Text
Rahasia Kenapa Mojok Harus Tutup
Begitu Mojok sebulan lalu saya umumkan akan tutup persis berbarengan dengan hari ulang tahun saya pada 28 Maret, ada banyak sekali yang bertanya, “Kenapa?” Padahal, selain sudah saya nyatakan bahwa tidak akan saya beri tahu sebabnya, juga bukankah lazim segala yang pernah ada itu rusak, mati, dan lenyap?
Manusia mati. Laptop kita rusak. Uang kita hilang. Banyak sekali hal seperti itu terjadi saban hari di kehidupan kita. Kadang kita juga tidak ingin tahu sebabnya. Manusia mati, ya, memang begitulah hukumnya. Tentu saja musababnya bisa macam-macam, tapi musabab hanya sebagian dari cara agar mudah dikenali. Prinsip utama kenapa orang mati, ya, karena dia hidup. Kalau dia tidak pernah hidup, tidak kena hukum kematian.
Tapi saya memang diciptakan Tuhan dengan jiwa lembut dan mudah jatuh kasihan. Karena saking banyaknya orang bertanya, akhirnya runtuh juga tanggul belas kasih di hati saya. Apa yang ingin mereka tahu, saya akan bagikan di tulisan ini—di tulisan terakhir Mojok sebelum besok kukut. O ya, sekali lagi, bagi yang suka tulisan-tulisan di Mojok, segera simpan tulisan-tulisan tersebut. Sebab dimatikannya Mojok berarti situs webnya tidak bisa diakses lagi.
Karena sebab Mojok mati adalah hal yang sebetulnya rahasia, saya mesti menceritakannya dengan pelan dan hati-hati. Supaya tidak simpang siur. Juga menghindari tafsiran yang bukan-bukan.
Sekira setahun lalu, saya didatangi utusan sebuah pihak yang tidak perlu saya sebut namanya. Tentu bukan sembarang utusan. Saat itu, tentu saja Mojok sudah sangat moncer. Usianya sudah 1,5 tahun. Awalnya, sebagaimana biasa, saya mendelegasikan pertemuan dengan utusan tersebut kepada Eddward Kennedy. Eddward alias Edo saat itu baru saja menggantikan pemred pertama Mojok: Arlian Buana. Saya memang tidak terlalu suka bertemu dengan orang, terlebih orang yang tidak saya kenal. Di pertemuan tersebut Edo bercerita dengan agak takut-takut bahwa utusan tersebut setengah memaksa untuk bertemu dengan saya.
Saya jenis orang yang paling tidak suka dipaksa. Jadi saya menolak. Dua hari setelah penolakan itu, situs web Mojok tiba-tiba mati untuk jangka waktu yang agak lama, kurang lebih enam jam. Esoknya, ada kepala kambing tergeletak di depan pintu kantor Mojok. Yang menemukan kepala kambing penuh darah di depan pintu itu adalah Kang Eko Susanto. Kang Eko bukan kru Mojok, dia kepala produksi Buku Mojok yang memang saban hari ngantor di kantor Mojok. Biasanya dia datang di kantor pukul 09.00. Di jam seperti itu baik Edo maupun Agus Mulyadi sedang nyenyak tidur. Begitu dia memberi tahu saya soal itu, saya minta agar kepala kambing itu dibuang dan tidak memberi tahu siapa pun. Hingga kisah ini akhirnya saya tulis, hanya kami berdua yang tahu.
Setelah itu tidak ada kejadian apa-apa lagi hingga ulang tahun Mojok yang kedua. Baru sekira seminggu kami pulang dari road show di Surabaya dan Malang, saya dihubungi utusan dari institusi yang sama yang dulu saya minta Edo bertemu dengannya. Kali itu, dengan menyimpan geram karena punya dugaan kuat bahwa yang pelaku tragedi kepala kambing adalah mereka, saya memutuskan bersedia menemuinya.
Kami bertemu di sebuah hotel bintang 5 di Yogya. Saya datang sendirian. Atau kelihatannya begitu, karena sebenarnya tidak. Saya membawa dua teman yang berprofesi wartawan yang saya minta berjaga-jaga di hotel tersebut. Satu orang berjaga di lobi, satu lagi di resto hotel.
Pertemuan dihelat di lobi hotel. Utusan tersebut berjumlah dua orang. Awalnya tentu saja obrolannya kikuk. Terlebih mereka berdua banyak mencecar soal tulisan-tulisan di Mojok yang bertema tertentu, dan mereka menyatakan sangat keberatan dengan hal itu. Juga mereka bilang bahwa mereka agak tersinggung ketika enam bulan sebelumnya saya tidak mau menemui mereka.
Dengan basa-basi saya meminta maaf. Tidak ada niat kami untuk mengunggah tulisan yang menyinggung institusi mereka. Juga saya ceritakan bagaimana mekanisme Mojok, terkait tulisan yang masuk sampai bagaimana diunggah. Dari sana kelihatan betul, susah rasanya bagi Mojok untuk mendesain isu yang mendiskreditkan suatu pihak karena naskah Mojok sangat bergantung pada kiriman para penulis. Tentu saja kami tidak bisa mengintervensi penulis-penulis itu untuk mengirimkan tema tulisan tertentu.
Tapi, penjelasan saya rasanya percuma karena mereka tampak tidak mau tahu. Gestur dan kata-kata mereka selalu bernada ancaman. Dan saya paling tidak suka diancam sehingga obrolan sempat mengeras. Saya hampir pergi meninggalkan mereka berdua, tapi urung ketika mereka melunak dan meminta maaf.
Obrolan dilanjutkan. Namun, situasi sudah kadung tidak menyenangkan. Hingga akhirnya buyar. Mereka balik ke Jakarta keesokan harinya. Sebelum pergi ke bandara, keduanya sempat menghubungi saya lagi untuk makan di sebuah warung gudeg terkenal di Yogya. Karena masih dongkol, telepon mereka tidak saya jawab. Sewaktu mereka mengirim SMS keesokan harinya, saya jawab bahwa semalam saya ngelembur, kecapekan, dan mau tidur.
Tidak terjadi apa-apa lagi hingga tiga bulan lalu. Lagi-lagi pasalnya adalah naskah yang diunggah Mojok hari itu. Salah satu dari mereka mengirim SMS: kenapa Mojok masih juga mengunggah tulisan dengan tema tersebut? Saya jawab jujur, memang salahnya di mana? Tulisan tersebut bagus baik dari sisi perspektif sampai cara penulisannya. Orang tersebut minta ketemu lagi. Saya sebetulnya malas menemui, tapi karena saya tahu dari lembaga apa dia berasal, saya akhirnya bersedia menemui.
Pertemuan kali itu terjadi di hotel berbeda. Di pertemuan itu saya mengajak lebih banyak teman; mereka saya minta datang lebih dahulu. Kali itu saya mengajak dua wartawan dan seorang pengacara. Mereka berada di posisi yang terpisah dari saya, tapi semua masih dalam jarak pandang cukup.
Di pertemuan tersebut, yang datang dari pihak mereka ada tiga orang. Salah satunya orang yang sebelumnya menemui saya, tapi rekan satunya lagi tidak ikut. Kemudian ada satu orang lagi yang tidak saya kenal. Yang mengagetkan, ternyata ada satu orang yang sangat saya kenal. Seorang teman lama.
Dalam obrolan basa-basi di awal, saya baru tahu kalau ternyata sahabat lama saya yang sudah dua tahun tidak bertemu itu bekerja di lembaga yang sama dengan orang yang menemui saya sebelumnya. Sedangkan sosok satu lagi, diperkenalkan sebagai seorang pengusaha.
Ringkas kisah, si utusan menawarkan bagaimana jika Mojok dibeli oleh pengusaha tadi. Tentu saja saya tolak mentah-mentah. Sahabat lama saya berusaha ikut membujuk, tapi saya bergeming. Bagi saya, tidak ada opsi itu. Lagi-lagi obrolan mentok. Hanya saja kali itu tidak terjadi komunikasi yang memanas. Semua berjalan agak cair.
Akan tetapi, selepas pertemuan itu ada rentetan kisah yang tidak mudah saya ceritakan, yang langsung bisa saya tafsirkan bahwa semua terkait dengan pertemuan tersebut. Saya sempat menghubungi sahabat lama saya tersebut untuk melayangkan semacam protes. Saya bukan orang bodoh. Saya tahu bahwa rentetan kisah yang saya alami tentu didesain oleh sebuah kekuatan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga tempat sahabat saya bekerja. Akhirnya, sahabat saya pun datang ke Yogya. Kali itu ia seorang diri.
Lama kami ngobrol berdua dari hati ke hati. Saya percaya dengannya, dan saya mencoba mengerti apa yang ia katakan sebagai bagian dari lembaga tersebut plus masukannya sebagai seorang sahabat.
Di saat itulah, setelah berpikir dari banyak sisi, saya memutuskan untuk menghentikan Mojok. Ketika hal tersebut saya nyatakan di depan semua kru Mojok, saya tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Lewat tulisan ini pula saya ingin mengabarkan hal yang sebetulnya terjadi kepada mereka, sekalipun tidak lengkap. Tidak semua hal bisa diceritakan.
Begitu kabar penutupan Mojok saya nyatakan ke publik, baik sahabat saya maupun si utusan mengucapkan terima kasih. Mereka bilang, saya seorang patriot, meletakkan kepentingan nasional dan bangsa di atas kepentingan lainnya. Dalam hati saya bilang: haes, taek!
Pembaca Mojok yang budiman, itulah sesungguhnya kisah di balik penutupan Mojok. Sekali lagi, kisah di atas tentu tidak lengkap dan detail. Tapi, saya yakin, dengan kecerdasan Anda, tentu bisa diserap sari pati kisahnya.
O ya, pembaca yang budiman. Saya hanya mau mengingatkan kepada Anda, pada dasarnya saya memiliki dua hal penting. Pertama, saya adalah penulis fiksi. Kedua, saya suka rahasia. Kisah di atas tentu saja fiktif, dan biarkanlah rahasia tetap menjadi rahasia karena saya menyukai rahasia.
Salam hangat.
Kepala Suku Mojok
Puthut EA
7 notes
·
View notes
Text
Mojok Adalah Diri Saya yang Lain
Seumpama Mojok.co adalah ajaran Islam, maka saya tak ragu untuk mendaku diri saya sebagai assabiqunal awwalun, golongan pertama, golongan awal. Tentu ini tak berlebihan, dan rasanya saya memang sahih untuk mendakunya, sebab saya memang salah satu dari jajaran penulis pertama situs web yang tiada mengenal belas kasih ini. Bersama Beni Satryo, Arman Dhani, Gita Wiryawan, Puthut EA, Zuhana Zuhro, Rusdi Mathari, Nuran Wibisono, Iqbal Aji Daryono, Abdullah Alawi, dan Mahfud Ikhwan, saya turut menjadi gerombolan yang mbabat alas membuka jalur pembaca dan memanaskan lantai dansa pemirsa.
Dalam beberapa kesempatan, kepada beberapa orang, saya bahkan pernah bilang, kalau saya ini lebih Mojok ketimbang Mojok itu sendiri. Lha kenyataannya memang begitu je, tulisan pertama saya di Mojok terbit tanggal 27 Agustus 2014, padahal Mojok baru resmi dilaunching tanggal 28 Agustus, alias sehari setelah tulisan saya tayang.
Pertemuan saya dengan Mojok berawal dengan skema yang sangat biasa. Saya kenal kepala suku – saya suka menulis di blog – kepala suku dan kawan-kawan bikin Mojok – lalu saya diajak untuk menulis di situ.
Saya masih ingat betul kala itu, di pagi hari tanggal 20 Agustus 2014, tepat saat acara Dahsyat di RCTI sedang iklan, saya mendapatkan pesan di email saya.
Teman-teman yang baik,
Bersama surat cinta ini, saya lampirkan seruan untuk memulai revolusi. Dan teman-teman adalah orang-orang terpilih untuk terlibat dalam revolusi tersebut. Besar harapan kami di Mojok.Co agar teman-teman sekalian bersedia ikut serta dalam gerilya, penguatan kantung-kantung perjuangan, menuju serangan besar pada tanggal 28 Agustus 2014 nanti. #Halah Intinya begini. Kami sedang menyiapkan situsweb hiburan yang akan diluncurkan tanggal 28 ini.
Situsweb ini dipersiapkan untuk jangka panjang. Kami meminta teman-teman sekalian menjadi bagian dari rencana ini, menjadi penulis reguler setidaknya dalam tiga tahun ke depan. Nah, untuk persiapan peluncuran, kami minta teman-teman menulis 2 artikel, minimal 400 kata, deadline-nya tanggal 27. Jadi masih ada waktu seminggu.
Demikian surat cinta ini saya buat, keterangan teknis lainnya ada di dalam lampiran. Jika ada hal-hal lain yang masih harus dibicarakan, saya terbuka untuk dihubungi kapan saja.
Salam.
Pesan yang ndembik dan sangat tidak estetis itu dikirim oleh Arlian Buana, Pemred Mojok.co, saat itu. Pesan yang kemudian menjadi pintu awal saya sebagai seorang penulis Mojok.
Seminggu setelah mendapatkan pesan tersebut, tepatnya tanggal 26 Agustus, saya mengirimkan tulisan pertama saya yang berjudul ‘Pledoi Truk Boks dan Sandal Joger sebagai Jomblo Abadi’ yang kemudian naik tayang sehari kemudian.
Tak berselang lama, kembali muncul pesan di email saya: “Terima kasih, Gus. Honorarium sudah kami kirimkan”
Saya terperanjat, kaget mak jegagik, dan kemudian langsung mengecek akun rekening saya. Dan ternyata benar, ada kiriman sebesar 250 ribu.
Tentu saya girang bukan kepalang, sebab saya mengira, tulisan di Mojok.co ini cuma sekadar publikasi kolektif dan buat senang-senang thok, lha kok ternyata ada honorariumnya.
Semenjak saat itu, saya kemudian mulai rutin menulis untuk Mojok. Hingga akhir tahun 2015, total saya sudah menulis sebanyak 20 tulisan, itu artinya, saya sudah mendapatkan honor sebanyak lima juta rupiah, jumlah yang setara dengan 7 kali angsuran kredit Honda Beat ESP untuk kredit dua setengah tahun, atau setara dengan harga 5.000 tusuk permen lolipop Milkita, yang mana setiap tiga tusuknya setara dengan kalsium satu gelas susu.
Semakin hari, Mojok semakin besar. Ia tumbuh menjadi brand yang kuat. Ekspansi bisnis pun kemudian mulai dilakukan. Yang tadinya hanya situs web, kemudian berkembang ke lini-lini bisnis lain. Ada Mojok Store yang bergerak di bidang merchandise, ada Buku Mojok yang bergerak di bidang penerbitan, bahkan ada Angkringan Mojok yang bergerak di bidang kuliner dan per-badog-an. Hal yang selain bikin takjub dan bangga, namun juga bikin saya khawatir, khawatir kalau-kalau nanti Mojok jadi kemaruk dan bikin terlalu banyak lini bisnis baru dengan branding Mojok.
Kekhawatiran yang menurut saya beralasan, sebab Kepala Suku pernah berencana mau mencoba membikin produk Pomade Mojok. Saya takut jika ini benar-benar dilakukan, ia akan merembet ke produk yang lain, semisal garam dapur beriodium cap Mojok, speaker aktif Mojok, tuding iqro al Mojok, atau shampo Mojok, misalnya.
Tentu saya tak pernah bisa membayangkan dialog begini rupa suatu saat terdengar di televisi: “Wah, rambutnya lembut banget, mbak, rajin ke salon ya?” yang kemudian dijawab “Ah, enggak kok, cuma pakai Mojok” sambil membelai dan mengibas-ngibaskan rambutnya dengan kibasan yang paling takabur dan melenakan. Aduuuh, betapa mengerikannya.
Beruntung hal tersebut urung terjadi.
Dalam perkembangannya, seperti layaknya band, Mojok juga mengalami tambal-sulam personel. Tahun 2016, menjadi awal yang baru bagi perjalanan saya di Mojok. Di awal tahun 2016, Saya masuk sebagai redaktur di Mojok. Saat itu, Pemred Mojok, Arlian Buana pindah ke Tirto, jabatan Pemred kemudian diisi oleh Eddward S Kennedy alias Panjul, Nah, jabatan redaktur yang kosong itulah yang kemudian saya isi (Belakangan, Panjul menyusul pindah ke Jakarta, ia sekarang bekerja di Kumparan, posisi lowong panjul kemudian diisi oleh Prima)
Menjadi redaktur adalah pengalaman yang baru bagi saya. Terlebih di Mojok, saya jadi lebih mengenal bagaimana dapur pacunya, bagaimana mekanisme kerjanya, dan bagaimana menjaga alurnya. Jika saat masih menjadi penulis Mojok tugas saya hanya menulis dan mengirimkan. Maka setelah jadi redaktur, tugas saya adalah memilah naskah yang bagus yang masuk ke email redaksi, menyuntingnya, dan sesekali menulis jika tidak ada naskah yang bagus. Nah, kalau sama sekali tidak ada naskah bagus dan ditambah tidak sedang dalam kondisi yang baik untuk menulis, maka yang harus dilakukan adalah meminta para penulis untuk menulis di Mojok. Ini salah satu tugas yang kadang sangat menyebalkan. Salah satu yang paling menyebalkan tentu saja adalah meminta kiriman tulisan dari Iqbal Aji Daryono, sopir yang sekarang kerja di Ostrali itu.
Lha bayangkan, dulu, waktu awal-awal Mojok masih merangkak, si Iqbal ini bisa menulis seminggu tiga kali, tapi setelah namanya besar, dan kemudian sering diminta nulis di berbagai media besar dengan bayaran yang jauh lebih besar juga, ia jadi susah untuk dimintai tulisan. Kemaki-nya ngaudubillah setan, dimintai tolong untuk nulis sebulan sekali saja harus pakai dipaksa, itupun dengan ancaman tidak akan kami temui kalau ia pulang ke Indonesia. Itulah pertama kalinya saya paham benar dengan konsep “kacang lupa kulitnya”.
Menjadi redaktur Mojok kemudian menjadi identitas saya. Orang-orang banyak mengenal saya sebagai Agus Mojok alih-alih identitas lazim saya semisal Agus Mulyadi, Agus Magelangan, Agus Don Juan, dan sederet identitas lain yang saya punya.
Beberapa kali saya diundang jadi pembicara tersebab saya dianggap mewakili entitas Mojok. Saya bahkan pernah menjadi pembicara di Innovative Talk-The Backstage di UGM, Universitas yang dulu sewaktu SMA saya ingin sekali kuliah di sana. Hampir setiap kali saya diundang sebagai pemateri atau pembicara dalam diskusi atau seminar, embel-embel “Redaktur Mojok” selalu ada dalam atribusi diri saya. Tentu hal ini sangat menyenangkan bagi saya. Dianggap sebagai bagian dari media alternatif yang dikenal luas sebagai media yang kritis namun jenaka.
Dan, ya… Hal yang paling menyenangkan dari menjadi bagian dari Mojok tentu saja adalah soal perempuan. Di Mojok, saya dipertemukan dengan penulis perempuan yang di mata saya manisnya ngedap-edapi, penulis yang kemudian saya bribik dengan semangat dan etos kerja yang paling luar biasa, hingga akhirnya, saya berhasil mendapatkan satu petak ruang di hatinya. Kami berpacaran, dan alhamdulillah, sampai tulisan ini saya tulis, dia belum memutuskan saya.
Boleh dibilang, saya mendapatkan banyak hal dari Mojok. Uang, pengalaman, pacar, bahkan ketenaran (uhuk). Ini yang membuat saya selalu merasa bahwa Mojok adalah diri saya yang lain. Maka, tatkala saya harus menuliskan tulisan ini sebagai tulisan perpisahan untuk Mojok (yang mana kita tahu, tanggal 28 Maret nanti akan ditutup total), saya merasa bingung dan begitu sentimentil. Saya tak tahu, harus mengakhiri tulisan ini dengan apa dan bagaimana. Sungguh.
Maka, pembaca, izinkan saya untuk menuliskan bagian ini:
Mojok.co dibangun dengan kegembiraan, dan akan diakhiri dengan kegembiraan pula. Sekali berarti, sesudah itu mati… Mojok.co fana, Mojok abadi…
2 notes
·
View notes
Text
Tahu Apa Kamu tentang Apa yang Bikin Cewek Bahagia?
Tanya
Teruntuk Cik Prim dan Gus Mul di tempat.
Surat ini saya buat dalam keadaan setengah sadar dan tertekan serta mendapat paksaan dari hati dan nalar untuk memutuskan manakah di antara keduanya yang harus didengarkan.
Saya sudah hampir tiga tahun menjalani hubungan dengan pasangan saya yang sekarang, sebut saja namanya Chelsea Islan. Layakanya hubungan pasangan yang sedang kasmaran, cinta kami makin hari makin serius, dan kami telah berencana menghalalkannya kelak.
Kemudian, peristiwa yang tidak mengenakan itu datang. Saya mendengar kabar tersebut dari sahabat pacar saya: Chelsea akan dijodohkan orang tuanya, entah kenapa. Padahal selama ini saya kenal baik dengan bapak dan ibu Chelsea. Mungkin mereka menganggap hubungan kami cinta monyet saja.
Chelsea sendiri tidak bilang dia akan dijodohkan, entah untuk menjaga perasaan saya atau mungkin dia diam-diam mempertimbangkan pilihan dari orang tuanya. Yang pasti, saya yakin Chelsea sangat mencintai saya. Itu terbukti ketika saya memutuskannya sebulan setelah saya diberhentikan dari tempat kerja. Dia menangis dan tak rela, bahkan sesekali dia tetap datang ke kosan saya untuk mengantarkan makanan, hingga akhirnya kami berdua balikan. Bukan karena kasihan, tapi saya memang masih sayang.
Namun, lama-lama saya berpikir, kalau saya mencintai Chelsea, harusnya saya tak mau dia hidup susah dengan masa depan yang tak pasti seperti yang saya miliki. Pasti dia akan lebih bahagia kalau jodohnya seorang lelaki baik lulusan akademi kepolisian pilihan orang tuanya itu.
Bukankah Gus Mul pernah bilang, membangun cinta itu pakai perasaan, tapi mempertahankannya tetap harus pakai penghasilan. Saya takut cinta yang sudah kami bangun berdua sedikit demi sedikit akan luntur karena penghasilan saya yang pas-pasan. Untuk itu saya ingin meminta pencerahan, apakah definisi dari mencintai seseorang?
Saya pernah meminta petuah pada Kang Emil sebagai bapak wali kota yang selalu mendengar keluh kesah rakyatnya, tapi dia menganjurkan agar saya menjomblo saja. Kali ini saya ingin meminta petuah dari Cik Prim dan Gus Mul yang saya yakin lebih bijak dalam memberikan saran.
Tertanda
Kasir minimarket yang baru diterima kerja dan tak pernah bosan menawarkan pulsa
Jawab
Kasir baik hati yang saking baiknya sampai hobi sekali menawarkan pulsa ….
Begini, ya, tidak semua orang suka ditawari pulsa sebagaimana tidak semua orang senang mendapatkan ucapan selamat datang di blablabla ketika masuk suatu tempat. Cobalah sekali-sekali bilang hal ini ke atasanmu, Sir: cukuplah ucapan selamat datang itu diwakili oleh plang atau tulisan di atas pintu atau di keset atau semacamnya. Tidak perlu semua penjaga menyambut setiap pelanggan dengan ucapan tersebut. Memangnya minimarket tempatmu bekerja itu semacam pernikahan keluarga kerajaan?
Di era Snapchat ini, basa-basi hanya boleh tinggal 1 x 24 jam dalam hubungan antarpersonal. Lebih dari itu, basa-basi hanya layak mengisi tong sampah. Karena basa-basi yang diulang-ulang itu menyebalkan. Sama menyebalkannya dengan temanmu yang setiap hari posting bubur ayam di insta story-nya.
Kasir baik hati yang saking baiknya sampai hobi sekali menawarkan pulsa ….
Padahal tidak semua orang suka ditawari pulsa. Padahal tidak semua orang yang mampir ke minimarketmu punya waktu untuk basa-basi, “Sekalian pulsanya, Kak?” Sebagian besar orang ke minimarket itu tahu mau beli apa saja. Bahkan kebanyakan dari mereka tahu kalau mau ambil apa dan harus ke rak mana.
Perhatikanlah, Sir, sedikit sekali pelangganmu yang mau berlama-lama memilih barang. Ya, ada, ada tipe-tipe orang yang suka berlama-lama di minimarket hanya untuk melihat kemasan pelbagai barang, atau mengamati dengan teliti cat-cat pada rak. Tetapi, sekali lagi, itu sedikit sekali. Kebanyakan adalah orang-orang yang tahu pasti apa yang dibutuhkannya dan ingin pulang sesegera mungkin untuk memakan atau mamanfaatkan barang belian tersebut.
Bayangkan kamu sudah berumah tangga dengan pacarmu yang sekarang dan istrimu hamil dan mengidam ciki kesukaan Agus Mulyadi: Chitato. Istrimu mengultimatum, Chitato itu harus sudah ada di tangannya dalam lima menit. Sementara jarak antara rumahmu dan minimarket paling cepat ditempuh dalam tujuh menit. Kamu tentu akan memikirkan segala cara untuk memenuhi permintaan tersebut. Mulai dari bantuan jin ifrit sampai buraq. Dan tentu saja kamu akan mengebom semua orang yang menghalangi langkahmu, termasuk yang tega-teganya bertanya: “Sekalian pulsanya, Kak?”
“Sekalian bom molotov,” kira-kira akan begitulah jawabanmu. “Buruan, Setan!”
Bayangan di atas hanya contoh ekstrem. Intinya pengendalian diri. Pengendalian diri agar tidak muntab di waktu-waktu yang tidak bersahabat. Pengendalian diri agar jangan memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan orang. Intinya pengendalian diri. Bukan pengadilan agama.
Kasir baik hati yang saking baiknya sampai hobi sekali menawarkan sumbangan dari uang kembalian atau menawarkan permen sebagai ganti recehan ….
Saya punya teman. Teman sepermainan. Di mana ada dia, selalu ada saya. Kami bukan teman tapi mesra dan bukan pula jenis hubungan kami yang relevan di sini.
Teman saya ini sering sekali mendumel karena dikasih permen sebagai ganti kembalian dan atau uangnya secara semena-mena dijadikan sumbangan ke entah siapa. Permen-permen itu tak satu pun ia kunyah, dan teman-temannya tak diperbolehkannya menyentuh. Sampai suatu hati ketika permennya sudah memenuhi satu stoples, ia pergi ke minimarket langganannya dengan stoples tersebut dan langsung ke meja kasir. Kelanjutannya hanya keributan yang tak perlu diceritakan dan permen itu ia taburkan di meja kasir.
Teman saya itu adalah saya. Sengaja saya pakai orang ketiga supaya lebih dramatis.
Lalu mana jawaban untuk pertanyaanmu?
Kalau benar ceritamu tentang tangis pacarmu saat kalian putus dan usahanya mendatangimu setelah itu bahkan membawakan makanan, seharusnya kamu tak perlu menakutkan apa-apa lagi. Dan kalau benar kamu mencintai Chelsea, pacarmu, kamu pasti akan berusaha sekuat tenaga membahagiakannya. Perkiraanmu bahwa ia “akan lebih bahagia kalau jodohnya seorang lelaki baik lulusan akademi kepolisian pilihan orang tuanya” adalah perkiraan seorang pengecut. Bukan itu yang ia inginkan ada di batok kepalamu, bukan itu pula yang yang ia inginkan kamu ucapkan. Bukan pula jenis lelaki yang cepat menyerah yang ia ingin lihat darimu. Ia pasti jatuh cinta karena suatu alasan, karena ada kualitas tertentu dalam dirimu yang ia inginkan terus ada dan berkembang. Sekali engkau menyerah, kualitas-kualitas itu akan musnah.
Karena lusa Mojok akan bubar, saya akan kasih kamu nasihat serius. Jangan sok tahu tentang apa yang bisa bikin cewek bahagia, seperti tawaran pulsa dan tawaran permen dan tawaran sumbangan yang menyebalkan itu. Cukup jadi gentleman, itu saja.
Salam sayang dan selamat tinggal,
Cik Prim
N.B.: Ya, ini #CurhatMojok terakhir dan saya dan Gus Mul rasanya tidak perlu lagi menawari Anda mengirim curhat ke [email protected]. Sampai jumpa di kehidupan kedua. Mimpi itu … dari mana datangnya ….
3 notes
·
View notes
Text
Menolak dan Dipamiti Itu Juga Perih
Sebagai perempuan biasa yang kiranya tidak memenuhi tiga kriteria layak istri menurut Rasulullah, ya sudah pasti saya pernah mengalami penolakan. Baik dalam cinta, pekerjaan, hingga pemeliharaan hewan. Satu dari dua kucing saya, setelah dua tahun bahkan, masih menolak patuh dipanggil namanya. Saat kuliah saya pernah mengajak pacaran orang yang dulu pernah nembak saya, tapi ternyata dia sudah muak sama saya karena pernah ditolak dan memberi tidak sebagai jawaban mentah-mentah. Dan tiga tahun lalu, saya pernah mengirim lamaran kerja ke satu media massa tua di Jakarta untuk posisi staf bahasa yang, hasilnya, jangankan ditolak dengan perkataan yang membesarkan hati, lamaran itu dibalas pun tidak.
(Untuk yang nomor tiga, para pengirim artikel yang ditolak Mojok sesungguhnya lebih berbahagia. Ada Gus Mul yang menjawab email mereka.)
Berbagai pengalaman ditolak menyisakan keyakinan, ditolak itu bikin sakit hati. Ya iyalah. Dan ditolak dengan penjelasan yang muter-muter dan mencoba mengaitkan penolakan itu dengan kebaikan diri si tertolak lebih menyakitkan lagi.
Kemudian saya masuk Mojok.
Sebagai redaktur, tugas saya dan Gus Mul adalah (1) mengurasi email kiriman tulisan yang masuk dan memastikan ada tulisan bagus naik tiap hari pukul 7 pagi, (2) mengasuh rubrik bedebah #CurhatMojok tiap Sabtu malam yang sama bedebahnya, dan (3) kadang-kadang ngadmin media sosial kalau lagi butuh hiburan. Enak, kan? Enak banget. Sejak jadi redaktur Mojok, profesi lain yang saya idam-idamkan dan saya anggap setingkat lebih enak adalah jadi tester kasur yang dibayar cuma untuk tidur.
Ide soal enaknya kerja di Mojok itu datangnya di minggu pertama kerja. Dan di minggu-minggu selanjutnya … eng ing eng … ternyata semua itu salah.
Selain tugas-tugas kecil turunan dari dua tugas utama tadi, nyatanya dua tugas utama itu sendiri sudah bikin galaw. Kadang pada hati kecil kami terbesit keinginan untuk ternak lele saja. Tapi, bahkan sesungguhnya ternak lele pun bukan pekerjaan mudah.
Saya akan mulai dari nomor dua. Menjawab #CurhatMojok itu mudah, tapi tidak cukup sampai situ. Menjawab #CurhatMojok itu mudah kalau kamu tidak berpartner dengan Agus Mulyadi.
Saya bertemu Agus Mulyadi Festival Booklovers di Radio Buku tahun 2014, dua tahun sebelum kami jadi teman kerja. Waktu itu namanya sedang moncer-moncernya di Twitter. Saya dipanggil Muhidin M. Dahlan yang sedang duduk dengan teman-teman lainnya. Ternyata ada Gus Mul di sana. Dan saya disuruh motretin mereka. Ini sedih aja atau sedih banget, ya, tweeps?
Walau dia menyebalkan kalau sudah mulai menyanyi dan berjoget di kantor, atau kalau sudah diajak rapat dan pasti pasang tampang malas-malasan, saya adalah pengagum Agus Mulyadi. Agus pandai mengatur alur tulisan. Dia punya ciri khas dengan punch line-nya. Sebagai orang garing yang guyonannya mentok di tebak-tebakan “kenapa kucing nggak bisa mundur?” dan jawabannya ternyata “karena kucingnya cadel, jadi bisanya mundul”, saya hanya bisa bersujud tersungkur di hadapan tulisan Gus Mul.
Dalam situasi macam itu, kami kudu bergantian menjawab #CurhatMojok. Saya galau: bagaimana kalau kualitas jawaban kami jomplang? Bagaimana kalau semua pengirim hanya mengalamatkan curhatnya ke Gus Mul dan tidak ada yang mau kirim ke saya? Bagaimana kalau saya tidak bisa memberi solusi? Bagaimana kalau masalah yang dicurhatkan sama dengan masalah saya, terus saya baper?
Dunia mendadak jadi kompleks, dan pikiran jadi peternak lele datang lagi. Dulu, malam Minggu adalah hari terindah dalam seminggu. Sekarang, malam Minggu pukul 7 adalah deadline bagi saya, jomblo pertengahan umur 20-an, untuk memikirkan masalah percintaan orang lain. Krai.
Kalau menjawab curhat jadi susah karena kami harus menulis, harusnya mengurasi naskah lebih gampang? Oh tidak bisa.
Saya pribadi yang nga tegaan. Sekarang, saya harus menolak naskah orang. Puja kerang ajaib, ini karma yang harusnya baik, tapi kok malah jadi simalakama.
Ternyata menolak bukan hal sederhana. Apalagi kalau kamu nggak tegaan. Apalagi kalau kamu nggak tegaan tapi kamu nggak punya kuasa untuk membuat pilihan lain. Ada tulisan yang sebenarnya bagus, tapi tidak bisa naik karena ada yang jauh lebih bagus dan aktual. Ada tulisan yang biasa saja, tapi saya merasa pembuatnya bersungguh-sungguh menuliskannya. Ada pula yang tulisannya biasa saja, namun email dari nama yang sama datang berkali-kali, dan kami jadi salut sendiri. Menolak kok bisa jadi sesentimentil ini.
Dalam bahasa Jawa, ada kata-kata begini, nek lanang menang milih, neng wedok menang nolak. Artinya, laki-laki itu untung karena bisa memilih, tetapi perempuan juga untung karena bisa menolak. Oke, saya kasih tahu sekarang, kalimat itu prek. Mbel. Nggak benar. Kami harus memilih dan menolak sekaligus. Dan itu nga enak. Nga. Mending disuruh makan nasi lauk es batu.
Sekarang saya paham, kenapa ada film macam Up in the Air yang bercerita tentang seseorang yang pekerjaannya cuma jadi tukang mecatin orang karena perusahaan-perusahaan yang bersangkutan nggak tega untuk mecat sendiri.
Ketika Panjul alias Eddward S. Kennedy (sumpah, benci menyebutkan namanya yang sok ngamerika ini) memutuskan pindah dari Mojok ke Kumparan, dia sempat bikin tulisan yang sedih banget. Saya ikut terenyuh membacanya. Sekarang saya mau kasih tahu dia: dia harusnya bersyukur sudah pamitan ke Mojok duluan; sudah meninggalkan Mojok duluan. Kalau dia masih ada di Mojok sampai hari ini, berada di posisi saya sekarang yang dipamiti Mojok; yang ditinggalkan oleh Mojok; yang disuruh Kepala Suku membuat tulisan perpisahan seperti ini, dia akan tahu, dipamiti itu jauh, jauh lebih menyakitkan daripada berpamitan.
Harusnya tulisan ini tayang pukul 7 pagi ini, tapi saya baru selesai menuliskannya pukul 07.30. Terasa berat karena sembari membayangkan, empat hari lagi tanggal 29 Maret 2017, di hari Rabu yang biasanya adalah hari piket saya, saya akan terbangun pukul 6 pagi dan menyalakan laptop, lalu sadar, hari itu saya tidak perlu posting apa-apa, tidak perlu ngadmin apa-apa.
1 note
·
View note
Text
Akal Sehat dan Lowongan Kerja Abal-Abal
Di Grup ICJ alias Info Cegatan Jogja, agaknya sedang ramai perihal penipuan lowongan kerja berbasis PT abal-abal. Salah satu kiriman dari anggota grup perihal pengalaman buruknya tertipu lowongan kerja apus-apusan alias tipu-tipu menuai hampir seribu komentar dan dibagikan oleh ratusan anggota lainnya.
Fenomena lowongan kerja tipu-tipu semacam ini sebenarnya adalah fenomena klasik, hanya saja, tiap waktu selalu saja ada korban-korban baru.
Oh ya, bagi yang belum tahu tentang fenomena ini, biar saya jelaskan sedikit, biar nggak cuma ndomblong dan bisa mengikuti sampai akhir.
Jadi begini alurnya. Sebuah perusahaan (yang sudah barang tentu abal-abal) memasang iklan lowongan kerja di koran, internet, atau lewat pamflet murahan (sebab memang cuma pamflet hasil fotokopi HVS yang blas nggak ada artsy-artsy-nya) yang ditempel di tiang listrik atau tembok-tembok di pinggir jalan. Biasanya lowongan untuk posisi administrasi dengan gaji yang cukup menggiurkan, antara 1,5 sampai 2 juta sebulan. Lowongannya tentu dibikin semenarik mungkin, kriteria dan persyaratannya pun dibikin semudah mungkin agar banyak orang yang tertarik.
Nah, singkat cerita, si pencari kerja yang tertarik dengan iklan tersebut akan menghubungi nomor yang tertera di dalam iklan. Mereka kemudian dijanjikan untuk wawancara di kantor.
Si pencari kerja lantas datang ke kantor, dengan semangat yang menyala mburap-mburap, wajah semringah, dan pengharapan yang begitu indah, tentunya.
Pengharapan si pencari kerja perlahan akan mulai luntur begitu ia tiba di kantor, sebab kantor yang ia datangi rupanya tak ubahnya ruko atau rumah sederhana yang kemudian dipaksakan untuk dibuat menjadi selayaknya kantor. Sangat tidak meyakinkan untuk sebuah kantor.
Pengharapan si pencari kerja kembali luntur, kali ini karena ia dimintai uang sejumlah ratusan ribu yang konon katanya untuk biaya wawancara dan training, yang mau tak mau harus ia bayarkan jika ia ingin lolos.
Nah, pada akhirnya, pengharapan si pencari kerja akan benar-benar kandas begitu tahu kalau ternyata pekerjaan yang harus ia lakukan bukanlah kerja di bidang admin, melainkan pekerjaan sebagai tukang wawancara orang yang mencari kerja, yang mana nantinya si pencari kerja ini lagi-lagi akan dapat pekerjaan juga sebagai pewawancara pencari kerja, dan begitu seterusnya, seterusnya, dan seterusnya, sampai Anggun jadi duta sampo lain.
Oke, sampai di sini sudah mulai jelas kan di mana letak bajingannya?
Nah, skema lowongan kerja tipu-tipu ini modusnya bermacam-macam. Selain modus yang barusan saya tulis itu, ada juga modus yang lain lagi, di antaranya adalah lowongan berlabel sales sampai lowongan ala tukang ngelem benang teh celup. Walau modusnya berbeda-beda, tapi konsepnya sama saja: mencari orang lain untuk kerja dengan job desk mencari orang lain lagi untuk kerja.
Saya paham betul akan hal ini, sebab … sebab … saya sendiri pernah jadi korbannya. Duh gusti, betapa saya tak menyangka, redaktur-cum-cendekia nan intelek seperti saya ternyata pernah juga jadi korban lowongan tipu-tipu macam begini.
Saya masih ingat betul dengan peristiwa yang sebenarnya tidak pernah ingin saya ingat-ingat lagi itu. Sebuah peristiwa yang, jika ingatan saya tidak berkhianat, terjadi di tahun 2010.
Setelah lulus SMA, saya merantau ke Jogja dan bekerja selama satu tahun sebagai tukang jaga warnet, atau sebut saja operator warnet biar lebih estetis. Setelah satu tahun berjalan, warnet tempat saya bekerja itu kemudian berganti manajemen pengelolaan dan dipindah ke Magelang. Saya tetap tinggal di Jogja untuk kemudian mencari pekerjaan lain.
Nah, di titik itulah pengalaman pahit saya bermula. Mencari kerja di Jogja ternyata gampang-gampang susah: carinya gampang, dapetnya yang susah.
Hampir tiga bulan saya tinggal di Jogja tanpa pekerjaan, padahal waktu itu saya harus bayar kos, juga harus makan sebab saya bukan pohon trembesi yang bisa kenyang hanya dengan berjemur dan berfotosintesis. Pendapatan saya waktu itu hanya bergantung dari hasil jualan kaos secara online yang hasilnya minim dan tak menentu. Intinya, saya butuh pekerjaan tetap.
Maka, makanan saya sehari-hari kala itu selain Indomie rebus dan tempe goreng adalah koran Kedaulatan Rakyat, wabil khusus halaman lowongan pekerjaan. Rutinitas pagi sehari-hari saya kala itu ya cuma nonton Upin-Ipin disambi nyetabilo lowongan-lowongan yang memungkinkan bagi lulusan SMA.
Takdir kemudian mempertemukan saya dengan iklan lowongan pekerjaan yang sangat-sangat menggiurkan—tapi bajingan—itu: lulusan SMA, bagian administrasi, gaji 1,5 juta sebulan (ingat, ini 2010, angka 1,5 juta sangat besar kala itu). Sungguh sebuah lowongan yang kehadirannya bagaikan orson dingin di tengah dahaga yang sedang memuncak.
Maka, tak perlu menunggu lama, segera sama menghubungi nomor yang tertera di iklan tersebut. Tak berselang lama, pesan saya berbalas. Saya disuruh datang keesokan harinya ke alamat kantor di sekitaran Jalan Perintis Kemerdekaan, Umbulharjo.
Paginya, saya pun datang dengan pakaian yang paling saya banggakan. Dengan sisiran yang paling rapi dan paling setil.
Di sana, saya diminta membayar sejumlah uang, katanya untuk biaya dokumen dan wawancara (saya agak lupa berapa nilai persisnya). Saya kemudian diwawancarai oleh seseorang yang kalau tidak salah namanya Ibu Dian. Seorang wanita setengah baya yang, saya akui, tubuhnya cukup sintal dan menggoda.
Optimisme yang tinggi, ditambah dengan tampilan Ibu Dian yang membikin dada saya senantiasa berdesir membuat saya tidak menaruh kecurigaan sama sekali. Terlebih ketika saya mendapat sinyal kalau saya diterima.
Kekecewaan itu akhirnya datang tatkala saya tahu kalau job desk pertama saya ternyata adalah menjual tuksedo. Dan lebih buruk lagi, saya harus menjual tuksedo itu dengan harga, kalau tidak salah, 1,2 juta. Duh gusti, paringono ekstasi.
Bu Dian berdalih bahwa menjual tuksedo itu hanyalah bagian dari tes penerimaan. Lha kan asu, saya ndaftarnya jadi administrasi, tapi tesnya bukan tes mengoperasikan komputer atau MS Office, atau tes lain yang lebih kontekstual, tapi malah disuruh jual tuksedo. Lha mbok dibayangkan. Saya yang dengan pakaian semahal apa pun tetap kelihatan dekil disuruh menjual tuksedo seharga 1,2 juta. Untung kalau ada yang beli, lha kalau saya malah dituduh sedang menjual tuksedo hasil maling dari butik terkenal? Lha bobrok bakule slondok!
Singkat cerita, saya memutuskan untuk berhenti bertindak konyol. Saya pamit sama Ibu Dian, meninggalkan kantornya, dan tentu saja, merelakan uang yang sudah kadung saya keluarkan.
Saya akhirnya pulang ke kos dengan wajah yang paling ndembik. Merenungkan betapa bodohnya saya karena tidak berpikir jauh. Mana ada pekerjaan admin untuk lulusan SMA bergaji 1,5 juta tapi kantornya cuma kios kecil berukuran tak sampai 3 x 5 meter persegi.
Semenjak saat itu, saya mulai menanamkan kebencian kepada PT-PT apus-apus yang dengan teganya menjual harapan para pencari kerja dengan kepalsuan.
Kebencian ini kemudian mulai menampakkan kesuburannya saat saya dipertemukan dengan seseorang asal Kediri. Saya tak ingat namanya, dan untuk memudahkan cerita, sebut saja dia dengan panggilan Sondeng.
Ia datang jauh-jauh ke Jogja untuk mencari kerja. Di Jogja, ia tinggal sama kakaknya yang ndilalah satu kos sama saya. Saya dan Sondeng cepat akrab; dia teman yang baik dan ideal walau sejujurnya, selera humornya agak memprihatinkan. Keakraban kami terjalin cukup erat. Ia bahkan lebih banyak tidur di kamar saya ketimbang di kamar kakaknya.
Suatu pagi, dengan pakaian yang begitu rapi dan wajah yang begitu semringah, ia izin sembari meminta saya mendoakannya, sebab ia akan melamar kerja di tempat yang lowongan pekerjaannya ia baca beberapa waktu lampau.
Hanya butuh waktu tak sampai dua belas jam untuk membuat wajah semringah yang ia tunjukkan di pagi hari itu berubah menjadi wajah yang paling pating tlekuk bak celana dalam belum disetrika.
“Taek tenan,” katanya
“Kenapa e, Ndeng?” tanya saya
“Ternyata lowongan kerjanya cuma tipu-tipu, aku sudah bayar buat biaya formulir sama pendaftaran, ternyata kerjanya disuruh cari orang,” ratapnya
Saya tak bisa berbuat apa-apa selain memberinya penghiburan dan mengajaknya keluar untuk makan, mencoba mengademkan hatinya.
Kekecewaan ini kelak membuat Sondeng pulang ke Kediri.
Belakangan baru saya ketahui, perusahaan apus-apus yang menipu kawan saya ini ternyata adalah salah satu perusahaan di bilangan Denggung yang memang sudah terkenal menjadi dedengkot lowongan kerja tipu-tipu.
Tak berselang lama, mengikuti jejak Sondeng, saya pun juga pulang ke Magelang dan kembali menjalani karier saya sebagai penjaga, eh, maksud saya, operator warnet.
Dasar nasib, di Magelang, rupanya saya masih juga bergesekan dengan kisah perusahaan tipu-tipu. Kali ini adalah kawan dekat sekaligus tetangga sekaligus pelanggan tetap warnet saya. Sebut saja ia Gudel. Ia menceritakan niatnya untuk mendaftar kerja sebagai tukang lem benang teh celup. Tentu saja saya kaget tratapan.
Saya sudah paham nglothok akan modus lowongan berbasis pengeleman benang teh celup ini, maka sebagai kawan yang baik, saya berusaha menyadarkan kawan saya yang sedang mempersiapkan jalan menuju kemalangannya ini.
“Ini bukan tipu-tipu, Gus. Ini asli,” kata Gudel gigih saat saya berusaha menjelaskan padanya bahwa lowongan kerja pengeleman benang teh celup itu palsu adanya.
“Aduuuh, Del. Percaya sama aku, itu cuma tipu-tipu,” terang saya. “Nanti kamu memang bakal dapat job ngelem benang teh celup, taruhlah satu boks dapat 50 ribu, memang lumayan, tapi nanti, untuk bisa mendapatkan boks-boks berikutnya, kamu harus bisa mencari kawan lain yang mau ikut kerja ngelem juga, ini MLM menungso, Del!”
“Kamu itu ngeyel, memangnya kamu pernah ndaftar?”
“Ya belum, tapi aku tahu skemanya,”
“Lha gene kamu sendiri belum pernah ndaftar.”
Saya kalah cocot, kalah omong. Dan pada akhirnya, saya hanya bisa pasrah.
Yang terjadi selanjutnya adalah … ah, saya tak ingin menceritakannya. Sungguh, di titik itu, saya merasa begitu gagal sebagai seorang kawan sebab saya tak bisa menunjukkan jalan yang baik dan benar untuk kawan saya sendiri.
Sekarang, sudah enam tahun berselang. Saya sudah hampir melupakan kisah pengalaman saya dan dua kawan saya tentang lowongan kerja tipu-tipu itu. Hingga kemudian, ingatan memaksa saya untuk mengingatnya kembali setelah membaca postingan soal PT tipu-tipu di Grup Info Cegatan Jogja itu.
Saya membacanya dengan kemirisan yang teramat sangat. Komentar-komentar yang masuk cukup menarik. Ada beberapa orang yang sharing kisahnya yang juga pernah jadi korban, ada yang berbagi informasi seputar lowongan tipu-tipu, ada yang cuma sekadar “bantu up lur, ben mumbul”, pun ada yang malah berkomentar dengan nada yang terkesan menyalahkan si korban.
“Mangkanya, sebelum mendaftar pakai akal sehat.”
Untuk yang saya sebut terakhir ini, rasanya ingin sekali saya datangi orangnya, kemudian saya kremus wajahnya.
Enak saja dia bilang perihal akal sehat. Dia pasti tidak paham, betapa akal sehat tidak berlaku untuk lelaki yang harga dirinya terancam sebab tak punya pekerjaan. Dan betapa akal sehat … ah … bajingan ….
0 notes
Text
Sulitnya Jadi Bahagia di Hari-Hari Seperti Ini
Barangkali sampean tahu dan mengalami sendiri bagaimana akhirnya rasanya mumet berkepanjangan yang timbul tenggelam seperti kayu diombang-ambingkan arus sungai.
Penyebabnya beragam: kesedihan akut, ketidakpuasan pada diri sendiri, situasi timeline yang tegang, teman berkurang, krisis di fase tertentu hidup, tekanan masyarakat untuk memenuhi standar sosial, jomblo berkepanjangan. Ya Tuhan, mendaftar penyebabnya saja sudah bikin depresi.
Saya punya teman seorang psikolog, dan ia berkata dengan mantap bahwa penyebab mumet atau, bahasa kerennya, depresi ringan tersebut adalah kuatnya tekanan super-ego atas id. Hasrat libidinal dikebiri seperti septic tank yang kepenuhan menampung tinja selama sepuluh tahun, dan meledaklah wadah itu satu bulan kemudian. Seperti seorang pemuda disiplin yang sungguh-sungguh ngebet menyalurkan hasrat seksual, eh, skripsi yang belum kelar, suntuk, pelesirlah si mahasiswa tua ke lembah Bigo Live yang penuh dosa dan menghabiskan kuota.
Kira-kira demikianlah perumpamaan sederhana tentang depresi ringan yang sedang marak.
Sebenarnya kita bisa bersenang-senang dengan menghamburkan uang, ikut piknik sebagaimana panduan My trip My Adventure lalu mengucapkan kalimat membosankan, “Suasananya keren banget bro, kita bisa seru-seruan di sini.”
Seru-seruan apanya.
Begini, ya. Bujang unggul yang kelebihan uang serta waktu buat tamasya ke tempat jauh itu jumlahnya sedikit, terkecuali memang segelintir pemuda peranakan tajir yang menganggap ongkos perjalanan ke Raja Ampat semurah harga gorengan.
Aduh, saya yang miskin ini kok jadi kelewat sinis. *Bertanya-tanya apakah diri saya haters*
Segala macam caption “Bahagia Itu Sederhana” di Instagram yang merujuk pada perayaan murahan seperti makan nasi sepiring dengan lauk biawak rebus, atau mengurung diri dalam kamar sambil menangis haru oleh sebab film kualitas rendahan pada malam Minggu yang cerah sementara mobil orang-orang kelas menengah mengular sepanjang jalan adalah bualan manis yang tak patut dipercaya bahkan oleh orok yang baru satu hari makan pisang. Omong kosong! Kene tak jak gelut.
Aduh, nyinyir lagi.
Iya, iyaaa, menghibur diri dengan caption itu adalah pelarian termurah bagi kamu yang sudah jatuh dan tertimpa tangga dan sulit cari kerja dan sedih dan dilanda kemarau perhatian dalam pertarungan sengit zaman yang menjunjung tinggi individualisme sambil mengabaikan solidaritas sosial sesama manusia.
Keadaan ekonomi kita juga tak kunjung membaik. Sejak 2001 sampai kemarin ketika Raisa merajuk manja memasang wajah gemes dengan sudut bibir terangkat begitu manis meminta sepeda, harga dolar tak pernah lagi berada di bawah Rp8.000, sementara sampai saat ini saya tak bisa mengetahui dengan pasti berapa harga satu gorengan di burjo Jogja yang oleh Aa’-nya dibanderol “dua ribu dapat tiga”.
Coba tebak, berapakah harga sesungguhnya satu gorengan jika dengan uang dua ribu rupiah seorang gadis mendapatkan tiga gorengan? Rp666.666667? Salah, Dik. Harga satunya seribu. Hukum Matematika enggak berlaku di warung burjo.
Itulah gagasan gemilang yang menegaskan bahwa menjaga sehat dalam segala keributan sosial yang terkadang tak rasional ini adalah kemustahilan. Mungkin sekali mengidap depresi ringan dan itu wajar. Kecerdasan menjaga kewarasan sedang dipertaruhkan.
Entah, mungkin saking mumetnya, tagar #RinduOrba beserta Soeharto dan keturunannya menggegerkan netizen beberapa waktu lalu. Mau gimana lagi, dampak Reformasi enggak konkret kok, mending jaman Simbah Harto yang apa-apa masih murah.
Itu kata mereka lho, bukan saya. Memang apa-apa murah di jaman Orba. Termasuk nyawa. Nakal dikit, gondrong dikit, tatoan dikit, dikarungin terus didor sama Petrus (akronim yang dibuat, entah kenapa, Kristen sekali).
Mengetahui karat depresi manusia modern begitu tinggi, kini netizen dimanjakan artikel penghibur kegamangan yang menjamur bak jamur di musim hujan.
Ada satu penyedia jasa layanan penulisan artikel penghibur cocok-cocokan seperti ”Tujuh Keunggulan Kamu yang Lulus Kuliah Cepat” yang satu minggu kemudian disusul dengan tulisan kebalikannya, “Tujuh Keunggulan kamu yang lulus kuliah lama”. Itu berarti mahasiswa kebelet lulus dan keseringan ngulang mata kuliah tak berbeda. Keduanya sama-sama unggul: setelah lulus menganggur. Kalaupun bekerja, biasanya susah beli rumah dan mustahil menyisakan gaji untuk tabungan haji.
Di lain tempat, kawan-kawan saya yang tak disiplin sedang getol memainkan permainan konyol yang cukup menghibur dirinya id.testony.com. Siapa pemikir yang sejalur dengan Anda? Jonru. Siapa presiden yang karakternya seperti Anda? Soeharto. Siapakah Anda di masa lalu? Stalin. Partai apa yang sesuai dengan Anda? Partai Idaman. Hiburan murah yang sungguh mbel.
Orang modern tengah berlomba menghibur dirinya sendiri sebelum dilahap depresi. Bos-bos media menyediakan artikel penghibur. Sementara psikolog bertugas menenangkan pasien tanpa benar-benar menyelesaikan masalah. Tak ada yang sungguh terbebas dari jerat depresi. Ini masa penuh kegilaan.
Tapi kita tidak sendiri, gejala depresi ini bukan milik orang kita saja, melainkan mendunia, baik di Amerika yang sedang ramai karena Trump, Prancis yang konon katanya 40% warganya mengaku stress dan susah percaya partai, dan Belanda yang partai rasisnya sempat digdaya meski kalah dalam pemilihan kemarin. Ini gejala internasional, Bung, Nona.
Begini, saya akan beri penjelasan teroretis dan harap sampean membacanya dengan saksama. Tolong camken karena ini serius. Setidaknya menurut Vedy Hadiz atau Arianto Sangaji dan beribu artikel yang saya simpulkan secara serampangan, semuanya menyataken:
Kadar depresi dengan segala turunannya, baik itu anxiety, skizofrenia, rasisme, seksisme, sampai insomnia tidak lain tidak bukan disebabken oleh bangkrutnya sistem neoliberalisme internesyenel yang menghasilken susahnya hidup dan ketimpangan yang menganga lebar. Hidup miskin tanpa pengharapan menjadi pesakitan.
Deterministik banget, ya. Memang banyak analisis lain, tapi ribet. Kan Mojok media selow dan menghibur.
Gimana dong, sementara segelintir orang menggelar pesta bikini di sebuah vila mewah di Bali, mahasiswa miskin Jogja menghabiskan weekend dengan ceburan di kolam air bekas PDAM di Maguwo.
Bagaimanapun pusingnya sampean ngadepin kenyataan, tolong jangan bertindak konyol. Bunuh diri seorang pria Jumat kemarin yang ia siarkan langsung lewat Facebook karena ditinggal pergi istri sungguh mengejutkan. Saya berduka cita untuk itu.
Ingat, menyakiti diri sendiri itu dilarang agama. Tidak perlu menantang saya untuk menuliskan dalilnya. Percayalah, saya ini mahasiswa UIN.
Untuk situ lagi trauma agama karena petingkah ormas yang itu, saya sitirkan pikiran Albert Camus si filsuf Absurditas. Entah bagaimana pun absurdnya hidup di matamu, bunuh diri bukanlah jalan keluar. Itu kekalahan eksistensi. Kalau kau muak dan menganggap segalanya tak bernilai, nyawamulah satu-satunya kebenaran nilai yang harus dipertahankan. Aduh mulai rumit. Pokoknya kau harus tetap hidup, Tuan dan Puan.
Sepintas cerita: Gus Dur tampak malas mengerahkan massanya untuk berdemonstrasi menuntut turunnya Mbah Harto. Itu awal 1998. Ia memilih jalan berunding dengan Simbah ketimbang konfrontasi langsung. Sikap itu cukup aneh dengan melihat besaran massa di sisi Gus Dur dan betapa pro-reformasinya blio. Gusdur bersikap tenang menghindari terjadinya adu jotos rakyat dengan tentara. Ups, ralat. Mahasiswa main jotos sementara aparat main tembak.
“Konfrontasi seharusnya dihindari, karena harga manusia yang harus dibayar terlalu mahal bahkan untuk prestasi apa pun yang diperoleh,” begitu alasan Gus Dur. Itu sikap politik blio kala itu.
Biar saya tutup. Meski kondisi sosial, politik, dan ekonomi tampak begitu menggemaskan, percayalah, dunia akan lebih baik esok hari asal kiamat tak segera terjadi. “Koe pancen cah edan, tapi ra pantes mati,” kata seorang gadis kampung sebelah.
Akhirnya, ada dua sikap pamungkas yang boleh kita pilih salah satu untuk mengatasi tekanan hidup. Menerima gagasan takdir dunia sebagai tempat terkutuk yang akan selalu dijejali masalah sampai kiamat nanti sehingga akan lebih baik jika kita menunggu surga saja, atau melempar sumpah serapah sejenak, kemudian berusaha menciptakan surga temporal di atas dunia. Terserah pilihanmu, Mas, Mbak.
Raisa mana Raisa?
0 notes
Text
Sugeng Kondur, Yu Patmi …
Tetapi bagaimana engkau melawan kekuatan dengan dana triliunan? Demikian kira-kira kesedihan seorang kyai muda yang kami temui pada suatu sore.
Entah sudah berapa miliar digelontorkan untuk pembangunan pabrik Semen di Kendeng. Sebagian besar melawan. Sebagian mendukung, dengan alasan yang tentu kita sudah bisa menebaknya. Saat saya beberapa kali sowan ke Rembang, saya terkadang menyempatkan diri sowan pula ke tokoh yang ikut berperan menentang pembangunan pabrik semen. Kisah-kisah di balik perlawanan itu memang sering memilukan. Mungkin kita bertanya-tanya, kekuatan macam apa yang membuat mereka masih bertahan melakukan perlawanan sejak rencana pembangunan itu dibuat jauh-jauh hari sebelum semakin ramai seperti sekarang. Barangkali sudah banyak yang menuliskannya, tetapi saya ingin menulis salah satu kisah yang amat berkesan dan mengharukan dari ketulusan para petani dalam berjuang mempertahankan lahan mereka dan kelestarian alam.
Seorang kiai muda bercerita kepada saya alasan mengapa ia akan terus melakukan penentangan dengan caranya sendiri setelah cara-cara lama sering menyebabkan benturan sosial antarwarga pendukung dan penolak, dan menyebabkan friksi-friksi sosial, bahkan mungkin sampai sekarang ini. Kisah ini akan terdengar bagaikan dongeng bagi kita yang lebih sering mendengar, melihat, dan merasakan hilangnya ketulusan dan akhlak baik di dunia nyata maupun media sosial.
Setelah hampir dua tahun keliling mendampingi perlawanan, pada suatu hari ia kedatangan tamu seorang bapak petani tua dari sebuah desa yang jaraknya kurang lebih 10 kilometer dari rumah sang kiai. Petani tua itu membawakan makanan khas daerahnya, sejenis olahan nasi jagung sederhana. Sesudah diterima, kiai itu menanyakan apa keperluannya. Petani tua itu menjawab dengan takzim bahwa ia datang ingin menyampaikan rasa terima kasih telah dibela hak-haknya karena lahannya kala itu terancam oleh pabrik. Baginya, tanah pertaniannya yang tak seberapa bukan sekadar lahan mencari nafkah, tetapi juga “tanah air” amanat Tuhan yang mesti ia jaga kelestariannya.
Ia ingin membalas budi sang kiai, namun ia tak punya apa pun selain kemampuannya mengolah makanan yang sederhana. Sebab, petani tua itu bukan orang yang punya banyak uang. Maka ia membuat nasi jagung dengan cara khusus untuk diberikan kepada sang kiai sebagai tanda terima kasihnya. Ia mengatakan itu dengan rasa malu karena hadiahnya teramat sederhana.
Sang kiai terharu ketika tamu itu berkisah. Sambil makan nasi jagung yang enak itu air matanya bahkan menetes setelah ia bertanya, dengan siapa dan naik apa Bapak ke sini? Bapak petani tua menjawab bahwa dia datang dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer. Bagaimana tak luruh hati sang kyai mengetahui bahwa demi menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang tulus, lelaki tua itu rela berjalan kaki sejauh itu. Hadiahnya memang amat murah jika diukur dengan uang, tetapi ketulusan dan keutamaan akhlaknya tiada akan pernah bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.
Saya masih ingat pesan kiai muda itu setelah menceritakan kisah petani tua tersebut. “Uang miliaran yang pernah hendak ditawarkan kepada saya tiada artinya dibandingkan ketulusan dan ketabahan para petani yang sederhana dan tahu cara menghormati alam dan ulama.” Beliau lalu memberi pengajian ringkas tentang dua ayat Quran yang kerap diabaikan, atau, meminjam istilah yang sedang populer, “dinistakan” oleh sebagian orang-orang beriman.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai (orang yang berbuat) kebinasaan/kerusakan.”
Barangkali tidak banyak kisah semacam ini, tetapi sesedikit apa pun kisah ini, tampaknya Tuhan masih memberi harapan kepada manusia yang sekarang semakin riuh dalam arus perebutan kekuasaan dengan mengabaikan nilai-nilai akhlak, dengan menampakkan bahwa di Wilayah Kerajaan-Nya masih ada orang-orang yang walau tidak penting di mata sesama manusia, tetapi sikap dan akhlaknya terjaga sedemikian rupa sehingga tawaran dunia tak bisa menggoyahkannya.
Sore itu, beberapa tahun lalu, saya pulang dengan membawa rasa malu dan sedih sekaligus pelajaran, betapa diri ini terlalu banyak membawa beban gengsi dan arogansi iman. Dan kemarin, kita berduka, karena seorang ibu petani Kendeng meninggal dunia dalam perjuangannya menjaga alam.
Sugeng kondur, Yu Patmi ….
0 notes
Text
Sugeng Kondur, Yu Patmi …
Tetapi bagaimana engkau melawan kekuatan dengan dana triliunan? Demikian kira-kira kesedihan seorang kyai muda yang kami temui pada suatu sore.
Entah sudah berapa miliar digelontorkan untuk pembangunan pabrik Semen di Kendeng. Sebagian besar melawan. Sebagian mendukung, dengan alasan yang tentu kita sudah bisa menebaknya. Saat saya beberapa kali sowan ke Rembang, saya terkadang menyempatkan diri sowan pula ke tokoh yang ikut berperan menentang pembangunan pabrik semen. Kisah-kisah di balik perlawanan itu memang sering memilukan. Mungkin kita bertanya-tanya, kekuatan macam apa yang membuat mereka masih bertahan melakukan perlawanan sejak rencana pembangunan itu dibuat jauh-jauh hari sebelum semakin ramai seperti sekarang. Barangkali sudah banyak yang menuliskannya, tetapi saya ingin menulis salah satu kisah yang amat berkesan dan mengharukan dari ketulusan para petani dalam berjuang mempertahankan lahan mereka dan kelestarian alam.
Seorang kiai muda bercerita kepada saya alasan mengapa ia akan terus melakukan penentangan dengan caranya sendiri setelah cara-cara lama sering menyebabkan benturan sosial antarwarga pendukung dan penolak, dan menyebabkan friksi-friksi sosial, bahkan mungkin sampai sekarang ini. Kisah ini akan terdengar bagaikan dongeng bagi kita yang lebih sering mendengar, melihat, dan merasakan hilangnya ketulusan dan akhlak baik di dunia nyata maupun media sosial.
Setelah hampir dua tahun keliling mendampingi perlawanan, pada suatu hari ia kedatangan tamu seorang bapak petani tua dari sebuah desa yang jaraknya kurang lebih 10 kilometer dari rumah sang kiai. Petani tua itu membawakan makanan khas daerahnya, sejenis olahan nasi jagung sederhana. Sesudah diterima, kiai itu menanyakan apa keperluannya. Petani tua itu menjawab dengan takzim bahwa ia datang ingin menyampaikan rasa terima kasih telah dibela hak-haknya karena lahannya kala itu terancam oleh pabrik. Baginya, tanah pertaniannya yang tak seberapa bukan sekadar lahan mencari nafkah, tetapi juga “tanah air” amanat Tuhan yang mesti ia jaga kelestariannya.
Ia ingin membalas budi sang kiai, namun ia tak punya apa pun selain kemampuannya mengolah makanan yang sederhana. Sebab, petani tua itu bukan orang yang punya banyak uang. Maka ia membuat nasi jagung dengan cara khusus untuk diberikan kepada sang kiai sebagai tanda terima kasihnya. Ia mengatakan itu dengan rasa malu karena hadiahnya teramat sederhana.
Sang kiai terharu ketika tamu itu berkisah. Sambil makan nasi jagung yang enak itu air matanya bahkan menetes setelah ia bertanya, dengan siapa dan naik apa Bapak ke sini? Bapak petani tua menjawab bahwa dia datang dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer. Bagaimana tak luruh hati sang kyai mengetahui bahwa demi menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang tulus, lelaki tua itu rela berjalan kaki sejauh itu. Hadiahnya memang amat murah jika diukur dengan uang, tetapi ketulusan dan keutamaan akhlaknya tiada akan pernah bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.
Saya masih ingat pesan kiai muda itu setelah menceritakan kisah petani tua tersebut. “Uang miliaran yang pernah hendak ditawarkan kepada saya tiada artinya dibandingkan ketulusan dan ketabahan para petani yang sederhana dan tahu cara menghormati alam dan ulama.” Beliau lalu memberi pengajian ringkas tentang dua ayat Quran yang kerap diabaikan, atau, meminjam istilah yang sedang populer, “dinistakan” oleh sebagian orang-orang beriman.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai (orang yang berbuat) kebinasaan/kerusakan.”
Barangkali tidak banyak kisah semacam ini, tetapi sesedikit apa pun kisah ini, tampaknya Tuhan masih memberi harapan kepada manusia yang sekarang semakin riuh dalam arus perebutan kekuasaan dengan mengabaikan nilai-nilai akhlak, dengan menampakkan bahwa di Wilayah Kerajaan-Nya masih ada orang-orang yang walau tidak penting di mata sesama manusia, tetapi sikap dan akhlaknya terjaga sedemikian rupa sehingga tawaran dunia tak bisa menggoyahkannya.
Sore itu, beberapa tahun lalu, saya pulang dengan membawa rasa malu dan sedih sekaligus pelajaran, betapa diri ini terlalu banyak membawa beban gengsi dan arogansi iman. Dan kemarin, kita berduka, karena seorang ibu petani Kendeng meninggal dunia dalam perjuangannya menjaga alam.
Sugeng kondur, Yu Patmi ….
0 notes
Text
Betapa Ribetnya Pertemanan Protokoler
Salah satu yang saya rindukan dari kehidupan masa kecil di Papua adalah jumlah varian teman sepermainan yang bukan hanya beragam dalam suku-ras agama, tetapi juga status sosial. Di sana, adalah hal biasa bagi saya yang rakyat jelata untuk berteman dengan anak kapolres, anak ustad pimpinan masjid, anak kepala kodim, bahkan anak pengurus OPM (kalau ini saya baru tahu setelah pindah ke Jawa).
Ketika main ke rumah mereka pun biasa saja. Tidak ada protokoler khusus yang perlu dilalui sekalipun mereka anak orang penting. Setelah mengerjakan tugas sekolah, kami akan bergosip sambil tertawa keras-keras. Beberapa di antaranya juga ikut main di sungai sambil mencuci sepatu setiap minggu. Bahagia sekali rasanya.
Dulu saya biasa saja punya teman main anak-anak pejabat itu, berhubung menurut saya, ya begitulah persahabatan. Namanya saja anak-anak, tidak pretensius. Tapi, mengingat itu sekarang, rasanya persahabatan egaliter di era ’90-an itu begitu mewah. Terlebih untuk urusan pertemanan dengan anak para tokoh keagamaan, sebab ada banyak protokoler yang menjadi parameter adab orang beriman.
Ketika beranjak remaja di Jawa, saya pernah ditegur keras karena dianggap tidak menjaga adab terhadap seorang teman—yang belakangan saya ketahui anak petinggi organisasi keagamaan. Gaya komunikasi saya yang blak-blakan disinyalir kurang beradab untuk teman saya yang anak umara penting itu. Saat itu saya masih tidak ambil pusing, berhubung teman saya baik-baik saja dengan persahabatan kami. Biarlah para ajudannya yang berisik.
Tetapi rupanya penjagaan terhadap teman saya ini memang luar biasa. Suatu waktu, saya ditegur lebih keras karena ketahuan menginap di rumahnya. Konon tidak sembarang orang boleh main ke sana, apalagi sampai menginap. Di situ saya merasa sedih. Berarti saya dianggap orang sembarangan, sampai-sampai dimarahi karena menginap di rumah sahabat sendiri. Sekali lagi, yang marah-marah bukanlah teman saya atau orang tuanya, tapi para ajudan. Bahkan orang tua teman sayalah yang sebenarnya menyuruh saya menginap di sana (tapi berhubung terlalu emosi, saya malas menjelaskan perihal ini kepada para ajudan yang galak).
Selanjutnya, persahabatan kami berjalan lebih menyebalkan. Kami tidak boleh terlalu sering terlihat bersama di depan publik (padahal kami adalah remaja yang sahabatan alias punya geng ABG). Bahkan sekalipun kami sering berinteraksi lewat telepon dan internet, teman saya yang anak petinggi ini tidak dibolehkan memperkenalkan saya sebagai sahabatnya kepada dunia luar, seperti mengunggah foto kebersamaan di medsos layaknya geng ABG lainnya. Puncaknya adalah ketika geng kami sempat tidak diperkenankan menghadiri acara harlahnya. Saya sedih sekali.
Ketika beranjak dewasa, saya dipertemukan dengan pejabat organisasi keagamaan lain. Kali ini saya bahkan berteman dengan pejabatnya langsung, bukan lagi anak pejabat atau pimpinannya. Itu pun baru saya ketahui berbulan-bulan kemudian, ketika bertemu dengan para informan.
“Eh si itu ternyata Gus-nya pondok anu lho,” si informan membuka percakapan penuh antusias.
“Si Itu? Yang Itu?”
“Iya, si itu yang biasa kita bully itu.”
“Oh.”
“Kok, oh?”
“Ya biasa aja sih. Kan saya berteman dengan si itu, bukan gelar strukturalnya,” kata saya menambahkan, melihat ekspresi di wajah informan itu.
Di lain waktu, saya kembali tidak peka akan “nilai” sahabat saya yang lainnya di muka publik, terutama publik yang berada di lingkungan kekuasaannya.
“Eh, ternyata kamu akrab sama ukhti itu ya?” tanya informan lainnya.
“Iya, satu organisasi,” jawab saya dalam nada dasar.
“Wah, keren banget! Dia itu maqom-nya tinggi lho, di lembaga.”
“Oh,” komentar saya, masih dalam nada dasar.
Informan itu tampak kecewa dengan reaksi saya ketika tahu kalau di organisasi itu kamu punya maqom yang tinggi. Maaf, tapi kan saya tidak berteman dengan maqom-mu, sekalipun itu di organisasi keagamaan yang konon maqom-nya dinilai berdasarkan keimanan seseorang.
Di mata Tuhan kita ini kan sama, setara, sederajat. Yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaannya. Tapi bagaimana saya bisa tahu kalau maqom keimanan dan ketakwaanmu memang lebih tinggi dari manusia lainnya? Yang tahu derajat iman dan takwa kan hanya Allah. Bukan saya, kamu, mereka, bahkan pimpinan lembagamu itu. Apalagi kalau penilaian itu hanya berdasar parameter visual alias apa yang bisa dilihat manusia, termasuk mengenai betapa sibuknya dirimu dengan sederet amanah sebagai pimpinan organisasi.
Mungkin kamu pikir saya tidak menghormati jabatan muliamu itu sebagai pemimpin jamaah keagamaan—atau organisasi ideolohis lain yang belakangan gencar cari umat buat kebangkitan masing-masing. Anggap saja ini sikap politik saya yang memang malas cari muka—sebab alhamdulillah saya sudah dikasih muka sama Allah, cantik pula. Saya juga paham sekali bagaimana tidak enaknya dikerumuni karena tempelan “identitas penting” dirimu. Tiba-tiba punya banyak “sahabat baru” karena kamu jadi penulis Mojok (tapi udah mau bubaran hiks). Atau karena bapakmu menang muktamar partai. Atau karena tantemu jadi ketua jamaah sosialita ibukota.
Sedihnya, kenapa kamu sepertinya justru semakin nyaman menghidupi jabatan strukturalmu itu? Padahal itu sangat berimbas pada moda persahabatan kita yang menjadi begitu protokoler. Padahal sebenarnya saya tidak mau ambil pusing dengan sederet statusmu sebagai pejabat, sebab saya sudah berteman denganmu tanpa mengetahui siapa kamu.
Tetapi bagaimana saya bisa tidak ambil pusing dengan statusmu sebagai pejabat, sebab ketika bersikap apa adanya denganmu sebagai teman dianggap tidak sopan? Ketika berteman tanpa kepura-puraan denganmu, dibilang tidak menjaga adab?
“Kalau ngomong sama beliau yang sopan, Ukh!” kata ajudanmu, ketika dalam suatu forum saya dianggap berbicara keras kepadamu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana jenis suara seperti ini lebih bisa menjaga hati daripada suara si ukhti yang lemah lembut mendesah manjah ituh.
Kalau berbincang dalam bahasa Jawa keseharian denganmu dianggap tidak sopan, apakah saya harus pakai bahasa Jawa krama inggil sekalipun kita sebaya dan sahabat kecil? Apakah saya juga harus berjalan menunduk sambil membungkukkan badan ketika berjumpa denganmu yang orang penting itu? Katanya, seperti Minke, kamu benci Jawa yang feodalis. Kamu bahkan bukan orang Jawa, tetapi kenapa diam-diam kamu justru menikmati menjadi Raja Kecil dengan jabatanmu itu?
Mungkin menurutmu saya terlalu baper, tidak bisa menyesuaikan diri punya teman pejabat. Tapi di saat pertemanan kita menjadi begitu protokoler seperti sekarang karena jabatanmu itu, saya sungguh merindukan Rasulullah, manusia dengan jabatan tertinggi dalam struktur ideologis kita.
Sebagai pejabat penting, Rasulullah begitu dekat dengan umatnya hingga mengizinkan tubuhnya dipeluk rakyat jelata yang sebelumnya berkoar-koar ingin memukul beliau sebagai bentuk keadilan. Sampai-sampai, banyak sahabat yang ingin menyerang fans berat Rasulullah itu sebelum misi utamanya ketahuan: agar bisa berpelukan dengan beliau!
Tetapi jika memang Rasulullah adalah pejabat yang dekat dengan umat, kenapa rakyat jelata itu sampai harus membuat drama agar bisa memeluk pribadi yang begitu dimuliakannya itu?
Tentu saja sebab protokoler adab (yang sayangnya begitu kaku) dari benteng penjagaan di sekitar Rasulullah. Padahal pemimpinnya alias Rasulullah biasa saja, woles sekali bahkan menyerahkan tubuhnya kalau benar ingin dipukul. Ketika tahu drama pukulan keadilan hanyalah modus fans berat, beliau pun tersenyum sambil menyambut pelukannya. Dijanjikan surga pula! Sangar, kan?
Sungguh, saya merindukan pemimpin yang populis seperti itu. Pemimpin yang bisa jadi sahabat, bukan sekadar pejabat. Seperti bagaimana Rasulullah menyebut orang-orang pengampu jabatan penting di struktur kelembagaannya: sahabat, bukan pejabat. Bahkan konon siapapun yang berada di dekat beliau akan merasa dianggap istimewa, bukannya tertekan.
Pun kalau mau memakai bahasa jabatan strukturalmu, amanah pemimpin adalah melayani umat. Sebagai umat, saya nggak kepingin juga sih dilayani olehmu, memangnya saya perempuan apaan. Saya hanya berharap kita bisa berteman sebagai manusia biasa, tanpa kebanyakan ribet perihal status sosialmu sebagai pejabat atau pimpinan keagamaan.
Mungkin ini memang konsekuensi saya sebagai rakyat jelata. Mau bersahabat saja, harus sadar strata sosial. Tapi sebenarnya kita hidup di tahun berapa, sih? Jangan-jangan saya sedang tersesat di masa ketika Rasulullah belum hadir membawa Islam dengan nilai-nilai kesetaraannya.
0 notes
Text
Betapa Ribetnya Pertemanan Protokoler
Salah satu yang saya rindukan dari kehidupan masa kecil di Papua adalah jumlah varian teman sepermainan yang bukan hanya beragam dalam suku-ras agama, tetapi juga status sosial. Di sana, adalah hal biasa bagi saya yang rakyat jelata untuk berteman dengan anak kapolres, anak ustad pimpinan masjid, anak kepala kodim, bahkan anak pengurus OPM (kalau ini saya baru tahu setelah pindah ke Jawa).
Ketika main ke rumah mereka pun biasa saja. Tidak ada protokoler khusus yang perlu dilalui sekalipun mereka anak orang penting. Setelah mengerjakan tugas sekolah, kami akan bergosip sambil tertawa keras-keras. Beberapa di antaranya juga ikut main di sungai sambil mencuci sepatu setiap minggu. Bahagia sekali rasanya.
Dulu saya biasa saja punya teman main anak-anak pejabat itu, berhubung menurut saya, ya begitulah persahabatan. Namanya saja anak-anak, tidak pretensius. Tapi, mengingat itu sekarang, rasanya persahabatan egaliter di era ’90-an itu begitu mewah. Terlebih untuk urusan pertemanan dengan anak para tokoh keagamaan, sebab ada banyak protokoler yang menjadi parameter adab orang beriman.
Ketika beranjak remaja di Jawa, saya pernah ditegur keras karena dianggap tidak menjaga adab terhadap seorang teman—yang belakangan saya ketahui anak petinggi organisasi keagamaan. Gaya komunikasi saya yang blak-blakan disinyalir kurang beradab untuk teman saya yang anak umara penting itu. Saat itu saya masih tidak ambil pusing, berhubung teman saya baik-baik saja dengan persahabatan kami. Biarlah para ajudannya yang berisik.
Tetapi rupanya penjagaan terhadap teman saya ini memang luar biasa. Suatu waktu, saya ditegur lebih keras karena ketahuan menginap di rumahnya. Konon tidak sembarang orang boleh main ke sana, apalagi sampai menginap. Di situ saya merasa sedih. Berarti saya dianggap orang sembarangan, sampai-sampai dimarahi karena menginap di rumah sahabat sendiri. Sekali lagi, yang marah-marah bukanlah teman saya atau orang tuanya, tapi para ajudan. Bahkan orang tua teman sayalah yang sebenarnya menyuruh saya menginap di sana (tapi berhubung terlalu emosi, saya malas menjelaskan perihal ini kepada para ajudan yang galak).
Selanjutnya, persahabatan kami berjalan lebih menyebalkan. Kami tidak boleh terlalu sering terlihat bersama di depan publik (padahal kami adalah remaja yang sahabatan alias punya geng ABG). Bahkan sekalipun kami sering berinteraksi lewat telepon dan internet, teman saya yang anak petinggi ini tidak dibolehkan memperkenalkan saya sebagai sahabatnya kepada dunia luar, seperti mengunggah foto kebersamaan di medsos layaknya geng ABG lainnya. Puncaknya adalah ketika geng kami sempat tidak diperkenankan menghadiri acara harlahnya. Saya sedih sekali.
Ketika beranjak dewasa, saya dipertemukan dengan pejabat organisasi keagamaan lain. Kali ini saya bahkan berteman dengan pejabatnya langsung, bukan lagi anak pejabat atau pimpinannya. Itu pun baru saya ketahui berbulan-bulan kemudian, ketika bertemu dengan para informan.
“Eh si itu ternyata Gus-nya pondok anu lho,” si informan membuka percakapan penuh antusias.
“Si Itu? Yang Itu?”
“Iya, si itu yang biasa kita bully itu.”
“Oh.”
“Kok, oh?”
“Ya biasa aja sih. Kan saya berteman dengan si itu, bukan gelar strukturalnya,” kata saya menambahkan, melihat ekspresi di wajah informan itu.
Di lain waktu, saya kembali tidak peka akan “nilai” sahabat saya yang lainnya di muka publik, terutama publik yang berada di lingkungan kekuasaannya.
“Eh, ternyata kamu akrab sama ukhti itu ya?” tanya informan lainnya.
“Iya, satu organisasi,” jawab saya dalam nada dasar.
“Wah, keren banget! Dia itu maqom-nya tinggi lho, di lembaga.”
“Oh,” komentar saya, masih dalam nada dasar.
Informan itu tampak kecewa dengan reaksi saya ketika tahu kalau di organisasi itu kamu punya maqom yang tinggi. Maaf, tapi kan saya tidak berteman dengan maqom-mu, sekalipun itu di organisasi keagamaan yang konon maqom-nya dinilai berdasarkan keimanan seseorang.
Di mata Tuhan kita ini kan sama, setara, sederajat. Yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaannya. Tapi bagaimana saya bisa tahu kalau maqom keimanan dan ketakwaanmu memang lebih tinggi dari manusia lainnya? Yang tahu derajat iman dan takwa kan hanya Allah. Bukan saya, kamu, mereka, bahkan pimpinan lembagamu itu. Apalagi kalau penilaian itu hanya berdasar parameter visual alias apa yang bisa dilihat manusia, termasuk mengenai betapa sibuknya dirimu dengan sederet amanah sebagai pimpinan organisasi.
Mungkin kamu pikir saya tidak menghormati jabatan muliamu itu sebagai pemimpin jamaah keagamaan—atau organisasi ideolohis lain yang belakangan gencar cari umat buat kebangkitan masing-masing. Anggap saja ini sikap politik saya yang memang malas cari muka—sebab alhamdulillah saya sudah dikasih muka sama Allah, cantik pula. Saya juga paham sekali bagaimana tidak enaknya dikerumuni karena tempelan “identitas penting” dirimu. Tiba-tiba punya banyak “sahabat baru” karena kamu jadi penulis Mojok (tapi udah mau bubaran hiks). Atau karena bapakmu menang muktamar partai. Atau karena tantemu jadi ketua jamaah sosialita ibukota.
Sedihnya, kenapa kamu sepertinya justru semakin nyaman menghidupi jabatan strukturalmu itu? Padahal itu sangat berimbas pada moda persahabatan kita yang menjadi begitu protokoler. Padahal sebenarnya saya tidak mau ambil pusing dengan sederet statusmu sebagai pejabat, sebab saya sudah berteman denganmu tanpa mengetahui siapa kamu.
Tetapi bagaimana saya bisa tidak ambil pusing dengan statusmu sebagai pejabat, sebab ketika bersikap apa adanya denganmu sebagai teman dianggap tidak sopan? Ketika berteman tanpa kepura-puraan denganmu, dibilang tidak menjaga adab?
“Kalau ngomong sama beliau yang sopan, Ukh!” kata ajudanmu, ketika dalam suatu forum saya dianggap berbicara keras kepadamu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana jenis suara seperti ini lebih bisa menjaga hati daripada suara si ukhti yang lemah lembut mendesah manjah ituh.
Kalau berbincang dalam bahasa Jawa keseharian denganmu dianggap tidak sopan, apakah saya harus pakai bahasa Jawa krama inggil sekalipun kita sebaya dan sahabat kecil? Apakah saya juga harus berjalan menunduk sambil membungkukkan badan ketika berjumpa denganmu yang orang penting itu? Katanya, seperti Minke, kamu benci Jawa yang feodalis. Kamu bahkan bukan orang Jawa, tetapi kenapa diam-diam kamu justru menikmati menjadi Raja Kecil dengan jabatanmu itu?
Mungkin menurutmu saya terlalu baper, tidak bisa menyesuaikan diri punya teman pejabat. Tapi di saat pertemanan kita menjadi begitu protokoler seperti sekarang karena jabatanmu itu, saya sungguh merindukan Rasulullah, manusia dengan jabatan tertinggi dalam struktur ideologis kita.
Sebagai pejabat penting, Rasulullah begitu dekat dengan umatnya hingga mengizinkan tubuhnya dipeluk rakyat jelata yang sebelumnya berkoar-koar ingin memukul beliau sebagai bentuk keadilan. Sampai-sampai, banyak sahabat yang ingin menyerang fans berat Rasulullah itu sebelum misi utamanya ketahuan: agar bisa berpelukan dengan beliau!
Tetapi jika memang Rasulullah adalah pejabat yang dekat dengan umat, kenapa rakyat jelata itu sampai harus membuat drama agar bisa memeluk pribadi yang begitu dimuliakannya itu?
Tentu saja sebab protokoler adab (yang sayangnya begitu kaku) dari benteng penjagaan di sekitar Rasulullah. Padahal pemimpinnya alias Rasulullah biasa saja, woles sekali bahkan menyerahkan tubuhnya kalau benar ingin dipukul. Ketika tahu drama pukulan keadilan hanyalah modus fans berat, beliau pun tersenyum sambil menyambut pelukannya. Dijanjikan surga pula! Sangar, kan?
Sungguh, saya merindukan pemimpin yang populis seperti itu. Pemimpin yang bisa jadi sahabat, bukan sekadar pejabat. Seperti bagaimana Rasulullah menyebut orang-orang pengampu jabatan penting di struktur kelembagaannya: sahabat, bukan pejabat. Bahkan konon siapapun yang berada di dekat beliau akan merasa dianggap istimewa, bukannya tertekan.
Pun kalau mau memakai bahasa jabatan strukturalmu, amanah pemimpin adalah melayani umat. Sebagai umat, saya nggak kepingin juga sih dilayani olehmu, memangnya saya perempuan apaan. Saya hanya berharap kita bisa berteman sebagai manusia biasa, tanpa kebanyakan ribet perihal status sosialmu sebagai pejabat atau pimpinan keagamaan.
Mungkin ini memang konsekuensi saya sebagai rakyat jelata. Mau bersahabat saja, harus sadar strata sosial. Tapi sebenarnya kita hidup di tahun berapa, sih? Jangan-jangan saya sedang tersesat di masa ketika Rasulullah belum hadir membawa Islam dengan nilai-nilai kesetaraannya.
2 notes
·
View notes
Text
Utang Tak Dibayar Lebih Berbahaya Ketimbang Memilih Pemimpin Nonmuslim
Denger-denger Mojok mau tutup ya? Ah tutup tidaknya Mojok toh juga tidak berimplikasi kepada perkembangan asmara saya yang masih begitu-begitu saja. Tetapi sebagai salah seorang jamaah Mojokiyyah kaffah pemula, setidaknya saya berusaha urun karya walau entah dimuat atau tidak. Hanya Tuhan dan redaktur Mojok yang tahu.
Kemarin ketika membuka gawai dan browsing-browsing cantik, mak tratap, saya disajikan sebuah artikel berita yang bikin ngelus dada ngelus dada. Itu bukan berita macan unyu-unyu yang sudah almarhum itu. Juga bukan berita mas-mas yang nekat bunuh diri lantaran ditinggal minggat istrinya. Itu adalah berita tentang utang, dengan judul “Tagih Utang Lewat Facebook, Pengusaha di Mataram Jadi Tersangka”.
Bagaimana kisah sebagaimana tergambar pada judul itu terjadi? Berita tersebut juga membagi kronologinya. Alkisah, si pemberi utang, sebut saja si D, menagih utang kepada temannya, sebut saja si U. Lantaran SMS dan telepon selalu tidak nyambung, si D akhirnya mencari alternatif lain supaya bisa menghubungi U. Lho kok si U ini lagak-lagaknya aktif nian di jagat fesbuk, tak ambil pusing dengan si D mengirimi pesan pribadi, sekali lagi pesan pribadi, menanyakan perihal pembayaran utang.
Yang terjadi kemudian bukan sesuatu yang D sangka. U dengan songongnya malah melaporkan D atas tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik ke polisi dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Seseorang nagih utang yang memang haknya. Lewat pesan pribadi, bukan membuat status yang menandai (tagging) atau menulis di dinding fesbuknya si pengutang. Gaes, ini nagih utang lho, bukan nyebar hoax atau jadi admin di grup pedofil. Bayar pengacara saja bisa, lha kok bayar utang tidak bisa?
Sabar, Mas D, ini ujian!
Jamaah Mojokiyyah yang dirahmati Allah SWT. Terlepas dari bagaimana cara menagihnya, pada dasarnya ada etika yang harus diperhatikan seorang penagih utang. Misalnya dengan bertandang silaturahmi; karena bisa jadi si peminjam mengalami sesuatu hal sehingga belum bisa membayar. Tetapi si peminjam juga harus sadar diri bahwasanya setiap utang harus dibayar atau dilunasi. Jangan ketika minta utangan memasang wajah macan Cisewu, giliran harus bayar atau ditagih, muka berubah jadi seperti macan Cisewu part 2: yang ditagih lebih galak daripada yang nagih.
Soal utang piutang, syahdan Rasulullah SAW pernah didatangi para sahabat yang meminta beliau menyolatkan jenazah. Maka, beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka menjawab, “Tidak,” dan Nabi pun menyalatkannya. Lalu, ketika datang jenazah yang lain, Nabi SAW kembali bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka mengatakan, “Iya.” Nabi berkata, “Salatkanlah saudara kalian,” Abu Qotadoh pun berkata, “Aku yang menanggung utangnya, Wahai Rasulullah.” Maka Nabi pun menyalatkannya.
Kenapa perihal utang sangat krusial? Salah satu hadis menjelaskannya. “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya” (H. R. Tirmidzi) atau “Barangsiapa yang rohnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul [khianat], dan utang, dia akan masuk surga” (H. R. Ibnu Majah).
Jamaah Mojokiyyah di mana pun Anda berada.
Saya yakin semua orang memiliki utang. Ada yang sudah dibayar (alhamdulillah), ada pula yang hendak dibayar atau hendak dilupakan. Termasuk apabila ketika sekolah dulu, Anda jajan di kantin, makan gorengan lima, tapi bilang cuma tiga. Itu juga termasuk utang yang kelak akan dipertanggungjawabkan jika belum dilunasi.
Utang memang tidak melulu tentang uang, janji yang belum dilunasi pun termasuk utang. Jadi, saya harap para pasangan yang masih pacaran, hambok plisss jangan ngasih janji-janji palsu. Kalau tidak dilunasi, pertanggungjawabannya berat di akhirat nanti. Dan si pemberi utang pun perlu mengingatkan pihak yang berutang untuk melunasi kewajibannya. Termasuk di dalamnya para kekasih yang doyan PHP hingga pejabat yang mulutnya manis saat kampanye.
Itulah kenapa, salah satu pekerjaan yang sebenarnya mulia tapi kenyataannya malah disia-sia adalah pekerjaan penagih utang atau debt collector. Para debt colletor itu sebenarnya berusaha membuat kita bisa masuk surga tanpa terhalang tanggungan utang yang belum terbayarkan. Mulia sekali, bukan? Saran saya, ketika ketemu para debt collector, mending disalami, disenyumi. Kalau bisa ucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam.
“Mas, terima kasih lho dah dibantu untuk masuk surga. Saya tahu pekerjaan Mas sarat pahala dan mantap jiwa. Semoga Allah Swt. selalu menaungi hidayah kepada Mas dan rekan-rekan sejawat.” (Dan si Mas Debt Collector-nya membatin, “Oh, bocah edan.”)
Jamaaah Mojokiyyah yang semoga dimudahkan dalam melunasi utangnya.
Jika setelah membaca tulisan ini Anda lantas mendapat hidayah, tiba-tiba ingat semua utang dari dulu sampai sekarang, datangnya hidayah itu ialah dari Allah. Tapi, jika setelah membaca tulisan ini Anda masih biasa-biasa saja, itu salah kalian sendiri. Namun, jangan lupa: segera lunasi utang. Memilih pemimpin nonmuslim bisa membuat jenazah tidak disalati, tapi tidak membayar utang bisa membuat roh melayang-layang penasaran.
Dengan demikian, kepada mas-mas patjar seluruh Indonesia yang selalu menjanjikan mau ngelamar tahun depan tapi kuliah nggak diselesai-selesaikan juga, apa kamu belum takut setelah baca tulisan ini?
0 notes
Text
Utang Tak Dibayar Lebih Berbahaya Ketimbang Memilih Pemimpin Nonmuslim
Denger-denger Mojok mau tutup ya? Ah tutup tidaknya Mojok toh juga tidak berimplikasi kepada perkembangan asmara saya yang masih begitu-begitu saja. Tetapi sebagai salah seorang jamaah Mojokiyyah kaffah pemula, setidaknya saya berusaha urun karya walau entah dimuat atau tidak. Hanya Tuhan dan redaktur Mojok yang tahu.
Kemarin ketika membuka gawai dan browsing-browsing cantik, mak tratap, saya disajikan sebuah artikel berita yang bikin ngelus dada ngelus dada. Itu bukan berita macan unyu-unyu yang sudah almarhum itu. Juga bukan berita mas-mas yang nekat bunuh diri lantaran ditinggal minggat istrinya. Itu adalah berita tentang utang, dengan judul “Tagih Utang Lewat Facebook, Pengusaha di Mataram Jadi Tersangka”.
Bagaimana kisah sebagaimana tergambar pada judul itu terjadi? Berita tersebut juga membagi kronologinya. Alkisah, si pemberi utang, sebut saja si D, menagih utang kepada temannya, sebut saja si U. Lantaran SMS dan telepon selalu tidak nyambung, si D akhirnya mencari alternatif lain supaya bisa menghubungi U. Lho kok si U ini lagak-lagaknya aktif nian di jagat fesbuk, tak ambil pusing dengan si D mengirimi pesan pribadi, sekali lagi pesan pribadi, menanyakan perihal pembayaran utang.
Yang terjadi kemudian bukan sesuatu yang D sangka. U dengan songongnya malah melaporkan D atas tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik ke polisi dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Seseorang nagih utang yang memang haknya. Lewat pesan pribadi, bukan membuat status yang menandai (tagging) atau menulis di dinding fesbuknya si pengutang. Gaes, ini nagih utang lho, bukan nyebar hoax atau jadi admin di grup pedofil. Bayar pengacara saja bisa, lha kok bayar utang tidak bisa?
Sabar, Mas D, ini ujian!
Jamaah Mojokiyyah yang dirahmati Allah SWT. Terlepas dari bagaimana cara menagihnya, pada dasarnya ada etika yang harus diperhatikan seorang penagih utang. Misalnya dengan bertandang silaturahmi; karena bisa jadi si peminjam mengalami sesuatu hal sehingga belum bisa membayar. Tetapi si peminjam juga harus sadar diri bahwasanya setiap utang harus dibayar atau dilunasi. Jangan ketika minta utangan memasang wajah macan Cisewu, giliran harus bayar atau ditagih, muka berubah jadi seperti macan Cisewu part 2: yang ditagih lebih galak daripada yang nagih.
Soal utang piutang, syahdan Rasulullah SAW pernah didatangi para sahabat yang meminta beliau menyolatkan jenazah. Maka, beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka menjawab, “Tidak,” dan Nabi pun menyalatkannya. Lalu, ketika datang jenazah yang lain, Nabi SAW kembali bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka mengatakan, “Iya.” Nabi berkata, “Salatkanlah saudara kalian,” Abu Qotadoh pun berkata, “Aku yang menanggung utangnya, Wahai Rasulullah.” Maka Nabi pun menyalatkannya.
Kenapa perihal utang sangat krusial? Salah satu hadis menjelaskannya. “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya” (H. R. Tirmidzi) atau “Barangsiapa yang rohnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul [khianat], dan utang, dia akan masuk surga” (H. R. Ibnu Majah).
Jamaah Mojokiyyah di mana pun Anda berada.
Saya yakin semua orang memiliki utang. Ada yang sudah dibayar (alhamdulillah), ada pula yang hendak dibayar atau hendak dilupakan. Termasuk apabila ketika sekolah dulu, Anda jajan di kantin, makan gorengan lima, tapi bilang cuma tiga. Itu juga termasuk utang yang kelak akan dipertanggungjawabkan jika belum dilunasi.
Utang memang tidak melulu tentang uang, janji yang belum dilunasi pun termasuk utang. Jadi, saya harap para pasangan yang masih pacaran, hambok plisss jangan ngasih janji-janji palsu. Kalau tidak dilunasi, pertanggungjawabannya berat di akhirat nanti. Dan si pemberi utang pun perlu mengingatkan pihak yang berutang untuk melunasi kewajibannya. Termasuk di dalamnya para kekasih yang doyan PHP hingga pejabat yang mulutnya manis saat kampanye.
Itulah kenapa, salah satu pekerjaan yang sebenarnya mulia tapi kenyataannya malah disia-sia adalah pekerjaan penagih utang atau debt collector. Para debt colletor itu sebenarnya berusaha membuat kita bisa masuk surga tanpa terhalang tanggungan utang yang belum terbayarkan. Mulia sekali, bukan? Saran saya, ketika ketemu para debt collector, mending disalami, disenyumi. Kalau bisa ucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam.
“Mas, terima kasih lho dah dibantu untuk masuk surga. Saya tahu pekerjaan Mas sarat pahala dan mantap jiwa. Semoga Allah Swt. selalu menaungi hidayah kepada Mas dan rekan-rekan sejawat.” (Dan si Mas Debt Collector-nya membatin, “Oh, bocah edan.”)
Jamaaah Mojokiyyah yang semoga dimudahkan dalam melunasi utangnya.
Jika setelah membaca tulisan ini Anda lantas mendapat hidayah, tiba-tiba ingat semua utang dari dulu sampai sekarang, datangnya hidayah itu ialah dari Allah. Tapi, jika setelah membaca tulisan ini Anda masih biasa-biasa saja, itu salah kalian sendiri. Namun, jangan lupa: segera lunasi utang. Memilih pemimpin nonmuslim bisa membuat jenazah tidak disalati, tapi tidak membayar utang bisa membuat roh melayang-layang penasaran.
Dengan demikian, kepada mas-mas patjar seluruh Indonesia yang selalu menjanjikan mau ngelamar tahun depan tapi kuliah nggak diselesai-selesaikan juga, apa kamu belum takut setelah baca tulisan ini?
0 notes
Text
Utang Tak Dibayar Lebih Berbahaya Ketimbang Memilih Pemimpin Nonmuslim
Denger-denger Mojok mau tutup ya? Ah tutup tidaknya Mojok toh juga tidak berimplikasi kepada perkembangan asmara saya yang masih begitu-begitu saja. Tetapi sebagai salah seorang jamaah Mojokiyyah kaffah pemula, setidaknya saya berusaha urun karya walau entah dimuat atau tidak. Hanya Tuhan dan redaktur Mojok yang tahu.
Kemarin ketika membuka gawai dan browsing-browsing cantik, mak tratap, saya disajikan sebuah artikel berita yang bikin ngelus dada ngelus dada. Itu bukan berita macan unyu-unyu yang sudah almarhum itu. Juga bukan berita mas-mas yang nekat bunuh diri lantaran ditinggal minggat istrinya. Itu adalah berita tentang utang, dengan judul “Tagih Utang Lewat Facebook, Pengusaha di Mataram Jadi Tersangka”.
Bagaimana kisah sebagaimana tergambar pada judul itu terjadi? Berita tersebut juga membagi kronologinya. Alkisah, si pemberi utang, sebut saja si D, menagih utang kepada temannya, sebut saja si U. Lantaran SMS dan telepon selalu tidak nyambung, si D akhirnya mencari alternatif lain supaya bisa menghubungi U. Lho kok si U ini lagak-lagaknya aktif nian di jagat fesbuk, tak ambil pusing dengan si D mengirimi pesan pribadi, sekali lagi pesan pribadi, menanyakan perihal pembayaran utang.
Yang terjadi kemudian bukan sesuatu yang D sangka. U dengan songongnya malah melaporkan D atas tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik ke polisi dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Seseorang nagih utang yang memang haknya. Lewat pesan pribadi, bukan membuat status yang menandai (tagging) atau menulis di dinding fesbuknya si pengutang. Gaes, ini nagih utang lho, bukan nyebar hoax atau jadi admin di grup pedofil. Bayar pengacara saja bisa, lha kok bayar utang tidak bisa?
Sabar, Mas D, ini ujian!
Jamaah Mojokiyyah yang dirahmati Allah SWT. Terlepas dari bagaimana cara menagihnya, pada dasarnya ada etika yang harus diperhatikan seorang penagih utang. Misalnya dengan bertandang silaturahmi; karena bisa jadi si peminjam mengalami sesuatu hal sehingga belum bisa membayar. Tetapi si peminjam juga harus sadar diri bahwasanya setiap utang harus dibayar atau dilunasi. Jangan ketika minta utangan memasang wajah macan Cisewu, giliran harus bayar atau ditagih, muka berubah jadi seperti macan Cisewu part 2: yang ditagih lebih galak daripada yang nagih.
Soal utang piutang, syahdan Rasulullah SAW pernah didatangi para sahabat yang meminta beliau menyolatkan jenazah. Maka, beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka menjawab, “Tidak,” dan Nabi pun menyalatkannya. Lalu, ketika datang jenazah yang lain, Nabi SAW kembali bertanya, “Apakah dia memiliki utang?”, mereka mengatakan, “Iya.” Nabi berkata, “Salatkanlah saudara kalian,” Abu Qotadoh pun berkata, “Aku yang menanggung utangnya, Wahai Rasulullah.” Maka Nabi pun menyalatkannya.
Kenapa perihal utang sangat krusial? Salah satu hadis menjelaskannya. “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya” (H. R. Tirmidzi) atau “Barangsiapa yang rohnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul [khianat], dan utang, dia akan masuk surga” (H. R. Ibnu Majah).
Jamaah Mojokiyyah di mana pun Anda berada.
Saya yakin semua orang memiliki utang. Ada yang sudah dibayar (alhamdulillah), ada pula yang hendak dibayar atau hendak dilupakan. Termasuk apabila ketika sekolah dulu, Anda jajan di kantin, makan gorengan lima, tapi bilang cuma tiga. Itu juga termasuk utang yang kelak akan dipertanggungjawabkan jika belum dilunasi.
Utang memang tidak melulu tentang uang, janji yang belum dilunasi pun termasuk utang. Jadi, saya harap para pasangan yang masih pacaran, hambok plisss jangan ngasih janji-janji palsu. Kalau tidak dilunasi, pertanggungjawabannya berat di akhirat nanti. Dan si pemberi utang pun perlu mengingatkan pihak yang berutang untuk melunasi kewajibannya. Termasuk di dalamnya para kekasih yang doyan PHP hingga pejabat yang mulutnya manis saat kampanye.
Itulah kenapa, salah satu pekerjaan yang sebenarnya mulia tapi kenyataannya malah disia-sia adalah pekerjaan penagih utang atau debt collector. Para debt colletor itu sebenarnya berusaha membuat kita bisa masuk surga tanpa terhalang tanggungan utang yang belum terbayarkan. Mulia sekali, bukan? Saran saya, ketika ketemu para debt collector, mending disalami, disenyumi. Kalau bisa ucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam.
“Mas, terima kasih lho dah dibantu untuk masuk surga. Saya tahu pekerjaan Mas sarat pahala dan mantap jiwa. Semoga Allah Swt. selalu menaungi hidayah kepada Mas dan rekan-rekan sejawat.” (Dan si Mas Debt Collector-nya membatin, “Oh, bocah edan.”)
Jamaaah Mojokiyyah yang semoga dimudahkan dalam melunasi utangnya.
Jika setelah membaca tulisan ini Anda lantas mendapat hidayah, tiba-tiba ingat semua utang dari dulu sampai sekarang, datangnya hidayah itu ialah dari Allah. Tapi, jika setelah membaca tulisan ini Anda masih biasa-biasa saja, itu salah kalian sendiri. Namun, jangan lupa: segera lunasi utang. Memilih pemimpin nonmuslim bisa membuat jenazah tidak disalati, tapi tidak membayar utang bisa membuat roh melayang-layang penasaran.
Dengan demikian, kepada mas-mas patjar seluruh Indonesia yang selalu menjanjikan mau ngelamar tahun depan tapi kuliah nggak diselesai-selesaikan juga, apa kamu belum takut setelah baca tulisan ini?
0 notes
Text
Bunuh Diri dan Kita yang Terlalu Asyik Dengan Diri Sendiri
Di antara yang bertahan mati-matian untuk hidup. Di antara doa-doa anak manusia agar yang dicintanya berumur panjang. Di antara asa ingin hidup lebih lama lagi padahal ia sudah hidup terlalu lama di dunia fana ini. Ternyata tetap dan memang akan selalu ada yang memilih mengakhiri hidup. Menyalahkan kehidupan hingga mengembalikannya pada sang pemilik, sebelum diminta.
Berita kematian bunuh diri selalu akan berujung pada masa lalu yang diungkap. Termasuk satu menit sebelum nafasnya benar-benar putus. Tak ada cerita lain. Melulu soal keluhan hidup yang tak berkecukupan, hidup yang letih, penuh amarah, rasa cemburu, tekanan sosial, juga hati hampa terhadap Sang Pencipta.
Indonesia belum memiliki hukum yang melarang bunuh diri atau semacam kesepakatan untuk hukuman keluarga terdekat apabila ada kerabatnya yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Misalkan hukuman ini ada dan jelas, mungkin tidak ada yang menganggap remeh rasa tertekan, kecewa, sakit hati, seseorang yang tiba-tiba menjadi pendiam, bahkan murung dalam kurun waktu berkepanjangan. Mereka akan mengawasi keluarganya lebih dekat, lebih dalam, agar tak terlintas pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Sebab bayangan hukum akan menghantui bila bunuh diri terjadi.
Indonesia tidak pula mengizinkan dengan terbuka dan nyata perihal memperbolehkan warganya untuk membunuh diri sendiri. Indonesia tidak berada di antara negara-negara yang memang terbuka dan mempersilakan warganya menentukan pilihan hidupnya sendiri seperti Belgia, Kolombia, India, Irlandia, Luxemburg, Meksiko, Belanda, dan Jepang. Jika memang bunuh diri adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri kesakitan, penderitaan, rasa sesal, sakit hati, lantas mengapa masih ada yang bangkit setelah jatuh berkali-kali? Masih ada yang benar-benar percaya bahwa ia akan sembuh setelah penyakit yang menggerogotinya bertahun-tahun? Lalu, mengapa nyanyian ulang tahun anak-anak yang berisi doa-doa panjang umur masih terdengar begitu merdu dan penuh syukur?
Orang-orang Yunani kuno menyebut kematian terhormat untuk mengakhiri penderitaan hidup sebagai Eutanasia. Di Indonesia, perbuatan mengakhiri hidup adalah tindakan tidak terpuji dan membantu seseorang dalam mengakhiri hidupnya adalah perbuatan yang melanggar hukum serta ada ancaman bagi yang terbukti melakukannya. Soal bunuh diri juga begitu melegenda di negara Jepang. Melihat samurai dalam film 47 Ronin, misalnya, atau The Last Samurai, kematian di tangan sendiri diperbolehkan untuk menjaga martabat, harga diri, juga kehormatan pimpinan. Aksi heroik ini tentu tak bisa ditiru rakyat biasa. Sebab menjadi samurai adalah tentang keberanian, pengorbanan, juga keteladanan. Samurai yang dipaksa bunuh diri hanya untuk menyelamatkan kehormatan bahkan membela rakyat dan pemimpinnya.
Kejadian bunuh diri seorang pria di Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Jumat (17/3/2017) lalu dengan disiarkan secara langsung melalui Facebook sungguh memilukan hati. Penikmat media sosial ramai mengunjungi akun tersebut untuk menuntaskan rasa penasaran. Pria itu mungkin berharap video tersebut bisa menjadi kenang-kenangan buat istrinya. Video itu sempat ditonton ribuan orang sebelum akhirnya dihapus oleh Facebook. Apa yang bisa dikenang selain rasa sesal? Sang istri yang terlibat perkelahian dengan pria ini akan terus dikutuk rasa bersalah. Tentu saja, bunuh diri yang begitu viral ini tidak akan menyelesaikan apapun, malah menambah penderitaan.
Kasus bunuh diri yang dianggap biasa terjadi, kini mendapat perhatian utuh. Caranya mungkin lebih kreatif dengan mengunggahnya live di facebook. Kasus ini pernah terjadi di luar negeri. Seolah menjadi inspirasi, seseorang ingin mengabadikan kematiannya. Tahapan pria ini mengakhiri hidupnya terekam nyata bagi yang sempat melihatnya. Apakah ini layak dikonsumsi publik? Mereka yang awalnya berniat bunuh diri merasa seolah didukung dan kematiannya bisa jadi terkenal. Jika sudah terkenal, apa yang didapat? Bukankah keluarga harus menanggung setiap pertanyaan yang datang? Di antara pertanyaan itu, tak satu pun pertanyaan baik. Mungkin, semuanya adalah tentang luka, rasa bersalah, mengutuk diri, dan bisa jadi aksi bunuh diri beruntun karena tak kuat menahan malu dan rasa bersalah. Semoga saja tidak terjadi lagi.
Unggahan live tentang perjalanan kematian seseorang ini harusnya tidak pernah terjadi. Penikmat media sosial tidak semuanya dalam kondisi baik dan bahagia. Jika yang kebetulan melihat video bunuh diri ini dalam kondisi goyang, lantas kemana jiwa-jiwa tidak stabil ini akan berlari, selain mengikuti kematian yang tak ditakdirkan?
Media sosial seperti facebook yang begitu digemari ini seharusnya bisa jadi lampu peringatan bagi mereka-mereka yang jiwanya kesepian. Teman media sosial tidak hanya kampanye selfie, traveling mahal, ke tempat kekinian, melainkan juga harus sedikit peduli dengan beranda-beranda yang penuh dengan curhatan, rasa tidak percaya diri, panik, ketakutan. Ketika dunia nyata tak bisa menjadi nyata bagi mereka yang memiliki niat bunuh diri, teman dunia maya bisa menyelamatkan dengan mengajaknya berdialog, berdiskusi, menasihati, bahkan melaporkan jika memang statusnya mengarah pada hal-hal negatif yang membahayakan dirinya.
Sejatinya facebook telah menyiapkan fitur ini. Facebook telah memperbarui alat pencegah bunuh diri miliknya dan sekarang membuat alat itu tersedia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Alat itu memungkinkan setiap orang memberi tanda bendera pada posting dari teman-teman yang mungkin berisiko untuk menyakiti diri atau bunuh diri. Ternyata, fitur canggih facebook tak mampu menyelamatkan pria bernama Indra itu. Apa alatnya tidak bekerja atau teman media sosialnya kurang peduli? Entahlah. Tapi yang jelas, perkara depresi, bunuh diri, dan keputusasaan memang bukanlah perkara yang remeh. Bahkan ketika anda mencoba mengetikkan kata “Suicide” di Google, maka urutan pertama hasil pencarian bukanlah penjelasan tentang bunuh diri, kisah-kisah tentang bunuh diri, atau apapun itu, melainkan sebuah kotak layanan National Suicide Prevention Lifeline (semacam lembaga pencegah bunuh diri), lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi, juga layanan konseling live chat yang bisa digunakan oleh siapapun itu yang sudah sangat depresi dan berniat ingin bunuh diri.
Banyak kasus bunuh diri bisa digagalkan karena netizen yang peduli. Di era show yang mementingkan kehebohan dan cenderung hoax seperti saat ini, sulit untuk membedakan apakah pengakuan atau upaya bunuh diri yang dilakukan seseorang serius atau sekedar perbuatan iseng belaka.
Namun, tindakan proaktif sejumlah pemirsa toh ternyata mampu menghentikan upaya bunuh diri lewat Facebook. Salah satunya yaitu kasus bunuh diri seorang model seksi di Hong Kong menyiarkan upayanya melakukan bunuh diri kepada para penonton di Facebook pada Senin malam, 16 Januari 2017. Ia memiliki sekitar 9.500 orang pengikut di situs jejaring sosial itu.
Ng Shuk Yi (28) tampak limbung dan ia membicarakan persoalan-persoalan pribadinya selama hampir 1 jam sebelum kemudian memanjat pagar pembatas suatu gudang di pinggir laut dan melompat. Wanita cantik yang juga dikenal dengan nama panggung Yo Yo tersebut adalah seorang model freelance untuk HKBC Media. Walaupun beberapa pengguna Facebook mencoba membujuknya, Ng bersikeras untuk mengakhiri hidupnya karena sedang menghadapi kesulitan. Ia mengaku “membenci dirinya sendiri.” Polisi, petugas pertahanan sipil, dan sejumlah rekannya bergegas menuju tempat kejadian di Kowloon tersebut. Setelah berhasil diselamatkan, Ng Shuk Yi meminta maaf dan mengaku lupa tentang apa yang telah terjadi. (Sumber Asia One). Ia berhasil diselamatkan dari upaya bunuh diri setelah ditarik keluar dari air oleh para anggota pemadam kebakaran dan dibawa ke rumah sakit.
Kali lain, Tak berselang lama setelah peristiwa bunuh diri live yang terjadi Jumat lalu, muncul juga kisah tentang seorang pengguna sosial dengan nama akun Usam yang menerima curhatan dari seorang kawannya yang juga ingin bunuh diri, dan beruntung, niatnya itu urung dilakukan setelah ia merasa mendapat support.
“Yang lu mungkin gatau waktu gw nelpon lu pertama kali itu kondisi gw gak jauh beda sama bapak-bapak kemaren. Kalo slm bapak itu siap dengan tali, gw siap dengan insulin sama spoit. Bedanya, gw beruntung karena somehow gw kepikiran nelpon lu. Kalo di titik itu gw gak dapet support sama sekali, gw juga entah gimana kabarnya sekarang.” Tulis si calon pelaku bunuh diri kepada Usam melalui chat.
Belajar dari kasus bunuh diri yang memprihatinkan ini, mungkin kita, para pengguna media sosial harus mulai berhenti nyinyir terhadap mereka yang suka mengumbar status galau atau bahkan menghujat. Mungkin, dunia maya adalah satu-satunya teman yang bisa membuatnya merasa memiliki tempat. Jangan pernah enggan untuk sekadar menyapa dan mengingatkan bahwa mereka yang memiliki masalah kejiwaan, mental, dan psikis, tidak sendiri. Ada teman dunia maya yang peduli dan bisa mencegah perilaku bunuh diri lebih banyak lagi.
Mengutip kalimat yang ada di website National Suicide Prevention Lifeline: “Everyone Plays A Role In Suicide Prevention”
Percayalah, bagian terburuk dari bunuh diri adalah si pelaku tidak hanya membunuh dirinya sendiri, melainkan ia juga membunuh keluarganya, kerabatnya, kawan-kawannya, juga orang-orang di sekitarnya. Ia membunuh bukan menggunakan pisau, pistol, atau tali gantungan. Ia membunuh dengan kisah keputusasaan dan penyesalan.
0 notes
Text
Sebuah Kecemburuan yang Tak Perlu
Tanya
Dear, redaktur junjungan, yang tidak lama lagi menjadi mantan
Salam sejahtera.
Di usia Mojok yang tidak lama lagi, siapa tahu curhatan sayalah yang beruntung, tidak hanya dibaca namun juga dijawab kesahnya.
Jadi gini, saya punya dua sahabat laki-laki, Angga dan Dani. Awal kuliah kami berteman, dari masih sama-sama jomblo, punya bribik’an, sampai mereka punya pacar. Saya dan dua sahabat saya itu terhitung terlalu akrab, saking akrabnya, bahkan saat mereka berdua habis mimpi basah, atau di depan kami ada mbak-mbak yang susunya kelihatan sampe bikin ngaceng pun, mereka tiada sungkan untuk mengungkapkan. Mulai dari guyonan, kesukaan, dan kebiasaan, kami bisa mentoleransi dan cocok untuk berkawan.
Semua terasa baik-baik saja, lancar jaya saja.
Sampai akhirnya pacar-pacar mereka mulai tidak nyaman dan tidak suka dengan kehadiran saya. Itu yang tidak kami bertiga sadari, bahwa kalau sudah punya pacar ya mustahil tetep bisa berteman dengan lawan jenis seenak nyocot di mojok. Kami mengira bahwa pacar dan sahabat bisa menjalin hubungan dengan baik.
Sejak mereka punya pacar pun, tentu saja waktu buat saya sudah berkurang. Cuma say hai setaun dua kali itu sudah bagus. Itu pun di acara natal. Saya sudah pernah dilabrak sama pacarnya Angga via SMS. Dan Angga sendiri bisanya cuma pasrah, “Dek Riris memang begitu. Jangan diambil hati, ya. Foto kita yang ramai-ramai di natal 2014 itu, Dek Ris bilang, susumu mepet-mepet ke aku, aneh banget kan, lha wong susumu aja tepos, kok” kata Angga. Kecemburuan perempuan memang sering tak masuk akal.
Kalau Dani, ya hampir mirip. Pernah saya sekali upload foto bertiga dengan caption yang sama sekali tidak ada unsur pemercik masalah, tiba-tiba Dani ngirim balik foto upload-an saya itu ke saya. “Kok cewekku iso oleh foto kui to? Jare instagrammu sudah di hack dan ganti baru? Kok cewekku ngerti?”
Kalau sudah begitu, Saya cuma bisa sambat dan ngelus dada.
Nah, barangkali Gus dan Cik punya saran yang membantu, kasi tahu ke saya, yes. Trims.
Jawab
Dear Novi yang baik dan cadas…
Ini adalah curhatan terakhir yang saya balas untuk rubrik Curhat Mojok sebelum nanti Mojok tutup tanggal 28 Maret. Berkali-kali, di curhat-curhat sebelumnya, saya selalu merasa memberikan nasihat yang sifatnya mungkin normatif, balasan yang sifatnya memang “sebaiknya” dilakukan.
Nah, di kesempatan pengakhiran ini, saya merasa punya kesempatan untuk memberikan nasihat yang mungkin benar-benar mewakili perasaan saya.
Begini, Novi…
Saya percaya, bahwa rasa cemburu adalah salah satu tanda cinta antar pasangan, justru berbahaya sebuah hubungan jika sama sekali tak ada rasa cemburu. Namun begitu, saya juga selalu percaya, bahwa pasangan yang selalu was-was terhadap kesetiaan pasangannya, adalah pasangan yang buruk dan tidak sehat bagi hubungan.
Bagaimanapun, salah satu fondasi paling vital dalam sebuah hubungan tentu adalah kepercayaan. Karenanya, ketika fondasi ini hilang, maka hubungan tersebut tentu punya risiko yang besar untuk runtuh, cepat atau lambat. Cemburu memang baik, namun ingat, segala yang baik itu jika berlebihan akan berubah menjadi tidak baik (aduuh, baik dan tidak baik, ini kok jadi sangat PPKN sekali ya?)
Salah satu jenis kecemburuan yang menurut saya sangat tidak baik pada seorang kekasih adalah kecemburuan kedekatan terhadap sahabat pasangannya.
Seorang kekasih selaiknya tak merusak hubungan pasangannya dengan sahabat-sahabatnya.
Nah, poin itu yang saya lihat pada pacarnya Angga dan Dani itu, kesemburuan yang ada pada pacar-pacar sahabat sampeyan itu saya pahami sebagai sebuah kecemburuan yang terlalu berlebihan. Sejenis kecemburuan yang sebenarnya tak perlu, kecemburuan yang menurut saya sudah layak untuk membuat si perasanya masuk dalam kategori pasangan yang buruk dan tidak sehat bagi hubungan.
Maka, seperti halnya sebuah penyakit, golongan pasangan yang seperti saya sebut tadi hanya pantas untuk diberi satu tindakan: Lawan!
Jadi, Novi…
Ini nasihat yang saya berikan kepada sampeyan. Tentu sampeyan bebas untuk mengikutinya atau tidak. Tapi saya mohon, untuk kali ini, sampeyan sebaiknya mengikutinya.
Saran saya adalah, Bikin pacar Angga dan Dani semakin cemburu. Jangan tanggung-tanggung. Biar tahu rasa sekalian.
Kalau ndilalah ketemu sama Angga dan Dani, Jangan segan-segan untuk berfoto bersama. Tak ada salahnya bukan? Toh selama ini kalian memang sudah dekat sejak lama. Jangan biarkan orang lain merusak kedekatan emosional persahabatan yang sudah kalian bangun sangat lama dengan berbagai pengalaman yang sudah sedemikian panjang.
Sudah foto barengnya? Oke, sekarang upload foto tersebut di facebook, twitter, atau instagram, atau malah ketiga-tiganya, kasih caption yang eye catching, usahakan agar pacar si Angga atau si Dani lihat betapa dekatnya kalian. Kalau perlu, tag sekalian si Angga atau si Dani.
Bagi sampeyan, atau bagi beberapa pembaca, mungkin ini hal yang jahat, tapi bukankah mencemburui kekasih secara membabi-buta juga merupakan tindakan yang tak kalah jahatnya? Dan sebagai orang yang punya jiwa welas asih yang minim, untuk urusan kejahatan berasmara seperti kasus sampeyan ini, maka kejahatan memang pantas jika harus dibalas dengan kejahatan pula.
Saya mengartikan ini bukan hanya untuk memberi pelajaran kepada pacar Angga dan Dani, tapi juga sebagai usaha untuk memberikan kode kepada sahabat-sahabat dekat sampeyan itu, bahwa punya kekasih yang terlalu pencemburu bukanlah opsi yang membahagiakan.
Yah, saya sih berharap, sampeyan segera berdoa agar Angga dan Dani putus sama pacarnya masing-masing. Bukan hanya agar hubungan persahabatan kalian kembali longgar dan tenteram, namun juga agar Angga dan Dani bisa agak melek matanya dan mencoba cari pacar yang lebih liberal lagi… Hahaha…
Ah, Asmara kok bisa kejam dan rumit begini ya…
0 notes
Text
Ayo Move On dari Mojok!
Pengumuman akan ditutupnya Mojok tempo hari membuat saya kaget, lebih kaget daripada melihat kemiripan antara Mamang Bruno Mars dengan Mas Didi Kempot. Saking kagetnya, pengumuman itu saya baca dengan tatapan kosong, mulut menganga, bahu melorot, dan tangan kanan yang bergeming dari tetikus.
Setelah berlama-lama-lama-lama kemudian, barulah rasa kaget itu berganti menjadi sedih dan nyesek yang teramat sangat.
Pertama, saya sedih karena menyadari bahwa nantinya akan kehilangan sumber bacaan yang mewakili perasaan, bacaan yang menghibur sekaligus mengingatkan, bacaan yang menggemaskan seperti menggemaskannya Claire Ryann, bacaan yang “berbeda” di tengah jenis bacaan yang itu-itu saja juga begitu-begitu saja, bacaan yang penuh hikmah (ini bacaan atau cobaan hidup?), dan lain sebagainya.
Kedua, saya juga sedih karena nantinya akan kehilangan salah satu kebiasaan pagi yang terbentuk begitu saja dari 1,5 tahun belakangan: nyalakan PC, buka Google chrome, buka email (cek sejenak), kemudian klik new tab di pinggir halaman email tersebut, ketik Mojok.co, klik artikel terbaru, dan… tinggalkan dulu ke toilet, kemudian mulai membacanya.
Namun, dari semua itu, yang paling membuat sedih adalah saya harus menerima kenyataan bahwa saya akan kehilangan salah satu sumber uang jajan (hellooow, bukan hanya tuan Krabs dan Dewan Kehormatan saja yang doyan duit).
Padahal, ya, kalau dipikir-pikir, uang jajan dari Mojok itu tidak seberapa. Paling hanya cukup untuk membeli beberapa kodi tahu bulat beserta penggorengannya, atau beberapa kresek garam beryodium. Tapi, entah kenapa dapat uang jajan dari situs web ini rasanya begitu membahagiakan, terutama kalau dapatnya di akhir bulan. Saking bahagianya, ingin rasanya saya teriakan pada si Mamang penjual tahu bulat: “Punteun mang beli tahu bulat lima rebu-eun belinya pake honor dari tulisan saya yang naik tayang di Mojok pada tanggal bla bla bla dibayar tunai!” dalam satu tarikan napas.
Kalau dapat uang jajan dari Mojok yang segitu saja sudah bahagia, tidak terbayangkan rasanya jika saya kecipratan uang bancakan e-KTP yang jumlahnya triliunan itu. Hmmm…
Ah, sudahlah… kembali pada obrolan seputar kesedihan.
Karena Mojok sudah dipastikan akan benar-benar tutup, maka bagaimana pun sedihnya, saya harus bisa menerima kenyataan dan mulai move on dari situs ini. Pojokan jiwa saya yang getas itu harus tetap diisi dengan sesuatu yang menghibur, sesuatu yang tidak itu-itu saja, sesuatu yang walaupun geje tapi bisa membuat bahagia. Pokoknya, saya bertekad apapun harus dilakukan untuk melupakan Mojok. Termasuk kembali aktif menonton ceramah mamah Dedeh hingga menonton serial Robocar Poli.
Bagi jamaah Mojokiyah yang juga merasa sedih karena akan kehilangan tongkrongannya, mending rajin-rajinlah menghibur diri. Toh, di Endonesa ini kita tidak akan sulit mencari hiburan. Ya, meskipun hiburan cerdas ala Mojok yang senang me-Mojok-kan umat akan sulit kita dapatkan gantinya.
Misalnya, tak ada salahnya kita tingkatkan intensitas kunjungan ke laman-laman atau fan page meme. Lumayan, di sana kita bisa tertawa ringan. Selain itu, kita juga bisa tahu kejadian apa yang sedang hangat dibincangkan, karena berita macam itu umumnya akan berakhir menjadi sebuah meme. Bahkan, saya kerap tahu suatu berita setelah meme-nya viral duluan (efek maleus baca berita).
Atau, sering-seringlah menghibur diri dengan menonton video-video dari laman yang memuat konten masakan, semacam Tasty, Cooking Panda, Delish, Bring Me, Goodful, dan sejenisnya. Irisan daging panggang, tarikan keju mozzarella, atau lelehan cokelat dan karamel dalam video-video di laman tersebut insya Allah akan mampu menghibur Anda, minimal bagian perut.
Namun, jika setelah menontonnya Anda malah jadi ingin makan prime rib with garlic butter, cheesy pull-apart bread, cheesy meatball bake, cheesy potato casserole, chocolate mousse cheesecake, atau jadi kepingin makan lotek pakai keju mozzarella, jangan coba-coba salahkan saya.
Kalau pun bosan internetan, Anda juga bisa menghibur diri dengan menonton Doraemon the Movie atau film-film produksi Pixar dan Disney – yang subhanallah entah sudah berapa puluh kali diulang – seperti Toy Story, Cars, Up, Finding Nemo, Tangled, Brave, dan lain sebagainya.
Duh, saya kok jadi lupa kalau jamaah Mojokiyah, eh jamaah #GoodbyeMojokiyah ini kan sudah pada “berumur”, ya. Tidak mungkin tontonannya kartun unyu macam begitu. Anak-anak saja tontonannya sudah sinetron, apalagi Anda.
Ah, yasudahlah. Pokoknya, mari kita menghibur diri, katakan #GoodbyeMojok, dan perlahan move on dari situs web pikasebeleun ini. Saya sudah bertanya sama kerang ajaib, apakah Mojok memang harus ditutup, dan jawabannya tetap saja sama: Ya, harus ditutup.
Ah, Puja kerang ajaib. Ululululululu!
0 notes
Text
Abah Hasyim dan Kelakarnya
Rasanya tak pernah ada langit yang lebih mendung ketimbang langit yang hadir di hari berpulangnya seorang alim ulama. Dan betapa pilu, langit mendung itu hadir hari ini. Salah seorang alim ulama berpulang: KH. Ahmad Hasyim Muzadi.
Abah Hasyim, demikian kami para santri di Al Hikam Malang biasa memanggil beliau, adalah sosok ulama sekaligus negarawan yang rasanya tak pernah bosan mengkampanyekan moderasi Islam yang penuh kedamaian melalui Manhaj Ahlussunah Wal Jamaah yang dikembangkan NU di masa dua periode kepemimpinannya. Ia meneruskan estafet kepemimpinan NU pasca Gus Dur setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU di arena Muktamar NU ke 30 di Ponpes Lirboyo Kediri tahun 1999.
Nahdlatul Ulama yang didirikan Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asyari tumbuh menjadi jangkar yang tangguh bagi peradaban pribumisasi nilai-nilai keislaman nusantara. Jika Mbah Hasyim Asyari adalah peletak dasar nilai-nilai NU, maka Abah Hasyim Muzadi boleh dibilang adalah adalah figur yang menata organisasi NU secara sistemik dari tingkat ranting hingga pusat. Kedua Hasyim ini bisa dipandang sebagai ideolog (Mbah Hasyim Asyari) dan organisator (Abah Hasyim Muzadi) di jantung struktural Nahdlatul Ulama.
Abah Hasyim merintis jejak perjuangan dan menggerakkan NU dari tingkat paling bawah. Selepas menjadi ketua PMII cabang Malang tahun 1966, ia menjabat ketua PAC GP Ansor Bululawang Malang tahun 1967, lalu kemudian menjadi ketua Ranting NU Bululawang Malang. Kecemerlangan karir ke-NU-anya terus berlanjut, hingga di tahun 1992, ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang kelak kemudian mengantarnya menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Perjumpaan pertama saya dengan beliau terjadi di bulan Agustus tahun 2000, sesaat setelah peneriman santri baru Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. Ia menyalami satu per satu ratusan santri baru di masjid Al Ghazali di komplek pesantren pada suatu malam selepas salat maghrib berjamaah. Sambutannya begitu hangat dan bersahaja di tengah-tengah kesibukannya menahkodai PBNU dan situasi politik nasional yang tak menentu di fase awal transisi demokrasi Indonesia. “Abah tentu tak bisa setiap hari ngurusi pondok, Abah akan banyak tersita waktunya di Jakarta ngurusi NU dan hanya pulang ke Malang tiap akhir pekan” ujarnya kala itu saat memberikan sambutan.
Di kalangan anak-anak muda NU, sosok Abah Hasyim dikenal sebagai ulama yang hangat, ngemong, mengayomi, serta cakap merangkul lintas generasi dan mampu mengimbangi pergumulan sosial berbagai kalangan. Di Ponpes Al Hikam Malang, setiap akhir pekan selepas ia menggawangi kantor PBNU di Jakarta dari hari senin-jumat, Abah Hasyim menyediakan waktunya untuk mengasuh pesantren dan melayani tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah di rumah pribadinya yang terletak di dalam komplek pesantren. Abah juga kerap bergaul dengan para santri dan aktivis-aktivis muda NU yang datang hingga larut malam untuk berdiskusi seputar kebangsaan, NU, dan acapkali membahas situasi politik nasional dan positioning NU dalam menyikapinya.
Seperti lumrahnya kiai NU, Abah Hasyim adalah sosok yang selalu mampu menyampaikan hal-hal subtantif dengan balutan ilmu dan humor. Maka tak heran jika dalam berbagai kesempatan, Abah sering melempar kelakar terhadap lawan-lawan bicara maupun diskusinya. Terlebih jika berhadapan dengan kaum muda NU.
Abah, misalnya, pernah menyindir kebiasaan baru anak-anak muda NU yang datang ke rumahnya dengan menenteng banyak perangkat gadget. “Anak-anak muda NU entah itu PMII atau Ansor sekarang hebat-hebat. Punya dua HP tapi tak bisa beli pulsa. Bolak-balik hanya missed call agar ditelepon balik.”
Lain waktu, ketika berdiskusi dengan anak-anak muda NU, Abah mengomentari fenomena banyaknya anak-anak muda NU yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Timur Tengah. “Senang sekali banyak anak-anak muda NU yang sekarang belajar ke Saudi. Sayangnya kalau pulang tak jadi ulama tapi berbisnis travel Umrah.” ujarnya penuh canda.
Hal yang paling saya kenang soal kelakar Abah tentu saja adalah kelakar nakalnya terhadap beberapa pengurus PMII Malang. Peristiwa ini bermula saat A. Malik Haramain terpilih sebagai ketua umum PB PMII di kongres Kutai Kartanegara tahun 2003, saat itu, beberapa pengurus PMII Cabang Malang menghadap KH. Hasyim Muzadi untuk melaporkan terpilihnya kader PMII Malang untuk pertama kalinya sebagai Ketua Umum dalam sepanjang sejarah perjalanan PMII berdiri.
Ketua cabang Malang menceritakan bagaimana perjalanan sepanjang Malang hingga Kutai dengan menumpang kapal laut yang melelahkan akhirnya terbayar dengan kemenangan sahabat Malik.
Kyai Hasyim lantas berucap “Saya ini dari pesawat selepas pulang dari Kutai juga sempat berpapasan dengan rombongan sampean di kapal, saya dadah-dadah (melambaikan tangan) dari jendela pesawat, sampean saja yang tidak memperhatikan ke atas.” Dan ketua cabang PMII Malang tersebut hanya bisa melongo mendengar penjelasan Kyai Hasyim.
Seperti jamak dalam tradisi kultural NU, baik di pesantren atau di kalangan Nahdliyin, kelakar dan humor khas kaum sarungan memang selalu menjadi bahan cerita sehari-hari yang melingkupi kehidupan Abah Hasyim. Di kalangan para kiai NU, Abah Hasyim (dan juga Gus Dur, tentu saja) dikenal sebagai kiai gudangnya cerita humor dan banyolan khas NU. Banyak kiai NU yang kalau berceramah kulakan cerita humor dan kelakar pesantren dari keduanya.
Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) pernah berkisah dalam suatu kesempatan saat mengisi diskusi bulanan di Ponpes Al Hikam Malang tentang kedua tokoh NU yang gemar bertukar banyolan dan kulakan cerita humor itu. Gus Mus mengisahkan salah satu nostalgia saat keduanya tukar-menukar guyonan. Jika bercerita lucu, Abah Hasyim biasanya meyakinkan lawan bicaranya dengan menyebut nama orang berikut jabatannya di kepengurusan NU. Suatu ketika, Gus Dur penasaran dan iseng mengecek kebenaran cerita-cerita itu pada KH. Muchit Muzadi (kakak kandung Abah Hasyim). Sambil berseloroh, Mbah Muchit menjawab, “Sampeyan ini kayak nggak kenal Hasyim saja. Semua haditsnya, kalau enggak dhaif ya maudhu.”
Oleh Gus Dur, kelakar ini diomongkan kepada Abah Hasyim. Tapi dasar Abah Hasyim, Ia malah membalas kelakar itu dengan olok-olok yang tak kalah cerdik, “Ah, sampeyan ini kayak nggak kenal kakak saya saja. Dia itu memang ingkarus sunnah.”
Ah, Kini, Abah yang suka ngemong dan berkelakar itu telah usai menunaikan perjalanannya di dunia. Ia telah kembali menuju alam yang damai. Mungkin di sana, Ia dipertemukan kembali dengan Gus Dur. Meriung dan bersulang kopi sambil terkekeh riang gembira melepas rindu. Menjadi sumber kulakan humor para malaikat yang mungkin iri dengan para santri NU.
Selamat berpulang Abah, damai dan tetap bergembira selalu di sana.
(Ditulis di sembari memantau layar kaca tayangan langsung prosesi pemakamam KH. Ahmad Hasyim Muzadi di kompek Pondok Pesantren Al Hikam 2 Depok)
0 notes