#NabiMuhamma
Explore tagged Tumblr posts
Text
Alhamdulillah Alloh Bimbing Kami Seperti Jalan Nabi Muhammad Yang Kau Sayangi #Dakwah #Islam
Faedah dari Ibnu Katsir “Jalan yang Engkau Beri Nikmat” Ayat berikut, صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ adalah tafsiran dari ayat, الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ Karenanya jalan yang lurus adalah jalan yang Allah beri nikmat. Shirothol mustaqim ini, menurut ilmu nahwu sebagai “badal minhu”, bisa juga kita sebut dengan ‘athaf bayan. Alhamdulillah Alloh Bimbing Kami Seperti Jalan Nabi Muhammad Yang Kau Sayangi Orang-orang yang Allah beri nikmat adalah seperti yang disebutkan dalam ayat, وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئ��كَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata tentang orang-orang yang mendapatkan nikmat, صراط الذين أنعمت عليهم بطاعتك وعبادتك، من ملائكتك، وأنبيائك، والصديقين، والشهداء، والصالحين “Jalan yang engkau beri nikmat kepada mereka dengan menaati-Mu dan beribadah kepada-Mu. Mereka yang mendapatkan nikmat adalah para malaikat, para nabi, shiddiqiin, syuhada, dan orang-orang saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:215) Faedah dari Ibnu Katsir “jalan orang yang dimurkai” dan “jalan orang yang sesat” Dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata bahwa ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimaksud dengan “ghairil maghdhuubi ‘alaihim” (bukan jalan mereka yang dimurkai), Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah Yahudi.” Lalu mengenai ayat “wa laadh dhoolliin” (bukan jalan mereka yang sesat), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah Nasrani.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:217. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi mengatakan bahwa hadits ini sahih karena memiliki penguat. Lihat HR. Ahmad, 4:378-379; Tirmidzi, no. 2954) Dari Abu Dzarr, ia bertanya tentang al-maghdhuub ‘alaihim (mereka yang dimurkai), jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu Yahudi.” Ia bertanya tentang adh-dhoolliin (mereka yang sesat), jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu Nasrani.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:217. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi mengatakan bahwa hadits ini sahih secara matan). Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa ia tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama pakar tafsir dalam masalah ini. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:219. Dalam sirah (sejarah), dari Zaid bin ‘Amr bin Nufail bahwa ketika ia keluar bersama jamaah dari para sahabat ke Syam, mereka ingin mencari agama yang lurus (ad-diin al-haniif), ada orang Yahudi mengatakan kepadanya, “Engkau tidak mampu masuk bersama kami sampai engkau mengambil bagianmu menjadi orang yang dimurkai oleh Allah.” Ia berkata, “Aku menjadi orang yang dimurkai Allah, aku mending lari.” Orang Nasrani berkata padanya, “Engkau juga tidak mampu masuk bersama kami sampai engkau mengambil bagianmu menjadi orang-orang yang dilaknat oleh Allah.” Zaid berkata, “Aku tidak mampu, aku terus mau berada di atas fitrah.” Ia pun menjauh dari peribadahan pada berhala dan agama orang musyrik. Ia pun tidak masuk mengikuti Yahudi atau pun Nasrani. Kawannya ada yang ikut Nasrani. Mereka masuk dalam ajaran Nasrani karena mereka merasa bahwa Nasrani lebih dekat dengan ajaran Yahudi. Di antara mereka ada Waraqah bin Naufal sampai Allah memberinya hidayah dengan perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamketika beliau diutus dan ia beriman pada wahyu yang dibawa. Semoga Allah meridainya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:219) Faedah ayat Sebagaimana kata Ibnu Katsir, shirothol mustaqim (jalan yang lurus) adalah syariat yang d
ibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hidayah itu ada dua macam, yaitu hidayah yang sekadar memberikan penjelasan (hidayah ilmu wa irsyad) dan hidayah untuk mengamalkan syariat (hidayah taufiq wa ‘amal). Jalan itu ada dua macam, yakni jalan yang lurus dan jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus. “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus (ihdinaash shiroothol mustaqim)”, ini kalimat yang sifatnya mujmal(global). Sedangkan “jalan yang Engkau beri nikmat pada mereka (shiroothol laadziina an’amta ‘alaihim)” adalah tafshil (rincian). Mendapatkan petunjuk pada jalan yang lurus adalah suatu nikmat yang patut disyukuri. Manusia terbagi menjadi tiga: (1) manusia yang mendapatkan nikmat dengan mendapatkan petunjuk, (2) manusia yang dimurkai, (3) manusia yang sesat. Ada dua sebab seseorang keluar dari jalan yang lurus yaitu karena kebodohan (al-jahl) dan karena penentangan (al-‘inad). Golongan yang menentang adalah Yahudi, itulah yang mendapatkan murka Allah. Golongan yang jauh dari ilmu adalah Nasrani, itulah yang dikatakan sesat. Nasrani disebut tidak punya ilmu adalah keadaan sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi seorang nabi. Adapun setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi, mereka sudah tahu kebenaran ini, lalu mereka tidak mau taat. Kata al-maghdhuub ‘alaihim (yang dimurkai) disebutkan lebih dahulu daripada adh-dhoolliin (yang sesat). Kondisi orang yang disebut al-maghdhuub ‘alaihim lebih parah dari adh-dhoolliin. Al-maghdhuub ‘alaihim (yang dimurkai) adalah yang menyelisihi kebenaran padahal punya ilmu (alias: menentang). Sedangkan adh-dhoolliinadalah menyelisihi kebenaran karena bodoh atau tidak punya ilmu. Tentu saja yang menyelisihi kebenaran karena punya ilmu lebih parah daripada yang menyelisihinya karena tidak punya ilmu. Referensi: At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Shahih Tafsir Ibni Katsir. Cetakan pertama, Tahun 1427 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Darul Fawaid – Dar Ibnu Rajab. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Sumber https://rumaysho.com/24496-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-6-dan-7-memahami-shirathal-mustaqim-jalan-lurus.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Bimbing Kami Seperti Jalan Nabi Muhammad Yang Kau Sayangi
#04AlFatihah#jalannikmat#nabiMuhammad#nasrani#sayang#yahudi#AlFatihah#Alloh#blogAlloh#MahaBaik#NabiMuhamma
0 notes
Text
Alhamdulillah Alloh Jauhkan Kita Dari Segala Bentuk Kemarahan & Kesesatan #Dakwah #Islam
Tafsir Surah Al-Fatihah, siapa yang menulis dari dua Jalaluddin? Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri berkata bahwa di naskah asli, tafsir surah Al-Fatihah diletakkan setelah surah An-Naas. Hal ini dikarenakan Jalaluddin Al-Mahalli adalah yang menulis tafsir surah Al-Fatihah dan ia menulisnya setelah surah An-Naas. Lihat ta’liq Tafsir Surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al-Jalalain, hlm. 10. Alhamdulillah Alloh Jauhkan Kita Dari Segala Bentuk Kemarahan & Kesesatan Kenapa disebut Al-Fatihah? Al-Fatihah artinya pembuka. Surah Al-Fatihah disebut demikian karena surah inilah yang membuka Al-Quran Al-Karim. Ada pula yang mengatakan bahwa surah inilah yang turun pertama kali secara utuh. Lihat bahasan Syaikh Ibnu’ Utsaimin dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 7. Keistimewaan surah Al-Fatihah Para ulama menyebut surah ini berisi makna Alquran secara keseluruhan, di dalamnya ada kandungan tauhid, hukum, jaza’ (balasan), jalan hidup bani Adam, dan selainnya. Itulah kenapa surah ini disebut dengan Ummul Quran (induknya Alquran). Karena tempat kembali sesuatu disebut Umm (induk). Surah ini merupakan rukun shalat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyatakan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling utama. Surah ini disebut pula dengan Ruqyah, artinya jika surah ini dibacakan pada orang sakit akan sembuh dengan izin Allah sebagaimana hal ini terdapat dalam kisah para sahabat yang meruqyah seorang tokoh ketika mereka mampir, mereka menggunakan surah Al-Fatihah sebagai bacaan ruqyah. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 7. Bidah terkait surah Al-Fatihah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Di antara bentuk bid’ah yang dilakukan terkait surah Al-Fatihah adalah surah ini terus dijadikan bacaan penutup setelah doa. Juga surah ini dijadikan pendahuluan sebelum khutbah, juga dibaca pada acara-acara tertentu, yaitu ada yang mengatakan bacalah Al-Fatihah. Seperti ini keliru. Karena ibadah itu harus dibangun di atas dalil dan mengikuti petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 7. Tafsir Surah Al-Fatihah بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 1-7) Basmalah tidak ditafsirkan oleh Jalaluddin Al-Mahalli Berikut kami ringkaskan beberapa poin dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam tafsirnya: 1. Basmalah itu disebut dan akan terkait dengan perbuatan tertentu. Kalau kita memulai membaca Alquran dengan basmalah, berarti “dengan nama Allah saya membaca Alquran”. Kalau mau makan membaca basmalah berarti “dengan nama Allah saya makan”. Nama Allah di sini disebut duluan dibanding perbuatan membaca dan makan dengan dua tujuan: Untuk tabarruk (meraih berkah). Untuk menunjukkan adanya hashr (pembatasan makna), berarti “hanya“. 2. “Allah” adalah di antara nama Allah, tidak ada makhluk yang boleh bernama dengan nama ini. Inilah pokok nama Allah, nama lainnya adalah turunan dari nama ini. 3. Ar-Rahman artinya Allah memiliki rahmat yang luas. 4. Ar-Rahiim artinya Allah memiliki rahmat yang khusus pada orang yang Allah kehendaki. Referensi: Tafsir Al-Jalalain. Cetakan k
edua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Sumber https://rumaysho.com/23512-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-1-memahami-bismillah.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Jauhkan Kita Dari Segala Bentuk Kemarahan & Kesesatan
#04AlFatihah#jalannikmat#nabiMuhammad#nasrani#sayang#yahudi#AlFatihah#Alloh#blogAlloh#MahaBaik#NabiMuhamma
0 notes
Text
Ikutilah Kehidupan Nabi Muhammad, Alloh Akan Mencintaimu & Memaafkanmu #Dakwah #Islam
Hadits Arbain #41 عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ رُوِّيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ. Dari Abu Muhammad Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan sahih, kami meriwayatkannya dari kitab Al-Hujjah dengan sanad shahih). Ikutilah Kehidupan Nabi Muhammad, Alloh Akan Mencintaimu & Memaafkanmu Keterangan hadits – Laa yu’minu: tidak sempurna imannya. – Hawaahu: hawa nafsu condong padanya – Tab’an limaa ji’tu bihi: mengikuti syariat yang nabi bawa Penjelasan hadits Walau hadits di atas adalah hadits yang dha’if. Ibnu Rajah Al-Hambali rahimahullah sampai mengatakan, “Pensahihan hadits ini sebagai hadits yang valid jauh sekali dari beberapa peninjauan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:394). Namun, makna hadits ini tetap benar. Makna hadits tersebut menurut Ibnu Rajab Al-Hambali, kita dikatakan memiliki iman yang sempurna yang sifatnya wajib ketika kita tunduk pada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya serta mencintai perintah dan membenci setiap larangan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:395. Beberapa ayat menyebutkan makna yang sama sebagaimana hadits di atas. فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِى�� أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65) وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36) Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Al-Qur’an telah menjelaskan Allah telah mencela siapa saja yang membenci apa yang Allah cintai atau mencintai apa yang Allah benci.” (Jaami’ul ‘Ulum wa Al-Hikam, 2:395). Dalam ayat disebutkan apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9) Juga disebutkan dalam surat yang sama, ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 28) Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Cinta yang benar haruslah berdampak pada mutaba’ah dan muwafaqah (mengikuti dan menyesuaikan) dalam mencintai hal-hal yang dicintai dan membenci hal-hal yang dibenci.” (Jaami’ul ‘Ulum wa Al-Hikam, 2:396) قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Dalam ayat lainnya disebutkan, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَ��ْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31) Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan perkataan Al-Hasan Al-Bashri bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami benar-benar mencintai Rabb kami.” Maka Allah jadikan kecintaan itu sebagai tanda sehingga turunlah surah Ali Imran ayat 31 di atas. (Jaami’ul ‘Ulum wa Al-Hikam, 2:396) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ “Tiga perkara yang seseorang akan merasakan manisnya iman : [1] ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya, [2] ia mencintai seseorang hanya karena Allah, [3] ia benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci bila dilemparkan dalam neraka.” (HR. Bukhari, no. 6941 dan Muslim, no. 43) Cara mencintai Rasul Wajib bagi setiap mukmin mencintai segala yang Allah cintai sehingga harus baginya melakukan perkara yang wajib. Jika kecintaannya bertambah, ia menambah lagi dengan melakukan amalan sunnah. Itulah tambahan untuknya. Begitu pula wajib bagi setiap muslim membenci segala yang Allah benci sehingga sudah selayaknya baginya menahan diri dari segala perkara yang haram. Rasa bencinya ditambah lagi dengan meninggalkan hal yang makruh (makruh tanzih). Ada hadits dalam shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman sampai aku lebih ia cintai dari orang tua, anak dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44) Dalam riwayat Muslim disebutkan, لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Seorang hamba tidaklah beriman hingga aku lebih ia cintai dari keluarga, harta, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 44) Bahkan Rasul harus lebih dicintai dari diri kita sendiri. Dari ‘Abdullah bin Hisyam, ia berkata, كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ » . فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الآنَ وَاللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « الآنَ يَا عُمَرُ » “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ketika itu memegang tangan Umar bin Al-Khattab. ‘Umar berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, pokoknya aku tetap harus lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Umar pun berkata, “Sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Nabi shalla
llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokoknya mulai dari sekarang wahai Umar.” (HR. Bukhari, no. 6632). Timbulnya maksiat dan bid’ah Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua maksiat dan mengedepankan hawa nafsu itu terjadi dikarenakan mendahulukan hal duniawi dari kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya.” (Jaami’ul ‘Ulum wa Al-Hikam, 2:397) Contoh yang disebutkan oleh Allah tentang orang musyrik, فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashshash: 50) Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Begitu pula bid’ah bisa muncul karena mendahulukan hawa nafsu daripada mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jaami’ul ‘Ulum wa Al-Hikam, 2:397) Mencintai makhluk yang dicintai Allah Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Kaitannya dengan mencintai makhluk, kita wajib mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib mencintai Allah dan mencintai pula setiap yang Allah cintai, ada di situ malaikat, para rasul, para nabi, orang-orang yang shiddiq (jujur), syuhada, dan orang-orang saleh secara umum. Karena merupakan tanda kelezatan iman, kita mencintai seseorang itu hanya karena Allah.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:398) Apakah hawa nafsu selalu tercela? Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika “al-hawa” digunakan secara mutlak, yang dimaksud adalah menyelisihi kebenaran sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ , فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Namun, “al-hawa” bisa pula bermakna cinta dan kecondongan jika dimutlakkan. Maknanya bisa berarti condong pada kebenaran dan selainnya. Terkadang juga bisa digunakan dengan makna mencintai kebenaran secara khusus dan tunduk pada kebenaran tersebut.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:398-399) Faedah hadits Peringatan mendahulukan hawa nafsu dari syariat. Orang yang bagus imannya adalah yang menjadikan diri dan hawa nafsunya patuh pada syariat. Hawa nafsu ada dua macam: (a) mahmud (terpuji) dan (b) madzmum (tercela). Mahmud berarti sesuai syariat, madzmum berarti menuruti syahwat. Wajib berhukum dengan syariat Islam. Iman itu bias bertambah dan bisa berkurang sebagaimana akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kaedah dari hadits Siapa yang menundukkan hawa nafsunya pada syariat maka ia akan selamat, sebaliknya ia akan ghawa (sesat). Wajib mendahulukan dalil, lalu meyakini. Jangan kita meyakini, baru cari dalil, nantinya sesat. Orang yang mendahulukan hawa nafsu berarti menjadikan sesuatu disembah selain Allah. أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23) Semoga manfaat. Referensi: Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Sumber https://rumaysho.com/25076-hadits-arbain-41-mengikuti-sunnah-nabi-tundukkan-hawa-nafsu.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الر
َّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Ikutilah Kehidupan Nabi Muhammad, Alloh Akan Mencintaimu & Memaafkanmu
#06NabiMuhammad#cinta#ikut#kehidupan#maaf#NabiMuhamma#nabiMuhammad#rosululloh#sunnah#blogAlloh#ikuti
0 notes