#Keluarga Pasien Covid-19
Explore tagged Tumblr posts
Text
TURISIAN.com – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengemukakan ide inovatif untuk menghadirkan Sound Healing sebagai metode pengobatan alternatif. Dalam acara “Talkshow Sound Healing” di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Rabu 24 Juli 2024 lalu, Sandiaga mengusulkan penggunaan alat musik tradisional. Atau, instrumental untuk kesehatan jiwa di desa wisata Indonesia. Mengutip data WHO tahun 2019, Sandiaga menyebutkan bahwa sekitar 970 juta orang di dunia mengalami gangguan mental. Termasuk, kecemasan, dan depresi, yang berdampak negatif pada hubungan pribadi dan keluarga. “Saat bertugas di DKI sebagai Wakil Gubernur, saya bersama Prof. Noriyu menemukan bahwa hampir 20 persen warga Jakarta mengalami masalah kesehatan mental. Ini perlu kita sadari, pahami, dan deteksi secara dini,” ujar Sandiaga. BACA JUGA: Tren Traveling ‘Wellness Tourism’ Kian Booming, Contoh di Ubud Bali Ini Sementara itu, sejak pandemi COVID-19, minat wisatawan terhadap wellness tourism meningkat. Terutama di kalangan generasi Z yang sangat peduli dengan isu kesehatan mental. Kemenparekraf telah mengembangkan sekitar 6.016 desa wisata yang tergabung dalam Jadesta (Jaringan Desa Wisata) di seluruh Indonesia. Sandiaga melihat potensi Sound Healing sebagai daya tarik wisata di desa-desa tersebut, selain pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kesehatan di Sanur, Bali. “Setiap daerah di Indonesia memiliki alat musik khas. Di Rumah Sakit Marzoeki, misalnya, terdapat angklung," katanya. BACA JUGA: Layanan Garuda Wellness Buat Nunjukin Sebagai Maskapai Bintang 5 "Kita bisa sesuaikan dengan alat musik khas setiap daerah, seperti angklung di Jawa Barat, kolintang di Sulawesi Utara, dan gamelan di Jawa Tengah,” jelas Sandiaga. Menurut Sandiaga, Sound Healing tidak hanya menambah produk wisata. Tetapi juga memberikan layanan pariwisata yang relevan dengan isu lingkungan, kesehatan mental, dan musik yang diminati generasi Z. Harpist, actor, dan practitioner BioResonance, Maya Hasan, CMP, menambahkan bahwa musik tradisional Indonesia memiliki potensi kuratif dan preventif. BACA JUGA: Kajari Gianyar Bali Agus Wirawan Ingatkan Ubud Bisa Ditinggalkan Wisatawan Kebutuhan anestesi “Musik instrumental disarankan agar tidak ada memori negatif terkait kata-kata atau kejadian dalam hidup,” kata Maya. Musik di institusi kesehatan juga membantu menurunkan stres tenaga medis. Sehingga, memungkinkan mereka bekerja lebih optimal dan mengurangi kebutuhan anestesi pada pasien lansia yang menjalani operasi. Sedangkan, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional - RS Marzoeki Mahdi, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ, menekankan pentingnya berbagai aktivitas. BACA JUGA: Destinasi Wisata Tujuan Study Tour Saat Libur Sekolah, Catat Tempat Ini Hal ini penting, untuk mempersiapkan dan mendukung orang dengan gangguan jiwa agar mandiri dan kembali berfungsi di masyarakat. “Yang penting adalah tidak melakukan self-diagnosis. Silakan mencari bantuan profesional dan jangan menstigmatisasi diri sendiri,” kata Nova. Acara yang dihadiri oleh pegawai internal Kemenparekraf, Pemda Jakarta, akademisi, asosiasi. Dan industri wisata kebugaran ini juga menampilkan praktik terapi Sound Healing selama 30 menit, dipandu oleh Maya Hasan. Menparekraf didampingi oleh Staf Ahli Bidang Reformasi dan Birokrasi Kemenparekraf/Baparekraf, R. Kurleni Ukar, dan Direktur Wisata Minat Khusus Kemenparekraf/Baparekraf, Itok Parikesit. ***
0 notes
Text
apakah ada momen dalam hidupmu yang membuatmu merasa perjalanan menyembuhkan dirimu dengan sadar dimulai? momen apa? apa kegiatan healing favoritmu?
Mau nulis prompt 3 maju mundur euy😁
Perjalanan healing secara sadar ? Ah tepatkan di momen apa saya tidak yakin tapi satu hal saya mengambil kesimpulan bahwa perjalanan healing di mulai secara sadar betul ketika memutuskan untuk bekerja menjadi perawat klinis.
Antara takdir, keterpaksaan atau kebutuhan atau tidak ada pilihan lain. Begitu pikiran saya 3 tahun kebelakang saat menerima WA dari asisten manager keperawatan RSUI yang menawarkan saya untuk menjadi relawan Covid.
Rasanya ingat betul sebelum bekerja saat ini saya hanya membantu asisten kaprodi ners diruangan yang mengurus tata administrasi dan juga kelengkapan berkas ketika ada fee tambahan buat dosen. Sesekali di minta menjadi fasilitator diskusi mahasiswa dimana sebenernya waktu itu menjadi impian saya. Fasilitator DK (diskusi kelompok) ternyata saya merasakan juga perasaan gemees banget saat mahasiswa di berikan 1 kasus pemicu kemudian harus di selesaikan hingga step mencari jawaban atas pemicu yang diberikan.
Selesai urusan di kampus pernah juga saya mengajar privat 2 anak pondok yang mereka adalah anak yatim untuk persiapan UN. Fee saat itu saya hanya 300k/bulan untuk 2 anak. Belajarnya seminggu 3x. Waktu itu sempet tidak percaya karena menurut saya terlalu murah. Tapi mamah mengingatkan bahwa anggap saja menjadi jalan kebaikan buat anak yatim toh Pondok tahfidz nya juga deket rumah jadi anggap membantu. Baik saat itu saya lakukan sampai akhirnya pandemi covid tiba dan kegiatan mengajar privat di selesaikan.
2 pekerjaan lalu sebelum menjadi perawat menjadi waktu waktu saya terus mempertanyakan diri, menyalahkan diri karena selepas lulus profesi tidak bisa langsung bekerja. Ya karena saat itu saya merasa saya sangat ideal. Lulusan profesi ners tapi engga mau kerja di RS. Ya agak sulit atuhh 🙂
Saya terus berusaha mendobrak paradigma bahwa lulusan profesi ners bisa kok kerja selain di RS atau pelayanan. Tiap hari saya mengirimkan CV melamar pekerjaan non RS atau selain tenaga perawat. Pernah saya dapat tawaran hingga wawancara menjadi supervisor di salah satu klinik kecantikan daerah rumah saya. Namun saya gagal ketika wawancara tahap direksi.
Hingga akhirnya berbagai peristiwa mengantarkan saya menjadi tenaga relawan perawat Covid 19. Tentunya tidak segampang itu karena kedua orangtua cukup keberatan. Tapi saya memberikan alasan karena covid bapak jadi tidak bekerja lalu bagaimana agar dapur terus menyala ? Mau gak mau saya mengubur impian saya bekerja di non RS dan memgharuskan saya berdamai dengan diri bahwa saya akan menjadi perawat yang bekerja di RS.
Rupanya Allah maha baik. Ditempatkan saya di ruang NICU perina. Ruangan yang tidak mengharuskan saya bertemu banyak orang dewasa atau pasien dewasa laki laki. Ternyata momen healing saya di mulai saat ini. Bertemu banyak pasien bayi dengan berbagai kondisi dan latar belakang keluarganya. Favorit saya adalah ketika ikut serta dengan DPJP (dokter penanggung jawab pelayanan) untuk memberikan edukasi terkait kondisi dede bayi. Disini banyak mendapat ilmu sekaligus saya ke trigger untuk mencari hal berkaitan penyakit, cara berkomunikasi dengan keluarga hingga mengetahui kisah kisah yang saya temui.
Kemudian lambat laun kisah yang sangat membekas saya share ke medsos IG dan ternyata cukup mendapat respon positif. Doakan semoga saya bisa melanjutkan hal baik ini.
Ternyata perjalanan menyembuhkan diri sendiri dalam hidup saya adalah ketika saya harus dihadapkan pada takdir yang tidak saya inginkan. Takdir yang menurut saya kurang baik ini adalah hanya anggapan dan terbatasnya saya dalam masa depan. Allah merencanakan jauh lebih indah dari dugaaan kita.
Healing terindah dimulai dengan menerima takdir takdir yang terjadi dalam hidup kita dan kita upayakan untuk terus imani agar menuai banyak hikmah kehidupan
#day3
Izin kak @prawitamutia agak telat karena beberapa hari pasien membludak🥹mari doakan semoga dede bayi yang dirawat di nicu perinah semuanya sehat dan lekas pulih
0 notes
Text
Ailurophobia dan Covid 19.
Sebelum tahun 2020 saya adalah seorang ailurophobia, orang yang takut dengan kucing. Kalau ada kucing yang mendekat, wah degdegan banget padahal gak bakal kenapa-napa. Pikiran buruk kemana-mana dimulai dari bulunya akan terbang-terbang, kutunya loncat-loncat ke kulit, bakal digigit dengan taringnya yang tajam, dicakar-cakar. Padahal itu belum tentu kejadian!
Suatu ketika diawal tahun 2020, saya harus dirawat inap ditempat kerja sendiri dengan diagnosa parathypi (Tifus) karena diduga kelelahan kerja menjadi swabbar. Saat itu lagi banyaknya permintaan pemeriksaan swab covid19 dan tiba-tiba jadi swabbar dadakan. Ceilah! Setiap hari ketemu dengan banyak orang yang diduga terjangkit covid19, entah sudah mencolok berapa hidung pasien untuk dilakukan tes PCR atau antigen.
Sepulangnya dari rawat inap itu, baru diberi tahu kanit ruangan perawatan kalau ternyata Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) saat dirawat terkena Covid juga. Jadi saat dirawat inap saya dan DPJP (yang diduga sudah terkena Covid) melakukan kontak karena divisite secara langsung. Kaget? Tentu aja! Apalagi sepulangnya kerumah udah ngerasa gak bisa nyium bau apa-apa, seperti halnya gejala-gejala Covid pada umumnya.
Akhirnya saya harus menjalani isolasi mandiri dan diungsikanlah sendirian ke 'rumah kecil' yang gak jauh dari rumah utama, jarak dari rumah utama ke rumah kecil ini hanya terhalang satu rumah tetangga. Fungsi rumah kecil ini sebenernya bekas ditinggali sama kakak waktu dulu, setelah dia nikah dia pindah rumah bersama dengan istrinya. Rumahnya tidaklah besar, hanya satu lantai dengan satu kamar mandi dan satu kamar tidur. Tidak ada dapur dan hanya ada ruang televisi. Cukup simple untuk dihuni single atau orang yang baru nikah dan belum punya anak. Rumah kecil ini jadi tempat isolasi mandiri selama kurang lebih satu minggu sambil menunggu hasil PCR dari tempat kerja.
Rumah kecil inilah yang bisa dibilang tempat Oky bermeditasi dan dewasa (dari yang sebelumnya). Harus tinggal sendirian karena sakit penyakit menular, sakitnya covid udah kayak habis ditabrak kereta kalo kalian udah tau gimana rasanya. Jaringan internet terbatas hanya dari tethering ponsel (karena WiFi ada di rumah utama), makanan terbatas karena gak ada dapur (ada kompor portable yang bisa dimasak cuman mie instan) dan dari itu semua cuman dapat hiburan dari flashdisk berisi film-film series yang sudah diunduh sebelumnya. Gabisa Netflix juga aaa~
Rumah kecil ini juga yang ternyata mempertemukan saya dengan keluarga kecil mereka. Mama kucing dan ketiga anaknya ternyata sudah sangat familiar dengan teras 'rumah kecil' ini. Mereka tidak segan untuk menginap diteras dimana mama kucing menyusui anaknya juga, anak-anak kucingnya bermain dengan pot tanaman. Mereka ternyata lebih dulu tinggal diteras rumah ini ketimbang saya, anak pemilik rumah.
Kadang saat akan menyapu teras pagi-pagi sambil berjemur, mereka loncat-loncat dikaki. Gimana rasanya? GELIIIIII WOOOY~. Bahkan saat mau berjemur saja bisa gak jadi keluar karena suara derit pintu bagi mereka seperti suatu undangan selamat datang untuk para kucing yang biasanya ada di teras. Buka jendela kamar, anak anak kucing masuk dengan bebasnya kekamar. GAK BISAA! GAK BISA DIGITUIN GAK BISAAA!!
Ada hari dimana kepala sakiiit banget, badan panas karena demam, hidung gak bisa mencium apa-apa, nafsu makan gak ada dan yang jadi hiburan adalah... nontonin emak kucing yang sedang menyusui anaknya. Suatu hal yang lumrah dan menyenangkan untuk melihat mereka sampai berjam-jam lamanya, saat menonton mama kucing tidur siang sambil nyusuin anaknya, setelah anak-anaknya selesai menyusui pada induknya merea bermain loncat-loncatan, lari kesana kemari, cabok-cabokan dengan saudaranya sendiri. Sesuatu yang lucu untuk menonton daily life kittens secara langsung, bukan dari NatGeo.
Merasa ditemani. Merasa didengarkan saat curhat. Merasa diperhatikan saat tatapan dari jendela, mama kucing melihat anak yang sedang isolasi menangis karena sakit kepala dan gak bisa melakukan apa-apa. Mata mama kucing itu menatap dengan peeenuh kasih sayang. Gak tau ya kasih sayang beneran atau enggak. Padahal komunikasinya juga lewat kaca jendela yang tertutup karena takut anak-anaknya pada masuk.
Seorang ailurophobia yang sedang menjalani isolasi mandiri karena covid lama kelamaan merasa gak lagi takut untuk interaksi sama kucing. Perlahan-lahan kaca jendela dibuka biar mereka bisa nongolin kepalanya buat dielus-elus. Semakin bisa interaksi dengan kucing, semakin juga badan pulih dan kehidupan mulai lagi dengan normal.
Selesai isolasi, pindah lagi ke rumah utama biar gak susah jangkau makanan dan WiFi. Sedihnya karena sibuk lagi kerja, mama dan anak kucing juga ditinggalkan, seminggu setelah pindah mereka juga gak kelihatan lagi diteras rumah kecil.
Sedih? Ya. Sekaligus menyesal kenapa gak memperlakukan mereka dengan lebih baik lagi saat isolasi mandiri waktu itu. Mereka dengan baik ataupun dengan tidak sengaja menemani manusia yang sedang sakit dengan tulusnya. Apa manusia ada yang pernah memperlakukan mereka dengan baik?
Sebagai gantinya si Mama kucing dan anak-anaknya, kucing yang entah darimana ini datang dan sempat melahirkan dirumah utama. Namanya si Centang karena bulunya yang susah diatur dan mencuat kearah luar tubuh ini hobi makan apapun dari makanan sisaan kami. Semakin menambah kekisruhan kami sebenarnya, karena pada dasarnya orang tua bukan orang yang suka dengan kucing. Tapi karena si Centang ini kucing yang bisa berbaur dengan manusia dan sifatnya clingy, abah (bapak) yang setiap shubuh shalat di mesjid pun dia antarkan sampai gerbang mesjid dan balik ke rumah. Itulah kedekatan si Centang dengan abah.
Sampai saat ini kalau ada kucing, sebenernya bukan rasa suka yang lebih dulu yang muncul. Tapi merasa berterimakasih sudah mau ada disamping manusia dengan berbagai kebutuhan mereka yang complicated. Rasa berterimakasih itulah yang akhirnya menggeser dari ailurophobia menjadi ailurophile, seorang yang menyukai kucing.
Sejak saat itu, saya jadi lebih berani untuk dekat dengan kucing-kucing yang ada disekitaran rumah. Beberapa kucing tetangga mampir hanya untuk sekedar dielus, atau malah mengajak bermain sebentar. It's not happiness that brings us gratitude. It's gratitude that brings us happiness.
Seperti biasa, waktunya pendapat dari pribadi. Ketakutan pada kucing yang dirasakan waktu itu mungkin seperti... 'suudzon' mau diperlakukan tidak baik oleh kucing, padahal nyatanya tidak begitu. Kucing tau niat kita baik atau buruk. Mereka adalah hewan yang paling peka dengan lingkungan sekitarnya, memberikan rasa aman dan nyaman tanpa manusia sadari.
Hidup dengan kucing kalau sudah tinggal sendiri sudah terpikirkan sejak awal, semoga bisa terwujud nantinya. Kucing dengan ras apapun, sama saja selama kucing ini bisa memberikan dampak positif pada pemiliknya.
Terimakasih yang sudah membaca sampai akhir, see ya!
0 notes
Text
Mendekatkan Diri dengan Teknologi dalam Era Pandemik
Pendahuluan
Dalam era pandemik saat ini, Teknologi telah menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi telah membantu manusia dalam beradaptasi dengan situasi yang sulit seperti pandemik COVID-19. Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi dapat membantu kita mendekatkan diri dengan orang lain dan dunia di sekitar kita dalam masa pandemik. 1. Komunikasi Jarak Jauh Salah satu manfaat utama Teknologi dalam era pandemik adalah kemampuannya untuk menjaga komunikasi jarak jauh. Dengan adanya berbagai aplikasi komunikasi seperti Zoom, Skype, dan Microsoft Teams, kita dapat tetap terhubung dengan keluarga, teman, dan rekan kerja secara virtual. Komunikasi jarak jauh ini memungkinkan kita untuk tetap berbagi cerita, berdiskusi, dan berkolaborasi tanpa harus bertemu secara fisik. 2. Pendidikan Jarak Jauh Teknologi juga telah memungkinkan pendidikan jarak jauh menjadi mungkin di era pandemik saat ini. Dengan adanya platform pembelajaran online seperti Google Classroom, Moodle, dan Seesaw, siswa dapat tetap belajar tanpa harus pergi ke sekolah. Guru dapat memberikan materi pelajaran, tugas, dan tes melalui platform online ini. Pendidikan jarak jauh dengan bantuan teknologi ini telah membantu memastikan kontinuitas pendidikan selama pandemik. 3. Penyediaan Layanan Kesehatan Teknologi juga telah memainkan peran penting dalam penyediaan layanan kesehatan selama pandemik. Telemedicine atau konsultasi medis jarak jauh telah menjadi tren dalam praktik medis saat ini. Dengan bantuan teknologi komunikasi, dokter dapat memberikan konsultasi kepada pasien melalui video call atau telepon. Hal ini memungkinkan pasien untuk tetap mendapatkan perawatan medis tanpa harus datang ke rumah sakit atau klinik yang mungkin berisiko. 4. Pekerjaan Jarak Jauh Banyak perusahaan telah mengadopsi sistem kerja jarak jauh sebagai respons terhadap pandemik. Teknologi memungkinkan karyawan untuk bekerja dari rumah dengan bantuan komunikasi dan kolaborasi online. Dengan adanya aplikasi seperti Slack, Trello, dan Asana, tim dapat tetap terorganisir dan berkolaborasi dalam proyek tanpa harus berada di kantor secara fisik. Pekerjaan jarak jauh dengan bantuan teknologi telah membantu menjaga produktivitas perusahaan selama pandemik. 5. Hiburan dan Aktivitas Rekreasi Teknologi juga telah membantu dalam memberikan hiburan dan aktivitas rekreasi selama pandemik. Dengan adanya platform streaming seperti Netflix, Disney+, dan Spotify, kita dapat menikmati film, acara televisi, dan musik di rumah tanpa harus pergi ke bioskop atau konser. Selain itu, banyak aplikasi dan permainan online yang dapat dimainkan untuk menghilangkan kebosanan dan menjaga keseimbangan mental selama masa isolasi. Kesimpulan Dalam era pandemik saat ini, teknologi telah membantu kita untuk tetap terhubung dengan orang lain dan dunia di sekitar kita. Komunikasi jarak jauh, pendidikan jarak jauh, penyediaan layanan kesehatan, pekerjaan jarak jauh, hiburan, dan aktivitas rekreasi adalah beberapa contoh bagaimana teknologi telah memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa kehidupan kita berjalan sebaik mungkin selama masa pandemik. Dalam masa mendatang, teknologi akan terus berkembang dan menjadi bagian yang semakin penting dalam kehidupan kita, baik di era pandemik maupun setelahnya. Cek Selengkapnya: Mendekatkan Diri dengan Teknologi dalam Era Pandemik
0 notes
Text
Makhluk Terkecil Pemberi Peringatan
Bukan lagi sebuah mimpi buruk. Hal ini bukan lah sebuah mimpi, karena benar-benar terjadi padaku. Malam hari adalah saat-saat yang kubenci. Rasanya ingin cepat berlalu berganti menjadi siang. Aku hampir tak bisa memejamkan mata. Berulang kali harus bangun dari tidur karena ada yang mengganjal di dalam tenggorokanku, meminta untuk segera di keluarkan. Miring ke kanan maupun ke kiri adalah posisi yang memicu batuk parah. Menghadap ke atas pun lama-lama nyeri badan. Posisi yang cukup meringankan batukku adalah duduk di kursi.
Jika batuk berdahak adalah jenis batuk yang paling menyebalkan bagiku, tampaknya kini tidak lagi semenyebalkan itu, karena posisinya telah diganti oleh batuk berdarah. Shock? Jelas! Merasa kesakitan, sudah pasti. Tenggorokanku mengalami iritasi akibat batuk parah yang kuderita.
Sebenarnya tak hanya batuk yang kuderita tapi juga demam, pilek, sakit kepala dan dua gejala yang paling ditakutkan saat itu yaitu hilang aroma (indera penciuman) dan hilang rasa (indera perasa)? Betul sekali. Itu lah gejala pembeda dari COVID-19 dan sakit flu biasa.
Sejak varian Delta dikabarkan masuk ke Indonesia, aku sudah amat khawatir. Rasanya kesal sekali dengan mereka yang datang membawa varian itu dan pemerintah yang tidak ketat dalam mencegah penyebaran melalui kedatangan dadi negara asal varian Delta yaitu India.
Berbagai pencegahan telah kami lakukan. Menjaga protokol kesehatan, makan makanan bergizi, minum multivitamin dan herbal, berjemur di jam-jam terbaik, mengurangi kegiatan di luar rumah. Namun semua yang kami lakukan itu tak serta merta membuat kami lolos dari varian Delta.
Bagai benteng yang telah terkepung. Tetangga-tetangga kami sudah banyak yang jatuh sakit dengan gejala COVID-19. Begitu juga orang-orang yang kami temui di luar baik disengaja maupun tidak. Makhluk yang sebegitu kecilnya memang bisa saja menyelinap masuk ke organ tubuh siapa saja termasuk kami sekeluarga.
Awalnya ibuku, lalu menular ke bapak dan terakhir kepadaku. Kami bertiga terkapar di rumah dengan sakit yang sama. Seorang sahabat yang juga seorang tenaga kesehatan menyarankan kami untuk tes PCR agar mengetahui secara valid bahwa itu benar-benar COVID-19 atau bukan agar mendapatkan penanganan yang tepat.
Jujur kami justru takut jika dinyatakan positif COVID-19 dan akhirnya harus di isolasi di rumah sakit. Membayangkan betapa akan bertambah depresinya kami jika harus diisolasi. Pikir kami saat itu, yang penting tidak sampai sesak nafas.
Sempat ada niat untuk pergi ke puskesmas tapi nyatanya puskesmas juga tutup karena sebagian besar tenaga kesehatannya pun terpapar COVID-19. Kami juga mendapat kabar jika rumah sakit sudah tidak bisa menampung lagi pasien COVID-19.
Akhirnya kami tetap pergi berobat namun hanya ke dokter umum. Sungguh aku dibuat heran, klinik tersebut sangat padat dengan pasien. Aku pun harus menunggu dari jam 9 pagi hingga jam 1 siang. Menunggu selama itu dengan kondisi badan yang sudah tidak karuan. Rasanya ingin pingsan saja, tapi tidak bisa.
Hari-hari kulalui dengan penuh lara. Ada satu alat yang cukup membantuku untuk dapat mengurangi frekuensi batukku. Benda itu adalah inhaler dragon. Bagai ventilator, inhaler itu aku hirup setiap saat. Tak ingin menyerah dengan keadaan, aku pun mencari obat batuk mujarab di YouTube. Sampai akhirnya aku menemukan obat batuk bernama Nin Jiom Pei Pa Koa-obat batuk yang ramuannya berasal dari China. Aku sudah memastikan bahwa obat ini sudah BPOM dan juga halal. Alhamdulillah dengan ikhtiar meminum obat ini lambat laun batukku mereda hingga akhirnya sembuh.
Sakit kala itu menjadi sakit paling parah sepanjang hidup. Alhamdulillah kami masih mendapatkan bantuan dan perhatian dari keluarga, saudara dan teman saat menjalani isolasi mandiri. Betapa menjalani peran sebagai makhluk sosial yang baik menjadi sangat berarti ketika kita mengalami musibah. Belajar untuk bisa mengontrol pikiran dan emosi untuk bersabar, menjaga semangat untuk sembuh dan tetap beribadah serta berdoa di saat terkena musibah adalah hikmah dari menghargai setiap detik yang masih Allah berikan. Sakit ini menjadi peringatan bahwa, makhluk terkecil di dunia pun bisa membuat kita tak berdaya. Mau apalagi yang kita sombongkan sebagai manusia?
0 notes
Text
PPKM Mikro, kanit Binmas Polsek Prapat Janji Laksanakan Tracking Sebagai Langkah Antisipasi Bersama
PPKM Mikro, kanit Binmas Polsek Prapat Janji Laksanakan Tracking Sebagai Langkah Antisipasi Bersama
Lidikcyber.com, Asahan – Program 3T (testing, tracking, tracing) merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan dalam melaksanakan program PPKM Mikro di tingkat Kecamatan, adapun langkah yang dilaksanakan adalah denga melakukan tracking kepada keluarga maupun kerabat dari pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 Kamis (08/12/2022) sekira jam 09.30 Wib. Usai dilaksanakan Tracking tentu…
View On WordPress
0 notes
Text
Kasus Pengeroyokan Dokter di RSUD Atambua Berlanjut ke Ranah Hukum
Kasus Pengeroyokan Dokter di RSUD Atambua Berlanjut ke Ranah Hukum
Belu, Kalam Batu – Kasus pengeroyokan seorang dokter di RSUD Mgr. Gabriel Manek,SVD Atambua yang dilakukan keluarga jenazah pada, Selasa (27/7/2021) berlanjut ke ranah hukum. Hal ini sesuai dengan laporan korban pada hari itu juga. Pihak Kepolisian Polres Belum pun langsung menindaklanjuti laporan tersebut dengan mendalami kasus yang terjadi di TKP. Selain itu, pihak Polres Belu pun memeriksa 9…
View On WordPress
0 notes
Photo
Pemkot Denpasar Salurkan Sembako, Sasar ODP, PDP dan Keluarga Pasien Positif Covid-19 BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR - Strategi perlindungan sosial dan ekonomi yang dirancang Pemkot Denpasar mulai direalisasikan. Guna memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat terdampak Covid-19, khususnya yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang melaksanakan isolasi mandiri, Pemkot turut memberikan bantuan sembako yang diserahkan dengan metode Jemput Bola pada Rabu (15/4/2020).
0 notes
Text
Saudaraku,
Kau tidak perlu percaya dengan media...
Kau juga tidak harus menerima berita dari para keluarga korban...
Kau juga tidak wajib membenarkan informasi dari para dokter yang berjibaku...
Cukup kau cari tahu sendiri...
Datanglah ke RS dan lihatlah kondisi di sana...
Lihatlah wajah² layu dan tubuh lemah dari pasien dan keluarganya...
Lihatlah ekspresi lelah dan capek para nakes yang tak ada henti²nya melayani...
Datanglah ke pemakaman Rorotan atau lainnya, dan amati sendiri...
Lihatlah air mata yang mengalir dari keluarga yang ditinggalkan...
Lihatlah peti² yang dimasukkan ke dalam tanah...
Dan lihatlah antrian penggalian yang semakin lama semakin sesak dan penuh...
Jika kau ragu dengan covid-19 atau ragu dengan para nakes...
Tak usah percayai mereka...
Cukup kau lihat sendiri dengan mata kepalamu sendiri..
Lalu renungkan dengan hati dan akal sehatmu...
Semoga kau benar² manusia...
Karena sekedar merasa sakit tidak menjadikan kita manusia
Karena hewan pun bisa merasakannya...
Namun saat kau merasakan sakit, kepedihan dan kesedihan orang lain, maka kau adalah manusia...
Be human...!!!
- repost instagram Ustadz Abu Salma hafizahullaah
15 notes
·
View notes
Text
Misqueen
Beberapa kali di TL saya berseliweran pembahasan tentang hutang. Bahas hutang tuh emang gampang-gampang susah. Dulu, saya nggak terlalu aware sama hal ini soalnya mungkin belum ada temen yang ngutang dan saya sendiri tidak dalam posisi berhutang.
Saya jadi balik lagi cerita, emang pas ibu sakit tuh ada banyak banget pelajaran yang bisa saya dapat. Pas ibu sakit, kami nggak punya asuransi. Tabungan keluarga habis dan kami berhutang banyak. Ada hutang yang ke koperasi. Ada juga yang ke temen dan keluarga besar.
Saya nggak ngomong jumlah eksak ya. Nggak enakan. Yang ke temen sama keluarga besar tuh di atas 100 juta yang pasti. Sekarang alhamdulillah udah lunas. Tinggal yang di koperasi. Rasanya kayak gimana?
Hutang ke temen itu tanpa bunga tapi rasanya sungkaaan banget. Saya bahkan kalo capek kerja dan butuh makan enak dikit, nggak berani ngajak orang. Soalnya pernah ketahuan temen dan dikasih nasihat:
“Kamu tuh punya hutang, Dek. Mbok ya hidup prihatin dikit”
“Yha ini udah nyoba hidup prihatin mbak. Aku capek banget. Butuh hiburan”
Padahal itu juga cuma makan Yoshinoya yang nggak sampe 100k. Tapi makannya rasa hutang. Sambil mewek dan keselek-selek pastinya. Hahaha.
Yang ke koperasi tuh bunganya 1% per bulan. Jadi kalo misal kamu berhutang 10 juta, per bulannya kamu harus bayar 100 ribu untuk bunga. Jadi misalnya kamu mencicil Rp 1.100.000 per bulan, maka yang masuk cicilan hutang tuh yang sejuta. Yang 100k masuk ke bunga. So, misalnya ini dicicil jadi 10x, maka kamu bayar total 11 juta.
Nah, kalo misal 100 juta jadi 50 bulan berapa? Tinggal ngitung aja 100 juta + (1 jt * 50) = 150 jt. Makin lama lunas, makin banyak bunganya.
Ngutang ke koperasi tuh nggak ngerasain nggak enak ke temen. Tapi beban bunganya lumayan.
Menjadi orang Indonesia itu berat sekali. Dengan jaminan kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai, hidup kita akan sangat kesulitan.
Ini saya cerita konteksnya bukan ngeluh ya. Cuman sebagai gambaran aja. Sebelum ada BPJS, saya sendiri juga kerja keras buat terapi ke psikiater. Rasanya pernah capek banget sih. Soalnya kita udah kerja keras tapi duitnya nggak bisa ditabung karena buat nyicil dan buat ngobatin diri kita sendiri.
Tapi again, badai bisa dibilang udah lumayan mereda. Makanya mood saya akhir-akhir ini jauh lebih membaik karena saya mulai bisa pelan-pelan mengatur keuangan. Saya sendiri sudah tidak ke psikiater dan cicilan hutang tinggal yang di koperasi. Rencananya saya lunasi akhir tahun ini biar tahun depan bisa mengumpulkan bekal buat S3. Tapi karena ada Covid-19, saya memundurkan pelunasan sambil tetep nabung.
Struggle-nya masya Allah.
Saya pas tahun 2018 itu udah kayak gimana ya, mau gila tuh kasihan keluarga saya wkwk.
Bayangin yak, dalam kondisi didiagnosa depresi, insomnia berhari-hari, tau bahwa ibu sakit kanker stadium 4 yang sewaktu-waktu bisa berpulang, kudu mikir biaya kemo yang sekalipun ditanggung BPJS tetep aja masih ada obat yang di luar tanggungan, mikir bayar perawat di rumah, mikir kamar rumah sakit yang ga selalu ada dan mikir ngelunasin hutang. Makanya dulu saya berdoa banget biar punya temen bicara yang bisa menjaga kewarasan soalnya saya sendiri kadang kalo ngobrol juga udah mulai melantur. Asli cerita kayak gini tuh rasanya surreal banget. Semacam lihat diri saya hari ini lihat diri saya zaman dulu sambil senyum:
“Gwenchanaa…..semua terlewati”.
Teman kita, kalau diajakin ngobrol perkara patah hati tuh masih banyak yang available. Tapi kalo diajak ngobrol perkara uang, nggak semuanya bisa. Entah karena mereka juga nggak punya ilmu dalam hal itu, atau juga nggak bisa ngasih hutang makanya sungkan.
Saya waktu itu sebenernya butuh banget curhat perkara saya harus ngurusin hutang ini. Jawaban dari teman saya bervariasi:
1. Kalo buat orang tua, pasti urusan dimudahkan.
2. Sorry ya, aku ga bisa bantu kamu, aku punya duit segini kalau kamu nggak keberatan nerima.
3. Kamu mau pinjem duit ke aku?
4. Sabar yaaa…..
5. Duit itu bisa dipikir nanti
Saya sendiri nggak nyalahin mereka sih. Malah bersyukur waktu itu ada yang nawari pinjeman banyak banget. Saya yang malah takut nerima karena nggak kepikiran cara ngelunasinnya. Cuman saya sendiri juga kaget bisa dapet pinjeman langsung banyak banget dari beberapa orang tanpa jaminan apapun.
Saya pengen nangis atas kebaikan mereka sekaligus semakin clueless, kudu gimana.
Untungnya, ada temen lama saya yang kebetulan tugas ke Surabaya. Pas kami ketemu, dia nawarin pinjeman juga sebenernya. Cuman waktu itu, saya udah nggak pengen nambahin hutang. Saya cuma bilang:
“Kalo kamu nggak keberatan, bantuin aku mikir”
Di situ kami pelan-pelan bikin coretan tentang apa yang terlebih dahulu diurusin termasuk perkara konsultasi ke psikiater dan kawan-kawan.
Alhamdulillah,
Kami sekeluarga kerja keras banget. Tahun 2018, seluruh hutang ke teman-teman lunas. Hutang ke koperasi, saya cicil dengan santai karena beban mentalnya beda dibanding ngutang ke temen.
Saya ngerasa hutang ke temen dan keluarga harus dilunasi dulu. Sekalipun tidak berbunga, mereka mungkin butuh.
Hutang ke temen ini saya selesaikan bertiga bareng Bapak sama Mas. Kami sendiri juga terkejut, ini bisa diselesaikan di 2018 dengan kondisi psikis yang stress banget.
Pas saya cerita pelunasan ini, ada temen yang bilang ke saya:
“Kamu harusnya menyelesaikan yang riba dulu. Yang ke temenmu belakangan. Kalo kamu nggak menyelesaikan yang riba dulu, nanti hartamu nggak berkah. Lunasnya lebih lama”
Saya sendiri pas ngelunasin itu sebenarnya nggak berpikir ke arah sana sih. Saya cuma nggak enak kalau misal ada temen yang butuh tapi nggak berani nagih karena tau saya kesulitan.
Yang di koperasi mungkin lunasnya lama. Tapi saya bisa jalani sambil bernafas lebih lega. Ini sesuai yang saya hitung bareng temen saya di awal 2018. Dia bilang:
“Utamakan hal-hal yang bikin hati kamu sedikit tenang dulu. Orang kalo depresi tuh juga kadang suka belanja tak terkendali”
Itu advice yang brilian sekali 😅
Apa yang saya dapat di sini?
Kadang saya berpikir bagaimana kalau saya di posisi orang yang nggak ada akses ke temen yang bisa minjemin duit tanpa bunga? Bagaimana kalau Bapak saya nggak punya temen yang bantuin saya buat gantian nyari kamar? Bagaimana kalau pas ibu sakit, saya nggak ketemu mantan tetangga yang akhirnya ngerawat ibu di rumah dengan biaya yang lebih murah? Bagaimana kalau kami tidak mampu melunasi hutang?
Memang semua kembali ke Allah yang ngasih jatah rezeki.
Tapi balik lagi, di sekitar saya ada banyak orang yang nggak punya jaminan kesehatan. Clueless sama rumah sakit. Ada dua tetangga saya yang meninggal karena Leukemia dan satu tetangga saya meninggal karena sakit Kanker Getah Bening.
Ketiganya, nggak bisa ditangani dengan proper di rumah sakit. Saya tahu, mati itu lagi-lagi urusan Allah. Tapi bayangin ya, kanker itu pasti sakit sekali. Ibu saya tuh orangnya hampir nggak pernah ngeluh. Tapi tanpa morfin tempel, beliau nggak bisa berhenti merintih ngerasain sakit. Tetangga yang saya ceritain berakhir tanpa pain killer, tanpa sempat masuk kamar rumah sakit. Semua berakhir di bangsal dan saya menangisi itu.
Ibu sebenernya bisa dioperasi di rumah sakit negeri kalau mau ngantri. Tapi waktu itu, antriannya sampai sekian bulan. Sementara kalau nunggu, stadium 4 udah nggak bisa nunggu. Saya keinget pas waktu itu dokter Tomi menjanjikan operasi sepulang beliau dari Thailand. Kurang lebih sepekan. Tapi beberapa malam harinya, beliau bilang bahwa ibu sebaiknya dioperasi segera. Ibu masuk rumah sakit hari kamis. Dioperasi hari jumat. Alhamdulillah operasi berhasil. Mungkin itu jalan Allah buat ngasih tambahan waktu 6 bulan.
Nah, habis itu, masih ada temen saya yang bilang:
“Sebenernya kamu kalo nggak mau ngutang, pilih BPJS aja. Nggak apa-apa nunggu agak lama”
Saya tahu, dalam kondisi tertentu, saya tuh tone deaf. Kalo ngomong suka ga paham sikon. Tapi dalam kondisi demikian, saya berjanji untuk tidak sembarang berkomentar atas keputusan yang diambil orang lain.
Saya bersyukur waktu itu ada Arum yang nemenin saya dan bisa ngebawa saya stay sane sampai ke Husada Utama. Bayangin kalau saya tetep clueless dan mengantri di poli bedah RSUD Dr Soetomo. Saya nggak pernah menyesali keputusan itu meskipun konsekuensinya berat sekali.
Pas saya nunggu ibu di ruang ICU, saya bermalam dengan beberapa keluarga pasien. Kami pun mengobrol dan bicara tentang biaya operasi. Semua orang yang saya ajak ngobrol bilang bahwa biaya operasi dan ICUnya ditanggung asuransi perusahaan.
Saya terdiam.
Di sini, saya mulai ngerasa bahwa drama-drama medis itu sangat-sangat tidak real ~XD Yaiyalah yaaa. I mean, dalam drama, operasi-operasi sulit bisa gampang aja jalan. Kalo di dunia nyata mah, keluarga pasien kudu pusing duluan mikir biaya operasi dan ICU kecuali kalau semuanya ditanggung asuransi seperti keluarga yang ngobrol sama saya tadi.
Biaya operasi itu banyak. Biaya ICU lebih banyak lagi. Pada saat itu, alih-alih iri, saya cuma kepikiran kalau misal yang sakit miskin banget, bagaimana rasanya?
Makanya pas tetangga saya sakit, saya berusa nyari bantuan ke lembaga zakat dan yayasan kanker. Tapi dua lembaga tersebut juga udah menanggung beban banyak orang. Jadi tetangga saya nggak masuk prioritas. Email saya tentang permohonan bantuan baru dibalas waktu tetangga saya sudah pergi.
Ini bikin saya nyeri banget.
Saya jadi berpikir bahwa kedermawanan banyak orang tidak akan menyelesaikan semua masalah kemiskinan. Karena bagaimanapun, kemampuan individu itu sangat terbatas.
Kalaupun kita bisa ngasih hutang ke temen atau tetangga, berapa jumlah uangnya? Seberapa sabar kita bisa nunggu hutang itu lunas?
Kalau dengan filantropi, sebesar apa uang yang bisa kita kumpulkan jika dibandingkan dengan jumlah orang yang membutuhkan?
Saya kadang suka sesek aja ketika membayangkan berada di posisi terbawah piramida. Nggak punya hp untuk mengakses internet dengan proper. Nggak jadi prioritas dalam layanan masyarakat. Nggak eligible untuk mengajukan peminjaman dengan bunga rendah dan tidak bisa meminjam uang ke orang lain karena hutang yang udah banyak. Orang-orang semacam ini tuh banyak banget dan mereka biasa di sebut kelas menengah ngehe sebagai orang yang tidak punya wawasan untuk mengelola keuangan.
Tiap denger orang ngomong soal mental miskin, saya mah udah ketawa aja. Apa yang dikelola kalo duitnya nggak ada?
Sewaktu saya membaca paper tentang UI/UX yang ditulis oleh pegawai-pegawai google, saya semacam mendapat doktrin:
“Rancanglah UI/UX dengan sudut pandang orang yang paling lemah. Dengan sudut pandang orang yang paling susah mengakses layanan kamu. Dengan begitu, kamu bisa pelan-pelan memastikan hak-hak orang dhuafa terpenuhi”
Ini juga yang kadang-kadang membuat saya sedih hidup di Indonesia. Jangankan bicara tentang sistem kesehatan dan pendidikan yang menjamin kebutuhan semua penduduknya, orang naik kursi roda aja kesulitan mobilitasnya karena di Indonesia masih banyak jalan berbatu dan tidak ada kendaraan umum yang ramah difabel.
Di Singapura, saya beberapa kali lihat supir membantu pengguna kursi roda buat masuk bis.
Kapan kita bisa punya solusi yang baik buat semua orang untuk memastikan kesehatan dan pendidikan mereka terjamin, makanan bergizi murah, hunian yang layak bisa terkondisikan, lingkungan yang ramah difabel dan seterusnya sehingga temen-temen difabel punya ruang berkembang yang lebih luas dan dhuafa tidak perlu terlalu memikirkan hutang saat membutuhkan.
Ya kalo mereka mampu bayar? Kalo enggak gimana?
Permasalahan kayak gini itu bukan permasalahan yang bisa kita selesaikan secara individu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin uang. Karena kalo solusi kita kayak gitu, kita juga sangat rawan mengambil hak orang lain saat berusaha nyari duit banyak dalam waktu singkat.
Permasalahan kayak gini tuh perlu pemikiran bersama. Seharusnya, kalau kita ada pemilu, kita mengangkat isu-isu demikian daripada sekedar bicara tentang persona calon yang yhaaaa dari dulu sampai sekarang tetap gitu-gitu aja.
Yhaaa malah jatohnya ke pemilu wkwkwk.
~XD
Demikianlah,
Hidup di Indonesia itu ladang amalnya luas. Kalo kamu mampu, jadilah dermawan semampu kamu. Kalau punya kemampuan dari itu, suarakan kebutuhan orang-orang yang lebih lemah.
Bukan karena kita baik. Tapi yhaaa anggep aja ini pemenuhan kewajiban kita sebagai manusia. Kalau indonesia punya jaminan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, seenggaknya kamu bisa sedikit tenang kalau mendadak miskin -__-”
73 notes
·
View notes
Text
Then this happens.
Waktu aku beranjak dewasa, kalimat “musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri” membuatku selalu berdoa aku ingin kenal dengan musuhku dulu. Lalu Tuhan memberi konflik panjang dan kurasa aku sudah cukup mengenalnya: bagaimana aku menghadapi masa remaja, drama keluarga, ekonomi yang tak punya, patah hati, drama pertemanan, circle-circle toxic. Been there done that. Tapi yang baru kusadari, aku gak pernah bermasalah dengan kesehatan.
Then covid-19 happens.
Udah setahun lebih pandemi covid-19 ini ada. Dan selama itu juga kita berusaha beradaptasi sama berbagai keadaan: ya stay at home, ya work from home, ya ekonomi drop, ya panic buying beli segala macem perlengkapan yang sebelumnya nggak dirasa perlu, masker, vitamin, hand sanitizer. dan berbagai emosi: ya takut, ya sedih, ya marah, ya kecewa.
Aku nggak bisa lupa bagaimana perasaan khawatirku waktu sadar kalo Dito masih harus berjibaku sama pasien, rumah sakit, dan alat-alat perang macem APD dan masker karena bagian dari JQR yang juga bagian dari satgas covid-19. Dia pernah bilang suatu hari bahwa kita akan perlu bersabar karena kita mungkin nggak akan ketemu untuk beberapa waktu, dia takut malah bawa penyakit untukku. Sejak itu aku nggak pernah lupa berdoa supaya Tuhan ngejaga dia dan orang-orang yang di sekitarnya.
Sahabatku, Meta, akhir tahun lalu memutuskan buat pulang ke Jawa setelah sekian lama lock down dan gak pulang kampung. Pada sebuah hari, dia pergi ke pasar sama ibunya, lalu katanya, ibunya tiba-tiba merasa pusing, ngedrop, lalu dibawa ke rumah sakit. She’s got covid. Beberapa hari di rumah sakit, ibunya meninggal dunia. Al fatihah. Meta, yang waktu itu nungguin ibunya di rumah sakit, ternyata terpapar covid juga. She spends weeks in hospital, struggling with grief, sadness, loneliness, and oxygen saturation.
Meta yang bikin aku nulis goal baru: aku pengen sehat.
Thank god, she’s fine now. Udah balik ke Bandung, suka aku teriakin kalo maskernya ditinggal karena doi mau comot-comot makanan.
Lalu Bapak ibu positif covid.
*take a deep breath*
Kemarin-kemarin ini ada siswaku yang ngadu bahwa ada teman mereka yang covid dan memaksakan diri, yang menurut mereka, adalah alasan kenapa ia dan kawannya postif juga. Screenshot percakapan mereka berisi kata-kata kasar dan variasi umpatan. Mereka marah. Dan aku paham kemarahan itu. Di saat yang sama kawanku cerita kalau sepupunya juga bergejala covid tapi nggak periksa. Sepupunya itu punya asma dan magg yang lumayan parah. Waktu akhirnya periksa dan ternyata positif, kawanku kesal karena sepupunya memutuskan isoman, padahal menurut kawanku, ia seharusnya ke rumah sakit agar dapat perawatan yang mumpuni. Dan aku paham kekesalan itu.
Ibu sempet nggak bisa nyium bau, padahal ibu adalah pengendus profesional. Aku nggak hiperbola, gaes. Ibu bisa nyium bau ee kucing di ruang tamu padahal ibu di teras lantai dua. Gitu, dan kalian bayangin aja perasaanku waktu ibu bilang, “ibu nggak kebauan ee kucing, Ki.” sambil setengah bisik-bisik di balik masker karena beliau nggak mau buka mulut lebar-lebar karena takut akan membahayakan aku. Aku punya kekesalan dan kemarahan yang sama waktu Bapak Ibu bergejala. Di saat yang sama, ada takut, khawatir, sedih, why this, why that, what if this, what if that.
Tapi aku memutuskan untuk nggak fokus ke perasaan itu.
Ini hari kedua kami isolasi mandiri. Aku bersyukur karena Bapak udah gak demam dan ibu udah nyanyi-nyanyi dan ketawa-ketawa lagi. Kemarin ibu ngangetin ayam kecap dan gosong, dan ibu dengan gembira bilang kalau ibu udah bisa nyium bau gosong. Mereka udah duduk berdua nonton Youtube di tengah meskipun Bapak masih lemes. Aku bersyukur Mbak Tia aman dan baik-baik aja di Jakarta, aku dan Rian yang serumah sama ibu bapak juga baik-baik aja, kami baru mau antigen nanti siang.
Wulan, adiknya Dito, juga beberapa hari ini punya gejala yang sama kayak ibu. Katanya sekarang juga udah baikan, alhamdulillah. Nanti siang Dito dan keluarganya juga baru mau dites. Kayaknya juga akan berlanjut isolasi mandiri. Me and Dito are in the same page to handle this situation, kami sharing film-film yang bisa ditonton, jadi tempat curhat satu sama lain, masih sayang-sayangan dan saling mendoakan.
And it’s fine, we have each other and we have all the support we need.
18 Juni 2021, @nawangrizky
Segala kesal, marah, panik, bingung, sedih itu adalah perasaan yang wajar, paham. Tapi aku percaya itu nggak bisa menyelesaikan masalah, cuma ngurang-ngurangin imun doang aja. Hehe. Semangat ya kalian semua yang lagi pada isoman, semangat juga buat kalian yang masih mesti berjuang keluar dan kuat-kuatan imun sama covid yang makin banyak aja. Aku doain semoga kita semua sehat-sehat aja, semua orang yang kita sayang juga sehat dan baik-baik aja.
Doain kami juga! ^^
18 notes
·
View notes
Text
Saat sang galaksi collapse bukan karena self-gravity
Malam keempat ibrahim demam.
Seperti yang sering aku tuliskan, aku adalah orang yang percaya bahwa secara alami tubuh bisa mengobati penyakit yang datang. Tentunya sakit-sakit yang ringan.
Daripada pergo ke dokter dan meminum obat, memperbanyak asupan air dan nutrisi untuk tubuh adalah pilihanku yang utama. Suamiku dulu tak begini, tapi seiring waktu kami tinggal bersama sepertinya iya terjerat juga dengan watakku ini. Tapi ketika kejadiannya terjadi pada anak …
Rabu sore pukul 5pm, aku sedang dalam perjalanan pulang dari kampus dengan sepedaku. Sesampainya di rumah aku lihat ada dua kali panggilan tak terjawab dari daycare anakky. Langsung saja aku telpon balik
“Moshi-moshi. Mama ibrahim ne?”
“Haik. Ibrahim no mama desu. Ada apa ya sensei?”
“Mama, tadi kami cek suhu tubuh ibrahim dia sampai 38 C dan badannya agak lemas. Mama bisa jemput segera”
“Ah haik haik. Setelah ini ayahnya akan datang menjemput. 10pun gurai. “
Segera aku kabarkan ayah ibrahim untuk menjemput. Sepulangnya dari sekolah, ibrahim menangis memelukku. Ayahnya bilang tadi ibrahim lagi ditidurkan di kantor guru. Langsung ku peluk dan mengecek suhu serta perutnya. Setauku dari pagi ia memang sudah bilang mau BAB tapi tidak bisa, keras katanya. Masih perlu banyak belajar memang, 2 tahunan ini terus observasi cara kerja tubuh dan otak anak. Salah satunya sistem metabolismenya. Ibrahim ini tipe yang suka sekali buah dan sayur, agak heran kalau dia merasa sembelit. Tetapi nyatanta beberapa kali kejadian dia harus mengenjan keras. Sudah konsultasi dokterpun katanya wajar saya, dietarynya jalankan aja, alergi nggak ada, tumbuh kembangnya juga masih wajar. Ya, pada dasarnya teori dan praktik ga selalu sejalan, harus lebih pandai lagi mengamati dan merawatnya. Malam ini pun sama, ia mengeluh ingin BAB tapi ngga bisa. Beberapa kali ke toilet pun tak berhasil.
“Bundaaa itaaaai( sakit), katai (keras) bundaa” dan akhirnya ibrahim mengenjan keras dan berhasil BAB. Alhamdulillah. Setelah itu ia bermain bola seperti biasa, membaca buku, makan dan tidur. Suhu tubuhnya pun kembali normal.
Dan Kami fikir drama sudah selesai di sini, tapi ini baru awalnya. Sepertiga malam ia bangun kepanasan, kami pegang badannya benar panasnya subhanallah. Tapi ia kekeuh tidak ingin pakai bye bye fever. Jadi kami pakai ide ganti baju tipis dan skin to skin. Shu di sendai saat subuh sudah mulai dingin akhir akhir ini, dilema apakah perlu di selimuti atau tidak. Kami pun pilih tidak. Paginya ia kembali bugar seperti biasa. Sekali lagi kami bernapas lega. Dia pun masih makan dan minum seperti biasa.
Dari lahir yang aku ingat kenangan ibrahim sakit berhari hari dan terlihat sangat menderita itu cuma ketika ia pulang ke indonesia. Sampai harus di tes darah dan bener-bener ga ada makanan yang bisa masuk dan obatpun dia tidak tertelan. Kenangan yang sangat buruk yang aah doaku adalah jangan lagi terulang yang demikian. Aku merasa aku belum pantas dapat ujian semacam itu.
Sore menjelang malam, badan ibrahim mulai menunjukkan kenaikan suhu. Kami cek benar adanya, suhunya mulai naik ke angka 38C. Tapi satu hal kami masih sangat bersuyukur karena dia sangat kooperatuf saat kami minta perbanyak makan dan minum. Sampai waktunya tidur dia mulai batuk-batuk dan hidungnya meler. Potek rasanya hatiku melihat anak baik ini sulit tidur.
“bunda ibrahim ga bisa tidur” sambil menangis ia berkats dalam suhu panasnya. Kemudian kami cek suhunya 40 C. Ini sekitar pukul 2 pagi. Badannya mulai gemetar.
“Ibrahim pakai bye bye fever yaa biar ceoet sembuh. Bunda sedih kalau ibrahim sakit”
“ iya” sambil bergetar tubuhnya ia pun menurut.
“Nanti bunda peluk ya. Cepet sembuh ya ibrahim, nanti kalau sembuh jalan jalan kemana?”
“Dobutsuen (bonbin”
Setelahnya aku cuma bisa pakai obat-obatan luar semacam transpulmin kids, pure baby oil aku teteskan di bajuku dan kompres instan. Aku coba tidurkan ia sambil mendekapnya erat dan kami pegangi lipatan2 tubuhnya berharap bisa mentransfer kalor agar suhu tubuhnya menurun.
Pagi datang, segera aku coba telpon beberapa klinik anak. Rata-rata buka pukul 9am, karena ada demam tinggi kami ga bisa langsung datang ke klinik tanpa pemberitahuan. Salah satu langkah pencegahan penyebaran covid-19 sepertinya.
“Moshi -moshi, sakaitakeo shonikai de gozaimasu”
“Moshi moshi, saya ingin membawa anak saya ke klinik tapi ia demam tinggi tadi pagi sampai 40 C, sekarang sekitar 38C. Apakah bisa?”
“ah boleh. Tapi sebelumnya apakah anak anda atau keluarga travelling dalam 2 pekan ini?”
“Tidak”
“Apakah ada yang tersuspect covid19 di sekitar kalian”
“Ti dak” aku ragu menjawabnya karena beberapa pekan lalu sekolah ibrahim memberikan pemberitahuan ada pasien corona yang mengharuskan sensei dan siswa di lantai 2 tes PCR. Meskipun beda lantai dengan ibrahim dan hasilnya negatif, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku pun bilang tidak ada.
“Baik, ibu akan pergi ke sini jam berapa dan naik apa?”
“Sepertinya 9.30 naik taksi”
Langsung saja kami siap-siap tak lupa ibrahim sarapan dulu, paginya pun ibrahim kembali segar suhunya sekitar 37.6 C. Ia semangat karena kami bilang akan naik taksi. Tapi ternyata aplikasi japan taxi di hp-ku tidak mau jalan, terpaksa harus download aplikasi baru MOV-GO yang full nihongo. Setelah sekian lama mencoba mengutak atik dan tidak berhasil, kami coba menunggu taksi di depan rumah. Tapi tidak ada yang mau berhenti atau kosong. Akhirnya takut telat kami memustukan untuk bersepeda ke klinik. Alhamdulillah hujan tidak jadi turun sesuai prediksi cuaca hari itu.
Sesampainya di klini kami dipisahkan dari pasien lain. Ada ruangan khusus kecil yang mana kami harus menunggu dokter datang dan mengisi beberapa quesioner. Dokter pun akhirnya datang dengan APD lengkap, dan ibrahim diambil sampel salivanya. Pada akhirnya dokter mendiagnosa ini sebagai common cold, flu biasa. Kami pundiresepi beberapa obat yang harus ditebus di apotik.
Pulang kembali ke rumah ibrahim pun main seperti biasanya. Sampai ia lompat-lompat dan berlaria . Tapi ternyata hal itu menyebabkan ia memuntahkan semua isi perutnya. Setelah ganti baju dan bebersih kami beri penjelasan agar ibrahim banyak istirahat mainnya yang tidak banyak gerak dulu. Akhirnya ia memilih untuk tidur. Malam datang dan kembali demamnya semakin tinggi. Lagi lagi mencapai angka 40. Obat resep dokter hanya boleh diberikan ketika suhu diatas 38.5 dan dalam rentang waktu minimal 8 jam. Dan saat itu, kami langsung minta ibrahim untuk minum obat. Dia pun tak pernah menolak ini, dia bilang ingin segera sembuh juga.
Dua hari ini selalu setiap siang dia sehat, dan malam kembali demam. Hari ini sudah malam ke empat demamnya naik turun, dan tidak terlihat penurunan gejala ke arah yang lebih baik. Obat yang diberikan pun sudah hampir habis. Sedangkan saat ini jepang sedang long weekend, baru bisa ke dokter lagi hari selasa. Bahkan hari ini iya menolak untuk makan katanya kenyang padahal tidak banyak makanan masuk. Kami coba masak segala yang ia biasanya suka pun ia tolak. Dan lagi, sehari ini rasanya ia banyak habiskan untuk tidur. Tapi alhamdulillah hari ini ia tidak menolak memakai kompres.
Dan ini membuat kami semakin gelisah, panik dan merasa apalagi yang bisa kami lakukan selain mendoakannya. Rasanya perih setiap melihat ia tertidur lesu tidak tertarik dengan mainan favoritnya atau jelly kesukaannya. Mungkin ini hal biasa untuk sebagian orang tua, tapi dipikir lagi ini kejadian pertama kami menangani anak sakit sampai berhari hari. Semoga setelah ini segera antibodi ibrahim kuat melawan benda asing itu dan segera kembali sehat. Sebuah catatan bahwa kejadian ini pernah ada.
Nb: Selasa (hampir seminggu) akhirnya ibrahim stabil suhu tubuhnya ke suhu tubuh normal selama 2 hari ini jadi kami memutuskan untuk mulai berangkat sekolah. dan betapa senangnya dia melihat teman-temannya sedang berbaris di lapangan latihan undokai (pentas olahraga). Bunda deg-deg ser mengetahui ibrahim harus berlari dan melompat di saat dia baru saja sembuh. Bismillah bisa yuk bisa
2 notes
·
View notes
Text
Hari Kemerdekaan
Buletin Sekolah
Pena spita
Edisi : i/17 Agustus 2021
Tepat hari ini Indonesia memasuki usia ke-76. Biasanya ada banyak sekali acara yang digelar untuk menyemarakkan hari peringatan tersebut. Hal yang sangat sering kita jumpai dan seolah-olah sudah menjadi acara wajib adalah malam tirakatan (doa bersama ketika menjelang 17 Agustus), lomba-lomba yang diadakan tingkat RT, RW, dusun, desa hingga tingkat instansi negara dan juga acara favorit bersama yakni karnaval.
Ulang tahun Indonesia kali ini ada pejuang lain yang mesti kita berikan semangat dan dukungan yang besar, yaitu nakes yang masih berjuang menurunkan angka pasien Covid 19, Pemerintah yang terus mengupayakan kendali penyebaran virus/wabah, para pendidik yang terus mengupayakan pendidikan pada anak didiknya, bahkan rakyat yang mengupayakan kehidupannya di tengah keterbatasan yang ada. Nah, kita sebagai pelajar tetap harus menunjukkan bahwa kita adalah harapan dan masa depan yang baik bagi Indonesia nantinya, jangan sampai karena keterbatasan yang ada membuat terbentuk generasi Kena Mental, yaitu generasi yang mentalnya telah kalah diserang virus jenis lain yang tak terlihat tapi ada, yaitu
▪︎virus malas, sering absen saat belajar online;
▪︎virus game online yang kian marak membuat lupa diri;
▪︎virus apatis yang tidak peduli lingkungan; dan
▪︎virus tidak mengahasilkan karya.
Hayoo, sekarang lihat dirimu, apakah kamu termasuk dalam generasi Kena Mental??
Semoga saja kita tidak termasuk dalam generasi Kena Mental ya.
Kalian sendiri menyadari kan, dalam keadaan pandemi seperti saat ini semua hal menjadi serba terbatas, termasuk mengisi hari kemerdekaan dengan mengadakan lomba-lomba meriah seperti sebelumnya.
Eits, tapi kita selalu semangat merayakan HUT RI yang ke-76 walaupun kita masih terdampak pandemi covid-19 yang belum juga reda. Alhamdulillah, OSIS SMP IT Arafah dalam memperingati HUT RI sedang mengadakan lomba "Heroes Make Over" yang diikuti oleh seluruh siswa dan lomba "Video Edukasi Tahukah Kamu" dari setiap perwakilan kelas. Jadi penasaran seperti apa hasilnya, pasti keren-keren ya kan...
Nah, berikut tips untuk kamu dan keluarga memperingati kemerdekaan dari rumah,
1. Menghias sekitar rumah dengan ornamen-ornamen bertemakan merah putih.
2. Menonton upacara kemerdekaan via live streaming.
3. Turut bernyanyi lagu kebangsaan saat upacara virtual dengan menghentikan aktivitas sementara waktu dan berdiri tegak.
PUISI
“Merdeka dan duka”
Kembali, hari sejarah itu tiba
Saat perdana bendera dikibarkan
Juga saat proklamasi pertama dibacakan
Itulah tanda kemerdekaan
Tapi ada yang mendampingi
Selain antusias untuk mengiringi
Yakni sebuah pandemi
Yang menggurat duka seluruh negeri
Tapi jangan bersedih
Cinta letaknya di hati
Tidak akan pernah mati
Walau bertahan membuat pedih
Tetaplah menjadi indonesia
Yang akan selalu merasa bangga
Tetaplah selalu merdeka
SALAM REDAKSI
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan buletin ini.
Buletin yang kami buat ini bertemakan "Hari Kemerdekaan" denganmu adanya program buletin sekolah ini dapat meningkatkan minat baca siswa dan menjadi wadah maupun contoh untuk menuangkan bakat dan kreativitas siswa. Dengan mengangkat tema kali ini semoga rasa kebanggaan dan kecintaan kita kepada tanah air kian bertambah.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
"MERAH DARAHKU PUTIH TULANGKU INDONESIA BERSATU MERDEKA SELALU!"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
•Selamat Membaca•
5 notes
·
View notes
Text
I might be a covidiot because im always in doubt.
I need to write before my brain collapsed to this unstructurized overthinking.
Ragu buat nulis ini tp tulisan aku ga mungkin viral juga so i'll write what inside this brain anyway.
Covid sudah hampir 2 tahun.
Generally di awal, terbagi dua kubu. Percaya covid dan tidak percaya covid. Yang tidak percaya covid dianggap mabuk konspirasi. Then it developed, i guess? Tidak percaya covid mungkin terlalu ekstrem sehingga berubah menjadi kelompok orang2 yang percaya covid memang ada, tapi tidak semenyeramkan itu, tidak seberbahaya itu, just a usual flu, so menurut mereka: "santuy ajaa"
Which one is me?
I'm not gonna tell. But my brain is getting overwhelmed recently. I do believe in science. Aku lulusan farmasi, mantan apoteker klinis di RS, dan sekarang magister candidate farmasi klinis di salah satu univ di indonesia. I am doing research. I am fully aware that we need and will always need science. Kalau di kurva Dunning Krugger, I either still stupid and not confidence or a bit smart but not confidence. Either way i am not smart and confidence enough to tell things to people. Just to give disclaimer that i am just nobody.
Buat aku, dunia saat ini seperti sedang menjalani clinical trials. Di awal pandemi, seorang profesor di RS terkenal bilang "covid ini masih banyak yang harus diteliti, masih ongoing, jd kita kasi apa aja obat yang ada". Oh yes of course, itu pasti suatu keniscayaan ketika penyakit-baru muncul. Bukti2 ilmiah masih terbatas so trial and errors will be one way. Bless the patients. Now its been almost 2 years. Riset tentang covid luar biasa banyaaaakk sekali. Yah siapa yang tidak tertarik dengan pandemi? Akan ada banyak orang2 yang berbaik hati mencari solusi keluar dr pandemi dan akan ada oknum yang memanfaatkan momen untuk hal-hal tertentu tanpa berniat menyelesaikan pandemi.
Aku bukan penggila konspirasi. Tapi aku selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan. Kadang kita gabisa netral dan cukup strategis dalam menghadapi pandemi ini karena alur informasi yang begitu cepat, polarisasi pendapat, opini2 yang berseliweran dan dengan mudahnya mengarahkan kita pada satu keyakinan. What expose us more, build us more. Pendapat2 dengan bias pengalaman pribadi, sahabat baik nakes, sahabat baik intel, dan semuanya. Kadang buat kita tidak bisa membaca situasi dengan objektif.
Scepticism is sometimes needed, no? Or maybe i got some trust issues. Aku masih anak bawang dalam riset tapi aku tau beberapa bias yang terjadi dalam riset klinis, beberapa hal yang dapat memengaruhi hasil riset. So, when a statement about covid comes out, aku sering berusaha untuk baca risetnya sendiri, melakuan appraisal dari mulai kualitas jurnalnya, desain dan metode, penarikan kesimpulan, conflict of interest (walau kadang ga ditulis padahal ada), sampai funding. We can not only read abstract since it doesnt give us that much. Sometimes author just put what interesting or what they want the result to be to make the abstract attractive, no?
But i dont always do that. Often, i simply too lazy. This is what we call as a lazy perfectionist, its suffering. You keep thinking about that but you do nothing. That sucks.
Anyhow.
There are some concerns and/or questions pop up in my head that ive been trying to answer despite my laziness.
How dangerous covid is? The prevalence is high, yes. The transmission is high, mainly the delta varian. Yet the severity are classified. Otg, ringan, sedang, berat. Seberapa infeksius masing2 derajat? Theres one research say asymptomatic patients gives 1/5 transmission, which makes sense. Otg tidak bersin dan batuk2, kemungkinan virus keluar dari tubuh sedikit. Viral load pada otg mungkin jg sedikit. Tapi apakah ketika menularkan, org yang ditularkan kemudian sakit parah atau otg juga? Kemungkinan tergantung kondisi orang tersebut, banyak faktor dari mulai usia, komorbid, dan gaya hidup. Walau kemungkinan penularan otg cuma 1/5, mau main2 dengan kemungkinan? I cannot say things like that without evidence i know but some of these are just logic.
But how if we compare it to other infections just like 'conspiracies people' ask. So far, orang2 yang menjawab pertanyaan itu berkata "buat kamu statistik itu angka, tp buat keluarga korban, itu nyawa". To me, orang2 yang bertanya demikian bukan berarti tidak berempati dengan korban. Beberapa dr mereka juga ingin keluar dari pandemi dan mungkin, mungkin, mungkin, mencoba mencari solusi 'lain'. Bagaimana kalau ternyata orang2 otg dalam jumlah besar ini magnitude dan efek penularannya sama seperti infeksi lain yang tidak fatal, mungkin pendekatan solusinya akan berbeda. "Tapi covid ini obatnya belum ada, infeksi lain sudah ada". Now my questions shift. How covid affect a person with pure covid and a person with comorbids (say with hypertention diabetes, asmatic, and all)? Does the infection worsen the conditions that much? How risk benefit analysis is done toward these comorbids and polypharmacy patients since drugs themselves also not fully safe? As a clinical pharmacist, i learn adverse drug reactions and drug interaction theoritically. Am i scared to drug? Often, yes. Because drug interations are hard to analyze in clinical settings. I believe doctors will use their expertise experience rather than theory. So yes i am scared because nothing is absolute. The reason I still keep my prokes and dont want to get infected is because i dont want to consume the drugs. In these ongoing drug trials everywhere, nothing I can trust 100% haha. And yes, aku panik sama orang tua yang sering keluyuran. Mereka komorbid. Kalau infected, sudah pasti aku akan pusing mengambil keputusan.
Pikiran2 ini mungkin muncul karena aku gerah dengan keadaan. Mungkin jg krn orang2 sekitar aku rata2 otg dan gejala ringan, so yes tulisan ini jg bias. But please never pray for me to have a relative that got severe sick due to covid just to make me believe 100%. Please no. Aku percaya covid and i dont wanna get infected.
Well anyway, aku gerah dengan keadaan. Indonesia ga seperti Singapura atau New Zealand yang, mau covid itu bahaya atau ngga, fasilitas dan sdm mereka mumpuni, penduduk mereka sedikit, it will more controllable. Sedangkan Indonesia, aku lelah baca berita yang bilang IGD dimana2 penuh. BOR 90% terisi. Nakes, otg atau bukan, ya harus isolasi. Bagaimana kalau ternyata otg dan derajat ringan tidak seberbahaya itu? Otg msh bisa kerja dan sedikit memulihkan kekacauan di rumah sakit. Nakes2 jadi ga burnout.
Penundaan operasi karena covid. Bagaimana kalau ternyata efek covid ke penyakit lebih kecil daripada penundaan operasi? Efek penularan covid ke nakes lebih kecil daripada risiko meninggalnya pasien jika tidak operasi? Akhirnya pasien meninggal bukan karena covidnya, tp karena penundaan operasi untuk penyakit lain yg dia punya.
Bagaimana dg org2 yg ekonomi lemah? Risiko covid dan risiko mereka kelaparan karena lockdown lebih besar mana?
Di awal pandemi, org2 yg ga boleh keluar adalah org2 dengan komorbid. Tetapi kemudian berkembang menjadi semua orang. Setauku, sesuatu dikatakan pandemi ketika transmisinya besar, tidak terlalu dilihat dari magnitude dan dampak gejala/penyakitnya. I mean, can we be more detail toward degree of severity and its effect? Memang sudah diberlakukan di beberapa hal, seperti yg sakit sedang-berat ke RS, yg otg ringan isoman di rumah. But, can we be even more detail and deepeer about this? Riset2 yg ada juga byk yg mendata overall inhospital mortality, artinya data kematian tidak dipisahkan antara penyebab primer dan sekunder. And again, how risk benefit analysis is done toward comorbid and polypharmacy patients? Safety obat kadang dianaktirikan. Overtreatment sometimes chosen to avoid covid kill the patients. Well, drugs can kill patients too. This is why dokter/nakes smart memang dibutuhkan. Dengan segala ongoing research selama pandemi, apalagi muncul mutasi begini, jangan sampai keputusan2 yang ada tidak berdasar analisis risiko-manfaat yang tepat.
So, i need to know more about poor outcome in symptomatic and asymptomatic covid adjusted to every concurrent drugs and medical conditions and adjusted to availibility of isolation room and resources and adjusted to everything lol. How infectious asymptomatic covid is and should we worry about it compare to any other disease. QoL symptomatic covid 19 patients compare to other infectious disease. how is association between happy hypoxia and covid, severity, outcomes, should we worry. What are the updates treatment now and why and how and are they safe and effective? How urgent vaccines are (in deeper analysis) - i already got my vaccination schedule, dont worry. And the biggest questions since mutations are the devil now, every W-H questions about mutations are stuck in my brain now. This is only clinical questions, there are way more abundant.
Kalo aku di singapura mungkin aku ga perlu mikir beginian. Dengan kemewahan2 yang mereka punya, indeks korupsi yang kecil, SDM yang mumpuni, penduduk yang sedikit, bahaya atau tidaknya covid mungkin ga pernah akan aku pikirkan regardless my scepticism toward research. Dampak sosial dari pandemi ini bukan main, kan.
So well, sebetulnya masih banyak di kepala, dan susah banget rasanya membuat semua ini terstruktur dan tersambung-sambung dengan baik. Pada akhirnya, dengan segala skeptisisme dan keterbatasan riset, aku memilih untuk mengikuti instruksi otoritas dan ahli. Kenapa? Because i know i am not smart, masih anak bawang yang banyak gataunya. Masih males baca riset. Dan gampang overwhelmed sm tsunami informasi. Dan mutasi. Ergh. Berasa harus baca riset2 covid dari awal. There are a lot of things i need to learn. Semoga Allah selalu memberi petunjuk dalam setiap pengambilan keputusan. Aamiin
3 notes
·
View notes
Text
Kapsul Waktu Mina (Cerita Pendek)
“Bener sebelah sini kan?” tanyaku.
“iya, batasnya sampai lemari dan rak buku itu,” jawab istriku sambil berlalu menuju dapur.
Aku masih harus membereskan beberapa barang yang terletak di sudut ruangan di sebelah kamar tidur. Kami baru menempati rumah ini sekitar satu bulan dan baru saja menambah beberapa perabotan lagi. Sebuah rumah yang aku impikan, berada di lingkungan asri dan guyub antar tetangga, juga cukup ruang terbuka. Jadi, meski penataan ruang masih dinamis tetapi kebun rumah kami telah penuh terhiasi beragam flora yang kami rawat sejak awal.
Kali ini aku dihadapkan dengan dengan kotak-kotak kardus kosong kemasan dari berbagai barang dan perabot yang sudah diletakkan di berbagai sisi rumah ini. Kuambil dan kusisihkan pelindung seperti sterofoam dan plastik gelembung yang masih ada di kardus-kardus itu. Terkadang juga ditemukan buku manual petunjuk penggunaan yang kukumpulkan dalam satu kantong sendiri. Kemudian, agar lebih ringkas kulipat kardus-kardus kosong dan tumpuk jadi satu dengan sterofoam.
BUK…
“Eh, Suara apa itu?”
Sesuatu menghantam permukaan tegel keramik saat aku mengangkat tumpukan kardus. Aku menggerakkan leher dan kedua bola mataku ke bawah, mencari sumber suara. Sekitar dua tapak dari tempat kakiku berpijak, aku menemukan sebuah buku tergeletak di lantai.
“Buku apa ini? Darimana asalnya?”
Dari posisi jatuhnya, sepertinya buku ini berasal dari tumpukan kardus, karena posisi rak buku cukup jauh dari tempatku berdiri.
Tidak terlalu ambil pusing, aku satukan saja buku tadi dengan kantong berisi buku-buku manual. Aku kemudian membawa kantong berisi buku itu bersama tumpukan kardus. Menuju gudang yang dekat dengan dapur.
Sesampai di gudang, kususun tumpukan kardus dan styrofoam pelindung. Jika dirasa sudah cukup banyak, tumpukan ini bisa kubawa ke pengepul rongsokan. Atau, bila diperlukan bisa digunakan kembali untuk mengemas barang. Aku lalu menuju dapur sambil memegang kantong berisi buku tadi.
“Mina…”
Istriku tidak terlihat di sekitar dapur. Tak terdengar pula ada sahutan dari panggilanku.
“Mina, kamu di mana, Min… Hatchiiiu…”
Panggilanku sempat terpotong dengan bersin yang kututup dengan telapak tanganku. Kantong berisi buku tadi aku biarkan tergeletak di lantai.
“Eeeh, jorok deh. Kalau habis bersin cuci tangan. Jangan diusap ke kain celana gitu, Mas,” tiba-tiba terdengar suara Mina, istriku, mengomel.
Aku seperti tertangkap basah, mati gaya. Aku sudah hampir mengusap telapak tanganku ke kain celana ketika hentakan suara Mina menghentikan tindakanku yang dia anggap jorok. Ternyata dia muncul dari kebun sebelah dapur yang tadi luput kutengok.
“Eh, dari kebun ternyata. Kupanggil-panggil tidak ada jawaban, tapi pas habis bersin muncul, hahaha.”
“Hmmm iya maaf, mas. Keasikan di kebun dan emang enggak kedengeran.”
“Ooh, habis panen ya? Apa aja itu, kok banyak? Kayaknya kita ga nanem itu semua.”
“Iya, yang dari kebun kita cuma kangkung aja. Tapi kan banyak tuh, jadi tadi sempat tukeran sama Bu Terri. Dia baru aja panen wortel, sama ada dikasih teh hijau juga ini. Emang udah janjian dari kemaren.”
“Oh, barter sama Bu Terri juga.”
“Iya. Eh sana cuci tangan dulu, jangan sampe dilap ke celana.”
“heheh, iya sampe lupa,” aku menuju wastafel dapur dan memutar keran air untuk membasuh tanganku. Aku mencuci tangan menggunakan sabun pencuci piring sebab tidak menemukan sabun cuci tangan.
“ini tolong sekalian sayurannya dicuci mas.”
“Siap.”
“Alhamdulillah, untung kamu punya hobi berkebun Mas. Bisa tuker-tukeran deh sama tetangga.”
“Iya, untung kamunya juga ternyata suka, jadi bisa bantuin aku,” aku menjawab sambil tersenyum kepadanya.
Kulihat paras muka Mina ikut berseri-seri, meski tampak sedikit peluh lelahnya setelah panen. Paras itu hampir sama seperti pertama kali kami bertemu satu tahun lalu. Kami saling menatap dengan senyum.
Aku berjalan sambil tetap menghadap istriku. Menuju kantong buku yang kutinggal di lantai tadi.
“Udah ya itu tiris sendiri sayurannya. Aku mau lanjut nata tempat kerjaku,” ujarku sambil mengambil kantong buku, hendak menuju sudut ruang yang belum rampung kurapikan.
“Tunggu, Jadi gimana?”
“Hah, apanya?” aku kembali menatapnya.
“Eh, apa itu yang kamu bawa, Mas?” dia jadi lebih tertarik dengan kantong yang kubawa rupanya.
“Oh ini, buku-buku yang aku kumpulin tadi. Tapi engga cuma buku manual, tadi nemu juga ada semacam jurnal gini. Apa ini punyamu?” aku mengeluarkan buku-buku dari kantongnya dan kutunjukkan kepada Mina.
“Heeh, kok kamu bisa nemuu,” responnya seperti terkejut, “Ya, itu punyaku. Sudah lama sebenarnya. Kamu baca aja sendiri nanti. Sekarang, aku mau kita diskusi dulu.” Mina tampak serius, aku bisa mengerti tendensinya meski ia berbicara sambil menata sayuran.
“Okee,” aku bergeser ke meja makan, mengambil kursi untuk kemudian duduk menghadap Mina.
“Mas, mau teh engga? Ini aku bikinin ya,” Mina beranjak mengambil panci dan mengisi air dan memanaskannya. Ia lanjut bertanya, “Gimana, kamu jadi kerja dari rumah, kan?”
“Boleh. Iya, jadi dong! Kan ini udah mau lanjutin rancang ruang kerjanya,” aku menjawab meyakinkan, “kan sudah aku bahas waktu mau resign kemarin. Apalagi sekarang kan perlu jadi suami siaga, hehe.”
“iya, sudah mau masuk trimester kedua nih. Tapi tunggu dulu, kalau freelance dari rumah gini mas Ardi gimana dapet proyeknya?”
“Hm kalau itu, mungkin memang tidak semudah seperti di perusahaan kemarin. Tapi bismillah, rezeki engga akan tertukar. Jaringan dan koneksi buat proyek kan aku masih sambung meski sudah freelance gini”
“Alhamdulillah ya, masa pandemi ini membuat normalisasi kerja dari rumah. Jadi lebih banyak sedia waktu bareng aku juga.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Aku tadi jadi kepikiran, memang masa pandemi gini jadi titik balik bagi yang mengalami ya. Engga cuma mas Ardi, banyak orang lain di luar sana juga.” lanjut Mina sambil menyajikan seduhan teh hijau dalam satu gelas ke meja sebelahku
“Bener kamu, kalau yang cerdas lihat peluang ya mampu memaksimalkan peluang kerja dan dapet penghasilan. Tapi yang kurang beruntung, bisa jadi runyam kehidupannya setelah kehadiran pandemi.”
“He em” Mina sepakat.
“Kalau kamu tadi bilang normalisasi kerja dari rumah, aku juga bersyukur normalisasi hal-hal lain dan berharap masih berlangsung setelah pandemi ini.”
“maksudnya, mas?”
“Kaya kita kemaren nikah engga pake resepsi heboh, hanya ngundang keluarga dan teman terdekat. Pas pandemi kan banyak juga yang resepsinya jadi lebih hikmat dan hemat.”
“Emang mas Ardi ingat nikahnya kita? Kapan coba? Tanggal berapa?”
“eh, kenapa malah nanya tanggal, bukan itu poinnya, Minaa!”
“Ah, kamu ini masih saja lupa ya mas? Tanggal pernikahan sendiri aja lupa, gimana hal detil lain. Sabun cuci tangan aku sudah pesan dari lama, kamu selalu aja lupa beli”
“Hm, mulai… iya ini nanti aku beli”
“Eh, tapi iya ya mas. Banyak ternyata ya mas hal-hal baru yang sebelumnya kurang lazim jadi diterima setelah pandemi itu,” dia kembali membahas topik sebelumnya.
Untung Mina tidak memperpanjang persoalan tanggal pernikahan. Selamatlah aku.
“Nah iya, hal-hal seperti itu kan sebenarnya yang dimaksud new normal itu. Yang aku ngga sreg kan kayak pas baru bulan ketiga-keempat yang masih parah-parahnya penyebaran virusnya tuh malah pake new normal untuk menjalankan kembali kegiatan ekonomi yang seharusnya belum dibuka.”
“ehem, jadi teringat kan”
“Ya gimana, masih teringat juga bagaimana mereka menyepelekan adanya virus itu di negeri kita. Bukannya mencoba membenahi dengan pencegahan penyebaran atau penularan, malah keluar pernyataan aneh bin ajaib,” Aku menjadi bersemangat dan sedikit berkobar menceritakan, “Bahkan ada yang mengatakan covid-19 itu dilebih-lebihkan supaya kita takut. Justru mereka yang malah bikin masyarakat takut.”
“Eh, gimana mas? Kok bisa?”
“Iya, tetanggaku yang sakit jadi takut ke rumah sakit. Katanya swab test pasti positif lah, dipaksa jadi pasien covid lah. Nyatanya kan engga begitu. Belum lagi ada hoax soal pake masker bisa keracunan CO2, thermogun buat ngukur suhu tubuh dikata bikin kanker lah, apalagi yang sangkut pautin dengan konspirasi elit global.”
“Sudah, engga perlu emosi bahas itu. Nih, tehnya diminum deh mas”.
“Engga kok, sedikit terpelatuk aja. Dikira paman aku yang dokter jadi korban itu karena menghadapi apa sama mereka?” aku menghembuskan napas, kemudian meneguk teh seduhan Mina.
“Masa masa itu aku cukup susah ya untuk bertahan, sekedar berusaha tetap waras aja penuh perjuangan. Apalagi bertahan hidup”
“Kok bisa susah begitu mas?”
“hmm, seger, terimakasih ya” aku merasakan kesegaran teh yang baru saja Mina sajikan, “ee iya, gitulah. Kami kan keluarga kelas menengah, terdampaknya cukup berat. Di mana tidak bisa masuk kategori yang mendapat bantuan, tapi juga tidak memiliki cukup simpanan untuk bertahan lama. Jadi ya bener-bener berjuang hampir setiap hari buat tetap mendapat asupan yang cukup.”
“iya jadi makin hangat kan obrolan kita dengan teh hijaunya,” Mina juga menyeruput teh yang ia siapkan untuk dirinya sendiri. “Tapi nih mas,” Mina melanjutkan “dari situasi itu mas perlu bersyukur. Mas Ardi kan jadi tertempa jadi bisa bekerja dan bisa tinggal di lingkungan asri seperti sekarang. Jadi terbiasa berkebun yang bermanfaat sekarang juga kan.”
“iya iya, proses selama masa itu aku terima dengan syukur juga kok,” dengan nada lebih tenang aku mengangguk-angguk, lanjut bertanya “Kalo kamu sendiri gimana melalui masa itu, Mina?”
Hening, kutengok Mina sempat terhenti seperti berpikir.
“Eh iya, aku sih bersyukur melewati masa itu, orang-orang jadi terbiasa dengan video call sama presentasi lewat konferensi daring,” Mina memecahkan keheningan setelah beberapa saat.
“soal itu aku juga terbantu sih, jadi brief dan rapat jarak jauh mulai biasa.”
“Cuma nih, aku jadi nambah peran juga nemenin ponakan yang banyak tugas dari gurunya karena sekolahnya belajar di rumah.”
“Wah, ngomong-ngomong soal sekolah nih. Gimana pendapatmu soal pendidikan anak ini nanti?” aku menunjuk ke perut Mina yang berisi kandungan anak kami.
“iya sudah aku pikir sih mas, aku sepakat sama kamu, memang mending kita yang belajar aja. Pendidikan dasar anak mending kita orang tuanya yang memberi.”
“Nah, kan pas masuk tahun ajaran baru kemarin itu banyak tuh orang tua yang tidak jadi mendaftarkan anaknya untuk sekolah. Salah satunya ada keponakanku juga tidak jadi didaftarkan ke SD sama kakakku.”
“iya, yaudah gitu dulu. Lanjut aja sana nyiapin ruang kerjamu. Nanti dibaca aja itu buku jurnalku. Ada di situ semua uneg-unegku selama masa pandemi itu kok mas.” Mina meninggalkanku menuju tempat cuci piring.
“yaudah, aku lanjut rancang ruang kerja … tapi nanti setelah aku baca jurnalmu ini, hehe.”
Penasaran karena yang disampaikannya, aku pun membuka dan mulai membaca jurnal bersampul kulit hitam milik Mina ini. Aku membaca langsung lembaran isinya yang terdapat tulisan tangan tinta pena yang cukup rapi dari Mina.
Termuat di dalamnya mulai dari cerita bagaimana hari-hari yang Mina lewati selama pandemi. Setiap berganti lembaran, tercantum kisah dan kegiatan yang dia alami dan lakukan. Ternyata tekanan dan kecemasan juga sempat dialami oleh Mina, tidak jauh berbeda denganku.
Aku berhenti ketika masuk lembaran yang menunjukkan Juni 2020. Aku memperhatikan kata per kata yang tertulis di situ. Membolak-balik membacanya berkali-kali, sehingga aku baru sadar ada beberapa hal yang berhubungan yang aku lupakan.
Aku berdiri, menoleh-noleh menghadap ke sekeliling dapur, tidak ku temui tubuh Mina. Sepertinya dia kembali ke kebun lagi ketika aku asik membaca jurnalnya. Meneguk sisa teh di hadapanku, aku menghela napas dan menepuk-nepuk pelan dadaku.
Penuh rasa bersalah, mataku mulai terasa basah. Aku baru mengetahui sebab Mina tadi sempat termenung ketika aku mulai membahas masa itu. Dan alasan dia cukup kesal ketika aku lupa tanggal pernikahan kita tapi langsung dia alihkan ke bahasan lain.
Aku teringat memori ketika paman Mina sebagai wali nikahnya yang aku jabat ketika akad nikah. Aku baru sadar 26 Agustus 2020, hari kita menikah adalah dua bulan setelah 26 Juni 2020, hari yang berat bagi Mina. Iya, di tanggal yang sama selisih dua bulan sejak kepergian ayah Mina. Baruku sadari, perubahan ekspresi Mina selama obrolan kita tadi terutama ketika aku sebutkan pamanku yang dokter meninggal.
Juni 2020 adalah waktu yang sangat lama dilewati bagi Mina. Terbukti dari banyaknya halaman untuk bulan itu di jurnal miliknya ini. Sejak awal bulan Mina tidak dapat bertemu ayahnya, seorang dokter yang harus isolasi mandiri karena menagani pasien Covid-19. Hari-hari yang berat ketika pekan kedua mendapati kabar ayahnya harus dirawat juga. Sampai pada 26 Juni 2020 kabar yang cukup sulit diterima tentang kepergian orang yang sangat dicintai Mina itu.
Tapi menuju akhir halaman Juni, dari cerita berganti menjadi harapan dan proyeksinya setelah berakhirnya pandemi. Menjelang akhir tulisan di jurnal ini, dia menuliskan bagaimana di masa depan, kondisi setelah pandemi dia menuliskan akan tinggal bersama suami di rumah yang cukup tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Semakin terkejut aku membaca kegiatan yang dilakukan selama hari ini ternyata telah tercantum dalam buku ini.
Bagaimana tinggal di rumah yang cukup akur dengan tetangga sehingga bisa bertukar hasil panen kebun rumah. Berdiskusi dengan suami tentang pendidikan anak, kegiatan virtual, bahkan obrolan perencanaan dengan suami ternyata sudah tertulis di dalamnya.
Dan di akhir ada kalimat yang menarik untuk dikutip.
“Pandemi ini mungkin merubah banyak hal. Tapi sejatinya, yang ditakdirkan kepadaku tidak akan melewatkanku. Banyak yang terdampak dan menjadi korban, tapi jangan sampai kehilangan harapan. Di sini aku menulis proyeksi diriku dan masa depanku. Mari berdisiplin, bangun dan menjemput masa depan itu.”
Kapsul Waktu Mina
5 notes
·
View notes
Text
Berdamai dengan diri sendiri : Days with the vids!
Halo semua!
Pada kesempatan kali ini, aku ingin membahas dan juga bercerita tentang satu hal yang memberikanku pelajaran untuk kembali belajar untuk bisa lebih mencintai dan menerima diriku sendiri lagi. Aku harap setelah membaca tulisanku ini, tulisanku bisa memberikan dampak positif dan juga mengubah cara pandang kalian tentang bagaimana cara mencintai diri dan menerima diri versi kalian!
Beberapa hari belakangan, sejak lulus dari sidang kembali rasanya sangat bosan ya? karena sebagian waktuku sekarang hanya diisi dengan berdiam diri, apalagi ditengah lonjakan kasus covid yang semakin tinggi tiap di Indonesia, yang mengharuskan kita semua untuk tetap berada dirumah. Jadwal wisudaku (meskipun online) juga ikut diundur karena adanya PPKM darurat yang terus diperpanjang seiring meningkatnya lonjakan kasus harian. Hal ini sempat membuatku benar-benar stress, dan bingung harus melakukan apa.
Pada awal bulan Juli kemarin, aku juga dinyatakan positif covid-19. Padahal jika di rasa, aku selalu melaksanakan protokol kesehatan dengan selalu menggunakan masker saat keluar rumah, membawa handsanitizer kemanapun aku pergi, selalu mencuci tangan dan aku juga selalu menghindari kerumunan. Jujur waktu itu aku sangat kaget, karena akhirnya giliranku datang juga karena aku bisa mendapatkan virus ini, hehe. Saat pertama kali tahu, jujur perasaanku benar-benar campuk aduk dan sedih sekali. Aku sempat marah, kecewa dan menyalahkan diriku sendiri, karena rasanya aku itu bodoh sekali sampai aku bisa terkena virus ini. Layaknya seorang wanita, aku sempat nangis selama 2 jam dikamar disaat aku tahu aku positif covid-19📷
Namun di sela tangisku, aku berfikir “Apa pantas aku marah dengan diriku sendiri? Apa pantas aku merasa kecewa dan menyalahkan diriku? Padahal, kalau dipikir ulang, siapa sih yang mau terkena virus ini? pasti jawabannya juga tidak ada yang mau. Lalu kenapa aku harus marah dan menyalahkan diriku?”
Saat sakit kemarin, aku dan mama sempat mendatangi rumah sakit. Aku melihat betapa penuhnya rumah sakit dan sibuknya para tenaga kesehatan yang hampir bisa dibilang tak kenal lelah, karena banyaknya pasien covid didalam ruang perawatan dan diluar yang menunggu giliran untuk bisa dirawat. Aku juga sempat merasakan sulitnya diperiksa oleh dokter untuk tahu bagaimana kondisiku, karena jujur semenjak dinyatakan positif covid-19, aku belum diperiksa oleh dokter. Semenjak terkena covid-19, aku juga langsung melakukan isolasi mandiri dirumah. Ya meskipun ada ke khawatiran, karena ada mama dan juga nenek yang memiliki komorbid (penyakit bawaan). Namun setelah beberapa hari isolasi dirumah, alhamdulillah aku mendapatkan kabar dari perawat di salah satu fasilitas isolasi milik pemerintahh, yang bilang kalau aku bisa melakukan isolasi dan dirawat disana! Lalu akupun merapihkan baju-bajuku dan bersiap-siap membawa barang bawaan untuk isolasi disana. Aku melakukan isolasi mandiri selama 1 minggu disana dan selama itu juga aku tidak diperkenankan untuk keluar dari kamar kecuali untuk mengambil makan dan minum yang sudah disediakan diluar ruangan. Kalau ditanya. bagaimana perasaanku saat dirawat disana? Awalnya aku sempat merasa stress dan takut, meskipun bergejala ringan aku takut tidak akan sembuh. Aku juga sempat merasa sedih, karena harus terpisah dari keluarga untuk waktu yang lama. Namun, aku tetap berusaha memberikan semangat dan meyakinkan diriku sendiri kalau aku bisa segera sembuh, agar aku bisa segera kembali pulang kerumah. Aku memaksakan diriku untuk tidak melewatkan waktu makan karena aku ingat kalau aku harus minum obat dan aku juga memperbanyak makan buah dan juga vitamin. Alhamdulillah di hari ke 8 isolasi, aku dibolehkan pulang oleh dokter yang berjaga disana, karena kondisiku yang sudah sangat membaik, meskipun masih ada batuk, pusing dan juga lemas.
Saat dibolehkan pulang, rasanya senang sekali karena bisa bertemu dengan keluarga dan untuk pertama kalinya setelah berdiam dikamar, aku bisa melihat lagi keadaan luar, menghirup udara bebas dan ada dibawah matahari tentunya! Saat sampai rumah, aku tetap menggunakan masker dan melanjutkan isolasi mandiri sampai hari ke 14. Alhamdulillah kondisiku tiap harinya terus membaik. Jujur, aku bersyukur sekali karena aku bisa sembuh dari covid-19.
Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan ketika sakit kemarin. Saat awal dinyatakan positif covid-19, aku belajar kembali kalau sesungguhnya kita tidak bisa mengontrol apapun, karena satu hal yang bisa kita kontrol adalah bagaimana cara kita merespon apa yang ada didepan. Selama melakukan isolasi, aku memiliki lebih banyak waktu untuk lebih dekat dan mengenal diriku sendiri. Aku juga belajar kembali bagaimana mencintai dan menerima diriku sendiri dan juga berdamai dengan diriku, karena aku merasa jika kita tidak berusaha untuk mencintai diri dan menerima diri, karena aku merasa kalau kita tidak bisa mencintai diri dan menerima diri sendiri, lalu siapa orang yang bisa menerima diri kita selain diri kita sendiri?
Aku percaya kali, setiap kejadian yang terjadi didalam hidup itu terjadi karena sebuah alasan. Alasan yang dimaksud ini pasti akan selalu memberikan kita lebih banyak pelajaran didalam kehidupan nantinya. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca tulisanku kali ini, semoga tulisanku mengenai “Berdamai dengan diri sendiri : days with the vids!” bisa memberikan dan membawa dampak positif bagi kalian yang sudah membaca.
Boleh sekali untuk comment, repost, dan like tulisanku ini ya!
1 note
·
View note