#Keluarga Pasien Positif Covid-19
Explore tagged Tumblr posts
susukotakfullcream · 8 months ago
Text
apakah ada momen dalam hidupmu yang membuatmu merasa perjalanan menyembuhkan dirimu dengan sadar dimulai? momen apa? apa kegiatan healing favoritmu?
Mau nulis prompt 3 maju mundur euy😁
Perjalanan healing secara sadar ? Ah tepatkan di momen apa saya tidak yakin tapi satu hal saya mengambil kesimpulan bahwa perjalanan healing di mulai secara sadar betul ketika memutuskan untuk bekerja menjadi perawat klinis.
Antara takdir, keterpaksaan atau kebutuhan atau tidak ada pilihan lain. Begitu pikiran saya 3 tahun kebelakang saat menerima WA dari asisten manager keperawatan RSUI yang menawarkan saya untuk menjadi relawan Covid.
Rasanya ingat betul sebelum bekerja saat ini saya hanya membantu asisten kaprodi ners diruangan yang mengurus tata administrasi dan juga kelengkapan berkas ketika ada fee tambahan buat dosen. Sesekali di minta menjadi fasilitator diskusi mahasiswa dimana sebenernya waktu itu menjadi impian saya. Fasilitator DK (diskusi kelompok) ternyata saya merasakan juga perasaan gemees banget saat mahasiswa di berikan 1 kasus pemicu kemudian harus di selesaikan hingga step mencari jawaban atas pemicu yang diberikan.
Selesai urusan di kampus pernah juga saya mengajar privat 2 anak pondok yang mereka adalah anak yatim untuk persiapan UN. Fee saat itu saya hanya 300k/bulan untuk 2 anak. Belajarnya seminggu 3x. Waktu itu sempet tidak percaya karena menurut saya terlalu murah. Tapi mamah mengingatkan bahwa anggap saja menjadi jalan kebaikan buat anak yatim toh Pondok tahfidz nya juga deket rumah jadi anggap membantu. Baik saat itu saya lakukan sampai akhirnya pandemi covid tiba dan kegiatan mengajar privat di selesaikan.
2 pekerjaan lalu sebelum menjadi perawat menjadi waktu waktu saya terus mempertanyakan diri, menyalahkan diri karena selepas lulus profesi tidak bisa langsung bekerja. Ya karena saat itu saya merasa saya sangat ideal. Lulusan profesi ners tapi engga mau kerja di RS. Ya agak sulit atuhh 🙂
Saya terus berusaha mendobrak paradigma bahwa lulusan profesi ners bisa kok kerja selain di RS atau pelayanan. Tiap hari saya mengirimkan CV melamar pekerjaan non RS atau selain tenaga perawat. Pernah saya dapat tawaran hingga wawancara menjadi supervisor di salah satu klinik kecantikan daerah rumah saya. Namun saya gagal ketika wawancara tahap direksi.
Hingga akhirnya berbagai peristiwa mengantarkan saya menjadi tenaga relawan perawat Covid 19. Tentunya tidak segampang itu karena kedua orangtua cukup keberatan. Tapi saya memberikan alasan karena covid bapak jadi tidak bekerja lalu bagaimana agar dapur terus menyala ? Mau gak mau saya mengubur impian saya bekerja di non RS dan memgharuskan saya berdamai dengan diri bahwa saya akan menjadi perawat yang bekerja di RS.
Rupanya Allah maha baik. Ditempatkan saya di ruang NICU perina. Ruangan yang tidak mengharuskan saya bertemu banyak orang dewasa atau pasien dewasa laki laki. Ternyata momen healing saya di mulai saat ini. Bertemu banyak pasien bayi dengan berbagai kondisi dan latar belakang keluarganya. Favorit saya adalah ketika ikut serta dengan DPJP (dokter penanggung jawab pelayanan) untuk memberikan edukasi terkait kondisi dede bayi. Disini banyak mendapat ilmu sekaligus saya ke trigger untuk mencari hal berkaitan penyakit, cara berkomunikasi dengan keluarga hingga mengetahui kisah kisah yang saya temui.
Kemudian lambat laun kisah yang sangat membekas saya share ke medsos IG dan ternyata cukup mendapat respon positif. Doakan semoga saya bisa melanjutkan hal baik ini.
Ternyata perjalanan menyembuhkan diri sendiri dalam hidup saya adalah ketika saya harus dihadapkan pada takdir yang tidak saya inginkan. Takdir yang menurut saya kurang baik ini adalah hanya anggapan dan terbatasnya saya dalam masa depan. Allah merencanakan jauh lebih indah dari dugaaan kita.
Healing terindah dimulai dengan menerima takdir takdir yang terjadi dalam hidup kita dan kita upayakan untuk terus imani agar menuai banyak hikmah kehidupan
#day3
Izin kak @prawitamutia agak telat karena beberapa hari pasien membludak🥹mari doakan semoga dede bayi yang dirawat di nicu perinah semuanya sehat dan lekas pulih
0 notes
ngisiteko · 2 years ago
Text
Makhluk Terkecil Pemberi Peringatan
Bukan lagi sebuah mimpi buruk. Hal ini bukan lah sebuah mimpi, karena benar-benar terjadi padaku. Malam hari adalah saat-saat yang kubenci. Rasanya ingin cepat berlalu berganti menjadi siang. Aku hampir tak bisa memejamkan mata. Berulang kali harus bangun dari tidur karena ada yang mengganjal di dalam tenggorokanku, meminta untuk segera di keluarkan. Miring ke kanan maupun ke kiri adalah posisi yang memicu batuk parah. Menghadap ke atas pun lama-lama nyeri badan. Posisi yang cukup meringankan batukku adalah duduk di kursi.
Jika batuk berdahak adalah jenis batuk yang paling menyebalkan bagiku, tampaknya kini tidak lagi semenyebalkan itu, karena posisinya telah diganti oleh batuk berdarah. Shock? Jelas! Merasa kesakitan, sudah pasti. Tenggorokanku mengalami iritasi akibat batuk parah yang kuderita.
Sebenarnya tak hanya batuk yang kuderita tapi juga demam, pilek, sakit kepala dan dua gejala yang paling ditakutkan saat itu yaitu hilang aroma (indera penciuman) dan hilang rasa (indera perasa)? Betul sekali. Itu lah gejala pembeda dari COVID-19 dan sakit flu biasa.
Sejak varian Delta dikabarkan masuk ke Indonesia, aku sudah amat khawatir. Rasanya kesal sekali dengan mereka yang datang membawa varian itu dan pemerintah yang tidak ketat dalam mencegah penyebaran melalui kedatangan dadi negara asal varian Delta yaitu India.
Berbagai pencegahan telah kami lakukan. Menjaga protokol kesehatan, makan makanan bergizi, minum multivitamin dan herbal, berjemur di jam-jam terbaik, mengurangi kegiatan di luar rumah. Namun semua yang kami lakukan itu tak serta merta membuat kami lolos dari varian Delta.
Bagai benteng yang telah terkepung. Tetangga-tetangga kami sudah banyak yang jatuh sakit dengan gejala COVID-19. Begitu juga orang-orang yang kami temui di luar baik disengaja maupun tidak. Makhluk yang sebegitu kecilnya memang bisa saja menyelinap masuk ke organ tubuh siapa saja termasuk kami sekeluarga.
Awalnya ibuku, lalu menular ke bapak dan terakhir kepadaku. Kami bertiga terkapar di rumah dengan sakit yang sama. Seorang sahabat yang juga seorang tenaga kesehatan menyarankan kami untuk tes PCR agar mengetahui secara valid bahwa itu benar-benar COVID-19 atau bukan agar mendapatkan penanganan yang tepat.
Jujur kami justru takut jika dinyatakan positif COVID-19 dan akhirnya harus di isolasi di rumah sakit. Membayangkan betapa akan bertambah depresinya kami jika harus diisolasi. Pikir kami saat itu, yang penting tidak sampai sesak nafas.
Sempat ada niat untuk pergi ke puskesmas tapi nyatanya puskesmas juga tutup karena sebagian besar tenaga kesehatannya pun terpapar COVID-19. Kami juga mendapat kabar jika rumah sakit sudah tidak bisa menampung lagi pasien COVID-19.
Akhirnya kami tetap pergi berobat namun hanya ke dokter umum. Sungguh aku dibuat heran, klinik tersebut sangat padat dengan pasien. Aku pun harus menunggu dari jam 9 pagi hingga jam 1 siang. Menunggu selama itu dengan kondisi badan yang sudah tidak karuan. Rasanya ingin pingsan saja, tapi tidak bisa.
Hari-hari kulalui dengan penuh lara. Ada satu alat yang cukup membantuku untuk dapat mengurangi frekuensi batukku. Benda itu adalah inhaler dragon. Bagai ventilator, inhaler itu aku hirup setiap saat. Tak ingin menyerah dengan keadaan, aku pun mencari obat batuk mujarab di YouTube. Sampai akhirnya aku menemukan obat batuk bernama Nin Jiom Pei Pa Koa-obat batuk yang ramuannya berasal dari China. Aku sudah memastikan bahwa obat ini sudah BPOM dan juga halal. Alhamdulillah dengan ikhtiar meminum obat ini lambat laun batukku mereda hingga akhirnya sembuh.
Sakit kala itu menjadi sakit paling parah sepanjang hidup. Alhamdulillah kami masih mendapatkan bantuan dan perhatian dari keluarga, saudara dan teman saat menjalani isolasi mandiri. Betapa menjalani peran sebagai makhluk sosial yang baik menjadi sangat berarti ketika kita mengalami musibah. Belajar untuk bisa mengontrol pikiran dan emosi untuk bersabar, menjaga semangat untuk sembuh dan tetap beribadah serta berdoa di saat terkena musibah adalah hikmah dari menghargai setiap detik yang masih Allah berikan. Sakit ini menjadi peringatan bahwa, makhluk terkecil di dunia pun bisa membuat kita tak berdaya. Mau apalagi yang kita sombongkan sebagai manusia?
0 notes
lidikcyber · 2 years ago
Text
PPKM Mikro, kanit Binmas Polsek Prapat Janji Laksanakan Tracking Sebagai Langkah Antisipasi Bersama
PPKM Mikro, kanit Binmas Polsek Prapat Janji Laksanakan Tracking Sebagai Langkah Antisipasi Bersama
  Lidikcyber.com, Asahan – Program 3T (testing, tracking, tracing) merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan dalam melaksanakan program PPKM Mikro di tingkat Kecamatan, adapun langkah yang dilaksanakan adalah denga melakukan tracking kepada keluarga maupun kerabat dari pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 Kamis (08/12/2022) sekira jam 09.30 Wib. Usai dilaksanakan Tracking tentu…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
baliportalnews · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Pemkot Denpasar Salurkan Sembako, Sasar ODP, PDP dan Keluarga Pasien Positif Covid-19 BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR - Strategi perlindungan sosial dan ekonomi yang dirancang Pemkot Denpasar mulai direalisasikan. Guna memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat terdampak Covid-19, khususnya yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang melaksanakan isolasi mandiri, Pemkot turut memberikan bantuan sembako yang diserahkan dengan metode Jemput Bola pada Rabu (15/4/2020).
0 notes
nawangrizky · 3 years ago
Text
Then this happens.
Waktu aku beranjak dewasa, kalimat “musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri” membuatku selalu berdoa aku ingin kenal dengan musuhku dulu. Lalu Tuhan memberi konflik panjang dan kurasa aku sudah cukup mengenalnya: bagaimana aku menghadapi masa remaja, drama keluarga, ekonomi yang tak punya, patah hati, drama pertemanan, circle-circle toxic. Been there done that. Tapi yang baru kusadari, aku gak pernah bermasalah dengan kesehatan. 
Then covid-19 happens.
Udah setahun lebih pandemi covid-19 ini ada. Dan selama itu juga kita berusaha beradaptasi sama berbagai keadaan: ya stay at home, ya work from home, ya ekonomi drop, ya panic buying beli segala macem perlengkapan yang sebelumnya nggak dirasa perlu, masker, vitamin, hand sanitizer. dan berbagai emosi: ya takut, ya sedih, ya marah, ya kecewa.
Aku nggak bisa lupa bagaimana perasaan khawatirku waktu sadar kalo Dito masih harus berjibaku sama pasien, rumah sakit, dan alat-alat perang macem APD dan masker karena bagian dari JQR yang juga bagian dari satgas covid-19. Dia pernah bilang suatu hari bahwa kita akan perlu bersabar karena kita mungkin nggak akan ketemu untuk beberapa waktu, dia takut malah bawa penyakit untukku. Sejak itu aku nggak pernah lupa berdoa supaya Tuhan ngejaga dia dan orang-orang yang di sekitarnya.
Sahabatku, Meta, akhir tahun lalu memutuskan buat pulang ke Jawa setelah sekian lama lock down dan gak pulang kampung. Pada sebuah hari, dia pergi ke pasar sama ibunya, lalu katanya, ibunya tiba-tiba merasa pusing, ngedrop, lalu dibawa ke rumah sakit. She’s got covid. Beberapa hari di rumah sakit, ibunya meninggal dunia. Al fatihah. Meta, yang waktu itu nungguin ibunya di rumah sakit, ternyata terpapar covid juga. She spends weeks in hospital, struggling with grief, sadness, loneliness, and oxygen saturation.
Meta yang bikin aku nulis goal baru: aku pengen sehat.
Thank god, she’s fine now. Udah balik ke Bandung, suka aku teriakin kalo maskernya ditinggal karena doi mau comot-comot makanan.
 Lalu Bapak ibu positif covid.
*take a deep breath*
Kemarin-kemarin ini ada siswaku yang ngadu bahwa ada teman mereka yang covid dan memaksakan diri, yang menurut mereka, adalah alasan kenapa ia dan kawannya postif juga. Screenshot percakapan mereka berisi kata-kata kasar dan variasi umpatan. Mereka marah. Dan aku paham kemarahan itu. Di saat yang sama kawanku cerita kalau sepupunya juga bergejala covid tapi nggak periksa. Sepupunya itu punya asma dan magg yang lumayan parah. Waktu akhirnya periksa dan ternyata positif, kawanku kesal karena sepupunya memutuskan isoman, padahal menurut kawanku, ia seharusnya ke rumah sakit agar dapat perawatan yang mumpuni. Dan aku paham kekesalan itu.
Ibu sempet nggak bisa nyium bau, padahal ibu adalah pengendus profesional. Aku nggak hiperbola, gaes. Ibu bisa nyium bau ee kucing di ruang tamu padahal ibu di teras lantai dua. Gitu, dan kalian bayangin aja perasaanku waktu ibu bilang, “ibu nggak kebauan ee kucing, Ki.” sambil setengah bisik-bisik di balik masker karena beliau nggak mau buka mulut lebar-lebar karena takut akan membahayakan aku. Aku punya kekesalan dan kemarahan yang sama waktu Bapak Ibu bergejala. Di saat yang sama, ada takut, khawatir, sedih, why this, why that, what if this, what if that.
Tapi aku memutuskan untuk nggak fokus ke perasaan itu.
Ini hari kedua kami isolasi mandiri. Aku bersyukur karena Bapak udah gak demam dan ibu udah nyanyi-nyanyi dan ketawa-ketawa lagi. Kemarin ibu ngangetin ayam kecap dan gosong, dan ibu dengan gembira bilang kalau ibu udah bisa nyium bau gosong. Mereka udah duduk berdua nonton Youtube di tengah meskipun Bapak masih lemes. Aku bersyukur Mbak Tia aman dan baik-baik aja di Jakarta, aku dan Rian yang serumah sama ibu bapak juga baik-baik aja, kami baru mau antigen nanti siang.
Wulan, adiknya Dito, juga beberapa hari ini punya gejala yang sama kayak ibu. Katanya sekarang juga udah baikan, alhamdulillah. Nanti siang Dito dan keluarganya juga baru mau dites. Kayaknya juga akan berlanjut isolasi mandiri. Me and Dito are in the same page to handle this situation, kami sharing film-film yang bisa ditonton, jadi tempat curhat satu sama lain, masih sayang-sayangan dan saling mendoakan.
And it’s fine, we have each other and we have all the support we need.
 18 Juni 2021, @nawangrizky
Segala kesal, marah, panik, bingung, sedih itu adalah perasaan yang wajar, paham. Tapi aku percaya itu nggak bisa menyelesaikan masalah, cuma ngurang-ngurangin imun doang aja. Hehe. Semangat ya kalian semua yang lagi pada isoman, semangat juga buat kalian yang masih mesti berjuang keluar dan kuat-kuatan imun sama covid yang makin banyak aja. Aku doain semoga kita semua sehat-sehat aja, semua orang yang kita sayang juga sehat dan baik-baik aja.
Doain kami juga! ^^
18 notes · View notes
jafartaqi · 4 years ago
Text
Kapsul Waktu Mina (Cerita Pendek)
Tumblr media
“Bener sebelah sini kan?” tanyaku.
“iya, batasnya sampai lemari dan rak buku itu,” jawab istriku sambil berlalu menuju dapur.
Aku masih harus membereskan beberapa barang yang terletak di sudut ruangan di sebelah kamar tidur. Kami baru menempati rumah ini sekitar satu bulan dan baru saja menambah beberapa perabotan lagi. Sebuah rumah yang aku impikan, berada di lingkungan asri dan guyub antar tetangga, juga cukup ruang terbuka. Jadi, meski penataan ruang masih dinamis tetapi kebun rumah kami telah penuh terhiasi beragam flora yang kami rawat sejak awal.
Kali ini aku dihadapkan dengan dengan kotak-kotak kardus kosong kemasan dari berbagai barang dan perabot yang sudah diletakkan di berbagai sisi rumah ini. Kuambil dan kusisihkan pelindung seperti sterofoam dan plastik gelembung yang masih ada di kardus-kardus itu. Terkadang juga ditemukan buku manual petunjuk penggunaan yang kukumpulkan dalam satu kantong sendiri. Kemudian, agar lebih ringkas kulipat kardus-kardus kosong dan tumpuk jadi satu dengan sterofoam. 
BUK… 
“Eh, Suara apa itu?”
Sesuatu menghantam permukaan tegel keramik saat aku mengangkat tumpukan kardus. Aku menggerakkan leher dan kedua bola mataku ke bawah, mencari sumber suara. Sekitar dua tapak dari tempat kakiku berpijak, aku menemukan sebuah buku tergeletak di lantai.
“Buku apa ini? Darimana asalnya?”
Dari posisi jatuhnya, sepertinya buku ini berasal dari tumpukan kardus, karena posisi rak buku cukup jauh dari tempatku berdiri. 
Tidak terlalu ambil pusing, aku satukan saja buku tadi dengan kantong berisi buku-buku manual. Aku kemudian membawa kantong berisi buku itu bersama tumpukan kardus. Menuju gudang yang dekat dengan dapur.
Sesampai di gudang, kususun tumpukan kardus dan styrofoam pelindung. Jika dirasa sudah cukup banyak, tumpukan ini bisa kubawa ke pengepul rongsokan. Atau, bila diperlukan bisa digunakan kembali untuk mengemas barang. Aku lalu menuju dapur sambil memegang kantong berisi buku tadi.
“Mina…” 
Istriku tidak terlihat di sekitar dapur. Tak terdengar pula ada sahutan dari panggilanku.
“Mina, kamu di mana, Min… Hatchiiiu…”
Panggilanku sempat terpotong dengan bersin yang kututup dengan telapak tanganku. Kantong berisi buku tadi aku biarkan tergeletak di lantai.
“Eeeh, jorok deh. Kalau habis bersin cuci tangan. Jangan diusap ke kain celana gitu, Mas,” tiba-tiba terdengar suara Mina, istriku, mengomel.
Aku seperti tertangkap basah, mati gaya. Aku sudah hampir mengusap telapak tanganku ke kain celana ketika hentakan suara Mina menghentikan tindakanku yang dia anggap jorok. Ternyata dia muncul dari kebun sebelah dapur yang tadi luput kutengok.
“Eh, dari kebun ternyata. Kupanggil-panggil tidak ada jawaban, tapi pas habis bersin muncul, hahaha.”
“Hmmm iya maaf, mas. Keasikan di kebun dan emang enggak kedengeran.”
“Ooh, habis panen ya? Apa aja itu, kok banyak? Kayaknya kita ga nanem itu semua.”
“Iya, yang dari kebun kita cuma kangkung aja. Tapi kan banyak tuh, jadi tadi sempat tukeran sama Bu Terri. Dia baru aja panen wortel, sama ada dikasih teh hijau juga ini. Emang udah janjian dari kemaren.”
“Oh, barter sama Bu Terri juga.” 
“Iya. Eh sana cuci tangan dulu, jangan sampe dilap ke celana.”
“heheh, iya sampe lupa,” aku menuju wastafel dapur dan memutar keran air untuk membasuh tanganku. Aku mencuci tangan menggunakan sabun pencuci piring sebab tidak menemukan sabun cuci tangan.
“ini tolong sekalian sayurannya dicuci mas.”
“Siap.”
“Alhamdulillah, untung kamu punya hobi berkebun Mas. Bisa tuker-tukeran deh sama tetangga.”
 “Iya, untung kamunya juga ternyata suka, jadi bisa bantuin aku,” aku menjawab sambil tersenyum kepadanya.
Kulihat paras muka Mina ikut berseri-seri, meski tampak sedikit peluh lelahnya setelah panen. Paras itu hampir sama seperti pertama kali kami bertemu satu tahun lalu. Kami saling menatap dengan senyum.
Aku berjalan sambil tetap menghadap istriku. Menuju kantong buku yang kutinggal di lantai tadi. 
“Udah ya itu tiris sendiri sayurannya. Aku mau lanjut nata tempat kerjaku,” ujarku sambil mengambil kantong buku, hendak menuju sudut ruang yang belum rampung kurapikan.
“Tunggu, Jadi gimana?” 
“Hah, apanya?” aku kembali menatapnya.
“Eh, apa itu yang kamu bawa, Mas?” dia jadi lebih tertarik dengan kantong yang kubawa rupanya.
“Oh ini, buku-buku yang aku kumpulin tadi. Tapi engga cuma buku manual, tadi nemu juga ada semacam jurnal gini. Apa ini punyamu?” aku mengeluarkan buku-buku dari kantongnya dan kutunjukkan kepada Mina.
“Heeh, kok kamu bisa nemuu,” responnya seperti terkejut, “Ya, itu punyaku. Sudah lama sebenarnya. Kamu baca aja sendiri nanti. Sekarang, aku mau kita diskusi dulu.” Mina tampak serius, aku bisa mengerti tendensinya meski ia berbicara sambil menata sayuran.
“Okee,” aku bergeser ke meja makan, mengambil kursi untuk kemudian duduk menghadap Mina.
“Mas, mau teh engga? Ini aku bikinin ya,” Mina beranjak mengambil panci dan mengisi air dan memanaskannya. Ia lanjut bertanya, “Gimana, kamu jadi kerja dari rumah, kan?”
“Boleh. Iya, jadi dong! Kan ini udah mau lanjutin rancang ruang kerjanya,” aku menjawab meyakinkan, “kan sudah aku bahas waktu mau resign kemarin. Apalagi sekarang kan perlu jadi suami siaga, hehe.”
“iya, sudah mau masuk trimester kedua nih. Tapi tunggu dulu, kalau freelance dari rumah gini mas Ardi gimana dapet proyeknya?”
“Hm kalau itu, mungkin memang tidak semudah seperti di perusahaan kemarin. Tapi bismillah, rezeki engga akan tertukar. Jaringan dan koneksi buat proyek kan aku masih sambung meski sudah freelance gini”
“Alhamdulillah ya, masa pandemi ini membuat normalisasi kerja dari rumah. Jadi lebih banyak sedia waktu bareng aku juga.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Aku tadi jadi kepikiran, memang masa pandemi gini jadi titik balik bagi yang mengalami ya. Engga cuma mas Ardi, banyak orang lain di luar sana juga.” lanjut Mina sambil menyajikan seduhan teh hijau dalam satu gelas ke meja sebelahku
“Bener kamu, kalau yang cerdas lihat peluang ya mampu memaksimalkan peluang kerja dan dapet penghasilan. Tapi yang kurang beruntung, bisa jadi runyam kehidupannya setelah kehadiran pandemi.”
“He em” Mina sepakat.
“Kalau kamu tadi bilang normalisasi kerja dari rumah, aku juga bersyukur normalisasi hal-hal lain dan berharap masih berlangsung setelah pandemi ini.”
“maksudnya, mas?”
“Kaya kita kemaren nikah engga pake resepsi heboh, hanya ngundang keluarga dan teman terdekat. Pas pandemi kan banyak juga yang resepsinya jadi lebih hikmat dan hemat.”
“Emang mas Ardi ingat nikahnya kita? Kapan coba? Tanggal berapa?”
“eh, kenapa malah nanya tanggal, bukan itu poinnya, Minaa!”
“Ah, kamu ini masih saja lupa ya mas? Tanggal pernikahan sendiri aja lupa, gimana hal detil lain. Sabun cuci tangan aku sudah pesan dari lama, kamu selalu aja lupa beli” 
“Hm, mulai… iya ini nanti aku beli”
“Eh, tapi iya ya mas. Banyak ternyata ya mas hal-hal baru yang sebelumnya kurang lazim jadi diterima setelah pandemi itu,” dia kembali membahas topik sebelumnya.
Untung Mina tidak memperpanjang persoalan tanggal pernikahan. Selamatlah aku.
“Nah iya, hal-hal seperti itu kan sebenarnya yang dimaksud new normal itu. Yang aku ngga sreg kan kayak pas baru bulan ketiga-keempat yang masih parah-parahnya penyebaran virusnya tuh malah pake new normal untuk menjalankan kembali kegiatan ekonomi yang seharusnya belum dibuka.”
“ehem, jadi teringat kan” 
“Ya gimana, masih teringat juga bagaimana mereka menyepelekan adanya virus itu di negeri kita. Bukannya mencoba membenahi dengan pencegahan penyebaran atau penularan, malah keluar pernyataan aneh bin ajaib,” Aku menjadi bersemangat dan sedikit berkobar menceritakan, “Bahkan ada yang mengatakan covid-19 itu dilebih-lebihkan supaya kita takut. Justru mereka yang malah bikin masyarakat takut.”
“Eh, gimana mas? Kok bisa?”
“Iya, tetanggaku yang sakit jadi takut ke rumah sakit. Katanya swab test pasti positif lah, dipaksa jadi pasien covid lah. Nyatanya kan engga begitu. Belum lagi ada hoax soal pake masker bisa keracunan CO2, thermogun buat ngukur suhu tubuh dikata bikin kanker lah, apalagi yang sangkut pautin dengan konspirasi elit global.”
“Sudah, engga perlu emosi bahas itu. Nih, tehnya diminum deh mas”.
“Engga kok, sedikit terpelatuk aja. Dikira paman aku yang dokter jadi korban itu karena menghadapi apa sama mereka?” aku menghembuskan napas, kemudian meneguk teh seduhan Mina.  
“Masa masa itu aku cukup susah ya untuk bertahan, sekedar berusaha tetap waras aja penuh perjuangan. Apalagi bertahan hidup” 
“Kok bisa susah begitu mas?”
“hmm, seger, terimakasih ya” aku merasakan kesegaran teh yang baru saja Mina sajikan, “ee iya, gitulah. Kami kan keluarga kelas menengah, terdampaknya cukup berat. Di mana tidak bisa masuk kategori yang mendapat bantuan, tapi juga tidak memiliki cukup simpanan untuk bertahan lama. Jadi ya bener-bener berjuang hampir setiap hari buat tetap mendapat asupan yang cukup.”
“iya jadi makin hangat kan obrolan kita dengan teh hijaunya,” Mina juga menyeruput teh yang ia siapkan untuk dirinya sendiri. “Tapi nih mas,” Mina melanjutkan “dari situasi itu mas perlu bersyukur. Mas Ardi kan jadi tertempa jadi bisa bekerja dan bisa tinggal di lingkungan asri seperti sekarang. Jadi terbiasa berkebun yang bermanfaat sekarang juga kan.”
“iya iya, proses selama masa itu aku terima dengan syukur juga kok,” dengan nada lebih tenang aku mengangguk-angguk, lanjut bertanya “Kalo kamu sendiri gimana melalui masa itu, Mina?”
Hening, kutengok Mina sempat terhenti seperti berpikir.
“Eh iya, aku sih bersyukur melewati masa itu, orang-orang jadi terbiasa dengan video call sama presentasi lewat konferensi daring,” Mina memecahkan keheningan setelah beberapa saat. 
“soal itu aku juga terbantu sih, jadi brief dan rapat jarak jauh mulai biasa.” 
“Cuma nih, aku jadi nambah peran juga nemenin ponakan yang banyak tugas dari gurunya karena sekolahnya belajar di rumah.”
“Wah, ngomong-ngomong soal sekolah nih. Gimana pendapatmu soal pendidikan anak ini nanti?” aku menunjuk ke perut Mina yang berisi kandungan anak kami.
“iya sudah aku pikir sih mas, aku sepakat sama kamu, memang mending kita yang belajar aja. Pendidikan dasar anak mending kita orang tuanya yang memberi.” 
“Nah, kan pas masuk tahun ajaran baru kemarin itu banyak tuh orang tua yang tidak jadi mendaftarkan anaknya untuk sekolah. Salah satunya ada keponakanku juga tidak jadi didaftarkan ke SD sama kakakku.”
“iya, yaudah gitu dulu. Lanjut aja sana nyiapin ruang kerjamu. Nanti dibaca aja itu buku jurnalku. Ada di situ semua uneg-unegku selama masa pandemi itu kok mas.” Mina meninggalkanku menuju tempat cuci piring.
“yaudah, aku lanjut rancang ruang kerja … tapi nanti setelah aku baca jurnalmu ini, hehe.”
Penasaran karena yang disampaikannya, aku pun membuka dan mulai membaca jurnal bersampul kulit hitam milik Mina ini. Aku membaca langsung lembaran isinya yang terdapat tulisan tangan tinta pena yang cukup rapi dari Mina.
Termuat di dalamnya mulai dari cerita bagaimana hari-hari yang Mina lewati selama pandemi. Setiap berganti lembaran, tercantum kisah dan kegiatan yang dia alami dan lakukan. Ternyata tekanan dan kecemasan juga sempat dialami oleh Mina, tidak jauh berbeda denganku. 
Aku berhenti ketika masuk lembaran yang menunjukkan Juni 2020. Aku memperhatikan kata per kata yang tertulis di situ. Membolak-balik membacanya berkali-kali, sehingga aku baru sadar ada beberapa hal yang berhubungan yang aku lupakan.
Aku berdiri, menoleh-noleh menghadap ke sekeliling dapur, tidak ku temui tubuh Mina. Sepertinya dia kembali ke kebun lagi ketika aku asik membaca jurnalnya. Meneguk sisa teh di hadapanku, aku menghela napas dan menepuk-nepuk pelan dadaku.
Penuh rasa bersalah, mataku mulai terasa basah. Aku baru mengetahui sebab Mina tadi sempat termenung ketika aku mulai membahas masa itu. Dan alasan dia cukup kesal ketika aku lupa tanggal pernikahan kita tapi langsung dia alihkan ke bahasan lain.
Aku teringat memori ketika paman Mina sebagai wali nikahnya yang aku jabat ketika akad nikah. Aku baru sadar 26 Agustus 2020, hari kita menikah adalah dua bulan setelah 26 Juni 2020, hari yang berat bagi Mina. Iya, di tanggal yang sama selisih dua bulan sejak kepergian ayah Mina. Baruku sadari, perubahan ekspresi Mina selama obrolan kita tadi terutama ketika aku sebutkan pamanku yang dokter meninggal.
Juni 2020 adalah waktu yang sangat lama dilewati bagi Mina. Terbukti dari banyaknya halaman untuk bulan itu di jurnal miliknya ini. Sejak awal bulan Mina tidak dapat bertemu ayahnya, seorang dokter yang harus isolasi mandiri karena menagani pasien Covid-19. Hari-hari yang berat ketika pekan kedua mendapati kabar ayahnya harus dirawat juga. Sampai pada 26 Juni 2020 kabar yang cukup sulit diterima tentang kepergian orang yang sangat dicintai Mina itu.
Tapi menuju akhir halaman Juni, dari cerita berganti menjadi harapan dan proyeksinya setelah berakhirnya pandemi. Menjelang akhir tulisan di jurnal ini, dia menuliskan bagaimana di masa depan, kondisi setelah pandemi dia menuliskan akan tinggal bersama suami di rumah yang cukup tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Semakin terkejut aku membaca kegiatan yang dilakukan selama hari ini ternyata telah tercantum dalam buku ini.
Bagaimana tinggal di rumah yang cukup akur dengan tetangga sehingga bisa bertukar hasil panen kebun rumah. Berdiskusi dengan suami tentang pendidikan anak, kegiatan virtual, bahkan obrolan perencanaan dengan suami ternyata sudah tertulis di dalamnya. 
Dan di akhir ada kalimat yang menarik untuk dikutip.
“Pandemi ini mungkin merubah banyak hal. Tapi sejatinya, yang ditakdirkan kepadaku tidak akan melewatkanku. Banyak yang terdampak dan menjadi korban, tapi jangan sampai kehilangan harapan. Di sini aku menulis proyeksi diriku dan masa depanku. Mari berdisiplin, bangun dan menjemput masa depan itu.”
Kapsul Waktu Mina
5 notes · View notes
menjadirisendiri · 3 years ago
Text
Berdamai dengan diri sendiri : Days with the vids!
Halo semua!
Pada kesempatan kali ini, aku ingin membahas dan juga bercerita tentang satu hal yang memberikanku pelajaran untuk kembali belajar untuk bisa lebih mencintai dan menerima diriku sendiri lagi. Aku harap setelah membaca tulisanku ini, tulisanku bisa memberikan dampak positif dan juga mengubah cara pandang kalian tentang bagaimana cara mencintai diri dan menerima diri versi kalian!
Beberapa hari belakangan, sejak lulus dari sidang kembali rasanya sangat bosan ya? karena sebagian waktuku sekarang hanya diisi dengan berdiam diri, apalagi ditengah lonjakan kasus covid yang semakin tinggi tiap di Indonesia, yang mengharuskan kita semua untuk tetap berada dirumah. Jadwal wisudaku (meskipun online) juga ikut diundur karena adanya PPKM darurat yang terus diperpanjang seiring meningkatnya lonjakan kasus harian. Hal ini sempat membuatku benar-benar stress, dan bingung harus melakukan apa.
Pada awal bulan Juli kemarin, aku juga dinyatakan positif covid-19. Padahal jika di rasa, aku selalu melaksanakan protokol kesehatan dengan selalu menggunakan masker saat keluar rumah, membawa handsanitizer kemanapun aku pergi, selalu mencuci tangan dan aku juga selalu menghindari kerumunan. Jujur waktu itu aku sangat kaget, karena akhirnya giliranku datang juga karena aku bisa mendapatkan virus ini, hehe. Saat pertama kali tahu, jujur perasaanku benar-benar campuk aduk dan sedih sekali. Aku sempat marah, kecewa dan menyalahkan diriku sendiri, karena rasanya aku itu bodoh sekali sampai aku bisa terkena virus ini. Layaknya seorang wanita, aku sempat nangis selama 2 jam dikamar disaat aku tahu aku positif covid-19📷
Namun di sela tangisku, aku berfikir “Apa pantas aku marah dengan diriku sendiri? Apa pantas aku merasa kecewa dan menyalahkan diriku? Padahal, kalau dipikir ulang, siapa sih yang mau terkena virus ini? pasti jawabannya juga tidak ada yang mau. Lalu kenapa aku harus marah dan menyalahkan diriku?”
Saat sakit kemarin, aku dan mama sempat mendatangi rumah sakit. Aku melihat betapa penuhnya rumah sakit dan sibuknya para tenaga kesehatan yang hampir bisa dibilang tak kenal lelah, karena banyaknya pasien covid didalam ruang perawatan dan diluar yang menunggu giliran untuk bisa dirawat. Aku juga sempat merasakan sulitnya diperiksa oleh dokter untuk tahu bagaimana kondisiku, karena jujur semenjak dinyatakan positif covid-19, aku belum diperiksa oleh dokter. Semenjak terkena covid-19, aku juga langsung melakukan isolasi mandiri dirumah. Ya meskipun ada ke khawatiran, karena ada mama dan juga nenek yang memiliki komorbid (penyakit bawaan). Namun setelah beberapa hari isolasi dirumah, alhamdulillah aku mendapatkan kabar dari perawat di salah satu fasilitas isolasi milik pemerintahh, yang bilang kalau aku bisa melakukan isolasi dan dirawat disana! Lalu akupun merapihkan baju-bajuku dan bersiap-siap membawa barang bawaan untuk isolasi disana. Aku melakukan isolasi mandiri selama 1 minggu disana dan selama itu juga aku tidak diperkenankan untuk keluar dari kamar kecuali untuk mengambil makan dan minum yang sudah disediakan diluar ruangan. Kalau ditanya. bagaimana perasaanku saat dirawat disana? Awalnya aku sempat merasa stress dan takut, meskipun bergejala ringan aku takut tidak akan sembuh. Aku juga sempat merasa sedih, karena harus terpisah dari keluarga untuk waktu yang lama. Namun, aku tetap berusaha memberikan semangat dan meyakinkan diriku sendiri kalau aku bisa segera sembuh, agar aku bisa segera kembali pulang kerumah. Aku memaksakan diriku untuk tidak melewatkan waktu makan karena aku ingat kalau aku harus minum obat dan aku juga memperbanyak makan buah dan juga vitamin. Alhamdulillah di hari ke 8 isolasi, aku dibolehkan pulang oleh dokter yang berjaga disana, karena kondisiku yang sudah sangat membaik, meskipun masih ada batuk, pusing dan juga lemas.
Saat dibolehkan pulang, rasanya senang sekali karena bisa bertemu dengan keluarga dan untuk pertama kalinya setelah berdiam dikamar, aku bisa melihat lagi keadaan luar, menghirup udara bebas dan ada dibawah matahari tentunya! Saat sampai rumah, aku tetap menggunakan masker dan melanjutkan isolasi mandiri sampai hari ke 14. Alhamdulillah kondisiku tiap harinya terus membaik. Jujur, aku bersyukur sekali karena aku bisa sembuh dari covid-19.
Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan ketika sakit kemarin. Saat awal dinyatakan positif covid-19, aku belajar kembali kalau sesungguhnya kita tidak bisa mengontrol apapun, karena satu hal yang bisa kita kontrol adalah bagaimana cara kita merespon apa yang ada didepan. Selama melakukan isolasi, aku memiliki lebih banyak waktu untuk lebih dekat dan mengenal diriku sendiri. Aku juga belajar kembali bagaimana mencintai dan menerima diriku sendiri dan juga berdamai dengan diriku, karena aku merasa jika kita tidak berusaha untuk mencintai diri dan menerima diri, karena aku merasa kalau kita tidak bisa mencintai diri dan menerima diri sendiri, lalu siapa orang yang bisa menerima diri kita selain diri kita sendiri?
Aku percaya kali, setiap kejadian yang terjadi didalam hidup itu terjadi karena sebuah alasan. Alasan yang dimaksud ini pasti akan selalu memberikan kita lebih banyak pelajaran didalam kehidupan nantinya. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca tulisanku kali ini, semoga tulisanku mengenai “Berdamai dengan diri sendiri : days with the vids!” bisa memberikan dan membawa dampak positif bagi kalian yang sudah membaca.
Boleh sekali untuk comment, repost, dan like tulisanku ini ya!
1 note · View note
sunyiberdialog · 4 years ago
Text
Sebab jika tidak pernah merasa sakit, bagaimana kamu tahu cara menjadi kuat.
Bersyukur dengan apapun yang terjadi. Lalu dengan tenang menyikapinya. Mungkin kamu baru menyadari maksud Tuhan mengenalkanmu pada rasa sedih dan sakit. Karena segalanya terjadi selalu ada sebab akibat. Jika kamu berhasil menemukan hubungan satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Satu peristiwa ke rasa sakitmu. Sepertinya kamu akan tahu bahwa kamu selalu dilindungi oleh Tuhan.
Tetap berpikiran positif!
Note:
Semoga harimu menyenangkan. Yang sedang sakit semoga segera sembuh. Sabar ya. Yang harus berkegiatan di luar rumah, jangan lupa pakai masker dan membawa perlengkapan untuk menjaga diri dari menularnya virus covid 19, yang masih bisa bertahan di rumah bisa terus berusaha belajar jadi lebih kreatif biar gak bosan di rumah terus.
Jangan cuek dan abai sama protokol kesehatan selama pandemi yang udah diatur pemerintah, ya... Jika di luar sana kamu merasa orang-orang cuek dan santai tanpa mengenakan masker, kamu gak perlu merasa heran dan merasa bahwa kamu terlalu khawatir. Yang kamu lakukan itu benar. Kamu harus terus konsisten menjaga diri dari penularan virus covid 19 demi menjauhkan orang-orang tersayangmu di rumah dari virus jahat tersebut. Kamu juga jangan lupa, betapa jerih payah para dokter dan tenaga medis lain berjuang keras untuk merawat dan menangani pasien covid 19. Kamu masih ingat bukan? Berapa banyak jumlah dokter-dokter hebat yang wafat gara-gara tertular virus dari pasien yang mereka tangani? Jadi saat perasaan ingin mengabaikan protokol kesehatan itu muncul di benakmu hanya gara-gara terpicu melihat orang-orang santai di jalanan tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak, kamu harus ingat keluarga di rumah dan jerih payah tenaga medis yang sampai saat ini masih berjuang merawat pasien covid 19 dan banyak diantara mereka belum bisa pulang sudah berbulan-bulan.
Mari tetap saling jaga, saling mengingatkan, saling melindungi dan saling berdoa. Semoga vaksinnya segera dibuat dan pandemi ini segera berakhir.
34 notes · View notes
dzikri-asykarullah · 5 years ago
Text
Menjadi Suami Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi ( Berdamai Dengan Stigma )
Hari ini saya coba untuk menuliskan tentang hal yang paling berat dalam periode pandemi ini, yaitu menghadapi stigma masyarakat terkait covid-19. sebenarnya saya dan istri, jauh sebelum covid sudah biasa mandi dan cuci tangan sepulang kerja sebelum menemui anak kami, bahkan istri saya selalu mencuci seragam perawatnya di laundry langganan kami agar kemudian tidak bercampur dengan pakaian anak. hari itu pun saya berangkat untuk memasukkan cucian seragam istri saya ke laundry langganan kami seperti biasa, namun wajah ibu pengelola laundry an itu tidak biasa, cucian seragam istri saya ditolak, dengan alasan laundry akan tutup karena di sekitar wilayah kami sudah ada 3 orang yang positif covid-19, tapi sampai beberapa hari kemudian ketika di wilayah kami sudah bertambah warga yang positif laundry tersebut masih berjalan seperti biasa. Alhamdulillah ke esokan harinya setelah cucian seragam perawat istri saya ditolak laundry langganan, rumah sakit tempat istri saya bekerja menerapkan kebijakan semua seragam tenaga kesehatan di laundry oleh RS.
Sejak hari itu saya semakin sering mendengar cerita dari istri saya tentang teman kerjanya yang tidak boleh kembali ke kos, yang disemprot desinfektan dengan berlebihan ketika masuk wilayah rumahnya dan sederet kisah lainnya yang mengisi diskusi diskusi keluarga kami, sampai kemudian tepat dua pekan lalu istri saya mengeluh demam, saat itu suhu nya mencapai 39,7 dan beberapa keluhan lain seperti lemas dan nyeri telan. saat itu saya terus melawan berbagai firasat buruk memintanya untuk periksa dan merawatnya dengan berbagai cara yg saya bisa, seperti merebus jahe dan jeruk nipis dan sebagainya. meskipun sudah saya larang hari itu ia tetap berangkat shift malam di IGD, alasannya agar bisa sekalian periksa dan cek darah, dengan berat hati saya izinkan. benar saja hasil test CRP nya positif, hampir semua pasien positif covid CRP nya positif namun tidak semua yang CRP nya positif menderita covid. informasi itu cukup melegakan namun selama tiga hari istri saya belum menunjukkan tanda tanda membaik, tiap sore hingga malam mengigil meskipun suhunya tidak terlalu tinggi. selama itu ia hanya izin tidak masuk sekali saat shift malam, selebihnya tetap masuk seperti biasa, Alhamdulillah hasil  test thorax nya baik. istri saya menyampaikan hasil test CRP nya tadi ternyata diketahui teman2nya, dan beberapa dari mereka kemudian sedikit menjauh. dari sini kemudian saya tahu bahwa stigma tidak hanya berkembang di mereka yg tidak paham soal kesehatan, yang paham pun juga bisa memberi stigma.
Sejak awal menikah dengan tenaga kesehatan saya sudah paham konsekuensinya, dan istri saya pun di proposal pernikahannya sudah menjelaskan bahwa ia memilih profesi ini karena ingin menjadikan profesi ini sebagai bagian dari ikhtiar menuju Syurga Nya, sehingga saya tidak pernah sekalipun ragu. dan saya juga bersyukur selama masa pendemi ini Allah memberikan kesehatan kepada anak kami, ia masih aktif seperti biasa dan tumbuh layaknya anak anak sehat lainnya. karena senyum nya adalah satu-satunya alasan ibu nya untuk pulang ke rumah dalam kondisi sehat. 
Tumblr media
21 notes · View notes
bungaazzahra · 4 years ago
Text
Refleksi Keluar Rumah di Era Pandemi
Saya berniat menulis ini sejak masih di kantor, sebelum mengecek bahwa hari ini adalah hari dengan penambahan jumlah pasien positif COVID-19 terbanyak sepanjang virus ini terdeteksi di Indonesia. Sudah beberapa hari belakangan, rekor penambahan jumlah pasien terus diperbaharui, hingga hari ini lonjakan yang sangat mengagetkan.
Saya pribadi jarang bicara tentang situasi pandemi di media sosial. Tentang apa yang harus dilakukan, tentang kinerja pemerintah yang menggemaskan, tentang perilaku banyak orang di lingkungan sekitar yang seperti tidak ada apa-apa. Tentang kita yang mulai lengah dan merasa bahwa pasien COVID-19, PDP, dan ODPnya itu jauh dari lingkaran sosial kita semua.
Pertama-tama, saya bersyukur karena saya memiliki kesempatan berdiam di rumah saja. Bekerja dan beribadah dari rumah. Pekerjaan saya bukan pekerjaan tetap yang menuntut saya berangkat setiap hari ke kantor. Meski terdampak pandemi, saya bersyukur masih bisa makan bahkan aktivitas belanja juga masih bisa saya pertahankan (bukan sebuah kebiasaan yang baik, perlu diiringi dengan menyisihkan sejumlah untuk membantu kehidupan orang lain). Saya bersyukur bang @muhammadakhyar bisa mengajar, rapat, dan melakukan rangkaian penelitian dari rumah. Jujur, saya juga merasakan betapa nyamannya bekerja dari rumah yang membuat saya saat ini sudah beradaptasi menjadi lebih produktif. Bekerja dari rumah memberikan saya kesempatan merasakan kehidupan yang seimbang.
Mulai 17 Maret 2020 saya resmi mengurangi aktivitas di luar rumah. Begitu pula orang tua saya, khususnya ayah saya yang mengidap diabetes untuk beraktivitas secara penuh dari rumah. Ibu saya (ada riwayat hipertensi) beberapa kali secara mandiri mampir ke minimarket dekat rumah, tetapi saya bekali mereka masker kain yang saya percaya kualitasnya. Sebisa mungkin saya yang mewakilkan untuk pergi belanja ke supermarket, itu pun segera kembali pulang.
19 Juni 2020 adalah hari pertama saya harus bekerja di luar rumah. Kekhawatiran saya mengenai kendaraan umum masih memiliki jawabannya. Saya menyadari adalah sebuah kemewahan untuk bisa berangkat naik mobil pribadi ditemani supir ayah saya. Saya bersyukur pulang kantor mendapatkan fasilitas taksi, sehingga sampai saat ini saya belum naik kendaraan umum lagi. Saya benar-benar tahu bahwa saya memiliki kemewahan akan pilihan. Sesuatu yang sebelumnya dengan sadar tidak saya pilih, kondisi saat ini membuat saya harus memilih demikian.
Ketika ke luar rumah saya menggunakan masker kain yang saya usahakan ganti setelah lebih dari empat jam. Kebutuhan saya untuk berafiliasi yang tidak tinggi membuat saya tidak perlu terlalu banyak berubah dari sebelumnya. Saya tetap menjaga jarak dari orang lain, diam di ruangan. Saya fokus menyelesaikan pekerjaan, membaca, atau menonton video. Saya makan sendiri, kebutuhan saya mengobrol memang ada, namun dengan sadar saya kurangi. Saya sadar teman-teman bekerja saya banyak yang usianya lebih dari 45 tahun, asesi yang saya hadapi pun demikian, saya sadar bisa jadi saya membahayakan mereka. Saya juga tahu harus melindungi diri kalau masih ingin menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua saya.
Sejak awal masa pandemi, selain perilaku pribadi dalam menjaga kebersihan dan kesehatan, tidak drastis perubahan yang saya buat. Si mbak yang membantu saya membersihkan rumah tetap masuk, namun saya membelikannya masker kain, dan kami memang tidak banyak berinteraksi selama di rumah. Hampir setiap akhir pekan saya datang ke rumah orang tua saya untuk makan malam bersama, sering juga mengunjungi adik saya yang sedang hamil besar. Saya dekat dengan keluarga saya dan sejak awal tidak terlalu banyak membatasi aktivitas, saya ingin tetap begitu, maka saya berusaha sebaik-baiknya menjaga kesehatan dan kebersihan. Sejujurnya, perubahan tidak drastis yang saya lakukan juga mendukung saya untuk tetap mudah mempertahankannya.
Setiap kali saya ke luar rumah, dalam hati saya juga berkomentar tentang perilaku orang lain yang saya kira tidak sebaik apa yang saya lakukan. Melihat jalanan tidak kosong melompong (meski menurut saya berkurang juga keramaiannya) atau di supermarket dengan adik bayi atau balita, sering juga saya melakukan apa yang banyak netizen lakukan. Akan tetapi, saya pernah juga berpikir dan menyampaikannya pada satu sesi presentasi, bisa jadi mereka seperti itu karena tidak mengerti, tidak memiliki pilihan lain, dan tidak mendapatkan penjelasan dari orang-orang seperti kita yang mengetahui tapi tidak mengingatkan dengan cara yang baik.
Hal yang sedikit memberatkan saya adalah justru perilaku teman-teman di kantor yang: karena kita sama-sama sudah menjalankan protokol kesehatan maka kita sehat dan boleh melonggarkan interaksi. Ada sedikit kekhawatiran dianggap berlebihan, meski saya berusaha untuk tidak peduli, karena sejak awal saya memang bukan pribadi yang sangat hangat.
Sejujurnya, hampir dua minggu yang lalu, sepertinya ibu dan ayah saya sudah tidak tahan dan merasa bosan. Mereka mengajak saya untuk minum di kedai kopi di rest area menuju puncak. Sebuah tempat yang dulu mungkin hampir setiap minggu kami datangi. Saya bilang oke, saya pastikan mereka memenuhi protokol kesehatan, saya beri mereka pengalaman melihat lagi dunia luar dan bisa jadi merasakan ketidaknyamanan. Ibu saya merasa tidak nyaman, ayah saya tidak meminta lagi Alhamdulillah. Oh ya, ayah saya menyatakan bahwa saya adalah ketua satgas COVID-19 di keluarga kami. Saat ini, ibu saya yang memang punya alergi debu dan dingin ada sedikit batuk-batuk, ayah saya pun sedikit, namun Alhamdulillah tidak ada gejala lain. Saya berharap semoga mereka selalu sehat-sehat karena di rumah mereka kalau pagi hari banyak juga orang datang. Mulai dari si mbak yang membantu cuci setrika pakaian dilakukan di luar rumah, pak supir mencuci mobil, tukang kebun membersihkan daun-daun yang berguguran.
Saya sejujurnya cukup berpikir tentang pertumbuhan ekonomi. Saya selama ini sering diam berusaha memahami cara berpikir pemerintah. Saya merasa tidak memahami cukup baik dan saya tahu yang bisa saya lakukan adalah menjaga diri sendiri dan keluarga. Itu kecil dampaknya, tapi itu yang jelas-jelas bisa saya lakukan. Satu hal lagi, saya mengungkapkan kekecewaan saya kepada kantor-kantor tempat saya bekerja yang sebenarnya bisa menyelenggarakan kegiatan asesmen secara online, namun belum siap. Apalagi ketika kegiatan dilakukan sama seperti sebelum pandemi tanpa penyesuaian untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.
Saya masih berusaha sangat membatasi aktivitas di luar rumah karena tidak ingin mendukung orang lain jadi berpikir bahwa ke luar rumah tidak apa-apa asal menjaga protokol kesehatan. Mungkin benar demikian, namun lebih aman lagi apabila ketika kita terpaksa ke luar rumah, kita segera menyelesaikan urusan, dan bergegas kembali lagi di rumah. Saya tahu mungkin rumah bukan tempat yang paling nyaman untuk sebagian orang, kepada mereka semoga diberikan kesehatan dan kekuatan dalam menghadapi era pandemi ini. Semoga kita semua bisa menjalankan masing-masing peran dalam berkontribusi mengakhiri pandemi ini sembari juga menyeimbangkan dengan kepentingan pribadi.
Saya minta bang A berkomunikasi dengan kakak kelas saya, yang meski saya tidak kenal secara pribadi, semoga beliau diberi kekuatan dalam berkontribusi dalam gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 di Indonesia ini. Semoga beliau tetap mampu menyatakan ketidaksetujuan, semoga beliau dimudahkan menjaga idealisme, semoga ahli-ahli seperti beliau bukan sebatas menjadi alat bagi yang berkuasa untuk membuat masyarakat tenang tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Saya berharap semoga ia tidak trauma dengan pengalaman ini dan ke depan selalu mampu bermanfaat untuk Indonesia.
Saya kira hari ini sangat mengingatkan kita untuk kembali mengencangkan semangat mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Semoga sehat semuanya.
Love,
Zahra.
9 notes · View notes
maitsafatharani · 5 years ago
Text
Untukmu, Garda Terdepan
Sudah 40 hari, sejak kasus COVID-19 terkonfirmasi positif pertama kali. 2 Maret 2020, dr. Achmad Yurianto mengumumkan pasien positif corona pertama di Indonesia. Statement bahwa 'Indonesia kebal virus' tidak lagi berlaku.
Bermula dari 2 pasien saja, kini jumlah kasus tembus angka 4.000 jiwa. Diawali dari Jakarta, sekarang virus telah menginfeksi seantero Nusantara. Sama rata.
Alarm waspada telah berbunyi. Kementerian kesehatan dan perhimpunan dokter terus memantau serta menyusun pedoman penanganan. Tenaga kesehatan berjuang di lini paling depan, berhadapan langsung dengan virus 'impor' dari Wuhan. Pemerintah pusat hingga daerah tiada henti menyerukan himbauan. Larangan pengumpulan massa, larangan bepergian tanpa keperluan, tata cara perilaku hidup bersih dan sehat menjadi strategi utama pencegahan.
Dan sekarang, masyarakat harus menaati peraturan bernama pembatasan fisik (physical distancing). Kegiatan kantor ditiadakan, diganti work from home. Kegiatan belajar mengajar juga dipindah tempat, menjadi study from home.
Bagi mereka yang hidup berkecukupan, juga memiliki hunian yang nyaman, barangkali anjuran #dirumahaja tidak jadi soal yang menyulitkan. Mereka bisa menghabiskan waktu dengan mencoba berbagai resep masakan, menelepon saudara jauh yang lama tak bersua, hangout online bersama teman-teman.
Namun rupanya, amat berbeda dengan keluarga yang bergantung pada penghasilan harian. Pedagang jajanan yang kini semakin menderita karena omset yg menurun. Penyedia jasa porter barang di stasiun yang harus memutar otak bagaimana supaya anak dan istri bisa tetap makan. Pengojek online yang mulai kehilangan pelanggan.
Sekarang, kita yang harus pandai menentukan peran. Dimanakah posisi kita berada?
Untuk kita yang masih beruntung, diberikan kesehatan, rezeki, luangnya waktu, serta keluarga yg selalu ada..
Ayo turun tangan dan ikut berjuang.
Kita yang setiap hari dengan mudah mengakses info dari dunia maya, punya kelebihan untuk memahami persoalan lebih dalam. Setiap anjuran yang diberikan, laksanakan. Beritahu informasi yang benar dan bermanfaat pada keluarga di rumah, teman-teman yang belum mengerti, nasihati bila masih salah persepsi dalam memahami.
Bapak-ibu yang harus tetap mencari rezeki, juga ikutilah himbauan. Mencuci tangan tidak bisa disepelekan. Setiap kembali ke rumah dari pekerjaan, wajib hukumnya mencuci tangan, mengganti pakaian dan mencucinya segera. Ketika keluar pun, masker harus selalu digunakan, pakailah masker kain karena masker bedah dan N95 hanya untuk tenaga kesehatan.
Teman-teman yang sudah kembali dari perantauan, ajaklah kawan-kawanmu di daerah untuk melakukan aksi. Aksi menyadarkan warga tentang bahaya virus, bagaimana penanganannya, apa yg bisa dilakukan untuk mencegahnya. Jika ada warga yang melakukan perjalanan luar kota, bantu petugas kesehatan setempat untuk melakukan pemantauan. Karantina mandiri memang membosankan, tapi akan lebih menyenangkan jika ada support yang datang dari saudara, tetangga, keluarga, iya kan?
Indonesia, bahkan dunia hari ini, sedang diuji. Iya, termasuk kita semua. Maka ada satu kesadaran yang harus kita bangun untuk melalui ini semua, yaitu kesadaran bahwa ini adalah tantangan bersama. Bukan hanya bagi tenaga kesehatan dan pemerintah. Ujian ini adalah ujian yang harus mampu kita lampaui bersama-sama.
Jika kita renungkan, dalam suatu wilayah negara, lebih banyak mana, pemerintah, tenaga kesehatan, ataukah masyarakatnya?
Saya kira, masing-masing kita tahu jawabannya.
Sehingga peran pemerintah dan tenaga kesehatan, tidak bisa berdampak signifikan tanpa sinergi kita, masyarakatnya.
Pikirkan lagi, lebih dalam. Bukankah wabah ini akan lebih ringan dihadapi jika masyarakat taat dan melakukan pencegahan? Maka, sudahkah melakukan itu semua?
Karena sebenarnya kamulah titik terang perjuangan.
Kamu, yang tetap bersabar di rumah hingga selesainya wabah. Kamu, yang senantiasa mencuci tanganmu dengan enam langkah. Kamu, yang walau dari rumah, tapi tetap menggalang aksi manfaat dengan bersedekah. Kamu, yang mampu menyaring hoaks dan mencari info dari sumber yang jelas serta terarah.
Juga kamu, yang walau menyimpan rindu untuk pulang, tapi tetap bertahan ada di perantauan. Semata-mata supaya rindu tetap berada pada jalur terbaiknya, bukannya justru mencelakakan.
Untuk kamu, kita semua, garda terdepan pencegahan. Ayo bersinergi, demi Indonesia, demi seluruh manusia. Semoga Allah beri kekuatan dan kesabaran. Hingga Allah ridhai usaha kita dan menyegerakan pandemi ini untuk dapat ditekan.
.
.
.
Maitsa' Fatharani
Surakarta, 13 April 2020
13.56
12 notes · View notes
dijeedij · 4 years ago
Text
Cerita dari Rumah Sakit #2
Hari ke tujuh, kami bermukim di rumah sakit. Kau tahu kawan? Betapa banyak kesabaran yang terkumpul di bangunan pinggir kota ini. Perawat hamil yang rutin menjalankan tugas, dokter dengan jam terbang tinggi berkunjung ke kamar pasien, ahli gizi setiap pagi mengecek makanan pasien, petugas kebersihan merapikan ruangan ruangan, sampai pengantar makanan pagi siang malam hingga usai jam kerjanya. Tentu tak mudah bekerja dalam situasi pandemi, di dalam rumah sakit. Setiap waktu diliputi bayang bayang virus Covid-19. Perlengkapan seperti masker, kacamata, juga pakaian keselamatan lainnya tak pernah ditanggalkan sebelum tugas mereka tuntas. Beberapa kali abi dan ummi melontarkan pertanyaan pada perawat yang bertugas. Salah satu yang paling membekas adalah pertanyaan pertama kali kala itu. "Disini rumah sakit rujukan Covid ya mba?" "Iya pak bu. Tapi untuk yang positif beda gedung" "Oh alhamdulillah. Jadi terpisah ya mba?" "Iya terpisah, bangunannya yang di sebelah bu. Yang jaga disana harus stay 1 bulan, ngga boleh pulang bu. Dan disana ngga boleh keluar masuk ruangan. Harus tetap di dalam" "Wah satu bulan mba? Terus yang punya anak gimana? Ada istirahatnya ngga?" "Ada bu, tapi cuma seminggu. Jadi kalau sudah selesai satu bulan. Nanti shiftnya gantian. Terus selama bertugas mereka tidurnya ya disana bu, ruangannya di sekat sekat. Tanpa AC, pakai APD lengkap" "YaAllah, ngga bisa bayangin mbaa..." Hanya sepintas gambaran petugas medis, juga orang orang yang menjalani isolasi karena positif Covid. Satu pelajaran yang aku dapat, marilah kita mengupayakan yang terbaik di masa pandemi ini. Dengan tetap menjalani kesabaran dibalik tempat kita tinggal. Karena kesabaran yang kita jalani, tidak akan sebanding rasanya dengan jasa para petugas medis, berjuang untuk menyembuhkan beratus pasien. Merelakan tidak pulang, tidak bertemu keluarga, dan harus bertaruh nyawa. Semoga pandemi segera reda. Dan semua segera pulih. Surabaya, 12 September 2020, 16:39
3 notes · View notes
dionisiusdino · 5 years ago
Text
Pengalaman Semasa Lockdown
Halo teman2, sampe hari ini 16 Maret 2020 dari Italia aku masih memantau kondisi perkembangan persebaran Covid-19 di Indonesia beserta penanganan2nya (berhubung lockdown jadi tiap hari laptopan terus sambil kuliah online hehe). Secara garis besar aku kecewa dengan pola penanganan pemerintah baik dari pusat ke daerah, atau sebaliknya hingga saat ini. 
Jadi aku putuskan untuk mencoba menulis kembali. Juga untuk berbagi pandangan aja soal perkembangan pola persebaran di Italia dan di Indonesia semoga membantu ya.
Tumblr media
Sumber data tabel: https://statistichecoronavirus.it/coronavirus-italia/
Resiko terpapar tiap individu disini terus nambah (termasuk aku juga krn masih sama2 manusia) dan hampir tiap pagi dengar sirine ambulans, tetangga marah2, atau kadang saling tepuk tangan sapa2an sama tetangga lain dari balkon. Sejauh ini klo ngliat tabel tersebut sudah ada 27.980 kasus positif terinfeksi dari total 60 juta org, artinya peluang individu terinfeksi di Italia naik jd 0,043%. Dengan kematian hari ini total mencapai 2.158 orang, bertambah 349 orang yg meninggal dari kemaren fatality rate di Italy menjadi yang terbesar di dunia mencapai 7,71%, jauh melampaui China yang kini 3,8% (mari kita doakan bersama2 supaya arwahnya diberi tempat terbaik oleh Allah dan diampuni dosa-dosanya).
Sedangkan di Indonesia, sejauh ini tercatat ada 134 kasus dari total 264 juta penduduk.  Berdasarkan hal tsb, jadi sejauh ini peluang untuk terinfeksi Covid-19 di Indonesia adalah 0,00005%. Mungkin ini disebut statistik, tapi 1 nyawa hilang akibat meninggal tetap tidak bisa dibandingkan dari sekedar inputan data angka +1 di grafis :(
Tumblr media
Dinamika Fatality Rate di Italy (Sumber: dok. Zakky R Dzulfikar)
Mari kita ingat2, kalo luas 1 negara Italia (301.338 km2) bahkan nggak lebih luas dari Pulau Sumatera, atau butuh 30 kali lipat luasnya untuk bisa menyamai China. Indonesia sungguh negara besar, luas, dan jauh lebih padat dibandingkan Eropa, atau bisa dikatakan gabungan dari luas banyak negara2 Eropa. Ini membuat keprihatinanku jadi sangat besar dengan pola dan cara persebaran virus Covid-19, jika koordinasi pemerintah sangat carut-marut, bahkan tidak ada regulasi jelas hanya selalu himbauan. Kemenaker juga tidak bisa klasifikasi tenaga kerja di Indonesia yang dominan sektor informal untuk input regulasi, tumpang tindih aturan, pembatasan transportasi di Jakarta tanpa adanya tekanan regulasi ke perusahaan tempat kita bekerja dengan bersamaan / didahulukan. Sampai berita bahwa tempat wisata makin membeludak di Puncak ataupun rekreasi Pantai di Banten. Bahkan kawan lama di Tembagapura sudah ada yg kontak minta pendapat krn di Merauke sudah ada 1 kasus terinfeksi.
Aku mau membandingkan pola dulu, tertanggal 27 Februari lalu seluruh institusi pendidikan di Lombardy diliburkan 2 minggu sampai 9 Maret 2020 (POLA INI MIRIP DENGAN HIMBAUAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA). Ketika pengumuman sampai, saya masih memantau bahkan berdebat dengan mahasiswa lokal di grup angkatan dan mereka selalu beropini, “This is just fucking flu, enjoy your life please, tetap keluar aja seperti biasa, angka kematian rendah, kalian jangan terlalu terbawa anxiety, dan membuat gaduh grup ini dengan obrolan virus tiap hari". Kubu2an pendapat kawan dari China, Iran, Argentina dengan kawan dari Italia pun terjadi, karena mereka di China juga berdasarkan pengalaman genting kondisi keluarga, jadi menganjurkan utk tetap di rumah dan selalu pake masker serta cuci tangan. Ketika itu teman2 Asian masih dianggap dapat info dari 'Bad Media' menurut beberapa teman lokal, meskipun angka terinfeksi di Italia telah mencapai 655 orang. Rentang tanggal 27 Feb - 9 Maret itu saya terus pantau, ketika keluar utk belanja (krn sy memutuskan berdiam diri dikosan saja kecuali keluar belanja, Xenophobia makin parah juga tidak hanya di Italia, kasus rasial terhadap Asian karena dianggap penyebar virus). Situasinya waktu itu banyak sekali warga lokal yg berkeliaran di jalan, seperti biasa seakan tidak ada wabah, bahkan tanpa masker (anjuran Pemerintah awalnya tak perlu menggunakan masker kecuali yg ada symptom atau tenaga medis).
Tapi seiring berjalannya waktu, kenyataan berkata lain, sangat bertolak belakang. Tanggal 7 Maret Pemerintah Italia memutuskan untuk lockdown area Lombardy (regional Italia utara termasuk Milan) beserta 11 provinsi lain termasuk kota saya tinggal (Piacenza), karena kasus semakin parah ekskalasi terinfeksi melonjak DRASTIS ke angka 5.883 orang, dan kematian 17 orang, HANYA DALAM 8 HARI. Sejak itu orang2 dijalan sudah mulai berkurang, tapi tetap saja ketika ketemu orang2 di Supermarket, warga lokal sangat sedikit yang menggunakan masker, padahal di website resmi region Lombardy sudah dianjurkan untuk penggunaan masker atau merevisi peraturan awal (menurut saya pribadi tindakan advice yang ceroboh). Di fase ini pula sekitar 10 ribu warga Lombardy (utara) pulang kampung ke selatan dan berbagai penjuru kota Italia, dengan tanpa bertanggung jawab dan mengindahkan peraturan lockdown.
Puncaknya adalah HANYA DALAM 4 HARI KEMUDIAN, lewat Dekrit keluaran 11 Maret 2020 sekitar pukul 21.40 malam waktu Italia, pemerintah memutuskan Lockdown total seluruh wilayah. Angka ekskalasinya semakin parah yaitu 12.462 orang dengan kematian mencapai 827 orang. Pemerintah melalui dekritnya menyimpulkan untuk mengubah HABIT penduduk Italia yang suka nongkrong, ngopi, cipika-cipiki, dan meremehkan dengan cara ini. Saya hanya ingin mengingatkan dan menegur untuk teman2 merefleksi dari peristiwa kesombongan di Italia, untuk tidak aji mumpung, dan STAY DI RUMAH untuk saling menjaga satu sama lain. Saya tau ini sulit sekali dengan tuntutan pekerjaan, dll, tapi tolong diusahakan semaksimalnya sembari tetap mencari nafkah. Karena mungkin kita bisa kuat dan sehat, tapi belum tentu untuk ayah-ibu kita, anak-anak kecil, kakek-nenek ataupun saudara2 terdekat kita.
Klo ada yg bilang, "Lho kan di Italia faskes kesehatannya bagus. Lha di Indonesia?" Dulur-dulurku saya beri info, memang benar bahwa sistem jaminan kesehatan di Italia adalah salah satu yang terbaik di Eropa dan bahkan dunia. Namun, dengan jumlah penambahan kasus yang terus berlipat sebanyak ribuan kasus setiap harinya, kini semua RS yang ada sudah sangat kewalahan. Ventilator tidak memadai, ruangan pasien khusus suspect penuh, bed juga penuh, pasien untuk kemoterapi bahkan harus tertunda penanganannya. Pemerintah sampai meminta funding hingga sekarang karena dana medis juga makin terbatas, dan bahkan meminta bantuan tenaga medis dari China untuk sama2 menangani kasus di Italia sebagai bentuk solidaritas. Ini belum jika memikirkan bagaimana nasib pasien lain yang bukan terinfeksi virus tapi butuh penanganan darurat. Beberapa teman juga melakukan appointment harus ditunda untuk diterima RS setelah 5 hari. Bahkan yg terbaru, dokter dan perawat sudah sangat depresi karena harus memilih pasien mana yang harus diselamatkan dan tidak, karena fasilitas dan tenaga sudah tidak memadai. Juga ditambah informasi kalau pasien yang sekiranya sudah terlalu tua (di atas 80 tahun) dan/atau yang sudah terlalu kronis sakitnya, tidak akan diterima lagi di RS akibat ketiadaan tempat utk menampung pasien.
Semua kembali lagi ke HABIT DAN KEBIASAAN kita dan lingkungan sekitar kita untuk bisa menghentikan persebaran virus Covid-19 ini. Kalo kita denial, acuh, bahkan sombong dan menyerah dengan keadaan, kebiasaan baru tidak akan tercipta, menggagalkan persebaran virus hanya jadi keniscayaan. Sejauh ini saya bersama 4 teman lain dari Indonesia masih tinggal di momen lockdown dalam kota ini, kami terpaut jarak 1 1/2 jam dengan kereta dari saudara2 Indonesia kami di Milan. Kami mengikuti prosedur pemerintah, WHO dan CDC, serta arahan KBRI. 
Seperti menjaga jarak 1 meter, membawa surat jika keluar rumah, tidak bepergian keluar kota, keluar rumah untuk belanja (ada aturan 15 orang maksimal dalam 1 ruangan supermarket), tidak menimbun makanan & keperluan secara berlebihan (keluar hanya 6-7 hari sekali), tidak panic buying, tidak kongkow2 dan berkumpul, keluar rumah untuk alasan medis atau alasan darurat seperti pulang kampung saja. Kita juga mengikuti arahan hasil Kulwap (Kuliah Whatsapp) di grup Mahasiswa di Italia bersama pembicara dari kawan WNI yg studi PhD Microbiology di Radboud University beberapa pekan lalu. Dari situ kita semakin mendapat informasi tentang Virus ini, menjalankan saran untuk makan sehat, menambah imunitas, jahe (karena anti-inflamasi tinggi), reresik, serta cuci tangan selalu dan mengoptimalkan penggunaan masker dimanapun kita berada. Kami semua dalam keadaan sehat, terus kuliah, bekerja dan akan berupaya terus sehat dengan saling menjaga satu sama lain :)
Aku sertakan link dibawah dari website media Italia tentang aturan ketika lockdown untuk sekedar informasi & pertimbangan, bukan untuk dijiplak mentah2, jika mungkin ingin bertanya silahkan saya sangat senang jika bisa berbagi.
https://www.corriere.it/cronache/20_marzo_13/passeggiate-sport-all-aperto-certificati-seconde-case-ecco-regole-governo-7af1adf4-64eb-11ea-ac89-181bb7c2e00e.shtml
Semoga membantu sebagai pengingat dan penegur, serta terima kasih telah meluangkan waktu membaca, jangan lupa berdoa selalu. Salam solidaritas seduluran ! 
Tumblr media
(foto ketika pertama kali tiba di Piacenza, 7 September 2018)
10 notes · View notes
distributornitrico · 4 years ago
Text
0821-3148-4487 ( TSEL ) Pengobatan Covid 19 Secara Mandiri
Apakah anda membutuhkan info tentang Pengobatan Covid 19 Secara Mandiri,Mengobati Covid 19 Secara Mandiri,Cara Penyembuhan Covid 19 Secara Mandiri,Suplemen untuk Pengobatan Covid 19 Secara Mandiri,Vitamin untuk Pengobatan Covid 19 Secara Mandiri,Nutrisi untuk Pengobatan Covid 19 Secara Mandiri?
Tumblr media
KARANTINA MANDIRI
Dilansir dari laman Instagram Kemenkes RI ( https://www.instagram.com/p/B9yzdX3FT0x/ ), ketika seseorang merasa kurang sehat, seperti demam atau gejala penyakit pernapasan yang lain, secara sukarela agar tinggal di rumah atau tidak bekerja, tidak sekolah, atau ke tempat umum lainnya.
Adapun kriteria kurang sehat yaitu demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan dan sesak nafas. Apa saja yang harus dilakukan di rumah saat self-isolated atau karantina mandiri?
1. Selalu gunakan masker. Ganti setiap hari dan langsung buang ke tempat sampah tertutup, kemudian cuci tangan dengan benar.
2. Konsumsi makanan bergizi, istirahat cukup. Termasuk mengkonsumsi Nitrico
3. Upayakan ruang terpisah dengan anggota keluarga yang lain dan jaga jarak dengan orang sehat minimal 1 meter.
4. Hindari pemakaian bersama alat makan (piring, sendok, garpu, dan gelas). Cuci alat makan dengan air dan sabun.
5. Tetap di rumah dan mudah dihubungi. Jika terpaksa harus keluar rumah, gunakan masker, serta hindari kerumunan atau keramaian.
6. Jaga kebersihan rumah dan gunakan cairan disinfektan.
7. Hubungi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. FAKTA TENTANG NITRICO
1. 97% pasien positif Covid-19 dinyatakan negatif setelah rutin mengkonsumsi NITRICO selama 5 hari.
2. Ribuan orang sudah merasakan manfaat luar biasa dengan mengkonsumsi NITRICO.
3. Kandungan Natric Oxide (NO) dalam NITRICO sangat dibutuhkan untuk melawan virus di dalam tubuh.
4. NITRICO mengandung L-Glutathione sebagai antioksidan terbaik.
5. NITRICO mengandung ekstrak tebu yang kaya akan zat polifenol sehingga mampu membantu meregenerasi sel pankreas yang mulai lemah terutama pada penderita diabetes.
6. NITRICO mengandung kalsium, mineral, asam amino, serta vitamin yang berasal dari buah-buahan dan sayuran alami untuk memperkuat daya tahan tubuh.
BAGAIMANA NITRICO BEKERJA MELAWAN COVID-19?
Nitric Oxide (NO) adalah senjata utama tubuh untuk melawan virus dengan cara menghambat perkembangan virus Corona yang sudah dibuktikan oleh peneliti di dunia. Selain kandungan Nitric Oxide (NO), NITRICO dilengkapi formula L-Glutathione, asam amino, vitamin, mineral yang meningkatkan efektifitas kerja Nitric Oxide (NO) dalam tubuh.
APAKAH NITRICO AMAN DIKONSUMSI OLEH PENDERITA DIABETES, HIPERTENSI, IBU HAMIL ATAUPUN ANAK-ANAK?
NITRICO aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak diatas 5 tahun. NITRICO mengandung Nitric Oxide (NO) akan membantu memperlebar pembuluh darah yang dampaknya bisa menurunkan tekanan darah serta memperlancar aliran darah dalam tubuh, mencegah stroke dan serangan jantung.
Di otak, Nitric Oxide (NO) bekerja meningkatkan ingatan dan pola pembelajaran, serta mencegah dimensia dan penyakit Alzheimer.
Kandungan Nitric Oxide (NO), vitamin, serta serat alami di dalam NITRICO dapat membantu melancarkan pencernaan.
Bagi Penderita Diabetes, Mengonsumsi NITRICO dapat menambah kadar nirit dalam darah sehingga mempercepat proses metabolisme gula darah.
Mengonsumsi NITRICO sangat penting untuk menjaga kulit tetap lembut serta sebagai anti aging dan anti stress alami.
NITRICO juga bekerja memperlebar pembuluh darah di paru serta membunuh virus atau bakteri di paru termasuk tuberculosis.
Nitric Oxide (NO) dapat memperlebar pembuluh darah di ginjal dan melancarkan filtrasi di ginjal sehingga mencegah kerusakan pada ginjal.
Di sisi lain, Nitric Oxide (NO) juga memiliki peranan dalam mengatasi masalah kesehatan seksual (disfungsi ereksi) serta kesehatan sendi. Seiring bertambahnya usia, produksi Nitric Oxide (NO) akan terus berkurang sehingga sendi mengalami gangguan atau peradangan maka perlu tambahan Nitric Oxide (NO) lewat NITRICO.
INFO LEBIH LANJUT HUBUNGI
CALL / SMS : 0 821-3148-4487 ( TSEL )
WA : 0 821-3148-4487
https://nitricosuplemen.wordpress.com/
1 note · View note
maydaummah · 5 years ago
Text
Expressive Writing
Malam ini aku mengikuti kelas online tentang situasi bagaimana merespon kecemasan pada saat pandemi. Aku mendapati informasi ini dari #nakindonesia Yayasan Bayyinah Quran Indonesia.
Kenapa aku mengikutinya? Buat aku ini penting banget temen-temen. Karena selain untuk menambah ilmu hal ini adalah suatu kebutuhan yang urgent dan memang harus segera di atasi. Bisa untuk berbagi untuk keluarga, sodara, dan temen-temen di lingkungan sekitar kita. Banyak sih.. alasan lain karena suatu hal yang wajib dan harus diketahui baik diri sendiri maupun orang lain.
Sebelumnya aku juga mengikuti kulwap yang sama tentang penanggulangan bencana di Indonesia dari Indonesian Youth on Disaster Risk Reduction (IYDRR) bersiap menghadapi COVID-19. Kalau tahun lalu bahas Gempa Bumi. Aku mengikutinya sebelum separah ini sihh..dan kelasnya masih hidup hingga sekarang. Luar biasa. Semoga bisa lebih lama menjalin silaturahmi dari teman-teman dan Narsum IYDRR. Aku ga mengikuti secara detail kulwap ini. Ga terlalu fokus. Entahlah aga stress memang.
Dan fokus kajian malam ini merespon kecemasan tadi.
Arrundina Puspita Dewi, M.Psi., Psikolog
Ngobrolin tentang kecemasan, pertama kita perlu tahu terlebih dahulu nih kalau cemas itu emosi yang dialami semua orang. Cemas merupakan salah satu jenis emosi negatif. Rasa cemas sendiri, mempunyai kegunaan sebagai bentuk “alarm” akan adanya ancaman dan bahaya. Tanpa adanya cemas, saat berhadapan dengan situasi yang berbahaya, kita jadi tidak tanggap dengan situasi dan tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi tersebut. Jadi cemas sebenarnya merupakan emosi yang dirancang sebagai bentuk pertahanan diri. Ketika kita mampu memanfaatkan rasa cemas untuk mempertahankan diri, kecemasan ini pun menjadi emosi negatif yang bermuatan positif (karena berdampak positif untuk diri kita). Sementara sebaliknya, ketika kecemasan kita berlebihan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, rasa cemas ini menjadi emosi negatif yang juga bermuatan negatif (karena berdampak merusak diri). Jadi teman-teman semua perlu tahu bahwa emosi negatif tidak selalu berdampak negatif pada diri kita. Kembali lagi, bagaimana kita memanfaatkan emosi negatif tersebut untuk bertahan, atau justru merusak diri. Emosi negatif yang berdampak positif bisanya disebut dengan healthy negative emotion, dan yang berdampak negatif disebutnya unhealthy negative emotion. Jadi emosi negatif tidak selalu "tidak sehat" ya teman-teman 😊
1. Bagaimana cara mengatasi kecemasan diri dan orang di sekitar kita?
Kenali dulu diri sendiri. Memang memiliki kepribadian pencemas kah? (cemas setiap saat) atau memang hanya cemas di situasi tertentu yang dianggap mengancam? (situasinya tiap orang berbeda-beda). Sebagian besar orang memiliki kecemasan situasional. Jadi cemasnya ketika berhadapan dengan situasi tertentu saja, dan situasi yang dianggap seseorang mengancam belum tentu juga mengancam bagi orang lain. Kok bisa? Karena adanya perbedaan persepsi
Nah kalau begini, coba pahami situasi tersebut wajarkah dirasa mengancam? Mengapa? Contoh situasi Corona saat ini ya, wajar kah untuk mengalami cemas? Ya wajar. Karena situasi yang mengancam kesehatan tubuh, kita tidak dapat melihat virus yang menyebar, tidak tahu siapa saja yang membawa virus, dll. Jadi cemas muncul karena situasinya mengancam nyawa dan tidak bisa dikendalikan.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecemasan? Karena rasa cemasnya muncul akibat situasi yang tidak bisa dikendalikan, mulai lah mengatasi kecemasan dengan mengendalikan hal-hal yang bisa dilakukan diri sendiri untuk melindungi diri dari virus ini. Bisa dengan membuat daftar checklist untuk menjaga kesehatan misalnya. Rajin cuci tangan per 20 menit sekali, konsumsi buah-buahan, makanan bergizi, istirahat yang cukup, dll. (sesuaikan dengan diri sendiri, karena setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda) Tulis di sebuah buku yang memang dikhususkan untuk mencatat hal-hal yang dilakukan untuk menjaga kesehatan. Anggaplah buku ini seperti raport, tapi isinya daftar kegiatan yang dilakukan setiap hari untuk menjaga kesehatan. Dengan tercatat seperti ini, kita pun akan berpikir menjadi lebih positif karena perilaku yang dialkukan untuk menjaga kesehatan menjadi leih terukur dan lebih objektif.
Noted:
Kecemasan bisa menjadi emosi negatif yang bermuatan positif (karena berdampak positif untuk diri kita) healthy negative emotion.
Karena rasa cemasnya muncul akibat situasi yang tidak bisa dikendalikan, mulai lah mengatasi kecemasan dengan mengendalikan hal-hal yang bisa dilakukan diri sendiri untuk melindungi diri dari virus ini.
2. Bagaimana cara menyikapi pandemi ini dengan lebih bijak?
Situasi pandemi ini memang tidak nyaman dan membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi dengan berbagai perubahan dan mengelola keadaan emosi dengan lebih baik. Saya sendiri juga sempat merasa cemas berlebih karena situasi ini, stress karena harus bawa kerjaan pulang ke rumah, dll. Sampai saat ini juga masih beradaptasi dengan perubahan situasi yang tidak normal ini. Nah, untuk mengatasinya, tips yang ada di infografik bisa diterapkan untuk menyikapi situasi ini dengan lebih baik. Mulai dengan perbanyak melakukan aktivitas positif, seperti membiasakan diri untuk melakukan meditasi setiap harinya, paling tidak selama 5-10 menit, perbanyak menuliskan emosi apapun yang dirasa selama situasi ini dan mendengarkan musik yang menenangkan atau bisa juga dengan mengaji atau mendengarkan kajian agama, atau melakukan hobi yang memang sudah lama tidak dilakukan karena kesibukan selama ini.
Selain itu, kurangi pula membaca berita yang berkaitan dengan situasi saat ini. Terutama berita-berita negatif, yang dari membaca judulnya saja sudah membuat kita resah. Berita dengan judul seperti ini biasanya adalah berita hoax. Ingat kembali bahwa situasi yang dihadapi saat ini belum dapat dikendalikan, sehingga daripada menambah kecemasan, kendalikan lah apa yang diri kita sendiri bisa kendalikan. Salah satunya dengan membatasi berita yang dibaca. Jika memang membutuhkan informasi megenai data atau informasi terkini, silakan akses di situs resmi pemerintah atau WHO yang memang dikhususkan untuk pandemi ini.
Untuk yang masih menyepelekan dan menganggap remeh. Hmmm
Geregetan ya memang berhadapan dengan orang yg seperti ini. terlihat santai dan seperti menganggap remeh situasi saat ini. Nah, untuk orang-orang seperti ini, berarti sistem alarm-nya tadi sedang tidak jalan di tubuhnya. karena dia mempersepsikan situasi saat ini tidak mengancam. Kalau begini, cara menghadapinya bisa dengan memberitahukan informasi terkini mengenai pandemi dan informasi terkait bagaimana penanganan di RS saat ini dimana para tenaga medis sudah kewalahan menerima pasien, bagaimana tidak enaknya jika sakit, dan bagaimana menyedihkannya prosesi pemakaman bagi mereka yang terkena penyakit. Jika informasi seperti ini terus menerus muncul di kesehariannya, lambat laun alarm-nya tadi bisa jalan. Jika memang tidak juga, coba diingat-ingat, selama ini memang si orang tersebut terlalu cuek kah dengan keadaan sekitar dan memang tipe orang yang suka menyepelekan hal-hal di sekitarnya? Jika iya, ya kita tidak dapat berbuat apa-apa hingga dia sendiri mengalami kejadian tidak menyenangkan terkait situasi saat ini.
_
~ Ulasan ini semoga dapat membantu dan bermanfaat. Jaga kesehatan, jaga diri, jaga iman, dan imun. Aamiin insya Allah Bumi membaik dari wabah ini.
~ @maydaummah || Bekasi dan Berbagai daerah, 070420.
#maydaummah #covid19 #stayathome #stayhelathy #mentalhealth #nasihat #hikmah #dirumahaja #motivasi
Tumblr media
8 notes · View notes