Tumgik
#bersamaberadaptasi
l-edelweis · 3 years
Text
Menghilang untuk Menemukan: Kembali Berkawan ditengah Ketidakpastian
Tumblr media
Sejak kecil, buku sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku. Buku selalu menjadi teman yang siap sedia hadir di kala sedih, senang, kesepian, atau bahkan disaat-saat aku berada dalam kebisingan. Menjadi kebahagiaan tersendiri ketika aku bisa asyik bercengkerama dengan buku. Menghabiskan banyak waktu berdua.
Meskipun terkadang aku juga merasa bersalah. Suatu hari aku pernah berjanji untuk bercengkerama dengannya setiap hari. Setidaknya dalam sehari aku meluangkan waktu sekian jam untuk membaca cerita-cerita miliknya. Tapi untuk merealisasikannya, memang tidak semudah ketika merencanakan. Bagaimanapun, janji adalah janji. Aku tetap harus berjuang untuk menepatinya.
Orang-orang mungkin melihat kami berdua seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Jujur, akupun terkadang merasa kehilangan apabila kami berjauhan. Kemanapun aku pergi, di dalam tasku kubawa serta kawanku itu. Lumayan, ketika diharuskan untuk menunggu sesuatu, maka akan ku manfaatkan untuk bercengkerama dengan buku.
Sedekat ini kami. Mungkin tidak ada yang mengetahui bahwa pada suatu masa aku pernah berjauhan dengan buku. Ada satu titik dimana aku menjauhi buku. Aku mengira bahwa bersahabat dengan buku adalah sebuah hal yang cukup membosankan. Namun sebetulnya ini juga disebabkan oleh faktor lain. Memang saat itu aku pernah tinggal di lingkungan yang melarang buku-buku tertentu. Hingga, kuanggap semua buku sama. Daripada aku lelah meminta kepastian, buku mana yang bisa aku ajak bercengkerama. Akhirnya aku putuskan untuk menjauhi teman masa kecilku itu.
Tumblr media
Ya, waktu kecil aku bersahabat baik dengan Lima Sekawan, buah karya ibu penulis novel anak dari Inggris, Enid Blyton. Hampir setiap diselenggarakan pameran buku di kotaku, aku tidak pernah absen untuk membeli karya-karyanya. Tapi cerita George dan ketiga sepupunya adalah yang paling aku tunggu-tunggu. Petualangan mereka betul-betul menjadi cerita paling menarik buatku saat itu. Senang sekali aku bisa menamatkan ke 21 serialnya.
Bertahun-tahun kemudian, aku cukup menjaga jarak dengan buku. Sedih sekali rasanya, tapi waktu itu aku belum betul-betul merasakan kesedihan. Mungkin aku terlanjur jengkel dengan lingkungan yang sedikit ‘memaksa’ aku untuk menjaga jarak dengan buku. Kesedihan itu baru betul-betul aku rasakan, barangkali setahun terakhir ini. Ketika pandemi menerpa, dan aku kembali berteman baik dengan buku. Bahkan, buku membantuku untuk kembali menemukan diriku. Siapa diriku.
Meskipun pada saat-saat itu aku tetap mencoba untuk tetap dekat dengan buku. Hanya membeli. Kalau kantong sedang beruntung, ditambah diskon-diskon yang mendukung, aku sempatkan datang ke toko buku untuk menambah kawan-kawanku itu. Kalau toko buku online memunculkan pemberitahuan diskon, tidak lupa kusempatkan juga membeli buku. Hanya sebatas seperti itu. Untuk urusan bercengkerama, nanti sajalah. Begitu kataku.
Lantas, waktu itu sekitar bulan Maret. Bosan sekali rasanya, hanya mengurung diri di rumah. Menunggu 14 hari berlalu terasa sangat lama sekali. Sedihnya, setelah masa 14 hari itu masa ‘mengurung’ diri di rumah justru terus diperpanjang. Bahkan hingga saat ini. Akhirnya aku mencari cara untuk mengusir kebosanan. Kucoba datangi rak buku, menemui kawan-kawanku yang selama ini cukup terpampang disana saja tanpa ku ajak bercengkerama. Akhirnya ku ajak salah satu dari mereka untuk bercengkerama. Hingga terus berlanjut, ke kawan buku-buku lainnya.
Waktu itu juga menjadi waktuku untuk kembali berselancar di twitter. Beruntungnya aku menemukan salah satu akun base yang berbicara literasi. Padahal sudah lama sekali aku tidak tinggal di dunia per-twitteran. Entah kenapa, hatiku saat itu diarahkan untuk menuju ke sana. Aku semakin yakin, bahwa skenario Tuhan untuk mengembalikan persahabatanku dengan buku adalah sebuah rezeki yang sangat membahagiakan.
Dari akun tersebut aku bertemu dengan teman-teman bookmania lainnya. Mereka banyak sekali yang memberikan rekomendasi macam-macam. Jumpalah aku dengan salah satu buku yang sekarang menjadi kawan baikku. Buku yang mengisahkan perjuangan Biru Laut Wibisana dan kawan-kawannya dalam judul Laut Bercerita. Buku ini membawaku menyukai dunia sejarah. Entah kenapa, selama ini aku menganggap bahwa sejarah adalah hal yang sangat membosankan. Mungkin karena dipengaruhi proses pembelajaran di sekolah dulu, yang isinya hanya menghafal tahun dan nama-nama penting. Tapi buku ini berbeda. Ia telah membuatku jatuh cinta dengan sejarah.
Saking cintanya aku dengan Laut, aku membaca betul-betul apa referensi mba Leila dalam proses penulisan buku itu. Ternyata Anak-anak Revolusi Budiman Sudjatmiko adalah salah satunya. Langsung aku mencari di toko online gramedia.com. Mengharap bisa menemukan buku yang sudah terbit sekian tahun lalu. Ternyata versi cetaknya sudah tidak ada. Tinggal softfile, sementara mataku belum bisa diajak kompromi untuk bisa berkawan dengan buku softfile.
Akhirnya kucari buku itu di toko buku Gramedia di kotaku. Saat itu, toko buku di kotaku sudah mulai membuka diri untuk dikunjungi. Karena aku sangat rindu dengan suasana toko buku, bahkan aku pernah datang ke Gramedia Bookstore hanya untuk melihat-lihat buku. Tidak membeli satupun buku. Aku sungguh merindukan pemandangan buku-buku bertumpuk dan, tentu saja, bau buku baru.
Tumblr media
Sampai mana tadi. Oya, buku Anak-anak Revolusi. Aku mencarinya di toko dan ternyata sudah tidak dicetak ulang. Sedihnya. Tapi, aku bukan orang yang mudah menyerah. Kuusahakan untuk mencari di marketplace lain, tapi mayoritas mereka menjual kawan-kawanku itu dalam versi bajakan. Aku sangat menghindari untuk memiliki barang hasil curian itu. Pada akhirnya setelah berulang kali mencari, aku menemukan buku itu di salah satu toko di Jawa Barat. Senang sekali rasanya.
Hingga saat ini, ku sadari bahwa buku ternyata betul-betul sahabat terbaikku. Aku merasa bahwa jalan kontribusiku, jalan kebermanfaatanku adalah melalui buku. Semoga. Aku bisa membagikan cerita dan banyak pelajaran yang aku dapatkan dari buku. Saat ini bahkan, aku sedang berusaha untuk merintis sebuah komunitas penggemar buku. Philo book, cinta kepada buku. Aku berharap komunitas ini akan benar-benar berdiri. Tolong doakan. Supaya semakin banyak yang merasakan kehangatan persahabatan dengan buku.
Harapan utamaku adalah, tidak akan ada orang yang pernah merasakan seperti aku, bagaimana sedihnya pernah jauh dengan buku. Bagaimana sedihnya pernah berjarak dan memandang buruk buku-buku. Memang, lingkungan mencintai buku harus diciptakan. Supaya tidak ada trauma-trauma dan stigma-stigma buruk terhadap buku.
Terimakasih banyak, buku! Kau telah membantuku dalam banyak hal!
Dan tentu, selamat ulangtahun penerbit favoritku sejak kecil! Semoga semakin menginspirasi para penduduk bumi pertiwi!
6 notes · View notes
wishmyday · 3 years
Text
Berita tentang adanya Covid-19 sudah mulai beredar di mana-mana. Di saluran-saluran TV nasional sudah mulai sering membahas tentang virus yang mulanya muncul di daerah Wuhan, China tersebut.
Bulan Maret awal tahun 2020, menjadi hari terakhirku untuk melihat teman-teman di sekolah sebelum akhirnya diliburkan selama satu tahun lebih. Tentu saja saat itu aku dan teman-teman senang bukan main, karena akhirnya kami bisa beristirahat dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun, ternyata libur yang katanya hanya akan berlangsung selama dua minggu tersebut tiba-tiba bertambah menjadi semakin lama —satu tahun lebih lamanya— dan selama libur itupun kami tetap melakukan pembelajaran di rumah secara online —atau orang-orang sering menyebutnya belajar secara daring— karena wabah Covid-19 terus meningkat di Indonesia.
Awal-awal masa pembelajaran secara daring aku merasa biasa saja. Cukup bisa mengatasi masalah pembelajaran yang ada. Namun, setelah beberapa minggu melaksanakan pembelajaran daring seperti ini aku merasa sedikit... errr... sedikit hampa... kesepian, dan juga stres menghadapi banyaknya materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Setelah dipikir-pikir, ternyata pembelajaran di sekolah bersama-sama dan bertemu langsung dengan teman-teman tidaklah buruk juga. Tapi ya sudahlah, keadaan yang memaksa. Mau bagaimana lagi 'kan?
Nah, kawan karena masa pandemi inilah aku bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca-baca buku, selain buku pelajaran tentunya. Sebenarnya, aku memang sudah tertarik dengan buku dan dunia baca-tulis semenjak sekolah dasar —yang entah mulai dari kelas berapa, aku lupa— namun, baru ketika SMA ini —selama pandemi ini terutama— aku bisa lebih leluasa meluangkan waktu untuk hobi membacaku ini.
Selama pandemi ini ada beberapa buku yang aku nikmati dan sekaligus aku ambil valuesnya untuk... yaa sedikit-banyak aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Juga tak sedikit yang kujadikan sebagai inspirasi, motivasi, dan semangat dalam belajar.
Oh iya! Buku-buku terbitan dari Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang aku baca saat pandemi ini antaranya:
1. Tokyo dan Perayaan Kesedihan
Buku karya dari Ruth Priscilia Angelina tersebut sangat cocok dijadikan bacaan saat di rumah saja di masa pandemi seperti ini. Cerita yang mengisahkan tentang Shira Hidajat Nagano yang melarikan diri ke Tokyo untuk menemukan penyelesaian paling terencana dalam hidupnya. Namun, di perjalanan dalam menemukan penyelesaian tersebut Shira dipertemukan dengan Joshua dan membawa mereka dalam sebuah perjalanan yang berharga bagi hidup mereka berdua.
Buku ini mengajarkanku betapa berharganya setiap pertemuan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Shira yang keras kepala dan berpegang teguh pada pendiriannya serta Joshua yang mampu memvalidasi keputusasaan Shira. Akan membawa kita ke dalam jawaban-jawaban yang tidak pernah kita kira sebelumnya.
2. Autumn in Paris
Buku kedua adalah buku karya Ilana Tan —Pengarang Mega Bestseller— yang mengisahkan tentang Tara Dupont yang menyukai Paris dan musim gugur. Dia bertemu dengan Tatsuya Fujisawa yang membenci Paris dan musim gugur. Lalu, perjalanan mereka berdua pun dimulai, tanpa menyadari adanya benang yang menghubungkan mereka berdua dengan kisah masa lalu, yang akan membawa mereka —Tatsuya khususnya— pada sebuah keputusan yang berat.
Di buku yang berkisah tentang Tara dan Tatsuya ini benar-benar membuat perasaanku menjadi campur aduk. Takdir yang tidak mereka sangka ternyata malah membuat salah satunya kehilangan salah satu dari mereka untuk selama-lamanya. Sebuah pengorbanan perasaan agar salah satu dari mereka tetap bisa menjalankan kehidupan yang normal. Sungguh membuat hati teriris. Tapi buku ini benar-benar hebat. Dan plotnya pun juga tidak terduga, sehingga pembacanya akan mendapatkan sensasi yang berbeda ketika membaca buku ini.
3. You Really Got Me
Buku selanjutnya adalah You Really Got Me karya dari Dewie Sekar. Buku ini bercerita tentang Trisna yang sudah jatuh hati pada Mas Putra, sepupu temannya semasa kuliah dulu. Trisna jatuh hati pada Mas Putra sejak awal berkenalan. Namun, perasaan Trisna selalu mendua soal lelaki tersebut. Satu sisi Trisna ingin Mas Putra tahu tentang perasaannya, di sisi lain dia juga takut lelaki tersebut tahu. Terlebih lagi Trisna menyadari sebuah pertanyaan yang sangat pelik yang membuatnya semakin takut Mas Putra akan menjauhinya nantinya.
Buku yang sedikit complicated tentang perasaan-perasaan yang dirasakan oleh Trisna. Dan mengajarkan arti penting sebuah keluarga bagi kita. Buatku realized bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan, tidak dapat ditolak ataupun dicegah. Namun, cinta juga yang akan membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi seseorang yang mampu bertahan dalam situasi apapun. Mengajarkan bahwa cinta terkadang tidak harus saling memiliki. Mengajarkan bahwa cinta adalah sebuah pengorbanan dan keikhlasan.
4. Heart Reset
Buku keempat. Sebuah teenlit, yang mengisahkan tentang kisah cinta segitiga antara Anaya, Dipta, dan Abi. Yang berakhir pada penyesalan Dipta karena tidak berani mengungkapkan perasaannya pada Anaya. Karya dari Trissella ini mengingatkanku tentang mantan crushku di sekolah yang berakhir tidak jelas karena dia tidak mengatakan apapun tentang perasaannya padaku. Padahal aku sudah berusaha mengungkapkan perasaanku padanya!? Tapi ya sudahlah, jika benar-benar berjodoh dia tidak akan hilang kemana-mana bukan? (Astaga padahal aku masih SMA!). Sepanjang membaca kisah tiga manusia itu, aku merasa ikut andil di dalamnya. Aku merasa kesal dengan Dipta tapi juga merasa kasihan sekaligus. But overall, buku ini cukup recommended bagi teman-teman yang ingin merasakan sensasi cinta segitiga yang sedikit-banyak rumit di antara tiga manusia tersebut.
Empat buku itu bisa dikatakan yang paling related sebagai penghibur dan sekaligus temanku di kala aku merasa stres akan tugas-tugas yang aku dapat dari sekolah, juga penghibur di kala aku mengingat mantan crushku yang aku tidak tau kabarnya bagaimana sekarang ini. Tapi semoga saja dia dalam keadaan baik-baik saja dalam hal apapun itu.
Ah! Sebenarnya masih ada banyak sekali buku, terutama yang merupakan terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang ingin aku tuliskan. Tapi kurasa cukup empat buku itu saja yang mewakili perasaanku. Terutama perasaan sayang dan cinta yang pernah hadir untuk seseorang yang.. yaa.. bisa dibilang berharga dalam hidupku walaupun kehadirannya —lebih tepatnya interaksinya bersamaku— harus berakhir dengan tidak cukup baik.
Aku ingat waktu itu, sekitar pertengahan tahun 2020. Di akhir bulan Juli, kisahku dan dia harus berakhir dengan meninggalkan kenangan yang cukup berharga bagiku. Bahkan selama enam bulan pertama aku rasa hidupku benar-benar berantakan. Dan hatiku tidak tertata rapi. Namun, dalam enam bulan dan setelah enam bulan tersebut dengan buku-buku sebagai temanku, aku merasa lebih baik lagi secara perlahan-lahan. Dan mulai mengikhlaskan berakhirnya hubunganku dan dia. Serta membuatku semakin bersemangat pula dalam meraih mimpi-mimpiku. Agar nantinya aku tidak perlu merasa malu jika bertemu lagi dengannya. Biar dia saja yang menyesal karena telah memutuskan hubungan yang sebenarnya masih abu-abu ini. Dan semoga pula mimpi-mimpiku dapat terwujud dengan baik. Amin.
Di akhir tulisan ini pula, aku memiliki harapan besar suatu saat nanti karyaku dapat diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Menjadi karya yang akan diingat banyak orang, dijadikan inspirasi, motivasi, dan semangat bagi mereka. Seperti aku yang juga mendapatkan inspirasi, motivasi, dan semangat dari buku-buku yang pernah kubaca.
3 notes · View notes
badclues · 3 years
Text
Perjalanan Adaptasiku Bersama Buku
Aku pribadi yakin hampir semua dari kita pernah membaca buku atau menonton film tentang wabah, virus, dan berbagai film menakutkan yang di dalamnya orang-orang mesti berbuat hal di luar kebiasaan mereka untuk bertahan hidup. Tapi, pernahkah kita bermimpi atau sekadar membayangkan untuk menjadi bagian di dalamnya? Tiap helaan napas dihantui kecemasan. Kematian adalah hal yang biasa, tapi senantiasa membuat kita berjengit tiap mendengar angkanya. Di tengah kericuhan pandemi, akankah mampu kita beradaptasi?
Adaptasi, sebuah kata yang cukup familiar di otakku yang notabene berjurusan IPA di sekolah menengah atas. Kata adaptasi banyak aku temui di buku pelajaran, khususnya biologi yang erat kaitannya dengan ruang lingkup makhluk hidup. Adaptasi merupakan refleks yang dimiliki makhluk hidup untuk bertahan di lingkungan dan suasana baru dengan cara membiasakan serta menyesuaikan diri. Dengan adanya pergeseran dari kehidupan yang biasa dijalani, kita dipaksa untuk berubah. Kita dipaksa untuk menyesuaikan, membiasakan, dan menempatkan diri pada wadah yang tak lagi sama.
Selama ini kita sudah hidup berdampingan dengan berbagai ancaman penyakit. Jatuh sakit, kemudian sehat kembali. Itu hal yang lumrah. Lalu, apa yang membedakan wabah COVID-19 ini? Jawabannya jelas karena belum ditemukan vaksin yang mampu membebaskan kita dari belenggu pandemi yang telah berjalan hampir dua tahun belakangan ini. Keluar rumah sedikit saja, berinteraksi dengan sesama barang sebentar saja mampu mendekatkan kita pada ancaman kematian.
Hakikat kita adalah sebagai makhluk sosial, tapi nyatanya malah dikurung di sepetak rumah dan dituntut berdiam diri hingga pandemi mereda. Hampir semua lapisan masyarakat terdampak. Aku yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah pun merasa sesak. Di dunia pendidikan, aku yang seorang mahasiswa mesti berhadapan dengan layar gawai hampir setiap saat alih-alih ke kampus dan menghadiri kelas tatap muka. Kurikulum pembelajaran juga banyak mengalami perubahan, konon katanya menyesuaikan dengan keadaan yang justru membuat individu yang terlbat di dalamnya stres. Tidak hanya aku, keluarga, teman-teman, semua orang merasa demikian. Lantas kita bisa apa?
Beradaptasi, menyesuaikan diri. Sebab kita belum punya pilihan lain selain mengatur diri, menanti pandemi usai dengan duduk diam di rumah tanpa harus hidup seperti zombie. Linglung, hilang arah, tanpa semangat hidup.
Di luar kesibukan sehari-hari seperti sekolah, kerja, dan urusan rumahan, kita semua tentu memiliki hobi. Hal-hal yang dilakukan untuk sejenak melepas penat. Hal-hal yang mampu membuat kita merasa kembali hidup. Aku sendiri memiliki cukup banyak coping mechanism di sela-sela kehidupan perkuliahan beserta tetek bengek organisasi yang tidak main-main padatnya. Di antaranya adalah menggambar (aku menyenangi seni walau tidak terlalu mahir), menonton serial film dari berbagai negara (hitung-hitung belajar bahasa juga), belanja buku kalau ada uang, dan yang paling utama adalah membaca buku. Jujur, dua hal terakhir adalah yang paling ampuh, hehe.
Akan kupaparkan sedikit alasan kenapa aku suka membaca. Dari kecil, aku dibiasakan membaca oleh kedua orang tuaku. Aku bersyukur karenanya dan kebiasaan itu masih melekat hingga sekarang. Buku favoritku semasa kecil ialah Cerita Rakyat dari Belanda. Cerita tentang lilin ajaib yang bisa mengabulkan segala permohonan, lonceng bernyanyi, serta kisah kuda kayu yang mengajarkan untuk tidak berputus asa dalam meraih sesuatu masih lekat berbekas dalam ingatan. Setiap ceritanya begitu berkesan entah bagi diriku di masa kecil maupun bagi aku yang telah beranjak dewasa ini. Bukunya masih kusimpan rapi walaupun bukunya sekarang sudah dalam keadaan telanjang (sampulnya lepas, saking seringnya kubaca ulang).
Bagiku, buku adalah pintu kemana saja, tiket keliling dunia. Bukan hanya dunia nyata, tapi juga dunia yang hanya bisa kita kunjungi tanpa benar-benar terlihat entitasnya. Masa-masa lampau jauh sebelum kita lahir, kastil-kastil sarat sihir, dunia dengan makhluk-makhluk yang hanya bisa kita selami dengan imajinasi. Buku menyajikan itu semua.
Selama pandemi, aku coba untuk mengelilingi keseharian saya dengan buku. Setiap jeda waktu, setiap waktu kosong, saya usahakan isi dengan membaca. Beberapa kali aku sempat mengunjungi toko untuk sekadar mengusir suntuk dan memanjakan mata dengan jajaran buku yang dipampang. Intensitas membeli buku pun meningkat tak terelakkan. Kebanyakan masih menumpuk belum terjamah. Biarlah mereka mengendap dulu, begitu pikirku tiap menatap tumpukan buku yang melambai-lambai minta dibaca.
Aku termasuk tipe pembaca yang lamban dan tidak suka membaca banyak buku dalam waktu bersamaan. Fokusku mudah terpecah dan sering kali tertukar antara isi buku satu dengan buku yang lain. Karenanya, tidak banyak buku yang kubaca selama pandemi ini. Mari, akan kuajak kalian berkenalan dengan beberapa judul buku yang telah kubabat habis beserta kesan-kesannya.
Setelah Aku Pergi (Ways to Live Forever) – Sally Nicholls
Tumblr media
Sebagai salah satu tipe orang visual, aku tidak akan mengelak kalau yang pertama kali menarik minat terhadap suatu buku adalah sampulnya. Benar, sampul buku ini cantik sekali. Didesain oleh Martin Dima, sampulnya didominasi warna jingga dengan ilustrasi anak lelaki yang tak kalah lucu.
Pertama, apa yang pertama kali terbesit di pikiran kalian saat melihat sampul buku ini? Buku anak-anak kah? Dengan sampul yang seperti ini, kukira buku ini pasti ditujukan untuk anak-anak yang baru mulai gemar membaca. Jika sempat berpikir begitu, kalian salah besar—aku salah satunya. Kedua, cerita apa yang kalian harap penulis sajikan dilihat dari sampul buku ini? Apabila pembaca sekalian mengharapkan cerita ringan untuk sekadar selingan, kalian salah untuk kedua kalinya. Nyatanya, buku ini jauh dari kata ringan.
Buku ini mengisahkan tentang Sam, bocah laki-laki berusia 11 tahun yang mengidap penyakit Leukemia. Mengetahui jatah hidupnya di dunia tak lama lagi, Sam memutuskan untuk menulis buku mengenai bagaimana ia hidup berdampingan dengan penyakit mematikan itu, bagaimana ia berusaha mewujudkan keinginannya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di benaknya. Dengan ditemani orang-orang terdekatnya, Sam berusaha menikmati sisa waktunya sebagai bocah pada umumnya tanpa mencemaskan yang namanya kematian.
Dari sinopsisnya saja, sepertinya anak-anak akan ngeri duluan begitu menemui kata kematian. Apalagi kata tersebut banyak disebutkan secara eksplisit di tiap babnya.
Tulisan-tulisan yang Sam buat kebanyakan berupa daftar. Pada bab-bab awal, Sam menuliskan beberapa keinginan yang ingin diwujudkannya dengan bantuan sahabat seperjuangannya, Felix.
Tumblr media
Dilihat dari mana pun, poin-poin tersebut rasanya sulit direalisasikan oleh seorang bocah yang waktu hidupnya tak lama lagi. Tapi, si tokoh utama dan sobatnya tidak berpikir demikian. “Kita bisa melakukan apa saja, apa saja!”, begitu katanya. Saat salah satu keinginan tersebut mustahil diwujudkan sebagaimana harusnya, Sam akan mencari jalan lain, jalan yang tak terpikirkan oleh orang dewasa.
Tumblr media
Ada pun beberapa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis dalam kertas kecil. Semuanya diberi nama pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lengkap dengan nomor. Pertanyaan yang tertera kurang lebih seperti, ‘Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?’, ‘Sakitkah kalau mati?’, atau ‘Bagaimana kita tahu kita sudah mati?’. Tidak ada setitik ketakutan, yang tersirat murni rasa ingin tahu anak kecil terhadap ranah abu-abu kematian.
Meskipun gaya penulisan yang digunakan sederhana, buku ini lebih cocok dibaca oleh orang dewasa yang merasa jenuh dengan hidup. Walau bertokohkan anak-anak, makna yang berusaha disampaikan penulis terasa menohok hati. Kita seakan dikenalkan kembali pada kepolosan bocah yang diperkenankan bebas bermimpi dan dengan penuh harap menggantungnya tinggi-tinggi. Sesuatu yang sulit diwujudkan bukan berarti tidak bisa. Tuhan tak menciptakan satu jalan saja menuju Roma. Ingat, yang penting adalah perasaan yang ditimbulkannya.
Selain itu, kisah ini mengajarkan kita untuk menghargai waktu. Apa yang bisa dilakukan sekarang, lakukan. Dengan selesainya membaca buku ini, aku jadi tergerak untuk melakukan hal-hal yang telah lama kutunda-tunda, mimpi-mimpi berdebu yang sudah lama tersimpan. Kita mungkin bisa menunggu dan menunda, tetapi waktu tidak. Sebab tidak seorang pun tahu sejauh mana garis hidup kita membentang.
Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 – Cho Nam Joo
Tumblr media
Buku ini pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019. Pada masanya, buku ini sempat menjadi best-seller dan masih begitu hingga sekarang karena ternyata buku ini telah dibaca oleh artis kelas dunia, RM dari BTS, yang menyebabkan buku ini makin populer saja.
Di dalam buku ini, kita akan dibawa mengarungi kehidupan seorang wanita korea Kim Ji-Yeong yang hidupnya biasa-biasa saja melalui kacamata Kim Ji-Yeong sendiri. Mulai dari Kim Ji-Yeong kecil yang hidup dengan keluarganya, Kim Ji-Yeong yang mulai mencari jati diri saat beranjak remaja, hingga lika-liku kehidupan dunia nyata saat mencapai usia dewasa dan menikah.
Tumblr media
Si tokoh utama, Kim Ji-Yeong, berhasil menarik simpatiku karena kami memiliki kesamaan. Tidak, aku tidak mengalami hidup seberat yang dialami Kim Ji-Yeong, tapi aku cukup mengerti perasaannya sebagai sesama perempuan. Apalagi di usia yang mulai menginjak dewasa, gambaran-gambaran tentang kehidupan wanita dewasa yang dipaparkan sangat menarik untuk diikuti.
Poin utama yang kutangkap sepanjang cerita adalah bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Jarang ada yang namanya kesetaraan dan kaum wanita selalu berada di bawah. Diskriminasi antar gender seakan bukan hal besar. Banyak juga dipaparkan stigma yang berkembang bahwa perempuan harus seperti ini lah, menjadi itu lah, tidak boleh begini, dan dituntut mematuhi pikiran-pikiran tertentu. Para wanita didikte mesti menjadi perempuan yang demikian, sesuai dengan batasan yang ditetapkan orang-orang.
Contohnya, ada satu masa ketika Kim Ji-Yeong hampir mengalami pelecehan oleh teman lelakinya. Usai kejadian, tebak tiapa yang disalahkan? Kim Ji-Yeong, pihak perempuan, tentu saja.
‘Kenapa berbicara kepada sembarang orang?’ ‘Kenapa mesti sekolah jauh-jauh?’ ‘Kau perlu banyak belajar.’ ‘Kau harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas.’
Pernyataan serta pertanyaan semacam itu membingkai dan seakan menyudutkan bahwa hal buruk seperti pelecehan yang terjadi pada perempuan adalah kesalahannya sendiri. Sesak? Tidak adil? Tentu saja.
Di dalam salah satu bab yang menceritakan Ibunya, terkandung ide bahwasanya perempuan tak ayal hanya sebagai peran pendukung dalam hidup orang lain tanpa memiliki kisah sendiri. Segala jerih payah semata-mata dilakukan untuk orang lain hingga rela harus menjual mimpi.
Buku ini memberikan gambaran bahwa terlahir dan hidup sebagai seorang perempuan tidaklah mudah. Dalam setiap hela napas, banyak pemikiran yang harus kita patahkan, banyak mimpi yang mesti kita raih untuk membuktikan bahwa perempuan tak hanya sekadar diam dan berkutat mengerjakan urusan rumah tangga. Perempuan juga berhak sekolah, berhak berilmu. Perempuan bisa terbang tinggi tanpa dikekang statement-statement menjatuhkan. Perempuan bisa dan bebas melakukan apa saja. Perempuan memiliki hidup penuh mimpi yang ingin diperjuangkannya. Bukan untuk orang lain, tapi demi diri sendiri.
Setelah beberapa bulan mogok menulis, akhirnya aku bisa menuangkan pikiran lagi sekian lama. Sepertinya ini pertama kalinya aku menuliskan sesuatu yang sifatnya pribadi nan penuh pendapat, ternyata asyik juga ya. Tulisan ini kubuat dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Gramedia Pustaka Utama yang ke-47. Selamat ulang tahun GPU dan terima kasih telah menemani perjalanan membacaku dengan buku-buku hebat. 
Akhir kata: Di saat kita terbelenggu dalam kubah karantina, buku adalah teman yang setia.
2 notes · View notes
Text
Pelita dan Gulita yang Bercerita
Sebagai manusia yang hidup dengan berbagai macam kesibukan, saya percaya siapa pun sejak dini telah bersahabat dengan beberapa buku. Saya sendiri sejak kecil, baik membaca maupun menulis, saya selalu mencintainya. Tak pernah saya merasa bosan di perpustakaan apa pun dan di mana pun, baik perpustakaan di sekolah, persewaan buku umum, perpustakaan daerah, maupun perpustakaan di universitas tempat saya menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu dan pekerja, siapa pun tentu pernah membaca buku dan menulis dalam hidupnya. Kedua aktivitas itu berjalan beriringan bersama dan tak dapat terpisahkan, layaknya sepasang kaki yang melangkah. Bagi saya, membaca buku telah mengantarkan saya menjadi salah satu penulis yang berhasil menerbitkan beberapa karya, baik itu karya fiksi maupun non fiksi. Sebelum saya duduk di bangku SMP, membaca dan menulis saya lakukan dengan santai dan sama sekali tak terbayang bagi saya untuk mempelajarinya lebih serius lagi. Saya memang menyukai pelajaran bahasa selain sains dan seni, namun saya menikmatinya sebagai hiburan dan sebuah kebiasaan belaka.
Sejak saya menjadi siswi SMP, mendiang ayah saya menderita sakit stroke dan darah tinggi, hingga perlahan-lahan merenggut kekuatan dan kesehatan tubuhnya. Sejak itu ekonomi keluarga berubah makin sulit, hingga saya berpikir saya perlu melakukan sesuatu untuk membantu perekonomian keluarga. Karena saat itu saya masih sibuk dengan kegiatan sekolah, dan belum mendapat ijin keluarga untuk bekerja atau melakukan suatu bisnis yang bisa dilakukan pelajar, maka saya memikirkan suatu aktivitas yang tidak membutuhkan banyak uang namun dapat menghasilkan uang. Syarat berikutnya, aktivitas tersebut tidak boleh menyita waktu saya sebagai seorang pelajar. Setelah membaca banyak dari internet, saya pun memutuskan bahwa menulis adalah salah satu aktivitas yang sangat memenuhi kriteria-kriteria saya tersebut. Di rumah kami sudah ada laptop. Benda ini digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah saya dan tugas perkuliahan kakak saya. Inilah satu-satunya alat yang saya perlukan untuk menjadi seorang penulis. Kemudian, saya membutuhkan materi untuk mendukung tulisan saya agar dapat menghasilkan uang. Maka saya memerlukan buku dan bacaan, baik fiksi dan non fiksi. Bacaan non fiksi menurut saya lebih mudah ditemui di internet karena bahkan berita telah menjadi salah satu bacaan non fiksi. Saat itu keluarga saya juga masih membeli koran bentuk cetak. Karena keuangan keluarga yang sulit, saya tidak dapat sembarangan meminta dibelikan buku fiksi sebagai materi pendukung saya dalam menulis, maka saya putuskan untuk membaca di toko buku. Saya mencari beberapa buku fiksi yang tidak bersegel sebagai materi tulisan saya. Salah satunya yang paling saya ingat dan paling saya suka hingga saya cari bukunya lagi, adalah kumpulan cerpen Tales From The Dark terbitan Gramedia Pustaka Utama yang ditulis oleh Christina Juzwar dan kawan-kawan. Sejak awal, cover buku ini telah menggoda saya dengan warna biru malamnya yang mendominasi. Kemudian, judulnya sendiri berputar-putar menggelitik di kepala saya. Saya pun tergoda untuk mengambil dan membacanya. Sejak kecil, saya memang sudah kecanduan cerita horor, dongeng, maupun fantasi. Bahkan menonton film pun saya lebih memilih salah satu dari ketiga genre tersebut. Saya membaca cerita pertama karangan Christina Juzwar dalam buku itu, dengan judul My Halloween Costume hingga selesai. Kemudian saya meletakkannya pada rak tempat buku itu dipajang. Sejak itu, kedua mata saya seolah terbuka lebar seperti habis disadarkan dari tidur panjang. Cerita pertama yang bahkan sudah menyuguhkan twist ending tersebut telah mengajarkan saya bagaimana cara menjadi penulis yang karyanya dapat dilirik oleh penerbit. Selain bersyukur dapat membuka mata lebar-lebar, dari buku tersebut saya juga menemukan nama-nama penulis luar biasa yang kemudian saya undang untuk berteman pada Facebook dan Twitter. Tidak cukup hanya dengan itu, saya mencoba berinteraksi dengan mereka secara nekat. Saya mengirimkan pesan pada mereka menanyakan tentang cara menulis serta meminta tips menulis untuk pemula. Dengan ramah dan sabar, mereka bersedia menjawab dan membagi beberapa ilmunya pada saya. Sejak itu, saya mulai menulis banyak cerita hingga saya tak dapat mengingat persisnya judul dan jumlah cerita yang sudah saya tulis. Saya mengikuti berbagai perlombaan dan event menulis siapa pun penyelenggaranya.
Tumblr media
Kemudian saya membaca lebih banyak buku dan menemui banyak kisah luar biasa, baik dari penulis-penulis lokal maupun internasional. Semuanya sangat menarik. Masing-masing penulis menyajikan cerita dengan ciri khas masing-masing. Konflik yang mereka ciptakan pun sangat mengagumkan. Touché: Alchemist yang ditulis Windhy Puspitadewi dan buku pertamanya yang berjudul Touché juga membuat saya berdebar-debar, dengan kisah teenlit-nya yang dibumbui misteri dan berbagai ilmu pengetahuan yang halus. Frans dan Sang Balerina yang ditulis Kanti W. Janis juga telah membuat sentakan besar yang mewarnai bacaan saya dengan kisah seorang balerina yang diuji kesetiaannya, baik pada balet maupun pada orang yang dikasihinya. Buku ini juga menyuguhkan ending yang termasuk mengejutkan saya. Buku Catatan Josephine hasil karya Agatha Christie pun membuat saya tegang saat membacanya karena bau misteri yang sangat kuat, hingga membuat saya mencari informasi tentangnya dan menemukan fakta gelarnya sebagai Ratu Misteri. Kemudian saya sangat menikmati kisah-kisah Natal penuh kehangatan dari kumpulan cerita non fiksi Mamma Mia! Bouquet of Love. Buku ini berhasil saya menangkan dari giveaway yang diadakan penulisnya sendiri, Kezia Evi Wiadji. Lalu saya juga berhasil mendapatkan buku gratis The Silkworm, karya Robert Galbraith dari event Gramedia beberapa tahun silam saat peluncuran cetakan pertama buku tersebut. Saat itu saya sangat senang dapat memiliki cetakan original dari salah satu penulis internasional favorit saya, J.K Rowling. Terlebih buku ini ber-genre misteri, dan cara pelaku dalam mewujudkan tindakan kriminalnya sangat mencengangkan. Tidak lupa dengan buku Seperti Sungai Yang Mengalir karya Paulo Coelho, yang membuka lebar-lebar pandangan saya terkait kehidupan. Beberapa bacaan ini adalah buku Gramedia Pustaka Utama yang sangat berkontribusi membentuk saya menjadi diri saya yang sekarang, yang lalu, dan yang akan datang. Mereka meninggalkan kesan kuat dan mendalam yang telah mengubah pola pikir saya, dengan menjejalkan ilmu akademis maupun non akademis yang menarik. Namun tentu saja, buku yang memberi pengaruh paling besar dalam kemampuan saya berimajinasi adalah Harry Potter karya J.K Rowling, dan buku-buku lainnya yang berkaitan erat dengan dunia Harry Potter seperti The Tales of Beedle The Bard. Sejak itulah saya merasa dapat menemukan dunia lain dari sebuah buku. Saya pun tergerak untuk menciptakan dunia versi saya sendiri dengan menulis.
Kemudian saya mencoba mengirimkan salah satu cerpen karya saya kepada salah satu penerbit tanah air yang menerima karya fiksi dengan jumlah kata dan halaman yang lebih ringan dari penerbit pada umumnya. Saat itu saya menginjak kelas 1 SMA, dan penyakit mendiang ayah saya semakin parah. Namun yang tidak saya sayangkan, kabar bahwa karya saya tersebut lolos terbit baru sampai saat saya menghadapi kelulusan SMA, di mana mendiang ayah saya telah meninggal. Saya tentu sangat senang setelah sekian lama berlatih, saya berhasil menerbitkan sebuah karya berbentuk buku cetak untuk pertama kalinya. Saya memberi tahu ibu, kakak, dan teman-teman namun saya sangat menyayangkan saya tidak sempat memamerkan bukunya pada mendiang ayah saya. Bahkan saya tidak sempat membantu perekonomian keluarga dengan menghasilkan uang melalui menulis, karena tujuan spesifik saya menerbitkan karya adalah untuk membantu biaya berobat mendiang ayah saya saat sakit. Sejak itu saya mulai dapat mengumpulkan uang sendiri untuk membeli buku, baik dari toko buku maupun pameran atau bazaar buku. Memasuki status sebagai mahasiswa, saya makin menyukai menulis dan membaca. Karena kesibukan perkuliahan dengan deadline tugas dan menumpuknya jadwal ujian, menulis dan membaca buku fiksi menjadi terapi yang membuat waktu me time saya menjadi lebih berarti. Saya semakin rajin mengunjungi bazaar dan pameran buku, bahkan saya pernah mencoba membuka jasa titip dan berhasil mendapatkan orderan. Saya juga sudah cukup puas dengan menghabiskan waktu di perpustakaan daerah saat libur kenaikan semester.
Namun begitu lulus kuliah, terutama setelah keluar dari pekerjaan pertama saya, saya merasa membaca dan menulis karya fiksi menjadi sesuatu yang hambar dan membosankan. Hal itu semakin menjadi-jadi saat pandemi COVID melanda Indonesia. Saya merasa kehilangan diri saya sendiri. Berbagai inspirasi dan ide menulis yang sudah saya kumpulkan tak mampu saya wujudkan menjadi sebuah karya yang dapat diterbitkan, terbengkalai begitu saja dalam laptop. Saya sama sekali tak mampu mencecap rasa dari mereka. Buku-buku fiksi di rumah yang belum selesai saya lahap pun bertumpuk murung. Namun meski saya memaksakan membaca kembali ringkasan ide menulis dan buku-buku fiksi yang saya miliki, saya cepat lelah dan bosan lalu buru-buru meletakkan mereka seperti tidak tahan melihat tulisan-tulisan itu. Saya pun sadar, saya seperti itu karena saya kesepian dengan kondisi social distancing. Ketetapan pemerintah itu telah membatasi interaksi saya dengan teman-teman dan kenalan saya. Biasanya saya menceritakan beberapa buku dengan teman dekat saya, atau pengalaman suka maupun duka kepada mereka. Benar. Kehambaran itu terjadi karena saya tidak berinteraksi lagi dengan orang lain. Saya sudah lama tidak bercerita dan menerima cerita dari orang selain keluarga yang saya temui di rumah. Rupanya hal tersebut dapat memengaruhi kekayaan kata dan rasa dalam menerima dan memberi cerita. Imajinasi saya pun semakin tumpul karena dirundung frustasi dan tekanan akibat semua keterbatasan dari pandemi COVID. Menerima dan memberi cerita melalui pertemuan secara langsung dan melalui media sosial tentu menciptakan perbedaan rasa dari aktivitas tersebut, karenanya saya sempat menghindari menulis dan membaca karya fiksi.
Kemudian memasuki pertengahan tahun 2020, saya mulai mencoba meraih kembali buku-buku yang belum selesai saya jelajahi kisahnya. Saya mencoba membaca dua halaman, lalu jika bosan saya coba berpindah pada judul yang lain, dan jika saya lelah maka saya mengambil istirahat beberapa hari dari buku dan tulisan sesuai dengan kondisi saya. Saya kembali dapat menulis cerita dan menerbitkan sebuah karya bentuk kumpulan cerpen e-book yang ditulis bersama beberapa penulis lain. Kemudian saya juga mengikuti Gramedia Writing Project yang membantu saya berkomitmen menyelesaikan sebuah novel. Meskipun novel saya tidak terpilih untuk diterbitkan namun saya sama sekali tak menyesal mengikutinya. Saya justru bersyukur, karena event tersebut juga telah membantu saya kembali mencintai membaca dan menulis karya fiksi. Awal tahun 2021 saya kembali menemui kehambaran dalam menulis dan membaca karya fiksi, namun kemudian saya mencoba membaca buku-buku di rumah yang belum selesai saya jelajahi. Saya kembali membaca Touché: Rosetta bersama buku-buku lain, dan menemukan kembali keasyikan membaca serta keinginan untuk menulis. Benar, saat itu saya sempat tersesat. Namun saya telah berhasil menemukan jalan pulang menuju membaca dan menulis.
Oh iya. Saya lupa menyebutkan bahwa seri Goosebumps karya R.L. Stine yang sangat populer sebelum saya menjadi siswi SMA juga berkontribusi besar, tentunya dalam membangkitkan minat saya menjelajahi serta menciptakan dunia horor dan fantasi sebuah buku. Saya masih ingat karya itu sangat fenomenal sebelum saya mengenal Harry Potter. Saya sendiri selain tergila-gila dengan filmnya yang ditayangkan di salah satu saluran televisi swasta, saya juga sudah memburu buku-buku itu dengan meminjamnya dari perpustakaan sekolah saya. Banyak kisah dari Goosebumps yang menyajikan twist ending yang menakutkan, salah satunya yang paling saya ingat adalah Jauhi Ruang Bawah Tanah. Ending yang sangat mencengangkan dan menggantung dari cerita tersebut membuat saya ketakutan sendiri karena menyangkut misteri dari salah satu anggota keluarga tokoh utama yang belum terpecahkan. Kisah-kisah lain dari Goosebumps tentu tak kalah mengerikan dan mencengangkan dari judul yang saya sebutkan itu. Buku ini masih menjadi favorit saya sampai sekarang karena gaya bahasanya yang ringan dan mudah dimengerti, namun terkesan sopan dan tidak menggurui. Selain itu R.L Stine berhasil menyusun segala unsur cerita dengan komposisi yang baik dan pas untuk anak-anak dan remaja.
Perjalanan hidup setiap orang tentu tidak akan lepas dari buku dan karya yang dirangkai menggunakan kata-kata. Kata-kata itu membentuk tulisan utuh yang memainkan logika dan rasa pembacanya. Saya merasa sangat beruntung dapat mengenal banyak buku dan penulis yang luar biasa melalui Gramedia Pustaka Utama, dan saya percaya berikutnya saya akan menemukan lebih banyak buku dan penulis unggul dari penerbit ini. Dari buku, kita menabung banyak ilmu dan pengalaman berharga yang dapat dibagikan dengan orang-orang sekitar kita. Bersama buku kita menghadapi pahit dan manisnya kehidupan. Selamat mencari dunia dalam buku!
“Ada kalanya saat kita tidak melakukan kegiatan apa-apa, kita melakukan satu hal yang amat penting bagi diri sendiri: mendengarkan apa yang kita dengar dari diri sendiri.” – Paulo Coelho, Seperti Sungai Yang Mengalir
0 notes
febriidar · 3 years
Text
CERITA UNTUK INSPIRASI ADAPTASI KITA
Tumblr media
Mata terpejam hanya untuk menyenandungkan satu kata, yaitu teman. Teman yang menemani, yang selalu ada pada waktu-waktu krusial. Teman yang membentuk pola pikir untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Segalanya dimulai sejak seseorang, saya sendiri, menemukan sebuah buku berjudul Scars And Other Beautiful Things.
Sebuah buku karya Winna Effendi, yang ditulis sebagai bentuk lahirnya karya Winna Efendi kembali setelah sekian lama hiatus dari menerbitkan karya tulis. Sebuah buku yang berisi tentang perjuangan seorang perempuan untuk terus melewati hidup setelah dia mengalami kejadian luar biasa. Sebuah buku yang menunjukkan kepada pembaca, bahwa dengan adanya suatu peristiwa tidak akan membuat duniamu terhenti, kecuali memang kamu sendiri yang ingin menghentikannya. Melalui riset, Winna Efendi menunjukkan bahwa di dunia ini ada lebih dari jutaan manusia yang mengalami peristiwa tragis dalam hidupnya sehingga berani menulis dan menyimpulkan bahwa kamu tidak sendiri.
Perjalanan hidup seorang Harper Simmons yang sangat indah pada awalnya. Harper memiliki segalanya. Keluarga, teman, prestasi, semua kehangatan yang dimilikinya. Hingga suatu malam sesuatu terjadi kepada dirinya dan membuat kehangatan tersebut hilang. Pelecehan seksual yang dialami oleh Harper mengubah jati diri Harper yang semula ceria menjadi biru. Diam, menyesal, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri. Sampai pada suatu saat dia sadar bahwa apa yang terjadi kepada dirinya merupakan suatu ujian dari Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, terlepas dari keadaan yang telah membelenggunya.
Seperti sebuah cermin. Adanya pandemi virus corona (COVID-19) yang telah menyerang dunia termasuk Indonesia selama setahun belakangan juga membuat perubahan yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Semula yang cerah, berwarna, berbalik 180o dengan hanya berdiam diri di rumah. Bukan perkara mudah bagi ukuran manusia yang hanya berdiam diri di rumah. Sudah menjadi tabiat manusia dengan segala resolusi agar hidup tidak monoton, terpaksa menunda semuanya. Juga bukan perkara mudah bagi makhluk bernama manusia yang bisa bertahan dengan mengesampingkan ego untuk tetap di rumah demi bertahan hidup.
Berbagai hal telah dilakukan untuk mengusir kebosanan. Sama seperti cerita dalam buku tersebut bahwa sang pemeran utama juga melakukan kegiatan sampingan untuk mengalihkan pikiran buruk akibat kejadian masa lampau, saya juga melakukan hal yang lain. Membaca, memasak, berkebun, melukis, memelihara hewan piaraan, menonton film, belajar menari, berjemur, dan lain-lain yang tetap tidak mampu mengusir kebosanan dan keinginan untuk bermain di luar ruangan seperti sedia kala. Saya, mereka, kita, rindu aktivitas luar. Bermain di taman, jalan-jalan, berkunjung ke pusat perbelanjaan, hingga travelling merupakan hal-hal yang sangat kami rindukan saat ini.
Meskipun berbeda kasus atau jenis peristiwa yang terjadi, pandemic yang sedang terjadi ini mengubah cara hidup kita hingga pola pikir. Perbedaannya adalah ada pada sasaran di lapangan. Yang dialami oleh Harper secara mayoritas dialami oleh wanita, namun pandemic ini menyerang seluruh manusia di dunia tanpa pandang apapun. Satu tahun yang telah terlewati menuntut manusia untuk berpikir kritis dalam bertahan hidup, hingga proses adaptasimu. Manusia terbiasa adaptasi dengan lingkungan, orang baru, namun tidak dengan serangan penyakit.
Lantas apa yang menjadi persamaan dengan kasus yang dialami oleh Harper Simmons? Setelah mengalami kejadian naas pada malam tersebut, Harper tidak berani menampakkan dirinya kepada siapapun, keluar rumah pun tidak akan ia lakukan. Sama halnya dengan menjaga diri untuk tetap di rumah. Namun hal tersebut bukan berarti akan berlaku selamanya, bukan? Lambat laun Harper menampakkan diri. Berani ke sekolah, bertemu dengan teman-temannya, hingga mengambil kerja paruh waktu, dengan mempertaruhkan diri melawan rasa trauma akan peristiwa tersebut.
Proses beradaptasi merupakan sebuah proses yang dibutuhkan manusia ketika bertemu hal-hal baru ataupun untuk memulai segala sesuatu dari awal. Tidak semua orang berargumen bahwa adaptasi adalah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan, tidak sedikit orang pula yang menganggap adaptasi sulit untuk dilakukan. Semua berawal dari diri sendiri. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, yang mungkin membawa dampak pada masa sekarang, atau bahkan yang sedang terjadi saat ini (seperti pandemic virus COVID-19), jangan pernah menyerah pada apa yang masih bersifat semu. Percaya pada apa yang sanggup membawa dirimu menjadi lebih baik. Jangan pula menganggap bahwa hanya kamu yang melalui ini sendirian. Tidak, semua orang mengalami masa sulit ini.
Percaya pada diri sendiri dan Tuhan bahwa keadaan akan segera membaik adalah salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Sekalipun hal itu akan memakan waktu lama, jangan melunturkan kepercayaan itu. Lakukan hal yang membuat diri dan mentalmu tidak tertekan. Apa itu? Mungkin dengan membaca buku yang akan menbuatmu terinspirasi untuk melakukan hal positif. Seperti dari genre edukasi, pengembangan diri, ekonomi, atau bahkan sesekali mengalihkan pikiran untuk membaca fiksi agar pikiran bisa menjadi segar. Belajar bahasa asing, atau membuat sesuatu untuk meningkatkan kreativitas dirimu, juga diriku. Tidak mengapa jika tidak menjadi mahir dalam melakukan apapun, karena bukan kapasitas kita untuk terus berambisi dalam melakukan segala sesuatu di dunia ini. Manusia tidak ada yang sempurna, kita memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Semua sesuai porsinya masing-masing.
Mengakui kelemahan dengan terus meningkatkan kelebihan tidak akan membuatmu tersingkirkan. Ditambah cukup dengan mengetahui apa yang sedang terjadi dan hal-hal umum lainnya di dunia ini, akan membuatmu berpikir bahwa ternyata masih ada yang sesuatu yang lain yang menarik untuk diketahui dan dimengerti. Buat apa yang ada di dalam dirimu untuk membentuk lingkaran positif dalam hidupmu. Pembelajaran, sosialisasi, hingga adaptasi yang akan mengubah hidupmu. Apapun yang positif, akan menghasilkan dampak yang positif juga. Apapun yang negatif, tetap berpikir dan mencari solusi positif untuk menghindarkan hidupmu pada dampak negatif.
Pandemi belum berakhir, namun jangan berkecil hati. Kita semua sama-sama mengalami ini dan melakukan hal terbaik untuk memutus jaringan penyakit ini. Tetap semangat, tetap bermimpi, tetap berusaha. Kelak akan menuai hasil yang kalian harapkan. Dan teruntuk buku, tetaplah menjadi teman baikku dalam hal apapun, juga teman orang-orang baik di luar sana selamanya. Kenapa? Karena buku akan membawamu ke dunia imajinasi yang indah dan memberimu inspirasi positif yang mampu mengubah hidupmu. Pesan ini bukan untuk aku pribadi, namun untuk semua kalangan yang sedang sama-sama berjuang untuk menggapai mimpinya. Seperti seorang Harper Simmons yang mampu bangkit dari keterpurukan dan melangkah maju hingga berhasil diterima di sebuah universitas untuk melanjutkan hidup dan memulai karirnya. Kamu, aku, kita, siapapun, akan menggenggam mimpi kita suatu hari nanti, tidak peduli berapapun lama waktu yang kita butuhkan untuk berjuang.
1 note · View note
sweetcupcakesweets · 3 years
Text
Aku, Buku, dan Perjalanan Beradaptasiku
Aku dan buku menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sekarang, saat ini, setahun belakangan ini. Aku jadi ingat saat aku memulai kembali hobi lamaku yang sudah terlupakan. Lebih tepatnya sejak Maret 2020, sejak covid-19 menjadi penyakit pandemi di Indonesia. Pandemi covid-19 adalah sebuah malapetaka sekaligus keajaiban. Malapetaka karena baru pertama kali sebuah wabah mirip flu bisa mengubah tatanan kehidupan. Hal yang biasa saja menjadi tidak bisa dilakukan, seperti pergi ke kantor, belanja ke supermarket, jalan-jalan ke mall, dan travelling saat libur panjang. Sebuah wabah yang menghalangi kita untuk berkumpul dan bersosialisasi. Bekerja dari rumah, mall yang dibatasi jam operasionalnya, restoran yang hanya boleh menerima pelanggan sebanyak 50%, bandara dan stasiun yang ditutup merupakan hal-hal yang benar-benar baru. Hal yang tidak pernah terbayang akan terjadi. Pandemi ini juga merupakan keajaiban karena dengan hal-hal baru itu kita jadi menyesuaikan dan beradaptasi, mencari cara agar tetap bertahan hidup, sehingga menjadi manusia dengan versi yang lebih baik dan lebih kuat. Pandemi ini merupakan cara Allah untuk membentuk manusia dengan karakter yang lebih baik, sekaligus menyembuhkan bumi yang mulai tua ini. Aku masih ingat di awal pandemi covid-19 ramai tentang langit yang difoto sebelum dan saat pandemi covid-19. Langit yang difoto saat pandemi covid-19 lebih bersih dari polusi dibandingkan sebelum pandemi covid-19. Hal ini karena saat pandemi covid-19, semua kantor tutup dan ada pembatasan jumlah pengendara di jalan raya, sehingga polusi yang dihasilkan dari kendaraan menurun drastis.
Resolusi dan rencana liburan yang sudah disusun di awal tahun pun terpaksa dibatalkan. Travelling adalah solusi terbaik untuk distraksi sejenak dari penatnya rutinitas. Sekedar mencari tempat tujuan liburan, booking penginapan dan tiket pesawat, packing baju dan perlengkapan yang akan dibawa saja sudah jadi moodbooster. Lalu pandemi covid-19 datang, wacana hanya jadi wacana. Apa yang bisa menggantikan rencana travelling?. Saat aku scrolling sosial media, ada quotes yang bunyinya, “I do believe something very magical can happen when you read a  good book – J. K. Rowling”. Dan ada quotes lain yang bunyinya, “You can’t buy happiness, but you can buy books and that’s kind of the same thing”. Dari situ aku mulai berpikir untuk mencoba membaca buku lagi. Mungkin ini akan jadi salah satu hal sederhana yang akan cocok untukku dalam mengatasi kejenuhan selama pandemi covid-19 ini. Tapi karena selama ini tahunya kalau ke Gramedia adalah beli novel, aku jadi pengen coba baca buku genre lain. Aku mengunjungi website Gramedia untuk mencari genre buku yang menarik perhatianku. Saat mencari referensi, aku tidak sengaja melihat iklan Gramedia Digital. Aku mulai berlangganan dan mencoba download beberapa buku di aplikasi gramedia Digital.
Aku memulai dengan membaca buku berjudul About Life karangan Tere Liye (terbit tahun 2019). Aku sering melihat buku ini di gramedia, tetapi selalu berpikir panjang dulu sebelum ambil bukunya dan bawa ke kasir, karena  berpikir apakah isinya menarik atau tidak. Karena langganan gramedia digital ini semurah itu, aku pakai kesempatan ini untuk membaca banyak buku, cukup simpel karena hanya download di akunnya dan mulai membaca. Ternyata bukunya menarik karena berisi kutipan tentang persahabatan. Buku lain yang juga aku baca, yaitu buku berjudul Wake Up Sloth karangan Aulia Hanifa (terbit tahun 2019) yang menceritakan tentang sloth (kungkang) yang merupakan metafora dari manusia dan beberapa kalimat motivasi agar kita bergerak lebih cepat dan tidak sesantai kungkang. Ada buku berjudul Who Moved My Cheese karangan Spencer Johnson (terbit tahun 2012) yang menceritakan empat tokoh, yaitu dua diantaranya kurcaci dan sisanya tikus. Keempat tokoh memiliki karakter yang berbeda dan berada di dalam labirin yang merupakan metafora dari kehidupan. Mereka mencari cara untuk mendapatkan keju yang merupakan metafora dari apa yang ingin dicapai di dalam hidup, seperti harta, pekerjaan, kesehatan, kedamaian, cinta, persahabatan, atau keluarga. Dari buku ini aku memahami kalau tidak ada kondisi yang stagnant, pasti akan selalu ada perubahan, tapi jangan takut. Perubahan itu pasti, kita harus selalu bergerak maju dan jangan terlalu lama meratapi perubahan yang terjadi. Buku berikutnya berjudul Berani Tidak Disukai karangan Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga (terbit tahun 2019). Buku ini berisi dialog antara seorang filsuf dan seorang pemuda. Melalui penjelasannya yang logis, filsuf membantu pemuda memahami cara menentukan arah hidup yang bebas dari belenggu trauma masa lalu dan beban ekspektasi orang lain. Ada buku berjudul Atomic Habits karangan James Clear (terbit tahun 2018) yang menceritakan tentang pemuda yang memulai kebiasaan baik sampai kebiasaannya mengantarkannya kepada kesuksesan. Apapun bisa menjadi mungkin. Ada novel berjudul Shopaholic Takes Manhattan karangan Sophie Kinsella (terbit tahun 2015) yang menceritakan tentang seseorang yang ‘gila belanja’ mendapat kesempatan bekerja di New York ketika mengikuti kekasihnya bekerja ke luar negeri dan banyak hal terjadi yang menyebabkan kerenggangan hubungan mereka.
Aku berlangganan Gramedia Digital hanya dua bulan, karena aku merasa mulai kurang nyaman jika membaca artikel yang panjang di smartphone-ku. Aku menyadari bahwa ternyata membaca buku memberikan banyak manfaat. Tidak berhenti sampai di situ, aku mengunjungi Gramedia offline store dan membeli beberapa buku untuk meneruskan semangat membaca. Ada buku berjudul The Subtle Art of Not Giving a F*ck karangan Mark Manson (terbit tahun 2016) yang membuat aku berpikir kalau ada banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan dan seperti judulnya, mengajarkan seni untuk bersikap bodo amat. Ada buku berjudul I Want to Die, but I Want to Eat Tteokpeokki karangan Baek So Hee (terbit tahun 2019) yang berisi dialog antara psikolog dengan seorang wanita yang memiliki banyak trauma masa lalu dan mempertanyakan setiap tindakannya yang menurutnya harus diubah. Psikolog disini membantu mengarahkan cara berpikir wanita tersebut agar merasa nyaman dan mencintai dirinya sendiri. Ada buku berjudul Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki (terbit tahun 2016) yang menambah perspektif baru tentang penulis yang dibesarkan dengan dua ayah dengan latar belakang ekonomi yang berbeda dan cara penulis memilih cara berpikir ayah mana yang bisa mengantarkannya ke kebebasan finansial. Ada buku berjudul Rich’s Dad Cashflow Quadrant karangan Robert T. Kiyosaki (terbit tahun 2017) yang menambah perspektif baru tentang pengelompokkan kuadran ekonomi setiap orang dan cara untuk berpindah antarkuadran. Ada buku berjudul Skill with People karangan Les Giblin (terbit tahun 2019) yang berisi cara untuk menjalin relasi dalam karier dan kehidupan sosial. Ada buku berjudul How to Respect Myself karangan Yoon Hong Gyun (terbit tahun 2020) yang berisi cara untuk menghargai diri sendiri dan menangani emosi negatif yang singgah dalam diri kita. Aku juga membaca novel berjudul Please, Look After Mom karangan Shin Kyung-Sook (terbit tahun 2020) yang mengisahkan tentang sebuah keluarga yang kehilangan ibu karena terpisah di jalan dan diceritakan berbagai perspektif dari suami, anak, dan menantu ibu tersebut. Buku ini sangat sedih, aku sampai lama sekali menyelesaikannya karena terbawa haru setiap membaca beberapa lembar. Suami yang selalu menyesali istrinya yang hilang karena tidak tahu jalan dan anak-anak yang menyadari kalau selama ini mereka tidak mengenal ibu secara personal sampai kehilangan ibu menjadi moment yang sangat mereka sesali. Suami dan anak-anak mengenang moment susah dan senang saat bersama dengan ibu. Ceritanya tidak berakhir bahagia karena ibu tidak kembali dan tidak dijelaskan dimana keberadaan ibu. Buku berikutnya berjudul The Things You Can See Only When You Slow Down karangan Haemin Sunim (terbit tahun 2018) yang berisi banyak kutipan tentang sebuah hubungan, cinta, mindfulness, kehidupan, masa depan, dan spiritualitas yang membuatku merenungi sejenak bahwa banyak hal yang perlu diresapi di dunia yang super sibuk ini. Terkadang kita harus melangkah lebih pelan dan berhenti sejenak untuk bisa melihat bahwa banyak hal yang harus disyukuri dan banyak kebahagiaan sederhana yang baru terlihat kalau kita melambatkan langkah.
Setelah diingat-ingat, buku yang aku baca ternyata lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Ada sebanyak 14 buku. Aku setuju dengan quotes yang sempat kubahas di atas. Awalnya aku tidak menyangka kalau dampak buku bisa luar biasa besarnya, sampai sering timbul rasa bahagia tersendiri jika mengingat masih ada beberapa buku yang menunggu di rumah untuk dibaca. Mengingatkanku pada Bill Gates yang membiasakan membaca buku dalam perjalanan kariernya dan bahkan sampai sekarang masih tetap memiliki kebiasaan ini. Membaca buku akan aku jadikan gaya hidup baru karena banyak manfaat yang aku dapatkan, seperti menambah sudut pandang, menambah wawasan, meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas, meningkatkan kosakata dan tata bahasa, dan mengintrospeksi diri karena beberapa buku berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Aku sangat bersyukur karena buku menjadi teman baik dalam perjalanan beradaptasiku selama pandemi covid-19 ini. Bahkan, bila pandemi covid-19 ini berakhir aku akan tetap melakukan kebiasaan baik ini. “That’s the thing about books. They let you travel without moving your feet – Jhumpa Lahiri”.
1 note · View note