#Meronas
Explore tagged Tumblr posts
Text
Amari valley, Crete, featuring some mosaic leaking from a Kirk in Thronos, a lammergeier (stuffed), the oldest olive tree, the bells (the bells) of Amari, possibly the oldest (Byzantine) frescos, some gent havin a beer, the best door in Meronas.
0 notes
Text
URA OMOTE LOVERS but with my utau Merona :]
9 notes
·
View notes
Text
#Priscilla's Marriage Proposal#Priscilla Gyeolhon Uiroe#seorim lim#merona#2020#2020s#complete#kakaopage#south korea
10 notes
·
View notes
Text
there are MORMONS in A Study in Scarlet ?
#reading 'the chosen of the Angel Merona' was like getting slapped in the face with a banana peel#wyst reads#a study in scarlet
2 notes
·
View notes
Text
Merona's Employee BREAK!! History
Merona's Employee (Homeland: Wistful Dark)
You hail from the village of Homble, where you assisted in the production of everything tasty in Merona’s factories.
Purviews:
-Keeping up with demand.
-Making things fresh and delicious.
-Smiling under all circumstances.
Starting Gear (Pick 2):
-Artisan’s Outfit, food-smudged apron and amusingly large baker’s hat
-Basic Potions x2, Merona Pop
-Booster Cakes x2: Might, Might Muffins
-Treats x10, the best confectionaries
0 notes
Text
Worn by Elena Gilbert on the Vampire Diaries on season 4 episode 7
Merona suede cutout belt
0 notes
Text
Bagian paling melelahkan dan menyakitkan saat sedang jatuh cinta dengan seseorang adalah saat kita tahu bahwa kita tidak punya masa depan dengannya.
Hari-hari memiliki perasaan padanya, selalu saja diisi dengan pemikiran bahwa kita teralu berbeda. Kita berupaya untuk mencari 'celah' untuk bisa bersamanya. Namun lagi-lagi kehidupan orang dewasa mau gak mau membuat kita harus selalu bersikap 'realistis'. Bahwa apa yang kita sukai, belum tentu menjadi apa yang kita butuhkan.
Kadang ada keadaan di mana kita ingin kembali ke masa-masa kita remaja dulu. Di mana saat kita menyukai seseorang, kita tak perlu menjadi serumit ini. Perasaan kita menjadi sangat sederhana dan apa adanya. Kita hanya fokus menikmati momen-momen 'merah jambu' di saat itu: perasaan excited sekaligus gugup saat bertemu dengannya, pipi yang merona, debaran di dada, dan juga perasaan hangat saat berada di dekatnya.
Kehidupan orang dewasa memang semenyebalkan itu. Kita tak pernah menginginkan hal sederhana di masa kecil kita menjadi serumit ini. Namun keadaanlah yang membuatnya menjadi rumit. Menyukai seseorang di usia dewasa berarti harus siap memikirkan:
Apakah dia seseorang yang tepat dan juga baik untuk kita?
Apakah orang tua kita akan setuju bila kita dengannya?
Apakah dia seseorang yang benar-benar kita butuhkan?
Rasanya, kita tidak boleh bersama seseorang hanya karena sesederhana kita menyukai bersama dengannya. Perasaan kita harus selalu punya alasan. Bahkan pada saat kita pun juga tidak tahu apa yang membuat kita menyukainya. Kita jatuh hati padanya begitu saja.
Menjadi orang dewasa berarti harus siap menjadi manusia yang mati rasa. Perasaan kita harus ditaruh di paling belakang. Kita harus selalu rasional di semua keadaan. Namun bukankah itu semua melelahkan?
Sebab lagi-lagi, kita ingin kembali pada masa-masa di mana menyukai seseorang tak harus selalu sesulit dan semenyebalkan ini...
@milaalkhansah
347 notes
·
View notes
Text
Kau Menang
Lucu, kadang aku ingin menulis agar seseorang membacanya, namun kadang lainnya aku menulis karena menyakini seseorang tak akan membacanya. Dan ini aku tulis dengan anggapan kau tak akan pernah membacanya.
Apa yang lebih pekat dari malam, mungkin adalah darah yang mengental di dadaku. Ia amarah yang tak mampu dituangkan dalam bentuk apapun, sebab terlalu racun jika ia kujadikan kata-kata untuk memujamu.
Adalah kau aliran yang memiliki muara satu namun beribu hulu. Aku jadi pecundang yang menghakimi wanita lain yang memoles bibir merah merona untuk atensimu yang begitu luas.
Seharusnya kau yang kudakwa bersalah bukan. Tapi kita apa?
Kaki yang berlari sendiri, mencari validasi sana sini, bertemu di berisiknya kata-kata, menitisnya sebagai pedang untuk saling menebas.
Aku suka dengan kelihaianmu memantik amarah, sedang kau senang melihatku yang ingin meledak menahan murka. Kita beradu dengan argumentasi dan emosi, seolah mudah sekali mengatasinya hanya dengan seulas senyum tiga jari.
Pada rongga dadaku, jauh sebelum bertemu kau, ada penyakit yang mengakar. Semacam pongah yang mudah melenggang saat merasa tak diinginkan. Sebab percaya, di tempat lain aku diinginkan dengan sedemikian rupa.
Lalu kau hadir seolah ingin menguji, sampai dibatas mana aku akan mendambamu. Kau menjadi seperti kebanyakan adam yang kutemui, penuh penguasaan dan dominasi.
Sayang, aku tak pernah tertarik berkompetisi.
Bukankah lebih baik mati dalam rindu dariada berlutut kepada hal yang tak tentu?
Entah kau mau berlabuh di mana kau ingin, menetap di mana kau nyaman, atau pada akhirnya berpindah lagi ke lain pelukan, merah di dadaku lebih baik menggumpal daripada luruh hanya untuk mengakui kenyataan; kau menang keparat, aku jatuh cinta.
204 notes
·
View notes
Text
Pada pulih yang berakhiran perih,
Aku pernah mengobati luka, hingga pada akhirnya hanya duka yang kudapat.
Pada hati yang pernah hancur lebur, aku pernah menyembuhkan hingga aku babak belur.
Pada gurauan yang membuat pipi merah merona, aku pernah juga dibuat olehnya hingga menangis sesegukan. Fransdeta
Yogyakarta, 20 Juli 2023
92 notes
·
View notes
Text
Lihat buah semangka di dalam kulkas "Wahh mantap nih, seger betull". Terus aku potonglah buah semangka yang berwarna merah merona itu dengan pisau yang aku bawa dari dapur. Dan jengjengggg, rasa semangkanya rasa bawang 🙏🏻
Tetap aku makan meskipun ada rasa ekstra bawangnya 😎
7 notes
·
View notes
Text
"On the Great Alkali Plain" part 2, from Letters from Watson, arrived in my inbox this morning, bringing with it a predictable cloud of dust from approaching horses (since this isn't a George R.R. Martin novel, so we're not going to introduce characters just to kill them off immediately).
But what a caravan! When the head of it had reached the base of the mountains, the rear was not yet visible on the horizon. Right across the enormous plain stretched the straggling array, waggons and carts, men on horseback, and men on foot. Innumerable women who staggered along under burdens, and children who toddled beside the waggons or peeped out from under the white coverings.
Either we're running late on the Oregon Trail (since Doyle did not have social media to live-blog progress across the dusty waste) or the year 1847 is important, and these are Mormons.
“Shall I go forward and see, Brother Stangerson,” asked one of the band.
These have got to be Mormons.
“Nigh upon ten thousand,” said one of the young men; “we are the persecuted children of God—the chosen of the Angel Merona.”
Tell me you're a Mormon without telling me you're a Mormon.
“We are the Mormons,” answered his companions with one voice.
OMG, they're Mormons.
This makes the geographic names a little dicey -- the Mormon Trail ran through Wyoming, similar but not identical to today's I-80, so the Rio Grande River should be nowhere nearby -- but Doyle didn't have access to Google Maps, and it's not like his readers in the UK would go factcheck. Even with the Transcontinental Railroad completed back in 1869, most places in the Great American Desert were still remote in the 1880s, and California on the far end was still feeling the effects of isolation. Doyle also misspells the Angel Moroni and uses a masculine-ending name on a Sierra, so he's working from popular myth and the memory of things he's read. I wonder how many letters with corrections he received.
(At the time Doyle was writing, "Mormon" was the term used by the group themselves. Since about the 1980s, church leadership started urging the use of "Latter-Day Saints" instead. When I lived in Phoenix, that's near a big LDS population in Mesa, so I wince at using the older term. From here on out, if I'm quoting Doyle, I'll use "Mormon," but if I'm talking, I'll stick to LDS.)
The big reason the LDS wagon train is headed west is because they practiced polygamy at the time, and this was considered both illegal and immoral in larger U.S. society. (That's not a critique of polyamory today, when enthusiastic concept and clear rules are normalized.)
So far Doyle's account of the LDS party is generally positive -- they're organized, efficient, knowledgeable about their surroundings, prepared for danger, and responsible toward people needing rescue, if a bit holier-than-thou -- but I can't believe he's going to handle polygamy with anything other than distaste.
Polygamy is the thing LDS have been known for (to their chagrin after the mainstream LDS church banned it), so at the end of this section, Doyle's original audience is split into two groups:
Readers who have no real idea what a "Mormon" is and accept it as just one more crazy American thing, who now figure Lucy is rescued and wonder what goes wrong later to lead to murder; and
Readers who know about polygamy and are feeling dread for Lucy.
21 notes
·
View notes
Text
Some names I like: (Found in a baby names book)
Killian (Gaelic) One who is small and fierce
Hinto (Native American) Having deep blue eyes
Cafelle (Welsh) A priestess who is an oracle
Merona (Hebrew) Resembling a sheep
Tuuli (Finish) Of the wind
Neirin (Irish) Surrounded by light
Vanir (Norse) Of the ancient gods
Akona (Maori) One who excites and enthuses
Deverah (Latin) Goddess of brooms
Khai (American) Unlike the others; unusual
Firthe (Scottish) Woman of the sea
Simeen (Iranian) A silvery woman
Arno (German) an Eagle-wolf
Hanisi (Swahili) Born on a Thursday
Manzo (Japanese) The third son with ten thousand fold strength
Oddrun (Scandinavian) Our secret love
Rendur (Hungarian) One who keeps the peace
Ballari (Indian) One who walks softly
Jindrich (Czech) A great ruler
I feel like a lot of these would work for both sci-fi and fantasy
#names#list of names#name help#sci-fi names#fantasy names#naming characters#cool names#baby names#writing#writeblr#creative writing#writing community#writing ideas#naming#character design#oc#writing tips#writing help#writing tools#writers#writers block
133 notes
·
View notes
Text
Cerita Ibu
Sejak sudah tak serumah, cerita-cerita ibu adalah hal yang paling dirindukan. Mulai dari kisah masa gadisnya, masa jatuh cinta, perjalanan hidupnya hingga hal-hal yang menyangkut rahasia keluarga. Cerita-ceritanya sangat menarik untuk dikulik, sering kali juga kakak-kakakku ikut menggoda ibu tentang kisah cinta putih abu. Pipinya merona hampir sama seperti gorden jendela di sisi kamar. Sembari cerita, biasanya senja perlahan pulang menuju peraduan. Masih jelas teringat bagaimana ekspresi wajahnya, lalu diimbangi dengan cara bicaranya yang semakin membuat seru cerita.
Sekarang, setelah anak-anaknya merantau, ibu selalu bercerita dengan siapa ya? Apakah sorenya masih seramai dulu ketika anak-anaknya saling beradu berebut kamar mandi? Masakannya siapa yang habiskan ya?.
Jujur saja, setiap menuju suasana sore yang cerah, masa-masa tumbuh bersama ibu adalah hal yang berhasil membuat air mata tumpah. Bagaimana bisa waktu berlalu begitu cepat sementara ibu masih senang untuk bercerita. Anak-anaknya sudah dewasa, begitupun hari-hari ibu yang kian sepi tanpa kawan. Mungkin ibu lebih sering melamun sekarang, membayangkan betapa indahnya berkumpul bersama sambil nonton TV era 90-an. Kalau boleh memilih, ingin tetap menjadi anak kecil ibu yang manja, agar ibu sempat menghabiskan segala ceritanya.
Untuk kamu, jangan lupa sapa ibumu ya. Dia pasti ingin didengar di sisa umurnya.
Bogor, 10/12/23
Sherla.
24 notes
·
View notes
Text
Hari ini ditutup dengan konseling seorang remaja perempuan 15 tahun yang tengah mengandung bayi usia 20 pekan. Ia mengenakan jaket abu-abu yang dipadankan dengan jilbab berwarna peach. Aku takjub dengan riasannya, flawless natural merona disempurnakan dengan softlens coklat dan cat kuku warna merah. Cantik, pujiku, ia pun tersenyum sangat manis.
Kemudian ia menceritakan masalahnya, bulir-bulir air mata tak sanggup dibendungnya, membuat riak anak sungai di pipi dan jilbabnya. Ia yang masih anak-anak tak lama lagi juga akan punya anak. Belum lagi permasalahan dengan pasangan, keluarga, saudara, fasenya yang remaja dengan beragam krisis, finansial, hormonal, keputusan harus putus sekolah menjelang akhir SMP untuk mengandung anak. Tak mudah. Ia bahkan membekaskan sayatan benda tajam di lengannya, hingga pikiran-pikiran untuk menyudahi segalanya. Ah, sungguh tak mudah jadi dirinya.
Di akhir sesi aku berterima kasih dan memeluknya erat, karena tetap mempertahankan bayi dalam rahimnya. Kesadaran akan kekhilafan yang telah dilakukan menghalangi ia melanjutkan mata rantai kesalahan-kesalahan lain yang lebih tragis. Ia belajar menerima konsekuensi atas khilaf yang lalu. Semoga edukasi selama konseling membekas dalam ingatannya sebagai upaya mengantisipasi dampak psikologis yang lebih berat, apapun perannya kelak.
Ah, memang tak mudah menjadi anak, apalagi orang tua. Setiap orang, setiap peran, setiap kita, punya medan tempurnya masing-masing. Be kind 🌼
Bpn, 040823
26 notes
·
View notes