Tumgik
#Macam Macam Trauma Psikologis
padangboelan · 11 months
Text
Cinta itu menjaga
Tumblr media
Berkali-kali melihat berita dan menyaksikan kasus perselingkuhan langsung dengan mata kepala dan bersinggungan dengan orang-orang sekitar saya membuat saya tak mudah menaruh rasa percaya.
Sempat terpikirkan kalau kelak suatu ketika jika diizinkan untuk berumah tangga, kriteria yang harus ada pada pasangan adalah ia yang takut pada Tuhannya, karena tentunya ia akan sangat menjaga diri dan hati pasangannya.
Selain takut pada Tuhannya, maka kriteria lainnya adalah ia yang berilmu, berakal cerdas dan memegang value-value baik dalam hidupnya. Karena seseorang yang berilmu, berakal dan bervalue baik akan berpikir berkali-kali atas segala konsekuensi dari setiap tindakannya, ia tak akan berbuat macam-macam dengan benteng ilmu yang ia punya serta kebijaksanaan berpikirnya dan ia akan membayangkan dirinya akan terlihat rendah jika ia bersinggungan pada nilai-nilai yang bertentangan dengan dirinya.
Selingkuh dampaknya bukan cuma pasangan yang rasa, anak-anak juga akan turut kena dampaknya jika sudah berumah tangga, karena selain membawa dampak psikologis dan penyakit ke pasangannya ia juga akan menimbulkan trauma yang akan terus menerus dibawa anak-anaknya sampai mereka dewasa. Serta banyak lagi dampak-dampak negatif lainnya.
Semoga Tuhan selalu menjaga dan melindungi kita serta menganugerahkan kita pasangan yang mampu menjaga.
43 notes · View notes
jaidewer · 1 year
Text
Sebab Kita adalah Luka
“Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.” - Joko Pinurbo
Tulisan ini sengaja saya buka dengan mengutip salah satu puisi dari Joko Pinurbo. Kali ini saya akan membahas tentang luka, tentang trauma dan berbicara tentang pengalaman saya menghadapinya. Akhir tahun 2022 kemarin, bukan merupakan masa-masa yang mudah bagi saya, ada beberapa hal yang membuat saya harus mengatur ulang hampir seluruh prioritas hidup saya. Sebagai ilustrasi mungkin bisa dibayangkan ketika kalian sudah menyusun suatu lego, katakanlah lego millenium falcon (ya, karena saya suka dengan Star Wars saya pakai referensi itu saja) kemudian tiba-tiba kalian sadar ada satu bagian yang hilang hingga kalian harus membongkarnya kembali dari awal. Kurang lebih seperti itu.
Saya bukan tipe orang yang suka cerita, saya sulit mengungkapkan perasaan saya, mungkin itu juga sebabnya saya suka menulis. Dengan menulis saya bisa lebih leluasa menuangkan banyak hal dan saya pun bisa mencari diksi yang tepat untuk hal yang ingin saya ungkapkan. Oke cukup perihal saya, mari kita lanjut kembali ke topik tulisan ini: LUKA.
Manusia adalah makhluk yang rapuh, kita ini rapuh namun seringkali mengaku bahwa kita untuk utuh, kita ini solid. Padahal seringnya kita ini penuh dengan luka, baik luka yang sengaja maupun tidak disengaja. Disadari maupun tidak disadari. Luka adalah bagian dari hidup kita. Jika kita berbicara tentang luka yang disadari, tentu tidak ada masalah bagi kita untuk menyelesaikannya, walaupun tetap saja sulit dalam ranah implementasi. Untuk luka yang tidak disadari bagaimana? Ini yang jadi pekerjaan rumah tersulit, termasuk bagi saya. Kebanyakan luka yang tidak disadari ini adalah trauma-trauma yang kita alami sejak kita masih kecil yang mungkin secara sadar kita lupa namun ternyata pada alam bawah sadar luka itu masih ada. Luka entah karena minimnya kasih sayang orang tua, luka karena selalu dibanding-bandingkan, luka karena kekerasan, dan lain sebagainya. Itu kita alami, namun tidak disadari bahwa itu berdampak pada kehidupan kita.
Kita menyimpan luka, namun kita tidak sadar akan hal tersebut. Untuk saya pribadi adalah karena juga sangat kurangnya kesadaran tentang kesehatan mental dan bagaimana agar berdamai dengan trauma. Saya bahkan pernah membuat tulisan ini, namun bagi saya pun masih cukup sulit untuk berdamai dengan trauma yang ada.
Kembali ke pengalaman saya, beberapa bulan yang lalu saya mengalami panic attack yang tentu saya tahu penyebabnya. Beruntungnya saya waktu itu saya pernah menonton suatu drama korea, judulnya It’s Okay To Not Be Okay, di sana ada suatu adegan di mana karakter utamanya mengalami panic attack dan salah satu cara menanggulanginya adalah dengan butterfly hug, kalian bisa cari itu di youtube jika ingin tahu cara melakukannya, keywordnya tadi itu “Butterfly Hug”.
Tidak lama setelah itu pun, akhirnya saya memberanikan diri saya untuk pertama kalinya sepanjang hidup saya, pergi ke psikolog. Perihal ini juga cukup banyak yang menolak untuk pergi ke psikolog, alasannya macam-macam: karena misal adanya stigma bahwa ketika ke psikolog tandanya tidak waras atau sakit jiwa, atau ya paling sering adalah denial dan berpikir bahwa dirinya tidak perlu bantuan profesional karena dirinya baik-baik saja. Saya memutuskan pergi karena saya tahu saya tidak baik-baik saja, bukan karena kejadian terakhir yang terjadi saya, tapi karena itu bukan pertama kalinya saya mengalami panic attack. Sesi pertama saya berlangsung lancar, pasca sesi tersebut saya lebih merasa lega dan lelah di saat yang sama. Mungkin seperti kata teman saya, untuk berbicara dengan orang lain itu membutuhkan energi yang besar, apalagi ketika kita memberanikan diri untuk terbuka. Apakah saya ingin ke psikolog lagi? Tentu saja, saya berharap bisa merutinkan sesi itu karena kembali lagi, tidak ada masalah yang receh/sepele. Saat ini juga saya baca beberapa buku, salah satunya Filosofi Teras dari Henry Manampiring.
Kembali lagi ke luka atau trauma. Itu bukanlah merupakan suatu penyakit, jadi tidak perlu malu dan merasa itu aib. Kita semua hidup dalam luka atau trauma. Yang perlu kita lakukan adalah menerima, tidak mudah tentu, percayalah saya tahu benar tentang itu. Butuh proses yang panjang, butuh closure dengan banyak hal. Namun, mungkin yang kita butuhkan bukan luka sembuh? Tapi mungkin yang kita butuhkan adalah perjalanan/proses mencapai penerimaan itu sendiri? Seperti luka pada tubuh kita yang lukanya sembuh, tapi bekasnya tetap tersisa. Mungkin pengalaman itu yang perlu kita rasakan, penerimaan bahwa luka itu adalah bagian dari kita, yang membentuk kita menjadi diri kita yang sekarang, tentu harapannya adalah menjadi versi terbaik dari diri kita. 
Seperti kutipan Goenawan Mohamad “La fragilidad está dentro de nosotros, ya veces es bella -- Yang rapuh ada dalam kita, dan terkadang ia indah.”
Jadi, mari kita sama-sama berjalan dan mencoba belajar untuk menerima. 
Salam,
J.
16 notes · View notes
hannymaya · 1 year
Text
Setelah Hari-hari Itu
Setelah beberapa bulan yang sangat panjang dan penuh dengan badai rasa aku menjadi takut untuk melangkah kedepan. Entah ketakutan macam apa yang ada di benakku. Aku tetap melangkah meskipun sebenarnya aku takut sekali untuk melangkah, tapi akan sampai kapan aku harus berdiam diri?
Aku takut akan kesedihan-kesedihan yang bertubi-tubi silih berganti tiada henti. Aku takut akan kekecewaan yang lebih besar lagi. Aku takut rasa percayaku dikhianati lagi dan lagi. Aku takut dengan berita-berita atasku dan juga lakuku yang melemparku jauh ke dasar jurang. Aku takut dengan kebencian orang-orang atas apa-apa yang aku sendiri tidak tahu pasti. Aku takut dengan kalimat-kalimat yang merendahkanku dan membuatku tidak lagi percaya diri. Aku takut ditinggalkan, bahkan orang terdekatku sendiri. Aku takut percaya lagi. Aku takut hal-hal yang menyedihkan terjadi padaku dan orang-orang menertawakanku. Aku takut. Bahkan ketika namamu disebut, aku takut. Bayang-bayang pekat selalu menghampiri. Aku takut.
Kata psikolog ketakutanku itu disebabkan oleh "trauma". Tapi bagian mana yang membuat trauma, karena segala jenis perlakuanmu akhir-akhir itu selalu membuatku terluka.
Akhir-akhir ini aku sering menangis. Entah bagian apa yang membuatku menangis, tapi setiap tangis selalu berujung menyesakan dada. Aku sering menangis dikala solat, disaat makan, disaat mau tidur, disaat mau berangkat bekerja, disaat menyusuri jalanan Jogja Magelang atau sebaliknya, aku menangis disaat melihat cerita-cerita cinta orang, disaat mendegar jalan persahabatan orang. Aku menjadi orang yang selalu mengisi hari-hari dengan tangis akhir-akhir ini. Jika kamu minta aku untuk berhenti, akupun ingin, tapi sayangnya tidak semudah ingin aku berhenti meratapi juga menangisi.
Ini bukan perkara harga psikolog, energi, ataupun waktu yang harus dibayarkan. Hampir 10 bulan ++ bukan waktu yang sebentar. Ini bukan perkara kamu pergi langsung semuanya teratasi. Tidak semudah itu rupanya. Luka-lukanya rupaya parah, dan sayangnya aku juga payah dalam hal menjahit luka itu. Sesekali aku rapi dalam menjahitnya, tapi di waktu yang lain dengan mudah jahitan itu terkoyak dan memunculkan luka yang menganga. Sedihnya lagi, aku melaluinya seorang diri. Mencari obat sendiri. Menambal sulam robekan rasa sendiri. Ya, kali ini aku sendirian. Benar-benar sendirian.
Rasa-rasanya setiap hari aku sudah mengaduh dan merintih, aku sudah tidak sanggup ya Allah. Tapi entah Allah masih membuatku berdiri di titik ini. Katanya, Allah tidak akan membebani hambanya melebihi batas kemampuannya. Apakah ini Allah ingin menunjukkan padaku bahwa aku mampu untuk menerima lagi dan lagi beban-beban ini? Kalau boleh protes "Tapi Allah, aku sudah tidak sanggup lagi. Menyesakkan sekali rasanya, setiap teringat potongan-potongan episodeya."
Allah. Ini Hani, HambaMu. Tolong ya Allah. Hani sudah tidak sanggup lagi. Lalu pada siapa lagi Hani harus meminta tolong dan memohon perlindungan selain padaMu ya Allah.
Hamba Ikhlas dan Ridho atas jalan takdir yang Engkau tuliskan untuk hambaMu ini ya, Rabb. Sedih juga senangnya. Tawa juga tangisnya. Hamba Ridho ya Rabb....
Tapi kali ini, hamba rasanya sudah tidak sanggup lagi.
Magelang, 1 Oktober 2023.
Sudah Oktober, tengah malam masih nangis aja. Hahaha
2 notes · View notes
kinderorchestra · 2 years
Note
kak dan, minta rekomendasi manhwa dong (yg minim porn dan lebih ke plot)
saat ini yang belum ada pornnya aku kepikiran 2, salah satunya udah aku review di twitter sih:
lost in the clouds
ceritanya anak sma (skylar/haneul) yang suka ngambil foto crushnya (chanil), tapi ketahuan sama temen si crush (cirrus/hyunwoon) yang narsis dan ngerasa lebih ganteng. kemudian cirrus malah ngeblackmail dia dan kinda ngebully, semacam dijadiin budak gitu, tapi gak too much. (meskipun tetep nyebelin)
alurnya cukup kompleks dan awalnya aku pikir gak masuk akal… kenapa gara2 ngambil foto2 inosen aja ampe skylar mau dibully, ternyata back storynya ngena banget sumpah. trus sifat kekanak2an si cirrus juga surprisingly justifiable. aku suka karakter narsisnya digambarkan dengan baik.
mungkin karena tokoh utamanya masih pada bocil sekula, jadi belum ada porn, atau mungkin gak bakalan ada, idk (tapi artistnya punya histori bikin bokep gak masuk akal btw, jadi wajar kalo antisipasi porn juga). so far dari season 1 yang udah kelar gak ada hint menuju ke sana sih. season 2 lagi ongoing dan mereka masih sekolah btw.
pizza delivery man
ini tentang cowo yang kerja serabutan buat bayar utang bapaknya. dia jadi pizza delivery man dan nganterin pizza di apartemen mewah, trus ketemu sama pengangguran tajir. somehow dia malah jadi orang yang nemenin si pengangguran tajir ini buat terapi psikologis (dia nganggur karena ada trauma).
yang ini aku baru selesai baca. season 1 gak ada bokep sama sekali. jujur ini surprising banget, soalnya dari umur karakter2nya dan plotnya, sungguh bisa aja diselipin bokep sana sini, tapi authornya sabar banget. aowkaowoakwoak
story wise, ini vanilla banget. gak ada yang problematik, gak ada yang red flag. kalau suka cerita vanilla, mungkin bisa baca ini. bahkan lost in the clouds yang tokohnya bocil2 aja lebih vulgar karena banyak adegan berantem/darah.
honorary mention yang kayaknya bakal bikin orang bosen karena aku ngomongin ini terus:
checkmate
mcnya (soohyun) dulu punya orang yang dia benci waktu sma karena orang itu udah ganteng, bisa semua hal, dan selalu ranking 1 di sekolah, bikin soohyun jadi siswa nomer 2 sampai lulus. dia benci orang ini (eunsung) sampe 10 tahun berlalu, tapi kemudian dia nemu berita bahwa eunsung ini kesandung skandal karena ngerusak lukisan yang dipamerin di art exhibition pelukis terkenal. soohyun ini orangnya obsesif dan creepy banget sebenernya, dia resign kerja dan jadi jurnalis buat ngeliput eunsung dan bikin eunsung tunduk ke dia supaya bikin soohyun ngembaliin citranya jadi baik di mata publik.
aku suka cerita ini karena dua karakternya dominan dan unhinged. dua2nya red flag. ada rape tapi cara soohyun coping up aneh dan unik. i think this is my most fav bl manhwa. ceritanya menurutku unik dan artistnya berani ngambil tema yang gak umum. dan tropemya enemies to lovers, tapi in between alurnya macam kebalik gitu, idk how to explain it. 😭 amount bokepnya decent. dan bokep2 setelah ngewe pertama mereka (aku gak fancy yajg pertama) itu semua bokep seleraku. 😔👍
2 notes · View notes
egle-kd · 2 years
Text
Tumblr media
EKSLUSIF, Call, 0878-7604-0136, Trauma Emosional Bunda Lucy
Klik https://wa.me/087876040136, Trauma Pada Anak Usia Dini,Trauma Akibat Diselingkuhi,Trauma Akibat Jatuh Cinta,Trauma Akibat Janin Dalam Kandungan,Trauma Akibat Jerawat
PTB Duren Sawit Blok D3/1
Klender
Jakarta Timur
(Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)
http://psikologindonesia.com
https://g.page/r/CZUcygKgl_UzEAg/review
https://g.page/r/CT98JtEHC7zUEAg/review
#ftraumahealing #traumagenicsystem #traumageek #traumagenic #traumageburt #traumagear #traumaheli #traumahacking #htrauma #htraumainformedyoga
0 notes
hellopersimmonpie · 3 years
Text
Childfree
Ramainya diskusi tentang Childfree di akun masjid Salman membuat saya ingin berbagi sedikit uneg-uneg. Sebelum saya menulis tulisan ini, saya sempat menuliskan tentang hikmah pernikahan dalam Islam. 
Dalam konsep peradaban yang diajarkan Islam, keluarga memegang peranan penting unruk menghadirkan generasi Ribbiyuna Katsir. Namun apakah mendidik generasi Ribbiyuuna Katsir tersebut hanya menjadi tanggung jawab muslim sebagai anggota keluarga ataukah termasuk tanggung jawab muslim sebagai bagian dari ummat?
Kalau misal mendidik generasi Ribbiyuna Katsir menjadi tanggung jawab yang hanya dibebankan kepada keluarga, konsekuensinya memang tiap keluarga harus menyumbang banyak anak sholeh. 
Katakanlah kita ingin memiliki 5 anak sholeh dengan jarak kelahiran masing-masing dua tahun. Artinya, perempuan harus melewati siklus hamil - melahirkan dan menyusui yang tidak berhenti selama 9 - 10 tahun. Peran ini memang menghadirkan banyak sekali pahala bagi perempuan. Tapi support system apa yang bisa kita tawarkan untuk perempuan yang ditugasi pekerjaan tersebut?
Sementara selama ini pola pikir kita sudah terbelenggu bahwa perempuan memang seharusnya multitasking, perempuan itu support system bagi keluarga sehingga dia tidak bisa punya suara sendiri. Setiap tindakan perempuan harus mendapatkan ridho suami sementara setiap tindakan suami boleh dilakukan tanpa persetujuan isteri.
Tahun lalu, saya sempat terlibat diskusi rumit tentang Marrital Rape. Apakah benar dalam pernikahan ada Marrital Rape? Jawabannya bervariasi. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Dari jawaban yang tidak setuju, ada teman saya yang bilang bahwa perempuan harus manut sama suami dan nggak perlu takut karena Al Quran mengajarkan adab agar suami bercocok tanam dengan cara yang baik.
Siapa yang bisa menjamin bahwa laki-laki akan selalu lurus? Bagaimana dengan perspektif perempuan? Tidakkah perempuan diizinkan untuk menyampaikan keluh kesah kepada suaminya?
Jika laki-laki diajarkan adab untuk bercocok tanam, mengapa perempuan tidak diajarkan untuk mengkomunikasikan kondisinya saat merasa tidak nyaman dalam berhubungan suami isteri? Kenapa seolah Islam hanya ramah kepada laki-laki? Apakah benar Islam yang mengajarkan demikian? Ataukah ini hanya sudut pandang yang berasal dari interpretasi sempit kita?
Di sisi lain, banyak juga yang berpendapat bahwa tugas perempuan adalah melahirkan dan mendidik anak. Jadi, jika dalam sebuah rumah tangga, perempuan tidak dapat menjalankan tugas tersebut maka dia boleh dipoligami. Pertanyaannya adalah, kalau poligami tersebut dimulai atas dasar kekurangan isteri pertama, apa suami mungkin bersikap adil? Dan jika poligami membuat rumah tangga pertama menjadi rusak, apakah hukum pernikahan kedua akan tetap sunnah atau mubah? Tidakkah hukumnya bergeser menjadi terlarang?
Apa yang saya tulis ini hanya kondisi-kondisi ekstrim yang kalo dalam kurva normal tuh hanya ada di ekornya. Saya tidak menafikan ada banyak keluarga fungsional yang memberi banyak ruang kepada isteri untuk bersuara. 
Akan tetapi....kembali lagi.....
Kok rasanya berat sekali jika kita berasumsi bahwa tanggung jawab mendidik generasi hanya dibebankan kepada keluarga. Sementara kondisi keluarga sangat bervariasi. Selain itu, kita sendiri juga belum terbiasa membicarakan lemahnya posisi perempuan dalam tatanan seperti masyarakat kita hari ini.
Dalam banyak diskusi tentang perempuan, kita seringkali belum melihat kondisi di lapangan, tapi kita buru-buru mengakhiri diskusi tersebut dengan label:
Ah kamu Feminazi....
Saya nggak tahu sewaktu menulis ini pikiran saya sedang condong pada kebenaran atau tidak. Tapi semoga Allah memandu kita semua. 
Keluarga memang bagian terkecil penyusun peradaban. Jika ada banyak keluarga yang baik dan menghasilkan orang shalih, maka peradaban kita akan diuntungkan. Tapi apakah mendidik generasi hanya tanggung jawab keluarga?
Mungkin kita perlu menengok skenario lain bahwa mendidik generasi shalih adalah tanggung jawab seorang muslim sebagai bagian dari ummat.
Ketika kita belajar hikmah dari setiap aturan, kita akan bisa memandang fiqih sebagai sebuah sistem yang saling mendukung satu sama lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hikmah pernikahan adalah menghasilkan keturunan. Tapi hal tersebut tidak mutlak. Ada banyak kondisi yang membuat sebuah keluarga tidak memiliki anak. Entah karena tidak subur, entah karena tidak mampu secara finansial, entah karena tidak siap dari sisi psikologis dan seterusnya.Hal ini tidak bisa kita nafikan. Penderitaan-penderitaan orang yang trauma juga nggak bisa kita abaikan begitu saja.
Saya sendiri bukan penganut Childfree meskipun sampai sekarang belum menikah. Saya hanya berusaha berhati-hati agar yang mubah tidak digeser menjadi haram secara serampangan hanya gara-gara perspektif kita tidak bisa bertemu dengan perspektif orang-orang yang memilih tidak menikah atau memilih tidak punya anak.
Allah sangat menganjurkan kita untuk menikah dan punya anak. Iya. Tapi anjuran tersebut tidak lantas membuat orang yang memilih tidak menikah atau memilih tidak punya anak menjadi berdosa. Ulama kita banyak yang tidak menikah karena menenggelamkan diri untuk menuntut ilmu.
Di sisi lain, dalam adab jima’, kita mengenal konsep kontrasepsi alami. Dan penggunaan kontrasepsi ini hukumnya mubah. Tanpa syarat.
Lalu apakah orang yang tidak memilki anak tidak dapat berkontribusi dalam menghadirkan generasi Ribbiyuna Katsir?
Kita mengenal satu hadis tentang tiga sumber pahala yang tidak terputus meskipun kita sudah meninggal. Pertama adalah shodaqoh jariyah, yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat dan yang ketiga adalah doa dari anak-anak shalih.
Manusia hadir di muka bumi dengan berbagai macam kondisi. Maka Allah memberi kita keluasan dalam beramal. Jika kita tidak mampu menjalankan yang satu, kita diberi ruang untuk melakukan amal yang lain..
Ada orang-orang beruntung yang bisa meraih semua hal dalam hadist tersebut. Tapi banyak juga yang hanya bisa meraih satu atau dua. Mana yang lebih dicintai Allah? Wallahu a’lam. Tugas kita hanya menjaga niat dari amal-amal kita. 
Generasi Rabbani adalah generasi yang akalnya terpelihara. Kalau kita menjadi orang tua, mungkin kita akan melakukan banyak hal sekuat tenaga agar anak-anak kita tumbuh cerdas. Tapi bagaimana dengan anak-anak yang terlahir dari keluarga underprivilege? Siapa yang memelihara akal mereka?
Itu tugas kita. Sebagai bagian dari ummat. Jadi mendidik Ribbiyuna Katsir hanya melalui keluarga itu tidak cukup. Tidak semua keluarga fungsional. Masih ada banyak anak yang terlantar.
Apa yang bisa kita lakukan? Untuk merawat akal manusia, haruskah kita membangun sebanyak mungkin institusi pendidikan? Tidak selalu.
Ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Di antaranya memastikan kebutuhan sandang, pangan dan papan semua orang tercukupi. Selain itu, kita juga perlu memastikan semua orang punya jam kerja yang manusiawi. Kenapa?
Karena jam kerja yang manusiawi bisa memberi ruang yang lebih lebar bagi manusia untuk belajar dan berpikir. Jadi waktu mereka tidak habis untuk memenuhi kebutuhan makan esok hari
Nah, demi memahami kebutuhan-kebutuhan ini, kita perlu ilmu. Kita juga perlu biaya. Dan itu tercakup dalam hadist tentang anak adam yang tidak terputus amalnya setelah mati tadi.
Jadi, ketika berbicara tentang upaya mendidik generasi Ribbiyuna Katsir, jangan hanya berfokus pada mendidik anak-anak shalih dalam keluarga kita. Masih ada dua amal lainnya yaitu mendayagunakan harta dan ilmu kita untuk masyarakat.
Shadaqah jariyah....au ‘ilmin yuntafa’u bihi... au waladin shoolihin yad’ulahu. 
Dalam hadis ini, Rasulullah menggunakan kata au (atau) bukan wa (dan). Allah itu luas rahmat-Nya. Tidak ada manusia yang sempurna melakukan semua amal. Maka hadis ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita.
...
Ada satu hal yang perlu kita ingat saat menilai perkara yang sifatnya mubah seperti Childfree. Amalan mubah itu sifatnya fleksibel. Kita berhak memilih untuk melakukan hal tersebut atau tidak. Dan jika segala pertimbangan kita dalam melakukan hal mubah ini karena Allah, Allah akan tetap mencatat kita sebagai hamba yang mengingat-Nya setiap waktu.
Banyaknya manfaat tidak akan menggeser hal yang mubah menjadi wajib. Apalagi jika manfaat tersebut hanya berdasarkan asumsi kita.
Di dunia maya, kita sering sekali menemukan perkataan yang jahat dan tone deaf. Semisal:
“Kamu tuh nggak pengen punya anak pake alasan trauma. Padahal ya males berkembang aja“
atau di sisi ekstrim lainnya:
“Orang miskin itu harusnya nggak punya anak sih. Soalnya anaknya pasti menderita“
Apa hak kita mengatur hidup orang lain atas sesuatu yang sebenarnya menjadi hak mereka untuk memilih?
Allah sudah menyediakan tiga opsi. Shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak-anak yang shalih. Jika saudara kita kesulitan menjalankan satu amalan, tidakkah lebih baik jika kita mengingatkan bahwa ada amalan lain yang sama utamanya?
246 notes · View notes
alizetia · 5 years
Text
Manusia itu unik sekali. Kadang kita tak menyukai diberi label oleh orang lain. Tapi senang melabel diri sendiri.
Duluu sekali waktu saya masih berjuang sembuh dari luka luka masa lalu. Kebetulan saya bukan tipe orang yang bercerita pada orang lain. Orang biasa menyebut jenis kami dengan introvert. Mungkin kalau bisa memberi label sepihak saya dulu intovert yang paling introvert. Bahkan saya bersembunyi dari lembaran lembaran buku harian sendiri. Tak suka menuliskan gamblang apa yang dirasa. Saya lebih suka menulis prosa dan puisi yang punya beragam makna. Ah, bahkan dulu jujur pada diri sendiri bahwa sedang merasa tidak baik baik saja saya tak mampu. Saya memendam satu demi satu perasaan negatif dengan mensugesti diri saya bahwa saya adalah orang yang tangguh. Hingga lingkungan memberikan label yang sama, saya dikenal kuat dan tangguh. Sederhananya saya bukan perempuan cengeng.
Tahun demi tahun, label kuat yang disematkan oleh diri sendiri dan orang lain ternyata membawa penyakit sendiri. Saya menjadi pribadi yang semakin rumit. Merasa perlu menjelaskan definisi diri sendiri. Sampai pada suatu fase, saya pernah merasa mental saya semakin tak sehat. Mencoba browsing dan menyamakan fenomena diri dengan informasi yang ada di internet. Setelah mencocokkan ciri ciri yang ada saya berkesimpulan saya tengah mengalami "hal itu". Tanpa sadar saya mensugesti diri saya kalau ya betul saya sedang begitu waktu itu.
Di lain cerita, sahabat saya mengalami depresi karena trauma masa kecil dan pelecehan seksual. Saya baru mengetahuinya setelah lulus kuliah. Awalnya saya sangat kaget. Karena bertahun tahun kami bersahabat di antara lingkaran persahabatan kami tak ada satupun dari kami yang tahu hal itu. Singkat cerita sahabat saya memutuskan ke psikolog. Suatu hari ia bertanya pada psikolognya "apakah saya ini bu?" Jawab psikolognya "kamu menanyakan hal itu untuk apa? Supaya bisa melabel diri kamu dengan hal itu?" Jreng. Jadi psikolog dan teman saya ini sepaham bahwa teman saya mengalami depresi. Cuma di antara penyebab depresi kan ada sindrom sindromnya. Nah sindrom apakah itu yang ingin dikonfirmasi oleh teman saya. Waktu diceritakan saya manggut manggut. Benar juga. Terkadang, sekali lagi terkadang ya bukan setiap kali. Manusia senang sekali melabel dirinya dengan penyakit penyakit mental tertentu, terlepas dari benar benar didiagnosis begitu, atau hanya yang merasa saja. Label label itu yang baik berasal dari fakta atau hanya opini yang mensugesti diri. Yang sering kali membuat hidup dan diri semakin rumit saja. Akhirnya kitalah yang sering memperumit diri sendiri. Mengapa tak kita coba sederhanakan saja kehidupan ini. Mengembalikannya pada tujuan awal penciptaan. Kita hidup untuk beribadah, setiap manusia yang mengimaninya akan diuji. Ujiannya macam macam, salah beberapanya bisa jadi akan sangat menggoncangkan jiwa bahkan membekas. Apapun bentuknya, kita akan selalu bisa bergantung pada Pencipta kita, yang menyembuhkan luka asal kita mengikhlaskannya dan memaafkannya. Yang menumbuhkan jiwa kita, asal kita tak terlalu sombong dan mau mengampuni diri sendiri juga orang lain. Asal kita tak terlalu jumawa, menyematkan label menjadi makhluk paling malang di muka bumi.
Tidakkah kita berpikir? Mengapa 1/3 isi al qur'an berisi kisah? Karena Allah ingin kita mengambil pelajaran dari kisah kisah terbaik. Kisah indah paling baik, kisah kelam pun yang terbaik. Semua kisah itu relevan bagi hidup kita sekarang ini. Kadarnya jauh lebih tinggi dari apa yang kita alami. Jadi, bila manusia dalam kisah al qur'an mampu ikhlas dengan ujian yang seharusnya jauh lebih menyisakan bekas traumatik. Bukankah seharusnya kita lebih bisa begitu?
Jika dan hanya jika kita mau melakukannya :) mau mengikhlaskannya. Dan berhenti melabel diri sendiri dengan label label yang semakin memperumit definisi sederhana diri kita yakni makhluk ciptaan Tuhan.
Alizeti, Jakarta
----
Ditulis karena kepedulian saya akan isu mental health. Semoga bisa menjadi renungan kita bersama. Maafkanlah bila ada kalimat kalimat yang kurang berkenan. Tulisan ini memiliki maksud yang baik meski mungkin nasihatnya bukan mengelus pipimu. Namun menepuk punggungmu dengan agak sedikit keras. Supaya kamu sadar untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan tak berlama lama dalam kesedihan. Doaku untukmu. Semoga kamu bahagia selalu :)
267 notes · View notes
indastory · 5 years
Photo
Tumblr media
NOTULENSI SEMINAR: MELAHIRKAN AMAN DAN NYAMAN (Narasumber: Bidan Rina) . • Proses melahirkan itu mudaaah sekali, tinggal senyum juga bisa. Tapi saking mudahnya, orang-orang sampai lupa gimana caranya 😁 . • Ketika akan melahirkan, jangan sampai ada masalah dengan siapapun, terutama dengan suami. . • Hamil dan melahirkan adalah hak preogratif Allah, kapan dan dimananya sudah Allah tentukan. . • Bayi punya waktunya sendiri untuk keluar, ia punya masa kontrak dengan Allah di alam rahim. . • Melahirkan secara alami bahkan tanpa mengejanpun sebetulnya bisa, karena sejatinya tubuh sudah punya proses sendiri dalam perkara melahirkan ini. . • Suami juga sangat perlu menuntut ilmu, karena akan sangat mempengaruhi psikologis istri. Sepercaya diri apapun istri untuk melahirkan normal, akan cukup down juga jika suami pesimis dan tidak percaya pada istrinya. . • Tawakal bukan berarti berpasrah sepenuhnya apapun yang akan terjadi tanpa ilmu. Usaha dulu, cari ilmunya dulu, baru kemudian bertawakal kepada Allah. Jangan dari awal hamil cuek gimana nanti terserah Allah, itu bukan tawakal namanya. . • Keberhasilan melahirkan normal itu mencapai 90%, asal DIPERSIAPKAN ilmunya. . • Jauh sebelum hamil, ibu harus membenarkan dirinya, yang paling penting adalah membenarkan kesehatan mental. Jika ada trauma harus diselesaikan karena akan berpengaruh saat hamil dan melahirkan. . • Tubuh, pikiran, dan hati harus bagus. Ibu hamil tidak boleh punya rasa iri hati, dengki, atau stres dll bahkan sebelum hamil. . • Ibu hamil yang mengalami trauma bisa berpengaruh pada mual muntah hebat dan tidak bisa masuk makanan sama sekali. Kalau sudah begini, ibu hamil harus diajak ngobrol dari hati ke hati, ada ketakutan dan kecemasan apa sebenarnya? Sering2 mengevaluasi diri, self healing, berdamai dan selesai dengan diri sendiri. . • KESEHATAN MENTAL IBU HAMIL ADALAH KEHARUSAN! . • Ilmui hal-hal yang membuat ibu hamil harus melalui operasi caesar, kebanyakan kasusnya adalah karena posisi janin yang tidak tepat (malposition) dan hipertensi di atas 34 weeks. Tapi semua ini sejatinya bisa diatasi, perbanyak membaca, edukasi dan memberdayakan diri. . • Suami tidak boleh cuek dengan kehamilan dan proses melahirkan istri. Allah justru pertama kali akan minta pertanggungjawaban pada suami. Kalau ikut seminar kehamilan, ajak juga suami. . • Ibu hamil tidak boleh asal ngidam, harus tetap bisa melawan hawa nafsu jika ngidam makanan yang tidak sehat. Perhatikan asupan nutrisi untuk bayi, jaga pola makan. Generasi macam apa yang kita harapkan terlahir dari ibu yang suka makan sembarangan? . • Olahraga itu penting, tidak boleh ditinggalkan. . • Ibu hamil bukanlah ibu yang sakit, tetaplah beraktivitas dan bergerak seperti biasa. Hamil bukanlah penghalang untuk beraktivitas. . • Tetaplah jaga hati, pikiran, dan tubuh selama hamil. Ibu hamil jangan mudah baper, jangan stres, jangan sedih berlebihan karena akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis janin. . • Proses pendidikan anak itu dimulai sejak anak berada di dalam rahim, berdayakan diri sendiri selama hamil. Ajari anak untuk kuat sejak dalam kandungan.
• Ibu hamil harus sering-sering curhat ke Allah, kalau ada masalah, sedih, dll. Curhat dulu ke Allah sebelum kepada yang lain. Ajari anak tauhid sejak dini. . • Melahirkan itu butuh banyak hormon oksitosin (hormon cinta). Hormon ini akan keluar saat kita merasa nyaman, aman, rileks, percaya diri, dan sabar. . • Melahirkan bukan proses saling menyakiti antara ibu dan bayi. Ingatlah semakin kencang kontraksi, semakin artinya Anda akan bertemu dengan sang buah hati. Pasrahkan tubuh agar si bayi bisa menemukan jalan keluarnya sendiri. Hindari berteriak-teriak. Hadapi dengan senyum. Coba Anda bayangkan bagaimana perasaan bayi yang keluar saat Anda berteriak, mengeluh, marah dan kesal karena proses melahirkan? . • Panggul kita itu fleksibel dan bisa menyesuaikan besarnya bayi (asal gak gede-gede banget) . • Perbanyak gerak agar panggul elastis, beberapa indikasi kurangnya gerak biasanya posisi bayinya sungsang, sering kecetit, kram, susah miring kiri dan kanan. Enjoy aja! . Knowledge is a power bagi ibuk hamil! Semangat buibuk! by @yulindaashari
17 notes · View notes
adiyanic · 4 years
Text
Kesehatan Psikologis sebagai Bagian dari Hidup Sehat
Setiap orang memiliki definisinya tersendiri dalam menjalani hidup sehat. Akan tetapi, tidak jarang dari mereka yang tidak “memasukkan” kesehatan mental dalam bagian hidup sehat. Ini tentu saja tidak benar. Hidup sehat akan tercapai apabila individu sehat secara fisik yang disertai kemampuan untuk mengatur emosi dan suasana hatinya dengan baik, seperti pepatah latin “Mens Sana In Corpore Sano” yang berarti di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Setiap individu memiliki daya tahan tubuh yang berbeda antar satu sama lain. Ini tidak hanya berlaku pada fisik individu tersebut, tetapi juga psikologis mereka. Seseorang dapat menderita gangguan pada psikologis mereka, tanpa melihat usia dan jenis kelamin. Gangguan psikologis merupakan gangguan yang mempengaruhi pikiran juga kemampuan seseorang untuk mengatur emosi dan suasana hati sehingga berdampak kepada perilakunya, yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Kondisi ini dapat tidak dapat disepelekan karena dapat berakibat fatal apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat dari ahlinya.
Meskipun memiliki peran yang sangat penting, masih banyak orang yang tidak mempedulikan kesehatan psikologis mereka. Bahkan menganggap gangguan psikologis sebagai hal yang nyata. Tak hanya itu, tak sedikit pula orang yang mengucilkan dan menganggap aneh seorang pasien yang mengalami gangguan psikologis. Hal ini yang membuat orang dengan gangguan psikologis untuk enggan mendapatkan pertolongan. Padahal, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, nyawa seseorang menjadi taruhan.
Terdapat beragam bentuk gangguan psikologis, diantaranya yang paling umum adalah:
1.      Depresi
Depresi merupakan salah satu gangguan psikologis yang ditandai dengan perasaan bersalah dan tertekan, kehilangan minat, gangguan makan dan tidur juga konsentrasi. (Aditomo & Retnowati, 2004, dikutip dari Pratiwi, 2020)
Gangguan ini memiliki dampak dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan dapat menyerang siapa saja dari berbagai usia. Depresi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
2.      Gangguan kecemasan
Kecemasan merupakan situasi perubahan fisiologis yang mempengaruhi perilaku berupa ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diprediksi (Taufiq, 2006: 506, dalam Zaini, 2015).
Gangguan kecemasan ini meliputi kecemasan sosial, gangguan panik, juga gangguan stres pasca trauma.
3.      Bipolar
Bipolar merupakan kondisi dimana suasana hati (mood) berubah secara ekstrem, sehingga emosi pun menjadi tidak terkontrol.
4.      Eating disorder
Gangguan makan atau eating disorder adalah gangguan yang mempengaruhi pola makan seseorang. Gangguan makan ini mencakup anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating, dan pica. Anoreksia dan bulimia biasanya dialami oleh remaja perempuan.
5.      ADHD
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah suatu kondisi dimana seseorang kesulitan dalam mengontrol impuls, sangat aktif (hiperaktif), dan konsentrasi mudah teralihkan. Gangguan ini umumnya terjadi pada anak-anak dan/atau remaja.
Gangguan-gangguan diatas merupakan sebagian kecil dari sekian banyaknya gangguan pada psikologis seorang individu. Setiap penderita gangguan psikologis dapat menunjukkan gejala yang berbeda sesuai dengan gangguan yang idapnya. Pada umumnya, gejala-gejala yang dapat dialami ketika mengalami gangguan psikologis antara lain:
·         Merasa sedih dan murung yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama
·         Perubahan pada pola makan serta pola tidur
·         Menarik diri atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
·         Mengalami mood swing, bahkan menunjukkan perubahan yang ekstrem
·         Memiliki masalah dengan konsentrasi dan daya ingat
·         Memiliki kekhawatiran atau kecemasan yang tidak wajar
·         Halusinasi
·         Melantur dalam berbicara
 Untuk dapat penanganan yang tepat, dibutuhkan diagnosa oleh ahlinya yang berprofesi sebagai psikologis ataupun psikiater. Keduanya memiliki posisi untuk membantu seseorang yang mengidap gangguan kejiwaan. Tidak jarang pula keduanya saling bekerjasama. Untuk mendapatkan diagnosa, biasanya mereka akan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai perasaan dan gejala yang dialami penderita, juga riwayat kesehatan penderita.
Psikologis dan psikiater sama-sama menerapkan psikoterapi, merupakan terapi bicara dimana pasien diminta untuk menyampaikan perasaan. Psikiater adalah dokter spesialis, dimana ia dapat memberikan resep obat kepada pasiennya. Apapun langkah yang diambil profesional dalam rangka penyembuhan pasien, haruslah dijalankan dengan disiplin. Tidak hanya itu, dukungan dari orang terdekat pasien berperan besar dalam penyembuhan. Bantu pasien dengan selalu berada disampingnya ketika mereka membutuhkan juga dengan menghentikan stigma buruk mengenai pasien gangguan kejiwaan. Mereka juga berhak untuk sehat dan menjalani hidup normal seperti individu lainnya. Penderita gangguan kejiwaan sudah cukup menderita atas gangguan yang diidapnya, mereka tidak butuh penderitaan lainnya, terutama kucilan dari orang terdekatnya. Gangguan kejiwaan bukanlah hal yang tabu. Mari kita ubah pola pikir tersebut sehingga dapat menciptakan lingkungan yang baik bagi semua.
References:
Narti, W. (2017). Penanganan Kesulitan Belajar Anak dengan Adhd (Study  Kasus Pusat Layanan Psikologi Bismika Muara Bungo). Nur El-Islam, 4(1), 78-88.
Pratiwi, A. C. O., Palguna, I. B. N. A., Hulu, F., & Situmorang, D. D. B. (2020). Pengetahuan mengenai gangguan depresi dan stigma mengenai orang dengan gangguan depresi pada orang muda usia 15 sampai 25 tahun di Indonesia.
Zaini, Ahmad. (2015). Shalat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan Dalam Perspektif Psikoterapi Islam. KONSELING RELIGI: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, 2(6), 319-334.
1 note · View note
jejakziarah · 4 years
Photo
Tumblr media
sebuah normal yang baru | saya selalu senang jika diajak berkunjung ke masa lalu. betapa girang saya melihat peninggalan yang dijaga. bukan hanya kenangan, juga pengetahuan yang diabadikan. saya menulis ini disaat hujan turun deras dipertengahan bulan ramadhan di indonesia. entah berapa tahun kemudian saya akan membacanya lagi. lalu terngiang, beberapa menit setelah mencukur rambut seperti ini. menjadi istimewa untuk diri sendiri adalah kemewahan. tidak mudah memang hidup dengan dipilihkan jalan hidup oleh orang lain, kau bisa dikata; sok pintar, sok hebat, dan segala macam tuduhan lainnya, atau bahkan trauma masa lalu. perjuangan panjang orangorang bertahan hidup bermacammacam. saya sendiri masih selalu terlambat. teori psikologi atau sosial lainnya hanya berguna dalam tulisan ilmiah. pada kenyataannya, saya mendapati keseharian yang berbeda. hidup memang menuntut kita bijaksana, bukan sekedar mengetahui. jika saya bersikeras, maka pasti ada yang bersitegang. saya selalu meyakinkan ulang dirisendiri untuk menerima perulangan. keinginan terus berubah dan kenyataan bahwa ada yang harus kita alami kembali. saat begitu putus asa. hidup seperti ingin diakhiri segera. saat begitu, saya biasanya mendatangi tempat rahasia. kemudian membuka laci tempat saya menyimpan kapsul waktu. tibatiba detak jantung melambat, dibagian selanjutnya saya hanya bisa meyakinkan diri sendiri. kalau kematian adalah niscaya. selamat memasuki masa berziarah. ^^ (di Jordânia) https://www.instagram.com/p/B_9MBSJpSyo/?igshid=nau356e7a66t
1 note · View note
prohaus · 5 years
Text
Porsi Kesendirian
Tulisan ini diinspirasi oleh : https://fadelim.tumblr.com/post/189470483013/tulus-langit-abu-abu-saat-ini-kita-memasuki-masa
Memang benar ujar kawanku satu ini, sekarang lagi tren-trennya menyemangati diri sendiri bahwa pergi sendiri itu adalah hal yang wajar (lah memang), seperti makan sendiri, nonton sendiri, ataupun jalan sendiri.
“Apabila sebelumnya terkesan ditutupi, saat ini mereka justru berusaha memamerkannya” Hahahaha
Sebagai orang introvert yang memiliki core value “bodo amat”, sendiri adalah hal yang biasa. Kemana-mana ya sendiri aja, makan ya sendiri aja, bahkan saat masih pacaran pun masih menyempatkan waktu untuk sendiri, baik untuk keperluan penting maupun karena ingin “kelayapan” sendiri. Sebabnya macam-macam, bisa jadi karena ingin mencoba makanan baru tanpa harus merepotkan orang lain atau pasangan, ingin belanja atau liat-liat tanpa harus diganggu dengan keperluan orang lain, karena pacar kurang cocok atau suka bila diajak ke tempat A atau B, ataupun karena lagi ingin sendiri, ingin berdiskusi dengan diri sendiri.
“Berdiskusi dengan diri sendiri. hah? Gimana itu?”
Sudah sering kulakukan, entah berapa kali aku berbicara dengan diriku sendiri di dalam kamar. Entah untuk sekedar membicarakan masa depan maupun kondisi sekarang. Kita sendiri sering berdiskusi, berantem, atau hanya sekedar curhat mengenai kehidupan sehari-hari, dari kuliah, kerjaan, hingga masalah hidup. Ibaratnya kedua teman yang sudah dekat, kadang ada baiknya untuk berjalan-jalan bersama, agar bisa lebih mengenal satu sama lain, agar bisa lebih memahami, masalah dia apa, solusinya bagaimana, pemikiran dia bagaimana dan sebagainya.
“sek, sek, emangnya kamu bipolar? emangnya kamu berkepribadian ganda?”
Entahlah, kayaknya ada baiknya saya datang ke psikolog po ya. Namun apa yang saya rasakan, seringkali saya berdiskusi dengan “dia”. Dan kami seringkali bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Kecuali untuk…
-----------------------------------------------------------
Saya melihat perkembangan teman-teman saya. Ada yang udah benar-benar serius mau menikah, ada yang sudah menikah, ada yang mulai menebar benih, ada yang masih setia, ada yang mulai ngejar cewek lagi, dan dari tulisan salah satu teman saya:
“Saya mulai lelah dengan melakukan banyak hal secara sendirian. Saya sudah bosan terlihat tidak apa-apa dengan kesendirian.”
“Saya pun akhirnya sadar bahwa menjadi tidak sendiri ternyata jauh lebih menyenangkan.”
Disaat saya barusan ditinggalkan seseorang, disaat saya mulai merasakan kesendirian yang lebih setelah pacaran hampir 3 tahun, disaat saya mulai menikmati “oya jomblo enak juga, gaperlu harus selalu ingat ngabarin, gaperlu harus ngebucin, dan yang terpenting gaada drama cinta yang merusak mood dan timeline kerja”,
disaat itulah saya mulai menikmati kesendirian ini sembari move on dan melupakan mantanku, disaat aku mulai tenang menyendiri dan bisa melakukan hobi-hobiku, disaat itu aku mulai mengenal diriku kembali, siapa diriku, apa yang kusuka, mulai ngidol lagi, disaat yang sama aku juga menemukan circle baruku, teman dekat baru yang berisi cowo brengsek, ibu-ibu, korban cowo brengsek, dan tukang bucin. Ibarat orang yang putus cinta dan menemukan cinta barunya, aku menemukan diriku sendiri, diriku yang dulu sempat kelabu, entah itu ambyar, entah itu brengsek, entah itu cuek, entah itu receh, itulah diriku.
Namun disaat itulah temanku mulai merasakan nikmatnya bersama orang lain.. well..
-----------------------------------------------------------
Beberapa kali kalau lagi ke Bandung atau ke jalan Soekarno-Hatta, entah buat masalah kuliah, kerjaan, atau karena ingin jalan-jalan, kadang-kadang suka makai mobil sendiri.
Iya, sendiri. Nyetir sendiri, baca maps sendiri, dengerin musik atau podkesmas sendiri, ya intinya di mobil sendiri. Ditambahkan aku masih merahasiakan kalau bawa mobil, ya tambah-tambahnya sendiri aja terus. Awalnya nyaman aja, biasa aja, enak gitu bisa dengerin musik sendiri, enak bisa jalan sendiri, misuh sendiri, kemana-mana sendiri tanpa harus kehujanan biarpun harus beradu dengan kemacetan Kota Bandung. Tapi ya..
“Kok kayaknya enak ya kalau ada gitu yang duduk di kursi depan”
“Kok kayaknya enak ya kalau ada yang bantuin buka gugel maps”
“Kok kayaknya enak ya kalau ada yang nemenin ngobrol saat macet, apalagi kalau yang nemenin orang yang kita suka *eh”
Ya mulai kerasa kesendiriannya…
***
Ceritanya lagi mau pulang habis kondangan nih, sendiri, mau keluar dari parkiran.
“Sendirian aja pak?” Hasyem :)
-----------------------------------------------------------
Kecuali untuk… masalah perempuan. Dari dulu, seringkali berkelahi dengan diriku sendiri karena masalah cewek, dari jaman masih belum bisa pacaran hingga masa-masa masih menutup hati karena sehabis putus, masih saja berantem.
“Kamu tuh seharusnya nyari cewe kayak gini”
“Kok lu demennya sama yang kaya gitu sih, nanti gimana kata abah dan mama”
“Cari yang lebih muda dong!”
“Gimana? Katanya suka yang tua, tuh kenalan lah”
“Yakin mau pacaran? Emang modal darimana?”
“Loh kok gamau pacaran, trauma? Atau demennya sama cowok sekarang?”
Dan sebagainya..
Ya kita lihat saja nanti, ngalir aja mah masalah kayak gini. Kalau memang ada yang menarik atau tertarik, kenapa nggak kenalan aja dulu, siapa tau cocok dan sama-sama baper.
Hiyaaa, untuk sekarang bikin ambyar followerku dulu saja.
4 notes · View notes
cordelliasyifa-blog · 5 years
Quote
sakit batin itu bukan berarti dia kesurupan, namun dia butuh dihargai sebagai manusia atas usahanya untuk melanjutkan hidup dari segala trauma di masa lalu. untuk siapapun di luar sana yang sedang tertatih menjalani proses menemukan titik terbaik untuk melanjutkan kehidupan berikutnya, maka lakukan yang terbaik dan di sini, ada aku yang sangat menghargai usahamu. (dipersilahkan dengan  santun, apapbila ingin mencurahkan semuanya di sini, aku akan menjadi orang yang sangat menghargai segala macam usahamu.
kuliah psikologi
1 note · View note
tikaalmira · 6 years
Text
Lost in Bulgaria
Sebuah sentuhan membangunkanku. Samar kulihat wajah wanita dengan kemeja putih dan garis wajah yang asing. Hidungnya tajam, seperti banyak fitur lain yang juga runcing di wajahnya, dengan bingkai rambut hitam yang lebat bergelombang. Satu, dua, tiga detik, barulah  aku sadar ia kenek bus yang aku naiki di perjalanan dari Plovdiv ke Istanbul. Dibanding kenek bus yang biasa aku temui di bis antarkota di Indonesia, mungkin ia lebih seperti pramugari di pesawat. Tugasnya melayani penumpang seperti menawarkan segelas teh panas, memberikan air minum, dan mengecek paspor.
Kutatap jam, baru dua setengah jam berlalu sejak aku duduk di bis ini. Seharusnya aku belum mencapai Istanbul di jam 3.30 pagi. Tiket yang kupesan adalah Plovdiv-Istanbul pukul 00.30 sampai 07.00 pagi.
“Passport check,” ujarnya.
Aku berdiri, mendapati semua orang sudah turun dari bis dan mengantri di depan pos imigrasi Turki. Ternyata aku sudah ada di perbatasan antara Bulgaria dan Turki. Kutengok tas selempangku yang berwarna tosca muda, dan kulihat paspor ada di sana, satu dari dua dokumen yang biasanya harus kusiapkan untuk petugas imigrasi. Kartu residence permit-ku juga seharusnya aman di dalam boks kartuku yang berwarna hitam, tempatku menyimpan segala jenis kartu. Hidup di Eropa sungguh berbeda. Di Indonesia kartu yang esensial hanya kartu ATM-ku saja. Sementara dengan seluruh kecanggihan teknologi, mendadak aku hidup bergelimang kartu sehingga butuh tempat khusus.
“Do you have other European Visa?” tanya petugas imigrasi. Visa Belanda di pasporku memang sudah tidak berlaku.
“Yes, I have residence permit from the Netherlands,” jawabku yakin sambil membuka kotak kartu.
Kartu debit bank Belanda, kartu kredit, kartu debit bank Indonesia, kartu kereta, kartu pelajar, kartu asuransi, kartu kereta cadangan, kartu member gym kampus, dan aku terpaku. Kartu yang kucari tidak ada.
“I think I leave it in my other bag,” kilahku.
“Please look for it. I need it.”
Patuh pada perintahnya, aku pun kembali ke bis membongkar seluruh isi ransel biru donkerku.
Kamera mirrorless, lengkap dengan charger.
Ipad, lengkap dengan charger.
Satu set baju kotor dalam keresek.
Satu set baju bersih.
Seperangkat alat mandi lengkap dengan make-up.
Handuk.
Dua tempelan kulkas yang kubeli di Sofia.
Buku bacaan.
Map berisi berbagai kertas.
“Pasti ada di dalam map ini, terselip.” Dalam hati aku bergumam sambil membongkar satu per satu isi map.
Lukisan cat air, berbagai kartu pos bergambar lukisan cat air, tiket-tiket museum; itu saja yang kutemukan. Aku menghela napas berat. Kubongkar lagi bagian depan tasku dan mendapati bahwa di sana hanya ada kunci kamar, stabilo, lip cream, dan coin pouch. Kartu saktiku untuk bisa keluar masuk negara mana pun di Eropa seakan mengalami sublimasi bagai seonggok kapur barus. Di antara semua kartuku yang kusimpan kotak kartu, hanya itu saja yang raib. Dengan langkah berat aku kembali ke hadapan pria 30-an tahun yang sudah memasang wajah gahar, sebagaimana pekerjaan menuntutnya.
“Ada visa untuk masuk Turki?” tanyanya lagi setelah kubilang bahwa kartuku tidak ada.
Aku menggeleng. Bodohnya aku yang baru memutuskan di tanggal keberangkatan untuk pergi ke Turki tanpa memeriksa aturan imigrasinya. Padahal ternyata visa Turki bisa dimohon secara daring dalam waktu kurang dari satu jam.
“Kamu nggak bisa masuk tanpa itu,” tegasnya.
Perdebatan panjang dalam bahasa Bulgaria antara supir bis, petugas imigrasi, dan beberapa penumpang berakhir pada kesimpulan aku tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus dieliminasi. Aku diturunkan dari bis dan harus kembali ke Bulgaria. Petugas imigrasi memesankan aku taksi untuk bisa pergi dari garis batas dua negara. Terkadang, kebodohan memang ada batasnya untuk bisa ditolerir.
Tika, berada di perbatasan Bulgaria dan Turki, tanpa bukti izin tinggal di Eropa, tanpa visa untuk masuk ke Turki. Jikalau ini adalah permainan catur, raja sudah terkepung di petaknya. Skakmat.
***
Tak ada yang bisa kulihat di kanan kiriku. Cahaya yang kulihat hanya bersumber dari sorotan lampu mobil taksi. Jalan, rumput, pagar pembatas jalan, ilalang, rambu; itu saja yang secara samar tertangkap oleh retinaku dalam kroma hitam putih. Mungkin karena ini daerah perbatasan Bulgaria, jauh dari pusat kota. Aku membayangkan seperti apa daerah perbatasan pada umumnya dan menyadari bahwa aku pun belum pernah ada di perbatasan di Indonesia. Kata perbatasan membuatku mengingat perbatasan Turki-Suriah, Aleppo, dan Palestina-Israel, Gaza. Memang, perjalanan seorang diri membuat kita lebih banyak merenung, mempertanyakan keadilan dan kemanusiaan. 
Fokusku entah mengapa kembali ke dalam ruang sempit di dalam taksi. Sejujurnya aku selalu takut berada di dalam ruang tertutup seperti ini dan hanya berdua dengan supir laki-laki, apalagi di daerah yang sepi. Pengalaman pelecehan seksual membuat napasku lebih berat ketika menjadi penumpang tunggal di taksi. Aku kepalkan tangan dan berusaha mengingat di mana aku menyimpan benda tajam di dalam tasku untuk bisa memastikan aku sanggup melawan ketika ada serangan. Aku tahu bahwa tidak semua laki-laki punya pikiran jahat. Namun, meski tidak parah dan selalu berusaha kulawan dengan tidak membiarkan rasa takut menghalauku untuk beraktivitas, dampak traumatis dari pengalaman buruk saat aku berusia 13 tahun tidak hilang begitu saja.
Itu aku, yang mengalami pelecehan seksual dalam perjalanan dengan ojek di Bogor, belum sampai ke tahap kekerasan yang lebih lanjut. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang mengalami kejadian yang lebih keras lagi dan trauma yang harus mereka lawan bersamaan dengan budaya victim blaming yang ada di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi soal regulasi yang masih banyak lubangnya terkait kekerasan seksual yang tak berpihak pada korban, hukum yang tak berpihak pada wanita. Ada saat di mana wanita tidak bisa melawan karena pengaruh obat yang diminumkan, atau murni tidak bisa bergerak karena reaksi psikologis, tapi dituduh menikmati kekerasan seksual karena dianggap tak melawan.
“You are okay with me,” ujar supir taksi itu tiba-tiba yang mengoyak lamunanku.
Mungkin ia mampu membaca ekspresiku yang terlihat tidak nyaman dari sejak aku membuka pintu taksinya. Aku tersenyum, namun terlalu lelah untuk memulai percakapan. Perjalanan ke stasiun terdekat membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari stasiun, aku harus pergi ke ibukota untuk menyelesaikan perkara kehilangan kartu izin tinggalku.
Taksi berhenti di depan sebuah bangunan berwarna krem, terlihat seperti puskesmas di mataku. Kubuka dompet dan memberikan selembar uang euro terakhirku kepada supir taksi. Aku tidak punya pilihan.
Stasiun itu sepi, tentu saja. Apa yang kuharapkan dari stasiun di perbatasan Bulgaria pukul 5 pagi? Kutatap layar yang menampilkan jadwal kereta, dan hanya abjad Sirilik yang kudapati. Tak menyerah, aku ketuk kamar petugas tiket dan bertanya jadwal kereta ke Plovdiv, kota besar terdekat yang kutahu. Seorang wanita dengan rambut pirang menuliskan harga yang harus kubayar. Tujuh leva.
“Apakah bisa bayar pakai kartu?” tanyaku.
Aku baru sadar bahwa aku sudah tidak punya lagi mata uang Bulgaria karena sudah berniat pergi ke Turki. Uangku sisanya ada di ATM.
“Cash,” jawabnya.
“Euro?” tanyaku, berharap uang Euro berlaku di Bulgaria, sebagaimana negara Uni Eropa lainnya.
“Leva,” tegasnya sambil menutup jendela di depan mukaku.
Benarkah negara ini bagian dari Uni Eropa? Aku menghela napas dan tersenyum lemah ke arah dua orang yang ada di sebelah kananku, sepasang bapak-ibu di usia 50-an tahun.
“ATM?” tanyaku pada mereka.
Saat kita berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, aku selalu berusaha mengurangi jumlah kata yang kusebut dengan harapan ada kata-kata umum. yang mereka mengerti. Bapak-ibu yang sedang duduk itu hanya saling bertatapan lalu menggelengkan kepala tanda tak mengerti.
Kuraih ponselku untuk menerjemahkan ATM ke dalam bahasa Bulgaria. Salam hormatku pada tim pengembangan Google karena dengan teknologi aku hampir bisa berkomunikasi dengan siapa saja dengan bantuan Google Translate. Berjalan sendiri di negara yang tak seluruhnya menguasai bahasa Inggris, aku harus mengandalkan teknologi. Beberapa orang bisa berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa Inggris di Bulgaria, terutama di museum, restoran; tapi di luar itu, tidak terlalu banyak.
“Bankomat?” tanyaku lagi pada mereka. Ditulis dengan банкомат, begitulah cara orang Bulgaria menyebut ATM.
Bapak itu berdiri dari duduknya dan melambaikan tangannya padaku. Aku membaca sebagai pesan bahwa tidak ada ATM di sini. Ia menunjuk ke luar dan menghadapkan telapak tangannya padak. Lima? Lima ratus meter bagiku adalah jarak yang masuk akal. Aku membuka pintu stasiun dan berniat keluar sampai Bapak itu berkata sambil menunjuk ke luar,
“Bis.”
Aku tak bisa melihat wajahku sendiri, tapi aku yakin ia terlihat cukup pucat. Kota macam apa ini yang untuk menjangkau ATM dari stasiun saja butuh naik bis terlebih dahulu. Malam itu aku lupa bahwa masih ada daerah di Indonesia yang belum punya pilihan untuk bisa menggunakan listrik atau tidak.
Bis yang berukuran seperti travel Jakarta-Bandung akhirnya datang, membawaku ke jalan utama kota ini, Svilengard nama kotanya, kata Google Maps. Bis berjalan pelan mengelilingi kota kecil ini dengan satu per satu penumpang naik di halte. Kebanyakan dari mereka berusia di atas 50 tahun. Selayaknya fenomena urbanisasi secara umum, orang muda banyak bermigrasi ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Bangunan paling besar yang kulihat adalah casino dan hotel, dikelilingi oleh air dan dihiasi gemerlap lampu; kontras sekali dengan kegelapan di sekitarnya.
Setelah 5 kilometer, seperti yang diberitahukan Bapak tadi, aku diturunkan di depan sebuah ATM tanpa harus membayar ongkos bis. Sepertinya supir itu tahu aku tidak punya uang. Di tengah berbagai drama yang kulalui, sedikit kebaikan membuat hatiku terasa hangat. Baik sekali supir bis ini, pikirku, mau mengantarkan dengan gratis dan menungguku mengambil uang. Saat kedua kakiku menginjak trotoar, barulah aku sadar bahwa supir bis tersebut tak punya niat menungguku. Aku hanya bisa berdiri di tepi jalan yang kosong melompong sambil menatap bis yang pergi meninggalkanku seorang diri di kota yang aku tak tahu cara menyebut namanya. Tatapanku nanar, dan selayaknya orang tua yang menasihati anak saat tertimpa musibah, aku bergumam
“Mungkin kurang sedekah.”
Sayup aku mendengar musik dan suara Harry Styles,
“If you like going places
you can’t even pronounce
Baby you’re perfect.”
Bukan. Svilengard tidak menyerel lagu One Direction sebelum matahari terbit. Itu suara di pikiranku sendiri. You’re perfectly in disaster, Tika.
***
“Gara?”
“Gara?” ulangku lagi dengan sedikit berteriak kepada siluet yang bergerak di hadapanku sejarak 50 meter.
Entah itu manusia atau bukan, aku yang takut hantu ini sudah tak peduli lagi. Lagi pula hantu Bulgaria mungkin tidak seseram kuntilanak, pocong, leak, dan berbagai hantu legendaris Indonesia lainnya. Udara dingin di kota perbatasan Bulgaria, yang bahkan tak kutahu apa namanya, menikamku hingga aku hanya fokus pada satu hal: aku harus meninggalkan ruang terbuka selekas mungkin. Gara, artinya stasiun dalam bahasa Bulgaria. Uangku di bank sudah kukuras habis; artinya aku hanya butuh kembali ke stasiun untuk membayar tiket.
“...Bis…auto…bis…,” siluet yang perlahan terlihat jelas sebagai pria paruh baya itu pun menjawab.
Membantu? Tidak sama sekali. Tentu aku tahu bahwa aku harus naik bis. Tapi aku butuh informasi yang lebih detail seperti lokasi halte yang tepat, nomor bis, dan berapa lama aku harus menunggu.
Aku berjalan lagi dan menyadari kelemahanku sebagai anak yang biasa dimanja kemudahan ibukota. Di Jabodetabek, ataupun Bandung, aku hanya perlu membuka Google Maps untuk pergi ke mana pun. Dengan hanya mengetikkan nama tempat tujuan, aku bisa mendapatkan informasi kendaraan umum apa yang harus kunaiki, dan berapa lama waktu tunggu maupun waktu tempuh yang dibutuhkan. Begitu pun yang aku alami di setiap kota di Belanda. Tapi di Bulgaria, pilihan transportasi umum tak pernah muncul di Google Maps.
Setelah dua ratus meter, aku berpapasan dengan seorang laki-laki yang membawa dua buah karung. Imajinasiku membawa pada berbagai terkaan soal isi karungnya: dari mulai bahan makanan, perkakas dapur, alat pertukangan, hingga kepala atau bagian tubuh manusia seperti yang sering ada dalam kasus-kasus yang biasa dipecahkan Kindaichi.
“Gara?” kutanyakan lagi kata sakti itu, satu-satunya kata kunci yang bisa membawaku ke Plovdiv, atau mungkin Sofia, ibukota Bulgaria.
“German? English?” tanyanya yang menyadari pelafalanku terdengar aneh.
Sungguh, ingin kupeluk Bapak ini rasanya. Malaikat ini tidak mungkin merupakan pelaku mutilasi seperti di komik detektif.
“Two, turn left,” ujarnya dengan hemat kata dibantu bahasa tubuh yang mengarahkan.
Dengan bersemangat aku berjalan lagi mengikuti instruksinya. Entah apa maksud dia dengan dua. Dua halte, dua belokan, entahlah, yang jelas mungkin aku bisa menemukan stasiun dengan petunjuknya yang minim. Setidaknya ada harapan. Aku berdzikir sambil berjalan, berharap Allah memberikanku jalan untuk setidaknya menemukan tempat yang ramai, atau tempat yang bisa membawaku keluar dari kota ini.
Tidak ada halte di sepanjang jalan ini. Dua persimpangan dan aku belok ke kiri, kutemukan sebuah lapangan yang tampak seperti terminal bis. Ini tempat teramai yang kujumpai di jam 5.30 pagi di kota ini. Aku pun memutuskan untuk mencoba peruntungan, masuk ke ruangan di terminal dan mencari bis antarkota.
“Plovdiv?” tanyaku pada sang petugas, yang juga wanita. Sepertinya di Bulgaria aku menemukan lebih banyak petugas wanita untuk pekerjaan di malam hari atau dini hari dibandingkan dengan di Indonesia.
“No bus to Plovdiv.”
“Sofia?”
“Yes.”
Selamat datang kembali, Atika, ke peradaban ibukota. Aku tersenyum lebar.
7 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 years
Text
Membuat Konten dengan Ilmu
Hari ini saya mendengarkan podcast. Di podcast tersebut,  guest star-nya bahas tentang pendidikan di Indonesia sambil sedikit nyerempet-nyerempet ke agama. Beliau bilang bahwa orang-orang relijius punya sisi yang nggak dia suka. Salah satu contohnya adalah kepasrahan kepada takdir sampai mengabaikan peta realita.
Di hari yang lain, saya ngelihat postingan Instagram dari kawan saya yang membahas filsafat Islam vs Barat. Ujung-ujungnya, dia bilang:
“Barat nggak mengizinkan Al Qur’an menjadi sumber ilmu tapi mereka memaksa orang mengimani Teori Darwin“
Saya iseng menjawab dia:
“Nggak ada yang nyuruh orang mengimani Teori Darwin. Sampai saat ini, Teori Darwin banyak disanggah dan Darwin nggak pernah benar-benar bilang bahwa nenek moyang kita adalah kera. Kita yang menyimpulkan sendiri“
Kalau kita baca lagi tentang konsep Teori Evolusi, teorinya memang cuma berbunyi:
Semua spesies di dunia berasal dari common ancestor (nenek moyang yang sama) dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Banyak orang yang akhirnya hanya berfokus ke common ancestor lalu berpikir konspiratif bahwa Charles Darwin ingin menghapus iman. Padahal teori ini tidak banyak berkembang ke arah “Siapa nenek moyang kita” melainkan ke hal apa saja yang membuat makhluk hidup bisa berevolusi (berkembang dari waktu ke waktu). Dari sana kita akhirnya kenal dengan hereditas, mutasi DNA, seleksi alam dan penyebab mutasi yang lain. Dari sini, kita juga pelan-pelan mengenal ilmu rekayasa genetika yang manfaatnya banyak banget. Salah satunya adalah pembuatan vaksin.
Enggak ada yang nyuruh kita mengimani teori Darwin. Teori itu masih bisa difalsifikasi.
Balik lagi ke guest star podcast yang mengeluh tentang orang yang tidak mengerti realita hehe. Dalam Islam, takdir juga tidak seperti itu. Syaikh Ash Shallabi menjelaskan bahwa Allah itu menciptakan sunnatullah berwujud hukum-hukum alam dan hukum sebab akibat. Sunnatullah ini sejalan dengan peta realitas. Kalau ingin mendapatkan sesuatu, kita harus berusaha. Justeru agak aneh kalo tiap hari manusia mendapatkan mukjizat yang tidak sejalan dengan sunnatullah. Manusia akan kesulitan menghadapi banyak hal karena kejadian-kejadian yang dia hadapi udah nggak ada polanya lagi :D
Saya dulu juga ketawa-ketawa aja pas temen saya nanya:
“Kalo bolpoin kamu di rumah, kamu bisa doa biar bolpoin itu dateng ke sekolah ga?“
Konsep iman itu nggak kayak gitu wkwk. Saya memahami sunnatullah sebagai anugerah terbaik dari Allah kepada manusia sehingga manusia bisa menjalani hidup dengan baik. Dengan adanya sunnatullah, hidup ada polanya.
Saya nulis ini bukan buat membela orang-orang relijius atau membela pandangan barat.
Hanya kadang saya ngerasa pembahasan Islam vs Barat sering dibawa ke Nature Science. Padahal dalam Nature Science, saya ngerasa hampir tidak ada pertentangan kecuali kalo kita ngomongin mukjizat para Nabi. Itu sudah di luar cakupan Nature Science alias udah masuk disiplin ilmu lain. Mukjizat itu sudah wilayah Aqidah karena yang terjadi bertentangan dengan hukum alam yang banyak kita temui.
Islam sama Barat justeru mengalami banyak pertentangan ketika kita membahas Social Science seperti pembahasan tentang hukum, psikologi dan Public Policy. Cabang-cabang dari social science ini banyak dibahas content creator di media sosial untuk memberi opini tentang kejadian aktual. Sayangnya, bekal kita dalam hal ini tidak memadai. Alih-alih menjelaskan dengan pendapat yang jelas asalnya, para content creator di bidang dakwah malah cenderung menggunakan opini pribadi.
Saya agak susah nyari buku ulama yang benar-benar membahas Public Policy. Saya juga jarang menemukan podcast tentang isu aktual yang benar-benar mendatangkan narasumber ulama dari disiplin ilmu yang benar-benar sesuai.  Mungkin referensi tentang Social Science dalam islam memang hanya menjadi disertasi di kampus jadinya cuma tersebar untuk kalangan tertentu. Padahal kita butuh banyak sekali buku yang populer di bidang ini.
Ketika kita bicara tentang hukum, public policy dan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, kita bakal banyak berkeringat karena kepikiran:
“Pandangan mana yang paling maslahat?“
Contoh paling simple adalah ketika kita membahas tentang LGBTQ. Mungkin kita nggak setuju dengan praktik LGBTQ sebagai individu. Tapi apakah LGBTQ harus benar-benar dikriminalisasi? 
Atau ketika kita bicara tentang penyelesaian permasalahan korban perkosaan yang hamil? Kalau misal si ibu belum siap punya anak dan trauma, bayinya dikemanakan? Apakah boleh diaborsi atau tidak?
Hal-hal seperti ini butuh ilmu. Kita tidak bisa memvonis hasil akhirnya hanya dengan pandangan pribadi dari otak kita yang isinya tidak seberapa.
Mungkin Social Science tidak banyak dibahas dalam Islam vs Barat karena kita kadang menganggap bahwa peristiwa yang seharusnya dikomentari dengan kaidah ilmu Social Science itu bisa dikomentari menggunakan opini pribadi. Akhirnya, bahasan kita dalam hal ini dangkal banget.
Makanya saya suka mewanti-wanti diri sendiri. Kalau bahas fenomena sosial, jangan ngambil dari sumber-sumber anekdotal. Coba cari penelitian yang di lapangan. Fenomena sosial itu luas. Nggak bisa dilihat dari satu sample di depan mata kita saja.
Saya kadang suka rewel ke temen-temen saya kalau misal bahasan mereka anekdotal. Bukan buat memuaskan naluri debat tapi pengen lebih mengkritisi metode dalam menulis dan ngasih awareness bahwa yang disebut Science itu bukan cuma Nature Science tapi ada juga Social Science. Sesuatu disebut science karena punya perangkat metodologi lengkap untuk menyusun sebuah teori serta menguji kebenaran teori tersebut.
Terkadang, ketika saya membaca buku-bukunya INSIST, ada beberapa hal yang belum saya terima. Tapi karena saya melihat yang ditulis tuh runtut dan referensinya jelas, saya jadi menelan semuanya dulu. Saya paham bahwa yang menulis lebih berilmu dari saya. Jadi bisa aja rasa tidak terima di hati itu sumbernya dari kebodohan saya sendiri 😂
Saya bukan mengkultuskan metodologi 😄 Tapi metodologi itu memang SOP yang harus diikuti untuk menguji teori atau hipotesa yang kita ajukan. Hasil dari pengujian ini yang kita harapkan bisa mendekati kebenaran ☺
Dalam filsafat ilmu barat, sumber ilmu berasal dari pengamatan dan nalar.
Dalam filsafat ilmu Islam, sumber ilmu berasal dari pengamatan, nalar, Al Qur’an dan Hadist.
Saya ambil satu contoh pembahasan tentang feminisme. Ketika kita membahas feminisme, kita bisa menjabarkan setidaknya dua hal:
1. Apa saja hak perempuan?
2. Apakah perempuan sudah terpenuhi haknya?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, filsafat ilmu barat akan memerintahkan kita untuk merujuk ke hak asasi manusia. Sedangkan islam akan memerintahkan kita untuk merujuk ke Al Qur’an.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, yang perlu kita lakukan adalah:
1. Melakukan survey lapangan dengan sample yang memadai.
2. Membandingkan hasil di lapangan dengan acuan kita untuk menentukan hak perempuan. Kalau dalam islam mengacunya ke Al Quran, kalo barat mengacunya ke HAM.
Seringkali, ketika membahas feminisme atau fenomena-fenomena sosial, kita langsung ke nomor dua dan meloncati nomor satu. Kalaupun kita mengambil langkah kedua, kita hanya sekedar membaca buku sambil lalu dan tidak terlalu faham konteksnya. Akhirnya bahasan kita agak-agak above the cloud. Mengawang, tidak menapak ke bumi. Atau lebih buruk lagi bakal misleading 😂 Saya sudah mengalami fase dimana saya mengutip sesuatu secara misleading dan saya malu sendiri.
Ini cuma uneg-uneg aja sih hha. Biar kita punya awareness bahwa isu-isu aktual di media harusnya masuk disiplin ilmu tertentu. Jadi kalau kita menulis tentang topik tersebut, kita harus memanami konsep dan memperhatikan metodologi penelitian di disiplin ilmu tersebut biar apa yang kita sampaikan tidak hanya opini tanpa dasar yang jelas.
Kita memang tidak sampai harus menulis seperti jurnal. Memahami metodologi itu mencegah kita untuk tidak serampangan memilih narasumber. Kita juga tidak serampangan dalam menuliskan opini kita.
Saat ini kita dikelilingi oleh content creator yang banyak banget. Sayangnya, gara-gara itu, waktu kita dalam menulis jadi pendek. Soalnya kalo tulisan kita lama, kita bakal kalah aktual. Akhirnya, berita dan jurnalisme hanya berisi kutipan-kutipan tokoh. Bukan opini atau features yang ditulis dengan perenungan mendalam.
Dulu, jurnalis itu ada spesialisasinya masing-masing. Ada jurnalis teknologi, jurnalis olahraga, jurnalis makanan. Semua faham seluk beluk dunia masing-masing sehingga ketika seorang food journalist mereview makanan, mereka tidak sekadar bicara:
“Enak banget, kejunya banyak banget, coklatnya kerasa banget“
Seorang food journalist harus punya wawasan tentang hidangan dari banyak daerah, tentang resep, tentang cara memasak. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa mengeksplore berbagai macam cara untuk menceritakan profile rasa. Ada berbagai macam sumber rasa manis, rasa asin, rasa asam dan rasa-rasa lain. Rasa asam dari asam jawa tentunya berbeda dengan rasa asam tomat, belimbing wuluh atau jeruk. Itulah mengapa, di mata saya, belum ada food vlogger zaman sekarang yang lebih baik dari pak Bondan.
Ini tadi ceritanya jadi merembet kemana-mana yak :D Tujuan saya menulis ini biar kita lebih punya awareness aja sih dalam menulis.
Sebenernya referensi tentang Social Science dalam Islam itu bukan nggak ada kok. Cuman kita emang perlu menggali lebih dalam, mengunjungi narasumber yang mumpuni, membaca referensi berkali-kali. Itu pekerjaan jurnalis zaman dulu ketika menulis atau membuat konten.
Hari ini, kadang kita sudah mengundang narasumber yang mumpuni. Tapi kita sendiri kadang-kadang belum menguasai bidang sehingga pertanyaan yang kita susun juga tidak tajam.
79 notes · View notes
urfa-qurrota-ainy · 7 years
Text
‘How To’ Accept Negative Emotions
Tumblr media
semua gambar yang disertakan di sini ditemukan dari Google, cuplikan dari film Inside Out (2015). Credit to Disney. Ini karena film Inside Out bagus banget untuk menggambarkan penerimaan terhadap emosi negatif
Beberapa hari kemarin, saya ngepost tulisan berjudul Negative Vibes yang terbagi menjadi bagian satu dan bagian dua saking panjangnya. Terus terang, nulisnya ngga pake outline atau rencana, tau-tau sebanyak itu. Karena merasa tulisannya udah kepanjangan, yaudin jadinya kemarin menyetop jari sendiri. Lalu dipikir-pikir, kayaknya walaupun udah panjang-panjang tetep masih kurang deh. Haha. Yauds lah ya, ini kan blog pribadi. Tulisan ini bisa disebut sebagai bagian ketiganya. Mungkin nanti bakal ada lanjutan-lanjutannya, semacam tulisan yang terkait satu sama lain.
Oke, jadi, sebenarnya yang saya tuliskan di bawah sudah saya sisipkan juga di tulisan Negative Vibes, tetapi, ini versi panjangnya aja. Karena, ada beberapa pertanyaan bernada, “Bagaimana cara menerima negative vibes dalam diri kita?”
Saya paham betapa sulitnya memulai sesuatu, betapa kakunya untuk mengubah suatu kebiasaan yang sudah lama mendarah daging. Saya juga masih belajar untuk menerima negative vibes yang saya alami.
Dari sedikit pengalaman ini, saya merasa ada tiga hal penting yang harus dilakukan saat kita berusaha menerima negative vibes, atau dalam konteks ini, lebih spesifiknya adalah menerima negative emotion yang kita alami.
1. Call its name
Tumblr media
Lima emosi dasar manusia: Senang, sedih, takut, marah, dan jijik
Kenali emosi yang mengisi hati kita. Ada banyak sekali jenis emosi, tapi emosi dasar ada lima: senang, sedih, marah, jijik, dan takut. Emosi lainnya tentu masih ada, misalnya emosi tenang, murka, stres, merasa bersalah, malu, kaget, tertarik, cinta, benci, kagum, kasihan, dan lain-lain. Bahkan, dalam sebuah studi di University of California, C Berkeley terungkapkan bahwa ada 27 jenis emosi yang berbeda-beda yang bisa kita alami.. Kadang bedanya tipis sih, jadi mungkin susah juga ngebedainnya.
Terbatasnya kosakata yang biasa kita pakai untuk mengungkapkan perasaaan kita juga bisa bikin kita bingung membedakannya. Misalnya, antara sadness dan grief. Kalau diterjemahkan secara sederhana, keduanya berarti “Sedih.” Padahal, sadness itu suatu perasaan sedih yang tidak berlangsung lama alias intensitasnya rendah, sedangkan grief adalah kesedihan yang berlarut-larut dan berkepanjangan. 
Contohnya, kalau saya kehilangan buku saya, saya bakal sedih, iya. Tapi rasa sedihnya tentu jauh lebih kecil dengan rasa sedih ketika saya kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Yang contoh pertama itu sadness, yang contoh kedua grief. Kalau di bahasa Indonesia, saya ngga tahu deh, mungkin padanan yang cocok untuk grief adalah: merana, nestapa, atau muram durja. Kesan intensitas sedihnya terdengar lebih besar beberapa kali lipat.
Emosi juga ngga selalu berdiri sendiri, kadang mereka berkombinasi. Misalnya, perasaan marah dan sedih, senang dan sedih, sedih dan takut, dan lainnya. Kalau kamu pernah nonton film Inside Out pasti inget kan waktu si Joy (Emosi senang) dan Sadness (Emosi sedih) bekerja sama menghasilkan emosi sedih dan senang, yang berujung pada perasaan lega yang dialami Riley. 
Nah, untuk bisa menerimanya, tentu kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu, emosi apa sih yang memenuhi hati? Sebut namanya, jika perlu.
“Saya sedang sedih,”
“Saya marah,”
“Saya sedih dan takut,”
Bisa juga terjadi, kita mengalami emosi yang sangat kompleks, misalnya terdiri dari sebelas emosi sekaligus. Waduh banyak ya? Iya, bisa saja kan kita mengalami emosi sebanyak itu dalam waktu bersamaan. Bayangkan perasaan seseorang yang dikhianati oleh pasangannya. Dalam satu ‘wadah’ yang sama, dia bisa ngerasa sedih, marah, dendam, cemburu, kecewa, merasa dikhianati, merasa tidak berguna, merasa bersalah, jijik, benci dan cinta sekaligus. Sebanyak itu sampai sulit kalau disimpulkan menjadi satu jenis emosi saja. Walaupun, kita kadang menyebutnya dengan satu kalimat pendek: hatiku hancur! Kalau itu terjadi, cobalah untuk mengenalinya pelan-pelan. Tapi, poinnya adalah kita sadar bahwa kita tengah mengalami suatu perasaan yang negatif. Sadari saja dulu. Jangan menolak pakai alibi, “I’m okay.”
You know what? It’s okay not to be okay, kok :)
2. Don’t feel bad for feeling something bad
Tumblr media
Joy menganggap Sadness sering merusak suasana, sehingga ‘memaksa’ Sadness menjauhi papan kendali emosi. Joy yang dominan tak ingin Riley merasa sedih.
Setelah kita aware terhadap apa yang kita rasakan, biasanya logika kita mulai berkomentar macam-macam. Logika kita mulai membangun alasan-alasan, kenapa kita ngga seharusnya merasakan emosi-emosi itu.
Misalnya, ketika sedih, logika kita berkata, “Ih, kamu kok cengeng sih.. Gitu aja sedih. Kuat dong.”
Atau, ketika kita merasa cemburu sama orang lain, logika kita menilai bahwa kita seharusnya ngga merasa begitu, “Memalukan, masa seorang kamu cemburu sama hal seperti itu” dan berbagai penilaian lainnya yang mengarahkan kita untuk merasa buruk karena mengalami emosi yang buruk, alias feel bad for feeling bad. Kayak cerita saya di tulisan bagian pertama yang malu kalau cerita-cerita ke orang lain tentang masalah saya karena saya melihat orang lain hidupnya sangat positif (beda dunia) dan takut dianggap menebarkan negative vibes, merusak citra diri, dan sebagainya.
Nah, don’t do that. Don’t judge yourself. Don’t feel bad for feeling something bad. 
Itu semua normal banget kok dialami semua manusia. Kita semua adalah orang-orang yang pernah dipatahkan hatinya oleh kehidupan. Dan rasanya patah hati ya sakit. Hidup itu sulit, menurut perspektif negatif. Hidup itu menantang, menurut perspektif positif. Jadi, ngga perlu merasa malu atau merasa kalah karena mengalami perasaan negatif itu, even heroes have the right to bleed (kata lagunya Five For Fighting--Superman).
3. Be honest to your significant other
Tumblr media
Riley akhirnya menyatakan perasaan sedihnya pada orang tuanya
Setelah di poin pertama kita jujur pada diri sendiri, di poin ini saya ingin bilang bahwa kita juga perlu lho jujur pada orang lain. Bukan ke orang asing juga sih, tapi ke orang-orang yang beneran care sama kita, orang-orang terdekat kita. Tahunya dia care darimana? Dari cara mereka bertanya. Ada juga kan yang bertanya, “Apa kabar?” sebagai basa-basi. Tapi ada juga kok yang bertanya begitu karena peduli. Yang ngga berhenti sampai kamu menjawab hal yang sejujurnya.
A: Kamu kenapa?
B: Ngga papa. Cuma sedih.
A: Mau cerita? Aku juga sebenarnya lagi sedih nih.
B: Lho, kamu sedih kenapa?
A: Karena ngeliat kamu sedih. Kalau kamu?
B: *nangis*
Ini penting banget sih menurutku. Kalau kita selalu tampil sok-sok kuat gitu, orang lain ngga bakal tahu kalau kita sebenarnya butuh bantuan. Kalau ngga ada yang peka sama kita, kita juga kan yang jadi merasa sedih dan sendirian, “Kok ngga ada yang bantuin sih. Ngga ada yang peduli sama aku.” Padahal kan itu mungkin bukan karena orang lain ngga peduli, tapi karena mereka belum tahu, karena kita belum membuka diri.
Tumblr media
You will be helped
Umumnya, emosi itu muncul sebagai respon dari masalah yang kita hadapi. Misalnya, kita gagal lulus ujian, itu masalah utamanya. Nah, karena kegagalan itu, kita merasa sedih, sedihnya ini masalah emosi. Ada suatu keyakinan (atau bisa disebut teori juga mungkin), bahwa kalau kita mengalami masalah emosi ya berarti diperbaikinya juga pakai cara yang berlaku untuk emosi, bukan pakai cara logika. Sebaliknya, kalau masalahnya adalah masalah yang perlu penanganan logika, ya pakai logika, jangan pakai emosi.  Jadi jangan kebalik.
Kegagalan dalam ujian tentu saja harus ditangani pakai cara logika, ya belajar lagi, ikut remedial. Nah, tapi kalau soal emosi, ngga selalu bisa gitu. Ngga bisa serta merta kita ajak supaya tunduk dengan cara-cara logika, misalnya dengan kita buat rasionalisasi. Kalau emosi ya pakai cara emosi juga, misalnya dengan mengekspresikannya (tentu dengan ekspresi yang ngga berlebihan juga). Kalau sudah mengalir, baru kita gunakan rasionalisasi, misalnya, “Oke, aku pasti bisa menghadapi ini.”
Seringkali, masalah utamanya ngga terlalu sulit, tapi karena diiringi oleh masalah emosi yang besar, masalah utamanya jadi terasa besar. Saya juga ngalamin ini. Misalnya pas ngerjain skripsi. Sebenarnya saya yakin saya bisa menuliskan penelitian saya, ikut seminar hasil dan seterusnya, tapi ada masalah emosi yang mengiringinya dan karenanya ngerjain skripsi jadi beraat sekali. Pasti bukan saya aja yang ngalamin. Masalah emosinya bisa bermacam-macam kan, trauma sama dosennya, kesal sama peraturan yang ribet, cemas, dan banyak lagi.
Kalau gitu, masalah emosinya dulu yang diselesaikan. Kalau butuh terapi ke ahlinya, ya terapi. Kalau butuh teman, ya cari teman. Intinya, jangan biarkan emosi negatif itu jadi menguasai hidup kita. Oke kita menerima keberadaannya, kita menerima kenyataaan bahwa emosi negatif itu kita rasakan, tapi kendali tetap ada di tangan kita. Bukan berarti kita boleh membiarkan emosi negatif jadi mengambil hak pilih kita. Itu juga bahaya. 
Anggap emosi negatif itu cuaca dingin di pagi hari. Karena cuacanya dingin, bukan berarti kita jadi boleh bolos sekolah atau kerja kan. Kecuali ada badai salju, yang tentunya membahayakan. 
Kecuali kalau problem emosi kita sudah sangat parah dan kita ngga mampu melihat jalan keluarnya. Itu satu pertanda bahwa kita butuh bantuan orang lain. Ada ahli yang disebut psikolog dan psikiater yang bisa membantu. Well, saya bukan ahli, semua tulisan ini murni mengalir dari pengalaman dan hasil baca-baca. Jadi mungkin banyak kelirunya juga. Kaget juga sih jadi banyak yang curhat. Saya juga bingung jawabnya gimana. Meski begitu, saya tahu bahwa dalam menghadapi suatu masalah, seringkali kita pertama-tama sekali perlu merasa bahwa kita ngga menghadapinya sendirian, bahwa ada juga kok yang mengalami masalah yang sama. Dan, ya, kamu ngga sendirian kok :)
843 notes · View notes
shafiars · 2 years
Text
Psychologists Talk
Hari Kamis dan Jumat, 23-24 Juni 2022, aku berkesempatan ikut Rakontek Stunting yang diadakan BKKBN dan menghadirkan sekitar 160 lebih peserta dari nulai Wagub, Wabup, OPD se-Jabar, dan organisasi Profesi. Guess what, yang menarik dari pertemuan adalah bukan terkait pembahasan stunting, melainkan obrolan dengan my new room mate. She is a clinical psychologists of children and adolescent. Yes, beruntung sekali bisa sekamar sama Bu N yang sudah sering menangani berbagai macam kasus. I think it wasnt a coincidence that we met in 1 room, and we shared a lot of things. Here are some notes I remembered and would be very useful to be posted here:
Pelecehan Sex dan Fitrah Anak
1. Kejadian anak 18 tahun yang memperkosa anak 15 tahun lalu mematahkan lehernya dan membuang korban ke laut. Korban ditemukan dalam kondisi hidup sehingga kasus dapat diproses. Ternyata setelah diselidiki, pelaku sebelum memperkosa korban pernah memperkosa ratusan ayam di kampungnya. Hal tsb dikarenakan pelaku saat kecil pernah dilecehkan oleh ayah temannya dan hal tsb menjadi trauma mendalam. Saat pelaku di usia dewasa dan memiliki dorongan seksual yg tinggi, ia tidak dapat mengolah pikiran dan perasaan sehingga menyalurkan hasrat tsb pada sesuatu/seseorang yang ia anggap powerless. Contohnya ayam dan anak dibawah umur:( naudzubillah. Disini penting bgt menjaga anak untuk tau privacy dan menuntaskan lukanya sembari mengajarkan fitrah anak tsb
2. Kasus anak 15 tahun laki-laki yang sudah memutuskan untuk menjadi gay, krn ia merasa berpacaran dgn cewe itu ribet. Harus antar jemput, pakei baju couple, rayain anniv, posesif, dsb. Sampai suatu hari anak laki- laki ini pergi camp bersama teman laki-lakinya yg lain dan dalam tenda tidur bersamaan. Ia merasa nyaman saat berpelekukan dgn temannya, kontak kulit, dsb. Sehingga ia merasa lebih menyenangi laki-laki dibanding perempuan
3. Kasus pria dewasa yang selama 1 tahun bolak-balik di ruangan praktik ibu psikolog krn merasa ragu untuk konsultasi. Ternyata pria ini merasa dirinya menyukai lelaki padahal momen itu sedang dalam persiapan pernikahan (80% proses pernikahan). Pria tsb memiliki masa lalu saat sejak umur 6 tahun ia suka diajak pamannya nonton video Gay :( ketika ia berkonsultasi tentunya yang dilibatkan 2 keluarga besar calon pengantin dan sempat mendapat penolakan dari keluarga perempuan. Namun krn pria ini bertekad untuk sembuh maka treatment dilakukan hingga akhirnya mrk menikah dan mengabari kembali ibu psikolog ketika sang istri sudah hamil. What a happy ending!
Pola pengasuhan orangtua
1. Anak laki-laki bersekolah di SD menonjok temannya hingga belakang lehernya mendapati 10 jaitan krn ia di bully dgn sebutan beruang saat maju ke depan kelas. Anak laki2 tsb memang memiliki badan yang besar. Ternyata kejadian tsb bukanlah kali pertama. Ia pernah menonjok teman sebayanya sebelumnya saat temannya mengejek bekal makan siang anak tsb. Ketika diberi peringatan oleh sekolah kalau untuk kejadian ke 3x nya anak tsb akan dikeluarkan, ibu sang anak membawanya ke psikolog. Saat berkonsultasi, bu neni berbincang dgn anak, ibu, dan ayahnya dan mendapati bahwa
- anak ini menganggap ibunya sayang dengan dirinya meskipun sedikit cerewet, namun ibunya taking care of him instead of ayah kandungnya yg meninggalkannya (broken home)
- persepsi anak ttg ayahnya adalah ayah keras dan suka menghukumnya ketika ia membuat nangis adik tirinya. Ayah menggantung anak tsb dgn kaki atas kepala di bawah, main fisik, dan suka membiarkan anak tidur diluar ketika ia membuat adiknya menangis saat malam hari. Sehingga ketika ditanya apa yg dipikirkan anak ttg ayah, ia menjawab mau memasang benang gulungan layangan di dua kursi di ruang tamunya, spy saat ayah lewat ia akan terjengkang kaki nya berdarah dan kepalanya terbentur. Bahkan ia bisa menjelaskan brp panjang gulungan benang yg ia perlukan! Creepy af!
- dari sudut pandang ibu, awalnya ibu adalah single mom dengan 1 anak laki laki ini. Kemudian bercerai dan menikah dgn suami barunya dan memiliki anak lagi. Ibu selalu merasa dilema ketika suami barunya keras thdp anak pertamanya krn merasa suami barunya jg pahlawan bagi keluarga mrk, sehingga membiarkan perilaku keras dan kasar terjadi di rumah dgn dalih demi mendidik anak
- sementara ayah nya memang mengakui memberikan pola asuh spt itu kpd anak untuk mendidik krn ia juga mendapat pengasuhan spt itu dari ortunya. Ayahnya jg memberikan target2 akademis kpd anak spy ia berprestasi scr akademis.
Apa yg dilakukan psikolog
- kepada anak, Bu N membicarakan terkait sebutan beruang yang membuatnya sangat marah. Ibu mengajak sang anak berpikir dan mengamati sisi keren beruang dan memberikan motivasi bahwa ia juga bisa keren meskipun memiliki tubuh yang besar. Selain itu Bu N menanyakan terkait pentingnya bersosialisasi dgn teman, krn bagi si anak ia tdk memerlukan teman, "buat apa?", katanya. Sehingga Ibu mendorong agar ia mengisi jeda waktu di sekolah dengan makan bersama, bermain bola, dan ngobrol bersama temannya krn terus belanar di sekolah bukan kah membosankan. Meskipun ketika ditanya hobi atau kegiatan lain apa yg ingin anak lakukan, ia hanya menjawab mengerjakan soal matematika (krn tuntuntan orang tua yg tll memaksakan anaknya belajar dan kurang sosialisasi) seiring proses treatment, sang anak mulai tertarik untuk memerhatikan org lain dan berpendapat bahwa, "seru juga liatin orang"
- kepada keluarga, khususnya ayah, ibu awalnya kesulitan untuk memberitahukan pola pengasuhan yg diterapkan kurang tepat krn bagi keluarga mrk, cara tsb adalah yg paling tepat (denial). Namun stlh kembali ditanyakan kpd ayah, apakah bapak mau ketika anak bapak menikah dan memiliki anak, pola pengasuhan spt ini akan anak bapa lakukan di keluarganya kelak. Orangtua anak menangis. Setelah itu bu neni mengajurkan treatment yg dapat dilakukan adalah dgn meningkatkan bonding antar keluarga khususnya ayah dan anak laki laki. Dengan berlibur, jalan santai, bermain di rumah dsb.
- termination : hubungan keluarga ini berangsur-angsur membaik hingga akhirnya, ketika anak ditanya, apakah mau menemui psikolog lg? Ia menjawab tidak mau krn katanya Bu N "kepmal" alias kepo maksimal 🤣🤣
2. Seorang anak yang datang ke psikolog krn disuruh orangtuanya. Orangtua merasa anaknya bermasalah krn akademiknya buruk pdhl ia memiliki IQ 128 namun sering membuat masalah, tdk mengerjakan PR, dsb. Sang anak bertemu Bu N dan menanyakan harga 1 jam utk konsultasi krn perintah mamanya. Kemudia ia blg akan mengontrak 1 jam tp tdk untuk berkonsultasi. Ia akan bermain game, dan mempersilakan Bu N utk melakukan pekerjaannya yg lain. Namun krn Bu N seorang psikolog, ia tentunya sembari mengajak anaknya bercerita.
Setelah diselidiki, anak ini menolak paksaan orangtuanya utk masuk FK karena ia bercita cita utk jadi Indiana Jones yg meneliti sejarah, bebatuan, dan peninggalan purbakala. Orangtuanya sangat ambisius utk menjadikan anaknya dokter bahkan sudah menyiapkan tanah untuk dibangunkan RS untuk anaknya kelak.
Akhirnya orangtuanya lah yg dipanggil. Bu N memberikan pengertian bahwa anaknya tidak mau meskipun orangtuanya merasa anaknya sanggup sekolah kedokeran. Mau dan mampu adalah 2 hal yg berbeda. Kalau kita mau, kita memiliki energi yg dapat kita curahkan utk melakukan hal tsb meskipun kita blm mahir. Namun kalau mampu, energi yg kita miliki tidak ada untuk melakukan hal tsb. Bu N mengembalikan kembali pada orangtua, manakah yg lebih penting, menjadikan anak sbg dokter atau menjadikan anak ini happy menjalani pilihannya?
Krn ada 1 kisah lain, anak yg terpaksa menuruti keinginan orangtua nya utk menjadi dokter sehingga sampai dengan mendapati gelar S.Ked anaknya menyerahkan ijazah tsb kpd orangtuanya tanpa melanjutkan co-ass utk menjadi Dokter dan beralih pada pilihan yg ia tentukan sendiri
3. Asuhan orangtua yg terlalu memberikan apa yg diperlukan anaknya, sampai ketika anak laki-lakinya sudah berusia 27 tahun dan menjadi polisi, ia ketagihan judi online dan 40jt tabungan ibunya dan bbrp motor habis di gadaikan. Polisi yang tadinya mau disembuhkan adiksi akan judi onlinenya jg harus di dampingi oleh ibunya yg harus mendapatkan konseling terkait pengasuhan yg salah. Bu N bilang, suatu saat ibu akan meninggal dan anak ibu akan sendirian dan bertanggung jawab dgn hidupnya sendiri. Mau sampai kapan akan ditanggung oleh ibu trs? Ibu nya pun menangis.
4. Kisah ke 4 ini menarik krn tdk datang dr Bu N. Ceritanya kami melanjutkan obrolan di ruang makan saat sarapan. Ketika kami sedang membahas gen Z yg dikenal tdk memiliki daya tangguh yg kuat, people said "generasi strawberry", salah satu ibu rektor di sebelah meja kami menyambung pembicaraan. Beliau ternyata drtd menyimak perbincangan kami dan mengeluhkan anak bungsunya selaku gen Z.
Anak bungsunya ini sudah memasuki smt 5 menjadi salah satu mahasiswa di PTN di kota bdg. Namun sang anak mengaku ingin pindah jurusan dan berkuliah di Jerman. Ibunya merasa bingung dan menyayangkan anaknya bila harus pindah. Ditambah lagi, ayah sang anak tidak menyetujui kalau anaknya berkuliah di Jerman dan mengambil Vokasi meskipun berdasarkan riset anaknya pilihan tsb bagus krn sudah tersertifikasi internasional
Bu N menyarankan agar ibu nya dapat meminta anaknua membuat rencana hidupnya. Tuliskan + dan - ketika ia pindah jurusan dan tetap bertahan di jurusannya. Selain dituliskan, presentasikan juga apa yang mau dilakukannya saat berganti jurusan dan setelahnya untuk membuat si anak membangun muscle memory. Ini istilah baru bagiku! Muscle memory ternyata adalah (sepemahanku ya) memory di otak yg terbentuk krn adanya repetition dan dapat tersimpan lbh awet di storage box memory kita spy kita bisa terus ingat. Kalau muscle memory ini adalah bentuk gerakan, ini spt gerakan reflex yg bisa kita lakukan scr otomatis. Spt halnya definisi "muscle" yg sesungguhnya it gives you strength and motion, begitupun dgn komunikasi muscle memory ini ketika dibutuhkan. Dan repetition is a key to shape your brain into what are you going to achieve. Menarik bgt terutama utk ku yg sedang ngumpulin niat ujian IELTS 😝 BISMILLAH YO BISA BERDAYAKAN MUSCLE MEMORY!
Selain itu pesan dr Bu N untuk menghadapi anak yang semisal minat belajar nya tinggi, ingin explore segala hal, adalah
- pastikan anak sudah melakukan riset atas pilihan yg ia tuju spy ia mendapat gambaran jelas, tidak kaget dan menyesal kemudian hari
- orangtua tidak hanya memberikan pilihan tsb pada anak tp kenalkan juga resiko nya. Misal anak ingin aktif berorganisasi, komunikasikan jg bahwa nanti waktu untuk belajar/mengerjakan tugas dan me time nya akan lebih sedikit sehingga anak akan berfikir bertanggung jawab thd pilihannya
- fasilitasi semampu orangtua dan jangan lupa utk mendoakan :)
Hubungan antara Manusia dan Tuhan
1. Cerita ini berkaitan dengan fenomena guru ngaji yang melakukan pelecehan sex thdp santri-santrinya dan skripsi yang Bu N ambil saat S1 yaitu tentang hubungan tingkat religius dan dorongan untuk melakukan penyimpangan sosial. Ternyata berdasarkan hasil tsb, ibadah rutin yg dilakukan individu spt solat 5 waktu, dll tidak menjamin individu tsb terhidar dari perilaku penyimpangan sex. Ini mungkin berlaku jg untuk kejahatan lainnya spt korupsi dsb. Itu mengapa mungkin banyak guru ngaji atau orang yg masih solat tp ttp melakukan kejahatan
Ternyata yg paling esensial adalah orang yg mendapati experience bahwa Allah hadir bersama dirinya lebih cenderung tidak melakukan pelecehan tsb krn ia merasa Allah ada dan mengawasi. Menurutku the point is, kembali kepada seberapa kualitas ibadah dan hubungan kita kpd Allah and its not merely about how frequent atau seberapa banyak kuantitas hubungan dn interaksi kita sm Allah. MasyaAllah jadi banyak bgt belajar bersama ibu
What a fruitful discussion and I felt so content. Rejeki bgt ketemu ibu meskipun waktu kita mengobrol not that much tp aku dapet banyak bgt pesan dan smg dgn ditulis disini dpt bermanfaat untukku kelak atau bisa kubagikan dgn yg lain.
Plot twist: ibu kalau ngomong kalem dan menenangkan sekali, tp pas kita bertukar no HP dan ibu chat duluan, pesan yg beliau kirim cm "cekcok...hihi"
Sisi humor ibu yg sungguh tdk terprediksi dari pertemuan kita kurang dari 2 hari 1 malam itu! Tp pastinya ibu orang baik dan menyenangkan! Barakallah ibu terimakasih banyak atas sharingnya. Smg ibu dan keluarga senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, kemudahan dalam menjalankan urusannya, dan dikabulkannya setiap doa yg ibu panjatkan 🥰🥰
Sampai bertemu lg ya ibuu!
Cimahi 25 Juni 2022
0 notes