#Rumah Reot
Explore tagged Tumblr posts
Text
,,BREAKING NEWS"
----------
PRESIDENT HAJI MUHAMAD SUHARTO PUNYA KANDANG BABI
----------
UTUSAN RAKYAT : pada sore hari menjelang Magrib di sebuah pondok reot sang Guru bertanya pada saya. Dimana adek adek asuhan mu, ada Guru, mereka lagi sedang menyisip daun kelapa kering untuk dijadikan Pelita buat pulang ke rumah mereka malam nantik kata saya. Tolong kau ingat pesan Ku ini, jangan sekali kali kau berikan pelajaran serta minum dan makan, jangan sekali kali kau berikan kepada orang lain dari hasil yang tidak baik. Karena segala sesuatu yang seharusnya bermanfaat kau berikan pada orang lain ternyata menjadi tumbuh suburnya Dosa, tiap lubang pori pori ditubuh mereka akan menyumpahi kamu di akhirat nantik kata sang Guru pada saya.
Lalu saya ajukan pertanyaan pada sang Guru. Guru saya mendapat kabar President Suharto memilik kandang ternak Hewan jenis Babi. Bagaimana menurut islam Guru seorang Haji memiliki Hewan ternak Babi. Guru menjawab dengan singkat, halal atau tidak Babi itu dalam islam kata Guru pada saya sambil mengangkat Tasbihnya dan lalu turun ke Pancuran air untuk Berwuduk.
Nah Gambar ini anak Suharto, namanya Tutut Suharto. Sangat banyak kekayaanya hasil dari patok patokan ayahnya mencuri harta negara milik rakyat anjing kau Suharto Lebih kurang sikapnya dengan Imelda Marcos yang punya harta hampir tiap denyutan Nadi Bumi negara Philipina. Jika memiliki Celana dalam ribuan lembar banyaknya Celana dalam Imelda, Parfumnya Imelda Marcos bermerek Origenal Cheristin Dior dan Chanel Five harus dibeli kenegeri Paris langsung lebih mahal ongkos pesawatnya PP dari pada harga Parfumnya. Harga selembar Sapu Tangan Imelda Marcos yang paling murah 95 Dolar US. Imelda Marcos dalam satu malam mengahbiskan Uang negara untuk berdansa dengan Playboy Paris paling sedikit Puluhan Milyar Rupiah ukuran nilai Uang Indonesia.
Namun jauh lebih bejat dan biadab sikap anak anak President Suharto anjing itu merampas mencuri menelan uang rakyat. Dan yang sangat lebih biadab sekarang ini, anak anak dan anak menantu President Jokowi PKI anjing anteknya china komunis. Selvi Ananda isteri Giberan anak anjing Jokowi PKI itu mencuri Uang rakyat untuk membeli Jam tangan Rolex seharga Rp. 17 Milyar. Disangka Uang negara didapat dari hasil celah kelangkang iriani isteri Jokowi dijual menjadi Lonte. Namun tidak kalahnya anak menantu Jokowi Boby Nasution mencuri Uang rakyat Milyaran Rupiah dengan Modus rumah Dinasnya dibobol maling seketika Boby Nasution pergi berangkat Umrah dasar anak menantu keturunan anjing. Uang Milyaran Rupiah disimpan dalam rumah Dinas mamak kau Lonte Boby Nasution - Editor By MKN.
------------
Titik Suharto mendendangkan lagu maling teriak maling padahal Lu satu keluarga yang Maling Uang negara milik rakyat
0 notes
Text
Perjalanan sebagai Pembelajaran Hidup: Kisah Seorang Petualang Jadi-jadian
Sejak kuliah di bidang perjalanan wisata, saya sudah memimpikan untuk berpetualangan keliling Indonesia. Mungkin karena otak saya sudah dicuci habis-habisan oleh film Indiana Jones. Yah, namanya juga bocah culun yang tidak punya kehidupan sosial. Bahkan koleksi buku saya pun buku panduan Periplus dan Lonely Planet. Sungguh, tidak ada yang lebih membosankan dari itu.
Tapi anehnya, semakin saya mengejek diri sendiri, semakin saya sadar bahwa mimpi konyol inilah yang membentuk jalan hidup saya. Karena terkadang, dari obsesi yang paling memalukan, lahirlah passion yang paling tulus.
Pengalaman Pribadi: Ketika Realita Menampar dengan Lembut
Bayangkan dirimu terapung di atas perahu reot di tengah sungai Kalimantan. Aroma khas yang menusuk hidung—campuran antara lumpur, ikan, dan entah apa lagi—menyerang indera penciuman kamu tanpa ampun. Sementara itu, orkestra nyamuk berdenging di telinga, seolah-olah mereka sedang mengadakan konser rock di udara lembab yang menyelimutimu.
Sungguh romantis, bukan? Hampir sama romantisnya dengan sensasi diare yang menghantui kamu setelah dengan berani (atau bodohnya) mencicipi hidangan lokal yang katanya "otentik". Tapi tunggu dulu, sebelum kamu buru-buru menertawakan kebodohan saya atau mengasihani nasib malang ini, mari kita renungkan sejenak.
Bukankah ada sesuatu yang aneh namun memikat dalam pengalaman ini? Di satu sisi, tubuh kamu memberontak, protes keras terhadap kondisi yang jauh dari nyaman ini. Namun di sisi lain, ada getaran halus kegembiraan yang tak bisa kamu pungkiri. Mungkin ini yang dinamakan "hidup di luar zona nyaman"—sebuah frasa klise yang ternyata punya makna lebih dalam dari yang kita sadari.
Saat fajar menyingsing dan kabut mulai terangkat dari permukaan sungai, pemandangan yang terhampar di hadapanmu seolah menertawakan segala keluhanmu semalaman. Kilauan air yang memantulkan cahaya mentari pagi, kicauan burung-burung eksotis yang belum pernah kamu dengar sebelumnya, dan senyum tulus dari penduduk lokal yang menyambutmu di tepian sungai—semuanya seolah berbisik, "Lihat apa yang hampir kau lewatkan karena terlalu sibuk mengeluh?"
Lalu ada "hidangan otentik" yang tadi saya sindir. Ya, mungkin perut kamu tidak setuju, tapi bukankah ada cerita di balik setiap suapan? Resep turun-temurun yang menyimpan sejarah, bahan-bahan lokal yang menceritakan kekayaan alam setempat, dan keramahan tuan rumah yang dengan bangga menyajikan makanan terbaiknya—semua itu adalah pengalaman yang tidak bisa kamu dapatkan dari restoran bintang lima mana pun.
Jadi, apakah perjalanan ini adalah surga atau neraka? Well, mungkin keduanya, atau mungkin bukan keduanya. Yang jelas, ini adalah potongan hidup yang kaya, kompleks, dan paradoksal—persis seperti kehidupan itu sendiri. Dan bukankah itu justru yang membuat perjalanan ini begitu berharga?
Mungkin kita memang perlu diingatkan bahwa kenyamanan sering kali adalah musuh dari pengalaman sejati. Tapi lebih dari itu, mungkin kita perlu belajar untuk melihat keindahan dalam ketidaknyamanan, menemukan makna dalam penderitaan, dan yes, bahkan menemukan humor dalam situasi yang paling menyebalkan sekalipun.
Karena pada akhirnya, bukankah itu esensi dari perjalanan—dan hidup—yang sesungguhnya?
0 notes
Text
Segala hal sudah aku coba lakukan untuk mentolerir segelintir kekurangan yang tidak pernah ayah tutupi hanya karena ayah adalah laki-laki yang membesarkanku. Ketika dewasa mungkin aku akan paham langkah untuk memaafkan ayah juga pola pikir yang melatarbelakanginya membuat banyak keputusan tidak mengenakkan untuk keluarga yang ia bangun sendiri.
Aku baru menginjak lantai sekolah dasar ketika perusahaan tempat ayah menumpahkan segala loyalitas yang ia miliki mulai memperlakukan karyawannya semena-mena. Ayahku sudah tidak diberi upah tiga bulan. Mengapa kalimat barusan masih kurang cukup buatnya untuk berusaha lebih keras mencari alternatif lain. Tidak ada percobaan yang ia lakukan selain terus bekerja menafkahi perusahaan yang didiagnosis mati otak. Sudah tidak bisa diselamatkan.
Tak lama setelah menyadari bahwa ia selama ini bekerja untuk perusahaan nyawa, sempat ia kesana-kemari mengunjungi kawan-kawannya dengan harap mereka akan mengasihaninya dan memberinya pekerjaan layak. Seperti kenyataan pada umumnya, mendadak semua kawan yang ia berikan rasa percaya itu hanya memberikan punggung setiap ia datang. Ucapan ibu soal hanya keluargalah yang akhirnya bisa kau andalkan ketika dalam masa sulit benar adanya. Walaupun begitu, ayah masih selalu menolak kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu. Bahkan hingga kini.
Sebelum negara ini dilanda pandemi dan aku berada di sekolah menengah pertama, ayah masih cekatan kesana kemari mengambil orderan grab mobilnya, yang di mana mobil itu juga dibeli dengan uang istrinya. Tidak banyak yang dihasilkannya, tetapi tak apa, masih ada usaha yang ia coba tunjukkan. Entah apa ia memikirkan ini atau tidak, tetapi tidak akan pernah timbul rasa malu dalam diriku atas pekerjaan yang orang tuaku lakukan. Aku lebih malu melihat orang yang masih sehat memilih untuk berdiam diri di rumah mengisi waktunya dengan menggulir gawai padahal pasangannya mengais pundi-pundi duit setiap harinya.
Ayah, sampai saat ini aku masih bingung, apa yang membuatmu memutuskan untuk menyerah begitu saja atas kondisi yang menimpamu ini. Aku masih 17 tahun dan dalam benakku kini hanya ada eldest daughter rage setiap mataku menangkapmu duduk di kursi kayu reot yang ada di ruang belakang. Bukan ini yang aku inginkan. Namun, semua hal rasanya sudah tak ada maknanya di hadapanmu. Aku hanya bisa terus berharap dan berdoa semoga seseorang mengirimkan pesan yang bisa membuat ayah berubah menjadi lebih baik lagi sehingga tidak memaksa kami untuk mengingat ayah sebagai salah satu dari memori kurang baik yang ada di hidup kami.
0 notes
Text
Berawal dari Konten Inspiratif, Fea Rini Dikagumi hingga Diundang Ke Acara Woman Preneur Summit di Malaysia
Fea Rini, seorang content creator sekaligus ibu rumah tangga yang memulai langkahnya dari konten TikTok sederhana, kini telah mencapai prestasi yang luar biasa. Semua berawal dari satu konten viral di Instagram, di mana Fea merekam proses merobohkan rumah reot orang tuanya dan membangunkan rumah yang baru. Video tersebut berhasil memperoleh 1,5 juta views hingga menarik perhatian Susan Emir,…
0 notes
Text
The way lo selalu bilang gw ini lah itu lah, salah semua, tuh sebenernya simple. Lo tarik lg waktu ke belakang, kenapa sih gw ga bisa deket ama itu orang? Apa bener cuman gara2 "budaya" yg sampe gw muak bacanya. Gw adik ipar, tp yg juga punya adik ipar. Gw dan dia beda budaya. Tp rasa atau nilainya ga sampe kaya rasa atau nilai antara gw dan orang itu.
Yg selalu lo ceritain ttg sikap gw itu tuh hanya rangkaian kejadian terakhir2, sedangkan lo lupa awalnya kaya gimana.
Gw yakin lo lupa. Kisah ini. Kisah pertama kalinya lo bawa orang itu masuk ke dalam rumah setelah resmi jd istri lo. Kisah dimana orang itu marah2, hanya karena tidak ada sendal yang siap dia pakai sebelum berangkat ke mesjid untuk sholat ied. Dan di depan ibu, lo bersimpuh di depan kakinya tanpa dia merendahkan tubuhnya, dan kedua tangan lo yg pasangin sendal itu ke kedua kakinya. Like, haruskah? Kalo ini ga parah, yes, go next!
Gw yakin lo juga lupa. Kisah ini. Kisah dimana lo suruh gw untuk desain dan print out undangan syukuran pernikahan, lalu hanya karena salah satu huruf namanya salah, bukannya meminta untuk dibuat ulang, dia memilih gebrak pintu kamar, lebih tepatnya kamar gw yg kalian ambil alih, yg pintunya juga udah reot, dan merajuk, setelah itu lo marahin gw krn hal sesepele print ulang? Kalo ini juga sepele karena ga sebanding dengan biaya yg keluarga mereka keluarkan untuk pernikahan, next!
Yg ini lo pasti ga inget, karena lo gatau. Lo ada di negara yg lo bangga2in itu, dan dia pulang ke rumah dimana gw tinggal di situ, entah kenapa ada hari dimana gw pamit berangkat kerja, dan gw ketuk pintu kamar dia, yang keluar cuman tangan kanan pertanda gak mau bertegur sapa, lalu setelah gw sambut itu dengan salim, tangannya melepas dengan kasar genggaman gw. Semarah apa dia hingga bisa begitu thd orang lain? Kalo ini hanya karena capek, next!
Ini lo juga ga akan inget, karena lo gatau. Inipun alasan, lebih baik gw tinggal di kos kosan serba kekurangan layaknya di Bandung, daripada ketika pagi diketuk pintu untuk bangun, lalu waktu dibuka bukan seharusnya seseorang yg mengetuk ada di situ, tetapi malah ember berisi air lengkap dengan alat pel? Baiklah, perkara tinggal bukanlah hal sepele yg bisa diremehkan. Namun gw tetap akan menganggap keputusan gw tinggal di rumah itu bukanlah keputusan gw. Karena sejak awal, gw sangat tau hal2 menjengkelkan baik buat gw dan mereka yang "ngebantu" ini jadi batu sandungan yang ga bisa gw musnahin meskipun punya uang. Lalu apakah "bantuan" yg kalian sebut2 itu harus mengesampingkan pendapat gw sbg orang dewasa juga?
Ada lagi, idk why people told me gw pernah ninggalin gembok dalam keadaan tidak terkunci di gerbang, padahal 100% gw ga pernah ngelakuin hal itu? Malah, kebalikannya, gw selalu lupa mencabut kunci cadangan dari pintu setelah terkunci sehingga almarhum bapak gabisa masuk, dan beliau terpaksa ngehantam jendela kamar gw dengan batu. I even can't understand why he did this to someone having a parent too?
Lo wisuda, lo bener semua. Apa lo tau, waktu lo sidang S3 dia meminta agar gw atau ibu ga ada yang ngehubungin lo, karena itu berpotensi "ganggu" lo, sedangkan lo tau, semaju2nya teknologi yg ibu kuasai, paling banter cuman ngetik "sing di ati-ati le, ibuk selalu mendoakan kowe, lancar urusane kabeh", yg artinya ibu gatau lo sedang apa tp dia yakin itu hal baik untuk diri lo. Lalu seseorang ngelarang dia sekedar begitu?
Next, menyakitkan bgt buat gw. Saat gw struggling ingin mempersiapkan pernikahan gw dengan cukup sederhana bersama orang sederhana yg bener2 serius memilih gw ini, tiba2 secara random dia tanya ke gw, body shaming, atau ini jelas pelecehan? Begini kata2nya dan ga akan pernah gw lupa. "Waduh kamu ini, dad* kamu kok KAYA ORANG YG UDAH SIAP MENYU*UI!" Itu aja lo katakan dengan wajah masam! Tidakkah lo sedikit berfikir bahwa suatu saat lo menjadi ayah, ga akan pernah bisa denger kata2 sampah kaya gt muncul dr mulut seseorang ke anak lo?
Ada lagi? ADA. BANYAK.
Ga pernah sedikitpun gw lupa kata2/perbuatan kasar orang itu thd gw. Gw selama ini ikhlas, memilih diam. Tp ternyata hal kata gt ga berguna, krn sodara kandung aja even ga pernah nanya, versi gw seperti apa. Like, ngapain gw percaya lo sodara kandung gw kalo kelakuan lo ga mencerminkan itu?
0 notes
Text
HOLIDAY 3 DAYS 2 NIGHTS, Why Not?
Bulan Februari 2023 aku berkesempatan ke Jogja lagi setelah beberapa tahun tidak berkunjung kesana. Berangkat dari Stasiun Gubeng, Surabaya pukul 3 sore pada hari Minggu. Keadaan stasiun padat oleh penumpang yang ingin meninggalkan maupun baru sampai di Kota Pahlawan. Para porter sibuk menawarkan jasa untuk mengangkut barang bawaan penumpang, aku yang hanya membawa tas pack dan isinya tidak penuh tentu saja menolak jasa mereka.
Menunggu kereta yang belum parkir aku duduk-duduk santai saja di ruang tunggu lagipula ini adalah pengalaman pertama kali aku ke Stasiun Gubeng. Aku pernah ke Stasiun Gubeng sebelumnya tetapi hanya membawa atau menurunkan penumpang dari kereta lokal yang aku naiki bulan November 2022. Awalnya penumpang KAI lokal Pasuruan – Gresik amat penuh saat aku menaiki dari Gedangan dan sampai di Stasiun Gubeng para penumpang langsung meninggalkan tempat dan keluar menuju Stasiun Gubeng.
Aku berjalan santai untuk mengambil foto dan video durasi singkat. Seperti kebanyakan tempat umum banyak orang berjualan oleh-oleh khas kota. Suara keberangkatan kereta mengalun tanpa henti dari speaker pengumuman. Aku terkikik kecil saat melihat ada seorang penumpang nampak tergesa-gesa untuk masuk ke dalam kereta. Satpam juga berusaha mengarahkan si penumpang untuk segera naik. Saat kedua kaki telah menginjak lantai kereta dan badan telah sepenuhnya berada di kereta sedetik kemudian roda-roda kereta pun mulai berputar. Adegan lucu dan menegangkan diakhiri dengan happy end.
Pengumuman nama kereta yang aku tumpangi akhirnya terdengar. Daripada aku gabut melihat lalu-lalang orang lebih baik aku duduk di kursi kereta walaupun keberangkatan masih setengah jam lagi. Nuansa warna biru tosca menyapu pandanganku. Inilah pertama kalinya aku naik kereta eksekutif dan gratis. 9 June 2023
Kereta mulai meninggalkan Stasiun Gubeng tepat pada waktunya. Aku membuka kantong kresek yang berisi aneka panganan kecil, perutku minta diisi lagi setelah makan siang jam 11 tadi. Sambil menikmati pemandangan luar aku mulai menguyah jajan yang aku bawa. Terlihat bangunan kumuh yang didirikan tepat samping rel kereta. Pakaian-pakaian yang di jemur terbawa arus angin kereta yang cepat. Tidak nampak olehku anak-anak kecil yang melambaikan tangan saat kereta lewat mungkin karena terlalu seringnya mereka melihat kereta.
Kalau ingin melihat Surabaya dari segi berbeda kusarankan naiklah kereta dengan jalur Surabaya. Ternyata Surabaya tidak hanya menyimpan keagungan megah bangunan kota, rumah reot nyaris ambruk pun masih di huni selayaknya rumah. Pemandangan tersebut bisa terlihat ketika kita menaiki kereta.
Meninggalkan Kota Surabaya pemandangan yang disajikan tidak lagi bangunan tepi rel, padi-padi hijau yang baru di tanam menghiasi pemandangan. Kala itu hujan masih sering mengguyur bumi jadi matahari tidaklah garang panasnya dan terlihat mendung mengelayut abu. Nuansa melankolis tiba-tiba menghampiriku. Kuambil headset kemudian jari-jariku sibuk mengulir ponsel dan memilih lagu yang cocok untuk suasana ini. Uh, syahdu.
Pengumuman petugas terdengar di setiap gerbong kereta. Dia memperkenalkan diri dan jika ada gangguan yang dialami penumpang silahkan menghubungi petugas melalui nomer telepon yang ada di depan gerbong. Di kereta jalan khawatir lapar karena ada petugas kereta yang menjual aneka makanan. Kudengar ada nasi goreng, ayam geprek, dll. Jika saja harga tidak selangit aku pasti beli. Aku harus hemat uang. Beli satu makanan di kereta sama dengan aku bisa makan tiga kali di luar. 10 June 2023
Mendengarkan lagu sambil melihat jendela membuatku tidak bosan dalam perjalanan antar provinsi ini. Tau-tau aku sudah berada di Solo, tempat yang menyimpan kenangan bagiku, rintik hujan turun perlahan dari jendela kaca kereta api. Kuamati stasiun Solo yang dipadati penumpang. Ingin rasanya aku turun sejenak dan foto di bawah tulisan stasiun Solo. Itu hanya anganku saja, beberapa menit kemudian gulir roda kereta beranjak meninggalkan kota kenanganku.
Padatnya penumpang, suara berisik dari atap yang ditempa hujan deras menyapaku. Minggu malam kala itu Stasiun Jogja amatlah riuh. Hilir mudik manusia memenuhi pandanganku. Aku harus menunggu beberapa menit untuk menunggu hujan reda. Terlihat pemandangan sekitar adalah hotel-hotel yang memancarkan cahaya lampunya, seakan mengundang para pelancong untuk istirahat disana. Jalanan kota satu arah juga macet karena banyaknya kendaraan. Bus-bus pariwisata yang berbadan gede turut serta meramaikan jalanan.
Hujan yang tadi turun begitu deras kini tinggal bulir kecil serasa debu. Aku melangkahkan kaki keluar dari stasiun dan berjalan menuju hotel yang telah aku booking satu bulan lalu. Tanpa proses lama ditanganku telah ada card akses masuk kamar. Kuberi salam pada kamar yang akan aku gunakan selama 48 jam kedepan. Melihat sekilas interiornya hati langsung berkata aku pasti betah disini.
Niat hati untuk langsung melihat keadaan sekitar urung aku lakukan karena hujan deras menerpa bumi Jogja. Perutku lapar dan minta diisi, maka berbekal payung yang aku bawa dari Sidoarjo aku keluar hotel untuk mencari penganan. Diseberang jalan ada banyak stan yang menjual makanan. Gudeg, soto, bakso, angkringan. Hm aku telah benar-benar di Jogja. 13 June 2023
Aku memutuskan makan di kamar hotel. Hujan masih turun derasnya di luar. Aku membeli nasi ayam pedas yang harganya 10 ribu tak lupa aku mampir ke minimarket untuk beli mie instan. Aku makan dulu nasinya kemudian menyeduh mie instan. Hm, aroma gurih dan pedas menyeruak rongga hidungku. Selesai dengan makan aku yang ingin santai-santai saja ternyata perutku terasa mulas. Panggilan alam pertama di bumi Jogja, mungkin ini pertanda bahwa aku akan betah disini. Padahal belum ada 2 jam aku menginjakkan kaki di Daerah Istimewa Jogjakarta.
Rasa kantuk pun datang. Merebahkan diri di Kasur empuk adalah pilihan tepat. Aku membaca doa sejenak, berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan ini padaku. Tubuhku butuh istirahat. Aku mulai ke alam mimpi.
Alarm tubuhku membangunkanku. Jam berapa sekarang? Rasa kantuk masih hinggap di tubuhku. Mengingat hari ini adalah adeganku jalan-jalan Kota Jogja maka aku membuka selimut putih tebal yang membungkus badanku. Mandi air hangat memang menyenangkan.
Sarapan di balkon hotel sambil melihat suasana Kota Jogja di hari Senin begitu menyenangkan. Para siswa menaiki ojek untuk pergi ke sekolah, becak-becak parkir di pinggir jalan, lalu-lalang orang datang atau pergi dari Stasiun Jogja. Aku sengaja mengambil sedikit menu sarapan agar aku bisa mengincipi semua yang disediakan. Hari itu adalah pertama kalinya aku minum jus kiwi dan rasa apa? Kecut.
Mobil yang akan mengantarkan aku keliling Jogja sudah parkir di depan hotel. Bapak paruh baya yang tersenyum hangat menyapa. Tujuan pertama adalah gua emboh opo. Dari penjelasan tour guide yang mau dibayar seiklhasnya tempat ini adalah tempat healing keluarga kerajaan jaman dulu. Ketika masuk kaki akan disuguhi beberapa anak tangga setelah itu terlihatlah kolam besar di sisi kanan maupun kiri. Airnya pun tampak jernih. Aku mengelilingi dan menemukan kamar yang beratap rendah.
Perjalanan menjelajah waktu berakhir dan kini aku menuju tempat dataran tinggi. Selama perjalanan telingaku begitu peka, terasa seperti kemasukan air. Sampai ditujuan hawa-hawa sejuk menerpa tubuhku. Heha nama tempat itu, kenapa dinamakan Heha? Karena siapa saja orang yang kesitu akan merasa senang HAHA (tertawa) jadi dinamakan Heha.
Aku tidak begitu menyukai tempat-tempat seperti itu. Di Malang pun pasti ada banyak, tempat viral yang orang-orang berlomba untuk unjuk narsis dan foto kemudian di post di sosmed. Dengan pemandangan perbukitan yang nampak hijau, waktu aku masih SD aku malah sudah pernah nanjak jalan kaki bersama teman di tempat seperti ini. Aku tidak begitu antusias dengan Heha tetapi aku sudah jauh-jauh kesini. Aku ajak kaki jalan-jalan santai melihat-lihat tempat ini. Ada banyak gerai-gerai makanan dan minuman. 22 June 2023
Tujuan selanjutnya adalah Obelix Hill, tempat ini sama seperti Heha. Tempat foto-foto ada yang gratis, ada juga yang berbayar, meski begitu mau masuk pun ada tiket masuknya jadi sama saja berbayar. Aku tidak terlalu banyak mengambil gambar. Aku hanya mencoba menikmati hawa sejuk dengan berjalan santai.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah 3 sore, aku yang ingin mengunjungi Pantai Parangtritis ditentang oleh saudara karena katanya waktunya tidak keburu. Ya sudahlah aku yang hanya penumpang gelap bisa apa selain menurut. Untuk menghibur hatiku pak sopir memberiku rekomendasi candi yang dekat dengan lokasi kami saat itu. Tiket masuknya cuma 10 ribu. Jalan setapak menuju candi terlihat bersih tanpa adanya sampah. Ada 3 candi besar di hadapan. Halaman di candi begitu lapang dan luas, anak kecil pasti suka berlarian disini. Ada seorang bule yang menjadi primadona diantara penduduk lokal. Ada juga sepasang sejoli yang sedang foto prewedding.
Aku suka berwisata ke sejarah. Bagiku hal itu begitu mengasyikkan dan mengangumkan. Bayangakan saja jaman dahulu yang masih sangat-sangat tradisional mampu membangun candi yang megah. Saat aku masuk pelataran candi aku terasa pergi ke ratusan tahun silam. Kata pak sopir butuh waktu 10 tahun untuk menyusun batu-batu tersebut menjadi candi utuh. Di candi tersebut juga ada patung-patung yang rupanya telah direnggut waktu. Ada yang tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa wajah. Hanya sedikit yang masih utuh rata-rata sudah tidak sempurna lagi.
Waktu yang telah menunjukkan pukul setengah lima sore kami memutuskan untuk kembali ke pusat Kota Jogja. Menikmati makanan khas yang tidak ada di tempat lain yakni mie nyemek Pak Pele. Aku lupa pesan apa tapi yang aku makan adalah mie nyemek. Katanya disitu bisa request pakai telur bebek. Setelah aku incipi pun rasanya tidak sebegitu menendang di lidahku yang telah bolak-balik makan mie. Bagiku yang membuat wah hanyalah acar yang diberikan sangat banyak yakni satu mangkok penuh. Biasanya kan cuma beberapa iris wortel dan ketimun.
Tubuh kami sebenarnya telah lelah karena berwisata seharian. Tetapi akan rugi juga kalau malam ini melewatkan objek wisata terkenal yaitu Malioboro. Badan terasa segar kembali setelah mandi. Aku mengunci kamar hotel lagi dan menuju Jalan Malioboro. Aku baru tau saat malam atau katakanlah pukul 6 sore jalanan di Malioboro ditutup untuk kendaraan motor. Kendaraan yang boleh lewat hanyalah becak, bus Jogja, sepeda, bentor, delman, sepeda listrik. Kalau punya mobil mau melintas disini silahkan saja mungkin beberapa ratus uang seratus ribuanmu akan melayang dalam beberapa saat.
Aku mencicipi gelato yang dijual di gerai jalanan Malioboro. Gerai-gerai yang disini telah berbenah, waktu terakhir aku kesini mungkin sekitar 7-8 tahun lalu. Dulu banyak sekali penjual baju dan aksesoris ditepi jalanan. Kini semua telah diubah dan penjualan hanya boleh di dalam ruko. Jalanan tampak rapi dan para pejalan nyaman melewati trotoar yang lebar.
Andong, becak, bentor, memenuhi tepi jalanan Malioboro. Jika kaki telah capek maka jangan khawatir tidak bisa jalan kembali ke hotel. Para penyewa jasa akan senang hati mengantarkan anda ke tempat yang diinginkan. Jangan lupa juga untuk menawar harga sesuai kesepakatan. Aku yang orang awam mana tau jalan sesungguhnya, saat kembali ke hotel karena badan sudah capek dan ingin merasakan naik becak di Jogja pada malam hari aku iyakan saja harga 25 ribu rupiah. Rute yang dilalui ternyata lebih jauh dan agak muter-muter. Keesokan harinya di Jalan Malioboro aku berada di Pasar Beringharjo membeli baju oleh-oleh. Ketika aku jalan pulang ke hotel ada bapak-bapak yang menawari jasanya hanya dengan harga 10 ribu. Wow. Ternyata oh ternyata, rute yang dilalui lebih pendek dan kukira lewat jalur lintasan. Yah, berarti kemarin malam aku sedikit ketipu.
Bagaimana jadinya Jogja tanpa bakpia? Pagi-pagi sekali aku sudah beranjak dari ranjang dan ingin berenang di kolam renang. Kemudian terbesit di pikiranku, aku jauh-jauh ke Jogja cuman mau renang? Kenapa tidak menikmati kota ini saat pagi hari saja? Selesai berberes diri kulangkahkan kaki menuju jalan Malioboro. Menikmati suasana kota yang tersohor dan selalu menjadi tujuan wisata. Jalanan Malioboro nampak lebih sepi oleh pejalan kaki dan dipenuhi kendaraan bermotor. Pandanganku tertuju pada plang bertuliskan Jalan Malioboro yang sepi. Tidak seperti kemarin malam yang antre orang-orang yang ingin berfoto bersama plang tersebut. Sebenarnya aku tidak berminat mengunjungi gerai bakpia lagi. Kemarin sore aku sudah kesana namun ajakan dari bapak becak akhirnya aku iyakan saja. Emang rezeki gak kemana aku malah ditawari bakpia hangat yang baru saja keluar dari oven. Aku yang belum sarapan tentu saja tidak menyia-yiakan kesempatan itu. Aduhai, gigitan pertama sungguh nikmat. Bakpia hangat sungguh memberi kenikmatan di rongga mulutku. Jika saja urat malu aku tinggal di hotel aku pasti minta tambah. Kunjungan ke gerai bakpia berujung aku tidak membeli malah diberi. Terima kasih atas karunia-Mu.
Tak terasa keberadaanku di bumi Jogja tinggal 2 jam lagi. Dimana ada pertemuan disitu pula hadir perpisahan. Aku harus kembali ke kota asal dan menjalani rutinitas harian. Membayangkan saja sudah membuatku letih, mengingat masa itu adalah masa dimana aku seorang pejuang skripsi. Bukannya fokus revisi aku malah kabur ke bumi Jogja. Oleh-oleh yang kubawa ternyata sudah menyita semua ruang kosong tas pack dan tas cangklong. Kok, ini malah lebih berat saat pulang ya.
Kulangkah kaki dengan lunglai ke Stasiun Jogja. Stasiun Jogja tidak pernah tidur dan tutup. Jika saja dia bisa mengutarakan kukira dia akan minta untuk diliburkan sehari. Kereta yang membawaku ke tempat asal belum parkir dan masih diantah-berantah. Aku mengelilingi stasiun dan melihat bule-bule cantik mengeret koper. Aku keluarkan uang 5 ribu untuk membeli air minum di vendine macine. Semoga aku bisa ke Jepang. Amiin. Pengumuman kereta telah terndengar mengudara. Berbondong-bondong orang mulai memanggul tas dan menuju ke dalam kereta. Tidak butuh waktu lama roda-roda kereta mengelinding dan membawaku semakin jauh dari bumi Jogja. Bye-bye Jogja terima kasih atas cerita yang kau lukiskan di kehidupanku.
Note : Ada beberapa hal yang ingin aku bahas di bagian note yakni:
· Sebungkus nasi untuk sarapan aku beli dengan harga 15 ribu. Padahal di kota tempatku tinggal dengan harga 8 – 10 ribu sudah dapat nasi beserta lauk-pauk lengkap. Namun mengingat aku belinya disekitaran Stasiun Jogja kurasa hal itu cocok dan harganya tidak terlalu melambung tinggi dibandingkan dengan yang dijual di warung makan Stasiun Jogja yang bisa saja harganya 20 – 30 ribu.
· Jangan sungkan-sungkan untuk menawar harga bentor, jika pengemudi menawarkan harga 25 ribu dengan jarak yang tidak terlampau jauh coba tawar dengan 10 ribu kalau masih tidak mau boleh 15 ribu dan jika belum masih bersepakat tinggal saja dan bisa jadi sang pengemudi akan memanggil dan mengantarkan kita dengan harga segitu.
· Harga oleh-oleh di setiap toko juga bisa berbeda. Jika membeli di pelataran toko Jalan Malioboro tentu saja akan sedikit lebih mahal. Pengalamanku kemarin, saudaraku beli disana dan harganya 45 ribu per box sedangkan aku membeli di toko yang menghadap Stasiun Jogja hanya 37 ribu per box padahal sama-sama bakpia kukus.
· Seporsi wedang ronde yang kubeli di sekitaran Stasiun Jogja dibandrol dengan harga 10 ribu rupiah. Jika boleh memandingkan rasa dan isianya relatife sama dengan yang aku pernah beli dengan harga 6 ribu rupiah.
27 June 2023.
0 notes
Text
Bahagianya Pak Caswan, rumah reot nya dibedah Kapolres Subang
SUBANG _ Polres Subang Polda Jabar, Hari ini menjadi hari yang bahagia bagi keluarga Caswan karena rumahnya yang beberapa waktu yang lalu sudah dirubuhkan, hari ini diresmikan oleh Kapolres Subang AKBP Sumarni.
Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Kapolres Subang AKBP Sumarni, S.I.K., S.H., M.H., pada hari Senin, 12 Juni 2023, Pukul 14.00 Wib sampai dengan selesai. Bertempat di Kampung Kutasari Rt. 16/03 Desa Kertajaya Kecamatan Tambakdahan Subang.
Hadir dalam kegiatan tersebut diantaranya yaitu Kapolres Subang AKBP Sumarni, Kasat Binmas Polres Subang, KBO Sat Lantas Polres Subang, Kapolsek Binong, Bhabinkamtibmas Desa Kertajaya, Bhabinsa Desa Kertajaya, Kepala Desa Kertajaya beserta aparatur Desa dan perwakilan Taruna/Taruni Akpol. Adapun Jumlah Personel yang Melaksanakan Kegiatan sebanyak 45 personel
“ Bahwa dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Polri ke 77, Polres Subang mempersembahkan sebuah kebahagiaan bagi salah satu warga masyarakat Ds Kertajaya Kec Tambakdahan dengan merenovasi rumah tidak layak huninya menjadi rumah yang layak huni. Program ini merupakan bentuk kepedulian Porli terhadap masyarakat yang membutuhkan di wilayah hukum Polres Subang Polda Jabar. Semoga ini dapat memotivasi masyarakat lainnya untuk bisa saling membantu semampunya sehingga semua masyarakat dapat hidup layak dengan rumah yang layak huni." Ungkap Sumarni.
“Terima kasih kepada seluruh masyarakat, para donatur dan Pak RT beserta timnya yang sudah membantu berdirinya rumah kayak huni Pak Caswan ini”, ujar Sumarni.
Mereka secara bergotong royong memperbaiki rumah milik sodara Caswan sehingga dapat layak huni.
Kegiatan Ini juga dalam rangka Memperingati Hari Bhayangkara 1 Juli, serta nanti banyak kegiatan sosial lainnya yang menambah kedekatan kami Kepolisian dengan warga masyarakat.
Selain itu, AKBP Sumarni juga menyampaikan pesan Kamtibmas kepada seluruh warga masyarakat yang hadir. “ Saya terus mengingatkan agar para orangtua melakukan pengawasan kepada putra - putrinya, kepada semua pihak terutama kepada bapak - ibu jangan sampai ada anaknya yang terlibat penyalahgunaan Narkoba, tawuran atau kenakalan remaja lainnya, serta bilamana berkendara kendaraan bermotor gunakan helm SNI lengkapi kelengkapan kendaraan serta kelengkapan bagi pengendaranya," Tegas AKBP Sumarni Kapolres Subang.
Peresmian dan penyerahan Kunci Rutilahu oleh Kapolres Subang AKBP Sumarni S.I.K, S.H., M.H. kepada penerima Manfaat sodara Caswan, dilanjutkan dengan penijauan ke dalam rumah baru milik sodara Caswan. Dilanjutkan Penyerahan Sembako dari Kapolres Subang kepada pemilik Rumah sodara Caswan dan kepada warga masyarakat sekitar yang membutuhkan.
Selama berlangsungnya kegiatan peresmian dan Serah Terima Kunci Rumah Layak Huni oleh Kapolres Subang AKBP Sumarni, dalam rangka Polres Subang Peduli Bedah Rutilahu kepada Penerima Manfaat sodara Caswan berjalan aman, lancar dan Kondusif," pungkasnya.
0 notes
Text
Cakwe Berasa Cawe-cawe di Pemilu 2024
JAKARTA | KBA – Bagi masyarakat Indonesia cakue atau cakkwe sudah sangat familiar sebagai kudapan favorit keluarga yang mudah ditemukan dan disajikan tanpa sekat status sosial. Bisa di pasar, di pedagang kaki lima, gerobak di pinggir jalan, di sekolah, di rumah sakit, di rumah-rumah mewah, di gubuk reot bahkan di istana sekalipun. Cakwe biasa dimakan dengan disiram kuah asam pedas manis yang…
View On WordPress
0 notes
Text
jangan mengharap pasangan orang yang beda kelas, takutnya kamu cuma di jadikan relawan office boy, yang tugasnya bersih bersih rumah, dan numpang makan dan hidup disana, hidup yang standart, standart saja, lebih baik hidup di rumah reot namun milikmu sendiri, dan kamu menjadi raja sepenuhnya dan memegang hak milik atasnya, dari pada umurmu habis terkurung menjadi babu relawan pembersih rumah, alangkah baiknya kau menikmati hidup dan menyusuri keindahan dunia
0 notes
Text
Analog
“Pak, kemarin di malam takbir Om Indra bilang, ‘kalau yang gede ini mirip Mas Is. Mas Is banget, yaa!’“
***
Sudah sekitar lima tahun ini aku tidak pulang ke kota kelahiran. Tahun ini setelah pandemi COVID-19, akhirnya kesempatan itu datang. Menjelang lebaran, kukemas banyak barang untuk bekal pergi ke kampung halaman.
Saking lama tidak menyambangi tempat ini, rasanya begitu asing. Aku memang cuma sempat lahir di sini. Setelahnya, tidak banyak cerita.
Sedikit-sedikit aku ingat interior beberapa ruang di rumah ini. Kursi hijau panjang di ruang tamu yang sekarang reot. Langit-langit yang mulai mengabu. Halaman samping yang sudah penuh dengan ilalang.
Pun banyak sanak, masih kikuk ketika bersambang.
Seperti waktu malam takbir itu. Aku sedang di dapur menyiapkan hidangan lebaran. Sekelompok keluarga kecil kemudian datang : eyang bersama anak laki-laki dan cucunya. Ketika bersalaman, “nek sing gede iki mirip Mas Is banget, yaa!”
Deg... Jantungku seakan berhenti, memerintahkan otak untuk mencari memori yang entah dimana.
***
Pak, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dengan Om ini. Aku baru dengar namanya pun baru beberapa waktu lalu. Tapi dia bilang aku mirip Bapak?
Ini bukan pertama kalinya aku mendengar pernyataan serupa. Dari orang yang sangat kenal Bapak, sampai orang yang mungkin hanya sekelebat bertemu, berkata kalau aku mirip dengan Bapak. Emang dulu Bapak gimana?
Aku tidak banyak ingat Bapak. Hanya delapan tahun kita bertemu. Di sebagian waktunya pun aku masih lugu. Di sebagian yang lain hanya menunggu waktu pulang dari RSU.
Tapi banyak orang yang berjumpa denganku, mengingatkannya padamu.
Baik-baik yaa, Pak, di sana. Maaf kalau analogmu ini belum banyak menitip bunga di setiap orang yang ditemuinya. Gadismu masih terus berusaha. Doakan, yaa!
-alcaristia- 130523 Semarang
0 notes
Text
Aksi Kemanusiaan Polisi Teladan Lampung Tengah
LAMPUNG TENGAH - Polisi teladan yang bertugas di Polsek Bangun Rejo Polres Lampung Tengah Polda Lampung bersama relawan kembali melakukan aksi kemanusiaan. Polisi Teladan asal Lampung Tengah itu Bripka Leonardo kembali melakukan aksi kemanusiaan bersama para relawan dengan memberikan bantuan berupa sembako dan uang tunai kepada warga lanjut usia di Kampung Margorejo, Kecamatan Padang Ratu pada, Senin (27/2/2023). Bripka Leornado yang bertugas sebagai anggota Bhabinkamtibmas jajaran Polsek Bangun Rejo, Polres Lampung Tengah,Polda Lampung ini dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi, baik di lingkungannya bertugas sebagai anggota Bhabinkamtibmas maupun diwilayah lain. Dimana, ia merasa selalu terpanggil untuk menolong masyarakat yang membutuhkan, baik dari hasil keringatnya sendiri maupun dengan menjemput bantuan dari berbagai pihak. Kali ini, Bripka Leonardo didampingi anggota Bhabinkamtibmas Polsek Padang Ratu Bripka Sidiq telah menyerahkan bantuan berupa sembako dan uang tunai dari Lembaga Sosial Gerakan Pemuda Lampung Peduli serta Yayasan LKF Nusantara kepada nenek Miskem (80). “Bantuan sosial tersebut telah kami serahkan langsung kepada nenek Miskem, dengan disaksikan oleh Kakam Margorejo beserta pamong setempat,”kata Bripka Leonardo selaku Pembina Gerakan Pemuda Lampung Peduli saat dikonfirmasi. Selasa (28/2/23). Untuk diketahui, nenek Miskem (80) ialah seorang janda lansia yang sudah belasan tahun ditinggal suaminya meninggal dunia. Ia selama ini hidup sendiri di gubuk reot yang sangat memprihatinkan. Keseharian nenek Miskem adalah sebagai pembuat sapu lidi kemudian dijual kepada masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mewakili Kapolres Lampung Tengah AKBP Doffie Fahlevi Sanjaya, S.I.K.,M.Si, Bripka Leonardo menjelaskan, bantuan tahap I dengan total senilai Rp. 7.500.000,- yang diserahkan kepada nenek Miskem tersebut merupakan hasil donasi dari Lembaga sosial Gerakan Pemuda Lampung Peduli dan Yayasan LKF Nusantara. “Tidak hanya itu, Insya Allah dua bulan kedepan kami bersama para relawan juga akan membantu merenovasi rumah nenek Miskem yang membutuhkan tempat tinggal layak huni, melalui program bedah rumah,”jelasnya. Polri sebagai pelindung,pengayom dan pelayan serta penolong masyarakat,kata Bripka Leonardo kegiatan ini akan terus saya lakukan bersama para relawan guna membantu meringankan beban masyarakat yang membutuhkan. “Ini merupakan wujud nyata bahwa Polri selalu hadir untuk membantu masyarakat yang sedang membutuhkan, dilakukan dengan iklas dan tanpa pamrih,”ungkapnya. Sementara itu, Kakam Margorejo sdr. Zaenal mewakili nenek Miskem mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan dan bantuan yang telah diberikan. “Terima kasih Polri dan semua para relawan atas bantuan yang diberikan. Semoga bapak dan ibu senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam bertugas,”ucapnya. Kegiatan ini sangat bermanfaat dan membantu warga kami terlebih nenek Miskem yang membutuhkan tempat tinggal layak huni. (Hms/Basuri) Read the full article
0 notes
Text
Rumah Reot Janda Renta di Madiun, Diamburkan Hujan Ringan
Madiun, Goosela.com – Sebuah rumah milik seorang janda renta di Madiun, Jawa Timur, ambyar diterpa hujan, Rabu (28/12/2022). Meski hujan tidak lebat dengan kombinasi angin ribut, namun rumah itu hancur, lantaran berdinding anyaman bambu dengan penyangga kayu bambu bahkan dalam kondisi reot. Rumah mengenaskan itu merupakan satu-satunya ‘kekayaan’ milik Mbah Sireng (75 tahun), warga Desa Mojopurno,…
View On WordPress
0 notes
Text
Langsung aja yak, pumpung lagi mood ngetik ini heeheh
Mau cerita Abu Nawas nih :
Abu Nawas suatu hari kedatangan seorang tamu yang merupakan teman lamanya. Dipersilahkan tamu tersebut untuk duduk di teras rumah. Tak selang beberapa lama kemudian, angin bertiup agak kencang sehingga atap rumah teras bergoyang dan berbunyi "ngiikkk ngiikklk" eh bukan itu kan suara kuda 😂 "kret krett"
" Haii Abu Nawas teras rumah engkau ini sudah reot dan tua yaa" tanya tamu tersebut.
Abu Nawas menjawab "jangan salah sangka terasku ini berbunyi karena dia sedang bertasbih kepada Allah"
" Mosok sehh,kok bisa begitu?" Dengan terheran-heran tamu tersebut bertanya.
" Iya bener. Memangnya engkau lupa semua makhluk dilangit dan dibumi selalu bertasbih memuji Allah?" Jawab Abu Nawas
Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang sementara goyangan dan bunyi teras berbunyi semakin kencang. Seketika Abu Nawas melompat dari teras.
"Abu Nawas mengapa engkau melompat dan ketakutan seperti itu? Bukannya katamu teras ini sedang bertasbih? " Tanya tamu tersebut (sambil melihat Abu Nawas lari menjauh dari rumahnya)
Sambil terus menjauh Abu Nawas menjawab " aku khawatir jika semakin khusyu teras ini bertasbih, dia akan bersujud"
Semoga terhibur
8 notes
·
View notes
Text
Sekalipun air mengering, ia tak ikut tewas bersama angin.
Kasih dan sayang adalah dua yang tidak mudah lekang. Pada rentetan raut wajah para manusia yang tulusnya sedang dikuras habis-habisan, berikut adalah bukti dari sebab akhirnya mereka akan tetap berpulang.
"Sebegitunyakah?" Sebagiannya bertanya.
Iya, walaupun diriku masih belum tahu apakah ini takdir atau permintaan kurang ajar demi memenuhi jutaan langkah yang belum terselesaikan, tapi sebegitunyalah aku menjamu ketujuhnya secara perlahan.
Aku selayaknya tulang-belulang yang jika disatukan kembali ia mungkin masih kokoh tapi bisa saja reot secara bersamaan. Jika sebelumnya asing untuk kutemui suara-suaranya yang bagaikan bius, riuh-riuhnya yang bagaikan perban, tangan-tangannya yang bagaikan bidai di mana selalu sedia menghidupi setiap patahan, dan rupa-rupanya yang bagaikan cita yang siap mengudara.
Sebelumnya, biarkan sekumpulan kalimat ini kaudengar lebih menggelitik daripada cerita roman para dewasa dalam sebuah lagu. Terlalu mudah untuk menahan dahaga, tapi tidak untuk terus bercerita mesra tentang mereka yang damainya menyamai nirwana.
Dari irama yang kerap merangkul asa yang bergelantung di ujung senja, sampai kisah-kisahnya yang ada di balik kamera, mereka terus menjadikanku sebagai penghuni dari rumah yang selama ini kucari.
Bukan cangkang, bukan bangunan, bukan seberapa tinggi pondasinya menjulang. Ini adalah sekumpulan jiwa-jiwa murni yang kerap kali mengikat kehangatan, yang jari-jemarinya menari di atas luka-luka bisu bersembunyi. Bukan satu, melainkan tujuh. Mereka yakin dalam merengkuh cinta yang terkenal berperang melawan gemuruh, sekalipun dengan tokoh yang sedikit perkaranya, kita menyatu padukan rasa bahagia yang sejak dulu tenang menanti di ambang sukma.
Mereka layak untuk digandrungi pesta pora tapi dalam mencinta bukankah tidak harus melulu kita temui juara hatinya? "Tapi, siapa?" sekilas bisik yang membuat kepalaku terusik.
Tidak ada. Semua sama rata.
Kita terlalu jauh dari kata sempurna sehingga Tuhan juga berikan sekumpulan teman yang tidak bisa dipilih-kasihkan. Meski terkadang sedih rasanya abadi, namun hadirnya di sini bukan untuk berkompetisi. Semua sama rata, biar kukatakan sekali lagi.
Ketika diamnya dihantui keram kemudian tiap-tiapnya beranjak untuk saling berjabat, air mataku bak siap membubuhi lautan yang belum kunjung jadi. Mataku haus menangkap bahagia dari puja-puji yang mereka kabari silih berganti.
Untuk yang tertua, yang paling dewasa, yang teduhnya berkuasa, yang pandai berkelakar hingga pecah gundah gulana, dan yang di genggamannya selalu dibekali rasa aman dan nyaman.
Untuk yang baik-jujurnya bertebaran, juga yang muda dengan pijakan paling tegas meski jalannya baru setengah mendewasa.
Sepanjang gulungan ombak dengan nyiurnya yang saling bersahutan, "Aku menyayangimu dalam pesona gelora senja sampai ia mengunggah gelapnya yang membiru." lalu ia membawakanku lantunan sejuk untuk bersua dengan perkebunan bunga-bunga yang tertidur. Di sana, tentu terdengar napasnya yang memburu rindu, yang seringkali buatku tahu bahwa cinta memang tidak buta dan bisu.
Kisah kita menjelma jadi bagian paling serba bisa dalam memberi dan mengasihi meski lautan belum juga jadi.
Lautan belum juga jadi.
Tapi, satu yang perlu diketahui adalah mengapa kemarau enggan mencerai berai lengan waktu yang telah kuhabiskan untuk membubuhi lautan dengan banyak air mata dari citranya yang membumi ialah, sebab-sebab di mana ia sukar mengering sehingga tidak tewas bersama angin adalah ketujuhnya.
4 notes
·
View notes
Text
Sandal Merah Muda
Siang ini cuaca mendung sekali. Garis tengah cakrawala yang biasanya muncul kini seolah menghilang tertelan oleh gelap awan yang bergumul di atas sana. Langit sedang sedih – sedihnya. Ada yang bilang jika hujan adalah pertanda buruk, sementara lainnya bilang hujan pertanda akan datangnya rezeki. Namun untukku, hujan jelas pertanda bahwa aku harus menaikkan barang – barang elektronik ke lantai atas. Memang belum tentu datang hujan yang menyebabkan banjir, sekalipun hujan belum tentu juga datang banjir. Namun apa salahnya aku mempersiapkan segalanya? Rumah ini akan kosong sampai sore, jika terjadi banjir seperti tahun lalu, habis sudah barang – barang di rumah ini. Memang sudah belasan tahun aku tinggal dan kebanjiran disini. Ada yang bilang jika banjir adalah cobaan, ada pula yang bilang jika banjir adalah azab. Entahlah aku jelas tidak peduli dengan definisi, yang aku tahu banjir sangat menyebalkan sekali. Kalau ditanya apakah betah? Sejujurnya tidak. Apakah ingin pindah? Sejujurnya juga tidak. Seburuk apapun kondisinya yang disebut rumah adalah sesuatu yang terus membuat kita kembali. Dan ya sejauh apapun aku pergi, aku terus merindukan tempat ini.
Aku lantas mengambil kopi sachet merk kesukaanku dari cantelan besi di dapur. Sedikit sobekan kecil lalu kemudian bubuk kopi jatuh ke dalam gelas beling kecil yang sudah diberi tatakan piring kecil. Aku tambahkan sedikit gula untuk memberi sedikit rasa manis di pahitnya secangkir kopi ini. Tangan kananku lantas meraih termos plastic besar berwarna merah muda. Tangan kiriku membuka tutupnya berlawanan arah jarum jam secara perlahan, lantas kemudian aku tuang perlahan air panas dari dalam termos menuju gelas menggunakan tangan kanan. Tak lama langsung terlihat uap tipis naik membumbung dari dalam gelas. Aku langsung bisa menghirup aroma kopi yang naik dari dalam gelas. Kemudian aku mengambil bungkus kopi, lalu melipatnya sehingga menyerupai seperti sendok. Secara perlahan aku masukkan ke dalam gelas lalu kemudian aku memutarnya secara perlahan. Aku aduk terus hingga aku bisa melihat bubuk – bubuk kopi bermain di dalam air. Aku lantas berhenti mengaduk lalu perlahan mengamati ke arah gelas. Bubuk yang tadinya berputar – putar kini terdorong gaya gravitasi kemudian jatuh ke dasar gelas. Aku lantas membawa kopi tersebut untuk aku nikmati di teras rumah.
Aku menaruh pantat di kursi rotan tua, lalu gelas kopi di meja di samping kursi di teras depan rumah. Aku menghirup sejenak kopi tersebut untuk bisa merasakan aromanya. Lalu kemudian aku menuang sedikit kopi tadi ke arah piring kecil yang mengalasi gelas kopi. Piring aku arahkan ke dalam mulut secara perlahan. Aku biasa minum kopi sendirian seperti ini sejak istriku meninggal saat melahirkan anakku 20 tahun yang lalu.
“slrup..” suara air terdengar di teras depan rumah. Rasanya pas, tidak pahit, tidak manis, dan yang paling penting terasa hangat di dalam perut, cocok untuk menghadapi cuaca seperti pada siang hari ini.
“Pak Adi belum berangkat?” tanya Marni tetangga samping rumahku. Ia membawa tentengan plastic di tangannya.
“Belum bu Marni, masuk siang nih.” jawabku dengan kopi masih di tangan.
“Oh gitu, yaudah nih, cocok sama kopi.” kata Marni kemudian menaruh beberapa kue pisang di meja. Aku langsung tersentak melihatnya.
“Wah makasih bu Marni. Pas banget sama cuacanya.”
“Emang ada acara apaan bu masak kue pisang?” tanyaku.
“Ini si Faiz minta. Yaudahlah dibikinin aja. Namanya anak minta masak ga dikasih sih.” jawab Marni.
“Iya bu bener apasih yang enggak ya buat anak.” kataku perlahan seraya memandangi langit yang terus kelabu. Marni melihatku perlahan.
“Yaudah pak Adi saya permisi dulu ya. Ini dimakan, jangan lupa jaga kesehatan ya.” kata Marni seraya pergi menuju sebelah kiri rumahku. Aku hanya menganggukkan kepala kemudian mengambil kopi untuk kuseruput dalam. Tanganku kemudian meraih kue pisang yang diberikan oleh Marni. Pelan ku buka lembaran daun pisang yang melapisi kuenya. Kemudian aku masukkan perlahan ke dalam mulut.
Rasanya enak. Rasanya manis, jelas ini adalah salah satu kue favoritku, apalagi yang masak adalah Marni yang memang sudah terkenal lihai dalam mengolah kue – kue basah di kampungku. Namun entah mengapa tiap gigitannya terasa hambar. Aku seperti tidak merasakan kenikmatan`yang biasa aku alami. Aku lantas menghela nafas perlahan kemudian menaruh kue yang ada ditanganku tadi.
Sudah lebih dari 10 tahun sejak kejadian itu berlalu. Namun entah mengapa sedikit saja angin berhembus dapat membuatku kembali teringat padanya. Hari itu sama persis. Angin berhembus sedikit kencang, aroma hujan terasa biarpun tak pekat, awan – awan hitam yang bergulung, lalu kemudian pelan – pelan air mulai berjatuhan dari atas. Aku tentu masih di kursi tua yang sama dengan rasa kopi yang sama memandang jalanan kecil yang sama yang ada di depanku. Waktu itu aku masuk shift siang juga. Semuanya sama persis kecuali kue pisang yang sekarang ada di depanku.
Aku ingat masih menyeruput kopi hitamku saat hujan mulai berubah menjadi deras. Angin tidak cukup kencang namun cukup membuat badan siapapun terasa dingin saat itu. Aku masih bisa mendengar suara – suara di sekitarku, saat kemudian aku mendengar suara putriku satu – satunya berkata kepadaku.
“Yah, aku keluar sebentar ya.” kata putri kecilku bersiap keluar rumah.
“Tapi hujan deras kayak gini, nanti kamu sakit.” jawabku mencegah agar putriku tidak keluar rumah saat itu.
“Tapi aku ada tugas, mau belajar di rumah temen.” jawab putriku lagi dengan mata yang memohon. Aku tidak bisa untuk berkata tidak pada putri kecilku.
“Tapi ayah mau kerja, jadi kamu ke rumah temenmu sendirian ya!” kataku seraya masuk ke dalam rumah untuk mengambil payung kesukaan putriku untuk dipakainya
“Oke, Makasih ya yah!” seru putriku seraya mengenakan sandal berwarna merah mudah dengan motif beruang di alas kakinya. Tangannya kemudian menengadah keluar untuk merasakan hujan sesaat sebelum beranjak.
“Kamu pakai payung ini, jangan hujan – hujanan!” aku berkata kepada putriku dengan tangan memberikan payung berwarna kuning kepadanya.
“Gausah Yah! Gak deres juga kok.” jawab putriku langsung berlari kecil keluar rumah.
“Dadah Ayah!” Ia lantas melambaikan tangan padaku lalu berlari kecil sampai akhirnya tidak terlihat lagi. Aku bisa mengingatnya, aku masih mengingatnya, aku terus mengingatnya saat terakhir kali aku melihat langkah kecilnya menyusuri jalan kecil itu. Suara becek air hujan yang dihempaskan oleh kaki kecilnya masih menghantui malam – malamku.
Andai saja aku lebih tegas untuk mencegahnya tentu ia bisa menemaniku menyeruput kopi di hujan seperti ini. Oh Aryati, maafkan aku yang gagal menjaga titipanmu. Aku berdosa, aku tahu aku berdosa, sungguh aku berdosa. Tak layak seribu kata maaf aku lontarkan kepadamu. Aku sungguh tak layak.
Dan teruntuk putriku. Andaikan aku bisa memutar waktu, aku sudah lakukan sedari dulu. Aku memang orang tua yang bodoh. Tentu tidak akan aku biarkan kamu keluar rumah di hari itu. Tidak akan, tidak.. Kamu tidak tahu betapa banyak harapan dan doa – doa aku lantunkan di sepertiga malam untuk dirimu. Kamu tidak tahu betapa cemasnya aku saat kamu pertama kali mengalami sakit, saat kamu pertama kali demam, saat kamu pertama kali jatuh dan terluka. Kamu juga tidak tahu betapa bangganya aku saat melihat kamu masuk sekolah pertama kali, saat kamu tumbuh gigi pertama kali, saat kamu naik kelas. Kamu tidak tahu berapa hari aku tidak tidur untuk terus mencarimu saat kamu hilang dan tak kembali. Aku tidak peduli, aku hanya ingin kau kembali.
Kursi reot itu kemudian bergetar. Aku mengangkat pantatku perlahan sambil mengangkat gelap kopi dan beberapa kue pisang. Aku masuk ke dalam rumah untuk memakai seragam putih yang mulai lusuh dan celana panjang hitam berkerut. Aku kemudian bersiap berangkat menuju kantor untuk bekerja.
Sesaat sebelum berangkat aku memandangi sandal warna merah muda yang ada di rak lemari. Tinggal itu kenangan yang tersisa dari putriku di hari itu. Sandal yang aku beli karena ia memohon – mohon untuk minta dibelikan. Sejenak aku memandangi sandal itu. Aku kemudian melihat ponsel di tanganku. Ada foto putriku terlihat. Entah seperti apa jika putriku masih hidup sampai sekarang. Mungkin ia sudah bertumbuh jadi wanita yang dewasa.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah. Di luar belum hujan, namun entah mengapa aku ingin membawa payung kuning kesukaan putriku. Entahlah aku tidak tahu, aku ingin membawanya, aku hanya ingin membawanya…
3 notes
·
View notes
Text
Bersamanya.
Sebuah cerita pendek yang ide dan alur ceritanya muncul begitu saja ketika mendengarkan lagu yang dibawakan oleh T. Rucira yang berjudul Sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 7.18 malam. Sial, ucapku dalam hati, aku telat 3 menit. Aku bergegas melangkah cepat, dengan satu tujuanku yang jelas terpampang dalam pikiran. Sembari aku terus merutuki kereta yang telat beberapa menit itu, aku pun sampai di tempat dengan terengah-engah.
Mencoba menghirup panjang nafas di bulan Desember yang udaranya kian dingin, aku kemudian terduduk di satu kursi tua nan reot yang memang sudah resmi menjadi singgasana-ku tiap datang ke sini. Jangan salah, walaupun reot, kursi ini adalah kursi paling setia se-antero jagat raya. Setidaknya ia mampu menemani malam-malam sepiku dan mengurangi ke-mencekam-annya; untuk apa? Ya.. mengunjungi tempat ini tiap malam. Se-ti-ap-ma-lam, tanpa absen, aku melakukan ritualku ini.
Aku tak tahu sebenarnya apakah ini hal yang lumrah dilakukan oleh seorang manusia atau tidak—tapi peduli setan lah. Yang penting aku tidak terpaksa menjalaninya. Ritual ini aku namakan dengan, "Malam Bersamanya". Aku terkekeh memikirkan nama menggelikan itu. Ironis pula karena aku terduduk hanya sendiri di sini, bagaimana bisa disebut bersama? Ah, sudahlah, tak perlu dipusingkan.
Aku pun mengitari pandanganku dari ujung ke ujung. Walaupun ini tempat yang sangat familiar, namun aku tetap suka meluangkan waktu untuk menikmati pemandangannya. Bukan tempat yang wah memang, namun memori yang melekat bisa dibilang terlampau indah. Jika bisa dideskripsikan, ini merupakan sebuah taman yang cukup luas ukurannya; ditemani lampu-lampu kecil yang berpendar di sana sini, pepohonan rimbun serta tanaman-tanaman yang bunganya baru mulai mekar. Ada pula ayunan tua yang entah mengapa letaknya berada di tengah-tengah, dan terakhir.. kursi yang ku duduki ini. Seperti taman pada umumnya, memang, namun aku belum menceritakan bagian yang memilukan—alasan mengapa taman ini sangatlah berharga.
Dulu, sekitar satu tahunan lalu, aku dekat dengan seseorang. Kita bukanlah sepasang kekasih, bukan pula sahabat dekat. Entah apa, ya? Sulit menjelaskan hubungan kami. Satu hal yang jelas, ia penting dalam hidupku. Mungkin jika orang-orang terdekatku bisa diurutkan dari yang paling penting hingga kurang penting—pertama ada Ibu dan Bapak, kemudian Miko (kucing kesayanganku, eh bukan orang, ya?), lalu Bian (adik laki-laki ku), diikuti oleh Bi Maya, Grace (temanku sedari TK), lalu.. Dia, Trian, dan sisanya adalah semua orang di dunia ini yang mendapat predikat Kurang Penting. Ia masuk Top 7 lah, intinya.
Dulu hampir setiap malam, kami menghabiskan waktu bersama di taman ini, entah mengobrol ngalor-ngidul, berdiskusi tentang teori konspirasi, debat kusir terkait mana yang lebih lucu—kucing atau anjing, dan banyak yang lainnya. Jujur, aku masih ingat satu demi satu percakapan kami, sepenting dan setidak-penting apapun itu. Ya.. karena itu Trian, sih. Jadilah aku merasa penting untuk melakukan ritual ini, seperti melanjutkan hal yang memang rutin kami lakukan bersama.
Aku tersenyum kecut ketika mengingat satu malam yang membuat kami mulai.. renggang. Ia ragu-ragu mengucapkan padaku bahwa ia akan melanjutkan studinya ke Jerman. Aku hanya terdiam, tak tahu semestinya mengeluarkan respon seperti apa. Campur aduk rasanya. Di satu sisi, aku harus ikut berbahagia karena (ternyata, baru ku ketahui malam itu juga) memang sudah impiannya sedari dahulu untuk menuntut ilmu di sana. Namun, di sisi lain, mengapa sangat tiba-tiba? Mengapa baru sekarang kabar ini ia sampaikan? Mengapa momentumnya pas sekali ketika aku merasa ia sudah menjadi sangat signifikan di hidupku?
Lalu... Seluruh kegetiran itu seketika hilang begitu saja ketika aku mengingat hal lain. Bak angin kencang yang menerpa di kala musim hujan, amarahku seluruhnya lenyap. Tergantikan oleh rasa sakit yang rasanya tidak akan bisa berkurang, dan akan masih tetap sama. Aku masih ingat persis tanggal keberangkatan Trian menuju Jerman. Hari Sabtu, 21 Maret 2020. Hari itu cuaca cerah sekali terlihat, walaupun awan mendung tetap saja menyelimuti hatiku. Sengaja, pada hari itu aku tidak ikut mengantarnya ke bandara. Terlalu sakit rasanya. Toh, sudah cukup juga aku puas-puaskan menghabisi satu hari bersamanya di hari Jumat sebelumnya.
Aku relakan satu hari cutiku demi dirinya. Kami melakukan semua hal yang memang biasanya kami lakukan bersama; jogging pagi, kemudian hunting bubur ayam, menyempatkan ke rumah sebentar untuk bersih-bersih, lalu dilanjutkan dengan acara masak-memasak beberapa makanan favorit kami, yang disusul dengan menggelar karpet kecil di teras rumah Trian (ceritanya sih, biar kayak piknik). Sudah, sesorean itu kami habiskan dengan bersenda gurau. Dan pada malam harinya.. kami mendatangi taman ini. Duduk persis di kursi yang aku duduki sekarang.
Di malam itu, entah mengapa rasanya berbeda. Tak ada percakapan yang bertubi-tubi, tak ada diskusi yang menggebu-gebu, hanyalah keheningan yang ditemani oleh suara jangkrik sesekali. Kami memandangi langit malam yang bintang dan bulannya sedang tak terlalu nampak. Suasananya... Serius, entah mengapa. Aku pun mengucapkan salam perpisahanku padanya malam itu. Ku peluk ia erat-erat selama entah berapa lama, dengan ia yang masih tetap memohon-mohon supaya aku bisa ikut ke bandara esok paginya. Aku menyesal karena tetap teguh pada pendirianku.
Yang tak aku ketahui, malam itu rupanya adalah malam terakhir aku bisa melihat Trian. Pesawat yang ia tumpangi tidak berhasil mendarat di tempat tujuan. Pahit, masih amat sangat pahit. Jujur, aku masih belum bisa merelakan Trian sepenuhnya. Ada rasa rindu yang terlampau dalam, diselimuti oleh rasa penyesalan yang amat sangat. Rasanya seperti kehilangan separuh tubuhku, tercabik-cabik begitu saja tanpa ada rasa iba. Berbagai macam pertanyaan what-ifs muncul lagi untuk menghantuiku di malam ini. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghalau pemikiran buruk itu. Everything happened for a reason, right? ... Right?
Aku masih mencoba merasionalisasi. Namun entah, semakin dicari jawabannya, alasan di balik semua yang terjadi; titik terang dan jawaban di balik pertanyaan mengapa Trian dan bukan orang lain, mengapa harus secepat ini, dan lain seterusnya... Semakin buntu dan gelap saja rasanya. Alur pikiranku yang semakin berantakan itu pun terganggu oleh suara alarm dari handphone-ku. Sengaja, aku membuatnya untuk menjadi pengingat, takut-takut aku melamun terlalu lama di sini dan menjadi lupa waktu (seperti barusan).
Pukul 8.15, aku pun menenteng kembali semua bawaanku dan bersiap pulang. "Terima kasih untuk malam ini ya, Trian. Sampai jumpa esok hari di jam dan menit yang sama", ucapku dalam hati. Aku tersenyum pahit, menahan air mata yang sudah berebutan untuk keluar. "Ingatlah, setiap ada dan sela hatiku, semuanya merindumu, Yan", Aku lalu berbisik perlahan, dan menguatkan diri untuk melangkah pulang kembali ke rumah, sendiri.
5 notes
·
View notes