Text
Halo Lagi!
2024 sudah 2 pekan berjalan. Dan tulisan ini akhirnya dilanjutkan kembali. Sudah terlalu lama disimpan, jangan sampai keburu usang.
Ritual kontemplasi tahunan kali ini lebih panjang, sangat panjang. Saya sudah memulainya sejak akhir Desember tahun lalu. Saya membeli buku catatan baru untuk merangkum cerita-cerita terakhir di 2023. Sampai sekarang belum juga selesai. Rasanya belum tuntas benar kisahnya.
Energi saya terkuras habis untuk memutar segala waktu. Memanggil kembali memori setahun lalu. Sampai-sampai lemas dan tidak ingin bangun lagi. Padahal hari baru. Tahun baru. Konon seharusnya semangat baru.
2023 terlalu sempurna bagi saya. Marah. Sedih. Kecewa. Gembira. Bangga. Akhirnya secara penuh saya lalui dengan sadar selama 2023. Menongkah tajuk yang sedari awal saya sematkan sebagai corak yang bakal mewarnainya. "REMIDI".
Ya, saya siapkan 2023 sebagai "tahun ujian ulang" dari tahun sebelumnya. Setelah semua salah dan gagal di 2022, saya membiarkan waktu mengulangnya. Dengan diri yang lebih besar.
Benar saja. Di sepanjang arusnya, 2023 mengajak saya banyak bernostalgia. Lebih jauh dari waktu-waktu di tahun lalu. Mudik ke kota kelahiran. Menonton "Petualangan Sherina". Membaca majalah "Bobo". Pulang ke Bandung. Bersepeda.
Tidak berhenti di sana. Ia bahkan membawa saya ke mimpi-mimpi yang pernah ada. Tim RnD. Bromo. Bundaran HI. Solo trip Jogja. Carbon Project. Pegang produk kantor. Bertemu teman-teman CC di setiap kotanya. Latihan stir mobil.
Luar biasa! Bahkan ketika menulis ini, jantung saya masih menunjukkan debar yang tidak biasa. Hati saya penuh dan berat. Kepala saya terlalu berat.
Tenaga saya habis sampai di sini. Inginnya waktu berhenti. Membiarkan saya diam di 2023. Sebab apa? Ada takut dengan roda yang berputar. Akankah kemudian saya kembali jatuh terjungkal? Sejauh apa hal-hal itu tadi bisa saya bawa ke babak-babak berikutnya yang mungkin lebih menakjubkan?
Rasanya memang tidak siap. Tetapi sejauh ini sudah saya lalui. Tiga belas hari. Semuanya sudah berjalan. Di depan sana masih banyak yang menunggu. Sama seperti sebelumnya, mereka adalah ketakutan. Mereka adalah bimbang. Lelah. Kecewa. Kalah. Tapi mereka mungkin juga mimpi. Senyum rekah. Cinta.
Bismillah. Jalankan saja apa yang Tuhan ingin kamu perankan. Pelan-pelan tanpa menundakan. Segera tanpa tergesa. Jangan lupa berserah. Jangan gantungkan tujuannya pada dunia, apalagi pada hati manusia. Percayalah kamu BISA! Tuhan akan membuatmu bisa.
-alcaristia- 130124 Semarang
0 notes
Text
Di antara kerumun, menjadi asing tanpa merasa terasing.
-alcaristia-
130823
Bandung
0 notes
Text
What a life in Bandung!
Keringetan, jalan malam sepanjang Dago diiringi aa' - teteh dengan motor-motor gede yang berentet di trotoar. Bersama jajaran mamang Starbuks Keliling-starling dan cuanki panas.
Sendirian. Saya dan langkah saya beradu dengan kebisingan kendaraan yang kosong.
Masih menjadi cara yang cukup mendebarkan tapi juga menyenangkan untuk menemukan diri.
Untuk menikmati sepi.
Untuk membuang ilusi.
Dalam rangka menanti.
Dalam makna menemui arti.
Ayo, besok temani saya untuk ulangi ini!
Dan biarkan saya menemukanmu. Dan kamu akan menemukanku. Dan kita menemukan kebersamaan sejati.
-alcaristia-
130823
Bandung
0 notes
Text
Batu So’on Bondowoso, 2023
Waktu pulang ke Bondowoso di lebaran kali ini, saya menemukan teman melancong baru. Sepupu jauuuuuuhh sekali. Jauh dari jarak temu, juga galur marga. Mereka yang kemudian mengajak saya menyusur kabupaten kecil ini.
Tahun ini saya mendapatkan jatah libur yang cukup panjang dari kantor, sekitar sepuluh hari untuk hari raya. Ibu juga memutuskan untuk mengambil cuti. Kami sekeluarga bersepakat untuk menghabiskan hampir seluruh hari libur ini di Bondowoso dan Malang.
Saya sudah membawa laptop, buku, dan aneka rupa barang tempur lainnya untuk berjaga-jaga terhindar dari kebosanan selama liburan. Saya memang tidak merencanakan banyak perjalanan. Hanya ingin datang karena sudah lama tidak pulang.
Namun, saat berkumpul dengan keluarga besar di hari raya, seorang kerabat nyeletuk, “besok kalo ke Bondowoso kabarin, nanti diajak jalan-jalan. Ayo, besok ke Batu So’on!” Tentu saja dengan riang gembira saya menyambut tawaran tersebut.
Saya, ibu, adik kemudian diangkut oleh Budhe Yanti, Mbak Ovin, Mbak Iving, dan Mas Ipang menuju salah satu kawasan Ijen Geopark tersebut. Sekitar jam 8 pagi kami berangkat. Mbak Ovin sendiri yang menyetir.
Batu So’on adalah situs sejarah berupa batuan-batuan yang tersusun secara alami membentuk pilar-pilar tinggi secara. Mirip Stonehenge di Inggris. Konon katanya situs ini terbentuk di zaman megalitikum. Dulu area ini pernah menjadi tempat perkumpulan dan pertapaan para abdi Kerajaan Majapahit.
Sebelum bernama Batu So’on, situs ini dikenal dengan Batu Solor. “Solor” berarti sulur. Tanaman-tanaman rambat menutupi batuan besar tersebut. Pemukiman di sekitarnya juga disebut Desa Solor, berada di paling atas Kabupaten Bondowoso. Sementara itu, “So’on” sendiri artinya susun, “Batu So’on” adalah batu yang disusun.
Karena letaknya berada di puncak pegunungan, akses jalan menuju lokasi ini cukup menantang. Jalanan sempit dan kanan-kirinya banyak parit. Belum lagi jalannya berupa tanah dengan banyak bebatuan. Perjalanan ke sini terasa seperti off-road.
Hanya saja, perjalanan menantang sekitar 1 jam dari pusat Bondowoso tersebut kemudian akan terbayar dengan pemandangan dan udara sejuk di atas sana. Hamparan hijau mengelilingi seluruh jarak pandang. Gazebo-gazebo dengan warung makan disiapkan untuk para wisatawan menikmati pemandangan. Kami sendiri langsung membuka bekal dan melahapnya bersama. Kondisi area yang sepi juga menjadi nilai tambah untuk pelancong bersantai dalam plesirnya.
Sayangnya, waktu saya datang ke sana, akses menuju objek utama batu susun masih dalam pembangunan. Alhasil, saya hanya bisa melihat bangunan “ajaib” tersebut dari jarak jauh. Batu-batuan itu juga sedang ditutupi oleh tanaman rambat yang membuat struktur bertumpuknya semakin tidak kentara. Hanya beberapa spot saja yang bisa terjamah untuk diambil potretnya.
Sekitar setengah hari saya dan keluarga menghabiskan waktu di Batu So’on. Pas untuk melipur penat dari hidup perkotaan. Sepulang dari Batu So’on, kami memutari lagi pusat kota untuk mengisi perut kosong. Banyak warung makan yang masih tutup karena libur lebaran. Dan mie ayam akhirnya menjadi penutup perjalanan hari itu.
“Jangan kapok, ya! Masih ada Kawah Ijen, Pantai Pasir Putih, Gunung Bromo, dll. Besok kalau ke Bondowoso lagi kabarin aja, nanti jalan-jalan lagi,” kata Budhe Yanti di ujung perpisahan. SIAP!!!
-alcaristia- 280523 Semarang
4 notes
·
View notes
Text
AYO BELAJAR LAGI!!!
gitu sih :)
Bagaimana rasanya menjadi dewasa tanpa tahu apa-apa?
305 notes
·
View notes
Text
Ya?!?
* Sudah jengah, Han! Sudah lelah mendengar kilah
Sekarang coba kau menengadah Melucuti keakuan yang lampau serakah
Coba sekarang kau singsing aku Setinggi kepala besarmu Dengan tanganmu
Kau mau?
* Bukan, bukan sekadar polahku pongah Hanya saja lapangku terlampau kumuh saat ini Dengan kotor-kotoran yang kau seraki Lucut tertimbun tulah aku kini
Kau, sedia memberesi?
-alcaristia- 200523 Semarang
0 notes
Text
Beri Jalan!
Sudah sejauh langkah Menyusur berlampau kiprah Tetap menjadi antah Mengubur serapah
Berkali menawarkan rangkul Berbalas pada belur Menjadi habis dipukul mundur
Biar ku dalam biur? Biar kau balik melipur?
Biar ku menekur???
Mana lagi yang perlu disusur?
-alcaristia- 200523 Semarang
0 notes
Text
Analog
“Pak, kemarin di malam takbir Om Indra bilang, ‘kalau yang gede ini mirip Mas Is. Mas Is banget, yaa!’“
***
Sudah sekitar lima tahun ini aku tidak pulang ke kota kelahiran. Tahun ini setelah pandemi COVID-19, akhirnya kesempatan itu datang. Menjelang lebaran, kukemas banyak barang untuk bekal pergi ke kampung halaman.
Saking lama tidak menyambangi tempat ini, rasanya begitu asing. Aku memang cuma sempat lahir di sini. Setelahnya, tidak banyak cerita.
Sedikit-sedikit aku ingat interior beberapa ruang di rumah ini. Kursi hijau panjang di ruang tamu yang sekarang reot. Langit-langit yang mulai mengabu. Halaman samping yang sudah penuh dengan ilalang.
Pun banyak sanak, masih kikuk ketika bersambang.
Seperti waktu malam takbir itu. Aku sedang di dapur menyiapkan hidangan lebaran. Sekelompok keluarga kecil kemudian datang : eyang bersama anak laki-laki dan cucunya. Ketika bersalaman, “nek sing gede iki mirip Mas Is banget, yaa!”
Deg... Jantungku seakan berhenti, memerintahkan otak untuk mencari memori yang entah dimana.
***
Pak, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dengan Om ini. Aku baru dengar namanya pun baru beberapa waktu lalu. Tapi dia bilang aku mirip Bapak?
Ini bukan pertama kalinya aku mendengar pernyataan serupa. Dari orang yang sangat kenal Bapak, sampai orang yang mungkin hanya sekelebat bertemu, berkata kalau aku mirip dengan Bapak. Emang dulu Bapak gimana?
Aku tidak banyak ingat Bapak. Hanya delapan tahun kita bertemu. Di sebagian waktunya pun aku masih lugu. Di sebagian yang lain hanya menunggu waktu pulang dari RSU.
Tapi banyak orang yang berjumpa denganku, mengingatkannya padamu.
Baik-baik yaa, Pak, di sana. Maaf kalau analogmu ini belum banyak menitip bunga di setiap orang yang ditemuinya. Gadismu masih terus berusaha. Doakan, yaa!
-alcaristia- 130523 Semarang
0 notes
Text
Menuju Utuh #5
Bruk ... Kujatuhkan badan di atas kasur setelah lelah mengontel sejauh 20 km. Dering ponselku hanya berbunyi sekali saat makan nasi pecel pagi tadi, tanpa sempat kujawab. Tapi pesan dari Nug masih bertengger di notifikasi. Dan aku terlalu ragu untuk membukanya.
“Besok aku pasti datang. Tunggu aku di bandara, yaa!”, begitulah pesan terakhir yang aku sampaikan sebelum Nug pergi. Setelahnya tidak ada riwayat percakapan lagi. Soal temu terakhir? Tidak pernah terjadi, pesawat Nug sudah terbang saat aku masih tidak bisa melepasnya.
Nug sama sekali tidak berkabar soal negeri kincir angin yang sedang dia jajaki untuk sekolah. Aku? Tidak sekalipun tekatku penuh untuk menyapa terlebih dahulu. Perpisahan yang tanpa “selamat tinggal” membuatku semakin teguh untuk tidak merindu. Kubiarkan diriku membaur dengan gulana hingga habis sisanya. Dari pada harus menerima nyata bahwa tidak bisa jumpa?
Berulang berbagai tanya tentang Nug menghampiriku. Bagaimana kabarnya? Siapa yang ditemunya di sana? Sesekali itu mengganggu, apalagi ketika ibu yang menyeru, mencari tahu keadaanku dengan Nug. Tapi lagi-lagi, kendatipun tidak pernah aku melacak jawabannya.
Nug pulang. Sekilas informasi yang aku dapatkan dari Der pagi ini. Aku akhirnya mencoba menguatkan hati untuk membuka pesannya tadi.
“Han, aku lagi ada di Indo, nih. Sore ini kosong? Mama, Papa pingin ketemu kamu,” tulisnya.
Selesai . . .
-alcaristia- 230223 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
1 note
·
View note
Text
Menuju Utuh #4
Cekrek ... Di seberang sana terlihat Der sedang memotret suasana CFD yang hiruk-pikuk sambil berdiri di atas Brompton-nya. Gayanya nyentrik habis dengan kaca mata hitam dan kaos ketat, tidak lupa helm dan botol minum yang juga bermerk.
“Oi,” sapanya dengan melambaikan tangan seiring aku mendekat.
“Udah lama?,” tanyaku balik.
“Nevermind,” timpalnya.
Kami melanjutkan olah raga pagi ini di sepanjang jalan protokol yang sedang bebas dari kendaraan bermotor. Bahkan melaju jauh, kami hampir sampai di pinggiran kota. Menuju warung pecel legenda, langgananku sejak SD dulu.
“Kayaknya aku sudah siap buat bikin start-up,” ujar Der sambil melahap sayur-bumbu kacangnya.
“Hmmm,” aku hanya berdeham. Minat apa lagi yang dia punya kali ini?
“Yaa Han, toko kelontongku sudah berjalan dengan baik. Tenda pecel lele juga yaa tinggal tunggu waktu, lah. Nah, sekarang waktunya aku bangun teknologi buat memajukan usaha-usaha kecil ini,” lanjutnya menjelaskan.
Tuan muda satu ini memang tidak kupahami jalan pikirnya. Banyak sekali maunya. Pingin jadi bos ini, bos itu. Sepertinya ada lebih dari puluhan kali dia menjalankan bisnis yang berbeda. Dulu waktu SMA dia berjualan tiket konser buat cewek-cewek penggemar KPOP. Selagi kuliah, lebih palugada komoditasnya. Segala perangkat kuliah mulai modul pembelajaran sampai keperluan anak kos seperti dispenser, dia jajakan. Selepas itu, clothing, pulsa provider, sampai warung kaki lima dijabaninnya. Dia akan memberikan presentasi dulu kepadaku sebelum memulai uji-cobanya lagi, “kamu bertugas kasih insight pasar buat bisnis baru ini,” ungkapnya.
“Kenapa gk langsung ngelanjutin bisnis papamu aja sih, Der?,” tanyaku penasaran.
“Gk asiklah, aku pingin mulai dari nol. Biar ngerasain banyak pengalaman dulu. Kalau udah siap, baru kuambil alih tuh perusahaan,” jawabnya. Dia memang tidak ada kapoknya untuk jatuh-bangun menjalani bisnis.
Zzttt ... Zzttt... Zzttt... HP-ku bergetar, kali ini dengan nada yang lebih panjang. Aku tercengang melihat nama yang ada di layar.
“Nug? Oh, dia sudah sampai di Indo, yaa?”, lontar Der, membuat pikiranku semakin tidak keruan.
Bersambung . . .
-alcaristia- 010223 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
1 note
·
View note
Text
Menuju Utuh #3
Tin... Tin... Jalanan ramai sekali sore ini menjelang malam Minggu. Kendaraan antre di perempatan lampu merah. Beberapa mengekor dari parkiran mall di seberang sana, termasuk mobilku.
Lama berbaris di jalan, akhirnya aku dan Saf dengan santai mengelilingi toko-toko di dalam pasaraya. Aku mengajak Saf untuk belanja baju. Selasa depan aku harus menggunakan kostum nuansa putih untuk merayakan hari jadi perusahaan. Sekalian, Saf juga ingin menonton film yang baru saja tayang.
Sekembalinya dari mengangkat telepon selagi aku memilih baju, Saf berbisik dengan lesu.
“Aku harus packing sekarang nih, besok mau flight ke Jakarta. Ada dokumen yang perlu disiapin dulu,” ucapnya dengan rasa bersalah. Untungnya aku sudah mendapatkan baju yang dicari. Usai dari kasir, kami lalu putar balik untuk kembali ke kos tanpa menyambangi bioskop.
“Maaf yaa,” ucap Saf berulang kali di sepanjang perjalanan.
“It’s ok. Makasi sudah nemenin cari baju. Kamunya malah yang belum sempat nonton. Kita nobar drakor aja yuk malem ini, aku temenin sambil kamu packing,” tawarku menghibur.
Saf, si perempuan pekerja keras. Mimpinya besar untuk berkarya di korporasi bergengsi. Dia memang orang yang tekun dan pintar sedari dulu. Tidak pernah satupun dosen kecewa atas kinerjanya dalam beberapa proyek akademisi. Bahkan tidak tertinggal, dia juga aktivis terkenal di kampus.
Tapi keluhnya juga tidak kalah nyaring. Beberapa kali dia berkata lelah dengan mimpi yang dijalani. Belum lagi lingkungan kerja yang begitu kompetitif terkadang justru menyediakan suasana kotor. Sikut sana-sini. Bos overprosecute. Coba bayangkan, malam Minggu Saf dikabari untuk flight besok pagi! Sudah sering dia melontarkan kata resign. Sekali bahkan pernah disampaikan maksudnya itu ke atasan tetapi tidak dikabulkan. “Yaudah lah, nikmatin aja. Toh ini juga yang dulu aku mau sebenarnya,” ungkapnya kalau sedang pasrah.
“Under the Queen Umbrella” memenuhi malamku dan Saf yang sedang mempersiapkan penerbangan.
“Kemarin ibu ngirim opor. Nanti dibawa ke kamar yaa, buat makan besok. Nunggu aku pulang dari Jakarta, nanti keburu basi,” katanya di sela-sela malam ini, “itu ada banyak, nanti dibagi dua aja sama Der. Besok kalian ketemu, kan?”, pungkasnya.
“Hoake,” sahutku sambil menguap menahan kantuk untuk maraton menonton drama Korea.
“Zan ada juga?”, tanyanya lagi. Aku menggeleng.
-alcaristia- 310123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
2 notes
·
View notes
Text
Menuju Utuh #2
Ting Tong... “Masuk aja Han, pintunya gk dikunci,” teriak suara si empunya dari dalam.
Tanganku meraih gagang pintu, memutarnya sampai aroma spaghetti carbonara tercium semerbak.
“Dari kantor?”, lanjut Del bertanya.
“Enggak, habis nunggu klien di kafe,” jawabku sambil mengatur posisi duduk di meja makan yang sudah terhidang beberapa masakan.
“Zan?,” tanya Del lagi.
“Dimana lagi?,” timpalku dengan mengangkat bahu dan menusuk mie dengan garpu.
“Nyoba resep apa lagi, nih? Dari akun Youtube chef yang mana?”, tambahku pura-pura peduli dengan perkembangan Del dalam belajar memasak. Del menyahut sambil menunjuk kudapan-kudapannya. Aku terus makan sambil sesekali menggangguk.
Del baru menikah delapan bulan yang lalu. Suaminya sering bolak-balik ke luar kota untuk urusan bisnis. Saat pulang ke rumah, waktu untuk bersama hanya sedikit karena Del juga sibuk bekerja. Beberapa bulan terakhir dia akhirnya memutuskan untuk resign demi rumah tetap berpenghuni. “Kasihan rumahnya kalau ditinggal terus,” ungkapnya. Tapi Del jadi kesepian di rumah yang tidak seramai kantor.
Acap kali Del mengundangku datang ke rumah untuk mencicipi masakan yang dijajalnya -juga menemani agar tidak sendirian. Tangannya memang piawai dalam meramu bumbu. Waktu kuliah dulu, dialah yang menjadi juru masak di kos kami. Del mulai masuk ke dapur lagi setelah berhenti bekerja. Kali ini dia bahkan lebih rajin untuk membagikan hasil eksperimennya di media sosial macam influencer. Dia terlihat begitu menikmati kegiatan ini untuk mengisi waktu-waktu menunggu suaminya datang.
“Kapan Mas Bim pulang?”, lontarku.
“Besok malam,” jawabnya. Sudah kuduga, Del akan memanggilku untuk mencoba kreasi masakan baru sebelum dihidangkan ke suaminya.
"Ah, weekend ini mau ngajak nonton bareng Saf padahal. Kami mau nge-mall juga.”
Bersambung . . .
-alcaristia- 310123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
1 note
·
View note
Text
Menuju Utuh #1
Kling... Suara khas terdengar setiap kali aku mendorong pintu kaca itu. Langkahku langsung berbelok ke kanan menuju bar untuk memesan kopi.
“Duduk aja, aku ada racikan baru lagi. Mau coba, kan?”, ucap Zan segera sebelum aku membuka buku menu.
Aku langsung berbalik mencari sudut yang kondusif.
Kubuka laptop dan beberapa berkas untuk bertemu klien kali ini. Sambil mengatur napas, aku komat-kamit mempersiapkan presentasi.
“Latte dengan biji kopi dari Gayo dan Bali yang difermentasi .....,” Zan tiba beberapa menit kemudian dan segera sigap bercerita tentang resep barunya setelah menyodorkan secangkir kopi, “seperti biasa, kamu menjadi orang pertama yang mencobanya. Selamat menikmati!”, tutupnya di akhir cerita dengan lesung di pipi kiri yang tidak tertinggal.
Zan selalu antusias untuk urusan tersebut. Ini ramuan kopinya yang ketiga. Berarti aku akan menyebutnya sebagai “kopi C”. Berulang kali Zan menjelaskan tentang rampai kopi, tapi aku tidak ingin ambil pusing. Jadi, aku menamai menu-menu baru itu sesuai abjad dan hanya mengingat rasanya. Ketika akan memesan lagi, aku hanya perlu menyebutkan hurufnya. Zan juga sudah setuju dengan itu.
Enam bulan lalu aku bertemu dengan Zan di kedai kopi ini. Anak muda dengan gaya rambut kekinian. Sepertinya tidak selisih banyak dengan umurku. Badan tegap nan tingginya tidak sebanding dengan tatap kebingungan sebagai pramusaji baru waktu itu. Dia mengantarkan kopi yang bukan pesanan di mejaku. Dengan wajah pasi dia berputar ketakutan menuju pramusaji senior untuk mengonfirmasi pesanan lagi.
Sekarang Zan berdiri di balik bar. Tangannya mulai piawai memainkan mesin espresso dan mencampur-aduk berbagai bahan tambahan untuk sehidang kopi. Tubuhnya tetap tegap dengan pandangan pasti kini. Tekatnya selegam kopi untuk membahagiakan ibu dan menyekolahkan adik hingga tuntas. Tidak ada penyesalan sedikit pun atas keputusannya berhenti kuliah untuk menggantikan ayah yang pulang terlebih dahulu. Dia tampak keren sekali dengan celemek dan topi hitam itu.
Zttt... ztttt... HP-ku bergetar, sebuah chat masuk memberitahukan bahwa meeting hari ini dibatalkan. Ah, padahal sudah dua jam aku menunggu.
Zttt... ztttt... Sepotong pesan masuk lagi dari Del menutup soreku bersama dengan seteguk kopi terakhir.
Bersambung . . . .
-alcaristia- 290123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
2 notes
·
View notes
Text
Tiket
Aku membongkar berkas-berkas yang sengaja disimpan untuk kenang-kenangan dari sebuah kotak. Aku menyebutnya “petak nostalgia”. Kartu-kartu ucapan selamat ulang tahun, surat tanda diterima di universitas, album foto, slip gaji pertama, aku simpan di dalam wadah tersebut.
Kukumpulkan juga tiket-tiket perjalanan, terutama ketika pulang-pergi Nganjuk-Yogyakarta saat kuliah dulu. Aku bertekat agar membayar tiket tersebut dengan penerbangan ke Mekah untuk Bapak-Ibu seusai menerima ijazah.
Tiba-tiba dering telepon terdengar.
“Nduk, Alhamdulillah Ibu lagi di depan ka’bah. Tadi sudah berdoa buat Bapak biar nanti bisa ketemu lagi di surga. Sekarang kamu mau apa? Ayo, doa bareng Ibu.”
-alcaristia- 260123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
3 notes
·
View notes
Text
Kandungan
24 Septermber 2020. Aku akan selalu ingat dengan pagi hari yang mengharukan itu. Terhuyung aku ketika bangun pagi. Rasanya pusing dan mual. Kuistirahatkan lagi tubuh yang baru saja selesai dari tidur. Mas mengambilkan air putih hangat untukku. Kemudian aku teringat kalau hari ini seharusnya sudah memasuki fase datang bulan. Apa mungkin ini memang tanda dari fase itu?
Setelah mendingan, aku ke kamar mandi untuk mengecek. Ternyata tidak ada bercak darah. Padahal tiga hari lalu aplikasi “My Calender” sudah memberikan notifikafi siklus haid. Iseng lalu aku mengambil test pack. Seketika tangis pun pecah di rumah itu.
Bayi ini sudah kami tunggu selama dua tahun pernikahan. Sekarang perutku sudah mulai membesar, memasuki trimester ketiga. Seiring dengan itu, pipi kiri Mas juga ikut membengkak. Malam ini aku tersungkur di sampingnya yang tertidur sambil bersimpuh, “Tuhan, mohon kuatkan suami hamba agar segera pulih pasca kemoterapi ini.”
-alcaristia- 260123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
1 note
·
View note
Text
Enyah
Ujian akhir sudah selesai. Kamar asrama mulai ramai dengan dering telepon dari rumah yang menanyakan, “sudah beli tiket pulang? Jangan sampai kehabisan, lho!” Ditambah pesan-pesan untuk membawakan oleh-oleh khas kota rantau.
Tapi tidak dengan Ima. Ranselnya sudah nangkring di kasur dengan isian seabrek perlengkapan muncak. Kali ini mau camping di Gunung Merbabu. Sudah menjadi rutinitasnya untuk pergi dari rantau ke rantauan yang lain di setiap libur semester.
Merantau adalah keinginannya sedari dulu. Dan pulang ke rumah yang berisi Tante Nin di kamar ayah dengan bocah-bocah kecil berisik adalah hal yang paling dia hindari sejak akhirnya bisa kabur.
-alcaristia- 260123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
1 note
·
View note
Text
Mencari
"Susah yaa cari yang cakep, soleh, dan baik hati."
"Memang kamu sudah mencari ke mana aja?"
"Sudah dari masa lalu sampai dunia halu. Temen SMA sampai ke SD lagi. Instagram, Bumble, Twitter, Ta’aruf Online. Bah, entahlah."
"Di dirimu sendiri?"
"Eh?"
"Han, barangkali PR-nya bukan mencari, tapi memperbaiki diri."
-alcaristia- 260123 Semarang
Writting and Publishing Workshop Challenge by @kurniawangunadi and @careerclass
0 notes