#Sosok Hasyim Muzadi
Explore tagged Tumblr posts
malangtoday-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Sosok Ahmad Hasyim Muzadi dari Tuban Untuk Indonesia
MALANGTODAY.NET - Kabar duka menyelimuti Tanah Air pagi hari ini, Kamis (16/03). Indonesia kembali kehilangan sosok ulama besar, Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi. Ulama kelahiran Tuban, 72 tahun silam  itu menghembuskan nafas terakhirnya di Pondok Pesantren Al Hakim Kota Malang. Semasa hidup, tokoh Islam Indonesia itu dikenal para santrinya sebagai sosok lembut yang selalu memiliki banyak wawasan dan selalu membuka cakrawala baru bagi para santri. Muzadi menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Setelah itu ia menuntaskan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri Malang, Jawa Timur pada tahun 1969. Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika Muzadi terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur pada tahun 1992. Ia terbukti mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan. Setelah itu, Muzadi pada tahun 2004 resmi maju sebagai pendamping Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden Indonesia. Dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2004, Megawati dan Muzadi meraih 26.2% suara di putaran pertama, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di putaran kedua. 11 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2015 Hasyim menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Wantimpres. Hasyim juga dikenal lewat buku-bukunya, seperti Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa dan Menyembuhkan Luka NU.
Source : https://malangtoday.net/rubrik/story/sosok-ahmad-hasyim-muzadi-tuban-indonesia/
MalangTODAY
0 notes
chillinaris · 2 years ago
Text
Tumblr media
Ini Sosok yang Turut Menginspirasi Gus Dur Mengajar Islamologi di Gereja
KH Oesman Mansoer sosok penting yang menginspirasi Gus Dur mengajar di gereja,
Dalam catatan sejarah, Pulau Madura dikenal sebagai salah satu daerah yang banyak melahirkan ulama dan tokoh besar, yang termasyhur adalah Syaikhona Cholil Bangkalan. Karena itu, tidak sedikit para pelajar dari Tanah Jawa yang menimba ilmu ke pulau garam ini.
Selain berdakwah di tempat kelahirannya, sebagian ulama Madura juga banyak yang berdakwah di perantauan. Di antaranya adalah KH Oesman Mansoer. Dia adalah salah satu ulama dan pejuang dari Madura yang kemudian hijrah ke Kota Malang, Jawa Timur.
Kini, Kota Malang telah dikenal sebagai kota pendidikan. Hal ini tentu tak lepas dengan perkembangan kampus Islam di dalamnya, seperti UIN Maulana Malik Ibrahim dan Universitas Islam Malang (Unisma). Kedua kampus Islam ini lah yang dirintis Kiai Oesman bersama para tokoh di Malang.
Dalam mengajar, tokoh yang dikenal moderat ini tidak memandang sekat-sekat agama. Bahkan, Kiai Oesman aktif menjadi pengajar Islamologi di Gereja Kristen Jawi Wetan pada 1968-1974.
Saat mengajar di gereja, Kiai Oesman tidak lah mengajak umat agama lain untuk memahami Islam dari sisi akidah, tapi tentang pembelajaran tentang toleransi antarumat beragama, tentang perdamaian, dan kebangsaan.
Kiai Oesman bukan satu-satunya tokoh NU yang mengajar di gereja tersebut. Pada 1970-an, Kiai Oesman juga pernah mengajak mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mengajar Islamologi di GKJW Sukun Malang.
Salah satu putra Kiai Oesman, Muhammad Nur Uddin alias Gus Din pernah menceritakan dalam suatu kesempatan bahwa semasa mudanya, Gus Dur berada di Malang selama tiga tahun dan menjadi asisten KH Oesman Mansoer di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Hal ini dikemukakan sendiri oleh Gus Dur saat menjadi presiden Indonesia.
“Kebetulan saat itu Gus Dur menjadi presiden. Dia sampaikan begini: ‘Saya pernah ngajar di IAIN sebagai asisten dari Oesman Mansoer sekaligus mengajar Islamologi di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sukun,” kata Gus Din menirukan Gus Dur.
Pengalaman selama di IAIN Sunan Ampel dan mengajar Islamologi di GKJW tersebut lantas menginspirasi Gus Dur sebagai presiden yang menjunjung tinggi kerukunan dan harmonisasisi kebergaman.
“Jadi inspirasi Gus Dur salah satunya dari Malang yang memang banyak perkumpulan intelektual dengan para sesepuh NU,” ucap Gus Din.
Banyak tokoh-tokoh NU lainnya yang pernah belajar kepada Kiai Oesman. Di antaranya adalah Mantan Ketua Umum PBNU almarhum KH Hasyim Muzadi. Bahkan, saat Kiai Hasyim Muzadi menyusun skripsi, Kiai Oesman lah yang menjadi pembimbingnya.
Beberapa santri Kiai Oesman lainnya adalah KH Dahlan Thamrin, KH Chozin Askandar, Ghaffar Rahman (PBNU), H Imam Chambali, dan Prof Dr Zainudin, dan lain sebagainya.
Dalam masalah keagamaan Kiai Oesman bisa dibilang sangat moderat, namun sangat hati-hati. Begitu juga dalam mendidik anak-anaknya, Kiai Oesman sangat demokratis.
Asal bekal pengetahuan agamanya dinilai cukup, putra-putrinya diberi kebebasan untuk menentukan cita-cita dan profesi yang akan ditekuninya.
*) Sumber: Harian Republika
1 note · View note
ayojalanterus · 3 years ago
Text
Sentil Said Aqil Soal Jabatan 3 Periode, Anshor: Beliau Tidak Sama dengan Gus Dur!
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj diminta mencontoh sikap mendiang Hasyim Muzadi dengan memberikan kesempatan bagi kader-kader NU yang lebih muda di bawahnya untuk menjadi Ketua Umum PBNU berikutnya. Hasyim adalah Ketua Umum PBNU sebelum Said. Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Muhammad Haerul Amri menyebut regenerasi adalah kebutuhan zaman. "Meski dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) NU tak ada larangan masa jabatan, namun demi kaderisasi dan kebutuhan zaman, Kiai Said lebih baik memberikan ruang yang luas kepada kader di bawah layaknya yang dilakukan Kiai Hasyim Muzadi," kata Amri, Selasa (12/10). Amri berkata Hasyim Muzadi yang memimpin NU dalam kurun waktu 1999-2010 telah mencetak banyak kader andal. Salah satunya Said Aqil sendiri. Said lantas menggantikan posisi Hasyim sebagai Ketum sejak 2010 hingga sekarang. Ia menceritakan bahwa pada Muktamar ke-32 NU 2010 di Makassar, Hasyim menyatakan tak bersedia dicalonkan lagi. Salah satu alasannya karena memberi ruang kepada kader-kader muda untuk memimpin. "Beliau ingin menghargai sistem kaderisasi yang telah dibangun dengan baik di NU," katanya. Amri pun meminta Said dapat menjadi contoh proses regenerasi yang dibuka oleh Hasyim. Dia mengingatkan tantangan yang akan dihadapi NU ke depan lebih besar. "Jika Gus Dur [Abdurrahman Wahid] menjabat hingga tiga periode tentu tidak bisa disamakan begitu saja. Situasi dan tantangan yang dihadapi NU kala itu berbeda dengan sekarang," kata dia. Gus Dur tercatat menjabat sebagai Ketum PBNU selama tiga periode yakni sejak 1984 hingga 1999. Amri mendorong agar Muktamar NU di Lampung dapat menghasilkan kepemimpinan baru dan regenerasi posisi Ketum PBNU. Secara khusus, Ia juga mengharapkan sosok ketua umum PBNU berikutnya memiliki kriteria muda, berjaringan luas, komitmen kuat memajukan NU dan responsif terhadap perubahan zaman. "Yang tak kalah penting di era globalisasi yang kian kompleks ini, NU ke depan membutuhkan pemimpin yang bisa berkiprah lebih kuat di kancah dunia. Di usia hampir satu abad ini, cita-cita NU harus ditransformasikan ke level global dan NU memiliki sejumlah tokoh yang berkaliber internasional," kata dia. Muktamar NU ke-34 akan dihelat pada 23-25 Desember mendatang. Sejumlah nama muncul dalam bursa calon ketua umum PBNU. Mereka adalah Ketum PBNU saat ini Said Aqil Siraj, Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf, Ketua PWNU Jatim Marzuki Mustamar. Mereka bertiga telah menyatakan kesiapannya untuk maju dalam Muktamar. [cnnindonesia]
from Konten Islam https://ift.tt/3avT74m via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/10/sentil-said-aqil-soal-jabatan-3-periode.html
0 notes
rmolid · 4 years ago
Text
0 notes
rizaldy-ray · 5 years ago
Photo
Tumblr media
#Repost @pesantrenku • • • • • • Mbah Fadhol: Kiai Tak Dikenal yang Tak Mau Sukses . Ada satu ulama Nusantara yang kapasitas keilmuannya sangat luar biasa, mampu mengarang beberapa kitab dengan bahasa Arab yang sangat sempurna. Beliau adalah Kiai Abul Fadhol bin Abdul Syakur, berasal dari Senori Tuban (Jawa Timur). Menjadi guru utama (‘Umdah) bagi ulama-ulama besar seperti Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Faqih Langitan, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Dimyati Rois, dan lain-lain. . Kiai Abul Fadhol juga dikenal sebagai seorang Sufi zuhud. Hal ini tampak dalam keseharian beliau yang sangat sederhana dan bersahaja. Saking sederhananya, ketika ta’ziyah dalam wafatnya KH. Zubair Dahlan (ayahanda KH.Maimoen Zubair), tidak ada orang yang mengenalnya. . Songkok hitam yang dipakainya tidak lagi hitam tapi telah berubah warna menjadi merah. Baju yang dikenakan lusuh, hingga orang lain acuh memandangnya. Orang-orang baru tahu kalau itu adalah Kiai Abul Fadhol setelah Mbah Maimoen Zubair menyambutnya dengan mencium tangan Kiai Abul Fadhol dan menempatkannya pada tempat yang layak. . Meski begitu, Mbah Dhol juga manusia biasa, punya anak dan keluarga yang butuh untuk dinafkahi. Oleh sebab itu beliau juga bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Berbagai pekerjaan yang pernah dijalaninya antara lain: jadi buruh jahit, penjahit, bahkan jualan benang. Dari daerah Kerek Tuban sampai Sedan Rembang beliau tempuh dengan jalan kaki sambil memikul benangnya. Sebuah jarak yang sangat jauh dengan beban di punggung yang tidak ringan. . Selain itu beliau juga pernah jualan kain, membuka toko, reparasi sepeda pancal dan sepeda motor. Bahkan beliau pernah membuat barang-barang elektronik, meski beliau tidak pernah belajar elektro sama sekali. Beliau juga pernah menjadi bos becak, mendirikan pabrik rokok dan lain sebagainya. . Yang mengherankan, setiap usahanya berkembang pesat, seketika itu juga dihentikan dan ganti pekerjaan lain yang dimulai dari nol lagi. Hal ini semakin menguatkan keyakinan banyak orang bahwa beliau adalah sosok kyai yang zuhud. Tujuannya bekerja hanyalah ibadah dan sekadar menuruti perintah Allah SWT semata, bukan untuk mencari harta. #Repost @ulama.nusantara #p https://www.instagram.com/p/B34rZbYpFoA/?igshid=133nd688m9wle
0 notes
yaqubwalker-blog · 7 years ago
Text
Berjodoh Dengan Sejarah
Tumblr media
Saat saya duduk di bangku Sekolah Menegah Atas (SMA), mata pelajaran Sejarah adalah alasan saya untuk lebih memilih melanjutkan kelas XI dengan penjurusan IPA daripada IPS. Kenapa saya merasa kurang cocok dengan sejarah? Pada saat itu alasannya begitu sederhana dan naif, hal tersebut dikarenakan saya lebih senang belajar tentang masa depan daripada masa lalu. Namun sekolah saya agak sedikit unik dibanding sekolah pada umumnya, kelas-kelas berjurusan IPA pun harus berhadapan dengan beberapa mata pelajaran IPS, seperti Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi secara bergantian tiap semesternya. Mungkin di saat itulah pertama kali saya berjodoh dengan apa yang dinamakan sejarah, tetap bertemu meski tidak diminati. Saya lupa, apakah beberapa mata pelajaran IPA juga diharuskan masuk dalam kelas-kelas IPS atau tidak.
Masih dalam suasana sekolah yang sama, berlanjut kisah tentang perjodohan dengan sejarah. Dalam suatu kesempatan, saya mencoba mencari alasan agar lolos dari ulangan Sejarah hari itu. Kebetulan saya pada 1-2 hari sebelumnya terkena demam dan sedikit sakit kepala. Dalam suasana sekolah di bawah kaki gunung, hal ini biasa terjadi, pagi dan sore hari harus mandi dan bersih-bersih dengan air sedingin air dari kulkas. Kemudian menjelang ulangan sejarah, saya beralasan sakit dan pergi ke klinik sekolah. Saat diperiksa ternyata suhu tubuh saya kembali normal, saya hanya diberi obat lalu direkomendasikan untuk segera melanjutkan kelas agar dapat mengerjakan soal-soal ulangan sejarah. Untungnya nilai hasil ulangan tersebut tidaklah buruk, cukup untuk tidak harus mengulanginya lagi (remediasi). Sejak saat itu saya tidak takut lagi dengan apapun yang berhubungan dengan sejarah. Ya, masa lalu adalah bagian dari sejarah.
Setelah mengenang kisah masa lalu, mari kita kembali ke masa sekarang. Sejarah adalah bagian penting pembentuk apapun yang terjadi saat ini. Untuk itu, sebaiknya kita berusaha memelajarinya agar tidak salah dalam menafsirkan fenomena masa kini. Ketidaktahuan sejarah kemerdekaan negeri ini bisa berakibat kepada kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem bernegara yang sudah sedikit terlihat fenomenanya belakangan ini. Ada seorang teman yang lebih tua dari saya berkata, “Jika Pancasila tidak bisa memajukan Indonesia, mengapa tidak diganti saja? Banyak negara lain bisa sejahtera tanpa Pancasila, bukan?”. Sebenarnya bagi saya, pertanyaan itu seperti pertanyaan anak kecil, tapi tidak salah juga, setiap orang berhak menyatakan pendapat di negara yang demokratis. Perlu diketahui bahwa ketidakmajuan Indonesia di bidang tertentu bukan dikarenakan Pancasila tetapi sistem perekonomian yang korup dan penegakan hukum yang belum benar, juga banyak faktor lainnya. Jadi bukan Pancasila yang harus disalahkan, tetapi orang-orang di dalamnya lah yang patut dievaluasi dan dikoreksi. Jikalau lebih teliti, poin dari Pancasila manakah yang menghambat kemajuan negeri ini? Saya rasa malah banyak poin yang tidak terlaksana dengan baik. Bagaimana kabarnya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dimana terjadi kesenjangan sosial antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya? Bagaimana kabarnya “persatuan Indonesia”, peseteruan antar sesama warga negara Indonesia atas nama golongan tertentu bisakah disebut nasionalisme? Bagaimana kabarnya “ketuhanan Yang Maha Esa”, isu yang paling seksi dalam beberapa peristiwa belum lama ini? Begitu pula dengan sila kedua dan keempat yang belum terlaksana dengan optimal. Pancasila adalah simbol pemersatu bangsa Indonesia dan landasan dasar bernegara, bukan sistem tunggal yang memengaruhi terjadinya segala kekacauan di negeri ini.
Begitulah risiko yang harus diterima dalam berdemokrasi. Pendapat yang aneh-aneh pun harus diterima sebagai kebebasan berpendapat. Namun dalam kejadian yang sesungguhnya, saya tidak menanggapi pertanyaan teman saya itu seperti yang saya jelaskan di atas. Saya menjawab pertanyaan yang kekanakan itu dengan jawaban yang sesuai, maksudnya tidak terlalu serius dan sedikit agak bermain-main. Saya menyatakan kepadanya bahwa begitulah Pancasila, sejarah terbentuknya banyak tidak diketahui oleh rakyatnya sendiri. Terutama di era pesatnya informasi saat ini. Saya mendeskripsikan bagaimana keadaan zaman pra kemerdekaan Indonesia dimana rakyat begitu menderita hingga sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak pada saat itu. Saya sengaja menyinggung masalah pendidikan karena teman yang saya hadapi ini memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik. Kemudian dibentuklah Pancasila oleh para founding fathers agar taraf kehidupan rakyat Indonesia meningkat dan bersatu padu menghadapi segala bentuk penjajahan. Tentunya jika bukan karena para founding fathers kita, tidak mungkin negeri ini menjadi negara yang merdeka dan nyaman seperti saat ini. Seperti itulah semangat yang tertanam dalam Pancasila.
Akan sulit dibayangkan jika pertanyaan seorang anak kecil kemudian dijawab dengan keseriusan orang dewasa yang menjawabnya menggunakan banyak istilah rumit. Saya akan berusaha menyontohkannya dalam bentuk dialog singkat, yang pastinya hanya fiktif belaka. Pada suatu hari, seorang anak balita bertanya, “Dimanakah Tuhan berada?”
Saya menjawab, “Tuhan berada di atas ‘Arsy yang merupakan ciptaan-Nya yang paling besar. ‘Arsy terletak di atas langit ketujuh. Karena Tuhan bukanlah makhluk maka kita tidak boleh menyerupakan-Nya seperti makhluk ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, kita harus men-‘takwil’-kan makna kalimat yang menyatakan keberadaan Tuhan tersebut. Tuhan tidak mungkin dicapai dengan teknologi secanggih apapun karena seperti yang kita ketahui, untuk mencapai Planet Nibiru pun manusia belum bisa melakukannya dan adapun kecepatan paling cepat yang diketahui selama ini adalah kecepatan cahaya. Dengan kecepatan cahaya, kita harus menunggu cahaya bintang yang kita lihat di malam hari sekitar ratusan hingga ribuan tahun dari sumber cahaya asalnya. Kemudian langit ketujuh menurut saya, bisa diartikan bahwa letaknya berbeda dimensi dengan alam semesta yang kita lihat selama ini. Jika kita hidup di dimensi ketiga (3D), maka secara kasar bisa disejajarkan bahwa langit ketujuh itu berada di dimensi kesepuluh (10D). Itulah sebabnya Tuhan maha segalanya. Bayangkan, benda satu dimensi (1D) akan sulit memahami benda tiga dimensi (3D), tapi tidak sebaliknya, benda 3D akan mudah memahami bentuk benda yang lebih sederhana seperti benda 1D. Analogi lainnya bisa dijumpai dalam film berjudul Interstellar, di sana digambarkan bagaimana hubungan dimensi kelima (5D) dengan dimensi ketiga (3D). Meskipun saya agak kecewa dalam penggambarannya itu, seharusnya lebih kompleks lagi.”
Sekali lagi saya sampaikan bahwa dialog di atas hanyalah rekaan saja. Untuk itu, mari kita kembali lagi kepada pembahasan sejarah. Awal mula saya mulai tertarik dengan sejarah, ketika saya membaca buku otobiografi Mohammad Hatta, buku tulisan Soekarno, buku tulisan Tan Malaka, sampai ke tulisan-tulisan dari Soe Hok Gie yang kebetulan juga dari jurusan sejarah, juga buku karya Franz Magnis-Suseno tentang pemikiran Karl Marx. Semakin banyak membaca, saya merasa semakin banyak ketidaktahuan saya sehingga terbentuk lingkaran supaya membaca buku yang lain lagi. Mungkin sedikit meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Steve Jobs, yaitu “connecting the dots”. Setiap titik akan menghasilkan sebuah gambar jika dihubungakan dengan pola-pola tertentu.
Karya yang sangat saya kagumi adalah sebuah karya dari Buya Syafii yang baru saya baca pada tahun 2017, padahal karya tersebut sudah terbit pertama kali dalam bahasa Indonesia 32 tahun yang lalu. Rasa kagum saya terhadap karya Buya Syafii itu hampir sama dengan kekaguman saya saat membaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia, bedanya karya Pram itu merupakan karya fiksi. Selain ahli dalam bidang pemikiran Islam, Buya Syafii juga ahli sejarah. Beliau memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sangat menarik. Ketika membaca sebuah tulisan dari Gus Dur, nama Buya Syafii mengantarkan saya untuk lebih mengenal sosok Cak Nur yang kontroversial di mata publik.
Setelah membaca seluruh karya di atas, serta beberapa tulisan Buya Hamka, saya akhirnya penasaran untuk membaca buku berjudul “Adicerita Hamka” karya James R. Rush yang berkompetensi dalam bidang sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Penulisan buku tersebut tergolong cukup lama, karena awal mula riset penulisan buku tersebut sudah dimulai sejak 1982 dengan mewawancarai Natsir dan Mohammad Roem. Buku ini terdiri dari 35 halaman pembuka, 259 halaman isi, 50 halaman catatan, dan 12 halaman daftar pustaka. Jika dibandingkan dari lamanya penelitian yang dilakukan, buku ini tidaklah terlalu tebal. Dengan membaca buku ini, saya beharap bisa menyambungkan beberapa missing links dalam pikiran saya ketika saya membaca buku-buku terdahulu. Setelah sebelumnya saya sudah membaca biografi Cak Nur, mungkin saya akan membaca biografi Gus Dur seusai menyelesaikan Adicerita Hamka ini. Lembaran demi lembaran kertas mau tidak mau harus dihadapi, menghabiskan sebagian waktu luang. Mengambil kalimat dari serial terkenal Kera Sakti, “Begitulah cinta, deritanya tiada pernah berakhir.”
Saya juga mulai tertarik dengan majalah bertemakan sejarah. Kebetulan saya tertarik karena pada sampul depannya bertuliskan “Masa Lalu Partai NU”, majalah tersebut bernama Historia. Karena dipengaruhi oleh perkembangan politik dalam negeri belakangan ini, juga kuliah umum K.H. Ahmad Hasyim Muzadi di Australia bersama Greg Barton, saya jadi ingin mengetahui lebih banyak sejarah Partai NU. Buya Syafii dan Cak Nur juga pernah sedikit membahas dalam tulisannya.
Uniknya dari belajar sejarah bagi saya ialah kembalinya saya kepada ajaran agama Islam. Hal itu disebabkan karena banyak benturan yang terjadi dalam jangka waktu belum lama ini. Dalam beberapa tahun ke belakang, rasanya melelahkan sekali. Saya yang awalnya tidak terlalu paham politik, jadi banyak belajar tentang politik yang akhirnya bermuara pada memelajari kembali sejarah dan terkagumlah saya sehingga mulai berusaha mengkaji banyak ajaran agama dari sumber-sumber terpercaya. Jika nanti ada kesempatan, saya akan menuliskan dalam blog tentang perbandingan tafsir al-Qur’an berdasarkan Tafsir Al-Mishbah dan The Message of the Quran terutama ayat-ayat yang sering menjadi polemik di antara umat. Tentunya hal itu harus disertai niat yang kuat, sulit sekali bagi saya untuk dapat mengatur waktu membaca, menulis, dan berolahraga di saat-saat ini.
Di suatu sore, selesai berolahraga, seorang gadis lulusan sejarah dari universitas terkenal di Indonesia berlari ke pinggir lapangan setelah adzan maghrib berkumandang, awalnya ia merasakan kram pada kakinya lalu ia menghilang. Dalam beberapa saat ia tidak terlihat, saya pun beranjak dari tempat duduk berusaha mencari keberadaannya. Kemudian, masya Allah, terlihatlah ia sedang melaksanakan ibadah shalat menggunakan mukena warna pink dengan penuh keteduhan. Lagi-lagi karena sejarah, namun kali ini tentang masa depan, rasa kagum itu akhirnya memberanikan diri saya untuk lebih mengenalnya. Sesungguhnya cinta bersemi didahului oleh rasa kagum di dalam hati, sehingga tidak akan timbul benih cinta jika tidak ada kekaguman yang tercipta. Begitulah cinta?
2 notes · View notes
elexmedia · 6 years ago
Photo
Tumblr media
#BookPreview #IslamYangMengayomi from @makmun_rasyid . "Kita tidak perlu memberi dalil-dalil yang rumit, tapi yang utama adalah memberi teladan yang baik" (abah Hasyim Muzadi) . Anda yang pernah mendengar orasi, ceramah atau tausiyah abah Hasyim Muzadi, pasti akan mudah mencernanya. Prinsipnya, membuat yang sulit menjadi mudah. Dalam guyonannya, "kalau kiai itu membuat mudah yang sulit; kalau intelektual itu membuat yang mudah menjadi sulit". . Guyonan ini sebenarnya sindiran. Dalam konteks masyarakat modern yang tingkat literasinya rendah, seseorang dituntut menyajikan ilmu dengan mudah. Imam Ali menyebutnya, "bi qadri 'uqulihin" (sesuai dengan akal mereka). Ini prinsip utama abah Hasyim. . Kedua, dalam berdakwah. Abah Hasyim kerap menjadikan Imam Al-Ghazali sebagai rujukannya juga. Dalam kisah para sufi, ada seorang datang kepada Nabi dengan kata² kasar & menantang. Saat ia tertumbuk pada sosok Nabi yang santun, senyum dan tenang, ia pun tertegun. Ia pun berkata, "demi Tuhan, ini bukan wajah seorang pembohong. Tak lama kemudian, ia meminta Nabi mengajarkan Islam dan ia memeluknya". . Kisah ini pernah diceritakan abah Hasyim kepada santri²nya. Mengapa? Baginya, setinggi apapun ilmu kita, jika dibawa tanpa kesantunan dan penuh kegarangan, maka orang yang "jahil" tak akan mengikuti. Sebab, Islam itu mengajarkan nilai "mengayomi", yang dalam Qur'an terdapat pada Qs. Al-Nahl [16]: 125. . Belakangan ini, mengapa banyak yang tertarik mengaji kepada 'ustadh²' yang belum teruji keilmuwannya. Saya membaca ada 2 hal: yang tinggi ilmunya tidak mau mengayomi yang belum mengerti; dan yg tinggi ilmunya mengajak dengan penuh kemarahan. Ini sangat tampak, jika tidak sependapat dengannya atau bukan kelompoknya, ia pasti "salah" atau "tidak benar". Akhirnya, yg tdk tau lari kepada yang nyaman menurut dirinya. . Abah Hasyim berpesan, berdakwah itu jangan hanya mengandalkan ilmu hukum dan Fikih semata, sebab ia hanya mengenal hitam-putih. Tetapi laku sufi harus dijadikan teladan dan bawa Islam penuh kedamaian, keakraban dan kelemahlembutan. Itu jantung Qur'an. . Tak perlu banyak berteori, tetapi masyarakat kekinian membutuhkan keteladanan yang baik. [] #ElexMedia #gramedia https://ift.tt/2wDIZmg
0 notes
sohibuliman-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu. Masuklah ke dalam syurga-Ku." (Al Fajr:27-30) Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un telah berpulang ke Rahmatullah, KH Hasyim Muzadi. Beliau adalah sosok yang sangat berjasa dalam pergerakan dakwah Islam di Indonesia. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah, diampuni kesalahannya, dan diberi syurga-Nya. Aamiin... Mari kita doakan beliau setelah sholat dzuhur nanti, kita kirimkan doa terbaik untuk almarhum. Semoga keluarga yang ditinggalkan pun diberikan kelapangan.
25 notes · View notes
carinapayue-blog · 6 years ago
Text
Kenang Sosok Kiai Hasyim Muzadi, Khofifah: Beliau Sampaikan Islam Rahmatan Lil Alamin
Carina Payue Kenang Sosok Kiai Hasyim Muzadi, Khofifah: Beliau Sampaikan Islam Rahmatan Lil Alamin Artikel Baru Nih Artikel Tentang Kenang Sosok Kiai Hasyim Muzadi, Khofifah: Beliau Sampaikan Islam Rahmatan Lil Alamin Pencarian Artikel Tentang Berita Kenang Sosok Kiai Hasyim Muzadi, Khofifah: Beliau Sampaikan Islam Rahmatan Lil Alamin Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Kenang Sosok Kiai Hasyim Muzadi, Khofifah: Beliau Sampaikan Islam Rahmatan Lil Alamin Gubernur Jawa Timur terpilih periode 2019-2024 Khofifah Indar Parawansa mengenang sosok Kiai Hasyim Muzadi sebagai pemberi pencerahan tentang Islam. http://www.unikbaca.com
0 notes
kinanmanja-blog · 7 years ago
Text
Hadiri Haul KH Hasyim Muzadi, Ini Kenangan Khofifah pada Sosok Figur Pejuang NU itu
Kinan Manja Hadiri Haul KH Hasyim Muzadi, Ini Kenangan Khofifah pada Sosok Figur Pejuang NU itu Artikel Baru Nih Artikel Tentang Hadiri Haul KH Hasyim Muzadi, Ini Kenangan Khofifah pada Sosok Figur Pejuang NU itu Pencarian Artikel Tentang Berita Hadiri Haul KH Hasyim Muzadi, Ini Kenangan Khofifah pada Sosok Figur Pejuang NU itu Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Hadiri Haul KH Hasyim Muzadi, Ini Kenangan Khofifah pada Sosok Figur Pejuang NU itu Dalam kesempatan tersebut, Khofifah menyampaikan kesannya sembari mengenang sosok KH Hasyim Muzadi. http://www.unikbaca.com
0 notes
Text
NU Jabar Merasa Kehilangan Sosok KH. Hasyim Muzadi
NU Jabar Merasa Kehilangan Sosok KH. Hasyim Muzadi
JAKNEWS, Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat merasakan kehilangan akan sosok almarhum KH. Hasyim Muzadi yang wafat di Rumah Sakit Lavalette Malang pada Kamis pagi pukul 06.15 WIB. “Kita merasakan kehilangan, apalagi ini mantan ketua PBNU yang tentu saja menjaga keharmonisan ajaran-ajaran agama dan norma-norma berlaku di dalam negara,” ujar Wakil Ketua PBNU Jawa Barat Kiagus Zaenal…
View On WordPress
0 notes
harianpublik-blog · 7 years ago
Text
Penghormatan Muhammadiyah terhadap KH Hasyim Muzadi
Penghormatan Muhammadiyah terhadap KH Hasyim Muzadi
Tumblr media Tumblr media
Penghormatan Muhammadiyah terhadap KH Hasyim Muzadi
Harianpublik.com – Pertengahan bulan Maret 2017, warga Nahdliyin ditinggal salah satu tokoh pentingnya. Tokoh yang saya maksud adalah KH. A. Hasyim Muzadi, Mantan ketua PBNU dan pengasuh Ponpes al-Hikam kota Malang. Bukan hanya warga Nahdliyin yang merasa kehilangan dengan sosok almarhum, warga Muhammadiyah dan Baitul Muslimin Indonesia (Bamuis) turut merasakan hal yang sama.
Sebagai bentuk penghormatan dan respek terhadap almarhum, Pengurus di pimpinan Wilayah menyerukan supaya warga Muhammadiyah di mana pun berada untuk melakukan dua hal : Pertama, mengucapkan bela sungkawa. Kedua, menyempatkan sholat ghaib. Ucapan bela sungkawa saya lihat di akun facebook PWM Jawa tengah. Sementara, sholat ghaib saya saksikan sendiri di lingkungan Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh. Ba’da sholat dhuhur berjamaah, Ustadz Hamzah utama yang juga alumni Pesantren modern Gontor menginstruksikan para santri untuk menggelar sholat ghaib.
Baru pertama kali ini saya ketahui ada tokoh NU yang dihormati warga Muhammadiyah. Saya berani menyatakan almarhum adalah Kyai NU pertama di Indonesia yang disholati warga Muhammadiyah. Apakah karena faktor beliau ini alumni Pesantren modern Gontor? Saya pikir bukan hanya karena itu. Penghormatan Muhammadiyah juga diwujudkan dalam bentuk buku berjudul “Takziah Muhammadiyah untuk KH. A. Hasyim Muzadi” (Penerbit Media baca, 2017). Sebuah buku yang secara garis besar berisi pengalaman dan pandangan beberapa tokoh dan aktivis Muhammadiyah kepada almarhum.
Dalam buku setebal 213 halaman ini dipaparkan kedekatan KH. Hasyim Muzadi dengan Muhammadiyah. Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai sesama alumni Gontor turut memberi kesan-kesan selama berinteraksi bersama almarhum. “Ceramah Kiai Hasyim selalu menarik, berisi dan diselingi humor-humor segar. Beliau sangat senang kalau diundang Muhammadiyah” (Takziah Muhammadiyah, Hal 8).
Dr. Abdul Mu’ti juga menyatakan dalam buku ini, “Sebagai tokoh dan pemimpin NU, Kiai Hasyim sangat dekat dengan Muhammadiyah. Semasa kepemimpinannya, hubungan NU-Muhammadiyah sangat dekat. Ibarat sepasang sandal” (Hal 20-21). Kedekatan KH. Hasyim juga dikarenakan jejak pendidikannya di Gontor dan IAIN, jejak pendidikan inilah yang amat mempengaruhi cara berfikir almarhum sehingga bersesuaian dengan Muhammadiyah.
Wakil Dekan Fisip Unmuh Jakarta, Ma’mun Murod al-Barbasy sempat diberitahu KH. Hasyim Muzadi kalau putrinya kuliah di UMM. Menguliahkan putrinya di UMM untuk tokoh NU sekelas KH. Hasyim muzadi tentu mempunyai makna dan perspektif tersendiri yang positif terhadap Muhammadiyah. (Hal 57)
Pandangan pribadi saya kepada KH. Hasyim Muzadi, almarhum bukanlah kyai dengan “lambe celometan” (mulut yang banyak bicara yang tidak perlu). Mulut yang melukai sesama umat, sehingga mencederai marwah NU. Semasa hidup, almarhum adalah seorang kutu buku seperti yang diceritakan Yuanda Kusuma Lc, M.Ag (mantan dosen STAI Al-Hikam). Kemudian yang patut dikenang darinya ketika berpidato tentang “Indonesia negeri muslim paling toleran se Dunia’’. Intisari Pidato ini dimuat di situs tribunnews 4 Juni 2012. Sayangnya secercah pemikiran almarhum dalam pidato ini belum ditampilkan di dalam buku Takziah Muhammadiyah.
Menurut almarhum, Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Indonesia juga lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia yang tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawiman sejenis.
“Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekedar westernisme,” ujar almarhum.
Oleh: Fadh Ahmad Arifan (Penulis adalah alumni MAN 3 Malang dan Pascasarjana UIN Malang)
[opinibangsa.id / kn]
Sumber : Source link
0 notes
mojokco · 8 years ago
Text
Abah Hasyim dan Kelakarnya
Rasanya tak pernah ada langit yang lebih mendung ketimbang langit yang hadir di hari berpulangnya seorang alim ulama. Dan betapa pilu, langit mendung itu hadir hari ini. Salah seorang alim ulama berpulang: KH. Ahmad Hasyim Muzadi.
Abah Hasyim, demikian kami para santri di Al Hikam Malang biasa memanggil beliau, adalah sosok ulama sekaligus negarawan yang rasanya tak pernah bosan mengkampanyekan moderasi Islam yang penuh kedamaian melalui Manhaj Ahlussunah Wal Jamaah yang dikembangkan NU di masa dua periode kepemimpinannya. Ia meneruskan estafet kepemimpinan NU pasca Gus Dur setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU di arena Muktamar NU ke 30 di Ponpes Lirboyo Kediri tahun 1999.
Nahdlatul Ulama yang didirikan Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asyari tumbuh menjadi jangkar yang tangguh bagi peradaban pribumisasi nilai-nilai keislaman nusantara. Jika Mbah Hasyim Asyari adalah peletak dasar nilai-nilai NU, maka Abah Hasyim Muzadi boleh dibilang adalah adalah figur yang menata organisasi NU secara sistemik dari tingkat ranting hingga pusat. Kedua Hasyim ini bisa dipandang sebagai ideolog (Mbah Hasyim Asyari) dan organisator (Abah Hasyim Muzadi) di jantung struktural Nahdlatul Ulama.
Abah Hasyim merintis jejak perjuangan dan menggerakkan NU dari tingkat paling bawah. Selepas menjadi ketua PMII cabang Malang tahun 1966, ia menjabat ketua PAC GP Ansor Bululawang Malang tahun 1967, lalu kemudian menjadi ketua Ranting NU Bululawang Malang. Kecemerlangan karir ke-NU-anya terus berlanjut, hingga di tahun 1992, ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang kelak kemudian mengantarnya menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Perjumpaan pertama saya dengan beliau terjadi di bulan Agustus tahun 2000, sesaat setelah peneriman santri baru Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. Ia menyalami satu per satu ratusan santri baru di masjid Al Ghazali di komplek pesantren pada suatu malam selepas salat maghrib berjamaah. Sambutannya begitu hangat dan bersahaja di tengah-tengah kesibukannya menahkodai PBNU dan situasi politik nasional yang tak menentu di fase awal transisi demokrasi Indonesia. “Abah tentu tak bisa setiap hari ngurusi pondok, Abah akan banyak tersita waktunya di Jakarta ngurusi NU dan hanya pulang ke Malang tiap akhir pekan” ujarnya kala itu saat memberikan sambutan.
Di kalangan anak-anak muda NU, sosok Abah Hasyim dikenal sebagai ulama yang hangat, ngemong, mengayomi, serta cakap merangkul lintas generasi dan mampu mengimbangi pergumulan sosial berbagai kalangan. Di Ponpes Al Hikam Malang, setiap akhir pekan selepas ia menggawangi kantor PBNU di Jakarta dari hari senin-jumat, Abah Hasyim menyediakan waktunya untuk mengasuh pesantren dan melayani tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah di rumah pribadinya yang terletak di dalam komplek pesantren. Abah juga kerap bergaul dengan para santri dan aktivis-aktivis muda NU yang datang hingga larut malam untuk berdiskusi seputar kebangsaan, NU, dan acapkali membahas situasi politik nasional dan positioning NU dalam menyikapinya.
Seperti lumrahnya kiai NU, Abah Hasyim adalah sosok yang selalu mampu menyampaikan hal-hal subtantif dengan balutan ilmu dan humor. Maka tak heran jika dalam berbagai kesempatan, Abah sering melempar kelakar terhadap lawan-lawan bicara maupun diskusinya. Terlebih jika berhadapan dengan kaum muda NU. 
Abah, misalnya, pernah menyindir kebiasaan baru anak-anak muda NU yang datang ke rumahnya dengan menenteng banyak perangkat gadget. “Anak-anak muda NU entah itu PMII atau Ansor sekarang hebat-hebat. Punya dua HP tapi tak bisa beli pulsa. Bolak-balik hanya missed call agar ditelepon balik.”
Lain waktu, ketika berdiskusi dengan anak-anak muda NU, Abah mengomentari fenomena banyaknya anak-anak muda NU yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Timur Tengah. “Senang sekali banyak anak-anak muda NU yang sekarang belajar ke Saudi. Sayangnya kalau pulang tak jadi ulama tapi berbisnis travel Umrah.” ujarnya penuh canda.
Hal yang paling saya kenang soal kelakar Abah tentu saja adalah kelakar nakalnya terhadap beberapa pengurus PMII Malang. Peristiwa ini bermula saat A. Malik Haramain terpilih sebagai ketua umum PB PMII di kongres Kutai Kartanegara tahun 2003, saat itu, beberapa pengurus PMII Cabang Malang menghadap KH. Hasyim Muzadi untuk melaporkan terpilihnya kader PMII Malang untuk pertama kalinya sebagai Ketua Umum dalam sepanjang sejarah perjalanan PMII berdiri.
Ketua cabang Malang menceritakan bagaimana perjalanan sepanjang Malang hingga Kutai dengan menumpang kapal laut yang melelahkan akhirnya terbayar dengan kemenangan sahabat Malik.
Kyai Hasyim lantas berucap “Saya ini dari pesawat selepas pulang dari Kutai juga sempat berpapasan dengan rombongan sampean di kapal, saya dadah-dadah (melambaikan tangan) dari jendela pesawat, sampean saja yang tidak memperhatikan ke atas.” Dan ketua cabang PMII Malang tersebut hanya bisa melongo mendengar penjelasan Kyai Hasyim.
Seperti jamak dalam tradisi kultural NU, baik di pesantren atau di kalangan Nahdliyin, kelakar dan humor khas kaum sarungan memang selalu menjadi bahan cerita sehari-hari yang melingkupi kehidupan Abah Hasyim. Di kalangan para kiai NU, Abah Hasyim (dan juga Gus Dur, tentu saja) dikenal sebagai kiai gudangnya cerita humor dan banyolan khas NU. Banyak kiai NU yang kalau berceramah kulakan cerita humor dan kelakar pesantren dari keduanya.
Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) pernah berkisah dalam suatu kesempatan saat mengisi diskusi bulanan di Ponpes Al Hikam Malang tentang kedua tokoh NU yang gemar bertukar banyolan dan kulakan cerita humor itu. Gus Mus mengisahkan salah satu nostalgia saat keduanya tukar-menukar guyonan. Jika bercerita lucu, Abah Hasyim biasanya meyakinkan lawan bicaranya dengan menyebut nama orang berikut jabatannya di kepengurusan NU. Suatu ketika, Gus Dur penasaran dan iseng mengecek kebenaran cerita-cerita itu pada KH. Muchit Muzadi (kakak kandung Abah Hasyim). Sambil berseloroh, Mbah Muchit menjawab, “Sampeyan ini kayak nggak kenal Hasyim saja. Semua haditsnya, kalau enggak dhaif ya maudhu.”
Oleh Gus Dur, kelakar ini diomongkan kepada Abah Hasyim. Tapi dasar Abah Hasyim, Ia malah membalas kelakar itu dengan olok-olok yang tak kalah cerdik, “Ah, sampeyan ini kayak nggak kenal kakak saya saja. Dia itu memang ingkarus sunnah.”
Ah, Kini, Abah yang suka ngemong dan berkelakar itu telah usai menunaikan perjalanannya di dunia. Ia telah kembali menuju alam yang damai. Mungkin di sana, Ia dipertemukan kembali dengan Gus Dur. Meriung dan bersulang kopi sambil terkekeh riang gembira melepas rindu. Menjadi sumber kulakan humor para malaikat yang mungkin iri dengan para santri NU.
Selamat berpulang Abah, damai dan tetap bergembira selalu di sana.
(Ditulis di sembari memantau layar kaca tayangan langsung prosesi pemakamam KH. Ahmad Hasyim Muzadi di kompek Pondok Pesantren Al Hikam 2 Depok) 
0 notes
pesantrenpandeglang · 5 years ago
Text
Pesantren Dan Boarding School Lahirkan Generasi Pemimpin Dunia
Setelah beberapa kali berkunjung ke Inggris dan mendapat kesempatan mengunjungi beberapa institusi pendidikan, mulai dari tingkat paud, hingga universitas, ada satu hal yang sampai sekarang belum tercapai, yaitu berkunjung ke salah satu boarding schools di Inggris.
Menurut data terakhir, hanya ada tersisa sekitar 500 boarding schools yang tersebar di United Kingdom.
Sebagian besar berumur lebih dari satu abad. Salah satunya, King’s School, Canterbury yang awalnya adalah Gereja didirikan pada abad ke-6 masehi dan dianggap sebagai sekolah berasrama tertua di dunia yang masih berjalan hingga hari ini.
Sulitnya akses dan izin untuk study banding menjadi alasan utama. Hampir seluruh boarding school di Inggris merupakan kategori sekolah swasta private yang sifatnya sangat independent, baik dalam hal pembiayaan dan konsep pendidikan.
Sekolah model boarding school di Inggris memang terkesan sangat elit dan tidak terlalu membuka diri seperti state schools, sekolah negeri yang bebas biaya.
Satu satunya kesempatan untuk mengunjungi boarding school ala Inggris justru terwujud saat kunjungan di Amman, Jordan, saat kami mendapatkan kesempatan mengunjungi King’s College, boarding school yang didirikan oleh Raja Hussein Jordan, yang kebetulan adalah alumni salah satu boarding school di UK.
Pesantren Dan Boarding School Lahirkan Generasi Pemimpin Dunia
PABRIK PEMIMPIN
Padahal, mempelajari dan membandingkan metode pendidikan berasrama mereka pastilah sangat menarik dan relevan dengan dunia pesantren.
Mengingat bahwa faktanya, boarding school di Inggris, memiliki reputasi luar biasa sebagai sekolah yang sangat menonjol dari berbagai sisi, baik dari sisi sejarah dan tradisinya yang telah menurun berabad abad.
Prestasinya di dalam bidang akademik sangat diakui, 35% mahasiswa yang lolos di Oxbridge (Oxford dan Cambridge) adalah alumni private school termasuk boarding school.
Yang lebih menarik dalam konteks dunia pesantren adalah kesamaan visinya didalam mengkader pemimpin.
Boarding schools di Inggris memang telah lama diakui keberhasilannya didalam melahirkan generasi pemimpin bangsa Inggris di berbagai bidang.
Nama nama besar yang menghiasi media internasional yang terkait dengan Inggris akhir akhir ini seperti David Cameron, Boris Johnson, Nigel Farage adalah produk pendidikan boarding schools.
Boarding schools di Inggris memang sejak lama merupakan pemasok utama pemimpin politik di UK.
Termasuk didalamnya sejumlah besar pangeran kerajaan seperti William dan Harry dan Kate Middleton. Serta mayoritas perdana menteri UK dan negara2 commonwealth seperti Winston Churcill dan Jawaharlal Nehru.
Sebagian besar petinggi militer serta petinggi petinggi pemerintahan negeri Queen Elizabeth ini pun banyak yang terlahir dari sistem boarding school.
Eton, Harrow, Westminster dan Winchester Boarding schools adalah beberapa diantara yang paling terkemuka. Nama nama tersebut juga menjadi tempat pendidikan pilihan bagi bangsawan bangsawan baik dari kerajaan Inggris maupun kerajaan di Eropa bahkan asia.
Tidak hanya kepemimpinan politik, boarding schools di Inggris pun banyak melahirkan tokoh dibidang lain seperti ekonomi, banking, entrepreneurship dan industri kreatif.
Bahkan, 2/3 peraih nobel dan penulis terkemuka Inggris lahir dari sistem pendidikan ini.
KOLONIALISME DAN BREXIT
Meskipun begitu, sistem pendidikan boarding school di Inggris bukanlah tanpa kritikan.
Salah satu kritik terbesar muncul pada saat ini dengan diguncangnya Inggris dengan adanya Brexit yang akan diimplementasikan pada akhir Oktober 2019 ini.
Bukan kebetulan tokoh tokoh seperti Boris Johnson dan Nigel Farage-pendukung utama Brexit-merupakan alumni dari boarding schools di Inggris.
Beberapa pihak mengatakan bahwa pendidikan elit dan biaya mahal dari boarding school hanya melahirkan pemimpin pemimpin yang jauh dari aspirasi rakyatnya.
Biaya pendidikan boarding schools memang hanya mampu dipenuhi oleh mereka yang berkantong sangat tebal.
Kritik sosial dari beberapa pihak bahkan menganggap bahwa keberadaan boarding schools sengaja didesain untuk mendoktrin dan mempersiapkan generasi penerus kelas sosial dari kalangan tertinggi (elite).
Duffell (2014) dalam tulisan berjudul “Britain’s Boarding School Problem, How the country’s elite institutions have shaped colonialism, Brexit, and today’s global super-rich” berargumen bahwa boarding schools adalah biang keladi tempat lahirnya pemimpin elitis yang membawa Inggris (dahulu) ke era kolonialisme British Empire dan berlanjut ke era modern dalam bentuk Brexit, pemisahan Inggris dengan Uni Eropa yang memiliki semangat elitisme Inggris.
Terlepas dari kontroversinya, boarding school terbukti melahirkan generasi yang mampu menjadi pemimpin di level global.
BOARDING SCHOOL ALA INDONESIA
Pesantren Dan Boarding School Lahirkan Generasi Pemimpin Dunia
Ada hal menarik terkait system boarding schools Inggris jika dikaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an.
Jika Inggris terkenal dengan tradisi sistem boarding schoolnya yang lahir dari rahim lingkungan elit kerajaan didukung oleh kalangan rohaniawan, untuk (sebagian) memperkuat misi kolonialisme dan Imperialisme, Indonesia justru mengenal pesantren sebagai pendidikan tradisional (indigenous) yang justru lahir dari semangat bertolak belakang. Semangat melawan penjajahan (kolonialisme).
Dalam sejarahnya, pesantren dimulai dari inisiatif sosok ulama kyai yang mencoba menjaga jarak dari kekuasaan yang dekat dengan kolonial. yaitu kerajaan kerajaan di bumi Nusantara.
Beberapa pesantren tua seperti Buntet, Sidogiri, Tebu Ireng tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mengusir kolonialisme dari Nusantara.
Bahkan dalam sejarahnya, Kyai Abbas dari pesantren Buntet dan KH Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng adalah dua tokoh utama penggerak perlawanan melawan penjajah Inggris di Surabaya yang menjadi inspirasi keluarnya Resolusi Jihad.
Dengan basis pemahaman agama Islam, pesantren secara konsisten menjaga semangat melawan segala bentuk penjajahan hingga hari ini.
Bertolak belakang dengan boarding school di Inggris yang menjadi tempat dididiknya kaum elit Inggris, justru di pesantrenlah tempat didiknya kaum pedesaan dan mereka yang berasal dari kalangan ekonomi terbawah.
Tidak jarang bahkan pesantren adalah bentuk sumbangsih dari Kyai untuk bisa membantu Negara didalam mendidik generasi dan memastikannya bisa dijangkau oleh kalangan terbawah masyarakat.
Fenomena tersebut sebenarnya saat ini sudah mulai berubah dengan ditandai banyaknya pesantren yang diminati oleh kalangan menengah dan banyaknya pejabat maupun tokoh yang tidak ragu menjatuhkan pilihan kepada pesantren sebagai tempat dididiknya putra putri mereka.
SISTEM ASRAMA
Pesantren baru saja mendapatkan pengakuan dan penghargaan tertinggi dari Negara, dengan disahkannya UU Pesantren di bulan September 2019. Sebagai penguatan dari tradisi pesantren, jelas terekam dalam pasal 5 ayat 2 bahwa salah satu unsur pesantren adalah keberadaan Kyai dan santri yang mukim di asrama (boarding).
Kesamaan pola pendidikan berasrama menjadi satu titik temu yang menarik antara boarding school di Inggris dengan dunia pesantren.
Meskipun ada sebagian pesantren yang tidak mewajibkan santri untuk hidup di asrama (mukim), bisa dipastikan bahwa sistem asrama adalah satu hal yang lazim ada di dalam sebuah sistem pesantren.
Kehidupan di asrama dengan segala dinamika dan disiplinnya menjadi salah satu pola dan proses penting yang sulit dipisah keunggulan yang mampu membentuk karakter dari santri. Menjadi kurikulum itu sendiri. Kurikulum kehidupan.
Dalam kaitannya dengan kemampuan melahirkan pemimpin, faktanya pesantren tidak kalah produktif dari boarding school di Inggris.
Tidak terhitung tokoh pejuang nasional bahkan internasional yang lahir dari rahim pesantren.
Perdana Menteri pertama Indonesia, Idham Khalid, Gus Dur, KH Hasyim Muzadi dan sederet tokoh nasional lainnya adalah contoh kecil dari alumni pesantren.
Pesantren pun sebenarnya tidak lepas dari pantauan radar pemerhati pendidikan dan kepemimpinan dunia.
Bahkan sekelas Cambridge University pun menaruh perhatian kepada dunia pesantren, salah satunya Pondok Modern Gontor.
Tercatat pada tahun 1990, salah satu Trimurti pendiri Gontor, KH Imam Zarkasyi mendapatkan sertifikat penghargaan leadership achievement oleh Cambridge University.
Ini menjadi bukti tidak terbantahkan bahwa kiprah pesantren selama ini benar benar mampu mewarnai dengan melahirkan generasi yang menopang kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.
Sehingga keberadaan Undang Undang Pesantren yang baru saja disahkan oleh DPR menjadi sangat relevan untuk terus diperkuat dengan peraturan peraturan pemerintah yang bisa memberi ruang untuk perkembangan pesantren tanpa meninggalkan tradisi dan visi besarnya mengusir penjajahan dalam segala bentuk. (Sumber : Hadiyanto Arief)
(DN.COM/almas_khalishah)
Facebook WhatsApp Twitter
from WordPress https://ift.tt/2IV78v2 via IFTTT
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years ago
Text
KH Hasyim Asy’ari, Pahlawan Pemersatu Umat
Di saat ikatan tali ukhuwah kita mengendur: dai yang tak sama pandangan dicurigai, divonis, ditolak, dan diatur-atur. Sementara, oknum dai lainnya provokatif dalam bertutur. Kasar, merendahkan, dan menyalah-nyalahkan yang tak selajur. Lalu, kita ribut berebut pengaruh demi eksistensi kelompok semata dan masih saja kita terjebak dengan isu-isu pertentangan wahabi dan khilafiyah.
Maka, dalam momen peringatan hari pahlawan ini, sangatlah penting dan relevan kita membicarakan kiprah salah satu pahlawan republik ini. Ia tiada lain adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini seakan hadir untuk ditakdirkan menjadi sosok ulama pemersatu umat. Bahwa berukhuwah yang benar bukan sekadar jargon-jargon, gembar-gembor, dan kata-kata manis di bibir, melainkan satunya kata-kata itu dengan perbuatan. Dan Kiai Hasyim telah membuktikannya.  
Kala terjadi pertentangan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis–kaum modernis menuduh kaum tradisionalis taqlid buta (menuruti suatu pendapat tanpa merasa perlu menuntut dalil), sedangkan kaum tradisionalis menuding kaum modernis sesat langkah daripada jalan ahlussunnah wal jama’ah, Kiai Hasyim bersikap. Ia mengeluarkan dan menyiarkan semacam surat edaran bernama Al-Mawaa’izh di kongres NU yang ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1935. Al-Mawaa’izh ini berisi nasihat yang mendalam tentang persatuan umat Islam. Buya Hamka dalam Panji Masyarakat (15/8/1959) menerjemahkannya untuk kita.
Dalam Al-Mawaa’izh, Kiai Hasyim mengingatkan agar tidak mencaci kaum yang mentaqlidi imam-imam yang memang boleh ditaqlidi, sekalipun pendapat imam tersebut tidak kuat. Berilah arahan yang halus kepada mereka, pesan beliau. Namun, bila mereka tidak mengikuti arahanmu, jangan musuhi mereka. “Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan terlebih dahulu sebuah kota,” ujarnya.
Kiai Hasyim juga melarang fanatik terhadap satu mazhab dan ribut-ribut masalah furu’ (cabang agama) yang dalam kalangan ulama sendiri memang terjadi perbedaan pendapat/perkara ijtihadi. "Kamu berkeras membicarakan perkara furu’, yang dipertikaikan oleh ulama," kata Kiai Hasyim. ”Tetapi kamu tidak ingkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ (kesepakatan, red) sekalian ulama atas haramnya sebagai zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu untuk Syafii dan Ibnu Hajar.”
Kiai Hasyim juga menegaskan, janganlah bercerai-berai, berpecah-belah, dan bermusuh-musuhan. Sebab, itu melanggar hukum Allah dan dosa yang sangat besar. “Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada kebajikan,” terangnya. Padahal, lanjut Kiai Hasyim, agama kita semua sama: Islam, daerah kita sama: Indonesia, semuanya ahlussunnah wal jamaa’ah, dan mazhab kita satu, yaitu Imam Syafi’i (Hasib di Jurnal Islamia Republika 20/8/2015 menjelaskan maksudnya jangan mengabaikan mazhab mayoritas di Indonesia yakni mazhab Syafi’i. 
Sikap kompromi seperti ini, menurut Deliar Noer (1982), memanggil Kiai Muhammad Dahlan dan Kiai Wahab Hasbullah dari NU, Kiai Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam, untuk sama-sama membentuk sebuah wadah persatuan perhimpunan-perhimpunan Islam di Surabaya pada 21 September 1937. Wadah ini kemudian diberi nama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI).
Dalam anggaran dasarnya, tujuan MIAI antara lain menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama dan mendamaikan manakala terjadi pertikaian di antara golongan umat Islam (Aboebakar, 2011).  
Setelah MIAI dibubarkan oleh Jepang dengan sewenang-wenang, muncul Partai Islam Masyumi. Kiai Hasyim duduk sebagai Ketua Majelis Syuro di situ. Beliau menginginkan umat Islam bersatu di partai itu. Pernah penulis mewawancarai salah satu cucu Kiai Hasyim yang sekarang mengasuh Pesantren Tebu Ireng, Salahuddin Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Solah. Gus Solah bercerita, sang kakek pernah berpesan agar umat Islam tetap bersatu dalam satu partai yaitu Partai Masyumi. Karena pesan itu, sejumlah ulama NU seperti KH Abdul Madjid (ayah dari Cak Nur) dan KH Abdullah Syafii (ayah dari Tuti Alawiyah) tetap bertahan di Partai Masyumi. Cerita ini Gus Sholah dengar dari kakak iparnya, Hamid Baidhowi, yang mendengar langsung dari KH Abdul Madjid. Rupanya, Kiai Hasyim tak hanya ingin umat Islam bersatu dalam gerakan keagamaan, tapi juga dalam politik. Ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim tidak memisahkan urusan agama dengan politik. Kiai Hasyim tak sekular. 
Kiai Hasyim memang benar-benar mendambakan persatuan. Ia seperti tidak percaya jika umat ini bisa pecah. Sering ia sampaikan, “Bagaimana bisa kaum muslimin berpecah-belah, sedangkan kitab mereka Alquran satu; nabi mereka Nabi Muhammad SAW satu; kiblat mereka Ka’bah satu. Tidak ada sesuatu yang patut dijadikan alasan mereka berpecah belah; apalagi sampai saling mengkafirkan satu sama lain. Perpecahan ini hanyalah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin.” (Syihab diterjemahkan Bisri, 1994). Ya, musuh kita bukan sesama kaum Muslimin. Musuh kita sebenarnya adalah kemiskinan, kesenjangan, kebodohan, dan keterbelakangan.   
Di mata Kiai Hasyim, persatuan adalah syarat mutlak mewujudkan kebahagiaan, kemakmuran secara merata, serta memajukan dan memperkuat negara dan Tanah Air (Zuhri, 2010).
Upaya Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam berlanjut dalam kongres NU yang ke-12 di Malang pada tahun 1937. Kiai Hasyim mengundang kalangan Islam di luar NU untuk hadir membicarakan persoalan umat Islam. Bunyi undangannya, “…Kemarilah tuan-tuan yang mulia; kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita [=kami], marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama, red) dan umat; baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya peri keduniaan. …” (Noer, 1982). 
Kita bisa merasakan begitu hangatnya ajakan itu. Ramah. Sejuk. Sangat terasa ukhuwahnya. Dialog dikedepankan demi kepentingan semua kalangan. Subhanallah!
Dalam Muktamar NU ke-12, Kiai Hasyim turun tangan menengahi perselisihan antara generasi muda dan generasi tua NU. Ia berusaha menjembatani jarak di antara keduanya dengan menyampaikan, generasi tua seharusnya mencintai yang muda, dan yang muda seharusnya menghormati yang tua.  
Setelah itu, Muktamar memutuskan untuk membentuk badan otonom untuk pemuda NU. Nasihat lembut Kiai Hasyim berhasil menyatukan para pengurus NU. Pada muktamar ini, Kiai Hasyim juga berjasa menjembatani jarak antara santri dan abangan dengan mengajak umat Islam berdakwah pada abangan dengan penuh kelembutan dan kedamaian (Khuluq, 2000). Kita bisa melihat betapa piawai, penuh kasih sayang, dan bijaknya dakwah Kiai Hasyim ini!
Contoh kearifan Kiai Hasyim lainnya diceritakan oleh mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, almarhum Profesor Kiai Ali Mustafa Yaqub di Republika (13/4/2015). Kiai Ali mendapat cerita ini dari murid Kiai Hasyim yang bernama Kiai Abdul Muhit Muzadi. Ceritanya, waktu itu, ada masyarakat yang bertanya kepada Kiai Hasyim soal kapan waktu lebaran.Kiai Hasyim menjawab, "Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku, yo nunggu rukyat se (Kalau ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut saya, kita menunggu rukyat dulu)". Maksum yang disebut oleh Kiai Hasyim adalah murid dan menantu beliau sendiri. Nama lengkapnya Maksum bin Ali, seorang Kiai yang ahli falak/astronomi. Ia menulis kitab falak berjudul al-Durus al-Falakiyyah (Pelajaran Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab. 
Dari cerita Kiai Ali ini, kita bisa melihat bahwa dalam urusan furu’, Kiai Hasyim tampak tidak memaksa yang bertanya untuk mengikuti pendapatnya, dan juga tidak menyalah-nyalahkan Kiai Maksum yang berbeda pendapat dengannya. Kiai Hasyim toleran dalam perbedaan yang sifatnya khilafiyah. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh insan yang dadanya lapang, rendah hati, berpikiran terbuka, toleran, tidak fanatik, bijak, berwawasan luas, dan tidak gila hormat. Itulah jasa-jasa besar dan mulia Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam di negeri ini. Betapa teladan pemimpin menjadi kunci dalam mengencangkan ikatan tali ukhuwah islamiyah. Di saat mengendurnya ikatan tali itu sekarang ini, kita teramat rindu dan mencari-cari di mana sosok pemimpin seperti Kiai Hasyim? Di mana?
Dimuat di https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/15/ozgqcq396-kh-hasyim-asyari-pahlawan-pemersatu-umat dengan sedikit suntingan  
1 note · View note
yaqubwalker-blog · 7 years ago
Text
Komunisme dan Islamisme (Bacalah! Wahai Orang-Orang Beriman)
Tumblr media
Semua keanekaragaman di dunia ini menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan sengaja menciptakan kita dengan segala perbedaan yang ada. Namun justru seharusnya karena perbedaan itulah kita semua akan semakin berwawasan luas dan sadar bahwa Tuhanlah yang maha mengetahui atas segala sesuatunya. Dengan perbedaan, kita akan semakin peka dalam membaca, menerjemahkan, dan menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dan hanya paham komunislah yang memaksa kemajemukan menjadi keseragaman melalui jalur kekuasaan mutlak.
“Proclaim! (or read!) in the name of thy Lord and Cherisher who created. He created man, out of a leech like clot. Proclaim! And thy Lord is Most Bountiful. He Who taught (the use of) the pen. Taught man that which he knew not.”
Mengambil sedikit dari Tafsir Al-Mishbah, kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti “menghimpun”. Apabila kita merangkai huruf atau kata kemudian mengucapkan rangkaian tersebut, kita telah “menghimpunnya”, yakni “membacanya”. Dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya yang kesemuannya bermuara pada arti “menghimpun”.
Kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.” Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra’ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya bersifat umum, objek kata tersebut mencakup segala sesuatu yang dapat terjangkau. Alhasil perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar Mesir) menulis dalam bukunya, al-Qur’ân Fî Syahr al-Qur’ân, bahwa: “Dengan kalimat iqra’ bismi Rabbik, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan ‘bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.’ Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan aktivitas.”
Dengan arti lain, setiap manusia diperintahkan untuk selalu mempelajari apapun melalui aktivitas sehari-hari. Dan meskipun manusia sudah mempelajari banyak hal, kita tetaplah makhluk yang memiliki banyak keterbatasan. Tidak mungkin ada manusia yang mampu menguasai semua bidang dalam kehidupan ini, dikarenakan setiap manusia hanya memiliki waktu 24 jam setiap harinya, maka penting bagi kita untuk bersikap rendah hati dan saling menghormati di dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Di dalam bukunya yang berjudul “Lembaga Hidup”, Buya Hamka menjelaskan tentang pentingnya setiap manusia untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik dan benar untuk hidup sesuai ketetapan Ilahi. Buku tersebut diterbitkan pertama kali pada tahun 1941 setelah kedua bukunya yang berjudul “Tasawuf Modern” dan “Falsafah Hidup”. Beberapa bab yang dibahas dalam buku Lembaga Hidup, yaitu kewajiban kepada Allah, kewajiban kepada masyarakat, hak atas harta benda, kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, kewajiban bertanah air, Islam dan politik, Al-Quran untuk zaman modern, dan Muhammad saw. orang besar yang telah mengeluarkan manusia dari kejatuhan.
Bagi Buya Hamka, bila cahaya Islam memancar, yang lebih dahulu kena sorotnya ialah akal. Sorot dari alam gaib yaitu wahyu Tuhan, agama yang dibawa oleh Nabi; dan sorot yang tersedia pada diri manusia ialah akal. Maka bergabunglah kedua cahaya itu jadi satu, sehingga berdempetlah cahaya ke atas cahaya, yang oleh al-Qur’an dikatakan “Cahaya di atas cahaya”. Sebelum Nabi diutus membawa cahaya itu kepada segenap alam, adalah manusia sedang tenggelam di dalam lautan kejahilan dan kebingungan. Sebab itu agama adalah penuntun akal. Memberinya bentuk yang lurus menuntut jalan yang wajib dilalui. Di antara agama dan akal tidak pernah berselisih, tetapi agama jadi pimpinan untuk mencapai kenaikan tingkat akal. Dengan tertutupnya perjalanan akal, berarti manusia dijatuhkan dari kemanusiaannya. Disamakan derajatnya dengan binatang.
Buya Hamka adalah sosok yang sangat rajin menuntut ilmu meski ia tidak pernah merasakan belajar di bangku perkuliahan. Ilmu pengetahuan yang didapat Buya Hamka banyak diperolehnya dari banyak membaca buku, bukan dari perguruan tinggi ternama. Dan jika diperhatikan dari buku-buku yang ditulisnya, Buya Hamka tidak hanya belajar dari para cendekiawan Muslim, seperti Imam al-Ghazali, Syeikh Muhammad Abduh, Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Mahdi al-Bashir, Mustafa Kamil, Abdul Ulaa al-Ma’riy dan Ibnu Arabiy, tetapi beliau juga belajar dari beberapa filsuf Eropa seperti Socrates, Plato, Aristoteles, bahkan Karl Marx. Oleh karena itu, tidak ada larangan apabila kita membaca perkembangan sejarah dunia. Justru jika kita banyak mengetahui sejarah yang sebenarnya, tidaklah mudah bagi kita dipengaruhi oleh berita bohong atau hoax.
Ialah hal yang tidak dibenarkan jika dalam menuntut ilmu kita dibatasi oleh ketakutan-ketakutan tertentu oleh suatu golongan. Percayalah bahwa setiap ilmu pengetahuan yang kita terima akan bermanfaat dalam membentuk kerangka berpikir kita, meskipun itu berlawanan dari sudut pandang awal kita. Seperti yang dibuktikan oleh banyak tokoh nasional kita, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, bahwa mempelajari filsafat Karl Marx tidak otomatis mengubah mereka menjadi seorang Marxis Ortodoks. Jika dianalogikan dengan kasus lain, apakah jika kita membaca beberapa buku kedokteran akan langsung mengubah kita menjadi seorang dokter? Tentu tidak.
Isu kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia) memang sedang hangat dibicarakan oleh ustadz-ustadz belakangan ini. Tetapi masih banyak orang yang belum memahami pengertian komunis dengan benar. Sebelum membahas sampai sana, terlebih dahulu kita simak uraian KH. Hasyim Muzadi di tengah-tengah para Habaib dan FPI, yang videonya bisa kita lihat di Youtube, dengan tema “Saatnya Islam Memimpin Dunia”. KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Tanfidziyah PBNU ke-4, menjelaskan, “Tahun 1990, Komunisme Internasional runtuh. Setelah ia berdiri tahun 1920, jadi umurnya cuma 70 tahun, hancur dia. Hancurnya ini, bukan karena perang. Hancurnya ini adalah susupan ideologi Barat dimasukkan ke daerah komunis. Sehingga berubahlah pemikiran komunisme di Timur itu. Nah, setelah hancur ini yang hancur tiga hal. Pertama, daerah kekuasaan Uni Soviet menjadi Rusia, asalnya banyak. Yugoslavia yang asalnya negara, sekarang sudah tidak ada, yang ada Serbia dan Kosovo, dua daerah suku. Di Rusia, itu yang mengerjakan teori penyusupan itu namanya Gorbachev. Yang di Cina, namanya Deng Xiaoping.  Yang di Yugoslavia, namanya Lech Walensa.”
Anehnya, pada masa sekarang ini masih ada saja ustadz yang mengatakan, dapat disimak melalui Youtube, “Ada tiga yang mengancam kita sekarang: Syiah didukung Iran, Kristen Ekstrim didukung Amerika dan Uni Eropa, Komunis didukung Cina yang sudah masuk. Dulu kita disuruh belajar ke negeri Cina, sekarang tak perlu belajar ke Cina. Cina itu sudah datang ke mari, buat kampung pula di Bogor.” Kita tidak perlu meragukan ilmu agama ustadz tersebut, namun seberapa pahamkah ustadz itu tentang sejarah dan ekonomi politik? Perlu kita telusuri lagi.
Arti komunisme jika hanya mengandalkan Google, maka akan ditemukan banyak hasil keliru yang menyatakan bahwa Marxisme sama dengan Komunisme. Padahal komunisme yang pernah ada di Indonesia dalam bentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah paham ekonomi politik berdasarkan gabungan filsafat Karl Marx, Friedrich Engels,  dan V.I. Lenin (Marxisme-Leninisme).
Komunisme yang kita sering dengar, terutama bila kita bertumbuh kembang di era Orde Baru, memiliki pandangan ateisme. Meskipun sebenarnya ia tidak bisa diartikan sesempit itu, karena hal itu bisa disalahartikan, misalnya ada seseorang yang tidak memiliki agama (ateis) maka tidak lantas ia pantas dituduh sebagai seorang komunis. Lebih tepat jika dikatakan bahwa komunis itu berpadangan “materialisme”. Apa itu materialisme? Mengutip dari buku “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno, “Manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan, maupun cara mereka berproduksi. Jadi, individu-individu tergantung pada syarat-syarat material mereka.” Di lain tempat Marx menjelaskan: “Penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat tuan-tuan feodal, penggilingan dengan uap menghasilkan masyarakat kaum kapitalis industrial.” Pandangan itu disebut materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi, Marx memakai kata materialisme bukan dalam arti filosofis, sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjuk pada faktor yang menentukan sejarah itu bukan pikiran, tetapi “keadaan material” manusia, yaitu produksi kebutuhan material manusia.
Kemudian mengutip buku “Dalam Bayang-Bayang Lenin” karya Franz Magnis-Suseno, Friedrich Engels melengkapkan materialisme historis Karl Marx dengan pandangan dunia materialis: realitas pada dasarnya bersifat materi atau merupakan perkembangan dari materi. Materi itu selalu dalam keadaan bergerak yang berlangsung menurut hukum dialektika. Dialektika berarti bahwa materi secara hakiki bergerak dalam kontradiksi-kontradiksi yang merupakan mesin pengembangannya. Melalui loncatan “dialektis”, suatu perubahan “kuantitatif” materi bisa menjadi “kualitatif”. Bertolak dari pandangan materialis itu, Engels membagi seluruh filsafat menjadi dua kubu: “idealisme” dan “materialisme”. Idealisme mendahulukan idea terhadap materi, sedangkan materialisme mendahulukan materi. Idealisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia menciptakan apa yang dimengerti; materialisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia benar sejauh mencerminkan apa yang memang nyata-nyata ada.
Mengikuti Friedrich Engels, Tan Malaka membagi para filosof ke dalam dua kubu, yakni kubu idealisme dan kubu materialisme. Kubu pertama menganggap idea sebagai sesuatu yang datang terlebih dahulu, yang kemudian akan memunculkan materi. Sedangkan kubu kedua menganggap materi sebagai realitas pertama dan idea sebagai realitas yang berasal dari materi. Dengan demikian, bagi Tan Malaka, kaum idealis belum lepas betul dari logika mistika. Sebaliknya, para filosof materialis, karena mendahulukan materi dan alam indrawi, telah semakin meninggalkan filsafat dan menggantikannya dengan ilmu pengetahuan yang langsung menyelidiki realitas indrawi.
Pandangan Tan Malaka itu bersumber pada “materialisme historis” dan “materialisme dialektis”, dua pokok filsafat Marxisme-Leninisme. Dari materialisme historis Karl Marx, Tan Malaka memperoleh keyakinan baru bahwa dalam sosialisme, ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa hambatan. Sejarah manusia jangan dipandang sebagai buatan “ide absolut”, melainkan dijelaskan secara ilmiah menurut “hukum materialisme historis”. Dalam upaya untuk mengajar bangsa Indonesia cara berpikir yang benar, Tan Malaka mengandalkan materialisme dialektis yang dicetuskan oleh Friedrich Engels, kawan karib Karl Marx, karena dalam materialisme dialektis, Tan Malaka menemukan cara pandang dunia yang tepat untuk menggantikan logika gaib.
Bagaimana, terlihat kompleks bukan? Pastinya, jika hanya dibandingkan dengan pendapat sebagian orang yang mengidentikkan komunis dengan ateis. Asvi Marwan Adam, sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berpendapat, “Dalam alam sejarah yang diajarkan semasa Orde Baru, Peristiwa Madiun 19 September 1948 merupakan pemberontakan PKI disertai dengan pembantaian terhadap Kiai. Hai ini memunculkan radikalisme yang terus meningkat ibarat perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Suatu saat roda yang berputar itu bersinggungan, bergesekan dan bertubrukan, maka timbul percikan api yang membakar. Masalah ini akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin, yaitu dari aspek sosial-politik, ekonomi, dan budaya. Pada Desember 1954, Masyumi menyatakan bahwa ‘komunisme itu identik dengan ateisme’. Keluarnya fatwa ini bisa dilihat dalam konteks persaingan antara Masyumi dan PKI dalam menghadapi Pemilu 1955. Benih kebencian itu perlu dihilangkan dengan mengkaji sejarah secara jernih. Buku pelajaran sejarah perlu ditulis secara cerdas dengan perspektif baru.”
Agar memudahkan kita dalam memahami komunisme, sebaiknya diawali dari latar belakang berdirinya paham tersebut. Komunisme adalah sebuah antitesis yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Salah satu ciri utama dari komunisme ini ialah penolakan terhadap “hak milik”, karena dari sanalah lahirnya para kapitalis (pemilik modal) yang secara semena-mena menggunakan tenaga kaum buruh (proletar) dengan upah yang tidak sebanding. Sehingga, tujuan mereka untuk menghapus hak milik adalah dengan menasionalisasikannya, dengan syarat Partai Komunis sebagai pemeran utama dalam menjalankan pemerintahan tersebut. Oleh sebab itu, mereka sangat bernafsu menduduki kekuasaan-kekuasaan politik. Adapun dalam perkembangannya, komunisme sedikit menyesuaikan diri  agar tetap bertahan menghadapi gempuran paham-paham lain.
Pada Agustus 1935, Georgi Dimitrov, Sekretaris Jenderal Komintern (Komunis Internasional) yang baru, mengajukan taktik baru bagi gerakan komunis dalam menghadapi “kebangkitan fasisme”. Garis Dimitrov menghendaki sebuah front persatuan yang luas dalam melawan kebangkitan fasisme. Sebagai konsekuensinya, garis Dimitrov ini membolehkan—bahkan mengharuskan—kaum komunis bekerjasama dengan partai-partai dan pemerintahan borjuis dalam kerangka melawan fasisme. Namun, setelah Amerika mulai membendung laju Komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran Andrei Alexandrovich Zhdanov, Petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India. Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: Kapitalis Imperialis yang dimotori Amerika Serikat dan blok Anti-Imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie di dalam buku “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan”, ialah pemutusan kerja sama dengan kaum imperialis dan partai-partai komunis harus mengambil langkah garis keras.
Ada juga beberapa perkembangan di luar aliran Marxisme Ortodoks, mengambil dari buku Pemikiran Karl Marx, di antaranya “anarkisme” dan “sindikalisme”. Kedua paham tersebut, sebenarnya bukanlah termasuk marxisme, tetapi berkembang dalam komunikasi dan sering dalam konfrontasi dengan marxisme, serta menjadi saingannya dalam merebut hati kaum buruh. Tokoh utama anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876). Anarkisme menolak segala bentuk negara dalam arti lembaga pusat masyarakat dengan wewenang dan kemampuan untuk memaksakan ketaatan terhadap undang-undang. Cita-cita anarkisme adalah anarkhia, keadaan tanpa undang-undang. Anarkisme tidak membedakan antara bentuk kenegaraan yang positif dan negatif. Semua macam negara: republik, monarki, maupun sosialisme dan komunisme pada hakikatnya sama saja, semua mempunyai kekuasaan pemaksa, undang-undang, polisi, mahkamah pengadilan, penjara, angkatan bersenjata, dan sebagainya. Oleh sebab itu, semua bentuk negara adalah buruk dan harus ditolak. Asalkan perekonomian ditata dengan adil, mereka berpendapat, lembaga-lembaga itu tidak perlu lagi. Pembunuhan kepala negara, serangan bom atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lain dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara menggerakan massa untuk memberontak. Bendera kaum anarkis pimpinan Bakunin adalah hitam, berbeda dari bendera merah kaum marxis. Karl Marx (1818-1883) menolak anarkisme dengan tajam. Menurut Marx, tujuan dekat revolusi sosialis bukan masyarakat tanpa negara, melainkan sosialisme negara dalam tangan proletariat—yang kemudian dilaksanakan oleh Lenin, tetapi proletariat digantikan oleh Partai Komunis.
Melanjutkan dari buku yang pertama kali terbit pada 1999 itu, meskipun anarkisme tidak bertahan sebagai gerakan politik, namun ia memengaruhi suatu bentuk sosialisme di beberapa negara Latin, Prancis, dan Spanyol, yang disebut sindikalisme.  Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Ia dapat dianggap sebagai perkawinan silang antara marxisme dan anarkisme. Sindikalisme memakai prinsip-prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum, ia hendak memasukkan perjuangan kelas langsung ke dalam bidang ekonomi. Sindikalisme, setia pada akar-akarnya yang anarkistis, menolak adanya negara, dan juga tidak menyetujui perjuangan kaum sosialis di dalam parlemen melalui sebuah Partai Buruh. Kalau tujuan jangka pendek marxisme adalah nasionalisasi industri, sindikalisme karena membenci segala bentuk negara, menolak sosialisme negara. Mereka ingin menyerahkan industri kepada serikat-serikat buruh. Sosialisasi alat-alat produksi tidak ditetapkan dari atas oleh negara sosialis, melainkan dari bawah oleh kaum buruh sendiri. Akar dari sindikalisme dipengaruhi oleh Proudhon dan Bakunin, juga pengaruh dari usaha-usaha Robert Owen. Bendera mereka hitam-merah, campuran dari bendera hitam kaum anarkis dan merah kaum marxis. Sindikalisme mengembangkan semangat juang tinggi, menekankan usaha pribadi buruh dan peran elit pejuang. Ia menentang perang dan anti-militaris.
Agar pandangan kita lebih luas mengenai marxisme, akan sangat berguna bagi kita untuk melihat aliran marxisme yang unik berikut ini. Berasal dari sekelompok pemikir marxis yang menetap di Austria dan meskipun masing-masing berpikir ke arah tersendiri, mereka memberikan warna khas kepada marxisme sehingga mereka masuk dalam sejarah sosialisme sebagai “Austomarxisme”. Mereka berpegang pada pokok-pokok teori Marx, seperti teori perjuangan kelas, teori nilai, dan materialisme historis, namun mereka tidak menganggap marxisme sebagai sebuah sistem tertutup, dimana dapat berkembang mengikuti nilai-nilai suatu bangsa. Austromarxis juga menolak anggapan bahwa marxisme mengimplikasikan materialisme dan ateisme. Austromarxis bahkan berpendapat bahwa “agama mempunyai fungsi positif dalam hidup masyarakat”. Bagi mereka nilai-nilai marxisme adalah universal, marxisme bukan milik eksklusif proletariat melainkan realisasi cita-cita tertinggi manusia. Jadi untuk memahami marxisme, seseorang tidak harus menjadi anggota proletariat, cukup berpikir lurus.
Pada austromarxisme, inti sosialisme tidak lain adalah prinsip Immanuel Kant bahwa individu manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan, bukanlah sebagai sarana. Mereka dengan tegas mempertahankan bahwa kediktatoran proletariat harus berciri demokratis. Karena itu, mereka menolak sistem kekuasaan komunis yang dibangun Lenin di Uni Soviet. Otto Bauer (1881-1938) berpendapat, tak ada pertentangan antara internasionalisme proletar dan keanekaragaman bangsa-bangsa. Bauer mendukung eksistensi negara multibangsa seperti Austria, yang penting dalam kerangka negara-negara yang ada, semua bangsa memperoleh hak untuk mewujudkan kehidupan rohani dan kultural mereka secara bebas. Ia menegaskan bahwa konflik-konflik nasional antara bangsa-bangsa yang hidup dalam satu negara hanya dapat diselesaikan melalui demokrasi.
M. Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Ketua KPK, bercerita pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), “Ada kasus gerakan-gerakan radikal yang mengusung cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), waktu itu HTI belum masuk, belum ada HTI. Itu bersarang di kampus-kampus di antaranya di Jogja. Nah, orang-orang ini datang dari Jakarta. Dan kemudian mereka melakukan provokasi-provokasi kepada mahasiswa-mahasiswa, lalu mahasiswa ditangkapi oleh tentara kala itu. Saya dan sejumlah teman advokat mendampingi para mahasiswa yang ditangkap itu. Saya tutup kasus masa lalu itu dengan kasus ‘Komando Jihad’ yang rapi, yang sistemik, terstruktur, masif. Berlangsung 1976-1983, yang dilatarbelakangi dengan membuat isu ‘komunis mau bangkit lagi’ dari Vietnam lewat Borneo (Kalimantan). Untuk melawan kebangkitan komunisme itu, ada operasi intelijen, disebut-sebut nama Letjen Ali Moertopo. Lalu mendekati mantan tokoh-tokoh Darul Islam dan NII kala itu, diajak bisnis. Kemudian dibuat suatu skenario, ini untuk melawan komunisme perlu dibentuk Komando Jihad. “
Terbukti dari beberapa penjelasan di atas, isu kebangkitan PKI yang ramai dibicarakan itu hanyalah taktik dan intrik untuk merebut kekuasaan belaka. Strategi politik lama dari Orde Baru, ternyata masih ampuh mempengaruhi masyarakat awam masa kini. Padahal pada saat Gus Dur berkuasa, beliau pernah mengusulkan untuk mencabut Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Harus diakui, hal tersebut penuh kontroversi. Komunisme adalah gerakan radikal dan sangat haus akan kekuasaan. Namun perlu diakui juga bahwa para keluarga tertuduh anggota PKI diperlakukan lebih kejam dibanding para pelaku terorisme di dalam negeri. Kita boleh saja tidak setuju dengan aksi ataupun gerakannya, tetapi jangan sampai memperlakukan banyak manusia dengan tidak semestinya.
“And do not pursue that of which you have no knowledge. Indeed, the hearing, the sight and the heart - about all those (one) will be questioned. And do not walk upon the earth exultantly. Indeed, you will never tear the earth (apart), and you will never reach the mountains in height.”
Kembali mengambil sedikit bagian dari Tafsir Al-Mishbah, Sayyid Quthub berpendapat bahwa kehati-hatian dan upaya terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak—sebelum memutuskan—itulah ajakan al-Qur’an serta metode yang sangat teliti dari ajaran Islam. Apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini, tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan dan perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan interaksi, tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam bidang penelitian, eksperimen, dan ilmu pengetahuan. Amânah ‘ilmiyah yang didengungkan di abad modern ini tidak lain kecuali sebagian dari Amânah aqliyah dan qabliyah yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kerja pendengaran, penglihatan, dan hatinya, serta bertanggung jawab kepada Allah.
Provokasi untuk memecah belah umat banyak dilakukan dalam beberapa tahun ini. Salah satunya ialah komentar Achmad Michdan, kuasa hukum HTI, kepada Gatra yang menyebutkan bahwa langkah tiba-tiba pemerintah saat ini dalam membubarkan ormas (HTI) justru akan menjauhkan hubungan pemerintah dan Islam. Ia melanjutkan, “Terbaca bahwa pemerintah sekarang tidak bepihak pada gerakan-gerakan umat Islam. Mereka lupa, karena Islam, negara ini bisa merdeka, melakukan perlawanan kepada kolonial.” Dalam menanggapi hal semacam ini, kita pantas prihatin. Sangat terlihat bahwa yang memecah umat Islam adalah oknum umat Islam sendiri dengan mengatasnamakan agama. Komentar itu cukup janggal, karena ormas-ormas Islam yang sebenarnya berjuang melawan penjajah pada saat itu tidak ribut, antara lain: NU dan Muhammadiyah. Hizbut Tahrir (HT) belum dilahirkan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, mereka baru lahir pada tahun 1953 di Palestina. Kemudian pada tahun 1980-an, doktrin HT barulah masuk ke Indonesia, lalu pada tahun 2000, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akhirnya memproklamasikan diri, menurut Majalah Tempo edisi 15-21 Mei 2017. Kita harus cerdas dalam mengolah informasi yang datang kepada kita agar tidak keliru dalam berpendapat.
Hal itu juga diperkuat oleh buku yang berjudul “Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara” karya Buya Syafii Maarif. Nama Hizbut Tahrir (HT) sama sekali tidak disebutkan di dalam buku yang terbit pertama kali pada 1985 itu. Padahal buku tersebut menjelaskan tentang perkembangan politik Islam di Indonesia dari pra kemerdekaan hingga keluarnya dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Organisasi Islam yang disebutkan, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al-Irsyad, Sarekat Islam (SI), Masyumi, hingga JIB (Jong Islamiten Bond, Ikatan Pemuda Islam). Di dalam buku yang ditulis dari hasil disertasinya, Buya Syafii Maarif berkesimpulan bahwa al-Qur’an maupun ajaran Nabi Muhammad tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam, asal prinsip syûrâ dijalankan dan dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk “khilafah dan imâmah” oleh para yuris, seperti al-Baqillani dan al-Mawardi pada abad pertengahan tidak lebih dari sekadar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengatakan bahwa Qatar membantu beberapa kelompok teroris  dan sektarian yang bertujuan mengganggu stabilitas di kawasan ini (Jazirah Arab), termasuk Al-Ikhwan al-Muslimun, ISIS, dan Al-Qaeda, serta mempromosikan pesan dan skema kelompok-kelompok itu melalui media mereka secara terus-menerus. Pemerintah Qatar menyesalkan langkah terkoordinasi yang diambil Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Qatar sendiri telah membantah mendukung ISIS dan Al-Qaeda serta menyebut keputusan itu tak bisa dibenarkan dan tidak didasarkan fakta-fakta.
Direktur Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Muhammad Luthfi Zuhdi berpendapat, “Konflik kali ini bukan soal ‘Sunni-Syiah’ semata, ada faktor X, yaitu politik dan ekonomi. Faktor politik di sini karena beberapa tahun belakangan Qatar lebih dekat dengan Iran. Sementara untuk faktor ekonomi, ini soal kerja sama eksplorasi gas besar-besaran antara Qatar dan Iran. Dikabarkan, (ladang gas) itu seluas satu triliun kubik. Tentu saja negara-negara Arab tersinggung karena Qatar lebih memilih Iran yang merupakan musuh besar mereka.” Kisruh di Timur Tengah ini membangkitkan ingatan soal pertikaian pada 2014. Saat itu, Qatar dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin dan mencampuri urusan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), seperti yang ditulis dalam Majalah Sindo Weekly edisi 12-18 Juni 2017.
Mengutip dari Majalah Gatra edisi 15-21 Juni 2017, Arab saudi menyatakan sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar blokade ekonomi dicabut, yaitu berhenti mendukung Iran, Hamas, dan Ikhwanul Muslimin. Namun Qatar tetap melawan. Mungkinkah Arab Saudi menginvasi Qatar? Kemungkinannya sangat kecil. Sejauh ini belum ada satu pengamat pun yang memprediksi Arab Saudi akan mengambil opsi itu. Pasalnya, Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Qatar, dengan pasukan mencapai hampir 10.000 tentara. Selain AS, Turki juga sedang membangun pangkalan militer di Qatar. Pangkalan militer Turki itu merupakan bagian dari perjanjian militer Qatar-Turki yang ditandatangani pada 2014. Parlemen Turki menyetujui pengiriman pasukan ke Qatar, sebanyak 3000 tentara akan segera diberangkatkan.
Konflik di Timur Tengah memicu seorang ustadz berpendapat bahwa ISIS hanyalah sekadar nama, dulunya Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Lalu ia juga menuturkan bahwa munculnya Al-Qaeda tidak jauh dari yang disebut dengan Ikhwanul Muslimin. Namun sebaiknya kita tidaklah menyamakan beberapa golongan tersebut secara sama rata, seperti halnya seorang “Salafi” yang tidak mau disamakan dengan Wahabi. Untuk itu, mari kita simak penjelasan Sofyan Tsauri, seorang mantan polisi dan mantan teroris, pada acara ILC dengan tema “ISIS Sudah di Kampung Melayu”. Ia menyampaikan, “Sebetulnya ketika kita melihat fenomena global saat ini, gerakan jihad itu terbagi menjadi dua. Pertama, pro kepada Al-Qaeda. Yang kedua, pro kepada ISIS. Kita bisa baca buku Abu Musab as-Suri tentang pergerakan kontemporer yang mengingatkan tentang ‘bahaya takfiri’. Jadi sebetulnya yang dirugikan bukan cuma aparat keamanan Barat, tapi dari kelompok Jihadis sendiri juga dirugikan dengan kelompok ISIS ini. Bahkan Syaikh Jaulani, salah satu Amir Jabhah Nushrah, mengatakan bahwa 800 anggota Al-Qaeda di Suriah itu terbunuh oleh ISIS. Jadi kalau kita melihat akar dari pemikiran ISIS hari ini, itu banyak dikutip dari fatwa-fatwa Abdul Wahhab generasi ke-2. Berawal dari pemikiran takfiri, lalu terjadilah pengkafiran berantai. Maka tidak heran jika kemudian Taliban dan Al-Qaeda juga dikafirkan oleh kelompok-kelompok ini (ISIS). Ini yang saya katakan bahwa pemikiran tersebut sangat berbahaya.”
Berdasarkan buku “Khazanah Aswaja” yang disusun oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, secara terminologis, radikalisme agama berarti perilaku keagamaan yang menyalahi Syariat, mengambil karakter keras sekali antara dua pihak yang bertikai, bertujuan merealisasikan target-target tertentu atau mengubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama. Radikalisme agama, sebagai fenomena, merupakan semacam kegelisahan berlebih-lebihan yang dialami seseorang. Hal itu adakalanya karena pikiran yang hampa, dan adakalanya karena pandangan pesimis sebagai akibat ketidaktahuan pada hukum-hukum agama. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena berlebih-lebihan dalam agama.”
Untuk memperkaya wawasan perkembangan sejarah Islam kita, mari mengutip paparan buku “Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban” karya Fazlur Rahman: Al-Qur’an pada dasarnya merupakan dokumen etik dan keagamaan yang tujuan praktisnya adalah membangun masyarakat yang adil dan beradab, yang bertaqwa kepada Tuhan, yang memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran.  Walhasil tidak banyak teori murni. Yang paling mungkin mendekati spekulasi adalah seruan al-Qur’an untuk merenungkan keluasan dan keteraturan alam semesta, tetapi ini pun bukan untuk membuktikan eksistensi-teoritis Tuhan, melainkan untuk menggambarkan keagungan dan keindahan-Nya. Penekanannya adalah pada “iman dalam tindakan”. Di situ ada faktor serta tegangan moral dan psikologis. Keangkuhan manusia ditundukkan oleh keagungan dan kekuasaan Tuhan. Tetapi yang enggan bertindak dan hanya mengandalkan kekuasaan Tuhan juga dikecam, sambil menegaskan kebebasan dan tanggung jawab utama manusia.
Meneruskan buku yang diterbitkan pertama kali pada 1966 itu: Sikap lugas nan praktis yang ditanamkan al-Qur’an dan Nabi Muhammad mulai menjadi soal akibat pergolakan pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali. Namun, ketika pada masa Umayyah kesatuan agama dan negara terkoyak, ia memicu perenungan mendalam di mana-mana. Bani Umayyah yang sadar betul bahwa yang mempersatukan dan membesarkan bangsa Arab adalah Islam, tetap mempertahankan bentuk kekhilafahan dan agama sebagai dasar negara serta menetapkan Syariah sebagai konstitusinya.  Tetapi selain peraturan pemerintahan mereka tidak betul-betul didasarkan pada Syariah, mereka juga memperalat negara demi kekuasaan pribadi. Keseharian mereka memang tidak sepenuhnya tak islami, tetapi jelas jauh dari gambaran ideal empat khalifah awal serta dari harapan dan tuntutan para ulama. Mereka berusaha memperbaikinya pada masa Umar bin Abdul Aziz (sekitar 99-100 H/ 717-720 M), tetapi sudah terlalu terlambat untuk menyelamatkan keutuhan dinasti.
Sekte Khawarij (‘yang keluar’) menganggap pelaku dosa besar sudah bukan Muslim lagi dan mereka melancarkan jihad (perang suci) terhadap penguasa dan umat secara umum atas idealisme ekstrim yang bercampur dengan fanatisme buta. “Keputusan (kekuasaan) hanya milik Allah” adalah semboyan kelompok yang berbasis di Irak dan Persia ini. Sebagian besar ulama di Madinah juga kecewa dengan penguasa Umayyah, namun fatwa-fatwa mereka, karena ketidakberdayaan mereka, perlahan tunduk pada rezim Umayyah dan menyatakan bahwa iman saja cukup bagi seseorang untuk dapat disebut Muslim tanpa harus melihat amal perbuatan. “Keputusan (kekuasaan) hanya milik Allah” bagi mereka berarti bahwa kekuasaan politik yang merupakan Kehendak Allah tidak boleh ditentang. Kelompok ini, yang disebut Murji’ah (yang ‘menunda’ menilai orang sampai Hari Akhir), mengimbau agar tidak menghakimi pelaku dosa besar yang nasibnya akan ditentukan Allah kelak.
Ketika pertama kali muncul pada Khalifah Utsman dan Ali, kaum Murji’ah mewakili pandangan yang lunak dan moderat di tengah berbagai kubu yang keras mendukung atau menentang Utsman dan Ali. Namun pada masa Umayyah, sikap moderat ini perlahan merosot menjadi determinisme murni, hingga tak ada bedanya lagi dengan kelesuan moral masyarakat dan menjadi alat rezim Umayyah yang lalu mendukung penyebaran pandangan mereka. Kaum Murji’ah yang mengambil sikap netral di tengah perselisihan politik antara Khalifah Ali dan lawan-lawannya itu belakangan disebut juga kaum Mu’tazilah (netralis) dan kaum Jabariah (predeterminis). Tradisi kalangan netralis (dalam politik) dan moderat (dalam agama) ini, yang terdiri atas mayoritas Sahabat dan warga Madinah, sebenarnya dapat ditemukan di Madinah pada masa Bani Umayyah. Pemuka agama di Madinah tidak pernah memberontak dan malah sibuk menggarap Ilmu Hadits dan Fikih, Etos kesalehan, amalan, dan moderasi dari Madinah—yang sangat penting karena kedudukannya sebagai pusat perkembangan Islam pada abad-abad awal—mewarnai perkembangan ortodoksi Islam selanjutnya, yang terutama dicirikan oleh pergeseran ekstrimisme ke arah moderasi.
Melanjutkan kutipan buku yang diterbitkan kembali oleh Universitas Chicago pada 1979 dan 2002: Tradisionalisme ortodoks sayap-kanan diwakili oleh Ibn Hanbal dan mazhabnya. Semangat Islam yang mencakup segala hal dapat mengkristal berkat para pengumpul Hadits. Dengan tilikan ortodoksnya yang luas, mereka memasukkan sejumlah  materi otoritatif ke dalam Hadits yang dapat menghimpun dan menyatukan berbagai pandangan dan pendapat yang sebelumnya tak terwadahi. Ia tidak ditandai oleh kebijaksanaan eksternal atau superfisial, melainkan kecermatan dan tilikan terhadap semangat ajaran Nabi dan pemahaman umat generasi awal terhadapnya. Hadits ditampik oleh kaum Mu’tazilah, yang perlahan mulai terkikis pada paruh kedua abad ke-3 H/9 M; inilah satu-satunya hipotesis yang dapat menjelaskan keberhasilan mutlak Hadits pada abad tersebut. Tetapi keberhasilan Hadits bukan karena rumusan dan muatannya seperti tak berbentuk, melainkan karena pada dasarnya ia mengungkapkan semangat realisme keagamaan yang mencirikan al-Qur’an dan umat generasi awal. Ia memasukan semua unsur keagamaan yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur’an pada naungan Sunnah. Seiring perkembangan Hadits, berkembang juga gerakan yang kecewa terhadap aliran rasionalis yang klise. Pandangan-pandangan mereka yang lebih baru perlahan mulai terbentuk berkat persinggungan dan penerimaan terhadap tradisi.
Tokoh paling tersohor dari gerakan baru ini, yang menjatuhkan kaum Mu’tazilah dengan dialektikanya sendiri, adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 330 H/942 M) yang berpisah dengan gurunya yang Mu’tazilah, al-Jubba’i, karena berpendapat bahwa Keadilan Tuhan tak dapat ditentukan dalam batasan manusia. Rumusan dogma al-Asy’ari pada dasarnya berusaha memadukan pandangan ortodoks yang terserak dengan pandangan Mu’tazilah. Ini, seperti yang ditunjukan dalam buku, persis merupakan etos ortodoksi. Tetapi, rumusan aktualnya jelas menampakkan reaksi ortodoksi terhadap doktrin Mu’tazilah yang sulit dilepas begitu saja. Karenanya, ia adalah separuh sintesis dan separuh reaksi. Terkait kebebasan kehendak manusia, ia mengembangkan doktrin ‘akuisisi’ berdasarkan sejumlah teks al-Qur’an. Menurut doktrin ini, semua perbuatan diciptakan dan dihasilkan Tuhan, tetapi ia bertaut dengan kehendak manusia yang kemudian ‘mengakuisisinya’. Rumusan ini berusaha mengimbangi kenyataan psikologis bahwa manusia sadar berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Pertama, manusia tidak hanya sadar menguasai perbuatannya, tetapi juga menghasilkan perbuatan tersebut; dan Mu’tazilah maupun lawannya mengetahui argumen tersebut. Kedua, persoalan yang disoroti al-Asy’ari lebih bersifat moral ketimbang psikologis: bagaimana mendamaikan kekuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia.  Jika kesadaran manusia atas perbuatannya itu diciptakan Tuhan, sebagaimana yang diyakini al-Asy’ari, maka manusia tidak dapat ‘memperoleh’ keduanya sekaligus. Prinsipnya, kekuasaan sepenuhnya milik Allah sedangkan tanggung jawab tetap berada pada manusia. Prinsip ini, meski agak metafisik, adalah prinsip moral dan religius.
Sistem teologi lain yang berkembang hampir bersamaan dengan al-Asy’ari adalah yang dirintis oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/945 M) dari Samarkand, Transoxiana. Maturidiyah sangat mirip dengan Asy’ariyah dalam hal-hal pokok, tetapi berbeda dalam beberapa hal penting. Al-Maturidi, sebagaimana al-Asy’ari, memandang bahwa semua perbuatan dikehendaki Tuhan, tetapi berbeda dengan al-Asy’ari, menurutnya perbuatan jahat tidak disertai ‘kerelaan’ Tuhan. Selain itu, meski menekankan Kekuasaan Tuhan, Maturidiyah masih mengakui peran kehendak manusia, dan belakangan, menegaskan kebebasan mutlak manusia dalam bertindak. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua sistem ini saling berinteraksi secara bebas, dan doktrin tentang nihilnya kehendak manusia sudah kehilangan pamor, meski dogma Asy’ariyah yang ditopang sejumlah Hadits penting masih mempertahankannya.
Persoalan penting yang banyak dibahas teolog Muslim ketika itu adalah mengenai ‘derajat iman’. Ini terkait dengan soal iman dan amal, juga dengan soal Kekuasaan dan Kasih Tuhan yang dipengaruhi teologi spekulatif. Mereka meyakini, seperti Mu’tazilah dan Khawarij, bahwa amal adalah bagian tak terpisahkan dari iman, juga percaya bahwa derajat iman dapat naik dan turun, dapat dihitung—dan bisa sampai nihil meski yang bersangkutan mengaku beriman. Sementara kaum Murji’ah memandang kualitas iman tak dapat dianalisis, tidak punya derajat dan ukuran. Ahli kalam Sunni pada prinsipnya menengahi keduanya, tetapi secara umum lebih condong pada Murji’ah. Sikap ini jelas bertujuan mencegah fanatisme dan persekusi, dan untuk itu kaum Sunni berpendapat bahwa keimanan yang lahir dari pengakuan iman yang tulus tak dapat dihapuskan oleh apa pun dari luar, meski dari sana kadarnya bisa naik dan turun. Al-Qur’an sering menekankan bertambahnya iman dan menyerukan agar beramal atas dasar iman. Hadits juga menyebut hubungan erat antara amal dan niat yang menganjurkan moderasi, dan bahwa seseorang tak akan dihukum selamanya di neraka selama masih ada ‘secuil iman’, juga digunakan para teolog dalam hal ini. Sejak itu para ulama membatasi fungsi ‘keruhaniannya’ pada soal iman dan mengeluarkan fatwa mengenai masalah hukum lahiriah saja. Hal ini menjelaskan naiknya gerakan sufi anti-ortodoks, yang mendaku paling berhak menangani kesehatan batin dan spritual seseorang.
Sementara itu, perpecahan terjadi dalam tubuh ortodoksi sendiri. Kelanjutan aliran tradisional Madinah yang tidak hanya menolak solusi teologi dialektis Asy’ariyah, tetapi bahkan menolak teologi dialektis itu sendiri. Mereka menuduh kaum Mu’tazilah mengkhianati semangat al-Qur’an dan Sunnah karena membelanya dengan rumusan rasional. Meski demikian, Asy’ariyah sebagai sistem dogma perlahan dapat mengatasi sanggahan-sanggahan terhadapnya hingga akhirnya diakui di Timur pada abad ke-11 H/17 M berkat upaya wazir Bani Seljuk, Nizam al-Mulk, serta teolog dan pembaru agama ternama, al-Ghazali. Perseteruan antara semangat religius Ahli Hadits dan kecenderungan rasional Ahli Kalam terus berlanjut dan memuncak hingga pada abad ke-7 dan 8 H/ 13 dan 14 M, yang ditandai oleh bangkitnya gerakan puritan Ibn Taimiyah dan alirannya. Tetapi sebelum itu, Ahli Kalam mesti menghadapi dulu gerakan rasional yang lebih saksama dari para filsuf Muslim.
Gerakan filsafat Islam merupakan kelanjutan dari kalam Mu’tazilah. Terhadap sistem rasionalis para filsuf itu, al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengajukan tanggapan pertama yang monumental dari segi kedalaman dan pengaruhnya. Sebagai seorang pencari spiritual, ia telah melalui serangkaian kemelut spiritual. Pada awalnya, ia kecewa terhadap teologi-kalam tradisional karena formalisme dan eksternalistasnya.  Untuk mencari kebenaran, ia pun mempelajari filsafat, tetapi ia menganggap ajarannya jauh dari Islam ortodoks dan pembuktiannya tidak punya kepastian. Dalam keyakinan agama, ia mencari semacam kepastian matematis. Hal ini, mengingat perimbangan dalam struktur Islam ketika itu, ia temukan hanya dalam Sufisme (mistisme Islam). Itulah sebabnya, setelah mematahkan tesis para filsuf dalam karyanya, Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali tidak mengajukan sistem filsafat lain. Jawabnya, tak ada metafisika yang murni rasional yang dapat memuaskan kebutuhan agama akan kepastian. Tetapi, meskipun menolak filsafat Islam-Yunani secara umum, ia masih mengambil keyakinan tertentu di dalamnya. Ia pun akhirnya mengambil dari para filsuf suatu pandangan yang sesuai dengan etik sufi bahwa inti manusia hanya ruhaninya, bukan jasmaninya.
Jika pencarian kepada kepastian agama membawa al-Ghazali pada mistisme, mistisme membawanya kembali kepada penemuan konsepsi al-Qur’an tentang Tuhan sebagaimana dirumuskan dalam kalam Asy’ariyah. Demikianlah ia menjadi pembaru Sufisme pertama dan memperoleh kedudukan dalam struktur ortodoksi Islam. Yang lebih penting, ia menautkan rumusan kalam ortodoks yang formal dan dogmatis dengan agama yang hidup, sehingga berhasil membangkitkan kembali keduanya dengan semangat wahyu. Ia menghantam skolastisisme murni, melunakkan watak dogmatis ajaran agama, dan menjembatani aspek lahir dan batin agama. Dengan itulah ia menyusun karyanya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (‘menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama’). Ia menolak klaim sufi yang ekstrim, seperti peleburan, penyatuan, dan inkarnasi. Ia tidak sedang mengupayakan estetika dan seni beragama, melainkan moralitas keagamaan. Sintesis antara Sufisme dan kalam yang dicapai al-Ghazali umumnya diterima oleh ortodoksi dan disahkan oleh Ijma’ (konsensus). Kekuatannya terletak pada landasan spiritual yang ia sediakan untuk menopang semangat praktik moral Islam.
Bagaimana, sudah cukup jelas atau malah bertambah pusing? Tentunya kita tidak bisa mengambil seluruh bagian dari sebuah buku, karena akan sangat panjang jika dituliskan semuanya. Sebaiknya kita membaca kembali buku-buku yang dikutip dalam tulisan ini secara utuh, agar tidak menciptakan kerancuan dan kesalahpahaman. Oleh karena sejarah panjang Islam yang begitu kompleks, banyak orang yang tidak mau ambil pusing tentang perkembangan ajaran Islam selepas Rasulullah saw. wafat, yang kemudian terjadi gelombang krisis kepercayaan antar umat, salah satunya ialah kaum Wahabi. Kaum Wahabi begitu puritan sehingga dalam memahami al-Qur’an dan Hadits seringkali hanya bersifat tekstual, yang seharusnya dipahami secara kontekstual agar tepat maksud dan tujuannya. Bahkan ada beberapa Ulama mengategorikan aliran Wahabi sebagai bentuk lain dari sekte Khawarij dikarenakan sering mengkafirkan lawan politiknya. Untuk itu, penting bagi kita mengetahui kelompok dan aliran yang ada dalam sejarah Umat Islam.
Kita kembali mengambil beberapa ulasan dalam buku Khazanah Aswaja tentang kelompok dan sekte-sekte yang terbentuk di kalangan Umat Islam. Yang paling terkenal di antara yang lain dan akrab di telinga kita belakangan ini, ialah Syiah. Secara etimologis, kata “Syiah” dalam bahasa Arab berarti pengikut atau pendukung. Secara terminologis, Syiah mengklaim sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat imamah merupakan hak Ali ra. yang telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an maupun wasiat Nabi saw., baik secara eksplisit maupun implisit. Mereka meyakini bahwa imamah tidak akan jatuh ke tangan orang lain selain keturunan Ali ra. dan jika jatuh ke tangan orang lain, maka hal itu disebabkan karena kezaliman orang tersebut. Mereka juga berpendapat, masalah imamah (kepemimpinan) bukanlah masalah kemaslahatan umat yang diperoleh dengan cara pemilihan umum, tetapi merupakan permasalahan pokok agama Islam (rukn ad-din). Mereka sepakat bahwa para Nabi dan Imam Syiah adalah ma’shum (terhindar dari dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa tawalli (menolong para imam) dan tabarri (meninggalkan musuh-musuhnya) wajib hukumnya, baik dilakukan dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dalam hal ini, sebagian pengikut kelompok Syiah Zaidiyyah tidak sependapat dengan mereka. Meski kelompok Syiah sepakat dalam masalah pengangkatan Imam, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak menjadi Imam. Permasalahan inilah yang menyebabkan munculnya beberapa mazhab dan aliran dalam kelompok Syiah. Jika dalam Ahlussunnah dikenal al-Kutub as-Sittah sebagai kitab-kitab induk, dan al-Bukhari sebagai kitab hadits terbaiknya, maka dalam Syiah ada al-Kutub al-Arba’ah sebagai acuan utama mereka, yakni al-Kafi, Man La Yadhuruhul Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan al-Istibshar. Isi keempat kitab hadits induk yang menjadi rujukan utama Syiah setelah al-Qur’an.
Dari keempat kitab hadits utama Syiah, al-Kafi yang disusun oleh al-Kulaini adalah kitab yang pertama kali disusun. Kitab ini tidak hanya memuat hadits-hadits mengenai Fikih, akan tetapi juga mencakup tentang akidah, sejarah para ma’shumin (orang-orang yang ma’shum menurut Syiah), dan 14 orang-orang suci, yakni Nabi Muhammad saw., Sayyidinah Fathimah az-Zahra dan 12 Imam Syiah. Lalu kitab Man La Yadhuruhul Faqih yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Husain, yang dikenal dengan julukan Syaikh ash-Shaduq atau “maha guru yang jujur”. Kitab ini adalah karya hadits ahkam atau hadits-hadits mengenai hukum. Di dalamnya tertampung 5963 hadits, dengan 2050 hadits mursal, hadits yang terputus periwayatannya dan sisanya hadits-hadits musnad, bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah. Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar disusun oleh tokoh yang dianggap paling utama dalam madrasah (mazhab) ahlul bait pada zamannya, yakni Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan at-Thusi (385-469 H). Bagi umat Syiah, kedua kitab ini merupakan karya besar ilmu hadits dan sejajar dengan kitab Man La Yadhuruhul Faqih. Kedua kitab ini juga lebih bercorak hadits-hadits ahkam. Tetapi yang membedakan dengan kitab Syiah yang lain, yakni kedua kitab tersebut penuh dengan analisis fiqhi dan visi-visi argumentasi, serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul al-fiqh dan rijal. Dalam Tahdzib al-Ahkam terdapat 13.590 hadits, sedangkan dalam al-Istibshar terdapat 5511 hadits.
As-Syahrastani membagi kelompok Syiah menjadi lima yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyyah, Ghulat dan Ismailiyyah. Sedangkan Asy’ariyyah membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu Syiah Ghaliyyah yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok, Syiah Imamiyah (Rafidhah) yang terbagi lagi menjadi 14 kelompok, dan Syiah Zaidiyyah yang terbagi lagi menjadi enam kelompok. Mereka (kelompok-kelompok Syiah) sepakat dalam beberapa hal, di antaranya dalam masalah pengangkatan Imam (Khalifah) pasca Rasulullah. Menurut mereka, pengangkatan khalifah telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dengan kata lain telah ditentukan oleh Rasulullah. Namun di beberapa hal, mereka berbeda pendapat. Perbedaan tersebut akhirnya memunculkan sekte-sekte dalam tubuh kelompok Syiah.
Secara bahasa, khawarij adalah bentuk plural dari kata kharijah, artinya kelompok yang menyempal. Mereka adalah kaum pembuat bid’ah. Disebut demikian karena mereka keluar dari agama, dan keluar dari barisan kaum Muslimin, khususnya dari kepatuhan terhadap Imam Ali. As-Syahrastani berpendapat, setiap orang yang menyempal dari pemimpin sah yang sudah disepakati umat dinamakan khawarij, baik pada masa sahabat di era al-Khulafa ar-Rasyidun maupun pada masa sesudah mereka di era Tabi’in dan para pemimpin lain sepanjang masa. Ulama Fikih menyebut orang-orang yang melakukan hal itu dengan sebutan bughat (pemberontak terhadap pemerintah yang sah). Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan kelompok Khawarij dalam sejarah Islam adalah orang-orang yang menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. pasca peristiwa tahkim (arbitrase). Orang yang pertama kali menyempal dari barisan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah sekelompok orang yang dulunya bersama Ali dalam perang Shiffin. Di antara mereka, yang paling keras dan ekstrim dalam beragama adalah al-Asy’ats bin Qais al-Kindi, Mas’ar bin Fatki at-Tamimi, dan Zaid bin Hashin at-Tha’i. Semua kelompok Khawarij sependapat, bahwa mereka tidak mengakui kekhalifahan Utsman ra. maupun Ali ra. Mereka mendahulukan keyakinan ini di atas segala-galanya. Mereka menganggap tidak sah perkawinan kecuali dengan orang yang sepakat mengenai keyakinan mereka ini. Mereka mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar dan tidak wajib manaati imam yang menyalahi Sunnah.
Selain itu, semua kaum Khawarij memiliki beberapa keyakinan yang menjadi kesepakatan di antara mereka. Dengan kata lain, meski mereka terpecah menjadi beberapa sekte, namun semuanya sepakat terhadap beberapa hal, yaitu: [1] Khalifah tidak terpilih kecuali melalui pemilihan bebas yang sah, dilakukan mayoritas umat (bukan hanya sekelompok kalangan terbatas), dan kepemimpinannya terus diakui selama berlaku adil dan menegakkan ajaran agama, jauh dari kesalahan dan kezaliman. [2] Jabatan Khalifah tidak dimonopoli kalangan tertentu. Karena itu, menurut mereka, khalifah tidak harus dari suku Quraisy, atau dari kalangan Arab. Bahkan menurut mereka, khalifah lebih baik tidak berasal dari suku Quraisy, agar mudah dipecat atau dibunuh bila melanggar syariat atau menyimpang dari kebenaran. Karena itulah mereka memilih Abdullah bin Wahab ar-Rasi, yang bukan dari suku Quraisy, sebagai pemimpin dan memberinya gelar Amir al-Mu’minin. [3] Pengangkatan pemimpin tidak wajib secara syariat, namun boleh. Jika harus  mengangkat pemimpin, itu karena maslahat dan hajat (kebutuhan), bukan karena dalil agama. Karena hal itu, Najdat, salah satu sekte Khawarij, berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak dibutuhkan jika umat sudah bisa berlaku adil antar sesama. [4] Orang berbuat dosa dianggap kafir. Mereka tidak membedakan antara dosa yang satu dengan dosa yang lainnya. Bahkan mereka menganggap kesalahan berpendapat adalah dosa, bila tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini. Karena itulah mereka mengkafirkan Ali ra. dan Zubair ra., serta pembesar Sahabat lain.
Meski kaum Khawarij memiliki beberapa keyakinan yang sama, namun dalam beberapa hal, terjadi perbedaan pendapat sehingga memunculkan sekte-sekte dalam kelompok Khawarij. Muhammad Abu Zahrah menyebut perbedaan itu sangat banyak, yang menurut kesimpulannya, itulah yang menyebabkan mereka mengalami kekalahan meskipun di medan peperangan, mereka memiliki pasukan yang tangguh. Sebagai contoh, al-Mahlab bin Abi Shafirah yang memimpin pasukan Umawi untuk memerangi kaum Khawarij, menjadikan perbedaan antar sekte itu sebagai siasat memecah belah dan meruntuhkan kekuatan Khawarij. Di antara sekte Khawarij, ada yang punya pendapat dan keyakinan ekstrim namun ada pula yang moderat. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
Kemudian kelompok Mu’tazilah, yang secara bahasa berasal dari kata i’tazala, yaitu memisahkan diri. Dengan demikian, Mu’tazilah adalah  kelompok yang memisahkan diri dari orang lain. Istilah ini diambil berdasar pada sejarah awal kemunculan kelompok ini, yakni sejak pemisahan diri tokoh Mu’tazilah bernama Washil bin Atha, dari majelis Hasan al-Bashri. Kelompok ini biasa disebut pula dengan Ashab al-Adl wa al-Tauhid (penyokong keadilan dan monoteisme), dan sering pula dijuluki dengan kelompok Qadariyyah dan ‘Adliyyah. Mu’tazilah muncul sejak era dinasti Umayyah, namun berkembang lebih pesat pada era dinasti Abbasiyyah. Para Ulama berbeda pendapat tentang waktu kemunculan benih Mu’tazilah. Sebagian berpendapat hal itu muncul di beberapa kalangan yang awalnya berpihak pada Ali, yang memisahkan diri (i’tazala) dari urusan politik, kemudian berubah menjadi keyakinan akidah. Hal itu terjadi ketika al-Hasan, putra Ali ra., mundur dari urusan khilafah dan diserahkan sepenuhnya kepada Mu’awiyah ra.
Ulama Mu’tazilah, Abu al-Hasan al-Khayyah dalam kitab al-Instishar menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak disebut Mu’tazili (pengikut Mu’tazilah) hingga ia menghimpun lima ajaran, yakni: [1] Tauhid (keesaan Allah), [2] ‘Adl (keadilan), [3] al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman), [4] al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat), [5] al-Amru bi al-ma’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran). Lima Dasar Utama (al-Ushul al-Khamsah) ini lah yang menjadi prinsip kelompok Mu’tazilah, sekaligus berfungsi sebagai Rukun Iman mereka. Menurut Mu’tazilah, orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah tauhid dikategorikan sebagai Musyrik. Sedangkan orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah sifat-sifat Allah dianggap sebagai musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Lalu orang yang tidak sependapat dalam masalah al-wa’du wa al-wa’id dianggap sebagai Murji’ah.
Mu’tazilah merupakan kaum yang berpaham bahwa Allah tidak mempunyai sifat, manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata di surga, pelaku dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad saw. hanya dengan menggunakan ruhnya. As-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal mengutip pendapat Washil bin Atha bahwa iman itu ibarat poin-poin kebaikan. Jika poin-poin itu terkumpul maka seseorang dinamakan sebagai mukmin, dan itu adalah predikat terpuji. Meskipun Mu’tazilah meyakini orang yang bermaksiat berada di “tempat di antara dua tempat”, namun bagi mereka, tidak apa-apa disebut sebagai Muslim. Nama tersebut, menurut mereka, untuk membedakannya dengan orang-orang kafir dzimmi, bukan untuk memuji atau memuliakannya. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Qadariyah.
Menurut Bughyah al-Mustarsyidin, golongan (firqah) lainnya sebagai berikut.
·         Murji’ah ialah kaum yang memfatwakan bahwa tidak apa-apa berbuat maksiat jika sudah beriman, dan juga berbuat kebaikan dan kebajikan tidaklah bermanfaat jika kafir. Mereka terpecah menjadi lima aliran.
·         Najariyah ialah kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan oleh Tuhan, tetapi mereka berpendapat juga bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Mereka terpecah menjadi tiga aliran.
·         Jabariyah ialah kaum yang memfatwakan bahwa manusia itu majbur, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasb atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya satu aliran.
·         Musyabbiyah ialah kaum yang memfatwakan ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misalnya bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga, dan sebagainya. Kaum ini hanya satu aliran, pengikut Ibn Taimiyah termasuk golongan ini.
Ajaran yang dibawa oleh Ibn Taimiyah menginspirasi terbentuknya Wahabisme di Arabia pada abad ke-18 M. Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, sebuah gerakan separatis yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222 H). Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan menjauhkan manusia dari kemusyrikan. Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap bahwa selama 600 tahun, umat manusia dalam kemusyrikan dan dia datang sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka. Wahabi muncul melawan kemapanan Umat Islam dalam akidah dan syariah, karenanya gerakan ini tersebar dengan peperangan dan pertumpahan darah. Dengan dukungan Hijaz di bagian Timur yaitu Raja Muhammad bin Saud, Raja ad-Dir’iyah. Pada tahun 1217 H, Muhammad bin Abdul Wahhab bersama pengikutnya menguasai Kota Thaif setelah sebelumnya mereka membunuh penduduknya, tidak ada yang selamat kecuali beberapa orang.  Mereka rampas semua harta dan kekayaan penduduk Thaif dan memusnahkan semua kitab yang ada hingga berserakan di jalan. Dari Kota Thaif kemudian mereka memperluas kekuasaannya ke beberapa kota, seperti Mekkah, Madinah, Jeddah, dan kota-kota lainnya. Hingga akhirnya pada 1226 H, Sultan Mahmud Khan II turun tangan memerintahkan Raja Mesir, Muhammad Ali Basya untuk membendung gerakan Wahabi ini.
Sebagian kalangan tidak menyukai istilah “Wahabi”, dan lebih menyukai istilah “Salafi”. Salah satu alasannya, penamaan dakwah yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahhab dengan nama Wahhabiyyah yang dinisbatkan kepadanya adalah penisbatan yang keliru dari sisi bahasa, karena sang ayah (Abdul Wahhab) tidak menyebarkan dakwah ini. Bagi mereka, Salafi adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) itu sendiri. Oleh karena itu, mereka menyamakan istilah Aswaja dengan Salaf. Dalam al-Wajiz fi Akidah as-Salaf as-Shalih disebutkan bahwa Ahlussunnah wa al-Jama’ah adalah golongan yang telah Rasulullah saw. janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba’ as-sunnah (mengikuti Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam masalah akidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama’ah kaum Muslimin. Menurut mereka, definisi Ahlussunnah wa al-Jama’ah tidak keluar dari definisi Salaf.
Menurut Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi, mengikuti atau ittiba’ Salaf dengan mengadopsi serta menerapkan manhaj dan mazhab mereka di dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah memang merupakan kewajiban setiap Muslim. Namun, mengklaim mazhab baru dengan nama Salafiyah atau Salafi, merupakan bentuk fanatisme (ta’ashshub), serta tidak masuk dalam kategori ittiba’ (mengikuti) seperti yang diharapkan. Dengan ujaran lain, ittiba’ salaf merupakan inti agama dan dasar-dasar yang ditetapkan Sunnah Nabi Muhammad, sedangkan pengklaiman terhadap mazhab Salafi (Salafiyah) merupakan bentuk bid’ah yang tidak diridhai Allah dan bentuk penyelewengan terhadap sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam sejarah (tarikh).
Masih dikutip dari buku Khazanah Aswaja, Ikhwanul Muslimin yang dalam bahasa Indonesia berarti “Persaudaraan Muslim” merupakan organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah Islam di Mesir dan dunia Arab. Organisasi yang dipelopori oleh Hasan al-Banna ini melahirkan sejumlah organisasi Islam lainnya, baik di Mesir maupun di luar Mesir. Para pendiri organisasi ini, antara lain Hafidz Abdul Hamid, Ahmad al-Misri, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail ‘Izz, dan Zaki al-Maghribi, selain al-Banna sendiri. Mereka berkumpul pada 1928 di Kota Islamiyyah. Pada perkumpulan itu, mereka sepakat mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin. Saat itu, Hasan al-Banna bertugas sebagai pengajar di Madrasah Ibtida’iyah.
Abdul Mun’im al-Hafni menyebutkan bahwa pelopor Ihwanul Muslimin, Hasan al-Banna dianggap pemerintahan Mesir menyebarkan dakwah Islam sesuai yang dipahami, dinilai sebagai dakwah bercorak Salafi, tarekat Sunni, hakikat Sufi, organisasi politik, organisasi ilmiah dan pendidikan, badan usaha perekonomian, dan pemikiran sosialis. Mengenai hal itu al-Banna menjelaskan, pemahamannya tentang Islam secara komprehensif menyebabkan dakwah yang dibawanya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Sebab, Islam berkaitan dengan akidah, ibadah, bangsa, kewarganegaraan, agama, negara, spiritual, mushaf, dan juga pedang.
Sayyid Quthub adalah pemikir dan salah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin dan organisasi-organisasi Islam lain pecahan dari Ikhwanul Muslimin. Dalam bukunya yang berjudul Ma’alim fi at-Thariq, Quthub menjelaskan: “Yang pertama harus dilakukan Umat Islam adalah menciptakan masyarakat yang Islami sehingga permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi dapat terselesaikan. Sebab, meskipun solusi yang ditawarkan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut adalah islami, tetapi jika kondisi masyarakatnya belum islami, maka solusi-solusi itu tidak akan berarti. Perlu diketahui, masyarakat yang ada sekarang adalah masyarakat Jahiliyah, padahal dalam sejarah telah tercatat bahwa masyarakat Jahiliyah selalu memerangi dan tidak memberikan kenyamanan kepada masyarakat mukmin. Karena itu, dibutuhkan kekuatan untuk menghadapi masyarakat Jahiliyah tersebut, yakni kekuatan menghancurkan dan mengalahkan mereka.” Ajakan menghimpun kekuatan dan memberi solusi dalam rangka melakukan revolusi Islam inilah yang menyebabkan terjadinya perseteruan antara pihak pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin, hingga menyebabkan terjadinya pertumpahan darah pada Juli 1954, yaitu dalam tragedi Mansyiat Nashr. Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir kali itu, menangkap para aktivis dan anggota jama’ah ini dan menindaknya secara tegas. Ada 6 orang dari anggota jama’ah yang dihukum mati, di antaranya Abdul Qadir ‘Audah dan Sayyid Quthub.
Sebagai dampak pertumpahan darah tersebut, juga sebagai dampak kitab Ma’alim fi al-Thariq yang ditulis oleh Sayyid Quthub, jama’ah Ikhwanul Muslimin pecah menjadi empat kelompok. Pertama, sekelompok orang yang ingin meneruskan apa yang telah dirintis Hasan al-Banna sebelum terjadinya konflik dengan pemerintah. Kedua, sekelompok orang yang mengaku sebagai orang-orang Salaf. Mereka berpendapat, dalam rangka menghadapi masyarakat Jahiliyah, kita tidak perlu mengingkarinya dengan tangan (kekuatan) atau lisan, tetapi cukup dengan hati. Ketiga, jama’ah at-Takfir wa al-Hijrah. Mereka mengharuskan semua anggotanya untuk meninggalkan masyarakat Jahiliyah dan berhijrah ke suatu tempat sehingga mereka dapat menyusun kekuatan di sana. Setelah berhasil menyusun kekuatan, mereka akan menghancurkan masyarakat Jahiliyah yang mereka anggap sebagai orang-orang kafir. Keempat, Jama’ah al-Jihad yang berpendapat, perang melawan pemerintah kafir merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Mereka menganggap cara ini sebagai satu-satunya cara untuk mendirikan Negara Islam.
Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin awalnya hadir melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi gerakan tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keterkaitan partai ini dengan Ikhwanul Muslimin diakui Mantan Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta. Secara lebih tegas, keterkaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin dikatakan oleh pendiri partai ini, sekaligus mantan anggota Dewan Syari’ah PKS, Yusuf Supendi. Dalam bukunya yang berjudul Replik Pengadilan Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS, ia menjelaskan bahwa Ketua Majelis Syuro PKS memiliki kekuasaan tinggi yang dikenal dengan istilah Muraqib ‘Am, yaitu Pemimpin Tertinggi Jama’ah Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Kekuasaan ini diamanatkan dalam aturan pertama, yang sangat rahasia, bernama Nizham Asasi (aturan dasar) yang bersumber dari Nizham ‘Am (aturan umum) yang diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin Pusat di Mesir. Nizham Asasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia disahkan oleh Musyawarah Majelis Syuro PKS di Jakarta pada Selasa, 25 Juli 2000.
Ahmadiyah (Qadiyaniyyah) merupakan sebuah kelompok yang sangat fanatik kepada Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Mirza Ghulam lahir di Qadiniyan, India pada 1281 H. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya seorang mujaddid (pembaharu) dan pengikut Nabi saw., meskipun ia juga menerima wahyu. Kedudukannya tidak sama dengan kedudukan Nabi Muhammad, karena Nabi saw. adalah Nabi yang terakhir dan tidak ada nabi lain setelahnya yang membawa syari’at. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, Allah swt. mengutus lagi nabi yang tidak membawa syari’at. Di antara nabi-nabi yang tidak membawa syari’at tersebut, menurut keyakinan Ahmadiyah, adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Dialah nabi di bawah naungan Nabi Muhammad.
Arti Ghulam Ahmad adalah “Hamba Ahmad” atau Hamba Muhammad. Karena inilah, kelompok Qadiyaniyah terkenal dengan nama “Ahmadiyah”. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Barat dalam menyebut para pengikut sebuah kelompok dengan menyebutkan nama pendirinya. Dalam rangka menyebarluaskan akidahnya, al-Qadiyani menerbitkan majalah berjudul Majalah al-Adyan. Ia juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam sejumlah kitab, antara lain Barahim al-Ahmadiyyah, Anwar al-Islam, Nur al-Haq, Haqiqat al-Wahyi, Tuhfat an-Nadwah, Syahadat al-Qur’an, dan Tabligh Risalah.
Aliran Qadiyaniyyah ini banyak dipengaruhi oleh kondisi kaum Muslimin di India, di mana pada saat itu mereka menjadi kaum minoritas yang tertindas. Dari sini al-Qadiyani memandang bangsa Inggris adalah penolong dan pelindung kaum Muslimin di India. Ia tidak perlu untuk melakukan perlawanan atau pemberontakan terhadap penduduk bangsa Inggris di India. Ia berpendapat bahwa pendudukan bangsa Inggris tersebut justru dapat memberikan jaminan keamanan kepada kaum Muslimin di India. Dalam pandangannya, jihad mempertahankan tanah air tidak wajib dilaksanakan. Sebab, jihad hanya boleh dilakukan dalam rangka mempertahankan akidah saja. Dalam hal ini, al-Qadiyani menilai bangsa Inggris tidak melarang kaum Muslimin menjalankan syariat-syariat agamanya, sehingga sudah selayaknya kaum Muslimin tetap menjaga perdamaian dengan mematuhi hukum-hukum bangsa Inggris. Al-Qadiyani telah menetapkan tiga syarat diperbolehkannya jihad, yaitu [1] jika orang-orang kafir melakukan penyerangan terlebih dahulu, [2] jika penindasan mereka terhadap kaum Muslimin telah pada puncaknya sehingga tidak ada alternatif lain selain berperang, dan [3] jika tujuan penindasan atau penyerangan yang dilakukan orang-orang kafir tersebut bertujuan untuk mengusir kaum Muslimin dan melenyapkan Islam dari muka bumi ini. Pada saat semacam itulah, tidak ada pilihan bagi kaum Muslimin selain berjihad dengan sungguh-sungguh, yaitu jihad membela diri dan menjaga agama mereka. Meskipun demikian, harus diupayakan lebih dahulu berdialog dan berunding, karena jihad dengan cara semacam itu akan mendatangkan hasil yang lebih baik daripada jihad dengan menggunakan pedang.
Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, para pengikut aliran Qadiyaniyah pecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang berpendapat Mirza Ghulam Ahmad benar-benar seorang Nabi dan bahwa aliran Qadiyaniyyah atau Ahmadiyah adalah sebuah agama. Pendapat ini dikemukakan oleh anaknya, Nuruddin yang kemudian diteruskan oleh Mirza Basyir Ahmad. Menurut mereka, ruh-ruh Nabi Muhammad, Isa, dan nabi-nabi lainnya telah menitis dalam diri Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Oleh sebab itu, ketika ia berbicara sebenarnya ia berbicara atas nama mereka. Sedangkan kelompok yang kedua, berpendapat bahwa Mirza hanyalah seorang Wali Allah. Ia hanya seorang mujaddid (pembaharu) awal abad ke-14 H, seperti telah dijelaskan dalam perkataannya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap 100 tahun, orang yang akan melakukan pembaharuan dalam agamanya.” Kelompok kedua ini disebut dengan Ahmadiyah Lahoriyyah yang dipimpin oleh Maulat Muhammad Ali. Ia telah menyusun sebuah kitab berjudul Bayan al-Qur’an.
Maulat Muhammad Ali juga menggunakan tafsir dan takwil dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Qadiyani, sehingga menurutnya, al-Qadiyani bukan nabi yang diutus Allah. Menurutnya, Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan ada seseorang di antara umatnya yang dapat berdialog dengan Allah, tetapi ia masih tetap menjadi umat Nabi Muhammad. Maka hanya dengan izin dari Nabi saw., al-Qadiyani berbicara. Aliran ini mengkafirkan orang yang tidak percaya kepada al-Qadiyani, meski ia seorang Muslim. Mereka tidak membolehkan shalat jenazah atas orang-orang yang tidak mempercayai al-Qadiyani.
Kelompok selanjutnya adalah organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) Indonesia, yang terkait erat dengan aktivitas para pejuang Muslim Indonesia, juga Malaysia, yang pernah ikut serta membela kepentingan umat Islam dalam peperangan di Afghanistan melawan rezim Komunis Uni Soviet pada awal tahun 80-an. Selain itu, berdirinya JI juga terkait erat dengan apa yang disebut dengan Negara Islam Indonesia (NII). Organisasi JI didirikan oleh beberapa aktivis NII, seperti Ustadz Abdul Halim (Ustadz Abdullah Sungkar, yang juga pendiri pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta). Di kala itu, Abdul Halim adalah aktivis NII yang bergabung dengan kekuatan Mujahidin Afghanistan berjuang melawan Komunis Uni Soviet. Penulis buku “Membongkar Jamaah Islamiyah, Pengakuan Mantan Anggota JI”, Nasir Abbas menyatakan bisa dikatakan bahwa JI adalah pecahan dari NII. Persisnya, JI didirikan pada Januari 1993 di Torkham, Afghanistan.
Organisasi JI termasuk salah satu gerakan Islam radikal yang menganut prinsip jihad di jalan Allah dalam segala aspek dan setiap sendi kehidupan. Jihad dalam hal ini diperuntukan bagi penegak Syariat Islamiyah di mana pun aktivis dan anggota organisasi ini berada. Karena itulah, menurut kelompok ini, jihad adalah jalan suci satu-satunya yang diwajibkan Allah untuk dilaksanakan umat Islam tanpa terkecuali. Dalam melaksanakan ‘aksinya’ kadang sebagian anggota JI menghalalkan jalan kekerasan, termasuk bom bunuh diri. Ini tampak dalam kasus peledakan beberapa bom, seperti Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Malam Natal 2000, dan Bom Kedubes Australia yang didalangi dan dilakukan oleh para aktivis JI, seperti Imam Samudra, Mukhlas, Ali Imran, dan Ghufran, serta pimpinan teroris di Indonesia, Dr. Azhari dan Noordin M. Top, keduanya warga negara Malaysia dan anggota terpenting JI.
Dalam perjalanannya, mulai tumbuh friksi perpecahan dalam tubuh JI, khususnya sejak didirikannya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tahun 2000. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Amir JI sepeninggal Abdul Halim, didaulat menjadi Amir (Pemimpin) Tertinggi MMI. Sebagian anggota dan elite JI setuju asas pemilihan itu, namun sebagian lainnya menolak sehingga menyebabkan mereka yang menolak tersebut keluar dari JI. Meski demikian, JI tetap eksis melakukan aktivitasnya dalam mewujudkan cita-cita organisasi, yakni tegaknya syari’at dan Negara Islam di Asia Tenggara. Secara struktural, organisasi JI meliputi Amir Jamaah (pimpinan tertinggi), pelaksanan harian Amir, anggota Markaziy (Majelis Qiyadah Marakaziyah/badan pekerja Amir), majelis Qiyadah Mantiqiyah, serta majelis Qiyadah Wakalah. Selain itu, juga terdapat fiah atau kelompok-kelompok dalam badan pekerja organisasi.
Jama’ah Islamiyah juga memiliki prinsip dasar perjuangan yang dikenal dengan Ushul Manhaj Haraky li Iqamaddin (Pedoman Umum Perjuangan Jama’ah Islamiyah/PUPJI). PUPJI berlaku untuk seluruh pengurus dan anggota JI. Kesepuluh prinsip PUPJI, ialah [1] Bertujuan mencari keridhaan Allah dengan cara yang ditetapkan-Nya dan Rasul-Nya. [2] Berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah Minhajis Shalih. [3] Pemahaman Islam adalah syumul (menyeluruh), mengikuti pemahaman as-Salafus as-Shalih. [4] Sasaran perjuangan adalah memperhambakan manusia kepada Allah semata. [5] Jalannya adalah iman, hijrah, dan jihad fi sabilillah. [6] Bekal ilmu dan takwa, yakin dan tawakkal, syukur dan sabar, hidup zuhud dan mengutamakan akhirat, cinta jihad fi sabilillah, cinta mati syahid. [7] wala’ kepada Allah, Rasulullah, dan orang-orang yang beriman. [8] Musuhnya setan jin dan setan manusia. [9] Ikatan jama’ah atas kesamaan tujuan, akidah, dan pemahaman terhadap agama. [10] Pengamalan Islam secara murni dan kaffah (sempurna), dengan sistem jama’ah, kemudian daulah (negara), lalu khilafah (pemerintahan Islam meliputi banyak negara).
Dalam prakteknya, tidak semua anggota dan kader JI menegakkan misi dan visi JI guna mencapai tujuan organisasi dengan cara yang damai dan santun. Sebagian, karena pemahaman mereka terhadap ajaran agama yang sempit, melakukan aksinya dengan jalan kekerasan, semisal pemboman tempat-tempat publik, khususnya yang banyak didatangi kalangan asing (kafir). Karena maraknya aksi terorisme dan keterlibatan kalangan JI dalam aksi tersebut, juga jaringan organisasi ini yang dinilai membahayakan, membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memasukkan JI ke dalam organisasi teroris Internasional, setara dengan Al-Qaeda dan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Namun demikian, secara organisatoris JI Indonesia dan Asia Tenggara tidak punya kaitan langsung dengan JI di Mesir, Syria, Pakistan, maupun negara lain. Hanya kesamaan tujuan tertentu saja, yakni sebagai gerakan yang sarat unsur politis.
Lalu, kelompok terakhir yang akan kita bahas adalah Liberalisme Islam atau biasa disebut Islam Liberal.  Istilah ini pertama kali digunakan oleh sarjana-sarjana Barat, seperti Leonard Binder yang menyebutnya Islamic Liberalism, dan Charles Kurzman dengan Liberal Islam. Istilah tersebut digunakan untuk mengategorikan sebuah aliran Islam baru yang terlihat sejajar dengan berbagai mazhab dalam Islam. Yang dalam maksudnya adalah aliran pemikiran baru yang bersifat liberal di kalangan umat Islam. Namun, Islam Liberal tidak dapat dikategorikan sebagai mazhab Islam karena tidak bersumber pada induk yang disepakati mazhab-mazhab dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, dan Islam Liberal bertujuan meliberalisasikan Islam dan membongkar ajaran-ajarannya yang telah disepakati seluruh umat Islam.
Mungkin sering kita dengar istilah “pluralisme” yang kadang disalahartikan oleh sebagian orang, mereka menganggap pluralisme itu sama dengan “ekualisme”. Keduanya tentu berbeda, dalam pandangan bahasa maupun istilah. Pluralisme adalah paham yang mengakui perbedaan yang ada di masyarakat, sedangkan ekualisme adalah paham yang berusaha menyamakan perbedaan yang ada. Jadi pluralisme tidaklah seburuk yang sebagian kalangan pikirkan, hal ini hanya dikarenakan kesalahan dalam mengistilahkan saja dan memposisikannya sama seperti ekualisme.
Liberalisme Islam terjadi dikarenakan kebebasan yang terlalu berlebihan dalam menyikapi segala hal yang ada di masyarakat, termasuk agama. Para aktivis HAM ekstrim sering menabrak hukum yang berlaku di dalam negara ataupun norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat tertentu. Misalnya tentang kesetaraan gender (gender equality) antara laki-laki dan perempuan, hal ini ada kalanya terlalu berlebihan karena ingin menyamakan hal yang sudah jelas terlihat berbeda secara fisik dan tidak bisa begitu saja sama karena memiliki perbedaan secara biologis. Dalam kasus lainnya, seperti kelompok LGBT yang berusaha melegalkan pernikahan jenis kelamin yang sama. Memang harus kita akui bahwa di setiap tempat dan lingkungan bermasyarakat memiliki aturan yang berbeda-beda. Namun perlu disadari pula bahwa tujuan hukum diciptakan ialah agar segala kebebasan manusia yang hidup di dunia berjalan tertib dan tidak menyebabkan kerusuhan yang meluas di mana-mana. Salah satunya, dibuat peraturan lalu lintas agar ketertiban antar kendaraan dapat terpelihara dengan baik. Tetapi jika hanya dengan alasan kebebasan buta, maka bisa saja peraturan lalu lintas dianggap melanggar kebebasan berkendara sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan merugikan banyak pihak. Begitu pula tujuan diciptakannya aturan dalam agama Islam (syariat) yang baku dan tidak bisa begitu saja bisa diubah secara semena-mena demi kemaslahatan umat Islam sendiri di dalam menjalani kehidupan di dunia maupun akhirat.
Dengan kata lain, kelompok Islam Liberal adalah sebagian umat Muslim yang lebih menjunjung tinggi kebebasan daripada ajaran-ajaran agama Islam yang telah mapan, bisa dikarenakan ketidaktahuan, ketidakpedulian, ataupun salah dalam menginterpretasikan nash-nash agama Islam, contoh kasusnya dengan menggunakan metodologi hermeneutika, bukan dengan kaidah ��Ilmu Tafsir” yang berlaku. Ada pun aktivis Liberal pernah menyatakan bahwa sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya maupun maknanya. Ia melanjutkan, “Keyakinan semacam ini sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis yang dibuat oleh para Ulama sebagai bagian dari doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa sulit, dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.” Pendapat semacam itu tidaklah benar dan merupakan perbuatan murtad.
Rasulullah telah mengingatkan adanya tiga penyimpangan di tengah umat. Ketiga hal yang harus diwaspadai itu adalah penyimpangan kelompok yang melampaui batas (tahrif al-ghalin), klaim kelompok batil (intihal al-mubthilin), dan interpretasi orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Al-Mubarakfuri, pakar Hadits asal India secara rinci menyebutkan tiga perilaku tersebut. Pertama, tahrif al-ghalin, penyimpangan orang-orang yang melampaui batas terjadi melalui [1] penyimpangan ahli bid’ah terhadap makna al-Qur’an dan al-Hadits sehingga keluar dari maksudnya, dan [2] terlalu ketat dalam memahami agama. Kedua, intihal al-mubthilin, klaim orang-orang batil terjadi melalui [1] klaim dalil yang tidak sesuai tempatnya, dan [2] sinkretisme atau pencampuradukan agama. Ketiga, ta’wil al-jahilin, interpretasi orang-orang bodoh terjadi melalui [1] penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits dengan penafsiran yang salah, dan [2] menganggap sepele penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits, serta meninggalkan perintah berdasarkan penafsiran yang lemah.
Lalu bagaimanakah deradikalisasi dan deliberalisasi menggunakan perspektif Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah)? Tentunya melalui pendekatan moderasi Aswaja. Moderat atau wasath (tengah), menurut as-Syathibi merupakan karakter kebanyakan hukum syariat. Tengah dalam arti di antara menyulitkan (tasydid) dan memudahkan (takhfif). Kebanyakan hukum syariat berkarakter moderat, tidak mudah secara mutlak dan tidak sulit secara mutlak (la ‘ala muthlaq al-takhfif wa la ‘ala muthlaq al-tasydid). Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah maha lembut, menyukai kelembutan. Dia memberikan pada kelembutan sesuatu yang tidak diberikan pada kekerasan dan sesuatu yang tidak diberikan kepada selainnya.” Karakter moderat Aswaja merupakan karakter Islam murni, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad. Sejarah membuktikan umat Nabi Muhammad sejak kurun pertama hingga kini, selalu berada di “garis moderat”.
Seperti yang dikutip dari buku Khazanah Aswaja yang diterbitkan pada Oktober 2016, bahwa implementasi prinsip tawasuth, tawazun, dan i’tidal sebagai karakter Ahlussunnah wal Jama’ah dapat dilakukan dengan beberapa hal, yaitu [1] Memadukan operasionalisasi dalil aqli dan naqli dengan tetap menempatkan dalil aqli di bawah dalil naqli; atau dalam ungkapan lain mendudukkan rasio secara proporsional, tidak menolak sama sekali penggunaan rasio dan tidak mendudukkan rasio melebihi nash, tekstual-kontekstual seimbang, tidak liberal. [2] Dalam memahami sifat Allah tidak ta’thil (mengingkari sifat-sifat Allah seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah), tidak tajsim (menggambarkan Allah mempunyai organ tubuh seperti kaum Mujassimah), dan tidak tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk seperti kaum Musyabbiyah). [3] Berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cara mengikuti mazhab dan manhaj dari Imam Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali). [4] Bersikap toleran pada masalah-masalah furu’iyah (cabang). [5] Meninggalkan sikap ghuluw (berlebihan) dan tatharruf (ekstrim). [6] Menerima hal-hal baru baik berkaitan dengan budaya atau pemikiran dari luar (progresif) sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. [7] Menjalankan agama secara proporsional antara ukhrawi dan duniawi, serta seiring antara syariat dan hakikat. [8] Seimbang antara ikhtiar (memilih), usaha, dan tawakkal (berserah diri). [9] Bersikap hati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir, sesat, dan semisalnya. [10] Mendudukkan secara jelas antara sifat kehambaan dan ketuhanan.
Pada tayangan Mutiara Hati bertema Tabayyun, Prof. M. Quraish Shihab mengingatkan, “Allah berpesan bahwa kendati sesuatu itu baik dan benar, tetapi kalau ada yang lebih baik dan lebih benar, jangan hanya ambil hanya yang baik tapi carilah yang lebih benar. Orang-orang yang memiliki kecerdasan tinggi dinyatakan oleh al-Qur’an: mereka bersungguh-sungguh mendengarkan uraian-uraian yang benar, lalu mengikuti yang paling benar dan paling baik di antara apa yang didengarnya itu. Di sisi lain, Kitab Suci ini juga mengingatkan bahwa kalau datang seseorang yang dikenal durhaka (berbuat ingkar) membawa suatu berita penting maka tabayyun-lah, maka lakukanlah check and recheck karena kalau tidak, Anda berpotensi menjatuhkan suatu kesulitan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Demikan al-Qur’an memberikan tuntunan tentang perlunya check dan recheck. Sayyidina Ali pernah berkata: Anda kalau hidup dalam suatu masyarakat yang sudah sangat tersebar kerancuan informasinya maka lebih baik berhati-hati, karena kalau tidak, Anda bisa tertipu. Memang, kata Sayyidina Ali, Anda kalau berburuk sangka terhadap orang yang selama ini dikenal sebagai orang baik-baik maka keraguan Anda dan buruk sangka itu bisa menjadikan Anda menzalimi orang lain.”
“It is by of grace from Allah that you were gentle with them. Had you been harsh, hardhearted, they would have dispersed from around you. So pardon them, and ask forgiveness for them, and consult them in the conduct of affairs. And when you make a decision, put your trust in Allah; Allah loves the trusting.”
Marilah kita meneladani sikap dan perilaku Rasulullah saw., seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Al-Mishbah, dari peristiwa perang Uhud yang sebenarnya cukup banyak hal untuk mengundang kemarahan. Namun cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi Muhammad. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas dari mereka, meski beliau sendiri kurang berkenan; beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, memberikan maaf dan memohonkan ampun kepada Allah bagi mereka.
Kata “musyawarah” terambil dari akar kata syawara yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik. Dan madu bukan saja manis, tetapi ia adalah obat bagi banyak penyakit, sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Jika demikian, yang bermusyawarah itu bagaikan lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan, di manapun hinggap tidak pernah merusak, tidak mengganggu kecuali diganggu. Tidak heran jika Nabi Muhammad menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
1 note · View note