemui akhirnya. So, I'm ready."
Elana Seinandan. Gue, Ela dan Maren memulai persahabatan ini sejak kelas 5 SD. Dimana pada saat itu Ela adalah warga baru di komplek perumahan yang keluarga gue tempatin. Tempat tinggal Ela tepat didepan rumah gue, yang mana hal itu membuat gue dan Maren lebih sering ketemu ketika akan berangkat menuju sekolah diantarkan oleh Papa. Semua dimulai ketika saat itu gue mendapati sosoknya tengah duduk sendirian didepan sekolah untuk menunggu orang tuanya menjemput. Saat itu keadaan sudah lumayan sepi hingga akhirnya Papa meminta gue untuk menghampirinya dan mengajaknya pulang bersama. Ela kecil itu pendiam, sebenarnya masih sama saja dimata gue hingga saat ini. Yang membedakan adalah cara berpikirnya sudah mulai dewasa seiring berjalannya waktu.
"Semua hal yang sudah dimulai, pasti menemui akhirnya." ujarnya mengulangi perkataannya gue lalu tersenyum tipis.
"How about you? Sudah siap nggak gue repotin lagi?"
Dia tertawa kecil sambil mendudukkan dirinya di kursi yang berada didepan gue, hingga posisinya sekarang adalah gue berdiri didepannya.
"Really? Well, sebenernya lo ngerepotin pas lagi resek doang sih, sisanya gue biasa aja." jawab dia dengan tangan yang sibuk merapikan barang-barang di atas meja.
"Emang kalau gue resek gimana?" tanya gue dengan penasaran.
"I can't talk to you. Lo lebih banyak diem, ngerjain apa-apa jadi sendiri. At that moments i feel useless."
Sore itu gue dibuat terdiam sesaat. Gue tiba-tiba teringat dengan insiden kita berantem bulan lalu hingga berakhir dia memblokir semua akun gue. Kita jarang berantem, dan sepertinya insiden waktu itu memanglah cukup parah.
"I am so sorry. Gara-gara Claire kita jadi berantem waktu itu." kata gue.
"Nah, I'm not talking about that fight." katanya dengan nada bicara yang sedikit datar.
Gue cukup memaklumi hal itu karena gue yakin Ela pasti masih merasa kesal.
"Did it hurts your feeling?"
"What?" tanyanya.
"When we don't talk to each other."
Entah apa yang ada dipikirannya pada saat itu hingga membuat Ela tidak langsung membalas pertanyaannya gue dan malah memilih untuk beranjak dari duduknya.
Dia mengambil tas miliknya dan bersiap untuk pulang. Ketika tubuhnya sampai dekat pintu, ia pun menghentikan langkahnya.
"You wanna know the answer?"
"If you want to let me know." jawab gue.
"Yes."
8 notes
·
View notes
Text
Tentang Masa Kecil
Ngeliat anak-anak kecil main sambil teriak-teriak depan rumah, aku jadi kangen masa kecilku.
Aku nggak tinggal di perumahan elit macam Pondok Indah yang rumah-rumahnya mewah dan besarnya segede dosa. Aku juga nggak tinggal di perumahan yang punya gerbang besar dengan satu satpam yang jagain di depan. Rumahku juga bukan di komplek yang tiap rumah bentukannya sama semua. Bukan di pinggir jalan, bukan di tengah kota, buka di antara gang sempit, bukan juga di pedesaan. Agak susah jelasinnya.
Rumah-rumah di tempatku tinggal ini saling berdekatan. Ukurannya nggak terlalu besar cenderung kecil (kalo dibandingin sama rumah-rumah di Pondok Indah). Orang-orangnya nggak individualis. Kita semua saling kenal dan berinteraksi satu sama lain.
Kalau bulan Ramadhan, suka diadain buka puasa bersama. Karena jalanan rumah kami bukan jalan utama, kami bisa leluasa menggelar matras besar di jalanan untuk diduduki. Tiap orang saling membantu sesuai kemampuannya. Karena garasi, teras, dan ruang tamu di rumahku cukup luas, kami menyediakan tempat untuk memasak dan duduk-duduk. Tetanggaku yang punya usaha ayam goreng menyumbangkan ayam-ayamnya untung dijadikan lauk-pauk. Tetanggaku yang punya usaha kue basah membuat kue di loyang besar untuk dijadikan takjil. Kami yang masih kecil waktu itu cuma sibuk bantu-bantu bikin es buah dan sesekali membantu bapak-bapak merapikan matras. Selesai buka puasa, kami semua langsung shalat Maghrib berjama’ah di matras. Lantas ramai-ramai pergi ke masjid terdekat untuk shalat Isya’ dan Tarawih.
Dulu di daerah rumah kami ada semacam gudang tak terpakai. Kosong, kotor, dan kadang jadi tempat kucing liar melahirkan. Lalu kami semua berpatungan untuk merenovasi gudang tersebut menjadi musholla. Kami yang anak-anak menyisihkan uang recehan lalu ditaruh di dalam kotak, lantas kami berikan ke orang-orang dewasa di kotak untuk jadi uang tambahan. Perlu waktu setahun sampai gudang tersebut benar-benar jadi musholla. Orang tua kami membeli karpet dan rak buku serta meja-meja kecil. Musholla tersebut kemudian dipakai sebagai tempat mengaji anak-anak sehabis Maghrib. Kadang jadi tempat kami bermain masak-masakan, atau tempat anak-anak cowok istirahat selepas main bola atau layangan. Kadang juga jadi tempat bapak-bapak dan ibu-ibu untuk rapat.
Semasa SD, aku dekat dengan teman-teman rumah. Anak-anak sepantaranku hampir semuanya laki-laki, jadi aku tumbuh dengan bermain bola, layang-layang, dan menerbangkan burung merpati. Kadang aku ikut anak-anak perempuan yang lebih kecil main masak-masakan. Kadang anak laki-laki juga ikutan. Mereka jadi pelanggan, kadang juga jadi pencuri. Biar dramatis aja permainannya. Kalau liburan kami suka bermain ke rumah salah satu teman hanya untuk menonton film bareng di televisi, lalu pulang menjelang Ashar. Kadang mereka main juga ke rumahku untuk main game yang ada di komputer: Feeding Frenzy, Wedding Dash, Varmintz, Iggle Pop, Zuma, Insaniquarius, atau kadang main game internet games.co.id. Kadang juga menonton film dari CD yang ayah beli atau sewa di tempat penyewaan CD, atau menonton Youtube “kursi goyang” yang legend itu. Kadang juga kami bermain congklak, UNO, atau kotak pos di ruang tamu rumahku.
Sore-sore sepulang sekolah, kami biasa bermain permainan tradisional anak-anak. Permainan baru selesai menjelang Maghrib. Kadang setelah itu kami bertengkar karena ada yang bermain curang, lalu besok lupa lagi. Kalau hari Minggu kami suka jalan-jalan naik sepeda, entah kemana. Hanya berbekal komando teman yang paling tua, tiba-tiba saja kami sudah nyasar ke tempat antah berantah yang penuh ilalang. Kadang kami mengunjungi rumah teman yang sudah pindah. Singgah sebentar buat numpang makan, lalu kembali jalan-jalan.
Dulu di daerah rumah kami juga ada satu kucing legend yang sudah bertahun umurnya. Aku beri nama dia Bellatrix, tapi teman-temanku yang lain lebih suka memanggil dia Belang Tiga. Kucing ini janda beranak banyak. Tiap tahun Bellatrix melahirkan anak. Tahun ini di rumahku, tahun di depan melahirkan di rumah tetanggaku yang lain. Tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa suami Bellatrix. Dia kadang suka tak terlihat beberapa lama, balik-balik perutnya sudah membesar. Anak Bellatrix kemudian tersebar di mana-mana. Mungkin kalau kamu lihat kucing di Pondok Gede, bisa jadi dia anaknya Bellatrix. Tiap hari kami memberi dia makan. Kadang dia sendiri yang inisiatif nyolong ikan di meja makan. Bellatrix juga yang jadi tersangka utama hilangnya ikan-ikan di kolam ikan kecil depan rumahku, yang kemudian jadi salah satu alasan kenapa akhirnya ayah menutup kolam ikan tersebut. Dulu aku juga punya hamster. Namanya Rosita, Rabbi, dan Kimmy. Tiap hari kami memberi mereka kuaci. Kadang suka aneh kami kasih pinggiran roti dan Koko Krunch. Karena ketidakprofesionalan dalam merawat binatang, tiga hamster itu bergiliran mati satu-satu. Aku menangis tujuh hari tujuh malam waktu itu. Dari situ aku sadar aku memang nggak berbakat kerja di dunia hewan-hewanan.
Aku harusnya belajar buat UTS Kapital Sosial, tapi aku malah ke Tumblr nulis ini. Tapi emang aku lagi kangen banget jadi anak kecil. Yang tiap pulang sekolah langsung ganti seragam buat main dengan teman-teman. Atau buat nonton Laptop si Unyil dan si Bolang di televisi. Yang hari Minggunya dihabiskan dengan jalan-jalan main sepeda bukan ngerjain tugas. Yang tetap dapat nilai bagus di sekolah walaupun jarang belajar. Yang nggak perlu anxious sama notif WA karena dulu memang nggak ada HP. Sekarang aku paham kenapa Peter Pan betah banget di Neverland. Karena ternyata nggak ada yang menarik dengan jadi dewasa.
But life goes on. Aku nggak mungkin kayak Peter Pan yang jadi anak kecil selamanya. Pun teman-temanku sekarang sudah tumbuh dewasa. Sewaktu teman-teman seusiaku lulus SD, sebagian besar dari kami masuk pesantren, termasuk aku. Lambat laun jalanan rumah jadi makin sepi. Beberapa tetanggaku pindah rumah, berganti dengan penghuni baru yang tidak aku kenal. Aku dan teman-temanku juga jadi canggung. Hanya tersenyum samar kalau bertemu.
Rumahku pun juga sudah berbeda. Dulu catnya warna-warni hijau, kuning, biru, dan peach, sekarang semua sudah dicat abu-abu dan krem. Kolam ikan kecil depan rumah yang dulu suka jadi tempat kami main air sudah ditutup. Komputer yang dulu kami gunakan untuk main game juga sudah tidak ada. Televisi tabung dan DVD player yang jadi tempat kami nobar juga sudah diganti dengan yang lebih modern. Meja belajarku yang dulu dihiasi striker Barbie dan Hello Kitty, telah berganti dengan meja belajar polos yang dihiasi tempelan post-it tugas-tugas kuliah. Rak buku di kamar yang dulu isinya kumpulan buku KKPK dan majalah Bobo, berganti dengan rak gantung yang isinya buku-buku Pengantar Sosiologi, Konstruksi Media Massa, Sosiologi Pembangunan, Komunikasi Lintas Budaya, dan apalah itu buku tebal yang sebenernya nggak pernah aku baca.
Ternyata emang bener. Aku udah bukan anak-anak lagi.
hahaha.
2 notes
·
View notes
Text
[13] Satu Yang Tak Bisa Lepas
Tubuh itu bergetar hebat diikuti dengan kursi yang didudukinya ikut terguncang, matanya ia pejam secara paksa menimbulkan kerutan di dahi yang telah dipenuhi keringat dingin, tangannya menggenggam tangan lainnya bermaksud menguatkan. Giginya ia gertak dengan keras, napasnya tak beraturan, suara berisik timbul dari bibirnya yang kini sudah memucat. Orang-orang disekitarnya hanya melihatnya ingin tahu lalu pergi dengan abai, bahkan orang di meja sebrangnya memotret tubuh itu tanpa permisi kemudian tertawa pelan.
Tentang Dian
Sebuah suara menyapa telinganya bersama hembusan angin yang menerpa wajahnya. Sekarang bibirnya yang jadi korban gigitan, suara napasnya terdengar jelas akibat dari napas yang semakin tak beraturan, air matanya menetes di antara kerutan paksa di kelopak matanya. Tiba-tiba sebuah pelukan datang dari arah sampingnya.
"Jangan takut Dian, aku ada di sini sama kamu," ucap seseorang itu yang malah membuat pemuda bernama Radian itu semakin kencang menangis.
"Pergi! Sana pergi jauh," teriak Radian sambil melepaskan tangan yang memeluknya. "Lu tuh gak nyata! Bisa gak sih bikin gue tenang sekali aja, gak usah datang lagi dan seolah lu tuh masih hidup."
Dengan teriakkan dan tangisannya itu, Radian sukses menjadi pusat perhatian orang-orang. Radian sadar dengan semua aksi yang ia lakukan di tengah keramaian ini, tapi ia sama sekali tidak dapat menahan semuanya, ia kehilangan kontrol akan dirinya sendiri. Mungkin esok hari sosok Radian dengan kegilaannya ini akan menjadi bulan-bulanan masyarakat di sosial media karena ia yakin orang yang berbondong-bondong melihat hanya menjadikannya bahan hiburan semata.
...
Enam bulan yang lalu.
Aku masih di sini Alin, menanti harap yang yang sudah pasti tak tergapai. Di bawah pohon cemara yang akarnya semakin tua dimakan masa. Akar itu meliuk membentuk pangkuanmu yang sering kali menjadi sandaranku kalau hujan tengah menimpa hariku.
Malam ini juga hujan Alin, langit benar-benar menghitam karena tak seorang pun menemani rintik yang semakin deras berjatuhan. Kilat petir dengan gemuruhnya tak ingin nampak, menambah kesan pilu pada diriku yang malam ini masih diam terbujur kaku di depan jendela kamar. Aku terus mengalihkan pandanganku ke ujung jalan yang sepi di bawah sana, barangkali kamu datang dengan payung kuning kesukaanmu, melukiskan secarik warna pada bumi yang malam ini meringkuk sendu.
Apa kamu tahu Alin? Kabar hilangnya pesawat di penghujung bulan Oktober itu membawa papahku pulang dan kembali pergi. Papahku Alin, yang kamu cintai atau mungkin sempat kamu cintai. Yang kau pilih sore itu di bawah pohon cemara yang pucuknya ramai bersenandika. Aku kira sore itu kamu mau menggenggam kembali tanganku yang sedikit dingin karena beberapa hari kebelakang kau tak kunjung menemuiku lagi, tetapi nyatanya kamu mengucapkan kata-kata yang masih lekat dalam ingatanku.
"Dian maaf," ucapmu sore itu sambil menundukkan wajah cantikmu. Aku tak langsung menjawab, memalingkan pandanganku ke arah lain berusaha menyeka air mata yang memaksa mengalir.
"Kenapa?" tanyaku dengan suara parau.
"Aku tak punya pilihan lain selain itu, aku juga punya mimpi sepertimu."
"Mimpi? Dengan menghancurkan keluargaku?" kataku dengan emosi yang meradang, aku lihat kamu juga ikut tersulut.
"Udah aku bilang, aku gak punya pilihan lain selain menerima ajakkan papahmu. Aku ini bukan orang yang berada, enggak sepertimu Dian yang bisa dengan mudah mendapatkan apapun yang kamu mau." Kini aku dapat melihat wajahmu dengan jelas, tapi rasanya memuakkan.
"Tapi Lin ini tuh jalan yang salah! Masih ada cara lain yang bisa aku bantu."
"Cara apalagi? Aku juga berusaha di sini, aku enggak semata-mata melakukan hal ini Dian."
"Astaga Lin, Aku gak pernah nyangka kamu mau melakukan hal sebodoh itu." Aku memegang kepalaku frustasi. Kamu pun diam membisu dan kembali menundukkan kepala.
"Besok, aku pergi."
"Dan mulai besok jangan temui aku lagi," pasrahku sambil meninggalkanmu yang menangis tersedu-sedu di bawah pohon cemara itu.
Terkadang aku bingung dengan perasaanmu, apa kamu benar-benar menangis karena meninggalkanku atau menangis karena bimbang memikirkan mana yang lebih menguntungkan untukmu, aku atau papah.
Keesokan harinya aku berbohong Alin, aku turut mengantarkanmu ke bandara tanpa sepengetahuanmu. Kamu begitu cantik menggunakan dress merah muda itu dengan senyuman bahagia yang terpancar jelas di wajahmu, tanganmu tak tinggal diam, menggandeng tangan papahku yang gagah dengan seragamnya. Hari itu baru pertama kalinya aku menelan rasa manis dan pahit bersamaan.
Aku muak dengan rasa yang tak kunjung reda ini Alin, di satu sisi aku sangat membencimu. Rasanya aku ingin memutarkan takdir yang bersemayam dalam darahku atau membelokkan alur yang selama ini tengah berjalan. Tuhan benar-benar pandai menulis skenario kehidupan sampai aku bermimpi menjadi Tuhan. Aku telah gila, Lin.
Semenjak kamu pergi hari itu, aku jadi menutup mataku kalau melihat wajah papah di rumah. Tak ada lagi sapa hangat yang aku layangkan padanya. Kamu seharusnya beruntung Lin, karena aku tidak memberitahu ibu tentang hubungan gelapmu itu. Aku sendirian berjalan di jalan pilu ini Lin, memikul duka-duka yang malah semakin meradang dan nyatanya bukan hanya duka saja di sini, ada juga kaidah rindu di dalamnya yang semakin membuat perasaanku limbung tak tentu arah.
Seperti yang aku lihat sekarang, hujan semakin deras, langit sempurna menghitam, tak ada gemuruh apalagi rembulan. Mungkin hujan adalah bentuk iba Tuhan pada orang-orang yang patah hati dan kehilangan. Kalau saja kamu bisa terbang dan melihatku langsung di balik jendela lantai dua ini, kamu akan melihat deraian aliran air di wajahku yang pucat pasi.
Satu hari setelah kabar papah akan pulang besok, pundakku yang memang lesu semakin merunduk berbanding terbalik dengan ibu yang bersiap ke pasar membeli beragam bahan yang akan diraciknya menjadi makanan yang membuat perutku kenyang. Sering kali aku membayangkan bagaimana peran ibu digantikan olehmu jika papah benar-benar menjual hatinya, aku kembali meringis dengan jutaan ranting pohon cemara yang menusuk ulu hatiku. Aku juga mendengar kamu ikut pulang dari studimu di Ibukota sana, ada bisikkan rindu yang memaksa diutarakan kepadamu namun bisikkan itu aku tepis susah payah dengan tamengnya ibu.
Hari itu aku sedang menalikan sepatu, bersiap berangkat sekolah, di dapur tercium aroma khas masakan ibu. Kabar hilangnya kontak pesawat yang dikemudikan papah sontak membuat aku dan ibu berpandangan kaku, kalau diingat lagi hari itu seluruh sarafku seperti terputus dalam hitungan detik. Walau aku sudah terlanjur membenci papah, rasa sesak karena kehilangan itu masih tercipta di hati ini Alin. Kehilangan itu semakin terasa ketika sekelebat wajahmu terlintas di kepalaku. Kini papah benar-benar pulang bersamamu.
Beberapa hari berlalu, peti mati datang ke rumahku diikuti rangkaian bunga ucapan belasungkawa. Aku tak kuat melihat isi peti itu, ibu menjadi bisu Alin, jiwanya ikut mati dalam peti itu. Orang-orang berdatangan mengucapkan turut berduka cita. Aku yang menguatkan diri menyapa beberapa dari mereka dan menyiapkan acara pemakaman dengan kedua mata yang sembab.
"Radian, turut berduka cita. Semoga papahmu diterima amal baiknya di sana," kata salah satu kerabatku.
"Iya tante, terima kasih sudah datang."
"Kalau boleh tahu, kecelakaannya tuh bagaimana? Kok bisa sih, kan papahmu bisa dibilang udah terbiasa terbang."
"Iya Dian, kok bisa sih kaya gitu," ucap yang lainnya.
"Ih ibu-ibu gak tahu ya itu ada di sosial media penjelasannya," sambar yang lainnya.
"Tapikan itu masih diselidiki. Kita gak tahu gimana kebenarannya."
"Ibu tahu gak sih, si Mbah Kangkung pernah meramalkan ini."
"Masa sih bu, hari gini masih percaya gituan. Apa mungkin ini tuh konspirasi ya?"
Aku hanya diam saja Lin, mendengarkan celotehan asal yang keluar dari mulut orang tua sok tahu itu. Terkadang aku bertanya apa orang benar-benar datang kesini untuk turut berduka cita atau hanya ingin sekadar tahu alasan kematian seseorang dan berdiskusi di depan peti matinya. Pertanyaan seperti itu selalu aku dapatkan tidak hanya sekali dua kali, sepertinya aku adalah narasumber gratis untuk memenuhi keingintahuan mereka tanpa memikirkan keluarga yang berduka. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan acara pemakaman menjadi salah satu tempat wawancara yang sekaligus menyediakan konsumsi.
"Radian, turut berduka cita," ucap seorang temanku.
"Turut berduka cita, Radian." Susul yang lainnya dari belakang. Baru aku mau menjawab keduanya.
"Eh Dira? Apa kabar? Udah lama kita enggak ketemu."
"Merisa? Baik nih mer, apa kabar kamu? Ih sumpah yah selesai kelulusan semuanya pada berpencar."
Aku hanya diam dan terasingkan melihat mereka yang bertukar kabar di depanku. Apa kematian seseorang juga adalah ajang reuni dadakan? Aku semakin heran Lin.
Aku masuk ke dalam rumah, figura foto papah yang gagah dengan seragamnya terpampang jelas di depan petinya. Di samping peti itu ibu menangis dalam diam sambil mendekap foto papah yang lain. Tiba-tiba flash kamera menyorotiku dan ibu disusul orang yang datang dengan keadaan tangannya memotret peti papah. Aku bisa menebaknya Lin, kecanggihan teknologi membuat orang-orang melakukan apapun demi mendapatkan ketenaran dan perhatian orang lain dengan mudah. Itu pamanku Lin, seorang jurnalis abal-abal yang selalu memotret dan membagikan segala informasi fenomenal lewat aplikasi WhatsApp yang informasinya tak pernah benar. Sepertinya kematian papah akan mendatangkannya rezeki bagi banyak orang karena kabarnya menarik untuk diperbincangkan.
Alin, setelah acara pemakaman itu orang-orang pulang meninggalkan aku dan ibu yang masih berkabung di rumah. Malamnya hujan menyerobot berdatangan membasahi tenda yang belum dirapikan. Papah sudah kembali ke bumi setelah lama mengudara. Ibu masih diam mendekap foto papah di ruang tengah. Aku berdiam kaku di kamar sambil bulak balik menyuruh ibu beristirahat. Lampu dirumahku rasanya meremang dan sunyi ikut bertamu melewati pintu depan yang belum tertutup karena menunggu tukang yang membereskan tenda.
Padahal Lin, biasanya aku sering berdua dengan ibu, tapi suasana ini terlalu asing dan menyesakkan. Bayang-bayang papah masih lekat di kepala ini Lin, ikatan batin yang menjalin ini memang susah untuk diputuskan. Bahkan aku lupa dengan kabarmu yang sudah ditemukan atau belum, yang sudah berpulang atau masih mengawang.
Tiga hari setelah kejadian itu, ibu masih belum beranjak dari sana. Dapur masih sepi dari peradabannya. Aku hanya memakan mie instan karena hanya itu yang dapat aku masak sambil sering kali membujuk ibu memakannya juga. Kakiku masih lemas digerakkan Lin. Aku masih belum kembali hidup seperti sediakala.
Hujan terus mengguyur rumahku setiap malam dengan aku yang menatapnya di balik jendela kamar. Belum satupun rembulan menemuiku setelah papah berpulang. Aku masih berharap kamu hidup dan bertamu ke rumahku, biarlah kedatangan itu bukan untukku, tapi untuk papah.
Setiap hari aku berharap, semakin lama juga wujudmu nyata. Aku sering melihatmu berlalu lalang kebingungan di depan gerbang rumah. Entahlah itu kamu atau bukan tapi yang jelas aku semakin gila Lin.
...
Radian terbangun dari tidurnya yang lelap, ia memandangi keadaan ruangan yang sekarang terang benderang dengan beberapa lampu yang masih menyala. Ia menatap ke arah pinggir, tirainya masih tertutup. Ia merenggangkan badannya dan bangkit duduk. Radian mengingat percakapan panjangnya dengan seseorang di balik tirai itu kemudian ia tersenyum. Senyum itu tak memudar sedetik pun saat ia meraih kertas di meja samping tempat tidur.
'Lin akhirnya aku berhasil menuliskan takdir seseorang, Ruth benar-benar hidup! Sekarang aku sudah menjadi Tuhan.'
3 notes
·
View notes
Text
The man that I loved.
alunan lagu di kafe kecil dekat taman kota bagiku sangat cocok sekali dengan suasana kafe hari ini. ramai, namun tidak terlalu sesak. pas. laptopku sudah sedari tadi aku matikan dan kumasukan ke dalam tas cokelat kulit di kursi sampingku yang aku beli di pameran kampus beberapa tahun lalu, saat aku masih menikmati perubahan masa-masa sekolah menengah menuju dunia perkuliahan. aku tipe orang yang selalu menjaga barang-barang disekitarku dengan sangat baik. dan akan lebih kujaga lagi jika barang tersebut merupakan barang kesayanganku. barang yang menurutku sangat berharga dan aku akan menyesal jika kehilangan barang tersebut.
kembali ke suasana kafe hari ini, orang-orang mulai berdatangan. mungkin karena hari mulai menunjukkan waktu istirahat. di cuaca panas seperti ini, pekerja kantoran mungkin memilih tempat untuk sejenak membeli minuman dingin yang segar walaupun bukan signature dari kafe ini. namun, kembali lagi, orang tidak akan menghabiskan istirahat makan siangnya di kafe, bukan? Berbeda dengan aku yang freelancer yang tidak mengharuskan untuk berkutat seharian di depan meja kerja dengan laptop menyala. atau mungkin ada sedikit kesamaan dari pekerjaanku sebagai penulis ini, dengan pekerja kantoran. sama-sama bekerja di depan laptop dan terkejar deadline. yah, mungkin aku harus lebih bersyukur karena aku masih bisa menutup laptopku sejenak dan berjalan keluar rumah ketika aku sedang penat dengan tulisanku yang semakin lama semakin kulihat hanya seperti omong kosong. aku yakin pekerja kantoran tidak akan memiliki kebebasan sepertiku ketika mereka penat di siang hari. ugh, semakin membuatku merutuki pilihanku untuk memilih tempat bertemu di kafe. apa seharusnya aku memilih restoran agar saat Ia bertemu denganku, bisa sekalian makan siang? agar tidak menyia-nyiakan waktu istirahat makan siangnya yang berharga.
dia adalah jeon wonwoo. lelaki itu terdengar bersemangat ketika mengetahui kabar bahwa aku sudah berada di kota kami kembali setelah beberapa tahun kemarin pergi ke luar kota, bahkan sempat ke luar negeri untuk beberapa saat. aku yakin, cho seungyoun, makhluk paling ramai yang pernah aku kenal itu entah memberikan informasi secara pribadi pada jeon wonwoo atau membagikan kabar tersebut di media sosialnya seolah aku adalah orang paling penting yang semua pengikut media sosialnya harus tau kabar bahwa aku sudah pulang. dia memang seperti itu. kalau boleh jujur, aku sendiri juga bingung dengan alasan mengapa aku memberikan kabar bahwa aku sudah ada di kota kami kepada cho seungyoun terlebih dahulu. aku memang dekat dengan dia. sangat dekat. namun tidak sedekat aku dengan jeon wonwoo. atau aku bahkan aku sengaja karena aku tau bahwa cho seungyoun akan begitu hebohnya memperbaruhi tweetnya dengan informasi “lee jinah sudah pulang.” agar secara tidak langsung jeon wonwoo akan tau. sebegitu pengecutnya aku hingga tidak berani memulai percakapan dengannya. bahkan, ketika terdapat pesan masuk darinya, aku masih tidak percaya pesan masuk dengan nomor yang belum kusimpan itu mengaku sebagai jeon wonwoo. jeon wonwoo yang itu.
aku sengaja datang ke kafe beberapa jam lebih cepat, selain karena memang itu kafe favoritku sejak kedatanganku, aku ingin mempersiapkan diriku beberapa saat sebelum jeon wonwoo datang. sejak tadi, bunyi lonceng di atas pintu akan membuatku tanpa sadar menolehkan kepalaku menuju sumber suara tersebut. semakin mendekati waktu perjanjian kami, semakin terasa terdengar keras lonceng di pintu kafe. dan juga semakin berdegup kencang suara detakan jantungku. pukul dua belas siang merupakan waktu perjanjian kami dan sekarang sudah lewat tujuh menit sejak saat itu. aku bahkan berharap ia tiba-tiba membatalkan perjanjian kami. terserah dengan alasan apapun. tiba-tiba diajak makan siang bersama atasannya. atau kliennya. apapun asal jangan yang mecelakainya.
tepat ketika jarum panjang jam tanganku berada di angka tiga, bunyi lonceng yang kesekian kalinya terdengar kali ini benar-benar membuat jantungku berdegup lebih kencang daripada sebelumnya. suara di sekitarku ramai, namun waktu seakan berhenti ketika seorang laki-laki dengan rambut yang ia tata sedemikian rupa, dengan kemeja putih, dan dasi motif garis membuka pintu kaca kafe. kali ini, lonceng di atas pintu benar-benar berbunyi karena jeon wonwoo. mata kami bertemu dibalik kacamatanya dan ia tersenyum.
laki-laki dua puluh tujuh tahun yang duduk di depanku ini jelas-jelas jeon wonwoo. aku yakin. jeon wonwoo dua puluh tahun masih bisa aku lihat dari dirinya. di beberapa waktu saja. tapi, aku tahu bahwa tujuh tahun bukan waktu yang sangat pendek untuk membuat seseorang tetap menjadi dirinya yang dulu. aku tahu bahwa dia bukan jeon wonwoo yang aku kenal saat aku masih remaja. bukan jeon wonwoo yang dulu selalu menjadi teman membunuh hari di apapun kondisi yang kami hadapi. dia lebih dewasa daripada the jeon wonwoo boy version that i know.
“kamu sama sekali nggak berubah.” sial. kata-kata itu jelas bohong. aku bahkan nggak tahu kenapa aku mengatakan hal itu. sekedar basa-basi. jeon wonwoo yang aku kenal bahkan berbeda sangat jauh dengan lelaki yang duduk di depanku ini!
“you still handsome, lol.” kali ini, aku meralat kebohonganku. yang ini sebuah kejujuran. dia tertawa. benar. tawanya masih sama. “you still the jinah that i know, too.” tidak. aku tidak. jinah yang dulu pasti akan berani berimajinasi memakai gaun pernikahan dengan kamu di sampingnya, won. tapi, aku tau bahwa jinah yang kamu kenal adalah jinah yang tidak mencintai kamu. just like the jinah who sit in front of you. “yes. of course i am.” aku tersenyum. “but, you are prettier. and of course a better person, right? tujuh tahun pasti banyak banget yang terjadi. how’s life?” couldn’t agree more. aku juga yakin bahwa kamu yang sekarang adalah jeon wonwoo yang bukan lagi orang yang dulu aku kagumi.
tujuh tahun tanpa aku, jeon wonwoo menyelesaikan kuliahnya dengan tepat waktu. menghabiskan dua tahunnya di perusahaan yang sudah ia impikan dari jaman masih bermain denganku, hingga tiga tahun kemarin ia pindah ke perusahaan milik ayahnya, tempat ia bekerja sekarang. bercerita beberapa kejadian-kejadian lucu tentang teman kami bersama yang membuat ia merasa menyesal karena tidak ada aku yang ikut mengalami kejadian tersebut. bercerita tentang beberapa mantannya yang membuat ia frustasi karena tidak paham dengan apa yang mereka maksud dan membuat ia berstatus single lagi. dia berkata bahwa aku adalah yang paling tahu dia dan bagaimana dunia romatisnya, sehingga ia merasa ada yang hilang ketika aku tidak lagi ada di jarak edar matanya. ia juga bercerita bagaimana ia mengalami kejadian-kejadian yang membuat ia akhirnya jadi jeon wonwoo yang sekarang. pun aku yang juga bercerita tentang bagaimana lee jinah yang dulu bisa jadi lee inah yang sekarang.
satu jam dengan jeon wonwoo membuat aku sadar bahwa degupan jantungku yang sangat kecang saat menunggunya sangat sia-sia. dia masih jeon wonwoo yang aku kenal. namun, dia bukan jeon wonwoo yang aku cintai. for me, he just the man that i loved. tapi, aku tidak pernah menyesal bahwa laki-laki itu adalah jeon wonwoo.
3 notes
·
View notes