#Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti
Explore tagged Tumblr posts
Text
Ahli Feng Shui Surabaya 0812-1212-2827 Imperial Feng Shui
Merubah nasib dan meningkatkan hoki tanpa merubah struktur bangunan dengan Imperial Feng Shui 0812-1212-2827
Merubah nasib dan meningkatkan hoki tanpa merubah struktur bangunan dengan Imperial Feng Shui
Meningkatkan Keberuntungan dengan Imperial Feng Shui: Apa yang Perlu Anda Ketahui?
Setiap orang memiliki potensi untuk membentuk keberuntungan mereka sendiri, dan salah satu pendekatan yang efektif adalah melalui penerapan Feng Shui.
Feng Shui adalah ilmu kuno yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ilmu ini mulai dikenal sekitar abad ke-3 hingga ke-4 Masehi di China. Di bawah pemerintahan Kaisar Qian Long pada masa Dinasti Qing, Feng Shui berkembang pesat dan pengaruhnya semakin meluas.
Pada masa itu, ditemukan pentingnya memanfaatkan sumber daya alam seperti batu giok, kristal gaharu, dan kayu cendana. Elemen-elemen ini diyakini dapat meningkatkan energi positif, yang pada gilirannya dapat membawa keberuntungan dan meningkatkan kesejahteraan.
Feng Shui berfungsi untuk mengaktifkan energi positif baik dalam properti maupun dalam diri seseorang. Ketika energi positif ini diaktifkan, hasilnya adalah kehidupan yang harmonis, sejahtera, sehat, dan bahagia.
Menurut Rezza Anggara, seorang konsultan Feng Shui, pengaruh Feng Shui dalam kehidupan sehari-hari sangatlah nyata. Sebelumnya, Rezza adalah seorang pelatih kehidupan dan merasa ada sesuatu yang kurang dalam pendekatannya. Ia kemudian menemukan jawabannya dalam studi Feng Shui.
"Saya menemukan bagian yang hilang dalam materi transformasi kehidupan saat mempelajari Feng Shui," jelasnya.
Rezza juga membedakan antara Classical Feng Shui dan Imperial Feng Shui. Dalam Classical Feng Shui, perubahan struktur bangunan seperti rumah, kantor, atau pabrik sering kali diperlukan untuk memperbaiki energi yang buruk. Sementara itu, Imperial Feng Shui memungkinkan perubahan dalam nasib dan kesehatan seseorang tanpa perlu mengubah struktur bangunan secara fisik.
Kedua pendekatan ini memiliki periode masing-masing yang berbeda. Setiap periode memiliki durasi yang unik, yang menjadi perbedaan mendasar antara Classical dan Imperial Feng Shui. Classical Feng Shui biasanya memerlukan renovasi pada properti setiap 20 tahun sekali untuk menyesuaikan dengan siklus energi. Di sisi lain, Imperial Feng Shui tidak memerlukan perubahan struktural yang sering, menjadikannya sebagai investasi jangka panjang.
Rezza Anggara menegaskan bahwa jika properti tidak diperbaharui sesuai siklus Feng Shui, maka properti tersebut akan terlihat usang dan kurang terawat. Masa puncak sebuah properti biasanya berlangsung selama 20 tahun, setelah itu perlu dilakukan pembaruan agar tetap menarik dan mengundang energi positif.
"Setiap properti memiliki masa kejayaan sekitar 20 tahun. Oleh karena itu, penting untuk melakukan renovasi seperti mengganti pintu atau atap agar sesuai dengan periode Feng Shui. Karena itu, ada orang yang dulunya kaya, namun setelah pensiun kekayaannya berkurang. Sebaliknya, ada juga yang terus makmur dan semakin kaya," tutupnya.
Book jadwal konsultasi 0812-1212-2827
Kunjungi galeri feng shui kami di Tokopedia Tower Lt 22 Unit F
Jl. Prof. Dr. Satrio Kav 11, kuningan, jakarta Selatan Tangsel 12930
https://www.instagram.com/anggaratreasures
pencarian terkait:
Konsultan feng shui surabaya
Pakar feng shui surabaya
Jasa feng shui rumah surabaya
Jasa feng shui tempat usaha surabaya
Ahli bazi surabaya
Jasa baca bazi surabaya
0 notes
Text
Tetap menjadi seorang anak kecil
Kapan ya saya dapat mengambil keputusan sendiri?
Selalu saja harus mengikuti apa yg diinginkan oleh ibu saya.
Saya sudah menikah pun, masih saja di atur ini dan itu. Dengan alasan "orang tua lebih tau apa yang terbaik".
Suami saya akan mengambil sekolah S2 keluar Bandung, ada 3 pilihan kota yaitu Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung.
Pilihan utama itu Surabaya, karena memang kantor pusat suami di sana dan kerjaan lebih banyak di pusat dibanding sekarang di Bandung. Dan alasan lain nya kita sudah merasa lingkungan sekitar sudah menjadi toxic untuk kita pribadi, terutama di keluarga kita masing-masing.
Ketika saya cerita ke keluarga saya awalnya mereka mendukung dan respon nya baik, tapi semakin kesini dan semakin mendekati kepindahan saya dan suami saya, seperti seolah-olah kita jangan pergi terlalu lama dan cukup selesaikan sekolah dan kembali lagi ke Bandung.
Sampai suatu waktu ketika ada obrolan tentang pendaftaran kampus S2 suami saya di Jogja atau Surabaya, ibu saya langsung bilang "Sudah di jogja saja, biar kita ga terlalu jauh kalo mau nengok. Ke Surabaya mah jauh banget".
Saya langsung membantah dengan "Ya terserah aja dong, kan yang mau sekolah siapa" dan ibuku menjawab "Iya sih sok aja bebas, tapi yaa kalo bisa mah di jogja aja biar ga terlalu jauh".
Satu sisi saya mengerti, mungkin mereka khawatir akan saya yang hidup jauh di kota orang dan dirumah tersisa ibu, ayah dan adik saya saja dan mungkin khawatir jika mereka sakit atau ada apa-apa tidak ada anak. Tapi di sisi lain, saya pun ingin hidup mandiri. Saya ingin terlepas dari orang tua saya yang mengatur saya dan rumah tangga saya. Saya ingin hidup sebagai seorang istri yang murni menjadi diri saya sendiri.
Saya ingin memperbaiki diri saya sebagai istri untuk suami saya, karena selama 3 tahun pernikahan ini saya dan suami fokus akan pekerjaan masing-masing. Terkadang ada lalai nya, karena kesibukan kerja. Saya ingin fokus promil, karena saat kerja ini pasti ada stress dari tuntutan pekerjaan, lelah perjalanan dari rumah menuju kantor dan hal lain nya. Dan bercermin kepada teman-teman saya yang mereka resign demi promil dan ternyata berhasil. Mau melakukan apapun ragu dan tidak percaya diri kadang suka berfikir "Kalo mamah tau gimana ya? Aku boleh ga ya kalo mau kaya gini? Bakal marah ga ya kalo aku melakukan seperti ini?".
Padahal saya sudah dewasa dan saya sudah menikah, saya bisa bertanggung jawab dengan pilihan saya sendiri. Selama pernikahan ini saya tidak pernah mengeluh akan kondisi ekonomi & kondisi rumah tangga saya ke keluarga saya.
Ibu saya ingin saya kerja terus karna katanya perempuan harus punya penghasilan sendiri. Betul saya setuju, tapi saya punya cara saya sendiri untuk mendapatkan penghasilan. Ketika nanti pindah pun saya harus mencari kerja, karna katanya "ahh ngapain jadi ibu rumah tangga bosen di rumah terus". Lalu, sampai saya nanti akan mengajukan resign pun katanya saya harus bilang ke atasan saya kalo nanti saya kembali lagi ke bandung saya masih bisa bekerja disini kembali. Padahal sejujurnya saya ingin fokus terhadap keluarga saya sendiri.
Kehidupan rumah tangga pun turut ikut campur. Ditanya tau gaji suami berapa ga, tau dia kasih ke saya dan ke keluarga nya berapa ga, seberapa transparan antara saya dan suami. Menurut saya itu privasi saya bersama suami walaupun itu orang tua saya yang bertanya. Padahal saya tidak pernah mengeluh akan kondisi ekonomi rumah tangga saya dan saya tidak pernah meminta atau pun meminjam ke orang tua saya untuk kebutuhan rumah tangga saya.
Kami harus menabung, kami harus mempunyai rumah di komplek, harus membeli mobil sedan saja, harus mempunyai investasi dll. Yang sesuai dengan ekspektasi beliau.
Saya ingin terlepas dari itu semua. Saya ingin menjadi diri saya sendiri. Saya ingin melakukan yang ingin saya lakukan bersama suami saya. Saya bisa bertanggung jawab akan pilihan hidup saya. Saya ingin mempunyai keluarga yang sesuai dengan visi misi saya dan suami. Saya tau dan mengerti kewajiban saya kepada orang tua saya.
Ya allah kadang saya cape harus ngikutin keinginan dan ekspektasi orang tua saya. Terkadang saya ingin melakukan apa yang saya lakukan tapi saya harus mengikuti apa yg orang tua saya bilang.
1 note
·
View note
Text
privileges
“Untuk sampai pada takdir, Allah menciptakan sunnatullah bagi manusia”
Demikian yang ditulis syaikh Ash Shallabi ketika beliau membahas masalah takdir.
“Lalu apakah tanpa melalui sunnatullah manusia bisa mendapatkan takdir-Nya?“
“Bisa kalau Allah berkehendak“
“Tapi selama ini tidak ada uang yang langsung turun dari langit“
“Masih ingat kitab Aqidatul Awwam tentang 20 sifat Allah? Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa salah satu sifat Allah adalah Iradat. Maha Berkehendak. Tidak pernah ada uang yang langsung turun dari langit bukan berarti Allah tidak berkuasa untuk memberikan hal tersebut kepada kita. Tapi sudah kehendaknya, untuk berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain, kita perlu melewati sunnatullah“
Sunnatullah kadang kita sebut sebagai hukum alam. Termasuk di dalamnya adalah keteraturan alam dan seisinya. Juga hukum sebab akibat. Yang paling sering kita dengarkan adalah:
“Untuk mendapatkan rezeki, kita harus berusaha“
Keteraturan, sunnatullah sangat dibutuhkan oleh manusia. Tanpa hal tersebut, manusia akan sulit menjalani hidup. Sunnatullah juga menjadi sarana kita untuk belajar, untuk menemukan ladang amal di setiap usaha-usaha kita.
Kita bisa menjadi pemimpin yang baik setelah naik dari anak tangga paling bawah. Setiap proses ikhtiar, selain membuahkan hasil, ia juga meninggalkan ilmu di kepala kita tentang bidang-bidang yang telah lama kita geluti.
“Dari sini kamu perlu mengingat bahwa setiap achievement yang kamu dapatkan, sekalipun ada keringatmu di dalamnya, pasti ada pengaturan Allah di dalam-Nya“
“Kamu mau nyindir perkara privileges, Tang?”
“Enggak Fin. Aku ngakuin, kamu pinter dan punya semua kapasitas buat jadi pengusaha sukses seperti sekarang ini”
“Yang nggak bakal bisa dicapai kalo ortuku nggak modalin aku kuliah ke NUS?“
“Enggak Fin. Kamu kenapa sih kalo ngobrol sama aku curigaan mulu. Jangan bilang kamu punya jiwa kompetitif hwkwk“
“Kadang privileges dari orang yang tidak punya privileges adalah bisa mengecilkan pencapaian orang-orang privileges meskipun itu dicapai dengan berdarah-darah hhaa”
“Bagian mananya? Aku ngecilin sebelah mana”
“Stop ya Tang wkwk. Gue selalu pusing tiap lihat lo ketemu Alfin. Udah pada tua juga masih aja ga berubah. Satu suka debat. Satu suka ceramah“
Privileges
Seperti air yang mengalir jernih. Mungkin itu cara yang tepat untuk melukiskan Bintang dan Cakra. Sesering apapun saya berdebat dengan Bintang tentang banyak hal, dalam hati saya sebenarnya mengakui bahwa saya butuh orang-orang seperti dia untuk kembali ke jalan yang lurus.
Sunnatullah, privileges.
Alfin tidak akan menjadi Alfin yang sekarang, tanpa ikhtiar, tanpa pengalaman hidup, tanpa pendidikan yang layak.
“Wajarlah Fin, kamu kaya. Bisa ngomong kayak gitu”
Privileges dari orang yang tidak punya privileges adalah bisa mengecilkan pencapaian orang-orang privileges meskipun itu dicapai dengan berdarah-darah hhaa.
“Kamu marah nggak Fin kalo misal ada orang yang bilang gitu ke kamu?”
“Bilang gimana?“
“Ya elo kaya, kalo ga sampe sana, elo yang bego“
“Wkwkwk“
“Malah ketawa“
“Kalo umurku 17 mungkin gitu ya Min“
“Emang kalo dewasa ga boleh marah untuk hal-hal seperti itu?”
Been there. Saya pernah marah ketika orang-orang mengecilkan pencapaian saya dengan dalih privileges. Padahal mereka tidak pernah tahu prosesnya. Bagaimana saya bekerja keras untuk bisa sekolah sewaktu SMP dan SMA.
“Kan kamu anak orang kaya Fin“
Yang kaya Papa saya. Orang tua saya berpisah sewaktu saya masih SD. Papa bangkrut dan menghilang. Saya baru bertemu dengan Papa sewaktu kuliah. Beliau yang langsung meminta saya pindah dari Surabaya ke Singapura.
Ini bukan kisah hidup yang perlu kamu ambil inspirasinya. Juga bukan pameran bahwa saya dulu juga pernah hidup susah. Well, i’m privileged. Uang yang dimiliki ayah saya cukup untuk menyekolahkan saya di luar negeri, belajar dengan fokus dan lulus dengan baik. Pengalaman menjalani masa-masa sulit ketika SMA membuat saya menjadi tangguh.
Saya bertumbuh dari anak manja berubah menjadi remaja yang pikirannya terus berpikir bagaimana cara menghasilkan uang. Lalu menjadi orang yang ketakutan dan merasa bersalah setiap kali menganggur karena bagi saya, waktu adalah uang. Kemudian kembali pada kesadaran bahwa hidup itu bukan perkara pengakuan atau achievement.
Tidak semua hal butuh tepuk tangan.
Sunnatullah, achievement.
“Setiap orang dimudahkan untuk menuju sesuatu yang menjadi takdirNya“
Mungkin segala macam kesulitan di masa lalu dan segala macam kemudahan hari ini hanyalah cara Allah untuk membentuk Alfin yang hari ini.
“Mungkin kemudahan hari ini adalah hadiah dari segala kerja keras di masa lalu?“
“Wallahu a’lam“
Sunnatullah mengandung sebab akibat. Tapi dalam semesta-Nya yang Maha Luas, saya yakin perhitungan takdir tidak sesederhana itu.
Ada achievement yang bisa kita capai dengan effortless. Sementara ada orang lain yang tidak bisa mencapai achievement sekalipun dengan berdarah-darah. Ada orang yang dengan duduk saja bisa menghasilkan uang 200 juta per hari. Ada yang banting tulang 15 jam dan hanya menghasilkan kurang dari 100 ribu.
Terasa timpang dan tidak adil.
“Terasa timpang dan tidak adil. Apakah Allah tidak adil?“
“Pemahaman baru tentang sebuah konsep akan merubah sudut pandang kita pada sesuatu. Tentang rezeki, sejauh ini konsep yang kita gunakan masih tentang materi yang kita capai, achievement apa yang kita dapat, siapa pasangan kita, anak kita ada beberapa tralala trilili...
“Klise nggak sih kalo akhirnya kita bikin kalimat penghibur, nggak apa-apa kamu punya duit dikit asal kamu jadi orang baik?”
“Aku belum selesai kali Fin”
“Ya biasanya kan gitu nasihatnya Cak. Jangan lihat semua dari sisi materi”
“Manusia itu khalifah di muka bumi. Dalam kata khalifah mengandung makna bahwa kita bertanggung jawab atas kehidupan makhluk Allah di muka bumi. Mungkin kita perlu sejenak melepaskan hubungan antara rezeki dengan ikhtiar lalu beralih pada sudut pandang tentang privileges dan manfaatnya. Kamu pernah ngerasa beban kalo ada yang bilang semua yang kamu capai itu karena privileges?”
“Dulu. Sekarang enggak. Toh privileges juga bukan aib dan hidup juga bukan buat pamer tentang usaha siapa yang paling besar“
“Mungkin memang Allah ngasih kamu kelebihan dari sisi materi karena kamu mampu mengelola itu. Yha aku ga nyuruh kamu buat mendadak jadi philanthropist sih Fin. Tapi selama ini toh dengan kerja di tempat kamu, si Iman bisa lanjut sekolah. Aku bisa membiayai pengobatan ibu tanpa perlu kerja di luar negeri dan mungkin banyak pegawai lain yang tertunaikan haknya. Hak dasar manusia itu hidup dengan layak, bisa sekolah, punya ruang hidup yang sehat. Mungkin kalau orang-orang yang punya privileges memahami privilegesnya dan bisa menggunakan hal tersebut dengan baik, orang-orang lain yang belum tertunaikan haknya bisa sangat terbantu”
Mungkin memang begitu. Privileges ada untuk dimanfaatkan. Bukan sekedar dipamerkan apalagi dianggap aib. Kita seringkali merasa kurang ketika orang lain mengecilkan kita. Padahal ya perkataan orang lain sebenernya tidak merubah kualitas kita sama sekali.
Cakra dan Bintang tidak sekaya saya. Ayah Cakra dan Bintang sama-sama PNS. Cakra harus menjadi kepala keluarga sejak SMA. Dan hari ini masih harus berjuang membiayai pengobatan ibunya dan sekolah adik-adiknya. Bintang tidak punya tanggungan itu sehingga dia bisa berkelana kemanapun dia mau. Menjadi relawan. Menjadi jurnalis.
Dua orang yang saya kagumi. Masa kecil mereka mewah dengan ilmu. Pemahaman agama mereka dalam. Seperti air jernih. Hanya saja Bintang dengan kehidupan keras ibu kota menjadi sedikit menyebalkan, judgemental dan suka ceramah. Sementara Cakra yang terbiasa menggantikan peran ayah untuk adik-adiknya menjadi lembut, penuh perhatian meskipun juga sama-sama tukang ceramah hha.
Priviliges mereka bukan harta tapi ilmu. Dan privileges buat Cakra adalah keluarga yang hangat, mungkin itu yang membuat kalimat-kalimat dari Cakra menenangkan. Sama cerdasnya dengan Bintang. Hanya saja yang satu memancing adu argumen sementara Cakra membuat saya mau tidak mau tertunduk takzim, terlepas dari setuju atau tidaknya saya dengan pendapat dia.
Mungkin memang benar. Privileges kadang perlu kita gunakan untuk memenuhi hak orang lain yang belum tertunaikan.
“Ya kalo ngomong dari sisiku sih enak Cak. Aku privileged. Punya duit. Jadi gampang banget memproduksi kata mutiara. Lha gimana kalo yang less privileged ini ngerasa kalo Allah itu nggak adil?“
Cakra mengedikkan bahu.
“Aku juga bingung wkwk”
Saya sebenarnya berharap Cakra menjawab bahwa jangan sampai kita terjebak pada sudut pandang yang menjadikan achievement dan harta sebagai tujuan hidup.
Achievement itu menurut saya bagian dari proses. Karena terkadang lewat achievement ini kita bisa mengukur bagaimana kualitas kerja-kerja kita. Hanya saja, dia bukan tujuan.
Semakin hari manusia semakin dekat dengan kematian. Teringat kata Abi Quraish Shihab bahwa kematian adalah nikmat jika kita mempersiapkan dengan benar.
Ada orang-orang yang sekalipun bekerja keras selama 24 jam nggak akan bisa menyamai pencapaian saya dalam 1 jam kerja saja. Apakah saya sudah pasti lebih baik dari mereka? Tidak.
Apakah saya pasti lebih bahagia dari mereka?
“Yang punya duit aja belum tentu bahagia Fin. Apalagi yang enggak wkwk“
“Tapi si Iman kere bahagia-bahagia aja, Nad”
“Sialan, mas Alfin kenapa bawa-bawa aku sih“
Mungkin dengan segala modal yang saya punya, si Iman nggak akan bisa menyamai pencapaian saya sampai kapanpun. Tapi apakah tolak ukur sukses si Iman harus menjadi sama dengan saya?
“Bermegah – megah telah melalaikan kalian. Sampai kalian masuk kedalam kabur”
At Takaatsur 2
“Man?”
“Iya Mas?“
“Definisi sukses buat kamu apa?“
“Aku sih yang penting lulus kuliah tepat waktu. Abis itu kerja sesuai bidang dan nyari gaji yang gedhe biar bisa bantu sekolah adek”
“Emang kamu expect gaji berapa?”
“5 sampe 7.5 kali mas wkwk”
“Nggak pengen punya penghasilan 20 juta ke atas?“
“Pengen sih Mas. Mas Alfin nawarin kerjaan di kantornya mas Alfin? Wkwkwk“
“Enggak. Aku nanya doang“
“Aku eligible ga sih Mas? Biar ga jadi waitress mulu“
“Kalo kamu cukup pinter sih bisa. Tapi kamu masih belum pinter :p“
*
“Kamu butuh uang berapa Fin?”
“.......“
“Kamu bisa janjiin revenue berapa ke Papa?“
“........“
“100 juta dalam 6 bulan?”
“Aku kuliah aja kalo gitu Pa. Masih ragu sama kemampuanku sendiri”
“Ke Singapore ya, biar bisa tinggal sama Papa”
*
What a privelege
*
Jadi tulisan ini cuma buat pamer privilege?
Enggak. Saya sebenarnya sedang overthink ngelihat Cakra yang menanggung beban keluarganya tapi enggan dibantu.
“Kalo kayak gitu, kapan kayanya coba?“
“Mungkin Cakra memang nggak butuh kaya. Toh tolak ukur kesuksesan hidupnya dia kalo dia sudah bisa mendidik adik-adiknya dengan baik“
“Tapi sebagai temen, aku ngerasa bersalah Tang“
“Hargai keputusan dia“
Pada akhirnya, semua orang berjalan menuju Allah. Harta dan segala macam penghargaan di dunia tidak akan berguna di akhirat jika ia tidak menghasilkan amal shalih.
Rezeki itu amanah. Bukan sepenuhnya hak milik. Kebahagiaan dan kesedihan letaknya ada di mana aja. Kita bisa bahagia saat miskin atau kaya begitupun sebaliknya.
“Tapi masih lebih enak nangis di Kafe mahal daripada nangis di rumah yang atapnya asbes, Fin“
“Bahagia bareng keluarga di rumah sederhana lebih nyaman daripada harus depresi di hotel bintang 5. That’s life, Nadia. Semua ada jatahnya“
“Hmmm....”
“Iya, gue kaya makanya enak ngomong kayak gini“
“Wkwk...kamu bener kok Fin. Mungkin hidup emang bukan melulu perkara uang“
“Realistisnya, manusia memang harus nyari duit biar hidup berkecukupan, ga minta-minta dan bisa tenang tanpa mikir besok makan apa. Nah, batas cukup ini yang tiap orang beda-beda. Makanya aku makan maksimal 50 ribu sekali makan. Biar ga kemaruk kalo duit lagi banyak”
“Itu karena kamu aja yang pelit, Steve“
“Aku nggak pelit yo. Cuman ga mau naikin gaya hidup aja biar duit ga habis buat foya-foya. Jangan sampe lah penghasilan 1 digit tapi lifestyle 2 digit. Kadang itu yang bikin hidup kerasa ga adil wkwk. Hidupnya kita ga sesuai jatah. Akhirnya hidup dipake mikir duit mulu buat mensuplai gaya hidup yang terlalu tinggi”
....
“Jangan terlalu mengkhawatirkan Cakra. Cakra itu pinter, tanggung jawab, sholeh. Allah pasti sayang sama dia dan semuanya akan terlewat“
“Husband material kamu banget ya?”
“Nggak usah lari ke arah sana. Ntar kamu insecure“
“.....”
78 notes
·
View notes
Text
Fenomena #CrazyRichSurabayan, Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti di Film
Juwita Lala Fenomena #CrazyRichSurabayan, Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti di Film Baru Nih Artikel Tentang Fenomena #CrazyRichSurabayan, Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti di Film Pencarian Artikel Tentang Berita Fenomena #CrazyRichSurabayan, Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti di Film Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Fenomena #CrazyRichSurabayan, Sisi Lain Kehidupan Orang Kaya Surabaya Yang Tidak Seperti di Film Jika meng-klik tagar tersebut, cuitan mengenai bagiamana kehidupan unik para konglomerat Surabaya akan Anda temukan http://www.unikbaca.com
0 notes
Text
Gugatan Kepada Pelajaran Sejarah
"Hwaa... Sing tak pelajari ora ono sing metu!" begitulah ratap tangis salah seorang siswa kelas XII SMA yang baru saja mengerjakan USBN Sejarah. Saya sih mesem aja. Soal mata pelajaran sejarah dari dulu memang begitu. Gak pernah berubah. Masih mending sekarang namanya Sejarah Indonesia. Dulu, namanya cuma mata pelajaran Sejarah, tapi ga pernah bahas Zaman Pertengahan, Revolusi Industri, dan Perang Dingin. Paling bagus cuma take-on G30S aja yang sekarang dikasi berbagai versi sudut pandang. Pelajaran Sejarah di Indonesia ini bukan edukasi, menurutku.
Pertama, pelajaran Sejarah (yang saya maksud di status-quo) adalah hal yang gak penting. Kenapa saya bilang tidak penting? Ya, ambil contoh menghafalkan nama-nama anggota BPUPKI atau silsilah takhta Medang Kamulan, misalnya. Memang, nama adalah tanda pengenal yang paling mudah masuk kalau sedang kenalan. Tapi, lalu anak SMA disuruh menghafalkan nama sekaligus gelar Sri Jayawisnuwarddhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana itu menurut saya sudah keterlaluan. Buat apa juga gelar itu dihafalkan kalau toh nanti mereka tidak akan berkarir di bidang kebudayaan dan arkeologi? Lebih bagus kalau masih mengingat gelar. Lha, kemarin saya menemui soal USBN itu, menghafal foto potret pahlawan. Ini foto pahlawan, siapa namanya? Padahal pahlawan-pahlawan yang ada di uang rupiah saja belum tentu siswa-siswi nan malang ini tahu. Sebuah kesia-siaan belaka! Lebih praktikal kan mengenal wajah di uang-uang kita, to? Mau jurusan IPA, IPS, Bahasa, kan bakalan nanti pegang uang semua. Mengenai banyak hal-hal yang tidak penting di pelajaran Sejarah Indonesia ini terbukti dengan seberapa banyak materi yang masuk dan masih kau ingat sampai sekarang. Lantas mau bagaimana? Makin banyak yang tidak penting, makin sulit diingat. Cara kerja otak manusia itu, setiap tidur, ia melakukan 'defragmentasi', yakni penyusunan kembali memori yang tersebar dimana-mana. Dalam proses tersebut, sekaligus juga dilakukan proyek bersih-bersih alias memory cleanup. Yang tidak penting, dibuang. Yang penting, diulang kembali bahkan disalin kembali biar memorinya kuat. Bagaimana manusia membedakan yang penting dan tidak penting? Survival. Kenapa pelajaran menghafal gelar dan nama raja dan wajah pahlawan yang tidak ada di permukaan uang kartal kita ini saya bilang tidak penting? Karena sama sekali tidak berkontribusi pada survivabilitas seseorang di kehidupan sehari-hari.
Yang kedua, pelajaran sejarah di Indonesia ini bersifat propaganda. Kenapa? Ya itu. History is written by the victors... Sejarah Indonesia adalah peninggalan Orde Baru. Kalo PKI, salah terus. Isinya adalah glorifikasi kebapakan militeristik. Camkan titik kritis dosa-dosa Bung Karno (yang emang penuh dosa sih) tapi juga kecenderungan untuk memendam prestasi-prestasi beliau. Saya sih membayangkan, kalau buku paket sejarah itu lucu. Indonesia dijajah Belanda 350 tahun? Semangat kebangsaan itu munculnya kan relatif telat, karena dampak aliran nasionalis-nasionalis dari China dan gerakan-gerakan penentuan nasib sendiri yang bergolak di negara-negara koloni Barat. Sebelum itu, semuanya sekadar pergerakan lokal. Buku-buku pelajaran sejarah, saya kritisi, masih mengedepankan propaganda persatuan Orde Baru yang 'taking things for granted' dan 'as-is', tanpa menelisik lebih dalam secara analitik. Apa benar sih dampak Nasionalisme Fasisme yang dibawa--sekaligus dieksploitasi--oleh Dai Nippon berkontribusi pada kemerdekaan? Bagaimana semangat dan hawa kesakralan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda? Tidak begitu kan pelajaran kita. Mereka malah disuruh menghafal siapa aja yang naik ke atap Hotel Oranje Surabaya untuk menyobek bagian biru bendera Belanda (nah, ini lagi, gak penting!). Anak SMA begitu saja disuruh menghafal dan diminta bangga akan segala macam gerakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia (sekalian tanggal dan belasan pendirinya) yang telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Bagi saya, buku pelajaran sejarah seperti itu hanya akan menjadi bahan tertawaan (atau tangisan sinis) bagi anak-anak Papua yang setelah 'dibebaskan' dan 'diserap' oleh operasi Trikora, mereka malah tidak merasakan kemerdekaan itu sebagaimana orang-orang Jawa bersorak. Sejarah Indonesia, pada implementasinya di bangku pendidikan, tidak lebih daripada plot Hunger Games yang berpusat pada Capitol.
Karena saya malas menulis panjang (dan tulisan ini sudah cukup panjang, sih) mari kita jadikan yang ketiga ini poin terakhir. Sejarah Indonesia itu gagal move on. Ya sejarah emang udah lewat sih. Tapi yang dibahas, selalu Dekrit 1959. Supersemar 1965. Krismon 1998. Sisi lainnya mana? Narasi yang sama dan selalu diulang (ya, propaganda) ini kan malah melahirkan generasi yang tercuci otaknya, gagal move on dari romantisasi pembasmian komunis dan mahasiswa aktivis yang manjat-manjat gedung dewan. Sok gaya demo-demo demokrasi tapi rapat senat kampus aja telat. Melihat bule, mentalnya masih inlander. Turis bule pasti kaya, bisa jual barang mahal ke dia. Pikirmu bule kaya semua apa? Narasi Indonesia dijajah 353,5 tahun oleh asing muncul lagi. Kekayaan alam Indonesia dibawa ke Belanda, itu memang benar. Tapi move on lah. Please. Lihat itu India, setelah merdeka dari administrasi British Raj, apakah masih menyimpan sentimen berkepanjangan? Oh tidak. Dengan bahasa Inggrisnya itu, India menjadi mudah mengakses bahan-bahan bacaan riset ilmiah dan berhasil menjadi negara penghasil jenius-jenius terbesar dunia. Sementara di Indonesia, kita malah terjebak dengan teriakan para netizen keyboard warrior "Ih. Pain sih lo pake basa Inggrisan segala alay auk ah!" Geli saya bacanya. Tanda baca aja ga bener, anti English gamau Bahasa Indonesia baku club. Sering juga waktu chat sama mahasiswa malah "gunain Bahasa Indonesia aja woy!" tapi bikin format surat menyurat buat perizinan kepanitiaan aja masih ga becus. Proofreading skripsi aja bayar joki. Gimana pendidikan bahasa Indonesia? (Yes, you're next in my hit-list, pelajaran Bahasa Indonesia!)
Mental gagal move on ini bahaya bener. Digabung dengan sifat propaganda dan miskin analisis, pelajaran dan guru Sejarah yang salah kaprah akan menimbulkan rasisme, chauvinisme, dan fundamentalisme. Sejarah Indonesia, sekilas, membeku pada sekian titik di sepanjang linimasa alias tidak free-flow (emang beer di hari Selasa?).
Pengkotakan pelajaran sejarah itu gini:
1. Era Kerajaan. Tolong dong di-highlight itu tahun berapa (bukan menghafal silsilah raja dan tahun berkuasanya, tapi kapan golden age kapan dark age). Lalu, di belahan dunia lain sedang ada kejadian apa. Dengan begitu, kita tahu konteksnya bahwa kerajaan-kerajaan itu dahulu ternyata sudah termasuk beradab dan canggih. Eh, malah menghafal isi prasasti.
2. Era Penjajahan. Haduh, pasti devide-et-impera, cultuurstelsel, romusha, juguniianfu lagi. Coba sih angkat masalah kenapa Belanda butuh koloni? Kan dulu sebelum Dutch East Indies cuma ada serikat dagang VOC... Ngapain Napoleon di Eropa sana kok disini bisa pernah muncul gubernur Perancis? Lha kok ada keterlibatan Inggris di Malaya? Apa bedanya sama pendudukan di China sana? Kenapa Belanda kalah sama Jepang? Jangan-jangan anak-anak ini ga tau kalo zaman itu lagi Perang Dunia II.
3. Kemerdekaan. Yang dibahas malah menghafal isi perjanjian persis kayak di PowerPoint si pak guru sama titik komanya. HELLOW. Gak penting woy. Gimana kalau diringkas saja inti perjanjiannya ini dan untung-ruginya dimana? Membuat siswa bisa merangkum isi dari sebuah perjanjian, itu pendidikan. Berguna waktu mereka mau urus sewa rumah, kredit kendaraan, dan urus akte kenotariatan lainnya macam bagi harta waris. Eh, isinya malah propaganda terus. PKI terus. Gagal move on. Pantesan mental penjajah-terjajah ini masih lekat terus di pelajaran sejarah. Terjebaknya di fase kolonialisme feodalisme. Kapan bahas pertentangan kelas antara buruh proletar dan intelektual borjuis? Melihat buku paket sejarah SMA, saya jamin Bro Tan Malaka akan menangis.
Lantas, bagaimana merancang pelajaran Sejarah yang penting, jujur, dan move-on? Cukupkan sejarah 'Indonesia' di SD dan SMP dan mulai SMA coba integrasikan dengan ilmu lain secara holistik, dong! Siapkan manusia yang siap kuliah gitu lho. Jangan salah, pelajaran Sejarah itu penting sekali.
Coba deh, sejarah kan harusnya ngobrol soal kenapa sesuatu itu muncul dan pergi, sukses atau gagal. Kenapa Raden Wijaya harus mendirikan Majapahit? Kenapa Tumapel dan Kadiri yang berperang tidak melanjutkan dinasti yang sudah ada saja? Kenapa? Karena membuat identitas baru lebih mudah ketimbang memperbaiki identitas lama yang sudah telanjur rusak. Woy, kepake ga tuh di bidang advertising, branding, dan marketing? Wahai, mahasiswa teknik industri dan kimia, kepake ga tuh di manajemen lab. kalian? Mending cetak baru atau reparasi struktur lama yang udah jebol? Nah. Munculkan dialektika sekarang. Lha kenapa Mataram Islam pakai nama Mataram? Ya karena yang familiar lebih disukai daripada yang baru terdengar. Hayo, analisis! Netnot. Mahasiswa sekarang males mikir.
Coba kapan anda melihat analisis studi kasus pelajaran sejarah, dimana perjuangan kedaerahan yang gagal terus mencapai titik kritis dan bergerak menuju persatuan? Wah, saya kira sangat jarang guru sejarah yang sampai sedemikian detail membahasnya (saya ucapkan terima kasih pada Widyan Arika, guru sejarah SMP saya yang langka). Lebih lagi, tanpa kalian kritisi--hanya saja mungkin sudah sadar--bahwa pelajaran yang kalian terima dari SD sampai SMA ya cuma diulang-ulang itu aja, Sejarah Nusantara (karena Indonesia tidak dijajah 350 tahun). Selama 12 tahun sekolah, yang dibahas apa: Tarumanegara, Kutai Kartanegara, Samudera Pasai sampai kemerdekaan. Sebagian besar? Tidak penting, pengulangan, hafalan, miskin analisis. Mata pelajaran Sejarah hanya akan terbebas dari cap propaganda saya apabila sudah ada siswa produk Sejarah yang mampu diajak diskusi tentang invasi laut Dinasti Yuan Mongol di tengah periode keruntuhan Kadiri dan Singhasari ke masa-masa awal Majapahit. Coba kita lihat jika ada siswa yang tertarik untuk menelisik dampak operasi militer Muslim ke Semenanjung India dan hubungannya dengan keruntuhan Srivijaya. Hayo, sulit kan? Karena propaganda inilah, siswa seringkali memiliki mindset bahwa seakan-akan Nusantara-lah pusat peradaban dunia. Coba guru mana yang menjelaskan (bukan cuma menyebutkan) perjalanan Fa Hien dan I Tsing? Kenapa rasisme terhadap Tionghoa Indonesia masih tinggi kalau ekspedisi Muhammad Cheng Ho pernah dibahas di pelajaran sejarah? Tampak ya, propaganda dikotomi pribumi dan asing-aseng! Sungguh orang Maluku dan Nusa Tenggara akan tertawa melihat pelajaran Sejarah dipenuhi kisah-kisah orang Jawa yang sibuk saling kudeta. Ayuk, coba hentikan heroisme membabi buta. Jujur dong. Pernah bahas sisi gelap kejahatan perang ABRI di Papua dan Timor Leste nggak?
Saya jadi cukup khawatir dengan anak-anak FISIP yang kuliah kalau pelajaran Sejarah terus-terusan begini. Lihat saja sekilas dari data statistik dan stigma sosial (maksud saya, urban legend dan gurauan kasar) kan anak FISIP itu masuknya gampang, keluarnya susah. Banyak mahasiswa abadinya. Ya soalnya daya analitiknya ceketer, kurang ditempa. Lha pas SMA pelajaran sejarahnya kayak gitu. Belum lagi pelajaran PPKn (ya, pasien selanjutnya juga mapel PKn akan saya kritik sampe bugil!). Gini, mau mencetak diplomat sekelas Adam Malik? Mimpi!
Karena hal-hal diatas, buktikan omongan saya ini. Pelajaran sejarah kita mestinya mencatatkan, saat dunia diambang kiamat perang nuklir, Indonesia masih mukulin terduga (atau tertuduh) PKI sampe bonyok. Hehe.
(tulisan ini saya buat setelah menjaga ujian Sejarah Indonesia di sebuah SMA, awal bulan Maret 2019.)
0 notes
Text
File
DUA puluh satu September 2011. Aku membuka lagi pelbagai file foto lama di flashdisk yang tak lagi mampu bertahan dengan waktu.
Ada momen dimana foto-foto tersebut begitu membumi jika dilihat dan disentuh. Lalu semua hal menarik tentang momen di dalamnya melintas sekelebat di kepala. Manis sekali, dan tak ada yang bisa menahannya.
Aku membukanya dua malam belakangan ini. Aktivitas yang sejak Febuari lalu tidak pernah kulakukan, terlebih untuk menulis catatan kecil seperti ini untuk menceritakannya.
Tak ada lagi waktu bagiku untuk sekadar bercerita lewat kata-kata ketika rutinitas kian membelenggu saya setiap detiknya.
Aku melihat hampir seluruh foto dalam flashdisk itu. Komposisinya sempurna. Tak ada celah apapun untuk mengkritisi tampilan foto-foto landscape dan potrait seperti ini. Para pewarta foto biasanya menyebutnya sebagai "foto keluarga."
Kadang, di saat seperti ini, kecantikan yang terdapat pada sebuah gambar tidaklah dilihat dari warna, cahaya, maupun objek yang ada pada gambar tersebut. Betapa kaya warna yang mampu menghipnotis mata. Betapa gelapnya salah satu sisi di dalamnya. Betapa indahnya matahari yang perkasa itu. Aku pernah bertanya seorang fotografer senior di Jawa Pos ketika pelesir ke Surabaya.
"Bagaimana cara mengartikan gambar terhadap kehidupan sebagai sesuatu yang berharga? Cerita apa yang terdapat dibalik gambar yang penuh warna itu? Berceritakah ia akan sisi gelap dan terang kehidupan? Cerita yang dapat membuat seseorang bersama orang-orang lain yang berada dalam kehidupannya?"
Ia menjawabnya. Tapi tak pernah sungguh-sungguh menjawabnya.
Seperti melihat sebuah foto, aku punya obsesi tersendiri terhadap angkasa. Pernahkah engkau menatap langit dan merasakan ketenangan dan damai tiada tara? Ditengah aktivitas saat ini, kadang aku suka meniti jalan menuju tepi laut pada dini hari usai bekerja.
Aku membayangkan kelak langit malam akan berwarna-warni, awannya seperti aliran sungai, dan bintang-bintang itu seperti bunga. Impian ini selalu melayang-layang di kepalaku, untuk mereka-mereka di angkasa. Damai. Senang rasanya jika dapat menggambarkannya. Daya imajinasi kita adalah pelukis hebat.
Terkadang, aku juga membayangkan wajah seseorang melayang-layang di atas sana, membisikkan suara-suara damai, seperti memberitahu bahwa hal itu adalah syarat yang dapat membuat dunia ini seindah bunga atau pemandangan pantai nan elok.
Segalanya kini, nafas terakhirku kelak, aku tujukan kepada seorang perempuan, kepada diri-Nya Yang Suci itu, dan kepada seluruh pemimpi jagad raya. Dimana mereka mampu memendam mimpinya, dan memimpikan sesuatu yang bukan diri mereka.
0 notes