#Tak selamanya mendung itu kelabu
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tak selamanya mendung itu kelabu
Nyatanya, hari ini, ku dapat bernyanyi kepadaNya.
0 notes
Text
Point of Arletta's view about her G.
ㅤ° . ✩ ⁺ . ⋆ ˚ ⁺ .˚ 𖧷
ㅤㅤㅤ
#First Sight
Kelabu, suram dan penuh dengan berbagai misteri. Hati yang keras seperti tidak pernah tersentuh berabad lamanya. Kasar dan angkuh serta congkak yang mendominasi. "Apa dia memiliki penderitaan dimasa lalu? Aku ingin menggapainya."
⁺ . ⋆ ˚ ⁺
ㅤㅤㅤ
#One Fine Day
August 13, 2023
Lelaki bertubuh tegap dengan tatapan yang dingin mulai mengetuk pintu rumahku. Aku dengan ragu membukanya diiringi perasaan yang masih kosong.
"Hai, aku George"
Suaranya yang meneduhkan, dengan genggaman hangat. Ia berhasil membuatku jatuh pada pandangan pertama.
"Apa dia benar-benar lelaki yang dingin dan suram itu?"
"Apa dia memang begini?"
Kalimat itu terus aku pertanyakan. Arletta yang bodoh telah membuat satu kesalahan karena menganggap George sebagai lelaki yang buruk.
#Enchanted
Ternyata bersamanya tidak semenakutkan itu. George memiliki kehangatan serta ketulusan didalam dirinya. Ia penuh kasih sayang dan mampu membuatku jatuh dengan begitu mudahnya. Perasaan asing yang terus melingkupiku kini mulai mendominasi, aku akui aku telah jatuh padanya.
"Can we always be this close, George?"
Ungkapan dalam hatiku pada tiap manik kami bertemu. Detik berganti menjadi menit dan menit berganti menjadi jam, semakin bertambahnya waktu perasaanku kian meluap. Ia datang disaat langitku kelabu, duniaku temaram penuh deruan yang sendu. George menyeka dengan lembut setiap lukaku. Ia memelukku dengan hangat diiringi kalimat manis yang terlontar dari ranumnya.
Arletta, kalau bidadari menangis, langit diatas sana yang kamu sukai itu akan mendung. Jadi, berbahagialah sebanyak yang kamu bisa. Menangislah ketika hatimu sakit. Beristirahatlah sebentar jika lelah. Menyerahlah jika tak sanggup. Memangnya kenapa? Toh dunia ga akan hancur begitu aja. Aku ingin kamu dikelilingi orang baik, yang bisa kamu raih tangannya, dan menolongmu dari nestapa. Aku selalu dibelakangmu, melihatmu terus tumbuh dengan cantiknya.
Sejak saat itu aku merasa hidup kembali karena sebuah kalimat. Tanpa George sadari, ia adalah motivasi untukku. Karenanya aku tidak menahan diri dan sejenak memberi jeda untuk diriku sendiri merasakan berbagai macam perasaan. Bagiku George begitu cemerlang, ia teramat magis hingga aku takut tanpa sengaja menyakitinya. Aku ingin sekali menjadi bahu dan telinga untuknya bersandar berkeluh kesah, namun aku teramat usang untuk seseorang yang begitu indah. Tetapi George selalu meyakinkan bahwa aku pantas untuk dicintai bagaimanpun diriku. Semakin lama didekapnya aku menyadari bahwa aku hanya mencintainya sekali seumur hidupku, sisanya ingin terus bersamanya. Asalkan bersama George, aku ingin terus berlama-lama.
⁺ . ⋆ ˚ ⁺
#Arletta's Best Wishes
“Aku begitu menyayangi George, jika tidak bisa lama bersamanya biarkan ia abadi disini di dalam tulisanku. Aku ingin George terus menjadi tokoh utama dan memiliki tempat khusus didalam hatiku. Tuhan, selamatkan George dari berbagai nestapa. Ia begitu berharga untuk luka, ia pantas mendapatkan kebahagiaan tak terbatas. Aku mencintainya dalam bentuk sebaik baiknya perasaan, aku mencintainya ketika ia kehilangan dirinya sendiri, aku mencintainya dalam setiap luka pada dirinya, aku mencintainya dengan utuh tanpa raga yang ragu. Dan, aku mencintainya lebih lama dari selamanya.”
Sayangku, George
Di antara bumi yang seluas ini, aku tetap ingin menjadikanmu tambatan hati. Di antara manusia yang sebanyak ini, aku tetap tak ingin kamu terganti. Banyak hal yang membuatku yakin untuk memilihmu sebagai pasanganku. Seumur hidup itu terlalu lama, aku ingin menghabiskannya dengan seseorang yang bisa menerimaku apa adanya. Jatuh cinta pada orang yang tepat akan membuat ganjil kita menjadi genap. Sebab untuk diterima dengan sebaik-baiknya, kita tak pernah dituntut untuk jadi sempurna.
⁺ . ⋆ ˚ ⁺
1 note
·
View note
Text
LANGIT
“kenapa sih suka langit?” tanyamu disuatu sore. Kala itu kita sedang duduk berdua menikmati senja ditaman kampusku.
“ karena langit itu luas dan tak berbatas. Dan yang paling penting dia itu biru.” Kataku
“suka banget sih sama biru padahal laut juga biru, cat rumahku biru, bahkan almamater yang kukenakan juga biru”
“ tapi aku cuma suka langit��� ucapku tak acuh
“ berarti kamu ngak suka aku?” tanyamu dengan wajah yang memelas
“ apasih, gak jelas” wajah kesal yang saat itu kutunjukan malah membuatmu tertawa senang. Senang karena telah berhasil mempermaikanku.
“kamu tahu, sejatinya biru itu bukan identitas langit” ucapmu begitu tawamu reda
“ maksudnya?” aku mengubah posisi dudukku sedikit menghadap kepadamu
“entah itu jingga ataupun kelabu langit akan tetap menjadi langitkan”
Kini atensiku benar-benar teralih sepenuhnya padamu, menatapmu, mencoba menyelami isi kepalamu.
“begitupun halnya kamu. Tak perlu selamanya menjadi cerah agar keberadaanmu diakui. Ada masanya mendung juga bisa datangkan? Yang terpenting itu kamu ngak boleh lemah. Karena ketika kamu lemah dan akhirnya jatuh, maka seluruh duniamupun akan runtuh. Dan seperti katamu langit itu luas dan tak berbatas. begitu juga harusnya syukur, sabar, dan semangatmu “
Aku tertegun, mencerna dan mengingat baik baik kalimat yang kamu ucapkan. Dan untuk kesekian kalinya, aku kembali terkagum dengan segala pemikiran dan caramu dalam memandang berbagai hal.
4 notes
·
View notes
Text
Kisah Langit dalam Tiga Babak
1. Jakarta pukul empat sore, cuaca mendung yang tanggung, dan beberapa pesan teks instan dari entah siapa yang tak memberikan kesan apa-apa.
Smartphone lelaki itu bergetar, menampilkan nama wanita yang Ia tunggu sedari tadi.
"The sky looks glorious" ucap wanita itu, diikuti oleh beberapa sticker lucu dan menggemaskan khas aplikasi pesan instan yang kita tahu.
"I know, right?" balas si lelaki, diikuti beberapa basa-basi busuk tentang cuaca di kotanya, dan ketersediaannya mendengarkan curhatan si wanita yang sedang bertengkar dengan pacarnya.
-
2. Bandung pukul empat sore, cuaca cerah namun takkan semegah senyumnya, hingar-bingar kendaraan menuju Jakarta, dan Jeremy Passion yang bersenandung ceria.
"She's so beautiful, sometimes I stop to close my eyes. She's exactly what I need".
Demi apapun, langit Bandung kali ini begitu indah. Lelaki itu tahu Ia tak perlu mengabadikannya karena Ia dan wanitanya menyaksikan hal yang sama dalam satu peluk yang menghangatkan. Di bawah langit itu, keduanya saling melantunkan do'a dengan caranya masing-masing untuk tetap bersama, hingga maut memisahkan, kata mereka jumawa.
-
3. Jakarta sepanjang hari ini kelabu, entah karena polusi ataupun benci, hari ini terasa begitu melelahkan. Kesedihan lelaki itu sudah berminggu-minggu tak kunjung surut. Tidak ada lagi langit di ufuk barat yang diabadikan untuk wanitanya, tidak ada lagi cinta-cinta yang dulu diterbangkan ke masing-masing surga mereka.
"Do you remember the days when I was your sky?" tanya lelaki itu. Yang pasti Ia menanyakannya dalam hati. Karena wanitanya kini telah berpaling selamanya.
Tak apa, ucapnya masih dalam hati. Lelaki itu telah melakukan semampunya untuk selalu ada bagi sang wanita dalam sakit dan sehatnya. Ia berharap suatu hari mereka dapat saling menatap dan tersenyum satu sama lainnya. Sebaik-baik perpisahan yang diidamkan pada awalnya.
Setidaknya, sekaligus yang terpenting, lelaki itu juga tahu di atas semua kecewa, sakit hati, dan dendam, pada akhirnya Ia harus mengakui bahwa bukanlah dirinya yang didambakan.
2 notes
·
View notes
Photo
Karena tak selamanya mendung itu kelabu. Nyatanya kami masih bisa tertawa meski dalan hati teraselip banyak kekhawatiran dan tersimpan banyak harapan saat mengunjungi kota ini. Allah Maha Memberi yang terbaik, jadi Tetaplah berusaha dan tersenyum 😇😊 #Batu #Malang #petikapel #agrowisatabatu #girlsdayout #apel 🍏 #girls #laugh #love #hope (at Mandiri Agro Wisata Petik apel)
1 note
·
View note
Text
Menangkap Bayangan
Untungya cinta sejati tidak pernah ditemukan di ketinggian, namun di perjalanan mendaki.
…
Ku tutup buku hasil karya anak keduaku, draft yang ia kirim tujuh bulan lalu kini telah berubah bentuk menjadi kumpulan kertas berwarna putih pucat dan mengeluarkan aroma kayu. Kayu yang terbelah jauh di pedalaman hutan, menurutku.
“dad, berangkat” terdengar dana menutup pintu. Ia sedang ujian tengah semester, sehingga jam tujuh pagi sudah pergi. Ku biarkan pintu tak terkunci….
Ku ulang push up ku hingga beberapa revitisi, keringat mengalir deras mengganti hujan kemarin, tiupan alam setengah badai itu membuat akhir pekan kami berantakan. Acara kumpul berempat akhirnya tidak bisa terlaksana, penerbangan erman dari bali dibatalkan dan lukman terkepung banjir juga kemacetan.
Dana yang memang masih tinggal di sini cukup menyesali apa yang terjadi pada kedua kakaknya, hampir dua tahun yang lalu mereka terakhir bertemu. Tak ada tahun baru, tak ada libur hari raya, waktu rasanya sulit sekali mengumpulkan kami lagi dalam satu meja makan.
“maaf Sara, anak – anak masih sibuk rupanya” gumamku di depan sebuah lukisan minyak yang sebenarnya tidak bisa bergerak. Telah lama fotonya tanggal dari semua ruangan, bagi dana yang kuliah di psikologi menurutnya hal itu tak akan pernah menyembuhkan trauma. Trauma dalam bentuk apapun di hati kami, empat lelaki yang ditinggalkannya.
Sara meninggal empat jam setelah dana lahir, sesuatu yang sampai saat ini tak akan menjadikan bahan untuk dana bersedih. Malah membuat nya menjadikan gagasan – gagasan bagaimana jika saja ada seorang perempuan yang mengurus rumah ini.
Ya dulu rumah ini begitu tak terurus ketika anak – anak masih tinggal di sini dan usia mereka masihlah anak – anak. Tak ada waktu membereskan segala jenis mainan kembali ke dalam kotaknya, tak ada waktu untuk mengecat lagi dinding rumah yang sudah dicorat coret ketika ketiga balita itu tau fungsi spidol, dan tak ada waktu untuk membetulkan saluran air hujan yang tersumbat dedaunan.
Sampai akhirnya satu – satu mereka terbang, bak anak burung meninggalkan sarang….
Erman tinggal di bali, gelar sarjana perhotelannya membuatnya mampu memimpin sebuah hotel bintang lima hanya dalam waktu setengah tahun. Dan sekarang ia sedang merintis private cottage miliknya sendiri di pinggiran sanur. Lukman, si manusia mesin, namun paling puitis. tinggal di daerah industri di luar jakarta. Sebenarnya ia bisa saja tinggal di sini, namun tuntutan profesional pekerjannya membuatnya memilih daerah sebagai tempat tinggal.
Tersisa dana, yang bahkan dalam seminggu aku paling hanya bisa bertemu dengannya dua atau tiga kali paling banyak. Kuliahnya padat, kegiatannya banyak, dan tingkah tidak pernah betah duduk diam tanpa bekerja yang diwariskan ibunya membuatnya jarang sekali berada di rumah. Ia lebih senang bersama komunitasnya, membesarkan LSM dan sebuah perusahaan infomedia kecil – kecilan yang dirintisnya sejak duduk di kelas tiga SMA.
Ku lipat lagi majalah yang sedang ku baca, persiapanku untuk shooting masih beberapa minggu lagi. Tapi rasanya perutku masih belum mau mundur ke belakang lubang sabuk yang biasa membuatnya masih terlihat ramping di usia lima puluhku.
Warna kelabu masih menggantung di langit, sisa hujan semalaman. Mendung juga membawa angin yang meniup gorden pelapis berwarna putih pucat, membuat ujungnya bak menari – nari dipermainkan udara pagi.
“tok tok tok…” terdengar suara ketukan di pintu rumah.
Pukul tujuh lebih, siapa yang bertamu sepagi ini. Ku pastikan hari ini, aku tidak memiliki janji. Aku berjalan menuju ruang tamu sambil mengeringkan badan dari keringat dengan sebuah handuk kecil di tanganku.
“krek…” ku buka daun pintu.
Angin dan basah sisa hujan semalam membawa kembali semua kenangan itu.
…
FREDY sebuah nama terbordir rapi di dada jaket kamuflasenya, nama keluarga yang telah mewariskan beberapa jendral dan kini seorang calon panglima. Begitu setidaknya kabar yang beredar dari setiap berita di televisi akhir – akhir ini. Presiden telah mengajukan satu nama sebagai calon tunggal pasukan militer negara ini dan kini ia tengah duduk di meja bar rumahku sambil menghirup secangkir kopi.
Sebuah ransel tergeletak di dekat kakinya, ransel berwarna sama dengan seragam yang ia kenakan. Udara dingin membuatnya urung menanggalkan jaket tebal angkatan udara yang sejak tiba tadi terus menempel di badannya. Ia hanya meletakan baretnya di atas meja, di samping cangkir kopinya yang baru sepuluh menit lalu ku sajikan.
Waktu membawa lari jauh jarak dan usia kami, tentu saja ia tak semuda lelaki yang ku kenal dua puluh lima tahun lalu. Namun banyak sekali yang berubah darinya, selain kini ia memiliki tubuh yang tegap beberapa lembar rambut berwarna putih mulai menghiasi kepala cepaknya.
“rumahmu lumayan besar Dam…” ia memperhatikan sekitar.
“heem..” jawabku hanya mendehem sambil berusaha tak perlu memalingkan wajah ke arahnya.
“cocok untuk memang untuk berkeluarga dan membesarkan anak – anak”
Kali ini aku tak menjawabnya. Ku balikan dua telor mata sapi di atas wajan, memperhatikan baik – baik bahwa kuning telurnya tak pecah sama sekali dan matang sempurna yang ku masak dengan api kecil di atas kompor di pantry yang dikelilingi meja bar tempat ia kini duduk memperhatikanku.
“anak-anakmu mirip sekali dengan kamu ya” aku mengikuti arah jari tangannya, ia menunjuk sebuah foto keluarga di dinding ruang tengah. “wajah – wajah cerdas, tegas dan jenaka dalam waktu yang sama”
Lagi, aku tak menjawabnya. Ku sajikan sarapan kepadanya, dua buah telor mata sapi dan roti panggang yang telah ku olesi dengan mentega. Ku buka pintu kulkas, lalu ku ambil sebuah apel besar dari sana, memotongnya menjadi delapan bagian dan menyajikannya lagi di atas piring yang lain.
Aku masih menanggapinya dalam diam, ku tuangkan air the hangat ke dalam dua gelas tinggi. Sambil ku siapkan sarapan untukku sendiri. Wangi melati seketika menyeruak ke seisi ruangan dari teko the yang baru saja ku tuangkan.
“anak – anakmu sudah besar tentunya sekarang Dam?”
“si sulung kerja di bali, yang nomor dua di karawang dan yang bungsu kuliahnya sedang semester akhir” jawabku ala kadarnya.
“betapa aku tidak pernah sekali saja bertemu mereka ya…” masih nada itu, nada suara yang seakan – akan tidak pernah terjadi apa – apa.
Ku hentikan semua aktivitasku dan menatapnya yang sedang duduk di depanku. Menyadari hal itu, ia menghentikan makannya dan balas melihat ke arahku, oh tuhan… sorot mata itu.
Ia tersenyum “ku dengar film barumu tayang tahun depan?”
Ku lanjutkan membuat bubur dari oat jagung dan beberapa campuran buah – buahan. Suara garpu dan pisau berdenting sesekali ketika bertemu permukaan piring dan suaranya memecah hening yang sejak tadi sengaja ku pelihara.
“sejak dulu aku tahu kamu akan jadi aktor yang bersinar” ia memandang lemari yang memajang sederet piala dari beberapa ajang penghargaan. “dan aku tahu karirmu pasti akan besar dan lihat saja sekarang”
“nang… lanang…” tanpa menatapnya ku sebut namanya. Ingin sekali menyuruhnya berhenti.
“setidaknya itu semua menenangkanku Dam, aku pun bahagia ketika mengetahui kamu bahagia dengan kehidupan yang tidak mampu aku berikan..”
Uap air menetes satu – satu membasahi jendela ketika ku alihkan pandanganku keluar ruangan, udara yang dibawa hujan d luar kini berubah menjadi lembab menyaksikan dua orang beradu isi kepala atau ketenangan yang hanya pura – pura di dalam sini.
“bukannya itu yang kamu inginkan?” aku mulai menyendoki sarapan di depanku.
Ia mengangguk samar namun menggelengkan kepala pula seketika. Diremasnya sepuluh jari tangannya sambil menarik nafas panjang.
“ya..” jawabnya sambil membuang nafas. Kemudian menghabiskan sisa sarapan di depannya. “aku turut berduka cita soal Sara..”
Aku tak menanggapinya. Ku tuang lagi the melati ke dalam gelasku yang telah kosong dan ku sodorkan teko kecil itu ke hadapannya. Semoga ia berkenan mengisi sendiri gelasnya yang juga sudah setengah kosong.
“ia pergi terlalu cepat untuk kebahagiaan sebesar ini, untuk kebersamaan sebaik ini”
“tidak selamanya kebersamaan bersama seseorang itu baik” jawab ku singkat.
“setiap kebersamaan itu baik” sahutnya lagi.
Ku angkat kepalaku dan sejurus menatap matanya yang lurus berada di depanku. Ingin sekali menancapkan ujung garpu di tanganku pada titik di antara batang hidungnya itu.
“kalau semua kebersamaan itu baik kenapa kamu memilih pergi?”
Kedua mata Lanang balas menatapku, hanya saja dengan sorot yang lembut. Cahaya mata yang bertahun lalu mampu menjawab rindu ataupun sekedar pertanyaan tak menentu pada takdir. Kini ia tak membiarkanku lepas sama sekali dari hadapannya, seolah – olah.
“you must think that iam new to this but I have seen this all before”
Sebuah lagu mengalun dari suatu sudut di dalam rumah, seakan memberikan latar pada perbincangan kami berdua yang kini berakhir pada pertanyaanku yang menggantung di udara. Lanang menelan ludah, mungkin menelan lagi kata – katanya bersama beberapa suapan terakhir sarapannya.
“Dam….”
“tidak” aku memotong suara Lanang “kamu berhutang penjelasan, kamu berhutang alasan selama puluhan tahun kenapa aku bahkan tidak layak untuk sebuah telpon atau surat perpisahan?” ku letakan sendok dan garpu di atas meja bar. Lalu dengan sengit, ku balas tatapan kedua matanya yang terus – terusan berusaha melemahkan itu.
Lanang malah diam dan menatapku lebih lama. Hanya ada suara nafasnya dan nafasku yang memburu, menahan amarah yang tak pernah selesai ku pecahkan sejak dua puluh lima tahun lalu.
“apakah menurut kamu aku tidak pernah menunggu? Apa menurutmu hari – hari yang ku jalani adalah hari – hari normal sewajar saat kita masih menjalaninya berdua? Apakah aku tidak pernah layak menerima sekedar alasan basa – basi ketika kamu pergi? Apakah kamu pikir hidupku mudah setelahnya? Apakah menurut kamu manusia mana saja bisa jadi pengganti sebuah tempat kosong yang kamu bawa serta?” ku rasakan nada suaraku kian meninggi seiring tubuhku yang terangkat sendiri dari kursi. “apakah buat kamu ini semua hal yang biasa dan menganggap yang terjadi antara kita juga wajar – wajar saja? Apakah aku tidak layak untuk sebuah permohonan agar kamu tidak harus pergi?”
I know you're thinkin' I'm heartless I know you're thinkin' I'm cold
“karena kamu tahu kalau hanya dengan mendengar suara kamu saja aku bisa berubah pikiran” jawab lanang dengan tatapan matanya yang tetap tenang. “karena aku kehabisan kata untuk menandingi sejuta alasan bahwa kamu begitu layak diperjuangkan, karena satu kata saja yang kamu ucapkan pasti mampu menahan aku untuk tidak pergi. Jangan sama sekali berpikir bahwa hidup yang ku jalanipun selama ini mudah…”
Aku berdiri dan ia tetap di tempatnya, mematung, seperti kenangan yang selama ini terus berjalan menuakan kami berdua. Membiarkan persoalan di antara kami bagai sebuah persimpangan yang dipenuhi jalan buntu. Dalam diam kami bahkan bisa mendengar suara degup jantung kami mendetakan setiap kesedihan atas kehilangnnya sejak lama. Menjerat hidup dalam batas tanya sudahkah sepantas dan sebatas itukah anugrah tuhan terjadi pada kami berdua.
Im never gonna let you close to me, Even though you mean the most to me, Cause everytime I open up, its hurt
“menurutmu butuh berapa waktu untuk merencanakan hal ini? Yang terjadi sekarang ini?” kepala lanang mendongak dan menatapku lagi “bahwa yang terjadi padaku adalah serentetan hari – hari buruk karena tidak pernah bisa membuat kamu agar bisa berada di sana, bahwa apapun yang ku lakukan pada akhirnya hanya membuahkan perpisahan yang semakin pedih ketika terjadinya”
Ku remas kedua tanganku sendiri. Melipat lagi perasaan yang selama ini memang telah tersimpan rapi. “lantas…”
“pernahkah terpikir lukapun bisa begitu besar ketika kita melupakan dan terpaksa meninggalkan?”
So I'm never gonna get too close to you, Even when I mean the most to you, In case you go and leave me in the dirt
ku biarkan pintu tak terkunci lagi, ketika semakin jauh ku saksikan punggungnya menjauh pergi. Ini hanya sebuah titik di mana ku pikir rongga dadaku akan menghirup udara lega padahal oksigen hanya sedang menguap lagi di udara mengabaikannya lagi, seperti sedia kala. Ku tatap lagi bahagia, betapa gagahnya tak pernah sempurna tanpa satu bekas luka.
Lalu ku tempatkan denyut dalam hati ke tempat semula, ke tempat di mana ia terbiasa menebak seperti apa jika hidup bisa dihabiskan di dunia yang penuhi oleh perwujudan dari kata seandainya.
But every time you hurt me, the less that I cry
And every time you leave me, the quicker these tears dry
And every time you walk out, the less I love you
Baby, we don't stand a chance, it's sad but it's true
I'm way too good at goodbyes…..
Selesai 31/12/2017 18.55
Song by Sam Smith.
1 note
·
View note
Photo
Langit tak selamanya biru. Ia tentu pernah kelabu, mendung disertai kilat yang menyambar-nyambar. Terkadang bersih, juga bisa penuh dengan putihnya. _ Begitu awan itu terus berubah-ubah layaknya kehidupan yang akan ada pasang surutnya kala mendung, terkadang akan lebih banyak tak menampakkan wujud aslinya. _ Menjadi hujan disaat mendung tiba, menjadi obat kala sakit, menjadi payung saat deras tiba. Akan ada kekuatan lebih yang tiba saat pundak memikul amanah menguatkan yang lain. Akan ada kekuatan lebih yang datang saat langkah lebih banyak meringankan. _ Berbagi. Berarti. Ada jatah dari harta yang dipunya untuk mereka yang kekuarangan dan perlu bantuan. Jangan lelah berbagi yah! _ Buat hatimu lapang selapang langit diatas sana. Buat jiwamu cerah secerah langit biru diatas sana. 😊 https://www.instagram.com/p/B8u-eT8ntrF/?igshid=1cwxdzuaisg6k
0 notes
Text
Seketika dalam genangan dosa, anak adam berkata " ya Allah aku tak kuat"
"Ya Allah, apa yang kau timpakan pada hamba?"
Padahal ini adalah sebuah bentuk rasa cinta kasih Allah padanya. Padahal ini tak lebih dari penghapus dosanya.
Kemudian dengan keluh kesah dan tangisannya ia bertanya, "adilkah?" Lalu berlinanglah air mata didepan penduduk bumi, seolah kesulitannya tak ada ujungnya.
Bukankah kita selalu punya tempat untuk bersujud?
Bukankah tempat terbaik untuk berkeluh kesah diatas sajadah?
Bukankah sudah ada waktu-waktu untuk berkomunikasi dengan yang Maha pemberi solusi?
Sesungguhnya, siapa yang tidak adil?
Kita larut dalam bayang-bayang dunia, padahal? Itu semua fana.
Kita larut dalam hawa nafsu, padahal? Allah tidak suka.
Ingatlah, Allah punya janji. Dan janji Allah? Seratus persen pasti.
Langit tak selamanya mendung. Awan tak selamanya kelabu. Sama seperti hati kita.
Berdo'a dan mendekatlah. Karena, "jika ia mendekat-Ku sejengkal, Aku mendekatnya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, aku mendekat padanya sedepa. Jika dia mendekat kepada-Ku berjalan(biasa), maka aku mendekatnya dengan berjalan cepat" [H.R Bukhori no. 6970 dan Muslim no. 2675]
Allah selalu punya janji-janji masa depan yang luar biasa untuk hamba-Nya yang taat dan berdo'a pada-Nya.
Ikhtiar dan tawakkal, percaya, ini cuman soal waktu.
1 note
·
View note
Photo
SEMESTA MEMBALAS BISIKMU, LANGIT Untuk langit yang kini mungkin masih dilingkupi mega mendung Sadar memang tak selamanya kau terlihat cerah Badai pastilah berlalu, walau hadirnya pun tak bisa ku pastikan Masih segar ingatanku, tatkala malam ahad ku istirahatkan sejenak sinarku dari peradaban Bukan damai yang ku dapat, namun kabar bahwa badai taufan telah mengoyak keberadaanmu ……………… Semesta raya turut murka, seiring badai memeluk dirimu Tidak, bukan murka. Namun sendu membiru menyekap semesta Awan menjadi kelabu, Matahari pun turut meredup sinarnya Angin berhembus kencang, bukan main Hingga kediaman malam yang ku singgahi redam kesunyiannya Laut pun menampakkan kekecewaannya dengan debur ombak memecah batu karang Embun pun saat itu berubah menjadi uap panas ……………… Demi pencipta semesta yang bermurah hati Segala cipta tak lekang oleh bencana Kiamat tak menjadi pilihan terakhir memutus perkara Karena kau, wahai langit…… Segala tempat benaung firman yang telah Tuhan berikan Semoga tetap cerah menggelora dalam semesta raya [MARVIN ALEXA, 5 Oktober 2017]
1 note
·
View note
Text
[DAY 5]
"Tak selamanya mendung itu kelabu. Nyatanya hari ini ku dapat bernyanyi kepadanya."
🌹To be soft is to be powerful🌹
🌆Take me back to the city that never sleeps🌆
0 notes
Photo
Tak selamanya mendung itu kelabu ❤️ 📸 : kak @junetvanroom 📍: Bula, pesisir timur Pulau Seram, 4 Jam perjalanan laut dari Misool, Raja Ampat . . #blessed #thankful #me #dutytrip #travel #wanderlust #instadaily #goodvibes #iphonesia #maluku (at Kota Bula-SBT) https://www.instagram.com/p/BxxLVMSh4Ah/?igshid=utp8qeufz6hm
0 notes
Text
TAK SELAMANYA... Tak selamanya sinar surya itu panas Nyatanya pagi ini begitu sejuk Tak selamanya mendung itu kelabu Nyatanya hari ini meskipun mendung Ku masih bisa bernyanyi... Tak selamanya yang terlihat baik itu baik Dan tak selamanya yang terlihat buruk itu juga buruk... Faktanya aku punya sahabat yang selama ini aku anggap baik Ternyata dia menikamku dari belakang Faktanya sahabat yang kuanggap alim Ternyata dia seorang yang lalim Yang pasti dari situ aku dapat pelajaran yang berharga Karena hidup akan indah apabila kita selalu bersyukur dan ikhlas... By:tie 16032017
3 notes
·
View notes