#Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982
Explore tagged Tumblr posts
Text
Kim Ji-yeong Lahir 1982
Informasi Buku
Judul buku : Kim Ji-yeong Lahir 1982
Penulis : Cho Nam-Joo
Alih Bahasa & Editor : Juliana Tan
Penyelaras Aksara : Merry Riansyah
Ilustrator : Bella Ansori
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 192
Tahun terbit : 2019
Sampul Buku : Pada pandangan pertama sih ya jujur aja bagi saya pribadi tampilannya kurang menarik, tampilan cover yang minimalis karya seni watercolor art penuh perasaan menggambarkan raut wajah sedih, tergambar jelas dari garis mata yang redup dan sipul bibir datar seolah-olah kehilangan harapan dalam hidup, lelah, penuh emosi dan berujung sad ending itu yang terlintas dalam benak saya.
Tentang Penulis : Seperti yang udah tertera dalam biografi singkat penulis pada halaman belakang novel tersebut, Cho Nam-joo lahir di seoul pada tahun 1978. Seorang alumni dari fakultas sosiologi, Universitas Ewha, kiprahnya dalam dalam berkarya sudah lebih dari 10 tahun di program TV bergengsi dan aktif menyarakan terkait isu-isu terkini.
Tema
Dalam novel karya Cho Nam-joo saya cukup tertegun dengan banyak pengggalan cerita yang nampaknya relate dengan kehidupan bermasyarakat saat ini. Orang-orang yang menganut fanatisme patriarki akan selalu ada, pemahaman yang sifatnya mengedukasi pun pasti akan banyak yang menentang dan belum tentu langsung di terima masyarakat luas. Penulis berhasil mengemas buku fiksi ini dengan kisah menarik, bukan hanya dari segi alur ceritanya tapi juga kesehatan mental, seksisme, feminisme, misoginis dan partiarki mengandung banyak makna yang menggesankan di hati para pembacanya.
Tokoh
Tokoh utama dalam buku karya Cho Nam-joo tentu saja Kim Ji-yeong. Adapun mereka-mereka yang ada di dalam cerita ini merupakan orang-orang yang berada di circle hidup Kim Ji-yeong sendiri. Keluarga, rekanan, suami, anak dan beberapa orang yang Kim Ji-yeong pernah temui. Dalam buku ini, karakter Kim Ji-yeong digambarkan amat sangat umum, tanpa menyebut profesi tertentu, bukan dari kalangan bangsawan, hanya orang biasa yang low profile sehingga pembaca menjadi begitu relate dengan kisah yang sudah Cho Nam-joo sajikan.
Mereka para lelaki dalam buku ini dikisahkan memiliki perangai yang buruk, kebaikan yang nampak tidak lebih dominan dari perlakuan yang didapat oleh Kim Ji-yeong, terkecuali Jeong Dae-hyeon yang menjadi suami nya. Keadaan dibuat sedemikian rupa oleh penulis sehingga laki-laki selalu dibuat lebih unggul dari perempuan dan selalu saja diremehkan.
"Hati-hatilah dengan ucapanmu, karena itu bisa menjadi kenyataan. Tidur saja. Jangan berkata yang tidak-tidak" -hlm 26
Ucap Ayah Kim Ji-Yeong saat Ibu Kim Ji-yeong bertanya tentang bagaimana jika anak ke empat mereka tetap perempuan.
Terus belum lagi saat tempat kerja Kim Ji-yeong dulu ada skandal pemasangan kamera tersebunyi dikamar mandi wanita oleh oknum rekan sekantor nya, tebtu saja para karyawan wanita geram dan menuntut pihak direktur buat minta keadilan dengan cara dilaporkan dan diberi hukuman setimpal minimal agar oknum tersebut jera dan menjadi perhatian buat rekan-rekan dikantor lainnya. Namun Sang direktur yang juga adalah seorang pria justr mengatakan yang sebaliknya, dari perkataan nya sudah dapat di simpulkan bahwasanya ia tidak memihak kepada korban.
"Apa yang akan terjadi pada perusahaan ini kalau semua orang sampai tahu? Semua karyawan pria memiliki keluarga dan orangtua. Kita tidak mungkin merusak kehidupan mereka, bukan? Bagaimanapun, kalian para wanita juga akan dirugikan apabila semua orang tahu foto-foto klian tersebar luas." -hlm 156
Cibiran terus Kim Ji-yeong dapat, bahkan saat di luar rumah berduduk-duduk santai menikmati waktu luangnya sambil menunggui anaknya yang tidur di kereta dorong sambil meminum kopi, dari arah yang entah dari mana justru seorang pria asing duduk tidak jauh dan mengatakan,
"Aku juga mau punya suami yang bekerja sehingga aku bisa berjalan-jalan santai sambil minum kopi" - hlm 164
Nenek Kim Ji-yeong juga menurut saya ikut andil dalam budaya patriarki dan masih berpegang teguh pada budaya lama. Kaum pria lebih dibanding kaumnya sendiri.
"Aku punya empat anak laki-laki, karena itu aku bisa makan makanan yang diberikan anakku dan bisa tidur di rumah yang disediakan anakku. Walaupun anakku mungkin tidak kaya, aku tetap bisa mendapatkan semua itu karena aku punya empat putra." - hlm 25 (padahal anak perempuannyalah yang bekerja banting tulang membiayai pendidikan putra-putranya)
Saat adegan Kim Ji-yeong pulang dari kursus dan diikuti oleh seorang pria asing, Kim Ji-yeong justru dimarahi ayahnya.
"Kenapa ia harus kursus di tempat sejauh itu? Kenapa ia berbicara kepada sembarang orang? Kenapa ia memakai rok sependek itu? Ia harus banyak belajar. Ia harus berhati-hati, harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas. Ia harus menghindari jalan yang berbahaya, waktu yang berbahaya, dan orang yang berbahaya. Kalau ia sampai tidak sadar dan tidak menghindar, maka ia sendiri yang salah." -hlm 65
Alur
Menurut saya plot dalam novel ini masuk dalam kategori campuran, Sejak bab awal pembaca langsung disuguhkan klimaks cerita berkenaan dengan dunia nya Kim Ji-yeong. Pada pertengahan bab pembaca akan dibawa kembali ke masa kecil Kim Ji-yeong dan bagaimana perjalanan kehidupan Kim Ji-yeong sebelum ia menjadi Kim Ji-yeong yang sekarang. Pembaca seolah diajak bernostalgia menapaki setiap perjalanan kehidupan yang dijalankan oleh Kim Ji-yeong dan juga keluarganya. Diakhir cerita barulah pembaca kembali difokuskan pada konflik yang terjadi hingga akhirnya Kim Ji-yeong dapat berdamai dan menyelesaikan apa yang menjadi permasalahan nya.
Latar
Dalam buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama kali ini pemeran utamanya adalah menceritakan Kim Ji-yeong, Penulis buku ini bernama Cho Nam Joo menokohkan Kim yang merupakan anak perempuan dimana dia ini terlahir dalam sebuah keluarga yang mendambakan kelahiran anak laki-laki, sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagi Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya, Kim Eun-yeong menyaksikan perlakuan yang didapat oleh adik laki-laki yang sekaligus anak bungsu dalam keluarga. Dimasa kecil tokoh Kim Ji-yeong hidup menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolahnya, pernah Ji-yeong dilecehkan dan mengadu ke ayahnya namun harapan di bela sirna begitu saja tatkala ayahnya justru menyalahkan Kim Ji-yeong karena pakai seragam dan rok yang pendek hingga mengundang para gerombolan lelaki tersebut menganggu Ji-yeong.
Setelah tumbuh dewasa dan menjadi seorang mahasiswi, perlakuan tidak menyenangkan masih terus berlanjut. Diceritakan dalam buku ini para dosen tidak pernah merekomendasikan Kim Ji-yeong untuk magang di perusahaan bergengsi, bahkan di tempat kerjanya sekalipun tidak pernah mendapatkan kesempatan promosi padahal Kim Ji-yeong merupakan seorang karyawan teladan dengan kinerja diatas rata-rata dibandingkan dengan rekan-rekan pria di kantornya. Karyawan perempuan dianggap merepotkan karena musti membagi fokus dengan urusan rumah tangganya. Sejak menikah Kim Ji-yeong juga mengorbankan ambisinya dalam mengejar puncak karir dan memilih membersamai tumbuh kembang anaknya (Jeong Ji-won), ia memilih menjadi ibu rumah tangga hidup dengan rutinitas dimana dia hidup bebas tapi merasakan terbelenggu stigma dan pengalaman buruk yang selalu dialaminya.
Dia merasa aneh, tapi entah apa
Dia merasa bukan Kim Ji-yeong yang sesungguhnya
Dia merasa depresi dengan rutinitas yang ada
Dia merasa ini bukan lah dunia nya
Dia merasa sedih, tapi entah apa penyebabnya
Seketika
Dia mulai bertingkah, terkadang sukar dikendalikan
Kim Ji-yeong adalah manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.
Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.
Sudut Pandang
Berkaitan dengan sudut pandang yang diambil setelah membaca novel ini. penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga yang mana dalam buku ini Cho Nam Joo berperan sebagai psikiater yang menangani kasusnya Kim Ji-yeong. Pendengar seolah-olah diajak masuk menyelami konflik batin yang dialami Kim Ji-yeong saat ia mengutarakan hasil konselingnya ke psikiater tersebut. Kim tidak ujug-ujug mau saat suaminya menyarankan ia untuk pergi ke psikiater karena hal tersebut masih dianggap tabu dan Kim merasa bahwasanya secara jasmani ia sehat-sehat saja. Ajakan suaminya untuk bertemu dengan psikiater pun di turuti oleh Kim, meskipun bukan perkara mudah untuk ia dapat membuka kisah masa lalu, dan rasa enggan menceritakan hal-hal tersebut kepada sang psikiater.
Gaya bahasa
Messki tema buku ini menurut saya ‘agak berat’ dari sisi penjelasan, pemilihan kata dan dalam penyampian pesan nya, tapi penulis berhasil menyajikan sebuah mahakarya dengan gaya bahasa semi formal yang nyaman dibaca dan tentunya nNgaak banyak typo dalam penulisan.
Amanat
Suasana yang tergambarkan tatkala kita mulai membaca tiap lembar demi lembar dalam buku ini adalah suasana yang suram, ada beberpa part yangmenjadi konflik dan berhasil di pecahkan. Pemeran utama berhasil menyuarakan dan mendapatkan banyak dukungan seperti apa yang Kim Ji-yeong harapkan, tetapi saya sendiri tidak yakin hal tersebut akan bertahan seberapa lama? Dan adakah hal lain lagi yang nantinya dapat menghancurkan impian itu?
Hal tersebutlah yang hendak penulis bawa tatkala kita sebagai pembaca justru muncul pertanyaan dan dibuat penasaran sehingga dengan kepiawaian penulis pembaca merasakan kesan mendalam dan hanyut dalam alur yang dibawakan.
Ending kisah Kim Ji-yeong amat sangat tidak bisa di percaya. Pasalnya ada banyak plot twist di bagian akhir yang justru membuat pembaca ingin mengumpat, Overall, endingnya dalam buku ini cukup berkaca pada realitas untuk kembali menyadari hal yang sempat kita lewatkan dan lupakan.
Banyak sisi yang jang dapat kita petik hikmahnya dan di jadikan pelajaran, saat digambarkan bagaimana kepribadian seseorang bisa berubah dalam waktu sekejap tanpa disadari orang itu sendiri. Okelah dalam buku ini si penulis menceritakan bahwasanya Kim Ji-yeong di diagnosa depresi pascamelahirkan yang berubah menjadi depresi pengasuhan anak, tapi tetep aja dalam kasus kepribadian yang berubah-ubah itu justru mengingatkan kembali pada diri kita sendiri-mungkin saja hal tersebut sedang/pernah kita alami-seperti halnya Kim Ji-yeong berkenaan dengan pengalaman misoginis dan menceritakan tema yang sama yaitu diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Sinopsis
Kim Ji-yeong (Istri) , Jeong Dae-hyeon (Suami) dan Jeong Ji-won (Anak), mereka merupakan sebuah keluarga kecil tinggal di sebuah apartemen elit dengan biaya sewa bulanan yang cukup mahal. Ditambah, semenjak mereka memiliki Jeong Ji-won, Kim Ji-yeong diharuskan meninggalkan pekerjaan di tempat yang cukup bergengsi dan sesuai passion-nya untuk merawat dan mengasuh Jeong Ji-won.
"Selain itu, praktik umum selama ini adalah suami bekerja dan istri membesarkan anak." - hlm 143
Walaupun menjadi ibu rumah tangga terlihat menyenangkan karena tidak perlu repot-repot bekerja lembur banting-tulang, kejar target mempertahankan KPI (Key Performance Indicator), ‘sikut-sikutan’ dengan rekan kerja dan sudah gugur kewajiban ia menafkahi keluarga, Kim Ji-yeong justru merasa sebaliknya.
Kim Ji-Yeong hidup penuh tekanan. gunjingan orang sekitar yang mencibir‘bersantai di rumah makan gaji suami’ menganggap posisi sebagai ibu rumah tangga adalah posisi ternyaman hal itu terbantahkan. Pada nyatanya, menjadi housewife bukan perkara yang mudah. Menjadi ibu rumah tangga bukan semata-mata mengurus rumah yang itu-itu saja, bermain bersukaria dengan anak di rumah yang sedang lucu-lucu nya. Melainkan kenyataan yang harus ia jalani ialah menyusui menidurkan, memandikan, mengganti popok, memberi makan, Belum lagi di waktu yang sama, secara bersamaan banyaknya pekerjaan rumah yang wajib dikerjakan mlai dari melek mata sampai dengan memejamkan mata kembali seperti, menyiapkan airhangat untuk suami mandi, membuat sarapan keluarga, belanja kebutuhan rumah tangga, menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, siram tanaman dan masih banyak lagi. Pada novel ini tergambarkan bahwasanya Kim Ji-Jeong sangat-sangat menyayangkan pekerjaan lamanya. Yang ada dibenaknya hanyalah menjadi seorang ibu rumah tangga adalah tugas berat. Menjadi wanita artinya harus mengubur ambisinya dalam-dalam. Dunia tak peduli seberapa keras perempuan mencoba, pada akhirnya pria yang jadi juara.
Darisanalah tingkah aneh Kim Ji-yeong bermula, dalam tubuh yang sama pada waktu yang berbeda ia dapat menjadi siapa saja. Susah di tebak, penuh kejutan diluar tingka yang semestinya. Orang terdekatnya sudah dapat memastikan itu adalah bukan Kim Ji-yeong yang sesungguhnya. Terkadang jiwanya bak seorang bayi yang nangis meronta-ronta, sesekali anak kecil yang tengah bergembira, seorang remaja dengan segala dilema yang entahapa duduk perkaranya, berjiwa layaknya orang tua bahkan orang lain, yang ia sendiri kebingungan menebak dirinya saat ini adalah siapa.
"Sejenak Jeong Dae-hyeon menatap istrinya dengan perasaan geli sekaligus heran, lalu ia menarik tangan istrinya, mengeluarkan jarinya dari mulut. Kim Ji-yeong mengecap-ngecapkan lidah seperti anak kecil, dan tetap tertidur pulas." -hlm 10
Puncaknya kegusaran itu melanda tepat saat perayaan chuseok, saat dirumah. Suaminya menyadari Kim Ji-yeong kembali berperilaku diluar batas kewajaran dan bahkan sampai menyinggung orang tua Jeong Dae-hyoen dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang tak sepantasnya. Semenjak kejadian itu, suaminya pun kemudian meminta Kim dan mengantarkannya untuk bertemu psikiater dengan alasan yang suaminya jelaskan kepada psikiater tersebut adalah kesulitan tidur. Jeong Dae-hyeon menyadari pada istrinya ada sesuatu yang tidak beres, tapi disatu sisi dia juga enggan mengakui adanya tingkah diluar kewajaran Kim Ji-yeong, istri sekaligus ibu dari Jeong Ji-won keluarga kecil yang amat ia cintai.
Pada kesempatan sesi terapi dengan psikiater ini, pembaca dibawa untuk dapat menyelami masa lalu Kim Ji-yeong. Ayah Kim Ji-yeong merupakan seorang PNS biasa, jabatan tak punya, pekerjaan yang monoton, kesempatan berkembang sudah tak lagi ada sebab terbentur dengan umur yang memasuki usia senja. Harapan ayah hanya tertuju pada si bungsu anak laki-laki semata wayang di keluarga nya. Ibu Kim Ji-yeong merupakan seorang ibu rumah tangga yang hebat, ia mengurus tiga orang anak sekaligus juga ibu mertua alias nenek Kim Ji-yeong. Semasa kecil Kim Ji-yeong menyaksikan dengan mata kepala nya sendiri bahwasanya tindakan diskriminasi terhadap ibunya yang harus mengalah pada cita-cita karena mengutamakan pendidikan pamannya. Banyak pertanyaan Ji-yeong kecil yang belum terjawab sehingga menjadi kumpulan patahan puzzle yang tak pernah bisa dia tuntaskan. “kenapasih kalian ngebeda-bedain perlakuan ngeliat gendernya dulu? Laki-laki kenapa harus lebih unggul dibandingkan dengan perempuan? Kenapa aturan banyak banget yang gak masuk akal buat perempuan sedangkan kalo laki-laki yang melanggar gak melekat stigma buruk pada dia? Apa perempuan di ciptakan hanya untuk mengalah, mengurus pekerjaan rumah dan dicibir wanita lemah?
Dalam pembahasan kisah masa lalu hidaupnya Kim Ji-yeong ini pembaca diajak buat menyadari gimana sih laki-laki kok selalu lebih diistimewakan ketimbang perempuan? Mirisnya, praktik ini malah di wajarkan dan udah kerjadian secara turun temurun, fenomena yang terjadi juga adalah banyak para nenek-nenek yang pada dasarnya adalah bagian dari kaum perempuan juga ikut melakukan hal serupa.
“Sulit sekali menggambarkan nada suara, sorot mata, gerakan kepala, posisi bahu, dan tarikan napas nenek mereka menjadi satu kalimat, tetapi gambaran yang paling mendekati adalah nenek mereka seolah-olah menyatakan, "Berani-beraninya kau mengambil barang milik cucu laki-laki kesayanganku?" - hlm 22
"Banyak guru yang memilih lima atau enam orang anak perempuan yang pintar untuk melakukan tugas-tugas tertentu, menilai, atau memeriksa PR semua orang ..., tetapi ketika mereka memilih ketua kelas, mereka selalu memilih anak laki-laki." - hlm 44
Nah dalam buku ini juga pembaca bakal diberitahu apa ajasih aspek-aspek lain yang penulis bawa dalam buku ini? Misalnya kondisi ekonomi, sosial, budaya dan juga ranah pendidikan yang ditempuh Kim Ji-yeong. Terus gimanasih usaha Kim Ji-yeong buat menjawab keresahan-keresahaan yang ada di kepalanya, mulai dari proses dia memilih dan bertahan pada pilihan nya, proses menerima dirinya dan berdamai dengan keadaan, menyelesaikan patahan-patahan puzzle menjadi sebuah rankaian gambar sempurna dan indah pada waktunya.
“Walaupun pekerjaannya tidak menghasilkan banyak uang, tidak mengubah dunia, dan tidak membuatnya berhasil mendapatkan apa pun yang diinginkannya, ia tetap merasa masa-masa itu adalah masa-masa yang menyenangkan” - hlm 145
youtube
0 notes
Text
2021 March Wrapped-up
Again, udah masuk minggu kedua ketiga di April aja. Saya baru sadar, ternyata di bulan Maret hubungan saya dengan dunia per-blogging-an agaknya sedang kurang akur, alias nggak produktif banget! Cuma satu blogpost aja, dong… Blogwalking juga jadi jarang. Huhuhu. Kemana aja, ngapain aja, bu? (more…)
View On WordPress
#Buku Sahabat Mahasiswa#Izakaya Bottakuri#Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982#March 2021#My Bittersweet Wedding#Nijiiro Karute#Parallel World Love Story#Rumah Lebah#Shitteru Wife (2021)
0 notes
Text
Kumpulan Puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" karya Moon Changgil: BENTUK PERLAWANAN DAN HARAPAN UNTUK KOREA SELATAN
oleh Maretta Dwi Anjani
Judul buku: “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api”
Penulis: Moon Chang Gil
Penerjemah: Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2021
Jumlah halaman: 116 + x halaman
Tidak dapat dielakkan bahwa beberapa tahun terakhir ini segala hal berbau Korea Selatan, mulai dari dunia industri hiburan, fesyen, hingga kuliner, menjadi topik hangat di seluruh dunia. Termasuk karya sastranya. Di Indonesia, berbagai karya sastra dari penulis Korea Selatan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan mendapat sambutan hangat, seperti novel Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam-Joo dan novel Almond karya Sohn Won-Pyung. Tidak hanya itu, buku genre non-fiksi self-improvement pun tidak kalah populer, misalnya buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki yang ditulis oleh Baek Se-Hee.
Hal ini memberi ruang bagi karya sastra puisi dari Korea Selatan untuk turut menambah warna pada kesastraan di Indonesia. Setelah sebelumnya kumpulan sajak karya Choi Jun berjudul Orang Suci, Pohon Kelapa (2019) hadir menyapa pembaca Indonesia, pada akhir tahun 2021 telah terbit pula kumpulan puisi dari penyair Moon Changgil. Buku kumpulan puisi ini bertajuk Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api, diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah.
Melalui 58 puisi yang terbagi ke dalam 4 bagian dalam buku ini, Moon Changgil akan mengajak pembaca untuk ‘minggir’ sejenak dari pusat kota dan ingar-bingar industri hiburan Korea Selatan. Rangkaian diksinya akan membawa kita menyusuri desa, pinggiran kota, ke gang sempit, ke dermaga, ke masa lalu, dan masa depan. Seiring dengan itu, ia menunjukkan harapan-harapan yang dipikul oleh masyarakat kecil; buruh, petani, pekerja harian. Melalui puisinya juga penyair mengingatkan atau memberi tahu kepada pembaca bahwa Korea Selatan, seperti negara lainnya, pun mempunyai luka, mengalami masa-masa kelamnya, ia juga menyimpan mimpi untuk masa yang akan datang. Itulah yang menjadi keistimewaan dari puisi-puisi dalam buku Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api ini.
Kecenderungan tema dari puisi-puisi Moon Changgil memang didukung oleh ia yang banyak menaruh perhatian terhadap perjuangan rakyat kecil serta hak asasi manusia. Penyair angkatan ‘80-an ini memulai kiprahnya dalam dunia penulisan puisi lewat kumpulan puisi Duresi Dongin. Pada 1984 hingga 1991, ia tergabung dalam Komunitas Sastra Buruh Guro. Di komunitas tersebut ia berada di Bagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan Demokratisasi. Selain itu, Moon Changgil juga memimpin media dan aktif di organisasi sastra di Korea, yaitu kelompok Changjak21 dan majalah sastra Changjak21. Selain yang telah disebutkan, masih ada beberapa perhimpunan penyair lainnya yang diikuti Moon Changgil.
Berbicara tentang sastra, tidak dapat dilupakan bahwa sebuah karya sastra ialah buah dari ide dan gagasan sang pengarang. Sastra dapat menjadi cerminan realitas kehidupan. Sastra dapat menjadi senjata; bentuk perlawanan. Penyair Moon Changgil meyakini hal tersebut. Penyair asal Korea Selatan ini berpegang teguh pada semboyan “Pena adalah Senjata”. Ia berpendapat bahwa sastrawan harus menyadari, mengkritik, dan melawan kekerasan yang menghancurkan hayat di bumi ini. Dengan karyanya ini, ia ingin menyampaikan bentuk perlawanan melalui gambaran kehidupan, perasaan, gagasan, juga harapan untuk Korea Selatan. Lalu, bagaimana hal tersebut ditampilkan?
Dimulai dari bagian pertama, yang diberi tajuk Rangkuman 1, kita akan melihat kehidupan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai buruh, petani, nelayan, dan pekerja harian. Penyair menuturkan keseharian para warga serta harapan dan mimpi mereka dengan sederhana, rasanya seperti melihat kehidupan mereka dari dekat. Contohnya pada puisi “Wanita dari Ahnyang” (hlm. 7). Digambarkan kesibukan masyarakat di tepi dermaga yang banyak bekerja sebagai nelayan serta penjual ikan segar. Harapan tokoh dalam puisi ditunjukkan lewat larik berikut, “Uang yang ini untuk menyekolahkan anak laki-laki sampai universitas/ lalu uang yang itu untuk membelikan anak perempuan sebuah piano.” (hlm. 7).
Sedangkan pada sebagian puisi lain memunculkan suasana kebalikan dari sebelumnya. Misalnya, pada puisi “Ayahku” pembaca dapat merasakan kesengsaraan dari aku-lirik yang merupakan seorang buruh. Berikut penggalan puisinya,
“Aku jadi buruh di pabrik itu
ingin mendirikan tiang untuk
dunia yang sesungguhnya…
Kalian adalah pemimpin
kami adalah buruh..” (hlm. 14)
Hal yang sama juga tampak pada puisi “Rumput Liar di Atas Aspal”.
“Dalam keadaan mabuk
Suara Seo si tukang kayu yang mengkritik pemerintah
meneriakkan pembersihan Pemerintahan Republik kelima dan
keenam
semakin samar bagaikan minuman keras murah.
Benar, aku dan kamu
adalah rumput liar di atas aspal di negeri kapitalisme ini.” (hlm. 25).
Pada puisi di atas aku-lirik seakan ingin mengatakan bahwa harapan sudah tipis sekali adanya. Puisi tersebut yang menggambarkan kondisi buruh serta rakyat kecil juga sarat akan kritik terhadap negara yang kapitalis. Pesan tersebut tampak disampaikan secara halus melalui kisah-kisah, tetapi dengan bahasanya yang lugas, seakan ingin memberi penegasan, ingin menyuarakan dengan keras dan lantang. Hal itu menjadikan makna puisi ini mudah ditangkap, namun juga tetap mengandung unsur estetikanya.
Puisi, atau karya sastra, memang dapat dijadikan sebagai bentuk perlawanan. Apabila melihat kata ‘puisi’ dan ‘lawan’ dalam satu kalimat, mungkin kita akan teringat pada penyair di Indonesia yang juga menulis puisi yang sarat dengan nada perlawanan serta kritik. Widji Thukul dengan puisi “Nyanyian Akar Rumput”-nya memiliki beberapa kesamaan dengan puisi “Rumput Liar di Atas Aspal” karya Moon Changgil. Di mana rakyat kecil diibaratkan dengan istilah ‘rumput’ yang tidak berdaya, rentan terinjak. Begitu pula dengan istilah ‘aspal’ pada puisi Moon dan ‘jalan raya dilebarkan’ pada puisi Widji, sama-sama digunakan untuk menyebut pembangunan di tengah negara yang makin maju, namun juga makin melebarkan kesenjangan bagi kalangan atas dan kalangan bawah.
Tidak hanya soal rakyat kecil, Moon Changgil juga menuturkan kisah Korea di masa lalu melalui puisinya. Sebelum menjadi negara yang maju seperti saat ini, Korea Selatan sempat mengalami masa-masa bersejarahnya yang sulit dan kelam. Penjajahan Jepang, perang Korea yang membuat semenanjung Korea terbagi menjadi dua di bagian utara dan selatan dan hingga saat ini belum ada perdamaian, pemerintah diktator yang memicu berbagai gerakan demokratisasi, dan masih banyak lagi. Di setiap masa tersebut, bentuk perlawanan dan harapan pun senantiasa ada. Rangkuman 2 dalam buku kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api mencakup tema-tema tersebut. Puisi pertama dalam bagian ini berjudul “Di Stasiun Woljeong-Ri”. Satu larik dalam puisi ini yang berbunyi “Apa artinya dua lajur rel kereta api yang diharapkan?” (hlm. 31), dijadikan sebagai judul buku kumpulan puisi ini. Lalu, apa gerangan yang diharapkan rel kereta api? Jawabannya ada pada larik setelahnya: unifikasi, reformasi.
Terbaginya Semenanjung Korea menjadi dua merupakan dampak dari perang Korea 70 tahun lalu. Perang yang terjadi selama beberapa tahun itu turut memisahkan masyarakat Korea dari anggota keluarganya. Sejak perang berakhir dan hingga saat ini kedua pihak dari Korea belum ada perdamaian resmi, hanya ada gencatan senjata. Perdamaian antara Korea Selatan dan Korea Utara sejatinya merupakan harapan banyak pihak. Moon Changgil sebagai penyair mewakilkan harapan tersebut.
Puisi yang bertajuk “Kita Adalah Satu” (hlm. 36-37). memberi suasana semangat persatuan, perdamaian, dan harapan. Puisi ini ditulis sehubungan dengan kunjungan Lim Sookyeong ke Korea Utara. Lim Sookyeong merupakan representatif dari warga Korea Selatan yang mengunjungi The 13th World Festival of Youth and Students di Pyongyang, Korea Utara, pada 1989. Pada saat itu presiden Korea Selatan melarang penduduknya untuk pergi ke utara, namun dengan keberaniannya, demi bisa mencapai Korea Utara, Lim Sookyeong melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain: dari Seoul, ke Tokyo, ke Jerman Barat, lalu ke Jerman Timur untuk kemudian terbang ke Pyongyang. Tekadnya dalam peristiwa itu membuat Lim dijuluki sebagai Flower of Unification. Ia telah membangkitkan semangat persatuan masyarakat. Hal itu tercermin dalam puisi “Kita Adalah Satu”. Lariknya berbunyi, “Esok pagi jiwa unifikasi akan merasuk/ sampai kalbuku yang terdalam.” lalu puisi ditutup dengan larik yang sama kuatnya: “Kita adalah satu.”
Puisi yang dijadikan contoh di atas hanyalah satu dari berbagai kilasan peristiwa sejarah Korea yang diangkat penyair dalam puisinya. Selain dari suasana persatuan, kebanyakan puisi tersebut bernuansa pilu. Misalnya mengenai perempuan-perempuan yang menjadi korban pelampiasan hasrat seksual tentara Barat. Ia menggambarkan bagaimana harapan rakyat terinjak-injak seiring dengan terjadinya perang dan datangnya penjajah. Dengan itu, ia juga tetap menyuarakan perlawanan, misalnya saja pada puisi “Di Maehyang-Ri” yang berisi seruan kepada penjajah untuk pergi dari tanah Korea. Puisi Moon Changgil mengingatkan bahwa, dengan mengingat sejarah-lah maka kita bisa belajar untuk membangun masa depan yang lebih indah. Penyair menyatakan hal tersebut dengan apik sekaligus ironi pada puisi "Buku Catatan Putih". Penggalannya sebagai berikut.
entah sejak kapan bunga-bunga liar
yang berwarna putih bagaikan buku catatan putih
tumbuh berdiri menggantikan batu nisan.
Mereka mengajarkan sejarah
yang seharusnya dipelihara orang-orang yang masih hidup. (hlm. 45).
Pada bagian-bagian selanjutnya, Moon Changgil tetap mempertahankan fokusnya dengan menuturkan kisah dalam puisi dari sudut pandang masyarakat kecil. Rangkuman 3 berisi puisi-puisi yang lebih mengungkapkan emosi, rasa sepi, renungan, serta lingkungan alam. Dan di bagian terakhir, di Rangkuman 4, mengisahkan potongan-potongan kehidupan di Seoul yang getir, sulit, dan pahit.
Begitulah bunyi perlawanan dan harapan yang ditampilkan penyair dalam kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api. Harapan yang dipikul masyarakat kecil di tengah segala nestapa yang mereka alami. Harapan manusia. Harapan yang rasanya kian terkikis. Harapan untuk perdamaian. Harapan tentang alam. Harapan untuk keadilan dan kesetaraan. Nyatanya, dengan harapan-lah kita bisa bertahan. Sekecil apapun itu, harapan menjadi alasan kita untuk tetap berjalan. Di balik lembar buku sejarah Korea yang menyimpan kisah pilu, kita bisa berharap untuk Korea yang lebih baik di masa depan. Di tengah kondisi dunia yang serba cepat dan maju tanpa memedulikan orang-orang yang ada di pinggiran, kita masih bisa berharap untuk hidup yang lebih baik. Dengan harapan itu maka kita berjuang, melawan.
Demikian, puisi-puisi karangan Moon Changgil akhirnya membawa kita menyusuri Korea dari sisi lain yang mungkin belum banyak diketahui oleh orang-orang sebelumnya. Membaca puisi ini penting tidak hanya untuk masyarakat Korea namun juga luar Korea sebagai pembelajaran. Topik-topik yang diangkat penyair yang meliputi rakyat kecil, persatuan, perdamaian, kesetaraan, hak asasi, dan lain sebagainya merupakan persoalan universal yang dapatdijumpai di masyarakat di tempat mana pun, di masa apapun. Persoalan ini tidak lekang oleh zaman.
"Pena adalah senjata", begitu yang diyakini oleh Moon Changgil. Dan melalui karyanya ini, buku kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api, ia tidak hanya menyajikan puisi sebagai alat perlawanan dengan cara sehalus dan seapik mungkin, namun juga menumbuhkan harapan-harapan bagi yang membacanya.
3 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Adaptasiku Bersama Buku
Aku pribadi yakin hampir semua dari kita pernah membaca buku atau menonton film tentang wabah, virus, dan berbagai film menakutkan yang di dalamnya orang-orang mesti berbuat hal di luar kebiasaan mereka untuk bertahan hidup. Tapi, pernahkah kita bermimpi atau sekadar membayangkan untuk menjadi bagian di dalamnya? Tiap helaan napas dihantui kecemasan. Kematian adalah hal yang biasa, tapi senantiasa membuat kita berjengit tiap mendengar angkanya. Di tengah kericuhan pandemi, akankah mampu kita beradaptasi?
Adaptasi, sebuah kata yang cukup familiar di otakku yang notabene berjurusan IPA di sekolah menengah atas. Kata adaptasi banyak aku temui di buku pelajaran, khususnya biologi yang erat kaitannya dengan ruang lingkup makhluk hidup. Adaptasi merupakan refleks yang dimiliki makhluk hidup untuk bertahan di lingkungan dan suasana baru dengan cara membiasakan serta menyesuaikan diri. Dengan adanya pergeseran dari kehidupan yang biasa dijalani, kita dipaksa untuk berubah. Kita dipaksa untuk menyesuaikan, membiasakan, dan menempatkan diri pada wadah yang tak lagi sama.
Selama ini kita sudah hidup berdampingan dengan berbagai ancaman penyakit. Jatuh sakit, kemudian sehat kembali. Itu hal yang lumrah. Lalu, apa yang membedakan wabah COVID-19 ini? Jawabannya jelas karena belum ditemukan vaksin yang mampu membebaskan kita dari belenggu pandemi yang telah berjalan hampir dua tahun belakangan ini. Keluar rumah sedikit saja, berinteraksi dengan sesama barang sebentar saja mampu mendekatkan kita pada ancaman kematian.
Hakikat kita adalah sebagai makhluk sosial, tapi nyatanya malah dikurung di sepetak rumah dan dituntut berdiam diri hingga pandemi mereda. Hampir semua lapisan masyarakat terdampak. Aku yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah pun merasa sesak. Di dunia pendidikan, aku yang seorang mahasiswa mesti berhadapan dengan layar gawai hampir setiap saat alih-alih ke kampus dan menghadiri kelas tatap muka. Kurikulum pembelajaran juga banyak mengalami perubahan, konon katanya menyesuaikan dengan keadaan yang justru membuat individu yang terlbat di dalamnya stres. Tidak hanya aku, keluarga, teman-teman, semua orang merasa demikian. Lantas kita bisa apa?
Beradaptasi, menyesuaikan diri. Sebab kita belum punya pilihan lain selain mengatur diri, menanti pandemi usai dengan duduk diam di rumah tanpa harus hidup seperti zombie. Linglung, hilang arah, tanpa semangat hidup.
Di luar kesibukan sehari-hari seperti sekolah, kerja, dan urusan rumahan, kita semua tentu memiliki hobi. Hal-hal yang dilakukan untuk sejenak melepas penat. Hal-hal yang mampu membuat kita merasa kembali hidup. Aku sendiri memiliki cukup banyak coping mechanism di sela-sela kehidupan perkuliahan beserta tetek bengek organisasi yang tidak main-main padatnya. Di antaranya adalah menggambar (aku menyenangi seni walau tidak terlalu mahir), menonton serial film dari berbagai negara (hitung-hitung belajar bahasa juga), belanja buku kalau ada uang, dan yang paling utama adalah membaca buku. Jujur, dua hal terakhir adalah yang paling ampuh, hehe.
Akan kupaparkan sedikit alasan kenapa aku suka membaca. Dari kecil, aku dibiasakan membaca oleh kedua orang tuaku. Aku bersyukur karenanya dan kebiasaan itu masih melekat hingga sekarang. Buku favoritku semasa kecil ialah Cerita Rakyat dari Belanda. Cerita tentang lilin ajaib yang bisa mengabulkan segala permohonan, lonceng bernyanyi, serta kisah kuda kayu yang mengajarkan untuk tidak berputus asa dalam meraih sesuatu masih lekat berbekas dalam ingatan. Setiap ceritanya begitu berkesan entah bagi diriku di masa kecil maupun bagi aku yang telah beranjak dewasa ini. Bukunya masih kusimpan rapi walaupun bukunya sekarang sudah dalam keadaan telanjang (sampulnya lepas, saking seringnya kubaca ulang).
Bagiku, buku adalah pintu kemana saja, tiket keliling dunia. Bukan hanya dunia nyata, tapi juga dunia yang hanya bisa kita kunjungi tanpa benar-benar terlihat entitasnya. Masa-masa lampau jauh sebelum kita lahir, kastil-kastil sarat sihir, dunia dengan makhluk-makhluk yang hanya bisa kita selami dengan imajinasi. Buku menyajikan itu semua.
Selama pandemi, aku coba untuk mengelilingi keseharian saya dengan buku. Setiap jeda waktu, setiap waktu kosong, saya usahakan isi dengan membaca. Beberapa kali aku sempat mengunjungi toko untuk sekadar mengusir suntuk dan memanjakan mata dengan jajaran buku yang dipampang. Intensitas membeli buku pun meningkat tak terelakkan. Kebanyakan masih menumpuk belum terjamah. Biarlah mereka mengendap dulu, begitu pikirku tiap menatap tumpukan buku yang melambai-lambai minta dibaca.
Aku termasuk tipe pembaca yang lamban dan tidak suka membaca banyak buku dalam waktu bersamaan. Fokusku mudah terpecah dan sering kali tertukar antara isi buku satu dengan buku yang lain. Karenanya, tidak banyak buku yang kubaca selama pandemi ini. Mari, akan kuajak kalian berkenalan dengan beberapa judul buku yang telah kubabat habis beserta kesan-kesannya.
Setelah Aku Pergi (Ways to Live Forever) – Sally Nicholls
Sebagai salah satu tipe orang visual, aku tidak akan mengelak kalau yang pertama kali menarik minat terhadap suatu buku adalah sampulnya. Benar, sampul buku ini cantik sekali. Didesain oleh Martin Dima, sampulnya didominasi warna jingga dengan ilustrasi anak lelaki yang tak kalah lucu.
Pertama, apa yang pertama kali terbesit di pikiran kalian saat melihat sampul buku ini? Buku anak-anak kah? Dengan sampul yang seperti ini, kukira buku ini pasti ditujukan untuk anak-anak yang baru mulai gemar membaca. Jika sempat berpikir begitu, kalian salah besar—aku salah satunya. Kedua, cerita apa yang kalian harap penulis sajikan dilihat dari sampul buku ini? Apabila pembaca sekalian mengharapkan cerita ringan untuk sekadar selingan, kalian salah untuk kedua kalinya. Nyatanya, buku ini jauh dari kata ringan.
Buku ini mengisahkan tentang Sam, bocah laki-laki berusia 11 tahun yang mengidap penyakit Leukemia. Mengetahui jatah hidupnya di dunia tak lama lagi, Sam memutuskan untuk menulis buku mengenai bagaimana ia hidup berdampingan dengan penyakit mematikan itu, bagaimana ia berusaha mewujudkan keinginannya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di benaknya. Dengan ditemani orang-orang terdekatnya, Sam berusaha menikmati sisa waktunya sebagai bocah pada umumnya tanpa mencemaskan yang namanya kematian.
Dari sinopsisnya saja, sepertinya anak-anak akan ngeri duluan begitu menemui kata kematian. Apalagi kata tersebut banyak disebutkan secara eksplisit di tiap babnya.
Tulisan-tulisan yang Sam buat kebanyakan berupa daftar. Pada bab-bab awal, Sam menuliskan beberapa keinginan yang ingin diwujudkannya dengan bantuan sahabat seperjuangannya, Felix.
Dilihat dari mana pun, poin-poin tersebut rasanya sulit direalisasikan oleh seorang bocah yang waktu hidupnya tak lama lagi. Tapi, si tokoh utama dan sobatnya tidak berpikir demikian. “Kita bisa melakukan apa saja, apa saja!”, begitu katanya. Saat salah satu keinginan tersebut mustahil diwujudkan sebagaimana harusnya, Sam akan mencari jalan lain, jalan yang tak terpikirkan oleh orang dewasa.
Ada pun beberapa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis dalam kertas kecil. Semuanya diberi nama pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lengkap dengan nomor. Pertanyaan yang tertera kurang lebih seperti, ‘Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?’, ‘Sakitkah kalau mati?’, atau ‘Bagaimana kita tahu kita sudah mati?’. Tidak ada setitik ketakutan, yang tersirat murni rasa ingin tahu anak kecil terhadap ranah abu-abu kematian.
Meskipun gaya penulisan yang digunakan sederhana, buku ini lebih cocok dibaca oleh orang dewasa yang merasa jenuh dengan hidup. Walau bertokohkan anak-anak, makna yang berusaha disampaikan penulis terasa menohok hati. Kita seakan dikenalkan kembali pada kepolosan bocah yang diperkenankan bebas bermimpi dan dengan penuh harap menggantungnya tinggi-tinggi. Sesuatu yang sulit diwujudkan bukan berarti tidak bisa. Tuhan tak menciptakan satu jalan saja menuju Roma. Ingat, yang penting adalah perasaan yang ditimbulkannya.
Selain itu, kisah ini mengajarkan kita untuk menghargai waktu. Apa yang bisa dilakukan sekarang, lakukan. Dengan selesainya membaca buku ini, aku jadi tergerak untuk melakukan hal-hal yang telah lama kutunda-tunda, mimpi-mimpi berdebu yang sudah lama tersimpan. Kita mungkin bisa menunggu dan menunda, tetapi waktu tidak. Sebab tidak seorang pun tahu sejauh mana garis hidup kita membentang.
Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 – Cho Nam Joo
Buku ini pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019. Pada masanya, buku ini sempat menjadi best-seller dan masih begitu hingga sekarang karena ternyata buku ini telah dibaca oleh artis kelas dunia, RM dari BTS, yang menyebabkan buku ini makin populer saja.
Di dalam buku ini, kita akan dibawa mengarungi kehidupan seorang wanita korea Kim Ji-Yeong yang hidupnya biasa-biasa saja melalui kacamata Kim Ji-Yeong sendiri. Mulai dari Kim Ji-Yeong kecil yang hidup dengan keluarganya, Kim Ji-Yeong yang mulai mencari jati diri saat beranjak remaja, hingga lika-liku kehidupan dunia nyata saat mencapai usia dewasa dan menikah.
Si tokoh utama, Kim Ji-Yeong, berhasil menarik simpatiku karena kami memiliki kesamaan. Tidak, aku tidak mengalami hidup seberat yang dialami Kim Ji-Yeong, tapi aku cukup mengerti perasaannya sebagai sesama perempuan. Apalagi di usia yang mulai menginjak dewasa, gambaran-gambaran tentang kehidupan wanita dewasa yang dipaparkan sangat menarik untuk diikuti.
Poin utama yang kutangkap sepanjang cerita adalah bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Jarang ada yang namanya kesetaraan dan kaum wanita selalu berada di bawah. Diskriminasi antar gender seakan bukan hal besar. Banyak juga dipaparkan stigma yang berkembang bahwa perempuan harus seperti ini lah, menjadi itu lah, tidak boleh begini, dan dituntut mematuhi pikiran-pikiran tertentu. Para wanita didikte mesti menjadi perempuan yang demikian, sesuai dengan batasan yang ditetapkan orang-orang.
Contohnya, ada satu masa ketika Kim Ji-Yeong hampir mengalami pelecehan oleh teman lelakinya. Usai kejadian, tebak tiapa yang disalahkan? Kim Ji-Yeong, pihak perempuan, tentu saja.
‘Kenapa berbicara kepada sembarang orang?’ ‘Kenapa mesti sekolah jauh-jauh?’ ‘Kau perlu banyak belajar.’ ‘Kau harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas.’
Pernyataan serta pertanyaan semacam itu membingkai dan seakan menyudutkan bahwa hal buruk seperti pelecehan yang terjadi pada perempuan adalah kesalahannya sendiri. Sesak? Tidak adil? Tentu saja.
Di dalam salah satu bab yang menceritakan Ibunya, terkandung ide bahwasanya perempuan tak ayal hanya sebagai peran pendukung dalam hidup orang lain tanpa memiliki kisah sendiri. Segala jerih payah semata-mata dilakukan untuk orang lain hingga rela harus menjual mimpi.
Buku ini memberikan gambaran bahwa terlahir dan hidup sebagai seorang perempuan tidaklah mudah. Dalam setiap hela napas, banyak pemikiran yang harus kita patahkan, banyak mimpi yang mesti kita raih untuk membuktikan bahwa perempuan tak hanya sekadar diam dan berkutat mengerjakan urusan rumah tangga. Perempuan juga berhak sekolah, berhak berilmu. Perempuan bisa terbang tinggi tanpa dikekang statement-statement menjatuhkan. Perempuan bisa dan bebas melakukan apa saja. Perempuan memiliki hidup penuh mimpi yang ingin diperjuangkannya. Bukan untuk orang lain, tapi demi diri sendiri.
Setelah beberapa bulan mogok menulis, akhirnya aku bisa menuangkan pikiran lagi sekian lama. Sepertinya ini pertama kalinya aku menuliskan sesuatu yang sifatnya pribadi nan penuh pendapat, ternyata asyik juga ya. Tulisan ini kubuat dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Gramedia Pustaka Utama yang ke-47. Selamat ulang tahun GPU dan terima kasih telah menemani perjalanan membacaku dengan buku-buku hebat.
Akhir kata: Di saat kita terbelenggu dalam kubah karantina, buku adalah teman yang setia.
2 notes
·
View notes
Text
Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 : Sebuah Kisah Misoginis
Judul buku : Kim Ji-yeong Lahir 1982
Penulis : Cho Nam-joo
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 192
Tahun terbit : 2019
Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.
Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karir serta kebebasannya demi mengasuh anak.
Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.
Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.
Kim Ji-yeong adalah manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.
Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.
***
Sinopsis
Kim Ji-yeong, Jeong Dae-hyeon dan Jeong Ji-won, adalah sebuah keluarga kecil yang tinggal di sebuah apartemen dengan biaya sewa bulanan yang tidak bisa dikatakan murah. Ditambah, semenjak mereka memiliki Jeong Ji-won, Kim Ji-yeong diharuskan meninggalkan pekerjaan yang amat disukainya untuk merawat dan mengasuh Jeong Ji-won.
"Selain itu, praktik umum selama ini adalah suami bekerja dan istri membesarkan anak." - hlm 143
Meski menjadi ibu rumah tangga kelihatan menyenangkan karena tidak perlu bekerja banting tulang, Kim Ji-yeong justru merasa tertekan. Pada nyatanya, menjadi Ibu rumah tangga bukan berarti hanya akan bermain-main dengan anak dirumah. Melainkan mengganti popok, memandikan, memberi makan, menidurkan dan menyusui. Belum lagi ada banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara bersamaan seperti mencuci baju, mengepel, menyapu, mencuci piring, dan masih banyak lagi. Kim Ji-yeong sangat-sangat menyayangkan pekerjaannya sehingga semua yang ia lakukan sekarang nampak memberatkannya. Dari sanalah kemudian Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh. Ia seringkali berperilaku layaknya orang tua, anak kecil atau bahkan orang lain.
"Sejenak Jeong Dae-hyeon menatap istrinya dengan perasaan geli sekaligus heran, lalu ia menarik tangan istrinya, mengeluarkan jarinya dari mulut. Kim Ji-yeong mengecap-ngecapkan lidah seperti anak kecil, dan tetap tertidur pulas." -hlm 10
Pada puncaknya, yaitu pada saat perayaan chuseok, di rumah Jeong Dae-hyoen, Kim Ji-yeong kembali berperilaku aneh dan bahkan menyinggung orang tua Jeong Dae-hyoen dengan berkata kasar. Dari kejadian itu, Jeong Dae-hyeon pun kemudian meminta Kim Ji-yeong menemui psikiater dengan alasan bahwa ia kesulitan tidur. Kim Ji-yeong pun menyetujuinya.
Kemudian, dari sini kita akan langsung dibawa untuk menyelami masa lalu Kim Ji-yeong. Ayah Kim Ji-yeong adalah seorang pegawai PNS rendahan. Sedang Ibunya adalah ibu rumah tangga yang mengurus tiga orang anak, Kim Ji-yeong, kakak perempuannya, adik laki-lakinya, sekaligus juga ibu mertua alias nenek Kim Ji-yeong. Melalui kisah masa lalu ini kita akan diajak untuk menyadari bagaimana laki-laki selalu lebih diistimewakan ketimbang perempuan. Lebih mirisnya lagi, praktik ini seolah-olah telah terjadi secara turun temurun sehingga banyak para nenek yang pada dasarnya adalah bagian dari kaum perempuan juga ikut melakukan hal serupa.
“Sulit sekali menggambarkan nada suara, sorot mata, gerakan kepala, posisi bahu, dan tarikan napas nenek mereka menjadi satu kalimat, tetapi gambaran yang paling mendekati adalah nenek mereka seolah-olah menyatakan, Berani-beraninya kau mengambil barang milik cucu laki-laki kesayanganku?" - hlm 22
"Banyak guru yang memilih lima atau enam orang anak perempuan yang pintar untuk melakukan tugas-tugas tertentu, menilai, atau memeriksa PR semua orang ..., tetapi ketika mereka memilih ketua kelas, mereka selalu memilih anak laki-laki." - hlm 44
Selain itu, dalam buku ini pula kita akan diberitahu aspek-aspek lain seperti kondisi ekonomi, lingkungan sosial serta ranah pendidikan yang ditempuh Kim Ji-yeong. Bagaimana perjuangan Kim Ji-yeong sampai ia bisa diterima bekerja pada salah satu agensi humas. Dan bagaimana pada akhirnya Kim Ji-yeong harus melepas semuanya untuk menjadi Ibu rumah tangga dan merawat anaknya.
“Walaupun pekerjaannya tidak menghasilkan banyak uang, tidak mengubah dunia, dan tidak membuatnya berhasil mendapatkan apa pun yang diinginkannya, ia tetap merasa masa-masa itu adalah masa-masa yang menyenangkan” - hlm 145
Sedang pada bab terakhir buku ini, sudut pandang akan dialihkan pada sudut pandang sang penulis buku yang berprofesi sebagai psikiater yang menangani kasus Kim Ji-yeong. Bagaimanakah akhir dari cerita Kim Ji-yeong? Kalian harus membacanya dibuku ya teman-teman. XD
Tentang Penulis
Untuk bagian ini aku cukup ambil info di halaman akhir buku ya teman-teman. Jadi, Cho Nam-joo ini lahir pada tahun 1978 di Seoul. Setelah lulus dari fakultas sosiologi, Universitas Ewha, ia bekerja selama sepuluh tahun sebagai penulis program TV terkait isu-isu terkini seperti PD Note, Consumer Report (Complaint Zero), Live This Morning.
Cover
Satu hal yang bisa aku katakan saat pertama kali melihat sampul buku ini yaitu, lelah. Emosi yang ditunjukkan dalam sampul ini adalah emosi seolah kita telah melakukan pekerjaan berat, tapi tak satupun orang yang menghargai kerja keras kita. Garis mata yang redup dan garis bibir yang datar membuat kita ikut merasakan bagaimana rasanya kehilangan harapan. Lagi, menurutku, sampul buku ini sudah sangat relevan dengan isi buku. Gambar wanita pada sampul itu secara tidak langsung telah menggambarkan paras Kim Ji-yoeng. Sampul buku dengan gambar abstrak face women ini benar-benar seperti karya seni watercolor art yang sangat menawan dan penuh perasaan. Jika saja sampul ini ada pada pameran seni, mungkin aku akan menawarnya untuk dibeli.
Genre
Bagiku buku ini bukan sekedar buku fiksi dengan kisah menarik, tapi juga mengandung makna-makna mendalam serta topik-topik yang menarik. Bisa kukatakan genre dari buku ini adalah fiksi dengan sub genre kesehatan mental, feminisme, seksisme, misoginis dan partiarki. Namun, terkadang aku menganggap buku ini adalah biografi Kim Ji-yeong, karena buku ini sebagian besar mengisahkan perjalanan hidup Kim Ji-yeong dari saat ia kecil hingga saat ini.
Plot
Campuran, adalah plot yang digunakan penulis dalam menuliskan karya ini. Dalam bab awal kita akan langsung disuguhkan klimaks cerita mengenai kehidupan Kim Ji-yeong yang ia jalani saat ini. Namun kemudian, kita akan dibawa kembali ke masa lalu. Pada masa kecil Kim Ji-yeong dan bagaimana kehidupan Kim Ji-yeong sebelum ia menjadi Kim Ji-yeong yang sekarang ini. Kita akan diajak bernostalgia menapaki setiap perjalanan hidup yang dijalani Kim Ji-yeong atau bahkan keluarganya. Barulah, diakhir cerita kita akan kembali difokuskan pada konflik yang terjadi dan penyelesaiannya.
POV
Untuk sudut pandang, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga yang mana dalam buku ini penulis berperan sebagai psikiater yang menangani kasus Kim Ji-yeong. Jadi, secara keseluruhan, kita seolah mendengar kisah hidup Kim Ji-yeong dari cerita yang disampaikan oleh sang psikiater tersebut. Kim Ji-yeong yang menuruti suaminya untuk bertemu psikiater, meski tidak mudah untuk membuka kisah masa lalunya, tetap menceritakan hal tersebut kepada sang psikiater yang kemudian kita bisa mendengar kisah Kim Ji-yeong ini dari psikiater tersebut. Asyik sekali, kita merasa seolah-olah sedang membaca orang yang sedang menceritakan sebuah kisah. Apa kalian pernah melihat kontes story telling? Jika pernah, bayangkan saja seorang psikiater sedang mengikuti kontes itu dan berdiri diatas panggung seraya membawakan kisah Kim Ji-yeong. Apa kalian tertawa membayangkannya? Aku sih sedikit.
Character
Titik fokus dari buku ini jelas saja Kim Ji-yeong sendiri. Semua tokoh yang ada didalamnya merupakan orang-orang yang berada di lingkaran hidup Kim Ji-yeong sendiri. Keluarganya, teman-temannya, suaminya, anaknya, dan orang-orang lain yang Kim Ji-yeong pernah temui. Di buku ini, karakter Kim Ji-yeong digambarkan sangat umum sehingga pembaca bisa menyamakan diri mereka dengan watak yang dicerminkan Kim Ji-yeong.
Sedangkan tokoh laki-laki dalam buku ini dikisahkan memiliki watak yang buruk, meskipun dalam waktu tertentu mereka nampak baik. Tentu saja hal ini relevan dengan topik yang dibahas dalam buku ini. Keadaan dibuat sedemikian rupa sehingga laki-laki selalu dibuat lebih unggul dan perempuan selalu disalahkan atau diremehkan.
"Hati-hati dengan ucapanmu, karena itu bisa menjadi kenyataan. Tidur saja. Jangan berkata tidak-tidak" -hlm 26
Ucap Ayah Kim Ji-Yeong saat Ibu Kim Ji-yeong bertanya tentang bagaimana jika anak ke empat mereka tetap perempuan.
Juga, ketika perusahaan tempat Kim Ji-yeong dulu bekerja terkena masalah pemasangan kamera dikamar mandi wanita, seorang karyawan wanita menegur sang direktur untuk meminta keadilan dan supaya pekerja lelaki yang melakukan pelecehan tersebut dilaporkan. Sang direktur yang adalah seorang pria mengatakan,
"Apa yang akan terjadi pada perusahaan ini kalau semua orang sampai tahu? Semua karyawan pria memiliki keluarga dan orang tua. Kita tidak mungkin merusak kehidupan mereka, bukan? Bagaimanapun, kalian para wanita juga akan dirugikan apabila semua orang tahu foto-foto klian tersebar luas." -hlm 156
Saat Kim Ji-yeong duduk menikmati waktu luangnya sambil menunggui Jeong Ji-won yang tidur di kereta dorong sambil minum kopi, seorang pria duduk tidak jauh dan mengatakan,
"Aku juga mau punya suami yang bekerja sehingga aku bisa berjalan-jalan santai sambil minum kopi" - hlm 164
Tokoh lain yang menjadi sorotan adalah nenek Kim Ji-yeong. Dalam buku ini nenek digambarkan sebagai sosok yang konservartif dan masih berpegangan pada budaya lama, termasuk lebih mengunggulkan kaum laki-laki dibanding kaumnya sendiri.
"Aku punya empat anak laki-laki, karena itu aku bisa makan makanan yang diberikan anakku dan bisa tidur di rumah yang disediakan anakku. Walaupun anakku mungkin tidak kaya, aku tetap bisa mendapatkan semua itu karena aku punya empat putra." - hlm 25 (padahal anak perempuannyalah yang bekerja banting tulang membiayai pendidikan putra-putranya)
Sedang tokoh perempuan lain dalam buku ini menjadi tokoh yang paling bermasalah dan banyak dirugikan. Saat itu, ketika Kim Ji-yeong pulang dari kursus dan diikuti oleh seorang lelaki yang tidak dikenalnya, Kim Ji-yeong justru dimarahi ayahnya.
"Kenapa ia harus kursus ditempat sejauh itu? Kenapa ia berbicara kepada sembarang orang? Kenapa ia memakai rok sependek itu? Ia harus banyak belajar. Ia harus berhati-hati, harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas. Ia harus menghindari jalan yang berbahaya, waktu yang berbahaya, dan orang yang berbahaya. Kalau ia sampai tidak sadar dan tidak menghindar, maka ia sendiri yang salah." -hlm 65
Gaya bahasa
Buku ini menggunakan gaya bahasa semi formal yang nyaman dibaca. Karena tema buku yang bisa dinilai agak berat dan memiliki banyak penjelasan dengan sumber tertulis, membuat pemilihan bahasa semi formal cocok untuk diaplikasin pada buku ini. Sejauh ini, aku sama sekali tidak menemukan adanya typo atau kalimat yang membuatku bingung. Andai ada typo, kurasa itu sama sekali tidak mengganggu karena aku bahkan tidak menyadarinya selama membaca buku ini. Oh ya, dan kupikir aku juga harus berterimakasih kepada penerjemah yang menerjemahkan buku ini. Aku sedikit punya pengalaman membaca buku terjemahan lain yang terjemahan bahasanya susah kumengerti.
Feeling
Suasana yang dipancarkan ketika kita membaca tiap lembar buku ini adalah suasana yang menurutku selalu suram meski pada kenyataannya ada beberapa keberhasilan yang dicapai oleh tokoh dalam buku tersebut. Meski para tokoh mendapat apa yang mereka inginkan, pembaca akan tetap dibuat tidak yakin dengan hal itu dan terus-menerus bertanya dan menunggu apakah ada hal lain lagi yang yang bisa menghancurkan impian itu. Menurutku, hal ini bukanlah sebuah kekurangan, tapi ini adalah sebuah bentuk kepandaian penulis dalam memberi kesan pada buku ini. Pantas saja suram, bukankah penulis memang sedang menelusuri masa kelam Kim Ji-yeong? Tentu saja ini adalah wajah dari buku ini.
Ending
Demi apapun ending kisah Kim Ji-yeong sangat tidak bisa di percaya. Menurutku ada sedikit plot twist diakhir yang bisa membuat pembaca ingin mengumpat, termasuk aku. Saking epiknya pembawaan sang penulis, pembaca akan dibuat tercengang ketika membaca kalimat terakhir buku ini. Overall, endingnya sangat mencerminkan realitas dan membuat kita menampar diri sendiri untuk kembali menyadari hal yang sempat kita lewatkan dan lupakan.
Similarity
Aku tidak akan mengatakan jika cerita ini sama dengan cerita tertentu. Tentu saja cerita ini sangat orisinil. Namun, keserupaan cerita ini dengan beberapa cerita yang pernah kubaca tidak bisa aku lewatkan begitu saja. Pada bab awal buku, saat Kim Ji-yeong digambarkan bisa berubah kepribadian, terkadang menjadi orang tua, anak kecil, atau bahkan orang lain, aku sempat memikirkan buku lain dengan judul "24 Wajah Billy" atau "24 Billy's face". Dalam kedua buku itu sama- sama digambarkan bagaimana kepribadian seseorang bisa sangat berubah dalam waktu sekejap tanpa disadari orang itu sendiri. Jujur saja Aku sangat terkesan dengan pemaparan kasus ini, Aku merasa mendapat pencerahan setelah membaca buku teori psikologi yang sedikit banyak membuatku kesulitan memberi gambaran dalam kasus psikologi kepribadian ganda atau sejenisnya. Meskipun di buku Kim Ji-yeong disampaikan bahwa hal yang dihadapi Kim Ji-yeong adalah depresi pascamelahirkan yang berubah menjadi depresi pengasuhan anak, akan tetapi kasus kepribadian yang berubah-ubah itu selalu mengingatkanku pada kedua buku ini. Bedanya, 24 Wajah Billy lebih menitik beratkan pada kasus multiple personality yang mengacu pada kriminalitasnya, sedang Kim Ji-yeong pada pengalaman misoginisnya. Selain itu, perubahan personality yang dimiliki Billy cenderung tetap dan memiliki identitasnya masing-masing. Sedangkan Kim Ji-yeong hanya sekedar berubah secara general seperti menjadi anak kecil, orang tua atau meniru orang lain.
Karya lain yang serupa namun tak sama adalah The Handmaid's Tale, sebuah buku yang kemudian diangkat menjadi drama series dengan judul yang sama. The Handmaid's Tale ini mengisahkan tentang bagaimana para wanita yang subur akan kehilangan semua identitasnya kecuali melayani tuannya dalam hal 'beranak'. Para perempuan ini akan selalu hidup layaknya barang yang dimiliki oleh tuannya. Dalam buku ini, setiap perempuan yang menjadi handmaid pasti akan kehilangan seluruh kebebasan dan haknya sebagai perempuan. Baik handmaid dan Kim Ji-yeong, keduanya menceritakan tema yang sama yaitu diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Film
Selain buku, Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 ini juga telah difilmkan. Film ini dibintangi oleh Goo Yoo sebagai Jeong Dae-hyeon dan Jung Yu-mi sebagai Kim Ji-yeong. Film ini rilis pada 23 Oktober 2019 di bioskop Korea Selatan. Sedang di Indonesia, film ini dirilis pada 20 November 2019. Aku sendiri sebenarnya telah menonton film Kim Ji-yeong terlebih dahulu sebelum membaca bukunya. Aku tertarik membaca buku Kim Ji-yeong setelah menonton filmnya. Baik buku atau film, keduanya sama-sama bagus, nuansa keduanya benar-benar sama. Acting para pemain juga baik sekali sehingga bisa membawakan peran sesuai karakter tokoh yang diperagakan. Bahkan aku berkali-kali berdecak kagum pada Jung Yu-mi yang begitu mendalami peran Kim Ji-yeong. Aku masih ingat sekali bagaimana aku bisa langsung menangkap kondisi psikologis yang dialami Kim Ji-yeong saat menatap Jung Yu-mi pada adegan pertama film. Meski begitu, tentu saja, pemaparan di film tidak akan sebanyak dan sedetail di buku. Jika kalian membaca buku lalu menonton film, mungkin kalian akan sedikit merasa hampa karena banyak part-part yang akan di potong. Hal seperti itu memang lumrah terjadi. Tidak mungkin film berdurasi 1-2 jam bisa memuat seluruh isi buku. Tapi, karena aku menonton film lalu membaca buku, aku bukannya merasa hampa tapi merasa terlengkapi. Hal-hal yang aku bingungkan di film bisa kumengerti saat aku membaca bukunya.
Controversy
Dilansir dalam salah satu blog gramedia.com, buku Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 ini juga sempat menuai kontroversi lantaran membahas topik feminisme yang dianggap tabu di Korea Selatan. Beberapa Idol K-pop yang membaca buku ini seperti Irene Red Velvet juga sempat dikecam. Selain itu, pemeran utama film, yaitu Jung Yu-mi juga mendapat protes karena dinilai membela gerakan feminisme yang bertolak belakang dengan konsep patriarki yang selama ini berlaku. Bahkan Setelah buku itu terbit, kaum pria di sana membuat sebuah projek crowdfunding untuk memproduksi buku tandingan dengan judul Kim Ji Hoon Born 1990. Namun pada akhirnya, projek tersebut ditarik. Belum lagi aksi #MeToo atau di Korea Selatan dikenal dengan #WithYou yang meresahkan kaum pria Korea Selatan.
Meski sempat menggemparkan, pada nyatanya buku ini menjadi salah satu buku paling best seller mengalahkan buku karya Shin Kyung Sook yang berjudul Please Look After Mom, yang rilis pada 2009. Buku Kim Ji-yeong ini telah diterjemahkan dalam 16 bahasa dan terjual lebih dari satu juta kopi. Lagi, terlepas dari segalanya, bagiku buku ini sangatlah menginspirasi, buku ini seolah sebuah pintu yang yang menuntun kita pada dunia dengan perspektif yang berbeda yang menyadarkan kita akan nilai-nilai kehidupan yang sempat kita sisihkan. Jadi, bagaimana teman-teman, apa kalian tertarik membaca buku ini? Aku berharap kalian termasuk dalam satu juta lebih orang yang membaca buku ini. See you.
5 notes
·
View notes
Text
BOOK REVIEW :)
Patriarki dalam kbbi dijelaskan sebagai perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Kim Ji-Yeong lahir tahun 1982 sebuah novel dari Korea Selatan oleh Cho Nam-Joo mengisahkan seorang Kim Ji-Yeong yang merupakan bagian dari korban patriarki itu sendiri. Kim Ji-Yeong seorang ibu rumah tangga yang merelakan kariernya untuk mengurus anak dan suaminya. Namun Kim Ji-Yeong mulai menunjukkan keanehan ia mulai depresi.
Dalam bab-bab berikutnya akan di bahas kilas balik kehidupan Kim Ji-Yeong dari masa kecil, remaja dan dewasa. Kim Ji-Yeong kecil kerap bertanya-tanya mengapa ia dan kakak perempuannya selalu dinomor duakan sedangkan adik bungsu laki-lakinya menjadi prioritas utama. Adik laki-lakinya mendapatkan sepatu, kaus kaki dan baju yang serasi serta kamar sendiri sedangkan Kim Ji-Yeong harus sekamar berdua dengan kakaknya dan tidak mendapatkan sepatu, kaus kaki maupun baju yang serasi. Kim Ji-Yeong remaja pernah diikuti seorang laki-laki aneh tapi yang di salahkan oleh ayahnya adalah dirinya karena memakai rok terlalu pendek. Kim Ji-Yeong saat bekerja sulit mendapat promosi jabatan sedangkan laki-laki tidak. Kim Ji-Yeong mengapa selalu disalahkan atas perbuatan yang bukan salahnya?.
Kim Ji-Yeong menikah dengan Jeong Dae-Hyun senior semasa kuliahnya, ia merupakan tipikal suami modern yang berbagi pekerjaan rumah maupun mengasuh anaknya (pokoknya impian). Sayangnya orangtua Jeong Dae-Hyun sangat kolot menurut mereka Jeong Dae-Hyun seorang anak laki-laki yang berharga setiap kali ada acara keluarga besar Ji-Yeong lah yang kerepotan menyiapkan banyak hal di rumah mertuanya. Dalam hal ini Jeong Dae-Hyun dikritik ibunya saat membantu istrinya menyelesaikan pekerjaan rumah. Bagi orangtua Jeong Dae-Hyun melakukan pekerjaan rumah merupakan kewajiban istri (Ini merupakan awal bab di mulainya cerita).
Apakah Kim Ji-Young bisa pulih kembali? Baca dan temukan jawabannya sendiri ya ;).
Kim Nam Joon (pacar saya :D) pernah membaca buku ini dan kalau tidak salah juga rekomendasikan untuk membaca. beberapa selebriti di Korea Selatan konon juga banyak yang membaca dan merekomendasikannya.
Bintang 4.5/5 dari saya, dari buku ini saya menjadi tahu bahwa pola pengasuhan sewaktu kecil dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sangat berdampak ketika dewasa. Saya sangat suka buku ini ❤.
0 notes
Photo
. Hello booklovers!!! This month 🅳🅴🅲🅴🅼🅱🅴🆁 🆆🆁🅰🅿🆄🅿 2019, I read 19 books. And now, it's approaching new year too. I'm excited to prepare my next TBR on next year. . Here's my resume stars of wrap-up of the books: . 2 book of 🌟🌟🌟🌟🌟: - Pachinko (Min Jin Lee) - Greyfriars Bobby (Eleanor Atkinson) . 4 books of 🌟🌟🌟🌟: - My Not So Perfect Life (Sophie Kinsella) - Deception Point (Dan Brown) - A Little Princess (Frances Hodgson Burnett) - The Secret Garden (Frances Hodgson Burnett) . 12 books of 🌟🌟🌟: - A Secret Splendor (Sandra Brown) - Take Me Home For Christmas (Brenda Novak) - Close Enough to Touch (Victoria Dahl) - Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 (Cho Nam-Joo) - Tempting Kate (Jennifer Snow) - The Untamed Mackenzie (Jennifer Ashley) - The Good Girl (Mary Kubica) - When Summer Comes (Brenda Novak) - Perang Yang Mengubah Sejarah Buku Kedua - Raja Arthur dan Kesatria Meja Bundar (Martin J. Dougherty) - Secrets of the Tulip Sisters (Susan Mallery) - The Sweetest Hours (Cathryn Parry) . 1 books of 🌟🌟: - The Buried Giant (Kazuo Ishiguro) . . #decemberwrapup #decemberwrapup2019 #book #bookgram #instabook #instabooks #bookstagram #bookstagrammer #bookstagramfeature #booksofinstragram #readingchallenge #goodreads #readingbooks #booklover #bookish #booknerd #booknerdigans #bookgeek #bookaddict #bookaholic #bookworm #bookporn #ilovebooks #ilovereading #ilovetoread #igreads #igbooks #bacaituseru #pecandubuku #ayomembaca https://www.instagram.com/p/B6rkrfYgDKj/?igshid=cy0w50u2ph4g
#decemberwrapup#decemberwrapup2019#book#bookgram#instabook#instabooks#bookstagram#bookstagrammer#bookstagramfeature#booksofinstragram#readingchallenge#goodreads#readingbooks#booklover#bookish#booknerd#booknerdigans#bookgeek#bookaddict#bookaholic#bookworm#bookporn#ilovebooks#ilovereading#ilovetoread#igreads#igbooks#bacaituseru#pecandubuku#ayomembaca
0 notes
Text
Tidak ada orang yang langsung pintar segalanya, bukan? Semua orang bisa setelah belajar.
Ibu Jeong Dae-hyeon (Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982)
0 notes
Text
#Resensi - Kim Ji Yeong Lahir 1982. Novel Feminitas Yang Dikecam!
#Resensi – Kim Ji Yeong Lahir 1982. Novel Feminitas Yang Dikecam!
Salah satu buku dalam #resensi yang sudah dibuat filmnya. Ya, Kim Ji Yeong lahir tahun 1982 merupakan novel yang tidak terlalu tebal dan sukses membuat korea selatan gempar serta menuai banyak kritikan. Novel ini sebenarnya menceritakan kisah Kim Ji Yeong yang hidup di era tahun 1982 dimana pandangan feminisme dianggap sangat bertentangan dengan norma yang ada. Bagaimana kisah ini menuai…
View On WordPress
0 notes