Tumgik
kornetsapi · 6 years
Text
Tak Termiliki
Tubuh jangkung itu menghilang di balik pagar rumahnya yang berwarna hijau tua, tangan kemejanya yang ia gulung sesiku juga backpacknya yang selalu ia gantungkan sebelah, betapa bayangan yag sempurna. mungkin ia baru saja pulang dari tempatnya kerja atau kampusnya, aku tak pernah tahu.
Hampir tiga tahun, setelah rumah besar yang berada di sebrang gang menuju rumahku itu kembali lagi terisi oleh pemilik baru, waktu tak pernah memberi kesempatan kami sekalipun untuk bertegur sapa. Meski selalu ku cari – cari kesempatan itu, namun tak pernah ada.
Bukan sifatku pula yang tiba – tiba bisa menghampiri seseorang, mencari bahan pembicaraan yang remeh temeh, kemudian bisa saling mengenal satu sama lain. Namun terus – terusan bertanya – tanya akan sosoknya saban hari juga terasa menyiksa.
Seringkali ketika hendak masuk shift pagi, ketika aku keluar dari mulut gang rumah, ia pun biasanya muncul dari balik pintu besi rumahnya tersebut di sebrang jalan. Lalu kemudian kami menaiki angkutan umum yang berbeda.
Ia lelaki dewasa pada umumnya, menurut perkiraanku usia kami tidak jauh berbeda. Meski badannya tak berisi namun bukan berarti bisa dibilang kurus, warna kulitnya adalah warna kulit terang kebanyakan orang inDonnesia, ia tak memelihara jenggot, kumis atau bulu buluan lain di wajahnya, pipi tirusnya diarsir dengan baik oleh bentuk rahangnya yang sempurna. Meski jarak terdekatpun adalah selebar jalan yang memisahkan mulut gangku dengan gerbang rumahnya, tak luput membuatku sebegitu detail memperhatikannya. Sedetail kamera ku memotretnya diam – diam dari balik pot sendok tukang soto yang mangkal di depan gang rumahku.
Ckiiiiittt sebuah mobil SUV berhenti tepat di depanku, membuyarkan lamunanku soal sosok sempurna itu.
“cepat masuk” Donne menurunkan kaca jendela mobilnya. Masih menggunakan seragam ia duduk gelisah di belakang kemudinya.
“tumben… jojo siapa yang jemput?” kataku sambil duduk di kursi depan, di sampingnya. ia belum mempercayakan siapapun untuk mengantar atau menjemput anak semata wayangnya itu. Tak biasanya pula ia bisa mengantarkanku saat shift siang seperti ini
“jojo udah aku titip papa, saat ini keselamatan kamu lebih penting” ujarnya sambil mulai menjalankan mobil.
Aku tak segera menanggapi, pekerjaannya sebagai kepala unit kriminal sering membawanya pada banyak situasi genting, mulai dari soal penyergapan atau membawa pelaku atau korban yang terluka parah ke rumah sakit. Seperti dulu ketika waktu pertama kali mempertemukan kami.
“emang ada apa?” aku menatapnya yang masih setengah gusar. Dapat kurasakan ketegangan hampir menjalari seluruh ototnya yang dibalut seragam polisi SUPER KETAT itu.
“nanti malam pulang jam berapa?” tanyanya kemudian, tanpa menoleh ke arahku.
“selesai shift siang ya kaya biasa jam sembilan…” jawabku datar.
“sebelum aku kasih tahu kalau situasinya udah aman, jangan dulu pulang. Tinggal dulu aja di rumah sakit, mungkin sejam atau dua jam..” Donne sesekali menatap ke arahku dan sesekali memperhatikan lalu lintas di depannya.
Aku hanya menatapnya. Berusaha menunggu kelanjutan perkataannya. Ada apa sebenarnya…
“nanti malam bakal ada penyergapan pabrik narkoba di dekat rumah kamu, menurut informan kita mereka ini bersenjata, aku gak mau kamu kenapa – kenapa, kali ini dikasih tahu nurut yaaa” jelas Donne, seakan sedang berbicara kepada jojo.
“ini malam minggu pasien IGD biasanya rame, gak ah….” Belum selesai aku bicara ia segera memotongnya.
“gak ada tapi, gak ada ngeyel, atau aku suruh randy sama giwan nahan kamu di rumah sakit”
Aku hampir menganga mendengarnya hendak mengirim dua anak buahnya itu lagi untuk menjagaku. Lalu dengan setengah kesal “iyaaa deh… tapi jangan kemalaman, takut ketiduran di rumah sakit”
Kami menghabiskan sisa perjalanan menuju rumah sakit tempat ku bekerja dengan berbagai macam perdebatan soal banyak hal, terutama soal ‘kondisi gawat’ yang tadi ia jelaskan. Dia yang biasa bawel soal tidak boleh ini dan itu, juga aku yang biasa tidak mendengarkan perkataanya.
“lima tahun bolak balik ke sini aku tidak pernah menyangka  kalau rumah besar di sebrang jalan itu merupakan sebuah pabrik narkoba berskala internasional” kata donne dari balik kemudi.
Aku ikut memperhatikan rumah yang dimaksud olehnya. Rumah bercat hijau tua, rumah lelaki itu.
“dua belas pekerja dan seorang bos berhasil ditembak mati di tempat, maghrib tadi” kini donne menatap ke arahku.
Itulah rupanya alasan lingkungan yang biasanya ramai ini mendadak sepi. Sebentar kepalaku hendak menanyakan kondisi Dia. Tapi segera Aku lompat dari jok depan mobil patroli, meninggalkan Donne yang masih merapal panjang lebar soal harus jaga diri dan lain sebagainya. Akku terus menelusuri jalanan gang yang hanya diterangi oleh cahaya beberapa bolham, ku biarkan Donne tak berpamitan, telingaku sedang tidak sedang dalam mood terbaiknya untuk mendengarkan ceramahnya pada waktu dini hari begini. Tiga jam waktu tambahan nongkrong di ruang tidur perawat di rumah sakit bukan sesuatu anugerah, di musim ramai pasien begini.
Beberapa orang dari bagian keamanan lingkungan masih berjaga di sepanjang gang menuju rumahku, ku putar tubuhku sebentar, menatap rumah besar itu, garis polisi terbentang di pagar besarnya. Juga beberapa intel dari kepolisian masih mondar mandir di sana.
Donne, kehadirannya bisa merupa anugrah dan bencana dalam waktu yang sama untuk hidupku. Kami bertemu di IGD rumah sakit tempatku bekerja, ia membawa seorang pelaku curanmor yang babak belur dihajar massa, aku menjahit dan membersihkan lukanya hampir semalaman, waktu yang cukup lama untuk memperkenalkan kami berdua.
Donne adalah orang yang baik, untukku yang sejak sekian lama hidup sendirian di belantara ibukota. Namun ia pun adalah suami dan ayah yang baik di rumahnya sendiri. Di antara banyaknya waktu yang sering kami habiskan berdua, ia adalah kepala keluarga yang selalu ada untuk anak dan istrinya, di setiap momen apapun. Ulang tahun pernikahan, ulang tahun jojo, setiap acara keluarga, bahkan arisan bulanan keluarga mertuanya.
Aku mengetahuinya, karena memang ia yang membagi semuanya, meski tak pernah ku pinta. Meskipun ia tak pernah keberatan ketika ku minta mengantar pergi ke satu tempat dan tempat lainnya. Asal ia sudah berada di rumahnya ketika jam tidurnya tiba.
Ku dorong pintu pagar besi yang sudah lapuk dimakan waktu dan tetanus. Karatan di sepanjang batang – batang besi itu menunjukan dengan baik usia pagar maupun rumah ini.  Rumah milik kedua orang tua ku, ralat, rumah milik bank dalam waktu tiga bulan lagi. Ku buang nafas berharap pikiran jelek itupun terbuang juga dari pikiranku. Sebagai satu – satunya warisan mana mungkin bisa ku relakan begitu saja rumah ini, hanya demi menebus hutang papaku dulu.
Pada dasarnya kedua orang tua ku adalah wirausaha, atau pasangan yang senang membuka usaha apapun demi peluang memperbaiki keuangan keluarganya. Mereka berdua datang jauh sebagai perantau dan tak menyisakan sanak saudara. Maka yang jadi pertolongan ketika membutuhkan modal hanyalah sistem korporasi keuangan bernama bank.
Rencana tinggal rencana, di semester awal kuliahku, mama meninggal akibat serangan jantung. Dan tepat setahun lalu, papa menyusulnya setelah penyakit stroke melumpuhkanya selama hampir dua setengah tahun. Semua sisa usaha habis untuk mengobati dan biaya perawatannya. Lalu tanpa kami ketahui, dua hari setelah kepergiannya orang dari bank datang dan menjelaskan soal kemungkinan menyita rumah ini sebagai tebusan untuk hutang – hutangnya.
Gajiku sebagai perawat selama bertahun – tahun tidak mungkin bisa melunasi hutang ratusan juta itu dengan segera. Ketiga kakakku? Owh… setelah memiliki kehidupan sendiri mereka bahkan seperti lupa pernah dibesarkan di rumah ini.
Setelah ku tanggalkan semua pakaian yang ku kenakan, ku hempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Mencoba meluruskan semua tulang belulang dan menyingkirkan semua suntuk karena kelelahan. Berbagai macam pasien, berbagai macam keluhan, dan berbagai macam pengamanan dari donne. Sungguh sebuah hari yang panjang.
“trung trung trung” terdengar suara orang memukul tiang listrik yang banyak berjejar di sepanjang gang lingkungan kami. Mungkin memperingatkan akan bahaya yang bisa saja masih mengancam. Dan membuatku terjaga dari hampir jatuh lelap tertidur.
Sudah jadi kebiasaanku, tidak tertidur dalam kondisi badan bekas dari rumah sakit. Rumah sakit adalah sebuah tempat dengan berbagai macam patogen dan waktu tidur adalah waktu di mana tubuh mampu menyerap apapun yang ada di sekitarnya, aku hanya mengusahakan bahwa tubuhku tidak sampai menyerap hal hal kurang bagus selama jatuh tertidur. Maka jam berapapun aku sampai rumah, mandi dan membersihkan badan adalah ritual wajib yang harus ku lakukan.
Ku tarik handuk yang terbentang di lorong menuju kamar mandi, tempat biasa aku mengeringkannya. Ku nyalakan beberapa lampu untuk menerangiku di tengah gelapnya waktu dini hari begini. Lalu ku tekan tanda on pada saklar mesin pompa air, ketika ku lihat bak kamar mandi yang kosong.
“ctrek ctrek ctrek” berkali kali ku tekan tanda on off pada saklar, namun air tidak kunjung mengalir. Ku pastikan kran air pun pada posisi terbuka. Lalu ku coba menekan saklar lagi.
“ohh tidak jangan ngadat jam segini” beberapa hari lalu donne sempat memanggil seorang tukang ledeng untuk memperbaiki pompa air di sumur belakang rumahku, setelah aku menyerah dan hampir membeli pompa baru. Yang kali ini keputusan itu aku sesali, sudah ku yakini kalau pompa ini memang waktunya diganti.
Ku buka pintu yang menuju ke bagian belakang rumah, tempat pompa dan sumur rumahku berada. Ku gantungkan handuk di leherku. Ku harap bukan kerusakan parah di waktu yang seperti ini. Tanganku meraba dinding mencari saklar untuk menyalakan lampu, ketika sebuah benda yang terasa dingin menempel di betisku.
Aku menemukan warna merah hampir menutupi seluruh teras belakang rumahku ketika lampu menyala dan seseorang yang menodongkan sesuatu kepadaku. Ke betisku tepatnya. Ia tergeletak di lantai. Berlumuran darah. Sebuah luka menganga di atas pelipis kanannya dan tangan kirinya menahan luka lain di balik kemejanya. Deru nafas penuh ketakutan namun mengancam membuatku mematung selama beberapa saat. Apalagi ketika ku sadari sebuah pisau tajam menempel di betis kakiku.
“jangan teriak!” katanya sambil berusaha mengangkat setengah badannya.
Wajah kami saling berhadapan. Di balik warna merah darah yang menutupi sebagian wajahnya, ku rasa aku mengenalnya. Dia…
“o oke” jawabku gugup.
“angkat tangan” komandonya lagi.
Aku menurut, ku angkat kedua tanganku ke udara.
“argh..” ia meringis. Aku dapat dengan jelas melihat darah mengalir deras dari balik kemaja, di pinggangnya.
“oh God, kamu butuh pertolongan…” hampir saja aku menurunkan tubuhku hendak menekan luka di perutnya agar ia tidak kehilangan semakin banyak darah.
Posisiku yang merendah membuatnya kini mengacungkan pisaunya tepat ke wajahku.
“I just try to help” sialan, ketika panik kebiasaanku mengeluarkan kata kata dalam bahasa asing tidak dapat ditahan. Bukan panik karena melihat darah, tapi sebuah belati tajam terarah ke bola mata ku.
Beberapa detik ia menatapku “apa polisi sudah pergi?” katanya lagi seperti bicara ke arah di belakangku.
Ku putar kepalaku, di rumah ini hanya aku saja. Dan dia yang ku temukan tergeletak di belakang rumahku dalam kondisi berdarah – darah ini.
“sepertinya di depan masih ada beberapa..” kelewat penasaran. Aku menyeka darah yang menutupi wajahnya. Reflek ia mencoba menepis wajahku.
“ka..kamu yang di rumah depan itu kan?” pantas kemejanya aku kenali, itu kemaja yang dikenakannya ketika masuk ke dalam rumahnya tadi sore, ketika aku hendak pergi kerja. Dia lelaki dari rumah besar di sebrang jalan, rumah yang ternyata merupakan pabrik narkoba menurut donne tadi.
“oh god kamu harus ke rumah sakit” ku lihat luka selebar lima senti di atas peilipisnya dan masih aktif mengeluarkan darah.
“nggak..” tubuhnya agak bergerak menjauh, tanpa menurunkan sedikitpun arah pisau di tangannya.
Aku tak mempedulikannya, dan malah menyingkap kemejanya yang basah dan berubah telah warna menjadi lebih gelap karena darah. Sebuah luka tembak. Tidak mengenai organ vital hanya saja lukanya cukup besar.
“kamu bisa kehabisan banyak darah, setidaknya kamu harus ke rumah sakit”
Ia mengacungkan lagi pisaunya ke arahku. Sekali lagi kami saling berpandangan. Ku lihat ia mulai menggigil, dan wajah putihnya mulai berubah pucat. Dalam kondisinya yang tampak semakin melemah, tangannya yang mengangkat pisau jatuh lemas ke lantai. Sementara tangannya satu lagi berusaha manahan luka di pinggangnya.
Ku lepaskan kaos yang menempel di badanku, kemudian membuatnya menjadi sebuah lipatan, ku gunakan untuk menekan luka di pinggangnya agar darah berhenti mengalir dan ku ikatkan handukku di atas lipatan kaos ku untuk menekan luka tersebut.
“tolong, jangan rumah sakit” gumamnya semakin lemah.
Aku mengangkat tubuhnya dari lantai, dan memapahnya masuk ke dalam dapur. Ku singkirkan dua buah kantong plastik berisi belanjaanku dan sebuah keranjang buah dari atas meja makan, lalu ku telentangkan ia di sana.
aku lari ke ruang tengah, ku buka laci yang ada di sana, mengambil sebuah infus set dan dua botol cairan infus berisi natrium clorida. dua minggu lalu donne terkena demam tinggi dan meminta aku menginfusnya di sini. Ku gantungkan botol nacl pada pegangan lemari di ruang makan, lalu memasang infusan di tangan lelaki itu.
Selesai dengan infusan, aku lari ke kamarku. Aku tidak menyimpan banyak alat P3k di rumah, apalagi alat untuk melakukan operasi minor. Tapi dua bulan lalu aku mendapat pelatihan tentang penangan kegawat daruratan, ku cari totebag dari pelatihan tersebut. Seingatku di sana ada satu set lengkap alat untuk menjahit luka.
Ketemu. Ku buka laci kerjaku, ku temukan sebuah botol obat merah dan beberap lembar kassa steril cukup untuk menutup dua buah luka tapi tidak akan cukup untuk membersihkannya. Aku lari lagi menuju ruang makan.
Aku hampir lupa, infusannya menetes dengan normal padahal dia hampir kehilangan banyak darah. Kini ku biarkan air mengalir dengan deras dari botol infusan ke dalam selang yang menuju ke pembuluh darahnya.  Ku jajarkan semua alat yang ku bawa dari dalam rumah di sampingnya.
Ku buka lemari buffet bagian bawah di dapur, di sana ada beberapa serbet milik yang sejak dulu dengan rapi di tempatkan oleh mama. Ku ambil sebanyak mungkin. Dan ku masak air hingga mendidih di atas kompor, aku tahu ini tidak cukup steril tapi penting untuk menghentikan pendarahnnya dengan cepat dan ku gunakan untuk membersihkan luka juga noda darahnya nanti.
“oh tidak, aku Cuma punya dua botol lidocaine, itu hanya cukup untuk luka di perut sementara yang di pelipis…”
“emhh… tolong….” Gumamnya semakin lemah.
Kebiasaan untuk tidak panik ketika menghadapi jenis pasien apapun di rumah sakit, membuatku berusaha berdiri dengan tegap dan bernafas dengan normal. Pilihannya sekarang adalah aku harus mengeluarkan peluru di pinggannya dan menjahit luka di pelipisnya tanpa dibius sama sekali. Tanpa meminta persetujuanya terlebih dahulu, ku lakukan apa yang menurutku harus aku lakukan terlebih dahulu.
 Pukul empat pagi, ketika ku papah ia ke kamar paling belakang di rumahku. Aku telah selesai mengeluarkan sisa peluru yang ternyata berhasil menembus dua senti bagian pinggangnya. Dan ku jahit luka di pelipisnya dengan diselingi rintihan kesakitannya karena aku kehabisan obat bius. Lalu setelah tubuhnya bersih dari semua noda bekas darah dan luka – lukanya sudah tertutup rapi ku ganti pakaiannya dengan baju dan celanaku, betul saja kami memang seumuran dan ukuran pakaian kamipun nampaknya sama.
Ku biarkan ia tertidur dengan selang infus menancap di tangan kanannya. Tangan yang tadi menempelkan sebuah pisau di betisku. Aku segera bergegas merapihkan ruang makan dan teras belakang, menyadari sebentar lagi pagi. Sebelum para tetangga bisa melihat darah banyak mengotori teras belakang rumahku atau donne yang bertanya kenapa alat operasi malah berserakan di atas meja makan.
Kandhara Biru, ku letakkan lagi paspor miliknya ke dalam tas kecil yang semalam ia bawa juga bersamanya. Juga pisau belati yang telah ku bersihkan. Tas kecil yang juga berisi dompet dan semua identitas miliknya.
“melihat – lihat barang pribadi orang lain, owh RIP kesopanan” kata sebuah suara di sebelahku. Ia berusaha bangkit dari tidurnya.
“ah..” aku tertangkap basah. Ku bantu ia untuk duduk. “aku alex..” sebagai balasan karena aku sudah mengetahui namanya, ku perkenalkan namaku. “Alex Visval”
“kamu sudah tahu namaku…” ia sedikit memijat keningnya.
“ini..” ku berikan segelas air putih kepadanya “pasti pusing setelah seharian tidur”
Ia menutup mulutnya.
“dan pasti agak mual, aku tadi memasukan obat anti nyeri dan anti radang lewat infusan”
Ia menerima gelas berisi air penuh dari tanganku, kemudian meminumnya perlahan.
“aku tertidur? Bukan pingsan?”
“yap, bisa dibilang keduanya” ku taruh lagi gelas yang airnya baru setengah ia minum ke atas meja.
“berapa lama?” tanyanya lagi.
“ya hampir sepanjang waktuku shift pagi sebenarnya, kalau saja aku berangkat kerja” jawabku sambil berdiri.
“oh maaf, pasti merepotkan sekali ya” ia meringis lagi  sambil membetulkan posisi duduknya.
“engga begitu terlalu” aku menjawabnya sambil tersenyum. Oh god, melakukan sesuatu untuk orang yang kita sukai apalagi itu menyelamatkan nyawanya, tentu saja jawabannya pasti akan selalu; mengapa tidak.
“aku andra” ia menjulurkan tangan. “nama lengkapku aku yakin sudah kamu lihat barusan” ia menatap ke arah tas kecilnya yang ku letakan di atas meja.
“ah iya, sorry penasaran soalnya, sebagai perawat udah kebiasaan mencari tahu sendiri identitas pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa ada yang mengantar” aku tahu aku mengelak.
“oh iya dan maaf untuk kejadian semalam, aku panik dan tidak bermaksud membuat kamu ketakutan dan terimakasih sudah mau nolong tanpa membawa ke rumah sakit atau melapor ke polisi”
Aku mengangguk pelan.
“apa di depan masih ada polisi?” tanyanya kemudian dengan nada setengah takut.
“kayanya udah gak ada, tadi pas ke apotek beli obat” aku menatap ke arahnya kini “ada apa sebenarnya kalau aku boleh tahu?”
Ia menggelengkan kepalanya lembut sambil tersenyum “oh tentu saja kamu tidak boleh tahu, kami tahu yang setiap hari antar jemput kamu itu polisi, mobil patrolinya mencolok, kan?” andra menatapku, kini dengan sorot mata yang lebih tenang timmbang semalam.
“oh donne…” menceritakan donne padanya saat seperti ini, entah kenapa rasanya seperti akan membuang – buang sebuah kesempatan bagus. “engga kok, dia Cuma teman doang.. ya kami kebetulan satu tongkrongan…” aku berusaha mencari alasan lain yang lebih meyakinkan. “kami mengikuti kelas thai boxing sama – sama” meski benar kami berdua memang mengikuti sebuah kelas thai boxing tapi tetap aku merasa berbohong padanya.
“wah… padahal seharusnya semalam aku bisa saja mengancam orang yang salah ya, orang yang justru bisa membunuhku dengan sekali pukul” senyum andra mengembang. Senyuman yang selama ini tidak pernah aku lihat sekalipun. Ia… terlihat.. lebih … manis… ternyata “kamu seharusnya tidak usah bertanya ada apa, pasti teman kamu itu sudah cerita” mungkin donne maksud andra lagi “dia seorang kepala unit kriminal kan?”
“hemm…” aku mengedikan bahuku “kalian pasti organisasi yang cukup hebat sampai tahu dia sampai sedetail itu, padahal selama ini donne tidak pernah tahu sama sekali kalau rumah kamu itu…” aku rasanya enggan melanjutkan perkataanku.
“sarang penjahat?” andra seolah menebak isi pikiranku. “pabrik narkoba?” ia tersenyum lagi. “kota besar semacam jakarta ini hal – hal seperti itu harusnya tidak terlalu mengejutkan bukan?”
Aku mengangguk agak setuju. Sambil mendengus…
“kenapa? Kamu kelihatannya agak kecewa?” tanyanya lagi. Sebuah pertanyaannya yang cukup mengejutkanku sebetulnya. Sebetulnya sejak awal pembicaraan kami, aku agak kikuk dibuatnya.
“ah tidak…” aku melangkah ke sudut lain ruangan. “aku juga berpikir sama seperti donne, rumah kamu yag kelihatannya tenang ya seperti rumah pada umumnya..”
“kalau saja jaringan kami di hongkong tidak tertangkap duluan, mungkin kami juga tidak akan berakhir seperti ini” ia membuang nafasnya panjang sambil menyenderkan kepalanya di bahu ranjang.
“kalau kamu merasa tidak nyaman untuk menceritakan ini, kamu sebenarnya tidak perlu cerita” kataku.
“tidak apa – apa, lagipula aku sekarang ada di sini, kondisiku seperti ini, mau melarikan diri kemana? Aku ada di rumah seorang yang berteman baik dengan seorang polisi”
“oh don’t worry about that” aku berusaha meyakinkannya “kamu aman di sini” jauh dari dalam hatiku, aku bahkan bersedia menyediakan tempat persembunyian paling aman buatnya.
“tunggu kamu dokter?”
“bukan, perawat” jawabku cepat.
“oh… pasien – pasien kamu beruntung pastinya, pernah berada di tangan orang sebaik kamu”
Ku rasakan pembuluh darah di seluruh wajahku agak menghangat.
“dari mana kamu bisa menebak aku orang baik”
“karena kalau tidak, sudah pasti aku tidak ada di sini sekarang, kamu bisa lapor polisi atau teman kamu itu”
Aku tersenyum, mengiyakan perkataanya lagi, padahal ada alasan lain kenapa aku rela menampungnya di sini.
“kejahatan yang kalian lakukan pasti sangat luar biasa dan perlawanan yang kalian lakukan pun pasti sangat mengganggu..”
Ia mengangguk. “kami hanya tidak menyangka kalau polisi akhirnya tahu, walau kami sudah mempersiapkan diri pada kondisi apapun. Ini sebenarnya bisnis kakakku, dia yang membawaku ke sini. Aku masih berusaha mencari pekerjaan normal setahun belakangan ini, tapi kamu tahu sendiri pekerjaan sekarang semakin susah bukan?”
“lalu bagaimana bisa melarikan diri?”
“aku lompat dari kamar depan, yang di atas, langsung ke jalan raya, waktu itu lagi ngerokok sama salah seorang pekerja kakakku, makanya dapat ini” ia menunjuk pelipisnya “kena trotoar ketika lompat, kalau tembakan sepertinya itu peluru yang kena ke temanku duluan”
Aku diam memperhatikan.
“oh iya, bagaimana kondisi luka – lukaku”
“keduanya tidak terlalu parah sebetulnya, luka yang di pinggang walau cukup lebar untungnya tidak mengenai perut bagian dalam, peluru hanya mengenai tepi pinggang dan tertinggal di sana karena mungkin pelurunya sebelumnya mengenai teman kamu dulu”
Ia mengangguk.
“tapi tetap saja kamu butuh istirahat dulu, meskipun harus belajar berjalan secepatnya untuk melancarkan peredaran darah”  “oh iya, kamu pasti lapar, mau aku buatkan pasta? Maklum tinggal sendirian jadi gak terlalu banyak makanan”
“kalau tidak merepotkan…” balasnya sambil tersenyum.
 “kenapa Cuma tinggal sendirian di rumah sebesar ini?” tanyanya sambil memakan satu sendokan terakhir pasta buatanku.
“hah?” kataku dengan tatapan minta diulang pertanyaan darinya, walaupun sebenarnya cukup terdengar olehku. “emhh… kedua orang tua ku sudah meninggal dan kakak – kakaku semuanya sudah berkeluarga..”
“kalau pasangan?” ia meletakan piringnya di meja sebelah tempat tidurnya.
Aku menggeleng sambil tersenyum padanya. “mungkin belum waktunya..”
“ah iya… biaya pernikahan jaman sekarang memang gila” di balik sosoknya yang ku pikir tidak banyak bicara, ia justru adalah orang yang sangat enak buat teman ngobrol, mungkin citranya selama ini untuk menutupi pekerjaan dan bisnisnya.
“sebenarnya bukan itu alasannya”
“lah terus apalagi? Kamu perawat, pekerjaan yang cukup mapan, penghasilan sudah lumayan, seenggaknya gak usah mikir lagi juga kan buat makan, kalau tidak ada yang mau, aku tidak percaya…” ia tertawa.
Aku mengikuti tawanya. “ya kadang kan hidup Cuma gak semudah itu aja…”
Ia diam sejenak, mungkin berpikir tapi kemudian melanjutkan lagi. “tapi pasangan ada kan?” ia seolah meyakinkan.
Aku kepikiran donne, aku mengangguk “ada… tapi…”
“tapi?” ia mengulang sambil bertanya.
“gak terlalu yakin, dia lagian sebenarnya sudah punya pasangan yang resmi dan ada orang lain yang aku sukai” aku mengangkat wajahku dan menatapnya.
Ia membalas tatapanku selama beberapa saat. “ahh.. betapa rumitnya, hidup memang gak mudah..”
“tok tok tok” terdengar seseorang mengetuuk pintu depan.
“siapa?” tanya andra waspada.
“emhh donne kaya nya” seharian ini aku tidak memberi kabar padanya. Sudah pasti ia akan menyusul ke sini. “ini jam dia buat jemput anaknya, pasti gak bakal lama kok di sini, kamu di sini aja, jangan ke depan, takut donne mengenali kamu”
Andra diam mematung di tempatnya. Sementara aku berlari menuju ruang tamu, menyambut donne yang sudah berdiri cemas di depan pintu.
“kamu kemana? Kenapa tidak ada kabar? Kata teman – teman kamu di rumah sakit kamu hari ini gak masuk shift pagi? Kamu sakit? Aku telpon dari tadi kenapa gak diangkat – angkat?” donne meluncurkan serentetan peluru tanda tanyanya sambil mendorong tubuhku masuk ke dalam rumah dengan langkah – langkah kakinya.
“ah iya, tadi pagi aku agak demam, mungkin karena semalam mandi terlalu malam, udah bilang sebenarnya tadi ke kepala UGD aku gak masuk” aku berdiri menghentikan langkah – langkah donne agar tidak masuk terlalu jauh ke bagian dalam rumah “kalau soal hp kayanya masih di charge di kamar dan aku ketiduran, barusan abis makan di dapur” aku menunjuk piring kotor bekas pasta di atas meja makan yang terlihat dari ruangan depan.
“kamu jangan sering – sering bikin khawatir coba.  Sudah tau kondisi di sini lagi gak aman, pake acara ngilang – ngilang segala”
“I iya maaf..”
Tiba – tiba kedua telapak tangan donne ia tempelken di kedua belah pipiku. “kamu pucat, udah minum obat kan?”
“udah… udah..” aku coba menenangkannya.
“aku suka kesel kalau keadaan kaya gini, aku gak bisa nemenin kamu padahl di waktu yang bersamaan kamu lagi butuh aku..”
“aku gak apa – apa don, beneran”
“are you sure?” tak ada tanda – tanda donne akan melepaskan kedua tangannya dari wajah dan leherku..
“iyaa…. Bukannya sekarang waktunya kamu jemput jojo ya?”
Ia malah memejamkan mata dan menempelkan dahi kami berdua “iyaa…” desisnya lemah “kamu gak tahu gimana semaputnya aku mikirin kamu yang seharian ini gak ada kabar”
“sorry….”
Tak terduga, dengan kedua matanya yang masih terpejam donne menciumku di bibir. Aku hanya berusaha membalasnya ala kadarnya. Hingga akhirnya ia berpamitan pergi lagi.
 “teman di club boxing emang diharuskan mencium di bibir ya?” sebuah suara mengagetkanku ketika aku masuk lagi ke dalam rumah.
“ah eh…”
Andra hanya tersenyum melihatku. Ia berdiri sambil memegang botol infusan di tangannya. Aku yang salah tingkah bergerak ke arah kran air dan mengambil minum.
“jadi dia yang sudah berpasangan resmi itu?”
Aku tak segera menjawabnya. Hanya berusaha menghabiskan segelas penuh air putih di tanganku terlebih dahulu.
“hidup tak semudah itu kan..” aku mengedikan bahu ke arahnya.
Ku biarkan cangkir kopiku yang berisi setengah lagi menjadi dingin. Aku sudah terlalu kenyang. Donne di depanku sedang memberikan sejumlah uang pada pelayan restoran, membayar makan siang kami. Waktu istirahat siangku hanya tinggal lima belas menit lagi. Ia merapihkan sesuatu di dalam tas kerjanya dan meletakan sebuah folder file berlogo pengadilan di atas meja. Ku kira itu sebuah file biasa, sebelum ku sadari ada namanya tertera di atasnya.
“file apa itu don?” sebenarnya aku tidak terlalu sering bertanya soal urusan pribadinya, termasuk pekerjaan atau kehidupannya. Namun file ini agak sedikit mencurigakan.
“bukan apa – apa..” jawabnya singkat. Kemudian ikut memasukan file tersebut ke dalam tasnya.
“oke, aku tidak mau bicara sama kamu sebelum kamu cerita sedang ada apa sebenarnya” suaraku agak meninggi.
Sesuatu yang donne takutkan jika kami sedang berada di tengah keramaian begini.
“surat pengajuan cerai”
Aku menegakan posisi dudukku dan hampir saja sikuku menumpahkan cangkir kopi di depanku.
“siapa yang mau cerai?” tanyaku seketika.
Donne tak segera menjawab, ia hanya menatapku beberapa saat.
“don…” ku cari pandangan donne, ketika ia berusaha menghindari pandanganku dan menatap ke arah lain.
“aku dan tania”
Aku kembali menyandar pada kursi tempatku duduk “enggak…”
Donne menggerakan tubuhnya condong ke arahku, seperti biasa tatapan matanya berusaha menenangkan. “biar ini jadi keputusan aku lex”
Aku menggelengkan kepala, aku benar – benar takut hal itu terjadi, bahwa aku bisa menjadi penyebab hancurnya janji suci orang lain.
“tenang saja bukan kamu alasan kenapa ini terjadi”
Donne seakan tak mau membuatku khawatir, ia menggenggam pergelangan tanganku.
“terus kenapa?”
“its not work…” donne kini menyandarkan punggungnya. “aku pikir ini bisa berjalan mudah, tapi ternyata engga. Aku pikir bisa terus pura – pura, tapi ternyata enggak..”
“don, kalau ini semua ada sangkut pautnya sama aku, aku yang pergi, jangan korbankan tania sama jojo”
Donne menggeleng.
“aku yakin kamu manusia dewasa, ini murni keputusan aku” donne memegang tanganku erat. “aku sayangnya Cuma sama kamu lex”
Aku mengangkat tubuhku dari kursi restoran, lalu meninggalkannnya di sana. sekian lama berkutat dengan hal ini, baru kali ini aku merasa begitu bersalah.
“rumah ini dalam proses penyitaan bank” ku robek stiker tersebut dari tembok depan rumahku. Meski aku pun belum tahu bisa membebaskannya dengan cara apa. Aku sama sekali tak akan menyalahkan keputusan papa atau mama dulu, hal itu sudah lama berlalu. Membenci ketiga saudaraku? Karena sudah hidup enak dan tidak ikut pusing memikirkan nasib rumah ini juga ku tahu Cuma membuang – buang energiku pada akhirnya. Sementara mencari jalan keluar untuk melunasi semua hutang itu pula masih berakhir buntu.
Aku bisa saja membiarkan bank menyita rumah ini, atau rumah ini ku jual dulu pada developer kemudian uangnya sebagian ku pakai untuk melunasi hutang tersebut. Lalu aku mencari hunian baru di pinggir kota sambil perlahan meniti karir ku sendiri di rumah sakit. Tapi bukan itu maksudku. Aku lahir dan di besarkan di rumah ini, rasanya terlalu murah jika harus menjual semua kenangannya begitu saja.
Ku simpan robekan stiker tadi di atas meja ruang tengah. Tiba – tiba saja andra berdiri di depanku, membuatku terperangah dan kaget dibuatnya. Aku lupa kalau di dalam rumah ini tak hanya ada aku saja sekarang.
“sorry, bikin kaget ya, tadi ada orang yang ngetok ngetok rumah, aku pikir temannya si polisi, tapi mereka Cuma nempelin sesuatu di tembok luar sama masukin amplop itu lewat celah bawah pintu” andra menunjuk amplop putih yang tergeletak di atas meja ruang tamu.
Aku hanya menghela nafas.
“have bad day di kerjaan?” andra mengambil kursi dan duduk di depanku.
Aku mengangguk kecil.
Ia mengulurkan tangannya. “infusan udah boleh dilepas kan? Udah bisa makan sama minum ini..” katanya sambil tersenyum lagi.
Tanpa banyak kata aku pun membuka selang infusan yang memang sudah andra minta untuk buka sejak tadi pagi, namun aku menolaknya, takut cairan dalam tubuhnya belum begitu seimbang. Namun ku janjikan sore ini untuk melakukannya.
“hari ini segitu buruknya ya?” tanya andra lagi sambil berusaha mencari tatapanku.
Aku tak menjawabnya. Sampai semua selang dan botol infusan lepas dari tubuhnya.
“hidup semakin kita tua malah makin ribet ya”
“gak seribet jadi buronan akibat bikin bisnis narkoba bro” jawabnya kini sambil tersenyum lebar.
“tapi lebih ribet jadi buronan akibat ngerusak rumah tangga orang” sahutku asal.
“ow..”
Hening sejenak di antara kami berdua. Jari – jari tanganku mengetuk ngetuk meja di depanku.
“something happen?” tanya andra lagi.
“ya, donne mau menceraikan istrinya”
Andra diam sejenak, sambil mengangguk – angguk kemudian dia bilang “bukannya harusnya kabar bagus buat kamu ya?”
Aku menggeleng cepat.
“bukan itu yang aku inginkan, maksud aku sama donne gak kaya gini”
Ku kira andra tak cukup mengerti bagaimana sebenarnya keadaan kami.
“ada hal yang memberatkan kamu lex?” aku hanya meliriknya sekilas “seseorang sedang membuat keputusan besar hanya untuk memperjuangkan kamu, kan? Maaf kalau aku berpikir terlalu jauh…”
Kali ini aku pikir malah andra bisa membaca begitu jauh apa yang terjadi antara aku dan donne bahkan tanpa aku jelaskan.
“kurang lebih seperti itu, tapi rasanya ada yang salah”
“apanya yang salah?”
Aku menatap andra beberapa saat, sosok yang tiga hari lalu namanya saja aku tak tahu kini bahkan bisa mengetahui tentangku bahkan hingga sejauh ini.
“aku juga gak tahu..”
“aku boleh bantu mikir gak lex?”
Aku mengangguk pada andra.
“sekarang coba sebutkan apa kekurangan donne atau letak sesuatu yang menurut kamu salah…”
“emhhh… dia sudah menikah, dia posesif, dia sedikit agresif, ada kecenderungan mengontrol semua yang dia miliki”
Andra mengangguk – angguk kecil. “sekarang coba sebutkan kelebihannya”
Aku berpikir sejenak “dia selalu ada waktu…” aku menimbang yang lainnya lagi “dia selalu memperhatikan hal – hal kecil, dia tak pernah menyerah…”
“lebih banyak nilai positifnya dari dia kan? Lalu kenapa tidak lex?”
“kenapa harus menjadi penghancur kebahagiaan orang lain? Seandainya bisa mencari sumber kebahagiaan sendiri..”
Andra memicingkan sebelah matanya. “ah.. aku ingat ada sosok yang itu ya…” aku membalas tatapannya, penasaran dengan sosok mana yang ia maksud “sosok lain yang kamu suka”
Aku menundukan kepala, tak berdaya pada pertanyaan terakhir andra.
“Benar begitu ya lex?”
Aku mengangguk pelan.
“ada orang lain yang kamu inginkan lex?”
Aku mengangguk lagi.
“orang itu tau kamu suka sama dia?”
Aku menggeleng, tak terlalu yakin. Mungkinkah tak terbaca…
“yah alex….”
Entah kekuatan dari mana di tengah ke galauanku sendiri  yang membuatku berdiri tubuhku menimpa tubuh andra yang duduk di depanku, lalu ku arahkan bibir ku kepada bibirnya yang sepertinya hendak berbicara lagi. Sambil memejamkan mata. “orang itu kamu ndra…”
“owh… sorry…” aku menjauhkan tubuh dari tubuh andra yang kini duduk mematung setengah terkejut melihat apa yang aku lakukan kepadanya. “berbulan – bulan aku terus membayangkan bagaimana itu rasanya…” kataku pada ciuman barusan.
“not bad…” ujar andra sambil menghembuskan nafas dan tersenyum lagi.
Aku pikir keadaan akan membaik tapi aku malah memperparahnya, ku putar badanku lalu melarikan diri keluar dari rumah.
Pikiranku masih melayang jauh pada semua persoalan yang terjadi hari ini, keputusan donne sudah pasti bukan keputusan mudah untuknya. Setidaknya sudah banyak waktu yang ia habiskan untuk mempertimbangkan hal ini. Meski kami sesekai pernah membicarakannya, namun bukan keinginanku agar ia bisa memilih aku untuk hidupnya pada akhirnya. Jika kehidupan donne merupa sebuah jalan bebas hambatan, aku berpikir tak apa jika olehnya aku hanya dianggap sebuah rest area. Bukan tujuannya, bahkan untuk dijadikan tempat pulang. Dosaku terlalu berat ketika diampuni dan menerima kemurahan hati sebesar itu.
Aku menyukai sosok seperti andra hampir terjadi sepanjang hidupku. Sejak hari pertama hatiku mengenal cinta. Tapi kesempatan yang terjadi antara aku dengannya selama tiga hari ini, memunculkan keberanian besar yang bahkan selama ini tak pernah aku sangka akan muncul ke permukaan. Lalu entah keputusan bodoh dari mana yang bisa – bisanya membuatku berpikir bahwa tidak apa – apa mencium bibirnya.
Dua jam lebih ku habiskan waktu berkeliling tanpa tujuan di angkutan umum, naik dan turun dari satu halte ke halte lainnya, lalu menjelang waktu petang aku putuskan untuk mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Mengingat stok makanan di kulkas dan belanja bulanan sudah waktunya. Meski halte tempatku turun sekarang cukup jauh dari rumah letaknya.
Supermarket tentu saja tidak akan ramai di rabu sore begini, paling hanya segelintir pasangan yang mencari bahan pangan sampingan yang habis di rumahnya atau lajang yang kehabisan stok mie instan seperti yang datang ke sini. Aku menelusuri lorong demi lorong rak – rak supermarket yang menjulang bahkan hingga menyentuh langit – langit.
Lalu di sana, di ujung lorong yang berisi buah – buahan dan ikan – ikan yang masih hidup, dia berdiri di samping istrinya sambil menggendong anaknya. Dengan membicarakan satu atau dua hal. Dengan keadaan yang cukup baik – baik saja, cukup baik untung pasangan yang hendak bercerai.
Aku memutar langkah kemudian pergi secepatnya kembali ke halte tadi tempat angkutan umum menurunkanku ke sini, segera menaiki angkutan tercepat yang datang lalu membawaku pergi dari tempat itu. Pikiranku masih tertinggal di sana. di tengah tawa sebuah keluarga yang kebahagiannya hendak ku rampok dan ku hancurkan.
Pagar rumah terbuka ketika aku pulang, pintu depanpun tak terkunci. Lalu tak ku temukan andra di manapun di dalam rumah, ia pergi bahkan tanpa sempat berpamitan, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa bulan berlalu….
Aku duduk pada kursi di nurse station, beberapa menit menjelang waktu pulangku. Beberapa orang teman juga dokter duduk di kursi lain, ikut menanti yang akan bekerja pada shift berikutnya, menyerahkan status beberapa pasien yang baru masuk hari ini dan setelah itu kami dapat melepaskan diri dari rutinitas yang kadang terasa mencekik namun menyenangkan di waktu bersamaan.
Seorang office boy menghampiriku, ia menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning tua dan berprangko Amerika. Aku mencari sudut di dalam ruangan, hendak membuka apa isi di dalamnya. Sebuah surat dan beberapa lembar kertas lain di belakangnya.
Dear: Alex Rhanabumi
Hai lex, apa kabar? Bagaimana hidup? Masihkah tidak mudah seperti biasanya? Aku harap tidak, seperti yang telah kamu berikan kepadaku. Ya walau itu hanya berupa waktu.
Waktu tiga hari terbaik yang sampai saat ini tak henti aku syukuri pada Tuhan karena pernah memberikannya. Ia betul – betul bermurah hati dengan menuliskan takdir bahwa aku bisa bertemu orang sebaik kamu. Ya bahkan kamu terlalu baik untuk menerima bahkan menyukai penjahat seburuk aku.
Lalu hal berikutnya yang tak pernah akan aku hilangkan keberadaannya adalah sentuhan kamu, sentuhan bibir kamu, sentuhan hidup kamu untuk hidupku yang telah merubah semuanya. Keberuntungan yang tak akan pernah bisa dimiliki oleh sembarang orang, yaitu bisa diberikan kesempatan berada satu ruang waktu dengan kamu.
Kamu menyadarkan aku akan suatu hal lex, bahwa cinta itu universal dan ada, cinta itu harusnya tak hanya memutus antara baik dan buruk saja tapi bisa melebihi kedua hal itu. Lalu kenapa aku pergi dari sebuah keberuntungan yang langka tersebut? Karena buatku aku terlalu kecil untuk sesuatu yang lebih besar yang lebih bayak kamu dapatkan.
Sedetik setelah kamu keluar dari pintu, aku begitu merasa beruntung, bahwa aku bisa menerima cinta sebesar itu. Dalam hidupku yang begitu hampa dan tak pernah mengenal apa itu cinta, kamu mengetuk dan memperkenalkannya bahwa hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Kebaikan hati kamu, kerelaan kamu menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan bisa saja sebenarnya mengancam nyawa kamu sendiri. Tapi kamu tidak, kamu melakukannya. Entah demi cinta entah demi apa, tapi yang aku rasa itu adalah sebuah keajaiban nyata yang bisa dibawa oleh hati seorang manusia.
Lalu di detik berikutnya, aku sadar akan hal lainnya, benar kata kamu  kenapa harus menjadi penghancur kebahagiaan orang lain? Seandainya bisa mencari sumber kebahagiaan sendiri. Aku tidak pernah melihat tatapan setulus donne ketika mengkhawatirkan kamu, sesuatu yang tentunya tidak akan pernah bisa aku berikan terhadapmu. Jika saja aku begitu merasa begitu beruntung akan kehadiran kamu di hidupku, bukannya harusnya begitu pula kamu merasa akan kehadiran donne di hidupmu? Lalu ketika kamu merasa telah menghancurkan kebahagiaan mereka, apa bedanya jika aku tetap memaksa menginginkan kamu? Kebahagiaan macam apa yang nantinya akan aku dapatkan jika ku peroleh dengan menghancurkan milik orang lain? Aku yakin kamu setuju pada hal ini.
Aku harap kamu tidak marah padaku, lex. Aku tetap menyayangi kamu dan jangan menggeleng tanpa jawaban lagi ketika orang lain bertanya soal isi hatimu.
Dallas, USA
 Kandhara Biru
P.S aku tahu beberapa lembar berikutnya mungkin tak sepenuhnya menyelesaikan masalah kamu, namun dibandingkan yang telah kamu lakukan untuk hidupku, ini semua tidak ada apa – apanya. Oh ya, satu lagi, aku sudah mencetak foto-fotoku yang ada di kamera kamu. Aku harap suatu saat bisa mendapatkan balasan berupa foto- foto kamu bersama donne.
 Ku buka lembar berikut yang ia maksud, sebuah cek berisi 50.000 dollar menyembul dari balik surat yang pertama. Aku tak tahu jika andra waktu itu membaca surat penyitaan dari bank. Ku angkat kepalaku, ketika ku lihat di pintu ruangan Donne sudah berdiri menjemputku pulang.
….
       B)���
1 note · View note
kornetsapi · 6 years
Text
Menangkap Bayangan
Untungya cinta sejati tidak pernah ditemukan di ketinggian, namun di perjalanan mendaki.
Ku tutup buku hasil karya anak keduaku, draft yang ia kirim tujuh bulan lalu kini telah berubah bentuk menjadi kumpulan kertas berwarna putih pucat dan mengeluarkan aroma kayu. Kayu yang terbelah jauh di pedalaman hutan, menurutku.
“dad, berangkat” terdengar dana menutup pintu. Ia sedang ujian tengah semester, sehingga jam tujuh pagi sudah pergi. Ku biarkan pintu tak terkunci….
Ku ulang push up ku hingga beberapa revitisi, keringat mengalir deras mengganti hujan kemarin, tiupan alam setengah badai itu membuat akhir pekan kami berantakan. Acara kumpul berempat akhirnya tidak bisa terlaksana, penerbangan erman dari bali dibatalkan dan lukman terkepung banjir juga kemacetan.
Dana yang memang masih tinggal di sini cukup menyesali apa yang terjadi pada kedua kakaknya, hampir dua tahun yang lalu mereka terakhir bertemu. Tak ada tahun baru, tak ada libur hari raya, waktu rasanya sulit sekali mengumpulkan kami lagi dalam satu meja makan.
“maaf Sara, anak – anak masih sibuk rupanya” gumamku di depan sebuah lukisan minyak yang sebenarnya tidak bisa bergerak. Telah lama fotonya tanggal dari semua ruangan, bagi dana yang kuliah di psikologi menurutnya hal itu tak akan pernah menyembuhkan trauma. Trauma dalam bentuk apapun di hati kami, empat lelaki yang ditinggalkannya.
Sara meninggal empat jam setelah dana lahir, sesuatu yang sampai saat ini tak akan menjadikan bahan untuk dana bersedih. Malah membuat nya menjadikan gagasan – gagasan bagaimana jika saja ada seorang perempuan yang mengurus rumah ini.
Ya dulu rumah ini begitu tak terurus ketika anak – anak masih tinggal di sini dan usia mereka masihlah anak – anak. Tak ada waktu membereskan segala jenis mainan kembali ke dalam kotaknya, tak ada waktu untuk mengecat lagi dinding rumah yang sudah dicorat coret ketika ketiga balita itu tau fungsi spidol, dan tak ada waktu untuk membetulkan saluran air hujan yang tersumbat dedaunan.
Sampai akhirnya satu – satu mereka terbang, bak anak burung meninggalkan sarang….
Erman tinggal di bali, gelar sarjana perhotelannya membuatnya mampu memimpin sebuah hotel bintang lima hanya dalam waktu setengah tahun. Dan sekarang ia sedang merintis private cottage miliknya sendiri di pinggiran sanur. Lukman, si manusia mesin, namun paling puitis. tinggal di daerah industri di luar jakarta. Sebenarnya ia bisa saja tinggal di sini, namun tuntutan profesional pekerjannya membuatnya memilih daerah sebagai tempat tinggal.
Tersisa dana, yang bahkan dalam seminggu aku paling hanya bisa bertemu dengannya dua atau tiga kali paling banyak. Kuliahnya padat, kegiatannya banyak, dan tingkah tidak pernah betah duduk diam tanpa bekerja yang diwariskan ibunya membuatnya jarang sekali berada di rumah. Ia lebih senang bersama komunitasnya, membesarkan LSM dan sebuah perusahaan infomedia kecil – kecilan yang dirintisnya sejak duduk di kelas tiga SMA.
Ku lipat lagi majalah yang sedang ku baca, persiapanku untuk shooting masih beberapa minggu lagi. Tapi rasanya perutku masih belum mau mundur ke belakang lubang sabuk yang biasa membuatnya masih terlihat ramping di usia lima puluhku.
Warna kelabu masih menggantung di langit, sisa hujan semalaman. Mendung juga membawa angin yang meniup gorden pelapis berwarna putih pucat, membuat ujungnya bak menari – nari dipermainkan udara pagi.
“tok tok tok…” terdengar suara ketukan di pintu rumah.
Pukul tujuh lebih, siapa yang bertamu sepagi ini. Ku pastikan hari ini, aku tidak memiliki janji. Aku berjalan menuju ruang tamu sambil mengeringkan badan dari keringat dengan sebuah handuk kecil di tanganku.
“krek…” ku buka daun pintu.
Angin dan basah sisa hujan semalam membawa kembali semua kenangan itu.
FREDY sebuah nama terbordir rapi di dada jaket kamuflasenya, nama keluarga yang telah mewariskan beberapa jendral dan kini seorang calon panglima. Begitu setidaknya kabar yang beredar dari setiap berita di televisi akhir – akhir ini. Presiden telah mengajukan satu nama sebagai calon tunggal pasukan militer negara ini dan kini ia tengah duduk di meja bar rumahku sambil menghirup secangkir kopi.
Sebuah ransel tergeletak di dekat kakinya, ransel berwarna sama dengan seragam yang ia kenakan. Udara dingin membuatnya urung menanggalkan jaket tebal angkatan udara yang sejak tiba tadi terus menempel di badannya. Ia hanya meletakan baretnya di atas meja, di samping cangkir kopinya yang baru sepuluh menit lalu ku sajikan.
Waktu membawa lari jauh jarak dan usia kami, tentu saja ia tak semuda lelaki yang ku kenal dua puluh lima tahun lalu. Namun banyak sekali yang berubah darinya, selain kini ia memiliki tubuh yang tegap beberapa lembar rambut berwarna putih mulai menghiasi kepala cepaknya.
“rumahmu lumayan besar Dam…” ia memperhatikan sekitar.
“heem..” jawabku hanya mendehem sambil berusaha tak perlu memalingkan wajah ke arahnya.
“cocok untuk memang untuk berkeluarga dan membesarkan anak – anak”
Kali ini aku tak menjawabnya. Ku balikan dua telor mata sapi di atas wajan, memperhatikan baik – baik bahwa kuning telurnya tak pecah sama sekali dan matang sempurna yang ku masak dengan api kecil di atas kompor di pantry yang dikelilingi meja bar tempat ia kini duduk memperhatikanku.
“anak-anakmu mirip sekali dengan kamu ya” aku mengikuti arah jari tangannya, ia menunjuk sebuah foto keluarga di dinding ruang tengah. “wajah – wajah cerdas, tegas dan jenaka dalam waktu yang sama”
Lagi, aku tak menjawabnya. Ku sajikan sarapan kepadanya, dua buah telor mata sapi dan roti panggang yang telah ku olesi dengan mentega. Ku buka pintu kulkas, lalu ku ambil sebuah apel besar dari sana, memotongnya menjadi delapan bagian dan menyajikannya lagi di atas piring yang lain.
Aku masih menanggapinya dalam diam, ku tuangkan air the hangat ke dalam dua gelas tinggi. Sambil ku siapkan sarapan untukku sendiri. Wangi melati seketika menyeruak ke seisi ruangan dari teko the yang baru saja ku tuangkan.
“anak – anakmu sudah besar tentunya sekarang Dam?”
“si sulung kerja di bali, yang nomor dua di karawang dan yang bungsu kuliahnya sedang semester akhir” jawabku ala kadarnya.
“betapa aku tidak pernah sekali saja bertemu mereka ya…” masih nada itu, nada suara yang seakan – akan tidak pernah terjadi apa – apa.
Ku hentikan semua aktivitasku dan menatapnya yang sedang duduk di depanku. Menyadari hal itu, ia menghentikan makannya dan balas melihat ke arahku, oh tuhan… sorot mata itu.
Ia tersenyum “ku dengar film barumu tayang tahun depan?”
Ku lanjutkan membuat bubur dari oat jagung dan beberapa campuran buah – buahan. Suara garpu dan pisau berdenting sesekali ketika bertemu permukaan piring dan suaranya memecah hening yang sejak tadi sengaja ku pelihara.
“sejak dulu aku tahu kamu akan jadi aktor yang bersinar” ia memandang lemari yang memajang sederet piala dari beberapa ajang penghargaan. “dan aku tahu karirmu pasti akan besar dan lihat saja sekarang”
“nang… lanang…” tanpa menatapnya ku sebut namanya. Ingin sekali menyuruhnya berhenti.
“setidaknya itu semua menenangkanku Dam, aku pun bahagia ketika mengetahui kamu bahagia dengan kehidupan yang tidak mampu aku berikan..”
Uap air menetes satu – satu membasahi jendela ketika ku alihkan pandanganku keluar ruangan, udara yang dibawa hujan d luar kini berubah menjadi lembab menyaksikan dua orang beradu isi kepala atau ketenangan yang hanya pura – pura di dalam sini.
“bukannya itu yang kamu inginkan?” aku mulai menyendoki sarapan di depanku.
Ia mengangguk samar namun menggelengkan kepala pula seketika. Diremasnya sepuluh jari tangannya sambil menarik nafas panjang.
“ya..” jawabnya sambil membuang nafas. Kemudian menghabiskan sisa sarapan di depannya. “aku turut berduka cita soal Sara..”
Aku tak menanggapinya. Ku tuang lagi the melati ke dalam gelasku yang telah kosong dan ku sodorkan teko kecil itu ke hadapannya. Semoga ia berkenan mengisi sendiri gelasnya yang juga sudah setengah kosong.
“ia pergi terlalu cepat untuk kebahagiaan sebesar ini, untuk kebersamaan sebaik ini”
“tidak selamanya kebersamaan bersama seseorang itu baik” jawab ku singkat.
“setiap kebersamaan itu baik” sahutnya lagi.
Ku angkat kepalaku dan sejurus menatap matanya yang lurus berada di depanku. Ingin sekali menancapkan ujung garpu di tanganku pada titik di antara batang hidungnya itu.
“kalau semua kebersamaan itu baik kenapa kamu memilih pergi?”
Kedua mata Lanang balas menatapku, hanya saja dengan sorot yang lembut. Cahaya mata yang bertahun lalu mampu menjawab rindu ataupun sekedar pertanyaan tak menentu pada takdir. Kini ia tak membiarkanku lepas sama sekali dari hadapannya, seolah – olah.
“you must think that iam new to this but I have seen this all before”
Sebuah lagu mengalun dari suatu sudut di dalam rumah, seakan memberikan latar pada perbincangan kami berdua yang kini berakhir pada pertanyaanku yang menggantung di udara. Lanang menelan ludah, mungkin menelan lagi kata – katanya bersama beberapa suapan terakhir sarapannya.
“Dam….”
“tidak” aku memotong suara Lanang “kamu berhutang penjelasan, kamu berhutang alasan selama puluhan tahun kenapa aku bahkan tidak layak untuk sebuah telpon atau surat perpisahan?” ku letakan sendok dan garpu di atas meja bar. Lalu dengan sengit, ku balas tatapan kedua matanya yang terus – terusan berusaha melemahkan itu.
Lanang malah diam dan menatapku lebih lama. Hanya ada suara nafasnya dan nafasku yang memburu, menahan amarah yang tak pernah selesai ku pecahkan sejak dua puluh lima tahun lalu.
“apakah menurut kamu aku tidak pernah menunggu? Apa menurutmu hari – hari yang ku jalani adalah hari – hari normal sewajar saat kita masih menjalaninya berdua? Apakah aku tidak pernah layak menerima sekedar alasan basa – basi ketika kamu pergi? Apakah kamu pikir hidupku mudah setelahnya? Apakah menurut kamu manusia mana saja bisa jadi pengganti sebuah tempat kosong yang kamu bawa serta?” ku rasakan nada suaraku kian meninggi seiring tubuhku yang terangkat sendiri dari kursi. “apakah buat kamu ini semua hal yang biasa dan menganggap yang terjadi antara kita juga wajar – wajar saja? Apakah aku tidak layak untuk sebuah permohonan agar kamu tidak harus pergi?”
I know you're thinkin' I'm heartless I know you're thinkin' I'm cold
“karena kamu tahu kalau hanya dengan mendengar suara kamu saja aku bisa berubah pikiran” jawab lanang dengan tatapan matanya yang tetap tenang. “karena aku kehabisan kata untuk menandingi sejuta alasan bahwa kamu begitu layak diperjuangkan, karena satu kata saja yang kamu ucapkan pasti mampu menahan aku untuk tidak pergi. Jangan sama sekali berpikir bahwa hidup yang ku jalanipun selama ini mudah…”
Aku berdiri dan ia tetap di tempatnya, mematung, seperti kenangan yang selama ini terus berjalan menuakan kami berdua. Membiarkan persoalan di antara kami bagai sebuah persimpangan yang dipenuhi jalan buntu. Dalam diam kami bahkan bisa mendengar suara degup jantung kami mendetakan setiap kesedihan atas kehilangnnya sejak lama. Menjerat hidup dalam batas tanya sudahkah sepantas dan sebatas itukah anugrah tuhan terjadi pada kami berdua.
Im never gonna let you close to me, Even though you mean the most to me, Cause everytime I open up, its hurt
“menurutmu butuh berapa waktu untuk merencanakan hal ini? Yang terjadi sekarang ini?” kepala lanang mendongak dan menatapku lagi “bahwa yang terjadi padaku adalah serentetan hari – hari buruk karena tidak pernah bisa membuat kamu agar bisa berada di sana, bahwa apapun yang ku lakukan pada akhirnya hanya membuahkan perpisahan yang semakin pedih ketika terjadinya”
Ku remas kedua tanganku sendiri. Melipat lagi perasaan yang selama ini memang telah tersimpan rapi. “lantas…”
“pernahkah terpikir lukapun bisa begitu besar ketika kita melupakan dan terpaksa meninggalkan?”
So I'm never gonna get too close to you, Even when I mean the most to you, In case you go and leave me in the dirt
ku biarkan pintu tak terkunci lagi, ketika semakin jauh ku saksikan punggungnya menjauh pergi. Ini hanya sebuah titik di mana ku pikir rongga dadaku akan menghirup udara lega padahal oksigen hanya sedang menguap lagi di udara mengabaikannya lagi, seperti sedia kala. Ku tatap lagi bahagia, betapa gagahnya tak pernah sempurna tanpa satu bekas luka.
Lalu ku tempatkan denyut dalam hati ke tempat semula, ke tempat di mana ia terbiasa menebak seperti apa jika hidup bisa dihabiskan di dunia yang penuhi oleh perwujudan dari kata seandainya.
But every time you hurt me, the less that I cry
And every time you leave me, the quicker these tears dry
And every time you walk out, the less I love you
Baby, we don't stand a chance, it's sad but it's true
I'm way too good at goodbyes…..
Selesai 31/12/2017 18.55
Song by Sam Smith.
1 note · View note
kornetsapi · 7 years
Text
Kabar Dari Badai (part 2)
Desember 2017 dan beberapa waktu lalu…
Kabar itu datang bagai sebuah kota yang diterpa badai. Aku diam di tempatku, sejak beberapa hari yang lalu. Terpukul, menyesal dan kesedihan kini menyatu. Aku mengunci pintu dan membiarkan orang tak menyapaku, hanya persahabatan yang bisa dibagi, kesedihan tidak.
Udara dingin merayap masuk lagi lewat setiap titik lubang – lubang ventilasi, bahkan ruang sesempit antara daun pintu dan lantai ruang tamupun tak luput dari sapuannya menurunkan suhu. Ku tarik lagi ujung lengan sweaterku. Berharap mampu menutup langit yang sejak dua hari lalu berwarna kelabu. Membawa musim yang menyajikan dingin yang lebih dingin dari musim – musim hujan di masa lalu.
Kematian datang tak akan pernah salah pilih orang. Seperti hujan yang selalu tahu di mana ia harus turun dan di tempat mana ia akan segera reda. Tapi musim ini, dinginnya terasa begitu berbeda.
Ku biarkan asti masuk dengan kunci cadangan miliknya. Ia meletakan sebuah kantong plastik di atas meja makan, dan menghangatkan sesuatu di dalam panggangan.
“kamu harus makan…” kedua tangannya mengusap pangkal lenganku sambil ikut berdiri di depan jendela yang menghadap langit yang sampai saat ini masih tak membawa apa – apa, malah mengambil semuanya.
“mau aku bikinkan susu hangat?” hembus nafas asti yang berat menyembur, ketika kepalanya bersandar di punggungku.
“tidak perlu…” jawabku, sambil menutup tirai, memandangi langit hanya menambah lebar sayatan itu.
Hening kemudian mengisi ruang di antara kami, hanya deru nafas panjang yang terdengar seakan terburu – buru menutup setiap pangkal kata yang mungkin bisa jadi hiburan atau menambah penyesalan.
“oyen pasti sedih melihat kamu begini” kata asti dari sudut lain ruangan. Sementara kepalaku menekur setiap lekuk urat kayu meja makan, seolah ia hidup dan menjadi urat nadi dalam ruangan.
“di saat seperti ini, oyen pasti ingin semua teman – temannya berkumpul sa..” kata asti lagi setengah memaksa.
“bohong ti, persahabatan tak akan pernah seberguna itu sampai kapanpun..”
Asti berjalan tergesa ke arahku, deru nafasnya memburu, setengah marah ia meremas pergelangan tanganku.
“aksa.. aksara… cukup penderitaan marion yang menimbulkan kesedihan buat kita, keputus asaan kalian, jangan!” “dia sudah tenang, kita saja yang ditinggalkan terus – terusan merasa terguncang”
Asti mengguncang badanku, seakan memintaku sadar, seakan membangunkanku dari sebuah tidur panjang, dari sebuah mimpi buruk tentang kehilangan.
Aku luluh ke lantai, ketika menyadari hal itu langit di jiwaku kembali luruh dan menjadi berkeping – keping, debu yang menghilang dalam sekali tiup atau hujan.
Kembali ku pejamkan mata, mencoba menelusuri gelap yang mungkin kini ia rasakan, yang mungkin tak jauh dari yang dulu kami rasakan, di ruang televisi keluarga gusti.
Ku remas jemari, mencoba menghitung berapa kemungkinan semua itu utuh lagi, ketika keyakinan untuk saling menguatkan saja kini terhapus bagai sesuatu yang mengingkari janji.
….
Beberapa ikat bunga masih tergeletak diam menyandar pada sebuah papan nama yang tak kalah bisu, harumnya hilang seiring waktu memecah misteri buruknya rasa kehilangan kami.
Wanda berdiri di sampingku dengan payung di tangannya, payung yang hitam legam mulai dari batang hingga keteduhan setengah lingkaran yang dibawanya. Sayang itupun tak lekas membuat sejuk rasa kosong yang dia tinggalkan.
“seminggu lalu gue baru turun dari kilimanjaro, sebelumnya di antara rombongan Cuma gue yang berhasil sampai ke puncak, di puncak yang ada hanya es dan angin yang sesekali berubah jadi badai, dia berdiri di sana sa… tanpa kata, tanpa bilang apapun, tanpa ngasih tahu apapun…”
Gerimis mulai turun di antara kami satu persatu…
“sesampainya di sini, gue seakan lupa sama kejadian itu, apalagi melihat begitu baik kehidupannya di setiap tayangan televisi, sampai kabar itu datang lalu gue sebadan – badan merasa di bawa lagi ke puncak kilimanjaro dan tuhan bilang bahwa sahabat gue ada yang hidupnya lagi gak baik – baik saja, ada yang masa depan yang sedang dijalaninya tidak selancar kelihatannya..”
Ku remas gundukan tanah merah di depanku, betapa marion adalah sosok yang tidak pernah mau merepotkan siapapun dan menyimpan segala sesuatunya sendiri. Termasuk kami, sahabat – sahabatnya. Pintu pertama yang harusnya dia datangi ketika jalanannya tidak sedang lancar ditekurinya.
Entah sudah ku kemanakan janji untuk selalu ada untuknya selama waktu ini berlalu?
Kami berempat duduk mengitari meja kaju di dalam restoran milik gusti. Wanda di sampingku, anwar dan gusti dengan matanya yang sembab duduk lemas di depanku. Sudah hampir setengah jam kami berempat di sini, tanpa suara, tanpa sesuatu apapun berusaha disajikan di atas meja.
Dia yang biasanya jadi kapak pemecah keheningan semacam ini saja sudah tak ada. Maka kami membiarkan hujan deras di luar membekukan semuanya. Semua hal yang kini tersisa di antara kami. Setiap kepala berita dalam surat kabar, atau tayangan tentang bagaimana pekerja media massa berusaha menerebos kediamannya ketika ia ditemukan tak bernyawa.
Ternyata sebesar apapun panggung yang menjadi tempatnya hidup bukan berarti tak menyisakan perih, sementara ikatan yang kami janjikan untuk menenangkan waktu itu tak kunjung bisa diharapkan. Ia memilih menyerah, ia memilih menutup orchestra di tengah – tengah pementasan.
Waktu terus berjalan, hujan membawa petang kemudian tengah malam. Namun kebisuan di antara kami tak tergoda apapun, bahkan oleh godaan dentuman suara air yang jatuh menimpa jendela dan dedaunan. Pelayan restoran meremangkan cahaya lampu, tak berani mengusir. Dia tahu kehampaan tak semudah itu dihempaskan, penyesalan tak membawa kami kemana mana – mana selain hanya menyisakan tumpukan air mata di atas meja.
12/21/2017 11.55
0 notes
kornetsapi · 7 years
Text
Kabar Dari Badai (part 1)
Sebuah ikatan pemberian Tuhan harusnya tak akan mengenal ruang dan waktu.
Penghujung Desember 2007
Marion menutup tirai besar dari jendela yang menghadap kebun belakang rumah gusti. Meski wanda menginginkannya selalu tetap terbuka agar dia bisa melihat sinar matahari ketika pertama membuka mata. Tapi marion menjamin kalau dia besok akan bangun duluan dan membukanya sebelum wanda bangun. Sudah sejak sejam lalu wanda terlelap tidur. Ia masih kecapaian, dua hari lalu ia baru saja pulang dari lombok, seusai mendaki gunung rinjani.
Anwar muncul dari dapur dan duduk di sebelahku, membawa semangkok – lagi – indomie kuah yang seakan tak pernah habis dari lemari penyimpanan tante mariam, mamanya gusti. Marion berbaring di sebelah gusti, ikut bergabung lagi bersama kami menonton televisi. Ia menelusup masuk ke dalam selimut merah besar yang sejak tadi menutupi tubuh gusti dan wanda.
Aku dan anwar masih duduk di sofa malas ruang keluarga gusti, sebenarnya ingin sekali bergabung bersama gusti, wanda dan marion di lantai yang beralaskan karpet bulu itu sejak tadi. Tapi aku masih harus menyelesaikan bahan makalah yang ditugaskan selama masa libur semester ini, tugas kelompok seharusnya. Namun hingga bab penutup hampir rampung aku kerjakan, ke empat orang itu sama sekali tak pernah menanyakan soal makalah tersebut, padahal makalah itu satu – satunya tujuan marion mengumpulkan kami di sini.
“masih di rumah gusti?” tanya Asti di ujung telpon.
Aku mengangguk seolah – olah dia mampu melihatnya, “iya.. kami nginep di sini kayanya”
“makalahnya udah selesai?” asti yang selalu perhatian dan tak pernah ragu menawarkan bantuan jam berapapun, bertanya lagi.
“udah nih tinggal ngumpulin daftar pustaka aja, belum tidur ti?” ku klik tanda save di layar laptop di pangkuangku.
“oooooh asti” ke tiga orang di depanku kompak, mirip paduan suara sekolah saat upacara hari senin.
Tak lama setelah berpamitan asti menutup telponnya, aku menyimpan laptop yang sudah mati di atas meja makan. Lalu mengambil segelas air dari kran dispenser yang berdiri di sebelah kulkas rumah gusti yang besar.
Marion dan gusti masih asyik mengomentari acara fear factor yang sedang tayang di televisi, sementara anwar berlalu ke belakangku menuju dapur, menyimpan mangkok mie kesekian kalinya itu.
Ku rebahkan badanku di sebelah marion yang kini semakin nampak kontras karena warna hoodie yang dikenakannya sama dengan warna selimut yang menutupi tubuhnya. Kami tidur mengelilingi sebuah bantal besar yang nampaknya Cuma itu satu – satunya penyangga kepala yang terdapat di ruang tv gusti. Aku tidur menyamping di samping kiri, gusti dan marion terlentang di depan, wanda sudah nyenyak dengan posisi menyamping pula di sebelah kanan. Dengkuran halusnya terdengar sesekali.
Anwar yang baru kembali dari dapur kini ikut bergabung rebahan di lantai, membiarkan sofa tebal berwarna abu itu di belakang. Anwar menelungkup dengan menyangga kepalanya menggunakan kedua tangannya, ia terlentang di sebelahku dan wanda. Sehingga kini kami berlima benar – benar dalam posisi melingkar.
‘pret’
Aku harap seperti itulah bunyi mati lampu, mematikan lampu ruangan dan televisi yang sedang kami nikmati.
“yaaaaaah” desis kami hampir bersamaan.
“cari lilin jangan?” tanya gusti
“gak usah, ini udah mau jam 1, kalau kita ketiduran terus lupa matiin lilinnya bahaya” ujar marion.
“duh gus kok aku lupa ya kompor bekas masak mie udah dimatiin apa belum ya” kata anwar sambil berlari lagi ke arah dapur.
“dasar tukang makan, permasalahan gak jauh dari urusan dapur doang” marion ketus.
Aku dan gusti tertawa renyah, anwar si anak asrama yang kurus dan selalu kelaparan itu seakan selalu punya cadangan perut di dalam badannya untuk melahap apapun.
“sa, tadi pas ke dapur emang kamu gak merhatiin kompor ya? Jadi harus merayap rayap gini kan dalam gelap… bilang kek kalau kompor udah dimatiin”
“aku tadi ke dapur ambil air karena haus war, bukan karena nyium bau hangus” jawabku dalam gelap.
Bug bug bug
Suara suatu pukulan, ternyata marion menepak kepala anwar berkali – kali. “kesempatan ya jauh dari asrama dipake buat nimbun makanan di dalam perut”
“aw aw aw… curang jangan mukul pas mati lampu gini dong, gak keliatan kan” kata anwar sambil meringis.
“eh sa, makalahnya udah beres?” setelah hampir enam jam kami berkumpul bersama di ruangan ini baru kali ini ada yang peduli soal makalah tersebut.
“udaaaah..” aku tak mempersoalkan ketidakikut sertaan mereka mengerjakan makalah, mau marah percuma, karena sampai kapapun tak akan ada yang mau mengerjakan makalah tersebut. Sudah mau berkumpul sama – sama seperti ini sudah jauh lebih baik buatku.
“fuih..” anwar berbaring lagi. “kita lulus sekolah berapa lama lagi sih?” tanya anwar kini. Kami mengobrol dalam gelap.
“setahun setengah lagi..” jawabku.
“emang kenapa nanya gitu war?” kata gusti.
“emmhh… habis lulus kita bakal masih sering ngumpul kaya gini gak ya?”
“lu belum ada bosennya ya ngabisin indomienya si gusti” sebuah bantal sofa melayang ke arah anwar dari marion.
“he he he itu bisa jadi salah satunya, tapi kan seru aja kalau bisa kaya gini terus pas kita udah dewasa..”
Kami bertiga terdiam beberapa saat setelah anwar berkata barusan. Anwar bisa jadi hanya asal ucap, mengingat dia yang paling asal saat bicara di antara kami berlima. Tapi buatku sendiri ada sesuatu yang begitu dalam di dalam perkataannya.
Tanpa terasa waktu pasti bergegas dan akan segera berlalu.
“asal ada waktu kita pasti masih sering ngumpul kok war..” kata gusti.
“jangan gitu, buat kita itu waktu jangan disisakan tapi dicari dan diusahakan” sahut marion.
“ah jadi dewasa pasti sesuatu yang menyibukan ya” kata anwar lagi.
“emang kalau ntar udah dewasa kamu mau ngapain war?” tanyaku penasaran pada pandangan soal masa depan di mata seseorang seperti anwar, sesuatu yang pasti mudah terbaca jika aku memikirkan gusti atau wanda.
“emhhh… sepuluh tahun dari sekarang umur kita pasti udah dewasa kan sa? Kayanya sepuluh tahun dari sekarang aku sedang menyiapkan materi untuk belajar murid – muridku sambil belajar pada pelajaran kuliah S2 ku sa…” suatu hari anwar pernah bercerita bahwa ia ingin menjadi salah satu tenaga pengajar di sekolah kami, menurutnya lingkungan sekolah kami ini sudah cocok buatnya yang sejak kecil sudah sering diajak pindah – pindah alamat rumah oleh orang tuanya.
“sambil terus tinggal di asrama war?” tanya gusti.
“seharusnya jangan, sepuluh tahun kan bukan waktu yang sebentar ya gus masa sih buat beli rumah aja belum bisa ngumpulin uang” jawaban khas anwar. “lagian kan ngajar gak harus di sekolah kita juga, bisa di sekolah lain yang mungkin bayarannya lebih tinggi dan bisa menyediakan perumahan bagi para tenaga pengajarnya…”
“huuuuuuuuuuu sama saja” kami bertiga menyoraki anwar.
“hahaha” anwar malah tertawa renyah “eh kalau aksa sendiri mau ngapain ntar?”
Aku merasakan kepala anwar menoleh ke arahku.
“kalau boleh aku pengen kuliah design dan jadi arsitek membangun tempat ibadah atau perpustakaan…” sejak kecil aku memiliki kebiasaan menghisap aroma dari buku – buku yang ku temui, semakin lapuk maka wanginya akan semakin tercium seakan mengumpulkan memori – memori masa lalu ke dalam ingatan dalam satu waktu. Makanya sampai saat ini perpustakaan masih jadi tempat rekreasi favoritku.
“kalau lu yen..” oyen, panggilan kami untuk marion sejak pertama mengenal dan akrab dengannya, karena namanya yang susah disebut dalam bentuk sapaan.
“emmmhh harusnya sih ini cita cita yang mudah ya” marion si jiwa bebas, selalu jadi yang paling mudah dalam mengungkapkan ekspresi ataupun sekedar perasaanya. “begitu lulus sekolah masuk akademi musik, kemudian main untuk sebuah orchestra dan tampil di konser – konser besar kelas dunia…” begitulah marion dia akan dengan runut menceritakan impian atau sekedar sesuatu yang ia pikirkan.
“yeeeeee…” entah kenapa aku dan gusti mengikuti anwar yang bertepuk tangan. Meskipun marion sering galak pada anwar, tapi anwar itu secara tidak langsung merupakan fans berat marion dan yang paling mengiyakan apapun rencananya. Termasuk soal kegiatan kami malam ini.
“emmhhh..” rupanya suara gemuruh kami barusan membangunkan wanda.
“kalau kamu gus?” tanya anwar pada gusti.
“emmh kalau merawat restoran punya keluarga itu sebenarnya termasuk cita cita gak?”
“heeh” meski dalam gelap aku merasa, kalau kami berempat kompak mengangguk dan mengiyakan perkataan gusti.
“ya buatku yang sejak kecil main dan merasa nyaman berada di rumah dan restoran milik keluarga, akrab sama pegawai atau sekedar aroma masakannya, bayangan soal hidup yang tidak pernah jauh dari itu, mengangkat kursi ke atas meja saat restoran tutup, atau melap setiap meja dengan serbet hingga mengkilap ketika restoran baru buka di keesokan harinya..”
“bisnis makanan, bisnis yang menjanjikan kok gus, sampai kapanpun..” timpal wanda. Yang nampaknya masih setengah sadar.
“selain itu, sepertinya seseorang harus menjaga tempat kita berkumpul atau selalu menjadi tempat kita berkumpul..” dalam gelap karena lampu masih belum menyala, namun aku tahu kami semua tersenyum mendengarkan gusti.
“kalau kamu wan? 10 tahun dari sekarang mau ngapain?” tanya anwar pada orang di sebelahnya.
“hem 10 tahun dari sekarang?” wanda malah balik bertanya dengan suara setengah mengantuknya. “10 tahun dari sekarang aku baru turun dari mendaki gunung kilimanjaro” seru wanda sambil melanjutkan tidur.
“tapi bagaimana kalau ternyata masa depan tak selancar kedengarannya?” marion si dua sisi mata uang, penyemangat dan peruntuh yang kebetulan ada di setiap sisinya.
Kami berempat diam beberapa saat, membicarakan hal ini juga dengan sisi manusia kami. Tangan anwar terulur di atas dadaku, ia menarik tubuhnya mendekat dan memelukku.
“masa depan mungkin tak semulus yang kita bayangkan, tapi kan ada kita sebagai sahabat” bisik anwar memecah hening dan gelap di antara kami berlima.
Ku balas pelukan anwar dan ku coba menggapai marion.
“tenang yen, itulah jawaban dari keberadaan kita sekarang, mungkin semuanya tak akan baik – baik saja, tapi bukankah kita bersahabat? Bukankah ada persahabatan kita?”
Marion dan gusti tak menjawab, hanya ada genggaman erat marion mendekap lenganku di antara pekat dini hari.
Setelah melanjutkan perbincangan dengan ditambah beberapa topik lagi, menjelang pagi di ruang televisi rumah keluarga gusti yang gelap namun hangat kami berempat mengekor wanda terlelap. Sampai waktu membangunkan bahwa dia sama sekali tak akan pernah menunggu.
2 notes · View notes