#Messerschmitt Bf 109 F-4
Explore tagged Tumblr posts
Text
Menelusuri Sejarah dan Perkembangan Pesawat Tempur: Dari Desain Awal hingga Teknologi Canggih yang Mengubah Strategi Militer di Era Modern
SELANJUTNYA
Pesawat tempur adalah salah satu inovasi paling signifikan dalam sejarah militer, memainkan peran krusial dalam strategi peperangan modern. Sejak diperkenalkan pada awal abad ke-20, pesawat tempur telah mengalami perkembangan pesat dalam desain, teknologi, dan kemampuan operasional, menjadikannya alat utama dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia.
Awal mula pesawat tempur dimulai selama Perang Dunia I, ketika pesawat pertama kali digunakan untuk melakukan pengintaian dan serangan udara. Meskipun desainnya masih sederhana, keberadaan pesawat tempur seperti Sopwith Camel dan Fokker Dr.I menandai awal dari era baru dalam peperangan. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi mesin, aerodinamika, dan senjata telah memungkinkan pesawat tempur untuk menjadi lebih cepat, lebih lincah, dan lebih mematikan.
Pada Perang Dunia II, pesawat tempur seperti Supermarine Spitfire, P-51 Mustang, dan Messerschmitt Bf 109 menjadi ikon dalam pertempuran udara. Dengan kemampuan dogfight yang tinggi dan daya jangkau yang lebih jauh, pesawat-pesawat ini tidak hanya bertugas untuk melindungi wilayah udara, tetapi juga melakukan serangan terhadap target darat dan laut. Perkembangan radar dan teknologi komunikasi juga meningkatkan efektivitas operasi pesawat tempur, memungkinkan mereka untuk bekerja dalam koordinasi dengan unit militer lainnya.
Setelah Perang Dunia II, teknologi pesawat tempur terus berkembang dengan diperkenalkannya jet tempur. Pesawat seperti Boeing B-17 dan McDonnell Douglas F-4 Phantom II menjadi standar baru dalam desain pesawat tempur, menawarkan kecepatan yang lebih tinggi dan kemampuan manuver yang lebih baik. Selain itu, penggunaan senjata berpemandu dan sistem avionik yang canggih telah mengubah cara pesawat tempur beroperasi, menjadikannya lebih efektif dalam pertempuran modern.
Pesawat tempur generasi terbaru, seperti F-22 Raptor dan F-35 Lightning II, menggabungkan teknologi stealth (siluman), kemampuan multirole, dan sensor yang sangat canggih. Pesawat-pesawat ini dirancang untuk mendominasi ruang udara, menghindari deteksi radar musuh, dan melakukan berbagai misi, mulai dari pengintaian hingga dukungan udara langsung. Keunggulan teknologi ini menjadikan pesawat tempur modern sebagai komponen penting dalam strategi militer negara-negara besar.
Namun, pengembangan pesawat tempur juga tidak lepas dari tantangan dan kontroversi. Biaya pengembangan dan pemeliharaan yang sangat tinggi sering kali menjadi perdebatan dalam kebijakan anggaran pertahanan. Selain itu, penggunaan pesawat tempur dalam konflik bersenjata juga memicu pertanyaan etika terkait dampak yang ditimbulkan terhadap warga sipil dan lingkungan.
Di era modern ini, pesawat tempur juga mulai beradaptasi dengan perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan drone. Pesawat tak berawak (UAV) telah menjadi bagian penting dari operasi militer, memberikan kemampuan pengintaian dan serangan tanpa risiko bagi pilot. Kolaborasi antara pesawat tempur dan UAV juga menjadi tren yang semakin umum, di mana pesawat tempur dapat memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh drone untuk meningkatkan efektivitas misi.
Secara keseluruhan, pesawat tempur adalah simbol kemajuan teknologi dan inovasi dalam dunia militer. Perkembangannya mencerminkan perubahan dalam strategi dan taktik peperangan, serta tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di era globalisasi ini. Dengan terus berkembangnya teknologi, masa depan pesawat tempur akan tetap menjadi bagian integral dari pertahanan dan keamanan global.
0 notes
Text
Evolusi Teknologi Pesawat Tempur: Dari Perang Dunia hingga Era Modern
Pesawat tempur telah mengalami evolusi signifikan sejak diperkenalkan pertama kali dalam Perang Dunia I. Pada masa itu, pesawat digunakan untuk pengintaian, dan model pesawat tempur seperti Fokker dan Sopwith Camel mulai dilengkapi senjata untuk menembak musuh di udara. Teknologi pesawat saat itu sederhana dengan kecepatan terbatas dan manuver yang relatif kurang lincah.
Memasuki Perang Dunia II, perkembangan pesawat tempur meningkat drastis. Mesin pesawat menjadi lebih kuat dan cepat, dengan penambahan teknologi seperti radar dan kemampuan membawa bom. Pesawat seperti P-51 Mustang dan Messerschmitt Bf 109 menjadi ikon dalam pertempuran udara. Jet tempur pertama, Messerschmitt Me 262 dari Jerman, juga muncul di masa ini, membuka era pesawat tempur bermesin jet.
Perang Dingin membawa inovasi lebih lanjut dengan munculnya jet tempur generasi kedua dan ketiga. Pesawat seperti MiG-21 dan F-4 Phantom menjadi ujung tombak berbagai konflik global. Selain kecepatan supersonik, kemampuan manuver, dan persenjataan canggih, pesawat ini juga mulai mengintegrasikan rudal jarak jauh, yang mengubah taktik pertempuran udara.
Di era modern, teknologi stealth menjadi titik fokus pengembangan pesawat tempur. Pesawat seperti F-22 Raptor dan Su-57 dilengkapi dengan teknologi siluman untuk menghindari deteksi radar, bersama dengan avionik canggih dan kemampuan tempur yang lebih presisi. Kemajuan dalam kecerdasan buatan (AI) dan drone juga memengaruhi peran pesawat tempur, di mana pesawat tanpa awak mulai digunakan dalam misi pengintaian dan serangan.
Evolusi pesawat tempur mencerminkan perkembangan teknologi yang pesat di dunia militer. Dari awal yang sederhana hingga ke era modern, pesawat tempur kini menjadi simbol kekuatan udara yang menggabungkan kecepatan, kecanggihan teknologi, dan kemampuan tempur yang tak tertandingi.
1 note
·
View note
Text
Fighter Jets: The Pinnacle of Aerial Combat
Fighter jets are among the most advanced and powerful aircraft in the world. Designed primarily for air-to-air combat, these aircraft also possess significant capabilities for air-to-ground strikes, electronic warfare, and reconnaissance. The development and deployment of fighter jets are pivotal to national defense strategies, making them a key component of modern military forces.
Historical Evolution
The history of fighter jets dates back to World War I when biplanes equipped with machine guns engaged in dogfights. The interwar period saw significant advancements, leading to the development of more powerful, faster, and more agile aircraft. World War II was a transformative era, with the introduction of iconic fighters like the Supermarine Spitfire and the Messerschmitt Bf 109. These aircraft played critical roles in various theaters of the war, demonstrating the importance of air superiority.
The jet age began in the closing stages of World War II with the German Messerschmitt Me 262, the first operational jet-powered fighter aircraft. The post-war period saw rapid advancements in jet technology, leading to the development of supersonic jets such as the F-86 Sabre and the MiG-15, which clashed in the Korean War.
Modern Fighter Jets
Today, modern fighter jets are highly sophisticated machines equipped with advanced avionics, stealth technology, and powerful engines. Fifth-generation fighters like the F-22 Raptor and F-35 Lightning II incorporate stealth capabilities, sensor fusion, and advanced avionics to maintain air superiority. These aircraft can engage multiple targets simultaneously and operate in contested environments with minimal risk of detection.
Roles and Capabilities
Fighter jets perform various roles, including:
Air Superiority: Dominating the airspace to prevent enemy aircraft from gaining control.
Multirole: Capable of performing multiple missions, such as the F-16 Fighting Falcon, which can conduct air-to-air combat and ground attacks.
Electronic Warfare: Equipped with systems to jam enemy radar and communications, like the EA-18G Growler.
Reconnaissance: Gathering intelligence using advanced sensors and cameras.
Uncrewed Aerial Vehicles (UAVs): Revolutionizing Warfare
Uncrewed Aerial Vehicles (UAVs), commonly known as drones, have revolutionized modern warfare by providing new capabilities for surveillance, reconnaissance, and combat without risking human lives. UAVs range from small, hand-launched models to large, high-altitude systems capable of carrying significant payloads.
Types and Uses
UAVs can be classified into several categories based on their size, range, and capabilities:
Micro and Mini UAVs: Small drones used for close-range reconnaissance and surveillance. Examples include the Black Hornet Nano.
Tactical UAVs: Medium-sized drones like the RQ-7 Shadow, used for battlefield intelligence and target acquisition.
Strategic UAVs: Large drones such as the RQ-4 Global Hawk, designed for long-endurance missions, providing wide-area surveillance and intelligence.
Combat UAVs: Armed drones like the MQ-9 Reaper, capable of conducting precision strikes against ground targets.
Technological Advancements
UAV technology has advanced significantly in recent years, with improvements in autonomy, endurance, and payload capabilities. Key advancements include:
Autonomy: Integration of AI and machine learning enables UAVs to perform complex missions with minimal human intervention.
Endurance: Solar-powered UAVs, like the Zephyr, offer extended flight times, providing continuous surveillance.
Swarm Technology: Multiple UAVs operating collaboratively to overwhelm defenses and perform coordinated tasks.
Single-Engine Fighter Aircraft: Balancing Cost and Performance
Single-engine fighter aircraft are valued for their cost-effectiveness, ease of maintenance, and versatility. These aircraft have played crucial roles in air forces worldwide, providing a balance between performance and operational costs.
Historical Context
Historically, single-engine fighters like the P-51 Mustang and the Supermarine Spitfire were instrumental during World War II, offering exceptional speed, agility, and firepower. These aircraft were pivotal in achieving air superiority and supporting ground forces in various campaigns.
Modern Single-Engine Fighters
Modern single-engine fighters, such as the F-16 Fighting Falcon and the JAS 39 Gripen, continue to be the workhorses of many air forces. These aircraft are equipped with advanced avionics, radar systems, and precision weapons, making them highly effective in a range of combat scenarios.
F-16 Fighting Falcon: Known for its agility and versatility, the F-16 can perform air-to-air and air-to-ground missions with equal proficiency. It is widely used by numerous air forces around the world.
JAS 39 Gripen: This Swedish fighter is renowned for its cost-effectiveness and advanced technology. The Gripen is designed for quick turnaround and high sortie rates, making it a highly efficient combat aircraft.
Advantages
Single-engine fighters offer several advantages:
Cost-Effectiveness: Lower production and operational costs compared to twin-engine fighters.
Ease of Maintenance: Simpler engine systems reduce maintenance time and costs.
Versatility: Capable of performing a wide range of missions, making them adaptable to various combat scenarios.
Tempest Fighter Aircraft: The Future of Aerial Warfare
The Tempest fighter aircraft represents the future of aerial combat. Developed by the UK's BAE Systems in collaboration with Italy’s Leonardo and Sweden’s Saab, the Tempest is a sixth-generation fighter jet designed to address emerging threats and leverage cutting-edge technology.
Design and Features
The Tempest features a stealthy design aimed at reducing radar cross-section and enhancing survivability in contested environments. It is expected to incorporate advanced materials and coatings to minimize detectability. The aircraft will also employ adaptive cycle engines, providing greater fuel efficiency and thrust across a wide range of operating conditions.
Technological Innovations
The Tempest program emphasizes several key technological innovations:
Artificial Intelligence: AI will play a significant role in the Tempest, assisting pilots in decision-making, threat detection, and mission planning. This will reduce the cognitive workload on pilots and enhance overall mission effectiveness.
Autonomous Systems: The Tempest will be capable of operating in both manned and unmanned configurations. Autonomous systems will enable it to conduct missions independently or in coordination with other UAVs.
Advanced Sensors: A cutting-edge sensor suite, including multi-spectral sensors, will provide enhanced situational awareness and target detection capabilities.
Directed Energy Weapons: The integration of directed energy weapons, such as lasers, is being explored for their potential to counter missile threats and engage enemy aircraft.
International Collaboration
The Tempest program underscores the importance of international collaboration in modern defense projects. By pooling resources and expertise, the UK, Italy, and Sweden aim to develop a fighter jet that meets their collective defense needs while remaining adaptable to future technological advancements. This collaborative approach also ensures the sharing of costs and risks associated with developing such an advanced aircraft.
Conclusion
The domains of fighter jets, uncrewed aerial vehicles, and single-engine fighter aircraft are continually evolving, driven by technological advancements and changing military requirements. The Tempest fighter aircraft epitomizes the future of air combat, blending cutting-edge technology with international collaboration. As these technologies progress, they will redefine air superiority, providing nations with the tools needed to address emerging threats and maintain strategic advantages in an increasingly complex global landscape. From the historical evolution of fighter jets to the revolutionary capabilities of UAVs and the balanced performance of single-engine fighters, the advancement in aerial combat technology continues to shape the future of military aviation.
0 notes
Photo
Messerschmitt Bf 109 F-4 from JG53, photographed from a flying boat Dornier Do-24 during a rescue operation near Malta on April 27, 1942.
#World war#world war 2#WWII#army#aircraft#aviation#plane#history#Messerschmitt Bf 109 F-4#Germany#Dornier Do-24#flying boat
27 notes
·
View notes
Video
Messerschmitt Bf-109 at the CASM, Ottawa by fsll2 Via Flickr: Messerschmitt Bf-109 F-4 at the Canadian Aviation and Space Museum, Ottawa.
0 notes
Photo
Hans-Joachim Marseille ( Hans-Joachim Walter Rudolf Siegfried Marseille, Jochen, Stern von Afrika ) - niemiecki pilot, as myśliwski podczas II wojny światowej. Znany pod przydomkiem Gwiazda Afryki i Pustynny Orzeł. Urodził się w Berlinie w rodzinie o korzeniach francuskich (jego przodkowie uciekli z Francji podczas prześladowania hugenotów).W listopadzie 1938 wstąpił w szeregi niemieckiej Luftwaffe. Podczas II wojny światowej uczestnik Bitwy o Anglię, walk lotniczych na Bałkanach i w Afryce Północnej. Autor 158 zwycięstw powietrznych, które osiągnął przede wszystkim podczas walk w Afryce, latając na myśliwcu Messerschmitt Bf 109, głównie na wersjach E i F. Podczas Bitwy o Anglię uzyskał 7 zwycięstw (wszystkie stanowiły samoloty Spitfire). Największe sukcesy odniósł latając na Bf 109 F-4/Trop w czasie walk w Afryce Północnej.Początkowo latał w I/LG2, ale za niesubordynację (odmawiał atakowania cywilnych celów) przeniesiono go do 4 Gruppe 52 Jagdgeschwader (4/JG52 – 4 dywizjonu 52 pułku myśliwskiego). Był też karany za inne "niesubordynacje" (pijaństwo i towarzystwo kobiet). Był jednym z najmłodszych kapitanów w niemieckich siłach powietrznych. 1 września 1942 wsławił się zestrzeleniem 17 samolotów brytyjskich; tego dnia otrzymał awans do stopnia kapitana, a dwa dni później: Brylanty do Krzyża Rycerskiego.30 września 1942 podczas powrotu z lotu bojowego nad Egiptem zawiódł silnik w jego samolocie. W trakcie opuszczania maszyny Jochen (jak nazywali go towarzysze), uderzył w statecznik pionowy samolotu.Odbył 382 loty bojowe, zestrzeliwując 158 samolotów (wszystkie na froncie zachodnim, co daje mu pierwsze miejsce wśród ilości zwycięstw na tym teatrze działań[1]); były wśród nich maszyny brytyjskie, australijskie, kanadyjskie, nowozelandzkie i południowo-afrykańskie, oraz prawdopodobnie francuskie z sił "wolnej Francji" w Afryce.Wielokrotnie odznaczony, w tym jako jeden z czterech niemieckich pilotów: Krzyżem Rycerskim z Liśćmi Dębu, Mieczami i Brylantami.Adolf Galland nazywał go wirtuozem wśród pilotów myśliwskich.
0 notes
Photo
Hauptmann Hans-Joachim Marseille (13.12.1919, Berlin - 30.09.1942, bei El Alamein, Nordafrika) "Der Stern von Afrika" -Schreckgespenst der britischen Jagdpiloten- Als treffsicherster Vorhalteschütze und vielleicht bester Jagdflieger der Luftwaffe ging der junge Berliner Hans-Joachim Marseille in die Geschichte ein. "Stern von Afrika" genannt, wurde er zum Schreckgespenst der britischen Luftwaffe in Nordafrika. Als Sohn eines Jagdfliegerveteranen und späteren Generalmajors der Luftwaffe in Berlin geboren, begeisterte sich Marseille bereits in seiner Jugend für Flugzeuge. So wunderte es niemanden, dass er im Jahre 1938 freiwillig in die Luftwaffe eintrat. Obwohl der junge Mann bereits während seiner Ausbildung in Wien-Schwechat erstaunliche fliegerische Fähigkeiten bewies, war er nicht zum Soldaten geboren. Wenig an Disziplin und Respekt gegenüber Vorgesetzten interessiert, wurde er wiederholt wegen verbotenen Kunstflugs und diverser Verstöße verwarnt. So als sich Marseille mit einigen Piloten einmal auf einem Übungsflug nahe Braunschweig befand und plötzlich einen unangenehmen Drang verspürte. Da landete der freche Fähnrich einfach auf einer nahen Schnellstraße, erleichterte sich hinter einem Baum und flog dann weiter. Die andere Seite seiner Ausbildungszeit waren phänomenale Showeinlagen - so kappte Marseille einmal im Tiefstflug ein an einem nur ein Meter hohen Stock befestigtes Taschentuch mit der Tragfläche seiner Messerschmitt. Im August 1940 wurde Oberfähnrich Marseille nach einer gründlichen Friedensausbildung ins Lehrgeschwader 2 an die Kanalfront versetzt, wo er seine ersten Feindeinsätze flog. Im Oktober wechselte er in die 4. Staffel des Jagdgeschwaders 52, die zu dieser Zeit unter dem späteren Schwerterträger Steinhoff am Ärmelkanal lag. Während der Luftschlacht um England flog Marseille als Katschmarek und meldete am 24.08.1940 seinen ersten Luftsieg. Als er Frankreich verließ, war er für 7 Abschüsse bereits mit beiden Klassen des Eisernen Kreuzes dekoriert worden. Zu diesem Zeitpunkt hatte der hitzige Flieger aber auch bereits einen strengen Verweis und insgesamt acht Tage Arrest erhalten. Anfang Februar 1941 wurde Marseille in die 3. Staffel des Jagdgeschwaders 27 versetzt und mit ihr nach Nordafrika verlegt. Bereits während seines ersten Feindfluges über Libyen konnte der voller Selbstvertrauen strotzende Flieger eine britische Hawker Hurricane abschießen. In den folgenden Wochen erzielte Marseille wiederholt Luftsiege, wobei er sich jedoch den Unmut seines Staffelführers Oberleutnant Homuth zuzog. Grund dafür war neben unmilitärischem Verhalten auch seine ungestüme Angriffsart. Sobald Marseille einen Gegner entdeckte - und aufgrund seiner guten Augen war er stets der erste - verließ er den Verbandsflug und schoss ihn, meist beim ersten Angriff, ab. Obwohl dies keinesfalls den Teamwork-Regeln einer guten Staffel entsprach, erkannte Marseilles Gruppenkommandeur Hauptmann Neumann das unglaubliche Talent des hitzigen Piloten. Im Mai 1941 wurde Marseille zum Leutnant befördert, nachdem er 13 Luftsiege errungen hatte. Kurz darauf nach schweren Triebwerkstreffern zur Notlandung im Niemandsland gezwungen, erreichte der junge Flieger nach einem längeren Fußmarsch unbeschadet wieder die Stellungen der eigenen Infanterie. In den nächsten Monaten wirkte Marseille immer besser mit seinen Staffelkameraden zusammen. Obwohl noch immer brennend ehrgeizig, stand er den militärischen Grundregeln nicht mehr so feindlich gegenüber. In den unzähligen Geleitschutz- und Jagdeinsätzen dieser Zeit entwickelte der nun zum Rottenführer ernannte Marseille eine unglaubliche Trefferpräzision, die ihm immer wieder wahre Wunderabschüsse ermöglichte. Sein Rottenflieger und Freund Rainer Pöttgen berichtete, dass er Treffer aus unglaublichen Entfernungen und Winkeln zustande brachte. Außerdem war es außerordentlich schwer, seinen tollkühnen Flugmanövern zu folgen. Im Februar 1942 war Marseille bei 50 Luftsiegen angelangt, wofür er als erfolgreichster Pilot des Geschwaders das Ritterkreuz erhielt und zum Oberleutnant befördert wurde. Als Homuth im Mai die Gruppe übernahm, trat Marseille dessen Nachfolge als Kapitän der 3. Staffel an. Aufgrund seiner großartigen Erfolge war er nicht nur bei höchsten Stellen des Afrikakorps, sondern bereits auch in Deutschland bekannt und äußerst beliebt. Ähnlich wie in unserer Zeit ein Filmstar, erhielt er täglich Briefe von weiblichen Fans, sein Bild wurde fast jeden Tag in einer Zeitung abgedruckt. Unter den großen Persönlichkeiten, die Marseilles Staffel besuchten, befanden sich u.a. GFM Kesselring, Erwin Rommel und Jagdfliegergeneral Adolf Galland. Von März bis August 1942 war Marseille in Hochform. In täglich bis zu vier Einsätzen über der libyschen Wüste erzielte er praktisch in jedem Luftkampf zwischen zwei und fünf Luftsiege. Doch diese Erfolge waren innerhalb der Staffel ebenso "normal" wie sein unglaublich niedriger Munitionsverbrauch - meistens verbrauchte der Oberleutnant pro Abschuss nur 15 bis 20 Schuss seiner Kanonen. Marseille konnte seine Bf 109 F so perfekt handhaben, dass er es sich angeblich sogar erlauben konnte, die genaue Stelle der Treffer zu bestimmen. Meistens lagen die Einschüsse im Motorblock oder in der Pilotenkanzel des Gegners. Zwischen Marseille und seinem Bodenpersonal herrschte eine absolut lockere und kameradschaftliche Stimmung. Als der erfolgreiche Jagdflieger seinen Mechanikern als Gegenleistung für die stets perfekt gewartete Bf 109 für jeden Abschuss spaßeshalber 50 Lire anbot, entgegneten diese: "Na, lieber nicht - dabei werden Herr Oberleutnant ja ein armer Mann." Dieser Mann, der täglich ihre besten Piloten bezwang, wurde dem englischen Oberkommando in Afrika allmählich zum Begriff. In einem abgefangenen Funkspruch wurde den britischen Staffelkapitänen sogar befohlen, den jungen Deutschen entweder nur in Gruppen oder gar nicht anzugreifen. Unter jenen Elitepiloten, die gezielt auf Marseille angesetzt wurden, befand sich auch das Fliegerass Clive "Killer" Caldwell, ein australischer Kittyhawk-Pilot, der bereits über ein Dutzend Deutsche abgeschossen hatte. Unter diesen hatte sich auch der erste Eichenlaubträger des JG 27 befunden, Hauptmann Erbo von Kageneck (67 Siege). Später sollte ihm auch Marseilles Freund und erfolgreicher Staffelkamerad Oberleutnant Hans-Arnold Stahlschmidt (59) und der Spanienveteran Wolfgang Lippert (29) zum Opfer fallen. Doch Caldwell traf nie auf Marseille, wurde später vom Schwerterträger Oberleutnant Schröer bezwungen, konnte jedoch in den Kampfeinsatz zurückkehren. Im Juni 1942 schoss Oberleutnant Marseille einmal sechs Gegner innerhalb von nur elf Minuten ab(!), im selben Monat wurde ihm als zweiten Piloten des JG 27 nach 75 Luftsiegen das 97. Eichenlaub zum Ritterkreuz verliehen. In den Tagen nach der Verleihung flog Marseille mehrere Abfangeinsätze gegen britische und südafrikanische Staffeln, wobei er wiederholt bis zu sechs Gegner in kürzester Zeit abschießen konnte. Und so meldete das JG 27 am 17.06.42 bereits seinen 100. Luftsieg - Marseille war der erste, der diese magische Marke gegen westalliierte Piloten erreichte. Die Verleihung der nun fälligen Schwerter fand in Berlin statt - und zwar lediglich 116 Tage nach dem Ritterkreuz. Der junge Oberleutnant war der erst 12. Träger dieser hohen Auszeichnung und davon der bereits 10. Jagdpilot der Luftwaffe. Marseille war endgültig zum deutschen Nationalhelden geworden, wobei seine Berühmtheit schon fast legendäre Ausmaße annahm. Auf dem Rückweg von Berlin nach Nordafrika meldete er sich bei Benito Mussolini, der ihm für die erfolgreiche Unterstützung der italienischen Luftwaffe die seltene Tapferkeitsmedaille in Gold verlieh - sogar der Wüstenfuchs Erwin Rommel musste sich mit der Silberfassung dieses Ordens begnügen. Nach der Rückkehr zu seiner Staffel musste Marseille feststellen, dass die Luftwaffe in Afrika endgültig in die Defensive gedrängt worden war. Zahlenmäßig sechsfach unterlegen, hatten die eigenen Geschwader in dieser Zeit schwere Verluste zu verkraften. Trotz der taktischen Unterlegenheit konnte Marseille bereits am ersten Einsatztag 10(!) Gegner abschießen - doch diese großartige Leistung war immer noch nicht der Gipfel seines Könnens. Am 1. September 1942 gelang ihm in drei getrennten Einsätzen der bestätigte Abschuss von 17(!!) britischen Jagdmaschinen und damit ein Gesamtergebnis von 121 Siegen. Obgleich diese Leistung durch Hauptmann Emil Lang (EL, 173 Siege) an der Ostfront übertroffen wurde (18 an einem Tag), ist Marseilles Leistung aufgrund der besser ausgebildeten Gegner weit höher einzustufen. Als die Staffel nach dieser fulminanten Leistung auf dem Feldflugplatz landete, waren alle von dem Gesehenen wie elektrisiert. Ludwig Franzisket, ein befreundeter Staffelkapitän und selbst Ritterkreuzträger, zeigte sich von Marseilles Angriffen überwältigt und sagte zu seinem Gruppenkommandeur: "Ich vergaß vor Staunen zu schießen, als ich Marseille im feindlichen Pulk beobachtete!" Am 02.09.42 unterlagen Marseille fünf weitere Gegner. Für das Erreichen von insgesamt 126 Luftsiegen erhielt Marseille nun als vierter Offizier der Wehrmacht die Brillanten zum Ritterkreuz mit Eichenlaub und Schwertern verliehen. Zwischen seiner Ankunft in Afrika und der Verleihung der höchsten Tapferkeitsmedaille waren nur 19 Monate vergangen. Doch noch war der September nicht vorbei - so konnte Oberleutnant Marseille am 3. sechs, am 5. und 6. je vier und am 15. sieben Luftsiege erzielen! Am 24.09.42 wurde er im Alter von erst 22 Jahren zum bisher jüngsten Hauptmann der Luftwaffe befördert, kurz zuvor zum bereits fünften Mal im Wehrmachtsbericht genannt. Am 26.09.42 bezwang der Staffelkapitän mit 7 britischen Spitfire-Jägern seinen 152. bis 158. Kontrahenten. Der Luftkampf mit seinem letzten Gegner hatte sich ungewöhnlich lange, nämlich 15 unendliche Minuten, hingezogen. Nach Berichten seiner Kameraden und Freunde begann zu dieser Zeit der Dauereinsatz in Marseilles Wesen Wirkung zu zeigen. Er war oft übermüdet und abgekämpft - es wäre Zeit für eine Frontpause gewesen. Als ihm GFM Rommel persönlich eine solche Ende September anbot, lehnte Marseille jedoch ab - er wollte seine Staffel nicht alleine lassen. Während der Schlacht um El Alamein flog das JG 27 rollende Jagd- und Abfangeinsätze über Ägypten. Am 30. September führte Marseille seine komplette Staffel, um "Tommys" zu suchen. Der hochdekorierte Hauptmann flog in diesem Einsatz erstmals die neue G-Version der Messerschmitt Bf 109. Während des Rückfluges von dem kampflosen Einsatz meldete ein Pilot plötzlich eine dünne Rauchfahne aus Marseilles Maschine. Nach kurzer Zeit fing der Motor an zu bocken, die Messerschmitt verlor an Höhe. Von seiner Staffel über Funk geleitet, manövrierte Marseille seine immer stärker qualmende Maschine bis über eigenes Gebiet. "Habe Motorschaden, ich steige aus!" rief er über Bordfunk und drehte die Maschine auf den Rücken. Seine Kameraden konnten beobachten, wie er das Kabinendach aufschob und sich aus der Maschine fallen ließ. Doch die Freude über den guten Ausgang der Aktion währte nur eine Sekunde: Marseille prallte gegen das Leitwerk und wurde bewusstlos geschlagen. So hatte er keine Chance mehr, die Reißleine seines Fallschirms zu ziehen. Die von Hans-Joachim Marseille erzielten 158 bestätigen Luftsiege über britische Piloten wurden bis Kriegsende auch nicht annähernd wieder erreicht (Schwerterträger Bär 124). Der junge, sympathische Jagdflieger starb nach 388 Feindflügen. Die deutsche Bundesluftwaffe ehrte den herausragenden Flieger und Scharfschützen mit der "Marseille-Kaserne" in Uetersen nahe Hamburg. Eine nur ganz seltene – da umstrittene Geschichte – soll sich unmittelbar nach Marseilles Schwerterverleihung abgespielt haben. Diese besagt, dass der junge Oberleutnant während seines kurzen Aufenthaltes in Deutschland mit der Tatsache der sgn. Endlösung gegen Juden konfrontiert wurde. Davon erschüttert, hätte sich Marseille nicht auf den Rückweg nach Afrika gemacht, sondern sich fünf Wochen lang in Italien versteckt. Erst als die Gestapo ihn aufstöberte und unter Druck setzte, hätte das Fliegerass sich wieder bereit erklärt, zu seinem Geschwader zurückzukehren. Obwohl diese Geschichte sehr wage erscheint und wie gesagt nicht belegt ist, wurde sie Ende der Fünfzigerjahre in einem Film über Marseilles Leben eingebaut und seitdem nicht ausdrücklich widerlegt. Es wäre allerdings auch möglich, dass es sich – ähnlich wie beim sgn. “Mölders-Brief” - um eine propagandistische Falschmeldung des britischen Geheimdienstes handelte. Quelle Florian Berger: "Mit Eichenlaub und Schwertern" , mit Verweis auf http://www.waffenhq.de/biographien/biographien/marseille.html
2 notes
·
View notes
Text
Il 17 luglio veniva ucciso in combattimento nei cieli di Sicilia, uno dei maggiori assi della Luftwaffe nella seconda guerra mondiale, Wolf-Udo Ettel. Quel giorno quando venne abbattuto da un cannone contraereo Bofors da 40 mm nei pressi di Lentini, Wolf a soli soli 22 anni aveva all’attivo ben 124 abbattimenti complessivi.
Il protagonista del nostro post, nacque il 26 febbraio 1921 ad Amburgo, nella Repubblica di Weimar, figlio di un rappresentante della produzione di aerei Junkers e a causa del lavoro del padre trascorre l’infanzia fra Teheran e la Colombia. Dopo il divorzio dei genitori e il ritorno in Germania nel 1934, lui e i suoi due fratelli più piccoli frequentarono le scuole Napola (Nationalpolitische Erziehungsanstalt) collegio secondario fondato dal Nazismo per allevare una nuova generazione per la leadership politica, militare e amministrativa della nuova Germania.
Il 1° settembre 1939 le armate naziste invadono la Polonia dando inizio al più spaventoso conflitto della storia dell’umanità. Il 15 novembre dello stesso anno, Ettel si offrì volontario per il servizio militare nella Luftwaffe e dopo aver frequentato vari corsi di formazione, fra cui la Jagdfliegerschule (scuola di addestramento dei piloti di caccia) con sede a Parigi, in Francia. Nel settembre 1941 fu assegnato ad un Ergànzungs-Jagdgruppe (gruppo di caccia supplementare), un’unità di addestramento per piloti di caccia con sede in Danimarca.
Il 10 aprile 1942, il Leutnant Ettel viene assegnato a 4. Staffel (squadrone) di Jagdgeschwader 3 “Udet” del II. Gruppe (2 ° gruppo) basato a San Pietro Clarenza , in Sicilia, con il compito di partecipare insieme alle unità della Regia Aeronautica all’assedio di Malta dove tuttavia rimane per un brevissimo lasso di tempo prima di essere trasferito sul fronte orientale in un campo di aviazione a Chuguyev.
Il 24 giugno il II. Gruppe si trasferì a Shchigry, un campo d’aviazione circa 50 chilometri ad est di Kursk e quello stesso giorno Ettel ottenne le sue prime due vittorie abbattendo due aerei sovietici, per la precisione di trattava di due velicoli d’attacco terrestre Ilyushin Il-2 “Shturmovik”.
Lui stesso è stato abbattuto a circa 15 km (9,3 mi) a nord di Voronezh il 10 luglio mentre stava distruggendo un bombardiere Douglas Boston a bordo di un Soviet, il suo settimo reclamo in totale. Salpò dal suo danneggiato Messerschmitt Bf 109 F-4 “White 1” dietro le linee sovietiche, attraversò il fiume Don e tornò nella sua unità quattro giorni dopo.
Il 24 luglio 1942 ricevette la Croce di ferro di 2ª classe e la Croce di ferro di 1ª classe il 2 agosto. Il 9 di agosto, Ettel ottiene la sua ventesima vittoria aerea, la trentesima il 7 ottobre, e il 23 ottobre viene insignito del Front Flying Clasp in oro, la decorazione assegnata ai piloti della Luftwaffe dopo 60 missioni di guerra. In seguito alla perdita tedesca nella Battaglia di Stalingrado , il 4. Staffel viene trasferito sulla testa di ponte di Kuban.
Durante gli intensi mesi di operazioni, Ettel dichiarò 28 aerei sovietici abbattuti a marzo e altri 36 ad aprile, inclusi 5 abbattuti nello stesso giorno, l’11 aprile. Il 28 aprile 1943, Ettel ottenne la sua centesima vittoria aerea, era il 38esimo pilota della Luftwaffe a raggiungere il prestigioso traguardo. L’11 maggio, Ettel rivendica la sua 120esima vittoria, l’ultima sul fronte orientale, ma viene abbattuta dalla contraerea sovietica.
Ettel è costretto ad un atterraggio di fortuna con il suo Bf 109 G-4 nella terra di nessuno ma riesce a riguadagnare le proprie line nonostante la caccia serrata da parte di pattuglie sovietiche e più tardi a guidare una pattuglia della Werhmacht per distruggere importanti attrezzature rimaste a bordo del suo aereo.
Il 1° giugno a Berlino, Wolf viene insignito della Croce del Cavaliere della Croce di ferro (Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes) dal generale der Jagdflieger Adolf Galland. Promosso a Oberleutnant (primo luogotenente), Ettel viene nominato Staffelkapitän (comandnate di squadrone) di una nuova unità l’8. Staffel di Jagdgeschwader con sede a Tanagra, in Grecia, equipaggiato con i Messerschmitt Bf 109 delle serie G-4 e G-6.
A giugno, il Gruppo prende possesso e familiarizza con i nuovi aerei e a fine mese l’unità viene trasferita ad Argos nel Peloponneso, con il compito di pattugliare il Mar Egeo. Il 10 giugno 1943 due armate alleate sbarcano sulle coste siciliane e il gruppo caccia di Wolf viene trasferito a Brindisi nell’Italia meridionale il 14 luglio 1943, partecipando ai primi combattimenti a sostegno delle forze di terra tedesche a sud-est di Catania già il 15 luglio.
Nei corso dei combattimenti a nord dell’Etna, nella grande battaglia per il controllo del ponte di Primosole che vide rifulgere il valore del X arditi, Ettel ottenne la sua prima vittoria aerea nel Teatro Mediterraneo, abbattendo un caccia Supermarine Spitfire della RAF. Il giorno successivo, rivendicato un altro Spitfire abbattuto e due bombardieri Liberator statunitensi. In soli due giorni Ettel può aggiungere quattro aerei abbattuti al suo bottino personale e raggiungere quota 124 vittorie.
Quota 124 vittorie sarà il suo score finale, il 17 luglio 1943, il gruppo è nuovamente incaricato di svolgere missioni di supporto a terra contro le forze britanniche nelle vicinanze di Catania. Nelle vicinanze di Lentini, il Gruppo perse cinque aerei abbattuti dal micidiale fuoco contraereo britannico fra cui quello di Ettel che nell’azione muore a soli 22 anni,dopo che il suo Bf 109 G-6 si schianta a nord-est del Lago di Lentini.
Il 31 agosto 1943 Ettel ricevette la croce cavalleresca della croce di cavaliere con foglie di quercia (Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes mit Eichenlaub), era il 289° militare della Wehrmacht a ricevere la prestigiosa decorazione.
La Croce di Cavaliere della Croce di Ferro era conferita per eccezionali meriti di comando e/o di coraggio a militari di qualsiasi grado e si suddivide in cinque classi:
Croce di Cavaliere
Croce di Cavaliere con Fronde di Quercia , istituita il 3 giugno 1940
Croce di Cavaliere con Fronde di Quercia e Spade istituita il 21 giugno 1941
Croce di Cavaliere con Fronde di Quercia, Spade e Diamanti istituita il 15 luglio 1941
Croce di Cavaliere con Fronde di Quercia in Oro, Spade e Diamanti, istituita il 29 dicembre 1944.
In totale vennero distribuite 7.361 decorazioni della Croce di Cavaliere (43 delle quali a militari alleati del Terzo Reich), dei quali 890 ricevettero le Fronde di Quercia (8 stranieri), 159 le Fronde di Quercia e Spade (più una distribuzione onoraria all’ammiraglio giapponese Isoroku Yamamoto). Solo 27 uomini vennero decorati anche con i Diamanti, mentre Hans-Ulrich Rudel, pilota della Luftwaffe abbattuto trenta volte e con all’attivo circa 1.300 mezzi corazzati o blindati distrutti fu l’unico a ricevere la Croce di Cavaliere con Fronde di Quercia in Oro, Spade e Diamanti.
Tornando al protagonista del nostro post odierno, Wolf-Udo Ettel fu sepolto nel cimitero tedesco di Motta Sant’Anastasia in una tomba non contrassegnata. Grazie per aver letto con tanta pazienza il nostro post, con la speranza che vogliate continuare a seguirci anche in futuro Vi salutiamo e diamo appuntamento al prossimo.
17 luglio 1943, nei cieli di Lentini muore uno dei maggiori assi della Luftwaffe Il 17 luglio veniva ucciso in combattimento nei cieli di Sicilia, uno dei maggiori assi della Luftwaffe nella seconda guerra mondiale, Wolf-Udo Ettel.
0 notes
Text
Events 5.29
363 – The Roman emperor Julian defeats the Sasanian army in the Battle of Ctesiphon, under the walls of the Sasanian capital, but is unable to take the city. 1108 – Battle of Uclés: Almoravid troops under the command of Tamim ibn Yusuf defeat a Castile and León alliance under the command of Prince Sancho Alfónsez. 1167 – Battle of Monte Porzio: A Roman army supporting Pope Alexander III is defeated by Christian of Buch and Rainald of Dassel. 1176 – Battle of Legnano: The Lombard League defeats Emperor Frederick I. 1328 – Philip VI is crowned King of France. 1416 – Battle of Gallipoli: The Venetians under Pietro Loredan defeat a much larger Ottoman fleet off Gallipoli.[1][2] 1453 – Fall of Constantinople: Ottoman armies under Sultan Mehmed II Fatih capture Constantinople after a 53-day siege, ending the Byzantine Empire. 1658 – Battle of Samugarh: decisive battle in the struggle for the throne during the Mughal war of succession (1658–1659). 1660 – English Restoration: Charles II is restored to the throne of England, Scotland and Ireland. 1733 – The right of settlers in New France to enslave natives is upheld at Quebec City. 1780 – American Revolutionary War: At the Battle of Waxhaws, the British continue attacking after the Continentals lay down their arms, killing 113 and critically wounding all but 53 that remained. 1790 – Rhode Island becomes the last of the original United States' thirteen states to ratify the Constitution. 1798 – United Irishmen Rebellion: Between 300 and 500 United Irishmen are executed as rebels by the British Army in County Kildare, Ireland. 1807 – Mustafa IV became Sultan of the Ottoman Empire and Caliph of Islam. 1848 – Wisconsin is admitted as the 30th U.S. state. 1852 – Jenny Lind leaves New York after her two-year American tour. 1861 – The Hong Kong General Chamber of Commerce is founded, in Hong Kong. 1864 – Emperor Maximilian I of Mexico arrives in Mexico for the first time. 1867 – The Austro-Hungarian Compromise of 1867 ("the Compromise") is born through Act 12, which establishes the Austro-Hungarian Empire. 1868 – Mihailo Obrenović III, Prince of Serbia is assassinated. 1886 – The pharmacist John Pemberton places his first advertisement for Coca-Cola, which appeared in The Atlanta Journal. 1900 – N'Djamena is founded as Fort-Lamy by the French commander Émile Gentil. 1903 – In the May Coup, Alexander I, King of Serbia, and Queen Draga, are assassinated in Belgrade by the Black Hand (Crna Ruka) organization. 1913 – Igor Stravinsky's ballet score The Rite of Spring receives its premiere performance in Paris, France, provoking a riot. 1914 – The Ocean liner RMS Empress of Ireland sinks in the Gulf of Saint Lawrence with the loss of 1,012 lives. 1918 – Armenia defeats the Ottoman Army in the Battle of Sardarabad. 1919 – Albert Einstein's theory of general relativity is tested (later confirmed) by Arthur Eddington and Andrew Claude de la Cherois Crommelin (see Eddington experiment). 1931 – Michele Schirru, a citizen of the United States, is executed by Italian military firing squad for intent to kill Benito Mussolini. 1932 – World War I veterans begin to assemble in Washington, D.C., in the Bonus Army to request cash bonuses promised to them to be paid in 1945. 1935 – First flight of the Messerschmitt Bf 109 fighter aeroplane. 1945 – First combat mission of the Consolidated B-32 Dominator heavy bomber. 1948 – United Nations Truce Supervision Organization is founded. 1950 – The St. Roch, the first ship to circumnavigate North America, arrives in Halifax, Nova Scotia, Canada. 1953 – Edmund Hillary and Sherpa Tenzing Norgay become the first people to reach the summit of Mount Everest, on Tenzing Norgay's (adopted) 39th birthday. 1954 – Diane Leather became the first woman to run a mile in under five minutes with a time of 4 minutes and 59.6 seconds at the Alexander Sports Ground, Birmingham, UK. 1964 – The Arab League meets in East Jerusalem to discuss the Palestinian question, leading to the formation of the Palestine Liberation Organization. 1973 – Tom Bradley is elected the first black mayor of Los Angeles, California. 1982 – Pope John Paul II becomes the first pontiff to visit Canterbury Cathedral. 1982 – Falklands War: British forces defeat the Argentines at the Battle of Goose Green. 1985 – Heysel Stadium disaster: Thirty-nine association football fans die and hundreds are injured when a dilapidated retaining wall collapses. 1985 – Amputee Steve Fonyo completes cross-Canada marathon at Victoria, British Columbia, after 14 months. 1988 – The U.S. President Ronald Reagan begins his first visit to the Soviet Union when he arrives in Moscow for a superpower summit with the Soviet leader Mikhail Gorbachev. 1989 – Signing of an agreement between Egypt and the United States, allowing the manufacture of parts of the F-16 jet fighter plane in Egypt. 1990 – The Russian parliament elects Boris Yeltsin as president of the Russian Soviet Federative Socialist Republic. 1993 – The Miss Sarajevo beauty pageant is held in war-torn Sarajevo drawing global attention to the plight of its citizens. 1999 – Olusegun Obasanjo takes office as President of Nigeria, the first elected and civilian head of state in Nigeria after 16 years of military rule. 1999 – Space Shuttle Discovery completes the first docking with the International Space Station. 2001 – The U.S. Supreme Court rules that the disabled golfer Casey Martin can use a cart to ride in tournaments. 2004 – The National World War II Memorial is dedicated in Washington, D.C. 2008 – A doublet earthquake, of combined magnitude 6.1, strikes Iceland near the town of Selfoss, injuring 30 people. 2012 – A 5.8-magnitude earthquake hits northern Italy near Bologna, killing at least 24 people. 2015 – One World Observatory at One World Trade Center opens.
0 notes
Text
The Israeli Air Force is universally recognized to be among the world’s most powerful aerial fighting forces. One third of the IDF’s manpower is in the IAF. IAF’s elite flight academy creates competition between thousands of candidates (one of them is my friend “E”), and complete three years of grueling training in order to become pilots.
Prime Minister David Ben-Gurion at a Graduation ceremony of the IAF flight course, 10 August 1950
Forerunners of the Israeli Air Force – Aviron
The first Jewish civil aviation company was formed in Palestine in 1939. It was called simpley Aviron, which in Hebrew means ‘airplane’. Behind the scenes it was also supported by the Haganah. Aviron’s stated goals were to conduct a flying school for Jewish aviators and to develop internal commercial flights between Tel Aviv and Haifa and the Jordan Valley. There was a third secret goal—to serve the Haganah in reconnaissance and defense missions. Aviron conducted its training in the relatively remote Jezreel Valley.
Forerunners of the Israeli Air Force – Katz Palestine Flying Service
The Palestine Flying Service established in 1937 with the open approval of the British Mandate authorities. Moshe Chaim Katz, who teamed up with Edwin (Leibowitz) Lyons, an American who arrived in Palestine in a Taylorcraft, fleeing from Spain where he had flown for the Spanish Republican forces, and Avraham Schechterman, a leader of the Jewish underground movement – Etzel. The Palestine Flying Service operated under the very nose of the British Mandate authorities in Lydda. World War II brought the courses of the Palestine Flying Service to a close.
GRADUTION CEREMONY OF THE 1ST JEWISH PILOTS OF THE KATZ (PALESTINE FLYING SERVICE) FLYING SCHOOL AT LOD AIRPORT
Palavir
In 1945, the Palavir was developed as Palmach’s air division. The Palavir fell under the command of the unofficial Jewish defense force Haganah and operated prior to the establishment of the State of Israel.
Forerunners of the Israeli Air Force – Sherut Avir
A secret Jewish air arm called Sherut Avir (Air Service) was formed in 1947, the air wing of the Haganah, the Israeli Air Force was officially formed on May 28, 1948, shortly after Israel declared statehood. Sherut Avir airlifted supplies to the beleaguered settlements until the British withdrawal in May 1948, and helped defend the new State of Israel immediately thereafter. Aviron, the only commercial air service in Palestine, collaborated with the Sherut Ha’avir.
Sherut Avir RWD-13 VQ-PAL dropping supplies at Yehiam, January 1948
The first planes were assembled from a collection of civilian aircraft commandeered or donated and converted to military use.
Obsolete and surplus ex-World War II combat aircraft were quickly sourced by legal and illegal means to supplement this fleet.
The backbone of the IAF consisted of 25 Avia S-199s (purchased from Czechoslovakia, essentially Czechoslovak-built Messerschmitt Bf 109s).
Israeli Avia S-199, 1948
In addition 60 Supermarine Spitfire LF Mk IXEs, the first of which, “Israel 1” was locally assembled from British abandoned spare parts and a salvaged engine from an Egyptian Spitfire with most of the rest purchased from Czechoslovakia.
Spitfire MH434 lors du Flying Legends Photo: Padawane .The original uploader was Bryan Fury75
Some spitfires were ferried from Žatec base code-named “Zebra” where pilots also received preliminary flight training, while others were transported by sea.
Zatec Main square with town hall and trinity column Photo: ŠJů
Clear Skies: The Story of the Israel Air Force
The following description of the Israeli Air Force relies on the most “inside” military and media footage available to the public.
youtube
The majority, 15 out of the first 18 pilots in 101 Squadron (Israel), of the IAF’s first military-grade pilots in 1948 were foreign volunteers (both Jewish and non-Jewish), mainly World War II veterans who wanted to collaborate with Israel’s struggle for independence, with the rest of the military-grade pilots being Israeli WWII veterans, whereas pilots from Sherut Avir were mainly locals who flew light civilian aircraft for supply, reconnaissance, and makeshift ground attack with hand-thrown light bombs and hand fired light machine guns.
Mahal – The Untold Story of U.S. Pilots Who Flew for Israel in 1948
When Israel became independent the Jewish population in Palestine was supported by volunteer pilots, supplies, and aircraft from the United States, Canada, England, South Africa, Sweden, Holland known as Mahal, the Hebrew acronym for Mitnaddevei Hutz la-Aretz (‘Foreign Volunteers’).
American volunteer pilots who left home to fly barely airworthy Nazi Messerschmitt Bf 109s—“Messer-shits,” as they called their planes while flying dozen’s of IAF missions, in early engagements against Egyptian and Iraqi forces.
youtube
Al Schwimmer
One of the principal allies for the Jewish cause was Al Schwimmer, in the USA. In 1947, with the backing of the Haganah, he formed Schwimmer Aviation in Burbank, California, to purchase and recondition war-surplus transport aircraft. Al Schwimmer, a TWA employee who bought a surplus C-46 for $5,000. He eventually smuggled that and about 30 other aircraft to Israel when the nation was under an embargo that prevented it from purchasing weapons. Convicted of violating the U.S. Neutrality Act, Schwimmer lost his U.S. citizenship and remained in Israel. President Clinton pardoned him in 2001
1958 passport issued to Al Schwimmer which he used on his official trips as head of the IAI – Israel Aerospace Industries. Photo: Huddyhuddy
Israel Air Force Museum
This is a film about a visit to the fabulous Israeli Air Force Museum. The Israeli Air Force Museum is located some 6kms west of Be’er Sheva in the Negev Desert adjacent to the Hatzerim Airbase and the Kibbutz Hatzerim. The Israeli Air Force Museum is found in the open expanse of desert at the Hatzerim Air Force Base, with the warplanes and training planes occasionally flying above the museum providing all round great experience. — Table of Contents — 0:08 location of Israeli Air Force Museum 0:33 AH-64 Apache flying overhead 0:46 Overview of main display area 2:19 F-16 flying overhead 2:29 Soviet warplanes in Arab service 3:04 A-4 Skyhawks in revetment 3:36 Egyptian P-12 radar and SA-2 SAM missile 3:51 ZSU self-propelled AA guns 4:12 Kfirs in revetment 4:20 F-4 Phantom IIs in revetment 5:00 Mil Mi-24D Hind helicopter 5:11 Aermacchi flying overhead 5:39 Dassault Mystere IVA 6:05 Sikorsky CH-53 Sea Stallion flying overhead 6:47 Anti-aircraft guns and prime movers 7:28 Nord Noratlas cargo plane 8:00 WWII-era propeller-driven fighters
youtube
Israel Air Force * The Israeli Air Force is universally recognized to be among the world’s most powerful aerial fighting forces.
0 notes
Text
J.Marseille Messerschmitt Bf 109 F-4 Trop (Tropik Kamuflaj Versiyon)
2. Dünya Savaşı'nın en önemli avcı aslarından olan Joachim Marseille'in Afrika'da kullanarak "Der Stern von Afrika" lakabını aldığı Messerschmitt Bf 109'u yapıp boyamaya çalıştım. Marseille daha sonra geçtiği Bf 109 G6 model uçağının motor arızası sebebiyle düşmesinden önce 154'ü avcı olmak üzere 158 düşman uçağı düşürmüştü.
0 notes
Link
Foro Militar e Historia Militar el Gran Capitán https://ift.tt/2r6d3Eu
0 notes
Photo
Messerschmitt Bf-109 F-4/Trop of I./JG 27(Jagdgeschwader),"White 2",in North Africa, autumn 1942. Colorization: Nikos Hatzitsirou (Greece).
44 notes
·
View notes
Photo
FULL STORY=> https://ift.tt/2r6d3Eu ¿Que Messerschmitt Bf 109 era mejor, el E-4 ó el F-2? Encuesta y debate. ¿Que Messerschmitt Bf 109 era mejor, el E-4 0 el F-2? El primero mejor armado, el segundo más rápido y maniobrable. https://ift.tt/2r6d3Eu
0 notes